Mengapa Imam Ahmad Mengusap Wajah Setelah Berdoa? – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Mengusap wajah dengan kedua tangan telah disebutkan dalam banyak riwayat dari para Sahabat Rasulullah dan para Tabi’in — shalawat dan salam semoga tercurah atas beliau. Riwayat-riwayat ini menunjukkan — sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebagai tambahan atas hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, tapi tidak sahih, bahwa amalan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa memiliki dasar dalam syariat. Jika Anda berkata bahwa Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan tidak ada hadis sahih tentangnya, maka kami katakan: “Benar.” Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan keutamaannya. Artinya, tidak terdapat keutamaan yang sahih dalam mengusap wajah setelah berdoa. Tidak terdapat riwayat bahwa jika seseorang tidak mengusap wajahnya, maka doanya tidak diterima. Tidak dikabulkan dan semacamnya — semua itu tidak ada riwayat yang sahih. Namun, amalannya tetap disyariatkan. Ini juga diamalkan oleh para ulama besar. Oleh sebab itulah, para ulama menyatakan bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa adalah amalan yang disyariatkan, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat. Memang, ada riwayat dalam mazhab yang menyatakan bahwa amalan ini hanya disyariatkan di luar shalat, tapi tidak dilakukan di dalam shalat, karena itu termasuk tambahan gerakan shalat. Namun, pendapat yang dipegang dan diamalkan oleh para ulama besar, seperti Imam Ahmad dan lainnya, adalah mengusap wajah dengan kedua tangan. Amalan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Tabi’in. As-Suyuthi juga menyebutkan hal ini dalam salah satu kitabnya, yang memuat penelusuran atsar dan riwayat seputar amalan mengusap wajah. === مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ جَاءَتْ فِيهِ آثَارٌ كَثِيرَةٌ عَنْ صَحَابَةِ الرَّسُولِ وَالتَّابِعِينَ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَهَذِهِ الْآثَارُ تَدُلُّ كَمَا ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ إِضَافَةً لِلْأَحَادِيثِ الَّتِي رُفِعَتْ لِلنَّبِيِّ لَكِنَّهَا لَمْ تَثْبُتْ عَلَى أَنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَهُ أَصْلٌ فَإِنْ قُلْتَ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُبَارَكٍ يَقُولُ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ حَدِيثٌ نَقُولُ صَحِيحٌ لَمْ يَثْبُتْ حَدِيثٌ فِي فَضْلِهِ فَلَا فَضْلَ وَارِدٌ ثَابِتٌ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَمَا جَاءَ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَمْسَحِ الْوَجْهَ لَمْ يُقْبَلِ الدُّعَاءُ أَوْ أَنَّهُ لَا يُسْتَجَابُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَغَيْرُ ثَابِتٍ لَكِنَّ الْفِعْلَ مَشْرُوعٌ وَقَدْ فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ يَقُولُونَ إِنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ عَقِبَ الدُّعَاءِ مَشْرُوعٌ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجَهَا نَعَمْ هُنَاكَ رِوَايَةٌ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ مَشْرُوعٌ خَارِجَ الصَّلَاةِ وَلَيْسَ مَشْرُوعًا فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ حَرَكَةٌ لَكِنَّ الْمُعْتَمَدَ وَالَّذِي فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ أَيْ بِالْيَدَيْنِ وَقَدْ جَاءَ هَذَا الْفِعْلُ عَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ وَقَدْ أَوْرَدَ السُّيُوطِيُّ فِي كِتَابٍ لَهُ تَتَبُّعَ الْآثَارِ وَالْأَخْبَارِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَسْحِ الْوَجْهِ

Mengapa Imam Ahmad Mengusap Wajah Setelah Berdoa? – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Mengusap wajah dengan kedua tangan telah disebutkan dalam banyak riwayat dari para Sahabat Rasulullah dan para Tabi’in — shalawat dan salam semoga tercurah atas beliau. Riwayat-riwayat ini menunjukkan — sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebagai tambahan atas hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, tapi tidak sahih, bahwa amalan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa memiliki dasar dalam syariat. Jika Anda berkata bahwa Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan tidak ada hadis sahih tentangnya, maka kami katakan: “Benar.” Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan keutamaannya. Artinya, tidak terdapat keutamaan yang sahih dalam mengusap wajah setelah berdoa. Tidak terdapat riwayat bahwa jika seseorang tidak mengusap wajahnya, maka doanya tidak diterima. Tidak dikabulkan dan semacamnya — semua itu tidak ada riwayat yang sahih. Namun, amalannya tetap disyariatkan. Ini juga diamalkan oleh para ulama besar. Oleh sebab itulah, para ulama menyatakan bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa adalah amalan yang disyariatkan, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat. Memang, ada riwayat dalam mazhab yang menyatakan bahwa amalan ini hanya disyariatkan di luar shalat, tapi tidak dilakukan di dalam shalat, karena itu termasuk tambahan gerakan shalat. Namun, pendapat yang dipegang dan diamalkan oleh para ulama besar, seperti Imam Ahmad dan lainnya, adalah mengusap wajah dengan kedua tangan. Amalan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Tabi’in. As-Suyuthi juga menyebutkan hal ini dalam salah satu kitabnya, yang memuat penelusuran atsar dan riwayat seputar amalan mengusap wajah. === مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ جَاءَتْ فِيهِ آثَارٌ كَثِيرَةٌ عَنْ صَحَابَةِ الرَّسُولِ وَالتَّابِعِينَ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَهَذِهِ الْآثَارُ تَدُلُّ كَمَا ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ إِضَافَةً لِلْأَحَادِيثِ الَّتِي رُفِعَتْ لِلنَّبِيِّ لَكِنَّهَا لَمْ تَثْبُتْ عَلَى أَنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَهُ أَصْلٌ فَإِنْ قُلْتَ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُبَارَكٍ يَقُولُ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ حَدِيثٌ نَقُولُ صَحِيحٌ لَمْ يَثْبُتْ حَدِيثٌ فِي فَضْلِهِ فَلَا فَضْلَ وَارِدٌ ثَابِتٌ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَمَا جَاءَ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَمْسَحِ الْوَجْهَ لَمْ يُقْبَلِ الدُّعَاءُ أَوْ أَنَّهُ لَا يُسْتَجَابُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَغَيْرُ ثَابِتٍ لَكِنَّ الْفِعْلَ مَشْرُوعٌ وَقَدْ فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ يَقُولُونَ إِنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ عَقِبَ الدُّعَاءِ مَشْرُوعٌ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجَهَا نَعَمْ هُنَاكَ رِوَايَةٌ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ مَشْرُوعٌ خَارِجَ الصَّلَاةِ وَلَيْسَ مَشْرُوعًا فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ حَرَكَةٌ لَكِنَّ الْمُعْتَمَدَ وَالَّذِي فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ أَيْ بِالْيَدَيْنِ وَقَدْ جَاءَ هَذَا الْفِعْلُ عَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ وَقَدْ أَوْرَدَ السُّيُوطِيُّ فِي كِتَابٍ لَهُ تَتَبُّعَ الْآثَارِ وَالْأَخْبَارِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَسْحِ الْوَجْهِ
Mengusap wajah dengan kedua tangan telah disebutkan dalam banyak riwayat dari para Sahabat Rasulullah dan para Tabi’in — shalawat dan salam semoga tercurah atas beliau. Riwayat-riwayat ini menunjukkan — sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebagai tambahan atas hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, tapi tidak sahih, bahwa amalan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa memiliki dasar dalam syariat. Jika Anda berkata bahwa Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan tidak ada hadis sahih tentangnya, maka kami katakan: “Benar.” Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan keutamaannya. Artinya, tidak terdapat keutamaan yang sahih dalam mengusap wajah setelah berdoa. Tidak terdapat riwayat bahwa jika seseorang tidak mengusap wajahnya, maka doanya tidak diterima. Tidak dikabulkan dan semacamnya — semua itu tidak ada riwayat yang sahih. Namun, amalannya tetap disyariatkan. Ini juga diamalkan oleh para ulama besar. Oleh sebab itulah, para ulama menyatakan bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa adalah amalan yang disyariatkan, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat. Memang, ada riwayat dalam mazhab yang menyatakan bahwa amalan ini hanya disyariatkan di luar shalat, tapi tidak dilakukan di dalam shalat, karena itu termasuk tambahan gerakan shalat. Namun, pendapat yang dipegang dan diamalkan oleh para ulama besar, seperti Imam Ahmad dan lainnya, adalah mengusap wajah dengan kedua tangan. Amalan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Tabi’in. As-Suyuthi juga menyebutkan hal ini dalam salah satu kitabnya, yang memuat penelusuran atsar dan riwayat seputar amalan mengusap wajah. === مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ جَاءَتْ فِيهِ آثَارٌ كَثِيرَةٌ عَنْ صَحَابَةِ الرَّسُولِ وَالتَّابِعِينَ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَهَذِهِ الْآثَارُ تَدُلُّ كَمَا ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ إِضَافَةً لِلْأَحَادِيثِ الَّتِي رُفِعَتْ لِلنَّبِيِّ لَكِنَّهَا لَمْ تَثْبُتْ عَلَى أَنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَهُ أَصْلٌ فَإِنْ قُلْتَ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُبَارَكٍ يَقُولُ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ حَدِيثٌ نَقُولُ صَحِيحٌ لَمْ يَثْبُتْ حَدِيثٌ فِي فَضْلِهِ فَلَا فَضْلَ وَارِدٌ ثَابِتٌ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَمَا جَاءَ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَمْسَحِ الْوَجْهَ لَمْ يُقْبَلِ الدُّعَاءُ أَوْ أَنَّهُ لَا يُسْتَجَابُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَغَيْرُ ثَابِتٍ لَكِنَّ الْفِعْلَ مَشْرُوعٌ وَقَدْ فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ يَقُولُونَ إِنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ عَقِبَ الدُّعَاءِ مَشْرُوعٌ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجَهَا نَعَمْ هُنَاكَ رِوَايَةٌ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ مَشْرُوعٌ خَارِجَ الصَّلَاةِ وَلَيْسَ مَشْرُوعًا فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ حَرَكَةٌ لَكِنَّ الْمُعْتَمَدَ وَالَّذِي فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ أَيْ بِالْيَدَيْنِ وَقَدْ جَاءَ هَذَا الْفِعْلُ عَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ وَقَدْ أَوْرَدَ السُّيُوطِيُّ فِي كِتَابٍ لَهُ تَتَبُّعَ الْآثَارِ وَالْأَخْبَارِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَسْحِ الْوَجْهِ


Mengusap wajah dengan kedua tangan telah disebutkan dalam banyak riwayat dari para Sahabat Rasulullah dan para Tabi’in — shalawat dan salam semoga tercurah atas beliau. Riwayat-riwayat ini menunjukkan — sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebagai tambahan atas hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, tapi tidak sahih, bahwa amalan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa memiliki dasar dalam syariat. Jika Anda berkata bahwa Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan tidak ada hadis sahih tentangnya, maka kami katakan: “Benar.” Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan keutamaannya. Artinya, tidak terdapat keutamaan yang sahih dalam mengusap wajah setelah berdoa. Tidak terdapat riwayat bahwa jika seseorang tidak mengusap wajahnya, maka doanya tidak diterima. Tidak dikabulkan dan semacamnya — semua itu tidak ada riwayat yang sahih. Namun, amalannya tetap disyariatkan. Ini juga diamalkan oleh para ulama besar. Oleh sebab itulah, para ulama menyatakan bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa adalah amalan yang disyariatkan, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat. Memang, ada riwayat dalam mazhab yang menyatakan bahwa amalan ini hanya disyariatkan di luar shalat, tapi tidak dilakukan di dalam shalat, karena itu termasuk tambahan gerakan shalat. Namun, pendapat yang dipegang dan diamalkan oleh para ulama besar, seperti Imam Ahmad dan lainnya, adalah mengusap wajah dengan kedua tangan. Amalan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Tabi’in. As-Suyuthi juga menyebutkan hal ini dalam salah satu kitabnya, yang memuat penelusuran atsar dan riwayat seputar amalan mengusap wajah. === مَسْحُ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ جَاءَتْ فِيهِ آثَارٌ كَثِيرَةٌ عَنْ صَحَابَةِ الرَّسُولِ وَالتَّابِعِينَ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَهَذِهِ الْآثَارُ تَدُلُّ كَمَا ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ إِضَافَةً لِلْأَحَادِيثِ الَّتِي رُفِعَتْ لِلنَّبِيِّ لَكِنَّهَا لَمْ تَثْبُتْ عَلَى أَنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَهُ أَصْلٌ فَإِنْ قُلْتَ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُبَارَكٍ يَقُولُ لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ حَدِيثٌ نَقُولُ صَحِيحٌ لَمْ يَثْبُتْ حَدِيثٌ فِي فَضْلِهِ فَلَا فَضْلَ وَارِدٌ ثَابِتٌ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَمَا جَاءَ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَمْسَحِ الْوَجْهَ لَمْ يُقْبَلِ الدُّعَاءُ أَوْ أَنَّهُ لَا يُسْتَجَابُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَغَيْرُ ثَابِتٍ لَكِنَّ الْفِعْلَ مَشْرُوعٌ وَقَدْ فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ يَقُولُونَ إِنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بِالْيَدَيْنِ عَقِبَ الدُّعَاءِ مَشْرُوعٌ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجَهَا نَعَمْ هُنَاكَ رِوَايَةٌ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ مَشْرُوعٌ خَارِجَ الصَّلَاةِ وَلَيْسَ مَشْرُوعًا فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ حَرَكَةٌ لَكِنَّ الْمُعْتَمَدَ وَالَّذِي فَعَلَهُ الْأَئِمَّةُ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِ أَيْ بِالْيَدَيْنِ وَقَدْ جَاءَ هَذَا الْفِعْلُ عَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ وَقَدْ أَوْرَدَ السُّيُوطِيُّ فِي كِتَابٍ لَهُ تَتَبُّعَ الْآثَارِ وَالْأَخْبَارِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَسْحِ الْوَجْهِ

Syahwat: Ujian Tersulit untuk Laki-Laki

Daftar Isi ToggleSyahwat itu fitrah, bukan aibSyahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanLingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaMenjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaDi balik wajah-wajah saleh, di balik hafalan ayat-ayat dan hadis, tersimpan satu ujian besar yang terus datang menghampiri: syahwat. Datang tidak mengenal waktu, tidak mengenal usia, tidak pula mengenal tingkat keimanan. Betapa banyak lelaki yang terjebak dalam siklus menyesal dan mengulang dosa yang sama, lalu bertanya dalam hati:“Mengapa ujian ini begitu sulit aku tinggalkan?”Tidak sedikit yang sudah mencoba berbagai cara: mandi air dingin, puasa sunah, menghindari media sosial, meninggalkan teman yang buruk, namun syahwat tetap datang menggoda dalam bentuk yang baru. Bahkan, semakin besar upaya melawannya, terkadang semakin besar pula dorongan yang muncul dari dalam diri. Sebuah pertanyaan pun terbit di benak: mengapa Allah menciptakan dorongan ini begitu kuat dalam diri laki-laki?Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenungi hikmah besar yang tersembunyi di balik penciptaan syahwat. Bukan untuk dihilangkan, bukan pula untuk dipadamkan, melainkan untuk dikendalikan dan diarahkan. Di sinilah letak ujian yang sejati—sebuah perjuangan batin yang justru dapat menjadi jalan menuju keridhaan Allah. Syahwat itu fitrah, bukan aibSalah satu kesalahan besar dalam memahami syahwat adalah menganggapnya sebagai aib. Banyak laki-laki yang merasa berdosa hanya karena memiliki dorongan seksual, padahal syahwat adalah bagian dari fitrah manusia. Bahkan Nabi ﷺ sendiri menyatakan bahwa di antara hal yang dicintainya di dunia adalah perempuan dan wewangian, sedangkan penyejuk matanya adalah salat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة“Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan ketentraman (hatiku) ada pada salatku.” (Sunan An-Nasa’i, 7: 61 no. 3939)Laki-laki yang memiliki syahwat bukanlah pribadi yang hina. Ia justru sedang membawa bekal penting dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Tanpa syahwat, pernikahan menjadi hampa, dan rumah tangga kehilangan semangat kehangatan. Islam tidak pernah melarang perasaan, tapi justru mengarahkannya ke tempat yang benar.Sebagaimana Adam dan Hawa diuji di surga dengan larangan mendekati pohon tertentu, demikian pula manusia diuji hari ini untuk tidak mendekati hal-hal yang mendekatkan pada zina. Larangan dalam Islam bukan hanya pada perbuatan zina, tapi juga segala jalan yang bisa mengantarkannya. Karena itulah, menjaga pandangan dan menjauhi khalwat menjadi bagian dari solusi preventif yang diajarkan Islam.Allah Ta’ala berifrman,وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)Maka memahami bahwa syahwat adalah fitrah adalah langkah pertama untuk menyikapinya dengan bijaksana. Kita tidak perlu malu memilikinya, tapi juga tidak boleh membiarkannya liar tak terkendali. Syahwat adalah pedang bermata dua—bisa menjadi pahala besar, bisa juga menjadi jalan celaka. Syahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanAllah menciptakan syahwat dalam kondisi netral, tidak baik dan tidak buruk. Yang menentukan nilainya adalah bagaimana kita menggunakannya. Saat diarahkan kepada yang halal, ia menjadi ibadah. Tapi jika disalurkan kepada yang haram, ia berubah menjadi dosa yang bisa menyeret manusia ke jurang kehinaan.Nabi ﷺ bahkan menyebut bahwa hubungan suami istri yang dilakukan dengan niat yang benar adalah sedekah. Para sahabat keheranan, bagaimana mungkin memenuhi syahwat bisa berpahala? Rasulullah ﷺ menjawab dengan logika yang sangat jernih,أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim no. 2376)Pernyataan ini menunjukkan betapa Islam tidak memerangi dorongan seksual, tetapi menempatkannya pada tempat yang terhormat. Inilah keindahan syariat: tidak mengekang, tapi memberi arah. Setiap kali seorang suami mendekati istrinya dengan niat yang baik, ia bukan hanya memuaskan dirinya, tetapi juga tengah menabung pahala.Namun sebaliknya, jika syahwat tidak dikendalikan, pasti akan berujung bencana. Betapa banyak rumah tangga hancur karena perselingkuhan. Betapa banyak anak lahir tanpa ayah karena zina. Betapa banyak hati yang hancur karena hawa nafsu yang tak dikekang. Maka kendalikanlah syahwat, karena syahwat bisa menjadi tangga surga atau jalan menuju neraka.Baca juga: Semoga Dijauhkan dari Syubhat, Syahwat, dan Amarah Lingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaZaman ini menyuguhkan banyak pemicu syahwat: iklan, media sosial, film, musik, bahkan percakapan sehari-hari. Setiap hari, mata dan telinga kita dipenuhi dengan hal-hal yang menggugah hawa nafsu. Tanpa disadari, fitnah itu masuk perlahan ke dalam hati, membekas dan menghitamkan cahaya iman.Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.“Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam; sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua: yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim no. 144; Ahmad, 5: 405; sahih)Nabi ﷺ mengibaratkan hati yang terkena fitnah seperti bejana. Ada yang tetap putih bersih karena selalu menolak fitnah, dan ada pula yang hitam terbalik, tak lagi bisa menerima kebaikan, hanya menuruti apa yang sesuai hawa nafsu. Inilah akibat dari terus-menerus mengikuti syahwat tanpa usaha untuk melawan.Namun, seburuk apa pun lingkungan, pilihan tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk menjaga pandangan, menahan lisan, dan menghindari pergaulan yang mendekatkan pada maksiat. Tidak mudah memang, tapi setiap usaha sekecil apa pun di jalan ini, sangat berarti di sisi Allah Ta’ala.Sebagaimana seseorang tidak menjadi pecandu sejak hari pertama, begitu pula kemuliaan tidak diraih dalam sekejap. Proses menundukkan syahwat adalah jihad yang panjang. Mungkin kita akan terjatuh berulang kali, tapi selama kita bangkit dan kembali kepada Allah Ta’ala, maka harapan selalu terbuka, insyaa Allah. Menjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaLaki-laki yang berhasil menundukkan syahwatnya adalah pahlawan sejati. Bukan pahlawan di medan perang, tapi pahlawan di medan jiwa. Dialah yang sabar menunggu yang halal, yang menjaga diri dari haram, yang menjadikan hawa nafsu sebagai pelayan, bukan tuan. Ia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk memberikan derajat yang lebih tinggi.Ketika Allah menguji dengan sesuatu, itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menguatkan. Ujian syahwat adalah cara Allah mendidik para lelaki agar menjadi pemimpin yang tangguh, suami yang bertanggung jawab, dan hamba yang taat. Semakin besar ujian, semakin besar pula potensi pahala dan kedekatan dengan Allah.Syahwat yang diarahkan ke dalam pernikahan menjadi sumber ketenangan. Bahkan, ketika belum mampu menikah, Nabi ﷺ mengajarkan solusi, yaitu puasa. Puasa juga merupakan sarana melemahkan dorongan hawa nafsu dan menguatkan kedekatan dengan Allah Ta’ala.Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)Akhirnya, kita sadar bahwa tujuan hidup bukanlah menghilangkan syahwat, tapi mengendalikannya demi meraih rida Allah. Inilah jalan para Nabi, para shalihin, dan inilah jalan kita. Jika kita bersabar dalam menahan yang haram, Allah akan memberi lebih dari yang kita duga di dunia maupun akhirat.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Syahwat: Ujian Tersulit untuk Laki-Laki

Daftar Isi ToggleSyahwat itu fitrah, bukan aibSyahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanLingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaMenjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaDi balik wajah-wajah saleh, di balik hafalan ayat-ayat dan hadis, tersimpan satu ujian besar yang terus datang menghampiri: syahwat. Datang tidak mengenal waktu, tidak mengenal usia, tidak pula mengenal tingkat keimanan. Betapa banyak lelaki yang terjebak dalam siklus menyesal dan mengulang dosa yang sama, lalu bertanya dalam hati:“Mengapa ujian ini begitu sulit aku tinggalkan?”Tidak sedikit yang sudah mencoba berbagai cara: mandi air dingin, puasa sunah, menghindari media sosial, meninggalkan teman yang buruk, namun syahwat tetap datang menggoda dalam bentuk yang baru. Bahkan, semakin besar upaya melawannya, terkadang semakin besar pula dorongan yang muncul dari dalam diri. Sebuah pertanyaan pun terbit di benak: mengapa Allah menciptakan dorongan ini begitu kuat dalam diri laki-laki?Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenungi hikmah besar yang tersembunyi di balik penciptaan syahwat. Bukan untuk dihilangkan, bukan pula untuk dipadamkan, melainkan untuk dikendalikan dan diarahkan. Di sinilah letak ujian yang sejati—sebuah perjuangan batin yang justru dapat menjadi jalan menuju keridhaan Allah. Syahwat itu fitrah, bukan aibSalah satu kesalahan besar dalam memahami syahwat adalah menganggapnya sebagai aib. Banyak laki-laki yang merasa berdosa hanya karena memiliki dorongan seksual, padahal syahwat adalah bagian dari fitrah manusia. Bahkan Nabi ﷺ sendiri menyatakan bahwa di antara hal yang dicintainya di dunia adalah perempuan dan wewangian, sedangkan penyejuk matanya adalah salat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة“Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan ketentraman (hatiku) ada pada salatku.” (Sunan An-Nasa’i, 7: 61 no. 3939)Laki-laki yang memiliki syahwat bukanlah pribadi yang hina. Ia justru sedang membawa bekal penting dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Tanpa syahwat, pernikahan menjadi hampa, dan rumah tangga kehilangan semangat kehangatan. Islam tidak pernah melarang perasaan, tapi justru mengarahkannya ke tempat yang benar.Sebagaimana Adam dan Hawa diuji di surga dengan larangan mendekati pohon tertentu, demikian pula manusia diuji hari ini untuk tidak mendekati hal-hal yang mendekatkan pada zina. Larangan dalam Islam bukan hanya pada perbuatan zina, tapi juga segala jalan yang bisa mengantarkannya. Karena itulah, menjaga pandangan dan menjauhi khalwat menjadi bagian dari solusi preventif yang diajarkan Islam.Allah Ta’ala berifrman,وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)Maka memahami bahwa syahwat adalah fitrah adalah langkah pertama untuk menyikapinya dengan bijaksana. Kita tidak perlu malu memilikinya, tapi juga tidak boleh membiarkannya liar tak terkendali. Syahwat adalah pedang bermata dua—bisa menjadi pahala besar, bisa juga menjadi jalan celaka. Syahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanAllah menciptakan syahwat dalam kondisi netral, tidak baik dan tidak buruk. Yang menentukan nilainya adalah bagaimana kita menggunakannya. Saat diarahkan kepada yang halal, ia menjadi ibadah. Tapi jika disalurkan kepada yang haram, ia berubah menjadi dosa yang bisa menyeret manusia ke jurang kehinaan.Nabi ﷺ bahkan menyebut bahwa hubungan suami istri yang dilakukan dengan niat yang benar adalah sedekah. Para sahabat keheranan, bagaimana mungkin memenuhi syahwat bisa berpahala? Rasulullah ﷺ menjawab dengan logika yang sangat jernih,أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim no. 2376)Pernyataan ini menunjukkan betapa Islam tidak memerangi dorongan seksual, tetapi menempatkannya pada tempat yang terhormat. Inilah keindahan syariat: tidak mengekang, tapi memberi arah. Setiap kali seorang suami mendekati istrinya dengan niat yang baik, ia bukan hanya memuaskan dirinya, tetapi juga tengah menabung pahala.Namun sebaliknya, jika syahwat tidak dikendalikan, pasti akan berujung bencana. Betapa banyak rumah tangga hancur karena perselingkuhan. Betapa banyak anak lahir tanpa ayah karena zina. Betapa banyak hati yang hancur karena hawa nafsu yang tak dikekang. Maka kendalikanlah syahwat, karena syahwat bisa menjadi tangga surga atau jalan menuju neraka.Baca juga: Semoga Dijauhkan dari Syubhat, Syahwat, dan Amarah Lingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaZaman ini menyuguhkan banyak pemicu syahwat: iklan, media sosial, film, musik, bahkan percakapan sehari-hari. Setiap hari, mata dan telinga kita dipenuhi dengan hal-hal yang menggugah hawa nafsu. Tanpa disadari, fitnah itu masuk perlahan ke dalam hati, membekas dan menghitamkan cahaya iman.Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.“Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam; sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua: yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim no. 144; Ahmad, 5: 405; sahih)Nabi ﷺ mengibaratkan hati yang terkena fitnah seperti bejana. Ada yang tetap putih bersih karena selalu menolak fitnah, dan ada pula yang hitam terbalik, tak lagi bisa menerima kebaikan, hanya menuruti apa yang sesuai hawa nafsu. Inilah akibat dari terus-menerus mengikuti syahwat tanpa usaha untuk melawan.Namun, seburuk apa pun lingkungan, pilihan tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk menjaga pandangan, menahan lisan, dan menghindari pergaulan yang mendekatkan pada maksiat. Tidak mudah memang, tapi setiap usaha sekecil apa pun di jalan ini, sangat berarti di sisi Allah Ta’ala.Sebagaimana seseorang tidak menjadi pecandu sejak hari pertama, begitu pula kemuliaan tidak diraih dalam sekejap. Proses menundukkan syahwat adalah jihad yang panjang. Mungkin kita akan terjatuh berulang kali, tapi selama kita bangkit dan kembali kepada Allah Ta’ala, maka harapan selalu terbuka, insyaa Allah. Menjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaLaki-laki yang berhasil menundukkan syahwatnya adalah pahlawan sejati. Bukan pahlawan di medan perang, tapi pahlawan di medan jiwa. Dialah yang sabar menunggu yang halal, yang menjaga diri dari haram, yang menjadikan hawa nafsu sebagai pelayan, bukan tuan. Ia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk memberikan derajat yang lebih tinggi.Ketika Allah menguji dengan sesuatu, itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menguatkan. Ujian syahwat adalah cara Allah mendidik para lelaki agar menjadi pemimpin yang tangguh, suami yang bertanggung jawab, dan hamba yang taat. Semakin besar ujian, semakin besar pula potensi pahala dan kedekatan dengan Allah.Syahwat yang diarahkan ke dalam pernikahan menjadi sumber ketenangan. Bahkan, ketika belum mampu menikah, Nabi ﷺ mengajarkan solusi, yaitu puasa. Puasa juga merupakan sarana melemahkan dorongan hawa nafsu dan menguatkan kedekatan dengan Allah Ta’ala.Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)Akhirnya, kita sadar bahwa tujuan hidup bukanlah menghilangkan syahwat, tapi mengendalikannya demi meraih rida Allah. Inilah jalan para Nabi, para shalihin, dan inilah jalan kita. Jika kita bersabar dalam menahan yang haram, Allah akan memberi lebih dari yang kita duga di dunia maupun akhirat.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleSyahwat itu fitrah, bukan aibSyahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanLingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaMenjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaDi balik wajah-wajah saleh, di balik hafalan ayat-ayat dan hadis, tersimpan satu ujian besar yang terus datang menghampiri: syahwat. Datang tidak mengenal waktu, tidak mengenal usia, tidak pula mengenal tingkat keimanan. Betapa banyak lelaki yang terjebak dalam siklus menyesal dan mengulang dosa yang sama, lalu bertanya dalam hati:“Mengapa ujian ini begitu sulit aku tinggalkan?”Tidak sedikit yang sudah mencoba berbagai cara: mandi air dingin, puasa sunah, menghindari media sosial, meninggalkan teman yang buruk, namun syahwat tetap datang menggoda dalam bentuk yang baru. Bahkan, semakin besar upaya melawannya, terkadang semakin besar pula dorongan yang muncul dari dalam diri. Sebuah pertanyaan pun terbit di benak: mengapa Allah menciptakan dorongan ini begitu kuat dalam diri laki-laki?Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenungi hikmah besar yang tersembunyi di balik penciptaan syahwat. Bukan untuk dihilangkan, bukan pula untuk dipadamkan, melainkan untuk dikendalikan dan diarahkan. Di sinilah letak ujian yang sejati—sebuah perjuangan batin yang justru dapat menjadi jalan menuju keridhaan Allah. Syahwat itu fitrah, bukan aibSalah satu kesalahan besar dalam memahami syahwat adalah menganggapnya sebagai aib. Banyak laki-laki yang merasa berdosa hanya karena memiliki dorongan seksual, padahal syahwat adalah bagian dari fitrah manusia. Bahkan Nabi ﷺ sendiri menyatakan bahwa di antara hal yang dicintainya di dunia adalah perempuan dan wewangian, sedangkan penyejuk matanya adalah salat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة“Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan ketentraman (hatiku) ada pada salatku.” (Sunan An-Nasa’i, 7: 61 no. 3939)Laki-laki yang memiliki syahwat bukanlah pribadi yang hina. Ia justru sedang membawa bekal penting dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Tanpa syahwat, pernikahan menjadi hampa, dan rumah tangga kehilangan semangat kehangatan. Islam tidak pernah melarang perasaan, tapi justru mengarahkannya ke tempat yang benar.Sebagaimana Adam dan Hawa diuji di surga dengan larangan mendekati pohon tertentu, demikian pula manusia diuji hari ini untuk tidak mendekati hal-hal yang mendekatkan pada zina. Larangan dalam Islam bukan hanya pada perbuatan zina, tapi juga segala jalan yang bisa mengantarkannya. Karena itulah, menjaga pandangan dan menjauhi khalwat menjadi bagian dari solusi preventif yang diajarkan Islam.Allah Ta’ala berifrman,وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)Maka memahami bahwa syahwat adalah fitrah adalah langkah pertama untuk menyikapinya dengan bijaksana. Kita tidak perlu malu memilikinya, tapi juga tidak boleh membiarkannya liar tak terkendali. Syahwat adalah pedang bermata dua—bisa menjadi pahala besar, bisa juga menjadi jalan celaka. Syahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanAllah menciptakan syahwat dalam kondisi netral, tidak baik dan tidak buruk. Yang menentukan nilainya adalah bagaimana kita menggunakannya. Saat diarahkan kepada yang halal, ia menjadi ibadah. Tapi jika disalurkan kepada yang haram, ia berubah menjadi dosa yang bisa menyeret manusia ke jurang kehinaan.Nabi ﷺ bahkan menyebut bahwa hubungan suami istri yang dilakukan dengan niat yang benar adalah sedekah. Para sahabat keheranan, bagaimana mungkin memenuhi syahwat bisa berpahala? Rasulullah ﷺ menjawab dengan logika yang sangat jernih,أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim no. 2376)Pernyataan ini menunjukkan betapa Islam tidak memerangi dorongan seksual, tetapi menempatkannya pada tempat yang terhormat. Inilah keindahan syariat: tidak mengekang, tapi memberi arah. Setiap kali seorang suami mendekati istrinya dengan niat yang baik, ia bukan hanya memuaskan dirinya, tetapi juga tengah menabung pahala.Namun sebaliknya, jika syahwat tidak dikendalikan, pasti akan berujung bencana. Betapa banyak rumah tangga hancur karena perselingkuhan. Betapa banyak anak lahir tanpa ayah karena zina. Betapa banyak hati yang hancur karena hawa nafsu yang tak dikekang. Maka kendalikanlah syahwat, karena syahwat bisa menjadi tangga surga atau jalan menuju neraka.Baca juga: Semoga Dijauhkan dari Syubhat, Syahwat, dan Amarah Lingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaZaman ini menyuguhkan banyak pemicu syahwat: iklan, media sosial, film, musik, bahkan percakapan sehari-hari. Setiap hari, mata dan telinga kita dipenuhi dengan hal-hal yang menggugah hawa nafsu. Tanpa disadari, fitnah itu masuk perlahan ke dalam hati, membekas dan menghitamkan cahaya iman.Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.“Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam; sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua: yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim no. 144; Ahmad, 5: 405; sahih)Nabi ﷺ mengibaratkan hati yang terkena fitnah seperti bejana. Ada yang tetap putih bersih karena selalu menolak fitnah, dan ada pula yang hitam terbalik, tak lagi bisa menerima kebaikan, hanya menuruti apa yang sesuai hawa nafsu. Inilah akibat dari terus-menerus mengikuti syahwat tanpa usaha untuk melawan.Namun, seburuk apa pun lingkungan, pilihan tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk menjaga pandangan, menahan lisan, dan menghindari pergaulan yang mendekatkan pada maksiat. Tidak mudah memang, tapi setiap usaha sekecil apa pun di jalan ini, sangat berarti di sisi Allah Ta’ala.Sebagaimana seseorang tidak menjadi pecandu sejak hari pertama, begitu pula kemuliaan tidak diraih dalam sekejap. Proses menundukkan syahwat adalah jihad yang panjang. Mungkin kita akan terjatuh berulang kali, tapi selama kita bangkit dan kembali kepada Allah Ta’ala, maka harapan selalu terbuka, insyaa Allah. Menjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaLaki-laki yang berhasil menundukkan syahwatnya adalah pahlawan sejati. Bukan pahlawan di medan perang, tapi pahlawan di medan jiwa. Dialah yang sabar menunggu yang halal, yang menjaga diri dari haram, yang menjadikan hawa nafsu sebagai pelayan, bukan tuan. Ia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk memberikan derajat yang lebih tinggi.Ketika Allah menguji dengan sesuatu, itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menguatkan. Ujian syahwat adalah cara Allah mendidik para lelaki agar menjadi pemimpin yang tangguh, suami yang bertanggung jawab, dan hamba yang taat. Semakin besar ujian, semakin besar pula potensi pahala dan kedekatan dengan Allah.Syahwat yang diarahkan ke dalam pernikahan menjadi sumber ketenangan. Bahkan, ketika belum mampu menikah, Nabi ﷺ mengajarkan solusi, yaitu puasa. Puasa juga merupakan sarana melemahkan dorongan hawa nafsu dan menguatkan kedekatan dengan Allah Ta’ala.Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)Akhirnya, kita sadar bahwa tujuan hidup bukanlah menghilangkan syahwat, tapi mengendalikannya demi meraih rida Allah. Inilah jalan para Nabi, para shalihin, dan inilah jalan kita. Jika kita bersabar dalam menahan yang haram, Allah akan memberi lebih dari yang kita duga di dunia maupun akhirat.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleSyahwat itu fitrah, bukan aibSyahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanLingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaMenjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaDi balik wajah-wajah saleh, di balik hafalan ayat-ayat dan hadis, tersimpan satu ujian besar yang terus datang menghampiri: syahwat. Datang tidak mengenal waktu, tidak mengenal usia, tidak pula mengenal tingkat keimanan. Betapa banyak lelaki yang terjebak dalam siklus menyesal dan mengulang dosa yang sama, lalu bertanya dalam hati:“Mengapa ujian ini begitu sulit aku tinggalkan?”Tidak sedikit yang sudah mencoba berbagai cara: mandi air dingin, puasa sunah, menghindari media sosial, meninggalkan teman yang buruk, namun syahwat tetap datang menggoda dalam bentuk yang baru. Bahkan, semakin besar upaya melawannya, terkadang semakin besar pula dorongan yang muncul dari dalam diri. Sebuah pertanyaan pun terbit di benak: mengapa Allah menciptakan dorongan ini begitu kuat dalam diri laki-laki?Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenungi hikmah besar yang tersembunyi di balik penciptaan syahwat. Bukan untuk dihilangkan, bukan pula untuk dipadamkan, melainkan untuk dikendalikan dan diarahkan. Di sinilah letak ujian yang sejati—sebuah perjuangan batin yang justru dapat menjadi jalan menuju keridhaan Allah. Syahwat itu fitrah, bukan aibSalah satu kesalahan besar dalam memahami syahwat adalah menganggapnya sebagai aib. Banyak laki-laki yang merasa berdosa hanya karena memiliki dorongan seksual, padahal syahwat adalah bagian dari fitrah manusia. Bahkan Nabi ﷺ sendiri menyatakan bahwa di antara hal yang dicintainya di dunia adalah perempuan dan wewangian, sedangkan penyejuk matanya adalah salat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة“Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan ketentraman (hatiku) ada pada salatku.” (Sunan An-Nasa’i, 7: 61 no. 3939)Laki-laki yang memiliki syahwat bukanlah pribadi yang hina. Ia justru sedang membawa bekal penting dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Tanpa syahwat, pernikahan menjadi hampa, dan rumah tangga kehilangan semangat kehangatan. Islam tidak pernah melarang perasaan, tapi justru mengarahkannya ke tempat yang benar.Sebagaimana Adam dan Hawa diuji di surga dengan larangan mendekati pohon tertentu, demikian pula manusia diuji hari ini untuk tidak mendekati hal-hal yang mendekatkan pada zina. Larangan dalam Islam bukan hanya pada perbuatan zina, tapi juga segala jalan yang bisa mengantarkannya. Karena itulah, menjaga pandangan dan menjauhi khalwat menjadi bagian dari solusi preventif yang diajarkan Islam.Allah Ta’ala berifrman,وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)Maka memahami bahwa syahwat adalah fitrah adalah langkah pertama untuk menyikapinya dengan bijaksana. Kita tidak perlu malu memilikinya, tapi juga tidak boleh membiarkannya liar tak terkendali. Syahwat adalah pedang bermata dua—bisa menjadi pahala besar, bisa juga menjadi jalan celaka. Syahwat itu netral, kitalah yang mengarahkanAllah menciptakan syahwat dalam kondisi netral, tidak baik dan tidak buruk. Yang menentukan nilainya adalah bagaimana kita menggunakannya. Saat diarahkan kepada yang halal, ia menjadi ibadah. Tapi jika disalurkan kepada yang haram, ia berubah menjadi dosa yang bisa menyeret manusia ke jurang kehinaan.Nabi ﷺ bahkan menyebut bahwa hubungan suami istri yang dilakukan dengan niat yang benar adalah sedekah. Para sahabat keheranan, bagaimana mungkin memenuhi syahwat bisa berpahala? Rasulullah ﷺ menjawab dengan logika yang sangat jernih,أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim no. 2376)Pernyataan ini menunjukkan betapa Islam tidak memerangi dorongan seksual, tetapi menempatkannya pada tempat yang terhormat. Inilah keindahan syariat: tidak mengekang, tapi memberi arah. Setiap kali seorang suami mendekati istrinya dengan niat yang baik, ia bukan hanya memuaskan dirinya, tetapi juga tengah menabung pahala.Namun sebaliknya, jika syahwat tidak dikendalikan, pasti akan berujung bencana. Betapa banyak rumah tangga hancur karena perselingkuhan. Betapa banyak anak lahir tanpa ayah karena zina. Betapa banyak hati yang hancur karena hawa nafsu yang tak dikekang. Maka kendalikanlah syahwat, karena syahwat bisa menjadi tangga surga atau jalan menuju neraka.Baca juga: Semoga Dijauhkan dari Syubhat, Syahwat, dan Amarah Lingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kitaZaman ini menyuguhkan banyak pemicu syahwat: iklan, media sosial, film, musik, bahkan percakapan sehari-hari. Setiap hari, mata dan telinga kita dipenuhi dengan hal-hal yang menggugah hawa nafsu. Tanpa disadari, fitnah itu masuk perlahan ke dalam hati, membekas dan menghitamkan cahaya iman.Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.“Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam; sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua: yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim no. 144; Ahmad, 5: 405; sahih)Nabi ﷺ mengibaratkan hati yang terkena fitnah seperti bejana. Ada yang tetap putih bersih karena selalu menolak fitnah, dan ada pula yang hitam terbalik, tak lagi bisa menerima kebaikan, hanya menuruti apa yang sesuai hawa nafsu. Inilah akibat dari terus-menerus mengikuti syahwat tanpa usaha untuk melawan.Namun, seburuk apa pun lingkungan, pilihan tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk menjaga pandangan, menahan lisan, dan menghindari pergaulan yang mendekatkan pada maksiat. Tidak mudah memang, tapi setiap usaha sekecil apa pun di jalan ini, sangat berarti di sisi Allah Ta’ala.Sebagaimana seseorang tidak menjadi pecandu sejak hari pertama, begitu pula kemuliaan tidak diraih dalam sekejap. Proses menundukkan syahwat adalah jihad yang panjang. Mungkin kita akan terjatuh berulang kali, tapi selama kita bangkit dan kembali kepada Allah Ta’ala, maka harapan selalu terbuka, insyaa Allah. Menjadikan syahwat sebagai jalan menuju surgaLaki-laki yang berhasil menundukkan syahwatnya adalah pahlawan sejati. Bukan pahlawan di medan perang, tapi pahlawan di medan jiwa. Dialah yang sabar menunggu yang halal, yang menjaga diri dari haram, yang menjadikan hawa nafsu sebagai pelayan, bukan tuan. Ia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk memberikan derajat yang lebih tinggi.Ketika Allah menguji dengan sesuatu, itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menguatkan. Ujian syahwat adalah cara Allah mendidik para lelaki agar menjadi pemimpin yang tangguh, suami yang bertanggung jawab, dan hamba yang taat. Semakin besar ujian, semakin besar pula potensi pahala dan kedekatan dengan Allah.Syahwat yang diarahkan ke dalam pernikahan menjadi sumber ketenangan. Bahkan, ketika belum mampu menikah, Nabi ﷺ mengajarkan solusi, yaitu puasa. Puasa juga merupakan sarana melemahkan dorongan hawa nafsu dan menguatkan kedekatan dengan Allah Ta’ala.Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)Akhirnya, kita sadar bahwa tujuan hidup bukanlah menghilangkan syahwat, tapi mengendalikannya demi meraih rida Allah. Inilah jalan para Nabi, para shalihin, dan inilah jalan kita. Jika kita bersabar dalam menahan yang haram, Allah akan memberi lebih dari yang kita duga di dunia maupun akhirat.Wallahu a’lam.Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Iffah (Menjaga Kehormatan Diri); Keutamaan dan Jenis-Jenisnya (Bagian 2)

Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ أَنْوَاعِ الْعِفَّةِ: 1- كَفُّ الْفَرْجِ عَنِ الْحَرَامِ: أَعْظَمُ صُورَةٍ لِلْعَفَافِ عَنِ الْحَرَامِ – بَعْدَ تَيَسُّرِ أَسْبَابِهِ، وَزَوَالِ مَوَانِعِهِ – هِيَ قِصَّةُ يُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ امْرَأَةِ الْعَزِيزِ؛ عِنْدَمَا هَيَّأَتْ لَهُ أَسْبَابَ الْفَاحِشَةِ، وَأَزَالَتِ الْمَوَانِعَ، وَسَهَّلَتْ أَسْبَابَ الْوُصُولِ إِلَيْهَا، إِلَّا أَنَّهَا قُوبِلَتْ بِجَوَابِ الْعَفِيفِ الطَّاهِرِ بِالِامْتِنَاعِ: ﴿ وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ ﴾ [يُوسُفَ: 23]. وَكُلُّ مَنْ تَحَلَّى بِعِفَّةِ يُوسُفَ، أَمَامَ مُغْرِيَاتِ الْفِتَنِ وَتَيَسُّرِهَا؛ فَهُوَ مُبَشَّرٌ بِأَنْ يَكُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ عَرْشِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ…» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ. وَلَا يَكُونُ الْمُتَعَفِّفُ عَنِ الْحَرَامِ عَفِيفًا إِلَّا بِشُرُوطٍ: أَلَّا يَكُونُ تَعَفُّفُهُ عَنِ الشَّيْءِ انْتِظَارًا لِأَكْثَرَ مِنْهُ، أَوْ لِأَنَّهُ لَا يُوَافِقُهُ، أَوْ لِجُمُودِ شَهْوَتِهِ، أَوْ لِاسْتِشْعَارِ خَوْفٍ مِنْ عَاقِبَتِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ تَنَاوُلِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ غَيْرُ عَارِفٍ بِهِ لِقُصُورِهِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ لَيْسَ بِعِفَّةٍ[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص225)]. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Di antara bentuk sikap menjaga kehormatan diri adalah: 1. Menjaga kemaluan dari hal yang diharamkan Contoh terbesar dari sikap menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan —setelah terpenuhinya faktor-faktor pendukung dan lenyapnya faktor-faktor penghalang untuk melakukan perkara haram itu— adalah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri majikannya. Ketika wanita itu telah menyiapkan baginya segala faktor pendukung, menghilangkan segala faktor penghalang, dan memuluskan jalan untuk berbuat zina dengannya, tapi wanita tersebut mendapat jawaban penolakan dari sosok yang mulia dan suci ini.  “Perempuan —yang Yusuf tinggal di rumahnya— menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, ‘Marilah mendekat kepadaku!’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.’” (QS. Yusuf: 23). Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kehormatan diri seperti Nabi Yusuf di hadapan godaan berbagai fitnah dan kemudahan untuk menggapainya, adalah orang yang akan mendapat kabar gembira pada hari Kiamat kelak berupa naungan ‘arsy Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada Hari Kiamat dengan naungan-Nya, pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, (di antaranya) laki-laki yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik jelita untuk berzina dengan dirinya, lalu ia menjawab, ‘Aku takut kepada Allah!’” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). Seseorang tidak akan menjadi orang yang menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan kecuali dengan beberapa syarat: yaitu orang tersebut menjaga kehormatan dirinya bukan karena menunggu perkara haram yang lebih banyak, karena tidak selaras dengan dirinya, karena syahwatnya tidak tertarik terhadapnya, karena merasa takut dari akibat buruknya, karena ia tidak dapat melakukannya, atau karena ia tidak memahaminya, ini semua bukanlah bagian dari sifat menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 225). 2- كَفُّ النَّفْسِ عَنِ التَّشَوُّفِ لِأَمْوَالِ النَّاسِ: فَقَدْ نَهَى اللَّهُ تَعَالَى عَنْ تَمَنِّي مَا أَنْعَمَ بِهِ عَلَى بَعْضِ عِبَادِهِ مِنْ أَنْوَاعِ النِّعَمِ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ ﴾ [النِّسَاءِ: 32]، وَامْتَدَحَ الْفُقَرَاءَ الْمُتَعَفِّفِينَ عَنْ أَمْوَالِ النَّاسِ، الَّذِينَ لَا يُظْهِرُونَ حَاجَتَهُمْ لِلنَّاسِ، وَلَا يَسْتَجْدُونَ عَطَاءً مِنْ أَحَدٍ: ﴿ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273]؛ فَالْجَاهِلُ بِأَمْرِهِمْ وَحَالِهِمْ يَحْسَبُهُمْ أَغْنِيَاءَ، مِنْ تَعَفُّفِهِمْ فِي لِبَاسِهِمْ وَحَالِهِمْ وَمَقَالِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَلِحُّونَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَلَا يُكَلِّفُونَ النَّاسَ مَا لَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ، وَلَا يَعْرِفُهُمْ إِلَّا أَصْحَابُ الْفِرَاسَةِ[انظر: تفسير ابن كثير، (1/ 704)]، فَهَؤُلَاءِ هُمُ الْمَسَاكِينُ الْمُسْتَحِقُّونَ لِلْمَعُونَةِ وَالْإِكْرَامِ، وَلَيْسَ الَّذِينَ يَطْرُقُونَ أَبْوَابَ النَّاسِ، وَيَسْأَلُونَهُمُ الْعَوْنَ، وَيَتَشَوَّفُونَ لِمَا فِي أَيْدِيهِمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ»، قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَلَمَّا جَاءَ أُنَاسٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ فَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ – مُعَلِّمًا وَمُرْشِدًا: «مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ الْوَاثِقِ بِفَضْلِ رَبِّهِ، الْمُتَعَفِّفِ عَنْ عَطَاءِ غَيْرِهِ، أَنْ يَشْكُوَ فَاقَتَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. 2. Menahan diri dari ketertarikan terhadap harta orang lain Allah Ta’ala telah melarang kita dari mengharapkan apa yang telah dikaruniakan kepada sebagian hamba-Nya yang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain” (QS. An-Nisa: 32). Allah juga memuji orang-orang fakir yang menjaga kehormatan dirinya dari harta orang lain yang tidak menampakkan kekurangannya kepada orang lain dan tidak mengharap pemberian dari seorang pun. Allah Ta’ala berfirman: لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Apapun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain” (QS. Al-Baqarah: 273). Orang yang tidak mengetahui keadaan mereka akan mengira bahwa mereka itu orang-orang kaya, karena mereka menjaga kehormatan diri dalam berpakaian, keadaan, dan ucapan mereka, sebab mereka tidak meminta kepada orang lain dengan gigih, tidak membebani orang lain dengan apa yang tidak mereka butuhkan, dan mereka tidak akan dapat diketahui hakikat keadaannya kecuali oleh orang-orang yang berfirasat kuat. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 1 hlm. 704). Mereka adalah orang-orang miskin yang layak mendapat bantuan dan penghormatan, bukan orang-orang yang mengetuk pintu rumah orang lain untuk mengemis bantuan dan mengharapkan harta yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling untuk meminta-minta kepada orang lain, lalu ia diberi satu dua suap, atau satu dua butir kurma.” Para sahabat bertanya, “Lalu siapa itu orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang tidak punya orang kaya yang mencukupi kekurangannya, dan tidak dapat dikenali keadaannya sehingga dapat dibantu, serta tidak meminta apapun dari orang lain.” (HR. Muslim). Suatu ketika datang sekelompok orang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu mereka meminta kepada beliau, dan beliau pun memberi mereka. Lalu mereka meminta kepada beliau lagi, dan beliau pun memberi mereka, hingga habis apa yang beliau miliki. Kemudian beliau bersabda —sebagai pelajaran dan arahan bagi mereka—: مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ “Harta yang aku miliki tidak akan aku simpan sendiri dari kalian. Barang siapa yang memohon kehormatan diri, niscaya Allah akan menjadinya dapat menjaga kehormatan diri, barang siapa yang memohon kecukupan kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya, dan barang siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan membuatnya mampu bersabar. Tidaklah seseorang dikaruniai pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari). Tidak selayaknya bagi orang beriman yang percaya dengan karunia Tuhannya dan menjaga kehormatan dirinya dari menunggu pemberian orang lain untuk mengeluhkan kemiskinannya kecuali kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ “Barang siapa yang ditimpa kemiskinan, lalu ia mengeluhkannya kepada manusia, maka kemiskinannya tidak akan dihentikan, dan barang siapa yang mengeluhkannya kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya mendekati keberkecukupan, baik itu dengan kematian yang disegerakan, atau dengan keberkecukupan yang disegerakan.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). 3- كَفُّ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ: فَهَذَا مِنْ تَمَامِ الْعِفَّةِ، وَلَا تَتِمُّ الْعِفَّةُ لِلْإِنْسَانِ حَتَّى يَكُونَ عَفِيفَ الْيَدِ، وَاللِّسَانِ، وَالسَّمْعِ، وَالْبَصَرِ؛ فَمَنْ عُدِمَ عِفَّةَ اللِّسَانِ: وَقَعَ فِي جُمْلَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ؛ كَالسُّخْرِيَةِ، وَالْغِيبَةِ، وَالْهَمْزِ، وَالنَّمِيمَةِ، وَالتَّنَابُزِ بِالْأَلْقَابِ! وَمَنْ عُدِمَهَا فِي الْبَصَرِ: مَدَّ عَيْنَهُ إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ، وَزِينَةِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا الْمُوَلِّدَةِ لِلشَّهَوَاتِ الرَّدِيئَةِ، وَمَنْ عُدِمَهَا فِي السَّمْعِ: أَصْغَى لِسَمَاعِ الْقَبَائِحِ، وَمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ تَعَالَى. وَعِمَادُ عِفَّةِ الْجَوَارِحِ كُلِّهَا: أَلَّا يُطْلِقَهَا صَاحِبُهَا فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا، إِلَّا فِيمَا يُسَوِّغُهُ الْعَقْلُ وَالشَّرْعُ، دُونَ الشَّهْوَةِ وَالْهَوَى[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص224)]. وَقَدْ أَثْنَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْأَنْصَارِ؛ بِأَنَّهُمْ أَهْلُ عَفَافٍ وَصَبْرٍ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ ‌صُبُرٌ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ. 3. Menahan anggota badan dari dosa-dosa Ini merupakan sikap menjaga kehormatan diri yang paling sempurna. Seseorang tidak akan sempurna kehormatan dirinya, hingga ia dapat menjaga tangan, lisan, pendengaran, dan penglihatannya. Orang yang tidak punya kehormatan diri pada lisannya, ia akan terjerumus ke dalam beberapa dosa besar, seperti melecehkan orang lain, membicarakan keburukan orang lain, membisikkan kejelekan orang lain, menyebarkan aib orang lain, dan menyematkan sebutan-sebutan buruk bagi orang lain. Adapun orang yang tidak punya kehormatan diri pada penglihatannya, ia akan mengarahkan pandangannya kepada hal-hal yang haram dilihat, dan kenikmatan dunia yang melahirkan syahwat yang keji. Sedangkan orang yang tidak punya kehormatan diri pada pendengarannya, ia akan mendengarkan ucapan-ucapan buruk dan hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Kaidah dalam menjaga kehormatan anggota badan adalah dengan tidak menggunakan setiap anggota badan itu dalam hal yang berkaitan dengan masing-masing anggota badan kecuali dalam hal yang dibolehkan secara akal dan syariat, tanpa didasari syahwat dan hawa nafsu. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 224). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji kaum Anshar karena mereka adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan senantiasa bersabar. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ صُبُرٌ “Orang-orang Anshar adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan penyabar.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 56 times, 1 visit(s) today Post Views: 56 QRIS donasi Yufid

Iffah (Menjaga Kehormatan Diri); Keutamaan dan Jenis-Jenisnya (Bagian 2)

Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ أَنْوَاعِ الْعِفَّةِ: 1- كَفُّ الْفَرْجِ عَنِ الْحَرَامِ: أَعْظَمُ صُورَةٍ لِلْعَفَافِ عَنِ الْحَرَامِ – بَعْدَ تَيَسُّرِ أَسْبَابِهِ، وَزَوَالِ مَوَانِعِهِ – هِيَ قِصَّةُ يُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ امْرَأَةِ الْعَزِيزِ؛ عِنْدَمَا هَيَّأَتْ لَهُ أَسْبَابَ الْفَاحِشَةِ، وَأَزَالَتِ الْمَوَانِعَ، وَسَهَّلَتْ أَسْبَابَ الْوُصُولِ إِلَيْهَا، إِلَّا أَنَّهَا قُوبِلَتْ بِجَوَابِ الْعَفِيفِ الطَّاهِرِ بِالِامْتِنَاعِ: ﴿ وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ ﴾ [يُوسُفَ: 23]. وَكُلُّ مَنْ تَحَلَّى بِعِفَّةِ يُوسُفَ، أَمَامَ مُغْرِيَاتِ الْفِتَنِ وَتَيَسُّرِهَا؛ فَهُوَ مُبَشَّرٌ بِأَنْ يَكُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ عَرْشِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ…» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ. وَلَا يَكُونُ الْمُتَعَفِّفُ عَنِ الْحَرَامِ عَفِيفًا إِلَّا بِشُرُوطٍ: أَلَّا يَكُونُ تَعَفُّفُهُ عَنِ الشَّيْءِ انْتِظَارًا لِأَكْثَرَ مِنْهُ، أَوْ لِأَنَّهُ لَا يُوَافِقُهُ، أَوْ لِجُمُودِ شَهْوَتِهِ، أَوْ لِاسْتِشْعَارِ خَوْفٍ مِنْ عَاقِبَتِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ تَنَاوُلِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ غَيْرُ عَارِفٍ بِهِ لِقُصُورِهِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ لَيْسَ بِعِفَّةٍ[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص225)]. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Di antara bentuk sikap menjaga kehormatan diri adalah: 1. Menjaga kemaluan dari hal yang diharamkan Contoh terbesar dari sikap menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan —setelah terpenuhinya faktor-faktor pendukung dan lenyapnya faktor-faktor penghalang untuk melakukan perkara haram itu— adalah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri majikannya. Ketika wanita itu telah menyiapkan baginya segala faktor pendukung, menghilangkan segala faktor penghalang, dan memuluskan jalan untuk berbuat zina dengannya, tapi wanita tersebut mendapat jawaban penolakan dari sosok yang mulia dan suci ini.  “Perempuan —yang Yusuf tinggal di rumahnya— menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, ‘Marilah mendekat kepadaku!’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.’” (QS. Yusuf: 23). Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kehormatan diri seperti Nabi Yusuf di hadapan godaan berbagai fitnah dan kemudahan untuk menggapainya, adalah orang yang akan mendapat kabar gembira pada hari Kiamat kelak berupa naungan ‘arsy Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada Hari Kiamat dengan naungan-Nya, pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, (di antaranya) laki-laki yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik jelita untuk berzina dengan dirinya, lalu ia menjawab, ‘Aku takut kepada Allah!’” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). Seseorang tidak akan menjadi orang yang menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan kecuali dengan beberapa syarat: yaitu orang tersebut menjaga kehormatan dirinya bukan karena menunggu perkara haram yang lebih banyak, karena tidak selaras dengan dirinya, karena syahwatnya tidak tertarik terhadapnya, karena merasa takut dari akibat buruknya, karena ia tidak dapat melakukannya, atau karena ia tidak memahaminya, ini semua bukanlah bagian dari sifat menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 225). 2- كَفُّ النَّفْسِ عَنِ التَّشَوُّفِ لِأَمْوَالِ النَّاسِ: فَقَدْ نَهَى اللَّهُ تَعَالَى عَنْ تَمَنِّي مَا أَنْعَمَ بِهِ عَلَى بَعْضِ عِبَادِهِ مِنْ أَنْوَاعِ النِّعَمِ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ ﴾ [النِّسَاءِ: 32]، وَامْتَدَحَ الْفُقَرَاءَ الْمُتَعَفِّفِينَ عَنْ أَمْوَالِ النَّاسِ، الَّذِينَ لَا يُظْهِرُونَ حَاجَتَهُمْ لِلنَّاسِ، وَلَا يَسْتَجْدُونَ عَطَاءً مِنْ أَحَدٍ: ﴿ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273]؛ فَالْجَاهِلُ بِأَمْرِهِمْ وَحَالِهِمْ يَحْسَبُهُمْ أَغْنِيَاءَ، مِنْ تَعَفُّفِهِمْ فِي لِبَاسِهِمْ وَحَالِهِمْ وَمَقَالِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَلِحُّونَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَلَا يُكَلِّفُونَ النَّاسَ مَا لَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ، وَلَا يَعْرِفُهُمْ إِلَّا أَصْحَابُ الْفِرَاسَةِ[انظر: تفسير ابن كثير، (1/ 704)]، فَهَؤُلَاءِ هُمُ الْمَسَاكِينُ الْمُسْتَحِقُّونَ لِلْمَعُونَةِ وَالْإِكْرَامِ، وَلَيْسَ الَّذِينَ يَطْرُقُونَ أَبْوَابَ النَّاسِ، وَيَسْأَلُونَهُمُ الْعَوْنَ، وَيَتَشَوَّفُونَ لِمَا فِي أَيْدِيهِمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ»، قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَلَمَّا جَاءَ أُنَاسٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ فَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ – مُعَلِّمًا وَمُرْشِدًا: «مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ الْوَاثِقِ بِفَضْلِ رَبِّهِ، الْمُتَعَفِّفِ عَنْ عَطَاءِ غَيْرِهِ، أَنْ يَشْكُوَ فَاقَتَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. 2. Menahan diri dari ketertarikan terhadap harta orang lain Allah Ta’ala telah melarang kita dari mengharapkan apa yang telah dikaruniakan kepada sebagian hamba-Nya yang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain” (QS. An-Nisa: 32). Allah juga memuji orang-orang fakir yang menjaga kehormatan dirinya dari harta orang lain yang tidak menampakkan kekurangannya kepada orang lain dan tidak mengharap pemberian dari seorang pun. Allah Ta’ala berfirman: لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Apapun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain” (QS. Al-Baqarah: 273). Orang yang tidak mengetahui keadaan mereka akan mengira bahwa mereka itu orang-orang kaya, karena mereka menjaga kehormatan diri dalam berpakaian, keadaan, dan ucapan mereka, sebab mereka tidak meminta kepada orang lain dengan gigih, tidak membebani orang lain dengan apa yang tidak mereka butuhkan, dan mereka tidak akan dapat diketahui hakikat keadaannya kecuali oleh orang-orang yang berfirasat kuat. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 1 hlm. 704). Mereka adalah orang-orang miskin yang layak mendapat bantuan dan penghormatan, bukan orang-orang yang mengetuk pintu rumah orang lain untuk mengemis bantuan dan mengharapkan harta yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling untuk meminta-minta kepada orang lain, lalu ia diberi satu dua suap, atau satu dua butir kurma.” Para sahabat bertanya, “Lalu siapa itu orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang tidak punya orang kaya yang mencukupi kekurangannya, dan tidak dapat dikenali keadaannya sehingga dapat dibantu, serta tidak meminta apapun dari orang lain.” (HR. Muslim). Suatu ketika datang sekelompok orang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu mereka meminta kepada beliau, dan beliau pun memberi mereka. Lalu mereka meminta kepada beliau lagi, dan beliau pun memberi mereka, hingga habis apa yang beliau miliki. Kemudian beliau bersabda —sebagai pelajaran dan arahan bagi mereka—: مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ “Harta yang aku miliki tidak akan aku simpan sendiri dari kalian. Barang siapa yang memohon kehormatan diri, niscaya Allah akan menjadinya dapat menjaga kehormatan diri, barang siapa yang memohon kecukupan kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya, dan barang siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan membuatnya mampu bersabar. Tidaklah seseorang dikaruniai pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari). Tidak selayaknya bagi orang beriman yang percaya dengan karunia Tuhannya dan menjaga kehormatan dirinya dari menunggu pemberian orang lain untuk mengeluhkan kemiskinannya kecuali kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ “Barang siapa yang ditimpa kemiskinan, lalu ia mengeluhkannya kepada manusia, maka kemiskinannya tidak akan dihentikan, dan barang siapa yang mengeluhkannya kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya mendekati keberkecukupan, baik itu dengan kematian yang disegerakan, atau dengan keberkecukupan yang disegerakan.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). 3- كَفُّ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ: فَهَذَا مِنْ تَمَامِ الْعِفَّةِ، وَلَا تَتِمُّ الْعِفَّةُ لِلْإِنْسَانِ حَتَّى يَكُونَ عَفِيفَ الْيَدِ، وَاللِّسَانِ، وَالسَّمْعِ، وَالْبَصَرِ؛ فَمَنْ عُدِمَ عِفَّةَ اللِّسَانِ: وَقَعَ فِي جُمْلَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ؛ كَالسُّخْرِيَةِ، وَالْغِيبَةِ، وَالْهَمْزِ، وَالنَّمِيمَةِ، وَالتَّنَابُزِ بِالْأَلْقَابِ! وَمَنْ عُدِمَهَا فِي الْبَصَرِ: مَدَّ عَيْنَهُ إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ، وَزِينَةِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا الْمُوَلِّدَةِ لِلشَّهَوَاتِ الرَّدِيئَةِ، وَمَنْ عُدِمَهَا فِي السَّمْعِ: أَصْغَى لِسَمَاعِ الْقَبَائِحِ، وَمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ تَعَالَى. وَعِمَادُ عِفَّةِ الْجَوَارِحِ كُلِّهَا: أَلَّا يُطْلِقَهَا صَاحِبُهَا فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا، إِلَّا فِيمَا يُسَوِّغُهُ الْعَقْلُ وَالشَّرْعُ، دُونَ الشَّهْوَةِ وَالْهَوَى[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص224)]. وَقَدْ أَثْنَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْأَنْصَارِ؛ بِأَنَّهُمْ أَهْلُ عَفَافٍ وَصَبْرٍ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ ‌صُبُرٌ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ. 3. Menahan anggota badan dari dosa-dosa Ini merupakan sikap menjaga kehormatan diri yang paling sempurna. Seseorang tidak akan sempurna kehormatan dirinya, hingga ia dapat menjaga tangan, lisan, pendengaran, dan penglihatannya. Orang yang tidak punya kehormatan diri pada lisannya, ia akan terjerumus ke dalam beberapa dosa besar, seperti melecehkan orang lain, membicarakan keburukan orang lain, membisikkan kejelekan orang lain, menyebarkan aib orang lain, dan menyematkan sebutan-sebutan buruk bagi orang lain. Adapun orang yang tidak punya kehormatan diri pada penglihatannya, ia akan mengarahkan pandangannya kepada hal-hal yang haram dilihat, dan kenikmatan dunia yang melahirkan syahwat yang keji. Sedangkan orang yang tidak punya kehormatan diri pada pendengarannya, ia akan mendengarkan ucapan-ucapan buruk dan hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Kaidah dalam menjaga kehormatan anggota badan adalah dengan tidak menggunakan setiap anggota badan itu dalam hal yang berkaitan dengan masing-masing anggota badan kecuali dalam hal yang dibolehkan secara akal dan syariat, tanpa didasari syahwat dan hawa nafsu. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 224). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji kaum Anshar karena mereka adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan senantiasa bersabar. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ صُبُرٌ “Orang-orang Anshar adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan penyabar.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 56 times, 1 visit(s) today Post Views: 56 QRIS donasi Yufid
Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ أَنْوَاعِ الْعِفَّةِ: 1- كَفُّ الْفَرْجِ عَنِ الْحَرَامِ: أَعْظَمُ صُورَةٍ لِلْعَفَافِ عَنِ الْحَرَامِ – بَعْدَ تَيَسُّرِ أَسْبَابِهِ، وَزَوَالِ مَوَانِعِهِ – هِيَ قِصَّةُ يُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ امْرَأَةِ الْعَزِيزِ؛ عِنْدَمَا هَيَّأَتْ لَهُ أَسْبَابَ الْفَاحِشَةِ، وَأَزَالَتِ الْمَوَانِعَ، وَسَهَّلَتْ أَسْبَابَ الْوُصُولِ إِلَيْهَا، إِلَّا أَنَّهَا قُوبِلَتْ بِجَوَابِ الْعَفِيفِ الطَّاهِرِ بِالِامْتِنَاعِ: ﴿ وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ ﴾ [يُوسُفَ: 23]. وَكُلُّ مَنْ تَحَلَّى بِعِفَّةِ يُوسُفَ، أَمَامَ مُغْرِيَاتِ الْفِتَنِ وَتَيَسُّرِهَا؛ فَهُوَ مُبَشَّرٌ بِأَنْ يَكُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ عَرْشِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ…» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ. وَلَا يَكُونُ الْمُتَعَفِّفُ عَنِ الْحَرَامِ عَفِيفًا إِلَّا بِشُرُوطٍ: أَلَّا يَكُونُ تَعَفُّفُهُ عَنِ الشَّيْءِ انْتِظَارًا لِأَكْثَرَ مِنْهُ، أَوْ لِأَنَّهُ لَا يُوَافِقُهُ، أَوْ لِجُمُودِ شَهْوَتِهِ، أَوْ لِاسْتِشْعَارِ خَوْفٍ مِنْ عَاقِبَتِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ تَنَاوُلِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ غَيْرُ عَارِفٍ بِهِ لِقُصُورِهِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ لَيْسَ بِعِفَّةٍ[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص225)]. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Di antara bentuk sikap menjaga kehormatan diri adalah: 1. Menjaga kemaluan dari hal yang diharamkan Contoh terbesar dari sikap menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan —setelah terpenuhinya faktor-faktor pendukung dan lenyapnya faktor-faktor penghalang untuk melakukan perkara haram itu— adalah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri majikannya. Ketika wanita itu telah menyiapkan baginya segala faktor pendukung, menghilangkan segala faktor penghalang, dan memuluskan jalan untuk berbuat zina dengannya, tapi wanita tersebut mendapat jawaban penolakan dari sosok yang mulia dan suci ini.  “Perempuan —yang Yusuf tinggal di rumahnya— menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, ‘Marilah mendekat kepadaku!’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.’” (QS. Yusuf: 23). Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kehormatan diri seperti Nabi Yusuf di hadapan godaan berbagai fitnah dan kemudahan untuk menggapainya, adalah orang yang akan mendapat kabar gembira pada hari Kiamat kelak berupa naungan ‘arsy Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada Hari Kiamat dengan naungan-Nya, pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, (di antaranya) laki-laki yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik jelita untuk berzina dengan dirinya, lalu ia menjawab, ‘Aku takut kepada Allah!’” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). Seseorang tidak akan menjadi orang yang menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan kecuali dengan beberapa syarat: yaitu orang tersebut menjaga kehormatan dirinya bukan karena menunggu perkara haram yang lebih banyak, karena tidak selaras dengan dirinya, karena syahwatnya tidak tertarik terhadapnya, karena merasa takut dari akibat buruknya, karena ia tidak dapat melakukannya, atau karena ia tidak memahaminya, ini semua bukanlah bagian dari sifat menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 225). 2- كَفُّ النَّفْسِ عَنِ التَّشَوُّفِ لِأَمْوَالِ النَّاسِ: فَقَدْ نَهَى اللَّهُ تَعَالَى عَنْ تَمَنِّي مَا أَنْعَمَ بِهِ عَلَى بَعْضِ عِبَادِهِ مِنْ أَنْوَاعِ النِّعَمِ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ ﴾ [النِّسَاءِ: 32]، وَامْتَدَحَ الْفُقَرَاءَ الْمُتَعَفِّفِينَ عَنْ أَمْوَالِ النَّاسِ، الَّذِينَ لَا يُظْهِرُونَ حَاجَتَهُمْ لِلنَّاسِ، وَلَا يَسْتَجْدُونَ عَطَاءً مِنْ أَحَدٍ: ﴿ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273]؛ فَالْجَاهِلُ بِأَمْرِهِمْ وَحَالِهِمْ يَحْسَبُهُمْ أَغْنِيَاءَ، مِنْ تَعَفُّفِهِمْ فِي لِبَاسِهِمْ وَحَالِهِمْ وَمَقَالِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَلِحُّونَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَلَا يُكَلِّفُونَ النَّاسَ مَا لَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ، وَلَا يَعْرِفُهُمْ إِلَّا أَصْحَابُ الْفِرَاسَةِ[انظر: تفسير ابن كثير، (1/ 704)]، فَهَؤُلَاءِ هُمُ الْمَسَاكِينُ الْمُسْتَحِقُّونَ لِلْمَعُونَةِ وَالْإِكْرَامِ، وَلَيْسَ الَّذِينَ يَطْرُقُونَ أَبْوَابَ النَّاسِ، وَيَسْأَلُونَهُمُ الْعَوْنَ، وَيَتَشَوَّفُونَ لِمَا فِي أَيْدِيهِمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ»، قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَلَمَّا جَاءَ أُنَاسٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ فَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ – مُعَلِّمًا وَمُرْشِدًا: «مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ الْوَاثِقِ بِفَضْلِ رَبِّهِ، الْمُتَعَفِّفِ عَنْ عَطَاءِ غَيْرِهِ، أَنْ يَشْكُوَ فَاقَتَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. 2. Menahan diri dari ketertarikan terhadap harta orang lain Allah Ta’ala telah melarang kita dari mengharapkan apa yang telah dikaruniakan kepada sebagian hamba-Nya yang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain” (QS. An-Nisa: 32). Allah juga memuji orang-orang fakir yang menjaga kehormatan dirinya dari harta orang lain yang tidak menampakkan kekurangannya kepada orang lain dan tidak mengharap pemberian dari seorang pun. Allah Ta’ala berfirman: لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Apapun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain” (QS. Al-Baqarah: 273). Orang yang tidak mengetahui keadaan mereka akan mengira bahwa mereka itu orang-orang kaya, karena mereka menjaga kehormatan diri dalam berpakaian, keadaan, dan ucapan mereka, sebab mereka tidak meminta kepada orang lain dengan gigih, tidak membebani orang lain dengan apa yang tidak mereka butuhkan, dan mereka tidak akan dapat diketahui hakikat keadaannya kecuali oleh orang-orang yang berfirasat kuat. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 1 hlm. 704). Mereka adalah orang-orang miskin yang layak mendapat bantuan dan penghormatan, bukan orang-orang yang mengetuk pintu rumah orang lain untuk mengemis bantuan dan mengharapkan harta yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling untuk meminta-minta kepada orang lain, lalu ia diberi satu dua suap, atau satu dua butir kurma.” Para sahabat bertanya, “Lalu siapa itu orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang tidak punya orang kaya yang mencukupi kekurangannya, dan tidak dapat dikenali keadaannya sehingga dapat dibantu, serta tidak meminta apapun dari orang lain.” (HR. Muslim). Suatu ketika datang sekelompok orang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu mereka meminta kepada beliau, dan beliau pun memberi mereka. Lalu mereka meminta kepada beliau lagi, dan beliau pun memberi mereka, hingga habis apa yang beliau miliki. Kemudian beliau bersabda —sebagai pelajaran dan arahan bagi mereka—: مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ “Harta yang aku miliki tidak akan aku simpan sendiri dari kalian. Barang siapa yang memohon kehormatan diri, niscaya Allah akan menjadinya dapat menjaga kehormatan diri, barang siapa yang memohon kecukupan kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya, dan barang siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan membuatnya mampu bersabar. Tidaklah seseorang dikaruniai pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari). Tidak selayaknya bagi orang beriman yang percaya dengan karunia Tuhannya dan menjaga kehormatan dirinya dari menunggu pemberian orang lain untuk mengeluhkan kemiskinannya kecuali kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ “Barang siapa yang ditimpa kemiskinan, lalu ia mengeluhkannya kepada manusia, maka kemiskinannya tidak akan dihentikan, dan barang siapa yang mengeluhkannya kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya mendekati keberkecukupan, baik itu dengan kematian yang disegerakan, atau dengan keberkecukupan yang disegerakan.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). 3- كَفُّ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ: فَهَذَا مِنْ تَمَامِ الْعِفَّةِ، وَلَا تَتِمُّ الْعِفَّةُ لِلْإِنْسَانِ حَتَّى يَكُونَ عَفِيفَ الْيَدِ، وَاللِّسَانِ، وَالسَّمْعِ، وَالْبَصَرِ؛ فَمَنْ عُدِمَ عِفَّةَ اللِّسَانِ: وَقَعَ فِي جُمْلَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ؛ كَالسُّخْرِيَةِ، وَالْغِيبَةِ، وَالْهَمْزِ، وَالنَّمِيمَةِ، وَالتَّنَابُزِ بِالْأَلْقَابِ! وَمَنْ عُدِمَهَا فِي الْبَصَرِ: مَدَّ عَيْنَهُ إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ، وَزِينَةِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا الْمُوَلِّدَةِ لِلشَّهَوَاتِ الرَّدِيئَةِ، وَمَنْ عُدِمَهَا فِي السَّمْعِ: أَصْغَى لِسَمَاعِ الْقَبَائِحِ، وَمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ تَعَالَى. وَعِمَادُ عِفَّةِ الْجَوَارِحِ كُلِّهَا: أَلَّا يُطْلِقَهَا صَاحِبُهَا فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا، إِلَّا فِيمَا يُسَوِّغُهُ الْعَقْلُ وَالشَّرْعُ، دُونَ الشَّهْوَةِ وَالْهَوَى[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص224)]. وَقَدْ أَثْنَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْأَنْصَارِ؛ بِأَنَّهُمْ أَهْلُ عَفَافٍ وَصَبْرٍ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ ‌صُبُرٌ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ. 3. Menahan anggota badan dari dosa-dosa Ini merupakan sikap menjaga kehormatan diri yang paling sempurna. Seseorang tidak akan sempurna kehormatan dirinya, hingga ia dapat menjaga tangan, lisan, pendengaran, dan penglihatannya. Orang yang tidak punya kehormatan diri pada lisannya, ia akan terjerumus ke dalam beberapa dosa besar, seperti melecehkan orang lain, membicarakan keburukan orang lain, membisikkan kejelekan orang lain, menyebarkan aib orang lain, dan menyematkan sebutan-sebutan buruk bagi orang lain. Adapun orang yang tidak punya kehormatan diri pada penglihatannya, ia akan mengarahkan pandangannya kepada hal-hal yang haram dilihat, dan kenikmatan dunia yang melahirkan syahwat yang keji. Sedangkan orang yang tidak punya kehormatan diri pada pendengarannya, ia akan mendengarkan ucapan-ucapan buruk dan hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Kaidah dalam menjaga kehormatan anggota badan adalah dengan tidak menggunakan setiap anggota badan itu dalam hal yang berkaitan dengan masing-masing anggota badan kecuali dalam hal yang dibolehkan secara akal dan syariat, tanpa didasari syahwat dan hawa nafsu. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 224). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji kaum Anshar karena mereka adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan senantiasa bersabar. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ صُبُرٌ “Orang-orang Anshar adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan penyabar.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 56 times, 1 visit(s) today Post Views: 56 QRIS donasi Yufid


Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ.. وَمِنْ أَهَمِّ أَنْوَاعِ الْعِفَّةِ: 1- كَفُّ الْفَرْجِ عَنِ الْحَرَامِ: أَعْظَمُ صُورَةٍ لِلْعَفَافِ عَنِ الْحَرَامِ – بَعْدَ تَيَسُّرِ أَسْبَابِهِ، وَزَوَالِ مَوَانِعِهِ – هِيَ قِصَّةُ يُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ امْرَأَةِ الْعَزِيزِ؛ عِنْدَمَا هَيَّأَتْ لَهُ أَسْبَابَ الْفَاحِشَةِ، وَأَزَالَتِ الْمَوَانِعَ، وَسَهَّلَتْ أَسْبَابَ الْوُصُولِ إِلَيْهَا، إِلَّا أَنَّهَا قُوبِلَتْ بِجَوَابِ الْعَفِيفِ الطَّاهِرِ بِالِامْتِنَاعِ: ﴿ وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ ﴾ [يُوسُفَ: 23]. وَكُلُّ مَنْ تَحَلَّى بِعِفَّةِ يُوسُفَ، أَمَامَ مُغْرِيَاتِ الْفِتَنِ وَتَيَسُّرِهَا؛ فَهُوَ مُبَشَّرٌ بِأَنْ يَكُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّ عَرْشِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ…» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ. وَلَا يَكُونُ الْمُتَعَفِّفُ عَنِ الْحَرَامِ عَفِيفًا إِلَّا بِشُرُوطٍ: أَلَّا يَكُونُ تَعَفُّفُهُ عَنِ الشَّيْءِ انْتِظَارًا لِأَكْثَرَ مِنْهُ، أَوْ لِأَنَّهُ لَا يُوَافِقُهُ، أَوْ لِجُمُودِ شَهْوَتِهِ، أَوْ لِاسْتِشْعَارِ خَوْفٍ مِنْ عَاقِبَتِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ تَنَاوُلِهِ، أَوْ لِأَنَّهُ غَيْرُ عَارِفٍ بِهِ لِقُصُورِهِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ لَيْسَ بِعِفَّةٍ[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص225)]. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah. Wahai kaum Muslimin! Di antara bentuk sikap menjaga kehormatan diri adalah: 1. Menjaga kemaluan dari hal yang diharamkan Contoh terbesar dari sikap menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan —setelah terpenuhinya faktor-faktor pendukung dan lenyapnya faktor-faktor penghalang untuk melakukan perkara haram itu— adalah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri majikannya. Ketika wanita itu telah menyiapkan baginya segala faktor pendukung, menghilangkan segala faktor penghalang, dan memuluskan jalan untuk berbuat zina dengannya, tapi wanita tersebut mendapat jawaban penolakan dari sosok yang mulia dan suci ini.  “Perempuan —yang Yusuf tinggal di rumahnya— menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, ‘Marilah mendekat kepadaku!’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.’” (QS. Yusuf: 23). Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kehormatan diri seperti Nabi Yusuf di hadapan godaan berbagai fitnah dan kemudahan untuk menggapainya, adalah orang yang akan mendapat kabar gembira pada hari Kiamat kelak berupa naungan ‘arsy Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا؛ قَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada Hari Kiamat dengan naungan-Nya, pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, (di antaranya) laki-laki yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik jelita untuk berzina dengan dirinya, lalu ia menjawab, ‘Aku takut kepada Allah!’” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). Seseorang tidak akan menjadi orang yang menjaga kehormatan diri dari hal yang diharamkan kecuali dengan beberapa syarat: yaitu orang tersebut menjaga kehormatan dirinya bukan karena menunggu perkara haram yang lebih banyak, karena tidak selaras dengan dirinya, karena syahwatnya tidak tertarik terhadapnya, karena merasa takut dari akibat buruknya, karena ia tidak dapat melakukannya, atau karena ia tidak memahaminya, ini semua bukanlah bagian dari sifat menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 225). 2- كَفُّ النَّفْسِ عَنِ التَّشَوُّفِ لِأَمْوَالِ النَّاسِ: فَقَدْ نَهَى اللَّهُ تَعَالَى عَنْ تَمَنِّي مَا أَنْعَمَ بِهِ عَلَى بَعْضِ عِبَادِهِ مِنْ أَنْوَاعِ النِّعَمِ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ ﴾ [النِّسَاءِ: 32]، وَامْتَدَحَ الْفُقَرَاءَ الْمُتَعَفِّفِينَ عَنْ أَمْوَالِ النَّاسِ، الَّذِينَ لَا يُظْهِرُونَ حَاجَتَهُمْ لِلنَّاسِ، وَلَا يَسْتَجْدُونَ عَطَاءً مِنْ أَحَدٍ: ﴿ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273]؛ فَالْجَاهِلُ بِأَمْرِهِمْ وَحَالِهِمْ يَحْسَبُهُمْ أَغْنِيَاءَ، مِنْ تَعَفُّفِهِمْ فِي لِبَاسِهِمْ وَحَالِهِمْ وَمَقَالِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَلِحُّونَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَلَا يُكَلِّفُونَ النَّاسَ مَا لَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ، وَلَا يَعْرِفُهُمْ إِلَّا أَصْحَابُ الْفِرَاسَةِ[انظر: تفسير ابن كثير، (1/ 704)]، فَهَؤُلَاءِ هُمُ الْمَسَاكِينُ الْمُسْتَحِقُّونَ لِلْمَعُونَةِ وَالْإِكْرَامِ، وَلَيْسَ الَّذِينَ يَطْرُقُونَ أَبْوَابَ النَّاسِ، وَيَسْأَلُونَهُمُ الْعَوْنَ، وَيَتَشَوَّفُونَ لِمَا فِي أَيْدِيهِمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ»، قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَلَمَّا جَاءَ أُنَاسٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ فَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ – مُعَلِّمًا وَمُرْشِدًا: «مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ الْوَاثِقِ بِفَضْلِ رَبِّهِ، الْمُتَعَفِّفِ عَنْ عَطَاءِ غَيْرِهِ، أَنْ يَشْكُوَ فَاقَتَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ» حَسَنٌ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ. 2. Menahan diri dari ketertarikan terhadap harta orang lain Allah Ta’ala telah melarang kita dari mengharapkan apa yang telah dikaruniakan kepada sebagian hamba-Nya yang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ “Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain” (QS. An-Nisa: 32). Allah juga memuji orang-orang fakir yang menjaga kehormatan dirinya dari harta orang lain yang tidak menampakkan kekurangannya kepada orang lain dan tidak mengharap pemberian dari seorang pun. Allah Ta’ala berfirman: لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Apapun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain” (QS. Al-Baqarah: 273). Orang yang tidak mengetahui keadaan mereka akan mengira bahwa mereka itu orang-orang kaya, karena mereka menjaga kehormatan diri dalam berpakaian, keadaan, dan ucapan mereka, sebab mereka tidak meminta kepada orang lain dengan gigih, tidak membebani orang lain dengan apa yang tidak mereka butuhkan, dan mereka tidak akan dapat diketahui hakikat keadaannya kecuali oleh orang-orang yang berfirasat kuat. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 1 hlm. 704). Mereka adalah orang-orang miskin yang layak mendapat bantuan dan penghormatan, bukan orang-orang yang mengetuk pintu rumah orang lain untuk mengemis bantuan dan mengharapkan harta yang dimiliki orang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling untuk meminta-minta kepada orang lain, lalu ia diberi satu dua suap, atau satu dua butir kurma.” Para sahabat bertanya, “Lalu siapa itu orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang tidak punya orang kaya yang mencukupi kekurangannya, dan tidak dapat dikenali keadaannya sehingga dapat dibantu, serta tidak meminta apapun dari orang lain.” (HR. Muslim). Suatu ketika datang sekelompok orang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu mereka meminta kepada beliau, dan beliau pun memberi mereka. Lalu mereka meminta kepada beliau lagi, dan beliau pun memberi mereka, hingga habis apa yang beliau miliki. Kemudian beliau bersabda —sebagai pelajaran dan arahan bagi mereka—: مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ “Harta yang aku miliki tidak akan aku simpan sendiri dari kalian. Barang siapa yang memohon kehormatan diri, niscaya Allah akan menjadinya dapat menjaga kehormatan diri, barang siapa yang memohon kecukupan kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya, dan barang siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan membuatnya mampu bersabar. Tidaklah seseorang dikaruniai pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari). Tidak selayaknya bagi orang beriman yang percaya dengan karunia Tuhannya dan menjaga kehormatan dirinya dari menunggu pemberian orang lain untuk mengeluhkan kemiskinannya kecuali kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللَّهِ أَوْشَكَ اللَّهُ لَهُ بِالْغِنَى؛ إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ، أَوْ غِنًى عَاجِلٍ “Barang siapa yang ditimpa kemiskinan, lalu ia mengeluhkannya kepada manusia, maka kemiskinannya tidak akan dihentikan, dan barang siapa yang mengeluhkannya kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya mendekati keberkecukupan, baik itu dengan kematian yang disegerakan, atau dengan keberkecukupan yang disegerakan.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud). 3- كَفُّ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ: فَهَذَا مِنْ تَمَامِ الْعِفَّةِ، وَلَا تَتِمُّ الْعِفَّةُ لِلْإِنْسَانِ حَتَّى يَكُونَ عَفِيفَ الْيَدِ، وَاللِّسَانِ، وَالسَّمْعِ، وَالْبَصَرِ؛ فَمَنْ عُدِمَ عِفَّةَ اللِّسَانِ: وَقَعَ فِي جُمْلَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ؛ كَالسُّخْرِيَةِ، وَالْغِيبَةِ، وَالْهَمْزِ، وَالنَّمِيمَةِ، وَالتَّنَابُزِ بِالْأَلْقَابِ! وَمَنْ عُدِمَهَا فِي الْبَصَرِ: مَدَّ عَيْنَهُ إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ، وَزِينَةِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا الْمُوَلِّدَةِ لِلشَّهَوَاتِ الرَّدِيئَةِ، وَمَنْ عُدِمَهَا فِي السَّمْعِ: أَصْغَى لِسَمَاعِ الْقَبَائِحِ، وَمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ تَعَالَى. وَعِمَادُ عِفَّةِ الْجَوَارِحِ كُلِّهَا: أَلَّا يُطْلِقَهَا صَاحِبُهَا فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا، إِلَّا فِيمَا يُسَوِّغُهُ الْعَقْلُ وَالشَّرْعُ، دُونَ الشَّهْوَةِ وَالْهَوَى[انظر: الذريعة إلى مكارم الشريعة، (ص224)]. وَقَدْ أَثْنَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْأَنْصَارِ؛ بِأَنَّهُمْ أَهْلُ عَفَافٍ وَصَبْرٍ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ ‌صُبُرٌ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ. 3. Menahan anggota badan dari dosa-dosa Ini merupakan sikap menjaga kehormatan diri yang paling sempurna. Seseorang tidak akan sempurna kehormatan dirinya, hingga ia dapat menjaga tangan, lisan, pendengaran, dan penglihatannya. Orang yang tidak punya kehormatan diri pada lisannya, ia akan terjerumus ke dalam beberapa dosa besar, seperti melecehkan orang lain, membicarakan keburukan orang lain, membisikkan kejelekan orang lain, menyebarkan aib orang lain, dan menyematkan sebutan-sebutan buruk bagi orang lain. Adapun orang yang tidak punya kehormatan diri pada penglihatannya, ia akan mengarahkan pandangannya kepada hal-hal yang haram dilihat, dan kenikmatan dunia yang melahirkan syahwat yang keji. Sedangkan orang yang tidak punya kehormatan diri pada pendengarannya, ia akan mendengarkan ucapan-ucapan buruk dan hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Kaidah dalam menjaga kehormatan anggota badan adalah dengan tidak menggunakan setiap anggota badan itu dalam hal yang berkaitan dengan masing-masing anggota badan kecuali dalam hal yang dibolehkan secara akal dan syariat, tanpa didasari syahwat dan hawa nafsu. (Lihat: Kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah hlm. 224). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji kaum Anshar karena mereka adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan senantiasa bersabar. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: الْأَنْصَارُ ‌أَعِفَّةٌ صُبُرٌ “Orang-orang Anshar adalah orang-orang yang menjaga kehormatan dan penyabar.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 56 times, 1 visit(s) today Post Views: 56 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Esok, Kita Akan Bersyukur atas Masa-Masa Sulit di Hari Ini

Tentu ada masa-masa di saat kita berada dalam musibah, kesengsaraan, kepedihan, dan kesulitan. Menghadapi suatu masalah pelik yang kita sendiri tidak tahu, di manakah ujung kesudahannya. Hidup terasa gelap, kaki tidak tahu lagi ke mana harus melangkah, lalu kita pun mulai putus asa. Apalagi jika kita sudah mengusahakan semaksimal mungkin yang bisa kita usahakan sebagai seorang manusia biasa.Asal engkau tahu, Allah tidak memerintahkan kita untuk menyelesaikan setiap masalah yang kita hadapi. Akan tetapi, Dia memerintahkan kita untuk bersabar, bertahan, dan ber-husnuzhan (berbaik sangka kepada Allah). Kita diperintahkan untuk bersabar dan bertahan, berbaik sangka kepada-Nya bahwa Allah akan menurunkan pertolongan-Nya, baik cepat ataupun dalam waktu yang lama. Allah selesaikan kesulitan dan masalah kita dengan cara-Nya, tanpa pernah kita sangka dan duga.Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى، لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ“Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, jika engkau bersabar dan mengharap pahala (dari-Ku) saat pertama kali tertimpa musibah, maka Aku tidak meridai balasan bagimu selain surga.” (HR. Ibnu Majah no. 1597. Dinilai hasan oleh Al-Albani)Kesabaran adalah salah satu bentuk pertolongan yang Allah turunkan di masa-masa sulit—menguatkan diri kita, laksana batu karang yang tetap tegak meski diterjang ombak besar di tengah lautan. Ingatlah firman Allah Ta’ala,وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌۭ مُّسْتَضْعَفُونَ فِى ٱلْأَرْضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطَّفَكُمُ ٱلنَّاسُ فَـَٔاوَىٰكُمْ وَأَيَّدَكُم بِنَصْرِهِۦ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Dan ingatlah ketika kamu masih sedikit, lagi tertindas di muka bumi, kamu takut orang-orang akan menculikmu, lalu Dia melindungimu, menguatkanmu dengan pertolongan-Nya, dan memberi rezeki kepadamu dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal: 26)Di masa-masa sulit itu, perbanyaklah memohon ampunan (istigfar) kepada Allah. Karena tidaklah Allah menurunkan suatu musibah dan kesulitan, kecuali karena dosa dan kesalahan kita sendiri. Istigfar itu adalah di antara sebab Allah menghilangkan kesulitan dan bencana seorang hamba. Renungkanlah bagaimanakah perkataan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Allah juga berfirman,وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ، جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa membiasakan diri beristigfar, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dari setiap kesempitan, kelapangan dari setiap kesedihan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud no. 1518, Ibnu Majah no. 3819. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) [1]Kita pun meningkatkan tawakal kepada-Nya, hanya bergantung dan meminta tolong kepada Allah. Inilah kondisi manusia yang beriman, semakin tinggi tingkat kesulitan, semakin besar dan berkualitas pula tawakal dia kepada Allah Ta’ala. Dan di saat tawakal seorang hamba hanya murni kepada Allah, maka di situlah Allah turunkan pertolongan-Nya. Dengan kata lain, musibah kita hari ini adalah cara Allah mendidik kita, bagaimanakah tawakal yang benar. Jika selama ini kita hanya belajar teori melalui buku-buku agama, maka inilah saatnya praktik di kehidupan nyata.Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Inilah hakikat tawakal kepada-Nya.Tawakal inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 238)Lihatlah bagaimana Nabi Nuh ‘alaihis salam pernah merintih, meminta tolong kepada Allah, Rabbnya,فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانتَصِرْ“Nuh pun berdoa kepada Tuhannya, ‘Sungguh aku telah disakiti (dikalahkan), maka tolonglah aku!’” (QS. Al-Qamar: 10)Doa yang ringkas, hanya tiga kata saja (dalam bahasa Arab), namun pengaruhnya sungguh dahsyat, seolah-olah mampu mengubah langit dan bumi.Oleh karena itu, janganlah berputus asa, mintalah kepada Tuhanmu, dengan perihmu, dengan sakitmu, dengan lemahmu, dengan resahmu, dan tunggulah kegembiraan dengan datangnya pertolongan Allah, Rabb Yang Maha mulia. Allah mengetahui dirimu kala engkau tersenyum dalam bahagia, dan Dia pun mengetahui isi hatimu saat engkau gundah dan terluka.Ingatlah, kesedihan yang membuatmu kembali dekat kepada Allah itu lebih baik daripada kesenangan yang membuatmu jauh dan lalai dari-Nya. Dengan musibah yang menimpamu, Allah hanya ingin engkau kembali mendekat kepada-Nya. Akan tetapi, yang terbaik adalah apabila kita senantiasa dekat kepada-Nya dalam setiap keadaan, baik di saat senang, saat susah, saat sedih, maupun saat bahagia.Kita pun melantunkan doa sebagaimana yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an,رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ“Wahai Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)Teruslah belajar. Tetaplah bersabar. Jangan putus asa. Kemuliaan butuh perjuangan. Jangan tertipu oleh gemerlapnya dunia.Jika engkau ingin menyerah, lihat lagi ke belakang, sudah seberapa jauh engkau melangkah?Terahir, akan ada waktunya nanti kita akan menoleh ke belakang dan mengatakan kepada diri kita sendiri, “Alhamdulillah, ternyata aku bisa melewati semua ini.”Dan kita pun mulai menyaksikan hikmah-hikmah yang Allah tampakkan dari kesulitan yang dulu kita alami. Dan kita pun pada akhirnya bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, di masa-masa sulit itu.Renungkanlah untaian kalimat yang sangat indah ini,لَوْ عَلِمَ الْعَبْدُ مَقَاصِدَ الْأَقْدَارِلَبَكَى مِنْ سُوءِ ظَنِّهِ بِاللَّهِ“Andai seorang hamba itu tahu hikmah dari takdir-takdir (yang Allah tetapkan untuknya)Niscaya ia akan menangis karena telah berburuk sangka kepada Rabb-nya.”Dan jangan lupa kita senantiasa berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari keadaan yang berat dan kepedihan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ، وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ، وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa meminta perlindungan (kepada Allah) buruknya takdir, dari kesengsaraan yang terus-menerus, dari kegembiraan musuh atas musibah, dan dari beratnya cobaan.” (HR. Bukhari no. 6347 dan Muslim no. 2707; lafal hadis ini milik Muslim)Baca juga: Mengapa Aku Sulit Bersyukur?***Unayzah, KSA; Jumat, 7 Safar 1447/ 1 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Meskipun dinilai dha’if karena kelemahan pada perawi, para ulama memperbolehkan mengamalkan hadis ini dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amal) karena tidak bertentangan dengan syariat yang sahih, dan maknanya juga sejalan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam.

Esok, Kita Akan Bersyukur atas Masa-Masa Sulit di Hari Ini

Tentu ada masa-masa di saat kita berada dalam musibah, kesengsaraan, kepedihan, dan kesulitan. Menghadapi suatu masalah pelik yang kita sendiri tidak tahu, di manakah ujung kesudahannya. Hidup terasa gelap, kaki tidak tahu lagi ke mana harus melangkah, lalu kita pun mulai putus asa. Apalagi jika kita sudah mengusahakan semaksimal mungkin yang bisa kita usahakan sebagai seorang manusia biasa.Asal engkau tahu, Allah tidak memerintahkan kita untuk menyelesaikan setiap masalah yang kita hadapi. Akan tetapi, Dia memerintahkan kita untuk bersabar, bertahan, dan ber-husnuzhan (berbaik sangka kepada Allah). Kita diperintahkan untuk bersabar dan bertahan, berbaik sangka kepada-Nya bahwa Allah akan menurunkan pertolongan-Nya, baik cepat ataupun dalam waktu yang lama. Allah selesaikan kesulitan dan masalah kita dengan cara-Nya, tanpa pernah kita sangka dan duga.Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى، لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ“Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, jika engkau bersabar dan mengharap pahala (dari-Ku) saat pertama kali tertimpa musibah, maka Aku tidak meridai balasan bagimu selain surga.” (HR. Ibnu Majah no. 1597. Dinilai hasan oleh Al-Albani)Kesabaran adalah salah satu bentuk pertolongan yang Allah turunkan di masa-masa sulit—menguatkan diri kita, laksana batu karang yang tetap tegak meski diterjang ombak besar di tengah lautan. Ingatlah firman Allah Ta’ala,وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌۭ مُّسْتَضْعَفُونَ فِى ٱلْأَرْضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطَّفَكُمُ ٱلنَّاسُ فَـَٔاوَىٰكُمْ وَأَيَّدَكُم بِنَصْرِهِۦ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Dan ingatlah ketika kamu masih sedikit, lagi tertindas di muka bumi, kamu takut orang-orang akan menculikmu, lalu Dia melindungimu, menguatkanmu dengan pertolongan-Nya, dan memberi rezeki kepadamu dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal: 26)Di masa-masa sulit itu, perbanyaklah memohon ampunan (istigfar) kepada Allah. Karena tidaklah Allah menurunkan suatu musibah dan kesulitan, kecuali karena dosa dan kesalahan kita sendiri. Istigfar itu adalah di antara sebab Allah menghilangkan kesulitan dan bencana seorang hamba. Renungkanlah bagaimanakah perkataan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Allah juga berfirman,وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ، جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa membiasakan diri beristigfar, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dari setiap kesempitan, kelapangan dari setiap kesedihan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud no. 1518, Ibnu Majah no. 3819. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) [1]Kita pun meningkatkan tawakal kepada-Nya, hanya bergantung dan meminta tolong kepada Allah. Inilah kondisi manusia yang beriman, semakin tinggi tingkat kesulitan, semakin besar dan berkualitas pula tawakal dia kepada Allah Ta’ala. Dan di saat tawakal seorang hamba hanya murni kepada Allah, maka di situlah Allah turunkan pertolongan-Nya. Dengan kata lain, musibah kita hari ini adalah cara Allah mendidik kita, bagaimanakah tawakal yang benar. Jika selama ini kita hanya belajar teori melalui buku-buku agama, maka inilah saatnya praktik di kehidupan nyata.Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Inilah hakikat tawakal kepada-Nya.Tawakal inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 238)Lihatlah bagaimana Nabi Nuh ‘alaihis salam pernah merintih, meminta tolong kepada Allah, Rabbnya,فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانتَصِرْ“Nuh pun berdoa kepada Tuhannya, ‘Sungguh aku telah disakiti (dikalahkan), maka tolonglah aku!’” (QS. Al-Qamar: 10)Doa yang ringkas, hanya tiga kata saja (dalam bahasa Arab), namun pengaruhnya sungguh dahsyat, seolah-olah mampu mengubah langit dan bumi.Oleh karena itu, janganlah berputus asa, mintalah kepada Tuhanmu, dengan perihmu, dengan sakitmu, dengan lemahmu, dengan resahmu, dan tunggulah kegembiraan dengan datangnya pertolongan Allah, Rabb Yang Maha mulia. Allah mengetahui dirimu kala engkau tersenyum dalam bahagia, dan Dia pun mengetahui isi hatimu saat engkau gundah dan terluka.Ingatlah, kesedihan yang membuatmu kembali dekat kepada Allah itu lebih baik daripada kesenangan yang membuatmu jauh dan lalai dari-Nya. Dengan musibah yang menimpamu, Allah hanya ingin engkau kembali mendekat kepada-Nya. Akan tetapi, yang terbaik adalah apabila kita senantiasa dekat kepada-Nya dalam setiap keadaan, baik di saat senang, saat susah, saat sedih, maupun saat bahagia.Kita pun melantunkan doa sebagaimana yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an,رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ“Wahai Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)Teruslah belajar. Tetaplah bersabar. Jangan putus asa. Kemuliaan butuh perjuangan. Jangan tertipu oleh gemerlapnya dunia.Jika engkau ingin menyerah, lihat lagi ke belakang, sudah seberapa jauh engkau melangkah?Terahir, akan ada waktunya nanti kita akan menoleh ke belakang dan mengatakan kepada diri kita sendiri, “Alhamdulillah, ternyata aku bisa melewati semua ini.”Dan kita pun mulai menyaksikan hikmah-hikmah yang Allah tampakkan dari kesulitan yang dulu kita alami. Dan kita pun pada akhirnya bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, di masa-masa sulit itu.Renungkanlah untaian kalimat yang sangat indah ini,لَوْ عَلِمَ الْعَبْدُ مَقَاصِدَ الْأَقْدَارِلَبَكَى مِنْ سُوءِ ظَنِّهِ بِاللَّهِ“Andai seorang hamba itu tahu hikmah dari takdir-takdir (yang Allah tetapkan untuknya)Niscaya ia akan menangis karena telah berburuk sangka kepada Rabb-nya.”Dan jangan lupa kita senantiasa berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari keadaan yang berat dan kepedihan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ، وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ، وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa meminta perlindungan (kepada Allah) buruknya takdir, dari kesengsaraan yang terus-menerus, dari kegembiraan musuh atas musibah, dan dari beratnya cobaan.” (HR. Bukhari no. 6347 dan Muslim no. 2707; lafal hadis ini milik Muslim)Baca juga: Mengapa Aku Sulit Bersyukur?***Unayzah, KSA; Jumat, 7 Safar 1447/ 1 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Meskipun dinilai dha’if karena kelemahan pada perawi, para ulama memperbolehkan mengamalkan hadis ini dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amal) karena tidak bertentangan dengan syariat yang sahih, dan maknanya juga sejalan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam.
Tentu ada masa-masa di saat kita berada dalam musibah, kesengsaraan, kepedihan, dan kesulitan. Menghadapi suatu masalah pelik yang kita sendiri tidak tahu, di manakah ujung kesudahannya. Hidup terasa gelap, kaki tidak tahu lagi ke mana harus melangkah, lalu kita pun mulai putus asa. Apalagi jika kita sudah mengusahakan semaksimal mungkin yang bisa kita usahakan sebagai seorang manusia biasa.Asal engkau tahu, Allah tidak memerintahkan kita untuk menyelesaikan setiap masalah yang kita hadapi. Akan tetapi, Dia memerintahkan kita untuk bersabar, bertahan, dan ber-husnuzhan (berbaik sangka kepada Allah). Kita diperintahkan untuk bersabar dan bertahan, berbaik sangka kepada-Nya bahwa Allah akan menurunkan pertolongan-Nya, baik cepat ataupun dalam waktu yang lama. Allah selesaikan kesulitan dan masalah kita dengan cara-Nya, tanpa pernah kita sangka dan duga.Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى، لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ“Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, jika engkau bersabar dan mengharap pahala (dari-Ku) saat pertama kali tertimpa musibah, maka Aku tidak meridai balasan bagimu selain surga.” (HR. Ibnu Majah no. 1597. Dinilai hasan oleh Al-Albani)Kesabaran adalah salah satu bentuk pertolongan yang Allah turunkan di masa-masa sulit—menguatkan diri kita, laksana batu karang yang tetap tegak meski diterjang ombak besar di tengah lautan. Ingatlah firman Allah Ta’ala,وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌۭ مُّسْتَضْعَفُونَ فِى ٱلْأَرْضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطَّفَكُمُ ٱلنَّاسُ فَـَٔاوَىٰكُمْ وَأَيَّدَكُم بِنَصْرِهِۦ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Dan ingatlah ketika kamu masih sedikit, lagi tertindas di muka bumi, kamu takut orang-orang akan menculikmu, lalu Dia melindungimu, menguatkanmu dengan pertolongan-Nya, dan memberi rezeki kepadamu dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal: 26)Di masa-masa sulit itu, perbanyaklah memohon ampunan (istigfar) kepada Allah. Karena tidaklah Allah menurunkan suatu musibah dan kesulitan, kecuali karena dosa dan kesalahan kita sendiri. Istigfar itu adalah di antara sebab Allah menghilangkan kesulitan dan bencana seorang hamba. Renungkanlah bagaimanakah perkataan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Allah juga berfirman,وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ، جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa membiasakan diri beristigfar, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dari setiap kesempitan, kelapangan dari setiap kesedihan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud no. 1518, Ibnu Majah no. 3819. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) [1]Kita pun meningkatkan tawakal kepada-Nya, hanya bergantung dan meminta tolong kepada Allah. Inilah kondisi manusia yang beriman, semakin tinggi tingkat kesulitan, semakin besar dan berkualitas pula tawakal dia kepada Allah Ta’ala. Dan di saat tawakal seorang hamba hanya murni kepada Allah, maka di situlah Allah turunkan pertolongan-Nya. Dengan kata lain, musibah kita hari ini adalah cara Allah mendidik kita, bagaimanakah tawakal yang benar. Jika selama ini kita hanya belajar teori melalui buku-buku agama, maka inilah saatnya praktik di kehidupan nyata.Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Inilah hakikat tawakal kepada-Nya.Tawakal inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 238)Lihatlah bagaimana Nabi Nuh ‘alaihis salam pernah merintih, meminta tolong kepada Allah, Rabbnya,فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانتَصِرْ“Nuh pun berdoa kepada Tuhannya, ‘Sungguh aku telah disakiti (dikalahkan), maka tolonglah aku!’” (QS. Al-Qamar: 10)Doa yang ringkas, hanya tiga kata saja (dalam bahasa Arab), namun pengaruhnya sungguh dahsyat, seolah-olah mampu mengubah langit dan bumi.Oleh karena itu, janganlah berputus asa, mintalah kepada Tuhanmu, dengan perihmu, dengan sakitmu, dengan lemahmu, dengan resahmu, dan tunggulah kegembiraan dengan datangnya pertolongan Allah, Rabb Yang Maha mulia. Allah mengetahui dirimu kala engkau tersenyum dalam bahagia, dan Dia pun mengetahui isi hatimu saat engkau gundah dan terluka.Ingatlah, kesedihan yang membuatmu kembali dekat kepada Allah itu lebih baik daripada kesenangan yang membuatmu jauh dan lalai dari-Nya. Dengan musibah yang menimpamu, Allah hanya ingin engkau kembali mendekat kepada-Nya. Akan tetapi, yang terbaik adalah apabila kita senantiasa dekat kepada-Nya dalam setiap keadaan, baik di saat senang, saat susah, saat sedih, maupun saat bahagia.Kita pun melantunkan doa sebagaimana yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an,رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ“Wahai Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)Teruslah belajar. Tetaplah bersabar. Jangan putus asa. Kemuliaan butuh perjuangan. Jangan tertipu oleh gemerlapnya dunia.Jika engkau ingin menyerah, lihat lagi ke belakang, sudah seberapa jauh engkau melangkah?Terahir, akan ada waktunya nanti kita akan menoleh ke belakang dan mengatakan kepada diri kita sendiri, “Alhamdulillah, ternyata aku bisa melewati semua ini.”Dan kita pun mulai menyaksikan hikmah-hikmah yang Allah tampakkan dari kesulitan yang dulu kita alami. Dan kita pun pada akhirnya bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, di masa-masa sulit itu.Renungkanlah untaian kalimat yang sangat indah ini,لَوْ عَلِمَ الْعَبْدُ مَقَاصِدَ الْأَقْدَارِلَبَكَى مِنْ سُوءِ ظَنِّهِ بِاللَّهِ“Andai seorang hamba itu tahu hikmah dari takdir-takdir (yang Allah tetapkan untuknya)Niscaya ia akan menangis karena telah berburuk sangka kepada Rabb-nya.”Dan jangan lupa kita senantiasa berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari keadaan yang berat dan kepedihan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ، وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ، وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa meminta perlindungan (kepada Allah) buruknya takdir, dari kesengsaraan yang terus-menerus, dari kegembiraan musuh atas musibah, dan dari beratnya cobaan.” (HR. Bukhari no. 6347 dan Muslim no. 2707; lafal hadis ini milik Muslim)Baca juga: Mengapa Aku Sulit Bersyukur?***Unayzah, KSA; Jumat, 7 Safar 1447/ 1 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Meskipun dinilai dha’if karena kelemahan pada perawi, para ulama memperbolehkan mengamalkan hadis ini dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amal) karena tidak bertentangan dengan syariat yang sahih, dan maknanya juga sejalan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam.


Tentu ada masa-masa di saat kita berada dalam musibah, kesengsaraan, kepedihan, dan kesulitan. Menghadapi suatu masalah pelik yang kita sendiri tidak tahu, di manakah ujung kesudahannya. Hidup terasa gelap, kaki tidak tahu lagi ke mana harus melangkah, lalu kita pun mulai putus asa. Apalagi jika kita sudah mengusahakan semaksimal mungkin yang bisa kita usahakan sebagai seorang manusia biasa.Asal engkau tahu, Allah tidak memerintahkan kita untuk menyelesaikan setiap masalah yang kita hadapi. Akan tetapi, Dia memerintahkan kita untuk bersabar, bertahan, dan ber-husnuzhan (berbaik sangka kepada Allah). Kita diperintahkan untuk bersabar dan bertahan, berbaik sangka kepada-Nya bahwa Allah akan menurunkan pertolongan-Nya, baik cepat ataupun dalam waktu yang lama. Allah selesaikan kesulitan dan masalah kita dengan cara-Nya, tanpa pernah kita sangka dan duga.Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى، لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ“Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, jika engkau bersabar dan mengharap pahala (dari-Ku) saat pertama kali tertimpa musibah, maka Aku tidak meridai balasan bagimu selain surga.” (HR. Ibnu Majah no. 1597. Dinilai hasan oleh Al-Albani)Kesabaran adalah salah satu bentuk pertolongan yang Allah turunkan di masa-masa sulit—menguatkan diri kita, laksana batu karang yang tetap tegak meski diterjang ombak besar di tengah lautan. Ingatlah firman Allah Ta’ala,وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌۭ مُّسْتَضْعَفُونَ فِى ٱلْأَرْضِ تَخَافُونَ أَن يَتَخَطَّفَكُمُ ٱلنَّاسُ فَـَٔاوَىٰكُمْ وَأَيَّدَكُم بِنَصْرِهِۦ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Dan ingatlah ketika kamu masih sedikit, lagi tertindas di muka bumi, kamu takut orang-orang akan menculikmu, lalu Dia melindungimu, menguatkanmu dengan pertolongan-Nya, dan memberi rezeki kepadamu dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal: 26)Di masa-masa sulit itu, perbanyaklah memohon ampunan (istigfar) kepada Allah. Karena tidaklah Allah menurunkan suatu musibah dan kesulitan, kecuali karena dosa dan kesalahan kita sendiri. Istigfar itu adalah di antara sebab Allah menghilangkan kesulitan dan bencana seorang hamba. Renungkanlah bagaimanakah perkataan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya,فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)Allah juga berfirman,وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ، جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa membiasakan diri beristigfar, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dari setiap kesempitan, kelapangan dari setiap kesedihan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud no. 1518, Ibnu Majah no. 3819. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) [1]Kita pun meningkatkan tawakal kepada-Nya, hanya bergantung dan meminta tolong kepada Allah. Inilah kondisi manusia yang beriman, semakin tinggi tingkat kesulitan, semakin besar dan berkualitas pula tawakal dia kepada Allah Ta’ala. Dan di saat tawakal seorang hamba hanya murni kepada Allah, maka di situlah Allah turunkan pertolongan-Nya. Dengan kata lain, musibah kita hari ini adalah cara Allah mendidik kita, bagaimanakah tawakal yang benar. Jika selama ini kita hanya belajar teori melalui buku-buku agama, maka inilah saatnya praktik di kehidupan nyata.Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Inilah hakikat tawakal kepada-Nya.Tawakal inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 238)Lihatlah bagaimana Nabi Nuh ‘alaihis salam pernah merintih, meminta tolong kepada Allah, Rabbnya,فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانتَصِرْ“Nuh pun berdoa kepada Tuhannya, ‘Sungguh aku telah disakiti (dikalahkan), maka tolonglah aku!’” (QS. Al-Qamar: 10)Doa yang ringkas, hanya tiga kata saja (dalam bahasa Arab), namun pengaruhnya sungguh dahsyat, seolah-olah mampu mengubah langit dan bumi.Oleh karena itu, janganlah berputus asa, mintalah kepada Tuhanmu, dengan perihmu, dengan sakitmu, dengan lemahmu, dengan resahmu, dan tunggulah kegembiraan dengan datangnya pertolongan Allah, Rabb Yang Maha mulia. Allah mengetahui dirimu kala engkau tersenyum dalam bahagia, dan Dia pun mengetahui isi hatimu saat engkau gundah dan terluka.Ingatlah, kesedihan yang membuatmu kembali dekat kepada Allah itu lebih baik daripada kesenangan yang membuatmu jauh dan lalai dari-Nya. Dengan musibah yang menimpamu, Allah hanya ingin engkau kembali mendekat kepada-Nya. Akan tetapi, yang terbaik adalah apabila kita senantiasa dekat kepada-Nya dalam setiap keadaan, baik di saat senang, saat susah, saat sedih, maupun saat bahagia.Kita pun melantunkan doa sebagaimana yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an,رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ“Wahai Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)Teruslah belajar. Tetaplah bersabar. Jangan putus asa. Kemuliaan butuh perjuangan. Jangan tertipu oleh gemerlapnya dunia.Jika engkau ingin menyerah, lihat lagi ke belakang, sudah seberapa jauh engkau melangkah?Terahir, akan ada waktunya nanti kita akan menoleh ke belakang dan mengatakan kepada diri kita sendiri, “Alhamdulillah, ternyata aku bisa melewati semua ini.”Dan kita pun mulai menyaksikan hikmah-hikmah yang Allah tampakkan dari kesulitan yang dulu kita alami. Dan kita pun pada akhirnya bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, di masa-masa sulit itu.Renungkanlah untaian kalimat yang sangat indah ini,لَوْ عَلِمَ الْعَبْدُ مَقَاصِدَ الْأَقْدَارِلَبَكَى مِنْ سُوءِ ظَنِّهِ بِاللَّهِ“Andai seorang hamba itu tahu hikmah dari takdir-takdir (yang Allah tetapkan untuknya)Niscaya ia akan menangis karena telah berburuk sangka kepada Rabb-nya.”Dan jangan lupa kita senantiasa berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari keadaan yang berat dan kepedihan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ، وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ، وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa meminta perlindungan (kepada Allah) buruknya takdir, dari kesengsaraan yang terus-menerus, dari kegembiraan musuh atas musibah, dan dari beratnya cobaan.” (HR. Bukhari no. 6347 dan Muslim no. 2707; lafal hadis ini milik Muslim)Baca juga: Mengapa Aku Sulit Bersyukur?***Unayzah, KSA; Jumat, 7 Safar 1447/ 1 Agustus 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Meskipun dinilai dha’if karena kelemahan pada perawi, para ulama memperbolehkan mengamalkan hadis ini dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amal) karena tidak bertentangan dengan syariat yang sahih, dan maknanya juga sejalan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam.

Iffah (Menjaga Kehormatan Diri), Keutamaan dan Jenis-Jenisnya (Bagian 1)

عفة النفس: فضائلها وأنواعها Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَالْعِفَّةُ لُغَةً: الْكَفُّ عَمَّا لَا يَحِلُّ وَلَا يَجْمُلُ؛ يُقَالُ: عَفَّ عَنِ الْمَحَارِمِ وَالْأَطْمَاعِ الدَّنِيَّةِ. وَالِاسْتِعْفَافُ: طَلَبُ الْعَفَافِ[انظر: مختار الصحاح، (4/ 1405)؛ لسان العرب، (9/ 253)]. وَالْعِفَّةُ اصْطِلَاحًا: ضَبْطُ النَّفْسِ عَنِ الشَّهَوَاتِ، وَقَصْرُهَا عَلَى الِاكْتِفَاءِ بِمَا يُقِيمُ أَوَدَ الْجَسَدِ، وَيَحْفَظُ صِحَّتَهُ فَقَطْ، وَاجْتِنَابُ السَّرَفِ فِي جَمِيعِ الْمَلَذَّاتِ، وَقَصْدُ الِاعْتِدَالِ[انظر: تهذيب الأخلاق، للجاحظ (ص21)]. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul yang mulia, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Definisi iffah secara bahasa yakni penjagaan diri dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik. Dalam sebuah ungkapan disebutkan, “Dia menjaga diri dari perkara-perkara haram dan ketamakan-ketamakan duniawi.” Sedangkan makna isti’faf yakni berusaha menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Mukhtar ash-Shihah jilid 4 hlm. 1405; dan Lisan al-Arab jilid 9 hlm. 253). sedangkan secara istilah, iffah  adalah menjaga diri dari syahwat-syahwat, dan mencukupkannya dengan hal-hal yang meluruskan penyimpangannya dan memelihara kesehatannya serta menjauhi pemborosan dalam segala bentuk kenikmatan dan mencukupkan diri pada batas cukup. (Lihat: Kitab Tahdzib al-Akhlaq karya al-Jahizh, hlm. 21). وَجَاءَ الْأَمْرُ بِالْعِفَّةِ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ: قَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ﴾ [النُّورِ: 33]؛ وَقَالَ أَيْضًا: ﴿ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273] Dalam Al-Qur’an telah disebutkan perintah untuk menjaga kehormatan diri. Allah Ta’ala berfirman: وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur: 33). Allah Ta’ala juga berfirman: يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ “Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis” (QS. Al-Baqarah: 273). وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْعِفَّةِ: فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا؛ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ» حَسَنٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ؛ فَهَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الشَّاقَّةِ الَّتِي تَقْصِمُ ظَهْرَ الْإِنْسَانِ؛ لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعِينُهُ عَلَيْهَا لَا يَقُومُ بِهَا، وَأَصْعَبُهَا الْعَفَافُ؛ لِأَنَّهُ قَمْعُ الشَّهْوَةِ الْجِبِلِّيَّةِ الْمَرْكُوزَةِ فِيهِ[انظر: تحفة الأحوذي، للمباركفوري (5/ 296)]، قَالَ أَيُّوبُ السِّخْتِيَانِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (‌لَا ‌يَنْبُلُ ‌الرَّجُلُ ‌حَتَّى تَكُونَ فِيهِ خَصْلَتَانِ: الْعِفَّةُ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ، وَالتَّجَاوُزُ عَمَّا يَكُونُ مِنْهُمْ)[مداراة الناس، لابن أبي الدنيا (ص46)]. Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di tingkat tertinggi dalam menjaga kehormatan diri. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu Al-Hasan bin Ali pernah mengambil sebutir kurma dari kurma-kurma sedekah, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Duh! Duh! Buang kurma itu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan sedekah?’” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda: ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ “Wajib bagi Allah untuk menolong tiga golongan: pertama, orang yang berjihad di jalan Allah, kedua, budak yang ingin menebus kemerdekaan dirinya, dan yang ketiga, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi).  Tiga perkara yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah perkara-perkara berat yang sangat membebani pundak seseorang, kalaulah Allah Ta’ala tidak memberi pertolongan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu memikulnya, dan yang paling susah adalah menjaga kehormatan diri, karena ia pada dasarnya adalah menundukkan syahwat yang telah tercipta dalam diri seseorang. (Lihat: Kitab Tuhfah al-Ahwadzi karya Al-Mubarakfuri, jilid 5 hlm. 296). Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, “Seseorang tidak akan menjadi mulia kecuali jika ia memiliki dua sifat: menjaga kehormatan diri dari harta yang dimiliki orang lain, dan memaafkan kesalahan yang datang dari mereka.” (Kitab Mudarah an-Nas karya Ibnu Abi Ad-Dunya, hlm. 46). عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَهَمِّ فَضَائِلِ عِفَّةِ النَّفْسِ: 1- مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى لِأَهْلِ الْعِفَّةِ وَالتَّعَفُّفِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيفَ ‌الْمُتَعَفِّفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ؛ فَعِفَّتُهُمْ وَزُهْدُهُمْ فِي الدُّنْيَا أَوْرَثَهُمْ مَحَبَّةَ اللَّهِ تَعَالَى، كَمَا أَوْرَثَهُمْ تَعَفُّفُهُمْ وَزُهْدُهُمْ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ مَحَبَّةَ النَّاسِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ. Wahai para hamba Allah! Di antara keutamaan menjaga kehormatan diri yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Kecintaan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang menjaga kehormatannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيف ‌الْمُتَعَفِّفَ “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai… orang yang memiliki rasa malu, menjaga kehormatan (dari perkara haram dan meminta-minta kepada orang lain), dan orang yang berusaha keras untuk menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). Kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap dunia mewariskan kecintaan Allah Ta’ala kepadanya, sebagaimana kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap harta milik orang lain itu mewariskan kecintaan manusia kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah). 2- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ بِفَضْلِ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ. 2. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri akan meraih karunia Allah Ta’ala di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ “Ada empat perkara yang jika ia ada dalam dirimu, maka tidak mengapa jika dunia luput darimu: pertama menjaga amanah, kedua jujur dalam ucapan, ketiga berakhlak mulia, dan keempat menjaga kehormatan diri dalam memakan makanan.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani). 3- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمْ أَهْلُ الْفَلَاحِ وَالنَّجَاحِ، وَأَهْلُ الْغِنَى الْحَقِيقِيِّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. 3. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri adalah orang-orang yang beruntung, Berjaya, dan orang-orang kaya yang hakiki. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ “Beruntunglah orang yang beragama Islam dan diberi rezeki yang cukup (tidak kurang dan tidak lebih), lalu Allah membuatnya puas dengan apa yang telah Dia berikan.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kekayaan bukanlah tentang banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah kaya jiwa.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari). 4- السَّعْيُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ، وَكِفَايَةِ الْأَهْلِ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا ‌أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى ‌عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 4. Berusaha menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan keluarga merupakan bentuk jihad di jalan Allah. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Pernah ada seorang lelaki yang berpapasan dengan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu melihat ketekunan dan semangatnya yang menakjubkan, sehingga mereka berseru, ‘Wahai Rasulullah! Kalaulah ia melakukannya di jalan Allah!’” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu menanggapi: إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ “Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi kedua orang tuanya yang telah renta, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi dirinya agar dapat terjaga kehormatannya, maka ia berada di jalan Allah. Namun, Apabila ia keluar rumah untuk bekerja supaya bisa pamer dan berlaku sombong, maka ia berada di jalan setan.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). 5- النَّفَقَةُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ وَالْأَهْلِ؛ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ» حَسَنٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 5. Nafkah yang diberikan untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga merupakan bentuk sedekah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ “Barang siapa yang menafkahi dirinya agar dapat menjaga kehormatan diri, maka itu bernilai sedekah baginya, dan barang siapa yang menafkahi istri, anak, dan keluarganya, maka itu bernilai sedekah baginya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 80 times, 3 visit(s) today Post Views: 58 QRIS donasi Yufid

Iffah (Menjaga Kehormatan Diri), Keutamaan dan Jenis-Jenisnya (Bagian 1)

عفة النفس: فضائلها وأنواعها Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَالْعِفَّةُ لُغَةً: الْكَفُّ عَمَّا لَا يَحِلُّ وَلَا يَجْمُلُ؛ يُقَالُ: عَفَّ عَنِ الْمَحَارِمِ وَالْأَطْمَاعِ الدَّنِيَّةِ. وَالِاسْتِعْفَافُ: طَلَبُ الْعَفَافِ[انظر: مختار الصحاح، (4/ 1405)؛ لسان العرب، (9/ 253)]. وَالْعِفَّةُ اصْطِلَاحًا: ضَبْطُ النَّفْسِ عَنِ الشَّهَوَاتِ، وَقَصْرُهَا عَلَى الِاكْتِفَاءِ بِمَا يُقِيمُ أَوَدَ الْجَسَدِ، وَيَحْفَظُ صِحَّتَهُ فَقَطْ، وَاجْتِنَابُ السَّرَفِ فِي جَمِيعِ الْمَلَذَّاتِ، وَقَصْدُ الِاعْتِدَالِ[انظر: تهذيب الأخلاق، للجاحظ (ص21)]. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul yang mulia, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Definisi iffah secara bahasa yakni penjagaan diri dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik. Dalam sebuah ungkapan disebutkan, “Dia menjaga diri dari perkara-perkara haram dan ketamakan-ketamakan duniawi.” Sedangkan makna isti’faf yakni berusaha menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Mukhtar ash-Shihah jilid 4 hlm. 1405; dan Lisan al-Arab jilid 9 hlm. 253). sedangkan secara istilah, iffah  adalah menjaga diri dari syahwat-syahwat, dan mencukupkannya dengan hal-hal yang meluruskan penyimpangannya dan memelihara kesehatannya serta menjauhi pemborosan dalam segala bentuk kenikmatan dan mencukupkan diri pada batas cukup. (Lihat: Kitab Tahdzib al-Akhlaq karya al-Jahizh, hlm. 21). وَجَاءَ الْأَمْرُ بِالْعِفَّةِ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ: قَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ﴾ [النُّورِ: 33]؛ وَقَالَ أَيْضًا: ﴿ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273] Dalam Al-Qur’an telah disebutkan perintah untuk menjaga kehormatan diri. Allah Ta’ala berfirman: وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur: 33). Allah Ta’ala juga berfirman: يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ “Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis” (QS. Al-Baqarah: 273). وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْعِفَّةِ: فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا؛ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ» حَسَنٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ؛ فَهَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الشَّاقَّةِ الَّتِي تَقْصِمُ ظَهْرَ الْإِنْسَانِ؛ لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعِينُهُ عَلَيْهَا لَا يَقُومُ بِهَا، وَأَصْعَبُهَا الْعَفَافُ؛ لِأَنَّهُ قَمْعُ الشَّهْوَةِ الْجِبِلِّيَّةِ الْمَرْكُوزَةِ فِيهِ[انظر: تحفة الأحوذي، للمباركفوري (5/ 296)]، قَالَ أَيُّوبُ السِّخْتِيَانِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (‌لَا ‌يَنْبُلُ ‌الرَّجُلُ ‌حَتَّى تَكُونَ فِيهِ خَصْلَتَانِ: الْعِفَّةُ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ، وَالتَّجَاوُزُ عَمَّا يَكُونُ مِنْهُمْ)[مداراة الناس، لابن أبي الدنيا (ص46)]. Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di tingkat tertinggi dalam menjaga kehormatan diri. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu Al-Hasan bin Ali pernah mengambil sebutir kurma dari kurma-kurma sedekah, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Duh! Duh! Buang kurma itu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan sedekah?’” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda: ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ “Wajib bagi Allah untuk menolong tiga golongan: pertama, orang yang berjihad di jalan Allah, kedua, budak yang ingin menebus kemerdekaan dirinya, dan yang ketiga, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi).  Tiga perkara yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah perkara-perkara berat yang sangat membebani pundak seseorang, kalaulah Allah Ta’ala tidak memberi pertolongan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu memikulnya, dan yang paling susah adalah menjaga kehormatan diri, karena ia pada dasarnya adalah menundukkan syahwat yang telah tercipta dalam diri seseorang. (Lihat: Kitab Tuhfah al-Ahwadzi karya Al-Mubarakfuri, jilid 5 hlm. 296). Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, “Seseorang tidak akan menjadi mulia kecuali jika ia memiliki dua sifat: menjaga kehormatan diri dari harta yang dimiliki orang lain, dan memaafkan kesalahan yang datang dari mereka.” (Kitab Mudarah an-Nas karya Ibnu Abi Ad-Dunya, hlm. 46). عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَهَمِّ فَضَائِلِ عِفَّةِ النَّفْسِ: 1- مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى لِأَهْلِ الْعِفَّةِ وَالتَّعَفُّفِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيفَ ‌الْمُتَعَفِّفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ؛ فَعِفَّتُهُمْ وَزُهْدُهُمْ فِي الدُّنْيَا أَوْرَثَهُمْ مَحَبَّةَ اللَّهِ تَعَالَى، كَمَا أَوْرَثَهُمْ تَعَفُّفُهُمْ وَزُهْدُهُمْ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ مَحَبَّةَ النَّاسِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ. Wahai para hamba Allah! Di antara keutamaan menjaga kehormatan diri yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Kecintaan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang menjaga kehormatannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيف ‌الْمُتَعَفِّفَ “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai… orang yang memiliki rasa malu, menjaga kehormatan (dari perkara haram dan meminta-minta kepada orang lain), dan orang yang berusaha keras untuk menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). Kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap dunia mewariskan kecintaan Allah Ta’ala kepadanya, sebagaimana kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap harta milik orang lain itu mewariskan kecintaan manusia kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah). 2- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ بِفَضْلِ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ. 2. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri akan meraih karunia Allah Ta’ala di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ “Ada empat perkara yang jika ia ada dalam dirimu, maka tidak mengapa jika dunia luput darimu: pertama menjaga amanah, kedua jujur dalam ucapan, ketiga berakhlak mulia, dan keempat menjaga kehormatan diri dalam memakan makanan.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani). 3- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمْ أَهْلُ الْفَلَاحِ وَالنَّجَاحِ، وَأَهْلُ الْغِنَى الْحَقِيقِيِّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. 3. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri adalah orang-orang yang beruntung, Berjaya, dan orang-orang kaya yang hakiki. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ “Beruntunglah orang yang beragama Islam dan diberi rezeki yang cukup (tidak kurang dan tidak lebih), lalu Allah membuatnya puas dengan apa yang telah Dia berikan.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kekayaan bukanlah tentang banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah kaya jiwa.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari). 4- السَّعْيُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ، وَكِفَايَةِ الْأَهْلِ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا ‌أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى ‌عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 4. Berusaha menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan keluarga merupakan bentuk jihad di jalan Allah. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Pernah ada seorang lelaki yang berpapasan dengan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu melihat ketekunan dan semangatnya yang menakjubkan, sehingga mereka berseru, ‘Wahai Rasulullah! Kalaulah ia melakukannya di jalan Allah!’” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu menanggapi: إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ “Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi kedua orang tuanya yang telah renta, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi dirinya agar dapat terjaga kehormatannya, maka ia berada di jalan Allah. Namun, Apabila ia keluar rumah untuk bekerja supaya bisa pamer dan berlaku sombong, maka ia berada di jalan setan.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). 5- النَّفَقَةُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ وَالْأَهْلِ؛ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ» حَسَنٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 5. Nafkah yang diberikan untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga merupakan bentuk sedekah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ “Barang siapa yang menafkahi dirinya agar dapat menjaga kehormatan diri, maka itu bernilai sedekah baginya, dan barang siapa yang menafkahi istri, anak, dan keluarganya, maka itu bernilai sedekah baginya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 80 times, 3 visit(s) today Post Views: 58 QRIS donasi Yufid
عفة النفس: فضائلها وأنواعها Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَالْعِفَّةُ لُغَةً: الْكَفُّ عَمَّا لَا يَحِلُّ وَلَا يَجْمُلُ؛ يُقَالُ: عَفَّ عَنِ الْمَحَارِمِ وَالْأَطْمَاعِ الدَّنِيَّةِ. وَالِاسْتِعْفَافُ: طَلَبُ الْعَفَافِ[انظر: مختار الصحاح، (4/ 1405)؛ لسان العرب، (9/ 253)]. وَالْعِفَّةُ اصْطِلَاحًا: ضَبْطُ النَّفْسِ عَنِ الشَّهَوَاتِ، وَقَصْرُهَا عَلَى الِاكْتِفَاءِ بِمَا يُقِيمُ أَوَدَ الْجَسَدِ، وَيَحْفَظُ صِحَّتَهُ فَقَطْ، وَاجْتِنَابُ السَّرَفِ فِي جَمِيعِ الْمَلَذَّاتِ، وَقَصْدُ الِاعْتِدَالِ[انظر: تهذيب الأخلاق، للجاحظ (ص21)]. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul yang mulia, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Definisi iffah secara bahasa yakni penjagaan diri dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik. Dalam sebuah ungkapan disebutkan, “Dia menjaga diri dari perkara-perkara haram dan ketamakan-ketamakan duniawi.” Sedangkan makna isti’faf yakni berusaha menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Mukhtar ash-Shihah jilid 4 hlm. 1405; dan Lisan al-Arab jilid 9 hlm. 253). sedangkan secara istilah, iffah  adalah menjaga diri dari syahwat-syahwat, dan mencukupkannya dengan hal-hal yang meluruskan penyimpangannya dan memelihara kesehatannya serta menjauhi pemborosan dalam segala bentuk kenikmatan dan mencukupkan diri pada batas cukup. (Lihat: Kitab Tahdzib al-Akhlaq karya al-Jahizh, hlm. 21). وَجَاءَ الْأَمْرُ بِالْعِفَّةِ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ: قَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ﴾ [النُّورِ: 33]؛ وَقَالَ أَيْضًا: ﴿ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273] Dalam Al-Qur’an telah disebutkan perintah untuk menjaga kehormatan diri. Allah Ta’ala berfirman: وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur: 33). Allah Ta’ala juga berfirman: يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ “Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis” (QS. Al-Baqarah: 273). وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْعِفَّةِ: فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا؛ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ» حَسَنٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ؛ فَهَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الشَّاقَّةِ الَّتِي تَقْصِمُ ظَهْرَ الْإِنْسَانِ؛ لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعِينُهُ عَلَيْهَا لَا يَقُومُ بِهَا، وَأَصْعَبُهَا الْعَفَافُ؛ لِأَنَّهُ قَمْعُ الشَّهْوَةِ الْجِبِلِّيَّةِ الْمَرْكُوزَةِ فِيهِ[انظر: تحفة الأحوذي، للمباركفوري (5/ 296)]، قَالَ أَيُّوبُ السِّخْتِيَانِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (‌لَا ‌يَنْبُلُ ‌الرَّجُلُ ‌حَتَّى تَكُونَ فِيهِ خَصْلَتَانِ: الْعِفَّةُ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ، وَالتَّجَاوُزُ عَمَّا يَكُونُ مِنْهُمْ)[مداراة الناس، لابن أبي الدنيا (ص46)]. Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di tingkat tertinggi dalam menjaga kehormatan diri. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu Al-Hasan bin Ali pernah mengambil sebutir kurma dari kurma-kurma sedekah, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Duh! Duh! Buang kurma itu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan sedekah?’” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda: ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ “Wajib bagi Allah untuk menolong tiga golongan: pertama, orang yang berjihad di jalan Allah, kedua, budak yang ingin menebus kemerdekaan dirinya, dan yang ketiga, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi).  Tiga perkara yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah perkara-perkara berat yang sangat membebani pundak seseorang, kalaulah Allah Ta’ala tidak memberi pertolongan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu memikulnya, dan yang paling susah adalah menjaga kehormatan diri, karena ia pada dasarnya adalah menundukkan syahwat yang telah tercipta dalam diri seseorang. (Lihat: Kitab Tuhfah al-Ahwadzi karya Al-Mubarakfuri, jilid 5 hlm. 296). Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, “Seseorang tidak akan menjadi mulia kecuali jika ia memiliki dua sifat: menjaga kehormatan diri dari harta yang dimiliki orang lain, dan memaafkan kesalahan yang datang dari mereka.” (Kitab Mudarah an-Nas karya Ibnu Abi Ad-Dunya, hlm. 46). عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَهَمِّ فَضَائِلِ عِفَّةِ النَّفْسِ: 1- مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى لِأَهْلِ الْعِفَّةِ وَالتَّعَفُّفِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيفَ ‌الْمُتَعَفِّفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ؛ فَعِفَّتُهُمْ وَزُهْدُهُمْ فِي الدُّنْيَا أَوْرَثَهُمْ مَحَبَّةَ اللَّهِ تَعَالَى، كَمَا أَوْرَثَهُمْ تَعَفُّفُهُمْ وَزُهْدُهُمْ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ مَحَبَّةَ النَّاسِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ. Wahai para hamba Allah! Di antara keutamaan menjaga kehormatan diri yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Kecintaan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang menjaga kehormatannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيف ‌الْمُتَعَفِّفَ “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai… orang yang memiliki rasa malu, menjaga kehormatan (dari perkara haram dan meminta-minta kepada orang lain), dan orang yang berusaha keras untuk menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). Kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap dunia mewariskan kecintaan Allah Ta’ala kepadanya, sebagaimana kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap harta milik orang lain itu mewariskan kecintaan manusia kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah). 2- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ بِفَضْلِ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ. 2. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri akan meraih karunia Allah Ta’ala di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ “Ada empat perkara yang jika ia ada dalam dirimu, maka tidak mengapa jika dunia luput darimu: pertama menjaga amanah, kedua jujur dalam ucapan, ketiga berakhlak mulia, dan keempat menjaga kehormatan diri dalam memakan makanan.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani). 3- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمْ أَهْلُ الْفَلَاحِ وَالنَّجَاحِ، وَأَهْلُ الْغِنَى الْحَقِيقِيِّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. 3. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri adalah orang-orang yang beruntung, Berjaya, dan orang-orang kaya yang hakiki. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ “Beruntunglah orang yang beragama Islam dan diberi rezeki yang cukup (tidak kurang dan tidak lebih), lalu Allah membuatnya puas dengan apa yang telah Dia berikan.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kekayaan bukanlah tentang banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah kaya jiwa.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari). 4- السَّعْيُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ، وَكِفَايَةِ الْأَهْلِ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا ‌أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى ‌عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 4. Berusaha menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan keluarga merupakan bentuk jihad di jalan Allah. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Pernah ada seorang lelaki yang berpapasan dengan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu melihat ketekunan dan semangatnya yang menakjubkan, sehingga mereka berseru, ‘Wahai Rasulullah! Kalaulah ia melakukannya di jalan Allah!’” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu menanggapi: إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ “Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi kedua orang tuanya yang telah renta, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi dirinya agar dapat terjaga kehormatannya, maka ia berada di jalan Allah. Namun, Apabila ia keluar rumah untuk bekerja supaya bisa pamer dan berlaku sombong, maka ia berada di jalan setan.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). 5- النَّفَقَةُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ وَالْأَهْلِ؛ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ» حَسَنٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 5. Nafkah yang diberikan untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga merupakan bentuk sedekah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ “Barang siapa yang menafkahi dirinya agar dapat menjaga kehormatan diri, maka itu bernilai sedekah baginya, dan barang siapa yang menafkahi istri, anak, dan keluarganya, maka itu bernilai sedekah baginya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 80 times, 3 visit(s) today Post Views: 58 QRIS donasi Yufid


عفة النفس: فضائلها وأنواعها Oleh:  Dr. mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَالْعِفَّةُ لُغَةً: الْكَفُّ عَمَّا لَا يَحِلُّ وَلَا يَجْمُلُ؛ يُقَالُ: عَفَّ عَنِ الْمَحَارِمِ وَالْأَطْمَاعِ الدَّنِيَّةِ. وَالِاسْتِعْفَافُ: طَلَبُ الْعَفَافِ[انظر: مختار الصحاح، (4/ 1405)؛ لسان العرب، (9/ 253)]. وَالْعِفَّةُ اصْطِلَاحًا: ضَبْطُ النَّفْسِ عَنِ الشَّهَوَاتِ، وَقَصْرُهَا عَلَى الِاكْتِفَاءِ بِمَا يُقِيمُ أَوَدَ الْجَسَدِ، وَيَحْفَظُ صِحَّتَهُ فَقَطْ، وَاجْتِنَابُ السَّرَفِ فِي جَمِيعِ الْمَلَذَّاتِ، وَقَصْدُ الِاعْتِدَالِ[انظر: تهذيب الأخلاق، للجاحظ (ص21)]. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul yang mulia, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Definisi iffah secara bahasa yakni penjagaan diri dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik. Dalam sebuah ungkapan disebutkan, “Dia menjaga diri dari perkara-perkara haram dan ketamakan-ketamakan duniawi.” Sedangkan makna isti’faf yakni berusaha menjaga kehormatan diri. (Lihat: Kitab Mukhtar ash-Shihah jilid 4 hlm. 1405; dan Lisan al-Arab jilid 9 hlm. 253). sedangkan secara istilah, iffah  adalah menjaga diri dari syahwat-syahwat, dan mencukupkannya dengan hal-hal yang meluruskan penyimpangannya dan memelihara kesehatannya serta menjauhi pemborosan dalam segala bentuk kenikmatan dan mencukupkan diri pada batas cukup. (Lihat: Kitab Tahdzib al-Akhlaq karya al-Jahizh, hlm. 21). وَجَاءَ الْأَمْرُ بِالْعِفَّةِ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ: قَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ﴾ [النُّورِ: 33]؛ وَقَالَ أَيْضًا: ﴿ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ ﴾ [الْبَقَرَةِ: 273] Dalam Al-Qur’an telah disebutkan perintah untuk menjaga kehormatan diri. Allah Ta’ala berfirman: وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur: 33). Allah Ta’ala juga berfirman: يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ “Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis” (QS. Al-Baqarah: 273). وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الْعِفَّةِ: فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا؛ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ» حَسَنٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ؛ فَهَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الشَّاقَّةِ الَّتِي تَقْصِمُ ظَهْرَ الْإِنْسَانِ؛ لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعِينُهُ عَلَيْهَا لَا يَقُومُ بِهَا، وَأَصْعَبُهَا الْعَفَافُ؛ لِأَنَّهُ قَمْعُ الشَّهْوَةِ الْجِبِلِّيَّةِ الْمَرْكُوزَةِ فِيهِ[انظر: تحفة الأحوذي، للمباركفوري (5/ 296)]، قَالَ أَيُّوبُ السِّخْتِيَانِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: (‌لَا ‌يَنْبُلُ ‌الرَّجُلُ ‌حَتَّى تَكُونَ فِيهِ خَصْلَتَانِ: الْعِفَّةُ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ، وَالتَّجَاوُزُ عَمَّا يَكُونُ مِنْهُمْ)[مداراة الناس، لابن أبي الدنيا (ص46)]. Dulu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di tingkat tertinggi dalam menjaga kehormatan diri. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu Al-Hasan bin Ali pernah mengambil sebutir kurma dari kurma-kurma sedekah, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Duh! Duh! Buang kurma itu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan sedekah?’” (HR. Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda: ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ “Wajib bagi Allah untuk menolong tiga golongan: pertama, orang yang berjihad di jalan Allah, kedua, budak yang ingin menebus kemerdekaan dirinya, dan yang ketiga, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi).  Tiga perkara yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah perkara-perkara berat yang sangat membebani pundak seseorang, kalaulah Allah Ta’ala tidak memberi pertolongan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu memikulnya, dan yang paling susah adalah menjaga kehormatan diri, karena ia pada dasarnya adalah menundukkan syahwat yang telah tercipta dalam diri seseorang. (Lihat: Kitab Tuhfah al-Ahwadzi karya Al-Mubarakfuri, jilid 5 hlm. 296). Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, “Seseorang tidak akan menjadi mulia kecuali jika ia memiliki dua sifat: menjaga kehormatan diri dari harta yang dimiliki orang lain, dan memaafkan kesalahan yang datang dari mereka.” (Kitab Mudarah an-Nas karya Ibnu Abi Ad-Dunya, hlm. 46). عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَهَمِّ فَضَائِلِ عِفَّةِ النَّفْسِ: 1- مَحَبَّةُ اللَّهِ تَعَالَى لِأَهْلِ الْعِفَّةِ وَالتَّعَفُّفِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيفَ ‌الْمُتَعَفِّفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ؛ فَعِفَّتُهُمْ وَزُهْدُهُمْ فِي الدُّنْيَا أَوْرَثَهُمْ مَحَبَّةَ اللَّهِ تَعَالَى، كَمَا أَوْرَثَهُمْ تَعَفُّفُهُمْ وَزُهْدُهُمْ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ مَحَبَّةَ النَّاسِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ. Wahai para hamba Allah! Di antara keutamaan menjaga kehormatan diri yang paling penting adalah sebagai berikut: 1. Kecintaan Allah Ta’ala kepada orang-orang yang menjaga kehormatannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ… الْحَيِيَّ ‌الْعَفِيف ‌الْمُتَعَفِّفَ “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai… orang yang memiliki rasa malu, menjaga kehormatan (dari perkara haram dan meminta-minta kepada orang lain), dan orang yang berusaha keras untuk menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi). Kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap dunia mewariskan kecintaan Allah Ta’ala kepadanya, sebagaimana kehormatan diri dan kezuhudan mereka terhadap harta milik orang lain itu mewariskan kecintaan manusia kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah). 2- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ بِفَضْلِ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ. 2. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri akan meraih karunia Allah Ta’ala di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ “Ada empat perkara yang jika ia ada dalam dirimu, maka tidak mengapa jika dunia luput darimu: pertama menjaga amanah, kedua jujur dalam ucapan, ketiga berakhlak mulia, dan keempat menjaga kehormatan diri dalam memakan makanan.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani). 3- أَهْلُ الْعِفَّةِ هُمْ أَهْلُ الْفَلَاحِ وَالنَّجَاحِ، وَأَهْلُ الْغِنَى الْحَقِيقِيِّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. 3. Orang-orang yang menjaga kehormatan diri adalah orang-orang yang beruntung, Berjaya, dan orang-orang kaya yang hakiki. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ “Beruntunglah orang yang beragama Islam dan diberi rezeki yang cukup (tidak kurang dan tidak lebih), lalu Allah membuatnya puas dengan apa yang telah Dia berikan.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kekayaan bukanlah tentang banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah kaya jiwa.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari). 4- السَّعْيُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ، وَكِفَايَةِ الْأَهْلِ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا ‌أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى ‌عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 4. Berusaha menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan keluarga merupakan bentuk jihad di jalan Allah. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Pernah ada seorang lelaki yang berpapasan dengan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu melihat ketekunan dan semangatnya yang menakjubkan, sehingga mereka berseru, ‘Wahai Rasulullah! Kalaulah ia melakukannya di jalan Allah!’” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu menanggapi: إِنْ كَانَ ‌خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى ‌وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ “Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi kedua orang tuanya yang telah renta, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia keluar rumah untuk bekerja demi dirinya agar dapat terjaga kehormatannya, maka ia berada di jalan Allah. Namun, Apabila ia keluar rumah untuk bekerja supaya bisa pamer dan berlaku sombong, maka ia berada di jalan setan.” (Hadis shahih, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). 5- النَّفَقَةُ لِإِعْفَافِ النَّفْسِ وَالْأَهْلِ؛ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ» حَسَنٌ – رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ. 5. Nafkah yang diberikan untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga merupakan bentuk sedekah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ ‌أَنْفَقَ ‌عَلَى ‌نَفْسِهِ نَفَقَةً يَسْتَعِفُّ بِهَا؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ؛ فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ “Barang siapa yang menafkahi dirinya agar dapat menjaga kehormatan diri, maka itu bernilai sedekah baginya, dan barang siapa yang menafkahi istri, anak, dan keluarganya, maka itu bernilai sedekah baginya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani). Sumber: https://www.alukah.net/عفة النفس: فضائلها وأنواعها (خطبة) Sumber PDF 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 80 times, 3 visit(s) today Post Views: 58 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Warna Pakaian yang Paling Disukai Rasulullah

Daftar Isi ToggleMenutup auratTidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiTidak menyerupai pakaian orang kafirPakaian RasulullahWarna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahMenggunakan selain warna putihPakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pakaian selalu digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari menutup aurat, melindungi tubuh, hingga berhias. Sebagaimana manusia pada umumnya menyukai pakaian, Rasulullah juga menyukai tipe-tipe pakaian tertentu. Rasulullah juga memiliki warna pakaian yang paling disukai dan menganjurkan para sahabat untuk menggunakan warna terserbut.Sebelum kita membahas warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah, akan kita bahas terlebih dahulu adab umum terkait pakaian. Secara umum, segala jenis pakaian yang tidak dilarang oleh syariat boleh dikenakan, sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ“Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah kalian tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan.” (HR. Bukhari)Adapun beberapa ketentuan yang harus diperhatikan tentang pakaian adalah:Menutup auratPakaian yang digunakan harus menutup aurat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ“Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)Juga firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka!” (QS. Al-Ahzab: 59)Tidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiPakaian laki-laki tidak boleh terbuat dari sutra, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khattab bahwa Rasulullah bersabda,لا تلبسوا الحرير فإن من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة“Janganlah kalian menggunakan sutra! Barangsiapa yang menggunakannya di dunia, maka tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. Bukhari)Tidak menyerupai pakaian orang kafirSeorang muslim tidak boleh mengikuti hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang kafir. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من تشبه بقوم فهو منهم“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)Menyerupai di sini juga termasuk dalam hal berpakaian. Tidak boleh memakai pakaian yang merupakan ciri khas dari orang kafir.Pakaian RasulullahSecara umum, pakaian Rasulullah merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh orang Arab ketika itu. Seperti qamish, beliau menggunakan imamah, dan selainnya.Warna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahWarna pakaian yang digunakan oleh Nabi beragam. Akan tetapi, ada warna yang beliau paling sukai. Warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah adalah warna putih. Hal tersebut sebagaimana dalam hadis,عليكم بالبياض من الثياب فليلبسها أحياؤكم، وكفنوا فيها موتاكم، فإنها خير ثيابكم“Hendaklah kalian menggunakan baju berwarna putih. Sebab orang yang hidup di antara kalian menggunakannya dan orang yang mati dari kalian dikafani dengannya. Sesungguhnya itu adalah baju terbaik kalian.” (HR. Tirmidzi)Pada hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menggunakan pakaian berwarna putih. Perintah di sini merupakan anjuran dan dorongan untuk para sahabat dan kita sebagai pengikut beliau untuk suka menggunakan warna putih. Lalu, mengapa warna putih? Apakah ada alasan tertentu? Jawabannya ada dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم“Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih. Sesungguhnya itu merupakan pakaian yang paling bersih dan paling baik. Kafanilah orang-orang yang mati di antara kalian dengan kain berwarna putih.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan alasan mengapa baju putih itu lebih baik. Baju putih lebih baik dikarenakan baju tersebut paling bersih dan paling baik.Mengapa baju putih merupakan baju paling bersih dan paling baik? Hal tersebut dikarenakan ketika ada kotoran yang menempel pada baju berwarna putih, maka kotoran akan sangat tampak. Ketika kita mencuci baju tersebut, maka akan jelas apakah kotoran yang menempel tersebut masih ada atau tidak.Berbeda ketika kita menggunakan baju berwarna lain yang terkadang kotoran tersamarkan dengan warna baju yang ada. Sehingga baju berwarna putih akan lebih bersih dan lebih baik karena kotoran yang menempel sangat tampak sehingga penggunanya akan selalu memperhatikan kebersihannya.Warna putih juga merupakan warna yang dipilih dalam doa untuk menghilangkan kesalahan yang digambarkan dengan kotoran.اللهم نقِّني من خطاياي كما يُنَقَّى الثوبُ الأبيضُ من الدَّنس“Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya pakaian berwarna putih dari kotoran.” (Muttafaqun ‘alaih)Menggunakan selain warna putihJika kita perhatikan hadis sebelumnya, kita akan jumpai bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat menggunakan pakaian warna putih. Lalu, apakah menggunakan warna putih menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim? Jawabannya tentu saja tidak. Hal tersebut bisa kita ketahui dari perbuatan Rasulullah sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggunakan baju selain warna putih. Hal tersebut bisa kita jumpai dalam beberapa hadis.Beliau pernah menggunakan baju berwarna merah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin Azib radiyallahu ’anhu. Beliau berkata,ما رأيتُ من ذي لمَّةٍ في حلَّةٍ حمراءَ أحسنَ من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang berambut sampai pundak, mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menggunakan pakaian berwarna hijau sebagaimana dalam sebuah hadis,رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mengenakan dua lembar kain bergaris hijau.” (HR. Tirmidzi)Juga masih banyak hadis lain yang menyebutkan warna pakaian Rasulullah selain warna putih. Sehingga bisa kita ketahui bahwa menggunakan pakaian berwarna putih itu tidak wajib. Akan tetapi, Rasulullah menyemangati kita semua untuk menggunakannya karena merupakan warna pakaian yang paling bersih dan paling baik.Baca juga: Bagaimana Rasulullah Tertawa? Inilah Tertawa yang Dicontohkan oleh Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Sumber:Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr

Warna Pakaian yang Paling Disukai Rasulullah

Daftar Isi ToggleMenutup auratTidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiTidak menyerupai pakaian orang kafirPakaian RasulullahWarna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahMenggunakan selain warna putihPakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pakaian selalu digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari menutup aurat, melindungi tubuh, hingga berhias. Sebagaimana manusia pada umumnya menyukai pakaian, Rasulullah juga menyukai tipe-tipe pakaian tertentu. Rasulullah juga memiliki warna pakaian yang paling disukai dan menganjurkan para sahabat untuk menggunakan warna terserbut.Sebelum kita membahas warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah, akan kita bahas terlebih dahulu adab umum terkait pakaian. Secara umum, segala jenis pakaian yang tidak dilarang oleh syariat boleh dikenakan, sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ“Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah kalian tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan.” (HR. Bukhari)Adapun beberapa ketentuan yang harus diperhatikan tentang pakaian adalah:Menutup auratPakaian yang digunakan harus menutup aurat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ“Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)Juga firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka!” (QS. Al-Ahzab: 59)Tidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiPakaian laki-laki tidak boleh terbuat dari sutra, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khattab bahwa Rasulullah bersabda,لا تلبسوا الحرير فإن من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة“Janganlah kalian menggunakan sutra! Barangsiapa yang menggunakannya di dunia, maka tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. Bukhari)Tidak menyerupai pakaian orang kafirSeorang muslim tidak boleh mengikuti hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang kafir. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من تشبه بقوم فهو منهم“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)Menyerupai di sini juga termasuk dalam hal berpakaian. Tidak boleh memakai pakaian yang merupakan ciri khas dari orang kafir.Pakaian RasulullahSecara umum, pakaian Rasulullah merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh orang Arab ketika itu. Seperti qamish, beliau menggunakan imamah, dan selainnya.Warna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahWarna pakaian yang digunakan oleh Nabi beragam. Akan tetapi, ada warna yang beliau paling sukai. Warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah adalah warna putih. Hal tersebut sebagaimana dalam hadis,عليكم بالبياض من الثياب فليلبسها أحياؤكم، وكفنوا فيها موتاكم، فإنها خير ثيابكم“Hendaklah kalian menggunakan baju berwarna putih. Sebab orang yang hidup di antara kalian menggunakannya dan orang yang mati dari kalian dikafani dengannya. Sesungguhnya itu adalah baju terbaik kalian.” (HR. Tirmidzi)Pada hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menggunakan pakaian berwarna putih. Perintah di sini merupakan anjuran dan dorongan untuk para sahabat dan kita sebagai pengikut beliau untuk suka menggunakan warna putih. Lalu, mengapa warna putih? Apakah ada alasan tertentu? Jawabannya ada dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم“Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih. Sesungguhnya itu merupakan pakaian yang paling bersih dan paling baik. Kafanilah orang-orang yang mati di antara kalian dengan kain berwarna putih.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan alasan mengapa baju putih itu lebih baik. Baju putih lebih baik dikarenakan baju tersebut paling bersih dan paling baik.Mengapa baju putih merupakan baju paling bersih dan paling baik? Hal tersebut dikarenakan ketika ada kotoran yang menempel pada baju berwarna putih, maka kotoran akan sangat tampak. Ketika kita mencuci baju tersebut, maka akan jelas apakah kotoran yang menempel tersebut masih ada atau tidak.Berbeda ketika kita menggunakan baju berwarna lain yang terkadang kotoran tersamarkan dengan warna baju yang ada. Sehingga baju berwarna putih akan lebih bersih dan lebih baik karena kotoran yang menempel sangat tampak sehingga penggunanya akan selalu memperhatikan kebersihannya.Warna putih juga merupakan warna yang dipilih dalam doa untuk menghilangkan kesalahan yang digambarkan dengan kotoran.اللهم نقِّني من خطاياي كما يُنَقَّى الثوبُ الأبيضُ من الدَّنس“Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya pakaian berwarna putih dari kotoran.” (Muttafaqun ‘alaih)Menggunakan selain warna putihJika kita perhatikan hadis sebelumnya, kita akan jumpai bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat menggunakan pakaian warna putih. Lalu, apakah menggunakan warna putih menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim? Jawabannya tentu saja tidak. Hal tersebut bisa kita ketahui dari perbuatan Rasulullah sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggunakan baju selain warna putih. Hal tersebut bisa kita jumpai dalam beberapa hadis.Beliau pernah menggunakan baju berwarna merah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin Azib radiyallahu ’anhu. Beliau berkata,ما رأيتُ من ذي لمَّةٍ في حلَّةٍ حمراءَ أحسنَ من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang berambut sampai pundak, mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menggunakan pakaian berwarna hijau sebagaimana dalam sebuah hadis,رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mengenakan dua lembar kain bergaris hijau.” (HR. Tirmidzi)Juga masih banyak hadis lain yang menyebutkan warna pakaian Rasulullah selain warna putih. Sehingga bisa kita ketahui bahwa menggunakan pakaian berwarna putih itu tidak wajib. Akan tetapi, Rasulullah menyemangati kita semua untuk menggunakannya karena merupakan warna pakaian yang paling bersih dan paling baik.Baca juga: Bagaimana Rasulullah Tertawa? Inilah Tertawa yang Dicontohkan oleh Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Sumber:Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr
Daftar Isi ToggleMenutup auratTidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiTidak menyerupai pakaian orang kafirPakaian RasulullahWarna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahMenggunakan selain warna putihPakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pakaian selalu digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari menutup aurat, melindungi tubuh, hingga berhias. Sebagaimana manusia pada umumnya menyukai pakaian, Rasulullah juga menyukai tipe-tipe pakaian tertentu. Rasulullah juga memiliki warna pakaian yang paling disukai dan menganjurkan para sahabat untuk menggunakan warna terserbut.Sebelum kita membahas warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah, akan kita bahas terlebih dahulu adab umum terkait pakaian. Secara umum, segala jenis pakaian yang tidak dilarang oleh syariat boleh dikenakan, sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ“Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah kalian tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan.” (HR. Bukhari)Adapun beberapa ketentuan yang harus diperhatikan tentang pakaian adalah:Menutup auratPakaian yang digunakan harus menutup aurat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ“Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)Juga firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka!” (QS. Al-Ahzab: 59)Tidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiPakaian laki-laki tidak boleh terbuat dari sutra, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khattab bahwa Rasulullah bersabda,لا تلبسوا الحرير فإن من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة“Janganlah kalian menggunakan sutra! Barangsiapa yang menggunakannya di dunia, maka tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. Bukhari)Tidak menyerupai pakaian orang kafirSeorang muslim tidak boleh mengikuti hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang kafir. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من تشبه بقوم فهو منهم“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)Menyerupai di sini juga termasuk dalam hal berpakaian. Tidak boleh memakai pakaian yang merupakan ciri khas dari orang kafir.Pakaian RasulullahSecara umum, pakaian Rasulullah merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh orang Arab ketika itu. Seperti qamish, beliau menggunakan imamah, dan selainnya.Warna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahWarna pakaian yang digunakan oleh Nabi beragam. Akan tetapi, ada warna yang beliau paling sukai. Warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah adalah warna putih. Hal tersebut sebagaimana dalam hadis,عليكم بالبياض من الثياب فليلبسها أحياؤكم، وكفنوا فيها موتاكم، فإنها خير ثيابكم“Hendaklah kalian menggunakan baju berwarna putih. Sebab orang yang hidup di antara kalian menggunakannya dan orang yang mati dari kalian dikafani dengannya. Sesungguhnya itu adalah baju terbaik kalian.” (HR. Tirmidzi)Pada hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menggunakan pakaian berwarna putih. Perintah di sini merupakan anjuran dan dorongan untuk para sahabat dan kita sebagai pengikut beliau untuk suka menggunakan warna putih. Lalu, mengapa warna putih? Apakah ada alasan tertentu? Jawabannya ada dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم“Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih. Sesungguhnya itu merupakan pakaian yang paling bersih dan paling baik. Kafanilah orang-orang yang mati di antara kalian dengan kain berwarna putih.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan alasan mengapa baju putih itu lebih baik. Baju putih lebih baik dikarenakan baju tersebut paling bersih dan paling baik.Mengapa baju putih merupakan baju paling bersih dan paling baik? Hal tersebut dikarenakan ketika ada kotoran yang menempel pada baju berwarna putih, maka kotoran akan sangat tampak. Ketika kita mencuci baju tersebut, maka akan jelas apakah kotoran yang menempel tersebut masih ada atau tidak.Berbeda ketika kita menggunakan baju berwarna lain yang terkadang kotoran tersamarkan dengan warna baju yang ada. Sehingga baju berwarna putih akan lebih bersih dan lebih baik karena kotoran yang menempel sangat tampak sehingga penggunanya akan selalu memperhatikan kebersihannya.Warna putih juga merupakan warna yang dipilih dalam doa untuk menghilangkan kesalahan yang digambarkan dengan kotoran.اللهم نقِّني من خطاياي كما يُنَقَّى الثوبُ الأبيضُ من الدَّنس“Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya pakaian berwarna putih dari kotoran.” (Muttafaqun ‘alaih)Menggunakan selain warna putihJika kita perhatikan hadis sebelumnya, kita akan jumpai bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat menggunakan pakaian warna putih. Lalu, apakah menggunakan warna putih menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim? Jawabannya tentu saja tidak. Hal tersebut bisa kita ketahui dari perbuatan Rasulullah sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggunakan baju selain warna putih. Hal tersebut bisa kita jumpai dalam beberapa hadis.Beliau pernah menggunakan baju berwarna merah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin Azib radiyallahu ’anhu. Beliau berkata,ما رأيتُ من ذي لمَّةٍ في حلَّةٍ حمراءَ أحسنَ من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang berambut sampai pundak, mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menggunakan pakaian berwarna hijau sebagaimana dalam sebuah hadis,رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mengenakan dua lembar kain bergaris hijau.” (HR. Tirmidzi)Juga masih banyak hadis lain yang menyebutkan warna pakaian Rasulullah selain warna putih. Sehingga bisa kita ketahui bahwa menggunakan pakaian berwarna putih itu tidak wajib. Akan tetapi, Rasulullah menyemangati kita semua untuk menggunakannya karena merupakan warna pakaian yang paling bersih dan paling baik.Baca juga: Bagaimana Rasulullah Tertawa? Inilah Tertawa yang Dicontohkan oleh Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Sumber:Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr


Daftar Isi ToggleMenutup auratTidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiTidak menyerupai pakaian orang kafirPakaian RasulullahWarna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahMenggunakan selain warna putihPakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pakaian selalu digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari menutup aurat, melindungi tubuh, hingga berhias. Sebagaimana manusia pada umumnya menyukai pakaian, Rasulullah juga menyukai tipe-tipe pakaian tertentu. Rasulullah juga memiliki warna pakaian yang paling disukai dan menganjurkan para sahabat untuk menggunakan warna terserbut.Sebelum kita membahas warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah, akan kita bahas terlebih dahulu adab umum terkait pakaian. Secara umum, segala jenis pakaian yang tidak dilarang oleh syariat boleh dikenakan, sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ“Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah kalian tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan.” (HR. Bukhari)Adapun beberapa ketentuan yang harus diperhatikan tentang pakaian adalah:Menutup auratPakaian yang digunakan harus menutup aurat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ“Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)Juga firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka!” (QS. Al-Ahzab: 59)Tidak terbuat dari sutra bagi laki-lakiPakaian laki-laki tidak boleh terbuat dari sutra, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khattab bahwa Rasulullah bersabda,لا تلبسوا الحرير فإن من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة“Janganlah kalian menggunakan sutra! Barangsiapa yang menggunakannya di dunia, maka tidak akan menggunakannya di akhirat.” (HR. Bukhari)Tidak menyerupai pakaian orang kafirSeorang muslim tidak boleh mengikuti hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang kafir. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,من تشبه بقوم فهو منهم“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)Menyerupai di sini juga termasuk dalam hal berpakaian. Tidak boleh memakai pakaian yang merupakan ciri khas dari orang kafir.Pakaian RasulullahSecara umum, pakaian Rasulullah merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh orang Arab ketika itu. Seperti qamish, beliau menggunakan imamah, dan selainnya.Warna pakaian yang paling disukai oleh RasulullahWarna pakaian yang digunakan oleh Nabi beragam. Akan tetapi, ada warna yang beliau paling sukai. Warna pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah adalah warna putih. Hal tersebut sebagaimana dalam hadis,عليكم بالبياض من الثياب فليلبسها أحياؤكم، وكفنوا فيها موتاكم، فإنها خير ثيابكم“Hendaklah kalian menggunakan baju berwarna putih. Sebab orang yang hidup di antara kalian menggunakannya dan orang yang mati dari kalian dikafani dengannya. Sesungguhnya itu adalah baju terbaik kalian.” (HR. Tirmidzi)Pada hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menggunakan pakaian berwarna putih. Perintah di sini merupakan anjuran dan dorongan untuk para sahabat dan kita sebagai pengikut beliau untuk suka menggunakan warna putih. Lalu, mengapa warna putih? Apakah ada alasan tertentu? Jawabannya ada dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم“Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih. Sesungguhnya itu merupakan pakaian yang paling bersih dan paling baik. Kafanilah orang-orang yang mati di antara kalian dengan kain berwarna putih.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan alasan mengapa baju putih itu lebih baik. Baju putih lebih baik dikarenakan baju tersebut paling bersih dan paling baik.Mengapa baju putih merupakan baju paling bersih dan paling baik? Hal tersebut dikarenakan ketika ada kotoran yang menempel pada baju berwarna putih, maka kotoran akan sangat tampak. Ketika kita mencuci baju tersebut, maka akan jelas apakah kotoran yang menempel tersebut masih ada atau tidak.Berbeda ketika kita menggunakan baju berwarna lain yang terkadang kotoran tersamarkan dengan warna baju yang ada. Sehingga baju berwarna putih akan lebih bersih dan lebih baik karena kotoran yang menempel sangat tampak sehingga penggunanya akan selalu memperhatikan kebersihannya.Warna putih juga merupakan warna yang dipilih dalam doa untuk menghilangkan kesalahan yang digambarkan dengan kotoran.اللهم نقِّني من خطاياي كما يُنَقَّى الثوبُ الأبيضُ من الدَّنس“Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya pakaian berwarna putih dari kotoran.” (Muttafaqun ‘alaih)Menggunakan selain warna putihJika kita perhatikan hadis sebelumnya, kita akan jumpai bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat menggunakan pakaian warna putih. Lalu, apakah menggunakan warna putih menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim? Jawabannya tentu saja tidak. Hal tersebut bisa kita ketahui dari perbuatan Rasulullah sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggunakan baju selain warna putih. Hal tersebut bisa kita jumpai dalam beberapa hadis.Beliau pernah menggunakan baju berwarna merah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin Azib radiyallahu ’anhu. Beliau berkata,ما رأيتُ من ذي لمَّةٍ في حلَّةٍ حمراءَ أحسنَ من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang berambut sampai pundak, mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menggunakan pakaian berwarna hijau sebagaimana dalam sebuah hadis,رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mengenakan dua lembar kain bergaris hijau.” (HR. Tirmidzi)Juga masih banyak hadis lain yang menyebutkan warna pakaian Rasulullah selain warna putih. Sehingga bisa kita ketahui bahwa menggunakan pakaian berwarna putih itu tidak wajib. Akan tetapi, Rasulullah menyemangati kita semua untuk menggunakannya karena merupakan warna pakaian yang paling bersih dan paling baik.Baca juga: Bagaimana Rasulullah Tertawa? Inilah Tertawa yang Dicontohkan oleh Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Sumber:Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.36. 36. Maksiat Merusak Hati 1.37. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.38. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.39. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.40. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus SholihinMasih bersambung insya Allah.  – Diupdate pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.36. 36. Maksiat Merusak Hati 1.37. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.38. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.39. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.40. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus SholihinMasih bersambung insya Allah.  – Diupdate pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.36. 36. Maksiat Merusak Hati 1.37. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.38. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.39. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.40. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus SholihinMasih bersambung insya Allah.  – Diupdate pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs


Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.36. 36. Maksiat Merusak Hati 1.37. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.38. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.39. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.40. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus SholihinMasih bersambung insya Allah.  – Diupdate pada Rabu, 19 Safar 1447 H, 13 Agustus 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Apa Saja Syarat Sah Nikah dan Siapa yang Berhak Menjadi Wali?

Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah

Apa Saja Syarat Sah Nikah dan Siapa yang Berhak Menjadi Wali?

Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah
Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah


Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah

Kecantikan Wanita Muslimah dalam Islam: Mana yang Halal, Mana yang Haram?

Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram

Kecantikan Wanita Muslimah dalam Islam: Mana yang Halal, Mana yang Haram?

Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram
Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram


Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram

15 Kiat Istiqamah di Jalan Allah: Tetap Lurus Meski Banyak Godaan

Istiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, tentu bimbingan dari Allah. Berikut ada 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam dengan didahului pada pemahaman apa itu istiqamah.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Istiqamah? 2. Istiqamah Itu Cerminan Konsistensi 3. Perhatian Para Sahabat terhadap Keteguhan 4. Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para Sahabat 5. Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang Muslim 5.1. 1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi Fitnah 5.2. 2. Keteguhan di Medan Jihad dan Perjuangan 5.3. 3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan Hidup 5.4. 4. Keteguhan di Saat Kematian 6. 15 Kiat Istiqamah di Jalan Allah 6.1. 1. Mendekat pada Al-Qur’an 6.2. 2. Komitmen pada Syariat dan Amal Saleh 6.3. 3. Meneladani Kisah Para Nabi 6.4. 4. Memperbanyak Doa 6.5. 5. Berdzikir dan Mengingat Allah 6.6. 6. Berjalan di Jalan yang Benar 6.7. 7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman) 6.8. 8. Yakin dengan Jalan yang Ditempuh 6.9. 9. Aktif Berdakwah 6.10. 10. Dekat dengan Orang-orang yang Menguatkan 6.11. 11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan Islam 6.12. 12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh Dunia 6.13. 13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung Istiqamah 6.14. 14. Mendengarkan Nasihat dari Orang Shalih 6.15. 15. Mengingat Surga, Neraka, dan Kematian  Apa itu Istiqamah?Istiqamah adalah terus melangkah di jalan hidayah dan Islam, tetap konsisten menjalani tuntunan syariat, dan terus-menerus berbuat kebaikan tanpa henti. Seorang Muslim yang istiqamah akan selalu berusaha menambah bekal amalnya dari waktu ke waktu. Walaupun kadang semangatnya menurun, atau sesekali ia lalai dalam ketaatan, namun ada batas minimal dalam keimanannya yang tak akan pernah ia relakan untuk dikompromi.Kalaupun ia terjatuh, ia segera bangkit dan bertobat. Bahkan, bisa jadi keadaannya setelah tobat jauh lebih baik daripada sebelum tergelincir. Inilah ciri orang yang memiliki sifat tsabat—teguh dalam keimanan. Istiqamah Itu Cerminan KonsistensiOrang yang plin-plan, mudah berubah arah, dan tak punya pendirian, tak akan sanggup istiqamah. Maka wajar bila para sahabat sangat ingin mengetahui cara agar bisa istiqamah. Salah satunya pernah bertanya kepada Nabi ﷺ:“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku satu perkara dalam Islam yang setelah itu aku tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun.”Nabi menjawab:«قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ»“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah!” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain, seorang sahabat berkata:“Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku satu amalan yang bisa aku pegang terus.”Beliau menjawab:«عَلَيْكَ بِالْهِجْرَةِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهَا»“Peganglah hijrah, karena tak ada yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i) Perhatian Para Sahabat terhadap KeteguhanPara sahabat Rasul ﷺ sangat peka terhadap keteguhan satu sama lain. Contohnya, ketika Buraidah bin Al-Hushaib melihat sahabat Salamah bin Al-Akwa’ datang dari pedalaman, ia menyangka Salamah meninggalkan hijrah dan bertanya:“Apakah engkau telah membatalkan hijrahmu, wahai Salamah?”Salamah menjawab:“Na’udzubillah! Aku datang dengan izin dari Rasulullah ﷺ. Aku mendengar beliau bersabda, ‘Wahai Bani Aslam, pergilah ke pedalaman, tinggallah di pegunungan dan hiruplah udara segar.’”Lalu mereka bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah itu membatalkan hijrah kami?”Beliau ﷺ menjawab:«أَنْتُمْ مُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ»“Kalian tetap berhijrah, di mana pun kalian berada.” (HR. Ahmad) Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para SahabatRasulullah ﷺ sangat peduli dengan keteguhan sahabat-sahabatnya. Beliau berdoa:«اللَّهُمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلاَ تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ»“Ya Allah, sempurnakan hijrah para sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka ke belakang (murtad).” (Muttafaq ‘alaih) Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang MuslimIstiqamah bukan hanya soal bertahan di jalan kebaikan secara umum. Dalam kehidupan seorang Muslim, ada beberapa bentuk keteguhan yang sangat penting untuk dijaga. Inilah empat di antaranya:1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi FitnahJenis yang paling mendasar dari istiqamah adalah tsabatul qalb—teguhnya hati dalam memegang iman. Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ“Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Fitnah akan disodorkan ke hati seperti tikar dianyam seutas demi seutas. Hati yang menyerapnya akan ditandai dengan titik hitam, sedangkan hati yang menolaknya akan dicap dengan titik putih. Hingga jadilah hati manusia dua macam: yang satu putih bersih seperti batu yang halus, tak akan terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada; yang lain hitam kelam seperti bejana terbalik, tak bisa mengenali kebaikan dan tak bisa mengingkari kemungkaran, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)Inilah pentingnya menjaga hati dari terpaan fitnah dunia—baik berupa syahwat maupun syubhat—agar tetap bersih dan kokoh dalam keimanan.2. Keteguhan di Medan Jihad dan PerjuanganSalah satu bentuk tsabat adalah berani tetap bertahan di medan kebenaran, bahkan saat nyawa menjadi taruhannya. Allah memerintahkan,﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ﴾“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menghadapi pasukan musuh, maka tetaplah teguh (jangan mundur).” (QS. Al-Anfal: 45)Mundur dari medan jihad adalah salah satu dosa besar. Nabi ﷺ bersabda,وَإِيَّاكَ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ وَإِنْ هَلَكَ النَّاسُ“Waspadalah terhadap lari dari medan tempur, sekalipun orang-orang di sekitarmu binasa.” (HR. Ahmad)Ini menunjukkan bahwa keberanian dan keteguhan dalam membela kebenaran adalah bentuk tertinggi dari istiqamah.3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan HidupAda orang yang hanya bertahan di permukaan Islam, tapi mudah goyah saat diuji. Tapi orang yang benar-benar istiqamah adalah mereka yang berpegang teguh pada jalan kebenaran sampai akhir.Allah memuji mereka:مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلً“Di antara orang-orang beriman ada yang menepati janjinya kepada Allah… dan mereka tidak merubah komitmennya sedikit pun.” (QS. Al-Ahzab: 23)Bagi mereka, prinsip lebih berharga dari nyawa. Tak tergoda dunia, tak goyah oleh tekanan. Mereka memilih mati dalam kebenaran daripada hidup dalam kemunafikan.4. Keteguhan di Saat KematianPuncak dari istiqamah adalah tetap berada di atas kebenaran saat ajal menjemput. Allah menjanjikan bagi orang-orang yang istiqamah:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat tauhid) di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Juga dalam ayat lain:﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…﴾“Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami adalah Allah’ lalu mereka istiqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka seraya berkata: Jangan takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepadamu…” (QS. Fussilat: 30–31)Sering kita dengar cerita nyata tentang orang saleh yang wafat dengan senyum, harum baunya, ringan lisannya mengucap syahadat—semua itu adalah buah dari istiqamah sepanjang hidupnya. 15 Kiat Istiqamah di Jalan AllahIstiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, dan bimbingan dari Allah. Berikut 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam:1. Mendekat pada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah tali kokoh yang menyambungkan kita dengan Allah. Ia penuntun yang tak pernah menyesatkan. Siapa yang berpegang teguh padanya, Allah akan menjaga dan meneguhkannya. Al-Qur’an menenangkan hati, menguatkan langkah, dan menunjukkan jalan keluar dalam gelapnya ujian hidup.2. Komitmen pada Syariat dan Amal SalehAllah berfirman:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Amal saleh adalah energi ruhani yang menguatkan iman.3. Meneladani Kisah Para NabiAllah menyebut dalam Al-Qur’an:﴿وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ … مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ﴾“Setiap kisah para rasul Kami ceritakan padamu agar hatimu teguh.” (QS. Hud: 120)Belajar dari perjuangan para Nabi membuat kita sadar: jalan ini pernah mereka tempuh dengan sabar dan yakin.4. Memperbanyak DoaDoa adalah senjata seorang mukmin. Nabi ﷺ sendiri sering berdoa:«يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»(“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” – HR. Tirmidzi)Jangan sepelekan kekuatan doa dalam menjaga keistiqamahan hati.5. Berdzikir dan Mengingat AllahAllah memerintahkan:﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا﴾“Wahai orang-orang beriman, jika kalian bertemu pasukan musuh, teguhkanlah hati dan perbanyaklah dzikir kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 45)Dzikir menjaga hati tetap hidup dan sadar akan tujuan.6. Berjalan di Jalan yang BenarJalan Nabi ﷺ adalah jalan paling aman. Jalan para salaf, jalan ahli sunnah wal jamaah, adalah jalan selamat. Siapa yang menempuhnya, ia akan selalu dibimbing oleh cahaya.7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman)Tarbiyah yang bertahap, mendalam, dan berkelanjutan adalah pilar penting dalam menjaga keistiqamahan. Iman tidak bisa instan, ia perlu dibina perlahan, penuh kesadaran dan ilmu.8. Yakin dengan Jalan yang DitempuhSemakin kita yakin bahwa jalan yang kita ambil benar—jalan para nabi, shiddiqin, ulama, dan syuhada—maka rasa sepi akan berganti dengan ketenangan. Karena kita tahu, kita tidak sendirian.9. Aktif BerdakwahJiwa manusia butuh bergerak. Dakwah adalah bentuk pengabdian yang menjaga hati tetap hidup. Allah memerintahkan:﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ﴾“Maka berdakwahlah dan istiqamahlah.” (QS. Asy-Syura: 15)10. Dekat dengan Orang-orang yang MenguatkanAda manusia yang menjadi pembuka kebaikan. Nabi ﷺ bersabda:«طُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ»“Beruntunglah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)Dekatlah dengan ulama, orang saleh, dan sahabat yang mengingatkan kita kepada akhirat.11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan IslamAllah akan menolong orang yang sabar. Lihatlah bagaimana para pejuang iman terdahulu diuji hingga ke titik darah penghabisan, namun tak sedikitpun mereka goyah. Rasul ﷺ bersabda:“Demi Allah, agama ini akan Allah sempurnakan…” (HR. Bukhari)12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh DuniaDunia bisa menggoda. Tapi ingatlah sabda Al-Qur’an:﴿لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ﴾“Jangan sampai engkau tertipu oleh kelap-kelipnya kehidupan orang kafir di dunia.” (QS. Ali Imran: 196)13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung IstiqamahRasulullah ﷺ bersabda:«مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ…»“Siapa yang bersabar, Allah akan menjadikannya sabar.” (HR. Bukhari)Latihlah diri untuk sabar, qana’ah, menjaga iffah, dan tidak mudah terombang-ambing.14. Mendengarkan Nasihat dari Orang ShalihKetika hati goyah, Allah kadang mengirimkan orang shalih untuk meneguhkanmu. Nasihat mereka bisa menjadi cahaya dalam kegelapan.15. Mengingat Surga, Neraka, dan KematianBayangan surga akan menguatkan semangat. Ingatan akan neraka akan membuat kita takut melenceng. Dan kesadaran akan kematian membuat kita selalu waspada dan rendah hati.Baca Juga:Hadits Arbain #21: Beriman kepada Allah dan IstiqamahlahKiat Agar Tetap Istiqomah (Seri 1)  Tagsistiqamah kiat istiqamah

15 Kiat Istiqamah di Jalan Allah: Tetap Lurus Meski Banyak Godaan

Istiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, tentu bimbingan dari Allah. Berikut ada 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam dengan didahului pada pemahaman apa itu istiqamah.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Istiqamah? 2. Istiqamah Itu Cerminan Konsistensi 3. Perhatian Para Sahabat terhadap Keteguhan 4. Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para Sahabat 5. Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang Muslim 5.1. 1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi Fitnah 5.2. 2. Keteguhan di Medan Jihad dan Perjuangan 5.3. 3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan Hidup 5.4. 4. Keteguhan di Saat Kematian 6. 15 Kiat Istiqamah di Jalan Allah 6.1. 1. Mendekat pada Al-Qur’an 6.2. 2. Komitmen pada Syariat dan Amal Saleh 6.3. 3. Meneladani Kisah Para Nabi 6.4. 4. Memperbanyak Doa 6.5. 5. Berdzikir dan Mengingat Allah 6.6. 6. Berjalan di Jalan yang Benar 6.7. 7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman) 6.8. 8. Yakin dengan Jalan yang Ditempuh 6.9. 9. Aktif Berdakwah 6.10. 10. Dekat dengan Orang-orang yang Menguatkan 6.11. 11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan Islam 6.12. 12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh Dunia 6.13. 13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung Istiqamah 6.14. 14. Mendengarkan Nasihat dari Orang Shalih 6.15. 15. Mengingat Surga, Neraka, dan Kematian  Apa itu Istiqamah?Istiqamah adalah terus melangkah di jalan hidayah dan Islam, tetap konsisten menjalani tuntunan syariat, dan terus-menerus berbuat kebaikan tanpa henti. Seorang Muslim yang istiqamah akan selalu berusaha menambah bekal amalnya dari waktu ke waktu. Walaupun kadang semangatnya menurun, atau sesekali ia lalai dalam ketaatan, namun ada batas minimal dalam keimanannya yang tak akan pernah ia relakan untuk dikompromi.Kalaupun ia terjatuh, ia segera bangkit dan bertobat. Bahkan, bisa jadi keadaannya setelah tobat jauh lebih baik daripada sebelum tergelincir. Inilah ciri orang yang memiliki sifat tsabat—teguh dalam keimanan. Istiqamah Itu Cerminan KonsistensiOrang yang plin-plan, mudah berubah arah, dan tak punya pendirian, tak akan sanggup istiqamah. Maka wajar bila para sahabat sangat ingin mengetahui cara agar bisa istiqamah. Salah satunya pernah bertanya kepada Nabi ﷺ:“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku satu perkara dalam Islam yang setelah itu aku tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun.”Nabi menjawab:«قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ»“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah!” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain, seorang sahabat berkata:“Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku satu amalan yang bisa aku pegang terus.”Beliau menjawab:«عَلَيْكَ بِالْهِجْرَةِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهَا»“Peganglah hijrah, karena tak ada yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i) Perhatian Para Sahabat terhadap KeteguhanPara sahabat Rasul ﷺ sangat peka terhadap keteguhan satu sama lain. Contohnya, ketika Buraidah bin Al-Hushaib melihat sahabat Salamah bin Al-Akwa’ datang dari pedalaman, ia menyangka Salamah meninggalkan hijrah dan bertanya:“Apakah engkau telah membatalkan hijrahmu, wahai Salamah?”Salamah menjawab:“Na’udzubillah! Aku datang dengan izin dari Rasulullah ﷺ. Aku mendengar beliau bersabda, ‘Wahai Bani Aslam, pergilah ke pedalaman, tinggallah di pegunungan dan hiruplah udara segar.’”Lalu mereka bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah itu membatalkan hijrah kami?”Beliau ﷺ menjawab:«أَنْتُمْ مُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ»“Kalian tetap berhijrah, di mana pun kalian berada.” (HR. Ahmad) Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para SahabatRasulullah ﷺ sangat peduli dengan keteguhan sahabat-sahabatnya. Beliau berdoa:«اللَّهُمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلاَ تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ»“Ya Allah, sempurnakan hijrah para sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka ke belakang (murtad).” (Muttafaq ‘alaih) Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang MuslimIstiqamah bukan hanya soal bertahan di jalan kebaikan secara umum. Dalam kehidupan seorang Muslim, ada beberapa bentuk keteguhan yang sangat penting untuk dijaga. Inilah empat di antaranya:1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi FitnahJenis yang paling mendasar dari istiqamah adalah tsabatul qalb—teguhnya hati dalam memegang iman. Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ“Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Fitnah akan disodorkan ke hati seperti tikar dianyam seutas demi seutas. Hati yang menyerapnya akan ditandai dengan titik hitam, sedangkan hati yang menolaknya akan dicap dengan titik putih. Hingga jadilah hati manusia dua macam: yang satu putih bersih seperti batu yang halus, tak akan terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada; yang lain hitam kelam seperti bejana terbalik, tak bisa mengenali kebaikan dan tak bisa mengingkari kemungkaran, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)Inilah pentingnya menjaga hati dari terpaan fitnah dunia—baik berupa syahwat maupun syubhat—agar tetap bersih dan kokoh dalam keimanan.2. Keteguhan di Medan Jihad dan PerjuanganSalah satu bentuk tsabat adalah berani tetap bertahan di medan kebenaran, bahkan saat nyawa menjadi taruhannya. Allah memerintahkan,﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ﴾“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menghadapi pasukan musuh, maka tetaplah teguh (jangan mundur).” (QS. Al-Anfal: 45)Mundur dari medan jihad adalah salah satu dosa besar. Nabi ﷺ bersabda,وَإِيَّاكَ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ وَإِنْ هَلَكَ النَّاسُ“Waspadalah terhadap lari dari medan tempur, sekalipun orang-orang di sekitarmu binasa.” (HR. Ahmad)Ini menunjukkan bahwa keberanian dan keteguhan dalam membela kebenaran adalah bentuk tertinggi dari istiqamah.3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan HidupAda orang yang hanya bertahan di permukaan Islam, tapi mudah goyah saat diuji. Tapi orang yang benar-benar istiqamah adalah mereka yang berpegang teguh pada jalan kebenaran sampai akhir.Allah memuji mereka:مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلً“Di antara orang-orang beriman ada yang menepati janjinya kepada Allah… dan mereka tidak merubah komitmennya sedikit pun.” (QS. Al-Ahzab: 23)Bagi mereka, prinsip lebih berharga dari nyawa. Tak tergoda dunia, tak goyah oleh tekanan. Mereka memilih mati dalam kebenaran daripada hidup dalam kemunafikan.4. Keteguhan di Saat KematianPuncak dari istiqamah adalah tetap berada di atas kebenaran saat ajal menjemput. Allah menjanjikan bagi orang-orang yang istiqamah:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat tauhid) di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Juga dalam ayat lain:﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…﴾“Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami adalah Allah’ lalu mereka istiqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka seraya berkata: Jangan takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepadamu…” (QS. Fussilat: 30–31)Sering kita dengar cerita nyata tentang orang saleh yang wafat dengan senyum, harum baunya, ringan lisannya mengucap syahadat—semua itu adalah buah dari istiqamah sepanjang hidupnya. 15 Kiat Istiqamah di Jalan AllahIstiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, dan bimbingan dari Allah. Berikut 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam:1. Mendekat pada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah tali kokoh yang menyambungkan kita dengan Allah. Ia penuntun yang tak pernah menyesatkan. Siapa yang berpegang teguh padanya, Allah akan menjaga dan meneguhkannya. Al-Qur’an menenangkan hati, menguatkan langkah, dan menunjukkan jalan keluar dalam gelapnya ujian hidup.2. Komitmen pada Syariat dan Amal SalehAllah berfirman:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Amal saleh adalah energi ruhani yang menguatkan iman.3. Meneladani Kisah Para NabiAllah menyebut dalam Al-Qur’an:﴿وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ … مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ﴾“Setiap kisah para rasul Kami ceritakan padamu agar hatimu teguh.” (QS. Hud: 120)Belajar dari perjuangan para Nabi membuat kita sadar: jalan ini pernah mereka tempuh dengan sabar dan yakin.4. Memperbanyak DoaDoa adalah senjata seorang mukmin. Nabi ﷺ sendiri sering berdoa:«يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»(“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” – HR. Tirmidzi)Jangan sepelekan kekuatan doa dalam menjaga keistiqamahan hati.5. Berdzikir dan Mengingat AllahAllah memerintahkan:﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا﴾“Wahai orang-orang beriman, jika kalian bertemu pasukan musuh, teguhkanlah hati dan perbanyaklah dzikir kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 45)Dzikir menjaga hati tetap hidup dan sadar akan tujuan.6. Berjalan di Jalan yang BenarJalan Nabi ﷺ adalah jalan paling aman. Jalan para salaf, jalan ahli sunnah wal jamaah, adalah jalan selamat. Siapa yang menempuhnya, ia akan selalu dibimbing oleh cahaya.7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman)Tarbiyah yang bertahap, mendalam, dan berkelanjutan adalah pilar penting dalam menjaga keistiqamahan. Iman tidak bisa instan, ia perlu dibina perlahan, penuh kesadaran dan ilmu.8. Yakin dengan Jalan yang DitempuhSemakin kita yakin bahwa jalan yang kita ambil benar—jalan para nabi, shiddiqin, ulama, dan syuhada—maka rasa sepi akan berganti dengan ketenangan. Karena kita tahu, kita tidak sendirian.9. Aktif BerdakwahJiwa manusia butuh bergerak. Dakwah adalah bentuk pengabdian yang menjaga hati tetap hidup. Allah memerintahkan:﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ﴾“Maka berdakwahlah dan istiqamahlah.” (QS. Asy-Syura: 15)10. Dekat dengan Orang-orang yang MenguatkanAda manusia yang menjadi pembuka kebaikan. Nabi ﷺ bersabda:«طُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ»“Beruntunglah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)Dekatlah dengan ulama, orang saleh, dan sahabat yang mengingatkan kita kepada akhirat.11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan IslamAllah akan menolong orang yang sabar. Lihatlah bagaimana para pejuang iman terdahulu diuji hingga ke titik darah penghabisan, namun tak sedikitpun mereka goyah. Rasul ﷺ bersabda:“Demi Allah, agama ini akan Allah sempurnakan…” (HR. Bukhari)12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh DuniaDunia bisa menggoda. Tapi ingatlah sabda Al-Qur’an:﴿لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ﴾“Jangan sampai engkau tertipu oleh kelap-kelipnya kehidupan orang kafir di dunia.” (QS. Ali Imran: 196)13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung IstiqamahRasulullah ﷺ bersabda:«مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ…»“Siapa yang bersabar, Allah akan menjadikannya sabar.” (HR. Bukhari)Latihlah diri untuk sabar, qana’ah, menjaga iffah, dan tidak mudah terombang-ambing.14. Mendengarkan Nasihat dari Orang ShalihKetika hati goyah, Allah kadang mengirimkan orang shalih untuk meneguhkanmu. Nasihat mereka bisa menjadi cahaya dalam kegelapan.15. Mengingat Surga, Neraka, dan KematianBayangan surga akan menguatkan semangat. Ingatan akan neraka akan membuat kita takut melenceng. Dan kesadaran akan kematian membuat kita selalu waspada dan rendah hati.Baca Juga:Hadits Arbain #21: Beriman kepada Allah dan IstiqamahlahKiat Agar Tetap Istiqomah (Seri 1)  Tagsistiqamah kiat istiqamah
Istiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, tentu bimbingan dari Allah. Berikut ada 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam dengan didahului pada pemahaman apa itu istiqamah.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Istiqamah? 2. Istiqamah Itu Cerminan Konsistensi 3. Perhatian Para Sahabat terhadap Keteguhan 4. Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para Sahabat 5. Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang Muslim 5.1. 1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi Fitnah 5.2. 2. Keteguhan di Medan Jihad dan Perjuangan 5.3. 3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan Hidup 5.4. 4. Keteguhan di Saat Kematian 6. 15 Kiat Istiqamah di Jalan Allah 6.1. 1. Mendekat pada Al-Qur’an 6.2. 2. Komitmen pada Syariat dan Amal Saleh 6.3. 3. Meneladani Kisah Para Nabi 6.4. 4. Memperbanyak Doa 6.5. 5. Berdzikir dan Mengingat Allah 6.6. 6. Berjalan di Jalan yang Benar 6.7. 7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman) 6.8. 8. Yakin dengan Jalan yang Ditempuh 6.9. 9. Aktif Berdakwah 6.10. 10. Dekat dengan Orang-orang yang Menguatkan 6.11. 11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan Islam 6.12. 12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh Dunia 6.13. 13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung Istiqamah 6.14. 14. Mendengarkan Nasihat dari Orang Shalih 6.15. 15. Mengingat Surga, Neraka, dan Kematian  Apa itu Istiqamah?Istiqamah adalah terus melangkah di jalan hidayah dan Islam, tetap konsisten menjalani tuntunan syariat, dan terus-menerus berbuat kebaikan tanpa henti. Seorang Muslim yang istiqamah akan selalu berusaha menambah bekal amalnya dari waktu ke waktu. Walaupun kadang semangatnya menurun, atau sesekali ia lalai dalam ketaatan, namun ada batas minimal dalam keimanannya yang tak akan pernah ia relakan untuk dikompromi.Kalaupun ia terjatuh, ia segera bangkit dan bertobat. Bahkan, bisa jadi keadaannya setelah tobat jauh lebih baik daripada sebelum tergelincir. Inilah ciri orang yang memiliki sifat tsabat—teguh dalam keimanan. Istiqamah Itu Cerminan KonsistensiOrang yang plin-plan, mudah berubah arah, dan tak punya pendirian, tak akan sanggup istiqamah. Maka wajar bila para sahabat sangat ingin mengetahui cara agar bisa istiqamah. Salah satunya pernah bertanya kepada Nabi ﷺ:“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku satu perkara dalam Islam yang setelah itu aku tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun.”Nabi menjawab:«قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ»“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah!” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain, seorang sahabat berkata:“Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku satu amalan yang bisa aku pegang terus.”Beliau menjawab:«عَلَيْكَ بِالْهِجْرَةِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهَا»“Peganglah hijrah, karena tak ada yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i) Perhatian Para Sahabat terhadap KeteguhanPara sahabat Rasul ﷺ sangat peka terhadap keteguhan satu sama lain. Contohnya, ketika Buraidah bin Al-Hushaib melihat sahabat Salamah bin Al-Akwa’ datang dari pedalaman, ia menyangka Salamah meninggalkan hijrah dan bertanya:“Apakah engkau telah membatalkan hijrahmu, wahai Salamah?”Salamah menjawab:“Na’udzubillah! Aku datang dengan izin dari Rasulullah ﷺ. Aku mendengar beliau bersabda, ‘Wahai Bani Aslam, pergilah ke pedalaman, tinggallah di pegunungan dan hiruplah udara segar.’”Lalu mereka bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah itu membatalkan hijrah kami?”Beliau ﷺ menjawab:«أَنْتُمْ مُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ»“Kalian tetap berhijrah, di mana pun kalian berada.” (HR. Ahmad) Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para SahabatRasulullah ﷺ sangat peduli dengan keteguhan sahabat-sahabatnya. Beliau berdoa:«اللَّهُمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلاَ تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ»“Ya Allah, sempurnakan hijrah para sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka ke belakang (murtad).” (Muttafaq ‘alaih) Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang MuslimIstiqamah bukan hanya soal bertahan di jalan kebaikan secara umum. Dalam kehidupan seorang Muslim, ada beberapa bentuk keteguhan yang sangat penting untuk dijaga. Inilah empat di antaranya:1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi FitnahJenis yang paling mendasar dari istiqamah adalah tsabatul qalb—teguhnya hati dalam memegang iman. Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ“Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Fitnah akan disodorkan ke hati seperti tikar dianyam seutas demi seutas. Hati yang menyerapnya akan ditandai dengan titik hitam, sedangkan hati yang menolaknya akan dicap dengan titik putih. Hingga jadilah hati manusia dua macam: yang satu putih bersih seperti batu yang halus, tak akan terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada; yang lain hitam kelam seperti bejana terbalik, tak bisa mengenali kebaikan dan tak bisa mengingkari kemungkaran, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)Inilah pentingnya menjaga hati dari terpaan fitnah dunia—baik berupa syahwat maupun syubhat—agar tetap bersih dan kokoh dalam keimanan.2. Keteguhan di Medan Jihad dan PerjuanganSalah satu bentuk tsabat adalah berani tetap bertahan di medan kebenaran, bahkan saat nyawa menjadi taruhannya. Allah memerintahkan,﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ﴾“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menghadapi pasukan musuh, maka tetaplah teguh (jangan mundur).” (QS. Al-Anfal: 45)Mundur dari medan jihad adalah salah satu dosa besar. Nabi ﷺ bersabda,وَإِيَّاكَ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ وَإِنْ هَلَكَ النَّاسُ“Waspadalah terhadap lari dari medan tempur, sekalipun orang-orang di sekitarmu binasa.” (HR. Ahmad)Ini menunjukkan bahwa keberanian dan keteguhan dalam membela kebenaran adalah bentuk tertinggi dari istiqamah.3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan HidupAda orang yang hanya bertahan di permukaan Islam, tapi mudah goyah saat diuji. Tapi orang yang benar-benar istiqamah adalah mereka yang berpegang teguh pada jalan kebenaran sampai akhir.Allah memuji mereka:مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلً“Di antara orang-orang beriman ada yang menepati janjinya kepada Allah… dan mereka tidak merubah komitmennya sedikit pun.” (QS. Al-Ahzab: 23)Bagi mereka, prinsip lebih berharga dari nyawa. Tak tergoda dunia, tak goyah oleh tekanan. Mereka memilih mati dalam kebenaran daripada hidup dalam kemunafikan.4. Keteguhan di Saat KematianPuncak dari istiqamah adalah tetap berada di atas kebenaran saat ajal menjemput. Allah menjanjikan bagi orang-orang yang istiqamah:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat tauhid) di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Juga dalam ayat lain:﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…﴾“Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami adalah Allah’ lalu mereka istiqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka seraya berkata: Jangan takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepadamu…” (QS. Fussilat: 30–31)Sering kita dengar cerita nyata tentang orang saleh yang wafat dengan senyum, harum baunya, ringan lisannya mengucap syahadat—semua itu adalah buah dari istiqamah sepanjang hidupnya. 15 Kiat Istiqamah di Jalan AllahIstiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, dan bimbingan dari Allah. Berikut 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam:1. Mendekat pada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah tali kokoh yang menyambungkan kita dengan Allah. Ia penuntun yang tak pernah menyesatkan. Siapa yang berpegang teguh padanya, Allah akan menjaga dan meneguhkannya. Al-Qur’an menenangkan hati, menguatkan langkah, dan menunjukkan jalan keluar dalam gelapnya ujian hidup.2. Komitmen pada Syariat dan Amal SalehAllah berfirman:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Amal saleh adalah energi ruhani yang menguatkan iman.3. Meneladani Kisah Para NabiAllah menyebut dalam Al-Qur’an:﴿وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ … مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ﴾“Setiap kisah para rasul Kami ceritakan padamu agar hatimu teguh.” (QS. Hud: 120)Belajar dari perjuangan para Nabi membuat kita sadar: jalan ini pernah mereka tempuh dengan sabar dan yakin.4. Memperbanyak DoaDoa adalah senjata seorang mukmin. Nabi ﷺ sendiri sering berdoa:«يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»(“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” – HR. Tirmidzi)Jangan sepelekan kekuatan doa dalam menjaga keistiqamahan hati.5. Berdzikir dan Mengingat AllahAllah memerintahkan:﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا﴾“Wahai orang-orang beriman, jika kalian bertemu pasukan musuh, teguhkanlah hati dan perbanyaklah dzikir kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 45)Dzikir menjaga hati tetap hidup dan sadar akan tujuan.6. Berjalan di Jalan yang BenarJalan Nabi ﷺ adalah jalan paling aman. Jalan para salaf, jalan ahli sunnah wal jamaah, adalah jalan selamat. Siapa yang menempuhnya, ia akan selalu dibimbing oleh cahaya.7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman)Tarbiyah yang bertahap, mendalam, dan berkelanjutan adalah pilar penting dalam menjaga keistiqamahan. Iman tidak bisa instan, ia perlu dibina perlahan, penuh kesadaran dan ilmu.8. Yakin dengan Jalan yang DitempuhSemakin kita yakin bahwa jalan yang kita ambil benar—jalan para nabi, shiddiqin, ulama, dan syuhada—maka rasa sepi akan berganti dengan ketenangan. Karena kita tahu, kita tidak sendirian.9. Aktif BerdakwahJiwa manusia butuh bergerak. Dakwah adalah bentuk pengabdian yang menjaga hati tetap hidup. Allah memerintahkan:﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ﴾“Maka berdakwahlah dan istiqamahlah.” (QS. Asy-Syura: 15)10. Dekat dengan Orang-orang yang MenguatkanAda manusia yang menjadi pembuka kebaikan. Nabi ﷺ bersabda:«طُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ»“Beruntunglah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)Dekatlah dengan ulama, orang saleh, dan sahabat yang mengingatkan kita kepada akhirat.11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan IslamAllah akan menolong orang yang sabar. Lihatlah bagaimana para pejuang iman terdahulu diuji hingga ke titik darah penghabisan, namun tak sedikitpun mereka goyah. Rasul ﷺ bersabda:“Demi Allah, agama ini akan Allah sempurnakan…” (HR. Bukhari)12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh DuniaDunia bisa menggoda. Tapi ingatlah sabda Al-Qur’an:﴿لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ﴾“Jangan sampai engkau tertipu oleh kelap-kelipnya kehidupan orang kafir di dunia.” (QS. Ali Imran: 196)13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung IstiqamahRasulullah ﷺ bersabda:«مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ…»“Siapa yang bersabar, Allah akan menjadikannya sabar.” (HR. Bukhari)Latihlah diri untuk sabar, qana’ah, menjaga iffah, dan tidak mudah terombang-ambing.14. Mendengarkan Nasihat dari Orang ShalihKetika hati goyah, Allah kadang mengirimkan orang shalih untuk meneguhkanmu. Nasihat mereka bisa menjadi cahaya dalam kegelapan.15. Mengingat Surga, Neraka, dan KematianBayangan surga akan menguatkan semangat. Ingatan akan neraka akan membuat kita takut melenceng. Dan kesadaran akan kematian membuat kita selalu waspada dan rendah hati.Baca Juga:Hadits Arbain #21: Beriman kepada Allah dan IstiqamahlahKiat Agar Tetap Istiqomah (Seri 1)  Tagsistiqamah kiat istiqamah


Istiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, tentu bimbingan dari Allah. Berikut ada 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam dengan didahului pada pemahaman apa itu istiqamah.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Istiqamah? 2. Istiqamah Itu Cerminan Konsistensi 3. Perhatian Para Sahabat terhadap Keteguhan 4. Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para Sahabat 5. Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang Muslim 5.1. 1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi Fitnah 5.2. 2. Keteguhan di Medan Jihad dan Perjuangan 5.3. 3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan Hidup 5.4. 4. Keteguhan di Saat Kematian 6. 15 Kiat Istiqamah di Jalan Allah 6.1. 1. Mendekat pada Al-Qur’an 6.2. 2. Komitmen pada Syariat dan Amal Saleh 6.3. 3. Meneladani Kisah Para Nabi 6.4. 4. Memperbanyak Doa 6.5. 5. Berdzikir dan Mengingat Allah 6.6. 6. Berjalan di Jalan yang Benar 6.7. 7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman) 6.8. 8. Yakin dengan Jalan yang Ditempuh 6.9. 9. Aktif Berdakwah 6.10. 10. Dekat dengan Orang-orang yang Menguatkan 6.11. 11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan Islam 6.12. 12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh Dunia 6.13. 13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung Istiqamah 6.14. 14. Mendengarkan Nasihat dari Orang Shalih 6.15. 15. Mengingat Surga, Neraka, dan Kematian  Apa itu Istiqamah?Istiqamah adalah terus melangkah di jalan hidayah dan Islam, tetap konsisten menjalani tuntunan syariat, dan terus-menerus berbuat kebaikan tanpa henti. Seorang Muslim yang istiqamah akan selalu berusaha menambah bekal amalnya dari waktu ke waktu. Walaupun kadang semangatnya menurun, atau sesekali ia lalai dalam ketaatan, namun ada batas minimal dalam keimanannya yang tak akan pernah ia relakan untuk dikompromi.Kalaupun ia terjatuh, ia segera bangkit dan bertobat. Bahkan, bisa jadi keadaannya setelah tobat jauh lebih baik daripada sebelum tergelincir. Inilah ciri orang yang memiliki sifat tsabat—teguh dalam keimanan. Istiqamah Itu Cerminan KonsistensiOrang yang plin-plan, mudah berubah arah, dan tak punya pendirian, tak akan sanggup istiqamah. Maka wajar bila para sahabat sangat ingin mengetahui cara agar bisa istiqamah. Salah satunya pernah bertanya kepada Nabi ﷺ:“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku satu perkara dalam Islam yang setelah itu aku tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun.”Nabi menjawab:«قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ»“Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah!” (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain, seorang sahabat berkata:“Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku satu amalan yang bisa aku pegang terus.”Beliau menjawab:«عَلَيْكَ بِالْهِجْرَةِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهَا»“Peganglah hijrah, karena tak ada yang sebanding dengannya.” (HR. An-Nasa’i) Perhatian Para Sahabat terhadap KeteguhanPara sahabat Rasul ﷺ sangat peka terhadap keteguhan satu sama lain. Contohnya, ketika Buraidah bin Al-Hushaib melihat sahabat Salamah bin Al-Akwa’ datang dari pedalaman, ia menyangka Salamah meninggalkan hijrah dan bertanya:“Apakah engkau telah membatalkan hijrahmu, wahai Salamah?”Salamah menjawab:“Na’udzubillah! Aku datang dengan izin dari Rasulullah ﷺ. Aku mendengar beliau bersabda, ‘Wahai Bani Aslam, pergilah ke pedalaman, tinggallah di pegunungan dan hiruplah udara segar.’”Lalu mereka bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah itu membatalkan hijrah kami?”Beliau ﷺ menjawab:«أَنْتُمْ مُهَاجِرُونَ حَيْثُ كُنْتُمْ»“Kalian tetap berhijrah, di mana pun kalian berada.” (HR. Ahmad) Doa Rasulullah ﷺ untuk Keteguhan Para SahabatRasulullah ﷺ sangat peduli dengan keteguhan sahabat-sahabatnya. Beliau berdoa:«اللَّهُمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلاَ تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ»“Ya Allah, sempurnakan hijrah para sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka ke belakang (murtad).” (Muttafaq ‘alaih) Macam-Macam Istiqamah dalam Hidup Seorang MuslimIstiqamah bukan hanya soal bertahan di jalan kebaikan secara umum. Dalam kehidupan seorang Muslim, ada beberapa bentuk keteguhan yang sangat penting untuk dijaga. Inilah empat di antaranya:1. Keteguhan Hati dalam Iman dan Keteguhan Menghadapi FitnahJenis yang paling mendasar dari istiqamah adalah tsabatul qalb—teguhnya hati dalam memegang iman. Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ“Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Fitnah akan disodorkan ke hati seperti tikar dianyam seutas demi seutas. Hati yang menyerapnya akan ditandai dengan titik hitam, sedangkan hati yang menolaknya akan dicap dengan titik putih. Hingga jadilah hati manusia dua macam: yang satu putih bersih seperti batu yang halus, tak akan terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada; yang lain hitam kelam seperti bejana terbalik, tak bisa mengenali kebaikan dan tak bisa mengingkari kemungkaran, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)Inilah pentingnya menjaga hati dari terpaan fitnah dunia—baik berupa syahwat maupun syubhat—agar tetap bersih dan kokoh dalam keimanan.2. Keteguhan di Medan Jihad dan PerjuanganSalah satu bentuk tsabat adalah berani tetap bertahan di medan kebenaran, bahkan saat nyawa menjadi taruhannya. Allah memerintahkan,﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ﴾“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menghadapi pasukan musuh, maka tetaplah teguh (jangan mundur).” (QS. Al-Anfal: 45)Mundur dari medan jihad adalah salah satu dosa besar. Nabi ﷺ bersabda,وَإِيَّاكَ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ وَإِنْ هَلَكَ النَّاسُ“Waspadalah terhadap lari dari medan tempur, sekalipun orang-orang di sekitarmu binasa.” (HR. Ahmad)Ini menunjukkan bahwa keberanian dan keteguhan dalam membela kebenaran adalah bentuk tertinggi dari istiqamah.3. Keteguhan di Atas Prinsip dan Jalan HidupAda orang yang hanya bertahan di permukaan Islam, tapi mudah goyah saat diuji. Tapi orang yang benar-benar istiqamah adalah mereka yang berpegang teguh pada jalan kebenaran sampai akhir.Allah memuji mereka:مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلً“Di antara orang-orang beriman ada yang menepati janjinya kepada Allah… dan mereka tidak merubah komitmennya sedikit pun.” (QS. Al-Ahzab: 23)Bagi mereka, prinsip lebih berharga dari nyawa. Tak tergoda dunia, tak goyah oleh tekanan. Mereka memilih mati dalam kebenaran daripada hidup dalam kemunafikan.4. Keteguhan di Saat KematianPuncak dari istiqamah adalah tetap berada di atas kebenaran saat ajal menjemput. Allah menjanjikan bagi orang-orang yang istiqamah:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat tauhid) di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Juga dalam ayat lain:﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…﴾“Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami adalah Allah’ lalu mereka istiqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka seraya berkata: Jangan takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepadamu…” (QS. Fussilat: 30–31)Sering kita dengar cerita nyata tentang orang saleh yang wafat dengan senyum, harum baunya, ringan lisannya mengucap syahadat—semua itu adalah buah dari istiqamah sepanjang hidupnya. 15 Kiat Istiqamah di Jalan AllahIstiqamah atau tsabat bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan batin, latihan rohani, dan bimbingan dari Allah. Berikut 15 kiat yang bisa kita amalkan agar tetap teguh di jalan Islam:1. Mendekat pada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah tali kokoh yang menyambungkan kita dengan Allah. Ia penuntun yang tak pernah menyesatkan. Siapa yang berpegang teguh padanya, Allah akan menjaga dan meneguhkannya. Al-Qur’an menenangkan hati, menguatkan langkah, dan menunjukkan jalan keluar dalam gelapnya ujian hidup.2. Komitmen pada Syariat dan Amal SalehAllah berfirman:﴿يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ﴾“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)Amal saleh adalah energi ruhani yang menguatkan iman.3. Meneladani Kisah Para NabiAllah menyebut dalam Al-Qur’an:﴿وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ … مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ﴾“Setiap kisah para rasul Kami ceritakan padamu agar hatimu teguh.” (QS. Hud: 120)Belajar dari perjuangan para Nabi membuat kita sadar: jalan ini pernah mereka tempuh dengan sabar dan yakin.4. Memperbanyak DoaDoa adalah senjata seorang mukmin. Nabi ﷺ sendiri sering berdoa:«يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»(“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” – HR. Tirmidzi)Jangan sepelekan kekuatan doa dalam menjaga keistiqamahan hati.5. Berdzikir dan Mengingat AllahAllah memerintahkan:﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا﴾“Wahai orang-orang beriman, jika kalian bertemu pasukan musuh, teguhkanlah hati dan perbanyaklah dzikir kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 45)Dzikir menjaga hati tetap hidup dan sadar akan tujuan.6. Berjalan di Jalan yang BenarJalan Nabi ﷺ adalah jalan paling aman. Jalan para salaf, jalan ahli sunnah wal jamaah, adalah jalan selamat. Siapa yang menempuhnya, ia akan selalu dibimbing oleh cahaya.7. Menempuh Proses Tarbiyah (Pendidikan Iman)Tarbiyah yang bertahap, mendalam, dan berkelanjutan adalah pilar penting dalam menjaga keistiqamahan. Iman tidak bisa instan, ia perlu dibina perlahan, penuh kesadaran dan ilmu.8. Yakin dengan Jalan yang DitempuhSemakin kita yakin bahwa jalan yang kita ambil benar—jalan para nabi, shiddiqin, ulama, dan syuhada—maka rasa sepi akan berganti dengan ketenangan. Karena kita tahu, kita tidak sendirian.9. Aktif BerdakwahJiwa manusia butuh bergerak. Dakwah adalah bentuk pengabdian yang menjaga hati tetap hidup. Allah memerintahkan:﴿فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ﴾“Maka berdakwahlah dan istiqamahlah.” (QS. Asy-Syura: 15)10. Dekat dengan Orang-orang yang MenguatkanAda manusia yang menjadi pembuka kebaikan. Nabi ﷺ bersabda:«طُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ»“Beruntunglah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)Dekatlah dengan ulama, orang saleh, dan sahabat yang mengingatkan kita kepada akhirat.11. Percaya Penuh Akan Pertolongan Allah dan Masa Depan IslamAllah akan menolong orang yang sabar. Lihatlah bagaimana para pejuang iman terdahulu diuji hingga ke titik darah penghabisan, namun tak sedikitpun mereka goyah. Rasul ﷺ bersabda:“Demi Allah, agama ini akan Allah sempurnakan…” (HR. Bukhari)12. Mengenali Hakikat Kebatilan dan Tidak Terkecoh DuniaDunia bisa menggoda. Tapi ingatlah sabda Al-Qur’an:﴿لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ﴾“Jangan sampai engkau tertipu oleh kelap-kelipnya kehidupan orang kafir di dunia.” (QS. Ali Imran: 196)13. Menumbuhkan Akhlak Pendukung IstiqamahRasulullah ﷺ bersabda:«مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ…»“Siapa yang bersabar, Allah akan menjadikannya sabar.” (HR. Bukhari)Latihlah diri untuk sabar, qana’ah, menjaga iffah, dan tidak mudah terombang-ambing.14. Mendengarkan Nasihat dari Orang ShalihKetika hati goyah, Allah kadang mengirimkan orang shalih untuk meneguhkanmu. Nasihat mereka bisa menjadi cahaya dalam kegelapan.15. Mengingat Surga, Neraka, dan KematianBayangan surga akan menguatkan semangat. Ingatan akan neraka akan membuat kita takut melenceng. Dan kesadaran akan kematian membuat kita selalu waspada dan rendah hati.Baca Juga:Hadits Arbain #21: Beriman kepada Allah dan IstiqamahlahKiat Agar Tetap Istiqomah (Seri 1)  Tagsistiqamah kiat istiqamah

Sejarah Perang Mu’tah: Sebab Terjadi, Jalannya Pertempuran, dan Kemenangan Kaum Muslimin

Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran besar yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah, antara kaum muslimin dan pasukan Romawi di wilayah Syam (sekarang Yordania). Perang ini meletus setelah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Harits bin Umair Al-Azdi, dibunuh secara keji oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Rasulullah pun mengirim pasukan berkekuatan 3.000 orang sahabat untuk memberi balasan, meski harus menghadapi 200.000 tentara Romawi dan sekutunya. Pertempuran berlangsung sengit hingga tiga panglima kaum muslimin gugur secara bergantian sebelum Khalid bin Walid memimpin dan berhasil membawa pasukan pulang dengan kemenangan. Meski menghadapi musuh yang jauh lebih besar, kaum muslimin hanya kehilangan kurang dari sepuluh prajurit, sebuah tanda pertolongan Allah yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tah 2. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?  Para ahli sejarah kehidupan Nabi (sirah) menyebut bahwa peristiwa ini termasuk dalam kategori ghazwah, yaitu peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Namun sebenarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikut serta dalam peperangan ini. Meski begitu, jumlah pasukan yang terlibat sangat besar, mencapai 3.000 orang sahabat. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan sebagian besar peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perang ini berlangsung pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah. Disebut “Perang Mu’tah” karena terjadi di daerah yang bernama Mu’tah, sebuah desa di kawasan Balqa’, wilayah Syam (kini termasuk Yordania). Secara geografis, lokasi tersebut berada di dekat kota Karak, sebelah timur Sungai Yordan. Sekarang tempat itu menjadi bagian dari kota Mu’tah, provinsi Al-Karak, Yordania.Latar belakang terjadinya perang ini bermula ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azdi untuk membawa surat dakwah kepada penguasa Bashrah. Namun di tengah jalan, ia dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Utusan Rasulullah tersebut ditangkap, diikat, dan dibunuh. Ketika mendengar kabar itu, Rasulullah sangat marah karena tindakan membunuh utusan merupakan pelanggaran berat. Maka beliau mengirim pasukan untuk memberi balasan, dan menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima. Beliau juga bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far juga terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.”Saat pasukan siap berangkat, kaum muslimin mengiringi mereka dengan penuh semangat dan doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pesan kepada mereka agar singgah di tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair, dan menyeru penduduk di sana kepada Islam. Jika mereka menerima dakwah, maka berdamailah. Namun jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangi mereka.Dalam momen itu, Abdullah bin Rawahah terlihat menangis. Ketika ditanya alasannya, ia berkata, “Demi Allah! Aku menangis bukan karena ingin berpisah dengan kalian atau karena cinta dunia. Tapi aku teringat satu ayat yang pernah dibacakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang neraka. Allah berfirman:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan pasti akan mendatanginya (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.’ (QS. Maryam: 71)“Aku tidak tahu bagaimana nasibku saat melewati tempat itu.” Mendengar ucapannya, kaum muslimin pun menenangkan dan menguatkannya, “Allah pasti akan membersamai kalian dan menyelamatkan kalian saat melewati jembatan neraka itu, sebagai orang-orang yang saleh.”Setelah itu, Abdullah bin Rawahah melantunkan bait syair dengan semangat:Aku hanya memohon ampunan pada Ar-Rahman Juga sabetan pedang yang telah menghapus noda Atau tikaman tanganku yang perkasa Dengan tombak yang merobek perut dan dada Hingga ketika orang melintas makamku berkata: ‘Allah telah membimbingnya, pejuang yang mendapat hidayah.’Pasukan kaum muslimin pun berangkat, diiringi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengantar mereka hingga ke perbatasan Tsaniyatul Wada’. Di sana beliau berhenti untuk melepas keberangkatan mereka dengan penuh doa dan harapan.Sementara itu, Raja Romawi mendapatkan kabar tentang pergerakan pasukan Islam. Ia segera mempersiapkan pasukan besar untuk menghadang mereka. Sebanyak 100.000 tentara dikerahkan di bawah pimpinan Heraklius, dengan tambahan bala bantuan dari berbagai suku seperti Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, Wabil, hingga total pasukan mencapai 200.000 orang.Mendengar jumlah musuh yang begitu besar, pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang berkumpul di Ma’an dan melakukan musyawarah selama dua hari. Sebagian di antara mereka mengusulkan, “Mari kita kirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan jumlah pasukan musuh. Mungkin beliau akan mengirimkan bala bantuan tambahan, atau memerintahkan kita untuk tetap melanjutkan misi ini.”Di tengah perbincangan yang penuh kegelisahan itu, Abdullah bin Rawahah tampil untuk menyemangati pasukan. Ia berkata dengan lantang, “Wahai para prajurit! Bukankah yang kalian takutkan justru adalah sesuatu yang kalian rindukan ketika berangkat ke medan perang? Yaitu syahadah (mati syahid). Kita tidak pernah menang karena jumlah atau kekuatan kita yang besar, tetapi karena agama ini—semangat iman yang Allah jadikan sebagai kemuliaan kita. Maka majulah! Kita hanya punya dua pilihan yang sama-sama baik: menang atau mati syahid!”Kata-kata itu menggugah hati para prajurit. Mereka pun menyahut dengan penuh semangat, “Demi Allah! Sungguh benar apa yang engkau ucapkan, wahai Abdullah bin Rawahah!” Akhirnya, pasukan sepakat untuk meneruskan perjalanan. Mereka maju menghadapi musuh hingga tiba di Masyarif. Pasukan Heraklius bergerak mendekat, sementara kaum muslimin masuk ke perkampungan Mu’tah, membangun markas militer, dan bersiap-siap melancarkan serangan.Di medan Mu’tah, kedua pasukan akhirnya bertemu. Pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang harus menghadapi gempuran dahsyat dari 200.000 tentara Romawi. Pertempuran yang berat pun terjadi. Panglima kaum muslimin, Zaid bin Al-Haritsah, gugur sebagai syuhada setelah memimpin pasukan dengan gagah berani.Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas. Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’” Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia pun syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.Ketika panji pasukan dipegang oleh Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan bahwa Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”Pada malam hari, Khalid mulai menyusun strategi untuk mengecoh musuh. Pagi harinya, ia mengatur ulang barisan pasukan: posisi pasukan depan dipindah ke belakang, pasukan belakang maju ke depan, yang berada di sayap kiri digeser ke kanan, dan yang di sayap kanan dipindah ke kiri. Pergeseran posisi ini membuat musuh tidak lagi mengenali pasukan kaum muslimin. Mereka menyangka pasukan bantuan telah datang dari Madinah. Dengan perasaan gentar, pasukan musuh pun menjadi takut dan memilih mundur.Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berduka atas gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hadapan para sahabat, bahkan sebelum berita kematian mereka sampai, beliau bersabda dengan mata yang berlinang, “Panji telah diambil oleh Zaid, dan ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji dipegang oleh Ja’far, dan ia pun gugur sebagai syahid. Setelah itu diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia juga gugur sebagai syahid. Hingga akhirnya panji itu diambil oleh salah satu pedang Allah, lalu Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.”Meski pertempuran berlangsung sengit dan pasukan musuh sangat besar, jumlah syuhada di pihak kaum muslimin kurang dari sepuluh orang. Sementara jumlah korban dari pihak musuh tidak diketahui secara pasti, namun melihat kondisi pertempuran, jumlahnya pasti sangat banyak. Salah satu tandanya adalah sembilan pedang yang patah di tangan Khalid bin Walid, sebagaimana yang beliau sebutkan. Dengan izin Allah, kaum muslimin akhirnya kembali dari medan Mu’tah membawa kemenangan. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tahPertama: Membunuh seorang utusan atau delegasi merupakan tindakan kejahatan besar. Sejak zaman dahulu, telah menjadi aturan tak tertulis bahwa utusan tidak boleh disakiti, apalagi dibunuh. Namun, Syurahbil Al-Ghassani melanggar norma ini dengan membunuh utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tak bersenjata dan tidak berdaya.Tindakan ini jelas tidak bisa dibiarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merespons dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar sebagai bentuk pembelaan atas terbunuhnya seorang muslim yang sedang menjalankan misi dakwah kepada penguasa Bashrah.Kedua: Perang Mu’tah menjadi momen pertama kali kaum muslimin berhadapan langsung dengan pasukan Romawi dalam sebuah jihad di jalan Allah. Dengan pertolongan Allah, kemenangan pun berpihak kepada kaum muslimin. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dari wilayah Syam, hingga akhirnya wilayah itu menjadi bagian dari negeri Islam.Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam ekspedisi Mu’tah. Padahal, Zaid adalah seorang mantan budak, sementara dalam barisan pasukan terdapat tokoh-tokoh terhormat seperti Ja’far bin Abi Thalib—sepupu Nabi sendiri—juga Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah sahabat mulia lainnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menilai seseorang berdasarkan status sosial, keturunan, atau latar belakangnya, melainkan berdasarkan kualitas iman dan takwa.Sikap ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۗ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)Dengan kata lain, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata didasarkan pada kemaslahatan umat dan ketakwaan orang yang ditunjuk, bukan karena keturunan atau asal-usulnya.Keempat: Pertempuran antara kaum muslimin dan pasukan Romawi yang terkenal besar dan ditakuti menjadi titik balik yang menggetarkan banyak kabilah Arab. Melihat keberanian dan kekuatan kaum muslimin menghadapi lawan sebesar itu, banyak kabilah yang sebelumnya ragu akhirnya merasa gentar dan tak lagi memusuhi Islam. Bahkan, sebagian besar dari mereka kemudian masuk Islam setelah menyaksikan kejadian ini.Kelima: Sikap Abdullah bin Rawahah –raḍiyallāhu ‘anhu– yang menangis ketika mengingat sebuah ayat Al-Qur’an menunjukkan betapa dalamnya keimanan beliau. Ia sadar betul akan kenyataan berat yang menanti setiap manusia di akhirat, sehingga hatinya luluh dan matanya menangis.Ayat yang membuatnya menangis adalah firman Allah Ta‘ala:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا“Dan tidak ada seorang pun dari kamu, melainkan akan mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)Ayat ini mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan melewati neraka, meski pada akhirnya orang beriman akan diselamatkan oleh Allah. Abdullah bin Rawahah tidak sekadar memahami maknanya, tapi benar-benar merenungkannya hingga membekas dalam jiwa. Ini menjadi teladan bagi kita semua, bahwa keimanan yang kuat akan membuat seseorang lebih takut kepada akhirat dan lebih sungguh-sungguh mempersiapkan bekalnya.Keenam: Para sahabat memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap janji kemenangan dari Allah. Ketika mereka maju ke medan perang, yang jadi pegangan bukanlah hitung-hitungan jumlah atau kekuatan musuh. Mereka tidak gentar meskipun tahu bahwa pasukan lawan jauh lebih besar. Mereka tetap maju karena yang mereka andalkan adalah iman yang kokoh di dalam hati, dan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah akan datang kepada mereka.Ketujuh: Salah satu keutamaan Ja’far bin Abi Thalib –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak jelas di medan perang. Meski kedua tangannya telah putus akibat sabetan musuh, ia tidak rela panji Islam jatuh ke tanah. Dengan sisa kekuatannya, ia dekap panji itu ke dadanya, mempertahankannya tetap tegak hingga akhirnya beliau gugur sebagai syuhada. Karena pengorbanan luar biasa itu, Allah memberinya balasan istimewa: dua sayap di surga yang membuatnya bisa terbang ke mana pun ia mau. Semoga Allah selalu meridhainya.Kedelapan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada para sahabat tentang jalannya Perang Mu’tah—bahwa tiga panglima gugur sebagai syahid, lalu kepemimpinan beralih kepada Khalid bin Walid, hingga akhirnya pasukan muslimin meraih kemenangan. Padahal semua itu terjadi jauh dari Madinah dan belum ada utusan yang datang membawa kabar. Ini menjadi salah satu bukti nyata dari sekian banyak tanda kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Kesembilan: Salah satu keutamaan besar yang dimiliki Khalid bin Walid –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak dalam Perang Mu’tah. Dalam pertempuran itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai “Pedang Allah” karena keberaniannya dan kepiawaiannya memimpin pasukan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah memberikan kemenangan melalui tangannya.” Julukan dan pengakuan ini menunjukkan bahwa Khalid adalah panglima hebat yang memainkan peran penting dalam kemenangan kaum muslimin.Kesepuluh: Perang Mu’tah menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Ini adalah pertempuran pertama mereka melawan kekuatan besar seperti Romawi. Dari peristiwa ini, kaum muslimin bisa belajar mengenali karakter musuh, memahami strategi tempur yang digunakan, dan menyesuaikan taktik sesuai kondisi medan serta wilayah yang dihadapi. Pengalaman ini menjadi bekal penting untuk jihad-jihad selanjutnya.Kesebelas: Besarnya duka yang dirasakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far juga gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far adalah sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang ikut hijrah ke Habasyah.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kabar gugurnya mereka, beliau bersabda:“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang lebih membuatku gembira: kedatangan Ja’far, atau pembukaan (kemenangan) Khaibar?”Namun keduanya tidak datang. Justru kabar duka yang tiba: Ja’far –semoga Allah meridhainya– gugur setelah peristiwa Khaibar. Maka tidak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kegembiraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ja’far dan pembukaan Khaibar, kecuali kabar gugurnya mereka yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berduka. Mereka berdua—Zaid dan Ja’far—dibawa kabarnya dalam satu waktu.Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan gugurnya tiga panglima tersebut: Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah –semoga Allah meridhai mereka semua–.Kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang, air matanya menetes saat beliau menyampaikan kabar itu. Hati beliau turut bersedih.Maka semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, dan semoga Allah memberikan balasan terbaik atas jasa-jasa mereka, serta memberikan balasan yang sama kepada kita semua. Semoga kita dikumpulkan bersama mereka pada hari telaga Nabi dan di surga Firdaus yang tertinggi.Kedua belas: Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallāhu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3:280, dinilai hasan oleh Al-Albani)Ini adalah contoh nyata perhatian terhadap orang yang tertimpa musibah, serta bentuk empati dengan ikut meringankan beban mereka.Hadis ini juga menunjukkan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya: menghibur dan membantu ketika tertimpa musibah. Ini adalah hal yang patut terus diingat dan diamalkan oleh setiap muslim.Di masa sekarang, anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sering diwujudkan dengan takziyah sambil membawa bahan makanan, seperti beras, gula, teh, kelapa, atau bahkan uang tunai. Lalu, bahan tersebut biasanya dimasak oleh para tetangga dan dibagikan kepada pelayat yang hadir. Bila hal ini dilakukan tanpa memberatkan keluarga yang sedang berduka dan dalam kadar yang wajar, maka tidaklah termasuk hal yang tercela, bahkan menjadi bentuk kebersamaan dan gotong royong yang dianjurkan.Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:“Jika memang diperlukan, seperti banyaknya pelayat yang datang dari jauh, maka tidak mengapa menyediakan makanan bagi mereka.”Larangan Membebani Ahlul MayitNamun, para sahabat melarang bila justru keluarga mayit yang membuat dan menyuguhkan makanan untuk para pelayat—apalagi setelah pemakaman—karena dikhawatirkan menambah beban di tengah kondisi duka.Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan:كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah pemakaman termasuk bagian dari ratapan (niyāhah).” (HR. Ahmad)Demikian pula dalam riwayat Ibnu Mājah, Umar bin Khattab –raḍiyallāhu ‘anhu– pernah menegur praktik serupa:رُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: وَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَلِكَ النَّوْحُ“Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya: ‘Apakah mayit kalian diratapi?’ Jarir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi: ‘Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan?’ Jarir menjawab: ‘Iya.’ Maka Umar berkata: ‘Itu adalah bentuk ratapan.’” (HR. Ibnu Mājah)Maka kesimpulannya, membantu keluarga duka dengan membawa bahan makanan atau membantu memasak adalah sunnah jika tidak membebani mereka. Namun, jika keluarga mayit yang malah dipaksa menjamu tamu, apalagi disertai batasan waktu seperti tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari, maka praktik seperti itu menyerupai tradisi meratap (niyāhah) yang dilarang.Prinsipnya adalah: selama tidak berlebihan, tidak memberatkan, dan tidak disertai keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya, maka hal itu dibolehkan. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?Para ulama ahli sirah berbeda pendapat dalam menyimpulkan hasil dari pertempuran ini, karena tidak ada pihak yang benar-benar menang mutlak. Jumlah pasukan dari kedua kubu seimbang. Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bahwa masing-masing pihak mengklaim kemenangan atas pihak lain.Al-Baihaqi rahimahullah berkata:“Para ahli maghazi (sejarah peperangan Nabi) berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaum Muslimin mundur dan mundurnya itu disebut kemenangan karena bertahan hidup. Sebagian lain berpendapat bahwa kaum Muslimin menang dan berhasil mengalahkan pasukan musyrikin. Ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:‘Kemudian Khalid mengambil panji lalu ia menang (فتح الله عليه).’”Hal ini menunjukkan bahwa Khalid mendapatkan kemenangan. Wallahu a‘lam mana yang lebih tepat.Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:“Pendapat ini bisa dikompromikan dengan riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat lainnya. Khalid bin Walid mengambil panji lalu ia memimpin sayap pasukan Muslimin, dan berhasil menyelamatkan mereka dari kepungan pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya. Ketika pagi hari datang, posisi pasukan Muslimin telah berubah; mereka berada di sayap kanan, kiri, dan tengah. Kaum Romawi mengira telah datang bala bantuan baru kepada kaum Muslimin, sehingga mereka menjadi gentar. Lalu Khalid pun menyerang mereka, dan Allah mengalahkan mereka melalui tangannya.”Bagaimanapun keadaannya, sikap berani para sahabat –semoga Allah meridhai mereka– dalam menghadapi pasukan Romawi yang besar, lengkap dengan jumlah dan perlengkapannya, menunjukkan keteguhan dan ketegaran mereka. Mereka tahu betapa besarnya kekuatan lawan, namun tetap berdiri tegak tanpa gentar.Padahal jumlah pasukan Islam saat itu sangat kecil. Bahkan dari seluruh pasukan, yang gugur hanya 12 orang. Sementara dari pihak Romawi dan sekutunya, dikatakan bahwa seribu pasukan mereka tewas. Ini menunjukkan bahwa dari segi jumlah korban, pasukan musuh jauh lebih banyak yang jatuh.Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebut nama-nama para syuhada di Perang Mu’tah:“Totalnya hanya dua belas orang yang gugur. Ini luar biasa. Sebab dua pasukan besar yang berhadapan, salah satunya adalah pasukan yang berjuang di jalan Allah, berjumlah 3.000 personel. Sedangkan yang satu lagi adalah pasukan kafir dari Romawi dan sekutunya, berjumlah 100.000 orang, ditambah 100.000 lagi dari sekutu mereka bangsa Arab. Mereka semua bersatu untuk melawan kaum muslimin. Namun tetap saja, jumlah syuhada dari kaum muslimin tidak lebih dari 12 orang, padahal jumlah musuh yang terbunuh jauh lebih banyak. Hal ini sungguh menakjubkan.”Khalid bin Walid bahkan berkata:“Sungguh, aku kehilangan sembilan pedang dalam pertempuran ini. Tidak tersisa di tanganku kecuali pedang buatan Yaman.”Apa yang bisa kita katakan melihat keberanian para sahabat ini? Mereka adalah para pahlawan sejati, orang-orang pemberani, penghafal Al-Qur’an, dan para kekasih Allah yang memiliki semangat jihad yang luar biasa. Mereka berjuang membela agama ini pada zaman yang penuh kegelapan.Ibnu Katsir kemudian mengutip firman Allah Ta’ala:{قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ}“Sungguh, telah ada tanda (kekuasaan Allah) pada dua kelompok yang saling berhadapan: satu kelompok berperang di jalan Allah, sedangkan yang lain kafir. Mereka (orang kafir) melihat (kaum muslimin) dua kali lipat dari mereka menurut pandangan mata. Dan Allah memberi pertolongan kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Āli ‘Imrān: 13)Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Dzaturriqa’ – Strategi Nabi Muhammad Menghadapi GhathafanFaedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya—- Ditulis pada Jumat Sore, 7 Safar 1447 H, 1 Agustus 2025@ Darush Sholihin Pangggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskemenangan kaum muslimin khalid bin walid di perang mu’tah kisah perang mu’tah pelajaran dari perang mu’tah peperangan dalam islam perang perang di syam perang mu'tah perang mu’tah melawan romawi perang mu’tah tahun 8 hijriah sejarah nabi muhammad sejarah perang mu’tah sirah sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang khalid bin walid syahidnya abdullah bin rawahah syahidnya ja’far bin abi thalib syahidnya zaid bin haritsah

Sejarah Perang Mu’tah: Sebab Terjadi, Jalannya Pertempuran, dan Kemenangan Kaum Muslimin

Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran besar yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah, antara kaum muslimin dan pasukan Romawi di wilayah Syam (sekarang Yordania). Perang ini meletus setelah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Harits bin Umair Al-Azdi, dibunuh secara keji oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Rasulullah pun mengirim pasukan berkekuatan 3.000 orang sahabat untuk memberi balasan, meski harus menghadapi 200.000 tentara Romawi dan sekutunya. Pertempuran berlangsung sengit hingga tiga panglima kaum muslimin gugur secara bergantian sebelum Khalid bin Walid memimpin dan berhasil membawa pasukan pulang dengan kemenangan. Meski menghadapi musuh yang jauh lebih besar, kaum muslimin hanya kehilangan kurang dari sepuluh prajurit, sebuah tanda pertolongan Allah yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tah 2. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?  Para ahli sejarah kehidupan Nabi (sirah) menyebut bahwa peristiwa ini termasuk dalam kategori ghazwah, yaitu peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Namun sebenarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikut serta dalam peperangan ini. Meski begitu, jumlah pasukan yang terlibat sangat besar, mencapai 3.000 orang sahabat. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan sebagian besar peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perang ini berlangsung pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah. Disebut “Perang Mu’tah” karena terjadi di daerah yang bernama Mu’tah, sebuah desa di kawasan Balqa’, wilayah Syam (kini termasuk Yordania). Secara geografis, lokasi tersebut berada di dekat kota Karak, sebelah timur Sungai Yordan. Sekarang tempat itu menjadi bagian dari kota Mu’tah, provinsi Al-Karak, Yordania.Latar belakang terjadinya perang ini bermula ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azdi untuk membawa surat dakwah kepada penguasa Bashrah. Namun di tengah jalan, ia dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Utusan Rasulullah tersebut ditangkap, diikat, dan dibunuh. Ketika mendengar kabar itu, Rasulullah sangat marah karena tindakan membunuh utusan merupakan pelanggaran berat. Maka beliau mengirim pasukan untuk memberi balasan, dan menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima. Beliau juga bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far juga terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.”Saat pasukan siap berangkat, kaum muslimin mengiringi mereka dengan penuh semangat dan doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pesan kepada mereka agar singgah di tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair, dan menyeru penduduk di sana kepada Islam. Jika mereka menerima dakwah, maka berdamailah. Namun jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangi mereka.Dalam momen itu, Abdullah bin Rawahah terlihat menangis. Ketika ditanya alasannya, ia berkata, “Demi Allah! Aku menangis bukan karena ingin berpisah dengan kalian atau karena cinta dunia. Tapi aku teringat satu ayat yang pernah dibacakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang neraka. Allah berfirman:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan pasti akan mendatanginya (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.’ (QS. Maryam: 71)“Aku tidak tahu bagaimana nasibku saat melewati tempat itu.” Mendengar ucapannya, kaum muslimin pun menenangkan dan menguatkannya, “Allah pasti akan membersamai kalian dan menyelamatkan kalian saat melewati jembatan neraka itu, sebagai orang-orang yang saleh.”Setelah itu, Abdullah bin Rawahah melantunkan bait syair dengan semangat:Aku hanya memohon ampunan pada Ar-Rahman Juga sabetan pedang yang telah menghapus noda Atau tikaman tanganku yang perkasa Dengan tombak yang merobek perut dan dada Hingga ketika orang melintas makamku berkata: ‘Allah telah membimbingnya, pejuang yang mendapat hidayah.’Pasukan kaum muslimin pun berangkat, diiringi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengantar mereka hingga ke perbatasan Tsaniyatul Wada’. Di sana beliau berhenti untuk melepas keberangkatan mereka dengan penuh doa dan harapan.Sementara itu, Raja Romawi mendapatkan kabar tentang pergerakan pasukan Islam. Ia segera mempersiapkan pasukan besar untuk menghadang mereka. Sebanyak 100.000 tentara dikerahkan di bawah pimpinan Heraklius, dengan tambahan bala bantuan dari berbagai suku seperti Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, Wabil, hingga total pasukan mencapai 200.000 orang.Mendengar jumlah musuh yang begitu besar, pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang berkumpul di Ma’an dan melakukan musyawarah selama dua hari. Sebagian di antara mereka mengusulkan, “Mari kita kirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan jumlah pasukan musuh. Mungkin beliau akan mengirimkan bala bantuan tambahan, atau memerintahkan kita untuk tetap melanjutkan misi ini.”Di tengah perbincangan yang penuh kegelisahan itu, Abdullah bin Rawahah tampil untuk menyemangati pasukan. Ia berkata dengan lantang, “Wahai para prajurit! Bukankah yang kalian takutkan justru adalah sesuatu yang kalian rindukan ketika berangkat ke medan perang? Yaitu syahadah (mati syahid). Kita tidak pernah menang karena jumlah atau kekuatan kita yang besar, tetapi karena agama ini—semangat iman yang Allah jadikan sebagai kemuliaan kita. Maka majulah! Kita hanya punya dua pilihan yang sama-sama baik: menang atau mati syahid!”Kata-kata itu menggugah hati para prajurit. Mereka pun menyahut dengan penuh semangat, “Demi Allah! Sungguh benar apa yang engkau ucapkan, wahai Abdullah bin Rawahah!” Akhirnya, pasukan sepakat untuk meneruskan perjalanan. Mereka maju menghadapi musuh hingga tiba di Masyarif. Pasukan Heraklius bergerak mendekat, sementara kaum muslimin masuk ke perkampungan Mu’tah, membangun markas militer, dan bersiap-siap melancarkan serangan.Di medan Mu’tah, kedua pasukan akhirnya bertemu. Pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang harus menghadapi gempuran dahsyat dari 200.000 tentara Romawi. Pertempuran yang berat pun terjadi. Panglima kaum muslimin, Zaid bin Al-Haritsah, gugur sebagai syuhada setelah memimpin pasukan dengan gagah berani.Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas. Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’” Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia pun syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.Ketika panji pasukan dipegang oleh Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan bahwa Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”Pada malam hari, Khalid mulai menyusun strategi untuk mengecoh musuh. Pagi harinya, ia mengatur ulang barisan pasukan: posisi pasukan depan dipindah ke belakang, pasukan belakang maju ke depan, yang berada di sayap kiri digeser ke kanan, dan yang di sayap kanan dipindah ke kiri. Pergeseran posisi ini membuat musuh tidak lagi mengenali pasukan kaum muslimin. Mereka menyangka pasukan bantuan telah datang dari Madinah. Dengan perasaan gentar, pasukan musuh pun menjadi takut dan memilih mundur.Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berduka atas gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hadapan para sahabat, bahkan sebelum berita kematian mereka sampai, beliau bersabda dengan mata yang berlinang, “Panji telah diambil oleh Zaid, dan ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji dipegang oleh Ja’far, dan ia pun gugur sebagai syahid. Setelah itu diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia juga gugur sebagai syahid. Hingga akhirnya panji itu diambil oleh salah satu pedang Allah, lalu Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.”Meski pertempuran berlangsung sengit dan pasukan musuh sangat besar, jumlah syuhada di pihak kaum muslimin kurang dari sepuluh orang. Sementara jumlah korban dari pihak musuh tidak diketahui secara pasti, namun melihat kondisi pertempuran, jumlahnya pasti sangat banyak. Salah satu tandanya adalah sembilan pedang yang patah di tangan Khalid bin Walid, sebagaimana yang beliau sebutkan. Dengan izin Allah, kaum muslimin akhirnya kembali dari medan Mu’tah membawa kemenangan. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tahPertama: Membunuh seorang utusan atau delegasi merupakan tindakan kejahatan besar. Sejak zaman dahulu, telah menjadi aturan tak tertulis bahwa utusan tidak boleh disakiti, apalagi dibunuh. Namun, Syurahbil Al-Ghassani melanggar norma ini dengan membunuh utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tak bersenjata dan tidak berdaya.Tindakan ini jelas tidak bisa dibiarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merespons dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar sebagai bentuk pembelaan atas terbunuhnya seorang muslim yang sedang menjalankan misi dakwah kepada penguasa Bashrah.Kedua: Perang Mu’tah menjadi momen pertama kali kaum muslimin berhadapan langsung dengan pasukan Romawi dalam sebuah jihad di jalan Allah. Dengan pertolongan Allah, kemenangan pun berpihak kepada kaum muslimin. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dari wilayah Syam, hingga akhirnya wilayah itu menjadi bagian dari negeri Islam.Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam ekspedisi Mu’tah. Padahal, Zaid adalah seorang mantan budak, sementara dalam barisan pasukan terdapat tokoh-tokoh terhormat seperti Ja’far bin Abi Thalib—sepupu Nabi sendiri—juga Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah sahabat mulia lainnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menilai seseorang berdasarkan status sosial, keturunan, atau latar belakangnya, melainkan berdasarkan kualitas iman dan takwa.Sikap ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۗ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)Dengan kata lain, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata didasarkan pada kemaslahatan umat dan ketakwaan orang yang ditunjuk, bukan karena keturunan atau asal-usulnya.Keempat: Pertempuran antara kaum muslimin dan pasukan Romawi yang terkenal besar dan ditakuti menjadi titik balik yang menggetarkan banyak kabilah Arab. Melihat keberanian dan kekuatan kaum muslimin menghadapi lawan sebesar itu, banyak kabilah yang sebelumnya ragu akhirnya merasa gentar dan tak lagi memusuhi Islam. Bahkan, sebagian besar dari mereka kemudian masuk Islam setelah menyaksikan kejadian ini.Kelima: Sikap Abdullah bin Rawahah –raḍiyallāhu ‘anhu– yang menangis ketika mengingat sebuah ayat Al-Qur’an menunjukkan betapa dalamnya keimanan beliau. Ia sadar betul akan kenyataan berat yang menanti setiap manusia di akhirat, sehingga hatinya luluh dan matanya menangis.Ayat yang membuatnya menangis adalah firman Allah Ta‘ala:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا“Dan tidak ada seorang pun dari kamu, melainkan akan mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)Ayat ini mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan melewati neraka, meski pada akhirnya orang beriman akan diselamatkan oleh Allah. Abdullah bin Rawahah tidak sekadar memahami maknanya, tapi benar-benar merenungkannya hingga membekas dalam jiwa. Ini menjadi teladan bagi kita semua, bahwa keimanan yang kuat akan membuat seseorang lebih takut kepada akhirat dan lebih sungguh-sungguh mempersiapkan bekalnya.Keenam: Para sahabat memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap janji kemenangan dari Allah. Ketika mereka maju ke medan perang, yang jadi pegangan bukanlah hitung-hitungan jumlah atau kekuatan musuh. Mereka tidak gentar meskipun tahu bahwa pasukan lawan jauh lebih besar. Mereka tetap maju karena yang mereka andalkan adalah iman yang kokoh di dalam hati, dan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah akan datang kepada mereka.Ketujuh: Salah satu keutamaan Ja’far bin Abi Thalib –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak jelas di medan perang. Meski kedua tangannya telah putus akibat sabetan musuh, ia tidak rela panji Islam jatuh ke tanah. Dengan sisa kekuatannya, ia dekap panji itu ke dadanya, mempertahankannya tetap tegak hingga akhirnya beliau gugur sebagai syuhada. Karena pengorbanan luar biasa itu, Allah memberinya balasan istimewa: dua sayap di surga yang membuatnya bisa terbang ke mana pun ia mau. Semoga Allah selalu meridhainya.Kedelapan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada para sahabat tentang jalannya Perang Mu’tah—bahwa tiga panglima gugur sebagai syahid, lalu kepemimpinan beralih kepada Khalid bin Walid, hingga akhirnya pasukan muslimin meraih kemenangan. Padahal semua itu terjadi jauh dari Madinah dan belum ada utusan yang datang membawa kabar. Ini menjadi salah satu bukti nyata dari sekian banyak tanda kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Kesembilan: Salah satu keutamaan besar yang dimiliki Khalid bin Walid –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak dalam Perang Mu’tah. Dalam pertempuran itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai “Pedang Allah” karena keberaniannya dan kepiawaiannya memimpin pasukan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah memberikan kemenangan melalui tangannya.” Julukan dan pengakuan ini menunjukkan bahwa Khalid adalah panglima hebat yang memainkan peran penting dalam kemenangan kaum muslimin.Kesepuluh: Perang Mu’tah menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Ini adalah pertempuran pertama mereka melawan kekuatan besar seperti Romawi. Dari peristiwa ini, kaum muslimin bisa belajar mengenali karakter musuh, memahami strategi tempur yang digunakan, dan menyesuaikan taktik sesuai kondisi medan serta wilayah yang dihadapi. Pengalaman ini menjadi bekal penting untuk jihad-jihad selanjutnya.Kesebelas: Besarnya duka yang dirasakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far juga gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far adalah sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang ikut hijrah ke Habasyah.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kabar gugurnya mereka, beliau bersabda:“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang lebih membuatku gembira: kedatangan Ja’far, atau pembukaan (kemenangan) Khaibar?”Namun keduanya tidak datang. Justru kabar duka yang tiba: Ja’far –semoga Allah meridhainya– gugur setelah peristiwa Khaibar. Maka tidak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kegembiraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ja’far dan pembukaan Khaibar, kecuali kabar gugurnya mereka yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berduka. Mereka berdua—Zaid dan Ja’far—dibawa kabarnya dalam satu waktu.Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan gugurnya tiga panglima tersebut: Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah –semoga Allah meridhai mereka semua–.Kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang, air matanya menetes saat beliau menyampaikan kabar itu. Hati beliau turut bersedih.Maka semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, dan semoga Allah memberikan balasan terbaik atas jasa-jasa mereka, serta memberikan balasan yang sama kepada kita semua. Semoga kita dikumpulkan bersama mereka pada hari telaga Nabi dan di surga Firdaus yang tertinggi.Kedua belas: Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallāhu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3:280, dinilai hasan oleh Al-Albani)Ini adalah contoh nyata perhatian terhadap orang yang tertimpa musibah, serta bentuk empati dengan ikut meringankan beban mereka.Hadis ini juga menunjukkan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya: menghibur dan membantu ketika tertimpa musibah. Ini adalah hal yang patut terus diingat dan diamalkan oleh setiap muslim.Di masa sekarang, anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sering diwujudkan dengan takziyah sambil membawa bahan makanan, seperti beras, gula, teh, kelapa, atau bahkan uang tunai. Lalu, bahan tersebut biasanya dimasak oleh para tetangga dan dibagikan kepada pelayat yang hadir. Bila hal ini dilakukan tanpa memberatkan keluarga yang sedang berduka dan dalam kadar yang wajar, maka tidaklah termasuk hal yang tercela, bahkan menjadi bentuk kebersamaan dan gotong royong yang dianjurkan.Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:“Jika memang diperlukan, seperti banyaknya pelayat yang datang dari jauh, maka tidak mengapa menyediakan makanan bagi mereka.”Larangan Membebani Ahlul MayitNamun, para sahabat melarang bila justru keluarga mayit yang membuat dan menyuguhkan makanan untuk para pelayat—apalagi setelah pemakaman—karena dikhawatirkan menambah beban di tengah kondisi duka.Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan:كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah pemakaman termasuk bagian dari ratapan (niyāhah).” (HR. Ahmad)Demikian pula dalam riwayat Ibnu Mājah, Umar bin Khattab –raḍiyallāhu ‘anhu– pernah menegur praktik serupa:رُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: وَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَلِكَ النَّوْحُ“Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya: ‘Apakah mayit kalian diratapi?’ Jarir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi: ‘Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan?’ Jarir menjawab: ‘Iya.’ Maka Umar berkata: ‘Itu adalah bentuk ratapan.’” (HR. Ibnu Mājah)Maka kesimpulannya, membantu keluarga duka dengan membawa bahan makanan atau membantu memasak adalah sunnah jika tidak membebani mereka. Namun, jika keluarga mayit yang malah dipaksa menjamu tamu, apalagi disertai batasan waktu seperti tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari, maka praktik seperti itu menyerupai tradisi meratap (niyāhah) yang dilarang.Prinsipnya adalah: selama tidak berlebihan, tidak memberatkan, dan tidak disertai keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya, maka hal itu dibolehkan. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?Para ulama ahli sirah berbeda pendapat dalam menyimpulkan hasil dari pertempuran ini, karena tidak ada pihak yang benar-benar menang mutlak. Jumlah pasukan dari kedua kubu seimbang. Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bahwa masing-masing pihak mengklaim kemenangan atas pihak lain.Al-Baihaqi rahimahullah berkata:“Para ahli maghazi (sejarah peperangan Nabi) berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaum Muslimin mundur dan mundurnya itu disebut kemenangan karena bertahan hidup. Sebagian lain berpendapat bahwa kaum Muslimin menang dan berhasil mengalahkan pasukan musyrikin. Ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:‘Kemudian Khalid mengambil panji lalu ia menang (فتح الله عليه).’”Hal ini menunjukkan bahwa Khalid mendapatkan kemenangan. Wallahu a‘lam mana yang lebih tepat.Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:“Pendapat ini bisa dikompromikan dengan riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat lainnya. Khalid bin Walid mengambil panji lalu ia memimpin sayap pasukan Muslimin, dan berhasil menyelamatkan mereka dari kepungan pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya. Ketika pagi hari datang, posisi pasukan Muslimin telah berubah; mereka berada di sayap kanan, kiri, dan tengah. Kaum Romawi mengira telah datang bala bantuan baru kepada kaum Muslimin, sehingga mereka menjadi gentar. Lalu Khalid pun menyerang mereka, dan Allah mengalahkan mereka melalui tangannya.”Bagaimanapun keadaannya, sikap berani para sahabat –semoga Allah meridhai mereka– dalam menghadapi pasukan Romawi yang besar, lengkap dengan jumlah dan perlengkapannya, menunjukkan keteguhan dan ketegaran mereka. Mereka tahu betapa besarnya kekuatan lawan, namun tetap berdiri tegak tanpa gentar.Padahal jumlah pasukan Islam saat itu sangat kecil. Bahkan dari seluruh pasukan, yang gugur hanya 12 orang. Sementara dari pihak Romawi dan sekutunya, dikatakan bahwa seribu pasukan mereka tewas. Ini menunjukkan bahwa dari segi jumlah korban, pasukan musuh jauh lebih banyak yang jatuh.Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebut nama-nama para syuhada di Perang Mu’tah:“Totalnya hanya dua belas orang yang gugur. Ini luar biasa. Sebab dua pasukan besar yang berhadapan, salah satunya adalah pasukan yang berjuang di jalan Allah, berjumlah 3.000 personel. Sedangkan yang satu lagi adalah pasukan kafir dari Romawi dan sekutunya, berjumlah 100.000 orang, ditambah 100.000 lagi dari sekutu mereka bangsa Arab. Mereka semua bersatu untuk melawan kaum muslimin. Namun tetap saja, jumlah syuhada dari kaum muslimin tidak lebih dari 12 orang, padahal jumlah musuh yang terbunuh jauh lebih banyak. Hal ini sungguh menakjubkan.”Khalid bin Walid bahkan berkata:“Sungguh, aku kehilangan sembilan pedang dalam pertempuran ini. Tidak tersisa di tanganku kecuali pedang buatan Yaman.”Apa yang bisa kita katakan melihat keberanian para sahabat ini? Mereka adalah para pahlawan sejati, orang-orang pemberani, penghafal Al-Qur’an, dan para kekasih Allah yang memiliki semangat jihad yang luar biasa. Mereka berjuang membela agama ini pada zaman yang penuh kegelapan.Ibnu Katsir kemudian mengutip firman Allah Ta’ala:{قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ}“Sungguh, telah ada tanda (kekuasaan Allah) pada dua kelompok yang saling berhadapan: satu kelompok berperang di jalan Allah, sedangkan yang lain kafir. Mereka (orang kafir) melihat (kaum muslimin) dua kali lipat dari mereka menurut pandangan mata. Dan Allah memberi pertolongan kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Āli ‘Imrān: 13)Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Dzaturriqa’ – Strategi Nabi Muhammad Menghadapi GhathafanFaedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya—- Ditulis pada Jumat Sore, 7 Safar 1447 H, 1 Agustus 2025@ Darush Sholihin Pangggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskemenangan kaum muslimin khalid bin walid di perang mu’tah kisah perang mu’tah pelajaran dari perang mu’tah peperangan dalam islam perang perang di syam perang mu'tah perang mu’tah melawan romawi perang mu’tah tahun 8 hijriah sejarah nabi muhammad sejarah perang mu’tah sirah sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang khalid bin walid syahidnya abdullah bin rawahah syahidnya ja’far bin abi thalib syahidnya zaid bin haritsah
Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran besar yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah, antara kaum muslimin dan pasukan Romawi di wilayah Syam (sekarang Yordania). Perang ini meletus setelah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Harits bin Umair Al-Azdi, dibunuh secara keji oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Rasulullah pun mengirim pasukan berkekuatan 3.000 orang sahabat untuk memberi balasan, meski harus menghadapi 200.000 tentara Romawi dan sekutunya. Pertempuran berlangsung sengit hingga tiga panglima kaum muslimin gugur secara bergantian sebelum Khalid bin Walid memimpin dan berhasil membawa pasukan pulang dengan kemenangan. Meski menghadapi musuh yang jauh lebih besar, kaum muslimin hanya kehilangan kurang dari sepuluh prajurit, sebuah tanda pertolongan Allah yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tah 2. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?  Para ahli sejarah kehidupan Nabi (sirah) menyebut bahwa peristiwa ini termasuk dalam kategori ghazwah, yaitu peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Namun sebenarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikut serta dalam peperangan ini. Meski begitu, jumlah pasukan yang terlibat sangat besar, mencapai 3.000 orang sahabat. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan sebagian besar peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perang ini berlangsung pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah. Disebut “Perang Mu’tah” karena terjadi di daerah yang bernama Mu’tah, sebuah desa di kawasan Balqa’, wilayah Syam (kini termasuk Yordania). Secara geografis, lokasi tersebut berada di dekat kota Karak, sebelah timur Sungai Yordan. Sekarang tempat itu menjadi bagian dari kota Mu’tah, provinsi Al-Karak, Yordania.Latar belakang terjadinya perang ini bermula ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azdi untuk membawa surat dakwah kepada penguasa Bashrah. Namun di tengah jalan, ia dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Utusan Rasulullah tersebut ditangkap, diikat, dan dibunuh. Ketika mendengar kabar itu, Rasulullah sangat marah karena tindakan membunuh utusan merupakan pelanggaran berat. Maka beliau mengirim pasukan untuk memberi balasan, dan menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima. Beliau juga bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far juga terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.”Saat pasukan siap berangkat, kaum muslimin mengiringi mereka dengan penuh semangat dan doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pesan kepada mereka agar singgah di tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair, dan menyeru penduduk di sana kepada Islam. Jika mereka menerima dakwah, maka berdamailah. Namun jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangi mereka.Dalam momen itu, Abdullah bin Rawahah terlihat menangis. Ketika ditanya alasannya, ia berkata, “Demi Allah! Aku menangis bukan karena ingin berpisah dengan kalian atau karena cinta dunia. Tapi aku teringat satu ayat yang pernah dibacakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang neraka. Allah berfirman:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan pasti akan mendatanginya (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.’ (QS. Maryam: 71)“Aku tidak tahu bagaimana nasibku saat melewati tempat itu.” Mendengar ucapannya, kaum muslimin pun menenangkan dan menguatkannya, “Allah pasti akan membersamai kalian dan menyelamatkan kalian saat melewati jembatan neraka itu, sebagai orang-orang yang saleh.”Setelah itu, Abdullah bin Rawahah melantunkan bait syair dengan semangat:Aku hanya memohon ampunan pada Ar-Rahman Juga sabetan pedang yang telah menghapus noda Atau tikaman tanganku yang perkasa Dengan tombak yang merobek perut dan dada Hingga ketika orang melintas makamku berkata: ‘Allah telah membimbingnya, pejuang yang mendapat hidayah.’Pasukan kaum muslimin pun berangkat, diiringi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengantar mereka hingga ke perbatasan Tsaniyatul Wada’. Di sana beliau berhenti untuk melepas keberangkatan mereka dengan penuh doa dan harapan.Sementara itu, Raja Romawi mendapatkan kabar tentang pergerakan pasukan Islam. Ia segera mempersiapkan pasukan besar untuk menghadang mereka. Sebanyak 100.000 tentara dikerahkan di bawah pimpinan Heraklius, dengan tambahan bala bantuan dari berbagai suku seperti Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, Wabil, hingga total pasukan mencapai 200.000 orang.Mendengar jumlah musuh yang begitu besar, pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang berkumpul di Ma’an dan melakukan musyawarah selama dua hari. Sebagian di antara mereka mengusulkan, “Mari kita kirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan jumlah pasukan musuh. Mungkin beliau akan mengirimkan bala bantuan tambahan, atau memerintahkan kita untuk tetap melanjutkan misi ini.”Di tengah perbincangan yang penuh kegelisahan itu, Abdullah bin Rawahah tampil untuk menyemangati pasukan. Ia berkata dengan lantang, “Wahai para prajurit! Bukankah yang kalian takutkan justru adalah sesuatu yang kalian rindukan ketika berangkat ke medan perang? Yaitu syahadah (mati syahid). Kita tidak pernah menang karena jumlah atau kekuatan kita yang besar, tetapi karena agama ini—semangat iman yang Allah jadikan sebagai kemuliaan kita. Maka majulah! Kita hanya punya dua pilihan yang sama-sama baik: menang atau mati syahid!”Kata-kata itu menggugah hati para prajurit. Mereka pun menyahut dengan penuh semangat, “Demi Allah! Sungguh benar apa yang engkau ucapkan, wahai Abdullah bin Rawahah!” Akhirnya, pasukan sepakat untuk meneruskan perjalanan. Mereka maju menghadapi musuh hingga tiba di Masyarif. Pasukan Heraklius bergerak mendekat, sementara kaum muslimin masuk ke perkampungan Mu’tah, membangun markas militer, dan bersiap-siap melancarkan serangan.Di medan Mu’tah, kedua pasukan akhirnya bertemu. Pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang harus menghadapi gempuran dahsyat dari 200.000 tentara Romawi. Pertempuran yang berat pun terjadi. Panglima kaum muslimin, Zaid bin Al-Haritsah, gugur sebagai syuhada setelah memimpin pasukan dengan gagah berani.Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas. Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’” Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia pun syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.Ketika panji pasukan dipegang oleh Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan bahwa Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”Pada malam hari, Khalid mulai menyusun strategi untuk mengecoh musuh. Pagi harinya, ia mengatur ulang barisan pasukan: posisi pasukan depan dipindah ke belakang, pasukan belakang maju ke depan, yang berada di sayap kiri digeser ke kanan, dan yang di sayap kanan dipindah ke kiri. Pergeseran posisi ini membuat musuh tidak lagi mengenali pasukan kaum muslimin. Mereka menyangka pasukan bantuan telah datang dari Madinah. Dengan perasaan gentar, pasukan musuh pun menjadi takut dan memilih mundur.Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berduka atas gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hadapan para sahabat, bahkan sebelum berita kematian mereka sampai, beliau bersabda dengan mata yang berlinang, “Panji telah diambil oleh Zaid, dan ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji dipegang oleh Ja’far, dan ia pun gugur sebagai syahid. Setelah itu diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia juga gugur sebagai syahid. Hingga akhirnya panji itu diambil oleh salah satu pedang Allah, lalu Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.”Meski pertempuran berlangsung sengit dan pasukan musuh sangat besar, jumlah syuhada di pihak kaum muslimin kurang dari sepuluh orang. Sementara jumlah korban dari pihak musuh tidak diketahui secara pasti, namun melihat kondisi pertempuran, jumlahnya pasti sangat banyak. Salah satu tandanya adalah sembilan pedang yang patah di tangan Khalid bin Walid, sebagaimana yang beliau sebutkan. Dengan izin Allah, kaum muslimin akhirnya kembali dari medan Mu’tah membawa kemenangan. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tahPertama: Membunuh seorang utusan atau delegasi merupakan tindakan kejahatan besar. Sejak zaman dahulu, telah menjadi aturan tak tertulis bahwa utusan tidak boleh disakiti, apalagi dibunuh. Namun, Syurahbil Al-Ghassani melanggar norma ini dengan membunuh utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tak bersenjata dan tidak berdaya.Tindakan ini jelas tidak bisa dibiarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merespons dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar sebagai bentuk pembelaan atas terbunuhnya seorang muslim yang sedang menjalankan misi dakwah kepada penguasa Bashrah.Kedua: Perang Mu’tah menjadi momen pertama kali kaum muslimin berhadapan langsung dengan pasukan Romawi dalam sebuah jihad di jalan Allah. Dengan pertolongan Allah, kemenangan pun berpihak kepada kaum muslimin. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dari wilayah Syam, hingga akhirnya wilayah itu menjadi bagian dari negeri Islam.Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam ekspedisi Mu’tah. Padahal, Zaid adalah seorang mantan budak, sementara dalam barisan pasukan terdapat tokoh-tokoh terhormat seperti Ja’far bin Abi Thalib—sepupu Nabi sendiri—juga Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah sahabat mulia lainnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menilai seseorang berdasarkan status sosial, keturunan, atau latar belakangnya, melainkan berdasarkan kualitas iman dan takwa.Sikap ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۗ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)Dengan kata lain, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata didasarkan pada kemaslahatan umat dan ketakwaan orang yang ditunjuk, bukan karena keturunan atau asal-usulnya.Keempat: Pertempuran antara kaum muslimin dan pasukan Romawi yang terkenal besar dan ditakuti menjadi titik balik yang menggetarkan banyak kabilah Arab. Melihat keberanian dan kekuatan kaum muslimin menghadapi lawan sebesar itu, banyak kabilah yang sebelumnya ragu akhirnya merasa gentar dan tak lagi memusuhi Islam. Bahkan, sebagian besar dari mereka kemudian masuk Islam setelah menyaksikan kejadian ini.Kelima: Sikap Abdullah bin Rawahah –raḍiyallāhu ‘anhu– yang menangis ketika mengingat sebuah ayat Al-Qur’an menunjukkan betapa dalamnya keimanan beliau. Ia sadar betul akan kenyataan berat yang menanti setiap manusia di akhirat, sehingga hatinya luluh dan matanya menangis.Ayat yang membuatnya menangis adalah firman Allah Ta‘ala:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا“Dan tidak ada seorang pun dari kamu, melainkan akan mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)Ayat ini mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan melewati neraka, meski pada akhirnya orang beriman akan diselamatkan oleh Allah. Abdullah bin Rawahah tidak sekadar memahami maknanya, tapi benar-benar merenungkannya hingga membekas dalam jiwa. Ini menjadi teladan bagi kita semua, bahwa keimanan yang kuat akan membuat seseorang lebih takut kepada akhirat dan lebih sungguh-sungguh mempersiapkan bekalnya.Keenam: Para sahabat memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap janji kemenangan dari Allah. Ketika mereka maju ke medan perang, yang jadi pegangan bukanlah hitung-hitungan jumlah atau kekuatan musuh. Mereka tidak gentar meskipun tahu bahwa pasukan lawan jauh lebih besar. Mereka tetap maju karena yang mereka andalkan adalah iman yang kokoh di dalam hati, dan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah akan datang kepada mereka.Ketujuh: Salah satu keutamaan Ja’far bin Abi Thalib –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak jelas di medan perang. Meski kedua tangannya telah putus akibat sabetan musuh, ia tidak rela panji Islam jatuh ke tanah. Dengan sisa kekuatannya, ia dekap panji itu ke dadanya, mempertahankannya tetap tegak hingga akhirnya beliau gugur sebagai syuhada. Karena pengorbanan luar biasa itu, Allah memberinya balasan istimewa: dua sayap di surga yang membuatnya bisa terbang ke mana pun ia mau. Semoga Allah selalu meridhainya.Kedelapan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada para sahabat tentang jalannya Perang Mu’tah—bahwa tiga panglima gugur sebagai syahid, lalu kepemimpinan beralih kepada Khalid bin Walid, hingga akhirnya pasukan muslimin meraih kemenangan. Padahal semua itu terjadi jauh dari Madinah dan belum ada utusan yang datang membawa kabar. Ini menjadi salah satu bukti nyata dari sekian banyak tanda kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Kesembilan: Salah satu keutamaan besar yang dimiliki Khalid bin Walid –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak dalam Perang Mu’tah. Dalam pertempuran itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai “Pedang Allah” karena keberaniannya dan kepiawaiannya memimpin pasukan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah memberikan kemenangan melalui tangannya.” Julukan dan pengakuan ini menunjukkan bahwa Khalid adalah panglima hebat yang memainkan peran penting dalam kemenangan kaum muslimin.Kesepuluh: Perang Mu’tah menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Ini adalah pertempuran pertama mereka melawan kekuatan besar seperti Romawi. Dari peristiwa ini, kaum muslimin bisa belajar mengenali karakter musuh, memahami strategi tempur yang digunakan, dan menyesuaikan taktik sesuai kondisi medan serta wilayah yang dihadapi. Pengalaman ini menjadi bekal penting untuk jihad-jihad selanjutnya.Kesebelas: Besarnya duka yang dirasakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far juga gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far adalah sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang ikut hijrah ke Habasyah.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kabar gugurnya mereka, beliau bersabda:“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang lebih membuatku gembira: kedatangan Ja’far, atau pembukaan (kemenangan) Khaibar?”Namun keduanya tidak datang. Justru kabar duka yang tiba: Ja’far –semoga Allah meridhainya– gugur setelah peristiwa Khaibar. Maka tidak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kegembiraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ja’far dan pembukaan Khaibar, kecuali kabar gugurnya mereka yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berduka. Mereka berdua—Zaid dan Ja’far—dibawa kabarnya dalam satu waktu.Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan gugurnya tiga panglima tersebut: Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah –semoga Allah meridhai mereka semua–.Kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang, air matanya menetes saat beliau menyampaikan kabar itu. Hati beliau turut bersedih.Maka semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, dan semoga Allah memberikan balasan terbaik atas jasa-jasa mereka, serta memberikan balasan yang sama kepada kita semua. Semoga kita dikumpulkan bersama mereka pada hari telaga Nabi dan di surga Firdaus yang tertinggi.Kedua belas: Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallāhu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3:280, dinilai hasan oleh Al-Albani)Ini adalah contoh nyata perhatian terhadap orang yang tertimpa musibah, serta bentuk empati dengan ikut meringankan beban mereka.Hadis ini juga menunjukkan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya: menghibur dan membantu ketika tertimpa musibah. Ini adalah hal yang patut terus diingat dan diamalkan oleh setiap muslim.Di masa sekarang, anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sering diwujudkan dengan takziyah sambil membawa bahan makanan, seperti beras, gula, teh, kelapa, atau bahkan uang tunai. Lalu, bahan tersebut biasanya dimasak oleh para tetangga dan dibagikan kepada pelayat yang hadir. Bila hal ini dilakukan tanpa memberatkan keluarga yang sedang berduka dan dalam kadar yang wajar, maka tidaklah termasuk hal yang tercela, bahkan menjadi bentuk kebersamaan dan gotong royong yang dianjurkan.Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:“Jika memang diperlukan, seperti banyaknya pelayat yang datang dari jauh, maka tidak mengapa menyediakan makanan bagi mereka.”Larangan Membebani Ahlul MayitNamun, para sahabat melarang bila justru keluarga mayit yang membuat dan menyuguhkan makanan untuk para pelayat—apalagi setelah pemakaman—karena dikhawatirkan menambah beban di tengah kondisi duka.Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan:كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah pemakaman termasuk bagian dari ratapan (niyāhah).” (HR. Ahmad)Demikian pula dalam riwayat Ibnu Mājah, Umar bin Khattab –raḍiyallāhu ‘anhu– pernah menegur praktik serupa:رُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: وَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَلِكَ النَّوْحُ“Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya: ‘Apakah mayit kalian diratapi?’ Jarir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi: ‘Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan?’ Jarir menjawab: ‘Iya.’ Maka Umar berkata: ‘Itu adalah bentuk ratapan.’” (HR. Ibnu Mājah)Maka kesimpulannya, membantu keluarga duka dengan membawa bahan makanan atau membantu memasak adalah sunnah jika tidak membebani mereka. Namun, jika keluarga mayit yang malah dipaksa menjamu tamu, apalagi disertai batasan waktu seperti tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari, maka praktik seperti itu menyerupai tradisi meratap (niyāhah) yang dilarang.Prinsipnya adalah: selama tidak berlebihan, tidak memberatkan, dan tidak disertai keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya, maka hal itu dibolehkan. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?Para ulama ahli sirah berbeda pendapat dalam menyimpulkan hasil dari pertempuran ini, karena tidak ada pihak yang benar-benar menang mutlak. Jumlah pasukan dari kedua kubu seimbang. Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bahwa masing-masing pihak mengklaim kemenangan atas pihak lain.Al-Baihaqi rahimahullah berkata:“Para ahli maghazi (sejarah peperangan Nabi) berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaum Muslimin mundur dan mundurnya itu disebut kemenangan karena bertahan hidup. Sebagian lain berpendapat bahwa kaum Muslimin menang dan berhasil mengalahkan pasukan musyrikin. Ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:‘Kemudian Khalid mengambil panji lalu ia menang (فتح الله عليه).’”Hal ini menunjukkan bahwa Khalid mendapatkan kemenangan. Wallahu a‘lam mana yang lebih tepat.Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:“Pendapat ini bisa dikompromikan dengan riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat lainnya. Khalid bin Walid mengambil panji lalu ia memimpin sayap pasukan Muslimin, dan berhasil menyelamatkan mereka dari kepungan pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya. Ketika pagi hari datang, posisi pasukan Muslimin telah berubah; mereka berada di sayap kanan, kiri, dan tengah. Kaum Romawi mengira telah datang bala bantuan baru kepada kaum Muslimin, sehingga mereka menjadi gentar. Lalu Khalid pun menyerang mereka, dan Allah mengalahkan mereka melalui tangannya.”Bagaimanapun keadaannya, sikap berani para sahabat –semoga Allah meridhai mereka– dalam menghadapi pasukan Romawi yang besar, lengkap dengan jumlah dan perlengkapannya, menunjukkan keteguhan dan ketegaran mereka. Mereka tahu betapa besarnya kekuatan lawan, namun tetap berdiri tegak tanpa gentar.Padahal jumlah pasukan Islam saat itu sangat kecil. Bahkan dari seluruh pasukan, yang gugur hanya 12 orang. Sementara dari pihak Romawi dan sekutunya, dikatakan bahwa seribu pasukan mereka tewas. Ini menunjukkan bahwa dari segi jumlah korban, pasukan musuh jauh lebih banyak yang jatuh.Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebut nama-nama para syuhada di Perang Mu’tah:“Totalnya hanya dua belas orang yang gugur. Ini luar biasa. Sebab dua pasukan besar yang berhadapan, salah satunya adalah pasukan yang berjuang di jalan Allah, berjumlah 3.000 personel. Sedangkan yang satu lagi adalah pasukan kafir dari Romawi dan sekutunya, berjumlah 100.000 orang, ditambah 100.000 lagi dari sekutu mereka bangsa Arab. Mereka semua bersatu untuk melawan kaum muslimin. Namun tetap saja, jumlah syuhada dari kaum muslimin tidak lebih dari 12 orang, padahal jumlah musuh yang terbunuh jauh lebih banyak. Hal ini sungguh menakjubkan.”Khalid bin Walid bahkan berkata:“Sungguh, aku kehilangan sembilan pedang dalam pertempuran ini. Tidak tersisa di tanganku kecuali pedang buatan Yaman.”Apa yang bisa kita katakan melihat keberanian para sahabat ini? Mereka adalah para pahlawan sejati, orang-orang pemberani, penghafal Al-Qur’an, dan para kekasih Allah yang memiliki semangat jihad yang luar biasa. Mereka berjuang membela agama ini pada zaman yang penuh kegelapan.Ibnu Katsir kemudian mengutip firman Allah Ta’ala:{قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ}“Sungguh, telah ada tanda (kekuasaan Allah) pada dua kelompok yang saling berhadapan: satu kelompok berperang di jalan Allah, sedangkan yang lain kafir. Mereka (orang kafir) melihat (kaum muslimin) dua kali lipat dari mereka menurut pandangan mata. Dan Allah memberi pertolongan kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Āli ‘Imrān: 13)Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Dzaturriqa’ – Strategi Nabi Muhammad Menghadapi GhathafanFaedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya—- Ditulis pada Jumat Sore, 7 Safar 1447 H, 1 Agustus 2025@ Darush Sholihin Pangggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskemenangan kaum muslimin khalid bin walid di perang mu’tah kisah perang mu’tah pelajaran dari perang mu’tah peperangan dalam islam perang perang di syam perang mu'tah perang mu’tah melawan romawi perang mu’tah tahun 8 hijriah sejarah nabi muhammad sejarah perang mu’tah sirah sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang khalid bin walid syahidnya abdullah bin rawahah syahidnya ja’far bin abi thalib syahidnya zaid bin haritsah


Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran besar yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah, antara kaum muslimin dan pasukan Romawi di wilayah Syam (sekarang Yordania). Perang ini meletus setelah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Harits bin Umair Al-Azdi, dibunuh secara keji oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Rasulullah pun mengirim pasukan berkekuatan 3.000 orang sahabat untuk memberi balasan, meski harus menghadapi 200.000 tentara Romawi dan sekutunya. Pertempuran berlangsung sengit hingga tiga panglima kaum muslimin gugur secara bergantian sebelum Khalid bin Walid memimpin dan berhasil membawa pasukan pulang dengan kemenangan. Meski menghadapi musuh yang jauh lebih besar, kaum muslimin hanya kehilangan kurang dari sepuluh prajurit, sebuah tanda pertolongan Allah yang nyata.  Daftar Isi tutup 1. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tah 2. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?  Para ahli sejarah kehidupan Nabi (sirah) menyebut bahwa peristiwa ini termasuk dalam kategori ghazwah, yaitu peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Namun sebenarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikut serta dalam peperangan ini. Meski begitu, jumlah pasukan yang terlibat sangat besar, mencapai 3.000 orang sahabat. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan sebagian besar peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perang ini berlangsung pada bulan Jumadal Ula tahun ke-8 Hijriah. Disebut “Perang Mu’tah” karena terjadi di daerah yang bernama Mu’tah, sebuah desa di kawasan Balqa’, wilayah Syam (kini termasuk Yordania). Secara geografis, lokasi tersebut berada di dekat kota Karak, sebelah timur Sungai Yordan. Sekarang tempat itu menjadi bagian dari kota Mu’tah, provinsi Al-Karak, Yordania.Latar belakang terjadinya perang ini bermula ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azdi untuk membawa surat dakwah kepada penguasa Bashrah. Namun di tengah jalan, ia dihadang oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Utusan Rasulullah tersebut ditangkap, diikat, dan dibunuh. Ketika mendengar kabar itu, Rasulullah sangat marah karena tindakan membunuh utusan merupakan pelanggaran berat. Maka beliau mengirim pasukan untuk memberi balasan, dan menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima. Beliau juga bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far juga terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.”Saat pasukan siap berangkat, kaum muslimin mengiringi mereka dengan penuh semangat dan doa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pesan kepada mereka agar singgah di tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair, dan menyeru penduduk di sana kepada Islam. Jika mereka menerima dakwah, maka berdamailah. Namun jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangi mereka.Dalam momen itu, Abdullah bin Rawahah terlihat menangis. Ketika ditanya alasannya, ia berkata, “Demi Allah! Aku menangis bukan karena ingin berpisah dengan kalian atau karena cinta dunia. Tapi aku teringat satu ayat yang pernah dibacakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang neraka. Allah berfirman:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan pasti akan mendatanginya (neraka itu). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.’ (QS. Maryam: 71)“Aku tidak tahu bagaimana nasibku saat melewati tempat itu.” Mendengar ucapannya, kaum muslimin pun menenangkan dan menguatkannya, “Allah pasti akan membersamai kalian dan menyelamatkan kalian saat melewati jembatan neraka itu, sebagai orang-orang yang saleh.”Setelah itu, Abdullah bin Rawahah melantunkan bait syair dengan semangat:Aku hanya memohon ampunan pada Ar-Rahman Juga sabetan pedang yang telah menghapus noda Atau tikaman tanganku yang perkasa Dengan tombak yang merobek perut dan dada Hingga ketika orang melintas makamku berkata: ‘Allah telah membimbingnya, pejuang yang mendapat hidayah.’Pasukan kaum muslimin pun berangkat, diiringi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengantar mereka hingga ke perbatasan Tsaniyatul Wada’. Di sana beliau berhenti untuk melepas keberangkatan mereka dengan penuh doa dan harapan.Sementara itu, Raja Romawi mendapatkan kabar tentang pergerakan pasukan Islam. Ia segera mempersiapkan pasukan besar untuk menghadang mereka. Sebanyak 100.000 tentara dikerahkan di bawah pimpinan Heraklius, dengan tambahan bala bantuan dari berbagai suku seperti Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, Wabil, hingga total pasukan mencapai 200.000 orang.Mendengar jumlah musuh yang begitu besar, pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang berkumpul di Ma’an dan melakukan musyawarah selama dua hari. Sebagian di antara mereka mengusulkan, “Mari kita kirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan jumlah pasukan musuh. Mungkin beliau akan mengirimkan bala bantuan tambahan, atau memerintahkan kita untuk tetap melanjutkan misi ini.”Di tengah perbincangan yang penuh kegelisahan itu, Abdullah bin Rawahah tampil untuk menyemangati pasukan. Ia berkata dengan lantang, “Wahai para prajurit! Bukankah yang kalian takutkan justru adalah sesuatu yang kalian rindukan ketika berangkat ke medan perang? Yaitu syahadah (mati syahid). Kita tidak pernah menang karena jumlah atau kekuatan kita yang besar, tetapi karena agama ini—semangat iman yang Allah jadikan sebagai kemuliaan kita. Maka majulah! Kita hanya punya dua pilihan yang sama-sama baik: menang atau mati syahid!”Kata-kata itu menggugah hati para prajurit. Mereka pun menyahut dengan penuh semangat, “Demi Allah! Sungguh benar apa yang engkau ucapkan, wahai Abdullah bin Rawahah!” Akhirnya, pasukan sepakat untuk meneruskan perjalanan. Mereka maju menghadapi musuh hingga tiba di Masyarif. Pasukan Heraklius bergerak mendekat, sementara kaum muslimin masuk ke perkampungan Mu’tah, membangun markas militer, dan bersiap-siap melancarkan serangan.Di medan Mu’tah, kedua pasukan akhirnya bertemu. Pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang harus menghadapi gempuran dahsyat dari 200.000 tentara Romawi. Pertempuran yang berat pun terjadi. Panglima kaum muslimin, Zaid bin Al-Haritsah, gugur sebagai syuhada setelah memimpin pasukan dengan gagah berani.Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas. Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’” Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia pun syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.Ketika panji pasukan dipegang oleh Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan bahwa Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”Pada malam hari, Khalid mulai menyusun strategi untuk mengecoh musuh. Pagi harinya, ia mengatur ulang barisan pasukan: posisi pasukan depan dipindah ke belakang, pasukan belakang maju ke depan, yang berada di sayap kiri digeser ke kanan, dan yang di sayap kanan dipindah ke kiri. Pergeseran posisi ini membuat musuh tidak lagi mengenali pasukan kaum muslimin. Mereka menyangka pasukan bantuan telah datang dari Madinah. Dengan perasaan gentar, pasukan musuh pun menjadi takut dan memilih mundur.Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berduka atas gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hadapan para sahabat, bahkan sebelum berita kematian mereka sampai, beliau bersabda dengan mata yang berlinang, “Panji telah diambil oleh Zaid, dan ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji dipegang oleh Ja’far, dan ia pun gugur sebagai syahid. Setelah itu diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia juga gugur sebagai syahid. Hingga akhirnya panji itu diambil oleh salah satu pedang Allah, lalu Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.”Meski pertempuran berlangsung sengit dan pasukan musuh sangat besar, jumlah syuhada di pihak kaum muslimin kurang dari sepuluh orang. Sementara jumlah korban dari pihak musuh tidak diketahui secara pasti, namun melihat kondisi pertempuran, jumlahnya pasti sangat banyak. Salah satu tandanya adalah sembilan pedang yang patah di tangan Khalid bin Walid, sebagaimana yang beliau sebutkan. Dengan izin Allah, kaum muslimin akhirnya kembali dari medan Mu’tah membawa kemenangan. Pelajaran Penting dari Perang Mu’tahPertama: Membunuh seorang utusan atau delegasi merupakan tindakan kejahatan besar. Sejak zaman dahulu, telah menjadi aturan tak tertulis bahwa utusan tidak boleh disakiti, apalagi dibunuh. Namun, Syurahbil Al-Ghassani melanggar norma ini dengan membunuh utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tak bersenjata dan tidak berdaya.Tindakan ini jelas tidak bisa dibiarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merespons dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar sebagai bentuk pembelaan atas terbunuhnya seorang muslim yang sedang menjalankan misi dakwah kepada penguasa Bashrah.Kedua: Perang Mu’tah menjadi momen pertama kali kaum muslimin berhadapan langsung dengan pasukan Romawi dalam sebuah jihad di jalan Allah. Dengan pertolongan Allah, kemenangan pun berpihak kepada kaum muslimin. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dari wilayah Syam, hingga akhirnya wilayah itu menjadi bagian dari negeri Islam.Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam ekspedisi Mu’tah. Padahal, Zaid adalah seorang mantan budak, sementara dalam barisan pasukan terdapat tokoh-tokoh terhormat seperti Ja’far bin Abi Thalib—sepupu Nabi sendiri—juga Abdullah bin Rawahah, dan sejumlah sahabat mulia lainnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menilai seseorang berdasarkan status sosial, keturunan, atau latar belakangnya, melainkan berdasarkan kualitas iman dan takwa.Sikap ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۗ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)Dengan kata lain, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata didasarkan pada kemaslahatan umat dan ketakwaan orang yang ditunjuk, bukan karena keturunan atau asal-usulnya.Keempat: Pertempuran antara kaum muslimin dan pasukan Romawi yang terkenal besar dan ditakuti menjadi titik balik yang menggetarkan banyak kabilah Arab. Melihat keberanian dan kekuatan kaum muslimin menghadapi lawan sebesar itu, banyak kabilah yang sebelumnya ragu akhirnya merasa gentar dan tak lagi memusuhi Islam. Bahkan, sebagian besar dari mereka kemudian masuk Islam setelah menyaksikan kejadian ini.Kelima: Sikap Abdullah bin Rawahah –raḍiyallāhu ‘anhu– yang menangis ketika mengingat sebuah ayat Al-Qur’an menunjukkan betapa dalamnya keimanan beliau. Ia sadar betul akan kenyataan berat yang menanti setiap manusia di akhirat, sehingga hatinya luluh dan matanya menangis.Ayat yang membuatnya menangis adalah firman Allah Ta‘ala:وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا“Dan tidak ada seorang pun dari kamu, melainkan akan mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)Ayat ini mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan melewati neraka, meski pada akhirnya orang beriman akan diselamatkan oleh Allah. Abdullah bin Rawahah tidak sekadar memahami maknanya, tapi benar-benar merenungkannya hingga membekas dalam jiwa. Ini menjadi teladan bagi kita semua, bahwa keimanan yang kuat akan membuat seseorang lebih takut kepada akhirat dan lebih sungguh-sungguh mempersiapkan bekalnya.Keenam: Para sahabat memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap janji kemenangan dari Allah. Ketika mereka maju ke medan perang, yang jadi pegangan bukanlah hitung-hitungan jumlah atau kekuatan musuh. Mereka tidak gentar meskipun tahu bahwa pasukan lawan jauh lebih besar. Mereka tetap maju karena yang mereka andalkan adalah iman yang kokoh di dalam hati, dan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah akan datang kepada mereka.Ketujuh: Salah satu keutamaan Ja’far bin Abi Thalib –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak jelas di medan perang. Meski kedua tangannya telah putus akibat sabetan musuh, ia tidak rela panji Islam jatuh ke tanah. Dengan sisa kekuatannya, ia dekap panji itu ke dadanya, mempertahankannya tetap tegak hingga akhirnya beliau gugur sebagai syuhada. Karena pengorbanan luar biasa itu, Allah memberinya balasan istimewa: dua sayap di surga yang membuatnya bisa terbang ke mana pun ia mau. Semoga Allah selalu meridhainya.Kedelapan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepada para sahabat tentang jalannya Perang Mu’tah—bahwa tiga panglima gugur sebagai syahid, lalu kepemimpinan beralih kepada Khalid bin Walid, hingga akhirnya pasukan muslimin meraih kemenangan. Padahal semua itu terjadi jauh dari Madinah dan belum ada utusan yang datang membawa kabar. Ini menjadi salah satu bukti nyata dari sekian banyak tanda kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Kesembilan: Salah satu keutamaan besar yang dimiliki Khalid bin Walid –raḍiyallāhu ‘anhu– tampak dalam Perang Mu’tah. Dalam pertempuran itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai “Pedang Allah” karena keberaniannya dan kepiawaiannya memimpin pasukan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah memberikan kemenangan melalui tangannya.” Julukan dan pengakuan ini menunjukkan bahwa Khalid adalah panglima hebat yang memainkan peran penting dalam kemenangan kaum muslimin.Kesepuluh: Perang Mu’tah menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Ini adalah pertempuran pertama mereka melawan kekuatan besar seperti Romawi. Dari peristiwa ini, kaum muslimin bisa belajar mengenali karakter musuh, memahami strategi tempur yang digunakan, dan menyesuaikan taktik sesuai kondisi medan serta wilayah yang dihadapi. Pengalaman ini menjadi bekal penting untuk jihad-jihad selanjutnya.Kesebelas: Besarnya duka yang dirasakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far juga gugur sebagai syahid –semoga Allah meridhainya–. Ja’far adalah sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang ikut hijrah ke Habasyah.Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kabar gugurnya mereka, beliau bersabda:“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang lebih membuatku gembira: kedatangan Ja’far, atau pembukaan (kemenangan) Khaibar?”Namun keduanya tidak datang. Justru kabar duka yang tiba: Ja’far –semoga Allah meridhainya– gugur setelah peristiwa Khaibar. Maka tidak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kegembiraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ja’far dan pembukaan Khaibar, kecuali kabar gugurnya mereka yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berduka. Mereka berdua—Zaid dan Ja’far—dibawa kabarnya dalam satu waktu.Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan gugurnya tiga panglima tersebut: Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah –semoga Allah meridhai mereka semua–.Kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang, air matanya menetes saat beliau menyampaikan kabar itu. Hati beliau turut bersedih.Maka semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, dan semoga Allah memberikan balasan terbaik atas jasa-jasa mereka, serta memberikan balasan yang sama kepada kita semua. Semoga kita dikumpulkan bersama mereka pada hari telaga Nabi dan di surga Firdaus yang tertinggi.Kedua belas: Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallāhu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3:280, dinilai hasan oleh Al-Albani)Ini adalah contoh nyata perhatian terhadap orang yang tertimpa musibah, serta bentuk empati dengan ikut meringankan beban mereka.Hadis ini juga menunjukkan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya: menghibur dan membantu ketika tertimpa musibah. Ini adalah hal yang patut terus diingat dan diamalkan oleh setiap muslim.Di masa sekarang, anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sering diwujudkan dengan takziyah sambil membawa bahan makanan, seperti beras, gula, teh, kelapa, atau bahkan uang tunai. Lalu, bahan tersebut biasanya dimasak oleh para tetangga dan dibagikan kepada pelayat yang hadir. Bila hal ini dilakukan tanpa memberatkan keluarga yang sedang berduka dan dalam kadar yang wajar, maka tidaklah termasuk hal yang tercela, bahkan menjadi bentuk kebersamaan dan gotong royong yang dianjurkan.Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:“Jika memang diperlukan, seperti banyaknya pelayat yang datang dari jauh, maka tidak mengapa menyediakan makanan bagi mereka.”Larangan Membebani Ahlul MayitNamun, para sahabat melarang bila justru keluarga mayit yang membuat dan menyuguhkan makanan untuk para pelayat—apalagi setelah pemakaman—karena dikhawatirkan menambah beban di tengah kondisi duka.Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan:كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah pemakaman termasuk bagian dari ratapan (niyāhah).” (HR. Ahmad)Demikian pula dalam riwayat Ibnu Mājah, Umar bin Khattab –raḍiyallāhu ‘anhu– pernah menegur praktik serupa:رُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: وَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَلِكَ النَّوْحُ“Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya: ‘Apakah mayit kalian diratapi?’ Jarir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi: ‘Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan?’ Jarir menjawab: ‘Iya.’ Maka Umar berkata: ‘Itu adalah bentuk ratapan.’” (HR. Ibnu Mājah)Maka kesimpulannya, membantu keluarga duka dengan membawa bahan makanan atau membantu memasak adalah sunnah jika tidak membebani mereka. Namun, jika keluarga mayit yang malah dipaksa menjamu tamu, apalagi disertai batasan waktu seperti tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari, maka praktik seperti itu menyerupai tradisi meratap (niyāhah) yang dilarang.Prinsipnya adalah: selama tidak berlebihan, tidak memberatkan, dan tidak disertai keyakinan tertentu yang tidak ada dasarnya, maka hal itu dibolehkan. Siapakah yang Menang dalam Perang Mu’tah?Para ulama ahli sirah berbeda pendapat dalam menyimpulkan hasil dari pertempuran ini, karena tidak ada pihak yang benar-benar menang mutlak. Jumlah pasukan dari kedua kubu seimbang. Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bahwa masing-masing pihak mengklaim kemenangan atas pihak lain.Al-Baihaqi rahimahullah berkata:“Para ahli maghazi (sejarah peperangan Nabi) berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaum Muslimin mundur dan mundurnya itu disebut kemenangan karena bertahan hidup. Sebagian lain berpendapat bahwa kaum Muslimin menang dan berhasil mengalahkan pasukan musyrikin. Ini didasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:‘Kemudian Khalid mengambil panji lalu ia menang (فتح الله عليه).’”Hal ini menunjukkan bahwa Khalid mendapatkan kemenangan. Wallahu a‘lam mana yang lebih tepat.Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:“Pendapat ini bisa dikompromikan dengan riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat lainnya. Khalid bin Walid mengambil panji lalu ia memimpin sayap pasukan Muslimin, dan berhasil menyelamatkan mereka dari kepungan pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya. Ketika pagi hari datang, posisi pasukan Muslimin telah berubah; mereka berada di sayap kanan, kiri, dan tengah. Kaum Romawi mengira telah datang bala bantuan baru kepada kaum Muslimin, sehingga mereka menjadi gentar. Lalu Khalid pun menyerang mereka, dan Allah mengalahkan mereka melalui tangannya.”Bagaimanapun keadaannya, sikap berani para sahabat –semoga Allah meridhai mereka– dalam menghadapi pasukan Romawi yang besar, lengkap dengan jumlah dan perlengkapannya, menunjukkan keteguhan dan ketegaran mereka. Mereka tahu betapa besarnya kekuatan lawan, namun tetap berdiri tegak tanpa gentar.Padahal jumlah pasukan Islam saat itu sangat kecil. Bahkan dari seluruh pasukan, yang gugur hanya 12 orang. Sementara dari pihak Romawi dan sekutunya, dikatakan bahwa seribu pasukan mereka tewas. Ini menunjukkan bahwa dari segi jumlah korban, pasukan musuh jauh lebih banyak yang jatuh.Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebut nama-nama para syuhada di Perang Mu’tah:“Totalnya hanya dua belas orang yang gugur. Ini luar biasa. Sebab dua pasukan besar yang berhadapan, salah satunya adalah pasukan yang berjuang di jalan Allah, berjumlah 3.000 personel. Sedangkan yang satu lagi adalah pasukan kafir dari Romawi dan sekutunya, berjumlah 100.000 orang, ditambah 100.000 lagi dari sekutu mereka bangsa Arab. Mereka semua bersatu untuk melawan kaum muslimin. Namun tetap saja, jumlah syuhada dari kaum muslimin tidak lebih dari 12 orang, padahal jumlah musuh yang terbunuh jauh lebih banyak. Hal ini sungguh menakjubkan.”Khalid bin Walid bahkan berkata:“Sungguh, aku kehilangan sembilan pedang dalam pertempuran ini. Tidak tersisa di tanganku kecuali pedang buatan Yaman.”Apa yang bisa kita katakan melihat keberanian para sahabat ini? Mereka adalah para pahlawan sejati, orang-orang pemberani, penghafal Al-Qur’an, dan para kekasih Allah yang memiliki semangat jihad yang luar biasa. Mereka berjuang membela agama ini pada zaman yang penuh kegelapan.Ibnu Katsir kemudian mengutip firman Allah Ta’ala:{قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ}“Sungguh, telah ada tanda (kekuasaan Allah) pada dua kelompok yang saling berhadapan: satu kelompok berperang di jalan Allah, sedangkan yang lain kafir. Mereka (orang kafir) melihat (kaum muslimin) dua kali lipat dari mereka menurut pandangan mata. Dan Allah memberi pertolongan kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Āli ‘Imrān: 13)Baca Juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Dzaturriqa’ – Strategi Nabi Muhammad Menghadapi GhathafanFaedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya—- Ditulis pada Jumat Sore, 7 Safar 1447 H, 1 Agustus 2025@ Darush Sholihin Pangggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagskemenangan kaum muslimin khalid bin walid di perang mu’tah kisah perang mu’tah pelajaran dari perang mu’tah peperangan dalam islam perang perang di syam perang mu'tah perang mu’tah melawan romawi perang mu’tah tahun 8 hijriah sejarah nabi muhammad sejarah perang mu’tah sirah sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang khalid bin walid syahidnya abdullah bin rawahah syahidnya ja’far bin abi thalib syahidnya zaid bin haritsah

Cara Agar Doa Mudah Dikabulkan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana agar seorang Mukmin doanya mudah dikabulkan? Doa seorang Mukmin akan mudah dikabulkan apabila ia memenuhi syarat-syarat pengabulan doa dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doanya akan mudah dikabulkan. [PERTAMA]Syarat pertama adalah ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berdoa. [KEDUA]Kemudian, mencari rezeki dari sumber yang halal. Selain itu juga, [KETIGA]tidak tergesa-gesa dalam mengharapkan pengabulan doa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa.” (HR. Bukhari & Muslim) [KEEMPAT]Serta terus-menerus memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam doa. [KELIMA]Berdoa dengan rasa takut dan penuh harapan. Juga syarat serta adab lainnya yang disebutkan oleh para ulama. [KEENAM]Selain itu, penghalang-penghalang pengabulan doa harus dihilangkan. Di antaranya adalah: mengonsumsi harta yang haram. Juga termasuk penghalang adalah berlebihan dalam berdoa. Jadi, jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doa seorang Muslim akan dikabulkan, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Namun, bisa jadi doanya belum juga dikabulkan meski syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, karena suatu hikmah yang hanya Allah yang mengetahui. Bisa jadi doanya disimpan untuknya di hari kiamat. Bisa jadi juga, ia dijauhkan dari keburukan yang setara dengannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Allah Ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Yang dituntut dari seorang Muslim adalah berdoa. Adapun pengabulannya adalah urusan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Umar pernah berkata, “Aku tidak mengkhawatirkan pengabulan doa, tapi bagiku yang penting adalah berdoa Jika aku diberi taufik untuk berdoa, maka pengabulannya akan menyusul.” ==== كَيْفَ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ؟ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ إِذَا حَقَّقَ شُرُوطَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يَكُونُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ وَمِنَ الشُّرُوطِ أَوَّلًا الْإِخْلَاصُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا طِيْبُ الْمَكْسَبِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَدَمُ الِاسْتِعْجَالِ فِي إِجَابَةِ الدُّعَاءِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ وَأَيْضًا الْإِلْحَاحُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَأَنْ يَدْعُوَهُ خَوْفًا وَطَمَعًا وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْآدَابِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَهْلُ الْعِلْمِ وَأَيْضًا تَنْتَفِي الْمَوَانِعُ وَمِنْ مَوَانِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَمِنْ مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ الِاعْتِدَاءُ فِي الدُّعَاءِ فَإِذَنْ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتِ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يُسْتَجَابُ لِلْمُسْلِمِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَدْ لَا يُسْتَجَابُ لَهُ حَتَّى مَعَ تَحَقُّقِ الشُّرُوطِ وَانْتِفَاءِ الْمَوَانِعِ لِحِكْمَةٍ اللَّهُ أَعْلَمُ بِهَا قَدْ تُدَّخَرُ لَهُ الدَّعْوَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَدْ يُدْفَعُ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلُهَا كَمَا وَرَدَ ذَلِكَ فِي الْحَدِيثِ فَاللَّهُ تَعَالَى حَكِيمٌ عَلِيمٌ الْمَطْلُوْبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَدْعُوَ وَأَمَّا الْإِجَابَةُ فَهَذِهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا كَانَ عُمَرُ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الْإِجَابَةِ وَإِنَّمَا أَحْمِلُ هَمَّ الدُّعَاءِ فَإِذَا أُعْطِيتُ لِلدُّعَاءِ كَانَتِ الْإِجَابَةُ

Cara Agar Doa Mudah Dikabulkan – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana agar seorang Mukmin doanya mudah dikabulkan? Doa seorang Mukmin akan mudah dikabulkan apabila ia memenuhi syarat-syarat pengabulan doa dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doanya akan mudah dikabulkan. [PERTAMA]Syarat pertama adalah ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berdoa. [KEDUA]Kemudian, mencari rezeki dari sumber yang halal. Selain itu juga, [KETIGA]tidak tergesa-gesa dalam mengharapkan pengabulan doa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa.” (HR. Bukhari & Muslim) [KEEMPAT]Serta terus-menerus memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam doa. [KELIMA]Berdoa dengan rasa takut dan penuh harapan. Juga syarat serta adab lainnya yang disebutkan oleh para ulama. [KEENAM]Selain itu, penghalang-penghalang pengabulan doa harus dihilangkan. Di antaranya adalah: mengonsumsi harta yang haram. Juga termasuk penghalang adalah berlebihan dalam berdoa. Jadi, jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doa seorang Muslim akan dikabulkan, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Namun, bisa jadi doanya belum juga dikabulkan meski syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, karena suatu hikmah yang hanya Allah yang mengetahui. Bisa jadi doanya disimpan untuknya di hari kiamat. Bisa jadi juga, ia dijauhkan dari keburukan yang setara dengannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Allah Ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Yang dituntut dari seorang Muslim adalah berdoa. Adapun pengabulannya adalah urusan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Umar pernah berkata, “Aku tidak mengkhawatirkan pengabulan doa, tapi bagiku yang penting adalah berdoa Jika aku diberi taufik untuk berdoa, maka pengabulannya akan menyusul.” ==== كَيْفَ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ؟ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ إِذَا حَقَّقَ شُرُوطَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يَكُونُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ وَمِنَ الشُّرُوطِ أَوَّلًا الْإِخْلَاصُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا طِيْبُ الْمَكْسَبِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَدَمُ الِاسْتِعْجَالِ فِي إِجَابَةِ الدُّعَاءِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ وَأَيْضًا الْإِلْحَاحُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَأَنْ يَدْعُوَهُ خَوْفًا وَطَمَعًا وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْآدَابِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَهْلُ الْعِلْمِ وَأَيْضًا تَنْتَفِي الْمَوَانِعُ وَمِنْ مَوَانِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَمِنْ مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ الِاعْتِدَاءُ فِي الدُّعَاءِ فَإِذَنْ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتِ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يُسْتَجَابُ لِلْمُسْلِمِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَدْ لَا يُسْتَجَابُ لَهُ حَتَّى مَعَ تَحَقُّقِ الشُّرُوطِ وَانْتِفَاءِ الْمَوَانِعِ لِحِكْمَةٍ اللَّهُ أَعْلَمُ بِهَا قَدْ تُدَّخَرُ لَهُ الدَّعْوَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَدْ يُدْفَعُ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلُهَا كَمَا وَرَدَ ذَلِكَ فِي الْحَدِيثِ فَاللَّهُ تَعَالَى حَكِيمٌ عَلِيمٌ الْمَطْلُوْبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَدْعُوَ وَأَمَّا الْإِجَابَةُ فَهَذِهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا كَانَ عُمَرُ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الْإِجَابَةِ وَإِنَّمَا أَحْمِلُ هَمَّ الدُّعَاءِ فَإِذَا أُعْطِيتُ لِلدُّعَاءِ كَانَتِ الْإِجَابَةُ
Bagaimana agar seorang Mukmin doanya mudah dikabulkan? Doa seorang Mukmin akan mudah dikabulkan apabila ia memenuhi syarat-syarat pengabulan doa dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doanya akan mudah dikabulkan. [PERTAMA]Syarat pertama adalah ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berdoa. [KEDUA]Kemudian, mencari rezeki dari sumber yang halal. Selain itu juga, [KETIGA]tidak tergesa-gesa dalam mengharapkan pengabulan doa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa.” (HR. Bukhari & Muslim) [KEEMPAT]Serta terus-menerus memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam doa. [KELIMA]Berdoa dengan rasa takut dan penuh harapan. Juga syarat serta adab lainnya yang disebutkan oleh para ulama. [KEENAM]Selain itu, penghalang-penghalang pengabulan doa harus dihilangkan. Di antaranya adalah: mengonsumsi harta yang haram. Juga termasuk penghalang adalah berlebihan dalam berdoa. Jadi, jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doa seorang Muslim akan dikabulkan, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Namun, bisa jadi doanya belum juga dikabulkan meski syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, karena suatu hikmah yang hanya Allah yang mengetahui. Bisa jadi doanya disimpan untuknya di hari kiamat. Bisa jadi juga, ia dijauhkan dari keburukan yang setara dengannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Allah Ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Yang dituntut dari seorang Muslim adalah berdoa. Adapun pengabulannya adalah urusan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Umar pernah berkata, “Aku tidak mengkhawatirkan pengabulan doa, tapi bagiku yang penting adalah berdoa Jika aku diberi taufik untuk berdoa, maka pengabulannya akan menyusul.” ==== كَيْفَ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ؟ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ إِذَا حَقَّقَ شُرُوطَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يَكُونُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ وَمِنَ الشُّرُوطِ أَوَّلًا الْإِخْلَاصُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا طِيْبُ الْمَكْسَبِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَدَمُ الِاسْتِعْجَالِ فِي إِجَابَةِ الدُّعَاءِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ وَأَيْضًا الْإِلْحَاحُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَأَنْ يَدْعُوَهُ خَوْفًا وَطَمَعًا وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْآدَابِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَهْلُ الْعِلْمِ وَأَيْضًا تَنْتَفِي الْمَوَانِعُ وَمِنْ مَوَانِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَمِنْ مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ الِاعْتِدَاءُ فِي الدُّعَاءِ فَإِذَنْ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتِ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يُسْتَجَابُ لِلْمُسْلِمِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَدْ لَا يُسْتَجَابُ لَهُ حَتَّى مَعَ تَحَقُّقِ الشُّرُوطِ وَانْتِفَاءِ الْمَوَانِعِ لِحِكْمَةٍ اللَّهُ أَعْلَمُ بِهَا قَدْ تُدَّخَرُ لَهُ الدَّعْوَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَدْ يُدْفَعُ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلُهَا كَمَا وَرَدَ ذَلِكَ فِي الْحَدِيثِ فَاللَّهُ تَعَالَى حَكِيمٌ عَلِيمٌ الْمَطْلُوْبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَدْعُوَ وَأَمَّا الْإِجَابَةُ فَهَذِهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا كَانَ عُمَرُ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الْإِجَابَةِ وَإِنَّمَا أَحْمِلُ هَمَّ الدُّعَاءِ فَإِذَا أُعْطِيتُ لِلدُّعَاءِ كَانَتِ الْإِجَابَةُ


Bagaimana agar seorang Mukmin doanya mudah dikabulkan? Doa seorang Mukmin akan mudah dikabulkan apabila ia memenuhi syarat-syarat pengabulan doa dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doanya akan mudah dikabulkan. [PERTAMA]Syarat pertama adalah ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berdoa. [KEDUA]Kemudian, mencari rezeki dari sumber yang halal. Selain itu juga, [KETIGA]tidak tergesa-gesa dalam mengharapkan pengabulan doa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa.” (HR. Bukhari & Muslim) [KEEMPAT]Serta terus-menerus memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam doa. [KELIMA]Berdoa dengan rasa takut dan penuh harapan. Juga syarat serta adab lainnya yang disebutkan oleh para ulama. [KEENAM]Selain itu, penghalang-penghalang pengabulan doa harus dihilangkan. Di antaranya adalah: mengonsumsi harta yang haram. Juga termasuk penghalang adalah berlebihan dalam berdoa. Jadi, jika syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, maka doa seorang Muslim akan dikabulkan, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Namun, bisa jadi doanya belum juga dikabulkan meski syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada, karena suatu hikmah yang hanya Allah yang mengetahui. Bisa jadi doanya disimpan untuknya di hari kiamat. Bisa jadi juga, ia dijauhkan dari keburukan yang setara dengannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Allah Ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Yang dituntut dari seorang Muslim adalah berdoa. Adapun pengabulannya adalah urusan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, Umar pernah berkata, “Aku tidak mengkhawatirkan pengabulan doa, tapi bagiku yang penting adalah berdoa Jika aku diberi taufik untuk berdoa, maka pengabulannya akan menyusul.” ==== كَيْفَ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ؟ يَكُونُ المُؤْمِنُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ إِذَا حَقَّقَ شُرُوطَ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتْ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يَكُونُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ وَمِنَ الشُّرُوطِ أَوَّلًا الْإِخْلَاصُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا طِيْبُ الْمَكْسَبِ وَكَذَلِكَ أَيْضًا عَدَمُ الِاسْتِعْجَالِ فِي إِجَابَةِ الدُّعَاءِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ وَأَيْضًا الْإِلْحَاحُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الدُّعَاءِ وَأَنْ يَدْعُوَهُ خَوْفًا وَطَمَعًا وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْآدَابِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَهْلُ الْعِلْمِ وَأَيْضًا تَنْتَفِي الْمَوَانِعُ وَمِنْ مَوَانِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَمِنْ مَوَانِعِ الْإِجَابَةِ الِاعْتِدَاءُ فِي الدُّعَاءِ فَإِذَنْ إِذَا تَحَقَّقَتِ الشُّرُوطُ وَانْتَفَتِ الْمَوَانِعُ فَإِنَّهُ يُسْتَجَابُ لِلْمُسْلِمِ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَدْ لَا يُسْتَجَابُ لَهُ حَتَّى مَعَ تَحَقُّقِ الشُّرُوطِ وَانْتِفَاءِ الْمَوَانِعِ لِحِكْمَةٍ اللَّهُ أَعْلَمُ بِهَا قَدْ تُدَّخَرُ لَهُ الدَّعْوَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَدْ يُدْفَعُ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلُهَا كَمَا وَرَدَ ذَلِكَ فِي الْحَدِيثِ فَاللَّهُ تَعَالَى حَكِيمٌ عَلِيمٌ الْمَطْلُوْبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَدْعُوَ وَأَمَّا الْإِجَابَةُ فَهَذِهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا كَانَ عُمَرُ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الْإِجَابَةِ وَإِنَّمَا أَحْمِلُ هَمَّ الدُّعَاءِ فَإِذَا أُعْطِيتُ لِلدُّعَاءِ كَانَتِ الْإِجَابَةُ

Biografi Ringkas Ibnu Hajar Al-Asqalani (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleAkidah Ibnu HajarSikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarKedudukan dan pujian ulamaWafatAkidah Ibnu HajarIbnu Hajar Al-Asqalani merupakan salah satu imam yang terpengaruh dengan akidah Asy’ariyah. Banyak pendapat beliau yang sesuai dengan akidah Asy’ariyah, sebagaimana yang terdapat di salah satu karyanya, yaitu Fathul Bari. Beberapa masalah akidah yang dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam kitabnya yang paling menonjol adalah:Menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk.Menafsirkan lafal-lafal sifat Allah yang berpotensi menimbulkan kesan tasybih dan menakwilkannya, baik secara global maupun terperinci.Berpendapat sebagaimana pendapat Asy’ariyah dalam masalah kalam Allah.Mengikuti pandangan Asy’ariyah dalam masalah qadha’ dan qadar.Menguatkan pendapat ulama besar Asy’ariyah.Sikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarLajnah Ad-Da’imah mengeluarkan fatwa terkait hal ini:“Sikap kami terhadap Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan ulama lainnya yang telah menakwil sebagian sifat Allah Ta’ala atau menyerahkan maknanya secara keseluruhan adalah:Mereka adalah para ulama besar umat Islam yang ilmunya telah memberi manfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan membalas mereka dengan sebaik-baik balasan atas jasa mereka kepada kita.Mereka termasuk Ahlus Sunnah dalam hal-hal yang sesuai dengan ajaran para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam salaf dalam tiga generasi pertama yang dipersaksikan oleh Nabi ﷺ sebagai generasi terbaik.Namun, mereka telah melakukan kesalahan dalam takwil terhadap teks-teks sifat Allah dan dalam hal-hal yang menyelisihi pemahaman salaf umat ini serta para imam Ahlus Sunnah. Baik itu dalam menakwil sifat dzatiyah (sifat yang melekat pada Dzat Allah), sifat fi’liyah (sifat yang terkait dengan perbuatan Allah), ataupun sebagian dari keduanya.Hanya kepada Allah kami memohon taufik. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” [1]Syekh Albani menyampaikan pendapat beliau mengenai sikapnya terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah. Beliau rahimahullah berkata,“Imam seperti An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta ulama lain yang serupa, adalah tidak adil jika dikatakan sebagai ahlul bid’ah. Saya tahu bahwa keduanya termasuk dalam mazhab Asy’ariyah, tetapi mereka tidak bermaksud menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, mereka keliru dalam memahami kebenaran. Mereka mengira bahwa akidah Asy’ariyah yang mereka warisi itu benar, karena dua alasan:1) Mereka mengira bahwa Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari tetap berada dalam keyakinan tersebut, padahal beliau telah meninggalkannya di akhir hayatnya.2) Mereka menyangka bahwa keyakinan tersebut benar, padahal sebenarnya tidak demikian.Semoga Allah merahmati kedua imam, An-Nawawi dan Ibnu Hajar, serta mengampuni kesalahan mereka.”Syekh Shalih bin Fauzan ketika ditanya mengenai sikap kita terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah, beliau memberikan nasihat yang begitu mendalam. Beliau berkata,“Pertama: Tidak sepantasnya bagi para penuntut ilmu pemula dan juga kalangan awam untuk sibuk dalam menjatuhkan vonis bid’ah atau fasik terhadap orang lain. Hal ini merupakan perkara yang berbahaya, sementara mereka tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang cukup dalam masalah ini. Selain itu, hal ini juga dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Oleh karena itu, kewajiban mereka adalah fokus dalam menuntut ilmu, serta menjaga lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang justru membawa mudarat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.Kedua: Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang bukan bagian darinya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” [2]Jika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama karena ketidaktahuannya, maka ia dimaafkan karena kebodohannya dan tidak langsung divonis sebagai pelaku bid’ah. Namun, perbuatannya tetap dianggap sebagai bid’ah.Ketiga: Ulama yang memiliki kesalahan dalam ijtihad akibat menakwil sebagian sifat Allah, seperti Ibnu Hajar dan An-Nawawi, tidak boleh dihukumi sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Yang dikatakan adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan, tetapi mereka tetap diharapkan mendapatkan ampunan atas kekeliruan tersebut, karena mereka telah memberikan jasa besar dalam melayani Sunnah Rasulullah ﷺ.Mereka berdua adalah imam yang agung dan terpercaya di kalangan para ulama.” [3]Kedudukan dan pujian ulamaIbnu Hajar sangat tertarik pada sastra dan puisi hingga mencapai puncak keahlian di bidang ini. Beliau memiliki banyak karya puisi dengan ukuran sedang yang telah dicetak. Kemudian beliau beralih ke bidang hadis dan banyak mendengar hadis dari para guru. Beliau juga melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dan daerah lainnya untuk berguru kepada para ulama.Ibnu Hajar dikenal di antara ulama pada masanya dalam hal ilmu hadis, baik dalam penulisan maupun fatwa. Semua orang, baik yang dekat maupun yang jauh, bahkan musuh dan kawan, mengakui hafalan dan ketekunannya. Hingga akhirnya, gelar “Al-Hafiz” melekat pada namanya sebagai sebuah konsensus di antara para ulama.Al-Hafiz As-Sakhawi berkata, “Gurunya, Al-Iraqi, bersaksi bahwa ia adalah muridnya yang paling berpengetahuan tentang hadis.”Al-Hafiz As-Suyuthi berkata, “Beliau adalah imam dalam bidang ini bagi orang-orang yang mengikutinya, pemimpin pasukan ahli hadis, sandaran keberadaan dalam hal tauhiyah dan tashih (melemahkan dan mensahihkan hadis), dan hakim serta saksi paling agung dalam bab ta’dil dan tajrih (menilai perawi hadis).”Ketika Al-Iraqi akan wafat, ada yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan menggantikanmu?” Beliau menjawab, “Ibnu Hajar, kemudian putraku Abu Zur’ah, kemudian Al-Haitsami.”WafatImam Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi al-Qudhat pada tahun 852 H dan menghabiskan waktunya untuk menulis, mengajar, dan menghadiri majelis ilmu. Pada 11 Zulkaidah tahun itu, beliau jatuh sakit, namun tetap berusaha keluar untuk mengajar, mengimami salat, dan beribadah hingga kesehatannya semakin memburuk dan tidak mampu menghadiri salat Iduladha, padahal beliau jarang meninggalkan salat Jumat atau jemaah. Ketika merasa ajalnya dekat, beliau mengunjungi salah satu istrinya dan meminta maaf dengannya. Penyakitnya semakin parah hingga beliau tidak mampu berwudu, lalu salat sambil duduk, dan berhenti melakukan qiyamul lail. Beberapa ulama datang menjenguknya, seperti Ibnu ad-Dairi, al-‘Aini, Ibnu at-Tanisi, dan as-Safti.Ibnu Hajar wafat pada 28 Zulhijah. Kepergiannya membawa duka yang mendalam; toko-toko ditutup, dan jenazahnya diiringi dengan prosesi besar yang hanya bisa disamakan dengan pemakaman Ibnu Taimiyah. Muridnya, As-Sakhawi, menceritakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pemakamannya hanya diketahui oleh Allah. Penguasa, ulama, pejabat, bangsawan, dan orang-orang penting membawa jenazahnya.As-Suyuthi mengutip dari al-Mansuri bahwa hujan turun saat jenazah tiba di tempat salat meskipun bukan musim hujan. Salat jenazah dipimpin oleh Al-Balqini atas izin khalifah di Masjid al-Mu’minin di kawasan Ramliyyah, dan beliau dimakamkan di pemakaman Bani Khurubi, di antara makam Imam Syafi’i dan Muslim as-Sulami. Para qari’ dan hafizh Al-Qur’an terus berkumpul di makamnya selama sepekan untuk melantunkan Al-Qur’an dan meratapi kepergiannya. Berita kematiannya tersebar di berbagai wilayah Islam, dan salat ghaib dilakukan di Mekah, Baitul Maqdis, Al-Khalil, Damaskus, Aleppo, dan tempat-tempat lainnya.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Sumber: Diterjemahkan dan disunting ulang oleh penulis dari web: https://mawdoo3.com/ابن_حجر_العسقلانيCatatan kaki:[1] Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3: 241.[2] HR. Bukhari.[3] Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fawzan, 2: 211-212.

Biografi Ringkas Ibnu Hajar Al-Asqalani (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleAkidah Ibnu HajarSikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarKedudukan dan pujian ulamaWafatAkidah Ibnu HajarIbnu Hajar Al-Asqalani merupakan salah satu imam yang terpengaruh dengan akidah Asy’ariyah. Banyak pendapat beliau yang sesuai dengan akidah Asy’ariyah, sebagaimana yang terdapat di salah satu karyanya, yaitu Fathul Bari. Beberapa masalah akidah yang dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam kitabnya yang paling menonjol adalah:Menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk.Menafsirkan lafal-lafal sifat Allah yang berpotensi menimbulkan kesan tasybih dan menakwilkannya, baik secara global maupun terperinci.Berpendapat sebagaimana pendapat Asy’ariyah dalam masalah kalam Allah.Mengikuti pandangan Asy’ariyah dalam masalah qadha’ dan qadar.Menguatkan pendapat ulama besar Asy’ariyah.Sikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarLajnah Ad-Da’imah mengeluarkan fatwa terkait hal ini:“Sikap kami terhadap Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan ulama lainnya yang telah menakwil sebagian sifat Allah Ta’ala atau menyerahkan maknanya secara keseluruhan adalah:Mereka adalah para ulama besar umat Islam yang ilmunya telah memberi manfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan membalas mereka dengan sebaik-baik balasan atas jasa mereka kepada kita.Mereka termasuk Ahlus Sunnah dalam hal-hal yang sesuai dengan ajaran para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam salaf dalam tiga generasi pertama yang dipersaksikan oleh Nabi ﷺ sebagai generasi terbaik.Namun, mereka telah melakukan kesalahan dalam takwil terhadap teks-teks sifat Allah dan dalam hal-hal yang menyelisihi pemahaman salaf umat ini serta para imam Ahlus Sunnah. Baik itu dalam menakwil sifat dzatiyah (sifat yang melekat pada Dzat Allah), sifat fi’liyah (sifat yang terkait dengan perbuatan Allah), ataupun sebagian dari keduanya.Hanya kepada Allah kami memohon taufik. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” [1]Syekh Albani menyampaikan pendapat beliau mengenai sikapnya terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah. Beliau rahimahullah berkata,“Imam seperti An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta ulama lain yang serupa, adalah tidak adil jika dikatakan sebagai ahlul bid’ah. Saya tahu bahwa keduanya termasuk dalam mazhab Asy’ariyah, tetapi mereka tidak bermaksud menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, mereka keliru dalam memahami kebenaran. Mereka mengira bahwa akidah Asy’ariyah yang mereka warisi itu benar, karena dua alasan:1) Mereka mengira bahwa Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari tetap berada dalam keyakinan tersebut, padahal beliau telah meninggalkannya di akhir hayatnya.2) Mereka menyangka bahwa keyakinan tersebut benar, padahal sebenarnya tidak demikian.Semoga Allah merahmati kedua imam, An-Nawawi dan Ibnu Hajar, serta mengampuni kesalahan mereka.”Syekh Shalih bin Fauzan ketika ditanya mengenai sikap kita terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah, beliau memberikan nasihat yang begitu mendalam. Beliau berkata,“Pertama: Tidak sepantasnya bagi para penuntut ilmu pemula dan juga kalangan awam untuk sibuk dalam menjatuhkan vonis bid’ah atau fasik terhadap orang lain. Hal ini merupakan perkara yang berbahaya, sementara mereka tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang cukup dalam masalah ini. Selain itu, hal ini juga dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Oleh karena itu, kewajiban mereka adalah fokus dalam menuntut ilmu, serta menjaga lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang justru membawa mudarat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.Kedua: Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang bukan bagian darinya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” [2]Jika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama karena ketidaktahuannya, maka ia dimaafkan karena kebodohannya dan tidak langsung divonis sebagai pelaku bid’ah. Namun, perbuatannya tetap dianggap sebagai bid’ah.Ketiga: Ulama yang memiliki kesalahan dalam ijtihad akibat menakwil sebagian sifat Allah, seperti Ibnu Hajar dan An-Nawawi, tidak boleh dihukumi sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Yang dikatakan adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan, tetapi mereka tetap diharapkan mendapatkan ampunan atas kekeliruan tersebut, karena mereka telah memberikan jasa besar dalam melayani Sunnah Rasulullah ﷺ.Mereka berdua adalah imam yang agung dan terpercaya di kalangan para ulama.” [3]Kedudukan dan pujian ulamaIbnu Hajar sangat tertarik pada sastra dan puisi hingga mencapai puncak keahlian di bidang ini. Beliau memiliki banyak karya puisi dengan ukuran sedang yang telah dicetak. Kemudian beliau beralih ke bidang hadis dan banyak mendengar hadis dari para guru. Beliau juga melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dan daerah lainnya untuk berguru kepada para ulama.Ibnu Hajar dikenal di antara ulama pada masanya dalam hal ilmu hadis, baik dalam penulisan maupun fatwa. Semua orang, baik yang dekat maupun yang jauh, bahkan musuh dan kawan, mengakui hafalan dan ketekunannya. Hingga akhirnya, gelar “Al-Hafiz” melekat pada namanya sebagai sebuah konsensus di antara para ulama.Al-Hafiz As-Sakhawi berkata, “Gurunya, Al-Iraqi, bersaksi bahwa ia adalah muridnya yang paling berpengetahuan tentang hadis.”Al-Hafiz As-Suyuthi berkata, “Beliau adalah imam dalam bidang ini bagi orang-orang yang mengikutinya, pemimpin pasukan ahli hadis, sandaran keberadaan dalam hal tauhiyah dan tashih (melemahkan dan mensahihkan hadis), dan hakim serta saksi paling agung dalam bab ta’dil dan tajrih (menilai perawi hadis).”Ketika Al-Iraqi akan wafat, ada yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan menggantikanmu?” Beliau menjawab, “Ibnu Hajar, kemudian putraku Abu Zur’ah, kemudian Al-Haitsami.”WafatImam Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi al-Qudhat pada tahun 852 H dan menghabiskan waktunya untuk menulis, mengajar, dan menghadiri majelis ilmu. Pada 11 Zulkaidah tahun itu, beliau jatuh sakit, namun tetap berusaha keluar untuk mengajar, mengimami salat, dan beribadah hingga kesehatannya semakin memburuk dan tidak mampu menghadiri salat Iduladha, padahal beliau jarang meninggalkan salat Jumat atau jemaah. Ketika merasa ajalnya dekat, beliau mengunjungi salah satu istrinya dan meminta maaf dengannya. Penyakitnya semakin parah hingga beliau tidak mampu berwudu, lalu salat sambil duduk, dan berhenti melakukan qiyamul lail. Beberapa ulama datang menjenguknya, seperti Ibnu ad-Dairi, al-‘Aini, Ibnu at-Tanisi, dan as-Safti.Ibnu Hajar wafat pada 28 Zulhijah. Kepergiannya membawa duka yang mendalam; toko-toko ditutup, dan jenazahnya diiringi dengan prosesi besar yang hanya bisa disamakan dengan pemakaman Ibnu Taimiyah. Muridnya, As-Sakhawi, menceritakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pemakamannya hanya diketahui oleh Allah. Penguasa, ulama, pejabat, bangsawan, dan orang-orang penting membawa jenazahnya.As-Suyuthi mengutip dari al-Mansuri bahwa hujan turun saat jenazah tiba di tempat salat meskipun bukan musim hujan. Salat jenazah dipimpin oleh Al-Balqini atas izin khalifah di Masjid al-Mu’minin di kawasan Ramliyyah, dan beliau dimakamkan di pemakaman Bani Khurubi, di antara makam Imam Syafi’i dan Muslim as-Sulami. Para qari’ dan hafizh Al-Qur’an terus berkumpul di makamnya selama sepekan untuk melantunkan Al-Qur’an dan meratapi kepergiannya. Berita kematiannya tersebar di berbagai wilayah Islam, dan salat ghaib dilakukan di Mekah, Baitul Maqdis, Al-Khalil, Damaskus, Aleppo, dan tempat-tempat lainnya.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Sumber: Diterjemahkan dan disunting ulang oleh penulis dari web: https://mawdoo3.com/ابن_حجر_العسقلانيCatatan kaki:[1] Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3: 241.[2] HR. Bukhari.[3] Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fawzan, 2: 211-212.
Daftar Isi ToggleAkidah Ibnu HajarSikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarKedudukan dan pujian ulamaWafatAkidah Ibnu HajarIbnu Hajar Al-Asqalani merupakan salah satu imam yang terpengaruh dengan akidah Asy’ariyah. Banyak pendapat beliau yang sesuai dengan akidah Asy’ariyah, sebagaimana yang terdapat di salah satu karyanya, yaitu Fathul Bari. Beberapa masalah akidah yang dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam kitabnya yang paling menonjol adalah:Menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk.Menafsirkan lafal-lafal sifat Allah yang berpotensi menimbulkan kesan tasybih dan menakwilkannya, baik secara global maupun terperinci.Berpendapat sebagaimana pendapat Asy’ariyah dalam masalah kalam Allah.Mengikuti pandangan Asy’ariyah dalam masalah qadha’ dan qadar.Menguatkan pendapat ulama besar Asy’ariyah.Sikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarLajnah Ad-Da’imah mengeluarkan fatwa terkait hal ini:“Sikap kami terhadap Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan ulama lainnya yang telah menakwil sebagian sifat Allah Ta’ala atau menyerahkan maknanya secara keseluruhan adalah:Mereka adalah para ulama besar umat Islam yang ilmunya telah memberi manfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan membalas mereka dengan sebaik-baik balasan atas jasa mereka kepada kita.Mereka termasuk Ahlus Sunnah dalam hal-hal yang sesuai dengan ajaran para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam salaf dalam tiga generasi pertama yang dipersaksikan oleh Nabi ﷺ sebagai generasi terbaik.Namun, mereka telah melakukan kesalahan dalam takwil terhadap teks-teks sifat Allah dan dalam hal-hal yang menyelisihi pemahaman salaf umat ini serta para imam Ahlus Sunnah. Baik itu dalam menakwil sifat dzatiyah (sifat yang melekat pada Dzat Allah), sifat fi’liyah (sifat yang terkait dengan perbuatan Allah), ataupun sebagian dari keduanya.Hanya kepada Allah kami memohon taufik. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” [1]Syekh Albani menyampaikan pendapat beliau mengenai sikapnya terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah. Beliau rahimahullah berkata,“Imam seperti An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta ulama lain yang serupa, adalah tidak adil jika dikatakan sebagai ahlul bid’ah. Saya tahu bahwa keduanya termasuk dalam mazhab Asy’ariyah, tetapi mereka tidak bermaksud menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, mereka keliru dalam memahami kebenaran. Mereka mengira bahwa akidah Asy’ariyah yang mereka warisi itu benar, karena dua alasan:1) Mereka mengira bahwa Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari tetap berada dalam keyakinan tersebut, padahal beliau telah meninggalkannya di akhir hayatnya.2) Mereka menyangka bahwa keyakinan tersebut benar, padahal sebenarnya tidak demikian.Semoga Allah merahmati kedua imam, An-Nawawi dan Ibnu Hajar, serta mengampuni kesalahan mereka.”Syekh Shalih bin Fauzan ketika ditanya mengenai sikap kita terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah, beliau memberikan nasihat yang begitu mendalam. Beliau berkata,“Pertama: Tidak sepantasnya bagi para penuntut ilmu pemula dan juga kalangan awam untuk sibuk dalam menjatuhkan vonis bid’ah atau fasik terhadap orang lain. Hal ini merupakan perkara yang berbahaya, sementara mereka tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang cukup dalam masalah ini. Selain itu, hal ini juga dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Oleh karena itu, kewajiban mereka adalah fokus dalam menuntut ilmu, serta menjaga lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang justru membawa mudarat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.Kedua: Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang bukan bagian darinya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” [2]Jika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama karena ketidaktahuannya, maka ia dimaafkan karena kebodohannya dan tidak langsung divonis sebagai pelaku bid’ah. Namun, perbuatannya tetap dianggap sebagai bid’ah.Ketiga: Ulama yang memiliki kesalahan dalam ijtihad akibat menakwil sebagian sifat Allah, seperti Ibnu Hajar dan An-Nawawi, tidak boleh dihukumi sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Yang dikatakan adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan, tetapi mereka tetap diharapkan mendapatkan ampunan atas kekeliruan tersebut, karena mereka telah memberikan jasa besar dalam melayani Sunnah Rasulullah ﷺ.Mereka berdua adalah imam yang agung dan terpercaya di kalangan para ulama.” [3]Kedudukan dan pujian ulamaIbnu Hajar sangat tertarik pada sastra dan puisi hingga mencapai puncak keahlian di bidang ini. Beliau memiliki banyak karya puisi dengan ukuran sedang yang telah dicetak. Kemudian beliau beralih ke bidang hadis dan banyak mendengar hadis dari para guru. Beliau juga melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dan daerah lainnya untuk berguru kepada para ulama.Ibnu Hajar dikenal di antara ulama pada masanya dalam hal ilmu hadis, baik dalam penulisan maupun fatwa. Semua orang, baik yang dekat maupun yang jauh, bahkan musuh dan kawan, mengakui hafalan dan ketekunannya. Hingga akhirnya, gelar “Al-Hafiz” melekat pada namanya sebagai sebuah konsensus di antara para ulama.Al-Hafiz As-Sakhawi berkata, “Gurunya, Al-Iraqi, bersaksi bahwa ia adalah muridnya yang paling berpengetahuan tentang hadis.”Al-Hafiz As-Suyuthi berkata, “Beliau adalah imam dalam bidang ini bagi orang-orang yang mengikutinya, pemimpin pasukan ahli hadis, sandaran keberadaan dalam hal tauhiyah dan tashih (melemahkan dan mensahihkan hadis), dan hakim serta saksi paling agung dalam bab ta’dil dan tajrih (menilai perawi hadis).”Ketika Al-Iraqi akan wafat, ada yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan menggantikanmu?” Beliau menjawab, “Ibnu Hajar, kemudian putraku Abu Zur’ah, kemudian Al-Haitsami.”WafatImam Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi al-Qudhat pada tahun 852 H dan menghabiskan waktunya untuk menulis, mengajar, dan menghadiri majelis ilmu. Pada 11 Zulkaidah tahun itu, beliau jatuh sakit, namun tetap berusaha keluar untuk mengajar, mengimami salat, dan beribadah hingga kesehatannya semakin memburuk dan tidak mampu menghadiri salat Iduladha, padahal beliau jarang meninggalkan salat Jumat atau jemaah. Ketika merasa ajalnya dekat, beliau mengunjungi salah satu istrinya dan meminta maaf dengannya. Penyakitnya semakin parah hingga beliau tidak mampu berwudu, lalu salat sambil duduk, dan berhenti melakukan qiyamul lail. Beberapa ulama datang menjenguknya, seperti Ibnu ad-Dairi, al-‘Aini, Ibnu at-Tanisi, dan as-Safti.Ibnu Hajar wafat pada 28 Zulhijah. Kepergiannya membawa duka yang mendalam; toko-toko ditutup, dan jenazahnya diiringi dengan prosesi besar yang hanya bisa disamakan dengan pemakaman Ibnu Taimiyah. Muridnya, As-Sakhawi, menceritakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pemakamannya hanya diketahui oleh Allah. Penguasa, ulama, pejabat, bangsawan, dan orang-orang penting membawa jenazahnya.As-Suyuthi mengutip dari al-Mansuri bahwa hujan turun saat jenazah tiba di tempat salat meskipun bukan musim hujan. Salat jenazah dipimpin oleh Al-Balqini atas izin khalifah di Masjid al-Mu’minin di kawasan Ramliyyah, dan beliau dimakamkan di pemakaman Bani Khurubi, di antara makam Imam Syafi’i dan Muslim as-Sulami. Para qari’ dan hafizh Al-Qur’an terus berkumpul di makamnya selama sepekan untuk melantunkan Al-Qur’an dan meratapi kepergiannya. Berita kematiannya tersebar di berbagai wilayah Islam, dan salat ghaib dilakukan di Mekah, Baitul Maqdis, Al-Khalil, Damaskus, Aleppo, dan tempat-tempat lainnya.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Sumber: Diterjemahkan dan disunting ulang oleh penulis dari web: https://mawdoo3.com/ابن_حجر_العسقلانيCatatan kaki:[1] Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3: 241.[2] HR. Bukhari.[3] Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fawzan, 2: 211-212.


Daftar Isi ToggleAkidah Ibnu HajarSikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarKedudukan dan pujian ulamaWafatAkidah Ibnu HajarIbnu Hajar Al-Asqalani merupakan salah satu imam yang terpengaruh dengan akidah Asy’ariyah. Banyak pendapat beliau yang sesuai dengan akidah Asy’ariyah, sebagaimana yang terdapat di salah satu karyanya, yaitu Fathul Bari. Beberapa masalah akidah yang dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam kitabnya yang paling menonjol adalah:Menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk.Menafsirkan lafal-lafal sifat Allah yang berpotensi menimbulkan kesan tasybih dan menakwilkannya, baik secara global maupun terperinci.Berpendapat sebagaimana pendapat Asy’ariyah dalam masalah kalam Allah.Mengikuti pandangan Asy’ariyah dalam masalah qadha’ dan qadar.Menguatkan pendapat ulama besar Asy’ariyah.Sikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu HajarLajnah Ad-Da’imah mengeluarkan fatwa terkait hal ini:“Sikap kami terhadap Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan ulama lainnya yang telah menakwil sebagian sifat Allah Ta’ala atau menyerahkan maknanya secara keseluruhan adalah:Mereka adalah para ulama besar umat Islam yang ilmunya telah memberi manfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan membalas mereka dengan sebaik-baik balasan atas jasa mereka kepada kita.Mereka termasuk Ahlus Sunnah dalam hal-hal yang sesuai dengan ajaran para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam salaf dalam tiga generasi pertama yang dipersaksikan oleh Nabi ﷺ sebagai generasi terbaik.Namun, mereka telah melakukan kesalahan dalam takwil terhadap teks-teks sifat Allah dan dalam hal-hal yang menyelisihi pemahaman salaf umat ini serta para imam Ahlus Sunnah. Baik itu dalam menakwil sifat dzatiyah (sifat yang melekat pada Dzat Allah), sifat fi’liyah (sifat yang terkait dengan perbuatan Allah), ataupun sebagian dari keduanya.Hanya kepada Allah kami memohon taufik. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” [1]Syekh Albani menyampaikan pendapat beliau mengenai sikapnya terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah. Beliau rahimahullah berkata,“Imam seperti An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta ulama lain yang serupa, adalah tidak adil jika dikatakan sebagai ahlul bid’ah. Saya tahu bahwa keduanya termasuk dalam mazhab Asy’ariyah, tetapi mereka tidak bermaksud menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, mereka keliru dalam memahami kebenaran. Mereka mengira bahwa akidah Asy’ariyah yang mereka warisi itu benar, karena dua alasan:1) Mereka mengira bahwa Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari tetap berada dalam keyakinan tersebut, padahal beliau telah meninggalkannya di akhir hayatnya.2) Mereka menyangka bahwa keyakinan tersebut benar, padahal sebenarnya tidak demikian.Semoga Allah merahmati kedua imam, An-Nawawi dan Ibnu Hajar, serta mengampuni kesalahan mereka.”Syekh Shalih bin Fauzan ketika ditanya mengenai sikap kita terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah, beliau memberikan nasihat yang begitu mendalam. Beliau berkata,“Pertama: Tidak sepantasnya bagi para penuntut ilmu pemula dan juga kalangan awam untuk sibuk dalam menjatuhkan vonis bid’ah atau fasik terhadap orang lain. Hal ini merupakan perkara yang berbahaya, sementara mereka tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang cukup dalam masalah ini. Selain itu, hal ini juga dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Oleh karena itu, kewajiban mereka adalah fokus dalam menuntut ilmu, serta menjaga lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang justru membawa mudarat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.Kedua: Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang bukan bagian darinya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” [2]Jika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama karena ketidaktahuannya, maka ia dimaafkan karena kebodohannya dan tidak langsung divonis sebagai pelaku bid’ah. Namun, perbuatannya tetap dianggap sebagai bid’ah.Ketiga: Ulama yang memiliki kesalahan dalam ijtihad akibat menakwil sebagian sifat Allah, seperti Ibnu Hajar dan An-Nawawi, tidak boleh dihukumi sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Yang dikatakan adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan, tetapi mereka tetap diharapkan mendapatkan ampunan atas kekeliruan tersebut, karena mereka telah memberikan jasa besar dalam melayani Sunnah Rasulullah ﷺ.Mereka berdua adalah imam yang agung dan terpercaya di kalangan para ulama.” [3]Kedudukan dan pujian ulamaIbnu Hajar sangat tertarik pada sastra dan puisi hingga mencapai puncak keahlian di bidang ini. Beliau memiliki banyak karya puisi dengan ukuran sedang yang telah dicetak. Kemudian beliau beralih ke bidang hadis dan banyak mendengar hadis dari para guru. Beliau juga melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dan daerah lainnya untuk berguru kepada para ulama.Ibnu Hajar dikenal di antara ulama pada masanya dalam hal ilmu hadis, baik dalam penulisan maupun fatwa. Semua orang, baik yang dekat maupun yang jauh, bahkan musuh dan kawan, mengakui hafalan dan ketekunannya. Hingga akhirnya, gelar “Al-Hafiz” melekat pada namanya sebagai sebuah konsensus di antara para ulama.Al-Hafiz As-Sakhawi berkata, “Gurunya, Al-Iraqi, bersaksi bahwa ia adalah muridnya yang paling berpengetahuan tentang hadis.”Al-Hafiz As-Suyuthi berkata, “Beliau adalah imam dalam bidang ini bagi orang-orang yang mengikutinya, pemimpin pasukan ahli hadis, sandaran keberadaan dalam hal tauhiyah dan tashih (melemahkan dan mensahihkan hadis), dan hakim serta saksi paling agung dalam bab ta’dil dan tajrih (menilai perawi hadis).”Ketika Al-Iraqi akan wafat, ada yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan menggantikanmu?” Beliau menjawab, “Ibnu Hajar, kemudian putraku Abu Zur’ah, kemudian Al-Haitsami.”WafatImam Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi al-Qudhat pada tahun 852 H dan menghabiskan waktunya untuk menulis, mengajar, dan menghadiri majelis ilmu. Pada 11 Zulkaidah tahun itu, beliau jatuh sakit, namun tetap berusaha keluar untuk mengajar, mengimami salat, dan beribadah hingga kesehatannya semakin memburuk dan tidak mampu menghadiri salat Iduladha, padahal beliau jarang meninggalkan salat Jumat atau jemaah. Ketika merasa ajalnya dekat, beliau mengunjungi salah satu istrinya dan meminta maaf dengannya. Penyakitnya semakin parah hingga beliau tidak mampu berwudu, lalu salat sambil duduk, dan berhenti melakukan qiyamul lail. Beberapa ulama datang menjenguknya, seperti Ibnu ad-Dairi, al-‘Aini, Ibnu at-Tanisi, dan as-Safti.Ibnu Hajar wafat pada 28 Zulhijah. Kepergiannya membawa duka yang mendalam; toko-toko ditutup, dan jenazahnya diiringi dengan prosesi besar yang hanya bisa disamakan dengan pemakaman Ibnu Taimiyah. Muridnya, As-Sakhawi, menceritakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pemakamannya hanya diketahui oleh Allah. Penguasa, ulama, pejabat, bangsawan, dan orang-orang penting membawa jenazahnya.As-Suyuthi mengutip dari al-Mansuri bahwa hujan turun saat jenazah tiba di tempat salat meskipun bukan musim hujan. Salat jenazah dipimpin oleh Al-Balqini atas izin khalifah di Masjid al-Mu’minin di kawasan Ramliyyah, dan beliau dimakamkan di pemakaman Bani Khurubi, di antara makam Imam Syafi’i dan Muslim as-Sulami. Para qari’ dan hafizh Al-Qur’an terus berkumpul di makamnya selama sepekan untuk melantunkan Al-Qur’an dan meratapi kepergiannya. Berita kematiannya tersebar di berbagai wilayah Islam, dan salat ghaib dilakukan di Mekah, Baitul Maqdis, Al-Khalil, Damaskus, Aleppo, dan tempat-tempat lainnya.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Sumber: Diterjemahkan dan disunting ulang oleh penulis dari web: https://mawdoo3.com/ابن_حجر_العسقلانيCatatan kaki:[1] Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3: 241.[2] HR. Bukhari.[3] Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fawzan, 2: 211-212.

Kisah Sebutir Kurma yang Membuatnya Masuk Surga – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Pernah datang kepadaku seorang wanita miskin bersama dua putrinya untuk meminta makanan. Lalu aku memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberikan masing-masing satu butir kurma kepada kedua putrinya, dan mengambil satu butir kurma terakhir untuk ia makan. Namun, kedua putrinya meminta kurma terakhir itu. Akhirnya, wanita itu membelah kurma itu menjadi dua bagian, lalu memberi masing-masing anaknya setengah butir kurma.” maka aku ceritakan kejadian ini kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah menetapkan surga baginya karena perbuatan itu, atau membebaskannya dari neraka karenanya.’” Subhānallāh! Bersedekah dengan satu butir kurma kepada dua putrinya, Allah menjadikannya penghuni surga! Kisah ini menunjukkan betapa besar karunia Allah ‘Azza wa Jalla dan betapa luas rahmat serta kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada orang-orang fakir, miskin, dan dhuafa. Wanita itu berbuat baik dengan memberikan sebutir kurma kepada kedua putrinya. Padahal, tampaknya ia sendiri juga dalam kondisi memerlukan kurma itu. Namun, wanita itu lebih mengutamakan kedua putrinya daripada dirinya sendiri. Lalu ia memberikan kurma itu kepada kedua putrinya. Perbuatan ini pun sangat dihargai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga Allah Ta’ala mewajibkan wanita tersebut masuk surga. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim, jangan pernah meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi, sedekah—meskipun hanya sedikit— yang kamu berikan kepada fakir atau miskin, sangat berharga di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan sedekah itu, Allah akan mengangkat derajatmu, atau dengannya, Allah menghapuskan dosa-dosamu. Berbuat baik kepada kaum dhuafa, orang fakir, miskin, janda, dan anak yatim, pahalanya di sisi Allah sangat besar dan keutamaannya begitu agung, dan orang yang melakukannya adalah orang yang mendapat taufik dari Allah. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْنِي امْرَأَةٌ مِسْكِينَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ تَسْتَطْعِمُنِي فَأَعْطَيْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا تَمْرَةً وَرَفَعَتِ التَّمْرَةَ الثَّالِثَةَ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَأَخَذَتِ التَّمْرَةَ وَشَقَّتْهَا نِصْفَيْنِ وَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا نِصْفَ تَمْرَةٍ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ سُبْحَانَ اللَّهِ صَدَقَةٌ بِتَمْرَةٍ عَلَى ابْنَتَيْهَا أَوْجَبَ اللَّهُ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ فَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظِيمِ رَحْمَتِهِ وَإِحْسَانِهِ لِعِبَادِهِ وَيَدُلُّ كَذَلِكَ عَلَى فَضْلِ الإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالضُّعَفَاءِ فَهَذِهِ الْمَرْأَةُ أَحْسَنَتْ بِهَذِهِ التَّمْرَةِ إِلَى ابْنَتَيْهَا وَيَظْهَرُ أَنَّهَا كَانَتْ مُحْتَاجَةً لَهَا لَكِنَّهَا آثَرَتْ ابْنَتَيْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَأَعْطَتْ ابْنَتَيْهَا هَذِهِ التَّمْرَةَ فَوَقَعَتْ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا فَأَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَلِهَذَا يَا أَخِي الْمُسْلِمَ لَا تَحْقِرْ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ رَبُّ صَدَقَةٍ وَلَوْ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ مِسْكِينٍ تَقَعُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا يَرْفَعُكَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا دَرَجَاتٍ أَوْ يَحُطُّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَاتٍ فَالْإِحْسَانُ إِلَى الضُّعَفَاءِ وَإِلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْأَرَامِلِ وَالْيَتَامَى أُجْرُهُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَظِيمٌ جِدًّا وَفَضْلُهُ كَبِيرٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ

Kisah Sebutir Kurma yang Membuatnya Masuk Surga – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Pernah datang kepadaku seorang wanita miskin bersama dua putrinya untuk meminta makanan. Lalu aku memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberikan masing-masing satu butir kurma kepada kedua putrinya, dan mengambil satu butir kurma terakhir untuk ia makan. Namun, kedua putrinya meminta kurma terakhir itu. Akhirnya, wanita itu membelah kurma itu menjadi dua bagian, lalu memberi masing-masing anaknya setengah butir kurma.” maka aku ceritakan kejadian ini kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah menetapkan surga baginya karena perbuatan itu, atau membebaskannya dari neraka karenanya.’” Subhānallāh! Bersedekah dengan satu butir kurma kepada dua putrinya, Allah menjadikannya penghuni surga! Kisah ini menunjukkan betapa besar karunia Allah ‘Azza wa Jalla dan betapa luas rahmat serta kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada orang-orang fakir, miskin, dan dhuafa. Wanita itu berbuat baik dengan memberikan sebutir kurma kepada kedua putrinya. Padahal, tampaknya ia sendiri juga dalam kondisi memerlukan kurma itu. Namun, wanita itu lebih mengutamakan kedua putrinya daripada dirinya sendiri. Lalu ia memberikan kurma itu kepada kedua putrinya. Perbuatan ini pun sangat dihargai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga Allah Ta’ala mewajibkan wanita tersebut masuk surga. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim, jangan pernah meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi, sedekah—meskipun hanya sedikit— yang kamu berikan kepada fakir atau miskin, sangat berharga di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan sedekah itu, Allah akan mengangkat derajatmu, atau dengannya, Allah menghapuskan dosa-dosamu. Berbuat baik kepada kaum dhuafa, orang fakir, miskin, janda, dan anak yatim, pahalanya di sisi Allah sangat besar dan keutamaannya begitu agung, dan orang yang melakukannya adalah orang yang mendapat taufik dari Allah. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْنِي امْرَأَةٌ مِسْكِينَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ تَسْتَطْعِمُنِي فَأَعْطَيْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا تَمْرَةً وَرَفَعَتِ التَّمْرَةَ الثَّالِثَةَ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَأَخَذَتِ التَّمْرَةَ وَشَقَّتْهَا نِصْفَيْنِ وَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا نِصْفَ تَمْرَةٍ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ سُبْحَانَ اللَّهِ صَدَقَةٌ بِتَمْرَةٍ عَلَى ابْنَتَيْهَا أَوْجَبَ اللَّهُ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ فَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظِيمِ رَحْمَتِهِ وَإِحْسَانِهِ لِعِبَادِهِ وَيَدُلُّ كَذَلِكَ عَلَى فَضْلِ الإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالضُّعَفَاءِ فَهَذِهِ الْمَرْأَةُ أَحْسَنَتْ بِهَذِهِ التَّمْرَةِ إِلَى ابْنَتَيْهَا وَيَظْهَرُ أَنَّهَا كَانَتْ مُحْتَاجَةً لَهَا لَكِنَّهَا آثَرَتْ ابْنَتَيْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَأَعْطَتْ ابْنَتَيْهَا هَذِهِ التَّمْرَةَ فَوَقَعَتْ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا فَأَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَلِهَذَا يَا أَخِي الْمُسْلِمَ لَا تَحْقِرْ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ رَبُّ صَدَقَةٍ وَلَوْ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ مِسْكِينٍ تَقَعُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا يَرْفَعُكَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا دَرَجَاتٍ أَوْ يَحُطُّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَاتٍ فَالْإِحْسَانُ إِلَى الضُّعَفَاءِ وَإِلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْأَرَامِلِ وَالْيَتَامَى أُجْرُهُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَظِيمٌ جِدًّا وَفَضْلُهُ كَبِيرٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Pernah datang kepadaku seorang wanita miskin bersama dua putrinya untuk meminta makanan. Lalu aku memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberikan masing-masing satu butir kurma kepada kedua putrinya, dan mengambil satu butir kurma terakhir untuk ia makan. Namun, kedua putrinya meminta kurma terakhir itu. Akhirnya, wanita itu membelah kurma itu menjadi dua bagian, lalu memberi masing-masing anaknya setengah butir kurma.” maka aku ceritakan kejadian ini kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah menetapkan surga baginya karena perbuatan itu, atau membebaskannya dari neraka karenanya.’” Subhānallāh! Bersedekah dengan satu butir kurma kepada dua putrinya, Allah menjadikannya penghuni surga! Kisah ini menunjukkan betapa besar karunia Allah ‘Azza wa Jalla dan betapa luas rahmat serta kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada orang-orang fakir, miskin, dan dhuafa. Wanita itu berbuat baik dengan memberikan sebutir kurma kepada kedua putrinya. Padahal, tampaknya ia sendiri juga dalam kondisi memerlukan kurma itu. Namun, wanita itu lebih mengutamakan kedua putrinya daripada dirinya sendiri. Lalu ia memberikan kurma itu kepada kedua putrinya. Perbuatan ini pun sangat dihargai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga Allah Ta’ala mewajibkan wanita tersebut masuk surga. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim, jangan pernah meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi, sedekah—meskipun hanya sedikit— yang kamu berikan kepada fakir atau miskin, sangat berharga di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan sedekah itu, Allah akan mengangkat derajatmu, atau dengannya, Allah menghapuskan dosa-dosamu. Berbuat baik kepada kaum dhuafa, orang fakir, miskin, janda, dan anak yatim, pahalanya di sisi Allah sangat besar dan keutamaannya begitu agung, dan orang yang melakukannya adalah orang yang mendapat taufik dari Allah. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْنِي امْرَأَةٌ مِسْكِينَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ تَسْتَطْعِمُنِي فَأَعْطَيْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا تَمْرَةً وَرَفَعَتِ التَّمْرَةَ الثَّالِثَةَ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَأَخَذَتِ التَّمْرَةَ وَشَقَّتْهَا نِصْفَيْنِ وَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا نِصْفَ تَمْرَةٍ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ سُبْحَانَ اللَّهِ صَدَقَةٌ بِتَمْرَةٍ عَلَى ابْنَتَيْهَا أَوْجَبَ اللَّهُ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ فَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظِيمِ رَحْمَتِهِ وَإِحْسَانِهِ لِعِبَادِهِ وَيَدُلُّ كَذَلِكَ عَلَى فَضْلِ الإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالضُّعَفَاءِ فَهَذِهِ الْمَرْأَةُ أَحْسَنَتْ بِهَذِهِ التَّمْرَةِ إِلَى ابْنَتَيْهَا وَيَظْهَرُ أَنَّهَا كَانَتْ مُحْتَاجَةً لَهَا لَكِنَّهَا آثَرَتْ ابْنَتَيْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَأَعْطَتْ ابْنَتَيْهَا هَذِهِ التَّمْرَةَ فَوَقَعَتْ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا فَأَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَلِهَذَا يَا أَخِي الْمُسْلِمَ لَا تَحْقِرْ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ رَبُّ صَدَقَةٍ وَلَوْ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ مِسْكِينٍ تَقَعُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا يَرْفَعُكَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا دَرَجَاتٍ أَوْ يَحُطُّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَاتٍ فَالْإِحْسَانُ إِلَى الضُّعَفَاءِ وَإِلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْأَرَامِلِ وَالْيَتَامَى أُجْرُهُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَظِيمٌ جِدًّا وَفَضْلُهُ كَبِيرٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ


Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Pernah datang kepadaku seorang wanita miskin bersama dua putrinya untuk meminta makanan. Lalu aku memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberikan masing-masing satu butir kurma kepada kedua putrinya, dan mengambil satu butir kurma terakhir untuk ia makan. Namun, kedua putrinya meminta kurma terakhir itu. Akhirnya, wanita itu membelah kurma itu menjadi dua bagian, lalu memberi masing-masing anaknya setengah butir kurma.” maka aku ceritakan kejadian ini kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah menetapkan surga baginya karena perbuatan itu, atau membebaskannya dari neraka karenanya.’” Subhānallāh! Bersedekah dengan satu butir kurma kepada dua putrinya, Allah menjadikannya penghuni surga! Kisah ini menunjukkan betapa besar karunia Allah ‘Azza wa Jalla dan betapa luas rahmat serta kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada orang-orang fakir, miskin, dan dhuafa. Wanita itu berbuat baik dengan memberikan sebutir kurma kepada kedua putrinya. Padahal, tampaknya ia sendiri juga dalam kondisi memerlukan kurma itu. Namun, wanita itu lebih mengutamakan kedua putrinya daripada dirinya sendiri. Lalu ia memberikan kurma itu kepada kedua putrinya. Perbuatan ini pun sangat dihargai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga Allah Ta’ala mewajibkan wanita tersebut masuk surga. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim, jangan pernah meremehkan amal saleh sekecil apa pun. Bisa jadi, sedekah—meskipun hanya sedikit— yang kamu berikan kepada fakir atau miskin, sangat berharga di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan sedekah itu, Allah akan mengangkat derajatmu, atau dengannya, Allah menghapuskan dosa-dosamu. Berbuat baik kepada kaum dhuafa, orang fakir, miskin, janda, dan anak yatim, pahalanya di sisi Allah sangat besar dan keutamaannya begitu agung, dan orang yang melakukannya adalah orang yang mendapat taufik dari Allah. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْنِي امْرَأَةٌ مِسْكِينَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ تَسْتَطْعِمُنِي فَأَعْطَيْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا تَمْرَةً وَرَفَعَتِ التَّمْرَةَ الثَّالِثَةَ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَأَخَذَتِ التَّمْرَةَ وَشَقَّتْهَا نِصْفَيْنِ وَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنِ ابْنَتَيْهَا نِصْفَ تَمْرَةٍ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ سُبْحَانَ اللَّهِ صَدَقَةٌ بِتَمْرَةٍ عَلَى ابْنَتَيْهَا أَوْجَبَ اللَّهُ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ هَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ فَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَظِيمِ رَحْمَتِهِ وَإِحْسَانِهِ لِعِبَادِهِ وَيَدُلُّ كَذَلِكَ عَلَى فَضْلِ الإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالضُّعَفَاءِ فَهَذِهِ الْمَرْأَةُ أَحْسَنَتْ بِهَذِهِ التَّمْرَةِ إِلَى ابْنَتَيْهَا وَيَظْهَرُ أَنَّهَا كَانَتْ مُحْتَاجَةً لَهَا لَكِنَّهَا آثَرَتْ ابْنَتَيْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَأَعْطَتْ ابْنَتَيْهَا هَذِهِ التَّمْرَةَ فَوَقَعَتْ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا فَأَوْجَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَلِهَذَا يَا أَخِي الْمُسْلِمَ لَا تَحْقِرْ أَيَّ عَمَلٍ صَالِحٍ رَبُّ صَدَقَةٍ وَلَوْ بِمَبْلَغٍ يَسِيرٍ تَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ مِسْكِينٍ تَقَعُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَوْقِعًا عَظِيمًا يَرْفَعُكَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا دَرَجَاتٍ أَوْ يَحُطُّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَاتٍ فَالْإِحْسَانُ إِلَى الضُّعَفَاءِ وَإِلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْأَرَامِلِ وَالْيَتَامَى أُجْرُهُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَظِيمٌ جِدًّا وَفَضْلُهُ كَبِيرٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ
Prev     Next