Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal

Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi

Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal

Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi
Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi


Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi

Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Renungkan Aib Sendiri

Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri    Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah

Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Renungkan Aib Sendiri

Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri    Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah
Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri    Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah


Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span>   Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah

Salat adalah Ibadah yang Agung, Yakin Masih Mau Meninggalkannya?

Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Salat adalah Ibadah yang Agung, Yakin Masih Mau Meninggalkannya?

Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.


Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Gimana Caranya ketika Hasrat Ingin B3rz1na Menggebu-gebu? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ

Gimana Caranya ketika Hasrat Ingin B3rz1na Menggebu-gebu? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ
Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ


Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ

Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali

Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.

Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali

Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.
Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.


Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.

Penjelasan Hadis Arbain An-Nawawiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1

Penjelasan Hadis Arbain An-Nawawiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1
Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1


Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1

Ubah Mindset Anda Tentang Harta Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ

Ubah Mindset Anda Tentang Harta Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ
Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ


Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ

Bolehkah Makan Sambil Bersandar (Ittika’)?

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا آكُلُ مُتَّكِئًا “Aku tidak makan dalam posisi ittika’ (bersandar).” (HR. Bukhari no. 5398) Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghindari makan sambil bersandar (iitika’). Hal ini karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seseorang yang banyak makan atau makan dengan penuh nafsu (makan dengan lahap seperti orang kelaparan). Hal ini karena makan berlebihan dapat menyebabkan rasa berat, kurangnya aktivitas (menjadi malas), dan juga berbagai dampak buruk lainnya, terutama jika dilakukan secara terus-menerus. Namun, jika sesekali merasa kenyang, hal itu tidaklah mengapa. [1] Orang yang muttaki’ (bersandar) adalah seseorang yang makan dengan bersandar pada salah satu sisi tubuhnya dengan menggunakan sandaran, seperti bantal atau sejenisnya. Istilah muttaki’ juga merujuk pada seseorang yang meletakkan salah satu tangannya di tanah untuk bersandar. Hikmah larangan makan dalam posisi seperti ini, sebagaimana disebutkan oleh para ahli kesehatan, adalah karena ketika seseorang makan dalam posisi bersandar, makanan tidak mudah turun ke saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena posisi tersebut dapat memberikan tekanan pada lambung, sehingga tidak dapat membuka maksimal untuk menerima makanan. Selain itu, lambung menjadi miring dan tidak dalam posisi tegak, sehingga makanan sulit masuk dengan lancar. Kondisi seperti ini tentu tidak lepas dari potensi bahaya (mudarat) bagi tubuh. [2] Oleh karena itu, yang lebih afdal dan terbaik adalah seseorang duduk dengan posisi tegak dan tidak condong (miring), sehingga makanan dan minuman dapat turun ke saluran pencernaan dengan mudah dan lancar. Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muttaki’ dalam hadis ini adalah orang yang bersandar pada alas yang ada di bawahnya, seperti bantal, karpet tebal, atau kasur lipat. Setiap orang yang duduk tegak di atas alas seperti itu dianggap bersandar. Makna dari hadis ini, menurut Al-Khattabi rahimahullah, adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dengan duduk di atas alas atau bantal seperti orang yang ingin menikmati banyak makanan dan memilih berbagai jenis hidangan yang banyak. Sebaliknya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam makan secukupnya, hanya untuk menghilangkan rasa lapar, dan mengambil makanan dalam jumlah yang mencukupi (tidak berlebih-lebihan). Oleh karena itu, posisi duduk beliau ketika makan adalah dalam keadaan tegak dan tidak bersandar. [3] Penafsiran Al-Khattabi rahimahullah tentang al-ittika’ (bersandar) yang dikatakan sebagai duduk bersila di atas alas, telah diikuti oleh beberapa ulama, termasuk Ibnul Atsir rahimahullah. [4] Akan tetapi, tafsir ini perlu ditinjau kembali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam kitab-kitab lughah (bahasa Arab) bahwa istilah al-ittika’ bermakna demikian. [5] Pendapat ini diperkuat oleh hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, di mana disebutkan bahwa, وكان متكئًا فجلس “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bersandar, lalu beliau duduk.” Masalah ini memerlukan penelitian lebih lanjut dalam kitab-kitab bahasa (lughah) untuk memastikan apakah istilah al-ittika’ dapat digunakan untuk menggambarkan posisi duduk bersila di atas alas (at-tarabbu’). Jika ditemukan bahwa penggunaan ini benar, maka pendapat Al-Khattabi rahimahullah dapat diterima. Namun, jika tidak, maka yang lebih kuat adalah tafsir yang lebih umum dan terkenal, yaitu bahwa al-ittika’ berarti bersandar (condong pada salah satu sisi tubuh). Ibnul Jauzi rahimahullah dengan tegas menyatakan bahwa al-ittika’ adalah bersandar dengan miring pada salah satu sisi tubuh, dan beliau tidak mengindahkan penolakan Al-Khattabi rahimahullah terhadap pengertian ini. [6] Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berpendapat bahwa duduk bersila (at-tarabbu’) tidak termasuk dalam makna al-ittikā’ (bersandar). Pendapat ini juga didukung oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [7] Tidak terdapat larangan yang tegas dalam syariat mengenai makan sambil bersandar, sehingga Imam Bukhari rahimahullah tidak menetapkan hukum secara pasti dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam judul bab yang beliau letakkan untuk hadis ini [8]. Namun, sikap yang terbaik adalah meninggalkan makan dalam keadaan bersandar sebagai bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan sambil bersandar hukumnya makruh. Para ulama menyebutkan bahwa posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan bertumpu pada kedua lutut dan punggung kaki, atau dengan menegakkan telapak kaki kanan dan duduk di atas telapak kaki kiri. [9] Namun, mereka tidak menyebutkan dalil khusus untuk anjuran ini. Dalam hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan, رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam posisi iq’a’ saat makan kurma.” (HR. Muslim no. 2044) Iq‘a’ adalah posisi duduk dengan menegakkan kedua betis, lalu pantat menduduki tumit. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa posisi tubuh yang paling baik saat makan adalah yang sesuai dengan kondisi alami anggota tubuh. Posisi ini tercapai ketika seseorang duduk dalam keadaan tegak secara alami. Sebaliknya, posisi yang paling buruk saat makan adalah sambil bersandar (al-ittika’), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [10] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [11] Baca juga: Hukum Memakan Ulat *** @Fall, 18 Jumadil awal 1446/ 20 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ghidha’ Al-Albab, 2: 111. [2] An-Nihayah, 1: 193; Zaadul Ma’ad, 4: 221. [3] Ma’alim As-Sunan, 5: 301. [4] An-Nihayah, 1: 193. [5] Kasyful Musykil min Haditsi Ash-Shahihain, 1: 439; karya Ibnul Jauzi. [6] Syarh Al-Munawi ‘ala Asy-Syamail, hal. 227. [7] Syarhul Mumti’, 12: 377. [8] Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadis ini dalam kitab Al-‘Ath’imah, di bawah judul bab, “Makan sambil bersandar.” [9] Lihat Fathul Baari, 9: 542. [10] Zaadul Ma’ad, 4: 221. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 436-438). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Bolehkah Makan Sambil Bersandar (Ittika’)?

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا آكُلُ مُتَّكِئًا “Aku tidak makan dalam posisi ittika’ (bersandar).” (HR. Bukhari no. 5398) Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghindari makan sambil bersandar (iitika’). Hal ini karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seseorang yang banyak makan atau makan dengan penuh nafsu (makan dengan lahap seperti orang kelaparan). Hal ini karena makan berlebihan dapat menyebabkan rasa berat, kurangnya aktivitas (menjadi malas), dan juga berbagai dampak buruk lainnya, terutama jika dilakukan secara terus-menerus. Namun, jika sesekali merasa kenyang, hal itu tidaklah mengapa. [1] Orang yang muttaki’ (bersandar) adalah seseorang yang makan dengan bersandar pada salah satu sisi tubuhnya dengan menggunakan sandaran, seperti bantal atau sejenisnya. Istilah muttaki’ juga merujuk pada seseorang yang meletakkan salah satu tangannya di tanah untuk bersandar. Hikmah larangan makan dalam posisi seperti ini, sebagaimana disebutkan oleh para ahli kesehatan, adalah karena ketika seseorang makan dalam posisi bersandar, makanan tidak mudah turun ke saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena posisi tersebut dapat memberikan tekanan pada lambung, sehingga tidak dapat membuka maksimal untuk menerima makanan. Selain itu, lambung menjadi miring dan tidak dalam posisi tegak, sehingga makanan sulit masuk dengan lancar. Kondisi seperti ini tentu tidak lepas dari potensi bahaya (mudarat) bagi tubuh. [2] Oleh karena itu, yang lebih afdal dan terbaik adalah seseorang duduk dengan posisi tegak dan tidak condong (miring), sehingga makanan dan minuman dapat turun ke saluran pencernaan dengan mudah dan lancar. Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muttaki’ dalam hadis ini adalah orang yang bersandar pada alas yang ada di bawahnya, seperti bantal, karpet tebal, atau kasur lipat. Setiap orang yang duduk tegak di atas alas seperti itu dianggap bersandar. Makna dari hadis ini, menurut Al-Khattabi rahimahullah, adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dengan duduk di atas alas atau bantal seperti orang yang ingin menikmati banyak makanan dan memilih berbagai jenis hidangan yang banyak. Sebaliknya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam makan secukupnya, hanya untuk menghilangkan rasa lapar, dan mengambil makanan dalam jumlah yang mencukupi (tidak berlebih-lebihan). Oleh karena itu, posisi duduk beliau ketika makan adalah dalam keadaan tegak dan tidak bersandar. [3] Penafsiran Al-Khattabi rahimahullah tentang al-ittika’ (bersandar) yang dikatakan sebagai duduk bersila di atas alas, telah diikuti oleh beberapa ulama, termasuk Ibnul Atsir rahimahullah. [4] Akan tetapi, tafsir ini perlu ditinjau kembali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam kitab-kitab lughah (bahasa Arab) bahwa istilah al-ittika’ bermakna demikian. [5] Pendapat ini diperkuat oleh hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, di mana disebutkan bahwa, وكان متكئًا فجلس “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bersandar, lalu beliau duduk.” Masalah ini memerlukan penelitian lebih lanjut dalam kitab-kitab bahasa (lughah) untuk memastikan apakah istilah al-ittika’ dapat digunakan untuk menggambarkan posisi duduk bersila di atas alas (at-tarabbu’). Jika ditemukan bahwa penggunaan ini benar, maka pendapat Al-Khattabi rahimahullah dapat diterima. Namun, jika tidak, maka yang lebih kuat adalah tafsir yang lebih umum dan terkenal, yaitu bahwa al-ittika’ berarti bersandar (condong pada salah satu sisi tubuh). Ibnul Jauzi rahimahullah dengan tegas menyatakan bahwa al-ittika’ adalah bersandar dengan miring pada salah satu sisi tubuh, dan beliau tidak mengindahkan penolakan Al-Khattabi rahimahullah terhadap pengertian ini. [6] Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berpendapat bahwa duduk bersila (at-tarabbu’) tidak termasuk dalam makna al-ittikā’ (bersandar). Pendapat ini juga didukung oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [7] Tidak terdapat larangan yang tegas dalam syariat mengenai makan sambil bersandar, sehingga Imam Bukhari rahimahullah tidak menetapkan hukum secara pasti dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam judul bab yang beliau letakkan untuk hadis ini [8]. Namun, sikap yang terbaik adalah meninggalkan makan dalam keadaan bersandar sebagai bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan sambil bersandar hukumnya makruh. Para ulama menyebutkan bahwa posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan bertumpu pada kedua lutut dan punggung kaki, atau dengan menegakkan telapak kaki kanan dan duduk di atas telapak kaki kiri. [9] Namun, mereka tidak menyebutkan dalil khusus untuk anjuran ini. Dalam hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan, رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam posisi iq’a’ saat makan kurma.” (HR. Muslim no. 2044) Iq‘a’ adalah posisi duduk dengan menegakkan kedua betis, lalu pantat menduduki tumit. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa posisi tubuh yang paling baik saat makan adalah yang sesuai dengan kondisi alami anggota tubuh. Posisi ini tercapai ketika seseorang duduk dalam keadaan tegak secara alami. Sebaliknya, posisi yang paling buruk saat makan adalah sambil bersandar (al-ittika’), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [10] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [11] Baca juga: Hukum Memakan Ulat *** @Fall, 18 Jumadil awal 1446/ 20 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ghidha’ Al-Albab, 2: 111. [2] An-Nihayah, 1: 193; Zaadul Ma’ad, 4: 221. [3] Ma’alim As-Sunan, 5: 301. [4] An-Nihayah, 1: 193. [5] Kasyful Musykil min Haditsi Ash-Shahihain, 1: 439; karya Ibnul Jauzi. [6] Syarh Al-Munawi ‘ala Asy-Syamail, hal. 227. [7] Syarhul Mumti’, 12: 377. [8] Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadis ini dalam kitab Al-‘Ath’imah, di bawah judul bab, “Makan sambil bersandar.” [9] Lihat Fathul Baari, 9: 542. [10] Zaadul Ma’ad, 4: 221. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 436-438). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا آكُلُ مُتَّكِئًا “Aku tidak makan dalam posisi ittika’ (bersandar).” (HR. Bukhari no. 5398) Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghindari makan sambil bersandar (iitika’). Hal ini karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seseorang yang banyak makan atau makan dengan penuh nafsu (makan dengan lahap seperti orang kelaparan). Hal ini karena makan berlebihan dapat menyebabkan rasa berat, kurangnya aktivitas (menjadi malas), dan juga berbagai dampak buruk lainnya, terutama jika dilakukan secara terus-menerus. Namun, jika sesekali merasa kenyang, hal itu tidaklah mengapa. [1] Orang yang muttaki’ (bersandar) adalah seseorang yang makan dengan bersandar pada salah satu sisi tubuhnya dengan menggunakan sandaran, seperti bantal atau sejenisnya. Istilah muttaki’ juga merujuk pada seseorang yang meletakkan salah satu tangannya di tanah untuk bersandar. Hikmah larangan makan dalam posisi seperti ini, sebagaimana disebutkan oleh para ahli kesehatan, adalah karena ketika seseorang makan dalam posisi bersandar, makanan tidak mudah turun ke saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena posisi tersebut dapat memberikan tekanan pada lambung, sehingga tidak dapat membuka maksimal untuk menerima makanan. Selain itu, lambung menjadi miring dan tidak dalam posisi tegak, sehingga makanan sulit masuk dengan lancar. Kondisi seperti ini tentu tidak lepas dari potensi bahaya (mudarat) bagi tubuh. [2] Oleh karena itu, yang lebih afdal dan terbaik adalah seseorang duduk dengan posisi tegak dan tidak condong (miring), sehingga makanan dan minuman dapat turun ke saluran pencernaan dengan mudah dan lancar. Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muttaki’ dalam hadis ini adalah orang yang bersandar pada alas yang ada di bawahnya, seperti bantal, karpet tebal, atau kasur lipat. Setiap orang yang duduk tegak di atas alas seperti itu dianggap bersandar. Makna dari hadis ini, menurut Al-Khattabi rahimahullah, adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dengan duduk di atas alas atau bantal seperti orang yang ingin menikmati banyak makanan dan memilih berbagai jenis hidangan yang banyak. Sebaliknya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam makan secukupnya, hanya untuk menghilangkan rasa lapar, dan mengambil makanan dalam jumlah yang mencukupi (tidak berlebih-lebihan). Oleh karena itu, posisi duduk beliau ketika makan adalah dalam keadaan tegak dan tidak bersandar. [3] Penafsiran Al-Khattabi rahimahullah tentang al-ittika’ (bersandar) yang dikatakan sebagai duduk bersila di atas alas, telah diikuti oleh beberapa ulama, termasuk Ibnul Atsir rahimahullah. [4] Akan tetapi, tafsir ini perlu ditinjau kembali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam kitab-kitab lughah (bahasa Arab) bahwa istilah al-ittika’ bermakna demikian. [5] Pendapat ini diperkuat oleh hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, di mana disebutkan bahwa, وكان متكئًا فجلس “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bersandar, lalu beliau duduk.” Masalah ini memerlukan penelitian lebih lanjut dalam kitab-kitab bahasa (lughah) untuk memastikan apakah istilah al-ittika’ dapat digunakan untuk menggambarkan posisi duduk bersila di atas alas (at-tarabbu’). Jika ditemukan bahwa penggunaan ini benar, maka pendapat Al-Khattabi rahimahullah dapat diterima. Namun, jika tidak, maka yang lebih kuat adalah tafsir yang lebih umum dan terkenal, yaitu bahwa al-ittika’ berarti bersandar (condong pada salah satu sisi tubuh). Ibnul Jauzi rahimahullah dengan tegas menyatakan bahwa al-ittika’ adalah bersandar dengan miring pada salah satu sisi tubuh, dan beliau tidak mengindahkan penolakan Al-Khattabi rahimahullah terhadap pengertian ini. [6] Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berpendapat bahwa duduk bersila (at-tarabbu’) tidak termasuk dalam makna al-ittikā’ (bersandar). Pendapat ini juga didukung oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [7] Tidak terdapat larangan yang tegas dalam syariat mengenai makan sambil bersandar, sehingga Imam Bukhari rahimahullah tidak menetapkan hukum secara pasti dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam judul bab yang beliau letakkan untuk hadis ini [8]. Namun, sikap yang terbaik adalah meninggalkan makan dalam keadaan bersandar sebagai bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan sambil bersandar hukumnya makruh. Para ulama menyebutkan bahwa posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan bertumpu pada kedua lutut dan punggung kaki, atau dengan menegakkan telapak kaki kanan dan duduk di atas telapak kaki kiri. [9] Namun, mereka tidak menyebutkan dalil khusus untuk anjuran ini. Dalam hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan, رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam posisi iq’a’ saat makan kurma.” (HR. Muslim no. 2044) Iq‘a’ adalah posisi duduk dengan menegakkan kedua betis, lalu pantat menduduki tumit. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa posisi tubuh yang paling baik saat makan adalah yang sesuai dengan kondisi alami anggota tubuh. Posisi ini tercapai ketika seseorang duduk dalam keadaan tegak secara alami. Sebaliknya, posisi yang paling buruk saat makan adalah sambil bersandar (al-ittika’), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [10] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [11] Baca juga: Hukum Memakan Ulat *** @Fall, 18 Jumadil awal 1446/ 20 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ghidha’ Al-Albab, 2: 111. [2] An-Nihayah, 1: 193; Zaadul Ma’ad, 4: 221. [3] Ma’alim As-Sunan, 5: 301. [4] An-Nihayah, 1: 193. [5] Kasyful Musykil min Haditsi Ash-Shahihain, 1: 439; karya Ibnul Jauzi. [6] Syarh Al-Munawi ‘ala Asy-Syamail, hal. 227. [7] Syarhul Mumti’, 12: 377. [8] Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadis ini dalam kitab Al-‘Ath’imah, di bawah judul bab, “Makan sambil bersandar.” [9] Lihat Fathul Baari, 9: 542. [10] Zaadul Ma’ad, 4: 221. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 436-438). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan Hadis Teks Hadis Dari sahabat Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا آكُلُ مُتَّكِئًا “Aku tidak makan dalam posisi ittika’ (bersandar).” (HR. Bukhari no. 5398) Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghindari makan sambil bersandar (iitika’). Hal ini karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seseorang yang banyak makan atau makan dengan penuh nafsu (makan dengan lahap seperti orang kelaparan). Hal ini karena makan berlebihan dapat menyebabkan rasa berat, kurangnya aktivitas (menjadi malas), dan juga berbagai dampak buruk lainnya, terutama jika dilakukan secara terus-menerus. Namun, jika sesekali merasa kenyang, hal itu tidaklah mengapa. [1] Orang yang muttaki’ (bersandar) adalah seseorang yang makan dengan bersandar pada salah satu sisi tubuhnya dengan menggunakan sandaran, seperti bantal atau sejenisnya. Istilah muttaki’ juga merujuk pada seseorang yang meletakkan salah satu tangannya di tanah untuk bersandar. Hikmah larangan makan dalam posisi seperti ini, sebagaimana disebutkan oleh para ahli kesehatan, adalah karena ketika seseorang makan dalam posisi bersandar, makanan tidak mudah turun ke saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena posisi tersebut dapat memberikan tekanan pada lambung, sehingga tidak dapat membuka maksimal untuk menerima makanan. Selain itu, lambung menjadi miring dan tidak dalam posisi tegak, sehingga makanan sulit masuk dengan lancar. Kondisi seperti ini tentu tidak lepas dari potensi bahaya (mudarat) bagi tubuh. [2] Oleh karena itu, yang lebih afdal dan terbaik adalah seseorang duduk dengan posisi tegak dan tidak condong (miring), sehingga makanan dan minuman dapat turun ke saluran pencernaan dengan mudah dan lancar. Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muttaki’ dalam hadis ini adalah orang yang bersandar pada alas yang ada di bawahnya, seperti bantal, karpet tebal, atau kasur lipat. Setiap orang yang duduk tegak di atas alas seperti itu dianggap bersandar. Makna dari hadis ini, menurut Al-Khattabi rahimahullah, adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dengan duduk di atas alas atau bantal seperti orang yang ingin menikmati banyak makanan dan memilih berbagai jenis hidangan yang banyak. Sebaliknya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam makan secukupnya, hanya untuk menghilangkan rasa lapar, dan mengambil makanan dalam jumlah yang mencukupi (tidak berlebih-lebihan). Oleh karena itu, posisi duduk beliau ketika makan adalah dalam keadaan tegak dan tidak bersandar. [3] Penafsiran Al-Khattabi rahimahullah tentang al-ittika’ (bersandar) yang dikatakan sebagai duduk bersila di atas alas, telah diikuti oleh beberapa ulama, termasuk Ibnul Atsir rahimahullah. [4] Akan tetapi, tafsir ini perlu ditinjau kembali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam kitab-kitab lughah (bahasa Arab) bahwa istilah al-ittika’ bermakna demikian. [5] Pendapat ini diperkuat oleh hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, di mana disebutkan bahwa, وكان متكئًا فجلس “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bersandar, lalu beliau duduk.” Masalah ini memerlukan penelitian lebih lanjut dalam kitab-kitab bahasa (lughah) untuk memastikan apakah istilah al-ittika’ dapat digunakan untuk menggambarkan posisi duduk bersila di atas alas (at-tarabbu’). Jika ditemukan bahwa penggunaan ini benar, maka pendapat Al-Khattabi rahimahullah dapat diterima. Namun, jika tidak, maka yang lebih kuat adalah tafsir yang lebih umum dan terkenal, yaitu bahwa al-ittika’ berarti bersandar (condong pada salah satu sisi tubuh). Ibnul Jauzi rahimahullah dengan tegas menyatakan bahwa al-ittika’ adalah bersandar dengan miring pada salah satu sisi tubuh, dan beliau tidak mengindahkan penolakan Al-Khattabi rahimahullah terhadap pengertian ini. [6] Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berpendapat bahwa duduk bersila (at-tarabbu’) tidak termasuk dalam makna al-ittikā’ (bersandar). Pendapat ini juga didukung oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [7] Tidak terdapat larangan yang tegas dalam syariat mengenai makan sambil bersandar, sehingga Imam Bukhari rahimahullah tidak menetapkan hukum secara pasti dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam judul bab yang beliau letakkan untuk hadis ini [8]. Namun, sikap yang terbaik adalah meninggalkan makan dalam keadaan bersandar sebagai bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan sambil bersandar hukumnya makruh. Para ulama menyebutkan bahwa posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan bertumpu pada kedua lutut dan punggung kaki, atau dengan menegakkan telapak kaki kanan dan duduk di atas telapak kaki kiri. [9] Namun, mereka tidak menyebutkan dalil khusus untuk anjuran ini. Dalam hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan, رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam posisi iq’a’ saat makan kurma.” (HR. Muslim no. 2044) Iq‘a’ adalah posisi duduk dengan menegakkan kedua betis, lalu pantat menduduki tumit. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa posisi tubuh yang paling baik saat makan adalah yang sesuai dengan kondisi alami anggota tubuh. Posisi ini tercapai ketika seseorang duduk dalam keadaan tegak secara alami. Sebaliknya, posisi yang paling buruk saat makan adalah sambil bersandar (al-ittika’), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [10] Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [11] Baca juga: Hukum Memakan Ulat *** @Fall, 18 Jumadil awal 1446/ 20 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ghidha’ Al-Albab, 2: 111. [2] An-Nihayah, 1: 193; Zaadul Ma’ad, 4: 221. [3] Ma’alim As-Sunan, 5: 301. [4] An-Nihayah, 1: 193. [5] Kasyful Musykil min Haditsi Ash-Shahihain, 1: 439; karya Ibnul Jauzi. [6] Syarh Al-Munawi ‘ala Asy-Syamail, hal. 227. [7] Syarhul Mumti’, 12: 377. [8] Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadis ini dalam kitab Al-‘Ath’imah, di bawah judul bab, “Makan sambil bersandar.” [9] Lihat Fathul Baari, 9: 542. [10] Zaadul Ma’ad, 4: 221. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 436-438). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Tetaplah Berpegang Teguh dengan Agama, Walaupun Manusia Menyimpang

Daftar Isi Toggle Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaranSikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakatKesabaran di zaman penuh fitnah Agama Islam adalah jalan yang lurus dan benar, yang telah diturunkan oleh Allah Ta’ala sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia. Namun, di zaman penuh fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari jalan-Nya, meninggalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta terjerumus ke dalam jalan-jalan kesesatan. Di tengah tantangan ini, umat Islam harus tetap berpegang teguh pada agama, meskipun akan terasa berat dan mungkin membuat kita tampak asing di tengah-tengah masyarakat. Syekh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah pernah memberikan nasihat yang sangat relevan di zaman ini. Beliau mengatakan, تمسك بدينك ولو ضل أكثر الناس ولو أصبحت غريبا بين الناس ، اصبر على هذا ما دام إنك على حق ، لا يهمك أن ترضي فلانا ، أو تغضب فلانا ، لا عليك “Berpegang teguhlah kamu dengan agamamu, meskipun kebanyakan manusia ini telah (menjadi) sesat. Walaupun kamu akan menjadi orang yang asing di tengah-tengah manusia. Bersabarlah di atas perkara (agama) ini, selama kamu berada di atas Al-Haq (kebenaran). Janganlah merisaukanmu keridaanmu ataupun kebencianmu terhadap si fulan. Karena semua itu tidak akan membahayakanmu.” (Syarh Kitab Al-Fitan wal Hawadits, hal. 192) Nasihat ini mengajarkan kepada kita pentingnya istikamah (keteguhan hati) dalam berpegang pada agama, meskipun banyak orang di sekitar kita mungkin menyimpang dari kebenaran. Islam telah memberikan pedoman yang jelas melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tugas kita sebagai hamba Allah adalah tetap berada di jalan tersebut, meskipun jalan yang ditempuh oleh kebanyakan orang berlawanan dengan itu. Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaran Istikamah di atas agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Allah Ta’ala telah menyiapkan satu jalan yang lurus bagi hamba-hamba-Nya, yaitu agama Islam, dan Dia memperingatkan kita agar tidak mengikuti jalan-jalan lain yang dapat menyesatkan dan memecah-belah. Jalan yang lurus ini adalah tuntunan yang sudah jelas melalui wahyu Allah, dan tugas kita adalah mengikutinya dengan sepenuh hati, tanpa menyimpang ke jalan yang lain. Namun, untuk tetap berada di jalan ini tidaklah mudah. Seiring dengan berkembangnya zaman, berbagai fitnah dan cobaan datang silih berganti, menggoda manusia untuk keluar dari ajaran Islam yang murni. Oleh karenanya, diperlukan kesabaran dan keteguhan hati dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam itu dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan (ghuraba’).” (HR. Muslim no. 145) Saudaraku, inilah masa di mana seseorang yang berpegang teguh pada agama akan membuat seseorang tampak aneh atau terasing di mata kebanyakan orang. Tetapi, justru orang-orang yang terasing inilah yang dijanjikan keberuntungan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka tetap setia pada kebenaran, meskipun dunia di sekeliling mereka telah berubah. Baca juga: Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama Sikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakat Tidak bisa dipungkiri, di zaman yang penuh dengan fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari ajaran Islam. Sebagian dari mereka terjebak dalam materialisme, sebagian lainnya mengikuti ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama, dan tidak sedikit yang meremehkan syariat Islam. Di tengah keadaan seperti ini, kita harus tetap kokoh berpegang pada prinsip-prinsip agama, walaupun terasa sulit. Allah Ta’ala berfirman, ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ “Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya, sangat sedikit dari kalian yang mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf: 3) Ikutilah jalan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jangan pernah terpengaruh oleh pihak-pihak yang menyimpang dari kebenaran. Allah juga memperingatkan bahwa hanya sedikit orang yang mengambil pelajaran dari peringatan-Nya, yang menunjukkan bahwa mayoritas manusia cenderung tersesat dari jalan yang benar. Namun, ini tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَوَلَّوْا۟ عَنْهُ وَأَنتُمْ تَسْمَعُونَ “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedangkan kalian mendengar (apa yang diserukan atas kalian).” (QS. Al-Anfal: 20) Di tengah berbagai godaan dunia dan seruan-seruan yang menyesatkan, kita harus selalu mengingat bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang paling utama. Meskipun hal ini mungkin membuat kita berseberangan dengan banyak orang, namun selama kita tetap di atas kebenaran, kita tidak perlu khawatir. Kesabaran di zaman penuh fitnah Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi tantangan di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah menekankan pentingnya bersabar ketika kita berpegang pada kebenaran, meskipun dunia di sekitar kita mungkin menolak atau bahkan memusuhi kita. Selama kita berada di atas jalan yang benar, keridaan atau kebencian manusia tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Pahala bagi orang-orang yang bersabar tidak terbatas. Ini adalah motivasi besar bagi kita untuk tetap teguh dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini, terutama ketika menghadapi berbagai cobaan dan tekanan dari masyarakat yang semakin jauh dari tuntunan agama. Oleh karenanya, meskipun berpegang teguh pada agama Islam adalah sebuah tantangan yang besar. Namun, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, kita harus tetap kokoh dalam memegang kebenaran, meskipun kita menjadi asing di tengah masyarakat. Kesabaran dan keteguhan hati adalah kunci untuk tetap istikamah di atas jalan yang lurus ini. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita hidayah dan kekuatan untuk tetap berpegang teguh pada agama-Nya, serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Tahdzir Terhadap Dai Menyimpang, Bukan Berarti Merasa Suci *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Tetaplah Berpegang Teguh dengan Agama, Walaupun Manusia Menyimpang

Daftar Isi Toggle Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaranSikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakatKesabaran di zaman penuh fitnah Agama Islam adalah jalan yang lurus dan benar, yang telah diturunkan oleh Allah Ta’ala sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia. Namun, di zaman penuh fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari jalan-Nya, meninggalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta terjerumus ke dalam jalan-jalan kesesatan. Di tengah tantangan ini, umat Islam harus tetap berpegang teguh pada agama, meskipun akan terasa berat dan mungkin membuat kita tampak asing di tengah-tengah masyarakat. Syekh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah pernah memberikan nasihat yang sangat relevan di zaman ini. Beliau mengatakan, تمسك بدينك ولو ضل أكثر الناس ولو أصبحت غريبا بين الناس ، اصبر على هذا ما دام إنك على حق ، لا يهمك أن ترضي فلانا ، أو تغضب فلانا ، لا عليك “Berpegang teguhlah kamu dengan agamamu, meskipun kebanyakan manusia ini telah (menjadi) sesat. Walaupun kamu akan menjadi orang yang asing di tengah-tengah manusia. Bersabarlah di atas perkara (agama) ini, selama kamu berada di atas Al-Haq (kebenaran). Janganlah merisaukanmu keridaanmu ataupun kebencianmu terhadap si fulan. Karena semua itu tidak akan membahayakanmu.” (Syarh Kitab Al-Fitan wal Hawadits, hal. 192) Nasihat ini mengajarkan kepada kita pentingnya istikamah (keteguhan hati) dalam berpegang pada agama, meskipun banyak orang di sekitar kita mungkin menyimpang dari kebenaran. Islam telah memberikan pedoman yang jelas melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tugas kita sebagai hamba Allah adalah tetap berada di jalan tersebut, meskipun jalan yang ditempuh oleh kebanyakan orang berlawanan dengan itu. Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaran Istikamah di atas agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Allah Ta’ala telah menyiapkan satu jalan yang lurus bagi hamba-hamba-Nya, yaitu agama Islam, dan Dia memperingatkan kita agar tidak mengikuti jalan-jalan lain yang dapat menyesatkan dan memecah-belah. Jalan yang lurus ini adalah tuntunan yang sudah jelas melalui wahyu Allah, dan tugas kita adalah mengikutinya dengan sepenuh hati, tanpa menyimpang ke jalan yang lain. Namun, untuk tetap berada di jalan ini tidaklah mudah. Seiring dengan berkembangnya zaman, berbagai fitnah dan cobaan datang silih berganti, menggoda manusia untuk keluar dari ajaran Islam yang murni. Oleh karenanya, diperlukan kesabaran dan keteguhan hati dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam itu dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan (ghuraba’).” (HR. Muslim no. 145) Saudaraku, inilah masa di mana seseorang yang berpegang teguh pada agama akan membuat seseorang tampak aneh atau terasing di mata kebanyakan orang. Tetapi, justru orang-orang yang terasing inilah yang dijanjikan keberuntungan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka tetap setia pada kebenaran, meskipun dunia di sekeliling mereka telah berubah. Baca juga: Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama Sikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakat Tidak bisa dipungkiri, di zaman yang penuh dengan fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari ajaran Islam. Sebagian dari mereka terjebak dalam materialisme, sebagian lainnya mengikuti ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama, dan tidak sedikit yang meremehkan syariat Islam. Di tengah keadaan seperti ini, kita harus tetap kokoh berpegang pada prinsip-prinsip agama, walaupun terasa sulit. Allah Ta’ala berfirman, ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ “Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya, sangat sedikit dari kalian yang mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf: 3) Ikutilah jalan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jangan pernah terpengaruh oleh pihak-pihak yang menyimpang dari kebenaran. Allah juga memperingatkan bahwa hanya sedikit orang yang mengambil pelajaran dari peringatan-Nya, yang menunjukkan bahwa mayoritas manusia cenderung tersesat dari jalan yang benar. Namun, ini tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَوَلَّوْا۟ عَنْهُ وَأَنتُمْ تَسْمَعُونَ “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedangkan kalian mendengar (apa yang diserukan atas kalian).” (QS. Al-Anfal: 20) Di tengah berbagai godaan dunia dan seruan-seruan yang menyesatkan, kita harus selalu mengingat bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang paling utama. Meskipun hal ini mungkin membuat kita berseberangan dengan banyak orang, namun selama kita tetap di atas kebenaran, kita tidak perlu khawatir. Kesabaran di zaman penuh fitnah Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi tantangan di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah menekankan pentingnya bersabar ketika kita berpegang pada kebenaran, meskipun dunia di sekitar kita mungkin menolak atau bahkan memusuhi kita. Selama kita berada di atas jalan yang benar, keridaan atau kebencian manusia tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Pahala bagi orang-orang yang bersabar tidak terbatas. Ini adalah motivasi besar bagi kita untuk tetap teguh dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini, terutama ketika menghadapi berbagai cobaan dan tekanan dari masyarakat yang semakin jauh dari tuntunan agama. Oleh karenanya, meskipun berpegang teguh pada agama Islam adalah sebuah tantangan yang besar. Namun, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, kita harus tetap kokoh dalam memegang kebenaran, meskipun kita menjadi asing di tengah masyarakat. Kesabaran dan keteguhan hati adalah kunci untuk tetap istikamah di atas jalan yang lurus ini. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita hidayah dan kekuatan untuk tetap berpegang teguh pada agama-Nya, serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Tahdzir Terhadap Dai Menyimpang, Bukan Berarti Merasa Suci *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaranSikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakatKesabaran di zaman penuh fitnah Agama Islam adalah jalan yang lurus dan benar, yang telah diturunkan oleh Allah Ta’ala sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia. Namun, di zaman penuh fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari jalan-Nya, meninggalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta terjerumus ke dalam jalan-jalan kesesatan. Di tengah tantangan ini, umat Islam harus tetap berpegang teguh pada agama, meskipun akan terasa berat dan mungkin membuat kita tampak asing di tengah-tengah masyarakat. Syekh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah pernah memberikan nasihat yang sangat relevan di zaman ini. Beliau mengatakan, تمسك بدينك ولو ضل أكثر الناس ولو أصبحت غريبا بين الناس ، اصبر على هذا ما دام إنك على حق ، لا يهمك أن ترضي فلانا ، أو تغضب فلانا ، لا عليك “Berpegang teguhlah kamu dengan agamamu, meskipun kebanyakan manusia ini telah (menjadi) sesat. Walaupun kamu akan menjadi orang yang asing di tengah-tengah manusia. Bersabarlah di atas perkara (agama) ini, selama kamu berada di atas Al-Haq (kebenaran). Janganlah merisaukanmu keridaanmu ataupun kebencianmu terhadap si fulan. Karena semua itu tidak akan membahayakanmu.” (Syarh Kitab Al-Fitan wal Hawadits, hal. 192) Nasihat ini mengajarkan kepada kita pentingnya istikamah (keteguhan hati) dalam berpegang pada agama, meskipun banyak orang di sekitar kita mungkin menyimpang dari kebenaran. Islam telah memberikan pedoman yang jelas melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tugas kita sebagai hamba Allah adalah tetap berada di jalan tersebut, meskipun jalan yang ditempuh oleh kebanyakan orang berlawanan dengan itu. Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaran Istikamah di atas agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Allah Ta’ala telah menyiapkan satu jalan yang lurus bagi hamba-hamba-Nya, yaitu agama Islam, dan Dia memperingatkan kita agar tidak mengikuti jalan-jalan lain yang dapat menyesatkan dan memecah-belah. Jalan yang lurus ini adalah tuntunan yang sudah jelas melalui wahyu Allah, dan tugas kita adalah mengikutinya dengan sepenuh hati, tanpa menyimpang ke jalan yang lain. Namun, untuk tetap berada di jalan ini tidaklah mudah. Seiring dengan berkembangnya zaman, berbagai fitnah dan cobaan datang silih berganti, menggoda manusia untuk keluar dari ajaran Islam yang murni. Oleh karenanya, diperlukan kesabaran dan keteguhan hati dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam itu dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan (ghuraba’).” (HR. Muslim no. 145) Saudaraku, inilah masa di mana seseorang yang berpegang teguh pada agama akan membuat seseorang tampak aneh atau terasing di mata kebanyakan orang. Tetapi, justru orang-orang yang terasing inilah yang dijanjikan keberuntungan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka tetap setia pada kebenaran, meskipun dunia di sekeliling mereka telah berubah. Baca juga: Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama Sikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakat Tidak bisa dipungkiri, di zaman yang penuh dengan fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari ajaran Islam. Sebagian dari mereka terjebak dalam materialisme, sebagian lainnya mengikuti ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama, dan tidak sedikit yang meremehkan syariat Islam. Di tengah keadaan seperti ini, kita harus tetap kokoh berpegang pada prinsip-prinsip agama, walaupun terasa sulit. Allah Ta’ala berfirman, ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ “Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya, sangat sedikit dari kalian yang mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf: 3) Ikutilah jalan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jangan pernah terpengaruh oleh pihak-pihak yang menyimpang dari kebenaran. Allah juga memperingatkan bahwa hanya sedikit orang yang mengambil pelajaran dari peringatan-Nya, yang menunjukkan bahwa mayoritas manusia cenderung tersesat dari jalan yang benar. Namun, ini tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَوَلَّوْا۟ عَنْهُ وَأَنتُمْ تَسْمَعُونَ “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedangkan kalian mendengar (apa yang diserukan atas kalian).” (QS. Al-Anfal: 20) Di tengah berbagai godaan dunia dan seruan-seruan yang menyesatkan, kita harus selalu mengingat bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang paling utama. Meskipun hal ini mungkin membuat kita berseberangan dengan banyak orang, namun selama kita tetap di atas kebenaran, kita tidak perlu khawatir. Kesabaran di zaman penuh fitnah Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi tantangan di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah menekankan pentingnya bersabar ketika kita berpegang pada kebenaran, meskipun dunia di sekitar kita mungkin menolak atau bahkan memusuhi kita. Selama kita berada di atas jalan yang benar, keridaan atau kebencian manusia tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Pahala bagi orang-orang yang bersabar tidak terbatas. Ini adalah motivasi besar bagi kita untuk tetap teguh dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini, terutama ketika menghadapi berbagai cobaan dan tekanan dari masyarakat yang semakin jauh dari tuntunan agama. Oleh karenanya, meskipun berpegang teguh pada agama Islam adalah sebuah tantangan yang besar. Namun, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, kita harus tetap kokoh dalam memegang kebenaran, meskipun kita menjadi asing di tengah masyarakat. Kesabaran dan keteguhan hati adalah kunci untuk tetap istikamah di atas jalan yang lurus ini. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita hidayah dan kekuatan untuk tetap berpegang teguh pada agama-Nya, serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Tahdzir Terhadap Dai Menyimpang, Bukan Berarti Merasa Suci *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaranSikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakatKesabaran di zaman penuh fitnah Agama Islam adalah jalan yang lurus dan benar, yang telah diturunkan oleh Allah Ta’ala sebagai petunjuk hidup bagi umat manusia. Namun, di zaman penuh fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari jalan-Nya, meninggalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta terjerumus ke dalam jalan-jalan kesesatan. Di tengah tantangan ini, umat Islam harus tetap berpegang teguh pada agama, meskipun akan terasa berat dan mungkin membuat kita tampak asing di tengah-tengah masyarakat. Syekh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah pernah memberikan nasihat yang sangat relevan di zaman ini. Beliau mengatakan, تمسك بدينك ولو ضل أكثر الناس ولو أصبحت غريبا بين الناس ، اصبر على هذا ما دام إنك على حق ، لا يهمك أن ترضي فلانا ، أو تغضب فلانا ، لا عليك “Berpegang teguhlah kamu dengan agamamu, meskipun kebanyakan manusia ini telah (menjadi) sesat. Walaupun kamu akan menjadi orang yang asing di tengah-tengah manusia. Bersabarlah di atas perkara (agama) ini, selama kamu berada di atas Al-Haq (kebenaran). Janganlah merisaukanmu keridaanmu ataupun kebencianmu terhadap si fulan. Karena semua itu tidak akan membahayakanmu.” (Syarh Kitab Al-Fitan wal Hawadits, hal. 192) Nasihat ini mengajarkan kepada kita pentingnya istikamah (keteguhan hati) dalam berpegang pada agama, meskipun banyak orang di sekitar kita mungkin menyimpang dari kebenaran. Islam telah memberikan pedoman yang jelas melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tugas kita sebagai hamba Allah adalah tetap berada di jalan tersebut, meskipun jalan yang ditempuh oleh kebanyakan orang berlawanan dengan itu. Keutamaan istikamah di atas jalan kebenaran Istikamah di atas agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Allah Ta’ala telah menyiapkan satu jalan yang lurus bagi hamba-hamba-Nya, yaitu agama Islam, dan Dia memperingatkan kita agar tidak mengikuti jalan-jalan lain yang dapat menyesatkan dan memecah-belah. Jalan yang lurus ini adalah tuntunan yang sudah jelas melalui wahyu Allah, dan tugas kita adalah mengikutinya dengan sepenuh hati, tanpa menyimpang ke jalan yang lain. Namun, untuk tetap berada di jalan ini tidaklah mudah. Seiring dengan berkembangnya zaman, berbagai fitnah dan cobaan datang silih berganti, menggoda manusia untuk keluar dari ajaran Islam yang murni. Oleh karenanya, diperlukan kesabaran dan keteguhan hati dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “Islam itu dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan (ghuraba’).” (HR. Muslim no. 145) Saudaraku, inilah masa di mana seseorang yang berpegang teguh pada agama akan membuat seseorang tampak aneh atau terasing di mata kebanyakan orang. Tetapi, justru orang-orang yang terasing inilah yang dijanjikan keberuntungan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka tetap setia pada kebenaran, meskipun dunia di sekeliling mereka telah berubah. Baca juga: Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama Sikap terhadap penyimpangan di tengah masyarakat Tidak bisa dipungkiri, di zaman yang penuh dengan fitnah ini, semakin banyak orang yang menyimpang dari ajaran Islam. Sebagian dari mereka terjebak dalam materialisme, sebagian lainnya mengikuti ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama, dan tidak sedikit yang meremehkan syariat Islam. Di tengah keadaan seperti ini, kita harus tetap kokoh berpegang pada prinsip-prinsip agama, walaupun terasa sulit. Allah Ta’ala berfirman, ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ “Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya, sangat sedikit dari kalian yang mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf: 3) Ikutilah jalan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jangan pernah terpengaruh oleh pihak-pihak yang menyimpang dari kebenaran. Allah juga memperingatkan bahwa hanya sedikit orang yang mengambil pelajaran dari peringatan-Nya, yang menunjukkan bahwa mayoritas manusia cenderung tersesat dari jalan yang benar. Namun, ini tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala juga berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَوَلَّوْا۟ عَنْهُ وَأَنتُمْ تَسْمَعُونَ “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedangkan kalian mendengar (apa yang diserukan atas kalian).” (QS. Al-Anfal: 20) Di tengah berbagai godaan dunia dan seruan-seruan yang menyesatkan, kita harus selalu mengingat bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang paling utama. Meskipun hal ini mungkin membuat kita berseberangan dengan banyak orang, namun selama kita tetap di atas kebenaran, kita tidak perlu khawatir. Kesabaran di zaman penuh fitnah Kesabaran adalah kunci dalam menghadapi tantangan di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah menekankan pentingnya bersabar ketika kita berpegang pada kebenaran, meskipun dunia di sekitar kita mungkin menolak atau bahkan memusuhi kita. Selama kita berada di atas jalan yang benar, keridaan atau kebencian manusia tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) Pahala bagi orang-orang yang bersabar tidak terbatas. Ini adalah motivasi besar bagi kita untuk tetap teguh dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini, terutama ketika menghadapi berbagai cobaan dan tekanan dari masyarakat yang semakin jauh dari tuntunan agama. Oleh karenanya, meskipun berpegang teguh pada agama Islam adalah sebuah tantangan yang besar. Namun, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, kita harus tetap kokoh dalam memegang kebenaran, meskipun kita menjadi asing di tengah masyarakat. Kesabaran dan keteguhan hati adalah kunci untuk tetap istikamah di atas jalan yang lurus ini. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita hidayah dan kekuatan untuk tetap berpegang teguh pada agama-Nya, serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Tahdzir Terhadap Dai Menyimpang, Bukan Berarti Merasa Suci *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KeduaTeks Hadis KetigaTeks Hadis KeempatKandungan Hadis-Hadis di AtasKandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimahKandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimahPendapat pertama: wajibPendapat kedua: sunahPendapat yang lebih kuatKandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahanPendapat pertama: sunahPendapat kedua: wajibPendapat yang lebih kuat Teks Hadis Kedua Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia mendatanginya.” (HR. Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 1429) Teks Hadis Ketiga Dalam riwayat Muslim disebutkan, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhinya, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Teks Hadis Keempat Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, شَرُّ الطَّعامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ: يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا، وَيُدْعَى إِلَيهَا مَنْ يَأْبَاهَا، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Sejelek-jelek makanan walimah adalah: orang yang ingin datang (yaitu, orang-orang fakir dan miskin) tidak diundang, dan yang diundang justru menolak untuk datang (yaitu, orang-orang kaya). Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 110, 1432) Kandungan Hadis-Hadis di Atas Kandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimah Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa memenuhi undangan walimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslim; dan sebaiknya, dia tidak menolak untuk hadir, baik itu undangan walimah pernikahan maupun undangan jamuan lainnya. Memenuhi undangan semacam ini akan memberikan kebahagiaan kepada saudara sesama muslim yang mengundang, serta mempererat rasa persaudaraan dan hubungan antar teman, tetangga, dan kerabat. Pada jamuan-jamuan ini, orang-orang dapat berkumpul untuk berbincang, saling mengenal, saling menasihati, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Inilah bentuk jamuan orang-orang yang berilmu dan orang-orang mukmin. Kandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimah Pendapat pertama: wajib Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan untuk walimah pernikahan adalah wajib. Bahkan, beberapa ulama seperti Ibnu Abdil Barr dan Al-Qadhi Iyadh rahimahumallah menyebutkan adanya ijmak dalam hal ini. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, لا أعلم خلافًا في وجوب إتيان الوليمة لمن دعي إليها إذا لم يكن فيها منكر ولهو “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang wajibnya menghadiri undangan walimah, selama tidak ada kemungkaran atau hiburan yang melalaikan di dalamnya.” [1] Namun, klaim adanya ijmak ini perlu ditinjau kembali. Pendapat mengenai kewajiban memenuhi undangan walimah adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama: Adanya dalil berupa perintah tanpa ada tambahan keterangan atau indikator lain (yang memalingkan dari hukum wajib), maka hal itu menunjukkan adanya hukum wajib. Kedua: Seseorang dianggap berdosa (durhaka) jika tidak memenuhi undangan walimah, dan dosa tidaklah dikenakan kecuali karena meninggalkan sesuatu yang wajib (dalam hadis di atas disebutkan bahwa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya). Pendapat kedua: sunah Adapun sejumlah ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menghadiri undangan walimah adalah sunah, tidak sampai derajat wajib. Dalam kitab Al-Inshaf [2] disebutkan bahwa ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun pendapat tersebut tidak ditemukan dalam Al-Fatawa atau Al-Ikhtiyarat. Adapun yang terdapat dalam Al-Fataawa, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa hukumnya wajib [3]. Dalam kitab Al-Hidayah (dari madzhab Hanafi) dinyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah sunah [4] karena dalam pandangan mereka, menghadiri undangan walimah berarti menerima kepemilikan makanan, sehingga tidak wajib seperti hal lainnya. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya, hukum mengadakan walimah adalah sunah, maka menghadiri undangan walimah juga hukumnya sunah. Beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah ada yang menyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah fardhu kifayah. Sebagai konsekuensinya, jika sebagian orang yang mencukupi sudah hadir, kewajiban atas yang lain menjadi gugur, karena tujuan walimah adalah untuk menyebarkan kabar pernikahan, dan hal ini sudah tercapai dengan hadirnya sebagian orang. Dapat dipahami dari argumentasi ini, seolah-olah mereka membatasi hikmah mengadakan walimah hanyalah untuk mengumumkan berita pernikahan saja [5]. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, karena dalilnya yang kuat. Hadis-hadisnya sahih dan tegas mengenai hukum wajib ini. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, والظاهر الوجوب، للأوامر الواردة بالإجابة من غير صارف لها عن الوجوب، ولجعل الذي لم يُجِبْ عاصيًا … “Yang lebih kuat adalah wajib, karena adanya perintah untuk memenuhi undangan tanpa ada indikator lain yang mengalihkannya (memalingkannya) dari hukum wajib, dan karena mereka yang tidak memenuhi undangan walimah dianggap berdosa … “ [6] Kandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahan Adapun undangan selain walimah pernikahan, seperti akikah, walimah dalam rangka menyambut kedatangan dari perjalanan jauh, dan yang semisalnya, terdapat dua pendapat mengenai hukum memenuhi undangan tersebut. Pendapat pertama: sunah Memenuhi undangan ini adalah sunah (dianjurkan). Ibnu Hajar rahimahullah menyandarkan pendapat ini kepada mayoritas ulama [7]. As-Sarkhasi rahimahullah dari mazhab Hanafi bahkan menyatakan adanya ijmak dalam hal ini, namun klaim tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima karena memang ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا دعي أحدكم إلى وليمة عرس فليجب “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah pernikahan (walimatul urs), maka hendaklah ia memenuhinya.” (HR. Muslim no. 98, 1429) Mereka (para ulama) berkata bahwa karena kewajiban ini dikhususkan untuk walimah pernikahan (walimatul urs), maka hal ini menunjukkan bahwa undangan selainnya tidak wajib dipenuhi. Sanggahan: dalam ilmu ushul fikih, yang semacam ini bukan pengkhususan (takhshish), karena hukumnya sama (sama-sama wajib). Misalnya, ada kalimat, “Semua siswa membawa buku.” Lalu ada kalimat, “Siswa Budi membawa buku.” Tidak bisa dipahami dari kedua kalimat tersebut bahwa hanya siswa Budi yang membawa buku, sedangkan selain Budi tidak membawa. Hal ini karena kedua kalimat tersebut menunjukkan hukum yang sama, yaitu “membawa buku.” Dalil kedua, hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berasal dari Persia pandai memasak kuah. Ia memasak sesuatu untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang mengundangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak undangannya. Kemudian ia datang untuk mengundang lagi, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak lagi. Ia datang untuk ketiga kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Bagaimana dengan Aisyah?” Kali ini tetangga itu menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri bersama Aisyah, dan mereka pergi bersama hingga tiba di rumahnya. (HR. Muslim no. 2037) Sanggahan: Ada kemungkinan bahwa bisa jadi penolakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh fakta bahwa orang Persia tersebut tidak menyetujui syarat yang diajukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kehadiran Aisyah radhiyallahu ‘anha. Namun, ketika dia menyetujuinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir memenuhi undangan tersebut. Pendapat kedua: wajib Memenuhi undangan ini adalah wajib, dan hukum memenuhi undangan seluruh jenis jamuan itu sama, yaitu wajib, baik itu walimah pernikahan atau jamuan lainnya. Ini adalah pendapat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagian tabi’in, mazhab Zhahiriyah, dan sebagian ulama Syafi’iyah [8]. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah dipenuhi, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Ini adalah dalil tegas yang bersifat umun untuk walimah apa saja. Dalil kedua, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kata (الدَّعْوَةَ) mengandung huruf alif lam istighraq, yang bermakna umum (dalam kaidah ilmu ushul fikih); maksudnya, undangan apa saja, baik undangan walimah nikah atau yang lainnya. Dalil ketiga, Nafi’ berkata, “Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أجيبوا هذه الدعوة إذا دعيتم لها “Penuhilah undangan ini jika kalian diundang.” Nafi’ berkata, “Abdullah biasa datang ke undangan pernikahan dan selain pernikahan, meskipun beliau sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 5179 dan Muslim no. 103, 1429) Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memahami bahwa huruf alif lam dalam kata (الدعوة) tersebut bersifat umum, sehingga beliau datang ke undangan pernikahan dan juga yang lainnya. Dalil keempat, hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi orang yang sakit, mengantar jenazah, menjawab (memenuhi) undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”  (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162) Dalam riwayat Muslim disebutkan, حق المسلم على المسلم ست، وفيه: وإذا دعاك فأجبه “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam, di antaranya: dan jika dia mengundangmu, maka penuhilah.” Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kedua (hukumnya wajib), karena kuatnya dalil-dalilnya dan juga praktik dari perawi yang sesuai dengan dalil yang diriwayatkannya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, من خص وجوب الإجابة بوليمة العرس فليس معه دليل فيما يظهر؛ لأن الولائم هي طعام السرور، فيعم العرس وغيره، والنبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “من لم يجب الدعوة” ولم يقل: دعوة العرس “Siapa saja yang mengkhususkan kewajiban menjawab (memenuhi) undangan hanya untuk walimah nikah saja, maka dia tidak memiliki dalil yang jelas. Karena walimah adalah jamuan makanan (dalam rangka merayakan) kebahagiaan, sehingga mencakup pernikahan dan lainnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يجب الدعوة ‘Siapa saja yang tidak menjawab undangan (yaitu, undangan apa saja, pent.),’ dan tidak mengatakan, ‘undangan pernikahan.'” Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @Fall, 26 Rabiul akhir 1446/ 29 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 10: 179; Ikmaalul Mu’lim, 4: 589; Al-Mughni, 10: 193. [2] Al-Inshaf, 8: 318. [3] Al-Fataawa, 32: 206. [4] Al-Hidayah, 4: 80. [5] Mughni Al-Muhtaj, 3: 245. [6] Nailul Authar, 6: 202. [7] Fathul Baari, 9: 244. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 413-419). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KeduaTeks Hadis KetigaTeks Hadis KeempatKandungan Hadis-Hadis di AtasKandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimahKandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimahPendapat pertama: wajibPendapat kedua: sunahPendapat yang lebih kuatKandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahanPendapat pertama: sunahPendapat kedua: wajibPendapat yang lebih kuat Teks Hadis Kedua Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia mendatanginya.” (HR. Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 1429) Teks Hadis Ketiga Dalam riwayat Muslim disebutkan, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhinya, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Teks Hadis Keempat Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, شَرُّ الطَّعامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ: يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا، وَيُدْعَى إِلَيهَا مَنْ يَأْبَاهَا، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Sejelek-jelek makanan walimah adalah: orang yang ingin datang (yaitu, orang-orang fakir dan miskin) tidak diundang, dan yang diundang justru menolak untuk datang (yaitu, orang-orang kaya). Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 110, 1432) Kandungan Hadis-Hadis di Atas Kandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimah Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa memenuhi undangan walimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslim; dan sebaiknya, dia tidak menolak untuk hadir, baik itu undangan walimah pernikahan maupun undangan jamuan lainnya. Memenuhi undangan semacam ini akan memberikan kebahagiaan kepada saudara sesama muslim yang mengundang, serta mempererat rasa persaudaraan dan hubungan antar teman, tetangga, dan kerabat. Pada jamuan-jamuan ini, orang-orang dapat berkumpul untuk berbincang, saling mengenal, saling menasihati, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Inilah bentuk jamuan orang-orang yang berilmu dan orang-orang mukmin. Kandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimah Pendapat pertama: wajib Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan untuk walimah pernikahan adalah wajib. Bahkan, beberapa ulama seperti Ibnu Abdil Barr dan Al-Qadhi Iyadh rahimahumallah menyebutkan adanya ijmak dalam hal ini. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, لا أعلم خلافًا في وجوب إتيان الوليمة لمن دعي إليها إذا لم يكن فيها منكر ولهو “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang wajibnya menghadiri undangan walimah, selama tidak ada kemungkaran atau hiburan yang melalaikan di dalamnya.” [1] Namun, klaim adanya ijmak ini perlu ditinjau kembali. Pendapat mengenai kewajiban memenuhi undangan walimah adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama: Adanya dalil berupa perintah tanpa ada tambahan keterangan atau indikator lain (yang memalingkan dari hukum wajib), maka hal itu menunjukkan adanya hukum wajib. Kedua: Seseorang dianggap berdosa (durhaka) jika tidak memenuhi undangan walimah, dan dosa tidaklah dikenakan kecuali karena meninggalkan sesuatu yang wajib (dalam hadis di atas disebutkan bahwa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya). Pendapat kedua: sunah Adapun sejumlah ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menghadiri undangan walimah adalah sunah, tidak sampai derajat wajib. Dalam kitab Al-Inshaf [2] disebutkan bahwa ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun pendapat tersebut tidak ditemukan dalam Al-Fatawa atau Al-Ikhtiyarat. Adapun yang terdapat dalam Al-Fataawa, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa hukumnya wajib [3]. Dalam kitab Al-Hidayah (dari madzhab Hanafi) dinyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah sunah [4] karena dalam pandangan mereka, menghadiri undangan walimah berarti menerima kepemilikan makanan, sehingga tidak wajib seperti hal lainnya. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya, hukum mengadakan walimah adalah sunah, maka menghadiri undangan walimah juga hukumnya sunah. Beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah ada yang menyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah fardhu kifayah. Sebagai konsekuensinya, jika sebagian orang yang mencukupi sudah hadir, kewajiban atas yang lain menjadi gugur, karena tujuan walimah adalah untuk menyebarkan kabar pernikahan, dan hal ini sudah tercapai dengan hadirnya sebagian orang. Dapat dipahami dari argumentasi ini, seolah-olah mereka membatasi hikmah mengadakan walimah hanyalah untuk mengumumkan berita pernikahan saja [5]. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, karena dalilnya yang kuat. Hadis-hadisnya sahih dan tegas mengenai hukum wajib ini. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, والظاهر الوجوب، للأوامر الواردة بالإجابة من غير صارف لها عن الوجوب، ولجعل الذي لم يُجِبْ عاصيًا … “Yang lebih kuat adalah wajib, karena adanya perintah untuk memenuhi undangan tanpa ada indikator lain yang mengalihkannya (memalingkannya) dari hukum wajib, dan karena mereka yang tidak memenuhi undangan walimah dianggap berdosa … “ [6] Kandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahan Adapun undangan selain walimah pernikahan, seperti akikah, walimah dalam rangka menyambut kedatangan dari perjalanan jauh, dan yang semisalnya, terdapat dua pendapat mengenai hukum memenuhi undangan tersebut. Pendapat pertama: sunah Memenuhi undangan ini adalah sunah (dianjurkan). Ibnu Hajar rahimahullah menyandarkan pendapat ini kepada mayoritas ulama [7]. As-Sarkhasi rahimahullah dari mazhab Hanafi bahkan menyatakan adanya ijmak dalam hal ini, namun klaim tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima karena memang ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا دعي أحدكم إلى وليمة عرس فليجب “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah pernikahan (walimatul urs), maka hendaklah ia memenuhinya.” (HR. Muslim no. 98, 1429) Mereka (para ulama) berkata bahwa karena kewajiban ini dikhususkan untuk walimah pernikahan (walimatul urs), maka hal ini menunjukkan bahwa undangan selainnya tidak wajib dipenuhi. Sanggahan: dalam ilmu ushul fikih, yang semacam ini bukan pengkhususan (takhshish), karena hukumnya sama (sama-sama wajib). Misalnya, ada kalimat, “Semua siswa membawa buku.” Lalu ada kalimat, “Siswa Budi membawa buku.” Tidak bisa dipahami dari kedua kalimat tersebut bahwa hanya siswa Budi yang membawa buku, sedangkan selain Budi tidak membawa. Hal ini karena kedua kalimat tersebut menunjukkan hukum yang sama, yaitu “membawa buku.” Dalil kedua, hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berasal dari Persia pandai memasak kuah. Ia memasak sesuatu untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang mengundangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak undangannya. Kemudian ia datang untuk mengundang lagi, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak lagi. Ia datang untuk ketiga kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Bagaimana dengan Aisyah?” Kali ini tetangga itu menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri bersama Aisyah, dan mereka pergi bersama hingga tiba di rumahnya. (HR. Muslim no. 2037) Sanggahan: Ada kemungkinan bahwa bisa jadi penolakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh fakta bahwa orang Persia tersebut tidak menyetujui syarat yang diajukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kehadiran Aisyah radhiyallahu ‘anha. Namun, ketika dia menyetujuinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir memenuhi undangan tersebut. Pendapat kedua: wajib Memenuhi undangan ini adalah wajib, dan hukum memenuhi undangan seluruh jenis jamuan itu sama, yaitu wajib, baik itu walimah pernikahan atau jamuan lainnya. Ini adalah pendapat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagian tabi’in, mazhab Zhahiriyah, dan sebagian ulama Syafi’iyah [8]. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah dipenuhi, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Ini adalah dalil tegas yang bersifat umun untuk walimah apa saja. Dalil kedua, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kata (الدَّعْوَةَ) mengandung huruf alif lam istighraq, yang bermakna umum (dalam kaidah ilmu ushul fikih); maksudnya, undangan apa saja, baik undangan walimah nikah atau yang lainnya. Dalil ketiga, Nafi’ berkata, “Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أجيبوا هذه الدعوة إذا دعيتم لها “Penuhilah undangan ini jika kalian diundang.” Nafi’ berkata, “Abdullah biasa datang ke undangan pernikahan dan selain pernikahan, meskipun beliau sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 5179 dan Muslim no. 103, 1429) Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memahami bahwa huruf alif lam dalam kata (الدعوة) tersebut bersifat umum, sehingga beliau datang ke undangan pernikahan dan juga yang lainnya. Dalil keempat, hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi orang yang sakit, mengantar jenazah, menjawab (memenuhi) undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”  (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162) Dalam riwayat Muslim disebutkan, حق المسلم على المسلم ست، وفيه: وإذا دعاك فأجبه “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam, di antaranya: dan jika dia mengundangmu, maka penuhilah.” Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kedua (hukumnya wajib), karena kuatnya dalil-dalilnya dan juga praktik dari perawi yang sesuai dengan dalil yang diriwayatkannya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, من خص وجوب الإجابة بوليمة العرس فليس معه دليل فيما يظهر؛ لأن الولائم هي طعام السرور، فيعم العرس وغيره، والنبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “من لم يجب الدعوة” ولم يقل: دعوة العرس “Siapa saja yang mengkhususkan kewajiban menjawab (memenuhi) undangan hanya untuk walimah nikah saja, maka dia tidak memiliki dalil yang jelas. Karena walimah adalah jamuan makanan (dalam rangka merayakan) kebahagiaan, sehingga mencakup pernikahan dan lainnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يجب الدعوة ‘Siapa saja yang tidak menjawab undangan (yaitu, undangan apa saja, pent.),’ dan tidak mengatakan, ‘undangan pernikahan.'” Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @Fall, 26 Rabiul akhir 1446/ 29 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 10: 179; Ikmaalul Mu’lim, 4: 589; Al-Mughni, 10: 193. [2] Al-Inshaf, 8: 318. [3] Al-Fataawa, 32: 206. [4] Al-Hidayah, 4: 80. [5] Mughni Al-Muhtaj, 3: 245. [6] Nailul Authar, 6: 202. [7] Fathul Baari, 9: 244. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 413-419). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KeduaTeks Hadis KetigaTeks Hadis KeempatKandungan Hadis-Hadis di AtasKandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimahKandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimahPendapat pertama: wajibPendapat kedua: sunahPendapat yang lebih kuatKandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahanPendapat pertama: sunahPendapat kedua: wajibPendapat yang lebih kuat Teks Hadis Kedua Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia mendatanginya.” (HR. Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 1429) Teks Hadis Ketiga Dalam riwayat Muslim disebutkan, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhinya, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Teks Hadis Keempat Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, شَرُّ الطَّعامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ: يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا، وَيُدْعَى إِلَيهَا مَنْ يَأْبَاهَا، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Sejelek-jelek makanan walimah adalah: orang yang ingin datang (yaitu, orang-orang fakir dan miskin) tidak diundang, dan yang diundang justru menolak untuk datang (yaitu, orang-orang kaya). Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 110, 1432) Kandungan Hadis-Hadis di Atas Kandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimah Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa memenuhi undangan walimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslim; dan sebaiknya, dia tidak menolak untuk hadir, baik itu undangan walimah pernikahan maupun undangan jamuan lainnya. Memenuhi undangan semacam ini akan memberikan kebahagiaan kepada saudara sesama muslim yang mengundang, serta mempererat rasa persaudaraan dan hubungan antar teman, tetangga, dan kerabat. Pada jamuan-jamuan ini, orang-orang dapat berkumpul untuk berbincang, saling mengenal, saling menasihati, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Inilah bentuk jamuan orang-orang yang berilmu dan orang-orang mukmin. Kandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimah Pendapat pertama: wajib Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan untuk walimah pernikahan adalah wajib. Bahkan, beberapa ulama seperti Ibnu Abdil Barr dan Al-Qadhi Iyadh rahimahumallah menyebutkan adanya ijmak dalam hal ini. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, لا أعلم خلافًا في وجوب إتيان الوليمة لمن دعي إليها إذا لم يكن فيها منكر ولهو “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang wajibnya menghadiri undangan walimah, selama tidak ada kemungkaran atau hiburan yang melalaikan di dalamnya.” [1] Namun, klaim adanya ijmak ini perlu ditinjau kembali. Pendapat mengenai kewajiban memenuhi undangan walimah adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama: Adanya dalil berupa perintah tanpa ada tambahan keterangan atau indikator lain (yang memalingkan dari hukum wajib), maka hal itu menunjukkan adanya hukum wajib. Kedua: Seseorang dianggap berdosa (durhaka) jika tidak memenuhi undangan walimah, dan dosa tidaklah dikenakan kecuali karena meninggalkan sesuatu yang wajib (dalam hadis di atas disebutkan bahwa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya). Pendapat kedua: sunah Adapun sejumlah ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menghadiri undangan walimah adalah sunah, tidak sampai derajat wajib. Dalam kitab Al-Inshaf [2] disebutkan bahwa ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun pendapat tersebut tidak ditemukan dalam Al-Fatawa atau Al-Ikhtiyarat. Adapun yang terdapat dalam Al-Fataawa, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa hukumnya wajib [3]. Dalam kitab Al-Hidayah (dari madzhab Hanafi) dinyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah sunah [4] karena dalam pandangan mereka, menghadiri undangan walimah berarti menerima kepemilikan makanan, sehingga tidak wajib seperti hal lainnya. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya, hukum mengadakan walimah adalah sunah, maka menghadiri undangan walimah juga hukumnya sunah. Beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah ada yang menyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah fardhu kifayah. Sebagai konsekuensinya, jika sebagian orang yang mencukupi sudah hadir, kewajiban atas yang lain menjadi gugur, karena tujuan walimah adalah untuk menyebarkan kabar pernikahan, dan hal ini sudah tercapai dengan hadirnya sebagian orang. Dapat dipahami dari argumentasi ini, seolah-olah mereka membatasi hikmah mengadakan walimah hanyalah untuk mengumumkan berita pernikahan saja [5]. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, karena dalilnya yang kuat. Hadis-hadisnya sahih dan tegas mengenai hukum wajib ini. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, والظاهر الوجوب، للأوامر الواردة بالإجابة من غير صارف لها عن الوجوب، ولجعل الذي لم يُجِبْ عاصيًا … “Yang lebih kuat adalah wajib, karena adanya perintah untuk memenuhi undangan tanpa ada indikator lain yang mengalihkannya (memalingkannya) dari hukum wajib, dan karena mereka yang tidak memenuhi undangan walimah dianggap berdosa … “ [6] Kandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahan Adapun undangan selain walimah pernikahan, seperti akikah, walimah dalam rangka menyambut kedatangan dari perjalanan jauh, dan yang semisalnya, terdapat dua pendapat mengenai hukum memenuhi undangan tersebut. Pendapat pertama: sunah Memenuhi undangan ini adalah sunah (dianjurkan). Ibnu Hajar rahimahullah menyandarkan pendapat ini kepada mayoritas ulama [7]. As-Sarkhasi rahimahullah dari mazhab Hanafi bahkan menyatakan adanya ijmak dalam hal ini, namun klaim tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima karena memang ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا دعي أحدكم إلى وليمة عرس فليجب “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah pernikahan (walimatul urs), maka hendaklah ia memenuhinya.” (HR. Muslim no. 98, 1429) Mereka (para ulama) berkata bahwa karena kewajiban ini dikhususkan untuk walimah pernikahan (walimatul urs), maka hal ini menunjukkan bahwa undangan selainnya tidak wajib dipenuhi. Sanggahan: dalam ilmu ushul fikih, yang semacam ini bukan pengkhususan (takhshish), karena hukumnya sama (sama-sama wajib). Misalnya, ada kalimat, “Semua siswa membawa buku.” Lalu ada kalimat, “Siswa Budi membawa buku.” Tidak bisa dipahami dari kedua kalimat tersebut bahwa hanya siswa Budi yang membawa buku, sedangkan selain Budi tidak membawa. Hal ini karena kedua kalimat tersebut menunjukkan hukum yang sama, yaitu “membawa buku.” Dalil kedua, hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berasal dari Persia pandai memasak kuah. Ia memasak sesuatu untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang mengundangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak undangannya. Kemudian ia datang untuk mengundang lagi, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak lagi. Ia datang untuk ketiga kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Bagaimana dengan Aisyah?” Kali ini tetangga itu menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri bersama Aisyah, dan mereka pergi bersama hingga tiba di rumahnya. (HR. Muslim no. 2037) Sanggahan: Ada kemungkinan bahwa bisa jadi penolakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh fakta bahwa orang Persia tersebut tidak menyetujui syarat yang diajukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kehadiran Aisyah radhiyallahu ‘anha. Namun, ketika dia menyetujuinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir memenuhi undangan tersebut. Pendapat kedua: wajib Memenuhi undangan ini adalah wajib, dan hukum memenuhi undangan seluruh jenis jamuan itu sama, yaitu wajib, baik itu walimah pernikahan atau jamuan lainnya. Ini adalah pendapat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagian tabi’in, mazhab Zhahiriyah, dan sebagian ulama Syafi’iyah [8]. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah dipenuhi, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Ini adalah dalil tegas yang bersifat umun untuk walimah apa saja. Dalil kedua, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kata (الدَّعْوَةَ) mengandung huruf alif lam istighraq, yang bermakna umum (dalam kaidah ilmu ushul fikih); maksudnya, undangan apa saja, baik undangan walimah nikah atau yang lainnya. Dalil ketiga, Nafi’ berkata, “Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أجيبوا هذه الدعوة إذا دعيتم لها “Penuhilah undangan ini jika kalian diundang.” Nafi’ berkata, “Abdullah biasa datang ke undangan pernikahan dan selain pernikahan, meskipun beliau sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 5179 dan Muslim no. 103, 1429) Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memahami bahwa huruf alif lam dalam kata (الدعوة) tersebut bersifat umum, sehingga beliau datang ke undangan pernikahan dan juga yang lainnya. Dalil keempat, hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi orang yang sakit, mengantar jenazah, menjawab (memenuhi) undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”  (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162) Dalam riwayat Muslim disebutkan, حق المسلم على المسلم ست، وفيه: وإذا دعاك فأجبه “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam, di antaranya: dan jika dia mengundangmu, maka penuhilah.” Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kedua (hukumnya wajib), karena kuatnya dalil-dalilnya dan juga praktik dari perawi yang sesuai dengan dalil yang diriwayatkannya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, من خص وجوب الإجابة بوليمة العرس فليس معه دليل فيما يظهر؛ لأن الولائم هي طعام السرور، فيعم العرس وغيره، والنبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “من لم يجب الدعوة” ولم يقل: دعوة العرس “Siapa saja yang mengkhususkan kewajiban menjawab (memenuhi) undangan hanya untuk walimah nikah saja, maka dia tidak memiliki dalil yang jelas. Karena walimah adalah jamuan makanan (dalam rangka merayakan) kebahagiaan, sehingga mencakup pernikahan dan lainnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يجب الدعوة ‘Siapa saja yang tidak menjawab undangan (yaitu, undangan apa saja, pent.),’ dan tidak mengatakan, ‘undangan pernikahan.'” Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @Fall, 26 Rabiul akhir 1446/ 29 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 10: 179; Ikmaalul Mu’lim, 4: 589; Al-Mughni, 10: 193. [2] Al-Inshaf, 8: 318. [3] Al-Fataawa, 32: 206. [4] Al-Hidayah, 4: 80. [5] Mughni Al-Muhtaj, 3: 245. [6] Nailul Authar, 6: 202. [7] Fathul Baari, 9: 244. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 413-419). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KeduaTeks Hadis KetigaTeks Hadis KeempatKandungan Hadis-Hadis di AtasKandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimahKandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimahPendapat pertama: wajibPendapat kedua: sunahPendapat yang lebih kuatKandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahanPendapat pertama: sunahPendapat kedua: wajibPendapat yang lebih kuat Teks Hadis Kedua Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia mendatanginya.” (HR. Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 1429) Teks Hadis Ketiga Dalam riwayat Muslim disebutkan, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhinya, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Teks Hadis Keempat Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, شَرُّ الطَّعامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ: يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا، وَيُدْعَى إِلَيهَا مَنْ يَأْبَاهَا، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Sejelek-jelek makanan walimah adalah: orang yang ingin datang (yaitu, orang-orang fakir dan miskin) tidak diundang, dan yang diundang justru menolak untuk datang (yaitu, orang-orang kaya). Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 110, 1432) Kandungan Hadis-Hadis di Atas Kandungan pertama: Disyariatkannya memenuhi undangan walimah Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa memenuhi undangan walimah adalah suatu keharusan bagi seorang muslim; dan sebaiknya, dia tidak menolak untuk hadir, baik itu undangan walimah pernikahan maupun undangan jamuan lainnya. Memenuhi undangan semacam ini akan memberikan kebahagiaan kepada saudara sesama muslim yang mengundang, serta mempererat rasa persaudaraan dan hubungan antar teman, tetangga, dan kerabat. Pada jamuan-jamuan ini, orang-orang dapat berkumpul untuk berbincang, saling mengenal, saling menasihati, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Inilah bentuk jamuan orang-orang yang berilmu dan orang-orang mukmin. Kandungan kedua: Hukum memenuhi undangan walimah Pendapat pertama: wajib Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan untuk walimah pernikahan adalah wajib. Bahkan, beberapa ulama seperti Ibnu Abdil Barr dan Al-Qadhi Iyadh rahimahumallah menyebutkan adanya ijmak dalam hal ini. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, لا أعلم خلافًا في وجوب إتيان الوليمة لمن دعي إليها إذا لم يكن فيها منكر ولهو “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang wajibnya menghadiri undangan walimah, selama tidak ada kemungkaran atau hiburan yang melalaikan di dalamnya.” [1] Namun, klaim adanya ijmak ini perlu ditinjau kembali. Pendapat mengenai kewajiban memenuhi undangan walimah adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama: Adanya dalil berupa perintah tanpa ada tambahan keterangan atau indikator lain (yang memalingkan dari hukum wajib), maka hal itu menunjukkan adanya hukum wajib. Kedua: Seseorang dianggap berdosa (durhaka) jika tidak memenuhi undangan walimah, dan dosa tidaklah dikenakan kecuali karena meninggalkan sesuatu yang wajib (dalam hadis di atas disebutkan bahwa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya). Pendapat kedua: sunah Adapun sejumlah ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menghadiri undangan walimah adalah sunah, tidak sampai derajat wajib. Dalam kitab Al-Inshaf [2] disebutkan bahwa ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun pendapat tersebut tidak ditemukan dalam Al-Fatawa atau Al-Ikhtiyarat. Adapun yang terdapat dalam Al-Fataawa, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa hukumnya wajib [3]. Dalam kitab Al-Hidayah (dari madzhab Hanafi) dinyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah sunah [4] karena dalam pandangan mereka, menghadiri undangan walimah berarti menerima kepemilikan makanan, sehingga tidak wajib seperti hal lainnya. Mereka juga berpendapat bahwa pada dasarnya, hukum mengadakan walimah adalah sunah, maka menghadiri undangan walimah juga hukumnya sunah. Beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah ada yang menyatakan bahwa hukum memenuhi undangan walimah adalah fardhu kifayah. Sebagai konsekuensinya, jika sebagian orang yang mencukupi sudah hadir, kewajiban atas yang lain menjadi gugur, karena tujuan walimah adalah untuk menyebarkan kabar pernikahan, dan hal ini sudah tercapai dengan hadirnya sebagian orang. Dapat dipahami dari argumentasi ini, seolah-olah mereka membatasi hikmah mengadakan walimah hanyalah untuk mengumumkan berita pernikahan saja [5]. Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, karena dalilnya yang kuat. Hadis-hadisnya sahih dan tegas mengenai hukum wajib ini. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, والظاهر الوجوب، للأوامر الواردة بالإجابة من غير صارف لها عن الوجوب، ولجعل الذي لم يُجِبْ عاصيًا … “Yang lebih kuat adalah wajib, karena adanya perintah untuk memenuhi undangan tanpa ada indikator lain yang mengalihkannya (memalingkannya) dari hukum wajib, dan karena mereka yang tidak memenuhi undangan walimah dianggap berdosa … “ [6] Kandungan ketiga: Hukum memenuhi undangan walimah selain walimah pernikahan Adapun undangan selain walimah pernikahan, seperti akikah, walimah dalam rangka menyambut kedatangan dari perjalanan jauh, dan yang semisalnya, terdapat dua pendapat mengenai hukum memenuhi undangan tersebut. Pendapat pertama: sunah Memenuhi undangan ini adalah sunah (dianjurkan). Ibnu Hajar rahimahullah menyandarkan pendapat ini kepada mayoritas ulama [7]. As-Sarkhasi rahimahullah dari mazhab Hanafi bahkan menyatakan adanya ijmak dalam hal ini, namun klaim tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima karena memang ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا دعي أحدكم إلى وليمة عرس فليجب “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah pernikahan (walimatul urs), maka hendaklah ia memenuhinya.” (HR. Muslim no. 98, 1429) Mereka (para ulama) berkata bahwa karena kewajiban ini dikhususkan untuk walimah pernikahan (walimatul urs), maka hal ini menunjukkan bahwa undangan selainnya tidak wajib dipenuhi. Sanggahan: dalam ilmu ushul fikih, yang semacam ini bukan pengkhususan (takhshish), karena hukumnya sama (sama-sama wajib). Misalnya, ada kalimat, “Semua siswa membawa buku.” Lalu ada kalimat, “Siswa Budi membawa buku.” Tidak bisa dipahami dari kedua kalimat tersebut bahwa hanya siswa Budi yang membawa buku, sedangkan selain Budi tidak membawa. Hal ini karena kedua kalimat tersebut menunjukkan hukum yang sama, yaitu “membawa buku.” Dalil kedua, hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berasal dari Persia pandai memasak kuah. Ia memasak sesuatu untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang mengundangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak undangannya. Kemudian ia datang untuk mengundang lagi, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali berkata, “Bagaimana dengan Aisyah?” Tetangga itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak lagi. Ia datang untuk ketiga kalinya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Bagaimana dengan Aisyah?” Kali ini tetangga itu menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri bersama Aisyah, dan mereka pergi bersama hingga tiba di rumahnya. (HR. Muslim no. 2037) Sanggahan: Ada kemungkinan bahwa bisa jadi penolakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh fakta bahwa orang Persia tersebut tidak menyetujui syarat yang diajukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kehadiran Aisyah radhiyallahu ‘anha. Namun, ketika dia menyetujuinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir memenuhi undangan tersebut. Pendapat kedua: wajib Memenuhi undangan ini adalah wajib, dan hukum memenuhi undangan seluruh jenis jamuan itu sama, yaitu wajib, baik itu walimah pernikahan atau jamuan lainnya. Ini adalah pendapat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagian tabi’in, mazhab Zhahiriyah, dan sebagian ulama Syafi’iyah [8]. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan argumentasi berikut ini: Dalil pertama, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ، عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ “Apabila salah seorang di antara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah dipenuhi, baik itu untuk pernikahan atau undangan lainnya.” (HR. Muslim no. 100, 1429) Ini adalah dalil tegas yang bersifat umun untuk walimah apa saja. Dalil kedua, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصى اللهَ وَرَسُولَهُ “Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kata (الدَّعْوَةَ) mengandung huruf alif lam istighraq, yang bermakna umum (dalam kaidah ilmu ushul fikih); maksudnya, undangan apa saja, baik undangan walimah nikah atau yang lainnya. Dalil ketiga, Nafi’ berkata, “Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أجيبوا هذه الدعوة إذا دعيتم لها “Penuhilah undangan ini jika kalian diundang.” Nafi’ berkata, “Abdullah biasa datang ke undangan pernikahan dan selain pernikahan, meskipun beliau sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 5179 dan Muslim no. 103, 1429) Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memahami bahwa huruf alif lam dalam kata (الدعوة) tersebut bersifat umum, sehingga beliau datang ke undangan pernikahan dan juga yang lainnya. Dalil keempat, hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, حق المسلم على المسلم خمس: رد السلام، وعيادة المريض، واتباع الجنائز، وإجابة الدعوة، وتشميت العاطس “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi orang yang sakit, mengantar jenazah, menjawab (memenuhi) undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”  (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162) Dalam riwayat Muslim disebutkan, حق المسلم على المسلم ست، وفيه: وإذا دعاك فأجبه “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam, di antaranya: dan jika dia mengundangmu, maka penuhilah.” Pendapat yang lebih kuat Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kedua (hukumnya wajib), karena kuatnya dalil-dalilnya dan juga praktik dari perawi yang sesuai dengan dalil yang diriwayatkannya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, من خص وجوب الإجابة بوليمة العرس فليس معه دليل فيما يظهر؛ لأن الولائم هي طعام السرور، فيعم العرس وغيره، والنبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “من لم يجب الدعوة” ولم يقل: دعوة العرس “Siapa saja yang mengkhususkan kewajiban menjawab (memenuhi) undangan hanya untuk walimah nikah saja, maka dia tidak memiliki dalil yang jelas. Karena walimah adalah jamuan makanan (dalam rangka merayakan) kebahagiaan, sehingga mencakup pernikahan dan lainnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يجب الدعوة ‘Siapa saja yang tidak menjawab undangan (yaitu, undangan apa saja, pent.),’ dan tidak mengatakan, ‘undangan pernikahan.'” Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @Fall, 26 Rabiul akhir 1446/ 29 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] At-Tamhid, 10: 179; Ikmaalul Mu’lim, 4: 589; Al-Mughni, 10: 193. [2] Al-Inshaf, 8: 318. [3] Al-Fataawa, 32: 206. [4] Al-Hidayah, 4: 80. [5] Mughni Al-Muhtaj, 3: 245. [6] Nailul Authar, 6: 202. [7] Fathul Baari, 9: 244. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 413-419). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Kewajiban Ikhlas dan Buah Keikhlasan

Daftar Isi Toggle Pengertian ikhlasDalil-dalil wajibnya ikhlasBuah keikhlasanPertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasanKedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besarKetiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoranKeempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal salehKelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Pengertian ikhlas Tentang pengertian ikhlas, para ulama telah menjelaskannya dengan redaksi yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya memiliki maksud yang sama. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Al-Haqq (Allah) dalam niat dan tujuan ketika melakukan ketaatan. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari memperhatikan pandangan makhluk. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah kesamaan amal perbuatan hamba secara lahir dan batin, sedangkan riya adalah perbuatan lahiriah yang lebih baik dari batinnya. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus memperhatikan (pandangan) Al-Khaliq, dan barangsiapa yang memperbagus diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka dia akan jatuh dari pandangan Allah. Di antara perkatan Al-Fudhail tentang hal ini, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, sedangkan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Al-Junaid berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga bisa dibelokkan olehnya.” Sebagian ulama berkata, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan engkau tidak mencari pemberi balasan selain-Nya.” (Lihat nukilan-nukilan ini dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2: 348-350) Dalil-dalil wajibnya ikhlas Sangat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang menjelaskan tentang wajib dan pentingnya keikhlasan seorang hamba kepada Allah. Di antaranya, Allah berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala juga berfirman, إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ  أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2-3) Dan Allah berfirman, قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’ ” (QS. Az-Zumar: 11) Sedangkan dalam hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dalam amalan itu dia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Buah keikhlasan Ikhlas merupakan perkara yang sangat utama dan memiliki buah dan faedah yang sangat banyak dan agung. Di antaranya: Pertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasan Telah menjadi sebuah ketetapan dalam syariat Islam bahwa amal ibadah seorang hamba tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali jika terpenuhi dua syarat padanya: kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan niat yang ikhlas dalam melakukan amal tersebut. Al-Fudhail bin Iyadh berbicara tentang firman Allah, الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Beliau berkata, “Yakni, yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab).” Kemudian orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab)?” Beliau berkata, “Sesungguhnya amal itu jika murni (ikhlas) namun tidak tepat (shawab), maka tidak akan diterima. Demikian pula, jika tepat (shawab) namun tidak murni (ikhlas), juga tidak akan diterima. Sampai amal itu murni (ikhlas) dan tepat (shawab). Amal yang murni (ikhlas) adalah yang ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan yang tepat (shawab) adalah yang sesuai dengan sunah (tuntunan).” Kemudian beliau membaca firman Allah, فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) (Madarijus Salikin, 2: 344) Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni untuk-Nya, dan diniatkan untuk mendapatkan wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i no. 3140, disahihkan Al-Albani) Kedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besar Hal itu karena Allah akan mengembangkan amalan orang yang ikhlas dan membalasnya dengan membesarkan nilainya dan memperbanyak pahalanya. Sehingga pada hari kiamat kelak, dia akan mendapatinya lebih besar dari apa yang dia sangka. Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan remeh yang menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 13) Ketiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoran Hati manusia sangat mudah berbolak-balik, memiliki banyak kesibukan, dan mudah berpaling dari kebaikan hanya karena sedikit gangguan. Maka, ikhlas akan memberikan jaminan akan kebersihan hati karena keikhlasan akan mencondongkan hati kepada Penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ “Ada tiga hal yang hati seorang muslim tidak akan memiliki sifat dengki atasnya; mengikhlaskan amal kepada Allah, memberi nasihat kepada penguasa, dan menetapi jamaah kaum muslimin.” (HR. At-Tirmidzi no. 2658, lihat Ash-Shahihah no. 404) Maksud hadis ini, bahwa tidak akan tersisa sifat dengki dalam hati selama ada tiga perangai tersebut. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba bersikap ikhlas, niscaya akan terputus darinya banyak was-was dan sifat riya.” (Madarijus Salikin, 2: 350) Keempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal saleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29) Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan orang yang menyekutukan Allah bagaikan seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang masing-masing tuan itu memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan dengan tuan yang lain. Maka, tentu budak yang seperti ini keadaannya tidak akan mendapatkan ketenangan sama sekali. Adapun orang yang ikhlas, maka dia bagaikan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dia tidak menghadapi tuntutan yang beraneka ragam dan saling bertentangan, sehingga dia tidak akan bingung dalam melaksanakan tugasnya. Dia akan lebih tenang dari budak yang pertama. Ketenangan yang didapatkan seorang hamba karena keikhlasan, tentu akan lebih mendukung untuk tetap konsisten dan istikamah dalam melakukan amalan. Kelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Tentang hal ini, Allah Ta’ala telah berfirman, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ “Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (ikhlas) di antara mereka.’ ” (QS. Shad: 82-83) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tentang orang yang “mukhlas” adalah orang yang Allah pilih karena keikhlasan mereka, keimanan mereka, dan tawakal mereka. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, tafsir surah Al-Hijr ayat 40) Wallahu a’lam. Baca juga: 8 Tips Menjaga Keikhlasan dalam Beramal *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id

Kewajiban Ikhlas dan Buah Keikhlasan

Daftar Isi Toggle Pengertian ikhlasDalil-dalil wajibnya ikhlasBuah keikhlasanPertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasanKedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besarKetiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoranKeempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal salehKelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Pengertian ikhlas Tentang pengertian ikhlas, para ulama telah menjelaskannya dengan redaksi yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya memiliki maksud yang sama. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Al-Haqq (Allah) dalam niat dan tujuan ketika melakukan ketaatan. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari memperhatikan pandangan makhluk. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah kesamaan amal perbuatan hamba secara lahir dan batin, sedangkan riya adalah perbuatan lahiriah yang lebih baik dari batinnya. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus memperhatikan (pandangan) Al-Khaliq, dan barangsiapa yang memperbagus diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka dia akan jatuh dari pandangan Allah. Di antara perkatan Al-Fudhail tentang hal ini, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, sedangkan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Al-Junaid berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga bisa dibelokkan olehnya.” Sebagian ulama berkata, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan engkau tidak mencari pemberi balasan selain-Nya.” (Lihat nukilan-nukilan ini dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2: 348-350) Dalil-dalil wajibnya ikhlas Sangat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang menjelaskan tentang wajib dan pentingnya keikhlasan seorang hamba kepada Allah. Di antaranya, Allah berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala juga berfirman, إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ  أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2-3) Dan Allah berfirman, قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’ ” (QS. Az-Zumar: 11) Sedangkan dalam hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dalam amalan itu dia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Buah keikhlasan Ikhlas merupakan perkara yang sangat utama dan memiliki buah dan faedah yang sangat banyak dan agung. Di antaranya: Pertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasan Telah menjadi sebuah ketetapan dalam syariat Islam bahwa amal ibadah seorang hamba tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali jika terpenuhi dua syarat padanya: kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan niat yang ikhlas dalam melakukan amal tersebut. Al-Fudhail bin Iyadh berbicara tentang firman Allah, الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Beliau berkata, “Yakni, yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab).” Kemudian orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab)?” Beliau berkata, “Sesungguhnya amal itu jika murni (ikhlas) namun tidak tepat (shawab), maka tidak akan diterima. Demikian pula, jika tepat (shawab) namun tidak murni (ikhlas), juga tidak akan diterima. Sampai amal itu murni (ikhlas) dan tepat (shawab). Amal yang murni (ikhlas) adalah yang ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan yang tepat (shawab) adalah yang sesuai dengan sunah (tuntunan).” Kemudian beliau membaca firman Allah, فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) (Madarijus Salikin, 2: 344) Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni untuk-Nya, dan diniatkan untuk mendapatkan wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i no. 3140, disahihkan Al-Albani) Kedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besar Hal itu karena Allah akan mengembangkan amalan orang yang ikhlas dan membalasnya dengan membesarkan nilainya dan memperbanyak pahalanya. Sehingga pada hari kiamat kelak, dia akan mendapatinya lebih besar dari apa yang dia sangka. Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan remeh yang menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 13) Ketiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoran Hati manusia sangat mudah berbolak-balik, memiliki banyak kesibukan, dan mudah berpaling dari kebaikan hanya karena sedikit gangguan. Maka, ikhlas akan memberikan jaminan akan kebersihan hati karena keikhlasan akan mencondongkan hati kepada Penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ “Ada tiga hal yang hati seorang muslim tidak akan memiliki sifat dengki atasnya; mengikhlaskan amal kepada Allah, memberi nasihat kepada penguasa, dan menetapi jamaah kaum muslimin.” (HR. At-Tirmidzi no. 2658, lihat Ash-Shahihah no. 404) Maksud hadis ini, bahwa tidak akan tersisa sifat dengki dalam hati selama ada tiga perangai tersebut. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba bersikap ikhlas, niscaya akan terputus darinya banyak was-was dan sifat riya.” (Madarijus Salikin, 2: 350) Keempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal saleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29) Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan orang yang menyekutukan Allah bagaikan seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang masing-masing tuan itu memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan dengan tuan yang lain. Maka, tentu budak yang seperti ini keadaannya tidak akan mendapatkan ketenangan sama sekali. Adapun orang yang ikhlas, maka dia bagaikan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dia tidak menghadapi tuntutan yang beraneka ragam dan saling bertentangan, sehingga dia tidak akan bingung dalam melaksanakan tugasnya. Dia akan lebih tenang dari budak yang pertama. Ketenangan yang didapatkan seorang hamba karena keikhlasan, tentu akan lebih mendukung untuk tetap konsisten dan istikamah dalam melakukan amalan. Kelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Tentang hal ini, Allah Ta’ala telah berfirman, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ “Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (ikhlas) di antara mereka.’ ” (QS. Shad: 82-83) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tentang orang yang “mukhlas” adalah orang yang Allah pilih karena keikhlasan mereka, keimanan mereka, dan tawakal mereka. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, tafsir surah Al-Hijr ayat 40) Wallahu a’lam. Baca juga: 8 Tips Menjaga Keikhlasan dalam Beramal *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pengertian ikhlasDalil-dalil wajibnya ikhlasBuah keikhlasanPertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasanKedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besarKetiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoranKeempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal salehKelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Pengertian ikhlas Tentang pengertian ikhlas, para ulama telah menjelaskannya dengan redaksi yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya memiliki maksud yang sama. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Al-Haqq (Allah) dalam niat dan tujuan ketika melakukan ketaatan. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari memperhatikan pandangan makhluk. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah kesamaan amal perbuatan hamba secara lahir dan batin, sedangkan riya adalah perbuatan lahiriah yang lebih baik dari batinnya. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus memperhatikan (pandangan) Al-Khaliq, dan barangsiapa yang memperbagus diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka dia akan jatuh dari pandangan Allah. Di antara perkatan Al-Fudhail tentang hal ini, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, sedangkan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Al-Junaid berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga bisa dibelokkan olehnya.” Sebagian ulama berkata, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan engkau tidak mencari pemberi balasan selain-Nya.” (Lihat nukilan-nukilan ini dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2: 348-350) Dalil-dalil wajibnya ikhlas Sangat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang menjelaskan tentang wajib dan pentingnya keikhlasan seorang hamba kepada Allah. Di antaranya, Allah berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala juga berfirman, إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ  أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2-3) Dan Allah berfirman, قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’ ” (QS. Az-Zumar: 11) Sedangkan dalam hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dalam amalan itu dia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Buah keikhlasan Ikhlas merupakan perkara yang sangat utama dan memiliki buah dan faedah yang sangat banyak dan agung. Di antaranya: Pertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasan Telah menjadi sebuah ketetapan dalam syariat Islam bahwa amal ibadah seorang hamba tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali jika terpenuhi dua syarat padanya: kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan niat yang ikhlas dalam melakukan amal tersebut. Al-Fudhail bin Iyadh berbicara tentang firman Allah, الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Beliau berkata, “Yakni, yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab).” Kemudian orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab)?” Beliau berkata, “Sesungguhnya amal itu jika murni (ikhlas) namun tidak tepat (shawab), maka tidak akan diterima. Demikian pula, jika tepat (shawab) namun tidak murni (ikhlas), juga tidak akan diterima. Sampai amal itu murni (ikhlas) dan tepat (shawab). Amal yang murni (ikhlas) adalah yang ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan yang tepat (shawab) adalah yang sesuai dengan sunah (tuntunan).” Kemudian beliau membaca firman Allah, فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) (Madarijus Salikin, 2: 344) Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni untuk-Nya, dan diniatkan untuk mendapatkan wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i no. 3140, disahihkan Al-Albani) Kedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besar Hal itu karena Allah akan mengembangkan amalan orang yang ikhlas dan membalasnya dengan membesarkan nilainya dan memperbanyak pahalanya. Sehingga pada hari kiamat kelak, dia akan mendapatinya lebih besar dari apa yang dia sangka. Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan remeh yang menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 13) Ketiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoran Hati manusia sangat mudah berbolak-balik, memiliki banyak kesibukan, dan mudah berpaling dari kebaikan hanya karena sedikit gangguan. Maka, ikhlas akan memberikan jaminan akan kebersihan hati karena keikhlasan akan mencondongkan hati kepada Penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ “Ada tiga hal yang hati seorang muslim tidak akan memiliki sifat dengki atasnya; mengikhlaskan amal kepada Allah, memberi nasihat kepada penguasa, dan menetapi jamaah kaum muslimin.” (HR. At-Tirmidzi no. 2658, lihat Ash-Shahihah no. 404) Maksud hadis ini, bahwa tidak akan tersisa sifat dengki dalam hati selama ada tiga perangai tersebut. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba bersikap ikhlas, niscaya akan terputus darinya banyak was-was dan sifat riya.” (Madarijus Salikin, 2: 350) Keempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal saleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29) Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan orang yang menyekutukan Allah bagaikan seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang masing-masing tuan itu memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan dengan tuan yang lain. Maka, tentu budak yang seperti ini keadaannya tidak akan mendapatkan ketenangan sama sekali. Adapun orang yang ikhlas, maka dia bagaikan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dia tidak menghadapi tuntutan yang beraneka ragam dan saling bertentangan, sehingga dia tidak akan bingung dalam melaksanakan tugasnya. Dia akan lebih tenang dari budak yang pertama. Ketenangan yang didapatkan seorang hamba karena keikhlasan, tentu akan lebih mendukung untuk tetap konsisten dan istikamah dalam melakukan amalan. Kelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Tentang hal ini, Allah Ta’ala telah berfirman, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ “Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (ikhlas) di antara mereka.’ ” (QS. Shad: 82-83) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tentang orang yang “mukhlas” adalah orang yang Allah pilih karena keikhlasan mereka, keimanan mereka, dan tawakal mereka. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, tafsir surah Al-Hijr ayat 40) Wallahu a’lam. Baca juga: 8 Tips Menjaga Keikhlasan dalam Beramal *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pengertian ikhlasDalil-dalil wajibnya ikhlasBuah keikhlasanPertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasanKedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besarKetiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoranKeempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal salehKelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Pengertian ikhlas Tentang pengertian ikhlas, para ulama telah menjelaskannya dengan redaksi yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya memiliki maksud yang sama. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Al-Haqq (Allah) dalam niat dan tujuan ketika melakukan ketaatan. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari memperhatikan pandangan makhluk. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah kesamaan amal perbuatan hamba secara lahir dan batin, sedangkan riya adalah perbuatan lahiriah yang lebih baik dari batinnya. Ada yang mengatakan, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus memperhatikan (pandangan) Al-Khaliq, dan barangsiapa yang memperbagus diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka dia akan jatuh dari pandangan Allah. Di antara perkatan Al-Fudhail tentang hal ini, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, sedangkan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Al-Junaid berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga bisa dibelokkan olehnya.” Sebagian ulama berkata, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan engkau tidak mencari pemberi balasan selain-Nya.” (Lihat nukilan-nukilan ini dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2: 348-350) Dalil-dalil wajibnya ikhlas Sangat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang menjelaskan tentang wajib dan pentingnya keikhlasan seorang hamba kepada Allah. Di antaranya, Allah berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5) Allah Ta’ala juga berfirman, إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ  أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2-3) Dan Allah berfirman, قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’ ” (QS. Az-Zumar: 11) Sedangkan dalam hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dalam amalan itu dia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Buah keikhlasan Ikhlas merupakan perkara yang sangat utama dan memiliki buah dan faedah yang sangat banyak dan agung. Di antaranya: Pertama: Amal akan diterima dengan adanya keikhlasan Telah menjadi sebuah ketetapan dalam syariat Islam bahwa amal ibadah seorang hamba tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali jika terpenuhi dua syarat padanya: kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan niat yang ikhlas dalam melakukan amal tersebut. Al-Fudhail bin Iyadh berbicara tentang firman Allah, الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Beliau berkata, “Yakni, yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab).” Kemudian orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab)?” Beliau berkata, “Sesungguhnya amal itu jika murni (ikhlas) namun tidak tepat (shawab), maka tidak akan diterima. Demikian pula, jika tepat (shawab) namun tidak murni (ikhlas), juga tidak akan diterima. Sampai amal itu murni (ikhlas) dan tepat (shawab). Amal yang murni (ikhlas) adalah yang ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan yang tepat (shawab) adalah yang sesuai dengan sunah (tuntunan).” Kemudian beliau membaca firman Allah, فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا “Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) (Madarijus Salikin, 2: 344) Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni untuk-Nya, dan diniatkan untuk mendapatkan wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i no. 3140, disahihkan Al-Albani) Kedua: Ikhlas menjadikan amal bernilai besar Hal itu karena Allah akan mengembangkan amalan orang yang ikhlas dan membalasnya dengan membesarkan nilainya dan memperbanyak pahalanya. Sehingga pada hari kiamat kelak, dia akan mendapatinya lebih besar dari apa yang dia sangka. Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan remeh yang menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 13) Ketiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoran Hati manusia sangat mudah berbolak-balik, memiliki banyak kesibukan, dan mudah berpaling dari kebaikan hanya karena sedikit gangguan. Maka, ikhlas akan memberikan jaminan akan kebersihan hati karena keikhlasan akan mencondongkan hati kepada Penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ “Ada tiga hal yang hati seorang muslim tidak akan memiliki sifat dengki atasnya; mengikhlaskan amal kepada Allah, memberi nasihat kepada penguasa, dan menetapi jamaah kaum muslimin.” (HR. At-Tirmidzi no. 2658, lihat Ash-Shahihah no. 404) Maksud hadis ini, bahwa tidak akan tersisa sifat dengki dalam hati selama ada tiga perangai tersebut. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba bersikap ikhlas, niscaya akan terputus darinya banyak was-was dan sifat riya.” (Madarijus Salikin, 2: 350) Keempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal saleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29) Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan orang yang menyekutukan Allah bagaikan seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang masing-masing tuan itu memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan dengan tuan yang lain. Maka, tentu budak yang seperti ini keadaannya tidak akan mendapatkan ketenangan sama sekali. Adapun orang yang ikhlas, maka dia bagaikan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dia tidak menghadapi tuntutan yang beraneka ragam dan saling bertentangan, sehingga dia tidak akan bingung dalam melaksanakan tugasnya. Dia akan lebih tenang dari budak yang pertama. Ketenangan yang didapatkan seorang hamba karena keikhlasan, tentu akan lebih mendukung untuk tetap konsisten dan istikamah dalam melakukan amalan. Kelima: Orang yang ikhlas tidak akan mudah diganggu oleh setan Tentang hal ini, Allah Ta’ala telah berfirman, قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ “Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (ikhlas) di antara mereka.’ ” (QS. Shad: 82-83) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tentang orang yang “mukhlas” adalah orang yang Allah pilih karena keikhlasan mereka, keimanan mereka, dan tawakal mereka. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, tafsir surah Al-Hijr ayat 40) Wallahu a’lam. Baca juga: 8 Tips Menjaga Keikhlasan dalam Beramal *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id

Hukum Jasa Titip (Jastip) dalam Perspektif Islam

Daftar Isi Toggle Pengertian jastipDari sisi bahasa IndonesiaDari sisi syar’iModel-model jastipAl-Wakalah bil UjrahPenyedia jastip membeli barang terlebih dahuluPenyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Jastip (sebagai singkatan dari jasa titip) menjadi hal yang tidak tabu lagi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin. Hampir-hampir semua kalangan mengetahui tentang jastip ini. Bahkan, hal ini di banyak kesempatan dijadikan sebagai peluang usaha yang cukup menghasilkan. “Mumpung kamu sedang ada di kota sana, tolong belikan makanan untuk saya khas daerah sana. Nanti saya transfer uangnya sekarang juga, atau saya bayar kalau anda sudah sampai di sini. Sekaligus upah untuk anda.” Demikian gambaran ringkas tentang jastip. Pengertian jastip Dari sisi bahasa Indonesia Sebelum beranjak kepada hukumnya, tentu mengetahui tentang pengertiannya sangat penting. Karena tidaklah suatu hukum berangkat, melainkan setelah diketahui tentang pengertiannya. Jastip: jasa pembelian suatu barang yang diberikan kepada orang yang tidak dapat membeli langsung sebuah barang, baik di toko fisik maupun daring dengan penarikan sejumlah biaya. [1] Dari sisi syar’i Adapun pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan akad yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai akad jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang. Masing-masing dari pengertian ini akan datang perinciannya. Model-model jastip Al-Wakalah bil Ujrah Jastip dalam hal ini menjadikan seorang yang membelikan barang atau penyedia jastip sebagai wakil. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berkata kepada B, “Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya akan saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan uang saya. Sebutkan berapa harga bajunya dan uang yang engkau butuhkan, saya akan tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A membayar kepada B Rp.110.000. Ini adalah akad yang diperbolehkan, dan akad seperti ini adalah akad yang paling aman dalam jastip. Yaitu, pembeli membayar uang di muka, tidak menggunakan uang yang diwakilkannya. Sehingga ada dua hal yang dapat digaris bawahi pada akad ini: Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang. Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kedua hal ini yang betul-betul harus diperhatikan dalam akad jastip ini. Di antara dalil yang membolehkan akad seperti ini adalah firman Allah Ta’ala, فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَڪُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّہَآ أَزۡكَىٰ طَعَامً۬ا فَلۡيَأۡتِڪُم بِرِزۡقٍ۬ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِڪُمۡ أَحَدًا “Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi : 19) Ketentuan-ketentuan dalam akad ini: Pertama: Kesepakatan antara kedua belah pihak harus jelas di awal akad. Kesepakatan berupa uang yang diberikan, harga barang, dan upah yang akan diberikan. Kedua: Yang harus diingat bahwa posisi yang membelikan barang atau penyedia jastip adalah “wakil”, sehingga ia tentunya hanya sebatas wakil dalam membelikan barang tersebut. Ia membelikannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Ketiga: Barang yang ingin dijastipkan harus jelas, tidak boleh samar-samar. Dalam hal ini, penyedia jastip harus jujur sejujur-jujurnya. Jika ada kerusakan atau cacat barang, maka harus dijelaskan. Keempat: Jika ada diskon dari toko, maka penyedia jastip tidak boleh mengambil untung dari situ. Karena hal tersebut adalah hak pembeli, bukan hak wakil. Sehingga jika ada diskon, penyedia jastip harus mengabarkan pihak yang menitipkan. Kelima: Jika penyedia jastip membelikan barang yang tidak sesuai kesepakatan dengan yang mewakilkan, maka barang tersebut berhak untuk dikembalikan ke penyedia jastip. Keenam Jika penyedia jastip membelikan barang lebih banyak daripada kesepakatan di awal, seperti penyedia jastip diminta untuk membelikan kambing 1 ekor, namun ternyata ia mendapatkan 2 ekor dengan uang yang diberikan. Hal ini menurut ulama Hanafi dan Maliki, 2 ekor kambing tersebut berhak diterima oleh yang mewakilkan (pembeli). Adapun menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, yang diambil hanya 1 ekor saja. Dan ketentuan-ketentuan lainnya yang tentunya harus diperhatikan oleh kedua belah pihak. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka Penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu Model kedua ini, penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, ia mengatakan kepada A, “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli barang ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, kalau cocok silahkan dibeli, kalau tidak cocok tidak apa. Kemudian nanti bayarnya pas kita ketemu saja.” Akad seperti ini pun akad yang diperbolehkan, karena hal ini sama saja dengan jual beli. Dalam hal ini, penyedia jastip boleh untuk mengambil keuntungan dan mengambil upah dari jasa yang telah dikeluarkan. Karena hal ini tidak ada ikatannya dengan utang piutang dan juga akad wakalah, serta segala kerugian ditanggung oleh penyedia jastip dan pengguna layanan jastip ini tidak harus membeli. Sehingga ada beberapa hal yang harus digaris bawahi: Pertama: Akad ini jatuhnya adalah akad jual beli. Kedua: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan. Ketiga: Pengguna layanan jastip tidak harus membeli. Untuk memperjelas ketiga poin ini, silahkan beralih kepada ketentuan-ketentuan berikut. Ketentuan-ketentuan pada akad ini: Pertama: Akad ini adalah akad jual beli, karena penyedia jastip membeli barangnya terlebih dahulu ke toko dengan menggunakan uangnya sendiri. Seolah-olah ia membeli barangnya untuk dirinya sendiri, bukan sebagai wakil. Kedua: Dikarenakan penyedia jastip membeli barangnya untuk dirinya sendiri, ia bebas untuk menawarkan kepada siapa saja. Termasuk kepada orang yang menggunakan layanan jastipnya. Ketiga: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan sesuai dengan keinginannya. Jika ada diskon dari toko, ia tidak mesti memberitahukan pengguna jasanya. Misalnya, harga barang Rp.100.000; kemudian karena membeli banyak, turunlah harga tersebut menjadi Rp.80.000, maka keuntungan ini berhak diperoleh oleh penyedia jastip dalam model akad seperti ini. Keempat: Penyedia jastip tidak diharuskan memberitahukan berapa biaya jasanya dan keuntungannya. Karena ini adalah murni akad jual beli. Kelima: Pengguna layanan jastip boleh membeli barang tersebut atau tidak membelinya. Kalau dirasa barang yang ditawarkan terlalu mahal, ia berhak untuk menolak pembeliannya. Dan ketentuan-ketentuan lainnya, di mana pada akad ini masuknya ke dalam kategori jual beli. Penyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Inilah model jastip yang saat ini sedang banyak dilakukan. Yaitu, penyedia jastip mendapatkan perintah dari pengguna layanan untuk membeli suatu barang dengan menggunakan uang penyedia jastip terlebih dahulu, istilah kata “ditalangin” terlebih dahulu. Hal ini tentunya diperbolehkan, jika penyedia jastip tidak mengambil keuntungan sepeser pun. Dalam artian akad dalam hal ini adalah akad sosial atau pure untuk membantu. Gambaran sederhananya: A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, nanti saya ganti kalau engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada uang tambahan sebagai “jasa”. Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan alasan tidak ada manfaat yang diperoleh oleh B. Namun, jika penyedia jastip mengambil keuntungan pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua akad yang berjalan pada satu transaksi. Pertama: Akad utang piutang. Kedua: Akad jual beli jasa. Gambaran sederhananya: Seperti di atas, namun B meminta biaya jasa atau A memberikan biaya jasa. Maka, hal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai manfaat tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidah dalam masalah ini, كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (keuntungan), maka itu adalah riba.” Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, uang talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat” atau keuntungan. Dan manfaat itu tidak akan ada, kecuali setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحِلُّ ‌سَلَفٌ ‌وَبَيْعٌ “Tidak halal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Dawud) Hal ini dilarang karena sebagai bentuk hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga hal ini menjadi wasilah untuk mengambil manfaat dari utang piutang. Beberapa hal yang harus diketahui tentang akad ini: Pertama: Akad seperti ini adalah akad yang tidak diperbolehkan, karena menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Kedua: Solusi dari akad yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua akad sebelumnya. Keduanya, InsyaAllah adalah akad yang diperbolehkan. Ketiga: Sebagian ulama ada yang membolehkan akad seperti ini dengan syarat ‘urf atau kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, atau tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan uang anaknya, kemudian ibu ingin melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, hal ini dikecualikan oleh sebagian ulama. Wallahu A’lam Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Jumadilawal 1446 / 22 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Beberapa website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://x.com/BadanBahasa/status/1434051223586435076?s=19 [2] website aliftaa.jo

Hukum Jasa Titip (Jastip) dalam Perspektif Islam

Daftar Isi Toggle Pengertian jastipDari sisi bahasa IndonesiaDari sisi syar’iModel-model jastipAl-Wakalah bil UjrahPenyedia jastip membeli barang terlebih dahuluPenyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Jastip (sebagai singkatan dari jasa titip) menjadi hal yang tidak tabu lagi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin. Hampir-hampir semua kalangan mengetahui tentang jastip ini. Bahkan, hal ini di banyak kesempatan dijadikan sebagai peluang usaha yang cukup menghasilkan. “Mumpung kamu sedang ada di kota sana, tolong belikan makanan untuk saya khas daerah sana. Nanti saya transfer uangnya sekarang juga, atau saya bayar kalau anda sudah sampai di sini. Sekaligus upah untuk anda.” Demikian gambaran ringkas tentang jastip. Pengertian jastip Dari sisi bahasa Indonesia Sebelum beranjak kepada hukumnya, tentu mengetahui tentang pengertiannya sangat penting. Karena tidaklah suatu hukum berangkat, melainkan setelah diketahui tentang pengertiannya. Jastip: jasa pembelian suatu barang yang diberikan kepada orang yang tidak dapat membeli langsung sebuah barang, baik di toko fisik maupun daring dengan penarikan sejumlah biaya. [1] Dari sisi syar’i Adapun pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan akad yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai akad jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang. Masing-masing dari pengertian ini akan datang perinciannya. Model-model jastip Al-Wakalah bil Ujrah Jastip dalam hal ini menjadikan seorang yang membelikan barang atau penyedia jastip sebagai wakil. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berkata kepada B, “Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya akan saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan uang saya. Sebutkan berapa harga bajunya dan uang yang engkau butuhkan, saya akan tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A membayar kepada B Rp.110.000. Ini adalah akad yang diperbolehkan, dan akad seperti ini adalah akad yang paling aman dalam jastip. Yaitu, pembeli membayar uang di muka, tidak menggunakan uang yang diwakilkannya. Sehingga ada dua hal yang dapat digaris bawahi pada akad ini: Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang. Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kedua hal ini yang betul-betul harus diperhatikan dalam akad jastip ini. Di antara dalil yang membolehkan akad seperti ini adalah firman Allah Ta’ala, فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَڪُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّہَآ أَزۡكَىٰ طَعَامً۬ا فَلۡيَأۡتِڪُم بِرِزۡقٍ۬ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِڪُمۡ أَحَدًا “Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi : 19) Ketentuan-ketentuan dalam akad ini: Pertama: Kesepakatan antara kedua belah pihak harus jelas di awal akad. Kesepakatan berupa uang yang diberikan, harga barang, dan upah yang akan diberikan. Kedua: Yang harus diingat bahwa posisi yang membelikan barang atau penyedia jastip adalah “wakil”, sehingga ia tentunya hanya sebatas wakil dalam membelikan barang tersebut. Ia membelikannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Ketiga: Barang yang ingin dijastipkan harus jelas, tidak boleh samar-samar. Dalam hal ini, penyedia jastip harus jujur sejujur-jujurnya. Jika ada kerusakan atau cacat barang, maka harus dijelaskan. Keempat: Jika ada diskon dari toko, maka penyedia jastip tidak boleh mengambil untung dari situ. Karena hal tersebut adalah hak pembeli, bukan hak wakil. Sehingga jika ada diskon, penyedia jastip harus mengabarkan pihak yang menitipkan. Kelima: Jika penyedia jastip membelikan barang yang tidak sesuai kesepakatan dengan yang mewakilkan, maka barang tersebut berhak untuk dikembalikan ke penyedia jastip. Keenam Jika penyedia jastip membelikan barang lebih banyak daripada kesepakatan di awal, seperti penyedia jastip diminta untuk membelikan kambing 1 ekor, namun ternyata ia mendapatkan 2 ekor dengan uang yang diberikan. Hal ini menurut ulama Hanafi dan Maliki, 2 ekor kambing tersebut berhak diterima oleh yang mewakilkan (pembeli). Adapun menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, yang diambil hanya 1 ekor saja. Dan ketentuan-ketentuan lainnya yang tentunya harus diperhatikan oleh kedua belah pihak. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka Penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu Model kedua ini, penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, ia mengatakan kepada A, “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli barang ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, kalau cocok silahkan dibeli, kalau tidak cocok tidak apa. Kemudian nanti bayarnya pas kita ketemu saja.” Akad seperti ini pun akad yang diperbolehkan, karena hal ini sama saja dengan jual beli. Dalam hal ini, penyedia jastip boleh untuk mengambil keuntungan dan mengambil upah dari jasa yang telah dikeluarkan. Karena hal ini tidak ada ikatannya dengan utang piutang dan juga akad wakalah, serta segala kerugian ditanggung oleh penyedia jastip dan pengguna layanan jastip ini tidak harus membeli. Sehingga ada beberapa hal yang harus digaris bawahi: Pertama: Akad ini jatuhnya adalah akad jual beli. Kedua: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan. Ketiga: Pengguna layanan jastip tidak harus membeli. Untuk memperjelas ketiga poin ini, silahkan beralih kepada ketentuan-ketentuan berikut. Ketentuan-ketentuan pada akad ini: Pertama: Akad ini adalah akad jual beli, karena penyedia jastip membeli barangnya terlebih dahulu ke toko dengan menggunakan uangnya sendiri. Seolah-olah ia membeli barangnya untuk dirinya sendiri, bukan sebagai wakil. Kedua: Dikarenakan penyedia jastip membeli barangnya untuk dirinya sendiri, ia bebas untuk menawarkan kepada siapa saja. Termasuk kepada orang yang menggunakan layanan jastipnya. Ketiga: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan sesuai dengan keinginannya. Jika ada diskon dari toko, ia tidak mesti memberitahukan pengguna jasanya. Misalnya, harga barang Rp.100.000; kemudian karena membeli banyak, turunlah harga tersebut menjadi Rp.80.000, maka keuntungan ini berhak diperoleh oleh penyedia jastip dalam model akad seperti ini. Keempat: Penyedia jastip tidak diharuskan memberitahukan berapa biaya jasanya dan keuntungannya. Karena ini adalah murni akad jual beli. Kelima: Pengguna layanan jastip boleh membeli barang tersebut atau tidak membelinya. Kalau dirasa barang yang ditawarkan terlalu mahal, ia berhak untuk menolak pembeliannya. Dan ketentuan-ketentuan lainnya, di mana pada akad ini masuknya ke dalam kategori jual beli. Penyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Inilah model jastip yang saat ini sedang banyak dilakukan. Yaitu, penyedia jastip mendapatkan perintah dari pengguna layanan untuk membeli suatu barang dengan menggunakan uang penyedia jastip terlebih dahulu, istilah kata “ditalangin” terlebih dahulu. Hal ini tentunya diperbolehkan, jika penyedia jastip tidak mengambil keuntungan sepeser pun. Dalam artian akad dalam hal ini adalah akad sosial atau pure untuk membantu. Gambaran sederhananya: A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, nanti saya ganti kalau engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada uang tambahan sebagai “jasa”. Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan alasan tidak ada manfaat yang diperoleh oleh B. Namun, jika penyedia jastip mengambil keuntungan pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua akad yang berjalan pada satu transaksi. Pertama: Akad utang piutang. Kedua: Akad jual beli jasa. Gambaran sederhananya: Seperti di atas, namun B meminta biaya jasa atau A memberikan biaya jasa. Maka, hal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai manfaat tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidah dalam masalah ini, كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (keuntungan), maka itu adalah riba.” Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, uang talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat” atau keuntungan. Dan manfaat itu tidak akan ada, kecuali setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحِلُّ ‌سَلَفٌ ‌وَبَيْعٌ “Tidak halal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Dawud) Hal ini dilarang karena sebagai bentuk hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga hal ini menjadi wasilah untuk mengambil manfaat dari utang piutang. Beberapa hal yang harus diketahui tentang akad ini: Pertama: Akad seperti ini adalah akad yang tidak diperbolehkan, karena menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Kedua: Solusi dari akad yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua akad sebelumnya. Keduanya, InsyaAllah adalah akad yang diperbolehkan. Ketiga: Sebagian ulama ada yang membolehkan akad seperti ini dengan syarat ‘urf atau kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, atau tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan uang anaknya, kemudian ibu ingin melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, hal ini dikecualikan oleh sebagian ulama. Wallahu A’lam Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Jumadilawal 1446 / 22 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Beberapa website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://x.com/BadanBahasa/status/1434051223586435076?s=19 [2] website aliftaa.jo
Daftar Isi Toggle Pengertian jastipDari sisi bahasa IndonesiaDari sisi syar’iModel-model jastipAl-Wakalah bil UjrahPenyedia jastip membeli barang terlebih dahuluPenyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Jastip (sebagai singkatan dari jasa titip) menjadi hal yang tidak tabu lagi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin. Hampir-hampir semua kalangan mengetahui tentang jastip ini. Bahkan, hal ini di banyak kesempatan dijadikan sebagai peluang usaha yang cukup menghasilkan. “Mumpung kamu sedang ada di kota sana, tolong belikan makanan untuk saya khas daerah sana. Nanti saya transfer uangnya sekarang juga, atau saya bayar kalau anda sudah sampai di sini. Sekaligus upah untuk anda.” Demikian gambaran ringkas tentang jastip. Pengertian jastip Dari sisi bahasa Indonesia Sebelum beranjak kepada hukumnya, tentu mengetahui tentang pengertiannya sangat penting. Karena tidaklah suatu hukum berangkat, melainkan setelah diketahui tentang pengertiannya. Jastip: jasa pembelian suatu barang yang diberikan kepada orang yang tidak dapat membeli langsung sebuah barang, baik di toko fisik maupun daring dengan penarikan sejumlah biaya. [1] Dari sisi syar’i Adapun pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan akad yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai akad jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang. Masing-masing dari pengertian ini akan datang perinciannya. Model-model jastip Al-Wakalah bil Ujrah Jastip dalam hal ini menjadikan seorang yang membelikan barang atau penyedia jastip sebagai wakil. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berkata kepada B, “Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya akan saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan uang saya. Sebutkan berapa harga bajunya dan uang yang engkau butuhkan, saya akan tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A membayar kepada B Rp.110.000. Ini adalah akad yang diperbolehkan, dan akad seperti ini adalah akad yang paling aman dalam jastip. Yaitu, pembeli membayar uang di muka, tidak menggunakan uang yang diwakilkannya. Sehingga ada dua hal yang dapat digaris bawahi pada akad ini: Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang. Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kedua hal ini yang betul-betul harus diperhatikan dalam akad jastip ini. Di antara dalil yang membolehkan akad seperti ini adalah firman Allah Ta’ala, فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَڪُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّہَآ أَزۡكَىٰ طَعَامً۬ا فَلۡيَأۡتِڪُم بِرِزۡقٍ۬ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِڪُمۡ أَحَدًا “Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi : 19) Ketentuan-ketentuan dalam akad ini: Pertama: Kesepakatan antara kedua belah pihak harus jelas di awal akad. Kesepakatan berupa uang yang diberikan, harga barang, dan upah yang akan diberikan. Kedua: Yang harus diingat bahwa posisi yang membelikan barang atau penyedia jastip adalah “wakil”, sehingga ia tentunya hanya sebatas wakil dalam membelikan barang tersebut. Ia membelikannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Ketiga: Barang yang ingin dijastipkan harus jelas, tidak boleh samar-samar. Dalam hal ini, penyedia jastip harus jujur sejujur-jujurnya. Jika ada kerusakan atau cacat barang, maka harus dijelaskan. Keempat: Jika ada diskon dari toko, maka penyedia jastip tidak boleh mengambil untung dari situ. Karena hal tersebut adalah hak pembeli, bukan hak wakil. Sehingga jika ada diskon, penyedia jastip harus mengabarkan pihak yang menitipkan. Kelima: Jika penyedia jastip membelikan barang yang tidak sesuai kesepakatan dengan yang mewakilkan, maka barang tersebut berhak untuk dikembalikan ke penyedia jastip. Keenam Jika penyedia jastip membelikan barang lebih banyak daripada kesepakatan di awal, seperti penyedia jastip diminta untuk membelikan kambing 1 ekor, namun ternyata ia mendapatkan 2 ekor dengan uang yang diberikan. Hal ini menurut ulama Hanafi dan Maliki, 2 ekor kambing tersebut berhak diterima oleh yang mewakilkan (pembeli). Adapun menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, yang diambil hanya 1 ekor saja. Dan ketentuan-ketentuan lainnya yang tentunya harus diperhatikan oleh kedua belah pihak. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka Penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu Model kedua ini, penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, ia mengatakan kepada A, “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli barang ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, kalau cocok silahkan dibeli, kalau tidak cocok tidak apa. Kemudian nanti bayarnya pas kita ketemu saja.” Akad seperti ini pun akad yang diperbolehkan, karena hal ini sama saja dengan jual beli. Dalam hal ini, penyedia jastip boleh untuk mengambil keuntungan dan mengambil upah dari jasa yang telah dikeluarkan. Karena hal ini tidak ada ikatannya dengan utang piutang dan juga akad wakalah, serta segala kerugian ditanggung oleh penyedia jastip dan pengguna layanan jastip ini tidak harus membeli. Sehingga ada beberapa hal yang harus digaris bawahi: Pertama: Akad ini jatuhnya adalah akad jual beli. Kedua: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan. Ketiga: Pengguna layanan jastip tidak harus membeli. Untuk memperjelas ketiga poin ini, silahkan beralih kepada ketentuan-ketentuan berikut. Ketentuan-ketentuan pada akad ini: Pertama: Akad ini adalah akad jual beli, karena penyedia jastip membeli barangnya terlebih dahulu ke toko dengan menggunakan uangnya sendiri. Seolah-olah ia membeli barangnya untuk dirinya sendiri, bukan sebagai wakil. Kedua: Dikarenakan penyedia jastip membeli barangnya untuk dirinya sendiri, ia bebas untuk menawarkan kepada siapa saja. Termasuk kepada orang yang menggunakan layanan jastipnya. Ketiga: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan sesuai dengan keinginannya. Jika ada diskon dari toko, ia tidak mesti memberitahukan pengguna jasanya. Misalnya, harga barang Rp.100.000; kemudian karena membeli banyak, turunlah harga tersebut menjadi Rp.80.000, maka keuntungan ini berhak diperoleh oleh penyedia jastip dalam model akad seperti ini. Keempat: Penyedia jastip tidak diharuskan memberitahukan berapa biaya jasanya dan keuntungannya. Karena ini adalah murni akad jual beli. Kelima: Pengguna layanan jastip boleh membeli barang tersebut atau tidak membelinya. Kalau dirasa barang yang ditawarkan terlalu mahal, ia berhak untuk menolak pembeliannya. Dan ketentuan-ketentuan lainnya, di mana pada akad ini masuknya ke dalam kategori jual beli. Penyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Inilah model jastip yang saat ini sedang banyak dilakukan. Yaitu, penyedia jastip mendapatkan perintah dari pengguna layanan untuk membeli suatu barang dengan menggunakan uang penyedia jastip terlebih dahulu, istilah kata “ditalangin” terlebih dahulu. Hal ini tentunya diperbolehkan, jika penyedia jastip tidak mengambil keuntungan sepeser pun. Dalam artian akad dalam hal ini adalah akad sosial atau pure untuk membantu. Gambaran sederhananya: A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, nanti saya ganti kalau engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada uang tambahan sebagai “jasa”. Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan alasan tidak ada manfaat yang diperoleh oleh B. Namun, jika penyedia jastip mengambil keuntungan pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua akad yang berjalan pada satu transaksi. Pertama: Akad utang piutang. Kedua: Akad jual beli jasa. Gambaran sederhananya: Seperti di atas, namun B meminta biaya jasa atau A memberikan biaya jasa. Maka, hal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai manfaat tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidah dalam masalah ini, كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (keuntungan), maka itu adalah riba.” Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, uang talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat” atau keuntungan. Dan manfaat itu tidak akan ada, kecuali setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحِلُّ ‌سَلَفٌ ‌وَبَيْعٌ “Tidak halal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Dawud) Hal ini dilarang karena sebagai bentuk hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga hal ini menjadi wasilah untuk mengambil manfaat dari utang piutang. Beberapa hal yang harus diketahui tentang akad ini: Pertama: Akad seperti ini adalah akad yang tidak diperbolehkan, karena menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Kedua: Solusi dari akad yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua akad sebelumnya. Keduanya, InsyaAllah adalah akad yang diperbolehkan. Ketiga: Sebagian ulama ada yang membolehkan akad seperti ini dengan syarat ‘urf atau kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, atau tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan uang anaknya, kemudian ibu ingin melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, hal ini dikecualikan oleh sebagian ulama. Wallahu A’lam Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Jumadilawal 1446 / 22 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Beberapa website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://x.com/BadanBahasa/status/1434051223586435076?s=19 [2] website aliftaa.jo


Daftar Isi Toggle Pengertian jastipDari sisi bahasa IndonesiaDari sisi syar’iModel-model jastipAl-Wakalah bil UjrahPenyedia jastip membeli barang terlebih dahuluPenyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Jastip (sebagai singkatan dari jasa titip) menjadi hal yang tidak tabu lagi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin. Hampir-hampir semua kalangan mengetahui tentang jastip ini. Bahkan, hal ini di banyak kesempatan dijadikan sebagai peluang usaha yang cukup menghasilkan. “Mumpung kamu sedang ada di kota sana, tolong belikan makanan untuk saya khas daerah sana. Nanti saya transfer uangnya sekarang juga, atau saya bayar kalau anda sudah sampai di sini. Sekaligus upah untuk anda.” Demikian gambaran ringkas tentang jastip. Pengertian jastip Dari sisi bahasa Indonesia Sebelum beranjak kepada hukumnya, tentu mengetahui tentang pengertiannya sangat penting. Karena tidaklah suatu hukum berangkat, melainkan setelah diketahui tentang pengertiannya. Jastip: jasa pembelian suatu barang yang diberikan kepada orang yang tidak dapat membeli langsung sebuah barang, baik di toko fisik maupun daring dengan penarikan sejumlah biaya. [1] Dari sisi syar’i Adapun pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan akad yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai akad jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang. Masing-masing dari pengertian ini akan datang perinciannya. Model-model jastip Al-Wakalah bil Ujrah Jastip dalam hal ini menjadikan seorang yang membelikan barang atau penyedia jastip sebagai wakil. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berkata kepada B, “Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya akan saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan uang saya. Sebutkan berapa harga bajunya dan uang yang engkau butuhkan, saya akan tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A membayar kepada B Rp.110.000. Ini adalah akad yang diperbolehkan, dan akad seperti ini adalah akad yang paling aman dalam jastip. Yaitu, pembeli membayar uang di muka, tidak menggunakan uang yang diwakilkannya. Sehingga ada dua hal yang dapat digaris bawahi pada akad ini: Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang. Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kedua hal ini yang betul-betul harus diperhatikan dalam akad jastip ini. Di antara dalil yang membolehkan akad seperti ini adalah firman Allah Ta’ala, فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَڪُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّہَآ أَزۡكَىٰ طَعَامً۬ا فَلۡيَأۡتِڪُم بِرِزۡقٍ۬ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِڪُمۡ أَحَدًا “Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi : 19) Ketentuan-ketentuan dalam akad ini: Pertama: Kesepakatan antara kedua belah pihak harus jelas di awal akad. Kesepakatan berupa uang yang diberikan, harga barang, dan upah yang akan diberikan. Kedua: Yang harus diingat bahwa posisi yang membelikan barang atau penyedia jastip adalah “wakil”, sehingga ia tentunya hanya sebatas wakil dalam membelikan barang tersebut. Ia membelikannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Ketiga: Barang yang ingin dijastipkan harus jelas, tidak boleh samar-samar. Dalam hal ini, penyedia jastip harus jujur sejujur-jujurnya. Jika ada kerusakan atau cacat barang, maka harus dijelaskan. Keempat: Jika ada diskon dari toko, maka penyedia jastip tidak boleh mengambil untung dari situ. Karena hal tersebut adalah hak pembeli, bukan hak wakil. Sehingga jika ada diskon, penyedia jastip harus mengabarkan pihak yang menitipkan. Kelima: Jika penyedia jastip membelikan barang yang tidak sesuai kesepakatan dengan yang mewakilkan, maka barang tersebut berhak untuk dikembalikan ke penyedia jastip. Keenam Jika penyedia jastip membelikan barang lebih banyak daripada kesepakatan di awal, seperti penyedia jastip diminta untuk membelikan kambing 1 ekor, namun ternyata ia mendapatkan 2 ekor dengan uang yang diberikan. Hal ini menurut ulama Hanafi dan Maliki, 2 ekor kambing tersebut berhak diterima oleh yang mewakilkan (pembeli). Adapun menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, yang diambil hanya 1 ekor saja. Dan ketentuan-ketentuan lainnya yang tentunya harus diperhatikan oleh kedua belah pihak. Baca juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka Penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu Model kedua ini, penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut, B sedang berada di luar kota, ia mengatakan kepada A, “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli barang ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, kalau cocok silahkan dibeli, kalau tidak cocok tidak apa. Kemudian nanti bayarnya pas kita ketemu saja.” Akad seperti ini pun akad yang diperbolehkan, karena hal ini sama saja dengan jual beli. Dalam hal ini, penyedia jastip boleh untuk mengambil keuntungan dan mengambil upah dari jasa yang telah dikeluarkan. Karena hal ini tidak ada ikatannya dengan utang piutang dan juga akad wakalah, serta segala kerugian ditanggung oleh penyedia jastip dan pengguna layanan jastip ini tidak harus membeli. Sehingga ada beberapa hal yang harus digaris bawahi: Pertama: Akad ini jatuhnya adalah akad jual beli. Kedua: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan. Ketiga: Pengguna layanan jastip tidak harus membeli. Untuk memperjelas ketiga poin ini, silahkan beralih kepada ketentuan-ketentuan berikut. Ketentuan-ketentuan pada akad ini: Pertama: Akad ini adalah akad jual beli, karena penyedia jastip membeli barangnya terlebih dahulu ke toko dengan menggunakan uangnya sendiri. Seolah-olah ia membeli barangnya untuk dirinya sendiri, bukan sebagai wakil. Kedua: Dikarenakan penyedia jastip membeli barangnya untuk dirinya sendiri, ia bebas untuk menawarkan kepada siapa saja. Termasuk kepada orang yang menggunakan layanan jastipnya. Ketiga: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan sesuai dengan keinginannya. Jika ada diskon dari toko, ia tidak mesti memberitahukan pengguna jasanya. Misalnya, harga barang Rp.100.000; kemudian karena membeli banyak, turunlah harga tersebut menjadi Rp.80.000, maka keuntungan ini berhak diperoleh oleh penyedia jastip dalam model akad seperti ini. Keempat: Penyedia jastip tidak diharuskan memberitahukan berapa biaya jasanya dan keuntungannya. Karena ini adalah murni akad jual beli. Kelima: Pengguna layanan jastip boleh membeli barang tersebut atau tidak membelinya. Kalau dirasa barang yang ditawarkan terlalu mahal, ia berhak untuk menolak pembeliannya. Dan ketentuan-ketentuan lainnya, di mana pada akad ini masuknya ke dalam kategori jual beli. Penyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2] Inilah model jastip yang saat ini sedang banyak dilakukan. Yaitu, penyedia jastip mendapatkan perintah dari pengguna layanan untuk membeli suatu barang dengan menggunakan uang penyedia jastip terlebih dahulu, istilah kata “ditalangin” terlebih dahulu. Hal ini tentunya diperbolehkan, jika penyedia jastip tidak mengambil keuntungan sepeser pun. Dalam artian akad dalam hal ini adalah akad sosial atau pure untuk membantu. Gambaran sederhananya: A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, nanti saya ganti kalau engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada uang tambahan sebagai “jasa”. Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan alasan tidak ada manfaat yang diperoleh oleh B. Namun, jika penyedia jastip mengambil keuntungan pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua akad yang berjalan pada satu transaksi. Pertama: Akad utang piutang. Kedua: Akad jual beli jasa. Gambaran sederhananya: Seperti di atas, namun B meminta biaya jasa atau A memberikan biaya jasa. Maka, hal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai manfaat tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidah dalam masalah ini, كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (keuntungan), maka itu adalah riba.” Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, uang talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat” atau keuntungan. Dan manfaat itu tidak akan ada, kecuali setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحِلُّ ‌سَلَفٌ ‌وَبَيْعٌ “Tidak halal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Dawud) Hal ini dilarang karena sebagai bentuk hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga hal ini menjadi wasilah untuk mengambil manfaat dari utang piutang. Beberapa hal yang harus diketahui tentang akad ini: Pertama: Akad seperti ini adalah akad yang tidak diperbolehkan, karena menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Kedua: Solusi dari akad yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua akad sebelumnya. Keduanya, InsyaAllah adalah akad yang diperbolehkan. Ketiga: Sebagian ulama ada yang membolehkan akad seperti ini dengan syarat ‘urf atau kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, atau tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan uang anaknya, kemudian ibu ingin melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, hal ini dikecualikan oleh sebagian ulama. Wallahu A’lam Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Jumadilawal 1446 / 22 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Beberapa website lainnya.   Catatan kaki: [1] https://x.com/BadanBahasa/status/1434051223586435076?s=19 [2] website aliftaa.jo

Mengapa di Kota Madinah Tidak Ada Maulid Nabi? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Seseorang yang sedang mengunjungi negeri yang diberkahi ini menemui saya dan berkata dengan terheran-heran di hari-hari ini, di hari-hari peringatan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Dia berkata, “Aku heran, kenapa aku tidak melihat adanya tanda-tanda perayaan maulid di Madinah.” Dia melanjutkan, “Padahal Madinah adalah kota yang paling berhak merayakan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām.” Dia bertanya-tanya, “Apa alasannya?” Maka aku katakan kepadanya, “Jika engkau mengetahui alasannya, tentu keherananmu akan hilang dari hatimu.” “Alasannya hanya satu.” Dia bertanya, “Apa itu?” Aku katakan, “Karena mereka mencintai Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Karena itulah mereka tidak merayakan Maulid Nabi.” Dia berkata, “Aneh sekali!” Saya berkata, “Ya! Kecintaan yang sejati kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām tidaklah dimanifestasikan dengan acara-acara bid’ah yang diada-adakan dalam agama Allah. Namun, tanda cinta yang hakiki kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām adalah dengan mengikuti beliau (ittibāʿ).” Aku katakan, “Jika engkau ingin bukti dan dalil akan hal tersebut, adakah kecintaan yang lebih tulus kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām daripada kecintaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para Sahabat lainnya, bahkan para Tabiin (dan Tābiʿut Tabiin) yang mengikuti mereka dengan baik?” Aku katakan, “Apakah engkau tahu ada cinta yang lebih tulus melebihi cinta mereka kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām?” Dia jawab, “Tidak ada.” Aku katakan, “Para Sahabat semuanya tidak merayakannya, demikian pula seluruh Tabiin. Perayaan-perayaan ini baru muncul di tengah umat ini pada abad ketiga. Tidak mungkin dikatakan bahwa ini adalah kebaikan yang disimpan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā untuk orang-orang yang hidup di abad-abad belakangan, yang tidak didapat oleh para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Yang benar, bahwa ini adalah keburukan yang Allah jauhkan dari para Sahabat. Allah menjaga dan menyelamatkan mereka dari melakukannya. Namun ini menjadi ujian bagi orang-orang yang datang setelah mereka. Jika memang itu kebaikan, tentu mereka telah mendahului kita melakukannya, karena merekalah yang terdepan dalam setiap kebaikan.” ==== قَبَلَنِي أَحَدُ الزُّوَّارِ لِهَذِهِ الْبِلَادِ الْمُبَارَكَةِ وَقَالَ مُتَعَجِّبًا فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ هِيَ أَيَّامُ مَوْلِدِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ: أَنَا أَتَعَجَّبُ لَا أَرَى أَيَّ مَظْهَرٍ مِنْ مَظَاهِرِ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ فِي الْمَدِينَةِ مَعَ أَنَّ الْمَدِينَةَ، يَقُولُ: أَوْلَى الْبُلْدَانِ الْبُلْدَانِ الدُّنْيَا بِالْاِحْتِفَالِ بِمَوْلِدِهِ مَوْلِدِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَيَتَسَاءَلُ مَا السَّبَبُ قُلْتُ لَهُ: لَوْ أَنَّكَ عَرَفْتَ السَّبَبَ لَزَالَ عَنْ قَلْبِكَ الْعَجَبُ السَّبَبُ وَاحِدٌ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: لِأَنَّهُمْ يُحِبُّونَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِأَجْلِ هَذَا لَا يَحْتَفِلُونَ بِالْمَوْلِدِ قَالَ: عَجَبٌ قُلْتُ: نَعَمْ. قُلْتُ: الْمَحَبَّةُ الصَّادِقَةُ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَكُونُ بِالْمَظَاهِرِ الْمُبْتَدَعَةِ الْمُحْدَثَةِ فِي دِيْنِ اللهِ وَإِنَّمَا الْمَظَاهِرُ الْحَقِيقِيَّةُ لِمَحَبَّةِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هِيَ اتِّبَاعُهُ قُلْتُ لَهُ: وَإِنْ أَرَدْتَ شَاهِدًا وَدَلِيلًا عَلَى هَذَا الْأَمْرِ هَلْ تَعْلَمُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ مَحَبَّةِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ بَلْ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ؟ قُلْتُ: هَلْ تَعْرِفُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً مِنْ مَحَبَّةِ هَؤُلَاءِ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ؟ قَالَ: لَا قُلْتُ: الصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَالتَّابِعُونَ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَهَذِهِ الْاِحْتِفَالَاتُ لَمْ تَحْدُثْ فِي الْأُمَّةِ إِلَّا فِي الْقَرْنِ الثَّالِثِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ هَذَا الخَيْرَ ادَّخَرَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِمَنْ جَاءَ فِي هَذِهِ الْقُرُونِ الْمُتَأَخِّرَةِ وَحَرَمَ مِنْهُ الصَّحَابَةَ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ بَلِ الْحَقُّ أَنَّهُ شَرٌّ وَقَى اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الصَّحَابَةَ مِنهُ وَعَافَاهُمْ وَسَلَّمَهُمْ مِنَ الْوُقُوعِ فِيهِ وَابْتَلَى بِهِ مَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ وَإِلَّا لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ إِذْ هُمُ السَّبَّاقُونَ لِكُلِّ خَيْرٍ

Mengapa di Kota Madinah Tidak Ada Maulid Nabi? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Seseorang yang sedang mengunjungi negeri yang diberkahi ini menemui saya dan berkata dengan terheran-heran di hari-hari ini, di hari-hari peringatan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Dia berkata, “Aku heran, kenapa aku tidak melihat adanya tanda-tanda perayaan maulid di Madinah.” Dia melanjutkan, “Padahal Madinah adalah kota yang paling berhak merayakan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām.” Dia bertanya-tanya, “Apa alasannya?” Maka aku katakan kepadanya, “Jika engkau mengetahui alasannya, tentu keherananmu akan hilang dari hatimu.” “Alasannya hanya satu.” Dia bertanya, “Apa itu?” Aku katakan, “Karena mereka mencintai Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Karena itulah mereka tidak merayakan Maulid Nabi.” Dia berkata, “Aneh sekali!” Saya berkata, “Ya! Kecintaan yang sejati kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām tidaklah dimanifestasikan dengan acara-acara bid’ah yang diada-adakan dalam agama Allah. Namun, tanda cinta yang hakiki kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām adalah dengan mengikuti beliau (ittibāʿ).” Aku katakan, “Jika engkau ingin bukti dan dalil akan hal tersebut, adakah kecintaan yang lebih tulus kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām daripada kecintaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para Sahabat lainnya, bahkan para Tabiin (dan Tābiʿut Tabiin) yang mengikuti mereka dengan baik?” Aku katakan, “Apakah engkau tahu ada cinta yang lebih tulus melebihi cinta mereka kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām?” Dia jawab, “Tidak ada.” Aku katakan, “Para Sahabat semuanya tidak merayakannya, demikian pula seluruh Tabiin. Perayaan-perayaan ini baru muncul di tengah umat ini pada abad ketiga. Tidak mungkin dikatakan bahwa ini adalah kebaikan yang disimpan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā untuk orang-orang yang hidup di abad-abad belakangan, yang tidak didapat oleh para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Yang benar, bahwa ini adalah keburukan yang Allah jauhkan dari para Sahabat. Allah menjaga dan menyelamatkan mereka dari melakukannya. Namun ini menjadi ujian bagi orang-orang yang datang setelah mereka. Jika memang itu kebaikan, tentu mereka telah mendahului kita melakukannya, karena merekalah yang terdepan dalam setiap kebaikan.” ==== قَبَلَنِي أَحَدُ الزُّوَّارِ لِهَذِهِ الْبِلَادِ الْمُبَارَكَةِ وَقَالَ مُتَعَجِّبًا فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ هِيَ أَيَّامُ مَوْلِدِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ: أَنَا أَتَعَجَّبُ لَا أَرَى أَيَّ مَظْهَرٍ مِنْ مَظَاهِرِ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ فِي الْمَدِينَةِ مَعَ أَنَّ الْمَدِينَةَ، يَقُولُ: أَوْلَى الْبُلْدَانِ الْبُلْدَانِ الدُّنْيَا بِالْاِحْتِفَالِ بِمَوْلِدِهِ مَوْلِدِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَيَتَسَاءَلُ مَا السَّبَبُ قُلْتُ لَهُ: لَوْ أَنَّكَ عَرَفْتَ السَّبَبَ لَزَالَ عَنْ قَلْبِكَ الْعَجَبُ السَّبَبُ وَاحِدٌ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: لِأَنَّهُمْ يُحِبُّونَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِأَجْلِ هَذَا لَا يَحْتَفِلُونَ بِالْمَوْلِدِ قَالَ: عَجَبٌ قُلْتُ: نَعَمْ. قُلْتُ: الْمَحَبَّةُ الصَّادِقَةُ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَكُونُ بِالْمَظَاهِرِ الْمُبْتَدَعَةِ الْمُحْدَثَةِ فِي دِيْنِ اللهِ وَإِنَّمَا الْمَظَاهِرُ الْحَقِيقِيَّةُ لِمَحَبَّةِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هِيَ اتِّبَاعُهُ قُلْتُ لَهُ: وَإِنْ أَرَدْتَ شَاهِدًا وَدَلِيلًا عَلَى هَذَا الْأَمْرِ هَلْ تَعْلَمُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ مَحَبَّةِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ بَلْ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ؟ قُلْتُ: هَلْ تَعْرِفُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً مِنْ مَحَبَّةِ هَؤُلَاءِ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ؟ قَالَ: لَا قُلْتُ: الصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَالتَّابِعُونَ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَهَذِهِ الْاِحْتِفَالَاتُ لَمْ تَحْدُثْ فِي الْأُمَّةِ إِلَّا فِي الْقَرْنِ الثَّالِثِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ هَذَا الخَيْرَ ادَّخَرَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِمَنْ جَاءَ فِي هَذِهِ الْقُرُونِ الْمُتَأَخِّرَةِ وَحَرَمَ مِنْهُ الصَّحَابَةَ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ بَلِ الْحَقُّ أَنَّهُ شَرٌّ وَقَى اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الصَّحَابَةَ مِنهُ وَعَافَاهُمْ وَسَلَّمَهُمْ مِنَ الْوُقُوعِ فِيهِ وَابْتَلَى بِهِ مَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ وَإِلَّا لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ إِذْ هُمُ السَّبَّاقُونَ لِكُلِّ خَيْرٍ
Seseorang yang sedang mengunjungi negeri yang diberkahi ini menemui saya dan berkata dengan terheran-heran di hari-hari ini, di hari-hari peringatan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Dia berkata, “Aku heran, kenapa aku tidak melihat adanya tanda-tanda perayaan maulid di Madinah.” Dia melanjutkan, “Padahal Madinah adalah kota yang paling berhak merayakan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām.” Dia bertanya-tanya, “Apa alasannya?” Maka aku katakan kepadanya, “Jika engkau mengetahui alasannya, tentu keherananmu akan hilang dari hatimu.” “Alasannya hanya satu.” Dia bertanya, “Apa itu?” Aku katakan, “Karena mereka mencintai Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Karena itulah mereka tidak merayakan Maulid Nabi.” Dia berkata, “Aneh sekali!” Saya berkata, “Ya! Kecintaan yang sejati kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām tidaklah dimanifestasikan dengan acara-acara bid’ah yang diada-adakan dalam agama Allah. Namun, tanda cinta yang hakiki kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām adalah dengan mengikuti beliau (ittibāʿ).” Aku katakan, “Jika engkau ingin bukti dan dalil akan hal tersebut, adakah kecintaan yang lebih tulus kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām daripada kecintaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para Sahabat lainnya, bahkan para Tabiin (dan Tābiʿut Tabiin) yang mengikuti mereka dengan baik?” Aku katakan, “Apakah engkau tahu ada cinta yang lebih tulus melebihi cinta mereka kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām?” Dia jawab, “Tidak ada.” Aku katakan, “Para Sahabat semuanya tidak merayakannya, demikian pula seluruh Tabiin. Perayaan-perayaan ini baru muncul di tengah umat ini pada abad ketiga. Tidak mungkin dikatakan bahwa ini adalah kebaikan yang disimpan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā untuk orang-orang yang hidup di abad-abad belakangan, yang tidak didapat oleh para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Yang benar, bahwa ini adalah keburukan yang Allah jauhkan dari para Sahabat. Allah menjaga dan menyelamatkan mereka dari melakukannya. Namun ini menjadi ujian bagi orang-orang yang datang setelah mereka. Jika memang itu kebaikan, tentu mereka telah mendahului kita melakukannya, karena merekalah yang terdepan dalam setiap kebaikan.” ==== قَبَلَنِي أَحَدُ الزُّوَّارِ لِهَذِهِ الْبِلَادِ الْمُبَارَكَةِ وَقَالَ مُتَعَجِّبًا فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ هِيَ أَيَّامُ مَوْلِدِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ: أَنَا أَتَعَجَّبُ لَا أَرَى أَيَّ مَظْهَرٍ مِنْ مَظَاهِرِ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ فِي الْمَدِينَةِ مَعَ أَنَّ الْمَدِينَةَ، يَقُولُ: أَوْلَى الْبُلْدَانِ الْبُلْدَانِ الدُّنْيَا بِالْاِحْتِفَالِ بِمَوْلِدِهِ مَوْلِدِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَيَتَسَاءَلُ مَا السَّبَبُ قُلْتُ لَهُ: لَوْ أَنَّكَ عَرَفْتَ السَّبَبَ لَزَالَ عَنْ قَلْبِكَ الْعَجَبُ السَّبَبُ وَاحِدٌ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: لِأَنَّهُمْ يُحِبُّونَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِأَجْلِ هَذَا لَا يَحْتَفِلُونَ بِالْمَوْلِدِ قَالَ: عَجَبٌ قُلْتُ: نَعَمْ. قُلْتُ: الْمَحَبَّةُ الصَّادِقَةُ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَكُونُ بِالْمَظَاهِرِ الْمُبْتَدَعَةِ الْمُحْدَثَةِ فِي دِيْنِ اللهِ وَإِنَّمَا الْمَظَاهِرُ الْحَقِيقِيَّةُ لِمَحَبَّةِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هِيَ اتِّبَاعُهُ قُلْتُ لَهُ: وَإِنْ أَرَدْتَ شَاهِدًا وَدَلِيلًا عَلَى هَذَا الْأَمْرِ هَلْ تَعْلَمُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ مَحَبَّةِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ بَلْ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ؟ قُلْتُ: هَلْ تَعْرِفُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً مِنْ مَحَبَّةِ هَؤُلَاءِ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ؟ قَالَ: لَا قُلْتُ: الصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَالتَّابِعُونَ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَهَذِهِ الْاِحْتِفَالَاتُ لَمْ تَحْدُثْ فِي الْأُمَّةِ إِلَّا فِي الْقَرْنِ الثَّالِثِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ هَذَا الخَيْرَ ادَّخَرَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِمَنْ جَاءَ فِي هَذِهِ الْقُرُونِ الْمُتَأَخِّرَةِ وَحَرَمَ مِنْهُ الصَّحَابَةَ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ بَلِ الْحَقُّ أَنَّهُ شَرٌّ وَقَى اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الصَّحَابَةَ مِنهُ وَعَافَاهُمْ وَسَلَّمَهُمْ مِنَ الْوُقُوعِ فِيهِ وَابْتَلَى بِهِ مَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ وَإِلَّا لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ إِذْ هُمُ السَّبَّاقُونَ لِكُلِّ خَيْرٍ


Seseorang yang sedang mengunjungi negeri yang diberkahi ini menemui saya dan berkata dengan terheran-heran di hari-hari ini, di hari-hari peringatan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Dia berkata, “Aku heran, kenapa aku tidak melihat adanya tanda-tanda perayaan maulid di Madinah.” Dia melanjutkan, “Padahal Madinah adalah kota yang paling berhak merayakan Maulid Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām.” Dia bertanya-tanya, “Apa alasannya?” Maka aku katakan kepadanya, “Jika engkau mengetahui alasannya, tentu keherananmu akan hilang dari hatimu.” “Alasannya hanya satu.” Dia bertanya, “Apa itu?” Aku katakan, “Karena mereka mencintai Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām. Karena itulah mereka tidak merayakan Maulid Nabi.” Dia berkata, “Aneh sekali!” Saya berkata, “Ya! Kecintaan yang sejati kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām tidaklah dimanifestasikan dengan acara-acara bid’ah yang diada-adakan dalam agama Allah. Namun, tanda cinta yang hakiki kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām adalah dengan mengikuti beliau (ittibāʿ).” Aku katakan, “Jika engkau ingin bukti dan dalil akan hal tersebut, adakah kecintaan yang lebih tulus kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām daripada kecintaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para Sahabat lainnya, bahkan para Tabiin (dan Tābiʿut Tabiin) yang mengikuti mereka dengan baik?” Aku katakan, “Apakah engkau tahu ada cinta yang lebih tulus melebihi cinta mereka kepada Nabi ʿalaihiṣ ṣalātu was salām?” Dia jawab, “Tidak ada.” Aku katakan, “Para Sahabat semuanya tidak merayakannya, demikian pula seluruh Tabiin. Perayaan-perayaan ini baru muncul di tengah umat ini pada abad ketiga. Tidak mungkin dikatakan bahwa ini adalah kebaikan yang disimpan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā untuk orang-orang yang hidup di abad-abad belakangan, yang tidak didapat oleh para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Yang benar, bahwa ini adalah keburukan yang Allah jauhkan dari para Sahabat. Allah menjaga dan menyelamatkan mereka dari melakukannya. Namun ini menjadi ujian bagi orang-orang yang datang setelah mereka. Jika memang itu kebaikan, tentu mereka telah mendahului kita melakukannya, karena merekalah yang terdepan dalam setiap kebaikan.” ==== قَبَلَنِي أَحَدُ الزُّوَّارِ لِهَذِهِ الْبِلَادِ الْمُبَارَكَةِ وَقَالَ مُتَعَجِّبًا فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ هِيَ أَيَّامُ مَوْلِدِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ: أَنَا أَتَعَجَّبُ لَا أَرَى أَيَّ مَظْهَرٍ مِنْ مَظَاهِرِ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ فِي الْمَدِينَةِ مَعَ أَنَّ الْمَدِينَةَ، يَقُولُ: أَوْلَى الْبُلْدَانِ الْبُلْدَانِ الدُّنْيَا بِالْاِحْتِفَالِ بِمَوْلِدِهِ مَوْلِدِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَيَتَسَاءَلُ مَا السَّبَبُ قُلْتُ لَهُ: لَوْ أَنَّكَ عَرَفْتَ السَّبَبَ لَزَالَ عَنْ قَلْبِكَ الْعَجَبُ السَّبَبُ وَاحِدٌ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: لِأَنَّهُمْ يُحِبُّونَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَلِأَجْلِ هَذَا لَا يَحْتَفِلُونَ بِالْمَوْلِدِ قَالَ: عَجَبٌ قُلْتُ: نَعَمْ. قُلْتُ: الْمَحَبَّةُ الصَّادِقَةُ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا تَكُونُ بِالْمَظَاهِرِ الْمُبْتَدَعَةِ الْمُحْدَثَةِ فِي دِيْنِ اللهِ وَإِنَّمَا الْمَظَاهِرُ الْحَقِيقِيَّةُ لِمَحَبَّةِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ هِيَ اتِّبَاعُهُ قُلْتُ لَهُ: وَإِنْ أَرَدْتَ شَاهِدًا وَدَلِيلًا عَلَى هَذَا الْأَمْرِ هَلْ تَعْلَمُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ مَحَبَّةِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ بَلْ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ؟ قُلْتُ: هَلْ تَعْرِفُ أَصْدَقَ مَحَبَّةً مِنْ مَحَبَّةِ هَؤُلَاءِ لِلنَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ؟ قَالَ: لَا قُلْتُ: الصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَالتَّابِعُونَ كُلُّهُمْ مَا احْتَفَلُوا وَهَذِهِ الْاِحْتِفَالَاتُ لَمْ تَحْدُثْ فِي الْأُمَّةِ إِلَّا فِي الْقَرْنِ الثَّالِثِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ هَذَا الخَيْرَ ادَّخَرَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِمَنْ جَاءَ فِي هَذِهِ الْقُرُونِ الْمُتَأَخِّرَةِ وَحَرَمَ مِنْهُ الصَّحَابَةَ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ بَلِ الْحَقُّ أَنَّهُ شَرٌّ وَقَى اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الصَّحَابَةَ مِنهُ وَعَافَاهُمْ وَسَلَّمَهُمْ مِنَ الْوُقُوعِ فِيهِ وَابْتَلَى بِهِ مَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ وَإِلَّا لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ إِذْ هُمُ السَّبَّاقُونَ لِكُلِّ خَيْرٍ

Cara Masuk Islam

Daftar Isi Toggle Mengucapkan dua kalimat syahadatHukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa ArabApakah harus menghadirkan saksi?Apakah harus mandi?Bagaimana status hukum pernikahan?Jika keduanya masuk Islam bersamaJika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahuluJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitabJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitabJika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslimApa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Salah satu keistimewaan agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan sederhana untuk diikuti oleh siapa saja. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam Islam bersifat langsung tanpa memerlukan perantara. Di mana pun seseorang berada, ia dapat berhubungan dengan Tuhannya, Sang Pencipta, dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam, baik di rumah, tempat kerja, atau kebun, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186) Mengucapkan dua kalimat syahadat Masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Cukup dengan menggerakkan lisan dan bibir untuk mengucapkan dua kalimat yang agung, أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA  ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Pengucapan ini adalah bentuk pengakuan dan pembenaran atas kandungan dari dua kalimat tersebut, yaitu: Pertama: Mengakui keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hanya Dia yang berhak disembah, tanpa sekutu, tandingan, atau yang menyerupai-Nya, serta berserah diri dan patuh pada perintah dan larangan-Nya. Kedua: Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh manusia. Seorang muslim wajib mengikuti apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan membenarkan semua kabar yang disampaikan oleh beliau. Apabila makna-makna ini telah tertanam dalam hati dan seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan, ia menjadi seorang muslim yang benar. Ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim lainnya. [1] Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, ومن المعلوم بالضرورة أن النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان يقبل مِنْ كُلِّ من جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلمًا “Telah menjadi hal yang diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima setiap orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan itu, darahnya dilindungi dan ia menjadi seorang muslim.” [2] Hukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa Arab Jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri. Adapun jika ia mampu berbahasa Arab, maka dianjurkan baginya mengucapkannya dengan bahasa Arab, dalam rangka keluar dari silang pendapat para ulama. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa, يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَرَادَ الإِْسْلَامَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِلِسَانِهِ “Mayoritas ulama berpendapat, jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri.” [3] Namun, perlu diperhatikan pelafalan kata Allah (الله) dan Muhammad (مُحَمَّد). Misalkan, jika seseorang tidak terbiasa mengucapkan huruf (ح) dengan benar sehingga ia menggantinya dengan huruf lain seperti ha’ (ه) atau lainnya, maka masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Hendaknya merujuk pada kitab-kitab panjang yang membahas hal ini atau bertanya kepada seorang alim untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Apakah harus menghadirkan saksi? Sebagimana dalam pembahasan yang telah berlalu, masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Seseorang cukup menggerakkan lisan dan bibirnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهد أنّ محمد رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). [4] Jadi, tidak disyaratkan kehadiran imam atau saksi untuk keabsahan masuk Islam. Bahkan, tidak diwajibkan pula menyebut kata “Asyhadu” (Aku bersaksi). Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, ولا تفتقر صحة الإسلام إلى أن يقول الداخل فيه: “أشهد أن لا إله إلَّا الله (وأشهد أن محمدًا رسول الله،)” بل لو قال: “لا إله إلَّا الله محمد رسول الله” كان مسلمًا بالاتفاق. “Keabsahan Islam tidak bergantung pada ucapan ‘Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.’ Bahkan, jika seseorang hanya mengatakan ‘Laa ilaha illallah Muhammadan Rasulullah,’ ia sudah dianggap sebagai seorang muslim dengan kesepakatan ulama.” [5] Baca juga: Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah Apakah harus mandi? Mandi besar (ghusl) dianjurkan bagi seseorang yang masuk Islam, namun tidak diwajibkan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Tsumamah bin Uthal masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ “Bawalah dia ke kebun milik Bani Fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, no. 8024; hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani). [6] Kecuali jika seseorang masuk Islam dalam keadaan junub, atau seorang wanita masuk Islam dalam keadaan haid atau nifas; dan belum mandi sebelum masuk Islam. Maka, dalam kondisi seperti ini mandi menjadi wajib, bukan karena masuk Islam, tetapi karena mereka sedang dalam keadaan hadas besar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i. [7] Bagaimana status hukum pernikahan? Islam mengajak seluruh manusia untuk memeluknya dan mengikuti petunjuknya yang lurus. Agama ini juga mempertimbangkan adanya ikatan pernikahan dan hubungan keluarga yang erat di antara orang-orang yang baru masuk Islam, yang tidak mudah untuk diakhiri atau diputuskan begitu saja. Oleh karena itu, Islam mengatur hukum terkait pernikahan dan memberikan penjelasan mengenai batasan serta implikasinya. Pasangan nonmuslim yang menikah sebelum masuk Islam dapat menghadapi dua kondisi: mereka masuk Islam bersama atau salah satu di antara mereka masuk Islam lebih dahulu. Bagaimana status hukum pernikahan dalam situasi-situasi ini? Jika keduanya masuk Islam bersama Para ulama sepakat bahwa jika suami dan istri masuk Islam secara bersamaan di waktu dan tempat yang sama, maka pernikahan mereka tetap sah berdasarkan akad sebelumnya, selama tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan pernikahan tersebut batal. Hal ini berlaku baik mereka masuk Islam sebelum atau setelah berhubungan badan. Banyak kasus di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana pasangan nonmuslim masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan pernikahan mereka tanpa menanyakan detail atau syarat-syaratnya. Jika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahulu Dalam situasi ini, dan terjadi setelah berhubungan badan [8]; maka tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut: Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitab Jika suami masuk Islam terlebih dahulu, sementara istrinya adalah ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), dan pernikahan mereka sudah terjalin sebelumnya, maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini karena Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana firman Allah, وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ “Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitab Jika suami masuk Islam lebih dahulu, sementara istrinya bukan ahli kitab, maka pernikahan harus diputuskan (diakhiri), kecuali istri masuk Islam sebelum masa iddah berakhir. Masa iddah adalah tiga kali haid bagi wanita yang masih mengalami haid, tiga bulan bagi wanita yang tidak mengalami haid, atau sampai melahirkan bagi wanita hamil. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, pernikahan tetap sah. Namun, jika tidak, pernikahan dianggap batal. Dalil dari hukum ini adalah kisah Abu Sufyan bin Harb yang masuk Islam lebih dahulu dari istrinya, Hindun binti Utbah. Beberapa hari kemudian Hindun masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan mereka. Jika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslim Jika istri masuk Islam sementara suaminya masih nonmuslim (baik ahli kitab maupun bukan), maka istri wajib memutuskan (mengakhiri) hubungan pernikahan tersebut. Namun, status pernikahan masih dapat dipertahankan selama masa iddah. Jika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai, pernikahan tetap sah. Jika tidak, pernikahan dianggap batal setelah masa iddah berakhir. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, إِذَا أَسْلَمَتِ النَّصْرَانِيَّةُ قَبْلَ زَوْجِهَا بِسَاعَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ “Jika seorang wanita Nasrani masuk Islam sebelum suaminya, maka ia menjadi haram bagi suaminya.” (HR. Bukhari no. 4983) Demikian juga, Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan Safwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal tanpa memerlukan akad baru. Jika seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, ia wajib memberitahukan hal ini kepada suaminya dan dianjurkan untuk mengajaknya masuk Islam dengan cara yang baik. Ia juga harus menjelaskan bahwa jika suami tidak masuk Islam dalam masa iddah, maka ia harus berpisah dengannya. [9] Apa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mempelajari ajaran Islam (khususnya salat) dan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh jahiliyah. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari ayahnya, ia berkata, كان الرجل إذا أسلم علمه النبي الصلاة. ثم أمره أن يدعو بهؤلاء الكلمات: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.» “Apabila seseorang masuk Islam, Nabi mengajarinya salat, lalu memerintahkannya untuk membaca doa berikut, ‘Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku petunjuk, kesehatan, dan rezeki.’” (HR. Muslim no. 2697) Diriwayatkan pula dari ‘Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya telah masuk Islam.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ “Buanglah rambut kekufuran darimu dan lakukan khitan.” (HR. Abu Dawud no. 302; dinilai sahih oleh Al-Albani). Mengenai “Buanglah rambut kekufuran,” bukan berarti setiap muslim baru harus mencukur rambutnya sebagaimana diwajibkannya mandi. Namun, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rambut yang mencirikan kekufuran -yang biasanya menjadi tanda khusus orang kafir- harus dihilangkan. Hal ini berbeda-beda sesuai tradisi di berbagai tempat. Nabi memerintahkan kepada kakek ‘Utsaim dan orang-orang yang bersamanya untuk mencukur rambut jenis tersebut sebagai tanda perbedaan antara Islam dan kekufuran. Wallahu a’lam. Adapun “khitan” merupakan bukti bahwa khitan adalah kewajiban bagi orang yang masuk Islam dan menjadi salah satu tanda keislaman. [10] Kita memohon kepada Allah agar memberkahi kita dalam keislaman dan keimanan, meneguhkan hati kita di atas petunjuk, serta memberikan taufik dan kemudahan dalam pekerjaan dan ibadah kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa. Baca juga: Penjelasan Lengkap Hadis Rukun Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumada Al-Awwal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Unit Penelitian Ilmiah, Idaratul Iftaa. (2011). Al-Mulakhkhash Al-Mufid fi Ahkam Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). 1432/ 2011. Al-Munajjid, Muhammad Shalih. (2009). Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). Al-Khubar: Majmu’ah Zad. 1430/ 2009.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix – x) [2] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, (1: 228). [3] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 11: 173. [4] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix). [5] Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, 2: 540. [6] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 14. [7] Lihat http://iswy.co/e14sai [8] Jika terjadi sebelum berhubungan, terdapat rincian yang cukup panjang. Silakan merujuk ke kitab referensi. [9] Diringkas dari Al-Mulakhkhash Al-Mufid, hal. 263-267. [10] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 16-17.

Cara Masuk Islam

Daftar Isi Toggle Mengucapkan dua kalimat syahadatHukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa ArabApakah harus menghadirkan saksi?Apakah harus mandi?Bagaimana status hukum pernikahan?Jika keduanya masuk Islam bersamaJika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahuluJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitabJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitabJika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslimApa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Salah satu keistimewaan agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan sederhana untuk diikuti oleh siapa saja. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam Islam bersifat langsung tanpa memerlukan perantara. Di mana pun seseorang berada, ia dapat berhubungan dengan Tuhannya, Sang Pencipta, dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam, baik di rumah, tempat kerja, atau kebun, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186) Mengucapkan dua kalimat syahadat Masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Cukup dengan menggerakkan lisan dan bibir untuk mengucapkan dua kalimat yang agung, أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA  ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Pengucapan ini adalah bentuk pengakuan dan pembenaran atas kandungan dari dua kalimat tersebut, yaitu: Pertama: Mengakui keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hanya Dia yang berhak disembah, tanpa sekutu, tandingan, atau yang menyerupai-Nya, serta berserah diri dan patuh pada perintah dan larangan-Nya. Kedua: Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh manusia. Seorang muslim wajib mengikuti apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan membenarkan semua kabar yang disampaikan oleh beliau. Apabila makna-makna ini telah tertanam dalam hati dan seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan, ia menjadi seorang muslim yang benar. Ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim lainnya. [1] Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, ومن المعلوم بالضرورة أن النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان يقبل مِنْ كُلِّ من جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلمًا “Telah menjadi hal yang diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima setiap orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan itu, darahnya dilindungi dan ia menjadi seorang muslim.” [2] Hukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa Arab Jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri. Adapun jika ia mampu berbahasa Arab, maka dianjurkan baginya mengucapkannya dengan bahasa Arab, dalam rangka keluar dari silang pendapat para ulama. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa, يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَرَادَ الإِْسْلَامَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِلِسَانِهِ “Mayoritas ulama berpendapat, jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri.” [3] Namun, perlu diperhatikan pelafalan kata Allah (الله) dan Muhammad (مُحَمَّد). Misalkan, jika seseorang tidak terbiasa mengucapkan huruf (ح) dengan benar sehingga ia menggantinya dengan huruf lain seperti ha’ (ه) atau lainnya, maka masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Hendaknya merujuk pada kitab-kitab panjang yang membahas hal ini atau bertanya kepada seorang alim untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Apakah harus menghadirkan saksi? Sebagimana dalam pembahasan yang telah berlalu, masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Seseorang cukup menggerakkan lisan dan bibirnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهد أنّ محمد رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). [4] Jadi, tidak disyaratkan kehadiran imam atau saksi untuk keabsahan masuk Islam. Bahkan, tidak diwajibkan pula menyebut kata “Asyhadu” (Aku bersaksi). Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, ولا تفتقر صحة الإسلام إلى أن يقول الداخل فيه: “أشهد أن لا إله إلَّا الله (وأشهد أن محمدًا رسول الله،)” بل لو قال: “لا إله إلَّا الله محمد رسول الله” كان مسلمًا بالاتفاق. “Keabsahan Islam tidak bergantung pada ucapan ‘Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.’ Bahkan, jika seseorang hanya mengatakan ‘Laa ilaha illallah Muhammadan Rasulullah,’ ia sudah dianggap sebagai seorang muslim dengan kesepakatan ulama.” [5] Baca juga: Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah Apakah harus mandi? Mandi besar (ghusl) dianjurkan bagi seseorang yang masuk Islam, namun tidak diwajibkan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Tsumamah bin Uthal masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ “Bawalah dia ke kebun milik Bani Fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, no. 8024; hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani). [6] Kecuali jika seseorang masuk Islam dalam keadaan junub, atau seorang wanita masuk Islam dalam keadaan haid atau nifas; dan belum mandi sebelum masuk Islam. Maka, dalam kondisi seperti ini mandi menjadi wajib, bukan karena masuk Islam, tetapi karena mereka sedang dalam keadaan hadas besar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i. [7] Bagaimana status hukum pernikahan? Islam mengajak seluruh manusia untuk memeluknya dan mengikuti petunjuknya yang lurus. Agama ini juga mempertimbangkan adanya ikatan pernikahan dan hubungan keluarga yang erat di antara orang-orang yang baru masuk Islam, yang tidak mudah untuk diakhiri atau diputuskan begitu saja. Oleh karena itu, Islam mengatur hukum terkait pernikahan dan memberikan penjelasan mengenai batasan serta implikasinya. Pasangan nonmuslim yang menikah sebelum masuk Islam dapat menghadapi dua kondisi: mereka masuk Islam bersama atau salah satu di antara mereka masuk Islam lebih dahulu. Bagaimana status hukum pernikahan dalam situasi-situasi ini? Jika keduanya masuk Islam bersama Para ulama sepakat bahwa jika suami dan istri masuk Islam secara bersamaan di waktu dan tempat yang sama, maka pernikahan mereka tetap sah berdasarkan akad sebelumnya, selama tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan pernikahan tersebut batal. Hal ini berlaku baik mereka masuk Islam sebelum atau setelah berhubungan badan. Banyak kasus di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana pasangan nonmuslim masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan pernikahan mereka tanpa menanyakan detail atau syarat-syaratnya. Jika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahulu Dalam situasi ini, dan terjadi setelah berhubungan badan [8]; maka tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut: Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitab Jika suami masuk Islam terlebih dahulu, sementara istrinya adalah ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), dan pernikahan mereka sudah terjalin sebelumnya, maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini karena Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana firman Allah, وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ “Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitab Jika suami masuk Islam lebih dahulu, sementara istrinya bukan ahli kitab, maka pernikahan harus diputuskan (diakhiri), kecuali istri masuk Islam sebelum masa iddah berakhir. Masa iddah adalah tiga kali haid bagi wanita yang masih mengalami haid, tiga bulan bagi wanita yang tidak mengalami haid, atau sampai melahirkan bagi wanita hamil. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, pernikahan tetap sah. Namun, jika tidak, pernikahan dianggap batal. Dalil dari hukum ini adalah kisah Abu Sufyan bin Harb yang masuk Islam lebih dahulu dari istrinya, Hindun binti Utbah. Beberapa hari kemudian Hindun masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan mereka. Jika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslim Jika istri masuk Islam sementara suaminya masih nonmuslim (baik ahli kitab maupun bukan), maka istri wajib memutuskan (mengakhiri) hubungan pernikahan tersebut. Namun, status pernikahan masih dapat dipertahankan selama masa iddah. Jika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai, pernikahan tetap sah. Jika tidak, pernikahan dianggap batal setelah masa iddah berakhir. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, إِذَا أَسْلَمَتِ النَّصْرَانِيَّةُ قَبْلَ زَوْجِهَا بِسَاعَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ “Jika seorang wanita Nasrani masuk Islam sebelum suaminya, maka ia menjadi haram bagi suaminya.” (HR. Bukhari no. 4983) Demikian juga, Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan Safwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal tanpa memerlukan akad baru. Jika seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, ia wajib memberitahukan hal ini kepada suaminya dan dianjurkan untuk mengajaknya masuk Islam dengan cara yang baik. Ia juga harus menjelaskan bahwa jika suami tidak masuk Islam dalam masa iddah, maka ia harus berpisah dengannya. [9] Apa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mempelajari ajaran Islam (khususnya salat) dan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh jahiliyah. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari ayahnya, ia berkata, كان الرجل إذا أسلم علمه النبي الصلاة. ثم أمره أن يدعو بهؤلاء الكلمات: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.» “Apabila seseorang masuk Islam, Nabi mengajarinya salat, lalu memerintahkannya untuk membaca doa berikut, ‘Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku petunjuk, kesehatan, dan rezeki.’” (HR. Muslim no. 2697) Diriwayatkan pula dari ‘Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya telah masuk Islam.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ “Buanglah rambut kekufuran darimu dan lakukan khitan.” (HR. Abu Dawud no. 302; dinilai sahih oleh Al-Albani). Mengenai “Buanglah rambut kekufuran,” bukan berarti setiap muslim baru harus mencukur rambutnya sebagaimana diwajibkannya mandi. Namun, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rambut yang mencirikan kekufuran -yang biasanya menjadi tanda khusus orang kafir- harus dihilangkan. Hal ini berbeda-beda sesuai tradisi di berbagai tempat. Nabi memerintahkan kepada kakek ‘Utsaim dan orang-orang yang bersamanya untuk mencukur rambut jenis tersebut sebagai tanda perbedaan antara Islam dan kekufuran. Wallahu a’lam. Adapun “khitan” merupakan bukti bahwa khitan adalah kewajiban bagi orang yang masuk Islam dan menjadi salah satu tanda keislaman. [10] Kita memohon kepada Allah agar memberkahi kita dalam keislaman dan keimanan, meneguhkan hati kita di atas petunjuk, serta memberikan taufik dan kemudahan dalam pekerjaan dan ibadah kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa. Baca juga: Penjelasan Lengkap Hadis Rukun Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumada Al-Awwal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Unit Penelitian Ilmiah, Idaratul Iftaa. (2011). Al-Mulakhkhash Al-Mufid fi Ahkam Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). 1432/ 2011. Al-Munajjid, Muhammad Shalih. (2009). Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). Al-Khubar: Majmu’ah Zad. 1430/ 2009.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix – x) [2] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, (1: 228). [3] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 11: 173. [4] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix). [5] Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, 2: 540. [6] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 14. [7] Lihat http://iswy.co/e14sai [8] Jika terjadi sebelum berhubungan, terdapat rincian yang cukup panjang. Silakan merujuk ke kitab referensi. [9] Diringkas dari Al-Mulakhkhash Al-Mufid, hal. 263-267. [10] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 16-17.
Daftar Isi Toggle Mengucapkan dua kalimat syahadatHukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa ArabApakah harus menghadirkan saksi?Apakah harus mandi?Bagaimana status hukum pernikahan?Jika keduanya masuk Islam bersamaJika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahuluJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitabJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitabJika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslimApa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Salah satu keistimewaan agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan sederhana untuk diikuti oleh siapa saja. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam Islam bersifat langsung tanpa memerlukan perantara. Di mana pun seseorang berada, ia dapat berhubungan dengan Tuhannya, Sang Pencipta, dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam, baik di rumah, tempat kerja, atau kebun, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186) Mengucapkan dua kalimat syahadat Masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Cukup dengan menggerakkan lisan dan bibir untuk mengucapkan dua kalimat yang agung, أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA  ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Pengucapan ini adalah bentuk pengakuan dan pembenaran atas kandungan dari dua kalimat tersebut, yaitu: Pertama: Mengakui keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hanya Dia yang berhak disembah, tanpa sekutu, tandingan, atau yang menyerupai-Nya, serta berserah diri dan patuh pada perintah dan larangan-Nya. Kedua: Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh manusia. Seorang muslim wajib mengikuti apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan membenarkan semua kabar yang disampaikan oleh beliau. Apabila makna-makna ini telah tertanam dalam hati dan seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan, ia menjadi seorang muslim yang benar. Ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim lainnya. [1] Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, ومن المعلوم بالضرورة أن النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان يقبل مِنْ كُلِّ من جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلمًا “Telah menjadi hal yang diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima setiap orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan itu, darahnya dilindungi dan ia menjadi seorang muslim.” [2] Hukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa Arab Jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri. Adapun jika ia mampu berbahasa Arab, maka dianjurkan baginya mengucapkannya dengan bahasa Arab, dalam rangka keluar dari silang pendapat para ulama. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa, يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَرَادَ الإِْسْلَامَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِلِسَانِهِ “Mayoritas ulama berpendapat, jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri.” [3] Namun, perlu diperhatikan pelafalan kata Allah (الله) dan Muhammad (مُحَمَّد). Misalkan, jika seseorang tidak terbiasa mengucapkan huruf (ح) dengan benar sehingga ia menggantinya dengan huruf lain seperti ha’ (ه) atau lainnya, maka masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Hendaknya merujuk pada kitab-kitab panjang yang membahas hal ini atau bertanya kepada seorang alim untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Apakah harus menghadirkan saksi? Sebagimana dalam pembahasan yang telah berlalu, masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Seseorang cukup menggerakkan lisan dan bibirnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهد أنّ محمد رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). [4] Jadi, tidak disyaratkan kehadiran imam atau saksi untuk keabsahan masuk Islam. Bahkan, tidak diwajibkan pula menyebut kata “Asyhadu” (Aku bersaksi). Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, ولا تفتقر صحة الإسلام إلى أن يقول الداخل فيه: “أشهد أن لا إله إلَّا الله (وأشهد أن محمدًا رسول الله،)” بل لو قال: “لا إله إلَّا الله محمد رسول الله” كان مسلمًا بالاتفاق. “Keabsahan Islam tidak bergantung pada ucapan ‘Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.’ Bahkan, jika seseorang hanya mengatakan ‘Laa ilaha illallah Muhammadan Rasulullah,’ ia sudah dianggap sebagai seorang muslim dengan kesepakatan ulama.” [5] Baca juga: Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah Apakah harus mandi? Mandi besar (ghusl) dianjurkan bagi seseorang yang masuk Islam, namun tidak diwajibkan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Tsumamah bin Uthal masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ “Bawalah dia ke kebun milik Bani Fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, no. 8024; hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani). [6] Kecuali jika seseorang masuk Islam dalam keadaan junub, atau seorang wanita masuk Islam dalam keadaan haid atau nifas; dan belum mandi sebelum masuk Islam. Maka, dalam kondisi seperti ini mandi menjadi wajib, bukan karena masuk Islam, tetapi karena mereka sedang dalam keadaan hadas besar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i. [7] Bagaimana status hukum pernikahan? Islam mengajak seluruh manusia untuk memeluknya dan mengikuti petunjuknya yang lurus. Agama ini juga mempertimbangkan adanya ikatan pernikahan dan hubungan keluarga yang erat di antara orang-orang yang baru masuk Islam, yang tidak mudah untuk diakhiri atau diputuskan begitu saja. Oleh karena itu, Islam mengatur hukum terkait pernikahan dan memberikan penjelasan mengenai batasan serta implikasinya. Pasangan nonmuslim yang menikah sebelum masuk Islam dapat menghadapi dua kondisi: mereka masuk Islam bersama atau salah satu di antara mereka masuk Islam lebih dahulu. Bagaimana status hukum pernikahan dalam situasi-situasi ini? Jika keduanya masuk Islam bersama Para ulama sepakat bahwa jika suami dan istri masuk Islam secara bersamaan di waktu dan tempat yang sama, maka pernikahan mereka tetap sah berdasarkan akad sebelumnya, selama tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan pernikahan tersebut batal. Hal ini berlaku baik mereka masuk Islam sebelum atau setelah berhubungan badan. Banyak kasus di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana pasangan nonmuslim masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan pernikahan mereka tanpa menanyakan detail atau syarat-syaratnya. Jika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahulu Dalam situasi ini, dan terjadi setelah berhubungan badan [8]; maka tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut: Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitab Jika suami masuk Islam terlebih dahulu, sementara istrinya adalah ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), dan pernikahan mereka sudah terjalin sebelumnya, maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini karena Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana firman Allah, وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ “Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitab Jika suami masuk Islam lebih dahulu, sementara istrinya bukan ahli kitab, maka pernikahan harus diputuskan (diakhiri), kecuali istri masuk Islam sebelum masa iddah berakhir. Masa iddah adalah tiga kali haid bagi wanita yang masih mengalami haid, tiga bulan bagi wanita yang tidak mengalami haid, atau sampai melahirkan bagi wanita hamil. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, pernikahan tetap sah. Namun, jika tidak, pernikahan dianggap batal. Dalil dari hukum ini adalah kisah Abu Sufyan bin Harb yang masuk Islam lebih dahulu dari istrinya, Hindun binti Utbah. Beberapa hari kemudian Hindun masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan mereka. Jika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslim Jika istri masuk Islam sementara suaminya masih nonmuslim (baik ahli kitab maupun bukan), maka istri wajib memutuskan (mengakhiri) hubungan pernikahan tersebut. Namun, status pernikahan masih dapat dipertahankan selama masa iddah. Jika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai, pernikahan tetap sah. Jika tidak, pernikahan dianggap batal setelah masa iddah berakhir. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, إِذَا أَسْلَمَتِ النَّصْرَانِيَّةُ قَبْلَ زَوْجِهَا بِسَاعَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ “Jika seorang wanita Nasrani masuk Islam sebelum suaminya, maka ia menjadi haram bagi suaminya.” (HR. Bukhari no. 4983) Demikian juga, Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan Safwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal tanpa memerlukan akad baru. Jika seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, ia wajib memberitahukan hal ini kepada suaminya dan dianjurkan untuk mengajaknya masuk Islam dengan cara yang baik. Ia juga harus menjelaskan bahwa jika suami tidak masuk Islam dalam masa iddah, maka ia harus berpisah dengannya. [9] Apa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mempelajari ajaran Islam (khususnya salat) dan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh jahiliyah. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari ayahnya, ia berkata, كان الرجل إذا أسلم علمه النبي الصلاة. ثم أمره أن يدعو بهؤلاء الكلمات: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.» “Apabila seseorang masuk Islam, Nabi mengajarinya salat, lalu memerintahkannya untuk membaca doa berikut, ‘Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku petunjuk, kesehatan, dan rezeki.’” (HR. Muslim no. 2697) Diriwayatkan pula dari ‘Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya telah masuk Islam.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ “Buanglah rambut kekufuran darimu dan lakukan khitan.” (HR. Abu Dawud no. 302; dinilai sahih oleh Al-Albani). Mengenai “Buanglah rambut kekufuran,” bukan berarti setiap muslim baru harus mencukur rambutnya sebagaimana diwajibkannya mandi. Namun, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rambut yang mencirikan kekufuran -yang biasanya menjadi tanda khusus orang kafir- harus dihilangkan. Hal ini berbeda-beda sesuai tradisi di berbagai tempat. Nabi memerintahkan kepada kakek ‘Utsaim dan orang-orang yang bersamanya untuk mencukur rambut jenis tersebut sebagai tanda perbedaan antara Islam dan kekufuran. Wallahu a’lam. Adapun “khitan” merupakan bukti bahwa khitan adalah kewajiban bagi orang yang masuk Islam dan menjadi salah satu tanda keislaman. [10] Kita memohon kepada Allah agar memberkahi kita dalam keislaman dan keimanan, meneguhkan hati kita di atas petunjuk, serta memberikan taufik dan kemudahan dalam pekerjaan dan ibadah kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa. Baca juga: Penjelasan Lengkap Hadis Rukun Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumada Al-Awwal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Unit Penelitian Ilmiah, Idaratul Iftaa. (2011). Al-Mulakhkhash Al-Mufid fi Ahkam Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). 1432/ 2011. Al-Munajjid, Muhammad Shalih. (2009). Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). Al-Khubar: Majmu’ah Zad. 1430/ 2009.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix – x) [2] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, (1: 228). [3] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 11: 173. [4] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix). [5] Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, 2: 540. [6] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 14. [7] Lihat http://iswy.co/e14sai [8] Jika terjadi sebelum berhubungan, terdapat rincian yang cukup panjang. Silakan merujuk ke kitab referensi. [9] Diringkas dari Al-Mulakhkhash Al-Mufid, hal. 263-267. [10] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 16-17.


Daftar Isi Toggle Mengucapkan dua kalimat syahadatHukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa ArabApakah harus menghadirkan saksi?Apakah harus mandi?Bagaimana status hukum pernikahan?Jika keduanya masuk Islam bersamaJika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahuluJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitabJika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitabJika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslimApa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Salah satu keistimewaan agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan sederhana untuk diikuti oleh siapa saja. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam Islam bersifat langsung tanpa memerlukan perantara. Di mana pun seseorang berada, ia dapat berhubungan dengan Tuhannya, Sang Pencipta, dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam, baik di rumah, tempat kerja, atau kebun, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186) Mengucapkan dua kalimat syahadat Masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Cukup dengan menggerakkan lisan dan bibir untuk mengucapkan dua kalimat yang agung, أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA  ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) Pengucapan ini adalah bentuk pengakuan dan pembenaran atas kandungan dari dua kalimat tersebut, yaitu: Pertama: Mengakui keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hanya Dia yang berhak disembah, tanpa sekutu, tandingan, atau yang menyerupai-Nya, serta berserah diri dan patuh pada perintah dan larangan-Nya. Kedua: Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh manusia. Seorang muslim wajib mengikuti apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan membenarkan semua kabar yang disampaikan oleh beliau. Apabila makna-makna ini telah tertanam dalam hati dan seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan, ia menjadi seorang muslim yang benar. Ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim lainnya. [1] Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, ومن المعلوم بالضرورة أن النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان يقبل مِنْ كُلِّ من جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلمًا “Telah menjadi hal yang diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima setiap orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan itu, darahnya dilindungi dan ia menjadi seorang muslim.” [2] Hukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa Arab Jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri. Adapun jika ia mampu berbahasa Arab, maka dianjurkan baginya mengucapkannya dengan bahasa Arab, dalam rangka keluar dari silang pendapat para ulama. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa, يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَرَادَ الإِْسْلَامَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِلِسَانِهِ “Mayoritas ulama berpendapat, jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri.” [3] Namun, perlu diperhatikan pelafalan kata Allah (الله) dan Muhammad (مُحَمَّد). Misalkan, jika seseorang tidak terbiasa mengucapkan huruf (ح) dengan benar sehingga ia menggantinya dengan huruf lain seperti ha’ (ه) atau lainnya, maka masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Hendaknya merujuk pada kitab-kitab panjang yang membahas hal ini atau bertanya kepada seorang alim untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Apakah harus menghadirkan saksi? Sebagimana dalam pembahasan yang telah berlalu, masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Seseorang cukup menggerakkan lisan dan bibirnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهد أنّ محمد رسول الله “ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH” (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). [4] Jadi, tidak disyaratkan kehadiran imam atau saksi untuk keabsahan masuk Islam. Bahkan, tidak diwajibkan pula menyebut kata “Asyhadu” (Aku bersaksi). Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, ولا تفتقر صحة الإسلام إلى أن يقول الداخل فيه: “أشهد أن لا إله إلَّا الله (وأشهد أن محمدًا رسول الله،)” بل لو قال: “لا إله إلَّا الله محمد رسول الله” كان مسلمًا بالاتفاق. “Keabsahan Islam tidak bergantung pada ucapan ‘Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.’ Bahkan, jika seseorang hanya mengatakan ‘Laa ilaha illallah Muhammadan Rasulullah,’ ia sudah dianggap sebagai seorang muslim dengan kesepakatan ulama.” [5] Baca juga: Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah Apakah harus mandi? Mandi besar (ghusl) dianjurkan bagi seseorang yang masuk Islam, namun tidak diwajibkan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Tsumamah bin Uthal masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ “Bawalah dia ke kebun milik Bani Fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, no. 8024; hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani). [6] Kecuali jika seseorang masuk Islam dalam keadaan junub, atau seorang wanita masuk Islam dalam keadaan haid atau nifas; dan belum mandi sebelum masuk Islam. Maka, dalam kondisi seperti ini mandi menjadi wajib, bukan karena masuk Islam, tetapi karena mereka sedang dalam keadaan hadas besar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i. [7] Bagaimana status hukum pernikahan? Islam mengajak seluruh manusia untuk memeluknya dan mengikuti petunjuknya yang lurus. Agama ini juga mempertimbangkan adanya ikatan pernikahan dan hubungan keluarga yang erat di antara orang-orang yang baru masuk Islam, yang tidak mudah untuk diakhiri atau diputuskan begitu saja. Oleh karena itu, Islam mengatur hukum terkait pernikahan dan memberikan penjelasan mengenai batasan serta implikasinya. Pasangan nonmuslim yang menikah sebelum masuk Islam dapat menghadapi dua kondisi: mereka masuk Islam bersama atau salah satu di antara mereka masuk Islam lebih dahulu. Bagaimana status hukum pernikahan dalam situasi-situasi ini? Jika keduanya masuk Islam bersama Para ulama sepakat bahwa jika suami dan istri masuk Islam secara bersamaan di waktu dan tempat yang sama, maka pernikahan mereka tetap sah berdasarkan akad sebelumnya, selama tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan pernikahan tersebut batal. Hal ini berlaku baik mereka masuk Islam sebelum atau setelah berhubungan badan. Banyak kasus di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana pasangan nonmuslim masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan pernikahan mereka tanpa menanyakan detail atau syarat-syaratnya. Jika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahulu Dalam situasi ini, dan terjadi setelah berhubungan badan [8]; maka tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut: Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitab Jika suami masuk Islam terlebih dahulu, sementara istrinya adalah ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), dan pernikahan mereka sudah terjalin sebelumnya, maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini karena Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana firman Allah, وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ “Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5) Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitab Jika suami masuk Islam lebih dahulu, sementara istrinya bukan ahli kitab, maka pernikahan harus diputuskan (diakhiri), kecuali istri masuk Islam sebelum masa iddah berakhir. Masa iddah adalah tiga kali haid bagi wanita yang masih mengalami haid, tiga bulan bagi wanita yang tidak mengalami haid, atau sampai melahirkan bagi wanita hamil. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, pernikahan tetap sah. Namun, jika tidak, pernikahan dianggap batal. Dalil dari hukum ini adalah kisah Abu Sufyan bin Harb yang masuk Islam lebih dahulu dari istrinya, Hindun binti Utbah. Beberapa hari kemudian Hindun masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan mereka. Jika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslim Jika istri masuk Islam sementara suaminya masih nonmuslim (baik ahli kitab maupun bukan), maka istri wajib memutuskan (mengakhiri) hubungan pernikahan tersebut. Namun, status pernikahan masih dapat dipertahankan selama masa iddah. Jika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai, pernikahan tetap sah. Jika tidak, pernikahan dianggap batal setelah masa iddah berakhir. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, إِذَا أَسْلَمَتِ النَّصْرَانِيَّةُ قَبْلَ زَوْجِهَا بِسَاعَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ “Jika seorang wanita Nasrani masuk Islam sebelum suaminya, maka ia menjadi haram bagi suaminya.” (HR. Bukhari no. 4983) Demikian juga, Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan Safwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal tanpa memerlukan akad baru. Jika seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, ia wajib memberitahukan hal ini kepada suaminya dan dianjurkan untuk mengajaknya masuk Islam dengan cara yang baik. Ia juga harus menjelaskan bahwa jika suami tidak masuk Islam dalam masa iddah, maka ia harus berpisah dengannya. [9] Apa yang harus dilakukan setelah masuk Islam? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mempelajari ajaran Islam (khususnya salat) dan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh jahiliyah. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari ayahnya, ia berkata, كان الرجل إذا أسلم علمه النبي الصلاة. ثم أمره أن يدعو بهؤلاء الكلمات: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.» “Apabila seseorang masuk Islam, Nabi mengajarinya salat, lalu memerintahkannya untuk membaca doa berikut, ‘Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku petunjuk, kesehatan, dan rezeki.’” (HR. Muslim no. 2697) Diriwayatkan pula dari ‘Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya telah masuk Islam.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ “Buanglah rambut kekufuran darimu dan lakukan khitan.” (HR. Abu Dawud no. 302; dinilai sahih oleh Al-Albani). Mengenai “Buanglah rambut kekufuran,” bukan berarti setiap muslim baru harus mencukur rambutnya sebagaimana diwajibkannya mandi. Namun, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rambut yang mencirikan kekufuran -yang biasanya menjadi tanda khusus orang kafir- harus dihilangkan. Hal ini berbeda-beda sesuai tradisi di berbagai tempat. Nabi memerintahkan kepada kakek ‘Utsaim dan orang-orang yang bersamanya untuk mencukur rambut jenis tersebut sebagai tanda perbedaan antara Islam dan kekufuran. Wallahu a’lam. Adapun “khitan” merupakan bukti bahwa khitan adalah kewajiban bagi orang yang masuk Islam dan menjadi salah satu tanda keislaman. [10] Kita memohon kepada Allah agar memberkahi kita dalam keislaman dan keimanan, meneguhkan hati kita di atas petunjuk, serta memberikan taufik dan kemudahan dalam pekerjaan dan ibadah kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa. Baca juga: Penjelasan Lengkap Hadis Rukun Islam *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumada Al-Awwal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Unit Penelitian Ilmiah, Idaratul Iftaa. (2011). Al-Mulakhkhash Al-Mufid fi Ahkam Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). 1432/ 2011. Al-Munajjid, Muhammad Shalih. (2009). Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). Al-Khubar: Majmu’ah Zad. 1430/ 2009.   Catatan kaki: [1] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix – x) [2] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, (1: 228). [3] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 11: 173. [4] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix). [5] Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, 2: 540. [6] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 14. [7] Lihat http://iswy.co/e14sai [8] Jika terjadi sebelum berhubungan, terdapat rincian yang cukup panjang. Silakan merujuk ke kitab referensi. [9] Diringkas dari Al-Mulakhkhash Al-Mufid, hal. 263-267. [10] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 16-17.
Prev     Next