Mau Cita-Citamu Terwujud? Usaha + Amal + Harapan kepada Allah – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf

“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ

Mau Cita-Citamu Terwujud? Usaha + Amal + Harapan kepada Allah – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf

“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ
“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ


“… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218) Syaikh Abdurrahman memiliki ucapan yang bagus dalam hal ini, wahai saudara-saudara, dan saya anjurkan kepada kalian untuk merujuk kitab ini. Bacalah kitab tersebut, semoga Allah memberkahi kalian. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata atau menyebutkan: bahwa harapan tidak mungkin terwujud kecuali dengan apa? Dengan menjalankan sebab-sebab yang membawa kepada kebahagiaan. Adapun harapan yang tidak disertai dengan usaha, maka itu adalah harapan orang-orang lemah dan yang tidak beramal. Syaikh menambahkan, “Dia bagaikan orang yang mengharapkan anak, tetapi tidak menikah.” Maka, wajib bagi seseorang untuk menjalankan sebab-sebab yang mendatangkan harapannya. Dari mana Syaikh—semoga Allah merahmatinya—mengambil faedah ini? Dari firman Allah tentang orang-orang yang melakukan sebab-sebab: mereka beriman, berhijrah, dan berjihad… (Lihat QS. Al-Baqarah: 218). Kemudian Allah berfirman: “… mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” Lalu beliau menyebutkan faedah kedua dari ayat ini: Sebanyak apa pun amal yang dikerjakan seseorang, ia tetap tidak boleh bersandar atau bertumpu pada amalannya itu. Namun, hendaklah ia hanya berharap rahmat Allah. Dari mana faedah ini kita dapat, wahai saudara-saudara? Yaitu dari kenyataan bahwa mereka telah beriman, berhijrah, dan berjihad. Namun kendati demikian, mereka tetap hanya mengharapkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka itulah yang mengharapkan…” Mereka tidak dipastikan mendapat rahmat, wahai saudara-saudara! Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang mengerjakan amal saleh, ia tidak boleh memastikan bahwa amalnya diterima, akan tetapi hendaklah ia berharap dengan harapan yang melahirkan sangkaan baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar! Ia berbaik sangka kepada Tuhannya, bahwa jika ia mengerjakan amal saleh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pemurah daripada sekadar menerima amal itu. Akan tetapi, ia tidak boleh meyakini bahwa cukup dengan beramal, lalu urusannya selesai. Tidak! Melainkan ia terus beramal, dan tetap dalam keadaan apa, wahai saudara-saudara? Tetap berharap kepada Tuhannya Subhanahu wa bihamdihi. ===== أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَهُ كَلَامٌ حَسَنٌ يَا إِخْوَانِي وَأَنَا أُوصِيْكُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى هَذَا الْكِتَابِ اقْرَؤُوْهُ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَوْ ذَكَرَ أَنَّ الرَّجَاءَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِمَاذَا؟ بِفِعْلِ أَسْبَابِ السَّعَادَةِ أَمَّا إِذَا كَانَ الرَّجَاءُ دُونَ أَسْبَابٍ فَهُوَ رَجَاءُ الْعَاجِزِينَ وَالْبَطَّالِيْنَ قَالَ وَهُوَ كَمَنَ يَرْجُو وَلَدًا دُونَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فَلَا بُدَّ مِنْ فِعْلِ أَسْبَابِ الرَّجَاءِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَ هَذَا رَحِمَهُ اللَّهُ؟ فَعَلُوا الْأَسْبَابَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا ثُمَّ قَالَ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ لَطِيفَةً ثَانِيَةً فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَهِيَ أَنَّ الْإِنْسَانَ مَهْمَا عَمِلَ مِنَ الْأَعْمَالِ فَلَا يُعَوِّلُ عَلَى عَمَلِهِ وَلَا يَرْكَنُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا يَرْجُو مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ يَا إِخْوَانُ؟ أَنَّ هَؤُلَاءِ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا وَمَعَ ذَلِكَ كَانُوا يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أُولَئِكَ يَرْجُونَ مَا قُطِعَ لَهُمْ يَا إِخْوَانِي بِالرَّحْمَةِ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا عَمِلَ الْعَمَلَ الصَّالِحَ لَا يَقْطَعُ لِنَفْسِهِ بِالْقَبُولِ وَلَكِنْ يَرْجُو رَجَاءً يُورِثُهُ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ نَعَمْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِرَبِّهِ أَنَّهُ إِذَا عَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَكْرَمُ مِنْهُ لَكِنْ لَا يَعْتَقِدُ أَنَّهُ خَلَاصٌ عَمِلَ وَانْتَهَى الْأَمْرُ لَا بَلْ يَعْمَلُ وَلَا يَزَالُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ رَاجِيًا لِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ

Imam Syafi’i Sakit, Muridnya Salah Ucap, Tapi Lihat Cara Beliau Menyikapinya! – Syaikh Utsman Khamis

Imam Asy-Syafi’i pernah dijenguk oleh muridnya, Ar-Rabi’. Saat itu, Imam Asy-Syafi’i sedang sakit. Lalu muridnya berkata kepadanya, “Semoga Allah menambahkan untukmu…” Apa katanya tadi? “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” Kalimat “Semoga Allah menguatkan lemahmu” memiliki dua kemungkinan makna. Pertama: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menguatkan dirimu. Kedua: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menambah kelemahanmu. Imam Asy-Syafi’i—yang ketika itu sedang sakit—adalah sosok yang lembut, semoga Allah merahmatinya. Beliau pun menjawab, “Andai Allah menambah kelemahanku, aku pasti mati.” Maksudnya: “Jika sakitku bertambah parah, aku tidak sanggup menahannya.” “Jika kelemahanku diperkuat, aku pasti mati.” Muridnya segera berkata, “Demi Allah, wahai Imam, aku tidak bermaksud demikian!” “Aku maksudkan: semoga Allah menguatkan lemahmu, dalam makna yang kedua, yaitu semoga Allah menghilangkan kelemahanmu dan menggantinya dengan kekuatan.” Ia menegaskan, “Demi Allah, aku tidak bermaksud yang pertama itu!” Maka Asy-Syafi’i berkata, “Demi Allah! Sekalipun kamu menghinaku, pasti aku tahu bahwa itu bukan maksudmu.” Inilah yang disebut berbaik sangka. Banyak orang, ketika mendengar satu kalimat yang bisa ditafsirkan dalam tujuh belas makna, justru memilih satu makna yang paling buruk di antaranya. Berbaik sangkalah terhadap saudara-saudara kalian! Bahkan, ada yang pernah bercerita kepadaku bahwa ia menasihati seseorang, tapi orang itu malah marah. Mungkin caranya menasihati kurang baik, tapi wahai saudaraku, terimalah nasihat itu dan ambil kebaikannya. Sebagian orang memang tidak pandai dalam menyampaikan nasihat, tetapi apakah ucapannya benar atau tidak? Bahkan jika ucapannya tidak benar sekalipun, cukup katakan, “Jazakallahu khairan,” lalu terimalah dengan lapang dada. Bersikaplah lembut terhadap saudara-saudaramu. Permudahlah urusan mereka. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. ===== يَعْنِي الشَّافِعِيُّ دَخَلَ عَلَيْهِ تِلْمِيذُهُ الرَّبِيعُ وَكَانَ الشَّافِعِيُّ مَرِيضًا فَقَالَ لَهُ تِلْمِيذُهُ زَادَكَ اللَّهُ أَيْش قَال؟ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ تَحْتَمِلُ مَعْنَيَيْنِ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَعْنِي قَوَّاكَ وَقَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ زَادَ اللَّهُ ضَعْفَكَ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ مَرِيضٌ كَانَتْ يَعْنِي نَفْسُهُ لَطِيفَةٌ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَقَالَ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ يَعْنِي أَكْثَرَ مِنْ شِدَّتِهِ أَمُوتُ مَا أَقْدِرُ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ فَقَالَ يَا إِمَامُ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذَا يَعْنِي قَصَدْتُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ الثَّانِيَةَ الَّتِي هِيَ أَزَالَ اللَّهُ الْضَّعْفَ وَأَبْدَلَهُ قُوَّةً قَالَ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذِهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَاللَّهِ لَوْ سَبَبْتَنِي لَعَلِمْتُ إِنَّكَ لَا تَقْصِدُ هَذَا إِحْسَانُ الظَّنِّ هَذَا النَّاسُ حِينَ كَلِمَةٍ تَحْتَمِلُ سَبْعَةَ عَشَرَ مَعْنًى يَأْخُذُ مِنْ سَبْعَةَ عَشَرَ الَّذِي هُو الَّذِي فِيهَا الشَّيْنُ أَحْسِنُوا الظَّنَّ بِإِخْوَانِكُمْ يَعْنِي حَتَّى حَدَّثَنِي بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدَّمَ نَصِيحَةً إِلَى أَحَدِهِمْ فَغَضِبَ لَعَلَّ أُسْلُوبَهُ كَانَ سَيِّئًا وَكَذَا لَكِنْ يَا أَخِي تَقَبَّلْ خَلَاصٌ خُذِ الْخَيْرَ بَعْضُ النَّاسِ قَدْ يَكُونُ أُسْلُوبُهُ لَيْس جَيِّدًا لَكِنْ الْكَلَامُ الَّذِي قَالَه صَحَّ وَلَا لَا؟ حَتَّى لَوْ لَمْ يَكُنْ صَحَّ طَيِّبٌ قُلْ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً وَتَقَبَّلْ لِيْنُوا بَيْنَ أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ يَعْنِي سَهِّلِ الْأُمُورَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Imam Syafi’i Sakit, Muridnya Salah Ucap, Tapi Lihat Cara Beliau Menyikapinya! – Syaikh Utsman Khamis

Imam Asy-Syafi’i pernah dijenguk oleh muridnya, Ar-Rabi’. Saat itu, Imam Asy-Syafi’i sedang sakit. Lalu muridnya berkata kepadanya, “Semoga Allah menambahkan untukmu…” Apa katanya tadi? “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” Kalimat “Semoga Allah menguatkan lemahmu” memiliki dua kemungkinan makna. Pertama: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menguatkan dirimu. Kedua: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menambah kelemahanmu. Imam Asy-Syafi’i—yang ketika itu sedang sakit—adalah sosok yang lembut, semoga Allah merahmatinya. Beliau pun menjawab, “Andai Allah menambah kelemahanku, aku pasti mati.” Maksudnya: “Jika sakitku bertambah parah, aku tidak sanggup menahannya.” “Jika kelemahanku diperkuat, aku pasti mati.” Muridnya segera berkata, “Demi Allah, wahai Imam, aku tidak bermaksud demikian!” “Aku maksudkan: semoga Allah menguatkan lemahmu, dalam makna yang kedua, yaitu semoga Allah menghilangkan kelemahanmu dan menggantinya dengan kekuatan.” Ia menegaskan, “Demi Allah, aku tidak bermaksud yang pertama itu!” Maka Asy-Syafi’i berkata, “Demi Allah! Sekalipun kamu menghinaku, pasti aku tahu bahwa itu bukan maksudmu.” Inilah yang disebut berbaik sangka. Banyak orang, ketika mendengar satu kalimat yang bisa ditafsirkan dalam tujuh belas makna, justru memilih satu makna yang paling buruk di antaranya. Berbaik sangkalah terhadap saudara-saudara kalian! Bahkan, ada yang pernah bercerita kepadaku bahwa ia menasihati seseorang, tapi orang itu malah marah. Mungkin caranya menasihati kurang baik, tapi wahai saudaraku, terimalah nasihat itu dan ambil kebaikannya. Sebagian orang memang tidak pandai dalam menyampaikan nasihat, tetapi apakah ucapannya benar atau tidak? Bahkan jika ucapannya tidak benar sekalipun, cukup katakan, “Jazakallahu khairan,” lalu terimalah dengan lapang dada. Bersikaplah lembut terhadap saudara-saudaramu. Permudahlah urusan mereka. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. ===== يَعْنِي الشَّافِعِيُّ دَخَلَ عَلَيْهِ تِلْمِيذُهُ الرَّبِيعُ وَكَانَ الشَّافِعِيُّ مَرِيضًا فَقَالَ لَهُ تِلْمِيذُهُ زَادَكَ اللَّهُ أَيْش قَال؟ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ تَحْتَمِلُ مَعْنَيَيْنِ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَعْنِي قَوَّاكَ وَقَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ زَادَ اللَّهُ ضَعْفَكَ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ مَرِيضٌ كَانَتْ يَعْنِي نَفْسُهُ لَطِيفَةٌ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَقَالَ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ يَعْنِي أَكْثَرَ مِنْ شِدَّتِهِ أَمُوتُ مَا أَقْدِرُ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ فَقَالَ يَا إِمَامُ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذَا يَعْنِي قَصَدْتُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ الثَّانِيَةَ الَّتِي هِيَ أَزَالَ اللَّهُ الْضَّعْفَ وَأَبْدَلَهُ قُوَّةً قَالَ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذِهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَاللَّهِ لَوْ سَبَبْتَنِي لَعَلِمْتُ إِنَّكَ لَا تَقْصِدُ هَذَا إِحْسَانُ الظَّنِّ هَذَا النَّاسُ حِينَ كَلِمَةٍ تَحْتَمِلُ سَبْعَةَ عَشَرَ مَعْنًى يَأْخُذُ مِنْ سَبْعَةَ عَشَرَ الَّذِي هُو الَّذِي فِيهَا الشَّيْنُ أَحْسِنُوا الظَّنَّ بِإِخْوَانِكُمْ يَعْنِي حَتَّى حَدَّثَنِي بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدَّمَ نَصِيحَةً إِلَى أَحَدِهِمْ فَغَضِبَ لَعَلَّ أُسْلُوبَهُ كَانَ سَيِّئًا وَكَذَا لَكِنْ يَا أَخِي تَقَبَّلْ خَلَاصٌ خُذِ الْخَيْرَ بَعْضُ النَّاسِ قَدْ يَكُونُ أُسْلُوبُهُ لَيْس جَيِّدًا لَكِنْ الْكَلَامُ الَّذِي قَالَه صَحَّ وَلَا لَا؟ حَتَّى لَوْ لَمْ يَكُنْ صَحَّ طَيِّبٌ قُلْ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً وَتَقَبَّلْ لِيْنُوا بَيْنَ أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ يَعْنِي سَهِّلِ الْأُمُورَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
Imam Asy-Syafi’i pernah dijenguk oleh muridnya, Ar-Rabi’. Saat itu, Imam Asy-Syafi’i sedang sakit. Lalu muridnya berkata kepadanya, “Semoga Allah menambahkan untukmu…” Apa katanya tadi? “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” Kalimat “Semoga Allah menguatkan lemahmu” memiliki dua kemungkinan makna. Pertama: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menguatkan dirimu. Kedua: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menambah kelemahanmu. Imam Asy-Syafi’i—yang ketika itu sedang sakit—adalah sosok yang lembut, semoga Allah merahmatinya. Beliau pun menjawab, “Andai Allah menambah kelemahanku, aku pasti mati.” Maksudnya: “Jika sakitku bertambah parah, aku tidak sanggup menahannya.” “Jika kelemahanku diperkuat, aku pasti mati.” Muridnya segera berkata, “Demi Allah, wahai Imam, aku tidak bermaksud demikian!” “Aku maksudkan: semoga Allah menguatkan lemahmu, dalam makna yang kedua, yaitu semoga Allah menghilangkan kelemahanmu dan menggantinya dengan kekuatan.” Ia menegaskan, “Demi Allah, aku tidak bermaksud yang pertama itu!” Maka Asy-Syafi’i berkata, “Demi Allah! Sekalipun kamu menghinaku, pasti aku tahu bahwa itu bukan maksudmu.” Inilah yang disebut berbaik sangka. Banyak orang, ketika mendengar satu kalimat yang bisa ditafsirkan dalam tujuh belas makna, justru memilih satu makna yang paling buruk di antaranya. Berbaik sangkalah terhadap saudara-saudara kalian! Bahkan, ada yang pernah bercerita kepadaku bahwa ia menasihati seseorang, tapi orang itu malah marah. Mungkin caranya menasihati kurang baik, tapi wahai saudaraku, terimalah nasihat itu dan ambil kebaikannya. Sebagian orang memang tidak pandai dalam menyampaikan nasihat, tetapi apakah ucapannya benar atau tidak? Bahkan jika ucapannya tidak benar sekalipun, cukup katakan, “Jazakallahu khairan,” lalu terimalah dengan lapang dada. Bersikaplah lembut terhadap saudara-saudaramu. Permudahlah urusan mereka. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. ===== يَعْنِي الشَّافِعِيُّ دَخَلَ عَلَيْهِ تِلْمِيذُهُ الرَّبِيعُ وَكَانَ الشَّافِعِيُّ مَرِيضًا فَقَالَ لَهُ تِلْمِيذُهُ زَادَكَ اللَّهُ أَيْش قَال؟ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ تَحْتَمِلُ مَعْنَيَيْنِ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَعْنِي قَوَّاكَ وَقَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ زَادَ اللَّهُ ضَعْفَكَ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ مَرِيضٌ كَانَتْ يَعْنِي نَفْسُهُ لَطِيفَةٌ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَقَالَ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ يَعْنِي أَكْثَرَ مِنْ شِدَّتِهِ أَمُوتُ مَا أَقْدِرُ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ فَقَالَ يَا إِمَامُ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذَا يَعْنِي قَصَدْتُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ الثَّانِيَةَ الَّتِي هِيَ أَزَالَ اللَّهُ الْضَّعْفَ وَأَبْدَلَهُ قُوَّةً قَالَ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذِهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَاللَّهِ لَوْ سَبَبْتَنِي لَعَلِمْتُ إِنَّكَ لَا تَقْصِدُ هَذَا إِحْسَانُ الظَّنِّ هَذَا النَّاسُ حِينَ كَلِمَةٍ تَحْتَمِلُ سَبْعَةَ عَشَرَ مَعْنًى يَأْخُذُ مِنْ سَبْعَةَ عَشَرَ الَّذِي هُو الَّذِي فِيهَا الشَّيْنُ أَحْسِنُوا الظَّنَّ بِإِخْوَانِكُمْ يَعْنِي حَتَّى حَدَّثَنِي بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدَّمَ نَصِيحَةً إِلَى أَحَدِهِمْ فَغَضِبَ لَعَلَّ أُسْلُوبَهُ كَانَ سَيِّئًا وَكَذَا لَكِنْ يَا أَخِي تَقَبَّلْ خَلَاصٌ خُذِ الْخَيْرَ بَعْضُ النَّاسِ قَدْ يَكُونُ أُسْلُوبُهُ لَيْس جَيِّدًا لَكِنْ الْكَلَامُ الَّذِي قَالَه صَحَّ وَلَا لَا؟ حَتَّى لَوْ لَمْ يَكُنْ صَحَّ طَيِّبٌ قُلْ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً وَتَقَبَّلْ لِيْنُوا بَيْنَ أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ يَعْنِي سَهِّلِ الْأُمُورَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ


Imam Asy-Syafi’i pernah dijenguk oleh muridnya, Ar-Rabi’. Saat itu, Imam Asy-Syafi’i sedang sakit. Lalu muridnya berkata kepadanya, “Semoga Allah menambahkan untukmu…” Apa katanya tadi? “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” “Semoga Allah menguatkan lemahmu, wahai Imam.” Kalimat “Semoga Allah menguatkan lemahmu” memiliki dua kemungkinan makna. Pertama: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menguatkan dirimu. Kedua: “Semoga Allah menguatkan lemahmu,” artinya semoga Allah menambah kelemahanmu. Imam Asy-Syafi’i—yang ketika itu sedang sakit—adalah sosok yang lembut, semoga Allah merahmatinya. Beliau pun menjawab, “Andai Allah menambah kelemahanku, aku pasti mati.” Maksudnya: “Jika sakitku bertambah parah, aku tidak sanggup menahannya.” “Jika kelemahanku diperkuat, aku pasti mati.” Muridnya segera berkata, “Demi Allah, wahai Imam, aku tidak bermaksud demikian!” “Aku maksudkan: semoga Allah menguatkan lemahmu, dalam makna yang kedua, yaitu semoga Allah menghilangkan kelemahanmu dan menggantinya dengan kekuatan.” Ia menegaskan, “Demi Allah, aku tidak bermaksud yang pertama itu!” Maka Asy-Syafi’i berkata, “Demi Allah! Sekalipun kamu menghinaku, pasti aku tahu bahwa itu bukan maksudmu.” Inilah yang disebut berbaik sangka. Banyak orang, ketika mendengar satu kalimat yang bisa ditafsirkan dalam tujuh belas makna, justru memilih satu makna yang paling buruk di antaranya. Berbaik sangkalah terhadap saudara-saudara kalian! Bahkan, ada yang pernah bercerita kepadaku bahwa ia menasihati seseorang, tapi orang itu malah marah. Mungkin caranya menasihati kurang baik, tapi wahai saudaraku, terimalah nasihat itu dan ambil kebaikannya. Sebagian orang memang tidak pandai dalam menyampaikan nasihat, tetapi apakah ucapannya benar atau tidak? Bahkan jika ucapannya tidak benar sekalipun, cukup katakan, “Jazakallahu khairan,” lalu terimalah dengan lapang dada. Bersikaplah lembut terhadap saudara-saudaramu. Permudahlah urusan mereka. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. ===== يَعْنِي الشَّافِعِيُّ دَخَلَ عَلَيْهِ تِلْمِيذُهُ الرَّبِيعُ وَكَانَ الشَّافِعِيُّ مَرِيضًا فَقَالَ لَهُ تِلْمِيذُهُ زَادَكَ اللَّهُ أَيْش قَال؟ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَا إِمَامُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ تَحْتَمِلُ مَعْنَيَيْنِ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ يَعْنِي قَوَّاكَ وَقَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ زَادَ اللَّهُ ضَعْفَكَ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ مَرِيضٌ كَانَتْ يَعْنِي نَفْسُهُ لَطِيفَةٌ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَقَالَ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ يَعْنِي أَكْثَرَ مِنْ شِدَّتِهِ أَمُوتُ مَا أَقْدِرُ لَوْ قَوَّى ضَعْفِي لَمِتُّ فَقَالَ يَا إِمَامُ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذَا يَعْنِي قَصَدْتُ قَوَّى اللَّهُ ضَعْفَكَ الثَّانِيَةَ الَّتِي هِيَ أَزَالَ اللَّهُ الْضَّعْفَ وَأَبْدَلَهُ قُوَّةً قَالَ وَاللّهِ مَا قَصَدْتُ هَذِهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَاللَّهِ لَوْ سَبَبْتَنِي لَعَلِمْتُ إِنَّكَ لَا تَقْصِدُ هَذَا إِحْسَانُ الظَّنِّ هَذَا النَّاسُ حِينَ كَلِمَةٍ تَحْتَمِلُ سَبْعَةَ عَشَرَ مَعْنًى يَأْخُذُ مِنْ سَبْعَةَ عَشَرَ الَّذِي هُو الَّذِي فِيهَا الشَّيْنُ أَحْسِنُوا الظَّنَّ بِإِخْوَانِكُمْ يَعْنِي حَتَّى حَدَّثَنِي بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدَّمَ نَصِيحَةً إِلَى أَحَدِهِمْ فَغَضِبَ لَعَلَّ أُسْلُوبَهُ كَانَ سَيِّئًا وَكَذَا لَكِنْ يَا أَخِي تَقَبَّلْ خَلَاصٌ خُذِ الْخَيْرَ بَعْضُ النَّاسِ قَدْ يَكُونُ أُسْلُوبُهُ لَيْس جَيِّدًا لَكِنْ الْكَلَامُ الَّذِي قَالَه صَحَّ وَلَا لَا؟ حَتَّى لَوْ لَمْ يَكُنْ صَحَّ طَيِّبٌ قُلْ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْراً وَتَقَبَّلْ لِيْنُوا بَيْنَ أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ يَعْنِي سَهِّلِ الْأُمُورَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Sunnah saat Hujan Turun: Buka Kepala & Ucapkan Doa Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

Sunnah saat Hujan Turun: Buka Kepala & Ucapkan Doa Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ


Sunnah ketika turun hujan bagi seorang Muslim adalah: [PERTAMA]Menyingkap penutup kepalanya. Ia menyingkap syal, sorban, atau apa pun yang menutupi kepalanya, sehingga kepalanya terbuka agar air hujan mengenainya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, lalu turunlah hujan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyingkap kepalanya hingga terkena air hujan, lalu Nabi bersabda, ‘Hujan ini masih baru dari Tuhannya.’” (HR. Muslim). Maksud “masih baru dari Tuhannya” adalah hujan ini baru saja diciptakan oleh Allah. Hal ini menjadi dalil bahwa sunnah bagi seorang Muslim ketika turun hujan adalah menyingkap kepalanya, dan membiarkan air hujan mengenai kepala, kedua lengan, serta bagian tubuh lain yang memungkinkan. Inilah sunnah ketika turun hujan. [KEDUA]Selain itu, dianjurkan pula mengucapkan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). (HR. Bukhari dan Muslim). Janganlah menisbatkan turunnya hujan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal itu termasuk mengingkari nikmat. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat Subuh bersama para Sahabat setelah hujan turun pada malam harinya. Setelah shalat, beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” Allah berfirman: “Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa mengatakan, ‘Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah,’ maka ia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. Namun, barang siapa berkata, ‘Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadis ini—menurut para ulama—adalah kufur nikmat, yaitu bentuk kekufuran yang lebih ringan (kufur ashghar), karena ia menisbatkan nikmat turunnya hujan kepada selain Allah. Oleh sebab itu, wahai saudara Muslimku, hendaklah engkau berhati-hati setelah turun hujan, dan jangan sekali-kali menisbatkan hujan kepada selain Allah. Namun hendaklah kamu katakan: MUTHIRNAA BIFADHLILLAAHI WA ROHMATIHI (Kami diguyur hujan atas karunia dan rahmat Allah). ===== السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ يَحْسِرَ الْمُسْلِمُ عَنْ رَأْسِهِ فَيَحْسِرُ شِمَاغَهُ أَوْ غُتْرَتَهُ أَوْ أَيَّ شَيْءٍ فَوْقَ رَأْسِهِ بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُصِيبَهُ الْمَطَرُ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَزَلَ مَطَرٌ فَحَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَأْسِهِ حَتَّى أَصَابَهُ الْمَطَرُ وَقَالَ إِنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ وَمَعْنَى حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ أَيْ بِتَكْوِينِ رَبِّهِ إِيَّاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَحْسِرُ عَنْ رَأْسِهِ وَيَجْعَلُ الْمَطَرَ يُصِيبُ رَأْسَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَمَا أَمْكَنَ مِنْ جَسَدِهِ فَهَذِهِ هِيَ السُّنَّةُ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ وَأَنْ لَا يَنْسِبَ نُزُولَ الْمَطَرِ إِلَى غَيْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ هَذَا يَدْخُلُ فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ يَوْمًا صَلَاةَ الْفَجْرِ وَعَلَى إِثْرِ مَطَرٍ نَزَلَ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا صَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُمْ أَتَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالَ أَصْبَحَ الْيَوْمَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْعِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ وَالْمَقْصُودُ بِالْكُفْرِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كُفْرُ النِّعْمَةِ وَهُوَ كُفْرٌ أَصْغَرُ لِأَنَّهُ نَسَبَ نِعْمَةَ نُزُولِ الْمَطَرِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ أَنْ تَكُونَ حَذِرًا وَلَا تَنْسِبِ الْمَطَرَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَإِنَّمَا تَقُولُ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

Mengenal Nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaBeriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaMendekatkan diri kepada AllahMemperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaSetiap nama Allah mengandung makna yang agung dan menjadi pintu bagi seorang hamba untuk lebih dekat kepada Rabb-nya. Di antara nama-nama tersebut adalah al-Qariib dan al-Mujiib, yang menunjukkan bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya dan mengabulkan doa-doa mereka.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah al-Qariib dan al-Mujiib, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menumbuhkan rasa harap, ketenangan, dan semangat untuk selalu berdoa serta bersandar kepada Allah dalam segala keadaan.Dalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Allah menggabungkan dua nama ini dalam firman-Nya,وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًاۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌۭ مُّجِيبٌۭ“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain-Nya. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian makmur di dalamnya. Maka mohonlah ampun kepada-Nya, lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan (doa).’” (QS. Hūd: 61)Nama al-Mujiib tidak disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an selain ayat ini, sedangkan nama al-Qariib disebutkan dalam dua ayat lainnya, yaitu:Firman Allah Ta‘ālā,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۭ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِي وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)Firman-Nya pula,قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِيَ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku hanya sesat atas diriku sendiri. Dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu karena wahyu yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS. Saba’: 50) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Qariib adalah ṣifah musyabbahah (sifat tetap) dengan wazan faʿīl (menunjukkan sifat yang terus-menerus atau tetap). Sedangkan Mujiib, adalah isim fāʿil (kata kerja pelaku) dari kata kerja ajaba (أجاب), asal katanya adalah mujwibun (مجوب), di mana huruf wāw diganti dengan yāʼ (sehingga menjadi mujiib). [2]Asal kata dari Qariib adalah al-qurb (القرب) yang secara bahasa berarti kebalikan dari buʻd (jauh). [3]Bentuk kedekatan itu ada beberapa macam:Kedekatan tempat (qurb al-makān),Kedekatan waktu (qurb az-zamān),Kedekatan kedudukan atau status (qurb al-manzilah). [4]Sedangkan asal kata Mujiib adalah al-jaub (الجوب). Ibnu Faris mengatakan tentang makna kata ini,(جوب) الْجِيمُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ خَرْقُ الشَّيْءِ. يُقَالُ جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا“Huruf jim, waw, dan baa membentuk satu akar kata yang memiliki makna dasar ‘melubangi atau membelah sesuatu’. Contohnya: Jubtu al-arḍ jawban (جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا) artinya, ‘Aku telah membelah bumi (melintasinya)’.” [5]Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan, tentang tafsir firman Allah Ta’ala di surah Hud ayat ke-61,إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌbeliau mengatakan,إن ربِّي قريبٌ ممن أخْلَصَ له العبادةَ، ورَغِبَ إليه في التوبةِ، مجيبٌ له إذا دَعاه“Sesungguhnya Rabb-ku dekat dengan siapa saja yang mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan kembali bertobat kepada-Nya dengan penuh harap; dan Dia akan mengabulkan permohonannya ketika ia berdoa kepada-Nya.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “al-Qariib, al-Mujiib” — maksudnya: Dia Ta‘ala adalah al-Qariib (Maha Dekat) dari setiap makhluk. Kedekatan Allah Ta‘ala itu ada dua jenis: (1) kedekatan umum terhadap seluruh makhluk-Nya, melalui ilmu-Nya, pengawasan-Nya, perhatian-Nya, dan penglihatan-Nya yang meliputi segala sesuatu; dan (2) kedekatan khusus terhadap hamba-hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya, yang memohon kepada-Nya, dan mencintai-Nya.Ini adalah bentuk kedekatan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal, tetapi dapat dikenali melalui dampaknya — seperti kelembutan-Nya kepada hamba-Nya, perhatian-Nya, taufik dan bimbingan-Nya.Di antara dampaknya adalah: Allah mengabulkan doa para pemohon, dan menerima tobat para hamba yang kembali kepada-Nya.Maka, Allah adalah al-Mujiib — Maha Mengabulkan — baik pengabulan secara umum untuk siapa pun yang berdoa kapan pun dan di mana pun mereka berada, dalam keadaan seperti apa pun, sebagaimana telah dijanjikan-Nya secara mutlak.Dan Allah juga al-Mujiib secara khusus bagi mereka yang menjawab seruan-Nya dan tunduk kepada syariat-Nya. Allah juga al-Mujiib bagi orang-orang yang berada dalam kondisi darurat, yang telah putus harapan dari makhluk, lalu bergantung sepenuhnya kepada Allah dengan penuh harap, takut, dan cinta. [7]Apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah tentang kedekatan dan penyertaan-Nya tidaklah bertentangan dengan ketinggian dan keagungan-Nya, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subḥānahu wa Ta’ala, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [8]Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini adalah beberapa konsekuensi dari sisi hamba: Beriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaSeorang hamba hendaknya meyakini bahwa Al-Qarīb dan Al-Mujīb termasuk dalam Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang paling baik), sebagaimana telah disebutkan dalil-dalilnya. Mendekatkan diri kepada AllahSemakin sempurna seorang hamba dalam menjalani tingkatan-tingkatan ubudiyah (peribadahan), maka ia akan semakin dekat kepada Allah Ta‘ala.Dalam Shahihain, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقول الله تعالى: مَنْ تقرَّب إلي شبراً؛ تقرَّبْتُ إليه ذِراعاً، ومَنْ تقرَّب إليَّ ذِراعاً؛ تقرّبتُ إليه باعاً، ومَنْ أتَاني يمشي؛ أتَيته هَرْولةً“Allah berfirman: Barang siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barang siapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa; dan barang siapa datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9]Semakin sempurna ubudiyah seseorang, semakin dekat pula ia kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Pemberi kebaikan. Ia memberikan kepada hamba-Nya sesuai kadar kebutuhan dan kesungguhan hamba tersebut. [10] Memperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaTerdapat banyak hadis dalam sunah Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam yang mendorong untuk memperbanyak doa, dan menjelaskan bahwa Allah Tabāraka wa Ta‘ālā mengabulkan doa-doa orang yang berdoa dan memberikan kepada siapa yang memohon kepada-Nya.Disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Hakim, dan lainnya dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعةُ رَحِمٍ إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث: إما أَنْ تُعَجَّل له دعوته، وإما أن يَدَّخِرَها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السُّوء مثلها“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan satu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: (1) Dikabulkan segera doanya, (2) Disimpan untuknya di akhirat, atau (3) Dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengannya.” Mereka bertanya, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak (doa)?”Beliau bersabda,الله أكثر“Allah lebih banyak (pemberiannya).” (at-Targhib wa at-Tarhib, no. 1633, sahih) [11]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama Allah tersebut (Al-Qariib dan Al-Mujiib) menguatkan keyakinan kita kepada-Nya, mendorong kita untuk memperbanyak doa dan ibadah, menumbuhkan harapan dan rasa takut hanya kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Āmīn.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”***Rumdin PPIA Sragen, 28 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 228.[3] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 5: 80.[4] at-Taʻlīq al-Asnā, hal. 273.[5] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 1: 491. Lebih detail lagi, lihat Al-Miṣbāḥ al-Munīr fī Gharīb al-Syarḥ al-Kabīr, 1: 113.[6] Tafsīr at-Ṭabarī, 12: 454.[7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 949. Lihat juga penjelasan lebih rinci dalam Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282-283.[8] Lihat at-Ta‘liq al-Asnā, hal. 273–278.[9] Lihat Majmū‘ Fatāwā Ibn Taimiyah (5: 465–467) tentang penjelasan beliau terhadap hadis ini.[10] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 512–519.[11] Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 285

Mengenal Nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaBeriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaMendekatkan diri kepada AllahMemperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaSetiap nama Allah mengandung makna yang agung dan menjadi pintu bagi seorang hamba untuk lebih dekat kepada Rabb-nya. Di antara nama-nama tersebut adalah al-Qariib dan al-Mujiib, yang menunjukkan bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya dan mengabulkan doa-doa mereka.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah al-Qariib dan al-Mujiib, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menumbuhkan rasa harap, ketenangan, dan semangat untuk selalu berdoa serta bersandar kepada Allah dalam segala keadaan.Dalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Allah menggabungkan dua nama ini dalam firman-Nya,وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًاۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌۭ مُّجِيبٌۭ“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain-Nya. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian makmur di dalamnya. Maka mohonlah ampun kepada-Nya, lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan (doa).’” (QS. Hūd: 61)Nama al-Mujiib tidak disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an selain ayat ini, sedangkan nama al-Qariib disebutkan dalam dua ayat lainnya, yaitu:Firman Allah Ta‘ālā,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۭ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِي وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)Firman-Nya pula,قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِيَ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku hanya sesat atas diriku sendiri. Dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu karena wahyu yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS. Saba’: 50) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Qariib adalah ṣifah musyabbahah (sifat tetap) dengan wazan faʿīl (menunjukkan sifat yang terus-menerus atau tetap). Sedangkan Mujiib, adalah isim fāʿil (kata kerja pelaku) dari kata kerja ajaba (أجاب), asal katanya adalah mujwibun (مجوب), di mana huruf wāw diganti dengan yāʼ (sehingga menjadi mujiib). [2]Asal kata dari Qariib adalah al-qurb (القرب) yang secara bahasa berarti kebalikan dari buʻd (jauh). [3]Bentuk kedekatan itu ada beberapa macam:Kedekatan tempat (qurb al-makān),Kedekatan waktu (qurb az-zamān),Kedekatan kedudukan atau status (qurb al-manzilah). [4]Sedangkan asal kata Mujiib adalah al-jaub (الجوب). Ibnu Faris mengatakan tentang makna kata ini,(جوب) الْجِيمُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ خَرْقُ الشَّيْءِ. يُقَالُ جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا“Huruf jim, waw, dan baa membentuk satu akar kata yang memiliki makna dasar ‘melubangi atau membelah sesuatu’. Contohnya: Jubtu al-arḍ jawban (جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا) artinya, ‘Aku telah membelah bumi (melintasinya)’.” [5]Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan, tentang tafsir firman Allah Ta’ala di surah Hud ayat ke-61,إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌbeliau mengatakan,إن ربِّي قريبٌ ممن أخْلَصَ له العبادةَ، ورَغِبَ إليه في التوبةِ، مجيبٌ له إذا دَعاه“Sesungguhnya Rabb-ku dekat dengan siapa saja yang mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan kembali bertobat kepada-Nya dengan penuh harap; dan Dia akan mengabulkan permohonannya ketika ia berdoa kepada-Nya.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “al-Qariib, al-Mujiib” — maksudnya: Dia Ta‘ala adalah al-Qariib (Maha Dekat) dari setiap makhluk. Kedekatan Allah Ta‘ala itu ada dua jenis: (1) kedekatan umum terhadap seluruh makhluk-Nya, melalui ilmu-Nya, pengawasan-Nya, perhatian-Nya, dan penglihatan-Nya yang meliputi segala sesuatu; dan (2) kedekatan khusus terhadap hamba-hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya, yang memohon kepada-Nya, dan mencintai-Nya.Ini adalah bentuk kedekatan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal, tetapi dapat dikenali melalui dampaknya — seperti kelembutan-Nya kepada hamba-Nya, perhatian-Nya, taufik dan bimbingan-Nya.Di antara dampaknya adalah: Allah mengabulkan doa para pemohon, dan menerima tobat para hamba yang kembali kepada-Nya.Maka, Allah adalah al-Mujiib — Maha Mengabulkan — baik pengabulan secara umum untuk siapa pun yang berdoa kapan pun dan di mana pun mereka berada, dalam keadaan seperti apa pun, sebagaimana telah dijanjikan-Nya secara mutlak.Dan Allah juga al-Mujiib secara khusus bagi mereka yang menjawab seruan-Nya dan tunduk kepada syariat-Nya. Allah juga al-Mujiib bagi orang-orang yang berada dalam kondisi darurat, yang telah putus harapan dari makhluk, lalu bergantung sepenuhnya kepada Allah dengan penuh harap, takut, dan cinta. [7]Apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah tentang kedekatan dan penyertaan-Nya tidaklah bertentangan dengan ketinggian dan keagungan-Nya, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subḥānahu wa Ta’ala, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [8]Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini adalah beberapa konsekuensi dari sisi hamba: Beriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaSeorang hamba hendaknya meyakini bahwa Al-Qarīb dan Al-Mujīb termasuk dalam Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang paling baik), sebagaimana telah disebutkan dalil-dalilnya. Mendekatkan diri kepada AllahSemakin sempurna seorang hamba dalam menjalani tingkatan-tingkatan ubudiyah (peribadahan), maka ia akan semakin dekat kepada Allah Ta‘ala.Dalam Shahihain, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقول الله تعالى: مَنْ تقرَّب إلي شبراً؛ تقرَّبْتُ إليه ذِراعاً، ومَنْ تقرَّب إليَّ ذِراعاً؛ تقرّبتُ إليه باعاً، ومَنْ أتَاني يمشي؛ أتَيته هَرْولةً“Allah berfirman: Barang siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barang siapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa; dan barang siapa datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9]Semakin sempurna ubudiyah seseorang, semakin dekat pula ia kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Pemberi kebaikan. Ia memberikan kepada hamba-Nya sesuai kadar kebutuhan dan kesungguhan hamba tersebut. [10] Memperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaTerdapat banyak hadis dalam sunah Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam yang mendorong untuk memperbanyak doa, dan menjelaskan bahwa Allah Tabāraka wa Ta‘ālā mengabulkan doa-doa orang yang berdoa dan memberikan kepada siapa yang memohon kepada-Nya.Disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Hakim, dan lainnya dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعةُ رَحِمٍ إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث: إما أَنْ تُعَجَّل له دعوته، وإما أن يَدَّخِرَها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السُّوء مثلها“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan satu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: (1) Dikabulkan segera doanya, (2) Disimpan untuknya di akhirat, atau (3) Dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengannya.” Mereka bertanya, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak (doa)?”Beliau bersabda,الله أكثر“Allah lebih banyak (pemberiannya).” (at-Targhib wa at-Tarhib, no. 1633, sahih) [11]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama Allah tersebut (Al-Qariib dan Al-Mujiib) menguatkan keyakinan kita kepada-Nya, mendorong kita untuk memperbanyak doa dan ibadah, menumbuhkan harapan dan rasa takut hanya kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Āmīn.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”***Rumdin PPIA Sragen, 28 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 228.[3] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 5: 80.[4] at-Taʻlīq al-Asnā, hal. 273.[5] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 1: 491. Lebih detail lagi, lihat Al-Miṣbāḥ al-Munīr fī Gharīb al-Syarḥ al-Kabīr, 1: 113.[6] Tafsīr at-Ṭabarī, 12: 454.[7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 949. Lihat juga penjelasan lebih rinci dalam Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282-283.[8] Lihat at-Ta‘liq al-Asnā, hal. 273–278.[9] Lihat Majmū‘ Fatāwā Ibn Taimiyah (5: 465–467) tentang penjelasan beliau terhadap hadis ini.[10] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 512–519.[11] Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 285
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaBeriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaMendekatkan diri kepada AllahMemperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaSetiap nama Allah mengandung makna yang agung dan menjadi pintu bagi seorang hamba untuk lebih dekat kepada Rabb-nya. Di antara nama-nama tersebut adalah al-Qariib dan al-Mujiib, yang menunjukkan bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya dan mengabulkan doa-doa mereka.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah al-Qariib dan al-Mujiib, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menumbuhkan rasa harap, ketenangan, dan semangat untuk selalu berdoa serta bersandar kepada Allah dalam segala keadaan.Dalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Allah menggabungkan dua nama ini dalam firman-Nya,وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًاۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌۭ مُّجِيبٌۭ“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain-Nya. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian makmur di dalamnya. Maka mohonlah ampun kepada-Nya, lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan (doa).’” (QS. Hūd: 61)Nama al-Mujiib tidak disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an selain ayat ini, sedangkan nama al-Qariib disebutkan dalam dua ayat lainnya, yaitu:Firman Allah Ta‘ālā,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۭ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِي وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)Firman-Nya pula,قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِيَ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku hanya sesat atas diriku sendiri. Dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu karena wahyu yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS. Saba’: 50) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Qariib adalah ṣifah musyabbahah (sifat tetap) dengan wazan faʿīl (menunjukkan sifat yang terus-menerus atau tetap). Sedangkan Mujiib, adalah isim fāʿil (kata kerja pelaku) dari kata kerja ajaba (أجاب), asal katanya adalah mujwibun (مجوب), di mana huruf wāw diganti dengan yāʼ (sehingga menjadi mujiib). [2]Asal kata dari Qariib adalah al-qurb (القرب) yang secara bahasa berarti kebalikan dari buʻd (jauh). [3]Bentuk kedekatan itu ada beberapa macam:Kedekatan tempat (qurb al-makān),Kedekatan waktu (qurb az-zamān),Kedekatan kedudukan atau status (qurb al-manzilah). [4]Sedangkan asal kata Mujiib adalah al-jaub (الجوب). Ibnu Faris mengatakan tentang makna kata ini,(جوب) الْجِيمُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ خَرْقُ الشَّيْءِ. يُقَالُ جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا“Huruf jim, waw, dan baa membentuk satu akar kata yang memiliki makna dasar ‘melubangi atau membelah sesuatu’. Contohnya: Jubtu al-arḍ jawban (جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا) artinya, ‘Aku telah membelah bumi (melintasinya)’.” [5]Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan, tentang tafsir firman Allah Ta’ala di surah Hud ayat ke-61,إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌbeliau mengatakan,إن ربِّي قريبٌ ممن أخْلَصَ له العبادةَ، ورَغِبَ إليه في التوبةِ، مجيبٌ له إذا دَعاه“Sesungguhnya Rabb-ku dekat dengan siapa saja yang mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan kembali bertobat kepada-Nya dengan penuh harap; dan Dia akan mengabulkan permohonannya ketika ia berdoa kepada-Nya.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “al-Qariib, al-Mujiib” — maksudnya: Dia Ta‘ala adalah al-Qariib (Maha Dekat) dari setiap makhluk. Kedekatan Allah Ta‘ala itu ada dua jenis: (1) kedekatan umum terhadap seluruh makhluk-Nya, melalui ilmu-Nya, pengawasan-Nya, perhatian-Nya, dan penglihatan-Nya yang meliputi segala sesuatu; dan (2) kedekatan khusus terhadap hamba-hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya, yang memohon kepada-Nya, dan mencintai-Nya.Ini adalah bentuk kedekatan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal, tetapi dapat dikenali melalui dampaknya — seperti kelembutan-Nya kepada hamba-Nya, perhatian-Nya, taufik dan bimbingan-Nya.Di antara dampaknya adalah: Allah mengabulkan doa para pemohon, dan menerima tobat para hamba yang kembali kepada-Nya.Maka, Allah adalah al-Mujiib — Maha Mengabulkan — baik pengabulan secara umum untuk siapa pun yang berdoa kapan pun dan di mana pun mereka berada, dalam keadaan seperti apa pun, sebagaimana telah dijanjikan-Nya secara mutlak.Dan Allah juga al-Mujiib secara khusus bagi mereka yang menjawab seruan-Nya dan tunduk kepada syariat-Nya. Allah juga al-Mujiib bagi orang-orang yang berada dalam kondisi darurat, yang telah putus harapan dari makhluk, lalu bergantung sepenuhnya kepada Allah dengan penuh harap, takut, dan cinta. [7]Apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah tentang kedekatan dan penyertaan-Nya tidaklah bertentangan dengan ketinggian dan keagungan-Nya, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subḥānahu wa Ta’ala, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [8]Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini adalah beberapa konsekuensi dari sisi hamba: Beriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaSeorang hamba hendaknya meyakini bahwa Al-Qarīb dan Al-Mujīb termasuk dalam Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang paling baik), sebagaimana telah disebutkan dalil-dalilnya. Mendekatkan diri kepada AllahSemakin sempurna seorang hamba dalam menjalani tingkatan-tingkatan ubudiyah (peribadahan), maka ia akan semakin dekat kepada Allah Ta‘ala.Dalam Shahihain, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقول الله تعالى: مَنْ تقرَّب إلي شبراً؛ تقرَّبْتُ إليه ذِراعاً، ومَنْ تقرَّب إليَّ ذِراعاً؛ تقرّبتُ إليه باعاً، ومَنْ أتَاني يمشي؛ أتَيته هَرْولةً“Allah berfirman: Barang siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barang siapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa; dan barang siapa datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9]Semakin sempurna ubudiyah seseorang, semakin dekat pula ia kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Pemberi kebaikan. Ia memberikan kepada hamba-Nya sesuai kadar kebutuhan dan kesungguhan hamba tersebut. [10] Memperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaTerdapat banyak hadis dalam sunah Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam yang mendorong untuk memperbanyak doa, dan menjelaskan bahwa Allah Tabāraka wa Ta‘ālā mengabulkan doa-doa orang yang berdoa dan memberikan kepada siapa yang memohon kepada-Nya.Disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Hakim, dan lainnya dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعةُ رَحِمٍ إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث: إما أَنْ تُعَجَّل له دعوته، وإما أن يَدَّخِرَها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السُّوء مثلها“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan satu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: (1) Dikabulkan segera doanya, (2) Disimpan untuknya di akhirat, atau (3) Dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengannya.” Mereka bertanya, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak (doa)?”Beliau bersabda,الله أكثر“Allah lebih banyak (pemberiannya).” (at-Targhib wa at-Tarhib, no. 1633, sahih) [11]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama Allah tersebut (Al-Qariib dan Al-Mujiib) menguatkan keyakinan kita kepada-Nya, mendorong kita untuk memperbanyak doa dan ibadah, menumbuhkan harapan dan rasa takut hanya kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Āmīn.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”***Rumdin PPIA Sragen, 28 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 228.[3] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 5: 80.[4] at-Taʻlīq al-Asnā, hal. 273.[5] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 1: 491. Lebih detail lagi, lihat Al-Miṣbāḥ al-Munīr fī Gharīb al-Syarḥ al-Kabīr, 1: 113.[6] Tafsīr at-Ṭabarī, 12: 454.[7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 949. Lihat juga penjelasan lebih rinci dalam Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282-283.[8] Lihat at-Ta‘liq al-Asnā, hal. 273–278.[9] Lihat Majmū‘ Fatāwā Ibn Taimiyah (5: 465–467) tentang penjelasan beliau terhadap hadis ini.[10] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 512–519.[11] Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 285


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaBeriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaMendekatkan diri kepada AllahMemperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaSetiap nama Allah mengandung makna yang agung dan menjadi pintu bagi seorang hamba untuk lebih dekat kepada Rabb-nya. Di antara nama-nama tersebut adalah al-Qariib dan al-Mujiib, yang menunjukkan bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya dan mengabulkan doa-doa mereka.Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah al-Qariib dan al-Mujiib, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menumbuhkan rasa harap, ketenangan, dan semangat untuk selalu berdoa serta bersandar kepada Allah dalam segala keadaan.Dalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Allah menggabungkan dua nama ini dalam firman-Nya,وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًاۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌۭ مُّجِيبٌۭ“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain-Nya. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian makmur di dalamnya. Maka mohonlah ampun kepada-Nya, lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan (doa).’” (QS. Hūd: 61)Nama al-Mujiib tidak disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an selain ayat ini, sedangkan nama al-Qariib disebutkan dalam dua ayat lainnya, yaitu:Firman Allah Ta‘ālā,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۭ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِي وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)Firman-Nya pula,قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِيَ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku hanya sesat atas diriku sendiri. Dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu karena wahyu yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS. Saba’: 50) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”Qariib adalah ṣifah musyabbahah (sifat tetap) dengan wazan faʿīl (menunjukkan sifat yang terus-menerus atau tetap). Sedangkan Mujiib, adalah isim fāʿil (kata kerja pelaku) dari kata kerja ajaba (أجاب), asal katanya adalah mujwibun (مجوب), di mana huruf wāw diganti dengan yāʼ (sehingga menjadi mujiib). [2]Asal kata dari Qariib adalah al-qurb (القرب) yang secara bahasa berarti kebalikan dari buʻd (jauh). [3]Bentuk kedekatan itu ada beberapa macam:Kedekatan tempat (qurb al-makān),Kedekatan waktu (qurb az-zamān),Kedekatan kedudukan atau status (qurb al-manzilah). [4]Sedangkan asal kata Mujiib adalah al-jaub (الجوب). Ibnu Faris mengatakan tentang makna kata ini,(جوب) الْجِيمُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ خَرْقُ الشَّيْءِ. يُقَالُ جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا“Huruf jim, waw, dan baa membentuk satu akar kata yang memiliki makna dasar ‘melubangi atau membelah sesuatu’. Contohnya: Jubtu al-arḍ jawban (جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا) artinya, ‘Aku telah membelah bumi (melintasinya)’.” [5]Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan, tentang tafsir firman Allah Ta’ala di surah Hud ayat ke-61,إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌbeliau mengatakan,إن ربِّي قريبٌ ممن أخْلَصَ له العبادةَ، ورَغِبَ إليه في التوبةِ، مجيبٌ له إذا دَعاه“Sesungguhnya Rabb-ku dekat dengan siapa saja yang mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan kembali bertobat kepada-Nya dengan penuh harap; dan Dia akan mengabulkan permohonannya ketika ia berdoa kepada-Nya.” [6]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “al-Qariib, al-Mujiib” — maksudnya: Dia Ta‘ala adalah al-Qariib (Maha Dekat) dari setiap makhluk. Kedekatan Allah Ta‘ala itu ada dua jenis: (1) kedekatan umum terhadap seluruh makhluk-Nya, melalui ilmu-Nya, pengawasan-Nya, perhatian-Nya, dan penglihatan-Nya yang meliputi segala sesuatu; dan (2) kedekatan khusus terhadap hamba-hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya, yang memohon kepada-Nya, dan mencintai-Nya.Ini adalah bentuk kedekatan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal, tetapi dapat dikenali melalui dampaknya — seperti kelembutan-Nya kepada hamba-Nya, perhatian-Nya, taufik dan bimbingan-Nya.Di antara dampaknya adalah: Allah mengabulkan doa para pemohon, dan menerima tobat para hamba yang kembali kepada-Nya.Maka, Allah adalah al-Mujiib — Maha Mengabulkan — baik pengabulan secara umum untuk siapa pun yang berdoa kapan pun dan di mana pun mereka berada, dalam keadaan seperti apa pun, sebagaimana telah dijanjikan-Nya secara mutlak.Dan Allah juga al-Mujiib secara khusus bagi mereka yang menjawab seruan-Nya dan tunduk kepada syariat-Nya. Allah juga al-Mujiib bagi orang-orang yang berada dalam kondisi darurat, yang telah putus harapan dari makhluk, lalu bergantung sepenuhnya kepada Allah dengan penuh harap, takut, dan cinta. [7]Apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah tentang kedekatan dan penyertaan-Nya tidaklah bertentangan dengan ketinggian dan keagungan-Nya, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subḥānahu wa Ta’ala, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [8]Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hambaPenetapan nama “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini adalah beberapa konsekuensi dari sisi hamba: Beriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul HusnaSeorang hamba hendaknya meyakini bahwa Al-Qarīb dan Al-Mujīb termasuk dalam Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang paling baik), sebagaimana telah disebutkan dalil-dalilnya. Mendekatkan diri kepada AllahSemakin sempurna seorang hamba dalam menjalani tingkatan-tingkatan ubudiyah (peribadahan), maka ia akan semakin dekat kepada Allah Ta‘ala.Dalam Shahihain, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,يقول الله تعالى: مَنْ تقرَّب إلي شبراً؛ تقرَّبْتُ إليه ذِراعاً، ومَنْ تقرَّب إليَّ ذِراعاً؛ تقرّبتُ إليه باعاً، ومَنْ أتَاني يمشي؛ أتَيته هَرْولةً“Allah berfirman: Barang siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barang siapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa; dan barang siapa datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9]Semakin sempurna ubudiyah seseorang, semakin dekat pula ia kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Pemberi kebaikan. Ia memberikan kepada hamba-Nya sesuai kadar kebutuhan dan kesungguhan hamba tersebut. [10] Memperbanyak doa dan tidak berputus asa darinyaTerdapat banyak hadis dalam sunah Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam yang mendorong untuk memperbanyak doa, dan menjelaskan bahwa Allah Tabāraka wa Ta‘ālā mengabulkan doa-doa orang yang berdoa dan memberikan kepada siapa yang memohon kepada-Nya.Disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Hakim, dan lainnya dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعةُ رَحِمٍ إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث: إما أَنْ تُعَجَّل له دعوته، وإما أن يَدَّخِرَها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السُّوء مثلها“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan satu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: (1) Dikabulkan segera doanya, (2) Disimpan untuknya di akhirat, atau (3) Dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengannya.” Mereka bertanya, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak (doa)?”Beliau bersabda,الله أكثر“Allah lebih banyak (pemberiannya).” (at-Targhib wa at-Tarhib, no. 1633, sahih) [11]Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama Allah tersebut (Al-Qariib dan Al-Mujiib) menguatkan keyakinan kita kepada-Nya, mendorong kita untuk memperbanyak doa dan ibadah, menumbuhkan harapan dan rasa takut hanya kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Āmīn.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”***Rumdin PPIA Sragen, 28 Rabiul awal 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439.Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 228.[3] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 5: 80.[4] at-Taʻlīq al-Asnā, hal. 273.[5] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 1: 491. Lebih detail lagi, lihat Al-Miṣbāḥ al-Munīr fī Gharīb al-Syarḥ al-Kabīr, 1: 113.[6] Tafsīr at-Ṭabarī, 12: 454.[7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 949. Lihat juga penjelasan lebih rinci dalam Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282-283.[8] Lihat at-Ta‘liq al-Asnā, hal. 273–278.[9] Lihat Majmū‘ Fatāwā Ibn Taimiyah (5: 465–467) tentang penjelasan beliau terhadap hadis ini.[10] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 512–519.[11] Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 285

Penjelasan Makna Kalimat: Laa ilaha illallah

(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 124 times, 1 visit(s) today Post Views: 49 QRIS donasi Yufid

Penjelasan Makna Kalimat: Laa ilaha illallah

(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 124 times, 1 visit(s) today Post Views: 49 QRIS donasi Yufid
(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 124 times, 1 visit(s) today Post Views: 49 QRIS donasi Yufid


(Dari Kitab Al-Mahshul Al-Jami’ Li-Syuruh Tsalatsah Al-Ushul) شرح معنى لا إله إلا الله (المحصول الجامع لشروح ثلاثة الأصول) Oleh: Dr. Fahd bin Badi Al-Mursyidi د. فهد بن بادي المرشدي قال المصنف رحمه الله: (لا إله): نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ الله. (إِلا الله): مُثْبِتًا الْعِبَادَةَ للهِ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ؛ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ شَرِيكٌ فِي مُلْكِهِ. Penulis Rahimahullah berkata: “Laa ilaha” (Tidak ada tuhan): Yakni sebagai penafian semua yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Illallah” (Selain Allah): Yakni sebagai penetapan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya. الشرح الإجمالي: شهادة التوحيد: “لا إله إلا الله” مركبة من: النفي والإثبات، وهما ركناها، فـالنفي في قول: (لا إله)، وهذا يتضمَّن نفي استحقاق العبادة عن كل من سوى الله عز وجل؛ أي: (نافيًا جميع ما يعبد من دون الله)، والإثبات في قول: (إلا الله)، وهذا يتضمن إثبات العبادة لله عز وجل وحده لا شريك له؛ أي: (مثبتًا العبادة لله وحده، لا شريك له في عبادته؛ كما أنه لا شريك له في ملكه)؛ فإذا كان هو الذي له الملك كله، لا شريك له فيه، وهو خالق كل شيء، فيجب أن يكون هو المعبود وحده [شرح الأصول الثلاثة، عبدالرحمن بن ناصر البراك (26).]. Penjelasan singkat: Kesaksian atas keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Laa ilaha illallah” tersusun dari penafian dan penetapan yang merupakan rukun dari kalimat ini. Penafiannya terdapat pada kata “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan). Kalimat ini mengandung penafian hak untuk disembah terhadap seluruh zat selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan penetapan dalam kalimat “illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) mengandung penetapan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja yang tidak punya sekutu. Yakni menetapkan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, Dia tidak punya sekutu dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu juga dalam kekuasaan-Nya. Apabila Zat yang memiliki seluruh kekuasaan, tidak ada sekutu-Nya, dan pencipta segala sesuatu, maka sudah seharusnya tidak ada yang disembah selain Dia. (Kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, hlm. 26). الشرح التفصيلي: قال المصنف: ((لا إله) نافيًا جميع ما يعبد من دون الله، (إلا الله) مثبتًا العبادة لله وحده): فبيَّن أن كلمة التوحيد “لا إله إلا الله” مكونة من نفي وإثبات، هما ركناها: النفي: (لا إله)، والإثبات: (إلا الله)، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات المحض، فلا بد من الجمع بينهما؛ حتى يتحقق التوحيد وينتفي الشرك، فدلالة هذه الكلمة العظيمة على إثبات الإلهية لله وحده، أعظم من دلالة قولنا: الله إله؛ لأن النفي والإثبات يجعل الشيء المقصود محصورًا بما ذُكر فقط، ولا يعدوه إلى غيره، فالمقصود أن يكون التأله لله جل وعلا وحده لا شريك له[ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ والمحصول من شرح ثلاثة الأصول، عبدالله الغنيمان (140).] Penjelasan rinci: Penulis mengatakan, “‘Laa ilaha’ (Tidak ada Tuhan) sebagai penafian atas segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Illallah’ (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala) sebagai penetapan bahwa ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” Beliau menjelaskan bahwa kalimat “Laa ilaha illallah” terdiri atas penafian dan penetapan, dan dua hal ini adalah rukun dari kalimat tersebut, penafian ada pada kalimat “Laa ilaha” (Tidak ada Tuhan), dan penetapan ada pada kalimat “Illallah” (Selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Penafian saja bukanlah tauhid, demikian juga penetapan saja, sehingga harus terhimpun dua hal ini agar tauhid dapat terwujud dan kesyirikan dapat tersingkirkan. Makna yang terkandung dalam kalimat yang agung ini tentang penetapan ketuhanan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja lebih mendalam daripada jika kita sekedar mengucapkan kalimat “Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan”, karena penafian dan penetapan ini menjadikan makna yang dimaksudkan terbatas pada yang tersebut saja, dan tidak berlaku pada selainnya. Makna yang dimaksudkan adalah ketuhanan yang milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa ada sekutu satupun bagi-Nya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Al-Mahshul Min Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah Al-Ghunaiman, hlm. 140). فالذي يقول (لا إله إلا الله)، يقول: أنفي جميع ما يُعبد من دون الله، وأُثبت العبادة لله، فـ(لا) نافية للجنس، و(إله) اسمها، وخبرها محذوف تقديره (حق)؛ فالله هو الحق، وعبادته وحده هي الحق، وعبادة غيره منفية بـ(لا) في هذه الكلمة، فــ(لا إله) تتضمن نفي وجود معبود بحق سوى الله، فالمنفي بـ(لا) في هذه الكلمة هو عبادة غير الله؛ لأنها عبادة بالباطل، فقول: (لا إله): هذا نفي للآلهة الباطلة، وليس نفيًا لجميع الآلهة، وبه يُعلم أن المستثنى (إلا الله) مُخرج من المستثنى منه (لا إله)، ومن حكمه، فلا يدخل أصلًا في المنفي حتى يُستثنى منه، ولا يدخل في حكمه حتى يخرج منه [ينظر: حاشية ثلاثة الأصول، عبدالرحمن بن قاسم (52)؛ وشرح ثلاثة الأصول، عبدالله بن إبراهيم القرعاوي (81).]. Sehingga orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” seakan-akan mengucapkan, “Saya menafikan segala hal yang disembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menetapkan ibadah adalah hak milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Kata “Laa” di sini memiliki makna penafian segala jenis dari kata setelahnya yang dinafikan. Sedangkan kata “ilaha” adalah kata yang dinafikan. Adapun penjelasnya tidak disebutkan secara langsung, yaitu “yang hak (benar)”. Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu benar, beribadah kepada-Nya semata itu benar, dan beribadah kepada selain-Nya ternafikan dengan kata “Laa” di kalimat ini. Sehingga kata “Laa ilaha” mengandung penafian adanya sesembahan yang benar selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang dinafikan dengan kata “Laa” pada kalimat ini adalah peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang batil, sehingga kata “Laa ilaha” ini menafikan semua sesembahan yang batil, bukan menafikan seluruh sesembahan. Dari sini dapat diketahui bahwa pengecualian dalam kalimat “Illallah” (kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak masuk dalam Al-mustatsna minhu – unsur yang menjadi asal pengecualian – “Tidak ada tuhan”, sehingga pada dasarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak masuk dalam penafian itu dan tidak masuk dalam hukumnya. (Lihat: Kitab Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul karya Abdurrahman bin Qasim, hlm. 52, dan Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, hlm. 81). قال المصنف: (لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه)؛ أي: كما أن الله تعالى هو المتفرد في ملكه، فيجب أن يُفرد بالعبادة، فإن من أظلم الظلم أن يُجْعَلَ المخلوق الذي ليس شريكًا لله في الملك، شريكًا لله في العبادة، تعالى الله وتقدس، وهذا كالدليل لما تقدم ذكره من تقرير أنه لا معبود بحق إلا الله، ووجه هذا أنه لا يستحق العبادة إلا الله عز وجل، كما أنه ليس له شريك في ملكه، وهذا استدلال بتوحيد الربوبية على توحيد الإلهية، فالإقرار بأن الله عز وجل ليس له شريك في ملكه لا على وجه الاستقلال ولا على وجه الإشاعة، يلزم منه لزومًا أكيدًا أن الله جل وعلا واحد في استحقاقه العبادة، لا يستحق العبادة إلا هو، لا شريك له، كما أنه هو وحده له الملك لا شريك له، والله جل وعلا بَيَّن في القرآن أنه لو كان له شريك في الملك – في ملكه – لابتغى إليه سبيلًا؛ قال جل وعلا: ﴿ قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا ﴾ [الإسراء: 42]، فلو كان معه آلهة – معبودات تستحق العبادة فعلًا – للزِمَ أن يكون لهم نصيب في ملك الله؛ لأنه لا يستحق العبادة إلا من يملِك النفع والضر، والله جل وعلا ليس معه أحد في ملكه، بل هو المتوحد في ملكه، وينتج من ذلك ويلزم أنه هو المستحق للعبادة وحده [شرح ثلاثة الأصول، صالح بن عبدالعزيز آل الشيخ (140)؛ وينظر: شرح الأصول الثلاثة، د. خالد المصلح (43).]. Penulis berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak punya sekutu dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak punya sekutu dalam kekuasaan-Nya.” Yakni karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, maka wajib diesakan juga dalam penyembahan-Nya, karena suatu kezaliman terbesar jika makhluk yang bukan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kekuasaan-Nya tapi dijadikan sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam penyembahan kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari hal itu.  Ini seperti dalil yang telah disebutkan sebelumnya tentang pengikraran bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini karena tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana halnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya. Ini merupakan bentuk pembentukan argumen melalui tauhid rububiyah untuk menjelaskan tauhid uluhiyah, karena pengikraran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya – baik itu dalam artian independen atau artian umum – maka sudah menjadi konsekuensi pasti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Dia Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa seandainya Dia memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, niscaya sekutu itu akan mencari jalan untuk menyaingi-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).’” (QS. Al-Isra: 42). Seandainya bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala terdapat tuhan-tuhan – sesembahan yang memang berhak disembah – pasti mereka punya bagian dalam kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena tidak berhak disembah kecuali zat yang memiliki kuasa untuk memberi manfaat dan mudharat, sedangkan tidak ada apapun bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kuasa-Nya itu, tapi Dia adalah Yang Maha Esa dalam kekuasaan-Nya, sehingga sudah menjadi konsekuensi dari hal ini bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata yang berhak untuk disembah. (Kitab Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, hlm. 140. Lihat juga, Syarh Tsalatsah Al-Ushul karya Dr. Khalid Al-Mushlih, hlm. 43). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/140976/شرح-معنى-لا-إله-إلا-الله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 124 times, 1 visit(s) today Post Views: 49 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Lima Kunci Kebaikan Menurut Imam Syafi‘i

Setiap pagi kita berkejaran dengan waktu, dengan urusan dunia yang tiada habisnya. Namun Imam Asy-Syafi‘i mengingatkan: kebaikan sejati bukan diukur dari seberapa banyak kita punya, tapi dari seberapa tenang hati kita dalam menjalani hidup.Nasihat Pagi – Semoga kita bisa memiliki lima hal iniImam Syafi‘i rahimahullah berkata:الخَيْرُ فِي خَمْسَةٍ:غِنَى النَّفْسِ،وَكَفُّ الأَذَى،وَكَسْبُ الحَلَالِ،وَالتَّقْوَى،وَالثِّقَةُ بِاللهِ.“Kebaikan itu ada dalam lima hal:1. kaya hati,2. menahan diri dari menyakiti,3. mencari rezeki yang halal,4. bertaqwa kepada Allah,5. percaya penuh kepada-Nya.” Kalimat ini seperti kompas kehidupan dari Imam Syafi‘i. Beliau tidak menyebut kebaikan itu dari banyak harta, pangkat, atau gelar — tetapi dari isi hati dan akhlak seseorang.Ghina an-nafs (kaya hati) membuatmu tenang walau sedikit.Kafful adza (tidak menyakiti orang lain) membuatmu dicintai.Kasbul halal menjaga keberkahan hidupmu.Taqwa menjadi pelindung dari murka Allah.Tsiqah billah (percaya pada Allah) membuatmu kuat saat segalanya tampak sulit. Tsiqqah billah adalah keyakinan yang teguh bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, serta keimanan yang tulus terhadap seluruh berita yang disampaikan-Nya. Apa pun yang telah Allah takdirkan, pasti akan terjadi sebagaimana yang Dia kehendaki. Jika lima hal ini ada padamu, engkau telah memiliki dunia dan akhirat sekaligus. @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia imam syafi'i iman iman dan takwa kaya hati kebahagiaan kebaikan hidup ketenangan hati lima kunci kebaikan motivasi Islam nasehat ulama qanaah rezeki halal takwa tazkiyatun nafs tsiqah billah

Lima Kunci Kebaikan Menurut Imam Syafi‘i

Setiap pagi kita berkejaran dengan waktu, dengan urusan dunia yang tiada habisnya. Namun Imam Asy-Syafi‘i mengingatkan: kebaikan sejati bukan diukur dari seberapa banyak kita punya, tapi dari seberapa tenang hati kita dalam menjalani hidup.Nasihat Pagi – Semoga kita bisa memiliki lima hal iniImam Syafi‘i rahimahullah berkata:الخَيْرُ فِي خَمْسَةٍ:غِنَى النَّفْسِ،وَكَفُّ الأَذَى،وَكَسْبُ الحَلَالِ،وَالتَّقْوَى،وَالثِّقَةُ بِاللهِ.“Kebaikan itu ada dalam lima hal:1. kaya hati,2. menahan diri dari menyakiti,3. mencari rezeki yang halal,4. bertaqwa kepada Allah,5. percaya penuh kepada-Nya.” Kalimat ini seperti kompas kehidupan dari Imam Syafi‘i. Beliau tidak menyebut kebaikan itu dari banyak harta, pangkat, atau gelar — tetapi dari isi hati dan akhlak seseorang.Ghina an-nafs (kaya hati) membuatmu tenang walau sedikit.Kafful adza (tidak menyakiti orang lain) membuatmu dicintai.Kasbul halal menjaga keberkahan hidupmu.Taqwa menjadi pelindung dari murka Allah.Tsiqah billah (percaya pada Allah) membuatmu kuat saat segalanya tampak sulit. Tsiqqah billah adalah keyakinan yang teguh bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, serta keimanan yang tulus terhadap seluruh berita yang disampaikan-Nya. Apa pun yang telah Allah takdirkan, pasti akan terjadi sebagaimana yang Dia kehendaki. Jika lima hal ini ada padamu, engkau telah memiliki dunia dan akhirat sekaligus. @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia imam syafi'i iman iman dan takwa kaya hati kebahagiaan kebaikan hidup ketenangan hati lima kunci kebaikan motivasi Islam nasehat ulama qanaah rezeki halal takwa tazkiyatun nafs tsiqah billah
Setiap pagi kita berkejaran dengan waktu, dengan urusan dunia yang tiada habisnya. Namun Imam Asy-Syafi‘i mengingatkan: kebaikan sejati bukan diukur dari seberapa banyak kita punya, tapi dari seberapa tenang hati kita dalam menjalani hidup.Nasihat Pagi – Semoga kita bisa memiliki lima hal iniImam Syafi‘i rahimahullah berkata:الخَيْرُ فِي خَمْسَةٍ:غِنَى النَّفْسِ،وَكَفُّ الأَذَى،وَكَسْبُ الحَلَالِ،وَالتَّقْوَى،وَالثِّقَةُ بِاللهِ.“Kebaikan itu ada dalam lima hal:1. kaya hati,2. menahan diri dari menyakiti,3. mencari rezeki yang halal,4. bertaqwa kepada Allah,5. percaya penuh kepada-Nya.” Kalimat ini seperti kompas kehidupan dari Imam Syafi‘i. Beliau tidak menyebut kebaikan itu dari banyak harta, pangkat, atau gelar — tetapi dari isi hati dan akhlak seseorang.Ghina an-nafs (kaya hati) membuatmu tenang walau sedikit.Kafful adza (tidak menyakiti orang lain) membuatmu dicintai.Kasbul halal menjaga keberkahan hidupmu.Taqwa menjadi pelindung dari murka Allah.Tsiqah billah (percaya pada Allah) membuatmu kuat saat segalanya tampak sulit. Tsiqqah billah adalah keyakinan yang teguh bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, serta keimanan yang tulus terhadap seluruh berita yang disampaikan-Nya. Apa pun yang telah Allah takdirkan, pasti akan terjadi sebagaimana yang Dia kehendaki. Jika lima hal ini ada padamu, engkau telah memiliki dunia dan akhirat sekaligus. @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia imam syafi'i iman iman dan takwa kaya hati kebahagiaan kebaikan hidup ketenangan hati lima kunci kebaikan motivasi Islam nasehat ulama qanaah rezeki halal takwa tazkiyatun nafs tsiqah billah


Setiap pagi kita berkejaran dengan waktu, dengan urusan dunia yang tiada habisnya. Namun Imam Asy-Syafi‘i mengingatkan: kebaikan sejati bukan diukur dari seberapa banyak kita punya, tapi dari seberapa tenang hati kita dalam menjalani hidup.Nasihat Pagi – Semoga kita bisa memiliki lima hal iniImam Syafi‘i rahimahullah berkata:الخَيْرُ فِي خَمْسَةٍ:غِنَى النَّفْسِ،وَكَفُّ الأَذَى،وَكَسْبُ الحَلَالِ،وَالتَّقْوَى،وَالثِّقَةُ بِاللهِ.“Kebaikan itu ada dalam lima hal:1. kaya hati,2. menahan diri dari menyakiti,3. mencari rezeki yang halal,4. bertaqwa kepada Allah,5. percaya penuh kepada-Nya.” Kalimat ini seperti kompas kehidupan dari Imam Syafi‘i. Beliau tidak menyebut kebaikan itu dari banyak harta, pangkat, atau gelar — tetapi dari isi hati dan akhlak seseorang.Ghina an-nafs (kaya hati) membuatmu tenang walau sedikit.Kafful adza (tidak menyakiti orang lain) membuatmu dicintai.Kasbul halal menjaga keberkahan hidupmu.Taqwa menjadi pelindung dari murka Allah.Tsiqah billah (percaya pada Allah) membuatmu kuat saat segalanya tampak sulit. Tsiqqah billah adalah keyakinan yang teguh bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, serta keimanan yang tulus terhadap seluruh berita yang disampaikan-Nya. Apa pun yang telah Allah takdirkan, pasti akan terjadi sebagaimana yang Dia kehendaki. Jika lima hal ini ada padamu, engkau telah memiliki dunia dan akhirat sekaligus. @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia imam syafi'i iman iman dan takwa kaya hati kebahagiaan kebaikan hidup ketenangan hati lima kunci kebaikan motivasi Islam nasehat ulama qanaah rezeki halal takwa tazkiyatun nafs tsiqah billah

14 Wanita yang Haram Dinikahi dalam Islam: Berdasarkan Nasab, Susuan, dan Hubungan Pernikahan

Menikah adalah ibadah agung yang diatur dengan sangat rinci dalam syariat Islam. Di balik keindahan pernikahan, ada batas-batas yang ditetapkan agar kehormatan dan silaturahim tetap terjaga. Karena itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui siapa saja wanita yang haram dinikahi agar tidak terjerumus dalam dosa besar tanpa sadar. Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,فَصْلٌ وَالْمُحَرَّمَاتُ‭ ‬بِالنَّصِّ‭ ‬أَرْبَعَ‭ ‬عَشْرَةَ‭:‬ سَبْعٌ‭ ‬بِالنَّسَبِ،‭ ‬وَهُنَّ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَلَتْ،‭ ‬وَٱلْبِنْتُ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬سَفَلَتْ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ،‭ ‬وَٱلْخَالَةُ،‭ ‬وَٱلْعَمَّةُ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأَخِ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأُخْتِ‭.‬ وَٱثْنَتَانِ‭ ‬بِٱلرَّضَاعِ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬ٱلْمُرْضِعَةُ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭.‬ وَأَرْبَعٌ‭ ‬بِٱلْمُصَاهَرَةِ‭:‬ أُمُّ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَٱلرَّبِيبَةُ‭ ‬إِذَا‭ ‬دَخَلَ‭ ‬بِٱلْأُمِّ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلْأَبِ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلِابْنِ‭.‬ وَوَاحِدَةٌ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِهَةِ‭ ‬ٱلْجَمْعِ،‭ ‬وَهِيَ‭ ‬أُخْتُ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَلَا‭ ‬يُجْمَعُ‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَعَمَّتِهَا،‭ ‬وَلَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَخَالَتِهَا‭.‬ وَيَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلنَّسَبِ‭.‬Wanita yang haram dinikahi berdasarkan nash (teks syariat) ada empat belas. Mereka terbagi dalam beberapa sebab:A. Karena hubungan nasab (keturunan), ada tujuh:Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.Saudara perempuan.Bibi dari pihak ibu (khālah).Bibi dari pihak ayah (‘ammah).Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan dari pihak saudara laki-laki).Anak perempuan saudara perempuan (keponakan dari pihak saudara perempuan).B. Karena hubungan persusuan, ada dua:Ibu susuan.Saudara perempuan sepersusuan.C. Karena hubungan pernikahan (mushāharah), ada empat:Ibu mertua.Anak tiri (jika ibunya sudah digauli).Istri ayah (ibu tiri).Istri anak (menantu perempuan). D. Karena sebab penggabungan dalam satu pernikahan, ada satu:Saudara perempuan istri.Selain itu, tidak boleh pula menggabungkan dalam satu ikatan pernikahan antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari pihak ayah maupun ibu).Kaidahnya, “Segala yang haram karena hubungan nasab, maka haram pula karena persusuan.” PENJELASANMahram Karena Persusuan(Dan dua wanita yang haram dinikahi karena sebab radha‘ (susuan), yaitu ibu susuan dan saudari susuan).Inilah sebab kedua munculnya mahram, yaitu persusuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ‭ ‬اللَّاتِي‭ ‬أَرْضَعْنَكُمْ‭ ‬وَأَخَوَاتُكُم‭ ‬مِّنَ‭ ‬الرَّضَاعَةِ﴾“Ibu-ibu susuanmu dan saudari-saudari susuanmu.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah bahwa semua yang haram dinikahi karena hubungan nasab (keturunan), juga haram dinikahi karena hubungan persusuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi:ايَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬الرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬النَّسَبِب“Haram karena persusuan apa yang haram karena nasab.”Dua golongan yang haram karena persusuan adalah ibu yang menyusui dan saudara perempuan karena persusuan.
Ini merupakan sebab kedua yang menjadikan seseorang mahram, yaitu radha‘ah (persusuan). Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ﴾“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu serta saudara-saudara perempuanmu sepersusuan.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah, segala sesuatu yang haram karena nasab, maka haram pula karena persusuan. Sebagaimana sabda Nabiﷺ:
«يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»“Haram karena persusuan itu sama dengan yang haram karena nasab.”Dalam riwayat lain:«مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلادَةِ» (apa yang haram karena kelahiran). Mahram Hubungan Pernikahan (Musāharah)Empat orang yang haram dinikahi karena musāharah adalah:1. Ibu mertua. Begitu akad nikah sah, ibunya istri dan nenek-neneknya langsung haram untuk dinikahi, baik karena nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ﴾“Dan ibu-ibu dari istri kalian.” (QS. An-Nisā’: 23)Sebagian ulama ada yang berpendapat baru haram jika sudah terjadi hubungan badan, tetapi pendapat ini lemah.2. Anak tiri (rabībah). Yaitu anak dari istri, baik anak kandung maupun anak susuan. Mereka haram dinikahi dengan syarat telah terjadi hubungan badan dengan sang ibu. Jika istri sudah diceraikan sebelum digauli, maka anak tirinya boleh dinikahi. Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri mereka, maka tidak berdosa (menikahinya).” (QS. An-Nisā’: 23)3. Istri dari ayah. Termasuk juga istri kakek, baik dari jalur ayah maupun ibu, dan berlaku pula pada nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ﴾“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayahmu.” (QS. An-Nisā’: 22)4. Istri dari anak (menantu). Termasuk istri cucu dari jalur laki-laki, baik dalam nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) istri-istri anak kandung kalian.” (QS. An-Nisā’: 23) Menghimpun dua wanita dalam satu ikatan pernikahanSalah satu bentuk keharaman nikah adalah menghimpun dua wanita sekaligus, yaitu menikahi seorang wanita bersama saudari perempuannya. Tidak boleh bagi seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan saudarinya, baik mereka saudari kandung seayah-seibu, seayah saja, atau seibu saja. Sama saja apakah saudari itu karena nasab ataupun karena persusuan.Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:﴿وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ﴾
“Dan diharamkan atas kamu menghimpun (dalam pernikahan) dua orang saudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisā’: 23)Dalam hadits juga disebutkan:
«مَلْعُونٌ مَنْ جَمَعَ مَاءَهُ فِي رَحِمِ الْأُخْتَيْنِ»
“Terlaknat orang yang menyatukan maninya dalam rahim dua orang saudari.”Demikian pula, haram menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah (bibi kandung) maupun bibinya dari jalur ibu. Nabi ﷺ bersabda:«لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا»
“Tidak boleh menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah, dan tidak pula dengan bibinya dari jalur ibu.”Alasan larangan ini adalah karena pernikahan seperti itu bisa menimbulkan permusuhan dan menyebabkan terputusnya silaturahim. Maka sebagaimana haram menghimpun wanita dengan bibinya, haram pula menghimpun wanita dengan anak perempuan saudaranya (keponakan), baik dari pihak saudara laki-laki maupun saudara perempuan, serta anak-anak mereka (cucu keponakan). Sama saja, baik karena nasab maupun karena persusuan.Kaidah umum (ḍābiṭ) dari siapa saja yang haram dihimpun dalam satu pernikahan adalah: dua perempuan yang apabila salah satunya dianggap sebagai laki-laki, maka ia tidak halal menikahi yang lainnya karena hubungan kekerabatan. Referensi: Kifayah Al-Akhyar @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsfikih nikah hukum nikah hukum pernikahan islam larangan menikah mahram matan taqrib matan taqrib kitab nikah musaharah nasab nikah siapakah mahram susuan wanita haram dinikahi

14 Wanita yang Haram Dinikahi dalam Islam: Berdasarkan Nasab, Susuan, dan Hubungan Pernikahan

Menikah adalah ibadah agung yang diatur dengan sangat rinci dalam syariat Islam. Di balik keindahan pernikahan, ada batas-batas yang ditetapkan agar kehormatan dan silaturahim tetap terjaga. Karena itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui siapa saja wanita yang haram dinikahi agar tidak terjerumus dalam dosa besar tanpa sadar. Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,فَصْلٌ وَالْمُحَرَّمَاتُ‭ ‬بِالنَّصِّ‭ ‬أَرْبَعَ‭ ‬عَشْرَةَ‭:‬ سَبْعٌ‭ ‬بِالنَّسَبِ،‭ ‬وَهُنَّ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَلَتْ،‭ ‬وَٱلْبِنْتُ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬سَفَلَتْ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ،‭ ‬وَٱلْخَالَةُ،‭ ‬وَٱلْعَمَّةُ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأَخِ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأُخْتِ‭.‬ وَٱثْنَتَانِ‭ ‬بِٱلرَّضَاعِ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬ٱلْمُرْضِعَةُ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭.‬ وَأَرْبَعٌ‭ ‬بِٱلْمُصَاهَرَةِ‭:‬ أُمُّ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَٱلرَّبِيبَةُ‭ ‬إِذَا‭ ‬دَخَلَ‭ ‬بِٱلْأُمِّ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلْأَبِ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلِابْنِ‭.‬ وَوَاحِدَةٌ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِهَةِ‭ ‬ٱلْجَمْعِ،‭ ‬وَهِيَ‭ ‬أُخْتُ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَلَا‭ ‬يُجْمَعُ‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَعَمَّتِهَا،‭ ‬وَلَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَخَالَتِهَا‭.‬ وَيَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلنَّسَبِ‭.‬Wanita yang haram dinikahi berdasarkan nash (teks syariat) ada empat belas. Mereka terbagi dalam beberapa sebab:A. Karena hubungan nasab (keturunan), ada tujuh:Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.Saudara perempuan.Bibi dari pihak ibu (khālah).Bibi dari pihak ayah (‘ammah).Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan dari pihak saudara laki-laki).Anak perempuan saudara perempuan (keponakan dari pihak saudara perempuan).B. Karena hubungan persusuan, ada dua:Ibu susuan.Saudara perempuan sepersusuan.C. Karena hubungan pernikahan (mushāharah), ada empat:Ibu mertua.Anak tiri (jika ibunya sudah digauli).Istri ayah (ibu tiri).Istri anak (menantu perempuan). D. Karena sebab penggabungan dalam satu pernikahan, ada satu:Saudara perempuan istri.Selain itu, tidak boleh pula menggabungkan dalam satu ikatan pernikahan antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari pihak ayah maupun ibu).Kaidahnya, “Segala yang haram karena hubungan nasab, maka haram pula karena persusuan.” PENJELASANMahram Karena Persusuan(Dan dua wanita yang haram dinikahi karena sebab radha‘ (susuan), yaitu ibu susuan dan saudari susuan).Inilah sebab kedua munculnya mahram, yaitu persusuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ‭ ‬اللَّاتِي‭ ‬أَرْضَعْنَكُمْ‭ ‬وَأَخَوَاتُكُم‭ ‬مِّنَ‭ ‬الرَّضَاعَةِ﴾“Ibu-ibu susuanmu dan saudari-saudari susuanmu.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah bahwa semua yang haram dinikahi karena hubungan nasab (keturunan), juga haram dinikahi karena hubungan persusuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi:ايَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬الرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬النَّسَبِب“Haram karena persusuan apa yang haram karena nasab.”Dua golongan yang haram karena persusuan adalah ibu yang menyusui dan saudara perempuan karena persusuan.
Ini merupakan sebab kedua yang menjadikan seseorang mahram, yaitu radha‘ah (persusuan). Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ﴾“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu serta saudara-saudara perempuanmu sepersusuan.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah, segala sesuatu yang haram karena nasab, maka haram pula karena persusuan. Sebagaimana sabda Nabiﷺ:
«يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»“Haram karena persusuan itu sama dengan yang haram karena nasab.”Dalam riwayat lain:«مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلادَةِ» (apa yang haram karena kelahiran). Mahram Hubungan Pernikahan (Musāharah)Empat orang yang haram dinikahi karena musāharah adalah:1. Ibu mertua. Begitu akad nikah sah, ibunya istri dan nenek-neneknya langsung haram untuk dinikahi, baik karena nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ﴾“Dan ibu-ibu dari istri kalian.” (QS. An-Nisā’: 23)Sebagian ulama ada yang berpendapat baru haram jika sudah terjadi hubungan badan, tetapi pendapat ini lemah.2. Anak tiri (rabībah). Yaitu anak dari istri, baik anak kandung maupun anak susuan. Mereka haram dinikahi dengan syarat telah terjadi hubungan badan dengan sang ibu. Jika istri sudah diceraikan sebelum digauli, maka anak tirinya boleh dinikahi. Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri mereka, maka tidak berdosa (menikahinya).” (QS. An-Nisā’: 23)3. Istri dari ayah. Termasuk juga istri kakek, baik dari jalur ayah maupun ibu, dan berlaku pula pada nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ﴾“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayahmu.” (QS. An-Nisā’: 22)4. Istri dari anak (menantu). Termasuk istri cucu dari jalur laki-laki, baik dalam nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) istri-istri anak kandung kalian.” (QS. An-Nisā’: 23) Menghimpun dua wanita dalam satu ikatan pernikahanSalah satu bentuk keharaman nikah adalah menghimpun dua wanita sekaligus, yaitu menikahi seorang wanita bersama saudari perempuannya. Tidak boleh bagi seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan saudarinya, baik mereka saudari kandung seayah-seibu, seayah saja, atau seibu saja. Sama saja apakah saudari itu karena nasab ataupun karena persusuan.Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:﴿وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ﴾
“Dan diharamkan atas kamu menghimpun (dalam pernikahan) dua orang saudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisā’: 23)Dalam hadits juga disebutkan:
«مَلْعُونٌ مَنْ جَمَعَ مَاءَهُ فِي رَحِمِ الْأُخْتَيْنِ»
“Terlaknat orang yang menyatukan maninya dalam rahim dua orang saudari.”Demikian pula, haram menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah (bibi kandung) maupun bibinya dari jalur ibu. Nabi ﷺ bersabda:«لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا»
“Tidak boleh menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah, dan tidak pula dengan bibinya dari jalur ibu.”Alasan larangan ini adalah karena pernikahan seperti itu bisa menimbulkan permusuhan dan menyebabkan terputusnya silaturahim. Maka sebagaimana haram menghimpun wanita dengan bibinya, haram pula menghimpun wanita dengan anak perempuan saudaranya (keponakan), baik dari pihak saudara laki-laki maupun saudara perempuan, serta anak-anak mereka (cucu keponakan). Sama saja, baik karena nasab maupun karena persusuan.Kaidah umum (ḍābiṭ) dari siapa saja yang haram dihimpun dalam satu pernikahan adalah: dua perempuan yang apabila salah satunya dianggap sebagai laki-laki, maka ia tidak halal menikahi yang lainnya karena hubungan kekerabatan. Referensi: Kifayah Al-Akhyar @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsfikih nikah hukum nikah hukum pernikahan islam larangan menikah mahram matan taqrib matan taqrib kitab nikah musaharah nasab nikah siapakah mahram susuan wanita haram dinikahi
Menikah adalah ibadah agung yang diatur dengan sangat rinci dalam syariat Islam. Di balik keindahan pernikahan, ada batas-batas yang ditetapkan agar kehormatan dan silaturahim tetap terjaga. Karena itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui siapa saja wanita yang haram dinikahi agar tidak terjerumus dalam dosa besar tanpa sadar. Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,فَصْلٌ وَالْمُحَرَّمَاتُ‭ ‬بِالنَّصِّ‭ ‬أَرْبَعَ‭ ‬عَشْرَةَ‭:‬ سَبْعٌ‭ ‬بِالنَّسَبِ،‭ ‬وَهُنَّ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَلَتْ،‭ ‬وَٱلْبِنْتُ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬سَفَلَتْ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ،‭ ‬وَٱلْخَالَةُ،‭ ‬وَٱلْعَمَّةُ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأَخِ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأُخْتِ‭.‬ وَٱثْنَتَانِ‭ ‬بِٱلرَّضَاعِ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬ٱلْمُرْضِعَةُ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭.‬ وَأَرْبَعٌ‭ ‬بِٱلْمُصَاهَرَةِ‭:‬ أُمُّ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَٱلرَّبِيبَةُ‭ ‬إِذَا‭ ‬دَخَلَ‭ ‬بِٱلْأُمِّ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلْأَبِ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلِابْنِ‭.‬ وَوَاحِدَةٌ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِهَةِ‭ ‬ٱلْجَمْعِ،‭ ‬وَهِيَ‭ ‬أُخْتُ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَلَا‭ ‬يُجْمَعُ‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَعَمَّتِهَا،‭ ‬وَلَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَخَالَتِهَا‭.‬ وَيَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلنَّسَبِ‭.‬Wanita yang haram dinikahi berdasarkan nash (teks syariat) ada empat belas. Mereka terbagi dalam beberapa sebab:A. Karena hubungan nasab (keturunan), ada tujuh:Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.Saudara perempuan.Bibi dari pihak ibu (khālah).Bibi dari pihak ayah (‘ammah).Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan dari pihak saudara laki-laki).Anak perempuan saudara perempuan (keponakan dari pihak saudara perempuan).B. Karena hubungan persusuan, ada dua:Ibu susuan.Saudara perempuan sepersusuan.C. Karena hubungan pernikahan (mushāharah), ada empat:Ibu mertua.Anak tiri (jika ibunya sudah digauli).Istri ayah (ibu tiri).Istri anak (menantu perempuan). D. Karena sebab penggabungan dalam satu pernikahan, ada satu:Saudara perempuan istri.Selain itu, tidak boleh pula menggabungkan dalam satu ikatan pernikahan antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari pihak ayah maupun ibu).Kaidahnya, “Segala yang haram karena hubungan nasab, maka haram pula karena persusuan.” PENJELASANMahram Karena Persusuan(Dan dua wanita yang haram dinikahi karena sebab radha‘ (susuan), yaitu ibu susuan dan saudari susuan).Inilah sebab kedua munculnya mahram, yaitu persusuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ‭ ‬اللَّاتِي‭ ‬أَرْضَعْنَكُمْ‭ ‬وَأَخَوَاتُكُم‭ ‬مِّنَ‭ ‬الرَّضَاعَةِ﴾“Ibu-ibu susuanmu dan saudari-saudari susuanmu.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah bahwa semua yang haram dinikahi karena hubungan nasab (keturunan), juga haram dinikahi karena hubungan persusuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi:ايَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬الرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬النَّسَبِب“Haram karena persusuan apa yang haram karena nasab.”Dua golongan yang haram karena persusuan adalah ibu yang menyusui dan saudara perempuan karena persusuan.
Ini merupakan sebab kedua yang menjadikan seseorang mahram, yaitu radha‘ah (persusuan). Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ﴾“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu serta saudara-saudara perempuanmu sepersusuan.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah, segala sesuatu yang haram karena nasab, maka haram pula karena persusuan. Sebagaimana sabda Nabiﷺ:
«يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»“Haram karena persusuan itu sama dengan yang haram karena nasab.”Dalam riwayat lain:«مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلادَةِ» (apa yang haram karena kelahiran). Mahram Hubungan Pernikahan (Musāharah)Empat orang yang haram dinikahi karena musāharah adalah:1. Ibu mertua. Begitu akad nikah sah, ibunya istri dan nenek-neneknya langsung haram untuk dinikahi, baik karena nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ﴾“Dan ibu-ibu dari istri kalian.” (QS. An-Nisā’: 23)Sebagian ulama ada yang berpendapat baru haram jika sudah terjadi hubungan badan, tetapi pendapat ini lemah.2. Anak tiri (rabībah). Yaitu anak dari istri, baik anak kandung maupun anak susuan. Mereka haram dinikahi dengan syarat telah terjadi hubungan badan dengan sang ibu. Jika istri sudah diceraikan sebelum digauli, maka anak tirinya boleh dinikahi. Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri mereka, maka tidak berdosa (menikahinya).” (QS. An-Nisā’: 23)3. Istri dari ayah. Termasuk juga istri kakek, baik dari jalur ayah maupun ibu, dan berlaku pula pada nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ﴾“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayahmu.” (QS. An-Nisā’: 22)4. Istri dari anak (menantu). Termasuk istri cucu dari jalur laki-laki, baik dalam nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) istri-istri anak kandung kalian.” (QS. An-Nisā’: 23) Menghimpun dua wanita dalam satu ikatan pernikahanSalah satu bentuk keharaman nikah adalah menghimpun dua wanita sekaligus, yaitu menikahi seorang wanita bersama saudari perempuannya. Tidak boleh bagi seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan saudarinya, baik mereka saudari kandung seayah-seibu, seayah saja, atau seibu saja. Sama saja apakah saudari itu karena nasab ataupun karena persusuan.Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:﴿وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ﴾
“Dan diharamkan atas kamu menghimpun (dalam pernikahan) dua orang saudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisā’: 23)Dalam hadits juga disebutkan:
«مَلْعُونٌ مَنْ جَمَعَ مَاءَهُ فِي رَحِمِ الْأُخْتَيْنِ»
“Terlaknat orang yang menyatukan maninya dalam rahim dua orang saudari.”Demikian pula, haram menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah (bibi kandung) maupun bibinya dari jalur ibu. Nabi ﷺ bersabda:«لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا»
“Tidak boleh menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah, dan tidak pula dengan bibinya dari jalur ibu.”Alasan larangan ini adalah karena pernikahan seperti itu bisa menimbulkan permusuhan dan menyebabkan terputusnya silaturahim. Maka sebagaimana haram menghimpun wanita dengan bibinya, haram pula menghimpun wanita dengan anak perempuan saudaranya (keponakan), baik dari pihak saudara laki-laki maupun saudara perempuan, serta anak-anak mereka (cucu keponakan). Sama saja, baik karena nasab maupun karena persusuan.Kaidah umum (ḍābiṭ) dari siapa saja yang haram dihimpun dalam satu pernikahan adalah: dua perempuan yang apabila salah satunya dianggap sebagai laki-laki, maka ia tidak halal menikahi yang lainnya karena hubungan kekerabatan. Referensi: Kifayah Al-Akhyar @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsfikih nikah hukum nikah hukum pernikahan islam larangan menikah mahram matan taqrib matan taqrib kitab nikah musaharah nasab nikah siapakah mahram susuan wanita haram dinikahi


Menikah adalah ibadah agung yang diatur dengan sangat rinci dalam syariat Islam. Di balik keindahan pernikahan, ada batas-batas yang ditetapkan agar kehormatan dan silaturahim tetap terjaga. Karena itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui siapa saja wanita yang haram dinikahi agar tidak terjerumus dalam dosa besar tanpa sadar. Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,فَصْلٌ وَالْمُحَرَّمَاتُ‭ ‬بِالنَّصِّ‭ ‬أَرْبَعَ‭ ‬عَشْرَةَ‭:‬ سَبْعٌ‭ ‬بِالنَّسَبِ،‭ ‬وَهُنَّ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬عَلَتْ،‭ ‬وَٱلْبِنْتُ‭ ‬وَإِنْ‭ ‬سَفَلَتْ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ،‭ ‬وَٱلْخَالَةُ،‭ ‬وَٱلْعَمَّةُ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأَخِ،‭ ‬وَبِنْتُ‭ ‬ٱلْأُخْتِ‭.‬ وَٱثْنَتَانِ‭ ‬بِٱلرَّضَاعِ‭:‬ ٱلْأُمُّ‭ ‬ٱلْمُرْضِعَةُ،‭ ‬وَٱلْأُخْتُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭.‬ وَأَرْبَعٌ‭ ‬بِٱلْمُصَاهَرَةِ‭:‬ أُمُّ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَٱلرَّبِيبَةُ‭ ‬إِذَا‭ ‬دَخَلَ‭ ‬بِٱلْأُمِّ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلْأَبِ،‭ ‬وَزَوْجَةُ‭ ‬ٱلِابْنِ‭.‬ وَوَاحِدَةٌ‭ ‬مِنْ‭ ‬جِهَةِ‭ ‬ٱلْجَمْعِ،‭ ‬وَهِيَ‭ ‬أُخْتُ‭ ‬ٱلزَّوْجَةِ،‭ ‬وَلَا‭ ‬يُجْمَعُ‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَعَمَّتِهَا،‭ ‬وَلَا‭ ‬بَيْنَ‭ ‬ٱلْمَرْأَةِ‭ ‬وَخَالَتِهَا‭.‬ وَيَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬ٱلنَّسَبِ‭.‬Wanita yang haram dinikahi berdasarkan nash (teks syariat) ada empat belas. Mereka terbagi dalam beberapa sebab:A. Karena hubungan nasab (keturunan), ada tujuh:Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas.Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.Saudara perempuan.Bibi dari pihak ibu (khālah).Bibi dari pihak ayah (‘ammah).Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan dari pihak saudara laki-laki).Anak perempuan saudara perempuan (keponakan dari pihak saudara perempuan).B. Karena hubungan persusuan, ada dua:Ibu susuan.Saudara perempuan sepersusuan.C. Karena hubungan pernikahan (mushāharah), ada empat:Ibu mertua.Anak tiri (jika ibunya sudah digauli).Istri ayah (ibu tiri).Istri anak (menantu perempuan). D. Karena sebab penggabungan dalam satu pernikahan, ada satu:Saudara perempuan istri.Selain itu, tidak boleh pula menggabungkan dalam satu ikatan pernikahan antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari pihak ayah maupun ibu).Kaidahnya, “Segala yang haram karena hubungan nasab, maka haram pula karena persusuan.” PENJELASANMahram Karena Persusuan(Dan dua wanita yang haram dinikahi karena sebab radha‘ (susuan), yaitu ibu susuan dan saudari susuan).Inilah sebab kedua munculnya mahram, yaitu persusuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ‭ ‬اللَّاتِي‭ ‬أَرْضَعْنَكُمْ‭ ‬وَأَخَوَاتُكُم‭ ‬مِّنَ‭ ‬الرَّضَاعَةِ﴾“Ibu-ibu susuanmu dan saudari-saudari susuanmu.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah bahwa semua yang haram dinikahi karena hubungan nasab (keturunan), juga haram dinikahi karena hubungan persusuan. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi:ايَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬الرَّضَاعِ‭ ‬مَا‭ ‬يَحْرُمُ‭ ‬مِنَ‭ ‬النَّسَبِب“Haram karena persusuan apa yang haram karena nasab.”Dua golongan yang haram karena persusuan adalah ibu yang menyusui dan saudara perempuan karena persusuan.
Ini merupakan sebab kedua yang menjadikan seseorang mahram, yaitu radha‘ah (persusuan). Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ﴾“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu serta saudara-saudara perempuanmu sepersusuan.” (QS. An-Nisā’: 23)Ketahuilah, segala sesuatu yang haram karena nasab, maka haram pula karena persusuan. Sebagaimana sabda Nabiﷺ:
«يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»“Haram karena persusuan itu sama dengan yang haram karena nasab.”Dalam riwayat lain:«مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلادَةِ» (apa yang haram karena kelahiran). Mahram Hubungan Pernikahan (Musāharah)Empat orang yang haram dinikahi karena musāharah adalah:1. Ibu mertua. Begitu akad nikah sah, ibunya istri dan nenek-neneknya langsung haram untuk dinikahi, baik karena nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ﴾“Dan ibu-ibu dari istri kalian.” (QS. An-Nisā’: 23)Sebagian ulama ada yang berpendapat baru haram jika sudah terjadi hubungan badan, tetapi pendapat ini lemah.2. Anak tiri (rabībah). Yaitu anak dari istri, baik anak kandung maupun anak susuan. Mereka haram dinikahi dengan syarat telah terjadi hubungan badan dengan sang ibu. Jika istri sudah diceraikan sebelum digauli, maka anak tirinya boleh dinikahi. Allah Ta‘ālā berfirman:﴿وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri mereka, maka tidak berdosa (menikahinya).” (QS. An-Nisā’: 23)3. Istri dari ayah. Termasuk juga istri kakek, baik dari jalur ayah maupun ibu, dan berlaku pula pada nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ﴾“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayahmu.” (QS. An-Nisā’: 22)4. Istri dari anak (menantu). Termasuk istri cucu dari jalur laki-laki, baik dalam nasab maupun persusuan. Firman Allah:﴿وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ﴾“Dan (diharamkan atas kalian menikahi) istri-istri anak kandung kalian.” (QS. An-Nisā’: 23) Menghimpun dua wanita dalam satu ikatan pernikahanSalah satu bentuk keharaman nikah adalah menghimpun dua wanita sekaligus, yaitu menikahi seorang wanita bersama saudari perempuannya. Tidak boleh bagi seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan saudarinya, baik mereka saudari kandung seayah-seibu, seayah saja, atau seibu saja. Sama saja apakah saudari itu karena nasab ataupun karena persusuan.Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:﴿وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ﴾
“Dan diharamkan atas kamu menghimpun (dalam pernikahan) dua orang saudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisā’: 23)Dalam hadits juga disebutkan:
«مَلْعُونٌ مَنْ جَمَعَ مَاءَهُ فِي رَحِمِ الْأُخْتَيْنِ»
“Terlaknat orang yang menyatukan maninya dalam rahim dua orang saudari.”Demikian pula, haram menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah (bibi kandung) maupun bibinya dari jalur ibu. Nabi ﷺ bersabda:«لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا»
“Tidak boleh menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah, dan tidak pula dengan bibinya dari jalur ibu.”Alasan larangan ini adalah karena pernikahan seperti itu bisa menimbulkan permusuhan dan menyebabkan terputusnya silaturahim. Maka sebagaimana haram menghimpun wanita dengan bibinya, haram pula menghimpun wanita dengan anak perempuan saudaranya (keponakan), baik dari pihak saudara laki-laki maupun saudara perempuan, serta anak-anak mereka (cucu keponakan). Sama saja, baik karena nasab maupun karena persusuan.Kaidah umum (ḍābiṭ) dari siapa saja yang haram dihimpun dalam satu pernikahan adalah: dua perempuan yang apabila salah satunya dianggap sebagai laki-laki, maka ia tidak halal menikahi yang lainnya karena hubungan kekerabatan. Referensi: Kifayah Al-Akhyar @ Pondok Darush Sholihin Gunungkidul, 29 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsfikih nikah hukum nikah hukum pernikahan islam larangan menikah mahram matan taqrib matan taqrib kitab nikah musaharah nasab nikah siapakah mahram susuan wanita haram dinikahi

Peristiwa Hari Kiamat Lengkap: Kebangkitan, Hisab, Shirath, hingga Surga

Hari Kiamat adalah peristiwa agung yang pasti terjadi dan menjadi puncak dari perjalanan panjang kehidupan manusia. Pada hari itu, seluruh amal perbuatan akan ditampakkan, hisab ditegakkan, dan setiap jiwa menerima balasan yang adil dari Allah Ta‘ala. Para ulama menjelaskan bahwa kejadian-kejadian besar di Hari Kiamat berlangsung dalam urutan yang sangat teratur, dimulai dari kebangkitan manusia hingga berakhir di surga atau neraka. Tulisan ini menguraikan secara lengkap tahapan-tahapan Hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Syarh Ath-Thahawiyyah. Yang telah disepakati oleh para ulama yang teliti adalah bahwa urutan peristiwa pada Hari Kiamat berlangsung sebagai berikut:Ketika manusia dibangkitkan dan bangun dari kubur mereka, mereka akan menuju ke Padang Mahsyar. Di sana mereka berdiri sangat lama; keadaan mereka menjadi amat berat dan dahaga pun sangat mencekik. Ketakutan luar biasa meliputi mereka karena lamanya waktu berdiri itu, serta keyakinan mereka bahwa perhitungan amal akan segera dimulai, dan karena apa yang akan Allah `ʿazza wa jalla` lakukan terhadap mereka.Ketika masa berdiri itu sudah berlangsung lama, Allah `ʿazza wa jalla` akan menampakkan terlebih dahulu telaga Nabi-Nya ﷺ, yaitu Haudh al-Maurūd. Telaga Nabi ﷺ itu berada di tengah padang Mahsyar, ketika manusia sedang berdiri lama menanti keputusan Rabb semesta alam, pada hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun lamanya. Maka, siapa pun yang meninggal dunia di atas sunnah beliau — tanpa mengubah, tanpa membuat bid‘ah, dan tanpa mengganti ajaran — akan mendatangi telaga itu dan minum darinya. Dengan demikian, tanda pertama keselamatan baginya adalah bahwa ia diberi minum dari telaga Nabi ﷺ. Setelah itu, setiap nabi akan ditampakkan pula telaganya masing-masing, dan orang-orang saleh dari umat mereka akan diberi minum dari telaga tersebut.Kemudian manusia berdiri kembali dalam waktu yang sangat lama, hingga tibalah syafaat kubra (syafaat agung, syafaatul ‘uzhma), yaitu syafaat Nabi ﷺ, agar Allah `ʿazza wa jalla` mempercepat dimulainya hisab seluruh makhluk. Dalam hadits panjang yang masyhur disebutkan bahwa manusia mendatangi Nabi Adam, kemudian Nabi Nuh, lalu Nabi Ibrahim, dan seterusnya, hingga akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Muhammad,” sambil menjelaskan keadaan mereka yang sangat berat, dan mereka memintanya untuk memohon kepada Allah agar segera memulai hisab sehingga manusia terhindar dari kesulitan yang panjang itu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda setelah mendengar permintaan mereka, “Aku-lah orangnya, aku-lah orangnya (yang mampu melakukannya).”* Beliau kemudian datang ke hadapan ‘Arsy, lalu sujud dan memuji Allah `ʿazza wa jalla` dengan pujian-pujian yang Allah bukakan bagi beliau. Setelah itu, dikatakan kepadanya: “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah niscaya engkau akan diberi, dan berilah syafaat niscaya syafaatmu akan diterima.” Maka inilah syafaat agung Nabi ﷺ, yaitu syafaat beliau agar Allah mempercepat hisab bagi seluruh makhluk.Setelah itu, tibalah tahap al-‘arḍ (عرض الأعمال) — yakni penampakan amal-amal perbuatan.Kemudian setelah penampakan amal tersebut, terjadilah hisab (perhitungan amal).Setelah hisab pertama, catatan-catatan amal akan beterbangan. Adapun hisab pertama ini termasuk dalam bagian dari penampakan amal, karena di dalamnya terjadi perdebatan dan alasan-alasan pembelaan diri dari para manusia.Setelah itu, catatan-catatan amal tersebut diterbangkan, lalu orang-orang yang beriman (Ahlul Yamin) menerima kitab mereka dengan tangan kanan, sedangkan orang-orang kafir dan durhaka (Ahlus Syimal) menerimanya dengan tangan kiri mereka. Maka tibalah saat mereka membaca kitab catatan amal masing-masing.Kemudian setelah pembacaan kitab amal itu, terjadi lagi perhitungan, untuk memutus segala alasan dan menegakkan hujjah (bukti) atas manusia melalui pembacaan apa yang tertulis dalam kitab amal mereka.Setelah itu datanglah tahap mīzān (timbangan), di mana amal-amal perbuatan manusia akan ditimbang — sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Kemudian setelah proses penimbangan itu, manusia akan terbagi menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan (azwāj), yaitu setiap jenis akan dikumpulkan bersama dengan yang sejenis. Pada saat itu akan ditegakkan panji-panji para nabi — Liwa’ Muhammad ﷺ, Liwa’ Ibrahim, Liwa’ Musa, dan lainnya. Manusia akan bernaung di bawah panji-panji tersebut sesuai dengan jenis dan kedudukan mereka. Setiap kelompok akan dikumpulkan dengan kelompoknya yang serupa. Demikian pula orang-orang zalim dan kafir, mereka juga akan dihimpun bersama dengan yang serupa, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah.” (QS. As-Saffat: 22–23). Maksudnya dengan azwājahum (pasangan-pasangan mereka) adalah orang-orang yang sejenis dan serupa dengan mereka, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Maka ulama-ulama kaum musyrik akan dihimpun bersama ulama musyrik lainnya, para penguasa zalim akan dihimpun bersama para zalim lainnya, orang-orang yang mengingkari kebangkitan akan dihimpun bersama sesama pengingkar kebangkitan, dan demikian seterusnya.Setelah itu, Allah ‘Azza wa Jalla menebarkan kegelapan sebelum Jahanam (neraka) — kita berlindung kepada Allah darinya — dan manusia akan berjalan dengan cahaya (nūr) yang diberikan kepada mereka. Umat ini (umat Muhammad ﷺ) akan berjalan di antara mereka terdapat kaum munafik. Ketika mereka berjalan dengan cahaya masing-masing, maka didirikanlah tembok pemisah (as-sūr) yang telah Allah sebutkan, “Lalu dipasanglah dinding di antara mereka yang mempunyai pintu; di sebelah dalamnya ada rahmat, sedangkan di sebelah luarnya dari arah mereka ada azab. Mereka (orang-orang munafik) memanggil orang-orang beriman: ‘Bukankah kami dahulu bersama kalian?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri…’” (QS. Al-Hadid: 13–14). Maka Allah memberikan cahaya kepada orang-orang beriman, sehingga mereka dapat melihat dan menapaki jalan menuju Ash-Shirāṭ (titian di atas neraka). Adapun orang-orang munafik tidak diberi cahaya, dan mereka akhirnya bersama orang-orang kafir, terjatuh dan terhempas ke dalam neraka, berjalan dalam kegelapan, sedangkan di depan mereka terbentang Jahanam — na‘ūdzu billāh.Setelah itu, Nabi ﷺ datang pertama kali dan berdiri di atas Shirāṭ, beliau berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk dirinya dan untuk umatnya seraya berkata: “Allāhumma sallim, sallim. Allāhumma sallim, sallim.” (“Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!”). Maka beliau ﷺ pun meniti Shirāṭ, dan umatnya pun meniti Shirāṭ. Setiap orang akan melaluinya sesuai dengan kadar amalnya, dan cahaya yang menyertai mereka juga sesuai kadar amalnya. Maka berjalanlah mereka yang telah diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan sebagian lain terjatuh ke dalam neraka, di lapisan para ahli tauhid yang Allah kehendaki untuk disiksa terlebih dahulu. Setelah mereka selesai melewati neraka, mereka berkumpul di lapangan surga (ʿarashāt al-jannah) — yakni di tempat yang telah Allah siapkan bagi orang-orang beriman untuk saling menuntut keadilan di antara mereka, agar setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu Allah menghapus segala rasa dengki dan dendam dari hati mereka, sehingga mereka memasuki surga dalam keadaan hati yang bersih, tanpa kebencian sedikit pun.Kemudian yang pertama kali memasuki surga setelah Nabi ﷺ adalah para fakir dari kalangan Muhajirin, disusul para fakir dari kalangan Anshar, lalu para fakir dari umat beliau secara umum. Adapun orang-orang kaya akan tertunda masuk surga, karena mereka harus menyelesaikan perhitungan terkait tanggung jawab terhadap sesama makhluk, serta pertanggungjawaban atas harta mereka di hadapan Allah.(Sumber: “Syarh Ath-Thahawiyyah”, hlm. 542, dengan penomoran Maktabah Syamilah, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, dengan sedikit penyesuaian redaksi)Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang selamat di hari yang penuh dahsyat itu, diberi cahaya untuk meniti shirath, dan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ﷺ di surga-Nya yang abadi. Aamiin. Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Wonosari Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscatatan amal hari kiamat hisab keadilan Allah kebangkitan manusia shirath surga dan neraka syafaat nabi timbangan amal urutan hari kiamat

Peristiwa Hari Kiamat Lengkap: Kebangkitan, Hisab, Shirath, hingga Surga

Hari Kiamat adalah peristiwa agung yang pasti terjadi dan menjadi puncak dari perjalanan panjang kehidupan manusia. Pada hari itu, seluruh amal perbuatan akan ditampakkan, hisab ditegakkan, dan setiap jiwa menerima balasan yang adil dari Allah Ta‘ala. Para ulama menjelaskan bahwa kejadian-kejadian besar di Hari Kiamat berlangsung dalam urutan yang sangat teratur, dimulai dari kebangkitan manusia hingga berakhir di surga atau neraka. Tulisan ini menguraikan secara lengkap tahapan-tahapan Hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Syarh Ath-Thahawiyyah. Yang telah disepakati oleh para ulama yang teliti adalah bahwa urutan peristiwa pada Hari Kiamat berlangsung sebagai berikut:Ketika manusia dibangkitkan dan bangun dari kubur mereka, mereka akan menuju ke Padang Mahsyar. Di sana mereka berdiri sangat lama; keadaan mereka menjadi amat berat dan dahaga pun sangat mencekik. Ketakutan luar biasa meliputi mereka karena lamanya waktu berdiri itu, serta keyakinan mereka bahwa perhitungan amal akan segera dimulai, dan karena apa yang akan Allah `ʿazza wa jalla` lakukan terhadap mereka.Ketika masa berdiri itu sudah berlangsung lama, Allah `ʿazza wa jalla` akan menampakkan terlebih dahulu telaga Nabi-Nya ﷺ, yaitu Haudh al-Maurūd. Telaga Nabi ﷺ itu berada di tengah padang Mahsyar, ketika manusia sedang berdiri lama menanti keputusan Rabb semesta alam, pada hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun lamanya. Maka, siapa pun yang meninggal dunia di atas sunnah beliau — tanpa mengubah, tanpa membuat bid‘ah, dan tanpa mengganti ajaran — akan mendatangi telaga itu dan minum darinya. Dengan demikian, tanda pertama keselamatan baginya adalah bahwa ia diberi minum dari telaga Nabi ﷺ. Setelah itu, setiap nabi akan ditampakkan pula telaganya masing-masing, dan orang-orang saleh dari umat mereka akan diberi minum dari telaga tersebut.Kemudian manusia berdiri kembali dalam waktu yang sangat lama, hingga tibalah syafaat kubra (syafaat agung, syafaatul ‘uzhma), yaitu syafaat Nabi ﷺ, agar Allah `ʿazza wa jalla` mempercepat dimulainya hisab seluruh makhluk. Dalam hadits panjang yang masyhur disebutkan bahwa manusia mendatangi Nabi Adam, kemudian Nabi Nuh, lalu Nabi Ibrahim, dan seterusnya, hingga akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Muhammad,” sambil menjelaskan keadaan mereka yang sangat berat, dan mereka memintanya untuk memohon kepada Allah agar segera memulai hisab sehingga manusia terhindar dari kesulitan yang panjang itu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda setelah mendengar permintaan mereka, “Aku-lah orangnya, aku-lah orangnya (yang mampu melakukannya).”* Beliau kemudian datang ke hadapan ‘Arsy, lalu sujud dan memuji Allah `ʿazza wa jalla` dengan pujian-pujian yang Allah bukakan bagi beliau. Setelah itu, dikatakan kepadanya: “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah niscaya engkau akan diberi, dan berilah syafaat niscaya syafaatmu akan diterima.” Maka inilah syafaat agung Nabi ﷺ, yaitu syafaat beliau agar Allah mempercepat hisab bagi seluruh makhluk.Setelah itu, tibalah tahap al-‘arḍ (عرض الأعمال) — yakni penampakan amal-amal perbuatan.Kemudian setelah penampakan amal tersebut, terjadilah hisab (perhitungan amal).Setelah hisab pertama, catatan-catatan amal akan beterbangan. Adapun hisab pertama ini termasuk dalam bagian dari penampakan amal, karena di dalamnya terjadi perdebatan dan alasan-alasan pembelaan diri dari para manusia.Setelah itu, catatan-catatan amal tersebut diterbangkan, lalu orang-orang yang beriman (Ahlul Yamin) menerima kitab mereka dengan tangan kanan, sedangkan orang-orang kafir dan durhaka (Ahlus Syimal) menerimanya dengan tangan kiri mereka. Maka tibalah saat mereka membaca kitab catatan amal masing-masing.Kemudian setelah pembacaan kitab amal itu, terjadi lagi perhitungan, untuk memutus segala alasan dan menegakkan hujjah (bukti) atas manusia melalui pembacaan apa yang tertulis dalam kitab amal mereka.Setelah itu datanglah tahap mīzān (timbangan), di mana amal-amal perbuatan manusia akan ditimbang — sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Kemudian setelah proses penimbangan itu, manusia akan terbagi menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan (azwāj), yaitu setiap jenis akan dikumpulkan bersama dengan yang sejenis. Pada saat itu akan ditegakkan panji-panji para nabi — Liwa’ Muhammad ﷺ, Liwa’ Ibrahim, Liwa’ Musa, dan lainnya. Manusia akan bernaung di bawah panji-panji tersebut sesuai dengan jenis dan kedudukan mereka. Setiap kelompok akan dikumpulkan dengan kelompoknya yang serupa. Demikian pula orang-orang zalim dan kafir, mereka juga akan dihimpun bersama dengan yang serupa, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah.” (QS. As-Saffat: 22–23). Maksudnya dengan azwājahum (pasangan-pasangan mereka) adalah orang-orang yang sejenis dan serupa dengan mereka, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Maka ulama-ulama kaum musyrik akan dihimpun bersama ulama musyrik lainnya, para penguasa zalim akan dihimpun bersama para zalim lainnya, orang-orang yang mengingkari kebangkitan akan dihimpun bersama sesama pengingkar kebangkitan, dan demikian seterusnya.Setelah itu, Allah ‘Azza wa Jalla menebarkan kegelapan sebelum Jahanam (neraka) — kita berlindung kepada Allah darinya — dan manusia akan berjalan dengan cahaya (nūr) yang diberikan kepada mereka. Umat ini (umat Muhammad ﷺ) akan berjalan di antara mereka terdapat kaum munafik. Ketika mereka berjalan dengan cahaya masing-masing, maka didirikanlah tembok pemisah (as-sūr) yang telah Allah sebutkan, “Lalu dipasanglah dinding di antara mereka yang mempunyai pintu; di sebelah dalamnya ada rahmat, sedangkan di sebelah luarnya dari arah mereka ada azab. Mereka (orang-orang munafik) memanggil orang-orang beriman: ‘Bukankah kami dahulu bersama kalian?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri…’” (QS. Al-Hadid: 13–14). Maka Allah memberikan cahaya kepada orang-orang beriman, sehingga mereka dapat melihat dan menapaki jalan menuju Ash-Shirāṭ (titian di atas neraka). Adapun orang-orang munafik tidak diberi cahaya, dan mereka akhirnya bersama orang-orang kafir, terjatuh dan terhempas ke dalam neraka, berjalan dalam kegelapan, sedangkan di depan mereka terbentang Jahanam — na‘ūdzu billāh.Setelah itu, Nabi ﷺ datang pertama kali dan berdiri di atas Shirāṭ, beliau berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk dirinya dan untuk umatnya seraya berkata: “Allāhumma sallim, sallim. Allāhumma sallim, sallim.” (“Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!”). Maka beliau ﷺ pun meniti Shirāṭ, dan umatnya pun meniti Shirāṭ. Setiap orang akan melaluinya sesuai dengan kadar amalnya, dan cahaya yang menyertai mereka juga sesuai kadar amalnya. Maka berjalanlah mereka yang telah diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan sebagian lain terjatuh ke dalam neraka, di lapisan para ahli tauhid yang Allah kehendaki untuk disiksa terlebih dahulu. Setelah mereka selesai melewati neraka, mereka berkumpul di lapangan surga (ʿarashāt al-jannah) — yakni di tempat yang telah Allah siapkan bagi orang-orang beriman untuk saling menuntut keadilan di antara mereka, agar setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu Allah menghapus segala rasa dengki dan dendam dari hati mereka, sehingga mereka memasuki surga dalam keadaan hati yang bersih, tanpa kebencian sedikit pun.Kemudian yang pertama kali memasuki surga setelah Nabi ﷺ adalah para fakir dari kalangan Muhajirin, disusul para fakir dari kalangan Anshar, lalu para fakir dari umat beliau secara umum. Adapun orang-orang kaya akan tertunda masuk surga, karena mereka harus menyelesaikan perhitungan terkait tanggung jawab terhadap sesama makhluk, serta pertanggungjawaban atas harta mereka di hadapan Allah.(Sumber: “Syarh Ath-Thahawiyyah”, hlm. 542, dengan penomoran Maktabah Syamilah, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, dengan sedikit penyesuaian redaksi)Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang selamat di hari yang penuh dahsyat itu, diberi cahaya untuk meniti shirath, dan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ﷺ di surga-Nya yang abadi. Aamiin. Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Wonosari Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscatatan amal hari kiamat hisab keadilan Allah kebangkitan manusia shirath surga dan neraka syafaat nabi timbangan amal urutan hari kiamat
Hari Kiamat adalah peristiwa agung yang pasti terjadi dan menjadi puncak dari perjalanan panjang kehidupan manusia. Pada hari itu, seluruh amal perbuatan akan ditampakkan, hisab ditegakkan, dan setiap jiwa menerima balasan yang adil dari Allah Ta‘ala. Para ulama menjelaskan bahwa kejadian-kejadian besar di Hari Kiamat berlangsung dalam urutan yang sangat teratur, dimulai dari kebangkitan manusia hingga berakhir di surga atau neraka. Tulisan ini menguraikan secara lengkap tahapan-tahapan Hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Syarh Ath-Thahawiyyah. Yang telah disepakati oleh para ulama yang teliti adalah bahwa urutan peristiwa pada Hari Kiamat berlangsung sebagai berikut:Ketika manusia dibangkitkan dan bangun dari kubur mereka, mereka akan menuju ke Padang Mahsyar. Di sana mereka berdiri sangat lama; keadaan mereka menjadi amat berat dan dahaga pun sangat mencekik. Ketakutan luar biasa meliputi mereka karena lamanya waktu berdiri itu, serta keyakinan mereka bahwa perhitungan amal akan segera dimulai, dan karena apa yang akan Allah `ʿazza wa jalla` lakukan terhadap mereka.Ketika masa berdiri itu sudah berlangsung lama, Allah `ʿazza wa jalla` akan menampakkan terlebih dahulu telaga Nabi-Nya ﷺ, yaitu Haudh al-Maurūd. Telaga Nabi ﷺ itu berada di tengah padang Mahsyar, ketika manusia sedang berdiri lama menanti keputusan Rabb semesta alam, pada hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun lamanya. Maka, siapa pun yang meninggal dunia di atas sunnah beliau — tanpa mengubah, tanpa membuat bid‘ah, dan tanpa mengganti ajaran — akan mendatangi telaga itu dan minum darinya. Dengan demikian, tanda pertama keselamatan baginya adalah bahwa ia diberi minum dari telaga Nabi ﷺ. Setelah itu, setiap nabi akan ditampakkan pula telaganya masing-masing, dan orang-orang saleh dari umat mereka akan diberi minum dari telaga tersebut.Kemudian manusia berdiri kembali dalam waktu yang sangat lama, hingga tibalah syafaat kubra (syafaat agung, syafaatul ‘uzhma), yaitu syafaat Nabi ﷺ, agar Allah `ʿazza wa jalla` mempercepat dimulainya hisab seluruh makhluk. Dalam hadits panjang yang masyhur disebutkan bahwa manusia mendatangi Nabi Adam, kemudian Nabi Nuh, lalu Nabi Ibrahim, dan seterusnya, hingga akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Muhammad,” sambil menjelaskan keadaan mereka yang sangat berat, dan mereka memintanya untuk memohon kepada Allah agar segera memulai hisab sehingga manusia terhindar dari kesulitan yang panjang itu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda setelah mendengar permintaan mereka, “Aku-lah orangnya, aku-lah orangnya (yang mampu melakukannya).”* Beliau kemudian datang ke hadapan ‘Arsy, lalu sujud dan memuji Allah `ʿazza wa jalla` dengan pujian-pujian yang Allah bukakan bagi beliau. Setelah itu, dikatakan kepadanya: “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah niscaya engkau akan diberi, dan berilah syafaat niscaya syafaatmu akan diterima.” Maka inilah syafaat agung Nabi ﷺ, yaitu syafaat beliau agar Allah mempercepat hisab bagi seluruh makhluk.Setelah itu, tibalah tahap al-‘arḍ (عرض الأعمال) — yakni penampakan amal-amal perbuatan.Kemudian setelah penampakan amal tersebut, terjadilah hisab (perhitungan amal).Setelah hisab pertama, catatan-catatan amal akan beterbangan. Adapun hisab pertama ini termasuk dalam bagian dari penampakan amal, karena di dalamnya terjadi perdebatan dan alasan-alasan pembelaan diri dari para manusia.Setelah itu, catatan-catatan amal tersebut diterbangkan, lalu orang-orang yang beriman (Ahlul Yamin) menerima kitab mereka dengan tangan kanan, sedangkan orang-orang kafir dan durhaka (Ahlus Syimal) menerimanya dengan tangan kiri mereka. Maka tibalah saat mereka membaca kitab catatan amal masing-masing.Kemudian setelah pembacaan kitab amal itu, terjadi lagi perhitungan, untuk memutus segala alasan dan menegakkan hujjah (bukti) atas manusia melalui pembacaan apa yang tertulis dalam kitab amal mereka.Setelah itu datanglah tahap mīzān (timbangan), di mana amal-amal perbuatan manusia akan ditimbang — sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Kemudian setelah proses penimbangan itu, manusia akan terbagi menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan (azwāj), yaitu setiap jenis akan dikumpulkan bersama dengan yang sejenis. Pada saat itu akan ditegakkan panji-panji para nabi — Liwa’ Muhammad ﷺ, Liwa’ Ibrahim, Liwa’ Musa, dan lainnya. Manusia akan bernaung di bawah panji-panji tersebut sesuai dengan jenis dan kedudukan mereka. Setiap kelompok akan dikumpulkan dengan kelompoknya yang serupa. Demikian pula orang-orang zalim dan kafir, mereka juga akan dihimpun bersama dengan yang serupa, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah.” (QS. As-Saffat: 22–23). Maksudnya dengan azwājahum (pasangan-pasangan mereka) adalah orang-orang yang sejenis dan serupa dengan mereka, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Maka ulama-ulama kaum musyrik akan dihimpun bersama ulama musyrik lainnya, para penguasa zalim akan dihimpun bersama para zalim lainnya, orang-orang yang mengingkari kebangkitan akan dihimpun bersama sesama pengingkar kebangkitan, dan demikian seterusnya.Setelah itu, Allah ‘Azza wa Jalla menebarkan kegelapan sebelum Jahanam (neraka) — kita berlindung kepada Allah darinya — dan manusia akan berjalan dengan cahaya (nūr) yang diberikan kepada mereka. Umat ini (umat Muhammad ﷺ) akan berjalan di antara mereka terdapat kaum munafik. Ketika mereka berjalan dengan cahaya masing-masing, maka didirikanlah tembok pemisah (as-sūr) yang telah Allah sebutkan, “Lalu dipasanglah dinding di antara mereka yang mempunyai pintu; di sebelah dalamnya ada rahmat, sedangkan di sebelah luarnya dari arah mereka ada azab. Mereka (orang-orang munafik) memanggil orang-orang beriman: ‘Bukankah kami dahulu bersama kalian?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri…’” (QS. Al-Hadid: 13–14). Maka Allah memberikan cahaya kepada orang-orang beriman, sehingga mereka dapat melihat dan menapaki jalan menuju Ash-Shirāṭ (titian di atas neraka). Adapun orang-orang munafik tidak diberi cahaya, dan mereka akhirnya bersama orang-orang kafir, terjatuh dan terhempas ke dalam neraka, berjalan dalam kegelapan, sedangkan di depan mereka terbentang Jahanam — na‘ūdzu billāh.Setelah itu, Nabi ﷺ datang pertama kali dan berdiri di atas Shirāṭ, beliau berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk dirinya dan untuk umatnya seraya berkata: “Allāhumma sallim, sallim. Allāhumma sallim, sallim.” (“Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!”). Maka beliau ﷺ pun meniti Shirāṭ, dan umatnya pun meniti Shirāṭ. Setiap orang akan melaluinya sesuai dengan kadar amalnya, dan cahaya yang menyertai mereka juga sesuai kadar amalnya. Maka berjalanlah mereka yang telah diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan sebagian lain terjatuh ke dalam neraka, di lapisan para ahli tauhid yang Allah kehendaki untuk disiksa terlebih dahulu. Setelah mereka selesai melewati neraka, mereka berkumpul di lapangan surga (ʿarashāt al-jannah) — yakni di tempat yang telah Allah siapkan bagi orang-orang beriman untuk saling menuntut keadilan di antara mereka, agar setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu Allah menghapus segala rasa dengki dan dendam dari hati mereka, sehingga mereka memasuki surga dalam keadaan hati yang bersih, tanpa kebencian sedikit pun.Kemudian yang pertama kali memasuki surga setelah Nabi ﷺ adalah para fakir dari kalangan Muhajirin, disusul para fakir dari kalangan Anshar, lalu para fakir dari umat beliau secara umum. Adapun orang-orang kaya akan tertunda masuk surga, karena mereka harus menyelesaikan perhitungan terkait tanggung jawab terhadap sesama makhluk, serta pertanggungjawaban atas harta mereka di hadapan Allah.(Sumber: “Syarh Ath-Thahawiyyah”, hlm. 542, dengan penomoran Maktabah Syamilah, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, dengan sedikit penyesuaian redaksi)Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang selamat di hari yang penuh dahsyat itu, diberi cahaya untuk meniti shirath, dan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ﷺ di surga-Nya yang abadi. Aamiin. Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Wonosari Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscatatan amal hari kiamat hisab keadilan Allah kebangkitan manusia shirath surga dan neraka syafaat nabi timbangan amal urutan hari kiamat


Hari Kiamat adalah peristiwa agung yang pasti terjadi dan menjadi puncak dari perjalanan panjang kehidupan manusia. Pada hari itu, seluruh amal perbuatan akan ditampakkan, hisab ditegakkan, dan setiap jiwa menerima balasan yang adil dari Allah Ta‘ala. Para ulama menjelaskan bahwa kejadian-kejadian besar di Hari Kiamat berlangsung dalam urutan yang sangat teratur, dimulai dari kebangkitan manusia hingga berakhir di surga atau neraka. Tulisan ini menguraikan secara lengkap tahapan-tahapan Hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Syarh Ath-Thahawiyyah. Yang telah disepakati oleh para ulama yang teliti adalah bahwa urutan peristiwa pada Hari Kiamat berlangsung sebagai berikut:Ketika manusia dibangkitkan dan bangun dari kubur mereka, mereka akan menuju ke Padang Mahsyar. Di sana mereka berdiri sangat lama; keadaan mereka menjadi amat berat dan dahaga pun sangat mencekik. Ketakutan luar biasa meliputi mereka karena lamanya waktu berdiri itu, serta keyakinan mereka bahwa perhitungan amal akan segera dimulai, dan karena apa yang akan Allah `ʿazza wa jalla` lakukan terhadap mereka.Ketika masa berdiri itu sudah berlangsung lama, Allah `ʿazza wa jalla` akan menampakkan terlebih dahulu telaga Nabi-Nya ﷺ, yaitu Haudh al-Maurūd. Telaga Nabi ﷺ itu berada di tengah padang Mahsyar, ketika manusia sedang berdiri lama menanti keputusan Rabb semesta alam, pada hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun lamanya. Maka, siapa pun yang meninggal dunia di atas sunnah beliau — tanpa mengubah, tanpa membuat bid‘ah, dan tanpa mengganti ajaran — akan mendatangi telaga itu dan minum darinya. Dengan demikian, tanda pertama keselamatan baginya adalah bahwa ia diberi minum dari telaga Nabi ﷺ. Setelah itu, setiap nabi akan ditampakkan pula telaganya masing-masing, dan orang-orang saleh dari umat mereka akan diberi minum dari telaga tersebut.Kemudian manusia berdiri kembali dalam waktu yang sangat lama, hingga tibalah syafaat kubra (syafaat agung, syafaatul ‘uzhma), yaitu syafaat Nabi ﷺ, agar Allah `ʿazza wa jalla` mempercepat dimulainya hisab seluruh makhluk. Dalam hadits panjang yang masyhur disebutkan bahwa manusia mendatangi Nabi Adam, kemudian Nabi Nuh, lalu Nabi Ibrahim, dan seterusnya, hingga akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Muhammad,” sambil menjelaskan keadaan mereka yang sangat berat, dan mereka memintanya untuk memohon kepada Allah agar segera memulai hisab sehingga manusia terhindar dari kesulitan yang panjang itu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda setelah mendengar permintaan mereka, “Aku-lah orangnya, aku-lah orangnya (yang mampu melakukannya).”* Beliau kemudian datang ke hadapan ‘Arsy, lalu sujud dan memuji Allah `ʿazza wa jalla` dengan pujian-pujian yang Allah bukakan bagi beliau. Setelah itu, dikatakan kepadanya: “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah niscaya engkau akan diberi, dan berilah syafaat niscaya syafaatmu akan diterima.” Maka inilah syafaat agung Nabi ﷺ, yaitu syafaat beliau agar Allah mempercepat hisab bagi seluruh makhluk.Setelah itu, tibalah tahap al-‘arḍ (عرض الأعمال) — yakni penampakan amal-amal perbuatan.Kemudian setelah penampakan amal tersebut, terjadilah hisab (perhitungan amal).Setelah hisab pertama, catatan-catatan amal akan beterbangan. Adapun hisab pertama ini termasuk dalam bagian dari penampakan amal, karena di dalamnya terjadi perdebatan dan alasan-alasan pembelaan diri dari para manusia.Setelah itu, catatan-catatan amal tersebut diterbangkan, lalu orang-orang yang beriman (Ahlul Yamin) menerima kitab mereka dengan tangan kanan, sedangkan orang-orang kafir dan durhaka (Ahlus Syimal) menerimanya dengan tangan kiri mereka. Maka tibalah saat mereka membaca kitab catatan amal masing-masing.Kemudian setelah pembacaan kitab amal itu, terjadi lagi perhitungan, untuk memutus segala alasan dan menegakkan hujjah (bukti) atas manusia melalui pembacaan apa yang tertulis dalam kitab amal mereka.Setelah itu datanglah tahap mīzān (timbangan), di mana amal-amal perbuatan manusia akan ditimbang — sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Kemudian setelah proses penimbangan itu, manusia akan terbagi menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan (azwāj), yaitu setiap jenis akan dikumpulkan bersama dengan yang sejenis. Pada saat itu akan ditegakkan panji-panji para nabi — Liwa’ Muhammad ﷺ, Liwa’ Ibrahim, Liwa’ Musa, dan lainnya. Manusia akan bernaung di bawah panji-panji tersebut sesuai dengan jenis dan kedudukan mereka. Setiap kelompok akan dikumpulkan dengan kelompoknya yang serupa. Demikian pula orang-orang zalim dan kafir, mereka juga akan dihimpun bersama dengan yang serupa, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah.” (QS. As-Saffat: 22–23). Maksudnya dengan azwājahum (pasangan-pasangan mereka) adalah orang-orang yang sejenis dan serupa dengan mereka, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Maka ulama-ulama kaum musyrik akan dihimpun bersama ulama musyrik lainnya, para penguasa zalim akan dihimpun bersama para zalim lainnya, orang-orang yang mengingkari kebangkitan akan dihimpun bersama sesama pengingkar kebangkitan, dan demikian seterusnya.Setelah itu, Allah ‘Azza wa Jalla menebarkan kegelapan sebelum Jahanam (neraka) — kita berlindung kepada Allah darinya — dan manusia akan berjalan dengan cahaya (nūr) yang diberikan kepada mereka. Umat ini (umat Muhammad ﷺ) akan berjalan di antara mereka terdapat kaum munafik. Ketika mereka berjalan dengan cahaya masing-masing, maka didirikanlah tembok pemisah (as-sūr) yang telah Allah sebutkan, “Lalu dipasanglah dinding di antara mereka yang mempunyai pintu; di sebelah dalamnya ada rahmat, sedangkan di sebelah luarnya dari arah mereka ada azab. Mereka (orang-orang munafik) memanggil orang-orang beriman: ‘Bukankah kami dahulu bersama kalian?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri…’” (QS. Al-Hadid: 13–14). Maka Allah memberikan cahaya kepada orang-orang beriman, sehingga mereka dapat melihat dan menapaki jalan menuju Ash-Shirāṭ (titian di atas neraka). Adapun orang-orang munafik tidak diberi cahaya, dan mereka akhirnya bersama orang-orang kafir, terjatuh dan terhempas ke dalam neraka, berjalan dalam kegelapan, sedangkan di depan mereka terbentang Jahanam — na‘ūdzu billāh.Setelah itu, Nabi ﷺ datang pertama kali dan berdiri di atas Shirāṭ, beliau berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk dirinya dan untuk umatnya seraya berkata: “Allāhumma sallim, sallim. Allāhumma sallim, sallim.” (“Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!”). Maka beliau ﷺ pun meniti Shirāṭ, dan umatnya pun meniti Shirāṭ. Setiap orang akan melaluinya sesuai dengan kadar amalnya, dan cahaya yang menyertai mereka juga sesuai kadar amalnya. Maka berjalanlah mereka yang telah diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan sebagian lain terjatuh ke dalam neraka, di lapisan para ahli tauhid yang Allah kehendaki untuk disiksa terlebih dahulu. Setelah mereka selesai melewati neraka, mereka berkumpul di lapangan surga (ʿarashāt al-jannah) — yakni di tempat yang telah Allah siapkan bagi orang-orang beriman untuk saling menuntut keadilan di antara mereka, agar setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu Allah menghapus segala rasa dengki dan dendam dari hati mereka, sehingga mereka memasuki surga dalam keadaan hati yang bersih, tanpa kebencian sedikit pun.Kemudian yang pertama kali memasuki surga setelah Nabi ﷺ adalah para fakir dari kalangan Muhajirin, disusul para fakir dari kalangan Anshar, lalu para fakir dari umat beliau secara umum. Adapun orang-orang kaya akan tertunda masuk surga, karena mereka harus menyelesaikan perhitungan terkait tanggung jawab terhadap sesama makhluk, serta pertanggungjawaban atas harta mereka di hadapan Allah.(Sumber: “Syarh Ath-Thahawiyyah”, hlm. 542, dengan penomoran Maktabah Syamilah, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, dengan sedikit penyesuaian redaksi)Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang selamat di hari yang penuh dahsyat itu, diberi cahaya untuk meniti shirath, dan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ﷺ di surga-Nya yang abadi. Aamiin. Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Wonosari Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscatatan amal hari kiamat hisab keadilan Allah kebangkitan manusia shirath surga dan neraka syafaat nabi timbangan amal urutan hari kiamat

6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat

Setiap amal saleh yang dilakukan seorang hamba tidak akan sia-sia di sisi Allah. Bahkan amal sekecil apa pun akan mendapat balasan dan dapat memberatkan timbangan kebaikan pada Hari Kiamat. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ menyebut beberapa amalan khusus yang memiliki bobot luar biasa di timbangan amal seorang mukmin.Penting untuk diketahui bahwa setiap amal saleh yang dilakukan oleh seorang hamba adalah sesuatu yang Allah jadikan sebagai pemberat timbangan kebaikannya pada Hari Kiamat. Allah Ta‘ala berfirman:إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا“Sungguh, Allah tidak menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah (debu yang sangat kecil). Jika ada kebaikan sebesar itu, niscaya Allah melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisā’: 40)Dan Allah juga berfirman:فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Maka siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, ia pasti akan melihat (balasannya). Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, ia juga pasti akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)Namun, dalam berbagai nash (teks dalil) disebutkan bahwa ada amal-amal tertentu yang memiliki keistimewaan khusus: amal-amal tersebut secara khusus akan memberatkan timbangan amal kebaikan seseorang di akhirat kelak. Di antara amal-amal itu adalah: 1. Ucapan “Lā ilāha illallāh” (Kalimat Tauhid)Ucapan ini adalah hal paling berat dalam timbangan.Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:( إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ )“Sesungguhnya Allah akan memisahkan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat. Lalu dibentangkan kepadanya sembilan puluh sembilan catatan amal, setiap catatan sepanjang mata memandang. Allah bertanya, ‘Apakah engkau mengingkari sesuatu dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat-Ku menzalimimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Allah berkata, ‘Apakah engkau punya alasan?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Maka Allah berfirman, ‘Sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami. Hari ini engkau tidak akan dizalimi.’ Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang tertulis di dalamnya: Asyhadu allā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasūluh. Allah berfirman, ‘Timbangkanlah kartu ini dengan catatan-catatan amalnya!’ Lelaki itu berkata, ‘Ya Rabb, apa arti kartu kecil ini dibandingkan catatan-catatan sebesar itu?’ Allah menjawab, ‘Engkau tidak akan dizalimi.’ Maka ditaruhlah catatan-catatan di satu sisi timbangan dan kartu tauhid di sisi lain. Ternyata catatan-catatan itu menjadi ringan dan kartu itu menjadi berat, sebab tidak ada sesuatu pun yang lebih berat daripada nama Allah.” (HR. Ahmad no. 6699, at-Tirmidzi no. 2639; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani) 2. Dzikir kepada Allah: Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan TakbirDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman:سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ (Maha Suci Allah Yang Maha Agung, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya).” (HR. al-Bukhari no. 6406, Muslim no. 2694)Dan dari Juwairiyah, istri Nabi ﷺ, bahwa Nabi keluar dari sisinya pada waktu pagi setelah salat Subuh, sementara beliau sedang duduk berzikir. Nabi ﷺ kembali setelah matahari meninggi, dan mendapati Juwairiyah masih dalam keadaan yang sama. Beliau bertanya, “Apakah engkau masih seperti keadaan ketika aku meninggalkanmu tadi?” Ia menjawab, “Ya.”Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh, aku telah mengucapkan empat kalimat sebanyak tiga kali yang jika ditimbang dengan semua yang engkau ucapkan sejak pagi ini, maka empat kalimat itu lebih berat:سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ(Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak jumlah makhluk-Nya, sesuai keridaan diri-Nya, seberat Arasy-Nya, dan sebanyak tinta kalimat-Nya).” (HR. Muslim no. 2726) 3. Menjaga Dzikir Setelah Shalat FardhuDari ‘Abdullāh bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda: خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا وَيَحْمَدُ عَشْرًا وَيُكَبِّرُ عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ..)“Ada dua kebiasaan yang tidak dijaga oleh seorang muslim kecuali ia akan masuk surga. Keduanya ringan, tetapi sedikit yang melakukannya:(1) Bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali setiap selesai shalat. Itu berarti 150 kali di lisan dan 1500 kali di timbangan.(2) Bertakbir 34 kali, bertahmid 33 kali, dan bertasbih 33 kali ketika hendak tidur. Itu 100 kali di lisan dan 1000 kali di timbangan…” (HR. Ahmad no. 6616, Abu Dawud no. 5065, at-Tirmidzi no. 3410, an-Nasa’i no. 1331, Ibnu Majah no. 926; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib)4. Sabar dan Mengharap Pahala atas Wafatnya Anak yang SalehDari Zaid, dari Abi Salam, dari maula Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:( بَخٍ بَخٍ خَمْسٌ مَا أَثْقَلَهُنَّ فِي الْمِيزَانِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْوَلَدُ الصَّالِحُ يُتَوَفَّى فَيَحْتَسِبُهُ وَالِدَاهُ وَقَالَ بَخٍ بَخٍ لِخَمْسٍ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ مُسْتَيْقِنًا بِهِنَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْحِسَابِ )“Luar biasa, betapa beratnya lima perkara dalam timbangan: ‘Lā ilāha illallāh’, ‘Allāhu akbar’, ‘Subhānallāh’, ‘Alhamdulillāh’, dan anak saleh yang meninggal lalu kedua orang tuanya bersabar dan mengharap pahala. Dan beliau juga bersabda: ‘Luar biasa, lima hal siapa yang menemui Allah dengan keyakinan terhadapnya akan masuk surga: beriman kepada Allah, hari akhir, surga, neraka, kebangkitan setelah mati, dan hisab (perhitungan amal).’” (HR. Ahmad no. 15107; disahihkan oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahīhah)5. Akhlak yang MuliaDari Abu ad-Darda’, Nabi ﷺ bersabda:مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin selain akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799; disahihkan oleh al-Albani)Dalam riwayat lain, dari Ummu ad-Darda’, dari suaminya Abu ad-Darda’, ia berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ“Tidak ada sesuatu yang diletakkan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang memiliki akhlak yang baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam.” (HR. at-Tirmidzi no. 2003; disahihkan oleh al-Albani) 6. Mengiringi Jenazah hingga Selesai DikebumikanDari Ubay, Nabi ﷺ bersabda:مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيُفْرَغَ مِنْهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ وَمَنْ تَبِعَهَا حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِهِ مِنْ أُحُدٍ “Barang siapa mengikuti jenazah hingga dishalatkan dan selesai dimakamkan, maka baginya dua qirath pahala. Dan siapa yang hanya mengikuti hingga dishalatkan, maka baginya satu qirath. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh dua qirath itu lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.” (HR. Ahmad no. 20256; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jāmi‘ ash-Shaghīr) KesimpulanSegala amal saleh, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan dari Allah. Namun, amal-amal tertentu yang disebutkan dalam hadits memiliki keistimewaan luar biasa dalam menambah berat timbangan kebaikan di Hari Kiamat. Karenanya, perbanyaklah dzikir, jaga akhlak, bersabar atas ujian, dan bersegera dalam amal-amal kebaikan.اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَوَازِينَنَا يَوْمَ القِيَامَةِ ثَقِيلَةً بِالحَسَنَاتِ، وَخَفِيفَةً بِالسَّيِّئَاتِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِآبَائِنَا وَلِجَمِيعِ المُسْلِمِينَ.“Ya Allah, jadikanlah timbangan amal kami pada Hari Kiamat berat dengan kebaikan, ringan dari dosa, dan ampunilah kami, kedua orang tua kami, serta seluruh kaum muslimin.” Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Paliyan Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia amal kebaikan amal saleh amalan berat di timbangan Dzikir hari kiamat la ilaha illallah pahala besar sabar atas musibah timbangan amal

6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat

Setiap amal saleh yang dilakukan seorang hamba tidak akan sia-sia di sisi Allah. Bahkan amal sekecil apa pun akan mendapat balasan dan dapat memberatkan timbangan kebaikan pada Hari Kiamat. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ menyebut beberapa amalan khusus yang memiliki bobot luar biasa di timbangan amal seorang mukmin.Penting untuk diketahui bahwa setiap amal saleh yang dilakukan oleh seorang hamba adalah sesuatu yang Allah jadikan sebagai pemberat timbangan kebaikannya pada Hari Kiamat. Allah Ta‘ala berfirman:إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا“Sungguh, Allah tidak menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah (debu yang sangat kecil). Jika ada kebaikan sebesar itu, niscaya Allah melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisā’: 40)Dan Allah juga berfirman:فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Maka siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, ia pasti akan melihat (balasannya). Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, ia juga pasti akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)Namun, dalam berbagai nash (teks dalil) disebutkan bahwa ada amal-amal tertentu yang memiliki keistimewaan khusus: amal-amal tersebut secara khusus akan memberatkan timbangan amal kebaikan seseorang di akhirat kelak. Di antara amal-amal itu adalah: 1. Ucapan “Lā ilāha illallāh” (Kalimat Tauhid)Ucapan ini adalah hal paling berat dalam timbangan.Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:( إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ )“Sesungguhnya Allah akan memisahkan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat. Lalu dibentangkan kepadanya sembilan puluh sembilan catatan amal, setiap catatan sepanjang mata memandang. Allah bertanya, ‘Apakah engkau mengingkari sesuatu dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat-Ku menzalimimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Allah berkata, ‘Apakah engkau punya alasan?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Maka Allah berfirman, ‘Sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami. Hari ini engkau tidak akan dizalimi.’ Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang tertulis di dalamnya: Asyhadu allā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasūluh. Allah berfirman, ‘Timbangkanlah kartu ini dengan catatan-catatan amalnya!’ Lelaki itu berkata, ‘Ya Rabb, apa arti kartu kecil ini dibandingkan catatan-catatan sebesar itu?’ Allah menjawab, ‘Engkau tidak akan dizalimi.’ Maka ditaruhlah catatan-catatan di satu sisi timbangan dan kartu tauhid di sisi lain. Ternyata catatan-catatan itu menjadi ringan dan kartu itu menjadi berat, sebab tidak ada sesuatu pun yang lebih berat daripada nama Allah.” (HR. Ahmad no. 6699, at-Tirmidzi no. 2639; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani) 2. Dzikir kepada Allah: Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan TakbirDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman:سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ (Maha Suci Allah Yang Maha Agung, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya).” (HR. al-Bukhari no. 6406, Muslim no. 2694)Dan dari Juwairiyah, istri Nabi ﷺ, bahwa Nabi keluar dari sisinya pada waktu pagi setelah salat Subuh, sementara beliau sedang duduk berzikir. Nabi ﷺ kembali setelah matahari meninggi, dan mendapati Juwairiyah masih dalam keadaan yang sama. Beliau bertanya, “Apakah engkau masih seperti keadaan ketika aku meninggalkanmu tadi?” Ia menjawab, “Ya.”Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh, aku telah mengucapkan empat kalimat sebanyak tiga kali yang jika ditimbang dengan semua yang engkau ucapkan sejak pagi ini, maka empat kalimat itu lebih berat:سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ(Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak jumlah makhluk-Nya, sesuai keridaan diri-Nya, seberat Arasy-Nya, dan sebanyak tinta kalimat-Nya).” (HR. Muslim no. 2726) 3. Menjaga Dzikir Setelah Shalat FardhuDari ‘Abdullāh bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda: خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا وَيَحْمَدُ عَشْرًا وَيُكَبِّرُ عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ..)“Ada dua kebiasaan yang tidak dijaga oleh seorang muslim kecuali ia akan masuk surga. Keduanya ringan, tetapi sedikit yang melakukannya:(1) Bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali setiap selesai shalat. Itu berarti 150 kali di lisan dan 1500 kali di timbangan.(2) Bertakbir 34 kali, bertahmid 33 kali, dan bertasbih 33 kali ketika hendak tidur. Itu 100 kali di lisan dan 1000 kali di timbangan…” (HR. Ahmad no. 6616, Abu Dawud no. 5065, at-Tirmidzi no. 3410, an-Nasa’i no. 1331, Ibnu Majah no. 926; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib)4. Sabar dan Mengharap Pahala atas Wafatnya Anak yang SalehDari Zaid, dari Abi Salam, dari maula Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:( بَخٍ بَخٍ خَمْسٌ مَا أَثْقَلَهُنَّ فِي الْمِيزَانِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْوَلَدُ الصَّالِحُ يُتَوَفَّى فَيَحْتَسِبُهُ وَالِدَاهُ وَقَالَ بَخٍ بَخٍ لِخَمْسٍ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ مُسْتَيْقِنًا بِهِنَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْحِسَابِ )“Luar biasa, betapa beratnya lima perkara dalam timbangan: ‘Lā ilāha illallāh’, ‘Allāhu akbar’, ‘Subhānallāh’, ‘Alhamdulillāh’, dan anak saleh yang meninggal lalu kedua orang tuanya bersabar dan mengharap pahala. Dan beliau juga bersabda: ‘Luar biasa, lima hal siapa yang menemui Allah dengan keyakinan terhadapnya akan masuk surga: beriman kepada Allah, hari akhir, surga, neraka, kebangkitan setelah mati, dan hisab (perhitungan amal).’” (HR. Ahmad no. 15107; disahihkan oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahīhah)5. Akhlak yang MuliaDari Abu ad-Darda’, Nabi ﷺ bersabda:مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin selain akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799; disahihkan oleh al-Albani)Dalam riwayat lain, dari Ummu ad-Darda’, dari suaminya Abu ad-Darda’, ia berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ“Tidak ada sesuatu yang diletakkan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang memiliki akhlak yang baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam.” (HR. at-Tirmidzi no. 2003; disahihkan oleh al-Albani) 6. Mengiringi Jenazah hingga Selesai DikebumikanDari Ubay, Nabi ﷺ bersabda:مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيُفْرَغَ مِنْهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ وَمَنْ تَبِعَهَا حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِهِ مِنْ أُحُدٍ “Barang siapa mengikuti jenazah hingga dishalatkan dan selesai dimakamkan, maka baginya dua qirath pahala. Dan siapa yang hanya mengikuti hingga dishalatkan, maka baginya satu qirath. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh dua qirath itu lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.” (HR. Ahmad no. 20256; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jāmi‘ ash-Shaghīr) KesimpulanSegala amal saleh, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan dari Allah. Namun, amal-amal tertentu yang disebutkan dalam hadits memiliki keistimewaan luar biasa dalam menambah berat timbangan kebaikan di Hari Kiamat. Karenanya, perbanyaklah dzikir, jaga akhlak, bersabar atas ujian, dan bersegera dalam amal-amal kebaikan.اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَوَازِينَنَا يَوْمَ القِيَامَةِ ثَقِيلَةً بِالحَسَنَاتِ، وَخَفِيفَةً بِالسَّيِّئَاتِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِآبَائِنَا وَلِجَمِيعِ المُسْلِمِينَ.“Ya Allah, jadikanlah timbangan amal kami pada Hari Kiamat berat dengan kebaikan, ringan dari dosa, dan ampunilah kami, kedua orang tua kami, serta seluruh kaum muslimin.” Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Paliyan Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia amal kebaikan amal saleh amalan berat di timbangan Dzikir hari kiamat la ilaha illallah pahala besar sabar atas musibah timbangan amal
Setiap amal saleh yang dilakukan seorang hamba tidak akan sia-sia di sisi Allah. Bahkan amal sekecil apa pun akan mendapat balasan dan dapat memberatkan timbangan kebaikan pada Hari Kiamat. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ menyebut beberapa amalan khusus yang memiliki bobot luar biasa di timbangan amal seorang mukmin.Penting untuk diketahui bahwa setiap amal saleh yang dilakukan oleh seorang hamba adalah sesuatu yang Allah jadikan sebagai pemberat timbangan kebaikannya pada Hari Kiamat. Allah Ta‘ala berfirman:إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا“Sungguh, Allah tidak menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah (debu yang sangat kecil). Jika ada kebaikan sebesar itu, niscaya Allah melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisā’: 40)Dan Allah juga berfirman:فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Maka siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, ia pasti akan melihat (balasannya). Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, ia juga pasti akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)Namun, dalam berbagai nash (teks dalil) disebutkan bahwa ada amal-amal tertentu yang memiliki keistimewaan khusus: amal-amal tersebut secara khusus akan memberatkan timbangan amal kebaikan seseorang di akhirat kelak. Di antara amal-amal itu adalah: 1. Ucapan “Lā ilāha illallāh” (Kalimat Tauhid)Ucapan ini adalah hal paling berat dalam timbangan.Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:( إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ )“Sesungguhnya Allah akan memisahkan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat. Lalu dibentangkan kepadanya sembilan puluh sembilan catatan amal, setiap catatan sepanjang mata memandang. Allah bertanya, ‘Apakah engkau mengingkari sesuatu dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat-Ku menzalimimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Allah berkata, ‘Apakah engkau punya alasan?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Maka Allah berfirman, ‘Sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami. Hari ini engkau tidak akan dizalimi.’ Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang tertulis di dalamnya: Asyhadu allā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasūluh. Allah berfirman, ‘Timbangkanlah kartu ini dengan catatan-catatan amalnya!’ Lelaki itu berkata, ‘Ya Rabb, apa arti kartu kecil ini dibandingkan catatan-catatan sebesar itu?’ Allah menjawab, ‘Engkau tidak akan dizalimi.’ Maka ditaruhlah catatan-catatan di satu sisi timbangan dan kartu tauhid di sisi lain. Ternyata catatan-catatan itu menjadi ringan dan kartu itu menjadi berat, sebab tidak ada sesuatu pun yang lebih berat daripada nama Allah.” (HR. Ahmad no. 6699, at-Tirmidzi no. 2639; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani) 2. Dzikir kepada Allah: Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan TakbirDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman:سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ (Maha Suci Allah Yang Maha Agung, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya).” (HR. al-Bukhari no. 6406, Muslim no. 2694)Dan dari Juwairiyah, istri Nabi ﷺ, bahwa Nabi keluar dari sisinya pada waktu pagi setelah salat Subuh, sementara beliau sedang duduk berzikir. Nabi ﷺ kembali setelah matahari meninggi, dan mendapati Juwairiyah masih dalam keadaan yang sama. Beliau bertanya, “Apakah engkau masih seperti keadaan ketika aku meninggalkanmu tadi?” Ia menjawab, “Ya.”Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh, aku telah mengucapkan empat kalimat sebanyak tiga kali yang jika ditimbang dengan semua yang engkau ucapkan sejak pagi ini, maka empat kalimat itu lebih berat:سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ(Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak jumlah makhluk-Nya, sesuai keridaan diri-Nya, seberat Arasy-Nya, dan sebanyak tinta kalimat-Nya).” (HR. Muslim no. 2726) 3. Menjaga Dzikir Setelah Shalat FardhuDari ‘Abdullāh bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda: خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا وَيَحْمَدُ عَشْرًا وَيُكَبِّرُ عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ..)“Ada dua kebiasaan yang tidak dijaga oleh seorang muslim kecuali ia akan masuk surga. Keduanya ringan, tetapi sedikit yang melakukannya:(1) Bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali setiap selesai shalat. Itu berarti 150 kali di lisan dan 1500 kali di timbangan.(2) Bertakbir 34 kali, bertahmid 33 kali, dan bertasbih 33 kali ketika hendak tidur. Itu 100 kali di lisan dan 1000 kali di timbangan…” (HR. Ahmad no. 6616, Abu Dawud no. 5065, at-Tirmidzi no. 3410, an-Nasa’i no. 1331, Ibnu Majah no. 926; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib)4. Sabar dan Mengharap Pahala atas Wafatnya Anak yang SalehDari Zaid, dari Abi Salam, dari maula Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:( بَخٍ بَخٍ خَمْسٌ مَا أَثْقَلَهُنَّ فِي الْمِيزَانِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْوَلَدُ الصَّالِحُ يُتَوَفَّى فَيَحْتَسِبُهُ وَالِدَاهُ وَقَالَ بَخٍ بَخٍ لِخَمْسٍ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ مُسْتَيْقِنًا بِهِنَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْحِسَابِ )“Luar biasa, betapa beratnya lima perkara dalam timbangan: ‘Lā ilāha illallāh’, ‘Allāhu akbar’, ‘Subhānallāh’, ‘Alhamdulillāh’, dan anak saleh yang meninggal lalu kedua orang tuanya bersabar dan mengharap pahala. Dan beliau juga bersabda: ‘Luar biasa, lima hal siapa yang menemui Allah dengan keyakinan terhadapnya akan masuk surga: beriman kepada Allah, hari akhir, surga, neraka, kebangkitan setelah mati, dan hisab (perhitungan amal).’” (HR. Ahmad no. 15107; disahihkan oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahīhah)5. Akhlak yang MuliaDari Abu ad-Darda’, Nabi ﷺ bersabda:مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin selain akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799; disahihkan oleh al-Albani)Dalam riwayat lain, dari Ummu ad-Darda’, dari suaminya Abu ad-Darda’, ia berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ“Tidak ada sesuatu yang diletakkan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang memiliki akhlak yang baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam.” (HR. at-Tirmidzi no. 2003; disahihkan oleh al-Albani) 6. Mengiringi Jenazah hingga Selesai DikebumikanDari Ubay, Nabi ﷺ bersabda:مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيُفْرَغَ مِنْهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ وَمَنْ تَبِعَهَا حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِهِ مِنْ أُحُدٍ “Barang siapa mengikuti jenazah hingga dishalatkan dan selesai dimakamkan, maka baginya dua qirath pahala. Dan siapa yang hanya mengikuti hingga dishalatkan, maka baginya satu qirath. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh dua qirath itu lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.” (HR. Ahmad no. 20256; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jāmi‘ ash-Shaghīr) KesimpulanSegala amal saleh, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan dari Allah. Namun, amal-amal tertentu yang disebutkan dalam hadits memiliki keistimewaan luar biasa dalam menambah berat timbangan kebaikan di Hari Kiamat. Karenanya, perbanyaklah dzikir, jaga akhlak, bersabar atas ujian, dan bersegera dalam amal-amal kebaikan.اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَوَازِينَنَا يَوْمَ القِيَامَةِ ثَقِيلَةً بِالحَسَنَاتِ، وَخَفِيفَةً بِالسَّيِّئَاتِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِآبَائِنَا وَلِجَمِيعِ المُسْلِمِينَ.“Ya Allah, jadikanlah timbangan amal kami pada Hari Kiamat berat dengan kebaikan, ringan dari dosa, dan ampunilah kami, kedua orang tua kami, serta seluruh kaum muslimin.” Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Paliyan Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia amal kebaikan amal saleh amalan berat di timbangan Dzikir hari kiamat la ilaha illallah pahala besar sabar atas musibah timbangan amal


Setiap amal saleh yang dilakukan seorang hamba tidak akan sia-sia di sisi Allah. Bahkan amal sekecil apa pun akan mendapat balasan dan dapat memberatkan timbangan kebaikan pada Hari Kiamat. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ menyebut beberapa amalan khusus yang memiliki bobot luar biasa di timbangan amal seorang mukmin.Penting untuk diketahui bahwa setiap amal saleh yang dilakukan oleh seorang hamba adalah sesuatu yang Allah jadikan sebagai pemberat timbangan kebaikannya pada Hari Kiamat. Allah Ta‘ala berfirman:إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا“Sungguh, Allah tidak menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah (debu yang sangat kecil). Jika ada kebaikan sebesar itu, niscaya Allah melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisā’: 40)Dan Allah juga berfirman:فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۝ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ“Maka siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, ia pasti akan melihat (balasannya). Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, ia juga pasti akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)Namun, dalam berbagai nash (teks dalil) disebutkan bahwa ada amal-amal tertentu yang memiliki keistimewaan khusus: amal-amal tersebut secara khusus akan memberatkan timbangan amal kebaikan seseorang di akhirat kelak. Di antara amal-amal itu adalah: 1. Ucapan “Lā ilāha illallāh” (Kalimat Tauhid)Ucapan ini adalah hal paling berat dalam timbangan.Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:( إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ )“Sesungguhnya Allah akan memisahkan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat. Lalu dibentangkan kepadanya sembilan puluh sembilan catatan amal, setiap catatan sepanjang mata memandang. Allah bertanya, ‘Apakah engkau mengingkari sesuatu dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat-Ku menzalimimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Allah berkata, ‘Apakah engkau punya alasan?’ Ia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabb-ku.’ Maka Allah berfirman, ‘Sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami. Hari ini engkau tidak akan dizalimi.’ Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang tertulis di dalamnya: Asyhadu allā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasūluh. Allah berfirman, ‘Timbangkanlah kartu ini dengan catatan-catatan amalnya!’ Lelaki itu berkata, ‘Ya Rabb, apa arti kartu kecil ini dibandingkan catatan-catatan sebesar itu?’ Allah menjawab, ‘Engkau tidak akan dizalimi.’ Maka ditaruhlah catatan-catatan di satu sisi timbangan dan kartu tauhid di sisi lain. Ternyata catatan-catatan itu menjadi ringan dan kartu itu menjadi berat, sebab tidak ada sesuatu pun yang lebih berat daripada nama Allah.” (HR. Ahmad no. 6699, at-Tirmidzi no. 2639; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani) 2. Dzikir kepada Allah: Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan TakbirDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda: “Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman:سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ (Maha Suci Allah Yang Maha Agung, Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya).” (HR. al-Bukhari no. 6406, Muslim no. 2694)Dan dari Juwairiyah, istri Nabi ﷺ, bahwa Nabi keluar dari sisinya pada waktu pagi setelah salat Subuh, sementara beliau sedang duduk berzikir. Nabi ﷺ kembali setelah matahari meninggi, dan mendapati Juwairiyah masih dalam keadaan yang sama. Beliau bertanya, “Apakah engkau masih seperti keadaan ketika aku meninggalkanmu tadi?” Ia menjawab, “Ya.”Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh, aku telah mengucapkan empat kalimat sebanyak tiga kali yang jika ditimbang dengan semua yang engkau ucapkan sejak pagi ini, maka empat kalimat itu lebih berat:سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ(Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya sebanyak jumlah makhluk-Nya, sesuai keridaan diri-Nya, seberat Arasy-Nya, dan sebanyak tinta kalimat-Nya).” (HR. Muslim no. 2726) 3. Menjaga Dzikir Setelah Shalat FardhuDari ‘Abdullāh bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda: خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا وَيَحْمَدُ عَشْرًا وَيُكَبِّرُ عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ..)“Ada dua kebiasaan yang tidak dijaga oleh seorang muslim kecuali ia akan masuk surga. Keduanya ringan, tetapi sedikit yang melakukannya:(1) Bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali setiap selesai shalat. Itu berarti 150 kali di lisan dan 1500 kali di timbangan.(2) Bertakbir 34 kali, bertahmid 33 kali, dan bertasbih 33 kali ketika hendak tidur. Itu 100 kali di lisan dan 1000 kali di timbangan…” (HR. Ahmad no. 6616, Abu Dawud no. 5065, at-Tirmidzi no. 3410, an-Nasa’i no. 1331, Ibnu Majah no. 926; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib)4. Sabar dan Mengharap Pahala atas Wafatnya Anak yang SalehDari Zaid, dari Abi Salam, dari maula Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:( بَخٍ بَخٍ خَمْسٌ مَا أَثْقَلَهُنَّ فِي الْمِيزَانِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْوَلَدُ الصَّالِحُ يُتَوَفَّى فَيَحْتَسِبُهُ وَالِدَاهُ وَقَالَ بَخٍ بَخٍ لِخَمْسٍ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ مُسْتَيْقِنًا بِهِنَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْحِسَابِ )“Luar biasa, betapa beratnya lima perkara dalam timbangan: ‘Lā ilāha illallāh’, ‘Allāhu akbar’, ‘Subhānallāh’, ‘Alhamdulillāh’, dan anak saleh yang meninggal lalu kedua orang tuanya bersabar dan mengharap pahala. Dan beliau juga bersabda: ‘Luar biasa, lima hal siapa yang menemui Allah dengan keyakinan terhadapnya akan masuk surga: beriman kepada Allah, hari akhir, surga, neraka, kebangkitan setelah mati, dan hisab (perhitungan amal).’” (HR. Ahmad no. 15107; disahihkan oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahīhah)5. Akhlak yang MuliaDari Abu ad-Darda’, Nabi ﷺ bersabda:مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin selain akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799; disahihkan oleh al-Albani)Dalam riwayat lain, dari Ummu ad-Darda’, dari suaminya Abu ad-Darda’, ia berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ“Tidak ada sesuatu yang diletakkan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang memiliki akhlak yang baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam.” (HR. at-Tirmidzi no. 2003; disahihkan oleh al-Albani) 6. Mengiringi Jenazah hingga Selesai DikebumikanDari Ubay, Nabi ﷺ bersabda:مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيُفْرَغَ مِنْهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ وَمَنْ تَبِعَهَا حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِهِ مِنْ أُحُدٍ “Barang siapa mengikuti jenazah hingga dishalatkan dan selesai dimakamkan, maka baginya dua qirath pahala. Dan siapa yang hanya mengikuti hingga dishalatkan, maka baginya satu qirath. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh dua qirath itu lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.” (HR. Ahmad no. 20256; disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jāmi‘ ash-Shaghīr) KesimpulanSegala amal saleh, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan dari Allah. Namun, amal-amal tertentu yang disebutkan dalam hadits memiliki keistimewaan luar biasa dalam menambah berat timbangan kebaikan di Hari Kiamat. Karenanya, perbanyaklah dzikir, jaga akhlak, bersabar atas ujian, dan bersegera dalam amal-amal kebaikan.اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَوَازِينَنَا يَوْمَ القِيَامَةِ ثَقِيلَةً بِالحَسَنَاتِ، وَخَفِيفَةً بِالسَّيِّئَاتِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِآبَائِنَا وَلِجَمِيعِ المُسْلِمِينَ.“Ya Allah, jadikanlah timbangan amal kami pada Hari Kiamat berat dengan kebaikan, ringan dari dosa, dan ampunilah kami, kedua orang tua kami, serta seluruh kaum muslimin.” Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Ditulis saat hujan turun di Paliyan Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia amal kebaikan amal saleh amalan berat di timbangan Dzikir hari kiamat la ilaha illallah pahala besar sabar atas musibah timbangan amal

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utang 1.34. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.35. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.36. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.37. 36. Maksiat Merusak Hati 1.38. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.39. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.40. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.41. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia 1.42. 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar Buruk 1.43. 42. Maksiat Melemahkan Akal 1.44. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan Allah 1.45. 44. Maksiat Menghapus Keberkahan 1.46. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin) 1.47. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin Berani Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. وَأَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ الْعُرَاةُ الَّذِينَ هُمْ فِي مِثْلِ بِنَاءِ التَّنُّورِ، فَإِنَّهُمُ الزُّنَاةُ وَالزَّوَانِي.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِي النَّهْرِ وَيُلْقَمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا.وَأَمَّا الرَّجُلُ الْكَرِيهُ الْمَنْظَرِ الَّذِي عِنْدَ النَّارِ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، فَإِنَّهُ مَالِكٌ خَازِنُ جَهَنَّمَ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الطَّوِيلُ الَّذِي فِي الرَّوْضَةِ، فَإِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ.وَأَمَّا الْوِلْدَانُ الَّذِينَ حَوْلَهُ، فَكُلُّ مَوْلُودٍ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ – وَفِي رِوَايَةِ الْبَرْقَانِيِّ: وُلِدَ عَلَى الْفِطْرَةِ – فَقَالَ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ:يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ.وَأَمَّا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَانُوا شَطْرٌ مِنْهُمْ حَسَنٌ وَشَطْرٌ مِنْهُمْ قَبِيحٌ، فَإِنَّهُمْ قَوْمٌ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا تَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُمْ.»“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.Doa terkait bahasan ini yang bisa diamalkan adalah:Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utangاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL HAMMI WAL HAZAN, WAL ‘AJZI WAL KASAL, WAL BUKHLI WAL JUBN, WA DHOLA’ID DAYN WA GHOLABATIR RIJAALArtinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekikiran dan sifat pengecut, dari beban utang dan tekanan orang lain. (HR. Abu Daud, no. 1555. Hadits ini dinyatakan sanadnya itu dhaif oleh Al-Hafizh Abu Thahir). 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus Sholihin 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar BurukIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْلُبُ صَاحِبَهَا أَسْمَاءَ الْمَدْحِ وَالشَّرَفِ، وَتَكْسُوهُ أَسْمَاءَ الذَّمِّ وَالصَّغَارِ، فَتَسْلُبُهُ اسْمَ الْمُؤْمِنِ، وَالْبَرِّ، وَالْمُحْسِنِ، وَالْمُتَّقِي، وَالْمُطِيعِ، وَالْمُنِيبِ، وَالْوَلِيِّ، وَالْوَرِعِ، وَالصَّالِحِ، وَالْعَابِدِ، وَالْخَائِفِ، وَالْأَوَّابِ، وَالطَّيِّبِ، وَالْمَرْضِيِّ وَنَحْوِهَا.Salah satu akibat dosa adalah ia akan merampas dari pelakunya gelar-gelar mulia dan terhormat, lalu menggantinya dengan gelar-gelar tercela dan hina.Dosa akan menghapus gelar “orang beriman, orang baik, orang dermawan, orang bertakwa, orang taat, orang yang kembali kepada Allah, wali Allah, orang wara’, orang saleh, ahli ibadah, orang yang takut kepada Allah, orang yang banyak bertaubat, orang baik lagi suci, dan orang yang diridhai”, serta gelar-gelar serupa lainnya.وَتَكْسُوهُ اسْمَ الْفَاجِرِ، وَالْعَاصِي، وَالْمُخَالِفِ، وَالْمُسِيءِ، وَالْمُفْسِدِ، وَالْخَبِيثِ، وَالْمَسْخُوطِ، وَالزَّانِي، وَالسَّارِقِ، وَالْقَاتِلِ، وَالْكَاذِبِ، وَالْخَائِنِ، وَاللُّوطِيِّ، وَقَاطِعِ الرَّحِمِ، وَالْغَادِرِ وَأَمْثَالِهَا.Sebaliknya, dosa akan memberinya gelar “orang fajir (bejat), pendosa, pembangkang, pelaku keburukan, perusak, orang jahat, orang yang dimurkai, pezina, pencuri, pembunuh, pendusta, pengkhianat, pelaku homoseksual, pemutus silaturahmi, pengkhianat janji”, dan gelar-gelar buruk lainnya.Baca juga: Apa Perbedaan Fusuk, Fajir, dan Maksiat?فَهَذِهِ أَسْمَاءُ الْفُسُوقِ وَ {بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [الحجرات: ١١] الَّذِي يُوجِبُ غَضَبَ الدَّيَّانِ، وَدُخُولَ النِّيرَانِ، وَعَيْشَ الْخِزْيِ وَالْهَوَانِ.Itulah sebutan-sebutan kefasikan, sebagaimana firman Allah:بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [سورة الحجرات: ١١]“Seburuk-buruk nama adalah fasik setelah (mendapatkan) iman.” (QS . Al-Hujurat: 11)Nama-nama ini mengundang kemurkaan Allah Yang Maha Mengadili, memasukkan ke dalam neraka, dan menjadikan hidup penuh kehinaan serta kerendahan.وَتِلْكَ أَسْمَاءٌ تُوجِبُ رِضَاءَ الرَّحْمَنِ، وَدُخُولَ الْجِنَانِ، وَتُوجِبُ شَرَفَ الْمُسَمَّى بِهَا عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الْإِنْسَانِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي عُقُوبَةِ الْمَعْصِيَةِ إِلَّا اسْتِحْقَاقُ تِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ نَاهٍ عَنْهَا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي ثَوَابِ الطَّاعَةِ إِلَّا الْفَوْزُ بِتِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ آمِرٌ بِهَا، وَلَكِنْ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَى اللَّهُ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعَ، وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدَ، وَلَا مُبْعِدَ لِمَنْ قَرَّبَ، {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [الحج: ١٨]Sebaliknya, gelar-gelar kebaikan itulah yang mendatangkan ridha Allah Ar-Rahman, mengantarkan seseorang ke dalam surga, serta membuatnya mulia di atas seluruh manusia lain. Maka, seandainya tidak ada akibat dari maksiat selain mendapatkan gelar-gelar buruk itu, sudah cukup akal sehat melarang manusia dari dosa. Dan seandainya tidak ada pahala dari ketaatan selain memperoleh gelar-gelar mulia itu, sudah cukup akal sehat memerintahkan manusia untuk taat.Namun, hakikatnya tidak ada yang bisa mencegah apa yang Allah beri, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Allah tahan. Tidak ada yang bisa mendekatkan apa yang Allah jauhkan, dan tidak ada yang bisa menjauhkan siapa yang Allah dekatkan. Allah berfirman:وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سورة الحج: ١٨]“Barang siapa dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 42. Maksiat Melemahkan AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُؤَثِّرُ بِالْخَاصَّةِ فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ، فَلَا تَجِدُ عَاقِلَيْنِ أَحَدُهُمَا مُطِيعٌ لِلَّهِ وَالْآخَرُ عَاصٍ، إِلَّا وَعَقْلُ الْمُطِيعِ مِنْهُمَا أَوْفَرُ وَأَكْمَلُ، وَفِكْرُهُ أَصَحُّ، وَرَأْيُهُ أَسَدُّ، وَالصَّوَابُ قَرِينُهُ. وَلِهَذَا تَجِدُ خِطَابَ الْقُرْآنِ إِنَّمَا هُوَ مَعَ أُولِي الْعُقُولِ وَالْأَلْبَابِ، كَقَوْلِهِ: {وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ١٩٧] ، وَقَوْلِهِ: {فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [سُورَةُ الْمَائِدَةِ: ١٠٠] ، وَقَوْلِهِ: {وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ٢٦٩] ، وَنَظَائِرُ ذَلِكَ كَثِيرَةٌ.Salah satu hukuman dari perbuatan maksiat adalah dampaknya yang khusus menimpa akal, yaitu menyebabkan akal menjadi lemah. Tidak akan engkau jumpai dua orang yang sama-sama berakal—yang satu taat kepada Allah dan yang lain bermaksiat—melainkan akal orang yang taat pasti lebih sempurna, pikirannya lebih jernih, pandangannya lebih tepat, dan kebenaran senantiasa menjadi pendampingnya.Karena itu, Al-Qur’an banyak berbicara kepada orang-orang berakal, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ“Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian beruntung.” (QS. Al-Māidah: 100)وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)Dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya sangat banyak.وَكَيْفَ يَكُونُ عَاقِلًا وَافِرَ الْعَقْلِ مَنْ يَعْصِي مَنْ هُوَ فِي قَبْضَتِهِ وَفِي دَارِهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَرَاهُ وَيُشَاهِدُهُ فَيَعْصِيهِ وَهُوَ بِعَيْنِهِ غَيْرُ مُتَوَارٍ عَنْهُ، وَيَسْتَعِينُ بِنِعَمِهِ عَلَى مَسَاخِطِهِ، وَيَسْتَدْعِي كُلَّ وَقْتٍ غَضَبَهُ عَلَيْهِ، وَلَعْنَتَهُ لَهُ، وَإِبْعَادَهُ مِنْ قُرْبِهِ، وَطَرْدَهُ عَنْ بَابِهِ، وَإِعْرَاضَهُ عَنْهُ، وَخِذْلَانَهُ لَهُ، وَالتَّخْلِيَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَعَدُوِّهِ، وَسُقُوطَهُ مِنْ عَيْنِهِ، وَحِرْمَانَهُ رُوحَ رِضَاهُ وَحُبَّهُ، وَقُرَّةَ الْعَيْنِ بِقُرْبِهِ، وَالْفَوْزَ بِجِوَارِهِ، وَالنَّظَرَ إِلَى وَجْهِهِ فِي زُمُرَةِ أَوْلِيَائِهِ، إِلَى أَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ كَرَامَتِهِ أَهْلَ الطَّاعَةِ، وَأَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ عُقُوبَةِ أَهْلِ الْمَعْصِيَةِBagaimana mungkin seseorang dianggap berakal sempurna sementara ia berani bermaksiat kepada Allah yang menggenggam dirinya, yang menguasai tempat tinggalnya, padahal ia tahu Allah melihatnya, menyaksikannya, namun tetap berani mendurhakai-Nya? Bahkan ia menggunakan nikmat Allah untuk melakukan hal-hal yang dimurkai-Nya. Ia pun senantiasa memanggil kemurkaan Allah, mengundang laknat-Nya, mengharapkan dijauhkan dari rahmat-Nya, ditolak dari pintu-Nya, berpaling dari-Nya, dilepaskan dari pertolongan-Nya, hingga akhirnya dibiarkan begitu saja bersama dirinya sendiri dan bersama musuhnya. Lebih dari itu, ia jatuh hina di hadapan Allah, terhalang dari merasakan keridhaan dan cinta-Nya, serta tidak memperoleh kesejukan hati karena dekat dengan-Nya, juga terhalang dari kemenangan untuk dapat memandang wajah-Nya di tengah para wali-Nya. Semua itu adalah bagian dari kenikmatan besar yang Allah berikan kepada orang-orang yang taat, sekaligus hukuman berat bagi orang-orang yang bermaksiat.فَأَيُّ عَقْلٍ لِمَنْ آثَرَ لَذَّةَ سَاعَةٍ أَوْ يَوْمٍ أَوْ دَهْرٍ، ثُمَّ تَنْقَضِي كَأَنَّهَا حُلْمٌ لَمْ يَكُنْ، عَلَى هَذَا النَّعِيمِ الْمُقِيمِ، وَالْفَوْزِ الْعَظِيمِ؟ بَلْ هُوَ سَعَادَةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَلَوْلَا الْعَقْلُ الَّذِي تَقُومُ بِهِ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ لَكَانَ بِمَنْزِلَةِ الْمَجَانِينِ، بَلْ قَدْ يَكُونُ الْمَجَانِينُ أَحْسَنَ حَالًا مِنْهُ وَأَسْلَمَ عَاقِبَةً، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.Lalu akal macam apa yang tersisa pada orang yang menukar kenikmatan abadi dengan kesenangan sesaat—sejam, sehari, atau setahun—yang segera hilang bagai mimpi yang tak pernah ada? Padahal ia rela melepas kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kemenangan agung di sisi Allah. Bahkan, seandainya bukan karena akal yang menjadi dasar tegaknya hujjah (pertanggungjawaban), niscaya ia setara dengan orang gila, bahkan bisa jadi orang gila lebih baik keadaannya dan lebih selamat akhir hidupnya dibanding dirinya.وَأَمَّا تَأْثِيرُهَا فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ الْمَعِيشِ، فَلَوْلَا الِاشْتِرَاكُ فِي هَذَا النُّقْصَانِ، لَظَهَرَ لِمُطِيعِنَا نُقْصَانُ عَقْلِ عَاصِينَا، وَلَكِنَّ الْجَائِحَةَ عَامَّةٌ، وَالْجُنُونَ فُنُونٌAdapun dampak maksiat dalam mengurangi akal praktis dalam kehidupan, maka seandainya tidak semua orang turut merasakannya, tentu orang-orang taat akan lebih jelas menyadari lemahnya akal para pelaku maksiat. Namun karena wabah ini bersifat umum, maka hilangnya akal pun bervariasi bentuknya.وَيَا عَجَبًا لَوْ صَحَّتِ الْعُقُولُ لَعَلِمَتْ أَنَّ طَرِيقَ تَحْصِيلِ اللَّذَّةِ وَالْفَرْحَةِ وَالسُّرُورِ وَطِيبِ الْعَيْشِ، إِنَّمَا هُوَ فِي رِضَاءِ مَنِ النَّعِيمُ كُلُّهُ فِي رِضَاهُ، وَالْأَلَمُ وَالْعَذَابُ كُلُّهُ فِي سُخْطِهِ وَغَضَبِهِ، فَفِي رِضَاهُ قُرَّةُ الْعُيُونِ، وَسُرُورُ النُّفُوسِ، وَحَيَاةُ الْقُلُوبِ، وَلَذَّةُ الْأَرْوَاحِ، وَطِيبُ الْحَيَاةِ، وَلَذَّةُ الْعَيْشِ، وَأَطْيَبُ النَّعِيمِ، وَمِمَّا لَوْ وُزِنَ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ بِنَعِيمِ الدُّنْيَا لَمْ يَفِ بِهِ، بَلْ إِذَا حَصَلَ لِلْقَلْبِ مِنْ ذَلِكَ أَيْسَرُ نَصِيبٍ لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا عِوَضًا مِنْهُ،Sungguh mengherankan, andai akal benar-benar sehat, niscaya ia tahu bahwa jalan meraih kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, dan kehidupan yang baik hanyalah dengan meraih keridhaan Allah. Sebab seluruh kenikmatan terletak dalam keridhaan-Nya, dan seluruh azab serta penderitaan terletak dalam kemurkaan-Nya. Dalam keridhaan Allah terdapat kesejukan mata, kebahagiaan jiwa, kehidupan hati, kelapangan ruh, manisnya hidup, dan nikmat yang paling lezat. Jika dibandingkan dengan kesenangan dunia, meski hanya seberat satu butir debu saja, maka kenikmatan dunia tak sebanding dengannya. Bahkan jika hati telah memperoleh secuil bagian dari keridhaan Allah, ia tak akan rela menukarnya dengan seluruh isi dunia.وَمَعَ هَذَا فَهُوَ يَتَنَعَّمُ بِنَصِيبِهِ مِنَ الدُّنْيَا أَعْظَمَ مِنْ تَنَعُّمِ الْمُتْرَفِينَ فِيهَا، وَلَا يَشُوبُ تَنَعُّمَهُ بِذَلِكَ الْحَظِّ الْيَسِيرِ مَا يَشُوبُ تَنَعُّمَ الْمُتْرَفِينَ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ الْمُعَارِضَاتِ، بَلْ قَدْ حَصَلَ لَهُ عَلَى النَّعِيمَيْنِ وَهُوَ يَنْتَظِرُ نَعِيمَيْنِ آخَرَيْنِ أَعْظَمَ مِنْهُمَا، وَمَا يَحْصُلُ لَهُ فِي خِلَالِ ذَلِكَ مِنَ الْآلَامِ، فَالْأَمْرُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ} [سُورَةُ النِّسَاءِ: ١٠٤] .Orang yang memperoleh bagian ini, tetap bisa menikmati dunia dengan lebih nikmat daripada para pemburu dunia, namun tanpa diiringi kegelisahan, kesedihan, dan tekanan batin yang menyertai mereka. Ia meraih dua kenikmatan sekaligus, sementara ia menunggu dua kenikmatan lain yang lebih besar lagi di akhirat. Adapun rasa sakit atau musibah yang menimpanya di dunia, hal itu sebagaimana firman Allah Ta‘ala:إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ“Jika kalian menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit sebagaimana kalian menderita sakit. Namun kalian mengharapkan dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisā’: 104)فَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مَا أَنْقَصَ عَقْلَ مَنْ بَاعَ الدُّرَّ بِالْبَعْرِ، وَالْمِسْكَ بِالرَّجِيعِ، وَمُرَافَقَةَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ، بِمُرَافَقَةِ الَّذِينَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.Maka sungguh, tiada ilah yang berhak disembah selain Allah. Betapa rusaknya akal orang yang menukar mutiara dengan kotoran, menukar misk dengan kotoran busuk, menukar kebersamaan dengan para nabi, shiddīqīn, syuhadā’, dan orang-orang saleh—dengan kebersamaan bersama orang-orang yang dimurkai Allah, yang dilaknat, yang disediakan bagi mereka neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata:﴿وَمِنْ أَعْظَمِ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُوجِبُ الْقَطِيعَةَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَإِذَا وَقَعَتِ الْقَطِيعَةُ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، فَأَيُّ فَلَاحٍ، وَأَيُّ رَجَاءٍ، وَأَيُّ عَيْشٍ لِمَنِ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ، وَقَطَعَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا غِنَى عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَلَا بَدَلَ لَهُ مِنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ عَنْهُ، وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، وَوَصَلَ مَا بَيْنَهُ﴿وَبَيْنَ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ: فَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَتَخَلَّى عَنْهُ وَلِيُّهُ؟ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا فِي هَذَا الِانْقِطَاعِ وَالِاتِّصَالِ مِنْ أَنْوَاعِ الْآلَامِ وَأَنْوَاعِ الْعَذَابِ.Salah satu hukuman terbesar dari dosa adalah terputusnya hubungan antara hamba dengan Rabbnya yang Mahasuci dan Mahatinggi. Ketika hubungan itu terputus, seluruh jalan menuju kebaikan pun ikut tertutup, sementara jalan keburukan terbuka lebar. Maka, apa lagi yang bisa diharapkan oleh seorang hamba jika kebaikan menjauh darinya, sedang ia memutus hubungan dengan Pelindung dan Penolongnya—Allah—yang tak bisa ia tinggalkan walau sekejap mata, yang tidak ada pengganti-Nya, dan tak ada yang bisa menjadi substitusi bagi-Nya? Sebaliknya, ia justru tersambung dengan jalan keburukan, menyerahkan dirinya kepada musuh paling berbahaya, hingga musuh itulah yang menguasainya, sementara Pelindung sejatinya meninggalkannya. Tiada seorang pun yang mampu memahami sepenuhnya derita dan siksa batin dari keadaan putus hubungan dengan Allah dan tersambung dengan musuh selain orang yang merasakannya.﴿قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: رَأَيْتُ الْعَبْدَ مُلْقًى بَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَبَيْنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنْ أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَلَّاهُ الشَّيْطَانُ، وَإِنْ تَوَلَّاهُ اللَّهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] .Sebagian ulama salaf berkata: “Aku melihat seorang hamba berada di antara Allah dan setan. Jika Allah berpaling darinya, maka setan akan menguasainya. Namun jika Allah melindunginya, setan tidak akan mampu berbuat apa pun terhadapnya.” Allah Ta‘ala berfirman:﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا﴾“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ lalu mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya. Maka pantaskah kalian menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, padahal mereka adalah musuh kalian? Sungguh, itu adalah pilihan yang buruk bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Kahfi: 50)﴿يَقُولُ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ: أَنَا أَكْرَمْتُ أَبَاكُمْ، وَرَفَعْتُ قَدْرَهُ، وَفَضَّلْتُهُ عَلَى غَيْرِهِ، فَأَمَرْتُ مَلَائِكَتِي كُلَّهُمْ أَنْ يَسْجُدُوا لَهُ، تَكْرِيمًا لَهُ وَتَشْرِيفًا، فَأَطَاعُونِي، وَأَبَى عَدُوِّي وَعَدُوُّهُ، فَعَصَى أَمْرِي، وَخَرَجَ عَنْ طَاعَتِي، فَكَيْفَ يَحْسُنُ بِكُمْ بَعْدَ هَذَا أَنْ تَتَّخِذُوهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي، فَتُطِيعُونَهُ فِي مَعْصِيَتِي، وَتُوَالُونَهُ فِي خِلَافِ مَرْضَاتِي وَهُمْ أَعْدَى عَدُوٍّ لَكُمْ؟ فَوَالَيْتُمْ عَدُوِّي وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِمُعَادَاتِهِ، وَمَنْ وَالَى أَعْدَاءَ الْمَلِكِ، كَانَ هُوَ وَأَعْدَاؤُهُ عِنْدَهُ سَوَاءً، فَإِنَّ الْمَحَبَّةَ وَالطَّاعَةَ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِمُعَادَاةِ أَعْدَاءِ الْمُطَاعِ وَمُوَالَاةِ أَوْلِيَائِهِ، وَأَمَّا أَنْ تُوَالِيَ أَعْدَاءَ الْمَلِكِ ثُمَّ تَدَّعِي أَنَّكَ مُوَالٍ لَهُ، فَهَذَا مُحَالٌAllah seakan berkata kepada hamba-Nya: “Aku telah memuliakan bapak kalian, meninggikan kedudukannya, dan melebihkannya dari makhluk lain. Aku perintahkan seluruh malaikat-Ku untuk sujud kepadanya sebagai penghormatan, lalu mereka semua patuh. Namun musuh-Ku sekaligus musuh kalian menolak, membangkang dari perintah-Ku, dan keluar dari ketaatan kepada-Ku. Bagaimana mungkin setelah itu kalian malah menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, menaatinya dalam bermaksiat kepada-Ku, serta memihak kepadanya dalam hal yang menyalahi keridhaan-Ku, padahal ia adalah musuh paling berbahaya bagi kalian?”Allah telah memerintahkan agar kita memusuhinya. Maka, siapa yang berpihak kepada musuh Raja, ia dan musuh itu sama-sama akan diperlakukan sebagai musuh oleh Raja. Karena cinta dan ketaatan tidak pernah sempurna kecuali dengan memusuhi musuh Sang Penguasa dan memihak kepada wali-wali-Nya. Adapun seseorang yang memihak musuh Raja, lalu mengaku dirinya setia kepada Raja, maka klaim itu adalah hal yang mustahil.﴿هَذَا لَوْ لَمْ يَكُنْ عَدُوُّ الْمَلِكِ عَدُوًّا لَكُمْ، فَكَيْفَ إِذَا كَانَ عَدُوَّكُمْ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْعَدَاوَةُ الَّتِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ أَعْظَمُ مِنَ الْعَدَاوَةِ الَّتِي بَيْنَ الشَّاةِ وَبَيْنَ الذِّئْبِ؟ فَكَيْفَ يَلِيقُ بِالْعَاقِلِ أَنْ يُوَالِيَ عَدُوَّهُ عَدُوَّ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا مَوْلَى لَهُ سِوَاهُ، وَنَبَّهَ سُبْحَانَهُ عَلَى قُبْحِ هَذِهِ الْمُوَالَاةِ بِقَوْلِهِ: {وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، كَمَا نَبَّهَ عَلَى قُبْحِهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، فَتَبَيَّنَ أَنَّ عَدَاوَتَهُ لِرَبِّهِ وَعَدَاوَتَهُ لَنَا، كُلٌّ مِنْهُمَا سَبَبٌ يَدْعُو إِلَى مُعَادَاتِهِ، فَمَا هَذِهِ الْمُوَالَاةُ؟ وَمَا هَذَا الِاسْتِبْدَالُ؟ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا.Itu pun seandainya musuh Raja tersebut bukanlah musuh kita. Lalu bagaimana jika pada kenyataannya ia memang musuh kita yang paling nyata, dan permusuhan antara kita dengannya jauh lebih besar daripada permusuhan antara seekor kambing dengan serigala? Bagaimana mungkin orang berakal masih mau berpihak kepada musuhnya sendiri—musuh Pelindung dan Tuhannya—padahal ia tidak memiliki Pelindung selain Dia?Allah telah menegaskan keburukan sikap berpihak kepada setan ini dengan firman-Nya:﴿وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ﴾“…padahal mereka adalah musuh kalian.” (QS. Al-Kahfi: 50)Demikian pula Allah menegaskan kejahatannya dengan firman-Nya:﴿فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ﴾“…lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 50)Maka jelaslah, permusuhan Iblis kepada Rabb kita dan permusuhannya kepada kita masing-masing sudah cukup menjadi alasan agar kita memusuhinya. Lalu apa arti dari sikap berpihak kepadanya? Dan apa guna menukar Allah dengan setan? Sungguh buruklah pengganti itu bagi orang-orang yang zalim.﴿وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَحْتَ هَذَا الْخِطَابِ نَوْعٌ مِنَ الْعِتَابِ لَطِيفٌ عَجِيبٌ وَهُوَ أَنِّي عَادَيْتُ إِبْلِيسَ إِذْ لَمْ يَسْجُدْ لِأَبِيكُمْ آدَمَ مَعَ مَلَائِكَتِي فَكَانَتْ مُعَادَاتُهُ لِأَجْلِكُمْ، ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةُ هَذِهِ الْمُعَادَاةِ أَنْ عَقَدْتُمْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ عَقْدَ الْمُصَالَحَةِSeakan-akan di balik firman Allah itu terdapat teguran yang begitu halus dan menakjubkan. Tegurannya adalah: “Aku telah memusuhi Iblis sejak ia enggan bersujud kepada bapak kalian, Adam, bersama dengan malaikat-Ku. Permusuhan itu murni karena kalian. Namun bagaimana mungkin akhir dari permusuhan itu justru berbalik menjadi perjanjian damai antara kalian dengan dia?” 44. Maksiat Menghapus KeberkahanIbnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الْعُمُرِ، وَبَرَكَةَ الرِّزْقِ، وَبَرَكَةَ الْعِلْمِ، وَبَرَكَةَ الْعَمَلِ، وَبَرَكَةَ الطَّاعَةِ.Maksiat memiliki dampak yang sangat berbahaya, di antaranya adalah menghapus keberkahan. Ia bisa menghilangkan keberkahan umur, keberkahan rezeki, keberkahan ilmu, keberkahan amal, dan keberkahan dalam ketaatan.وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الدِّينِ وَالدُّنْيَا، فَلَا تَجِدُ أَقَلَّ بَرَكَةٍ فِي عُمُرِهِ وَدِينِهِ وَدُنْيَاهُ مِمَّنْ عَصَى اللَّهَ، وَمَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا بِمَعَاصِي الْخَلْقِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ} [الْأَعْرَافِ: ٩٦] .Secara ringkas, maksiat bisa memupus keberkahan dalam urusan agama dan dunia. Tidak ada orang yang lebih sedikit keberkahannya dalam umur, agama, dan dunianya daripada orang yang bermaksiat kepada Allah. Sungguh, keberkahan tidaklah dicabut dari bumi kecuali karena dosa-dosa para hamba. Allah Ta‘ālā berfirman:وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 96)وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا – لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ} [الْجِنِّ: ١٦ – ١٧] . وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ.Allah juga berfirman: “Dan sekiranya mereka tetap istiqāmah di jalan itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang melimpah, agar Kami menguji mereka dengannya.” (QS. Al-Jinn [72]: 16–17) Seorang hamba bisa saja terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang ia lakukan.وَفِي الْحَدِيثِ: «إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّهُ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَ اللَّهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ، وَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الرِّضَى وَالْيَقِينِ، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ» .Dalam sebuah hadits disebutkan:“Sesungguhnya Ruhul Qudus telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa tidaklah satu jiwa pun akan mati sebelum sempurna rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Karena apa yang ada di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada-Nya. Allah menjadikan ketenangan dan kebahagiaan ada dalam ridha dan keyakinan, sedangkan kegelisahan dan kesedihan ada dalam keraguan dan kemurkaan.”وَقَدْ تَقَدَّمَ الْأَثَرُ الَّذِي ذَكَرَهُ أَحْمَدُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ: «أَنَا اللَّهُ، إِذَا رَضِيتُ بَارَكْتُ، وَلَيْسَ لِبَرَكَتِي مُنْتَهًى، وَإِذَا غَضِبْتُ لَعَنْتُ، وَلَعْنَتِي تُدْرِكُ السَّابِعَ مِنَ الْوَلَدِ» .Dalam atsar yang diriwayatkan Ahmad dalam Kitāb az-Zuhd disebutkan firman Allah: “Aku adalah Allah. Jika Aku ridha, maka Aku memberkahi, dan keberkahan-Ku tidak ada batasnya. Jika Aku murka, maka Aku melaknat, dan laknat-Ku akan menimpa hingga keturunan ketujuh.”وَلَيْسَتْ سَعَةُ الرِّزْقِ وَالْعَمَلِ بِكَثْرَتِهِ، وَلَا طُولُ الْعُمُرِ بِكَثْرَةِ الشُّهُورِ وَالْأَعْوَامِ، وَلَكِنَّ سَعَةَ الرِّزْقِ وَطُولَ الْعُمُرِ بِالْبَرَكَةِ فِيهِ.Perlu dipahami, luasnya rezeki bukan ditentukan oleh jumlahnya, dan panjangnya umur bukan ditentukan oleh banyaknya bulan atau tahun. Akan tetapi, yang menentukan adalah keberkahan yang ada di dalamnya.وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ عُمْرَ الْعَبْدِ هُوَ مُدَّةُ حَيَاتِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِمَنْ أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِغَيْرِهِ، بَلْ حَيَاةُ الْبَهَائِمِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاتِهِ، فَإِنَّ حَيَاةَ الْإِنْسَانِ بِحَيَاةِ قَلْبِهِ وَرُوحِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِقَلْبِهِ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ فَاطِرِهِ، وَمَحَبَّتِهِ، وَعِبَادَتِهِ وَحْدَهُ، وَالْإِنَابَةِ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةِ بِذِكْرِهِ، وَالْأُنْسِ بِقُرْبِهِ، وَمَنْ فَقَدَ هَذِهِ الْحَيَاةَ فَقَدَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، وَلَوْ تَعَرَّضَ عَنْهَا بِمَا تَعَوَّضَ مِمَّا فِي الدُّنْيَا، بَلْ لَيْسَتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا عِوَضًا عَنْ هَذِهِ الْحَيَاةِ، فَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ يَفُوتُ الْعَبْدَ عِوَضٌ، وَإِذَا فَاتَهُ اللَّهُ لَمْ يُعَوِّضْ عَنْهُ شَيْءٌ الْبَتَّةَ.Sebelumnya telah dijelaskan bahwa umur seorang hamba adalah sepanjang hidupnya. Namun, tidak ada kehidupan sejati bagi orang yang berpaling dari Allah dan sibuk dengan selain-Nya. Bahkan, kehidupan binatang lebih baik daripada hidupnya. Sebab, kehidupan manusia hakikatnya bergantung pada hidupnya hati dan ruh. Dan tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, tenang dengan mengingat-Nya, serta merasa dekat dengan-Nya.Barang siapa kehilangan kehidupan ini, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan. Dan seandainya ia menukar kehilangan ini dengan semua yang ada di dunia, tetap tidak akan cukup sebagai ganti. Karena dari setiap hal yang hilang, seorang hamba masih bisa memperoleh penggantinya. Namun, bila ia kehilangan Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menggantikannya.وَقَدْ لَعَنَ عَدُوَّهُ إِبْلِيسَ وَجَعَلَهُ أَبْعَدَ خَلْقِهِ مِنْهُ، فَكُلُّ مَا كَانَ جِهَتَهُ فَلَهُ مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ بِقَدْرِ قُرْبِهِ وَاتِّصَالِهِ بِهِ، فَمِنْ هَاهُنَا كَانَ لِلْمَعَاصِي أَعْظَمُ تَأْثِيرٍ فِي مَحْقِ بَرَكَةِ الْعُمُرِ وَالرِّزْقِ وَالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ، وَكُلُّ وَقْتٍ عَصَيْتَ اللَّهَ فِيهِ، أَوْ مَالٍ عُصِيَ اللَّهُ بِهِ، أَوْ بَدَنٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ عَمَلٍ فَهُوَ عَلَى صَاحِبِهِ لَيْسَ لَهُ، فَلَيْسَ لَهُ مِنْ عُمُرِهِ وَمَالِهِ وَقُوَّتِهِ وَجَاهِهِ وَعِلْمِهِ وَعَمَلِهِ إِلَّا مَا أَطَاعَ اللَّهَ بِهِ.Allah telah melaknat musuh-Nya, Iblīs, dan menjadikannya makhluk yang paling jauh dari-Nya. Maka setiap sesuatu yang sejalan dengan arah Iblis, memiliki bagian dari laknat Allah sebesar kadar kedekatannya dan keterkaitannya dengan Iblis itu sendiri.Dari sini dapat dipahami bahwa maksiat memiliki pengaruh paling besar dalam menghapus keberkahan umur, rezeki, ilmu, dan amal. Setiap waktu yang engkau gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, atau setiap harta yang digunakan untuk maksiat, atau tubuh, kedudukan, ilmu, dan amal yang dipakai untuk melanggar perintah Allah—semuanya akan menjadi bumerang bagi pelakunya, bukan menjadi keuntungan baginya.Maka seseorang tidak memiliki bagian yang sejati dari umur, harta, kekuatan, kedudukan, ilmu, dan amalnya, kecuali bagian yang ia gunakan untuk menaati Allah semata.وَلِهَذَا مِنَ النَّاسِ مَنْ يَعِيشُ فِي هَذِهِ الدَّارِ مِائَةَ سَنَةٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَيَكُونُ عُمُرُهُ لَا يَبْلُغُ عِشْرِينَ سَنَةً أَوْ نَحْوَهَا، كَمَا أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَمْلِكُ الْقَنَاطِيرَ الْمُقَنْطَرَةَ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَيَكُونُ مَالُهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَا يَبْلُغُ أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَهَكَذَا الْجَاهُ وَالْعِلْمُ.Karena itulah, di antara manusia ada yang hidup di dunia ini seratus tahun atau lebih, namun hakikat umurnya tidak mencapai dua puluh tahun, karena sebagian besar hidupnya tidak diisi dengan ketaatan. Begitu pula ada orang yang memiliki timbunan emas dan perak dalam jumlah besar, tetapi hakikat hartanya tidak sampai seribu dirham, karena tidak diberkahi dan tidak digunakan di jalan Allah. Hal yang sama berlaku pada kedudukan dan ilmu.وَفِي التِّرْمِذِيِّ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ» .وَفِي أَثَرٍ آخَرَ: «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ» فَهَذَا هُوَ الَّذِي فِيهِ الْبَرَكَةُ خَاصَّةً، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Dalam Sunan at-Tirmiżī disebutkan sabda Nabi ﷺ:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan segala yang terkait dengannya, serta orang berilmu dan orang yang belajar.” (HR. At-Tirmiżī)Dan dalam riwayat lain disebutkan:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali apa yang dilakukan karena Allah.”Inilah yang mengandung keberkahan yang sejati, selain itu tidak.Wa Allāhul musta‘ān — Allah-lah tempat kita memohon pertolongan. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَجْعَلُ صَاحِبَهَا مِنَ السَّفَلَةِ بَعْدَ أَنْ كَانَ مُهَيَّئًا لِأَنْ يَكُونَ مِنَ الْعِلْيَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ قِسْمَيْنِ: عِلْيَةً، وَسَفَلَةً، وَجَعَلَ عِلِّيِّينَ مُسْتَقَرَّ الْعِلْيَةِ، وَأَسْفَلَ سَافِلِينَ مُسْتَقَرَّ السَّفَلَةِ، وَجَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ الْأَعْلَيْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ الْأَسْفَلِينَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، كَمَا جَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ أَكْرَمَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ أَهْوَنَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ الْعِزَّةَ لِهَؤُلَاءِ، وَالذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ لِهَؤُلَاءِ، كَمَا فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»Salah satu hukuman bagi pelaku maksiat adalah bahwa maksiat menjadikannya termasuk golongan yang rendah (as-safalah), padahal sebelumnya ia diciptakan dalam keadaan berpotensi menjadi bagian dari golongan yang tinggi (al-‘ilyah).Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya terbagi menjadi dua golongan: golongan tinggi (‘ilyah) dan golongan rendah (safalah).Allah menjadikan ‘Illiyyīn sebagai tempat menetap bagi golongan tinggi, dan Asfala Sāfilīn sebagai tempat bagi golongan rendah.Allah juga menjadikan orang-orang yang taat kepada-Nya sebagai golongan yang tinggi di dunia dan akhirat, sedangkan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya sebagai golongan yang rendah di dunia dan akhirat.Sebagaimana Allah menjadikan orang-orang yang taat sebagai makhluk yang paling mulia di sisi-Nya, dan orang-orang yang bermaksiat sebagai makhluk yang paling hina di sisi-Nya,Allah pun menjadikan kemuliaan (‘izzah) bagi orang-orang yang taat, dan kehinaan serta kerendahan (dzillah wa shaghār) bagi orang-orang yang menentang-Nya.Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dari hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr, bahwa Nabi ﷺ bersabda:«بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»“Aku diutus dengan membawa pedang menjelang datangnya kiamat, dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan bagi siapa pun yang menyalahi perintahku.” (HR. Ahmad)فَكُلَّمَا عَمِلَ الْعَبْدُ مَعْصِيَةً نَزَلَ إِلَى أَسْفَلَ، دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي نُزُولٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَسْفَلِينَ، وَكُلَّمَا عَمِلَ طَاعَةً ارْتَفَعَ بِهَا دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي ارْتِفَاعٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَعْلَيْنَ.Maka setiap kali seorang hamba melakukan maksiat, ia turun satu derajat ke bawah. Ia terus menurun hingga menjadi bagian dari golongan paling rendah.Sebaliknya, setiap kali ia melakukan ketaatan, ia naik satu derajat ke atas, dan terus meningkat hingga termasuk golongan yang tinggi.وَقَدْ يَجْتَمِعُ لِلْعَبْدِ فِي أَيَّامِ حَيَاتِهِ الصُّعُودُ مِنْ وَجْهٍ، وَالنُّزُولُ مِنْ وَجْهٍ، وَأَيُّهُمَا كَانَ أَغْلَبَ عَلَيْهِ كَانَ مِنْ أَهْلِهِ، فَلَيْسَ مَنْ صَعِدَ مِائَةَ دَرَجَةٍ وَنَزَلَ دَرَجَةً وَاحِدَةً، كَمَنْ كَانَ بِالْعَكْسِ.Namun, dalam perjalanan hidup seseorang bisa jadi terjadi dua hal sekaligus: ia naik dari satu sisi dan turun dari sisi lain. Mana yang lebih dominan, itulah yang menentukan posisinya di akhir.Seseorang yang naik seratus derajat lalu turun satu derajat tentu tidak sama dengan orang yang sebaliknya—naik satu derajat tapi turun seratus derajat.وَلَكِنْ يَعْرِضُ هَاهُنَا لِلنُّفُوسِ غَلَطٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَنْزِلُ نُزُولًا بَعِيدًا أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، وَمِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَلَا يَفِي صُعُودُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ بِهَذَا النُّزُولِ الْوَاحِدِ، كَمَا فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ الْعَبْدَ لِيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ، لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ» .Akan tetapi, di sinilah banyak jiwa manusia terjatuh dalam kesalahan besar.Kadang seseorang jatuh ke bawah sejauh-jauhnya, melebihi jarak antara timur dan barat, bahkan lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.Sehingga, kenaikan seribu derajat pun tidak sebanding dengan satu kejatuhan itu.Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ:«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ»“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat saja, tanpa memikirkannya, namun ia terjerumus karenanya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhārī dan Muslim)فَأَيُّ صُعُودٍ يُوَازِنُ هَذِهِ النَّزْلَةَ؟ وَالنُّزُولُ أَمْرٌ لَازِمٌ لِلْإِنْسَانِ، وَلَكِنْ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى غَفْلَةٍ، فَهَذَا مَتَى اسْتَيْقَظَ مِنْ غَفْلَتِهِ عَادَ إِلَى دَرَجَتِهِ، أَوْ إِلَى أَرْفَعَ مِنْهَا بِحَسْبَ يَقَظَتِهِ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مُبَاحٍ لَا يَنْوِي بِهِ الِاسْتِعَانَةَ عَلَى الطَّاعَةِ، فَهَذَا مَتَى رَجَعَ إِلَى الطَّاعَةِ فَقَدْ يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا، وَقَدْ يَرْتَفِعُ عَنْهَا، فَإِنَّهُ قَدْ يَعُودُ أَعْلَى هِمَّةً مِمَّا كَانَ، وَقَدْ يَكُونُ أَضْعَفَ هِمَّةً، وَقَدْ تَعُودُ هِمَّتُهُ كَمَا كَانَتْ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، إِمَّا صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ، فَهَذَا يَحْتَاجُ فِي عَوْدِهِ إِلَى دَرَجَتِهِ إِلَى تَوْبَةٍ نَصُوحٍ، وَإِنَابَةٍ صَادِقَةٍ.Maka pertanyaannya, kenaikan apa yang mampu menandingi kejatuhan sebesar ini?Kenyataannya, turun (ke bawah) adalah hal yang tak terpisahkan dari manusia.Namun, turunnya manusia berbeda-beda:1. Ada yang turunnya menuju kelalaian (ghaflah).Jika ia segera tersadar dari kelalaiannya, maka ia akan kembali ke derajatnya semula, bahkan bisa lebih tinggi, tergantung pada tingkat kesadarannya.2. Ada yang turunnya menuju hal-hal mubah (boleh), namun tanpa niat untuk menjadikannya sarana dalam ketaatan.Jika ia kembali kepada ketaatan, bisa jadi ia kembali ke derajatnya, atau tidak sampai ke sana lagi, bahkan bisa jadi lebih tinggi bila semangatnya tumbuh lebih besar dari sebelumnya. Namun terkadang semangatnya malah melemah, atau kembali seperti semula.3. Ada pula yang turunnya menuju maksiat, baik dosa kecil maupun dosa besar.Maka untuk kembali ke derajat semula, ia membutuhkan taubat yang tulus (taubah naṣūḥah) dan kembali yang sungguh-sungguh (inābah ṣādiqah) kepada Allah. Apakah Seorang yang Bertaubat Dapat Kembali ke Derajatnya Semula?وَاخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ يَعُودُ بَعْدَ التَّوْبَةِ إِلَى دَرَجَتِهِ الَّتِي كَانَ فِيهَا، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَتَمْحُو أَثَرَ الذَّنْبِ، وَتَجْعَلُ وَجُودَهُ كَعَدَمِهِ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ، أَوْ لَا يَعُودُ، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَ تَأْثِيرُهَا فِي إِسْقَاطِ الْعُقُوبَةِ، وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الَّتِي فَاتَتْهُ فَإِنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا.قَالُوا: وَتَقْرِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ كَانَ مُسْتَعِدًّا بِاشْتِغَالِهِ بِالطَّاعَةِ فِي الزَّمَنِ الَّذِي عَصَى فِيهِ لِصُعُودٍ آخَرَ وَارْتِقَاءٍ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ السَّالِفَةُ، بِمَنْزِلَةِ كَسْبِ الرَّجُلِ كُلَّ يَوْمٍ بِجُمْلَةِ مَالِهِ الَّذِي يَمْلِكُهُ، وَكُلَّمَا تَضَّاعَفَ الْمَالُ تَضَّاعَفَ الرِّبْحُ، فَقَدْ رَاحَ عَلَيْهِ فِي زَمَنِ الْمَعْصِيَةِ ارْتِفَاعٌ وَرِبْحٌ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ، فَإِذَا اسْتَأْنَفَ الْعَمَلَ اسْتَأْنَفَ صُعُودًا مِنْ نُزُولٍ، وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ صَاعِدًا مِنْ أَسْفَلَ إِلَى أَعْلَى، وَبَيْنَهُمَا بَوْنٌ عَظِيمٌ.قَالُوا: وَمَثَلُ ذَلِكَ رَجُلَانِ يَرْتَقِيَانِ فِي سُلَّمَيْنِ لَا نِهَايَةَ لَهُمَا، وَهُمَا سَوَاءٌ، فَنَزَلَ أَحَدُهُمَا إِلَى أَسْفَلَ، وَلَوْ دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الصُّعُودَ، فَإِنَّ الَّذِي لَمْ يَنْزِلْ يَعْلُو عَلَيْهِ وَلَا بُدَّ.Manusia berbeda pendapat mengenai apakah seseorang yang telah bertaubat dari dosa akan kembali ke derajatnya semula sebelum ia terjatuh dalam maksiat.Sebagian mengatakan:Ya, ia akan kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu menghapus dosa dan menjadikan dosa tersebut seolah-olah tidak pernah terjadi. Maka keadaan orang yang bertaubat sama seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali.Namun sebagian lain berpendapat:Tidak, ia tidak kembali ke derajat yang sama, sebab pengaruh taubat hanya menghapus hukuman atas dosa, sedangkan tingkatan (derajat) yang telah hilang akibat waktu yang terbuang untuk maksiat tidak bisa diraih kembali.Mereka menjelaskan:Seseorang yang dalam waktu itu seharusnya sibuk dengan ketaatan, berarti ia sedang mempersiapkan diri untuk naik ke derajat yang lebih tinggi, karena amal-amal sebelumnya mendukung kenaikan itu.Kondisinya seperti seorang pedagang yang setiap hari mengembangkan modalnya; semakin besar modal yang dimilikinya, semakin besar pula keuntungannya.Namun ketika ia terjatuh dalam maksiat, berarti ia kehilangan kesempatan untuk menambah modal dan keuntungan amal yang bisa mengangkatnya lebih tinggi.Maka, ketika ia mulai beramal kembali setelah taubat, sesungguhnya ia memulai perjalanan naik dari bawah, setelah sebelumnya sempat turun ke bawah.Padahal sebelumnya, sebelum bermaksiat, ia sedang naik dari bawah menuju puncak.Perbedaan antara keduanya sangat besar.Mereka menggambarkan hal itu dengan sebuah perumpamaan:Dua orang naik di dua tangga yang tidak berujung, keduanya sama-sama memulai dari tempat yang sama. Kemudian salah satunya turun satu anak tangga saja, lalu kembali naik lagi.Maka orang yang tidak pernah turun sama sekali, pasti akan lebih tinggi daripada orang yang sempat turun tadi, meskipun keduanya sama-sama terus naik. Hukum yang Adil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahوَحَكَمَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ بَيْنَ الطَّائِفَتَيْنِ حُكْمًا مَقْبُولًا فَقَالَ:التَّحْقِيقُ أَنَّ مِنَ التَّائِبِينَ مَنْ يَعُودُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مِنْ يَعُودُ إِلَى مِثْلِ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَصِلُ إِلَى دَرَجَتِهِ.قُلْتُ: وَهَذَا بِحَسْبِ قُوَّةِ التَّوْبَةِ وَكَمَالِهَا، وَمَا أَحْدَثَتْهُ الْمَعْصِيَةُ لِلْعَبْدِ مِنَ الذُّلِّ وَالْخُضُوعِ وَالْإِنَابَةِ، وَالْحَذَرِ وَالْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ، وَالْبُكَاءِ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ، فَقَدْ تَقْوَى هَذِهِ الْأُمُورُ، حَتَّى يَعُودَ التَّائِبُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَيَصِيرَ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِنْهُ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ، فَهَذَا قَدْ تَكُونُ الْخَطِيئَةُ فِي حَقِّهِ رَحْمَةً، فَإِنَّهَا نَفَتْ عَنْهُ دَاءَ الْعُجْبِ، وَخَلَّصَتْهُ مِنْ ثِقَتِهِ بِنَفْسِهِ وَإِدْلَالِهِ بِأَعْمَالِهِ، وَوَضَعَتْ خَدَّ ضَرَاعَتِهِ وَذُلَّهُ وَانْكِسَارَهُ عَلَى عَتَبَةِ بَابِ سَيِّدِهِ وَمَوْلَاهُ، وَعَرَّفَتْهُ قَدْرَهُ، وَأَشْهَدَتْهُ فَقْرَهُ وَضَرُورَتَهُ إِلَى حِفْظِ مَوْلَاهُ لَهُ، وَإِلَى عَفْوِهِ عَنْهُ وَمَغْفِرَتِهِ لَهُ، وَأَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ صَوْلَةَ الطَّاعَةِ، وَكَسَرَتْ أَنْفَهُ مِنْ أَنْ يَشْمَخَ بِهَا أَوْ يَتَكَبَّرَ بِهَا، أَوْ يَرَى نَفْسَهُ بِهَا خَيْرًا مِنْ غَيْرِهِ، وَأَوْقَفَتْهُ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ مَوْقِفَ الْخَطَّائِينَ الْمُذْنِبِينَ، نَاكِسَ الرَّأْسِ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ، مُسْتَحِيًا خَائِفًا مِنْهُ وَجِلًا، مُحْتَقِرًا لِطَاعَتِهِ مُسْتَعْظِمًا لِمَعْصِيَتِهِ، عَرَفَ نَفْسَهُ بِالنَّقْصِ وَالذَّمِّ. وَرَبُّهُ مُتَفَرِّدٌ بِالْكَمَالِ وَالْحَمْدِ وَالْوَفَاءِ كَمَا قِيلَ:اسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْ … دِ وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَافَأَيُّ نِعْمَةٍ وَصَلَتْ مِنَ اللَّهِ إِلَيْهِ اسْتَكْثَرَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَرَأَى نَفْسَهُ دُونَهَا وَلَمْ يَرَهَا أَهْلًا، وَأَيُّ نِقْمَةٍ أَوْ بَلِيَّةٍ وَصَلَتْ إِلَيْهِ رَأَى نَفْسَهُ أَهْلًا لِمَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْهَا، وَرَأَى مَوْلَاهُ قَدْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ، إِذْ لَمْ يُعَاقِبْهُ عَلَى قَدْرِ جُرْمِهِ وَلَا شَطْرِهِ، وَلَا أَدْنَى جُزْءٍ مِنْهُ.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh memberikan penjelasan yang adil dan bijak di antara dua pendapat ulama tentang apakah orang yang bertaubat bisa kembali ke derajatnya semula atau tidak.Beliau berkata:“Kebenarannya adalah: di antara orang-orang yang bertaubat, ada yang kembali ke derajat yang lebih tinggi dari sebelumnya, ada yang kembali ke derajat yang sama, dan ada pula yang tidak dapat mencapai derajat lamanya.”Aku (Ibnul Qayyim) berkata: Hal ini tergantung pada kekuatan dan kesempurnaan taubat seseorang, serta sejauh mana dosa itu menimbulkan efek kerendahan, ketundukan, ketakutan, dan kepasrahan kepada Allah.Jika setelah dosa itu, muncul dalam dirinya rasa takut kepada Allah, air mata karena takut kepada-Nya, kerendahan hati, dan penyesalan yang mendalam, maka bisa jadi hal-hal itu justru mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi daripada sebelum ia berbuat dosa.Dalam keadaan seperti ini, dosa yang dahulu ia lakukan berubah menjadi sebab rahmat baginya.Sebab dosa itu telah menghapus penyakit ujub (merasa bangga dengan diri sendiri), membebaskannya dari ketergantungan pada amalnya, dan menundukkan dirinya di hadapan Allah.Ia kini menundukkan wajahnya penuh kehinaan dan kerendahan di pintu Tuhannya,ia kini mengenal hakikat dirinya,ia kini menyadari betapa besar kebutuhannya kepada perlindungan, ampunan, dan rahmat Allah.Dosa itu telah mengeluarkan dari hatinya kesombongan karena ketaatan, menghancurkan rasa tinggi diri yang bisa muncul dari amal, dan menghalanginya untuk membanggakan amalnya atau merasa lebih baik dari orang lain.Kini ia berdiri di hadapan Rabb-nya seperti seorang hamba yang berdosa dan bersalah, menundukkan kepala, malu, takut, dan gentar.Ia meremehkan amalnya sendiri, namun mengagungkan dosanya, karena menyadari kekurangannya dan kehinaannya di hadapan Allah.Sedangkan Rabb-nya, Dialah satu-satunya yang sempurna dalam sifat, terpuji dalam segala keadaan, dan setia terhadap janji-Nya.Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:اِسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْدِ … وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَا“Allah-lah yang berhak atas kesempurnaan dan pujian, sementara manusia hanyalah layak untuk disalahkan.”Maka, setiap nikmat yang datang kepadanya dari Allah, ia pandang sebagai karunia besar yang tidak pantas ia terima. Ia merasa dirinya tak layak mendapatkannya, bahkan merasa lebih kecil dari nikmat itu sendiri.Dan setiap musibah atau cobaan yang menimpanya, ia merasa dirinya pantas untuk mendapatkan yang lebih berat lagi, karena menyadari betapa banyak kesalahannya.Ia pun melihat bahwa Tuhannya telah berbuat baik kepadanya, karena tidak menghukumnya sebanding dengan dosanya, bahkan tidak setengahnya, bahkan tidak sebesar satu bagian terkecil pun darinya. Dosa Seharusnya Mengguncang Langit dan Bumiفَإِنَّ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لَا تَحْمِلُهُ الْجِبَالُ الرَّاسِيَاتُ، فَضْلًا عَنْ هَذَا الْعَبْدِ الضَّعِيفِ الْعَاجِزِ، فَإِنَّ الذَّنْبَ وَإِنْ صَغُرَ، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعَظِيمِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَعْظَمُ مِنْهُ، الْكَبِيرِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَكْبَرُ مِنْهُ، الْجَلِيلِ الَّذِي لَا أَجَلَّ مِنْهُ وَلَا أَجْمَلَ، الْمُنْعِمِ بِجَمِيعِ أَصْنَافِ النِّعَمِ دَقِيقِهَا وَجُلِّهَا – مِنْ أَقْبَحِ الْأُمُورِ وَأَفْظَعِهَا وَأَشْنَعِهَا، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعُظَمَاءِ وَالْأَجِلَّاءِ وَسَادَاتِ النَّاسِ بِمِثْلِ ذَلِكَ يَسْتَقْبِحُهُ كُلُّ أَحَدٍ مُؤْمِنٌ وَكَافِرٌ. وَأَرْذَلُ النَّاسِ وَأَسْقَطُهُمْ مُرُوءَةً مَنْ قَابَلَهُمْ بِالرَّذَائِلِ، فَكَيْفَ بِعَظِيمِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمَلِكِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَإِلَهِ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ؟ وَلَوْلَا أَنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، وَمَغْفِرَتَهُ سَبَقَتْ عُقُوبَتَهُ، وَإِلَّا لَتَدَكْدَكَتِ الْأَرْضُ بِمَنْ قَابَلَهُ بِمَا لَا يَلِيقُ مُقَابَلَتُهُ بِهِ، وَلَوْلَا حِلْمُهُ وَمَغْفِرَتُهُ لَزُلْزِلَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ مِنْ مَعَاصِي الْعِبَادِ، قَالَ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ٤١] .فَتَأَمَّلْ خَتْمَ هَذِهِ الْآيَةِ بِاسْمَيْنِ مِنْ أَسْمَائِهِ، وَهُمَا: ” الْحَلِيمُ، وَالْغَفُورُ ” كَيْفَ تَجِدُ تَحْتَ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْلَا حِلْمُهُ عَنِ الْجُنَاةِ وَمَغْفِرَتُهُ لِلْعُصَاةِ لَمَا اسْتَقَرَّتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ؟وَقَدْ أَخْبَرَ سُبْحَانَهُ عَنْ كُفْرِ بَعْضِ عِبَادِهِ أَنَّهُ: {تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٩٠] .Sesungguhnya hukuman yang pantas diterima oleh seorang hamba atas dosanya, seandainya ditimpakan sepenuhnya, tidak akan mampu ditanggung bahkan oleh gunung-gunung yang kokoh, apalagi oleh manusia yang lemah dan tak berdaya.Karena setiap dosa, sekecil apa pun, hakikatnya adalah pelanggaran terhadap Dzat yang Mahaagung, Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang lebih besar daripada-Nya, yang tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dan lebih indah daripada-Nya, dan yang telah melimpahkan seluruh nikmat, baik kecil maupun besar kepada hamba-Nya. Maka, membalas kebaikan Sang Pemberi Nikmat dengan perbuatan dosa adalah sesuatu yang sangat keji, mengerikan, dan tercela.Bahkan jika seseorang memperlakukan raja atau orang mulia di antara manusia dengan cara demikian, niscaya semua orang — baik mukmin maupun kafir — akan memandangnya sebagai perbuatan yang hina.Apalagi jika itu dilakukan terhadap Raja langit dan bumi, Tuhan seluruh makhluk, Penguasa segala alam — maka betapa besarnya keburukan perbuatan tersebut!Seandainya rahmat Allah tidak mendahului murka-Nya, dan ampunan-Nya tidak mendahului hukuman-Nya, niscaya bumi akan hancur luluh karena perbuatan manusia yang berani menentang Allah.Dan seandainya bukan karena kesabaran dan ampunan-Nya, niscaya langit dan bumi telah berguncang hebat karena dosa-dosa para hamba.Allah Ta‘ālā berfirman:إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Dan sungguh, jika keduanya benar-benar lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāṭir: 41)Perhatikan bagaimana ayat ini diakhiri dengan dua nama Allah: Al-Ḥalīm (Maha Penyantun) dan Al-Ghafūr (Maha Pengampun).Di balik dua nama ini terkandung makna mendalam:Seandainya bukan karena kesantunan Allah terhadap para pelaku dosa, dan ampunan-Nya terhadap para pendosa, niscaya langit dan bumi tidak akan bisa bertahan karena banyaknya maksiat manusia.Allah juga berfirman tentang kekafiran sebagian hamba-Nya:تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا“Hampir saja langit pecah karenanya, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping.” (QS. Maryam: 90)وَقَدْ أَخْرَجَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَاهُ وَخَالَفَا فِيهِ نَهْيَهُ، وَلَعَنَ إِبْلِيسَ وَطَرَدَهُ وَأَخْرَجَهُ مِنْ مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَهُ وَخَالَفَ فِيهِ أَمْرَهُ، وَنَحْنُ مَعَاشِرُ الْحَمْقَى كَمَا قِيلَ:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِوَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِوَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَكُونُ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ وَأَرْفَعَ دَرَجَةً، وَقَدْ تُضْعِفُ الْخَطِيئَةُ هِمَّتَهُ وَتُوهِنُ عَزْمَهُ، وَتُمْرِضُ قَلْبَهُ، فَلَا يَقْوَى دَوَاءُ التَّوْبَةِ عَلَى إِعَادَتِهِ إِلَى الصِّحَّةِ الْأَوْلَى، فَلَا يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ يَزُولُ الْمَرَضُ بِحَيْثُ تَعُودُ الصِّحَّةُ كَمَا كَانَتْ وَيَعُودُ إِلَى مِثْلِ عَمَلِهِ، فَيَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ.هَذَا كُلُّهُ إِذَا كَانَ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، فَإِنْ كَانَ نُزُولُهُ إِلَى أَمْرٍ يَقْدَحُ فِي أَصْلِ إِيمَانِهِ، مِثْلِ الشُّكُوكِ وَالرِّيَبِ وَالنِّفَاقِ، فَذَاكَ نُزُولٌ لَا يُرْجَى لِصَاحِبِهِ صُعُودٌ إِلَّا بِتَجْدِيدِ إِسْلَامِهِ.Bayangkan — Adam dan Hawa telah dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa, yaitu melanggar larangan Allah.Iblis pun dilaknat dan diusir dari kerajaan langit hanya karena satu kesalahan, yakni enggan tunduk kepada perintah Allah.Namun kita, manusia yang dungu ini — sebagaimana dikatakan seorang penyair:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِ“Kita sambung satu dosa dengan dosa yang lain,tapi berharap derajat surga penuh kenikmatan yang abadi!”وَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِ“Padahal kita tahu, Allah telah mengeluarkan kedua orang tua kita dari kerajaan surga yang tinggi, hanya karena satu dosa.”Maka, tujuan dari semua ini adalah agar kita menyadari:Seorang hamba, setelah bertaubat, bisa jadi menjadi lebih baik daripada sebelum berbuat dosa, bahkan mencapai derajat yang lebih tinggi.Namun, bisa juga dosa itu melemahkan semangatnya, melemahkan tekadnya, dan menyakitkan hatinya, sehingga obat taubat tidak cukup kuat untuk memulihkannya ke keadaan semula. Maka ia tidak kembali ke derajat lamanya.Ada pula yang penyakit dosanya benar-benar sembuh, hingga ia kembali sehat sebagaimana semula dan mampu beramal seperti sebelumnya, maka ia pun kembali ke derajatnya yang dulu.Semua ini berlaku bila kejatuhannya adalah ke dalam maksiat. Namun jika turunnya seseorang adalah kepada hal-hal yang merusak akar keimanan, seperti keraguan, kemunafikan, atau kebimbangan dalam iman, maka itu adalah kejatuhan yang sangat berbahaya — ia tidak akan bisa naik kembali, kecuali dengan memperbarui keislamannya secara sungguh-sungguh. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin BeraniIbnul Qayyim rahimahullah berkata, فَصْلٌ الْمَعَاصِي تُجَرِّئُ عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْدَاءَهُ وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُجَرِّئُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَكُنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ مِنْ أَصْنَافِ الْمَخْلُوقَاتِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينَ بِالْأَذَى وَالْإِغْوَاءِ وَالْوَسْوَسَةِ وَالتَّخْوِيفِ وَالتَّحْزِينِ، وَإِنْسَائِهِ مَا بِهِ مَصْلَحَتُهُ فِي ذِكْرِهِ، وَمَضَرَّتُهُ فِي نِسْيَانِهِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينُ حَتَّى تَؤُزَّهُ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَزًّا. وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ شَيَاطِينُ الْإِنْسِ بِمَا تَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَذَى فِي غَيْبَتِهِ وَحُضُورِهِ، وَيَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَهْلُهُ وَخَدَمُهُ وَأَوْلَادُهُ وَجِيرَانُهُ حَتَّى الْحَيَوَانُ الْبَهِيمُ.Termasuk di antara hukuman akibat maksiat adalah bahwa maksiat menjadikan makhluk lain berani kepada seseorang, yang sebelumnya tidak akan berani mengganggunya.Akibatnya, setan menjadi berani mengganggunya — dengan cara menyakitinya, menyesatkannya, membisikkan waswas, menakut-nakuti, dan membuatnya bersedih. Setan juga membuatnya lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat baginya jika diingat, dan mengingat hal-hal yang justru membahayakannya.Akhirnya, setan terus menggoda dan menyeretnya ke dalam maksiat kepada Allah dengan dorongan yang kuat.Demikian pula, setan dari kalangan manusia menjadi berani mengganggunya — baik ketika ia hadir maupun tidak hadir — dengan segala bentuk gangguan yang mampu mereka lakukan.Bahkan keluarganya sendiri, para pelayan, anak-anak, dan tetangganya pun berani kepadanya, hingga hewan tunggangan atau binatang peliharaannya ikut berani melawannya.قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَعْرِفُ ذَلِكَ فِي خُلُقِ امْرَأَتِي وَدَابَّتِي. وَكَذَلِكَ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَوْلِيَاءُ الْأَمْرِ بِالْعُقُوبَةِ الَّتِي إِنْ عَدَلُوا فِيهَا أَقَامُوا عَلَيْهِ حُدُودَ اللَّهِ، وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ نَفْسُهُ فَتَتَأَسَّدُ عَلَيْهِ وَتَصْعُبُ عَلَيْهِ، فَلَوْ أَرَادَهَا لِخَيْرٍ لَمْ تُطَاوِعْهُ وَلَمْ تَنْقَدْ لَهُ، وَتَسُوقُهُ إِلَى مَا فِيهِ هَلَاكُهُ، شَاءَ أَمْ أَبِي. وَذَلِكَ لِأَنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الَّذِي مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ، فَإِذَا فَارَقَ الْحِصْنَ اجْتَرَأَ عَلَيْهِ قُطَّاعُ الطَّرِيقِ وَغَيْرُهُمْ، وَعَلَى حَسَبِ اجْتِرَائِهِ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ يَكُونُ اجْتِرَاءُ هَذِهِ الْآفَاتِ وَالنُّفُوسِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ يَرُدُّ عَنْهُ. فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَطَاعَتَهُ وَالصَّدَقَةَ وَإِرْشَادَ الْجَاهِلِ، وَالْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ – وِقَايَةٌ تَرُدُّ عَنِ الْعَبْدِ، بِمَنْزِلَةِ الْقُوَّةِ الَّتِي تَرُدُّ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا سَقَطَتِ الْقُوَّةُ غَلَبَ وَارِدُ الْمَرَضِ فَكَانَ الْهَلَاكُ، فَلَابُدَّ لِلْعَبْدِ مِنْ شَيْءٍ يَرُدُّ عَنْهُ، فَإِنَّ مُوجِبَ السَّيِّئَاتِ وَالْحَسَنَاتِ تَتَدَافَعُ وَيَكُونُ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ كَمَا تَقَدَّمَ، وَكُلَّمَا قَوِيَ جَانِبُ الْحَسَنَاتِ كَانَ الرَّدُّ أَقْوَى كَمَا تَقَدَّمَ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، فَبِحَسَبِ قُوَّةِ الْإِيمَانِ يَكُونُ الدَّفْعُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Sebagian salaf berkata, “Sungguh, aku pernah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan akibatnya pada akhlak istriku dan pada hewan tungganganku.”Begitu juga para penguasa menjadi berani menimpakan hukuman kepadanya; jika mereka bersikap adil, tentu mereka hanya menegakkan hukuman dari Allah atas dirinya.Bahkan dirinya sendiri menjadi berani melawannya — jiwanya menjadi liar dan sulit dikendalikan. Ketika ia mengajaknya kepada kebaikan, jiwanya enggan taat dan tidak mau tunduk. Namun, justru ia menyeret dirinya kepada sesuatu yang membinasakan, entah ia mau atau tidak mau.Hal itu terjadi karena ketaatan adalah benteng Allah Ta‘ālā.Barang siapa masuk ke dalam benteng itu, ia akan aman.Namun, jika seseorang keluar dari benteng tersebut, maka para perampok dan musuh akan berani menyerangnya.Seberapa besar seseorang berani bermaksiat kepada Allah, sebesar itu pula makhluk lain akan berani mengganggunya.Dan ia tidak memiliki pelindung apa pun yang bisa menolak bahaya tersebut.Sesungguhnya zikir kepada Allah, ketaatan, sedekah, mengajar orang yang tidak tahu, amar makruf nahi mungkar — semuanya adalah perisai yang melindungi hamba dari gangguan, sebagaimana kekuatan tubuh yang melawan dan menolak penyakit.Jika kekuatan itu hilang, maka penyakit akan menang dan menyebabkan kehancuran.Begitu pula, hati manusia memerlukan sesuatu yang menolak keburukan dari dirinya.Karena dampak buruk dan baik selalu saling menolak; yang menang adalah yang lebih kuat.Semakin kuat amal saleh dan kebaikan seseorang, semakin kuat pula pertahanan dan perlindungan Allah baginya.Sebagaimana firman Allah:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ḥajj: 38)Dan iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan.Maka, sesuai dengan kadar kekuatan iman seseorang, sebesar itu pula Allah akan menolak bahaya dari dirinya. Allah-lah tempat meminta pertolongan. Masih bersambung insya Allah. – Diupdate pada Rabu, 23 Rabiul Akhir 1447 H, 15 Oktober 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utang 1.34. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.35. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.36. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.37. 36. Maksiat Merusak Hati 1.38. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.39. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.40. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.41. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia 1.42. 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar Buruk 1.43. 42. Maksiat Melemahkan Akal 1.44. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan Allah 1.45. 44. Maksiat Menghapus Keberkahan 1.46. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin) 1.47. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin Berani Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. وَأَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ الْعُرَاةُ الَّذِينَ هُمْ فِي مِثْلِ بِنَاءِ التَّنُّورِ، فَإِنَّهُمُ الزُّنَاةُ وَالزَّوَانِي.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِي النَّهْرِ وَيُلْقَمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا.وَأَمَّا الرَّجُلُ الْكَرِيهُ الْمَنْظَرِ الَّذِي عِنْدَ النَّارِ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، فَإِنَّهُ مَالِكٌ خَازِنُ جَهَنَّمَ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الطَّوِيلُ الَّذِي فِي الرَّوْضَةِ، فَإِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ.وَأَمَّا الْوِلْدَانُ الَّذِينَ حَوْلَهُ، فَكُلُّ مَوْلُودٍ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ – وَفِي رِوَايَةِ الْبَرْقَانِيِّ: وُلِدَ عَلَى الْفِطْرَةِ – فَقَالَ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ:يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ.وَأَمَّا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَانُوا شَطْرٌ مِنْهُمْ حَسَنٌ وَشَطْرٌ مِنْهُمْ قَبِيحٌ، فَإِنَّهُمْ قَوْمٌ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا تَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُمْ.»“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.Doa terkait bahasan ini yang bisa diamalkan adalah:Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utangاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL HAMMI WAL HAZAN, WAL ‘AJZI WAL KASAL, WAL BUKHLI WAL JUBN, WA DHOLA’ID DAYN WA GHOLABATIR RIJAALArtinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekikiran dan sifat pengecut, dari beban utang dan tekanan orang lain. (HR. Abu Daud, no. 1555. Hadits ini dinyatakan sanadnya itu dhaif oleh Al-Hafizh Abu Thahir). 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus Sholihin 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar BurukIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْلُبُ صَاحِبَهَا أَسْمَاءَ الْمَدْحِ وَالشَّرَفِ، وَتَكْسُوهُ أَسْمَاءَ الذَّمِّ وَالصَّغَارِ، فَتَسْلُبُهُ اسْمَ الْمُؤْمِنِ، وَالْبَرِّ، وَالْمُحْسِنِ، وَالْمُتَّقِي، وَالْمُطِيعِ، وَالْمُنِيبِ، وَالْوَلِيِّ، وَالْوَرِعِ، وَالصَّالِحِ، وَالْعَابِدِ، وَالْخَائِفِ، وَالْأَوَّابِ، وَالطَّيِّبِ، وَالْمَرْضِيِّ وَنَحْوِهَا.Salah satu akibat dosa adalah ia akan merampas dari pelakunya gelar-gelar mulia dan terhormat, lalu menggantinya dengan gelar-gelar tercela dan hina.Dosa akan menghapus gelar “orang beriman, orang baik, orang dermawan, orang bertakwa, orang taat, orang yang kembali kepada Allah, wali Allah, orang wara’, orang saleh, ahli ibadah, orang yang takut kepada Allah, orang yang banyak bertaubat, orang baik lagi suci, dan orang yang diridhai”, serta gelar-gelar serupa lainnya.وَتَكْسُوهُ اسْمَ الْفَاجِرِ، وَالْعَاصِي، وَالْمُخَالِفِ، وَالْمُسِيءِ، وَالْمُفْسِدِ، وَالْخَبِيثِ، وَالْمَسْخُوطِ، وَالزَّانِي، وَالسَّارِقِ، وَالْقَاتِلِ، وَالْكَاذِبِ، وَالْخَائِنِ، وَاللُّوطِيِّ، وَقَاطِعِ الرَّحِمِ، وَالْغَادِرِ وَأَمْثَالِهَا.Sebaliknya, dosa akan memberinya gelar “orang fajir (bejat), pendosa, pembangkang, pelaku keburukan, perusak, orang jahat, orang yang dimurkai, pezina, pencuri, pembunuh, pendusta, pengkhianat, pelaku homoseksual, pemutus silaturahmi, pengkhianat janji”, dan gelar-gelar buruk lainnya.Baca juga: Apa Perbedaan Fusuk, Fajir, dan Maksiat?فَهَذِهِ أَسْمَاءُ الْفُسُوقِ وَ {بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [الحجرات: ١١] الَّذِي يُوجِبُ غَضَبَ الدَّيَّانِ، وَدُخُولَ النِّيرَانِ، وَعَيْشَ الْخِزْيِ وَالْهَوَانِ.Itulah sebutan-sebutan kefasikan, sebagaimana firman Allah:بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [سورة الحجرات: ١١]“Seburuk-buruk nama adalah fasik setelah (mendapatkan) iman.” (QS . Al-Hujurat: 11)Nama-nama ini mengundang kemurkaan Allah Yang Maha Mengadili, memasukkan ke dalam neraka, dan menjadikan hidup penuh kehinaan serta kerendahan.وَتِلْكَ أَسْمَاءٌ تُوجِبُ رِضَاءَ الرَّحْمَنِ، وَدُخُولَ الْجِنَانِ، وَتُوجِبُ شَرَفَ الْمُسَمَّى بِهَا عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الْإِنْسَانِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي عُقُوبَةِ الْمَعْصِيَةِ إِلَّا اسْتِحْقَاقُ تِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ نَاهٍ عَنْهَا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي ثَوَابِ الطَّاعَةِ إِلَّا الْفَوْزُ بِتِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ آمِرٌ بِهَا، وَلَكِنْ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَى اللَّهُ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعَ، وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدَ، وَلَا مُبْعِدَ لِمَنْ قَرَّبَ، {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [الحج: ١٨]Sebaliknya, gelar-gelar kebaikan itulah yang mendatangkan ridha Allah Ar-Rahman, mengantarkan seseorang ke dalam surga, serta membuatnya mulia di atas seluruh manusia lain. Maka, seandainya tidak ada akibat dari maksiat selain mendapatkan gelar-gelar buruk itu, sudah cukup akal sehat melarang manusia dari dosa. Dan seandainya tidak ada pahala dari ketaatan selain memperoleh gelar-gelar mulia itu, sudah cukup akal sehat memerintahkan manusia untuk taat.Namun, hakikatnya tidak ada yang bisa mencegah apa yang Allah beri, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Allah tahan. Tidak ada yang bisa mendekatkan apa yang Allah jauhkan, dan tidak ada yang bisa menjauhkan siapa yang Allah dekatkan. Allah berfirman:وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سورة الحج: ١٨]“Barang siapa dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 42. Maksiat Melemahkan AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُؤَثِّرُ بِالْخَاصَّةِ فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ، فَلَا تَجِدُ عَاقِلَيْنِ أَحَدُهُمَا مُطِيعٌ لِلَّهِ وَالْآخَرُ عَاصٍ، إِلَّا وَعَقْلُ الْمُطِيعِ مِنْهُمَا أَوْفَرُ وَأَكْمَلُ، وَفِكْرُهُ أَصَحُّ، وَرَأْيُهُ أَسَدُّ، وَالصَّوَابُ قَرِينُهُ. وَلِهَذَا تَجِدُ خِطَابَ الْقُرْآنِ إِنَّمَا هُوَ مَعَ أُولِي الْعُقُولِ وَالْأَلْبَابِ، كَقَوْلِهِ: {وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ١٩٧] ، وَقَوْلِهِ: {فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [سُورَةُ الْمَائِدَةِ: ١٠٠] ، وَقَوْلِهِ: {وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ٢٦٩] ، وَنَظَائِرُ ذَلِكَ كَثِيرَةٌ.Salah satu hukuman dari perbuatan maksiat adalah dampaknya yang khusus menimpa akal, yaitu menyebabkan akal menjadi lemah. Tidak akan engkau jumpai dua orang yang sama-sama berakal—yang satu taat kepada Allah dan yang lain bermaksiat—melainkan akal orang yang taat pasti lebih sempurna, pikirannya lebih jernih, pandangannya lebih tepat, dan kebenaran senantiasa menjadi pendampingnya.Karena itu, Al-Qur’an banyak berbicara kepada orang-orang berakal, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ“Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian beruntung.” (QS. Al-Māidah: 100)وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)Dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya sangat banyak.وَكَيْفَ يَكُونُ عَاقِلًا وَافِرَ الْعَقْلِ مَنْ يَعْصِي مَنْ هُوَ فِي قَبْضَتِهِ وَفِي دَارِهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَرَاهُ وَيُشَاهِدُهُ فَيَعْصِيهِ وَهُوَ بِعَيْنِهِ غَيْرُ مُتَوَارٍ عَنْهُ، وَيَسْتَعِينُ بِنِعَمِهِ عَلَى مَسَاخِطِهِ، وَيَسْتَدْعِي كُلَّ وَقْتٍ غَضَبَهُ عَلَيْهِ، وَلَعْنَتَهُ لَهُ، وَإِبْعَادَهُ مِنْ قُرْبِهِ، وَطَرْدَهُ عَنْ بَابِهِ، وَإِعْرَاضَهُ عَنْهُ، وَخِذْلَانَهُ لَهُ، وَالتَّخْلِيَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَعَدُوِّهِ، وَسُقُوطَهُ مِنْ عَيْنِهِ، وَحِرْمَانَهُ رُوحَ رِضَاهُ وَحُبَّهُ، وَقُرَّةَ الْعَيْنِ بِقُرْبِهِ، وَالْفَوْزَ بِجِوَارِهِ، وَالنَّظَرَ إِلَى وَجْهِهِ فِي زُمُرَةِ أَوْلِيَائِهِ، إِلَى أَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ كَرَامَتِهِ أَهْلَ الطَّاعَةِ، وَأَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ عُقُوبَةِ أَهْلِ الْمَعْصِيَةِBagaimana mungkin seseorang dianggap berakal sempurna sementara ia berani bermaksiat kepada Allah yang menggenggam dirinya, yang menguasai tempat tinggalnya, padahal ia tahu Allah melihatnya, menyaksikannya, namun tetap berani mendurhakai-Nya? Bahkan ia menggunakan nikmat Allah untuk melakukan hal-hal yang dimurkai-Nya. Ia pun senantiasa memanggil kemurkaan Allah, mengundang laknat-Nya, mengharapkan dijauhkan dari rahmat-Nya, ditolak dari pintu-Nya, berpaling dari-Nya, dilepaskan dari pertolongan-Nya, hingga akhirnya dibiarkan begitu saja bersama dirinya sendiri dan bersama musuhnya. Lebih dari itu, ia jatuh hina di hadapan Allah, terhalang dari merasakan keridhaan dan cinta-Nya, serta tidak memperoleh kesejukan hati karena dekat dengan-Nya, juga terhalang dari kemenangan untuk dapat memandang wajah-Nya di tengah para wali-Nya. Semua itu adalah bagian dari kenikmatan besar yang Allah berikan kepada orang-orang yang taat, sekaligus hukuman berat bagi orang-orang yang bermaksiat.فَأَيُّ عَقْلٍ لِمَنْ آثَرَ لَذَّةَ سَاعَةٍ أَوْ يَوْمٍ أَوْ دَهْرٍ، ثُمَّ تَنْقَضِي كَأَنَّهَا حُلْمٌ لَمْ يَكُنْ، عَلَى هَذَا النَّعِيمِ الْمُقِيمِ، وَالْفَوْزِ الْعَظِيمِ؟ بَلْ هُوَ سَعَادَةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَلَوْلَا الْعَقْلُ الَّذِي تَقُومُ بِهِ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ لَكَانَ بِمَنْزِلَةِ الْمَجَانِينِ، بَلْ قَدْ يَكُونُ الْمَجَانِينُ أَحْسَنَ حَالًا مِنْهُ وَأَسْلَمَ عَاقِبَةً، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.Lalu akal macam apa yang tersisa pada orang yang menukar kenikmatan abadi dengan kesenangan sesaat—sejam, sehari, atau setahun—yang segera hilang bagai mimpi yang tak pernah ada? Padahal ia rela melepas kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kemenangan agung di sisi Allah. Bahkan, seandainya bukan karena akal yang menjadi dasar tegaknya hujjah (pertanggungjawaban), niscaya ia setara dengan orang gila, bahkan bisa jadi orang gila lebih baik keadaannya dan lebih selamat akhir hidupnya dibanding dirinya.وَأَمَّا تَأْثِيرُهَا فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ الْمَعِيشِ، فَلَوْلَا الِاشْتِرَاكُ فِي هَذَا النُّقْصَانِ، لَظَهَرَ لِمُطِيعِنَا نُقْصَانُ عَقْلِ عَاصِينَا، وَلَكِنَّ الْجَائِحَةَ عَامَّةٌ، وَالْجُنُونَ فُنُونٌAdapun dampak maksiat dalam mengurangi akal praktis dalam kehidupan, maka seandainya tidak semua orang turut merasakannya, tentu orang-orang taat akan lebih jelas menyadari lemahnya akal para pelaku maksiat. Namun karena wabah ini bersifat umum, maka hilangnya akal pun bervariasi bentuknya.وَيَا عَجَبًا لَوْ صَحَّتِ الْعُقُولُ لَعَلِمَتْ أَنَّ طَرِيقَ تَحْصِيلِ اللَّذَّةِ وَالْفَرْحَةِ وَالسُّرُورِ وَطِيبِ الْعَيْشِ، إِنَّمَا هُوَ فِي رِضَاءِ مَنِ النَّعِيمُ كُلُّهُ فِي رِضَاهُ، وَالْأَلَمُ وَالْعَذَابُ كُلُّهُ فِي سُخْطِهِ وَغَضَبِهِ، فَفِي رِضَاهُ قُرَّةُ الْعُيُونِ، وَسُرُورُ النُّفُوسِ، وَحَيَاةُ الْقُلُوبِ، وَلَذَّةُ الْأَرْوَاحِ، وَطِيبُ الْحَيَاةِ، وَلَذَّةُ الْعَيْشِ، وَأَطْيَبُ النَّعِيمِ، وَمِمَّا لَوْ وُزِنَ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ بِنَعِيمِ الدُّنْيَا لَمْ يَفِ بِهِ، بَلْ إِذَا حَصَلَ لِلْقَلْبِ مِنْ ذَلِكَ أَيْسَرُ نَصِيبٍ لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا عِوَضًا مِنْهُ،Sungguh mengherankan, andai akal benar-benar sehat, niscaya ia tahu bahwa jalan meraih kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, dan kehidupan yang baik hanyalah dengan meraih keridhaan Allah. Sebab seluruh kenikmatan terletak dalam keridhaan-Nya, dan seluruh azab serta penderitaan terletak dalam kemurkaan-Nya. Dalam keridhaan Allah terdapat kesejukan mata, kebahagiaan jiwa, kehidupan hati, kelapangan ruh, manisnya hidup, dan nikmat yang paling lezat. Jika dibandingkan dengan kesenangan dunia, meski hanya seberat satu butir debu saja, maka kenikmatan dunia tak sebanding dengannya. Bahkan jika hati telah memperoleh secuil bagian dari keridhaan Allah, ia tak akan rela menukarnya dengan seluruh isi dunia.وَمَعَ هَذَا فَهُوَ يَتَنَعَّمُ بِنَصِيبِهِ مِنَ الدُّنْيَا أَعْظَمَ مِنْ تَنَعُّمِ الْمُتْرَفِينَ فِيهَا، وَلَا يَشُوبُ تَنَعُّمَهُ بِذَلِكَ الْحَظِّ الْيَسِيرِ مَا يَشُوبُ تَنَعُّمَ الْمُتْرَفِينَ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ الْمُعَارِضَاتِ، بَلْ قَدْ حَصَلَ لَهُ عَلَى النَّعِيمَيْنِ وَهُوَ يَنْتَظِرُ نَعِيمَيْنِ آخَرَيْنِ أَعْظَمَ مِنْهُمَا، وَمَا يَحْصُلُ لَهُ فِي خِلَالِ ذَلِكَ مِنَ الْآلَامِ، فَالْأَمْرُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ} [سُورَةُ النِّسَاءِ: ١٠٤] .Orang yang memperoleh bagian ini, tetap bisa menikmati dunia dengan lebih nikmat daripada para pemburu dunia, namun tanpa diiringi kegelisahan, kesedihan, dan tekanan batin yang menyertai mereka. Ia meraih dua kenikmatan sekaligus, sementara ia menunggu dua kenikmatan lain yang lebih besar lagi di akhirat. Adapun rasa sakit atau musibah yang menimpanya di dunia, hal itu sebagaimana firman Allah Ta‘ala:إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ“Jika kalian menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit sebagaimana kalian menderita sakit. Namun kalian mengharapkan dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisā’: 104)فَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مَا أَنْقَصَ عَقْلَ مَنْ بَاعَ الدُّرَّ بِالْبَعْرِ، وَالْمِسْكَ بِالرَّجِيعِ، وَمُرَافَقَةَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ، بِمُرَافَقَةِ الَّذِينَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.Maka sungguh, tiada ilah yang berhak disembah selain Allah. Betapa rusaknya akal orang yang menukar mutiara dengan kotoran, menukar misk dengan kotoran busuk, menukar kebersamaan dengan para nabi, shiddīqīn, syuhadā’, dan orang-orang saleh—dengan kebersamaan bersama orang-orang yang dimurkai Allah, yang dilaknat, yang disediakan bagi mereka neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata:﴿وَمِنْ أَعْظَمِ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُوجِبُ الْقَطِيعَةَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَإِذَا وَقَعَتِ الْقَطِيعَةُ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، فَأَيُّ فَلَاحٍ، وَأَيُّ رَجَاءٍ، وَأَيُّ عَيْشٍ لِمَنِ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ، وَقَطَعَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا غِنَى عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَلَا بَدَلَ لَهُ مِنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ عَنْهُ، وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، وَوَصَلَ مَا بَيْنَهُ﴿وَبَيْنَ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ: فَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَتَخَلَّى عَنْهُ وَلِيُّهُ؟ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا فِي هَذَا الِانْقِطَاعِ وَالِاتِّصَالِ مِنْ أَنْوَاعِ الْآلَامِ وَأَنْوَاعِ الْعَذَابِ.Salah satu hukuman terbesar dari dosa adalah terputusnya hubungan antara hamba dengan Rabbnya yang Mahasuci dan Mahatinggi. Ketika hubungan itu terputus, seluruh jalan menuju kebaikan pun ikut tertutup, sementara jalan keburukan terbuka lebar. Maka, apa lagi yang bisa diharapkan oleh seorang hamba jika kebaikan menjauh darinya, sedang ia memutus hubungan dengan Pelindung dan Penolongnya—Allah—yang tak bisa ia tinggalkan walau sekejap mata, yang tidak ada pengganti-Nya, dan tak ada yang bisa menjadi substitusi bagi-Nya? Sebaliknya, ia justru tersambung dengan jalan keburukan, menyerahkan dirinya kepada musuh paling berbahaya, hingga musuh itulah yang menguasainya, sementara Pelindung sejatinya meninggalkannya. Tiada seorang pun yang mampu memahami sepenuhnya derita dan siksa batin dari keadaan putus hubungan dengan Allah dan tersambung dengan musuh selain orang yang merasakannya.﴿قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: رَأَيْتُ الْعَبْدَ مُلْقًى بَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَبَيْنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنْ أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَلَّاهُ الشَّيْطَانُ، وَإِنْ تَوَلَّاهُ اللَّهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] .Sebagian ulama salaf berkata: “Aku melihat seorang hamba berada di antara Allah dan setan. Jika Allah berpaling darinya, maka setan akan menguasainya. Namun jika Allah melindunginya, setan tidak akan mampu berbuat apa pun terhadapnya.” Allah Ta‘ala berfirman:﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا﴾“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ lalu mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya. Maka pantaskah kalian menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, padahal mereka adalah musuh kalian? Sungguh, itu adalah pilihan yang buruk bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Kahfi: 50)﴿يَقُولُ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ: أَنَا أَكْرَمْتُ أَبَاكُمْ، وَرَفَعْتُ قَدْرَهُ، وَفَضَّلْتُهُ عَلَى غَيْرِهِ، فَأَمَرْتُ مَلَائِكَتِي كُلَّهُمْ أَنْ يَسْجُدُوا لَهُ، تَكْرِيمًا لَهُ وَتَشْرِيفًا، فَأَطَاعُونِي، وَأَبَى عَدُوِّي وَعَدُوُّهُ، فَعَصَى أَمْرِي، وَخَرَجَ عَنْ طَاعَتِي، فَكَيْفَ يَحْسُنُ بِكُمْ بَعْدَ هَذَا أَنْ تَتَّخِذُوهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي، فَتُطِيعُونَهُ فِي مَعْصِيَتِي، وَتُوَالُونَهُ فِي خِلَافِ مَرْضَاتِي وَهُمْ أَعْدَى عَدُوٍّ لَكُمْ؟ فَوَالَيْتُمْ عَدُوِّي وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِمُعَادَاتِهِ، وَمَنْ وَالَى أَعْدَاءَ الْمَلِكِ، كَانَ هُوَ وَأَعْدَاؤُهُ عِنْدَهُ سَوَاءً، فَإِنَّ الْمَحَبَّةَ وَالطَّاعَةَ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِمُعَادَاةِ أَعْدَاءِ الْمُطَاعِ وَمُوَالَاةِ أَوْلِيَائِهِ، وَأَمَّا أَنْ تُوَالِيَ أَعْدَاءَ الْمَلِكِ ثُمَّ تَدَّعِي أَنَّكَ مُوَالٍ لَهُ، فَهَذَا مُحَالٌAllah seakan berkata kepada hamba-Nya: “Aku telah memuliakan bapak kalian, meninggikan kedudukannya, dan melebihkannya dari makhluk lain. Aku perintahkan seluruh malaikat-Ku untuk sujud kepadanya sebagai penghormatan, lalu mereka semua patuh. Namun musuh-Ku sekaligus musuh kalian menolak, membangkang dari perintah-Ku, dan keluar dari ketaatan kepada-Ku. Bagaimana mungkin setelah itu kalian malah menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, menaatinya dalam bermaksiat kepada-Ku, serta memihak kepadanya dalam hal yang menyalahi keridhaan-Ku, padahal ia adalah musuh paling berbahaya bagi kalian?”Allah telah memerintahkan agar kita memusuhinya. Maka, siapa yang berpihak kepada musuh Raja, ia dan musuh itu sama-sama akan diperlakukan sebagai musuh oleh Raja. Karena cinta dan ketaatan tidak pernah sempurna kecuali dengan memusuhi musuh Sang Penguasa dan memihak kepada wali-wali-Nya. Adapun seseorang yang memihak musuh Raja, lalu mengaku dirinya setia kepada Raja, maka klaim itu adalah hal yang mustahil.﴿هَذَا لَوْ لَمْ يَكُنْ عَدُوُّ الْمَلِكِ عَدُوًّا لَكُمْ، فَكَيْفَ إِذَا كَانَ عَدُوَّكُمْ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْعَدَاوَةُ الَّتِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ أَعْظَمُ مِنَ الْعَدَاوَةِ الَّتِي بَيْنَ الشَّاةِ وَبَيْنَ الذِّئْبِ؟ فَكَيْفَ يَلِيقُ بِالْعَاقِلِ أَنْ يُوَالِيَ عَدُوَّهُ عَدُوَّ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا مَوْلَى لَهُ سِوَاهُ، وَنَبَّهَ سُبْحَانَهُ عَلَى قُبْحِ هَذِهِ الْمُوَالَاةِ بِقَوْلِهِ: {وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، كَمَا نَبَّهَ عَلَى قُبْحِهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، فَتَبَيَّنَ أَنَّ عَدَاوَتَهُ لِرَبِّهِ وَعَدَاوَتَهُ لَنَا، كُلٌّ مِنْهُمَا سَبَبٌ يَدْعُو إِلَى مُعَادَاتِهِ، فَمَا هَذِهِ الْمُوَالَاةُ؟ وَمَا هَذَا الِاسْتِبْدَالُ؟ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا.Itu pun seandainya musuh Raja tersebut bukanlah musuh kita. Lalu bagaimana jika pada kenyataannya ia memang musuh kita yang paling nyata, dan permusuhan antara kita dengannya jauh lebih besar daripada permusuhan antara seekor kambing dengan serigala? Bagaimana mungkin orang berakal masih mau berpihak kepada musuhnya sendiri—musuh Pelindung dan Tuhannya—padahal ia tidak memiliki Pelindung selain Dia?Allah telah menegaskan keburukan sikap berpihak kepada setan ini dengan firman-Nya:﴿وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ﴾“…padahal mereka adalah musuh kalian.” (QS. Al-Kahfi: 50)Demikian pula Allah menegaskan kejahatannya dengan firman-Nya:﴿فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ﴾“…lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 50)Maka jelaslah, permusuhan Iblis kepada Rabb kita dan permusuhannya kepada kita masing-masing sudah cukup menjadi alasan agar kita memusuhinya. Lalu apa arti dari sikap berpihak kepadanya? Dan apa guna menukar Allah dengan setan? Sungguh buruklah pengganti itu bagi orang-orang yang zalim.﴿وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَحْتَ هَذَا الْخِطَابِ نَوْعٌ مِنَ الْعِتَابِ لَطِيفٌ عَجِيبٌ وَهُوَ أَنِّي عَادَيْتُ إِبْلِيسَ إِذْ لَمْ يَسْجُدْ لِأَبِيكُمْ آدَمَ مَعَ مَلَائِكَتِي فَكَانَتْ مُعَادَاتُهُ لِأَجْلِكُمْ، ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةُ هَذِهِ الْمُعَادَاةِ أَنْ عَقَدْتُمْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ عَقْدَ الْمُصَالَحَةِSeakan-akan di balik firman Allah itu terdapat teguran yang begitu halus dan menakjubkan. Tegurannya adalah: “Aku telah memusuhi Iblis sejak ia enggan bersujud kepada bapak kalian, Adam, bersama dengan malaikat-Ku. Permusuhan itu murni karena kalian. Namun bagaimana mungkin akhir dari permusuhan itu justru berbalik menjadi perjanjian damai antara kalian dengan dia?” 44. Maksiat Menghapus KeberkahanIbnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الْعُمُرِ، وَبَرَكَةَ الرِّزْقِ، وَبَرَكَةَ الْعِلْمِ، وَبَرَكَةَ الْعَمَلِ، وَبَرَكَةَ الطَّاعَةِ.Maksiat memiliki dampak yang sangat berbahaya, di antaranya adalah menghapus keberkahan. Ia bisa menghilangkan keberkahan umur, keberkahan rezeki, keberkahan ilmu, keberkahan amal, dan keberkahan dalam ketaatan.وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الدِّينِ وَالدُّنْيَا، فَلَا تَجِدُ أَقَلَّ بَرَكَةٍ فِي عُمُرِهِ وَدِينِهِ وَدُنْيَاهُ مِمَّنْ عَصَى اللَّهَ، وَمَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا بِمَعَاصِي الْخَلْقِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ} [الْأَعْرَافِ: ٩٦] .Secara ringkas, maksiat bisa memupus keberkahan dalam urusan agama dan dunia. Tidak ada orang yang lebih sedikit keberkahannya dalam umur, agama, dan dunianya daripada orang yang bermaksiat kepada Allah. Sungguh, keberkahan tidaklah dicabut dari bumi kecuali karena dosa-dosa para hamba. Allah Ta‘ālā berfirman:وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 96)وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا – لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ} [الْجِنِّ: ١٦ – ١٧] . وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ.Allah juga berfirman: “Dan sekiranya mereka tetap istiqāmah di jalan itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang melimpah, agar Kami menguji mereka dengannya.” (QS. Al-Jinn [72]: 16–17) Seorang hamba bisa saja terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang ia lakukan.وَفِي الْحَدِيثِ: «إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّهُ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَ اللَّهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ، وَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الرِّضَى وَالْيَقِينِ، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ» .Dalam sebuah hadits disebutkan:“Sesungguhnya Ruhul Qudus telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa tidaklah satu jiwa pun akan mati sebelum sempurna rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Karena apa yang ada di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada-Nya. Allah menjadikan ketenangan dan kebahagiaan ada dalam ridha dan keyakinan, sedangkan kegelisahan dan kesedihan ada dalam keraguan dan kemurkaan.”وَقَدْ تَقَدَّمَ الْأَثَرُ الَّذِي ذَكَرَهُ أَحْمَدُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ: «أَنَا اللَّهُ، إِذَا رَضِيتُ بَارَكْتُ، وَلَيْسَ لِبَرَكَتِي مُنْتَهًى، وَإِذَا غَضِبْتُ لَعَنْتُ، وَلَعْنَتِي تُدْرِكُ السَّابِعَ مِنَ الْوَلَدِ» .Dalam atsar yang diriwayatkan Ahmad dalam Kitāb az-Zuhd disebutkan firman Allah: “Aku adalah Allah. Jika Aku ridha, maka Aku memberkahi, dan keberkahan-Ku tidak ada batasnya. Jika Aku murka, maka Aku melaknat, dan laknat-Ku akan menimpa hingga keturunan ketujuh.”وَلَيْسَتْ سَعَةُ الرِّزْقِ وَالْعَمَلِ بِكَثْرَتِهِ، وَلَا طُولُ الْعُمُرِ بِكَثْرَةِ الشُّهُورِ وَالْأَعْوَامِ، وَلَكِنَّ سَعَةَ الرِّزْقِ وَطُولَ الْعُمُرِ بِالْبَرَكَةِ فِيهِ.Perlu dipahami, luasnya rezeki bukan ditentukan oleh jumlahnya, dan panjangnya umur bukan ditentukan oleh banyaknya bulan atau tahun. Akan tetapi, yang menentukan adalah keberkahan yang ada di dalamnya.وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ عُمْرَ الْعَبْدِ هُوَ مُدَّةُ حَيَاتِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِمَنْ أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِغَيْرِهِ، بَلْ حَيَاةُ الْبَهَائِمِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاتِهِ، فَإِنَّ حَيَاةَ الْإِنْسَانِ بِحَيَاةِ قَلْبِهِ وَرُوحِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِقَلْبِهِ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ فَاطِرِهِ، وَمَحَبَّتِهِ، وَعِبَادَتِهِ وَحْدَهُ، وَالْإِنَابَةِ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةِ بِذِكْرِهِ، وَالْأُنْسِ بِقُرْبِهِ، وَمَنْ فَقَدَ هَذِهِ الْحَيَاةَ فَقَدَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، وَلَوْ تَعَرَّضَ عَنْهَا بِمَا تَعَوَّضَ مِمَّا فِي الدُّنْيَا، بَلْ لَيْسَتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا عِوَضًا عَنْ هَذِهِ الْحَيَاةِ، فَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ يَفُوتُ الْعَبْدَ عِوَضٌ، وَإِذَا فَاتَهُ اللَّهُ لَمْ يُعَوِّضْ عَنْهُ شَيْءٌ الْبَتَّةَ.Sebelumnya telah dijelaskan bahwa umur seorang hamba adalah sepanjang hidupnya. Namun, tidak ada kehidupan sejati bagi orang yang berpaling dari Allah dan sibuk dengan selain-Nya. Bahkan, kehidupan binatang lebih baik daripada hidupnya. Sebab, kehidupan manusia hakikatnya bergantung pada hidupnya hati dan ruh. Dan tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, tenang dengan mengingat-Nya, serta merasa dekat dengan-Nya.Barang siapa kehilangan kehidupan ini, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan. Dan seandainya ia menukar kehilangan ini dengan semua yang ada di dunia, tetap tidak akan cukup sebagai ganti. Karena dari setiap hal yang hilang, seorang hamba masih bisa memperoleh penggantinya. Namun, bila ia kehilangan Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menggantikannya.وَقَدْ لَعَنَ عَدُوَّهُ إِبْلِيسَ وَجَعَلَهُ أَبْعَدَ خَلْقِهِ مِنْهُ، فَكُلُّ مَا كَانَ جِهَتَهُ فَلَهُ مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ بِقَدْرِ قُرْبِهِ وَاتِّصَالِهِ بِهِ، فَمِنْ هَاهُنَا كَانَ لِلْمَعَاصِي أَعْظَمُ تَأْثِيرٍ فِي مَحْقِ بَرَكَةِ الْعُمُرِ وَالرِّزْقِ وَالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ، وَكُلُّ وَقْتٍ عَصَيْتَ اللَّهَ فِيهِ، أَوْ مَالٍ عُصِيَ اللَّهُ بِهِ، أَوْ بَدَنٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ عَمَلٍ فَهُوَ عَلَى صَاحِبِهِ لَيْسَ لَهُ، فَلَيْسَ لَهُ مِنْ عُمُرِهِ وَمَالِهِ وَقُوَّتِهِ وَجَاهِهِ وَعِلْمِهِ وَعَمَلِهِ إِلَّا مَا أَطَاعَ اللَّهَ بِهِ.Allah telah melaknat musuh-Nya, Iblīs, dan menjadikannya makhluk yang paling jauh dari-Nya. Maka setiap sesuatu yang sejalan dengan arah Iblis, memiliki bagian dari laknat Allah sebesar kadar kedekatannya dan keterkaitannya dengan Iblis itu sendiri.Dari sini dapat dipahami bahwa maksiat memiliki pengaruh paling besar dalam menghapus keberkahan umur, rezeki, ilmu, dan amal. Setiap waktu yang engkau gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, atau setiap harta yang digunakan untuk maksiat, atau tubuh, kedudukan, ilmu, dan amal yang dipakai untuk melanggar perintah Allah—semuanya akan menjadi bumerang bagi pelakunya, bukan menjadi keuntungan baginya.Maka seseorang tidak memiliki bagian yang sejati dari umur, harta, kekuatan, kedudukan, ilmu, dan amalnya, kecuali bagian yang ia gunakan untuk menaati Allah semata.وَلِهَذَا مِنَ النَّاسِ مَنْ يَعِيشُ فِي هَذِهِ الدَّارِ مِائَةَ سَنَةٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَيَكُونُ عُمُرُهُ لَا يَبْلُغُ عِشْرِينَ سَنَةً أَوْ نَحْوَهَا، كَمَا أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَمْلِكُ الْقَنَاطِيرَ الْمُقَنْطَرَةَ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَيَكُونُ مَالُهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَا يَبْلُغُ أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَهَكَذَا الْجَاهُ وَالْعِلْمُ.Karena itulah, di antara manusia ada yang hidup di dunia ini seratus tahun atau lebih, namun hakikat umurnya tidak mencapai dua puluh tahun, karena sebagian besar hidupnya tidak diisi dengan ketaatan. Begitu pula ada orang yang memiliki timbunan emas dan perak dalam jumlah besar, tetapi hakikat hartanya tidak sampai seribu dirham, karena tidak diberkahi dan tidak digunakan di jalan Allah. Hal yang sama berlaku pada kedudukan dan ilmu.وَفِي التِّرْمِذِيِّ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ» .وَفِي أَثَرٍ آخَرَ: «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ» فَهَذَا هُوَ الَّذِي فِيهِ الْبَرَكَةُ خَاصَّةً، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Dalam Sunan at-Tirmiżī disebutkan sabda Nabi ﷺ:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan segala yang terkait dengannya, serta orang berilmu dan orang yang belajar.” (HR. At-Tirmiżī)Dan dalam riwayat lain disebutkan:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali apa yang dilakukan karena Allah.”Inilah yang mengandung keberkahan yang sejati, selain itu tidak.Wa Allāhul musta‘ān — Allah-lah tempat kita memohon pertolongan. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَجْعَلُ صَاحِبَهَا مِنَ السَّفَلَةِ بَعْدَ أَنْ كَانَ مُهَيَّئًا لِأَنْ يَكُونَ مِنَ الْعِلْيَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ قِسْمَيْنِ: عِلْيَةً، وَسَفَلَةً، وَجَعَلَ عِلِّيِّينَ مُسْتَقَرَّ الْعِلْيَةِ، وَأَسْفَلَ سَافِلِينَ مُسْتَقَرَّ السَّفَلَةِ، وَجَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ الْأَعْلَيْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ الْأَسْفَلِينَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، كَمَا جَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ أَكْرَمَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ أَهْوَنَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ الْعِزَّةَ لِهَؤُلَاءِ، وَالذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ لِهَؤُلَاءِ، كَمَا فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»Salah satu hukuman bagi pelaku maksiat adalah bahwa maksiat menjadikannya termasuk golongan yang rendah (as-safalah), padahal sebelumnya ia diciptakan dalam keadaan berpotensi menjadi bagian dari golongan yang tinggi (al-‘ilyah).Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya terbagi menjadi dua golongan: golongan tinggi (‘ilyah) dan golongan rendah (safalah).Allah menjadikan ‘Illiyyīn sebagai tempat menetap bagi golongan tinggi, dan Asfala Sāfilīn sebagai tempat bagi golongan rendah.Allah juga menjadikan orang-orang yang taat kepada-Nya sebagai golongan yang tinggi di dunia dan akhirat, sedangkan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya sebagai golongan yang rendah di dunia dan akhirat.Sebagaimana Allah menjadikan orang-orang yang taat sebagai makhluk yang paling mulia di sisi-Nya, dan orang-orang yang bermaksiat sebagai makhluk yang paling hina di sisi-Nya,Allah pun menjadikan kemuliaan (‘izzah) bagi orang-orang yang taat, dan kehinaan serta kerendahan (dzillah wa shaghār) bagi orang-orang yang menentang-Nya.Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dari hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr, bahwa Nabi ﷺ bersabda:«بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»“Aku diutus dengan membawa pedang menjelang datangnya kiamat, dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan bagi siapa pun yang menyalahi perintahku.” (HR. Ahmad)فَكُلَّمَا عَمِلَ الْعَبْدُ مَعْصِيَةً نَزَلَ إِلَى أَسْفَلَ، دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي نُزُولٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَسْفَلِينَ، وَكُلَّمَا عَمِلَ طَاعَةً ارْتَفَعَ بِهَا دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي ارْتِفَاعٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَعْلَيْنَ.Maka setiap kali seorang hamba melakukan maksiat, ia turun satu derajat ke bawah. Ia terus menurun hingga menjadi bagian dari golongan paling rendah.Sebaliknya, setiap kali ia melakukan ketaatan, ia naik satu derajat ke atas, dan terus meningkat hingga termasuk golongan yang tinggi.وَقَدْ يَجْتَمِعُ لِلْعَبْدِ فِي أَيَّامِ حَيَاتِهِ الصُّعُودُ مِنْ وَجْهٍ، وَالنُّزُولُ مِنْ وَجْهٍ، وَأَيُّهُمَا كَانَ أَغْلَبَ عَلَيْهِ كَانَ مِنْ أَهْلِهِ، فَلَيْسَ مَنْ صَعِدَ مِائَةَ دَرَجَةٍ وَنَزَلَ دَرَجَةً وَاحِدَةً، كَمَنْ كَانَ بِالْعَكْسِ.Namun, dalam perjalanan hidup seseorang bisa jadi terjadi dua hal sekaligus: ia naik dari satu sisi dan turun dari sisi lain. Mana yang lebih dominan, itulah yang menentukan posisinya di akhir.Seseorang yang naik seratus derajat lalu turun satu derajat tentu tidak sama dengan orang yang sebaliknya—naik satu derajat tapi turun seratus derajat.وَلَكِنْ يَعْرِضُ هَاهُنَا لِلنُّفُوسِ غَلَطٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَنْزِلُ نُزُولًا بَعِيدًا أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، وَمِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَلَا يَفِي صُعُودُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ بِهَذَا النُّزُولِ الْوَاحِدِ، كَمَا فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ الْعَبْدَ لِيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ، لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ» .Akan tetapi, di sinilah banyak jiwa manusia terjatuh dalam kesalahan besar.Kadang seseorang jatuh ke bawah sejauh-jauhnya, melebihi jarak antara timur dan barat, bahkan lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.Sehingga, kenaikan seribu derajat pun tidak sebanding dengan satu kejatuhan itu.Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ:«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ»“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat saja, tanpa memikirkannya, namun ia terjerumus karenanya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhārī dan Muslim)فَأَيُّ صُعُودٍ يُوَازِنُ هَذِهِ النَّزْلَةَ؟ وَالنُّزُولُ أَمْرٌ لَازِمٌ لِلْإِنْسَانِ، وَلَكِنْ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى غَفْلَةٍ، فَهَذَا مَتَى اسْتَيْقَظَ مِنْ غَفْلَتِهِ عَادَ إِلَى دَرَجَتِهِ، أَوْ إِلَى أَرْفَعَ مِنْهَا بِحَسْبَ يَقَظَتِهِ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مُبَاحٍ لَا يَنْوِي بِهِ الِاسْتِعَانَةَ عَلَى الطَّاعَةِ، فَهَذَا مَتَى رَجَعَ إِلَى الطَّاعَةِ فَقَدْ يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا، وَقَدْ يَرْتَفِعُ عَنْهَا، فَإِنَّهُ قَدْ يَعُودُ أَعْلَى هِمَّةً مِمَّا كَانَ، وَقَدْ يَكُونُ أَضْعَفَ هِمَّةً، وَقَدْ تَعُودُ هِمَّتُهُ كَمَا كَانَتْ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، إِمَّا صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ، فَهَذَا يَحْتَاجُ فِي عَوْدِهِ إِلَى دَرَجَتِهِ إِلَى تَوْبَةٍ نَصُوحٍ، وَإِنَابَةٍ صَادِقَةٍ.Maka pertanyaannya, kenaikan apa yang mampu menandingi kejatuhan sebesar ini?Kenyataannya, turun (ke bawah) adalah hal yang tak terpisahkan dari manusia.Namun, turunnya manusia berbeda-beda:1. Ada yang turunnya menuju kelalaian (ghaflah).Jika ia segera tersadar dari kelalaiannya, maka ia akan kembali ke derajatnya semula, bahkan bisa lebih tinggi, tergantung pada tingkat kesadarannya.2. Ada yang turunnya menuju hal-hal mubah (boleh), namun tanpa niat untuk menjadikannya sarana dalam ketaatan.Jika ia kembali kepada ketaatan, bisa jadi ia kembali ke derajatnya, atau tidak sampai ke sana lagi, bahkan bisa jadi lebih tinggi bila semangatnya tumbuh lebih besar dari sebelumnya. Namun terkadang semangatnya malah melemah, atau kembali seperti semula.3. Ada pula yang turunnya menuju maksiat, baik dosa kecil maupun dosa besar.Maka untuk kembali ke derajat semula, ia membutuhkan taubat yang tulus (taubah naṣūḥah) dan kembali yang sungguh-sungguh (inābah ṣādiqah) kepada Allah. Apakah Seorang yang Bertaubat Dapat Kembali ke Derajatnya Semula?وَاخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ يَعُودُ بَعْدَ التَّوْبَةِ إِلَى دَرَجَتِهِ الَّتِي كَانَ فِيهَا، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَتَمْحُو أَثَرَ الذَّنْبِ، وَتَجْعَلُ وَجُودَهُ كَعَدَمِهِ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ، أَوْ لَا يَعُودُ، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَ تَأْثِيرُهَا فِي إِسْقَاطِ الْعُقُوبَةِ، وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الَّتِي فَاتَتْهُ فَإِنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا.قَالُوا: وَتَقْرِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ كَانَ مُسْتَعِدًّا بِاشْتِغَالِهِ بِالطَّاعَةِ فِي الزَّمَنِ الَّذِي عَصَى فِيهِ لِصُعُودٍ آخَرَ وَارْتِقَاءٍ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ السَّالِفَةُ، بِمَنْزِلَةِ كَسْبِ الرَّجُلِ كُلَّ يَوْمٍ بِجُمْلَةِ مَالِهِ الَّذِي يَمْلِكُهُ، وَكُلَّمَا تَضَّاعَفَ الْمَالُ تَضَّاعَفَ الرِّبْحُ، فَقَدْ رَاحَ عَلَيْهِ فِي زَمَنِ الْمَعْصِيَةِ ارْتِفَاعٌ وَرِبْحٌ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ، فَإِذَا اسْتَأْنَفَ الْعَمَلَ اسْتَأْنَفَ صُعُودًا مِنْ نُزُولٍ، وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ صَاعِدًا مِنْ أَسْفَلَ إِلَى أَعْلَى، وَبَيْنَهُمَا بَوْنٌ عَظِيمٌ.قَالُوا: وَمَثَلُ ذَلِكَ رَجُلَانِ يَرْتَقِيَانِ فِي سُلَّمَيْنِ لَا نِهَايَةَ لَهُمَا، وَهُمَا سَوَاءٌ، فَنَزَلَ أَحَدُهُمَا إِلَى أَسْفَلَ، وَلَوْ دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الصُّعُودَ، فَإِنَّ الَّذِي لَمْ يَنْزِلْ يَعْلُو عَلَيْهِ وَلَا بُدَّ.Manusia berbeda pendapat mengenai apakah seseorang yang telah bertaubat dari dosa akan kembali ke derajatnya semula sebelum ia terjatuh dalam maksiat.Sebagian mengatakan:Ya, ia akan kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu menghapus dosa dan menjadikan dosa tersebut seolah-olah tidak pernah terjadi. Maka keadaan orang yang bertaubat sama seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali.Namun sebagian lain berpendapat:Tidak, ia tidak kembali ke derajat yang sama, sebab pengaruh taubat hanya menghapus hukuman atas dosa, sedangkan tingkatan (derajat) yang telah hilang akibat waktu yang terbuang untuk maksiat tidak bisa diraih kembali.Mereka menjelaskan:Seseorang yang dalam waktu itu seharusnya sibuk dengan ketaatan, berarti ia sedang mempersiapkan diri untuk naik ke derajat yang lebih tinggi, karena amal-amal sebelumnya mendukung kenaikan itu.Kondisinya seperti seorang pedagang yang setiap hari mengembangkan modalnya; semakin besar modal yang dimilikinya, semakin besar pula keuntungannya.Namun ketika ia terjatuh dalam maksiat, berarti ia kehilangan kesempatan untuk menambah modal dan keuntungan amal yang bisa mengangkatnya lebih tinggi.Maka, ketika ia mulai beramal kembali setelah taubat, sesungguhnya ia memulai perjalanan naik dari bawah, setelah sebelumnya sempat turun ke bawah.Padahal sebelumnya, sebelum bermaksiat, ia sedang naik dari bawah menuju puncak.Perbedaan antara keduanya sangat besar.Mereka menggambarkan hal itu dengan sebuah perumpamaan:Dua orang naik di dua tangga yang tidak berujung, keduanya sama-sama memulai dari tempat yang sama. Kemudian salah satunya turun satu anak tangga saja, lalu kembali naik lagi.Maka orang yang tidak pernah turun sama sekali, pasti akan lebih tinggi daripada orang yang sempat turun tadi, meskipun keduanya sama-sama terus naik. Hukum yang Adil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahوَحَكَمَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ بَيْنَ الطَّائِفَتَيْنِ حُكْمًا مَقْبُولًا فَقَالَ:التَّحْقِيقُ أَنَّ مِنَ التَّائِبِينَ مَنْ يَعُودُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مِنْ يَعُودُ إِلَى مِثْلِ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَصِلُ إِلَى دَرَجَتِهِ.قُلْتُ: وَهَذَا بِحَسْبِ قُوَّةِ التَّوْبَةِ وَكَمَالِهَا، وَمَا أَحْدَثَتْهُ الْمَعْصِيَةُ لِلْعَبْدِ مِنَ الذُّلِّ وَالْخُضُوعِ وَالْإِنَابَةِ، وَالْحَذَرِ وَالْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ، وَالْبُكَاءِ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ، فَقَدْ تَقْوَى هَذِهِ الْأُمُورُ، حَتَّى يَعُودَ التَّائِبُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَيَصِيرَ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِنْهُ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ، فَهَذَا قَدْ تَكُونُ الْخَطِيئَةُ فِي حَقِّهِ رَحْمَةً، فَإِنَّهَا نَفَتْ عَنْهُ دَاءَ الْعُجْبِ، وَخَلَّصَتْهُ مِنْ ثِقَتِهِ بِنَفْسِهِ وَإِدْلَالِهِ بِأَعْمَالِهِ، وَوَضَعَتْ خَدَّ ضَرَاعَتِهِ وَذُلَّهُ وَانْكِسَارَهُ عَلَى عَتَبَةِ بَابِ سَيِّدِهِ وَمَوْلَاهُ، وَعَرَّفَتْهُ قَدْرَهُ، وَأَشْهَدَتْهُ فَقْرَهُ وَضَرُورَتَهُ إِلَى حِفْظِ مَوْلَاهُ لَهُ، وَإِلَى عَفْوِهِ عَنْهُ وَمَغْفِرَتِهِ لَهُ، وَأَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ صَوْلَةَ الطَّاعَةِ، وَكَسَرَتْ أَنْفَهُ مِنْ أَنْ يَشْمَخَ بِهَا أَوْ يَتَكَبَّرَ بِهَا، أَوْ يَرَى نَفْسَهُ بِهَا خَيْرًا مِنْ غَيْرِهِ، وَأَوْقَفَتْهُ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ مَوْقِفَ الْخَطَّائِينَ الْمُذْنِبِينَ، نَاكِسَ الرَّأْسِ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ، مُسْتَحِيًا خَائِفًا مِنْهُ وَجِلًا، مُحْتَقِرًا لِطَاعَتِهِ مُسْتَعْظِمًا لِمَعْصِيَتِهِ، عَرَفَ نَفْسَهُ بِالنَّقْصِ وَالذَّمِّ. وَرَبُّهُ مُتَفَرِّدٌ بِالْكَمَالِ وَالْحَمْدِ وَالْوَفَاءِ كَمَا قِيلَ:اسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْ … دِ وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَافَأَيُّ نِعْمَةٍ وَصَلَتْ مِنَ اللَّهِ إِلَيْهِ اسْتَكْثَرَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَرَأَى نَفْسَهُ دُونَهَا وَلَمْ يَرَهَا أَهْلًا، وَأَيُّ نِقْمَةٍ أَوْ بَلِيَّةٍ وَصَلَتْ إِلَيْهِ رَأَى نَفْسَهُ أَهْلًا لِمَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْهَا، وَرَأَى مَوْلَاهُ قَدْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ، إِذْ لَمْ يُعَاقِبْهُ عَلَى قَدْرِ جُرْمِهِ وَلَا شَطْرِهِ، وَلَا أَدْنَى جُزْءٍ مِنْهُ.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh memberikan penjelasan yang adil dan bijak di antara dua pendapat ulama tentang apakah orang yang bertaubat bisa kembali ke derajatnya semula atau tidak.Beliau berkata:“Kebenarannya adalah: di antara orang-orang yang bertaubat, ada yang kembali ke derajat yang lebih tinggi dari sebelumnya, ada yang kembali ke derajat yang sama, dan ada pula yang tidak dapat mencapai derajat lamanya.”Aku (Ibnul Qayyim) berkata: Hal ini tergantung pada kekuatan dan kesempurnaan taubat seseorang, serta sejauh mana dosa itu menimbulkan efek kerendahan, ketundukan, ketakutan, dan kepasrahan kepada Allah.Jika setelah dosa itu, muncul dalam dirinya rasa takut kepada Allah, air mata karena takut kepada-Nya, kerendahan hati, dan penyesalan yang mendalam, maka bisa jadi hal-hal itu justru mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi daripada sebelum ia berbuat dosa.Dalam keadaan seperti ini, dosa yang dahulu ia lakukan berubah menjadi sebab rahmat baginya.Sebab dosa itu telah menghapus penyakit ujub (merasa bangga dengan diri sendiri), membebaskannya dari ketergantungan pada amalnya, dan menundukkan dirinya di hadapan Allah.Ia kini menundukkan wajahnya penuh kehinaan dan kerendahan di pintu Tuhannya,ia kini mengenal hakikat dirinya,ia kini menyadari betapa besar kebutuhannya kepada perlindungan, ampunan, dan rahmat Allah.Dosa itu telah mengeluarkan dari hatinya kesombongan karena ketaatan, menghancurkan rasa tinggi diri yang bisa muncul dari amal, dan menghalanginya untuk membanggakan amalnya atau merasa lebih baik dari orang lain.Kini ia berdiri di hadapan Rabb-nya seperti seorang hamba yang berdosa dan bersalah, menundukkan kepala, malu, takut, dan gentar.Ia meremehkan amalnya sendiri, namun mengagungkan dosanya, karena menyadari kekurangannya dan kehinaannya di hadapan Allah.Sedangkan Rabb-nya, Dialah satu-satunya yang sempurna dalam sifat, terpuji dalam segala keadaan, dan setia terhadap janji-Nya.Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:اِسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْدِ … وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَا“Allah-lah yang berhak atas kesempurnaan dan pujian, sementara manusia hanyalah layak untuk disalahkan.”Maka, setiap nikmat yang datang kepadanya dari Allah, ia pandang sebagai karunia besar yang tidak pantas ia terima. Ia merasa dirinya tak layak mendapatkannya, bahkan merasa lebih kecil dari nikmat itu sendiri.Dan setiap musibah atau cobaan yang menimpanya, ia merasa dirinya pantas untuk mendapatkan yang lebih berat lagi, karena menyadari betapa banyak kesalahannya.Ia pun melihat bahwa Tuhannya telah berbuat baik kepadanya, karena tidak menghukumnya sebanding dengan dosanya, bahkan tidak setengahnya, bahkan tidak sebesar satu bagian terkecil pun darinya. Dosa Seharusnya Mengguncang Langit dan Bumiفَإِنَّ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لَا تَحْمِلُهُ الْجِبَالُ الرَّاسِيَاتُ، فَضْلًا عَنْ هَذَا الْعَبْدِ الضَّعِيفِ الْعَاجِزِ، فَإِنَّ الذَّنْبَ وَإِنْ صَغُرَ، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعَظِيمِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَعْظَمُ مِنْهُ، الْكَبِيرِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَكْبَرُ مِنْهُ، الْجَلِيلِ الَّذِي لَا أَجَلَّ مِنْهُ وَلَا أَجْمَلَ، الْمُنْعِمِ بِجَمِيعِ أَصْنَافِ النِّعَمِ دَقِيقِهَا وَجُلِّهَا – مِنْ أَقْبَحِ الْأُمُورِ وَأَفْظَعِهَا وَأَشْنَعِهَا، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعُظَمَاءِ وَالْأَجِلَّاءِ وَسَادَاتِ النَّاسِ بِمِثْلِ ذَلِكَ يَسْتَقْبِحُهُ كُلُّ أَحَدٍ مُؤْمِنٌ وَكَافِرٌ. وَأَرْذَلُ النَّاسِ وَأَسْقَطُهُمْ مُرُوءَةً مَنْ قَابَلَهُمْ بِالرَّذَائِلِ، فَكَيْفَ بِعَظِيمِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمَلِكِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَإِلَهِ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ؟ وَلَوْلَا أَنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، وَمَغْفِرَتَهُ سَبَقَتْ عُقُوبَتَهُ، وَإِلَّا لَتَدَكْدَكَتِ الْأَرْضُ بِمَنْ قَابَلَهُ بِمَا لَا يَلِيقُ مُقَابَلَتُهُ بِهِ، وَلَوْلَا حِلْمُهُ وَمَغْفِرَتُهُ لَزُلْزِلَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ مِنْ مَعَاصِي الْعِبَادِ، قَالَ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ٤١] .فَتَأَمَّلْ خَتْمَ هَذِهِ الْآيَةِ بِاسْمَيْنِ مِنْ أَسْمَائِهِ، وَهُمَا: ” الْحَلِيمُ، وَالْغَفُورُ ” كَيْفَ تَجِدُ تَحْتَ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْلَا حِلْمُهُ عَنِ الْجُنَاةِ وَمَغْفِرَتُهُ لِلْعُصَاةِ لَمَا اسْتَقَرَّتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ؟وَقَدْ أَخْبَرَ سُبْحَانَهُ عَنْ كُفْرِ بَعْضِ عِبَادِهِ أَنَّهُ: {تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٩٠] .Sesungguhnya hukuman yang pantas diterima oleh seorang hamba atas dosanya, seandainya ditimpakan sepenuhnya, tidak akan mampu ditanggung bahkan oleh gunung-gunung yang kokoh, apalagi oleh manusia yang lemah dan tak berdaya.Karena setiap dosa, sekecil apa pun, hakikatnya adalah pelanggaran terhadap Dzat yang Mahaagung, Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang lebih besar daripada-Nya, yang tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dan lebih indah daripada-Nya, dan yang telah melimpahkan seluruh nikmat, baik kecil maupun besar kepada hamba-Nya. Maka, membalas kebaikan Sang Pemberi Nikmat dengan perbuatan dosa adalah sesuatu yang sangat keji, mengerikan, dan tercela.Bahkan jika seseorang memperlakukan raja atau orang mulia di antara manusia dengan cara demikian, niscaya semua orang — baik mukmin maupun kafir — akan memandangnya sebagai perbuatan yang hina.Apalagi jika itu dilakukan terhadap Raja langit dan bumi, Tuhan seluruh makhluk, Penguasa segala alam — maka betapa besarnya keburukan perbuatan tersebut!Seandainya rahmat Allah tidak mendahului murka-Nya, dan ampunan-Nya tidak mendahului hukuman-Nya, niscaya bumi akan hancur luluh karena perbuatan manusia yang berani menentang Allah.Dan seandainya bukan karena kesabaran dan ampunan-Nya, niscaya langit dan bumi telah berguncang hebat karena dosa-dosa para hamba.Allah Ta‘ālā berfirman:إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Dan sungguh, jika keduanya benar-benar lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāṭir: 41)Perhatikan bagaimana ayat ini diakhiri dengan dua nama Allah: Al-Ḥalīm (Maha Penyantun) dan Al-Ghafūr (Maha Pengampun).Di balik dua nama ini terkandung makna mendalam:Seandainya bukan karena kesantunan Allah terhadap para pelaku dosa, dan ampunan-Nya terhadap para pendosa, niscaya langit dan bumi tidak akan bisa bertahan karena banyaknya maksiat manusia.Allah juga berfirman tentang kekafiran sebagian hamba-Nya:تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا“Hampir saja langit pecah karenanya, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping.” (QS. Maryam: 90)وَقَدْ أَخْرَجَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَاهُ وَخَالَفَا فِيهِ نَهْيَهُ، وَلَعَنَ إِبْلِيسَ وَطَرَدَهُ وَأَخْرَجَهُ مِنْ مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَهُ وَخَالَفَ فِيهِ أَمْرَهُ، وَنَحْنُ مَعَاشِرُ الْحَمْقَى كَمَا قِيلَ:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِوَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِوَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَكُونُ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ وَأَرْفَعَ دَرَجَةً، وَقَدْ تُضْعِفُ الْخَطِيئَةُ هِمَّتَهُ وَتُوهِنُ عَزْمَهُ، وَتُمْرِضُ قَلْبَهُ، فَلَا يَقْوَى دَوَاءُ التَّوْبَةِ عَلَى إِعَادَتِهِ إِلَى الصِّحَّةِ الْأَوْلَى، فَلَا يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ يَزُولُ الْمَرَضُ بِحَيْثُ تَعُودُ الصِّحَّةُ كَمَا كَانَتْ وَيَعُودُ إِلَى مِثْلِ عَمَلِهِ، فَيَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ.هَذَا كُلُّهُ إِذَا كَانَ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، فَإِنْ كَانَ نُزُولُهُ إِلَى أَمْرٍ يَقْدَحُ فِي أَصْلِ إِيمَانِهِ، مِثْلِ الشُّكُوكِ وَالرِّيَبِ وَالنِّفَاقِ، فَذَاكَ نُزُولٌ لَا يُرْجَى لِصَاحِبِهِ صُعُودٌ إِلَّا بِتَجْدِيدِ إِسْلَامِهِ.Bayangkan — Adam dan Hawa telah dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa, yaitu melanggar larangan Allah.Iblis pun dilaknat dan diusir dari kerajaan langit hanya karena satu kesalahan, yakni enggan tunduk kepada perintah Allah.Namun kita, manusia yang dungu ini — sebagaimana dikatakan seorang penyair:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِ“Kita sambung satu dosa dengan dosa yang lain,tapi berharap derajat surga penuh kenikmatan yang abadi!”وَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِ“Padahal kita tahu, Allah telah mengeluarkan kedua orang tua kita dari kerajaan surga yang tinggi, hanya karena satu dosa.”Maka, tujuan dari semua ini adalah agar kita menyadari:Seorang hamba, setelah bertaubat, bisa jadi menjadi lebih baik daripada sebelum berbuat dosa, bahkan mencapai derajat yang lebih tinggi.Namun, bisa juga dosa itu melemahkan semangatnya, melemahkan tekadnya, dan menyakitkan hatinya, sehingga obat taubat tidak cukup kuat untuk memulihkannya ke keadaan semula. Maka ia tidak kembali ke derajat lamanya.Ada pula yang penyakit dosanya benar-benar sembuh, hingga ia kembali sehat sebagaimana semula dan mampu beramal seperti sebelumnya, maka ia pun kembali ke derajatnya yang dulu.Semua ini berlaku bila kejatuhannya adalah ke dalam maksiat. Namun jika turunnya seseorang adalah kepada hal-hal yang merusak akar keimanan, seperti keraguan, kemunafikan, atau kebimbangan dalam iman, maka itu adalah kejatuhan yang sangat berbahaya — ia tidak akan bisa naik kembali, kecuali dengan memperbarui keislamannya secara sungguh-sungguh. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin BeraniIbnul Qayyim rahimahullah berkata, فَصْلٌ الْمَعَاصِي تُجَرِّئُ عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْدَاءَهُ وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُجَرِّئُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَكُنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ مِنْ أَصْنَافِ الْمَخْلُوقَاتِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينَ بِالْأَذَى وَالْإِغْوَاءِ وَالْوَسْوَسَةِ وَالتَّخْوِيفِ وَالتَّحْزِينِ، وَإِنْسَائِهِ مَا بِهِ مَصْلَحَتُهُ فِي ذِكْرِهِ، وَمَضَرَّتُهُ فِي نِسْيَانِهِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينُ حَتَّى تَؤُزَّهُ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَزًّا. وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ شَيَاطِينُ الْإِنْسِ بِمَا تَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَذَى فِي غَيْبَتِهِ وَحُضُورِهِ، وَيَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَهْلُهُ وَخَدَمُهُ وَأَوْلَادُهُ وَجِيرَانُهُ حَتَّى الْحَيَوَانُ الْبَهِيمُ.Termasuk di antara hukuman akibat maksiat adalah bahwa maksiat menjadikan makhluk lain berani kepada seseorang, yang sebelumnya tidak akan berani mengganggunya.Akibatnya, setan menjadi berani mengganggunya — dengan cara menyakitinya, menyesatkannya, membisikkan waswas, menakut-nakuti, dan membuatnya bersedih. Setan juga membuatnya lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat baginya jika diingat, dan mengingat hal-hal yang justru membahayakannya.Akhirnya, setan terus menggoda dan menyeretnya ke dalam maksiat kepada Allah dengan dorongan yang kuat.Demikian pula, setan dari kalangan manusia menjadi berani mengganggunya — baik ketika ia hadir maupun tidak hadir — dengan segala bentuk gangguan yang mampu mereka lakukan.Bahkan keluarganya sendiri, para pelayan, anak-anak, dan tetangganya pun berani kepadanya, hingga hewan tunggangan atau binatang peliharaannya ikut berani melawannya.قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَعْرِفُ ذَلِكَ فِي خُلُقِ امْرَأَتِي وَدَابَّتِي. وَكَذَلِكَ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَوْلِيَاءُ الْأَمْرِ بِالْعُقُوبَةِ الَّتِي إِنْ عَدَلُوا فِيهَا أَقَامُوا عَلَيْهِ حُدُودَ اللَّهِ، وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ نَفْسُهُ فَتَتَأَسَّدُ عَلَيْهِ وَتَصْعُبُ عَلَيْهِ، فَلَوْ أَرَادَهَا لِخَيْرٍ لَمْ تُطَاوِعْهُ وَلَمْ تَنْقَدْ لَهُ، وَتَسُوقُهُ إِلَى مَا فِيهِ هَلَاكُهُ، شَاءَ أَمْ أَبِي. وَذَلِكَ لِأَنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الَّذِي مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ، فَإِذَا فَارَقَ الْحِصْنَ اجْتَرَأَ عَلَيْهِ قُطَّاعُ الطَّرِيقِ وَغَيْرُهُمْ، وَعَلَى حَسَبِ اجْتِرَائِهِ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ يَكُونُ اجْتِرَاءُ هَذِهِ الْآفَاتِ وَالنُّفُوسِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ يَرُدُّ عَنْهُ. فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَطَاعَتَهُ وَالصَّدَقَةَ وَإِرْشَادَ الْجَاهِلِ، وَالْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ – وِقَايَةٌ تَرُدُّ عَنِ الْعَبْدِ، بِمَنْزِلَةِ الْقُوَّةِ الَّتِي تَرُدُّ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا سَقَطَتِ الْقُوَّةُ غَلَبَ وَارِدُ الْمَرَضِ فَكَانَ الْهَلَاكُ، فَلَابُدَّ لِلْعَبْدِ مِنْ شَيْءٍ يَرُدُّ عَنْهُ، فَإِنَّ مُوجِبَ السَّيِّئَاتِ وَالْحَسَنَاتِ تَتَدَافَعُ وَيَكُونُ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ كَمَا تَقَدَّمَ، وَكُلَّمَا قَوِيَ جَانِبُ الْحَسَنَاتِ كَانَ الرَّدُّ أَقْوَى كَمَا تَقَدَّمَ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، فَبِحَسَبِ قُوَّةِ الْإِيمَانِ يَكُونُ الدَّفْعُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Sebagian salaf berkata, “Sungguh, aku pernah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan akibatnya pada akhlak istriku dan pada hewan tungganganku.”Begitu juga para penguasa menjadi berani menimpakan hukuman kepadanya; jika mereka bersikap adil, tentu mereka hanya menegakkan hukuman dari Allah atas dirinya.Bahkan dirinya sendiri menjadi berani melawannya — jiwanya menjadi liar dan sulit dikendalikan. Ketika ia mengajaknya kepada kebaikan, jiwanya enggan taat dan tidak mau tunduk. Namun, justru ia menyeret dirinya kepada sesuatu yang membinasakan, entah ia mau atau tidak mau.Hal itu terjadi karena ketaatan adalah benteng Allah Ta‘ālā.Barang siapa masuk ke dalam benteng itu, ia akan aman.Namun, jika seseorang keluar dari benteng tersebut, maka para perampok dan musuh akan berani menyerangnya.Seberapa besar seseorang berani bermaksiat kepada Allah, sebesar itu pula makhluk lain akan berani mengganggunya.Dan ia tidak memiliki pelindung apa pun yang bisa menolak bahaya tersebut.Sesungguhnya zikir kepada Allah, ketaatan, sedekah, mengajar orang yang tidak tahu, amar makruf nahi mungkar — semuanya adalah perisai yang melindungi hamba dari gangguan, sebagaimana kekuatan tubuh yang melawan dan menolak penyakit.Jika kekuatan itu hilang, maka penyakit akan menang dan menyebabkan kehancuran.Begitu pula, hati manusia memerlukan sesuatu yang menolak keburukan dari dirinya.Karena dampak buruk dan baik selalu saling menolak; yang menang adalah yang lebih kuat.Semakin kuat amal saleh dan kebaikan seseorang, semakin kuat pula pertahanan dan perlindungan Allah baginya.Sebagaimana firman Allah:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ḥajj: 38)Dan iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan.Maka, sesuai dengan kadar kekuatan iman seseorang, sebesar itu pula Allah akan menolak bahaya dari dirinya. Allah-lah tempat meminta pertolongan. Masih bersambung insya Allah. – Diupdate pada Rabu, 23 Rabiul Akhir 1447 H, 15 Oktober 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utang 1.34. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.35. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.36. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.37. 36. Maksiat Merusak Hati 1.38. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.39. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.40. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.41. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia 1.42. 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar Buruk 1.43. 42. Maksiat Melemahkan Akal 1.44. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan Allah 1.45. 44. Maksiat Menghapus Keberkahan 1.46. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin) 1.47. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin Berani Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. وَأَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ الْعُرَاةُ الَّذِينَ هُمْ فِي مِثْلِ بِنَاءِ التَّنُّورِ، فَإِنَّهُمُ الزُّنَاةُ وَالزَّوَانِي.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِي النَّهْرِ وَيُلْقَمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا.وَأَمَّا الرَّجُلُ الْكَرِيهُ الْمَنْظَرِ الَّذِي عِنْدَ النَّارِ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، فَإِنَّهُ مَالِكٌ خَازِنُ جَهَنَّمَ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الطَّوِيلُ الَّذِي فِي الرَّوْضَةِ، فَإِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ.وَأَمَّا الْوِلْدَانُ الَّذِينَ حَوْلَهُ، فَكُلُّ مَوْلُودٍ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ – وَفِي رِوَايَةِ الْبَرْقَانِيِّ: وُلِدَ عَلَى الْفِطْرَةِ – فَقَالَ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ:يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ.وَأَمَّا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَانُوا شَطْرٌ مِنْهُمْ حَسَنٌ وَشَطْرٌ مِنْهُمْ قَبِيحٌ، فَإِنَّهُمْ قَوْمٌ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا تَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُمْ.»“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.Doa terkait bahasan ini yang bisa diamalkan adalah:Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utangاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL HAMMI WAL HAZAN, WAL ‘AJZI WAL KASAL, WAL BUKHLI WAL JUBN, WA DHOLA’ID DAYN WA GHOLABATIR RIJAALArtinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekikiran dan sifat pengecut, dari beban utang dan tekanan orang lain. (HR. Abu Daud, no. 1555. Hadits ini dinyatakan sanadnya itu dhaif oleh Al-Hafizh Abu Thahir). 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus Sholihin 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar BurukIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْلُبُ صَاحِبَهَا أَسْمَاءَ الْمَدْحِ وَالشَّرَفِ، وَتَكْسُوهُ أَسْمَاءَ الذَّمِّ وَالصَّغَارِ، فَتَسْلُبُهُ اسْمَ الْمُؤْمِنِ، وَالْبَرِّ، وَالْمُحْسِنِ، وَالْمُتَّقِي، وَالْمُطِيعِ، وَالْمُنِيبِ، وَالْوَلِيِّ، وَالْوَرِعِ، وَالصَّالِحِ، وَالْعَابِدِ، وَالْخَائِفِ، وَالْأَوَّابِ، وَالطَّيِّبِ، وَالْمَرْضِيِّ وَنَحْوِهَا.Salah satu akibat dosa adalah ia akan merampas dari pelakunya gelar-gelar mulia dan terhormat, lalu menggantinya dengan gelar-gelar tercela dan hina.Dosa akan menghapus gelar “orang beriman, orang baik, orang dermawan, orang bertakwa, orang taat, orang yang kembali kepada Allah, wali Allah, orang wara’, orang saleh, ahli ibadah, orang yang takut kepada Allah, orang yang banyak bertaubat, orang baik lagi suci, dan orang yang diridhai”, serta gelar-gelar serupa lainnya.وَتَكْسُوهُ اسْمَ الْفَاجِرِ، وَالْعَاصِي، وَالْمُخَالِفِ، وَالْمُسِيءِ، وَالْمُفْسِدِ، وَالْخَبِيثِ، وَالْمَسْخُوطِ، وَالزَّانِي، وَالسَّارِقِ، وَالْقَاتِلِ، وَالْكَاذِبِ، وَالْخَائِنِ، وَاللُّوطِيِّ، وَقَاطِعِ الرَّحِمِ، وَالْغَادِرِ وَأَمْثَالِهَا.Sebaliknya, dosa akan memberinya gelar “orang fajir (bejat), pendosa, pembangkang, pelaku keburukan, perusak, orang jahat, orang yang dimurkai, pezina, pencuri, pembunuh, pendusta, pengkhianat, pelaku homoseksual, pemutus silaturahmi, pengkhianat janji”, dan gelar-gelar buruk lainnya.Baca juga: Apa Perbedaan Fusuk, Fajir, dan Maksiat?فَهَذِهِ أَسْمَاءُ الْفُسُوقِ وَ {بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [الحجرات: ١١] الَّذِي يُوجِبُ غَضَبَ الدَّيَّانِ، وَدُخُولَ النِّيرَانِ، وَعَيْشَ الْخِزْيِ وَالْهَوَانِ.Itulah sebutan-sebutan kefasikan, sebagaimana firman Allah:بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [سورة الحجرات: ١١]“Seburuk-buruk nama adalah fasik setelah (mendapatkan) iman.” (QS . Al-Hujurat: 11)Nama-nama ini mengundang kemurkaan Allah Yang Maha Mengadili, memasukkan ke dalam neraka, dan menjadikan hidup penuh kehinaan serta kerendahan.وَتِلْكَ أَسْمَاءٌ تُوجِبُ رِضَاءَ الرَّحْمَنِ، وَدُخُولَ الْجِنَانِ، وَتُوجِبُ شَرَفَ الْمُسَمَّى بِهَا عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الْإِنْسَانِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي عُقُوبَةِ الْمَعْصِيَةِ إِلَّا اسْتِحْقَاقُ تِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ نَاهٍ عَنْهَا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي ثَوَابِ الطَّاعَةِ إِلَّا الْفَوْزُ بِتِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ آمِرٌ بِهَا، وَلَكِنْ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَى اللَّهُ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعَ، وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدَ، وَلَا مُبْعِدَ لِمَنْ قَرَّبَ، {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [الحج: ١٨]Sebaliknya, gelar-gelar kebaikan itulah yang mendatangkan ridha Allah Ar-Rahman, mengantarkan seseorang ke dalam surga, serta membuatnya mulia di atas seluruh manusia lain. Maka, seandainya tidak ada akibat dari maksiat selain mendapatkan gelar-gelar buruk itu, sudah cukup akal sehat melarang manusia dari dosa. Dan seandainya tidak ada pahala dari ketaatan selain memperoleh gelar-gelar mulia itu, sudah cukup akal sehat memerintahkan manusia untuk taat.Namun, hakikatnya tidak ada yang bisa mencegah apa yang Allah beri, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Allah tahan. Tidak ada yang bisa mendekatkan apa yang Allah jauhkan, dan tidak ada yang bisa menjauhkan siapa yang Allah dekatkan. Allah berfirman:وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سورة الحج: ١٨]“Barang siapa dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 42. Maksiat Melemahkan AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُؤَثِّرُ بِالْخَاصَّةِ فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ، فَلَا تَجِدُ عَاقِلَيْنِ أَحَدُهُمَا مُطِيعٌ لِلَّهِ وَالْآخَرُ عَاصٍ، إِلَّا وَعَقْلُ الْمُطِيعِ مِنْهُمَا أَوْفَرُ وَأَكْمَلُ، وَفِكْرُهُ أَصَحُّ، وَرَأْيُهُ أَسَدُّ، وَالصَّوَابُ قَرِينُهُ. وَلِهَذَا تَجِدُ خِطَابَ الْقُرْآنِ إِنَّمَا هُوَ مَعَ أُولِي الْعُقُولِ وَالْأَلْبَابِ، كَقَوْلِهِ: {وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ١٩٧] ، وَقَوْلِهِ: {فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [سُورَةُ الْمَائِدَةِ: ١٠٠] ، وَقَوْلِهِ: {وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ٢٦٩] ، وَنَظَائِرُ ذَلِكَ كَثِيرَةٌ.Salah satu hukuman dari perbuatan maksiat adalah dampaknya yang khusus menimpa akal, yaitu menyebabkan akal menjadi lemah. Tidak akan engkau jumpai dua orang yang sama-sama berakal—yang satu taat kepada Allah dan yang lain bermaksiat—melainkan akal orang yang taat pasti lebih sempurna, pikirannya lebih jernih, pandangannya lebih tepat, dan kebenaran senantiasa menjadi pendampingnya.Karena itu, Al-Qur’an banyak berbicara kepada orang-orang berakal, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ“Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian beruntung.” (QS. Al-Māidah: 100)وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)Dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya sangat banyak.وَكَيْفَ يَكُونُ عَاقِلًا وَافِرَ الْعَقْلِ مَنْ يَعْصِي مَنْ هُوَ فِي قَبْضَتِهِ وَفِي دَارِهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَرَاهُ وَيُشَاهِدُهُ فَيَعْصِيهِ وَهُوَ بِعَيْنِهِ غَيْرُ مُتَوَارٍ عَنْهُ، وَيَسْتَعِينُ بِنِعَمِهِ عَلَى مَسَاخِطِهِ، وَيَسْتَدْعِي كُلَّ وَقْتٍ غَضَبَهُ عَلَيْهِ، وَلَعْنَتَهُ لَهُ، وَإِبْعَادَهُ مِنْ قُرْبِهِ، وَطَرْدَهُ عَنْ بَابِهِ، وَإِعْرَاضَهُ عَنْهُ، وَخِذْلَانَهُ لَهُ، وَالتَّخْلِيَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَعَدُوِّهِ، وَسُقُوطَهُ مِنْ عَيْنِهِ، وَحِرْمَانَهُ رُوحَ رِضَاهُ وَحُبَّهُ، وَقُرَّةَ الْعَيْنِ بِقُرْبِهِ، وَالْفَوْزَ بِجِوَارِهِ، وَالنَّظَرَ إِلَى وَجْهِهِ فِي زُمُرَةِ أَوْلِيَائِهِ، إِلَى أَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ كَرَامَتِهِ أَهْلَ الطَّاعَةِ، وَأَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ عُقُوبَةِ أَهْلِ الْمَعْصِيَةِBagaimana mungkin seseorang dianggap berakal sempurna sementara ia berani bermaksiat kepada Allah yang menggenggam dirinya, yang menguasai tempat tinggalnya, padahal ia tahu Allah melihatnya, menyaksikannya, namun tetap berani mendurhakai-Nya? Bahkan ia menggunakan nikmat Allah untuk melakukan hal-hal yang dimurkai-Nya. Ia pun senantiasa memanggil kemurkaan Allah, mengundang laknat-Nya, mengharapkan dijauhkan dari rahmat-Nya, ditolak dari pintu-Nya, berpaling dari-Nya, dilepaskan dari pertolongan-Nya, hingga akhirnya dibiarkan begitu saja bersama dirinya sendiri dan bersama musuhnya. Lebih dari itu, ia jatuh hina di hadapan Allah, terhalang dari merasakan keridhaan dan cinta-Nya, serta tidak memperoleh kesejukan hati karena dekat dengan-Nya, juga terhalang dari kemenangan untuk dapat memandang wajah-Nya di tengah para wali-Nya. Semua itu adalah bagian dari kenikmatan besar yang Allah berikan kepada orang-orang yang taat, sekaligus hukuman berat bagi orang-orang yang bermaksiat.فَأَيُّ عَقْلٍ لِمَنْ آثَرَ لَذَّةَ سَاعَةٍ أَوْ يَوْمٍ أَوْ دَهْرٍ، ثُمَّ تَنْقَضِي كَأَنَّهَا حُلْمٌ لَمْ يَكُنْ، عَلَى هَذَا النَّعِيمِ الْمُقِيمِ، وَالْفَوْزِ الْعَظِيمِ؟ بَلْ هُوَ سَعَادَةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَلَوْلَا الْعَقْلُ الَّذِي تَقُومُ بِهِ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ لَكَانَ بِمَنْزِلَةِ الْمَجَانِينِ، بَلْ قَدْ يَكُونُ الْمَجَانِينُ أَحْسَنَ حَالًا مِنْهُ وَأَسْلَمَ عَاقِبَةً، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.Lalu akal macam apa yang tersisa pada orang yang menukar kenikmatan abadi dengan kesenangan sesaat—sejam, sehari, atau setahun—yang segera hilang bagai mimpi yang tak pernah ada? Padahal ia rela melepas kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kemenangan agung di sisi Allah. Bahkan, seandainya bukan karena akal yang menjadi dasar tegaknya hujjah (pertanggungjawaban), niscaya ia setara dengan orang gila, bahkan bisa jadi orang gila lebih baik keadaannya dan lebih selamat akhir hidupnya dibanding dirinya.وَأَمَّا تَأْثِيرُهَا فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ الْمَعِيشِ، فَلَوْلَا الِاشْتِرَاكُ فِي هَذَا النُّقْصَانِ، لَظَهَرَ لِمُطِيعِنَا نُقْصَانُ عَقْلِ عَاصِينَا، وَلَكِنَّ الْجَائِحَةَ عَامَّةٌ، وَالْجُنُونَ فُنُونٌAdapun dampak maksiat dalam mengurangi akal praktis dalam kehidupan, maka seandainya tidak semua orang turut merasakannya, tentu orang-orang taat akan lebih jelas menyadari lemahnya akal para pelaku maksiat. Namun karena wabah ini bersifat umum, maka hilangnya akal pun bervariasi bentuknya.وَيَا عَجَبًا لَوْ صَحَّتِ الْعُقُولُ لَعَلِمَتْ أَنَّ طَرِيقَ تَحْصِيلِ اللَّذَّةِ وَالْفَرْحَةِ وَالسُّرُورِ وَطِيبِ الْعَيْشِ، إِنَّمَا هُوَ فِي رِضَاءِ مَنِ النَّعِيمُ كُلُّهُ فِي رِضَاهُ، وَالْأَلَمُ وَالْعَذَابُ كُلُّهُ فِي سُخْطِهِ وَغَضَبِهِ، فَفِي رِضَاهُ قُرَّةُ الْعُيُونِ، وَسُرُورُ النُّفُوسِ، وَحَيَاةُ الْقُلُوبِ، وَلَذَّةُ الْأَرْوَاحِ، وَطِيبُ الْحَيَاةِ، وَلَذَّةُ الْعَيْشِ، وَأَطْيَبُ النَّعِيمِ، وَمِمَّا لَوْ وُزِنَ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ بِنَعِيمِ الدُّنْيَا لَمْ يَفِ بِهِ، بَلْ إِذَا حَصَلَ لِلْقَلْبِ مِنْ ذَلِكَ أَيْسَرُ نَصِيبٍ لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا عِوَضًا مِنْهُ،Sungguh mengherankan, andai akal benar-benar sehat, niscaya ia tahu bahwa jalan meraih kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, dan kehidupan yang baik hanyalah dengan meraih keridhaan Allah. Sebab seluruh kenikmatan terletak dalam keridhaan-Nya, dan seluruh azab serta penderitaan terletak dalam kemurkaan-Nya. Dalam keridhaan Allah terdapat kesejukan mata, kebahagiaan jiwa, kehidupan hati, kelapangan ruh, manisnya hidup, dan nikmat yang paling lezat. Jika dibandingkan dengan kesenangan dunia, meski hanya seberat satu butir debu saja, maka kenikmatan dunia tak sebanding dengannya. Bahkan jika hati telah memperoleh secuil bagian dari keridhaan Allah, ia tak akan rela menukarnya dengan seluruh isi dunia.وَمَعَ هَذَا فَهُوَ يَتَنَعَّمُ بِنَصِيبِهِ مِنَ الدُّنْيَا أَعْظَمَ مِنْ تَنَعُّمِ الْمُتْرَفِينَ فِيهَا، وَلَا يَشُوبُ تَنَعُّمَهُ بِذَلِكَ الْحَظِّ الْيَسِيرِ مَا يَشُوبُ تَنَعُّمَ الْمُتْرَفِينَ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ الْمُعَارِضَاتِ، بَلْ قَدْ حَصَلَ لَهُ عَلَى النَّعِيمَيْنِ وَهُوَ يَنْتَظِرُ نَعِيمَيْنِ آخَرَيْنِ أَعْظَمَ مِنْهُمَا، وَمَا يَحْصُلُ لَهُ فِي خِلَالِ ذَلِكَ مِنَ الْآلَامِ، فَالْأَمْرُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ} [سُورَةُ النِّسَاءِ: ١٠٤] .Orang yang memperoleh bagian ini, tetap bisa menikmati dunia dengan lebih nikmat daripada para pemburu dunia, namun tanpa diiringi kegelisahan, kesedihan, dan tekanan batin yang menyertai mereka. Ia meraih dua kenikmatan sekaligus, sementara ia menunggu dua kenikmatan lain yang lebih besar lagi di akhirat. Adapun rasa sakit atau musibah yang menimpanya di dunia, hal itu sebagaimana firman Allah Ta‘ala:إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ“Jika kalian menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit sebagaimana kalian menderita sakit. Namun kalian mengharapkan dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisā’: 104)فَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مَا أَنْقَصَ عَقْلَ مَنْ بَاعَ الدُّرَّ بِالْبَعْرِ، وَالْمِسْكَ بِالرَّجِيعِ، وَمُرَافَقَةَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ، بِمُرَافَقَةِ الَّذِينَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.Maka sungguh, tiada ilah yang berhak disembah selain Allah. Betapa rusaknya akal orang yang menukar mutiara dengan kotoran, menukar misk dengan kotoran busuk, menukar kebersamaan dengan para nabi, shiddīqīn, syuhadā’, dan orang-orang saleh—dengan kebersamaan bersama orang-orang yang dimurkai Allah, yang dilaknat, yang disediakan bagi mereka neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata:﴿وَمِنْ أَعْظَمِ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُوجِبُ الْقَطِيعَةَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَإِذَا وَقَعَتِ الْقَطِيعَةُ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، فَأَيُّ فَلَاحٍ، وَأَيُّ رَجَاءٍ، وَأَيُّ عَيْشٍ لِمَنِ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ، وَقَطَعَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا غِنَى عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَلَا بَدَلَ لَهُ مِنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ عَنْهُ، وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، وَوَصَلَ مَا بَيْنَهُ﴿وَبَيْنَ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ: فَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَتَخَلَّى عَنْهُ وَلِيُّهُ؟ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا فِي هَذَا الِانْقِطَاعِ وَالِاتِّصَالِ مِنْ أَنْوَاعِ الْآلَامِ وَأَنْوَاعِ الْعَذَابِ.Salah satu hukuman terbesar dari dosa adalah terputusnya hubungan antara hamba dengan Rabbnya yang Mahasuci dan Mahatinggi. Ketika hubungan itu terputus, seluruh jalan menuju kebaikan pun ikut tertutup, sementara jalan keburukan terbuka lebar. Maka, apa lagi yang bisa diharapkan oleh seorang hamba jika kebaikan menjauh darinya, sedang ia memutus hubungan dengan Pelindung dan Penolongnya—Allah—yang tak bisa ia tinggalkan walau sekejap mata, yang tidak ada pengganti-Nya, dan tak ada yang bisa menjadi substitusi bagi-Nya? Sebaliknya, ia justru tersambung dengan jalan keburukan, menyerahkan dirinya kepada musuh paling berbahaya, hingga musuh itulah yang menguasainya, sementara Pelindung sejatinya meninggalkannya. Tiada seorang pun yang mampu memahami sepenuhnya derita dan siksa batin dari keadaan putus hubungan dengan Allah dan tersambung dengan musuh selain orang yang merasakannya.﴿قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: رَأَيْتُ الْعَبْدَ مُلْقًى بَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَبَيْنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنْ أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَلَّاهُ الشَّيْطَانُ، وَإِنْ تَوَلَّاهُ اللَّهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] .Sebagian ulama salaf berkata: “Aku melihat seorang hamba berada di antara Allah dan setan. Jika Allah berpaling darinya, maka setan akan menguasainya. Namun jika Allah melindunginya, setan tidak akan mampu berbuat apa pun terhadapnya.” Allah Ta‘ala berfirman:﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا﴾“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ lalu mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya. Maka pantaskah kalian menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, padahal mereka adalah musuh kalian? Sungguh, itu adalah pilihan yang buruk bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Kahfi: 50)﴿يَقُولُ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ: أَنَا أَكْرَمْتُ أَبَاكُمْ، وَرَفَعْتُ قَدْرَهُ، وَفَضَّلْتُهُ عَلَى غَيْرِهِ، فَأَمَرْتُ مَلَائِكَتِي كُلَّهُمْ أَنْ يَسْجُدُوا لَهُ، تَكْرِيمًا لَهُ وَتَشْرِيفًا، فَأَطَاعُونِي، وَأَبَى عَدُوِّي وَعَدُوُّهُ، فَعَصَى أَمْرِي، وَخَرَجَ عَنْ طَاعَتِي، فَكَيْفَ يَحْسُنُ بِكُمْ بَعْدَ هَذَا أَنْ تَتَّخِذُوهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي، فَتُطِيعُونَهُ فِي مَعْصِيَتِي، وَتُوَالُونَهُ فِي خِلَافِ مَرْضَاتِي وَهُمْ أَعْدَى عَدُوٍّ لَكُمْ؟ فَوَالَيْتُمْ عَدُوِّي وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِمُعَادَاتِهِ، وَمَنْ وَالَى أَعْدَاءَ الْمَلِكِ، كَانَ هُوَ وَأَعْدَاؤُهُ عِنْدَهُ سَوَاءً، فَإِنَّ الْمَحَبَّةَ وَالطَّاعَةَ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِمُعَادَاةِ أَعْدَاءِ الْمُطَاعِ وَمُوَالَاةِ أَوْلِيَائِهِ، وَأَمَّا أَنْ تُوَالِيَ أَعْدَاءَ الْمَلِكِ ثُمَّ تَدَّعِي أَنَّكَ مُوَالٍ لَهُ، فَهَذَا مُحَالٌAllah seakan berkata kepada hamba-Nya: “Aku telah memuliakan bapak kalian, meninggikan kedudukannya, dan melebihkannya dari makhluk lain. Aku perintahkan seluruh malaikat-Ku untuk sujud kepadanya sebagai penghormatan, lalu mereka semua patuh. Namun musuh-Ku sekaligus musuh kalian menolak, membangkang dari perintah-Ku, dan keluar dari ketaatan kepada-Ku. Bagaimana mungkin setelah itu kalian malah menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, menaatinya dalam bermaksiat kepada-Ku, serta memihak kepadanya dalam hal yang menyalahi keridhaan-Ku, padahal ia adalah musuh paling berbahaya bagi kalian?”Allah telah memerintahkan agar kita memusuhinya. Maka, siapa yang berpihak kepada musuh Raja, ia dan musuh itu sama-sama akan diperlakukan sebagai musuh oleh Raja. Karena cinta dan ketaatan tidak pernah sempurna kecuali dengan memusuhi musuh Sang Penguasa dan memihak kepada wali-wali-Nya. Adapun seseorang yang memihak musuh Raja, lalu mengaku dirinya setia kepada Raja, maka klaim itu adalah hal yang mustahil.﴿هَذَا لَوْ لَمْ يَكُنْ عَدُوُّ الْمَلِكِ عَدُوًّا لَكُمْ، فَكَيْفَ إِذَا كَانَ عَدُوَّكُمْ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْعَدَاوَةُ الَّتِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ أَعْظَمُ مِنَ الْعَدَاوَةِ الَّتِي بَيْنَ الشَّاةِ وَبَيْنَ الذِّئْبِ؟ فَكَيْفَ يَلِيقُ بِالْعَاقِلِ أَنْ يُوَالِيَ عَدُوَّهُ عَدُوَّ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا مَوْلَى لَهُ سِوَاهُ، وَنَبَّهَ سُبْحَانَهُ عَلَى قُبْحِ هَذِهِ الْمُوَالَاةِ بِقَوْلِهِ: {وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، كَمَا نَبَّهَ عَلَى قُبْحِهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، فَتَبَيَّنَ أَنَّ عَدَاوَتَهُ لِرَبِّهِ وَعَدَاوَتَهُ لَنَا، كُلٌّ مِنْهُمَا سَبَبٌ يَدْعُو إِلَى مُعَادَاتِهِ، فَمَا هَذِهِ الْمُوَالَاةُ؟ وَمَا هَذَا الِاسْتِبْدَالُ؟ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا.Itu pun seandainya musuh Raja tersebut bukanlah musuh kita. Lalu bagaimana jika pada kenyataannya ia memang musuh kita yang paling nyata, dan permusuhan antara kita dengannya jauh lebih besar daripada permusuhan antara seekor kambing dengan serigala? Bagaimana mungkin orang berakal masih mau berpihak kepada musuhnya sendiri—musuh Pelindung dan Tuhannya—padahal ia tidak memiliki Pelindung selain Dia?Allah telah menegaskan keburukan sikap berpihak kepada setan ini dengan firman-Nya:﴿وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ﴾“…padahal mereka adalah musuh kalian.” (QS. Al-Kahfi: 50)Demikian pula Allah menegaskan kejahatannya dengan firman-Nya:﴿فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ﴾“…lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 50)Maka jelaslah, permusuhan Iblis kepada Rabb kita dan permusuhannya kepada kita masing-masing sudah cukup menjadi alasan agar kita memusuhinya. Lalu apa arti dari sikap berpihak kepadanya? Dan apa guna menukar Allah dengan setan? Sungguh buruklah pengganti itu bagi orang-orang yang zalim.﴿وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَحْتَ هَذَا الْخِطَابِ نَوْعٌ مِنَ الْعِتَابِ لَطِيفٌ عَجِيبٌ وَهُوَ أَنِّي عَادَيْتُ إِبْلِيسَ إِذْ لَمْ يَسْجُدْ لِأَبِيكُمْ آدَمَ مَعَ مَلَائِكَتِي فَكَانَتْ مُعَادَاتُهُ لِأَجْلِكُمْ، ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةُ هَذِهِ الْمُعَادَاةِ أَنْ عَقَدْتُمْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ عَقْدَ الْمُصَالَحَةِSeakan-akan di balik firman Allah itu terdapat teguran yang begitu halus dan menakjubkan. Tegurannya adalah: “Aku telah memusuhi Iblis sejak ia enggan bersujud kepada bapak kalian, Adam, bersama dengan malaikat-Ku. Permusuhan itu murni karena kalian. Namun bagaimana mungkin akhir dari permusuhan itu justru berbalik menjadi perjanjian damai antara kalian dengan dia?” 44. Maksiat Menghapus KeberkahanIbnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الْعُمُرِ، وَبَرَكَةَ الرِّزْقِ، وَبَرَكَةَ الْعِلْمِ، وَبَرَكَةَ الْعَمَلِ، وَبَرَكَةَ الطَّاعَةِ.Maksiat memiliki dampak yang sangat berbahaya, di antaranya adalah menghapus keberkahan. Ia bisa menghilangkan keberkahan umur, keberkahan rezeki, keberkahan ilmu, keberkahan amal, dan keberkahan dalam ketaatan.وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الدِّينِ وَالدُّنْيَا، فَلَا تَجِدُ أَقَلَّ بَرَكَةٍ فِي عُمُرِهِ وَدِينِهِ وَدُنْيَاهُ مِمَّنْ عَصَى اللَّهَ، وَمَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا بِمَعَاصِي الْخَلْقِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ} [الْأَعْرَافِ: ٩٦] .Secara ringkas, maksiat bisa memupus keberkahan dalam urusan agama dan dunia. Tidak ada orang yang lebih sedikit keberkahannya dalam umur, agama, dan dunianya daripada orang yang bermaksiat kepada Allah. Sungguh, keberkahan tidaklah dicabut dari bumi kecuali karena dosa-dosa para hamba. Allah Ta‘ālā berfirman:وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 96)وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا – لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ} [الْجِنِّ: ١٦ – ١٧] . وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ.Allah juga berfirman: “Dan sekiranya mereka tetap istiqāmah di jalan itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang melimpah, agar Kami menguji mereka dengannya.” (QS. Al-Jinn [72]: 16–17) Seorang hamba bisa saja terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang ia lakukan.وَفِي الْحَدِيثِ: «إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّهُ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَ اللَّهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ، وَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الرِّضَى وَالْيَقِينِ، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ» .Dalam sebuah hadits disebutkan:“Sesungguhnya Ruhul Qudus telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa tidaklah satu jiwa pun akan mati sebelum sempurna rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Karena apa yang ada di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada-Nya. Allah menjadikan ketenangan dan kebahagiaan ada dalam ridha dan keyakinan, sedangkan kegelisahan dan kesedihan ada dalam keraguan dan kemurkaan.”وَقَدْ تَقَدَّمَ الْأَثَرُ الَّذِي ذَكَرَهُ أَحْمَدُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ: «أَنَا اللَّهُ، إِذَا رَضِيتُ بَارَكْتُ، وَلَيْسَ لِبَرَكَتِي مُنْتَهًى، وَإِذَا غَضِبْتُ لَعَنْتُ، وَلَعْنَتِي تُدْرِكُ السَّابِعَ مِنَ الْوَلَدِ» .Dalam atsar yang diriwayatkan Ahmad dalam Kitāb az-Zuhd disebutkan firman Allah: “Aku adalah Allah. Jika Aku ridha, maka Aku memberkahi, dan keberkahan-Ku tidak ada batasnya. Jika Aku murka, maka Aku melaknat, dan laknat-Ku akan menimpa hingga keturunan ketujuh.”وَلَيْسَتْ سَعَةُ الرِّزْقِ وَالْعَمَلِ بِكَثْرَتِهِ، وَلَا طُولُ الْعُمُرِ بِكَثْرَةِ الشُّهُورِ وَالْأَعْوَامِ، وَلَكِنَّ سَعَةَ الرِّزْقِ وَطُولَ الْعُمُرِ بِالْبَرَكَةِ فِيهِ.Perlu dipahami, luasnya rezeki bukan ditentukan oleh jumlahnya, dan panjangnya umur bukan ditentukan oleh banyaknya bulan atau tahun. Akan tetapi, yang menentukan adalah keberkahan yang ada di dalamnya.وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ عُمْرَ الْعَبْدِ هُوَ مُدَّةُ حَيَاتِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِمَنْ أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِغَيْرِهِ، بَلْ حَيَاةُ الْبَهَائِمِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاتِهِ، فَإِنَّ حَيَاةَ الْإِنْسَانِ بِحَيَاةِ قَلْبِهِ وَرُوحِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِقَلْبِهِ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ فَاطِرِهِ، وَمَحَبَّتِهِ، وَعِبَادَتِهِ وَحْدَهُ، وَالْإِنَابَةِ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةِ بِذِكْرِهِ، وَالْأُنْسِ بِقُرْبِهِ، وَمَنْ فَقَدَ هَذِهِ الْحَيَاةَ فَقَدَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، وَلَوْ تَعَرَّضَ عَنْهَا بِمَا تَعَوَّضَ مِمَّا فِي الدُّنْيَا، بَلْ لَيْسَتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا عِوَضًا عَنْ هَذِهِ الْحَيَاةِ، فَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ يَفُوتُ الْعَبْدَ عِوَضٌ، وَإِذَا فَاتَهُ اللَّهُ لَمْ يُعَوِّضْ عَنْهُ شَيْءٌ الْبَتَّةَ.Sebelumnya telah dijelaskan bahwa umur seorang hamba adalah sepanjang hidupnya. Namun, tidak ada kehidupan sejati bagi orang yang berpaling dari Allah dan sibuk dengan selain-Nya. Bahkan, kehidupan binatang lebih baik daripada hidupnya. Sebab, kehidupan manusia hakikatnya bergantung pada hidupnya hati dan ruh. Dan tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, tenang dengan mengingat-Nya, serta merasa dekat dengan-Nya.Barang siapa kehilangan kehidupan ini, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan. Dan seandainya ia menukar kehilangan ini dengan semua yang ada di dunia, tetap tidak akan cukup sebagai ganti. Karena dari setiap hal yang hilang, seorang hamba masih bisa memperoleh penggantinya. Namun, bila ia kehilangan Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menggantikannya.وَقَدْ لَعَنَ عَدُوَّهُ إِبْلِيسَ وَجَعَلَهُ أَبْعَدَ خَلْقِهِ مِنْهُ، فَكُلُّ مَا كَانَ جِهَتَهُ فَلَهُ مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ بِقَدْرِ قُرْبِهِ وَاتِّصَالِهِ بِهِ، فَمِنْ هَاهُنَا كَانَ لِلْمَعَاصِي أَعْظَمُ تَأْثِيرٍ فِي مَحْقِ بَرَكَةِ الْعُمُرِ وَالرِّزْقِ وَالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ، وَكُلُّ وَقْتٍ عَصَيْتَ اللَّهَ فِيهِ، أَوْ مَالٍ عُصِيَ اللَّهُ بِهِ، أَوْ بَدَنٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ عَمَلٍ فَهُوَ عَلَى صَاحِبِهِ لَيْسَ لَهُ، فَلَيْسَ لَهُ مِنْ عُمُرِهِ وَمَالِهِ وَقُوَّتِهِ وَجَاهِهِ وَعِلْمِهِ وَعَمَلِهِ إِلَّا مَا أَطَاعَ اللَّهَ بِهِ.Allah telah melaknat musuh-Nya, Iblīs, dan menjadikannya makhluk yang paling jauh dari-Nya. Maka setiap sesuatu yang sejalan dengan arah Iblis, memiliki bagian dari laknat Allah sebesar kadar kedekatannya dan keterkaitannya dengan Iblis itu sendiri.Dari sini dapat dipahami bahwa maksiat memiliki pengaruh paling besar dalam menghapus keberkahan umur, rezeki, ilmu, dan amal. Setiap waktu yang engkau gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, atau setiap harta yang digunakan untuk maksiat, atau tubuh, kedudukan, ilmu, dan amal yang dipakai untuk melanggar perintah Allah—semuanya akan menjadi bumerang bagi pelakunya, bukan menjadi keuntungan baginya.Maka seseorang tidak memiliki bagian yang sejati dari umur, harta, kekuatan, kedudukan, ilmu, dan amalnya, kecuali bagian yang ia gunakan untuk menaati Allah semata.وَلِهَذَا مِنَ النَّاسِ مَنْ يَعِيشُ فِي هَذِهِ الدَّارِ مِائَةَ سَنَةٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَيَكُونُ عُمُرُهُ لَا يَبْلُغُ عِشْرِينَ سَنَةً أَوْ نَحْوَهَا، كَمَا أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَمْلِكُ الْقَنَاطِيرَ الْمُقَنْطَرَةَ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَيَكُونُ مَالُهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَا يَبْلُغُ أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَهَكَذَا الْجَاهُ وَالْعِلْمُ.Karena itulah, di antara manusia ada yang hidup di dunia ini seratus tahun atau lebih, namun hakikat umurnya tidak mencapai dua puluh tahun, karena sebagian besar hidupnya tidak diisi dengan ketaatan. Begitu pula ada orang yang memiliki timbunan emas dan perak dalam jumlah besar, tetapi hakikat hartanya tidak sampai seribu dirham, karena tidak diberkahi dan tidak digunakan di jalan Allah. Hal yang sama berlaku pada kedudukan dan ilmu.وَفِي التِّرْمِذِيِّ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ» .وَفِي أَثَرٍ آخَرَ: «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ» فَهَذَا هُوَ الَّذِي فِيهِ الْبَرَكَةُ خَاصَّةً، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Dalam Sunan at-Tirmiżī disebutkan sabda Nabi ﷺ:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan segala yang terkait dengannya, serta orang berilmu dan orang yang belajar.” (HR. At-Tirmiżī)Dan dalam riwayat lain disebutkan:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali apa yang dilakukan karena Allah.”Inilah yang mengandung keberkahan yang sejati, selain itu tidak.Wa Allāhul musta‘ān — Allah-lah tempat kita memohon pertolongan. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَجْعَلُ صَاحِبَهَا مِنَ السَّفَلَةِ بَعْدَ أَنْ كَانَ مُهَيَّئًا لِأَنْ يَكُونَ مِنَ الْعِلْيَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ قِسْمَيْنِ: عِلْيَةً، وَسَفَلَةً، وَجَعَلَ عِلِّيِّينَ مُسْتَقَرَّ الْعِلْيَةِ، وَأَسْفَلَ سَافِلِينَ مُسْتَقَرَّ السَّفَلَةِ، وَجَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ الْأَعْلَيْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ الْأَسْفَلِينَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، كَمَا جَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ أَكْرَمَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ أَهْوَنَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ الْعِزَّةَ لِهَؤُلَاءِ، وَالذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ لِهَؤُلَاءِ، كَمَا فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»Salah satu hukuman bagi pelaku maksiat adalah bahwa maksiat menjadikannya termasuk golongan yang rendah (as-safalah), padahal sebelumnya ia diciptakan dalam keadaan berpotensi menjadi bagian dari golongan yang tinggi (al-‘ilyah).Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya terbagi menjadi dua golongan: golongan tinggi (‘ilyah) dan golongan rendah (safalah).Allah menjadikan ‘Illiyyīn sebagai tempat menetap bagi golongan tinggi, dan Asfala Sāfilīn sebagai tempat bagi golongan rendah.Allah juga menjadikan orang-orang yang taat kepada-Nya sebagai golongan yang tinggi di dunia dan akhirat, sedangkan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya sebagai golongan yang rendah di dunia dan akhirat.Sebagaimana Allah menjadikan orang-orang yang taat sebagai makhluk yang paling mulia di sisi-Nya, dan orang-orang yang bermaksiat sebagai makhluk yang paling hina di sisi-Nya,Allah pun menjadikan kemuliaan (‘izzah) bagi orang-orang yang taat, dan kehinaan serta kerendahan (dzillah wa shaghār) bagi orang-orang yang menentang-Nya.Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dari hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr, bahwa Nabi ﷺ bersabda:«بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»“Aku diutus dengan membawa pedang menjelang datangnya kiamat, dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan bagi siapa pun yang menyalahi perintahku.” (HR. Ahmad)فَكُلَّمَا عَمِلَ الْعَبْدُ مَعْصِيَةً نَزَلَ إِلَى أَسْفَلَ، دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي نُزُولٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَسْفَلِينَ، وَكُلَّمَا عَمِلَ طَاعَةً ارْتَفَعَ بِهَا دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي ارْتِفَاعٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَعْلَيْنَ.Maka setiap kali seorang hamba melakukan maksiat, ia turun satu derajat ke bawah. Ia terus menurun hingga menjadi bagian dari golongan paling rendah.Sebaliknya, setiap kali ia melakukan ketaatan, ia naik satu derajat ke atas, dan terus meningkat hingga termasuk golongan yang tinggi.وَقَدْ يَجْتَمِعُ لِلْعَبْدِ فِي أَيَّامِ حَيَاتِهِ الصُّعُودُ مِنْ وَجْهٍ، وَالنُّزُولُ مِنْ وَجْهٍ، وَأَيُّهُمَا كَانَ أَغْلَبَ عَلَيْهِ كَانَ مِنْ أَهْلِهِ، فَلَيْسَ مَنْ صَعِدَ مِائَةَ دَرَجَةٍ وَنَزَلَ دَرَجَةً وَاحِدَةً، كَمَنْ كَانَ بِالْعَكْسِ.Namun, dalam perjalanan hidup seseorang bisa jadi terjadi dua hal sekaligus: ia naik dari satu sisi dan turun dari sisi lain. Mana yang lebih dominan, itulah yang menentukan posisinya di akhir.Seseorang yang naik seratus derajat lalu turun satu derajat tentu tidak sama dengan orang yang sebaliknya—naik satu derajat tapi turun seratus derajat.وَلَكِنْ يَعْرِضُ هَاهُنَا لِلنُّفُوسِ غَلَطٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَنْزِلُ نُزُولًا بَعِيدًا أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، وَمِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَلَا يَفِي صُعُودُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ بِهَذَا النُّزُولِ الْوَاحِدِ، كَمَا فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ الْعَبْدَ لِيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ، لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ» .Akan tetapi, di sinilah banyak jiwa manusia terjatuh dalam kesalahan besar.Kadang seseorang jatuh ke bawah sejauh-jauhnya, melebihi jarak antara timur dan barat, bahkan lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.Sehingga, kenaikan seribu derajat pun tidak sebanding dengan satu kejatuhan itu.Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ:«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ»“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat saja, tanpa memikirkannya, namun ia terjerumus karenanya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhārī dan Muslim)فَأَيُّ صُعُودٍ يُوَازِنُ هَذِهِ النَّزْلَةَ؟ وَالنُّزُولُ أَمْرٌ لَازِمٌ لِلْإِنْسَانِ، وَلَكِنْ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى غَفْلَةٍ، فَهَذَا مَتَى اسْتَيْقَظَ مِنْ غَفْلَتِهِ عَادَ إِلَى دَرَجَتِهِ، أَوْ إِلَى أَرْفَعَ مِنْهَا بِحَسْبَ يَقَظَتِهِ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مُبَاحٍ لَا يَنْوِي بِهِ الِاسْتِعَانَةَ عَلَى الطَّاعَةِ، فَهَذَا مَتَى رَجَعَ إِلَى الطَّاعَةِ فَقَدْ يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا، وَقَدْ يَرْتَفِعُ عَنْهَا، فَإِنَّهُ قَدْ يَعُودُ أَعْلَى هِمَّةً مِمَّا كَانَ، وَقَدْ يَكُونُ أَضْعَفَ هِمَّةً، وَقَدْ تَعُودُ هِمَّتُهُ كَمَا كَانَتْ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، إِمَّا صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ، فَهَذَا يَحْتَاجُ فِي عَوْدِهِ إِلَى دَرَجَتِهِ إِلَى تَوْبَةٍ نَصُوحٍ، وَإِنَابَةٍ صَادِقَةٍ.Maka pertanyaannya, kenaikan apa yang mampu menandingi kejatuhan sebesar ini?Kenyataannya, turun (ke bawah) adalah hal yang tak terpisahkan dari manusia.Namun, turunnya manusia berbeda-beda:1. Ada yang turunnya menuju kelalaian (ghaflah).Jika ia segera tersadar dari kelalaiannya, maka ia akan kembali ke derajatnya semula, bahkan bisa lebih tinggi, tergantung pada tingkat kesadarannya.2. Ada yang turunnya menuju hal-hal mubah (boleh), namun tanpa niat untuk menjadikannya sarana dalam ketaatan.Jika ia kembali kepada ketaatan, bisa jadi ia kembali ke derajatnya, atau tidak sampai ke sana lagi, bahkan bisa jadi lebih tinggi bila semangatnya tumbuh lebih besar dari sebelumnya. Namun terkadang semangatnya malah melemah, atau kembali seperti semula.3. Ada pula yang turunnya menuju maksiat, baik dosa kecil maupun dosa besar.Maka untuk kembali ke derajat semula, ia membutuhkan taubat yang tulus (taubah naṣūḥah) dan kembali yang sungguh-sungguh (inābah ṣādiqah) kepada Allah. Apakah Seorang yang Bertaubat Dapat Kembali ke Derajatnya Semula?وَاخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ يَعُودُ بَعْدَ التَّوْبَةِ إِلَى دَرَجَتِهِ الَّتِي كَانَ فِيهَا، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَتَمْحُو أَثَرَ الذَّنْبِ، وَتَجْعَلُ وَجُودَهُ كَعَدَمِهِ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ، أَوْ لَا يَعُودُ، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَ تَأْثِيرُهَا فِي إِسْقَاطِ الْعُقُوبَةِ، وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الَّتِي فَاتَتْهُ فَإِنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا.قَالُوا: وَتَقْرِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ كَانَ مُسْتَعِدًّا بِاشْتِغَالِهِ بِالطَّاعَةِ فِي الزَّمَنِ الَّذِي عَصَى فِيهِ لِصُعُودٍ آخَرَ وَارْتِقَاءٍ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ السَّالِفَةُ، بِمَنْزِلَةِ كَسْبِ الرَّجُلِ كُلَّ يَوْمٍ بِجُمْلَةِ مَالِهِ الَّذِي يَمْلِكُهُ، وَكُلَّمَا تَضَّاعَفَ الْمَالُ تَضَّاعَفَ الرِّبْحُ، فَقَدْ رَاحَ عَلَيْهِ فِي زَمَنِ الْمَعْصِيَةِ ارْتِفَاعٌ وَرِبْحٌ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ، فَإِذَا اسْتَأْنَفَ الْعَمَلَ اسْتَأْنَفَ صُعُودًا مِنْ نُزُولٍ، وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ صَاعِدًا مِنْ أَسْفَلَ إِلَى أَعْلَى، وَبَيْنَهُمَا بَوْنٌ عَظِيمٌ.قَالُوا: وَمَثَلُ ذَلِكَ رَجُلَانِ يَرْتَقِيَانِ فِي سُلَّمَيْنِ لَا نِهَايَةَ لَهُمَا، وَهُمَا سَوَاءٌ، فَنَزَلَ أَحَدُهُمَا إِلَى أَسْفَلَ، وَلَوْ دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الصُّعُودَ، فَإِنَّ الَّذِي لَمْ يَنْزِلْ يَعْلُو عَلَيْهِ وَلَا بُدَّ.Manusia berbeda pendapat mengenai apakah seseorang yang telah bertaubat dari dosa akan kembali ke derajatnya semula sebelum ia terjatuh dalam maksiat.Sebagian mengatakan:Ya, ia akan kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu menghapus dosa dan menjadikan dosa tersebut seolah-olah tidak pernah terjadi. Maka keadaan orang yang bertaubat sama seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali.Namun sebagian lain berpendapat:Tidak, ia tidak kembali ke derajat yang sama, sebab pengaruh taubat hanya menghapus hukuman atas dosa, sedangkan tingkatan (derajat) yang telah hilang akibat waktu yang terbuang untuk maksiat tidak bisa diraih kembali.Mereka menjelaskan:Seseorang yang dalam waktu itu seharusnya sibuk dengan ketaatan, berarti ia sedang mempersiapkan diri untuk naik ke derajat yang lebih tinggi, karena amal-amal sebelumnya mendukung kenaikan itu.Kondisinya seperti seorang pedagang yang setiap hari mengembangkan modalnya; semakin besar modal yang dimilikinya, semakin besar pula keuntungannya.Namun ketika ia terjatuh dalam maksiat, berarti ia kehilangan kesempatan untuk menambah modal dan keuntungan amal yang bisa mengangkatnya lebih tinggi.Maka, ketika ia mulai beramal kembali setelah taubat, sesungguhnya ia memulai perjalanan naik dari bawah, setelah sebelumnya sempat turun ke bawah.Padahal sebelumnya, sebelum bermaksiat, ia sedang naik dari bawah menuju puncak.Perbedaan antara keduanya sangat besar.Mereka menggambarkan hal itu dengan sebuah perumpamaan:Dua orang naik di dua tangga yang tidak berujung, keduanya sama-sama memulai dari tempat yang sama. Kemudian salah satunya turun satu anak tangga saja, lalu kembali naik lagi.Maka orang yang tidak pernah turun sama sekali, pasti akan lebih tinggi daripada orang yang sempat turun tadi, meskipun keduanya sama-sama terus naik. Hukum yang Adil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahوَحَكَمَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ بَيْنَ الطَّائِفَتَيْنِ حُكْمًا مَقْبُولًا فَقَالَ:التَّحْقِيقُ أَنَّ مِنَ التَّائِبِينَ مَنْ يَعُودُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مِنْ يَعُودُ إِلَى مِثْلِ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَصِلُ إِلَى دَرَجَتِهِ.قُلْتُ: وَهَذَا بِحَسْبِ قُوَّةِ التَّوْبَةِ وَكَمَالِهَا، وَمَا أَحْدَثَتْهُ الْمَعْصِيَةُ لِلْعَبْدِ مِنَ الذُّلِّ وَالْخُضُوعِ وَالْإِنَابَةِ، وَالْحَذَرِ وَالْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ، وَالْبُكَاءِ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ، فَقَدْ تَقْوَى هَذِهِ الْأُمُورُ، حَتَّى يَعُودَ التَّائِبُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَيَصِيرَ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِنْهُ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ، فَهَذَا قَدْ تَكُونُ الْخَطِيئَةُ فِي حَقِّهِ رَحْمَةً، فَإِنَّهَا نَفَتْ عَنْهُ دَاءَ الْعُجْبِ، وَخَلَّصَتْهُ مِنْ ثِقَتِهِ بِنَفْسِهِ وَإِدْلَالِهِ بِأَعْمَالِهِ، وَوَضَعَتْ خَدَّ ضَرَاعَتِهِ وَذُلَّهُ وَانْكِسَارَهُ عَلَى عَتَبَةِ بَابِ سَيِّدِهِ وَمَوْلَاهُ، وَعَرَّفَتْهُ قَدْرَهُ، وَأَشْهَدَتْهُ فَقْرَهُ وَضَرُورَتَهُ إِلَى حِفْظِ مَوْلَاهُ لَهُ، وَإِلَى عَفْوِهِ عَنْهُ وَمَغْفِرَتِهِ لَهُ، وَأَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ صَوْلَةَ الطَّاعَةِ، وَكَسَرَتْ أَنْفَهُ مِنْ أَنْ يَشْمَخَ بِهَا أَوْ يَتَكَبَّرَ بِهَا، أَوْ يَرَى نَفْسَهُ بِهَا خَيْرًا مِنْ غَيْرِهِ، وَأَوْقَفَتْهُ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ مَوْقِفَ الْخَطَّائِينَ الْمُذْنِبِينَ، نَاكِسَ الرَّأْسِ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ، مُسْتَحِيًا خَائِفًا مِنْهُ وَجِلًا، مُحْتَقِرًا لِطَاعَتِهِ مُسْتَعْظِمًا لِمَعْصِيَتِهِ، عَرَفَ نَفْسَهُ بِالنَّقْصِ وَالذَّمِّ. وَرَبُّهُ مُتَفَرِّدٌ بِالْكَمَالِ وَالْحَمْدِ وَالْوَفَاءِ كَمَا قِيلَ:اسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْ … دِ وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَافَأَيُّ نِعْمَةٍ وَصَلَتْ مِنَ اللَّهِ إِلَيْهِ اسْتَكْثَرَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَرَأَى نَفْسَهُ دُونَهَا وَلَمْ يَرَهَا أَهْلًا، وَأَيُّ نِقْمَةٍ أَوْ بَلِيَّةٍ وَصَلَتْ إِلَيْهِ رَأَى نَفْسَهُ أَهْلًا لِمَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْهَا، وَرَأَى مَوْلَاهُ قَدْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ، إِذْ لَمْ يُعَاقِبْهُ عَلَى قَدْرِ جُرْمِهِ وَلَا شَطْرِهِ، وَلَا أَدْنَى جُزْءٍ مِنْهُ.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh memberikan penjelasan yang adil dan bijak di antara dua pendapat ulama tentang apakah orang yang bertaubat bisa kembali ke derajatnya semula atau tidak.Beliau berkata:“Kebenarannya adalah: di antara orang-orang yang bertaubat, ada yang kembali ke derajat yang lebih tinggi dari sebelumnya, ada yang kembali ke derajat yang sama, dan ada pula yang tidak dapat mencapai derajat lamanya.”Aku (Ibnul Qayyim) berkata: Hal ini tergantung pada kekuatan dan kesempurnaan taubat seseorang, serta sejauh mana dosa itu menimbulkan efek kerendahan, ketundukan, ketakutan, dan kepasrahan kepada Allah.Jika setelah dosa itu, muncul dalam dirinya rasa takut kepada Allah, air mata karena takut kepada-Nya, kerendahan hati, dan penyesalan yang mendalam, maka bisa jadi hal-hal itu justru mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi daripada sebelum ia berbuat dosa.Dalam keadaan seperti ini, dosa yang dahulu ia lakukan berubah menjadi sebab rahmat baginya.Sebab dosa itu telah menghapus penyakit ujub (merasa bangga dengan diri sendiri), membebaskannya dari ketergantungan pada amalnya, dan menundukkan dirinya di hadapan Allah.Ia kini menundukkan wajahnya penuh kehinaan dan kerendahan di pintu Tuhannya,ia kini mengenal hakikat dirinya,ia kini menyadari betapa besar kebutuhannya kepada perlindungan, ampunan, dan rahmat Allah.Dosa itu telah mengeluarkan dari hatinya kesombongan karena ketaatan, menghancurkan rasa tinggi diri yang bisa muncul dari amal, dan menghalanginya untuk membanggakan amalnya atau merasa lebih baik dari orang lain.Kini ia berdiri di hadapan Rabb-nya seperti seorang hamba yang berdosa dan bersalah, menundukkan kepala, malu, takut, dan gentar.Ia meremehkan amalnya sendiri, namun mengagungkan dosanya, karena menyadari kekurangannya dan kehinaannya di hadapan Allah.Sedangkan Rabb-nya, Dialah satu-satunya yang sempurna dalam sifat, terpuji dalam segala keadaan, dan setia terhadap janji-Nya.Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:اِسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْدِ … وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَا“Allah-lah yang berhak atas kesempurnaan dan pujian, sementara manusia hanyalah layak untuk disalahkan.”Maka, setiap nikmat yang datang kepadanya dari Allah, ia pandang sebagai karunia besar yang tidak pantas ia terima. Ia merasa dirinya tak layak mendapatkannya, bahkan merasa lebih kecil dari nikmat itu sendiri.Dan setiap musibah atau cobaan yang menimpanya, ia merasa dirinya pantas untuk mendapatkan yang lebih berat lagi, karena menyadari betapa banyak kesalahannya.Ia pun melihat bahwa Tuhannya telah berbuat baik kepadanya, karena tidak menghukumnya sebanding dengan dosanya, bahkan tidak setengahnya, bahkan tidak sebesar satu bagian terkecil pun darinya. Dosa Seharusnya Mengguncang Langit dan Bumiفَإِنَّ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لَا تَحْمِلُهُ الْجِبَالُ الرَّاسِيَاتُ، فَضْلًا عَنْ هَذَا الْعَبْدِ الضَّعِيفِ الْعَاجِزِ، فَإِنَّ الذَّنْبَ وَإِنْ صَغُرَ، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعَظِيمِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَعْظَمُ مِنْهُ، الْكَبِيرِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَكْبَرُ مِنْهُ، الْجَلِيلِ الَّذِي لَا أَجَلَّ مِنْهُ وَلَا أَجْمَلَ، الْمُنْعِمِ بِجَمِيعِ أَصْنَافِ النِّعَمِ دَقِيقِهَا وَجُلِّهَا – مِنْ أَقْبَحِ الْأُمُورِ وَأَفْظَعِهَا وَأَشْنَعِهَا، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعُظَمَاءِ وَالْأَجِلَّاءِ وَسَادَاتِ النَّاسِ بِمِثْلِ ذَلِكَ يَسْتَقْبِحُهُ كُلُّ أَحَدٍ مُؤْمِنٌ وَكَافِرٌ. وَأَرْذَلُ النَّاسِ وَأَسْقَطُهُمْ مُرُوءَةً مَنْ قَابَلَهُمْ بِالرَّذَائِلِ، فَكَيْفَ بِعَظِيمِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمَلِكِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَإِلَهِ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ؟ وَلَوْلَا أَنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، وَمَغْفِرَتَهُ سَبَقَتْ عُقُوبَتَهُ، وَإِلَّا لَتَدَكْدَكَتِ الْأَرْضُ بِمَنْ قَابَلَهُ بِمَا لَا يَلِيقُ مُقَابَلَتُهُ بِهِ، وَلَوْلَا حِلْمُهُ وَمَغْفِرَتُهُ لَزُلْزِلَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ مِنْ مَعَاصِي الْعِبَادِ، قَالَ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ٤١] .فَتَأَمَّلْ خَتْمَ هَذِهِ الْآيَةِ بِاسْمَيْنِ مِنْ أَسْمَائِهِ، وَهُمَا: ” الْحَلِيمُ، وَالْغَفُورُ ” كَيْفَ تَجِدُ تَحْتَ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْلَا حِلْمُهُ عَنِ الْجُنَاةِ وَمَغْفِرَتُهُ لِلْعُصَاةِ لَمَا اسْتَقَرَّتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ؟وَقَدْ أَخْبَرَ سُبْحَانَهُ عَنْ كُفْرِ بَعْضِ عِبَادِهِ أَنَّهُ: {تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٩٠] .Sesungguhnya hukuman yang pantas diterima oleh seorang hamba atas dosanya, seandainya ditimpakan sepenuhnya, tidak akan mampu ditanggung bahkan oleh gunung-gunung yang kokoh, apalagi oleh manusia yang lemah dan tak berdaya.Karena setiap dosa, sekecil apa pun, hakikatnya adalah pelanggaran terhadap Dzat yang Mahaagung, Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang lebih besar daripada-Nya, yang tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dan lebih indah daripada-Nya, dan yang telah melimpahkan seluruh nikmat, baik kecil maupun besar kepada hamba-Nya. Maka, membalas kebaikan Sang Pemberi Nikmat dengan perbuatan dosa adalah sesuatu yang sangat keji, mengerikan, dan tercela.Bahkan jika seseorang memperlakukan raja atau orang mulia di antara manusia dengan cara demikian, niscaya semua orang — baik mukmin maupun kafir — akan memandangnya sebagai perbuatan yang hina.Apalagi jika itu dilakukan terhadap Raja langit dan bumi, Tuhan seluruh makhluk, Penguasa segala alam — maka betapa besarnya keburukan perbuatan tersebut!Seandainya rahmat Allah tidak mendahului murka-Nya, dan ampunan-Nya tidak mendahului hukuman-Nya, niscaya bumi akan hancur luluh karena perbuatan manusia yang berani menentang Allah.Dan seandainya bukan karena kesabaran dan ampunan-Nya, niscaya langit dan bumi telah berguncang hebat karena dosa-dosa para hamba.Allah Ta‘ālā berfirman:إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Dan sungguh, jika keduanya benar-benar lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāṭir: 41)Perhatikan bagaimana ayat ini diakhiri dengan dua nama Allah: Al-Ḥalīm (Maha Penyantun) dan Al-Ghafūr (Maha Pengampun).Di balik dua nama ini terkandung makna mendalam:Seandainya bukan karena kesantunan Allah terhadap para pelaku dosa, dan ampunan-Nya terhadap para pendosa, niscaya langit dan bumi tidak akan bisa bertahan karena banyaknya maksiat manusia.Allah juga berfirman tentang kekafiran sebagian hamba-Nya:تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا“Hampir saja langit pecah karenanya, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping.” (QS. Maryam: 90)وَقَدْ أَخْرَجَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَاهُ وَخَالَفَا فِيهِ نَهْيَهُ، وَلَعَنَ إِبْلِيسَ وَطَرَدَهُ وَأَخْرَجَهُ مِنْ مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَهُ وَخَالَفَ فِيهِ أَمْرَهُ، وَنَحْنُ مَعَاشِرُ الْحَمْقَى كَمَا قِيلَ:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِوَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِوَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَكُونُ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ وَأَرْفَعَ دَرَجَةً، وَقَدْ تُضْعِفُ الْخَطِيئَةُ هِمَّتَهُ وَتُوهِنُ عَزْمَهُ، وَتُمْرِضُ قَلْبَهُ، فَلَا يَقْوَى دَوَاءُ التَّوْبَةِ عَلَى إِعَادَتِهِ إِلَى الصِّحَّةِ الْأَوْلَى، فَلَا يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ يَزُولُ الْمَرَضُ بِحَيْثُ تَعُودُ الصِّحَّةُ كَمَا كَانَتْ وَيَعُودُ إِلَى مِثْلِ عَمَلِهِ، فَيَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ.هَذَا كُلُّهُ إِذَا كَانَ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، فَإِنْ كَانَ نُزُولُهُ إِلَى أَمْرٍ يَقْدَحُ فِي أَصْلِ إِيمَانِهِ، مِثْلِ الشُّكُوكِ وَالرِّيَبِ وَالنِّفَاقِ، فَذَاكَ نُزُولٌ لَا يُرْجَى لِصَاحِبِهِ صُعُودٌ إِلَّا بِتَجْدِيدِ إِسْلَامِهِ.Bayangkan — Adam dan Hawa telah dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa, yaitu melanggar larangan Allah.Iblis pun dilaknat dan diusir dari kerajaan langit hanya karena satu kesalahan, yakni enggan tunduk kepada perintah Allah.Namun kita, manusia yang dungu ini — sebagaimana dikatakan seorang penyair:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِ“Kita sambung satu dosa dengan dosa yang lain,tapi berharap derajat surga penuh kenikmatan yang abadi!”وَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِ“Padahal kita tahu, Allah telah mengeluarkan kedua orang tua kita dari kerajaan surga yang tinggi, hanya karena satu dosa.”Maka, tujuan dari semua ini adalah agar kita menyadari:Seorang hamba, setelah bertaubat, bisa jadi menjadi lebih baik daripada sebelum berbuat dosa, bahkan mencapai derajat yang lebih tinggi.Namun, bisa juga dosa itu melemahkan semangatnya, melemahkan tekadnya, dan menyakitkan hatinya, sehingga obat taubat tidak cukup kuat untuk memulihkannya ke keadaan semula. Maka ia tidak kembali ke derajat lamanya.Ada pula yang penyakit dosanya benar-benar sembuh, hingga ia kembali sehat sebagaimana semula dan mampu beramal seperti sebelumnya, maka ia pun kembali ke derajatnya yang dulu.Semua ini berlaku bila kejatuhannya adalah ke dalam maksiat. Namun jika turunnya seseorang adalah kepada hal-hal yang merusak akar keimanan, seperti keraguan, kemunafikan, atau kebimbangan dalam iman, maka itu adalah kejatuhan yang sangat berbahaya — ia tidak akan bisa naik kembali, kecuali dengan memperbarui keislamannya secara sungguh-sungguh. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin BeraniIbnul Qayyim rahimahullah berkata, فَصْلٌ الْمَعَاصِي تُجَرِّئُ عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْدَاءَهُ وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُجَرِّئُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَكُنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ مِنْ أَصْنَافِ الْمَخْلُوقَاتِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينَ بِالْأَذَى وَالْإِغْوَاءِ وَالْوَسْوَسَةِ وَالتَّخْوِيفِ وَالتَّحْزِينِ، وَإِنْسَائِهِ مَا بِهِ مَصْلَحَتُهُ فِي ذِكْرِهِ، وَمَضَرَّتُهُ فِي نِسْيَانِهِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينُ حَتَّى تَؤُزَّهُ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَزًّا. وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ شَيَاطِينُ الْإِنْسِ بِمَا تَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَذَى فِي غَيْبَتِهِ وَحُضُورِهِ، وَيَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَهْلُهُ وَخَدَمُهُ وَأَوْلَادُهُ وَجِيرَانُهُ حَتَّى الْحَيَوَانُ الْبَهِيمُ.Termasuk di antara hukuman akibat maksiat adalah bahwa maksiat menjadikan makhluk lain berani kepada seseorang, yang sebelumnya tidak akan berani mengganggunya.Akibatnya, setan menjadi berani mengganggunya — dengan cara menyakitinya, menyesatkannya, membisikkan waswas, menakut-nakuti, dan membuatnya bersedih. Setan juga membuatnya lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat baginya jika diingat, dan mengingat hal-hal yang justru membahayakannya.Akhirnya, setan terus menggoda dan menyeretnya ke dalam maksiat kepada Allah dengan dorongan yang kuat.Demikian pula, setan dari kalangan manusia menjadi berani mengganggunya — baik ketika ia hadir maupun tidak hadir — dengan segala bentuk gangguan yang mampu mereka lakukan.Bahkan keluarganya sendiri, para pelayan, anak-anak, dan tetangganya pun berani kepadanya, hingga hewan tunggangan atau binatang peliharaannya ikut berani melawannya.قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَعْرِفُ ذَلِكَ فِي خُلُقِ امْرَأَتِي وَدَابَّتِي. وَكَذَلِكَ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَوْلِيَاءُ الْأَمْرِ بِالْعُقُوبَةِ الَّتِي إِنْ عَدَلُوا فِيهَا أَقَامُوا عَلَيْهِ حُدُودَ اللَّهِ، وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ نَفْسُهُ فَتَتَأَسَّدُ عَلَيْهِ وَتَصْعُبُ عَلَيْهِ، فَلَوْ أَرَادَهَا لِخَيْرٍ لَمْ تُطَاوِعْهُ وَلَمْ تَنْقَدْ لَهُ، وَتَسُوقُهُ إِلَى مَا فِيهِ هَلَاكُهُ، شَاءَ أَمْ أَبِي. وَذَلِكَ لِأَنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الَّذِي مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ، فَإِذَا فَارَقَ الْحِصْنَ اجْتَرَأَ عَلَيْهِ قُطَّاعُ الطَّرِيقِ وَغَيْرُهُمْ، وَعَلَى حَسَبِ اجْتِرَائِهِ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ يَكُونُ اجْتِرَاءُ هَذِهِ الْآفَاتِ وَالنُّفُوسِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ يَرُدُّ عَنْهُ. فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَطَاعَتَهُ وَالصَّدَقَةَ وَإِرْشَادَ الْجَاهِلِ، وَالْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ – وِقَايَةٌ تَرُدُّ عَنِ الْعَبْدِ، بِمَنْزِلَةِ الْقُوَّةِ الَّتِي تَرُدُّ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا سَقَطَتِ الْقُوَّةُ غَلَبَ وَارِدُ الْمَرَضِ فَكَانَ الْهَلَاكُ، فَلَابُدَّ لِلْعَبْدِ مِنْ شَيْءٍ يَرُدُّ عَنْهُ، فَإِنَّ مُوجِبَ السَّيِّئَاتِ وَالْحَسَنَاتِ تَتَدَافَعُ وَيَكُونُ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ كَمَا تَقَدَّمَ، وَكُلَّمَا قَوِيَ جَانِبُ الْحَسَنَاتِ كَانَ الرَّدُّ أَقْوَى كَمَا تَقَدَّمَ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، فَبِحَسَبِ قُوَّةِ الْإِيمَانِ يَكُونُ الدَّفْعُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Sebagian salaf berkata, “Sungguh, aku pernah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan akibatnya pada akhlak istriku dan pada hewan tungganganku.”Begitu juga para penguasa menjadi berani menimpakan hukuman kepadanya; jika mereka bersikap adil, tentu mereka hanya menegakkan hukuman dari Allah atas dirinya.Bahkan dirinya sendiri menjadi berani melawannya — jiwanya menjadi liar dan sulit dikendalikan. Ketika ia mengajaknya kepada kebaikan, jiwanya enggan taat dan tidak mau tunduk. Namun, justru ia menyeret dirinya kepada sesuatu yang membinasakan, entah ia mau atau tidak mau.Hal itu terjadi karena ketaatan adalah benteng Allah Ta‘ālā.Barang siapa masuk ke dalam benteng itu, ia akan aman.Namun, jika seseorang keluar dari benteng tersebut, maka para perampok dan musuh akan berani menyerangnya.Seberapa besar seseorang berani bermaksiat kepada Allah, sebesar itu pula makhluk lain akan berani mengganggunya.Dan ia tidak memiliki pelindung apa pun yang bisa menolak bahaya tersebut.Sesungguhnya zikir kepada Allah, ketaatan, sedekah, mengajar orang yang tidak tahu, amar makruf nahi mungkar — semuanya adalah perisai yang melindungi hamba dari gangguan, sebagaimana kekuatan tubuh yang melawan dan menolak penyakit.Jika kekuatan itu hilang, maka penyakit akan menang dan menyebabkan kehancuran.Begitu pula, hati manusia memerlukan sesuatu yang menolak keburukan dari dirinya.Karena dampak buruk dan baik selalu saling menolak; yang menang adalah yang lebih kuat.Semakin kuat amal saleh dan kebaikan seseorang, semakin kuat pula pertahanan dan perlindungan Allah baginya.Sebagaimana firman Allah:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ḥajj: 38)Dan iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan.Maka, sesuai dengan kadar kekuatan iman seseorang, sebesar itu pula Allah akan menolak bahaya dari dirinya. Allah-lah tempat meminta pertolongan. Masih bersambung insya Allah. – Diupdate pada Rabu, 23 Rabiul Akhir 1447 H, 15 Oktober 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs


Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.  Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utang 1.34. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.35. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.36. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing 1.37. 36. Maksiat Merusak Hati 1.38. 37. Maksiat Memadamkan Cahaya Hati 1.39. 38. Dosa Mengecilkan Jiwa 1.40. 39. Maksiat Membuat Seseorang Terpenjara 1.41. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan Manusia 1.42. 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar Buruk 1.43. 42. Maksiat Melemahkan Akal 1.44. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan Allah 1.45. 44. Maksiat Menghapus Keberkahan 1.46. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin) 1.47. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin Berani Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82) Berbagai Dampak Buruk Dosa dan MaksiatMaksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:1. Maksiat menghalangi masuknya ilmuIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيوَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِيImam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84) 2. Maksiat menghalangi datangnya rezekiDari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِTakwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِوَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baikIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.Sebagian ulama salaf pernah berkata,إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85) 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulitIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86) 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuhIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86) 8. Maksiat menghalangi dari ketaatanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umurIbnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88) 10. Dosa Melahirkan Dosa LainIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89) 11. Maksiat itu Melemahkan HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89) 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap MaksiatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90) 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat TerdahuluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinarوَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diriوَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91) 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan DosanyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) 16. Dosa Berdampak pada Makhluk LainnyaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92) 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan KemuliaanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَاوَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَاوَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:“Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,ulama buruk, dan para rahibnya?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92) 18. Maksiat Merusak AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93) 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalaiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93) 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ.وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُوَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ. وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِوَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para MalaikatIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96) 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiatIbnul Qayyim rahimahullah mengatakan,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.Rasulullah ﷺ melanjutkan:“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. وَأَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ الْعُرَاةُ الَّذِينَ هُمْ فِي مِثْلِ بِنَاءِ التَّنُّورِ، فَإِنَّهُمُ الزُّنَاةُ وَالزَّوَانِي.وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِي النَّهْرِ وَيُلْقَمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا.وَأَمَّا الرَّجُلُ الْكَرِيهُ الْمَنْظَرِ الَّذِي عِنْدَ النَّارِ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، فَإِنَّهُ مَالِكٌ خَازِنُ جَهَنَّمَ.وَأَمَّا الرَّجُلُ الطَّوِيلُ الَّذِي فِي الرَّوْضَةِ، فَإِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ.وَأَمَّا الْوِلْدَانُ الَّذِينَ حَوْلَهُ، فَكُلُّ مَوْلُودٍ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ – وَفِي رِوَايَةِ الْبَرْقَانِيِّ: وُلِدَ عَلَى الْفِطْرَةِ – فَقَالَ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ:يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ.وَأَمَّا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَانُوا شَطْرٌ مِنْهُمْ حَسَنٌ وَشَطْرٌ مِنْهُمْ قَبِيحٌ، فَإِنَّهُمْ قَوْمٌ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا تَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُمْ.»“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’Beliau ﷺ melanjutkan:“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’Kemudian mereka menjelaskan:Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.(HR. Bukhari, no. 6640) 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).”وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105. Catatan:Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu 27. Maksiat Menghilangkan Rasa MaluIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”Hadits ini memiliki dua tafsiran:Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌوَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُوَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107. Catatan:Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.Bagaimana memupuk sifat malu?Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata,الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh AllahImam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُوَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِفَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَDi antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri. 30. Dosa Membuat Hilangnya IhsanIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ.Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya.Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.”Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan LuputIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38).Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya.Di antara keutamaan tersebut adalah:Pahala besar:وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا“Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman,الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا“(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7)Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman,اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا“Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257)Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka:إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12)Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan:وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ“Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8)Kebersamaan Allah dengan mereka:وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ“Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19)Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat:يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka.Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan:فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48)Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali.Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ“Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44)Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin?Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.” 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam AkhiratIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ.فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ.وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ.وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ.وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ.Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya.Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu:“(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.”Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan:– Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn).– Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal).– Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl).– Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal).وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ.Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya:Kesusahan yang beratKegagalan dan kesengsaraanKetetapan takdir yang burukKegembiraan musuh atas penderitaan kitaBahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.Doa terkait bahasan ini yang bisa diamalkan adalah:Doa ketika menghadapi kegundahan dan terlilit utangاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL HAMMI WAL HAZAN, WAL ‘AJZI WAL KASAL, WAL BUKHLI WAL JUBN, WA DHOLA’ID DAYN WA GHOLABATIR RIJAALArtinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekikiran dan sifat pengecut, dari beban utang dan tekanan orang lain. (HR. Abu Daud, no. 1555. Hadits ini dinyatakan sanadnya itu dhaif oleh Al-Hafizh Abu Thahir). 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan BencanaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ.Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa.Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata,مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ“Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.”Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an,وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30)Allah juga berfirman,ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53)فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ.فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ.Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal.وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ“Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.”Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan.Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya:إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman,وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.” 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ:“Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik.Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah.Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut.Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!”Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka.Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan TerasingIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ.“Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri.Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah).Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri.Sebagaimana dikatakan:“Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.”Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya.Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya.Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran.Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya. 36. Maksiat Merusak HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَصْرِفُ الْقَلْبَ عَنْ صِحَّتِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ إِلَى مَرَضِهِ وَانْحِرَافِهِ، فَلَا يَزَالُ مَرِيضًا مَعْلُولًا لَا يَنْتَفِعُ بِالْأَغْذِيَةِ الَّتِي بِهَا حَيَاتُهُ وَصَلَاحُهُ، فَإِنَّ تَأْثِيرَ الذُّنُوبِ فِي الْقُلُوبِ كَتَأْثِيرِ الْأَمْرَاضِ فِي الْأَبْدَانِ، بَلِ الذُّنُوبُ أَمْرَاضُ الْقُلُوبِ وَدَاؤُهَا، وَلَا دَوَاءَ لَهَا إِلَّا تَرْكُهَا.وَقَدْ أَجْمَعَ السَّائِرُونَ إِلَى اللَّهِ أَنَّ الْقُلُوبَ لَا تُعْطَى مُنَاهَا حَتَّى تَصِلَ إِلَى مَوْلَاهَا، وَلَا تَصِلُ إِلَى مَوْلَاهَا حَتَّى تَكُونَ صَحِيحَةً سَلِيمَةً، وَلَا تَكُونُ صَحِيحَةً سَلِيمَةً حَتَّى يَنْقَلِبَ دَاؤُهَا، فَيَصِيرَ نَفْسَ دَوَائِهَا، وَلَا يَصِحُّ لَهَا ذَلِكَ إِلَّا بِمُخَالَفَةِ هَوَاهَا، فَهَوَاهَا مَرَضُهَا، وَشِفَاؤُهَا مُخَالَفَتُهُ، فَإِنِ اسْتَحْكَمَ الْمَرَضُ قَتَلَ أَوْ كَادَ.وَكَمَا أَنَّ مَنْ نَهَى نَفْسَهُ عَنِ الْهَوَى كَانَتِ الْجَنَّةُ مَأْوَاهُ، فَكَذَا يَكُونُ قَلْبُهُ فِي هَذِهِ الدَّارِ فِي جَنَّةٍ عَاجِلَةٍ، لَا يُشْبِهُ نَعِيمُ أَهْلِهَا نَعِيمًا الْبَتَّةَ، بَلِ التَّفَاوُتُ الَّذِي بَيْنَ النَّعِيمَيْنِ، كَالتَّفَاوُتِ الَّذِي بَيْنَ نَعِيمِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُصَدِّقُ بِهِ إِلَّا مَنْ بَاشَرَ قَلْبُهُ هَذَا وَهَذَا.وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} [سُورَةُ الِانْفِطَارِ: ١٣ – ١٤] مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، وَانْقِطَاعِهِ عَنِ اللَّهِ، بِكُلِّ وَادٍ مِنْهُ شُعْبَةٌ؟ وَكُلُّ شَيْءٍ تَعَلَّقَ بِهِ وَأَحَبَّهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَسُومُهُ سُوءَ الْعَذَابِ.“Salah satu akibat paling berbahaya dari maksiat adalah kerusakan hati. Maksiat membuat hati menyimpang dari jalannya yang lurus dan sehat. Akibatnya, hati menjadi sakit, lemah, dan tidak mampu menerima “asupan” yang seharusnya menghidupkan dan memperbaikinya. Sebagaimana tubuh bisa sakit karena penyakit, hati pun bisa sakit karena dosa. Bahkan, dosa-dosa itu sendiri adalah penyakit hati yang paling mematikan—dan satu-satunya obat yang benar-benar manjur adalah meninggalkan maksiat itu sendiri.Baca juga: Taubat Nasuha: Syarat, Tanda Diterima, dan Bahaya Menunda TaubatPara penempuh jalan menuju Allah telah sepakat: hati tidak akan meraih kebahagiaan sejati kecuali setelah sampai kepada Tuhannya. Dan hati tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika ia dalam keadaan sehat dan selamat. Tapi hati tak akan pernah bisa sehat hingga penyakitnya berubah menjadi obat. Dan itu hanya terjadi jika seseorang menyelisihi hawa nafsunya. Karena hawa nafsu adalah sumber penyakit hati, dan obatnya adalah menolaknya. Jika penyakit itu dibiarkan dan mengakar, ia akan membunuh hati, atau setidaknya melumpuhkannya.Sebagaimana Allah berfirman:{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ}“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)Maka orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya akan hidup dalam kenikmatan surga, bahkan di dunia ini. Hatinya hidup dalam kebahagiaan yang tak tergambarkan, suatu kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan dunia mana pun. Perbedaan antara kebahagiaan hati orang yang taat dan kesenangan dunia biasa laksana perbedaan antara surga dan dunia. Dan hanya mereka yang pernah merasakannya yang bisa membenarkan hal ini.Jangan pernah mengira bahwa firman Allah Ta‘ala:{إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ}“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar: 13–14)… hanya berlaku di akhirat. Ayat ini berlaku di tiga alam: dunia, alam kubur (barzakh), dan alam akhirat. Mereka yang berbakti kepada Allah berada dalam kenikmatan di ketiga tempat itu. Dan mereka yang durhaka berada dalam siksaan sejak di dunia ini.Karena sejatinya, kenikmatan yang hakiki adalah kenikmatan hati. Dan azab yang paling menyakitkan adalah azab hati. Tak ada azab yang lebih berat daripada rasa takut, gelisah, sedih, dada sempit, berpaling dari Allah dan akhirat, hati yang terpaut pada selain Allah, dan terputus dari-Nya. Hati seperti itu tercerai-berai, penuh kerinduan yang tak tersampaikan, dan segala yang ia cintai selain Allah justru akan menyiksanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata pula,فَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا غَيْرَ اللَّهِ عُذِّبَ بِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي هَذِهِ الدَّارِ، فَهُوَ يُعَذَّبُ بِهِ قَبْلَ حُصُولِهِ حَتَّى يَحْصُلَ، فَإِذَا حَصَلَ عُذِّبَ بِهِ حَالَ حُصُولِهِ بِالْخَوْفِ مِنْ سَلْبِهِ وَفَوَاتِهِ، وَالتَّنْغِيصِ وَالتَّنْكِيدِ عَلَيْهِ، وَأَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الْمُعَارَضَاتِ، فَإِذَا سُلِبَهُ اشْتَدَّ عَلَيْهِ عَذَابُهُ، فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ مِنَ الْعَذَابِ فِي هَذِهِ الدَّارِSiapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah akan tersiksa karenanya tiga kali: sebelum memilikinya, ketika memilikinya, dan setelah kehilangannya. Sebelum mendapatkannya, ia tersiksa oleh ambisi dan harapan. Saat memilikinya, ia tersiksa oleh rasa takut kehilangan dan berbagai gangguan. Dan ketika kehilangan, ia menderita oleh kesedihan dan penyesalan. Inilah tiga bentuk siksa dunia.وَأَمَّا فِي الْبَرْزَخِ: فَعَذَابٌ يُقَارِنُهُ أَلَمُ الْفِرَاقِ الَّذِي لَا يَرْجُو عَوْدَةً وَأَلَمُ فَوَاتِ مَا فَاتَهُ مِنَ النَّعِيمِ الْعَظِيمِ بِاشْتِغَالِهِ بِضِدِّهِ، وَأَلَمُ الْحِجَابِ عَنِ اللَّهِ، وَأَلَمُ الْحَسْرَةِ الَّتِي تَقْطَعُ الْأَكْبَادَ، فَالْهَمُّ وَالْغَمُّ وَالْحُزْنُ تَعْمَلُ فِي نُفُوسِهِمْ نَظِيرَ مَا يَعْمَلُ الْهَوَامُّ وَالدِّيدَانُ فِي أَبْدَانِهِمْ، بَلْ عَمَلُهَا فِي النُّفُوسِ دَائِمٌ مُسْتَمِرٌّ، حَتَّى يَرُدَّهَا اللَّهُ إِلَى أَجْسَادِهَا، فَحِينَئِذٍ يَنْتَقِلُ الْعَذَابُ إِلَى نَوْعٍ هُوَ أَدْهَى وَأَمَرُّ، فَأَيْنَ هَذَا مِنْ نَعِيمِ مَنْ يَرْقُصُ قَلْبُهُ طَرَبًا وَفَرَحًا وَأُنْسًا بِرَبِّهِ، وَاشْتِيَاقًا إِلَيْهِ، وَارْتِيَاحًا بِحُبِّهِ، وَطُمَأْنِينَةً بِذِكْرِهِ؟ حَتَّى يَقُولَ بَعْضُهُمْ فِي حَالِ نَزْعِهِ: وَاطَرَبَاهُ.Adapun di alam barzakh, siksaan itu muncul dalam bentuk rasa sakit karena kehilangan, tanpa harapan untuk kembali. Rasa menyesal karena telah menyia-nyiakan kebahagiaan sejati demi hal yang bertentangan dengannya. Siksaan karena hijab yang memisahkannya dari Allah. Siksaan karena penyesalan mendalam yang melukai hati. Rasa sedih dan gelisah menggerogoti jiwa mereka sebagaimana belatung menggerogoti tubuh. Bahkan, siksaan batin itu terus berlanjut hingga ruh mereka dikembalikan ke jasad, lalu siksaan pun berlanjut ke level berikutnya yang lebih pedih dan dahsyat.Bandingkan semua itu dengan kenikmatan hati yang hidup dalam cinta, rindu, dan ketenangan karena Allah. Hati yang berbunga karena cinta kepada-Nya, damai dengan zikir kepada-Nya. Sampai ada di antara mereka yang ketika menjelang ajal berkata, “Waatharabaah!” (Betapa bahagianya!).وَيَقُولُ الْآخَرُ: مَسَاكِينُ أَهْلُ الدُّنْيَا، خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا لَذِيذَ الْعَيْشِ فِيهَا، وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا.وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ.وَيَقُولُ الْآخَرُ: إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الْآخِرَةِYang lain berkata, “Celakalah orang-orang dunia! Mereka pergi dari dunia ini tanpa pernah merasakan lezatnya hidup yang sesungguhnya.”Ada juga yang berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak raja tahu apa yang kami rasakan, mereka pasti akan merebutnya dengan pedang.”Ada pula yang berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Siapa yang belum pernah memasukinya, dia tidak akan masuk surga di akhirat.”فَيَا مَنْ بَاعَ حَظَّهُ الْغَالِي بِأَبْخَسِ الثَّمَنِ، وَغُبِنَ كُلَّ الْغَبْنِ فِي هَذَا الْعَقْدِ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ قَدْ غُبِنَ، إِذَا لَمْ يَكُنْ لَكَ خِبْرَةٌ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ فَسَلِ الْمُقَوِّمِينَ، فَيَا عَجَبًا مِنْ بِضَاعَةٍ مَعَكَ اللَّهُ مُشْتَرِيهَا وَثَمَنُهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى، وَالسَّفِيرُ الَّذِي جَرَى عَلَى يَدِهِ عَقْدُ التَّبَايُعِ وَضَمِنَ الثَّمَنَ عَنِ الْمُشْتَرِي هُوَ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَدْ بِعْتَهَا بِغَايَةِ الْهَوَانِ، كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:إِذَا كَانَ هَذَا فِعْلُ عَبْدٍ بِنَفْسِهِ … فَمَنْ ذَا لَهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ يُكْرِمُ{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] .Maka wahai orang yang menukar bagian paling berharganya dengan harga paling murah! Sungguh engkau telah merugi dengan kerugian besar, dan tragisnya: engkau tahu bahwa engkau rugi, tapi tetap melakukannya.Kalau engkau tak tahu betapa berharganya barang dagangan ini, tanyalah kepada mereka yang tahu. Heran sungguh, ada seseorang menjual dirinya kepada Allah—Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemurah—dan Allah telah menetapkan harga yang tinggi: Surga. Dan utusan-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, menjadi perantara yang menjamin kesepakatan jual beli itu. Tapi engkau menukarnya dengan sesuatu yang paling hina.Sebagaimana kata seorang penyair: “Jika ini perbuatan seorang hamba terhadap dirinya sendiri, maka siapa lagi yang akan memuliakannya setelah itu?”Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}“Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 37. Maksiat Memadamkan Cahaya HatiIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُعْمِي بَصِيرَةَ الْقَلْبِ، وَتَطْمِسُ نُورَهُ، وَتَسُدُّ طُرُقَ الْعِلْمِ، وَتَحْجُبُ مَوَادَّ الْهِدَايَةِ.وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ لِلشَّافِعِيِّ لَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ وَرَأَى تِلْكَ الْمَخَايِلَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِDi antara hukuman dari dosa adalah: ia membutakan mata hati, memadamkan cahaya yang ada di dalamnya, menutup jalan menuju ilmu, dan menghalangi saluran-saluran datangnya hidayah.Imam Mālik pernah berkata kepada Imam Asy-Syāfi‘ī ketika bertemu dengannya dan melihat tanda-tanda keistimewaan pada dirinya,“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah Ta‘ālā telah meletakkan cahaya dalam hatimu. Maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”وَلَا يَزَالُ هَذَا النُّورُ يَضْعُفُ وَيَضْمَحِلُّ، وَظَلَامُ الْمَعْصِيَةِ يَقْوَى حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ فِي مِثْلِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ، فَكَمْ مِنْ مُهْلَكٍ يَسْقُطُ فِيهِ وَلَا يُبْصِرُ، كَأَعْمَى خَرَجَ بِاللَّيْلِ فِي طَرِيقٍ ذَاتِ مَهَالِكِ وَمَعَاطِبَ، فَيَا عِزَّةَ السَّلَامَةِ وَيَا سُرْعَةَ الْعَطَبِ، ثُمَّ تَقْوَى تِلْكَ الظُّلُمَاتُ، وَتَفِيضُ مِنَ الْقَلْبِ إِلَى الْجَوَارِحِ، فَيَغْشَى الْوَجْهَ مِنْهَا سَوَادٌ، بِحَسَبِ قُوَّتِهَا وَتَزَايُدِهَا، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ ظَهَرَتْ فِي الْبَرْزَخِ، فَامْتَلَأَ الْقَبْرُ ظُلْمَةً، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مُمْتَلِئَةٌ عَلَى أَهْلِهَا ظُلْمَةً، وَإِنَّ اللَّهَ يُنَوِّرُهَا بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»Cahaya itu akan terus melemah dan menghilang, sementara kegelapan maksiat semakin menguat, sampai akhirnya hati menjadi seperti malam yang pekat gulita. Berapa banyak orang binasa yang jatuh di dalamnya dan tidak bisa melihat sedikit pun, seperti orang buta yang keluar malam-malam menyusuri jalan penuh bahaya dan jebakan. Maka, betapa mahalnya keselamatan itu, dan betapa cepatnya kebinasaan menimpa.Kegelapan itu lalu menguat, merembes dari hati ke anggota tubuh, lalu menyelimuti wajah dengan warna kehitaman, sesuai dengan kadar kuat dan banyaknya maksiat. Ketika ajal menjemput, kegelapan itu akan tampak dalam alam barzakh. Kubur pun dipenuhi dengan kegelapan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Sesungguhnya kubur-kubur ini dipenuhi kegelapan atas para penghuninya, dan sungguh Allah meneranginya dengan doaku untuk mereka.” (HR. Muslim)فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْمَعَادِ، وَحُشِرَ الْعِبَادُ، عَلَتِ الظُّلْمَةُ الْوُجُوهَ عُلُوًّا ظَاهِرًا يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ، حَتَّى يَصِيرَ الْوَجْهُ أَسْوَدَ مِثْلَ الْحُمَمَةِ، فَيَالَهَا مِنْ عُقُوبَةٍ لَا تُوَازَنُ لَذَّاتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا، فَكَيْفَ بِقِسْطِ الْعَبْدِ الْمُنَغَّصِ الْمُنَكَّدِ الْمُتْعَبِ فِي زَمَنٍ إِنَّمَا هُوَ سَاعَةٌ مِنْ حُلْمٍ؟ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Kemudian, pada hari kebangkitan, saat seluruh hamba dikumpulkan, kegelapan itu naik menyelimuti wajah-wajah mereka secara jelas dan tampak oleh setiap orang. Wajah itu berubah menjadi hitam legam seperti bara api yang padam. Sungguh ini adalah hukuman yang tidak sebanding dengan semua kenikmatan dunia, dari awal sampai akhir. Maka bagaimana mungkin seseorang mau menukar semua itu hanya demi secuil bagian dunia yang pahit, penuh gangguan, penuh kesulitan—padahal dunia ini tak lebih dari sesaat mimpi?Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. 38. Dosa Mengecilkan JiwaIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُصَغِّرُ النَّفْسَ، وَتَقْمَعُهَا، وَتُدَسِّيهَا، وَتَحْقِرُهَا، حَتَّى تَكُونَ أَصْغَرَ كُلِّ شَيْءٍ وَأَحْقَرَهُ، كَمَا أَنَّ الطَّاعَةَ تُنَمِّيهَا وَتُزَكِّيهَا وَتُكَبِّرُهَا، قَالَ تَعَالَى: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا – وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} [سُورَةُ الشَّمْسِ: ٩ – ١٠] ، وَالْمَعْنَى قَدْ أَفْلَحَ مَنْ كَبَّرَهَا وَأَعْلَاهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ وَأَظْهَرَهَا، وَقَدْ خَسِرَ مَنْ أَخْفَاهَا وَحَقَّرَهَا وَصَغَّرَهَا بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ.وَأَصْلُ التَّدْسِيَةِ: الْإِخْفَاءُ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٥٩] .فَالْعَاصِي يَدُسُّ نَفْسَهُ فِي الْمَعْصِيَةِ، وَيُخْفِي مَكَانَهَا، يَتَوَارَى مِنَ الْخَلْقِ مِنْ سُوءِ مَا يَأْتِي بِهِ، وَقَدِ انْقَمَعَ عِنْدَ نَفْسِهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ اللَّهِ، وَانْقَمَعَ عِنْدَ الْخَلْقِ، فَالطَّاعَةُ وَالْبِرُّ تُكَبِّرُ النَّفْسَ وَتُعِزُّهَا وَتُعْلِيهَا، حَتَّى تَصِيرَ أَشْرَفَ شَيْءٍ وَأَكْبَرَهُ، وَأَزْكَاهُ وَأَعْلَاهُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَهِيَ أَذَلُّ شَيْءٍ وَأَحْقَرُهُ وَأَصْغَرُهُ لِلَّهِ تَعَالَى، وَبِهَذَا الذُّلِّ حَصَلَ لَهَا هَذَا الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَالنُّمُوُّ، فَمَا أَصْغَرَ النُّفُوسَ مِثْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَمَا كَبَّرَهَا وَشَرَّفَهَا وَرَفَعَهَا مِثْلُ طَاعَةِ اللَّهِ.Salah satu dampak buruk dari perbuatan dosa adalah membuat jiwa atau diri kita mengecil, tertekan, tersembunyi, dan terhina. Dosa membuat jiwa terasa begitu kecil dan tidak berharga, berbeda dengan ketaatan yang justru membersihkan, memurnikan, dan membesarkannya.Allah berfirman dalam surat Asy-Syams ayat 9-10:“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”Makna ayat ini adalah, orang yang membesarkan dan meninggikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah, dialah yang beruntung. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan, menghinakan, dan mengecilkan jiwanya dengan perbuatan maksiat, dialah yang merugi.Kata “tadsiyah” (mengotori atau menyembunyikan) pada dasarnya bermakna menyembunyikan sesuatu. Ini seperti yang Allah firmankan tentang orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dalam surat An-Nahl ayat 59: “atau menguburkannya ke dalam tanah.”Jadi, orang yang berbuat dosa sebenarnya sedang menyembunyikan dan menguburkan dirinya sendiri dalam maksiat. Ia bersembunyi dari manusia karena malu atas perbuatan buruknya. Ia merasa tertekan di hadapan dirinya sendiri, di hadapan Allah, dan di hadapan manusia.Sebaliknya, ketaatan dan kebaikan akan membesarkan, memuliakan, dan meninggikan jiwa. Ketaatan menjadikan jiwa sebagai sesuatu yang paling mulia, besar, suci, dan agung. Pada saat yang sama, jiwa itu menjadi sangat rendah hati, kecil, dan hina di hadapan Allah. Justru melalui kerendahan hati inilah, jiwa mendapatkan kemuliaan, kehormatan, dan pertumbuhan.Tak ada yang lebih mengecilkan jiwa daripada berbuat maksiat kepada Allah. Dan tak ada yang lebih membesarkan, memuliakan, dan mengangkat derajatnya selain ketaatan kepada-Nya. 39. Maksiat Membuat Seseorang TerpenjaraIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّ ٱلْعَاصِيَ دَائِمًا فِي أَسْرِ شَيْطَانِهِ، وَسِجْنِ شَهَوَاتِهِ، وَقُيُودِ هَوَاهُ، فَهُوَ أَسِيرٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ، وَلَا أَسِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ أَسِيرٍ أَسَرَهُ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ، وَلَا سِجْنَ أَضْيَقُ مِنْ سِجْنِ ٱلْهَوَى، وَلَا قَيْدَ أَصْعَبُ مِنْ قَيْدِ ٱلشَّهْوَةِ، فَكَيْفَ يَسِيرُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلدَّارِ ٱلْآخِرَةِ قَلْبٌ مَأْسُورٌ مَسْجُونٌ مُقَيَّدٌ؟ وَكَيْفَ يَخْطُو خُطْوَةً وَاحِدَةً؟“Salah satu hukuman dari dosa adalah bahwa pelakunya selalu menjadi tawanan setannya sendiri. Ia juga dipenjara oleh syahwatnya, dan dirantai oleh hawa nafsunya. Maka ia pun menjadi tawanan, tahanan, dan terikat. Tidak ada tawanan yang lebih buruk keadaannya daripada seseorang yang ditawan oleh musuh terbesarnya. Tidak ada penjara yang lebih sempit dari penjara hawa nafsu. Tidak ada belenggu yang lebih berat daripada belenggu syahwat.Lalu bagaimana mungkin hati yang terpenjara, tertawan, dan terbelenggu seperti itu bisa berjalan menuju Allah dan kampung akhirat? Bagaimana ia bisa melangkah walau hanya satu langkah?وَإِذَا قُيِّدَ ٱلْقَلْبُ طَرَقَتْهُ ٱلْآفَاتُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ بِحَسَبِ قُيُودِهِ، وَمَثَلُ ٱلْقَلْبِ مَثَلُ ٱلطَّائِرِ، كُلَّمَا عَلَا بَعُدَ عَنِ ٱلْآفَاتِ، وَكُلَّمَا نَزَلَ ٱسْتَوْحَشَتْهُ ٱلْآفَاتُ.وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱلشَّيْطَانُ ذِئْبُ ٱلْإِنْسَانِ»Ketika hati sudah dibelenggu, maka segala macam kerusakan dan penyakit akan menyerangnya dari segala arah, sesuai dengan seberapa berat belenggunya.Hati itu seperti burung: semakin tinggi ia terbang, semakin jauh ia dari marabahaya. Namun semakin rendah ia terbang, semakin mudah ia diserang oleh bahaya.Dalam sebuah hadits disebutkan:“Asy-syayṭānu ḏzi`bu al-insān”“Setan itu adalah serigala bagi manusia.”وَكَمَا أَنَّ ٱلشَّاةَ ٱلَّتِي لَا حَافِظَ لَهَا وَهِيَ بَيْنَ ٱلذِّئَابِ سَرِيعَةُ ٱلْعَطَبِ، فَكَذَا ٱلْعَبْدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ، فَذِئْبُهُ مُفْتَرِسُهُ وَلَا بُدَّ، وَإِنَّمَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَافِظٌ مِنَ ٱللَّهِ بِٱلتَّقْوَى، فَهِيَ وِقَايَةٌ وَجُنَّةٌ، حَصِينَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذِئْبِهِ، كَمَا هِيَ وِقَايَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عُقُوبَةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِSebagaimana seekor kambing yang tidak dijaga lalu berada di tengah-tengah serigala, maka ia cepat binasa, begitu pula hamba yang tidak mendapatkan penjagaan dari Allah—setannya pasti akan menerkamnya, tak ada jalan lain.Penjagaan dari Allah itu datang dengan takwa. Takwa adalah perisai dan benteng kuat yang melindungi antara dirinya dengan setannya, sebagaimana ia juga menjadi pelindung dari hukuman di dunia dan akhirat.وَكُلَّمَا كَانَتِ ٱلشَّاةُ أَقْرَبَ مِنَ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَسْلَمَ مِنَ ٱلذِّئْبِ، وَكُلَّمَا بَعُدَتْ عَنِ ٱلرَّاعِي كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى ٱلْهَلَاكِ، فَأَسْلَمُ مَا تَكُونُ ٱلشَّاةُ إِذَا قَرُبَتْ مِنَ ٱلرَّاعِي، وَإِنَّمَا يَأْخُذُ ٱلذِّئْبُ ٱلْقَاصِيَةَ مِنَ ٱلْغَنَمِ، وَهِيَ أَبْعَدُ مِنَ ٱلرَّاعِيSemakin dekat seekor kambing kepada gembalanya, maka semakin selamatlah ia dari serangan serigala. Sebaliknya, semakin jauh ia dari sang gembala, maka semakin dekatlah ia kepada kebinasaan. Kambing paling selamat adalah yang berada dekat dengan penggembalanya. Adapun kambing yang diambil oleh serigala adalah yang menyendiri, yang jauh dari kawanan dan jauh dari penjaga.وَأَصْلُ هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ ٱلْقَلْبَ كُلَّمَا كَانَ أَبْعَدَ مِنَ ٱللَّهِ كَانَتِ ٱلْآفَاتُ إِلَيْهِ أَسْرَعَ، وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنَ ٱللَّهِ بَعُدَتْ عَنْهُ ٱلْآفَاتُInti dari semua ini adalah bahwa semakin jauh hati dari Allah, maka semakin cepat ia diserang oleh penyakit dan bencana. Dan sebaliknya, semakin dekat hati kepada Allah, maka semakin aman ia dari segala penyakit hati.وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan. 40. Maksiat Membuat Kita Jatuh di Mata Allah dan ManusiaIbnul Qayyim rahimahullah berkataوَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: سُقُوطُ الْجَاهِ وَالْمَنْزِلَةِ وَالْكَرَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ، فَإِنَّ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ، وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَطْوَعُهُمْ لَهُ، وَعَلَى قَدْرِ طَاعَةِ الْعَبْدِ تَكُونُ لَهُ مَنْزِلَتُهُ عِنْدَهُ، فَإِذَا عَصَاهُ وَخَالَفَ أَمْرَهُ سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ، فَأَسْقَطَهُ مِنْ قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِذَا لَمْ يَبْقَ لَهُ جَاهٌ عِنْدَ الْخَلْقِ وَهَانَ عَلَيْهِمْ عَامَلُوهُ عَلَى حَسْبِ ذَلِكَ، فَعَاشَ بَيْنَهُمْ أَسْوَأَ عَيْشٍ خَامِلَ الذِّكْرِ،سَاقِطَ الْقَدْرِ، زَرِيَّ الْحَالِ، لَا حُرْمَةَ لَهُ وَلَا فَرَحَ لَهُ وَلَا سُرُورَ، فَإِنَّ خُمُولَ الذِّكْرِ وَسُقُوطَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَهُ كُلُّ غَمٍّ وَهَمٍّ وَحَزَنٍ، وَلَا سُرُورَ مَعَهُ وَلَا فَرَحَ، وَأَيْنَ هَذَا الْأَلَمُ مِنْ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ لَوْلَا سُكْرُ الشَّهْوَةِ؟“Salah satu akibat dari maksiat adalah hilangnya kehormatan, kedudukan, dan kemuliaan, baik di sisi Allah maupun di mata manusia. Sebab, makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Allah adalah mereka yang paling taat kepada-Nya. Maka, sebesar tingkat ketaatan seorang hamba, sebesar itulah derajatnya di sisi Allah.Jika ia bermaksiat dan melanggar perintah-Nya, maka ia akan jatuh dari pandangan Allah. Dan ketika Allah sudah menjatuhkannya, maka Allah pun akan menjatuhkannya dari hati para hamba-Nya. Jika tidak lagi punya wibawa di hadapan manusia dan tidak dihormati oleh mereka, maka mereka pun akan memperlakukannya sesuai dengan itu. Ia hidup di tengah-tengah mereka dengan keadaan paling buruk—tanpa nama yang harum, tanpa harga diri, dalam keadaan hina, tanpa kehormatan, tanpa kegembiraan dan kebahagiaan.Ketika nama seseorang tenggelam dan kehormatannya hancur, maka itu adalah sumber dari segala kesedihan, kecemasan, dan kesempitan hidup. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada lagi kebahagiaan dan kegembiraan. Lalu, di mana letak kenikmatan maksiat itu, jika bukan karena mabuknya syahwat?وَمِنْ أَعْظَمِ نِعَمِ اللَّهِ عَلَى الْعَبْدِ: أَنْ يَرْفَعَ لَهُ بَيْنَ الْعَالَمِينَ ذِكْرَهُ، وَيُعْلِي قَدْرَهُ، وَلِهَذَا خَصَّ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ مِنْ ذَلِكَ بِمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِمْ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ} [سُورَةُ ص ٤٥: – ٤٦] .أَيْ: خَصَصْنَاهُمْ بِخِصِّيصَةٍ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْجَمِيلُ الَّذِي يُذْكَرُونَ بِهِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، وَهُوَ لِسَانُ الصِّدْقِ الَّذِي سَأَلَهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَيْثُ قَالَ: {وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ} [سُورَةُ الشُّعَرَاءِ: ٨٤] .وَقَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ بَنِيهِ: {وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٥٠] .وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [سُورَةُ الشَّرْحِ: ٤] .Di antara nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah ketika Allah angkat namanya di tengah manusia dan tinggikan derajatnya. Karena itulah, Allah secara khusus memberikan keistimewaan ini kepada para nabi dan rasul-Nya dengan kadar yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Sebagaimana firman-Nya:﴿وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ – إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ﴾“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, orang-orang yang memiliki kekuatan dan pandangan yang tajam. Sesungguhnya Kami telah mengistimewakan mereka dengan keistimewaan yang khusus: yaitu peringatan tentang negeri akhirat.” (QS. Shād: 45–46)Maksudnya, Kami khususkan mereka dengan sesuatu yang istimewa, yakni nama harum dan kenangan baik yang mereka tinggalkan di dunia ini. Inilah yang disebut dengan lisān aṣ-ṣidq (nama baik yang jujur dan tulus), yang pernah diminta oleh Ibrahim ‘alaihis salam:﴿وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ﴾“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 84)Dan Allah juga berfirman tentang beliau dan anak-anaknya:﴿وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا﴾“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami, dan Kami jadikan untuk mereka sebutan yang baik dan luhur.” (QS. Maryam: 50)Kepada Nabi Muhammad ﷺ pun Allah berfirman:﴿وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ﴾“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu).” (QS. Asy-Syarḥ: 4)فَأَتْبَاعُ الرُّسُلِ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مِيرَاثِهِمْ مِنْ طَاعَتِهِمْ وَمُتَابَعَتِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ خَالَفَهُمْ فَإِنَّهُ بَعِيدٌ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ مُخَالَفَتِهِمْ وَمَعْصِيَتِهِمْ.Maka, para pengikut para rasul juga akan mendapatkan bagian dari kemuliaan ini, sesuai kadar warisan mereka dalam mengikuti dan menaati ajaran para nabi. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang dan menyelisihi mereka, maka ia akan dijauhkan dari kemuliaan tersebut, sebanding dengan kadar penyimpangan dan kedurhakaannya.Baca juga: Berbagai Macam Karomah Wali Allah dari Hadits Riyadhus Sholihin 41. Maksiat Menghilangkan Gelar-Gelar Baik, Mendapatkan Gelar-Gelar BurukIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْلُبُ صَاحِبَهَا أَسْمَاءَ الْمَدْحِ وَالشَّرَفِ، وَتَكْسُوهُ أَسْمَاءَ الذَّمِّ وَالصَّغَارِ، فَتَسْلُبُهُ اسْمَ الْمُؤْمِنِ، وَالْبَرِّ، وَالْمُحْسِنِ، وَالْمُتَّقِي، وَالْمُطِيعِ، وَالْمُنِيبِ، وَالْوَلِيِّ، وَالْوَرِعِ، وَالصَّالِحِ، وَالْعَابِدِ، وَالْخَائِفِ، وَالْأَوَّابِ، وَالطَّيِّبِ، وَالْمَرْضِيِّ وَنَحْوِهَا.Salah satu akibat dosa adalah ia akan merampas dari pelakunya gelar-gelar mulia dan terhormat, lalu menggantinya dengan gelar-gelar tercela dan hina.Dosa akan menghapus gelar “orang beriman, orang baik, orang dermawan, orang bertakwa, orang taat, orang yang kembali kepada Allah, wali Allah, orang wara’, orang saleh, ahli ibadah, orang yang takut kepada Allah, orang yang banyak bertaubat, orang baik lagi suci, dan orang yang diridhai”, serta gelar-gelar serupa lainnya.وَتَكْسُوهُ اسْمَ الْفَاجِرِ، وَالْعَاصِي، وَالْمُخَالِفِ، وَالْمُسِيءِ، وَالْمُفْسِدِ، وَالْخَبِيثِ، وَالْمَسْخُوطِ، وَالزَّانِي، وَالسَّارِقِ، وَالْقَاتِلِ، وَالْكَاذِبِ، وَالْخَائِنِ، وَاللُّوطِيِّ، وَقَاطِعِ الرَّحِمِ، وَالْغَادِرِ وَأَمْثَالِهَا.Sebaliknya, dosa akan memberinya gelar “orang fajir (bejat), pendosa, pembangkang, pelaku keburukan, perusak, orang jahat, orang yang dimurkai, pezina, pencuri, pembunuh, pendusta, pengkhianat, pelaku homoseksual, pemutus silaturahmi, pengkhianat janji”, dan gelar-gelar buruk lainnya.Baca juga: Apa Perbedaan Fusuk, Fajir, dan Maksiat?فَهَذِهِ أَسْمَاءُ الْفُسُوقِ وَ {بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [الحجرات: ١١] الَّذِي يُوجِبُ غَضَبَ الدَّيَّانِ، وَدُخُولَ النِّيرَانِ، وَعَيْشَ الْخِزْيِ وَالْهَوَانِ.Itulah sebutan-sebutan kefasikan, sebagaimana firman Allah:بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ} [سورة الحجرات: ١١]“Seburuk-buruk nama adalah fasik setelah (mendapatkan) iman.” (QS . Al-Hujurat: 11)Nama-nama ini mengundang kemurkaan Allah Yang Maha Mengadili, memasukkan ke dalam neraka, dan menjadikan hidup penuh kehinaan serta kerendahan.وَتِلْكَ أَسْمَاءٌ تُوجِبُ رِضَاءَ الرَّحْمَنِ، وَدُخُولَ الْجِنَانِ، وَتُوجِبُ شَرَفَ الْمُسَمَّى بِهَا عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الْإِنْسَانِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي عُقُوبَةِ الْمَعْصِيَةِ إِلَّا اسْتِحْقَاقُ تِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ نَاهٍ عَنْهَا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي ثَوَابِ الطَّاعَةِ إِلَّا الْفَوْزُ بِتِلْكَ الْأَسْمَاءِ وَمُوجِبَاتِهَا لَكَانَ فِي الْعَقْلِ آمِرٌ بِهَا، وَلَكِنْ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَى اللَّهُ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعَ، وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدَ، وَلَا مُبْعِدَ لِمَنْ قَرَّبَ، {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [الحج: ١٨]Sebaliknya, gelar-gelar kebaikan itulah yang mendatangkan ridha Allah Ar-Rahman, mengantarkan seseorang ke dalam surga, serta membuatnya mulia di atas seluruh manusia lain. Maka, seandainya tidak ada akibat dari maksiat selain mendapatkan gelar-gelar buruk itu, sudah cukup akal sehat melarang manusia dari dosa. Dan seandainya tidak ada pahala dari ketaatan selain memperoleh gelar-gelar mulia itu, sudah cukup akal sehat memerintahkan manusia untuk taat.Namun, hakikatnya tidak ada yang bisa mencegah apa yang Allah beri, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Allah tahan. Tidak ada yang bisa mendekatkan apa yang Allah jauhkan, dan tidak ada yang bisa menjauhkan siapa yang Allah dekatkan. Allah berfirman:وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [سورة الحج: ١٨]“Barang siapa dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18) 42. Maksiat Melemahkan AkalIbnul Qayyim rahimahullah berkata,وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُؤَثِّرُ بِالْخَاصَّةِ فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ، فَلَا تَجِدُ عَاقِلَيْنِ أَحَدُهُمَا مُطِيعٌ لِلَّهِ وَالْآخَرُ عَاصٍ، إِلَّا وَعَقْلُ الْمُطِيعِ مِنْهُمَا أَوْفَرُ وَأَكْمَلُ، وَفِكْرُهُ أَصَحُّ، وَرَأْيُهُ أَسَدُّ، وَالصَّوَابُ قَرِينُهُ. وَلِهَذَا تَجِدُ خِطَابَ الْقُرْآنِ إِنَّمَا هُوَ مَعَ أُولِي الْعُقُولِ وَالْأَلْبَابِ، كَقَوْلِهِ: {وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ١٩٧] ، وَقَوْلِهِ: {فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [سُورَةُ الْمَائِدَةِ: ١٠٠] ، وَقَوْلِهِ: {وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: ٢٦٩] ، وَنَظَائِرُ ذَلِكَ كَثِيرَةٌ.Salah satu hukuman dari perbuatan maksiat adalah dampaknya yang khusus menimpa akal, yaitu menyebabkan akal menjadi lemah. Tidak akan engkau jumpai dua orang yang sama-sama berakal—yang satu taat kepada Allah dan yang lain bermaksiat—melainkan akal orang yang taat pasti lebih sempurna, pikirannya lebih jernih, pandangannya lebih tepat, dan kebenaran senantiasa menjadi pendampingnya.Karena itu, Al-Qur’an banyak berbicara kepada orang-orang berakal, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ“Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian beruntung.” (QS. Al-Māidah: 100)وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ“Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)Dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya sangat banyak.وَكَيْفَ يَكُونُ عَاقِلًا وَافِرَ الْعَقْلِ مَنْ يَعْصِي مَنْ هُوَ فِي قَبْضَتِهِ وَفِي دَارِهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَرَاهُ وَيُشَاهِدُهُ فَيَعْصِيهِ وَهُوَ بِعَيْنِهِ غَيْرُ مُتَوَارٍ عَنْهُ، وَيَسْتَعِينُ بِنِعَمِهِ عَلَى مَسَاخِطِهِ، وَيَسْتَدْعِي كُلَّ وَقْتٍ غَضَبَهُ عَلَيْهِ، وَلَعْنَتَهُ لَهُ، وَإِبْعَادَهُ مِنْ قُرْبِهِ، وَطَرْدَهُ عَنْ بَابِهِ، وَإِعْرَاضَهُ عَنْهُ، وَخِذْلَانَهُ لَهُ، وَالتَّخْلِيَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَعَدُوِّهِ، وَسُقُوطَهُ مِنْ عَيْنِهِ، وَحِرْمَانَهُ رُوحَ رِضَاهُ وَحُبَّهُ، وَقُرَّةَ الْعَيْنِ بِقُرْبِهِ، وَالْفَوْزَ بِجِوَارِهِ، وَالنَّظَرَ إِلَى وَجْهِهِ فِي زُمُرَةِ أَوْلِيَائِهِ، إِلَى أَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ كَرَامَتِهِ أَهْلَ الطَّاعَةِ، وَأَضْعَافِ أَضْعَافِ ذَلِكَ مِنْ عُقُوبَةِ أَهْلِ الْمَعْصِيَةِBagaimana mungkin seseorang dianggap berakal sempurna sementara ia berani bermaksiat kepada Allah yang menggenggam dirinya, yang menguasai tempat tinggalnya, padahal ia tahu Allah melihatnya, menyaksikannya, namun tetap berani mendurhakai-Nya? Bahkan ia menggunakan nikmat Allah untuk melakukan hal-hal yang dimurkai-Nya. Ia pun senantiasa memanggil kemurkaan Allah, mengundang laknat-Nya, mengharapkan dijauhkan dari rahmat-Nya, ditolak dari pintu-Nya, berpaling dari-Nya, dilepaskan dari pertolongan-Nya, hingga akhirnya dibiarkan begitu saja bersama dirinya sendiri dan bersama musuhnya. Lebih dari itu, ia jatuh hina di hadapan Allah, terhalang dari merasakan keridhaan dan cinta-Nya, serta tidak memperoleh kesejukan hati karena dekat dengan-Nya, juga terhalang dari kemenangan untuk dapat memandang wajah-Nya di tengah para wali-Nya. Semua itu adalah bagian dari kenikmatan besar yang Allah berikan kepada orang-orang yang taat, sekaligus hukuman berat bagi orang-orang yang bermaksiat.فَأَيُّ عَقْلٍ لِمَنْ آثَرَ لَذَّةَ سَاعَةٍ أَوْ يَوْمٍ أَوْ دَهْرٍ، ثُمَّ تَنْقَضِي كَأَنَّهَا حُلْمٌ لَمْ يَكُنْ، عَلَى هَذَا النَّعِيمِ الْمُقِيمِ، وَالْفَوْزِ الْعَظِيمِ؟ بَلْ هُوَ سَعَادَةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَلَوْلَا الْعَقْلُ الَّذِي تَقُومُ بِهِ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ لَكَانَ بِمَنْزِلَةِ الْمَجَانِينِ، بَلْ قَدْ يَكُونُ الْمَجَانِينُ أَحْسَنَ حَالًا مِنْهُ وَأَسْلَمَ عَاقِبَةً، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.Lalu akal macam apa yang tersisa pada orang yang menukar kenikmatan abadi dengan kesenangan sesaat—sejam, sehari, atau setahun—yang segera hilang bagai mimpi yang tak pernah ada? Padahal ia rela melepas kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kemenangan agung di sisi Allah. Bahkan, seandainya bukan karena akal yang menjadi dasar tegaknya hujjah (pertanggungjawaban), niscaya ia setara dengan orang gila, bahkan bisa jadi orang gila lebih baik keadaannya dan lebih selamat akhir hidupnya dibanding dirinya.وَأَمَّا تَأْثِيرُهَا فِي نُقْصَانِ الْعَقْلِ الْمَعِيشِ، فَلَوْلَا الِاشْتِرَاكُ فِي هَذَا النُّقْصَانِ، لَظَهَرَ لِمُطِيعِنَا نُقْصَانُ عَقْلِ عَاصِينَا، وَلَكِنَّ الْجَائِحَةَ عَامَّةٌ، وَالْجُنُونَ فُنُونٌAdapun dampak maksiat dalam mengurangi akal praktis dalam kehidupan, maka seandainya tidak semua orang turut merasakannya, tentu orang-orang taat akan lebih jelas menyadari lemahnya akal para pelaku maksiat. Namun karena wabah ini bersifat umum, maka hilangnya akal pun bervariasi bentuknya.وَيَا عَجَبًا لَوْ صَحَّتِ الْعُقُولُ لَعَلِمَتْ أَنَّ طَرِيقَ تَحْصِيلِ اللَّذَّةِ وَالْفَرْحَةِ وَالسُّرُورِ وَطِيبِ الْعَيْشِ، إِنَّمَا هُوَ فِي رِضَاءِ مَنِ النَّعِيمُ كُلُّهُ فِي رِضَاهُ، وَالْأَلَمُ وَالْعَذَابُ كُلُّهُ فِي سُخْطِهِ وَغَضَبِهِ، فَفِي رِضَاهُ قُرَّةُ الْعُيُونِ، وَسُرُورُ النُّفُوسِ، وَحَيَاةُ الْقُلُوبِ، وَلَذَّةُ الْأَرْوَاحِ، وَطِيبُ الْحَيَاةِ، وَلَذَّةُ الْعَيْشِ، وَأَطْيَبُ النَّعِيمِ، وَمِمَّا لَوْ وُزِنَ مِنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ بِنَعِيمِ الدُّنْيَا لَمْ يَفِ بِهِ، بَلْ إِذَا حَصَلَ لِلْقَلْبِ مِنْ ذَلِكَ أَيْسَرُ نَصِيبٍ لَمْ يَرْضَ بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا عِوَضًا مِنْهُ،Sungguh mengherankan, andai akal benar-benar sehat, niscaya ia tahu bahwa jalan meraih kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, dan kehidupan yang baik hanyalah dengan meraih keridhaan Allah. Sebab seluruh kenikmatan terletak dalam keridhaan-Nya, dan seluruh azab serta penderitaan terletak dalam kemurkaan-Nya. Dalam keridhaan Allah terdapat kesejukan mata, kebahagiaan jiwa, kehidupan hati, kelapangan ruh, manisnya hidup, dan nikmat yang paling lezat. Jika dibandingkan dengan kesenangan dunia, meski hanya seberat satu butir debu saja, maka kenikmatan dunia tak sebanding dengannya. Bahkan jika hati telah memperoleh secuil bagian dari keridhaan Allah, ia tak akan rela menukarnya dengan seluruh isi dunia.وَمَعَ هَذَا فَهُوَ يَتَنَعَّمُ بِنَصِيبِهِ مِنَ الدُّنْيَا أَعْظَمَ مِنْ تَنَعُّمِ الْمُتْرَفِينَ فِيهَا، وَلَا يَشُوبُ تَنَعُّمَهُ بِذَلِكَ الْحَظِّ الْيَسِيرِ مَا يَشُوبُ تَنَعُّمَ الْمُتْرَفِينَ مِنَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ الْمُعَارِضَاتِ، بَلْ قَدْ حَصَلَ لَهُ عَلَى النَّعِيمَيْنِ وَهُوَ يَنْتَظِرُ نَعِيمَيْنِ آخَرَيْنِ أَعْظَمَ مِنْهُمَا، وَمَا يَحْصُلُ لَهُ فِي خِلَالِ ذَلِكَ مِنَ الْآلَامِ، فَالْأَمْرُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ} [سُورَةُ النِّسَاءِ: ١٠٤] .Orang yang memperoleh bagian ini, tetap bisa menikmati dunia dengan lebih nikmat daripada para pemburu dunia, namun tanpa diiringi kegelisahan, kesedihan, dan tekanan batin yang menyertai mereka. Ia meraih dua kenikmatan sekaligus, sementara ia menunggu dua kenikmatan lain yang lebih besar lagi di akhirat. Adapun rasa sakit atau musibah yang menimpanya di dunia, hal itu sebagaimana firman Allah Ta‘ala:إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ“Jika kalian menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit sebagaimana kalian menderita sakit. Namun kalian mengharapkan dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisā’: 104)فَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مَا أَنْقَصَ عَقْلَ مَنْ بَاعَ الدُّرَّ بِالْبَعْرِ، وَالْمِسْكَ بِالرَّجِيعِ، وَمُرَافَقَةَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ، بِمُرَافَقَةِ الَّذِينَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.Maka sungguh, tiada ilah yang berhak disembah selain Allah. Betapa rusaknya akal orang yang menukar mutiara dengan kotoran, menukar misk dengan kotoran busuk, menukar kebersamaan dengan para nabi, shiddīqīn, syuhadā’, dan orang-orang saleh—dengan kebersamaan bersama orang-orang yang dimurkai Allah, yang dilaknat, yang disediakan bagi mereka neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. 43. Dosa itu Memutus Hubungan dengan AllahIbnul Qayyim rahimahullah berkata:﴿وَمِنْ أَعْظَمِ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُوجِبُ الْقَطِيعَةَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَإِذَا وَقَعَتِ الْقَطِيعَةُ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، فَأَيُّ فَلَاحٍ، وَأَيُّ رَجَاءٍ، وَأَيُّ عَيْشٍ لِمَنِ انْقَطَعَتْ عَنْهُ أَسْبَابُ الْخَيْرِ، وَقَطَعَ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا غِنَى عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَلَا بَدَلَ لَهُ مِنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ عَنْهُ، وَاتَّصَلَتْ بِهِ أَسْبَابُ الشَّرِّ، وَوَصَلَ مَا بَيْنَهُ﴿وَبَيْنَ أَعْدَى عَدُوٍّ لَهُ: فَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَتَخَلَّى عَنْهُ وَلِيُّهُ؟ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا فِي هَذَا الِانْقِطَاعِ وَالِاتِّصَالِ مِنْ أَنْوَاعِ الْآلَامِ وَأَنْوَاعِ الْعَذَابِ.Salah satu hukuman terbesar dari dosa adalah terputusnya hubungan antara hamba dengan Rabbnya yang Mahasuci dan Mahatinggi. Ketika hubungan itu terputus, seluruh jalan menuju kebaikan pun ikut tertutup, sementara jalan keburukan terbuka lebar. Maka, apa lagi yang bisa diharapkan oleh seorang hamba jika kebaikan menjauh darinya, sedang ia memutus hubungan dengan Pelindung dan Penolongnya—Allah—yang tak bisa ia tinggalkan walau sekejap mata, yang tidak ada pengganti-Nya, dan tak ada yang bisa menjadi substitusi bagi-Nya? Sebaliknya, ia justru tersambung dengan jalan keburukan, menyerahkan dirinya kepada musuh paling berbahaya, hingga musuh itulah yang menguasainya, sementara Pelindung sejatinya meninggalkannya. Tiada seorang pun yang mampu memahami sepenuhnya derita dan siksa batin dari keadaan putus hubungan dengan Allah dan tersambung dengan musuh selain orang yang merasakannya.﴿قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: رَأَيْتُ الْعَبْدَ مُلْقًى بَيْنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَبَيْنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنْ أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَلَّاهُ الشَّيْطَانُ، وَإِنْ تَوَلَّاهُ اللَّهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] .Sebagian ulama salaf berkata: “Aku melihat seorang hamba berada di antara Allah dan setan. Jika Allah berpaling darinya, maka setan akan menguasainya. Namun jika Allah melindunginya, setan tidak akan mampu berbuat apa pun terhadapnya.” Allah Ta‘ala berfirman:﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا﴾“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ lalu mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya. Maka pantaskah kalian menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, padahal mereka adalah musuh kalian? Sungguh, itu adalah pilihan yang buruk bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Kahfi: 50)﴿يَقُولُ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ: أَنَا أَكْرَمْتُ أَبَاكُمْ، وَرَفَعْتُ قَدْرَهُ، وَفَضَّلْتُهُ عَلَى غَيْرِهِ، فَأَمَرْتُ مَلَائِكَتِي كُلَّهُمْ أَنْ يَسْجُدُوا لَهُ، تَكْرِيمًا لَهُ وَتَشْرِيفًا، فَأَطَاعُونِي، وَأَبَى عَدُوِّي وَعَدُوُّهُ، فَعَصَى أَمْرِي، وَخَرَجَ عَنْ طَاعَتِي، فَكَيْفَ يَحْسُنُ بِكُمْ بَعْدَ هَذَا أَنْ تَتَّخِذُوهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي، فَتُطِيعُونَهُ فِي مَعْصِيَتِي، وَتُوَالُونَهُ فِي خِلَافِ مَرْضَاتِي وَهُمْ أَعْدَى عَدُوٍّ لَكُمْ؟ فَوَالَيْتُمْ عَدُوِّي وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِمُعَادَاتِهِ، وَمَنْ وَالَى أَعْدَاءَ الْمَلِكِ، كَانَ هُوَ وَأَعْدَاؤُهُ عِنْدَهُ سَوَاءً، فَإِنَّ الْمَحَبَّةَ وَالطَّاعَةَ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِمُعَادَاةِ أَعْدَاءِ الْمُطَاعِ وَمُوَالَاةِ أَوْلِيَائِهِ، وَأَمَّا أَنْ تُوَالِيَ أَعْدَاءَ الْمَلِكِ ثُمَّ تَدَّعِي أَنَّكَ مُوَالٍ لَهُ، فَهَذَا مُحَالٌAllah seakan berkata kepada hamba-Nya: “Aku telah memuliakan bapak kalian, meninggikan kedudukannya, dan melebihkannya dari makhluk lain. Aku perintahkan seluruh malaikat-Ku untuk sujud kepadanya sebagai penghormatan, lalu mereka semua patuh. Namun musuh-Ku sekaligus musuh kalian menolak, membangkang dari perintah-Ku, dan keluar dari ketaatan kepada-Ku. Bagaimana mungkin setelah itu kalian malah menjadikannya dan keturunannya sebagai wali selain Aku, menaatinya dalam bermaksiat kepada-Ku, serta memihak kepadanya dalam hal yang menyalahi keridhaan-Ku, padahal ia adalah musuh paling berbahaya bagi kalian?”Allah telah memerintahkan agar kita memusuhinya. Maka, siapa yang berpihak kepada musuh Raja, ia dan musuh itu sama-sama akan diperlakukan sebagai musuh oleh Raja. Karena cinta dan ketaatan tidak pernah sempurna kecuali dengan memusuhi musuh Sang Penguasa dan memihak kepada wali-wali-Nya. Adapun seseorang yang memihak musuh Raja, lalu mengaku dirinya setia kepada Raja, maka klaim itu adalah hal yang mustahil.﴿هَذَا لَوْ لَمْ يَكُنْ عَدُوُّ الْمَلِكِ عَدُوًّا لَكُمْ، فَكَيْفَ إِذَا كَانَ عَدُوَّكُمْ عَلَى الْحَقِيقَةِ، وَالْعَدَاوَةُ الَّتِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ أَعْظَمُ مِنَ الْعَدَاوَةِ الَّتِي بَيْنَ الشَّاةِ وَبَيْنَ الذِّئْبِ؟ فَكَيْفَ يَلِيقُ بِالْعَاقِلِ أَنْ يُوَالِيَ عَدُوَّهُ عَدُوَّ وَلِيِّهِ وَمَوْلَاهُ الَّذِي لَا مَوْلَى لَهُ سِوَاهُ، وَنَبَّهَ سُبْحَانَهُ عَلَى قُبْحِ هَذِهِ الْمُوَالَاةِ بِقَوْلِهِ: {وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، كَمَا نَبَّهَ عَلَى قُبْحِهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ} [سُورَةُ الْكَهْفِ: ٥٠] ، فَتَبَيَّنَ أَنَّ عَدَاوَتَهُ لِرَبِّهِ وَعَدَاوَتَهُ لَنَا، كُلٌّ مِنْهُمَا سَبَبٌ يَدْعُو إِلَى مُعَادَاتِهِ، فَمَا هَذِهِ الْمُوَالَاةُ؟ وَمَا هَذَا الِاسْتِبْدَالُ؟ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا.Itu pun seandainya musuh Raja tersebut bukanlah musuh kita. Lalu bagaimana jika pada kenyataannya ia memang musuh kita yang paling nyata, dan permusuhan antara kita dengannya jauh lebih besar daripada permusuhan antara seekor kambing dengan serigala? Bagaimana mungkin orang berakal masih mau berpihak kepada musuhnya sendiri—musuh Pelindung dan Tuhannya—padahal ia tidak memiliki Pelindung selain Dia?Allah telah menegaskan keburukan sikap berpihak kepada setan ini dengan firman-Nya:﴿وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ﴾“…padahal mereka adalah musuh kalian.” (QS. Al-Kahfi: 50)Demikian pula Allah menegaskan kejahatannya dengan firman-Nya:﴿فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ﴾“…lalu ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 50)Maka jelaslah, permusuhan Iblis kepada Rabb kita dan permusuhannya kepada kita masing-masing sudah cukup menjadi alasan agar kita memusuhinya. Lalu apa arti dari sikap berpihak kepadanya? Dan apa guna menukar Allah dengan setan? Sungguh buruklah pengganti itu bagi orang-orang yang zalim.﴿وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ تَحْتَ هَذَا الْخِطَابِ نَوْعٌ مِنَ الْعِتَابِ لَطِيفٌ عَجِيبٌ وَهُوَ أَنِّي عَادَيْتُ إِبْلِيسَ إِذْ لَمْ يَسْجُدْ لِأَبِيكُمْ آدَمَ مَعَ مَلَائِكَتِي فَكَانَتْ مُعَادَاتُهُ لِأَجْلِكُمْ، ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةُ هَذِهِ الْمُعَادَاةِ أَنْ عَقَدْتُمْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ عَقْدَ الْمُصَالَحَةِSeakan-akan di balik firman Allah itu terdapat teguran yang begitu halus dan menakjubkan. Tegurannya adalah: “Aku telah memusuhi Iblis sejak ia enggan bersujud kepada bapak kalian, Adam, bersama dengan malaikat-Ku. Permusuhan itu murni karena kalian. Namun bagaimana mungkin akhir dari permusuhan itu justru berbalik menjadi perjanjian damai antara kalian dengan dia?” 44. Maksiat Menghapus KeberkahanIbnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الْعُمُرِ، وَبَرَكَةَ الرِّزْقِ، وَبَرَكَةَ الْعِلْمِ، وَبَرَكَةَ الْعَمَلِ، وَبَرَكَةَ الطَّاعَةِ.Maksiat memiliki dampak yang sangat berbahaya, di antaranya adalah menghapus keberkahan. Ia bisa menghilangkan keberkahan umur, keberkahan rezeki, keberkahan ilmu, keberkahan amal, dan keberkahan dalam ketaatan.وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّهَا تَمْحَقُ بَرَكَةَ الدِّينِ وَالدُّنْيَا، فَلَا تَجِدُ أَقَلَّ بَرَكَةٍ فِي عُمُرِهِ وَدِينِهِ وَدُنْيَاهُ مِمَّنْ عَصَى اللَّهَ، وَمَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا بِمَعَاصِي الْخَلْقِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ} [الْأَعْرَافِ: ٩٦] .Secara ringkas, maksiat bisa memupus keberkahan dalam urusan agama dan dunia. Tidak ada orang yang lebih sedikit keberkahannya dalam umur, agama, dan dunianya daripada orang yang bermaksiat kepada Allah. Sungguh, keberkahan tidaklah dicabut dari bumi kecuali karena dosa-dosa para hamba. Allah Ta‘ālā berfirman:وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 96)وَقَالَ تَعَالَى: {وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا – لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ} [الْجِنِّ: ١٦ – ١٧] . وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ.Allah juga berfirman: “Dan sekiranya mereka tetap istiqāmah di jalan itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum dengan air yang melimpah, agar Kami menguji mereka dengannya.” (QS. Al-Jinn [72]: 16–17) Seorang hamba bisa saja terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang ia lakukan.وَفِي الْحَدِيثِ: «إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّهُ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَ اللَّهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ، وَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الرِّضَى وَالْيَقِينِ، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ» .Dalam sebuah hadits disebutkan:“Sesungguhnya Ruhul Qudus telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa tidaklah satu jiwa pun akan mati sebelum sempurna rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Karena apa yang ada di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan ketaatan kepada-Nya. Allah menjadikan ketenangan dan kebahagiaan ada dalam ridha dan keyakinan, sedangkan kegelisahan dan kesedihan ada dalam keraguan dan kemurkaan.”وَقَدْ تَقَدَّمَ الْأَثَرُ الَّذِي ذَكَرَهُ أَحْمَدُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ: «أَنَا اللَّهُ، إِذَا رَضِيتُ بَارَكْتُ، وَلَيْسَ لِبَرَكَتِي مُنْتَهًى، وَإِذَا غَضِبْتُ لَعَنْتُ، وَلَعْنَتِي تُدْرِكُ السَّابِعَ مِنَ الْوَلَدِ» .Dalam atsar yang diriwayatkan Ahmad dalam Kitāb az-Zuhd disebutkan firman Allah: “Aku adalah Allah. Jika Aku ridha, maka Aku memberkahi, dan keberkahan-Ku tidak ada batasnya. Jika Aku murka, maka Aku melaknat, dan laknat-Ku akan menimpa hingga keturunan ketujuh.”وَلَيْسَتْ سَعَةُ الرِّزْقِ وَالْعَمَلِ بِكَثْرَتِهِ، وَلَا طُولُ الْعُمُرِ بِكَثْرَةِ الشُّهُورِ وَالْأَعْوَامِ، وَلَكِنَّ سَعَةَ الرِّزْقِ وَطُولَ الْعُمُرِ بِالْبَرَكَةِ فِيهِ.Perlu dipahami, luasnya rezeki bukan ditentukan oleh jumlahnya, dan panjangnya umur bukan ditentukan oleh banyaknya bulan atau tahun. Akan tetapi, yang menentukan adalah keberkahan yang ada di dalamnya.وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ عُمْرَ الْعَبْدِ هُوَ مُدَّةُ حَيَاتِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِمَنْ أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِغَيْرِهِ، بَلْ حَيَاةُ الْبَهَائِمِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاتِهِ، فَإِنَّ حَيَاةَ الْإِنْسَانِ بِحَيَاةِ قَلْبِهِ وَرُوحِهِ، وَلَا حَيَاةَ لِقَلْبِهِ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ فَاطِرِهِ، وَمَحَبَّتِهِ، وَعِبَادَتِهِ وَحْدَهُ، وَالْإِنَابَةِ إِلَيْهِ، وَالطُّمَأْنِينَةِ بِذِكْرِهِ، وَالْأُنْسِ بِقُرْبِهِ، وَمَنْ فَقَدَ هَذِهِ الْحَيَاةَ فَقَدَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، وَلَوْ تَعَرَّضَ عَنْهَا بِمَا تَعَوَّضَ مِمَّا فِي الدُّنْيَا، بَلْ لَيْسَتِ الدُّنْيَا بِأَجْمَعِهَا عِوَضًا عَنْ هَذِهِ الْحَيَاةِ، فَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ يَفُوتُ الْعَبْدَ عِوَضٌ، وَإِذَا فَاتَهُ اللَّهُ لَمْ يُعَوِّضْ عَنْهُ شَيْءٌ الْبَتَّةَ.Sebelumnya telah dijelaskan bahwa umur seorang hamba adalah sepanjang hidupnya. Namun, tidak ada kehidupan sejati bagi orang yang berpaling dari Allah dan sibuk dengan selain-Nya. Bahkan, kehidupan binatang lebih baik daripada hidupnya. Sebab, kehidupan manusia hakikatnya bergantung pada hidupnya hati dan ruh. Dan tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, kembali kepada-Nya, tenang dengan mengingat-Nya, serta merasa dekat dengan-Nya.Barang siapa kehilangan kehidupan ini, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan. Dan seandainya ia menukar kehilangan ini dengan semua yang ada di dunia, tetap tidak akan cukup sebagai ganti. Karena dari setiap hal yang hilang, seorang hamba masih bisa memperoleh penggantinya. Namun, bila ia kehilangan Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menggantikannya.وَقَدْ لَعَنَ عَدُوَّهُ إِبْلِيسَ وَجَعَلَهُ أَبْعَدَ خَلْقِهِ مِنْهُ، فَكُلُّ مَا كَانَ جِهَتَهُ فَلَهُ مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ بِقَدْرِ قُرْبِهِ وَاتِّصَالِهِ بِهِ، فَمِنْ هَاهُنَا كَانَ لِلْمَعَاصِي أَعْظَمُ تَأْثِيرٍ فِي مَحْقِ بَرَكَةِ الْعُمُرِ وَالرِّزْقِ وَالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ، وَكُلُّ وَقْتٍ عَصَيْتَ اللَّهَ فِيهِ، أَوْ مَالٍ عُصِيَ اللَّهُ بِهِ، أَوْ بَدَنٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ عَمَلٍ فَهُوَ عَلَى صَاحِبِهِ لَيْسَ لَهُ، فَلَيْسَ لَهُ مِنْ عُمُرِهِ وَمَالِهِ وَقُوَّتِهِ وَجَاهِهِ وَعِلْمِهِ وَعَمَلِهِ إِلَّا مَا أَطَاعَ اللَّهَ بِهِ.Allah telah melaknat musuh-Nya, Iblīs, dan menjadikannya makhluk yang paling jauh dari-Nya. Maka setiap sesuatu yang sejalan dengan arah Iblis, memiliki bagian dari laknat Allah sebesar kadar kedekatannya dan keterkaitannya dengan Iblis itu sendiri.Dari sini dapat dipahami bahwa maksiat memiliki pengaruh paling besar dalam menghapus keberkahan umur, rezeki, ilmu, dan amal. Setiap waktu yang engkau gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, atau setiap harta yang digunakan untuk maksiat, atau tubuh, kedudukan, ilmu, dan amal yang dipakai untuk melanggar perintah Allah—semuanya akan menjadi bumerang bagi pelakunya, bukan menjadi keuntungan baginya.Maka seseorang tidak memiliki bagian yang sejati dari umur, harta, kekuatan, kedudukan, ilmu, dan amalnya, kecuali bagian yang ia gunakan untuk menaati Allah semata.وَلِهَذَا مِنَ النَّاسِ مَنْ يَعِيشُ فِي هَذِهِ الدَّارِ مِائَةَ سَنَةٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَيَكُونُ عُمُرُهُ لَا يَبْلُغُ عِشْرِينَ سَنَةً أَوْ نَحْوَهَا، كَمَا أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَمْلِكُ الْقَنَاطِيرَ الْمُقَنْطَرَةَ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَيَكُونُ مَالُهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَا يَبْلُغُ أَلْفَ دِرْهَمٍ أَوْ نَحْوَهَا، وَهَكَذَا الْجَاهُ وَالْعِلْمُ.Karena itulah, di antara manusia ada yang hidup di dunia ini seratus tahun atau lebih, namun hakikat umurnya tidak mencapai dua puluh tahun, karena sebagian besar hidupnya tidak diisi dengan ketaatan. Begitu pula ada orang yang memiliki timbunan emas dan perak dalam jumlah besar, tetapi hakikat hartanya tidak sampai seribu dirham, karena tidak diberkahi dan tidak digunakan di jalan Allah. Hal yang sama berlaku pada kedudukan dan ilmu.وَفِي التِّرْمِذِيِّ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ» .وَفِي أَثَرٍ آخَرَ: «الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ» فَهَذَا هُوَ الَّذِي فِيهِ الْبَرَكَةُ خَاصَّةً، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Dalam Sunan at-Tirmiżī disebutkan sabda Nabi ﷺ:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan segala yang terkait dengannya, serta orang berilmu dan orang yang belajar.” (HR. At-Tirmiżī)Dan dalam riwayat lain disebutkan:«الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا مَا كَانَ لِلَّهِ»“Dunia itu terlaknat, dan segala yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali apa yang dilakukan karena Allah.”Inilah yang mengandung keberkahan yang sejati, selain itu tidak.Wa Allāhul musta‘ān — Allah-lah tempat kita memohon pertolongan. 45. Maksiat Menjadikan Pelakunya Termasuk Golongan Rendah (safalah, asfala saafilin)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَجْعَلُ صَاحِبَهَا مِنَ السَّفَلَةِ بَعْدَ أَنْ كَانَ مُهَيَّئًا لِأَنْ يَكُونَ مِنَ الْعِلْيَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ قِسْمَيْنِ: عِلْيَةً، وَسَفَلَةً، وَجَعَلَ عِلِّيِّينَ مُسْتَقَرَّ الْعِلْيَةِ، وَأَسْفَلَ سَافِلِينَ مُسْتَقَرَّ السَّفَلَةِ، وَجَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ الْأَعْلَيْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ الْأَسْفَلِينَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، كَمَا جَعَلَ أَهْلَ طَاعَتِهِ أَكْرَمَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَهْلَ مَعْصِيَتِهِ أَهْوَنَ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ الْعِزَّةَ لِهَؤُلَاءِ، وَالذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ لِهَؤُلَاءِ، كَمَا فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»Salah satu hukuman bagi pelaku maksiat adalah bahwa maksiat menjadikannya termasuk golongan yang rendah (as-safalah), padahal sebelumnya ia diciptakan dalam keadaan berpotensi menjadi bagian dari golongan yang tinggi (al-‘ilyah).Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya terbagi menjadi dua golongan: golongan tinggi (‘ilyah) dan golongan rendah (safalah).Allah menjadikan ‘Illiyyīn sebagai tempat menetap bagi golongan tinggi, dan Asfala Sāfilīn sebagai tempat bagi golongan rendah.Allah juga menjadikan orang-orang yang taat kepada-Nya sebagai golongan yang tinggi di dunia dan akhirat, sedangkan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya sebagai golongan yang rendah di dunia dan akhirat.Sebagaimana Allah menjadikan orang-orang yang taat sebagai makhluk yang paling mulia di sisi-Nya, dan orang-orang yang bermaksiat sebagai makhluk yang paling hina di sisi-Nya,Allah pun menjadikan kemuliaan (‘izzah) bagi orang-orang yang taat, dan kehinaan serta kerendahan (dzillah wa shaghār) bagi orang-orang yang menentang-Nya.Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dari hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr, bahwa Nabi ﷺ bersabda:«بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي»“Aku diutus dengan membawa pedang menjelang datangnya kiamat, dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan bagi siapa pun yang menyalahi perintahku.” (HR. Ahmad)فَكُلَّمَا عَمِلَ الْعَبْدُ مَعْصِيَةً نَزَلَ إِلَى أَسْفَلَ، دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي نُزُولٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَسْفَلِينَ، وَكُلَّمَا عَمِلَ طَاعَةً ارْتَفَعَ بِهَا دَرَجَةً، وَلَا يَزَالُ فِي ارْتِفَاعٍ حَتَّى يَكُونَ مِنَ الْأَعْلَيْنَ.Maka setiap kali seorang hamba melakukan maksiat, ia turun satu derajat ke bawah. Ia terus menurun hingga menjadi bagian dari golongan paling rendah.Sebaliknya, setiap kali ia melakukan ketaatan, ia naik satu derajat ke atas, dan terus meningkat hingga termasuk golongan yang tinggi.وَقَدْ يَجْتَمِعُ لِلْعَبْدِ فِي أَيَّامِ حَيَاتِهِ الصُّعُودُ مِنْ وَجْهٍ، وَالنُّزُولُ مِنْ وَجْهٍ، وَأَيُّهُمَا كَانَ أَغْلَبَ عَلَيْهِ كَانَ مِنْ أَهْلِهِ، فَلَيْسَ مَنْ صَعِدَ مِائَةَ دَرَجَةٍ وَنَزَلَ دَرَجَةً وَاحِدَةً، كَمَنْ كَانَ بِالْعَكْسِ.Namun, dalam perjalanan hidup seseorang bisa jadi terjadi dua hal sekaligus: ia naik dari satu sisi dan turun dari sisi lain. Mana yang lebih dominan, itulah yang menentukan posisinya di akhir.Seseorang yang naik seratus derajat lalu turun satu derajat tentu tidak sama dengan orang yang sebaliknya—naik satu derajat tapi turun seratus derajat.وَلَكِنْ يَعْرِضُ هَاهُنَا لِلنُّفُوسِ غَلَطٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَنْزِلُ نُزُولًا بَعِيدًا أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، وَمِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَلَا يَفِي صُعُودُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ بِهَذَا النُّزُولِ الْوَاحِدِ، كَمَا فِي الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ الْعَبْدَ لِيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ، لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ» .Akan tetapi, di sinilah banyak jiwa manusia terjatuh dalam kesalahan besar.Kadang seseorang jatuh ke bawah sejauh-jauhnya, melebihi jarak antara timur dan barat, bahkan lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.Sehingga, kenaikan seribu derajat pun tidak sebanding dengan satu kejatuhan itu.Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ:«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ»“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat saja, tanpa memikirkannya, namun ia terjerumus karenanya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhārī dan Muslim)فَأَيُّ صُعُودٍ يُوَازِنُ هَذِهِ النَّزْلَةَ؟ وَالنُّزُولُ أَمْرٌ لَازِمٌ لِلْإِنْسَانِ، وَلَكِنْ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى غَفْلَةٍ، فَهَذَا مَتَى اسْتَيْقَظَ مِنْ غَفْلَتِهِ عَادَ إِلَى دَرَجَتِهِ، أَوْ إِلَى أَرْفَعَ مِنْهَا بِحَسْبَ يَقَظَتِهِ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مُبَاحٍ لَا يَنْوِي بِهِ الِاسْتِعَانَةَ عَلَى الطَّاعَةِ، فَهَذَا مَتَى رَجَعَ إِلَى الطَّاعَةِ فَقَدْ يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا، وَقَدْ يَرْتَفِعُ عَنْهَا، فَإِنَّهُ قَدْ يَعُودُ أَعْلَى هِمَّةً مِمَّا كَانَ، وَقَدْ يَكُونُ أَضْعَفَ هِمَّةً، وَقَدْ تَعُودُ هِمَّتُهُ كَمَا كَانَتْ.وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، إِمَّا صَغِيرَةٍ أَوْ كَبِيرَةٍ، فَهَذَا يَحْتَاجُ فِي عَوْدِهِ إِلَى دَرَجَتِهِ إِلَى تَوْبَةٍ نَصُوحٍ، وَإِنَابَةٍ صَادِقَةٍ.Maka pertanyaannya, kenaikan apa yang mampu menandingi kejatuhan sebesar ini?Kenyataannya, turun (ke bawah) adalah hal yang tak terpisahkan dari manusia.Namun, turunnya manusia berbeda-beda:1. Ada yang turunnya menuju kelalaian (ghaflah).Jika ia segera tersadar dari kelalaiannya, maka ia akan kembali ke derajatnya semula, bahkan bisa lebih tinggi, tergantung pada tingkat kesadarannya.2. Ada yang turunnya menuju hal-hal mubah (boleh), namun tanpa niat untuk menjadikannya sarana dalam ketaatan.Jika ia kembali kepada ketaatan, bisa jadi ia kembali ke derajatnya, atau tidak sampai ke sana lagi, bahkan bisa jadi lebih tinggi bila semangatnya tumbuh lebih besar dari sebelumnya. Namun terkadang semangatnya malah melemah, atau kembali seperti semula.3. Ada pula yang turunnya menuju maksiat, baik dosa kecil maupun dosa besar.Maka untuk kembali ke derajat semula, ia membutuhkan taubat yang tulus (taubah naṣūḥah) dan kembali yang sungguh-sungguh (inābah ṣādiqah) kepada Allah. Apakah Seorang yang Bertaubat Dapat Kembali ke Derajatnya Semula?وَاخْتَلَفَ النَّاسُ هَلْ يَعُودُ بَعْدَ التَّوْبَةِ إِلَى دَرَجَتِهِ الَّتِي كَانَ فِيهَا، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَتَمْحُو أَثَرَ الذَّنْبِ، وَتَجْعَلُ وَجُودَهُ كَعَدَمِهِ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ، أَوْ لَا يَعُودُ، بِنَاءً عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَ تَأْثِيرُهَا فِي إِسْقَاطِ الْعُقُوبَةِ، وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الَّتِي فَاتَتْهُ فَإِنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَيْهَا.قَالُوا: وَتَقْرِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ كَانَ مُسْتَعِدًّا بِاشْتِغَالِهِ بِالطَّاعَةِ فِي الزَّمَنِ الَّذِي عَصَى فِيهِ لِصُعُودٍ آخَرَ وَارْتِقَاءٍ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ السَّالِفَةُ، بِمَنْزِلَةِ كَسْبِ الرَّجُلِ كُلَّ يَوْمٍ بِجُمْلَةِ مَالِهِ الَّذِي يَمْلِكُهُ، وَكُلَّمَا تَضَّاعَفَ الْمَالُ تَضَّاعَفَ الرِّبْحُ، فَقَدْ رَاحَ عَلَيْهِ فِي زَمَنِ الْمَعْصِيَةِ ارْتِفَاعٌ وَرِبْحٌ تَحْمِلُهُ أَعْمَالُهُ، فَإِذَا اسْتَأْنَفَ الْعَمَلَ اسْتَأْنَفَ صُعُودًا مِنْ نُزُولٍ، وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ صَاعِدًا مِنْ أَسْفَلَ إِلَى أَعْلَى، وَبَيْنَهُمَا بَوْنٌ عَظِيمٌ.قَالُوا: وَمَثَلُ ذَلِكَ رَجُلَانِ يَرْتَقِيَانِ فِي سُلَّمَيْنِ لَا نِهَايَةَ لَهُمَا، وَهُمَا سَوَاءٌ، فَنَزَلَ أَحَدُهُمَا إِلَى أَسْفَلَ، وَلَوْ دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ اسْتَأْنَفَ الصُّعُودَ، فَإِنَّ الَّذِي لَمْ يَنْزِلْ يَعْلُو عَلَيْهِ وَلَا بُدَّ.Manusia berbeda pendapat mengenai apakah seseorang yang telah bertaubat dari dosa akan kembali ke derajatnya semula sebelum ia terjatuh dalam maksiat.Sebagian mengatakan:Ya, ia akan kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu menghapus dosa dan menjadikan dosa tersebut seolah-olah tidak pernah terjadi. Maka keadaan orang yang bertaubat sama seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa sama sekali.Namun sebagian lain berpendapat:Tidak, ia tidak kembali ke derajat yang sama, sebab pengaruh taubat hanya menghapus hukuman atas dosa, sedangkan tingkatan (derajat) yang telah hilang akibat waktu yang terbuang untuk maksiat tidak bisa diraih kembali.Mereka menjelaskan:Seseorang yang dalam waktu itu seharusnya sibuk dengan ketaatan, berarti ia sedang mempersiapkan diri untuk naik ke derajat yang lebih tinggi, karena amal-amal sebelumnya mendukung kenaikan itu.Kondisinya seperti seorang pedagang yang setiap hari mengembangkan modalnya; semakin besar modal yang dimilikinya, semakin besar pula keuntungannya.Namun ketika ia terjatuh dalam maksiat, berarti ia kehilangan kesempatan untuk menambah modal dan keuntungan amal yang bisa mengangkatnya lebih tinggi.Maka, ketika ia mulai beramal kembali setelah taubat, sesungguhnya ia memulai perjalanan naik dari bawah, setelah sebelumnya sempat turun ke bawah.Padahal sebelumnya, sebelum bermaksiat, ia sedang naik dari bawah menuju puncak.Perbedaan antara keduanya sangat besar.Mereka menggambarkan hal itu dengan sebuah perumpamaan:Dua orang naik di dua tangga yang tidak berujung, keduanya sama-sama memulai dari tempat yang sama. Kemudian salah satunya turun satu anak tangga saja, lalu kembali naik lagi.Maka orang yang tidak pernah turun sama sekali, pasti akan lebih tinggi daripada orang yang sempat turun tadi, meskipun keduanya sama-sama terus naik. Hukum yang Adil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahوَحَكَمَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ بَيْنَ الطَّائِفَتَيْنِ حُكْمًا مَقْبُولًا فَقَالَ:التَّحْقِيقُ أَنَّ مِنَ التَّائِبِينَ مَنْ يَعُودُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مِنْ يَعُودُ إِلَى مِثْلِ دَرَجَتِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَصِلُ إِلَى دَرَجَتِهِ.قُلْتُ: وَهَذَا بِحَسْبِ قُوَّةِ التَّوْبَةِ وَكَمَالِهَا، وَمَا أَحْدَثَتْهُ الْمَعْصِيَةُ لِلْعَبْدِ مِنَ الذُّلِّ وَالْخُضُوعِ وَالْإِنَابَةِ، وَالْحَذَرِ وَالْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ، وَالْبُكَاءِ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ، فَقَدْ تَقْوَى هَذِهِ الْأُمُورُ، حَتَّى يَعُودَ التَّائِبُ إِلَى أَرْفَعَ مِنْ دَرَجَتِهِ، وَيَصِيرَ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِنْهُ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ، فَهَذَا قَدْ تَكُونُ الْخَطِيئَةُ فِي حَقِّهِ رَحْمَةً، فَإِنَّهَا نَفَتْ عَنْهُ دَاءَ الْعُجْبِ، وَخَلَّصَتْهُ مِنْ ثِقَتِهِ بِنَفْسِهِ وَإِدْلَالِهِ بِأَعْمَالِهِ، وَوَضَعَتْ خَدَّ ضَرَاعَتِهِ وَذُلَّهُ وَانْكِسَارَهُ عَلَى عَتَبَةِ بَابِ سَيِّدِهِ وَمَوْلَاهُ، وَعَرَّفَتْهُ قَدْرَهُ، وَأَشْهَدَتْهُ فَقْرَهُ وَضَرُورَتَهُ إِلَى حِفْظِ مَوْلَاهُ لَهُ، وَإِلَى عَفْوِهِ عَنْهُ وَمَغْفِرَتِهِ لَهُ، وَأَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ صَوْلَةَ الطَّاعَةِ، وَكَسَرَتْ أَنْفَهُ مِنْ أَنْ يَشْمَخَ بِهَا أَوْ يَتَكَبَّرَ بِهَا، أَوْ يَرَى نَفْسَهُ بِهَا خَيْرًا مِنْ غَيْرِهِ، وَأَوْقَفَتْهُ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ مَوْقِفَ الْخَطَّائِينَ الْمُذْنِبِينَ، نَاكِسَ الرَّأْسِ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهِ، مُسْتَحِيًا خَائِفًا مِنْهُ وَجِلًا، مُحْتَقِرًا لِطَاعَتِهِ مُسْتَعْظِمًا لِمَعْصِيَتِهِ، عَرَفَ نَفْسَهُ بِالنَّقْصِ وَالذَّمِّ. وَرَبُّهُ مُتَفَرِّدٌ بِالْكَمَالِ وَالْحَمْدِ وَالْوَفَاءِ كَمَا قِيلَ:اسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْ … دِ وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَافَأَيُّ نِعْمَةٍ وَصَلَتْ مِنَ اللَّهِ إِلَيْهِ اسْتَكْثَرَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَرَأَى نَفْسَهُ دُونَهَا وَلَمْ يَرَهَا أَهْلًا، وَأَيُّ نِقْمَةٍ أَوْ بَلِيَّةٍ وَصَلَتْ إِلَيْهِ رَأَى نَفْسَهُ أَهْلًا لِمَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْهَا، وَرَأَى مَوْلَاهُ قَدْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ، إِذْ لَمْ يُعَاقِبْهُ عَلَى قَدْرِ جُرْمِهِ وَلَا شَطْرِهِ، وَلَا أَدْنَى جُزْءٍ مِنْهُ.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh memberikan penjelasan yang adil dan bijak di antara dua pendapat ulama tentang apakah orang yang bertaubat bisa kembali ke derajatnya semula atau tidak.Beliau berkata:“Kebenarannya adalah: di antara orang-orang yang bertaubat, ada yang kembali ke derajat yang lebih tinggi dari sebelumnya, ada yang kembali ke derajat yang sama, dan ada pula yang tidak dapat mencapai derajat lamanya.”Aku (Ibnul Qayyim) berkata: Hal ini tergantung pada kekuatan dan kesempurnaan taubat seseorang, serta sejauh mana dosa itu menimbulkan efek kerendahan, ketundukan, ketakutan, dan kepasrahan kepada Allah.Jika setelah dosa itu, muncul dalam dirinya rasa takut kepada Allah, air mata karena takut kepada-Nya, kerendahan hati, dan penyesalan yang mendalam, maka bisa jadi hal-hal itu justru mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi daripada sebelum ia berbuat dosa.Dalam keadaan seperti ini, dosa yang dahulu ia lakukan berubah menjadi sebab rahmat baginya.Sebab dosa itu telah menghapus penyakit ujub (merasa bangga dengan diri sendiri), membebaskannya dari ketergantungan pada amalnya, dan menundukkan dirinya di hadapan Allah.Ia kini menundukkan wajahnya penuh kehinaan dan kerendahan di pintu Tuhannya,ia kini mengenal hakikat dirinya,ia kini menyadari betapa besar kebutuhannya kepada perlindungan, ampunan, dan rahmat Allah.Dosa itu telah mengeluarkan dari hatinya kesombongan karena ketaatan, menghancurkan rasa tinggi diri yang bisa muncul dari amal, dan menghalanginya untuk membanggakan amalnya atau merasa lebih baik dari orang lain.Kini ia berdiri di hadapan Rabb-nya seperti seorang hamba yang berdosa dan bersalah, menundukkan kepala, malu, takut, dan gentar.Ia meremehkan amalnya sendiri, namun mengagungkan dosanya, karena menyadari kekurangannya dan kehinaannya di hadapan Allah.Sedangkan Rabb-nya, Dialah satu-satunya yang sempurna dalam sifat, terpuji dalam segala keadaan, dan setia terhadap janji-Nya.Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:اِسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِالْوَفَاءِ وَبِالْحَمْدِ … وَوَلَّى الْمَلَامَةَ الرَّجُلَا“Allah-lah yang berhak atas kesempurnaan dan pujian, sementara manusia hanyalah layak untuk disalahkan.”Maka, setiap nikmat yang datang kepadanya dari Allah, ia pandang sebagai karunia besar yang tidak pantas ia terima. Ia merasa dirinya tak layak mendapatkannya, bahkan merasa lebih kecil dari nikmat itu sendiri.Dan setiap musibah atau cobaan yang menimpanya, ia merasa dirinya pantas untuk mendapatkan yang lebih berat lagi, karena menyadari betapa banyak kesalahannya.Ia pun melihat bahwa Tuhannya telah berbuat baik kepadanya, karena tidak menghukumnya sebanding dengan dosanya, bahkan tidak setengahnya, bahkan tidak sebesar satu bagian terkecil pun darinya. Dosa Seharusnya Mengguncang Langit dan Bumiفَإِنَّ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لَا تَحْمِلُهُ الْجِبَالُ الرَّاسِيَاتُ، فَضْلًا عَنْ هَذَا الْعَبْدِ الضَّعِيفِ الْعَاجِزِ، فَإِنَّ الذَّنْبَ وَإِنْ صَغُرَ، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعَظِيمِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَعْظَمُ مِنْهُ، الْكَبِيرِ الَّذِي لَا شَيْءَ أَكْبَرُ مِنْهُ، الْجَلِيلِ الَّذِي لَا أَجَلَّ مِنْهُ وَلَا أَجْمَلَ، الْمُنْعِمِ بِجَمِيعِ أَصْنَافِ النِّعَمِ دَقِيقِهَا وَجُلِّهَا – مِنْ أَقْبَحِ الْأُمُورِ وَأَفْظَعِهَا وَأَشْنَعِهَا، فَإِنَّ مُقَابَلَةَ الْعُظَمَاءِ وَالْأَجِلَّاءِ وَسَادَاتِ النَّاسِ بِمِثْلِ ذَلِكَ يَسْتَقْبِحُهُ كُلُّ أَحَدٍ مُؤْمِنٌ وَكَافِرٌ. وَأَرْذَلُ النَّاسِ وَأَسْقَطُهُمْ مُرُوءَةً مَنْ قَابَلَهُمْ بِالرَّذَائِلِ، فَكَيْفَ بِعَظِيمِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمَلِكِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَإِلَهِ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ؟ وَلَوْلَا أَنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، وَمَغْفِرَتَهُ سَبَقَتْ عُقُوبَتَهُ، وَإِلَّا لَتَدَكْدَكَتِ الْأَرْضُ بِمَنْ قَابَلَهُ بِمَا لَا يَلِيقُ مُقَابَلَتُهُ بِهِ، وَلَوْلَا حِلْمُهُ وَمَغْفِرَتُهُ لَزُلْزِلَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ مِنْ مَعَاصِي الْعِبَادِ، قَالَ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ٤١] .فَتَأَمَّلْ خَتْمَ هَذِهِ الْآيَةِ بِاسْمَيْنِ مِنْ أَسْمَائِهِ، وَهُمَا: ” الْحَلِيمُ، وَالْغَفُورُ ” كَيْفَ تَجِدُ تَحْتَ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْلَا حِلْمُهُ عَنِ الْجُنَاةِ وَمَغْفِرَتُهُ لِلْعُصَاةِ لَمَا اسْتَقَرَّتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ؟وَقَدْ أَخْبَرَ سُبْحَانَهُ عَنْ كُفْرِ بَعْضِ عِبَادِهِ أَنَّهُ: {تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا} [سُورَةُ مَرْيَمَ: ٩٠] .Sesungguhnya hukuman yang pantas diterima oleh seorang hamba atas dosanya, seandainya ditimpakan sepenuhnya, tidak akan mampu ditanggung bahkan oleh gunung-gunung yang kokoh, apalagi oleh manusia yang lemah dan tak berdaya.Karena setiap dosa, sekecil apa pun, hakikatnya adalah pelanggaran terhadap Dzat yang Mahaagung, Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang lebih besar daripada-Nya, yang tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dan lebih indah daripada-Nya, dan yang telah melimpahkan seluruh nikmat, baik kecil maupun besar kepada hamba-Nya. Maka, membalas kebaikan Sang Pemberi Nikmat dengan perbuatan dosa adalah sesuatu yang sangat keji, mengerikan, dan tercela.Bahkan jika seseorang memperlakukan raja atau orang mulia di antara manusia dengan cara demikian, niscaya semua orang — baik mukmin maupun kafir — akan memandangnya sebagai perbuatan yang hina.Apalagi jika itu dilakukan terhadap Raja langit dan bumi, Tuhan seluruh makhluk, Penguasa segala alam — maka betapa besarnya keburukan perbuatan tersebut!Seandainya rahmat Allah tidak mendahului murka-Nya, dan ampunan-Nya tidak mendahului hukuman-Nya, niscaya bumi akan hancur luluh karena perbuatan manusia yang berani menentang Allah.Dan seandainya bukan karena kesabaran dan ampunan-Nya, niscaya langit dan bumi telah berguncang hebat karena dosa-dosa para hamba.Allah Ta‘ālā berfirman:إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Dan sungguh, jika keduanya benar-benar lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāṭir: 41)Perhatikan bagaimana ayat ini diakhiri dengan dua nama Allah: Al-Ḥalīm (Maha Penyantun) dan Al-Ghafūr (Maha Pengampun).Di balik dua nama ini terkandung makna mendalam:Seandainya bukan karena kesantunan Allah terhadap para pelaku dosa, dan ampunan-Nya terhadap para pendosa, niscaya langit dan bumi tidak akan bisa bertahan karena banyaknya maksiat manusia.Allah juga berfirman tentang kekafiran sebagian hamba-Nya:تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا“Hampir saja langit pecah karenanya, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping.” (QS. Maryam: 90)وَقَدْ أَخْرَجَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَاهُ وَخَالَفَا فِيهِ نَهْيَهُ، وَلَعَنَ إِبْلِيسَ وَطَرَدَهُ وَأَخْرَجَهُ مِنْ مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ ارْتَكَبَهُ وَخَالَفَ فِيهِ أَمْرَهُ، وَنَحْنُ مَعَاشِرُ الْحَمْقَى كَمَا قِيلَ:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِوَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِوَالْمَقْصُودُ أَنَّ الْعَبْدَ قَدْ يَكُونُ بَعْدَ التَّوْبَةِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ قَبْلَ الْخَطِيئَةِ وَأَرْفَعَ دَرَجَةً، وَقَدْ تُضْعِفُ الْخَطِيئَةُ هِمَّتَهُ وَتُوهِنُ عَزْمَهُ، وَتُمْرِضُ قَلْبَهُ، فَلَا يَقْوَى دَوَاءُ التَّوْبَةِ عَلَى إِعَادَتِهِ إِلَى الصِّحَّةِ الْأَوْلَى، فَلَا يَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَقَدْ يَزُولُ الْمَرَضُ بِحَيْثُ تَعُودُ الصِّحَّةُ كَمَا كَانَتْ وَيَعُودُ إِلَى مِثْلِ عَمَلِهِ، فَيَعُودُ إِلَى دَرَجَتِهِ.هَذَا كُلُّهُ إِذَا كَانَ نُزُولُهُ إِلَى مَعْصِيَةٍ، فَإِنْ كَانَ نُزُولُهُ إِلَى أَمْرٍ يَقْدَحُ فِي أَصْلِ إِيمَانِهِ، مِثْلِ الشُّكُوكِ وَالرِّيَبِ وَالنِّفَاقِ، فَذَاكَ نُزُولٌ لَا يُرْجَى لِصَاحِبِهِ صُعُودٌ إِلَّا بِتَجْدِيدِ إِسْلَامِهِ.Bayangkan — Adam dan Hawa telah dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa, yaitu melanggar larangan Allah.Iblis pun dilaknat dan diusir dari kerajaan langit hanya karena satu kesalahan, yakni enggan tunduk kepada perintah Allah.Namun kita, manusia yang dungu ini — sebagaimana dikatakan seorang penyair:نَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَنَرْتَجِي … دَرَجَ الْجِنَانِ لِذِي النَّعِيمِ الْخَالِدِ“Kita sambung satu dosa dengan dosa yang lain,tapi berharap derajat surga penuh kenikmatan yang abadi!”وَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ … مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِ“Padahal kita tahu, Allah telah mengeluarkan kedua orang tua kita dari kerajaan surga yang tinggi, hanya karena satu dosa.”Maka, tujuan dari semua ini adalah agar kita menyadari:Seorang hamba, setelah bertaubat, bisa jadi menjadi lebih baik daripada sebelum berbuat dosa, bahkan mencapai derajat yang lebih tinggi.Namun, bisa juga dosa itu melemahkan semangatnya, melemahkan tekadnya, dan menyakitkan hatinya, sehingga obat taubat tidak cukup kuat untuk memulihkannya ke keadaan semula. Maka ia tidak kembali ke derajat lamanya.Ada pula yang penyakit dosanya benar-benar sembuh, hingga ia kembali sehat sebagaimana semula dan mampu beramal seperti sebelumnya, maka ia pun kembali ke derajatnya yang dulu.Semua ini berlaku bila kejatuhannya adalah ke dalam maksiat. Namun jika turunnya seseorang adalah kepada hal-hal yang merusak akar keimanan, seperti keraguan, kemunafikan, atau kebimbangan dalam iman, maka itu adalah kejatuhan yang sangat berbahaya — ia tidak akan bisa naik kembali, kecuali dengan memperbarui keislamannya secara sungguh-sungguh. 46. Maksiat Membuat Musuh Kita Makin BeraniIbnul Qayyim rahimahullah berkata, فَصْلٌ الْمَعَاصِي تُجَرِّئُ عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْدَاءَهُ وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُجَرِّئُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَكُنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ مِنْ أَصْنَافِ الْمَخْلُوقَاتِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينَ بِالْأَذَى وَالْإِغْوَاءِ وَالْوَسْوَسَةِ وَالتَّخْوِيفِ وَالتَّحْزِينِ، وَإِنْسَائِهِ مَا بِهِ مَصْلَحَتُهُ فِي ذِكْرِهِ، وَمَضَرَّتُهُ فِي نِسْيَانِهِ، فَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ الشَّيَاطِينُ حَتَّى تَؤُزَّهُ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَزًّا. وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ شَيَاطِينُ الْإِنْسِ بِمَا تَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَذَى فِي غَيْبَتِهِ وَحُضُورِهِ، وَيَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَهْلُهُ وَخَدَمُهُ وَأَوْلَادُهُ وَجِيرَانُهُ حَتَّى الْحَيَوَانُ الْبَهِيمُ.Termasuk di antara hukuman akibat maksiat adalah bahwa maksiat menjadikan makhluk lain berani kepada seseorang, yang sebelumnya tidak akan berani mengganggunya.Akibatnya, setan menjadi berani mengganggunya — dengan cara menyakitinya, menyesatkannya, membisikkan waswas, menakut-nakuti, dan membuatnya bersedih. Setan juga membuatnya lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat baginya jika diingat, dan mengingat hal-hal yang justru membahayakannya.Akhirnya, setan terus menggoda dan menyeretnya ke dalam maksiat kepada Allah dengan dorongan yang kuat.Demikian pula, setan dari kalangan manusia menjadi berani mengganggunya — baik ketika ia hadir maupun tidak hadir — dengan segala bentuk gangguan yang mampu mereka lakukan.Bahkan keluarganya sendiri, para pelayan, anak-anak, dan tetangganya pun berani kepadanya, hingga hewan tunggangan atau binatang peliharaannya ikut berani melawannya.قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَعْرِفُ ذَلِكَ فِي خُلُقِ امْرَأَتِي وَدَابَّتِي. وَكَذَلِكَ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ أَوْلِيَاءُ الْأَمْرِ بِالْعُقُوبَةِ الَّتِي إِنْ عَدَلُوا فِيهَا أَقَامُوا عَلَيْهِ حُدُودَ اللَّهِ، وَتَجْتَرِئُ عَلَيْهِ نَفْسُهُ فَتَتَأَسَّدُ عَلَيْهِ وَتَصْعُبُ عَلَيْهِ، فَلَوْ أَرَادَهَا لِخَيْرٍ لَمْ تُطَاوِعْهُ وَلَمْ تَنْقَدْ لَهُ، وَتَسُوقُهُ إِلَى مَا فِيهِ هَلَاكُهُ، شَاءَ أَمْ أَبِي. وَذَلِكَ لِأَنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الَّذِي مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ، فَإِذَا فَارَقَ الْحِصْنَ اجْتَرَأَ عَلَيْهِ قُطَّاعُ الطَّرِيقِ وَغَيْرُهُمْ، وَعَلَى حَسَبِ اجْتِرَائِهِ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ يَكُونُ اجْتِرَاءُ هَذِهِ الْآفَاتِ وَالنُّفُوسِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ لَهُ شَيْءٌ يَرُدُّ عَنْهُ. فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَطَاعَتَهُ وَالصَّدَقَةَ وَإِرْشَادَ الْجَاهِلِ، وَالْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ – وِقَايَةٌ تَرُدُّ عَنِ الْعَبْدِ، بِمَنْزِلَةِ الْقُوَّةِ الَّتِي تَرُدُّ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا سَقَطَتِ الْقُوَّةُ غَلَبَ وَارِدُ الْمَرَضِ فَكَانَ الْهَلَاكُ، فَلَابُدَّ لِلْعَبْدِ مِنْ شَيْءٍ يَرُدُّ عَنْهُ، فَإِنَّ مُوجِبَ السَّيِّئَاتِ وَالْحَسَنَاتِ تَتَدَافَعُ وَيَكُونُ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ كَمَا تَقَدَّمَ، وَكُلَّمَا قَوِيَ جَانِبُ الْحَسَنَاتِ كَانَ الرَّدُّ أَقْوَى كَمَا تَقَدَّمَ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، فَبِحَسَبِ قُوَّةِ الْإِيمَانِ يَكُونُ الدَّفْعُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.Sebagian salaf berkata, “Sungguh, aku pernah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan akibatnya pada akhlak istriku dan pada hewan tungganganku.”Begitu juga para penguasa menjadi berani menimpakan hukuman kepadanya; jika mereka bersikap adil, tentu mereka hanya menegakkan hukuman dari Allah atas dirinya.Bahkan dirinya sendiri menjadi berani melawannya — jiwanya menjadi liar dan sulit dikendalikan. Ketika ia mengajaknya kepada kebaikan, jiwanya enggan taat dan tidak mau tunduk. Namun, justru ia menyeret dirinya kepada sesuatu yang membinasakan, entah ia mau atau tidak mau.Hal itu terjadi karena ketaatan adalah benteng Allah Ta‘ālā.Barang siapa masuk ke dalam benteng itu, ia akan aman.Namun, jika seseorang keluar dari benteng tersebut, maka para perampok dan musuh akan berani menyerangnya.Seberapa besar seseorang berani bermaksiat kepada Allah, sebesar itu pula makhluk lain akan berani mengganggunya.Dan ia tidak memiliki pelindung apa pun yang bisa menolak bahaya tersebut.Sesungguhnya zikir kepada Allah, ketaatan, sedekah, mengajar orang yang tidak tahu, amar makruf nahi mungkar — semuanya adalah perisai yang melindungi hamba dari gangguan, sebagaimana kekuatan tubuh yang melawan dan menolak penyakit.Jika kekuatan itu hilang, maka penyakit akan menang dan menyebabkan kehancuran.Begitu pula, hati manusia memerlukan sesuatu yang menolak keburukan dari dirinya.Karena dampak buruk dan baik selalu saling menolak; yang menang adalah yang lebih kuat.Semakin kuat amal saleh dan kebaikan seseorang, semakin kuat pula pertahanan dan perlindungan Allah baginya.Sebagaimana firman Allah:إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ḥajj: 38)Dan iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan.Maka, sesuai dengan kadar kekuatan iman seseorang, sebesar itu pula Allah akan menolak bahaya dari dirinya. Allah-lah tempat meminta pertolongan. Masih bersambung insya Allah. – Diupdate pada Rabu, 23 Rabiul Akhir 1447 H, 15 Oktober 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Siapa Saja Kerabat yang Wajib Disambung Silaturahimnya?

Silaturahim termasuk amal besar yang sangat ditekankan dalam Islam. Namun, banyak di antara kita yang belum memahami siapa saja kerabat yang termasuk dalam lingkaran silaturahim yang wajib disambung. Islam mengajarkan bahwa kewajiban ini tidak terbatas pada kerabat dekat atau ahli waris saja, tetapi mencakup setiap keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Tulisan ini menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam lingkaran tersebut, serta tingkatan terbaik dalam menjaga hubungan silaturahim.Kerabat yang wajib disambung (silaturahim) ternyata lebih luas dari sekadar lingkaran ahli waris, lebih luas dari lingkaran mahram, bahkan lebih luas dari lingkaran ‘ashabah (garis keturunan laki-laki). Mereka mencakup seluruh kerabat seorang muslim, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.  Daftar Isi tutup 1. 1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti. 2. 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan. 3. 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan. 4. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat. Adapun tingkatan tertinggi dalam menyambung silaturahim adalah sebagai berikut:1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti.Inilah tingkat yang paling mulia, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:«أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ»“Sedekah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam kebencian.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Al-Albani). 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan.Bisa jadi mereka tidak berbuat jahat, hanya saja tidak mau memulai silaturahim. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda:«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»“Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu yang sekadar membalas (kebaikan). Namun yang benar-benar menyambung adalah orang yang tetap menyambung meski diputuskan.” (HR. Bukhari). 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan.Dalam hal ini, engkau membalas kebaikan dengan kebaikan, meski keutamaan tetap berada pada pihak yang lebih dahulu memulai. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat.Inilah tingkatan yang paling rendah, namun tetap bagian dari silaturahim. Bahasan dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:‏الأقارب الذين تجب صلتهم دائرتهم أوسع من دائرة الورثة، وأوسع من دائرة المحارم، وأوسع من دائرة العصبة، فهم أقارب المسلم من جهة أبيه وأمه، وأعلى درجات الصلة: ‏١. الصلة والإحسان للقريب المعادي والمسيء، كما جاء في حديث «أفضل الصدقة على ذي الرحم الكاشح» [رواه أحمد، وصححه الألباني]. ‏٢. الصلة والإحسان للقريب القاطع، فقد لا يكون مسيئًا ولكن لا يبادر بالصلة، وفي حديث: «لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا» [رواه البخاري]. ‏٣. الصلة للقريب المواصل، ومقابلة الإحسان بالإحسان، فيكون فضل المبادرة له ثم المكافأة منك. ‏٤. كف الأذى عن جميع الأقارب، وهي أدنى المراتب. Baca juga: Berbuat Baik dan Silaturahim (Hadits Bulughul Maram) — Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi bahaya memutus silaturahim keutamaan silaturahim pentingnya silaturahim dalam islam silaturahim silaturahmi

Siapa Saja Kerabat yang Wajib Disambung Silaturahimnya?

Silaturahim termasuk amal besar yang sangat ditekankan dalam Islam. Namun, banyak di antara kita yang belum memahami siapa saja kerabat yang termasuk dalam lingkaran silaturahim yang wajib disambung. Islam mengajarkan bahwa kewajiban ini tidak terbatas pada kerabat dekat atau ahli waris saja, tetapi mencakup setiap keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Tulisan ini menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam lingkaran tersebut, serta tingkatan terbaik dalam menjaga hubungan silaturahim.Kerabat yang wajib disambung (silaturahim) ternyata lebih luas dari sekadar lingkaran ahli waris, lebih luas dari lingkaran mahram, bahkan lebih luas dari lingkaran ‘ashabah (garis keturunan laki-laki). Mereka mencakup seluruh kerabat seorang muslim, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.  Daftar Isi tutup 1. 1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti. 2. 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan. 3. 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan. 4. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat. Adapun tingkatan tertinggi dalam menyambung silaturahim adalah sebagai berikut:1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti.Inilah tingkat yang paling mulia, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:«أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ»“Sedekah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam kebencian.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Al-Albani). 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan.Bisa jadi mereka tidak berbuat jahat, hanya saja tidak mau memulai silaturahim. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda:«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»“Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu yang sekadar membalas (kebaikan). Namun yang benar-benar menyambung adalah orang yang tetap menyambung meski diputuskan.” (HR. Bukhari). 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan.Dalam hal ini, engkau membalas kebaikan dengan kebaikan, meski keutamaan tetap berada pada pihak yang lebih dahulu memulai. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat.Inilah tingkatan yang paling rendah, namun tetap bagian dari silaturahim. Bahasan dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:‏الأقارب الذين تجب صلتهم دائرتهم أوسع من دائرة الورثة، وأوسع من دائرة المحارم، وأوسع من دائرة العصبة، فهم أقارب المسلم من جهة أبيه وأمه، وأعلى درجات الصلة: ‏١. الصلة والإحسان للقريب المعادي والمسيء، كما جاء في حديث «أفضل الصدقة على ذي الرحم الكاشح» [رواه أحمد، وصححه الألباني]. ‏٢. الصلة والإحسان للقريب القاطع، فقد لا يكون مسيئًا ولكن لا يبادر بالصلة، وفي حديث: «لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا» [رواه البخاري]. ‏٣. الصلة للقريب المواصل، ومقابلة الإحسان بالإحسان، فيكون فضل المبادرة له ثم المكافأة منك. ‏٤. كف الأذى عن جميع الأقارب، وهي أدنى المراتب. Baca juga: Berbuat Baik dan Silaturahim (Hadits Bulughul Maram) — Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi bahaya memutus silaturahim keutamaan silaturahim pentingnya silaturahim dalam islam silaturahim silaturahmi
Silaturahim termasuk amal besar yang sangat ditekankan dalam Islam. Namun, banyak di antara kita yang belum memahami siapa saja kerabat yang termasuk dalam lingkaran silaturahim yang wajib disambung. Islam mengajarkan bahwa kewajiban ini tidak terbatas pada kerabat dekat atau ahli waris saja, tetapi mencakup setiap keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Tulisan ini menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam lingkaran tersebut, serta tingkatan terbaik dalam menjaga hubungan silaturahim.Kerabat yang wajib disambung (silaturahim) ternyata lebih luas dari sekadar lingkaran ahli waris, lebih luas dari lingkaran mahram, bahkan lebih luas dari lingkaran ‘ashabah (garis keturunan laki-laki). Mereka mencakup seluruh kerabat seorang muslim, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.  Daftar Isi tutup 1. 1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti. 2. 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan. 3. 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan. 4. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat. Adapun tingkatan tertinggi dalam menyambung silaturahim adalah sebagai berikut:1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti.Inilah tingkat yang paling mulia, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:«أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ»“Sedekah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam kebencian.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Al-Albani). 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan.Bisa jadi mereka tidak berbuat jahat, hanya saja tidak mau memulai silaturahim. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda:«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»“Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu yang sekadar membalas (kebaikan). Namun yang benar-benar menyambung adalah orang yang tetap menyambung meski diputuskan.” (HR. Bukhari). 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan.Dalam hal ini, engkau membalas kebaikan dengan kebaikan, meski keutamaan tetap berada pada pihak yang lebih dahulu memulai. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat.Inilah tingkatan yang paling rendah, namun tetap bagian dari silaturahim. Bahasan dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:‏الأقارب الذين تجب صلتهم دائرتهم أوسع من دائرة الورثة، وأوسع من دائرة المحارم، وأوسع من دائرة العصبة، فهم أقارب المسلم من جهة أبيه وأمه، وأعلى درجات الصلة: ‏١. الصلة والإحسان للقريب المعادي والمسيء، كما جاء في حديث «أفضل الصدقة على ذي الرحم الكاشح» [رواه أحمد، وصححه الألباني]. ‏٢. الصلة والإحسان للقريب القاطع، فقد لا يكون مسيئًا ولكن لا يبادر بالصلة، وفي حديث: «لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا» [رواه البخاري]. ‏٣. الصلة للقريب المواصل، ومقابلة الإحسان بالإحسان، فيكون فضل المبادرة له ثم المكافأة منك. ‏٤. كف الأذى عن جميع الأقارب، وهي أدنى المراتب. Baca juga: Berbuat Baik dan Silaturahim (Hadits Bulughul Maram) — Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi bahaya memutus silaturahim keutamaan silaturahim pentingnya silaturahim dalam islam silaturahim silaturahmi


Silaturahim termasuk amal besar yang sangat ditekankan dalam Islam. Namun, banyak di antara kita yang belum memahami siapa saja kerabat yang termasuk dalam lingkaran silaturahim yang wajib disambung. Islam mengajarkan bahwa kewajiban ini tidak terbatas pada kerabat dekat atau ahli waris saja, tetapi mencakup setiap keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Tulisan ini menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam lingkaran tersebut, serta tingkatan terbaik dalam menjaga hubungan silaturahim.Kerabat yang wajib disambung (silaturahim) ternyata lebih luas dari sekadar lingkaran ahli waris, lebih luas dari lingkaran mahram, bahkan lebih luas dari lingkaran ‘ashabah (garis keturunan laki-laki). Mereka mencakup seluruh kerabat seorang muslim, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.  Daftar Isi tutup 1. 1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti. 2. 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan. 3. 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan. 4. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat. Adapun tingkatan tertinggi dalam menyambung silaturahim adalah sebagai berikut:1. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memusuhi dan menyakiti.Inilah tingkat yang paling mulia, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:«أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ»“Sedekah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam kebencian.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Al-Albani). 2. Menyambung dan berbuat baik kepada kerabat yang memutus hubungan.Bisa jadi mereka tidak berbuat jahat, hanya saja tidak mau memulai silaturahim. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda:«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»“Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu yang sekadar membalas (kebaikan). Namun yang benar-benar menyambung adalah orang yang tetap menyambung meski diputuskan.” (HR. Bukhari). 3. Menyambung kerabat yang memang sudah menjaga hubungan.Dalam hal ini, engkau membalas kebaikan dengan kebaikan, meski keutamaan tetap berada pada pihak yang lebih dahulu memulai. 4. Menahan diri dari menyakiti semua kerabat.Inilah tingkatan yang paling rendah, namun tetap bagian dari silaturahim. Bahasan dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:‏الأقارب الذين تجب صلتهم دائرتهم أوسع من دائرة الورثة، وأوسع من دائرة المحارم، وأوسع من دائرة العصبة، فهم أقارب المسلم من جهة أبيه وأمه، وأعلى درجات الصلة: ‏١. الصلة والإحسان للقريب المعادي والمسيء، كما جاء في حديث «أفضل الصدقة على ذي الرحم الكاشح» [رواه أحمد، وصححه الألباني]. ‏٢. الصلة والإحسان للقريب القاطع، فقد لا يكون مسيئًا ولكن لا يبادر بالصلة، وفي حديث: «لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا» [رواه البخاري]. ‏٣. الصلة للقريب المواصل، ومقابلة الإحسان بالإحسان، فيكون فضل المبادرة له ثم المكافأة منك. ‏٤. كف الأذى عن جميع الأقارب، وهي أدنى المراتب. Baca juga: Berbuat Baik dan Silaturahim (Hadits Bulughul Maram) — Kamis, 1 Jumadilawal 1447 H, 23 Oktober 2025 @ GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi bahaya memutus silaturahim keutamaan silaturahim pentingnya silaturahim dalam islam silaturahim silaturahmi

Hubungan antara Takwa dengan Akhlak Mulia

Daftar Isi ToggleHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaMemadukan antara khouf dan roja’Sebenar-benar takwaHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaDari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai sebab yang terbanyak membuat orang masuk ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang bagus.” (HR. Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh al-Albani)Para ulama menjelaskan bahwa di dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan antara takwa dengan akhlak yang mulia; karena dengan takwa akan memperbaiki hubungan hamba dengan Allah, sedangkan dengan akhlak yang mulia akan memperbaiki hubungan hamba dengan sesama manusia. (Lihat keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah yang dikutip oleh Syekh Abdurrazzaq al-Badr dalam Ahaditsul Akhlaq, hal. 7)Akhlak mulia menjadi sebab Allah mencintai seorang hamba. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, disahihkan oleh al-Albani)Termasuk sebab untuk meraih cinta Allah adalah memberikan manfaat kepada umat manusia; dan ini pun termasuk bagian dari akhlak yang mulia. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling bermanfaat bagi manusia…” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya, sanadnya dihasankan al-Albani)Dan di antara bentuk akhlak yang mulia adalah beristigfar dan bertobat kepada Allah. Karena itulah, Allah pun menyandingkan tauhid dengan istigfar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mencontohkan,واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً“Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar (memohon ampunan) kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)Mak-hul meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata,ما رأيت أحدًا أكثر استغفارًا من رسول الله صلى الله عليه وسلم“Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak istigfarnya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Kemudian beliau (Mak-hul) mengatakan,ما رأيت أكثر استغفارًا من أبى هريرة“Tidaklah aku melihat ada orang yang lebih banyak beristigfar daripada Abu Hurairah.” (Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Baththal dalam Syarh Shahih Bukhari)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,طوبى لِمَن وجد في صحيفته استغفاراً كثيراً“Beruntunglah bagi orang yang mendapati di dalam lembaran catatan amalnya nanti ucapan istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ’anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir hidupnya setelah sekian lama menjalani perjuangan dakwah dengan jiwa dan raganya pun diperintahkan oleh Allah untuk beristigfar kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nashr. “Maka sucikanlah dengan memuji Rabbmu dan mohon ampunlah kepada-Nya..”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa taat kepadaku, maka dia masuk surga; dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia lah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيم“Sungguh dahulu kami sering menghitung kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis beliau mengucapkan kalimat ‘Rabbighfirlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur rahiim‘ (yang artinya), “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan berikanlah tobat kepadaku, sesungguhnya Engkau Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إلى اللهِ، فإنِّي أَتُوبُ في اليَومِ إلَيْهِ مِئَةَ مَرَّةٍ‘Wahai manusia, bertobatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim dari al-Aghar al-Muzani radhiyallahu ’anhu)Memadukan antara khouf dan roja’Di antara perkara yang sangat kita butuhkan pada masa seperti sekarang ini adalah keberadaan akidah khouf dan roja’ di dalam hati. Para ulama menggambarkan bahwa seyogyanya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung dengan dua belah sayap dan kepalanya.Adapun kedua belah sayap itu ibarat dari khouf dan roja’. Khouf yaitu rasa takut kepada Allah, takut terhadap hukuman dan azab-Nya. Roja’ yaitu harapan kepada Allah dan pahala dari-Nya. Sementara yang menjadi kepalanya adalah mahabbah (rasa cinta); yaitu cinta kepada Allah dan apa-apa yang Allah cintai. Dengan ketiga unsur inilah seorang muslim membangun amal dan ketaatannya kepada Allah.Allah berfirman,نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ“Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Aku lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.” (QS. al-Hijr: 49-50)Syekh Muhammad bin Abdullah as-Subayyil rahimahullah (wafat 1434 H) mengatakan,ولذا ينبغي على المؤمن أن يعيش في هذه الدنيا كالطائر الذي له جناحان ورأس ، أما الجناحان : فالخوف والرجاء ، وأما الرأس فالمحبة“Oleh sebab itu, semestinya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung yang memiliki dua belah sayap dan sebuah kepala. Adapun kedua sayap itu adalah takut dan harapan, sedangkan yang menjadi kepalanya adalah kecintaan.” (Lihat Fatawa al-‘Aqidah dalam website resmi beliau. Link artikel: https://alsubail.af.org.sa/ar/node/210)Di antara buah dan manfaat dari khouf adalah segera bertobat kepada Allah dari dosa dan maksiat kemudian berusaha menjauhi perbuatan dosa. Sementara buah dari roja’ adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Adapun kecintaan merupakan penggerak utama dalam melakukan berbagai amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa hati-hati manusia itu tercipta dalam keadaan mencintai Dzat Yang berbuat baik kepadanya.Takwa kepada Allah juga ditegakkan di atas pilar khouf dan roja’. Oleh sebab itu, Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Risalah Tabukiyah)Allah berfirman,وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ“Dan sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh kemudian mengikuti petunjuk.” (QS. Thaha: 82)Sebenar-benar takwaAllah berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)Di dalam ayat yang mulia ini, Allah memerintahkan kepada segenap kaum beriman; yaitu orang-orang yang Allah berikan nikmat keimanan di dalam hatinya dan ketundukan beribadah kepada Allah dengan jiwa dan raganya. Sebuah perintah untuk bertakwa kepada Allah; yaitu mencakup sikap patuh dan tunduk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di dalam ayat ini, Allah juga melarang mereka dari meninggalkan agama dan keimanan yang telah mereka pegang selama ini.Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu tentang maksud dari perintah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata,أن يطاع فلا يعصى ، وأن يذكر فلا ينسى ، وأن يشكر فلا يكفر“Yaitu Allah ditaati, tidak didurhakai. Allah diingat dan tidak dilupakan. Allah disyukuri dan tidak boleh dikufuri.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali ‘Imran ayat 102)Di dalam kalimat yang ringkas ini, Ibnu Mas’ud menjelaskan kepada kita beberapa simpul ketakwaan. Bahwa takwa kepada Allah itu dibangun di atas 3 landasan; ketaatan, zikir, dan syukur. Taat kepada Allah mencakup melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Termasuk bentuk ketaatan adalah sabar dan tawakal kepada Allah. Zikir kepada Allah mencakup kalimat tauhid, kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan membaca al-Qur’an. Adapun syukur kepada Allah meliputi keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan berupa pujian kepada Allah dan menggunakan nikmat yang Allah berikan dalam kebaikan.Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Syukur adalah bersungguh-sungguh dalam mengerahkan ketaatan dengan disertai tindakan menjauhi maksiat dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan.” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 2: 105; karya al-Qurthubi)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya baik yang bersifat lahir maupun batin.” (Lihat al-Fawa’id, hal. 193 penerbit ar-Rusyd)Syekh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati, ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan, ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan, ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan demikian, syukur mencakup segala bentuk amal ketaatan. (Lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hal. 220)Baca juga: Bertakwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Hubungan antara Takwa dengan Akhlak Mulia

Daftar Isi ToggleHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaMemadukan antara khouf dan roja’Sebenar-benar takwaHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaDari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai sebab yang terbanyak membuat orang masuk ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang bagus.” (HR. Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh al-Albani)Para ulama menjelaskan bahwa di dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan antara takwa dengan akhlak yang mulia; karena dengan takwa akan memperbaiki hubungan hamba dengan Allah, sedangkan dengan akhlak yang mulia akan memperbaiki hubungan hamba dengan sesama manusia. (Lihat keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah yang dikutip oleh Syekh Abdurrazzaq al-Badr dalam Ahaditsul Akhlaq, hal. 7)Akhlak mulia menjadi sebab Allah mencintai seorang hamba. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, disahihkan oleh al-Albani)Termasuk sebab untuk meraih cinta Allah adalah memberikan manfaat kepada umat manusia; dan ini pun termasuk bagian dari akhlak yang mulia. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling bermanfaat bagi manusia…” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya, sanadnya dihasankan al-Albani)Dan di antara bentuk akhlak yang mulia adalah beristigfar dan bertobat kepada Allah. Karena itulah, Allah pun menyandingkan tauhid dengan istigfar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mencontohkan,واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً“Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar (memohon ampunan) kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)Mak-hul meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata,ما رأيت أحدًا أكثر استغفارًا من رسول الله صلى الله عليه وسلم“Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak istigfarnya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Kemudian beliau (Mak-hul) mengatakan,ما رأيت أكثر استغفارًا من أبى هريرة“Tidaklah aku melihat ada orang yang lebih banyak beristigfar daripada Abu Hurairah.” (Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Baththal dalam Syarh Shahih Bukhari)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,طوبى لِمَن وجد في صحيفته استغفاراً كثيراً“Beruntunglah bagi orang yang mendapati di dalam lembaran catatan amalnya nanti ucapan istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ’anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir hidupnya setelah sekian lama menjalani perjuangan dakwah dengan jiwa dan raganya pun diperintahkan oleh Allah untuk beristigfar kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nashr. “Maka sucikanlah dengan memuji Rabbmu dan mohon ampunlah kepada-Nya..”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa taat kepadaku, maka dia masuk surga; dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia lah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيم“Sungguh dahulu kami sering menghitung kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis beliau mengucapkan kalimat ‘Rabbighfirlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur rahiim‘ (yang artinya), “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan berikanlah tobat kepadaku, sesungguhnya Engkau Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إلى اللهِ، فإنِّي أَتُوبُ في اليَومِ إلَيْهِ مِئَةَ مَرَّةٍ‘Wahai manusia, bertobatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim dari al-Aghar al-Muzani radhiyallahu ’anhu)Memadukan antara khouf dan roja’Di antara perkara yang sangat kita butuhkan pada masa seperti sekarang ini adalah keberadaan akidah khouf dan roja’ di dalam hati. Para ulama menggambarkan bahwa seyogyanya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung dengan dua belah sayap dan kepalanya.Adapun kedua belah sayap itu ibarat dari khouf dan roja’. Khouf yaitu rasa takut kepada Allah, takut terhadap hukuman dan azab-Nya. Roja’ yaitu harapan kepada Allah dan pahala dari-Nya. Sementara yang menjadi kepalanya adalah mahabbah (rasa cinta); yaitu cinta kepada Allah dan apa-apa yang Allah cintai. Dengan ketiga unsur inilah seorang muslim membangun amal dan ketaatannya kepada Allah.Allah berfirman,نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ“Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Aku lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.” (QS. al-Hijr: 49-50)Syekh Muhammad bin Abdullah as-Subayyil rahimahullah (wafat 1434 H) mengatakan,ولذا ينبغي على المؤمن أن يعيش في هذه الدنيا كالطائر الذي له جناحان ورأس ، أما الجناحان : فالخوف والرجاء ، وأما الرأس فالمحبة“Oleh sebab itu, semestinya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung yang memiliki dua belah sayap dan sebuah kepala. Adapun kedua sayap itu adalah takut dan harapan, sedangkan yang menjadi kepalanya adalah kecintaan.” (Lihat Fatawa al-‘Aqidah dalam website resmi beliau. Link artikel: https://alsubail.af.org.sa/ar/node/210)Di antara buah dan manfaat dari khouf adalah segera bertobat kepada Allah dari dosa dan maksiat kemudian berusaha menjauhi perbuatan dosa. Sementara buah dari roja’ adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Adapun kecintaan merupakan penggerak utama dalam melakukan berbagai amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa hati-hati manusia itu tercipta dalam keadaan mencintai Dzat Yang berbuat baik kepadanya.Takwa kepada Allah juga ditegakkan di atas pilar khouf dan roja’. Oleh sebab itu, Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Risalah Tabukiyah)Allah berfirman,وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ“Dan sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh kemudian mengikuti petunjuk.” (QS. Thaha: 82)Sebenar-benar takwaAllah berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)Di dalam ayat yang mulia ini, Allah memerintahkan kepada segenap kaum beriman; yaitu orang-orang yang Allah berikan nikmat keimanan di dalam hatinya dan ketundukan beribadah kepada Allah dengan jiwa dan raganya. Sebuah perintah untuk bertakwa kepada Allah; yaitu mencakup sikap patuh dan tunduk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di dalam ayat ini, Allah juga melarang mereka dari meninggalkan agama dan keimanan yang telah mereka pegang selama ini.Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu tentang maksud dari perintah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata,أن يطاع فلا يعصى ، وأن يذكر فلا ينسى ، وأن يشكر فلا يكفر“Yaitu Allah ditaati, tidak didurhakai. Allah diingat dan tidak dilupakan. Allah disyukuri dan tidak boleh dikufuri.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali ‘Imran ayat 102)Di dalam kalimat yang ringkas ini, Ibnu Mas’ud menjelaskan kepada kita beberapa simpul ketakwaan. Bahwa takwa kepada Allah itu dibangun di atas 3 landasan; ketaatan, zikir, dan syukur. Taat kepada Allah mencakup melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Termasuk bentuk ketaatan adalah sabar dan tawakal kepada Allah. Zikir kepada Allah mencakup kalimat tauhid, kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan membaca al-Qur’an. Adapun syukur kepada Allah meliputi keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan berupa pujian kepada Allah dan menggunakan nikmat yang Allah berikan dalam kebaikan.Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Syukur adalah bersungguh-sungguh dalam mengerahkan ketaatan dengan disertai tindakan menjauhi maksiat dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan.” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 2: 105; karya al-Qurthubi)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya baik yang bersifat lahir maupun batin.” (Lihat al-Fawa’id, hal. 193 penerbit ar-Rusyd)Syekh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati, ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan, ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan, ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan demikian, syukur mencakup segala bentuk amal ketaatan. (Lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hal. 220)Baca juga: Bertakwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaMemadukan antara khouf dan roja’Sebenar-benar takwaHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaDari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai sebab yang terbanyak membuat orang masuk ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang bagus.” (HR. Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh al-Albani)Para ulama menjelaskan bahwa di dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan antara takwa dengan akhlak yang mulia; karena dengan takwa akan memperbaiki hubungan hamba dengan Allah, sedangkan dengan akhlak yang mulia akan memperbaiki hubungan hamba dengan sesama manusia. (Lihat keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah yang dikutip oleh Syekh Abdurrazzaq al-Badr dalam Ahaditsul Akhlaq, hal. 7)Akhlak mulia menjadi sebab Allah mencintai seorang hamba. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, disahihkan oleh al-Albani)Termasuk sebab untuk meraih cinta Allah adalah memberikan manfaat kepada umat manusia; dan ini pun termasuk bagian dari akhlak yang mulia. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling bermanfaat bagi manusia…” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya, sanadnya dihasankan al-Albani)Dan di antara bentuk akhlak yang mulia adalah beristigfar dan bertobat kepada Allah. Karena itulah, Allah pun menyandingkan tauhid dengan istigfar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mencontohkan,واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً“Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar (memohon ampunan) kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)Mak-hul meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata,ما رأيت أحدًا أكثر استغفارًا من رسول الله صلى الله عليه وسلم“Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak istigfarnya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Kemudian beliau (Mak-hul) mengatakan,ما رأيت أكثر استغفارًا من أبى هريرة“Tidaklah aku melihat ada orang yang lebih banyak beristigfar daripada Abu Hurairah.” (Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Baththal dalam Syarh Shahih Bukhari)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,طوبى لِمَن وجد في صحيفته استغفاراً كثيراً“Beruntunglah bagi orang yang mendapati di dalam lembaran catatan amalnya nanti ucapan istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ’anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir hidupnya setelah sekian lama menjalani perjuangan dakwah dengan jiwa dan raganya pun diperintahkan oleh Allah untuk beristigfar kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nashr. “Maka sucikanlah dengan memuji Rabbmu dan mohon ampunlah kepada-Nya..”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa taat kepadaku, maka dia masuk surga; dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia lah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيم“Sungguh dahulu kami sering menghitung kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis beliau mengucapkan kalimat ‘Rabbighfirlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur rahiim‘ (yang artinya), “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan berikanlah tobat kepadaku, sesungguhnya Engkau Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إلى اللهِ، فإنِّي أَتُوبُ في اليَومِ إلَيْهِ مِئَةَ مَرَّةٍ‘Wahai manusia, bertobatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim dari al-Aghar al-Muzani radhiyallahu ’anhu)Memadukan antara khouf dan roja’Di antara perkara yang sangat kita butuhkan pada masa seperti sekarang ini adalah keberadaan akidah khouf dan roja’ di dalam hati. Para ulama menggambarkan bahwa seyogyanya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung dengan dua belah sayap dan kepalanya.Adapun kedua belah sayap itu ibarat dari khouf dan roja’. Khouf yaitu rasa takut kepada Allah, takut terhadap hukuman dan azab-Nya. Roja’ yaitu harapan kepada Allah dan pahala dari-Nya. Sementara yang menjadi kepalanya adalah mahabbah (rasa cinta); yaitu cinta kepada Allah dan apa-apa yang Allah cintai. Dengan ketiga unsur inilah seorang muslim membangun amal dan ketaatannya kepada Allah.Allah berfirman,نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ“Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Aku lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.” (QS. al-Hijr: 49-50)Syekh Muhammad bin Abdullah as-Subayyil rahimahullah (wafat 1434 H) mengatakan,ولذا ينبغي على المؤمن أن يعيش في هذه الدنيا كالطائر الذي له جناحان ورأس ، أما الجناحان : فالخوف والرجاء ، وأما الرأس فالمحبة“Oleh sebab itu, semestinya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung yang memiliki dua belah sayap dan sebuah kepala. Adapun kedua sayap itu adalah takut dan harapan, sedangkan yang menjadi kepalanya adalah kecintaan.” (Lihat Fatawa al-‘Aqidah dalam website resmi beliau. Link artikel: https://alsubail.af.org.sa/ar/node/210)Di antara buah dan manfaat dari khouf adalah segera bertobat kepada Allah dari dosa dan maksiat kemudian berusaha menjauhi perbuatan dosa. Sementara buah dari roja’ adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Adapun kecintaan merupakan penggerak utama dalam melakukan berbagai amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa hati-hati manusia itu tercipta dalam keadaan mencintai Dzat Yang berbuat baik kepadanya.Takwa kepada Allah juga ditegakkan di atas pilar khouf dan roja’. Oleh sebab itu, Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Risalah Tabukiyah)Allah berfirman,وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ“Dan sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh kemudian mengikuti petunjuk.” (QS. Thaha: 82)Sebenar-benar takwaAllah berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)Di dalam ayat yang mulia ini, Allah memerintahkan kepada segenap kaum beriman; yaitu orang-orang yang Allah berikan nikmat keimanan di dalam hatinya dan ketundukan beribadah kepada Allah dengan jiwa dan raganya. Sebuah perintah untuk bertakwa kepada Allah; yaitu mencakup sikap patuh dan tunduk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di dalam ayat ini, Allah juga melarang mereka dari meninggalkan agama dan keimanan yang telah mereka pegang selama ini.Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu tentang maksud dari perintah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata,أن يطاع فلا يعصى ، وأن يذكر فلا ينسى ، وأن يشكر فلا يكفر“Yaitu Allah ditaati, tidak didurhakai. Allah diingat dan tidak dilupakan. Allah disyukuri dan tidak boleh dikufuri.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali ‘Imran ayat 102)Di dalam kalimat yang ringkas ini, Ibnu Mas’ud menjelaskan kepada kita beberapa simpul ketakwaan. Bahwa takwa kepada Allah itu dibangun di atas 3 landasan; ketaatan, zikir, dan syukur. Taat kepada Allah mencakup melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Termasuk bentuk ketaatan adalah sabar dan tawakal kepada Allah. Zikir kepada Allah mencakup kalimat tauhid, kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan membaca al-Qur’an. Adapun syukur kepada Allah meliputi keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan berupa pujian kepada Allah dan menggunakan nikmat yang Allah berikan dalam kebaikan.Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Syukur adalah bersungguh-sungguh dalam mengerahkan ketaatan dengan disertai tindakan menjauhi maksiat dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan.” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 2: 105; karya al-Qurthubi)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya baik yang bersifat lahir maupun batin.” (Lihat al-Fawa’id, hal. 193 penerbit ar-Rusyd)Syekh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati, ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan, ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan, ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan demikian, syukur mencakup segala bentuk amal ketaatan. (Lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hal. 220)Baca juga: Bertakwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaMemadukan antara khouf dan roja’Sebenar-benar takwaHubungan antara takwa dengan akhlak yang muliaDari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai sebab yang terbanyak membuat orang masuk ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang bagus.” (HR. Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh al-Albani)Para ulama menjelaskan bahwa di dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan antara takwa dengan akhlak yang mulia; karena dengan takwa akan memperbaiki hubungan hamba dengan Allah, sedangkan dengan akhlak yang mulia akan memperbaiki hubungan hamba dengan sesama manusia. (Lihat keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah yang dikutip oleh Syekh Abdurrazzaq al-Badr dalam Ahaditsul Akhlaq, hal. 7)Akhlak mulia menjadi sebab Allah mencintai seorang hamba. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, disahihkan oleh al-Albani)Termasuk sebab untuk meraih cinta Allah adalah memberikan manfaat kepada umat manusia; dan ini pun termasuk bagian dari akhlak yang mulia. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling bermanfaat bagi manusia…” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya, sanadnya dihasankan al-Albani)Dan di antara bentuk akhlak yang mulia adalah beristigfar dan bertobat kepada Allah. Karena itulah, Allah pun menyandingkan tauhid dengan istigfar. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mencontohkan,واللَّهِ إنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وأَتُوبُ إلَيْهِ في اليَومِ أكْثَرَ مِن سَبْعِينَ مَرَّةً“Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar (memohon ampunan) kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)Mak-hul meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata,ما رأيت أحدًا أكثر استغفارًا من رسول الله صلى الله عليه وسلم“Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak istigfarnya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Kemudian beliau (Mak-hul) mengatakan,ما رأيت أكثر استغفارًا من أبى هريرة“Tidaklah aku melihat ada orang yang lebih banyak beristigfar daripada Abu Hurairah.” (Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Baththal dalam Syarh Shahih Bukhari)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,طوبى لِمَن وجد في صحيفته استغفاراً كثيراً“Beruntunglah bagi orang yang mendapati di dalam lembaran catatan amalnya nanti ucapan istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ’anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir hidupnya setelah sekian lama menjalani perjuangan dakwah dengan jiwa dan raganya pun diperintahkan oleh Allah untuk beristigfar kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nashr. “Maka sucikanlah dengan memuji Rabbmu dan mohon ampunlah kepada-Nya..”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa taat kepadaku, maka dia masuk surga; dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia lah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari)Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ: رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيم“Sungguh dahulu kami sering menghitung kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis beliau mengucapkan kalimat ‘Rabbighfirlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur rahiim‘ (yang artinya), “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan berikanlah tobat kepadaku, sesungguhnya Engkau Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إلى اللهِ، فإنِّي أَتُوبُ في اليَومِ إلَيْهِ مِئَةَ مَرَّةٍ‘Wahai manusia, bertobatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim dari al-Aghar al-Muzani radhiyallahu ’anhu)Memadukan antara khouf dan roja’Di antara perkara yang sangat kita butuhkan pada masa seperti sekarang ini adalah keberadaan akidah khouf dan roja’ di dalam hati. Para ulama menggambarkan bahwa seyogyanya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung dengan dua belah sayap dan kepalanya.Adapun kedua belah sayap itu ibarat dari khouf dan roja’. Khouf yaitu rasa takut kepada Allah, takut terhadap hukuman dan azab-Nya. Roja’ yaitu harapan kepada Allah dan pahala dari-Nya. Sementara yang menjadi kepalanya adalah mahabbah (rasa cinta); yaitu cinta kepada Allah dan apa-apa yang Allah cintai. Dengan ketiga unsur inilah seorang muslim membangun amal dan ketaatannya kepada Allah.Allah berfirman,نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ“Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Aku lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang, dan sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.” (QS. al-Hijr: 49-50)Syekh Muhammad bin Abdullah as-Subayyil rahimahullah (wafat 1434 H) mengatakan,ولذا ينبغي على المؤمن أن يعيش في هذه الدنيا كالطائر الذي له جناحان ورأس ، أما الجناحان : فالخوف والرجاء ، وأما الرأس فالمحبة“Oleh sebab itu, semestinya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung yang memiliki dua belah sayap dan sebuah kepala. Adapun kedua sayap itu adalah takut dan harapan, sedangkan yang menjadi kepalanya adalah kecintaan.” (Lihat Fatawa al-‘Aqidah dalam website resmi beliau. Link artikel: https://alsubail.af.org.sa/ar/node/210)Di antara buah dan manfaat dari khouf adalah segera bertobat kepada Allah dari dosa dan maksiat kemudian berusaha menjauhi perbuatan dosa. Sementara buah dari roja’ adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Adapun kecintaan merupakan penggerak utama dalam melakukan berbagai amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa hati-hati manusia itu tercipta dalam keadaan mencintai Dzat Yang berbuat baik kepadanya.Takwa kepada Allah juga ditegakkan di atas pilar khouf dan roja’. Oleh sebab itu, Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Risalah Tabukiyah)Allah berfirman,وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ“Dan sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh kemudian mengikuti petunjuk.” (QS. Thaha: 82)Sebenar-benar takwaAllah berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)Di dalam ayat yang mulia ini, Allah memerintahkan kepada segenap kaum beriman; yaitu orang-orang yang Allah berikan nikmat keimanan di dalam hatinya dan ketundukan beribadah kepada Allah dengan jiwa dan raganya. Sebuah perintah untuk bertakwa kepada Allah; yaitu mencakup sikap patuh dan tunduk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di dalam ayat ini, Allah juga melarang mereka dari meninggalkan agama dan keimanan yang telah mereka pegang selama ini.Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu tentang maksud dari perintah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata,أن يطاع فلا يعصى ، وأن يذكر فلا ينسى ، وأن يشكر فلا يكفر“Yaitu Allah ditaati, tidak didurhakai. Allah diingat dan tidak dilupakan. Allah disyukuri dan tidak boleh dikufuri.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali ‘Imran ayat 102)Di dalam kalimat yang ringkas ini, Ibnu Mas’ud menjelaskan kepada kita beberapa simpul ketakwaan. Bahwa takwa kepada Allah itu dibangun di atas 3 landasan; ketaatan, zikir, dan syukur. Taat kepada Allah mencakup melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Termasuk bentuk ketaatan adalah sabar dan tawakal kepada Allah. Zikir kepada Allah mencakup kalimat tauhid, kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan membaca al-Qur’an. Adapun syukur kepada Allah meliputi keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan berupa pujian kepada Allah dan menggunakan nikmat yang Allah berikan dalam kebaikan.Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Syukur adalah bersungguh-sungguh dalam mengerahkan ketaatan dengan disertai tindakan menjauhi maksiat dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan.” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 2: 105; karya al-Qurthubi)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya baik yang bersifat lahir maupun batin.” (Lihat al-Fawa’id, hal. 193 penerbit ar-Rusyd)Syekh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati, ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan, ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan, ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan demikian, syukur mencakup segala bentuk amal ketaatan. (Lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hal. 220)Baca juga: Bertakwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Mengenal Bagaimana Rasulullah Duduk dan Bersandar

Daftar Isi ToggleDuduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandar ketika dudukBersandar ketika berdiriPenutupDuduk dan bersandar merupakan salah satu aktivitas yang pasti dilakukan oleh manusia. Setiap orang juga tentunya memiliki kebiasaan masing-masing untuk duduk dan bersandar. Hal tersebut juga berlaku pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki cara duduk dan bersandar juga. Lalu bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar?Sebagai seorang muslim, tentunya kita sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu bukti cinta kita tentunya dengan berusaha mengenali beliau, juga meniru dan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada artikel ini, akan kita bahas mengenai cara duduk Rasulullah dan juga cara beliau bersandar.Duduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamDuduk merupakan hal yang tentunya biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya, Rasulullah pun tentu melakukannya. Salah satu posisi duduk yang dilakukan oleh Nabi adalah duduk qurfusha’. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qailah binti Makhramah, ia berkata,عن قَيْلَةَ بنتِ مَخْرَمَةَ أنها رَأَتْ رسولَ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، وهو قاعدٌ القُرْفُصاءَ، قالت فلما رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم المُتَخَشِّعَ في الجِلْسَة أُرْعِدْتُ من الفَرَقِ“Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, beliau sedang duduk dengan duduk qurfusha’.” Ia berkata, “Ketika aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan penuh kekhusyukan saat duduk itu, aku gemetar karena kewibawaan beliau.” (HR. Abu Daud)Lalu apa itu duduk qurfusha’? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan bahwa duduk qurfusha’ itu bisa diartikan menjadi dua, yaitu:Pertama, duduk dengan merapatkan paha dan menempelkannya pada perut dan memeluk kedua lutut dengan kedua tangannya.Kedua, duduk dengan bersandar pada kedua lututnya seperti duduk tasyahud, lalu menempelkan perutnya pada kedua pahanya, dan meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak.Terdapat hadis lain yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk ketika beliau berada di dalam masjid. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,كان رسولُ اللهِ إذا جلس في المسجدِ احتبَى بيديْهِ“Apabila Rasulullah duduk di masjid, beliau duduk ihtibā’ dengan kedua tangannya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah duduk dengan duduk ihtiba’. Duduk ihtiba’ adalah seseorang duduk di atas pantatnya, lalu menekukkan perut dan kedua kakinya ke arah pahanya, sambil memegang kedua betisnya dengan tangannya dari depan.Selain duduk, beliau juga terkadang istirahat sambil berbaring ketika di masjid. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatan oleh Sufyan bin Uyainah,حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري عن عباد بن تميم عن عمه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى“Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhrī, dari ‘Abbād bin Tamīm, dari pamannya, bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain.” (HR. Bukhari)Perbuatan Rasulullah yang ditunjukkan oleh hadis tersebut merupakan suatu hal yang terkadang dilakukan orang-orang pada umumnya ketika beristirahat. Hal ini diperbolehkan jika dilakukan kadang-kadang ketika beristirahat atau semisalnya. Akan tetapi, perlu diperhatikan atau dipastikan agar aurat tidak tersingkap ketika berbaring dalam keadaan seperti ini. Hal tersebut karena ada sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Jabir radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,نَهَى عَنْ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَرْفَعَ الرَّجُلُ إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى ظَهْرِهِ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang isytimal aṣ-sammaa’ (cara berpakaian tertentu yang membungkus tubuh dengan kain tanpa celah tangan), dan (melarang) seorang laki-laki mengangkat salah satu kakinya di atas kaki yang lain sementara ia berbaring telentang di atas punggungnya.” (HR. Muslim)Dua hadis di atas sekilas tentunya terlihat bertentangan, di mana satu hadis menyebutkan beliau melakukan dan hadis lain menyebutkan beliau melarangnya. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan kompromi kedua hadis tersebut. Beliau berkata,يحمل حديثُ النهي فيما إذا كان الإنسانُ لا يأْمَنُ أن تنكشف عورته كالمؤتزر، أمَّا إِن أَمِنَ ذلك كالمتسرول فلا حرج عليه“Hadis yang melarang berlaku ketika seseorang itu memungkinkan untuk terlihatnya auratnya, seperti orang yang menggunakan sarung. Adapun jika aman dari tersingkapnya aurat, seperti orang yang menggunakan sirwal, maka tidak mengapa.”Bersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupkan seorang manusia yang tentunya memiliki rasa lelah sehingga perlu bersandar. Beliau terkadang bersandar ketika duduk yang biasanya merupakan sebuah kebiasaan dan juga bersandar ketika berdiri yang biasanya karena beliau lelah atau sedang sakit atau lemah.Bersandar ketika dudukKetika duduk, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam biasanya bersandar. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا. قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَت“Maukah kalian aku beritahukan dosa-dosa yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali) Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau sedang bersandar, lalu duduk tegak dan berkata, “Ketahuilah, perkataan dusta.” Beliau terus-menerus mengulanginya, hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari)Hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau duduk dalam keadaan bersandar. Lalu bagaimana cara beliau bersandar? Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samuroh, ia berkata,رأَيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ متَّكئًا علَى وسادةٍ علَى يسارِه“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersandar pada sebuah bantal di sisi kirinya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang bersandar pada sebuah bantal. Pada hadis di atas, disebutkan bahwa beliau bersandar pada bagian kiri tubuh beliau, tapi beliau juga terkadang bersandar pada bagian kanan tubuh beliau. Posisi duduk seperti ini memang terkadang dibutuhkan oleh manusia karena bisa mengistirahatkan badan.Walaupun beliau duduk dengan cara bersandar, beliau tidak melakukan hal tersebut ketika makan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,لا آكلُ وأنا مُتَّكئٌ“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. Tirmidzi)Bersandar ketika berdiriBeliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang bersandar ketika berdiri atau berjalan ketika sedang sakit. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,أنَّ النَّبيَّ كان شاكيًا خرج وهو يتَّكِئُ على أسامةَ بنِ زيدٍ عليه ثوبٌ قطَريٌّ قد توشَّح به  فصلَّى بهم“Sesungguhnya ketika sedang sakit, Nabi keluar dengan bersandar pada Usāmah bin Zaid. Ketika itu, beliau mengenakan kain qathri yang diselendangkan, lalu beliau pun mengimami mereka salat.” (HR. Tirmidzi)Kondisi beliau pada hadis di atas adalah ketika sakit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Ketika itu, beliau sudah lemah sehingga butuh bantuan berdiri sehingga bersandar pada Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu.PenutupDemikianlah beberapa hadis yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar. Semoga dengan mengenal Rasulullah dari sisi kebiasaan dan kehidupan beliau, hal itu bisa membuat kita lebih mengenal dan mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Mengenal Sifat Tawaduk Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Mengenal Bagaimana Rasulullah Duduk dan Bersandar

Daftar Isi ToggleDuduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandar ketika dudukBersandar ketika berdiriPenutupDuduk dan bersandar merupakan salah satu aktivitas yang pasti dilakukan oleh manusia. Setiap orang juga tentunya memiliki kebiasaan masing-masing untuk duduk dan bersandar. Hal tersebut juga berlaku pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki cara duduk dan bersandar juga. Lalu bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar?Sebagai seorang muslim, tentunya kita sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu bukti cinta kita tentunya dengan berusaha mengenali beliau, juga meniru dan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada artikel ini, akan kita bahas mengenai cara duduk Rasulullah dan juga cara beliau bersandar.Duduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamDuduk merupakan hal yang tentunya biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya, Rasulullah pun tentu melakukannya. Salah satu posisi duduk yang dilakukan oleh Nabi adalah duduk qurfusha’. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qailah binti Makhramah, ia berkata,عن قَيْلَةَ بنتِ مَخْرَمَةَ أنها رَأَتْ رسولَ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، وهو قاعدٌ القُرْفُصاءَ، قالت فلما رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم المُتَخَشِّعَ في الجِلْسَة أُرْعِدْتُ من الفَرَقِ“Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, beliau sedang duduk dengan duduk qurfusha’.” Ia berkata, “Ketika aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan penuh kekhusyukan saat duduk itu, aku gemetar karena kewibawaan beliau.” (HR. Abu Daud)Lalu apa itu duduk qurfusha’? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan bahwa duduk qurfusha’ itu bisa diartikan menjadi dua, yaitu:Pertama, duduk dengan merapatkan paha dan menempelkannya pada perut dan memeluk kedua lutut dengan kedua tangannya.Kedua, duduk dengan bersandar pada kedua lututnya seperti duduk tasyahud, lalu menempelkan perutnya pada kedua pahanya, dan meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak.Terdapat hadis lain yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk ketika beliau berada di dalam masjid. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,كان رسولُ اللهِ إذا جلس في المسجدِ احتبَى بيديْهِ“Apabila Rasulullah duduk di masjid, beliau duduk ihtibā’ dengan kedua tangannya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah duduk dengan duduk ihtiba’. Duduk ihtiba’ adalah seseorang duduk di atas pantatnya, lalu menekukkan perut dan kedua kakinya ke arah pahanya, sambil memegang kedua betisnya dengan tangannya dari depan.Selain duduk, beliau juga terkadang istirahat sambil berbaring ketika di masjid. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatan oleh Sufyan bin Uyainah,حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري عن عباد بن تميم عن عمه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى“Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhrī, dari ‘Abbād bin Tamīm, dari pamannya, bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain.” (HR. Bukhari)Perbuatan Rasulullah yang ditunjukkan oleh hadis tersebut merupakan suatu hal yang terkadang dilakukan orang-orang pada umumnya ketika beristirahat. Hal ini diperbolehkan jika dilakukan kadang-kadang ketika beristirahat atau semisalnya. Akan tetapi, perlu diperhatikan atau dipastikan agar aurat tidak tersingkap ketika berbaring dalam keadaan seperti ini. Hal tersebut karena ada sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Jabir radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,نَهَى عَنْ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَرْفَعَ الرَّجُلُ إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى ظَهْرِهِ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang isytimal aṣ-sammaa’ (cara berpakaian tertentu yang membungkus tubuh dengan kain tanpa celah tangan), dan (melarang) seorang laki-laki mengangkat salah satu kakinya di atas kaki yang lain sementara ia berbaring telentang di atas punggungnya.” (HR. Muslim)Dua hadis di atas sekilas tentunya terlihat bertentangan, di mana satu hadis menyebutkan beliau melakukan dan hadis lain menyebutkan beliau melarangnya. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan kompromi kedua hadis tersebut. Beliau berkata,يحمل حديثُ النهي فيما إذا كان الإنسانُ لا يأْمَنُ أن تنكشف عورته كالمؤتزر، أمَّا إِن أَمِنَ ذلك كالمتسرول فلا حرج عليه“Hadis yang melarang berlaku ketika seseorang itu memungkinkan untuk terlihatnya auratnya, seperti orang yang menggunakan sarung. Adapun jika aman dari tersingkapnya aurat, seperti orang yang menggunakan sirwal, maka tidak mengapa.”Bersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupkan seorang manusia yang tentunya memiliki rasa lelah sehingga perlu bersandar. Beliau terkadang bersandar ketika duduk yang biasanya merupakan sebuah kebiasaan dan juga bersandar ketika berdiri yang biasanya karena beliau lelah atau sedang sakit atau lemah.Bersandar ketika dudukKetika duduk, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam biasanya bersandar. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا. قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَت“Maukah kalian aku beritahukan dosa-dosa yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali) Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau sedang bersandar, lalu duduk tegak dan berkata, “Ketahuilah, perkataan dusta.” Beliau terus-menerus mengulanginya, hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari)Hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau duduk dalam keadaan bersandar. Lalu bagaimana cara beliau bersandar? Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samuroh, ia berkata,رأَيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ متَّكئًا علَى وسادةٍ علَى يسارِه“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersandar pada sebuah bantal di sisi kirinya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang bersandar pada sebuah bantal. Pada hadis di atas, disebutkan bahwa beliau bersandar pada bagian kiri tubuh beliau, tapi beliau juga terkadang bersandar pada bagian kanan tubuh beliau. Posisi duduk seperti ini memang terkadang dibutuhkan oleh manusia karena bisa mengistirahatkan badan.Walaupun beliau duduk dengan cara bersandar, beliau tidak melakukan hal tersebut ketika makan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,لا آكلُ وأنا مُتَّكئٌ“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. Tirmidzi)Bersandar ketika berdiriBeliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang bersandar ketika berdiri atau berjalan ketika sedang sakit. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,أنَّ النَّبيَّ كان شاكيًا خرج وهو يتَّكِئُ على أسامةَ بنِ زيدٍ عليه ثوبٌ قطَريٌّ قد توشَّح به  فصلَّى بهم“Sesungguhnya ketika sedang sakit, Nabi keluar dengan bersandar pada Usāmah bin Zaid. Ketika itu, beliau mengenakan kain qathri yang diselendangkan, lalu beliau pun mengimami mereka salat.” (HR. Tirmidzi)Kondisi beliau pada hadis di atas adalah ketika sakit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Ketika itu, beliau sudah lemah sehingga butuh bantuan berdiri sehingga bersandar pada Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu.PenutupDemikianlah beberapa hadis yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar. Semoga dengan mengenal Rasulullah dari sisi kebiasaan dan kehidupan beliau, hal itu bisa membuat kita lebih mengenal dan mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Mengenal Sifat Tawaduk Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.
Daftar Isi ToggleDuduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandar ketika dudukBersandar ketika berdiriPenutupDuduk dan bersandar merupakan salah satu aktivitas yang pasti dilakukan oleh manusia. Setiap orang juga tentunya memiliki kebiasaan masing-masing untuk duduk dan bersandar. Hal tersebut juga berlaku pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki cara duduk dan bersandar juga. Lalu bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar?Sebagai seorang muslim, tentunya kita sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu bukti cinta kita tentunya dengan berusaha mengenali beliau, juga meniru dan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada artikel ini, akan kita bahas mengenai cara duduk Rasulullah dan juga cara beliau bersandar.Duduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamDuduk merupakan hal yang tentunya biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya, Rasulullah pun tentu melakukannya. Salah satu posisi duduk yang dilakukan oleh Nabi adalah duduk qurfusha’. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qailah binti Makhramah, ia berkata,عن قَيْلَةَ بنتِ مَخْرَمَةَ أنها رَأَتْ رسولَ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، وهو قاعدٌ القُرْفُصاءَ، قالت فلما رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم المُتَخَشِّعَ في الجِلْسَة أُرْعِدْتُ من الفَرَقِ“Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, beliau sedang duduk dengan duduk qurfusha’.” Ia berkata, “Ketika aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan penuh kekhusyukan saat duduk itu, aku gemetar karena kewibawaan beliau.” (HR. Abu Daud)Lalu apa itu duduk qurfusha’? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan bahwa duduk qurfusha’ itu bisa diartikan menjadi dua, yaitu:Pertama, duduk dengan merapatkan paha dan menempelkannya pada perut dan memeluk kedua lutut dengan kedua tangannya.Kedua, duduk dengan bersandar pada kedua lututnya seperti duduk tasyahud, lalu menempelkan perutnya pada kedua pahanya, dan meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak.Terdapat hadis lain yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk ketika beliau berada di dalam masjid. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,كان رسولُ اللهِ إذا جلس في المسجدِ احتبَى بيديْهِ“Apabila Rasulullah duduk di masjid, beliau duduk ihtibā’ dengan kedua tangannya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah duduk dengan duduk ihtiba’. Duduk ihtiba’ adalah seseorang duduk di atas pantatnya, lalu menekukkan perut dan kedua kakinya ke arah pahanya, sambil memegang kedua betisnya dengan tangannya dari depan.Selain duduk, beliau juga terkadang istirahat sambil berbaring ketika di masjid. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatan oleh Sufyan bin Uyainah,حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري عن عباد بن تميم عن عمه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى“Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhrī, dari ‘Abbād bin Tamīm, dari pamannya, bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain.” (HR. Bukhari)Perbuatan Rasulullah yang ditunjukkan oleh hadis tersebut merupakan suatu hal yang terkadang dilakukan orang-orang pada umumnya ketika beristirahat. Hal ini diperbolehkan jika dilakukan kadang-kadang ketika beristirahat atau semisalnya. Akan tetapi, perlu diperhatikan atau dipastikan agar aurat tidak tersingkap ketika berbaring dalam keadaan seperti ini. Hal tersebut karena ada sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Jabir radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,نَهَى عَنْ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَرْفَعَ الرَّجُلُ إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى ظَهْرِهِ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang isytimal aṣ-sammaa’ (cara berpakaian tertentu yang membungkus tubuh dengan kain tanpa celah tangan), dan (melarang) seorang laki-laki mengangkat salah satu kakinya di atas kaki yang lain sementara ia berbaring telentang di atas punggungnya.” (HR. Muslim)Dua hadis di atas sekilas tentunya terlihat bertentangan, di mana satu hadis menyebutkan beliau melakukan dan hadis lain menyebutkan beliau melarangnya. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan kompromi kedua hadis tersebut. Beliau berkata,يحمل حديثُ النهي فيما إذا كان الإنسانُ لا يأْمَنُ أن تنكشف عورته كالمؤتزر، أمَّا إِن أَمِنَ ذلك كالمتسرول فلا حرج عليه“Hadis yang melarang berlaku ketika seseorang itu memungkinkan untuk terlihatnya auratnya, seperti orang yang menggunakan sarung. Adapun jika aman dari tersingkapnya aurat, seperti orang yang menggunakan sirwal, maka tidak mengapa.”Bersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupkan seorang manusia yang tentunya memiliki rasa lelah sehingga perlu bersandar. Beliau terkadang bersandar ketika duduk yang biasanya merupakan sebuah kebiasaan dan juga bersandar ketika berdiri yang biasanya karena beliau lelah atau sedang sakit atau lemah.Bersandar ketika dudukKetika duduk, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam biasanya bersandar. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا. قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَت“Maukah kalian aku beritahukan dosa-dosa yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali) Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau sedang bersandar, lalu duduk tegak dan berkata, “Ketahuilah, perkataan dusta.” Beliau terus-menerus mengulanginya, hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari)Hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau duduk dalam keadaan bersandar. Lalu bagaimana cara beliau bersandar? Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samuroh, ia berkata,رأَيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ متَّكئًا علَى وسادةٍ علَى يسارِه“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersandar pada sebuah bantal di sisi kirinya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang bersandar pada sebuah bantal. Pada hadis di atas, disebutkan bahwa beliau bersandar pada bagian kiri tubuh beliau, tapi beliau juga terkadang bersandar pada bagian kanan tubuh beliau. Posisi duduk seperti ini memang terkadang dibutuhkan oleh manusia karena bisa mengistirahatkan badan.Walaupun beliau duduk dengan cara bersandar, beliau tidak melakukan hal tersebut ketika makan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,لا آكلُ وأنا مُتَّكئٌ“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. Tirmidzi)Bersandar ketika berdiriBeliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang bersandar ketika berdiri atau berjalan ketika sedang sakit. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,أنَّ النَّبيَّ كان شاكيًا خرج وهو يتَّكِئُ على أسامةَ بنِ زيدٍ عليه ثوبٌ قطَريٌّ قد توشَّح به  فصلَّى بهم“Sesungguhnya ketika sedang sakit, Nabi keluar dengan bersandar pada Usāmah bin Zaid. Ketika itu, beliau mengenakan kain qathri yang diselendangkan, lalu beliau pun mengimami mereka salat.” (HR. Tirmidzi)Kondisi beliau pada hadis di atas adalah ketika sakit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Ketika itu, beliau sudah lemah sehingga butuh bantuan berdiri sehingga bersandar pada Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu.PenutupDemikianlah beberapa hadis yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar. Semoga dengan mengenal Rasulullah dari sisi kebiasaan dan kehidupan beliau, hal itu bisa membuat kita lebih mengenal dan mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Mengenal Sifat Tawaduk Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.


Daftar Isi ToggleDuduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamBersandar ketika dudukBersandar ketika berdiriPenutupDuduk dan bersandar merupakan salah satu aktivitas yang pasti dilakukan oleh manusia. Setiap orang juga tentunya memiliki kebiasaan masing-masing untuk duduk dan bersandar. Hal tersebut juga berlaku pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki cara duduk dan bersandar juga. Lalu bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar?Sebagai seorang muslim, tentunya kita sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu bukti cinta kita tentunya dengan berusaha mengenali beliau, juga meniru dan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada artikel ini, akan kita bahas mengenai cara duduk Rasulullah dan juga cara beliau bersandar.Duduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamDuduk merupakan hal yang tentunya biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya, Rasulullah pun tentu melakukannya. Salah satu posisi duduk yang dilakukan oleh Nabi adalah duduk qurfusha’. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qailah binti Makhramah, ia berkata,عن قَيْلَةَ بنتِ مَخْرَمَةَ أنها رَأَتْ رسولَ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، وهو قاعدٌ القُرْفُصاءَ، قالت فلما رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم المُتَخَشِّعَ في الجِلْسَة أُرْعِدْتُ من الفَرَقِ“Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, beliau sedang duduk dengan duduk qurfusha’.” Ia berkata, “Ketika aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan penuh kekhusyukan saat duduk itu, aku gemetar karena kewibawaan beliau.” (HR. Abu Daud)Lalu apa itu duduk qurfusha’? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan bahwa duduk qurfusha’ itu bisa diartikan menjadi dua, yaitu:Pertama, duduk dengan merapatkan paha dan menempelkannya pada perut dan memeluk kedua lutut dengan kedua tangannya.Kedua, duduk dengan bersandar pada kedua lututnya seperti duduk tasyahud, lalu menempelkan perutnya pada kedua pahanya, dan meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak.Terdapat hadis lain yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk ketika beliau berada di dalam masjid. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,كان رسولُ اللهِ إذا جلس في المسجدِ احتبَى بيديْهِ“Apabila Rasulullah duduk di masjid, beliau duduk ihtibā’ dengan kedua tangannya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah duduk dengan duduk ihtiba’. Duduk ihtiba’ adalah seseorang duduk di atas pantatnya, lalu menekukkan perut dan kedua kakinya ke arah pahanya, sambil memegang kedua betisnya dengan tangannya dari depan.Selain duduk, beliau juga terkadang istirahat sambil berbaring ketika di masjid. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatan oleh Sufyan bin Uyainah,حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري عن عباد بن تميم عن عمه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى“Sufyān bin ‘Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhrī, dari ‘Abbād bin Tamīm, dari pamannya, bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain.” (HR. Bukhari)Perbuatan Rasulullah yang ditunjukkan oleh hadis tersebut merupakan suatu hal yang terkadang dilakukan orang-orang pada umumnya ketika beristirahat. Hal ini diperbolehkan jika dilakukan kadang-kadang ketika beristirahat atau semisalnya. Akan tetapi, perlu diperhatikan atau dipastikan agar aurat tidak tersingkap ketika berbaring dalam keadaan seperti ini. Hal tersebut karena ada sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Jabir radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,نَهَى عَنْ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنْ يَرْفَعَ الرَّجُلُ إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى وَهُوَ مُسْتَلْقٍ عَلَى ظَهْرِهِ“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang isytimal aṣ-sammaa’ (cara berpakaian tertentu yang membungkus tubuh dengan kain tanpa celah tangan), dan (melarang) seorang laki-laki mengangkat salah satu kakinya di atas kaki yang lain sementara ia berbaring telentang di atas punggungnya.” (HR. Muslim)Dua hadis di atas sekilas tentunya terlihat bertentangan, di mana satu hadis menyebutkan beliau melakukan dan hadis lain menyebutkan beliau melarangnya. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizahullah menjelaskan kompromi kedua hadis tersebut. Beliau berkata,يحمل حديثُ النهي فيما إذا كان الإنسانُ لا يأْمَنُ أن تنكشف عورته كالمؤتزر، أمَّا إِن أَمِنَ ذلك كالمتسرول فلا حرج عليه“Hadis yang melarang berlaku ketika seseorang itu memungkinkan untuk terlihatnya auratnya, seperti orang yang menggunakan sarung. Adapun jika aman dari tersingkapnya aurat, seperti orang yang menggunakan sirwal, maka tidak mengapa.”Bersandarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupkan seorang manusia yang tentunya memiliki rasa lelah sehingga perlu bersandar. Beliau terkadang bersandar ketika duduk yang biasanya merupakan sebuah kebiasaan dan juga bersandar ketika berdiri yang biasanya karena beliau lelah atau sedang sakit atau lemah.Bersandar ketika dudukKetika duduk, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam biasanya bersandar. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, beliau bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا. قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَت“Maukah kalian aku beritahukan dosa-dosa yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali) Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau sedang bersandar, lalu duduk tegak dan berkata, “Ketahuilah, perkataan dusta.” Beliau terus-menerus mengulanginya, hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” (HR. Bukhari)Hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau duduk dalam keadaan bersandar. Lalu bagaimana cara beliau bersandar? Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samuroh, ia berkata,رأَيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ متَّكئًا علَى وسادةٍ علَى يسارِه“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersandar pada sebuah bantal di sisi kirinya.” (HR. Tirmidzi)Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang bersandar pada sebuah bantal. Pada hadis di atas, disebutkan bahwa beliau bersandar pada bagian kiri tubuh beliau, tapi beliau juga terkadang bersandar pada bagian kanan tubuh beliau. Posisi duduk seperti ini memang terkadang dibutuhkan oleh manusia karena bisa mengistirahatkan badan.Walaupun beliau duduk dengan cara bersandar, beliau tidak melakukan hal tersebut ketika makan. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,لا آكلُ وأنا مُتَّكئٌ“Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. Tirmidzi)Bersandar ketika berdiriBeliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang bersandar ketika berdiri atau berjalan ketika sedang sakit. Hal tersebut sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, beliau berkata,أنَّ النَّبيَّ كان شاكيًا خرج وهو يتَّكِئُ على أسامةَ بنِ زيدٍ عليه ثوبٌ قطَريٌّ قد توشَّح به  فصلَّى بهم“Sesungguhnya ketika sedang sakit, Nabi keluar dengan bersandar pada Usāmah bin Zaid. Ketika itu, beliau mengenakan kain qathri yang diselendangkan, lalu beliau pun mengimami mereka salat.” (HR. Tirmidzi)Kondisi beliau pada hadis di atas adalah ketika sakit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Ketika itu, beliau sudah lemah sehingga butuh bantuan berdiri sehingga bersandar pada Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu.PenutupDemikianlah beberapa hadis yang menunjukkan bagaimana Rasulullah duduk dan bersandar. Semoga dengan mengenal Rasulullah dari sisi kebiasaan dan kehidupan beliau, hal itu bisa membuat kita lebih mengenal dan mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Mengenal Sifat Tawaduk Rasulullah***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Syarah Syamail Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Dan siapa yang Dapat Mengampuni Dosa-Dosa Selain Allah?

وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ Oleh: Fatimah Al-Amir فاطمة الأمير قد تحدِّثك نفسك بأن الذنوب كثيرة، والأخطاء عظيمة، وتبدأ نفسك بالتردد في الدخول إلى عالم التوبة، وتشرد فيما فعلت من الذنوب فيما مضى، وكيف لم تترك من المعاصي شيئًا إلا وقد فعلتَه، فتبدأ الذكريات تقضُّ مضجعَك، وتؤرِّق نومك، وتنغِّص حياتك، ويتسلل الشيطان إلى نفسك، فيوهمك أنه لا توبة لك بعد كل ما اقترفت سابقًا من الزلات والهفوات. فتتذكر كيف مضت السنون من حياتك متسربة من بين يديك؛ فتبكي وتتحسر وفي ذلك صدق التوبة، ثم تتساءل: هل يغفر الله لي؟ هل أضمن قبول توبتي إن تبت إلى الله؟ أقول لكم: إخوتي إن لنا ربًّا يغفر ويمحو الذنوب، وقد سبقت رحمته وعفوه غضبه، فلماذا نشكك في قبول توبتنا؟ ولنتأمل هذه الآية الكريمة: ﴿ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ﴾ [الأعراف: 156]. Mungkin hatimu pernah bergumam kepadamu bahwa dosa-dosamu sangat banyak dan kesalahan-kesalahanmu amat besar. Lalu hatimu mulai ragu untuk memasuki alam pertobatan, mengenang dosa-dosa yang telah ia kerjakan di masa lampau, dan bagaimana kamu tidak membiarkan satupun kemaksiatan kecuali kamu kerjakan. Ingatan-ingatan itu mulai mengusik tempat tidurmu, mengganggu tidurmu, dan memperkeruh hidupmu, serta setan mulai menyusup ke dalam dirimu untuk membuatmu mengira bahwa tidak ada lagi tobat bagimu setelah segala kesalahan dan dosa yang telah kamu perbuat. Kemudian kamu teringat bagaimana tahun demi tahun kehidupanmu menyusup di hadapanmu, sehingga kamu menangis dan menyesal. Ketika itulah datang keinginan tulus untuk bertobat, lalu kamu bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku? Apakah aku dapat menjamin tobatku dapat diterima jika aku bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala?” Saya katakan kepada kalian: Wahai saudara-saudaraku! Kita memiliki Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Menghapus dosa-dosa. Rahmat dan ampunan-Nya melebihi kemurkaan-Nya. Mengapa kita ragu terhadap penerimaan tobat kita? Marilah kita menghayati ayat yang mulia ini: وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf: 156). إلى كل من استصعب مغفرة الذنوب وقبول التوبة: أبواب الله مفتوحة متى طرقتها أنت، ولكن تجنَّب أن تشترط على الله في قبول المغفرة؛ كأن تقول: سأتوب إن غفر الله لي، وانظروا إلى رواية إسلام عمرو بن العاص يقول: “فلما جعل الله الإسلام في قلبي، أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وقلت: ابسط يمينك فلأبايعك، فبسط يمينة فقبضت يدي، قال: مالك يا عمرو؟ قال: قلت: أردت أن اشترط؟ قال: تشترط بماذا؟ قلت: أن يغفر لي، قال: أما علمت يا عمرو أن الإسلام يهدِم ما قبله، وأن الهجرة تهدم ما كانت قبلها، وأن الحج يهدم ما كان قبله؟. Bagi setiap orang yang merasa sulit menggapai ampunan atas dosa-dosa dan penerimaan tobatnya: Pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa terbuka setiap kali kamu mengetuknya. Namun, jangan sampai kamu menetapkan syarat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menerima tobatmu, seakan-akan kamu berkata, “Aku akan bertobat, asalkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuniku.” Perhatikanlah kisah keislaman Amru bin Al-Ash yang dia ceritakan sendiri, “Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan Islam dalam hatiku, aku segera mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Tolong julurkanlah tangan engkau, karena sungguh aku akan berbaiat kepada engkau.’ Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjulurkan tangan kanan beliau lalu menggenggam tanganku. Lalu beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai Amru?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin menetapkan syarat.’ Beliau bertanya lagi, ‘Syarat apa?’ Aku menjawab, ‘Syarat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus mengampuniku.’ Beliau lalu bersabda, ‘Tidakkah kamu mengetahui, wahai Amru! Bahwa masuk Islam akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, dan hijrah juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, serta haji juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya?’” ولو تأملنا هذه الرواية لزال ما في النفس من تساؤلات، وخلا القلب من تسلُّلات الشيطان؛ لأن معنى التواب أنه غافر الذنوب جميعها متى طرقت أبوابه، فلا يجوز الاشتراط على صاحب الكرم والجود والعطاء: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. Seandainya kita memperhatikan dengan baik kisah ini, niscaya pertanyaan-pertanyaan itu akan hilang dari dalam diri, dan hembusan-hembusan keraguan dari setan akan sirna dari hati, karena makna dari Maha Penerima Tobat yakni mengampuni seluruh dosa, selagi pintu-pintu tobat-Nya diketuk. Oleh sebab itu, tidak boleh ada pengajuan syarat terhadap Yang Maha Pemurah, Maha Dermawan, dan Maha Pemberi.  قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). انظروا إلى رحمة الله عز وجل: ﴿ لَا تَقْنَطُـوا مِن رَحْمَةِ اللهِ ﴾؛ أي: يا أيتها الأنفس، لا تيئَسوا ولا تحزنوا، فتلقوا بأيديكم إلى التهلكة، وتقولوا: قد كثُرت ذنوبنا، وتراكمت عيوبنا، فليس لها طريق ولا سبيل، فتبقى القلوب بسبب ذلك مُصرة على العصيان، سالكة دروب الضلال، متزودة بكل معاني الغفلة والكسل، ولكن اعلموا أن ربكم يغفـر الذنوب جميعًا من الشرك، والقتل والزنا والربا والظلم، وغير ذلك من الذنوب، ولهذا كانت من أسمائه أنه التواب؛ فانفُض الشك في قبولها، وأقبل تُفتحْ لك أبواب الخير والتوبة متى طرقتها. Lihatlah bagaimana rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Yakni, wahai manusia! Janganlah kalian berputus asa dan bersedih sehingga membuat kalian menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, dan mengucapkan, “Sungguh dosa-dosa kita amat banyak dan keburukan-keburukan kita sudah menggunung!” Sehingga diri kalian merasa tidak punya lagi jalan keluar, lalu karena hal itu, hati kalian terus melakukan kemaksiatan, menempuh jalan kesesatan, dan menambah segala bentuk kelalaian dan kelengahan. Namun, justru ketahuilah bahwa Tuhan kalian Maha Mengampuni segala dosa, baik itu berupa dosa kesyirikan, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan dosa-dosa lainnya. Oleh sebab itulah, salah satu nama-Nya adalah “At-Tawwab”, Maha Penerima Tobat. Jadi, tepislah segala keraguan terhadap penerimaan tobat, dan menghadaplah kepada-Nya niscaya dibukakan bagimu pintu-pintu kebaikan dan tobat, selagi kamu mengetuknya. أما الإحساس الذي قد يداخلك، فإنه نابع من عدم يقين النفس بسعة رحمة الخالق، ونقص في الإيمان، وضعف بداخل القلوب ووساوس من الشيطان أن الله لن يغفر لك! فاطُرد كل هؤلاء، واستعذ بالله، وانطلق لتنعم بركاب التوبة، ومغفرة الذنوب جميعها. Adapun perasaan ragu yang terkadang muncul dalam dirimu, maka itu berasal dari ketidakyakinan diri terhadap luasnya rahmat Sang Pencipta, kurangnya iman, dan kelemahan yang ada dalam hati serta bisikan dari setan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu! Oleh sebab itu, usirlah itu semua, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan bangkitlah agar kamu dapat menikmati pertobatan dan ampunan segala dosa. إذًا فلتنظر إلى نفسك، فإن رأيت روحَك وقد صعدت وأبحرتْ في سفينة التوبة، وبدأت تتصارع عليك الأفكار والهواجس كأمواج البحار التي تعصف بالسفينة وركابها تارةً إلى اليمين، وتارةً أخرى إلى اليسار، فبنت تلك الأفكار حاجزًا عاليًا تقول لك: لن تُغفر ذنوبك، ولن تُقبل توبتك، حينها ينتابك الفزع والهلع، وتشعر بغصة تخنق روحك، وتنزل تلك اللآلئ الصغيرة، وتُرفع تلك العيون الذابلة والقلوب المستجيرة، ولم تنطق إلا بكلمة واحدة: يا رب. تنطقها بكل جوارحك ويهتز لها جميعُ جسدك؛ فتشعر بصداها وصدقها، وكأن الكون كله يصرخ معك، ويمر أمام عينك شريط من الذكريات يعرض عليك كلَّ أخطائك وتقصيرك، بدايةً من ترك الصلاة، وهجر القرآن، وترك الفرائض والسُّنن، ومرورًا بفعل الصغائر والكبائر من الذنوب، فتهلع أكثر وتتساءل أكثر: هل يغفر الله لي؟ Jadi, lihatlah dirimu sendiri! Ketika kamu mendapati ruhmu telah berlayar di atas bahtera pertobatan, lalu pikiran-pikiran dan bisikan-bisikan buruk mulai mengamuk bagaikan deburan ombak yang mengombang-ambingkan bahtera dan penumpangnya ke kiri dan ke kanan, sehingga pikiran-pikiran itu mulai menjadi tembok pemisah yang tinggi, “Dosamu tidak akan diampuni! Tobatmu tidak akan diterima!” Ketika itu, ketakutan dan kekhawatiran silih berganti menyudutkanmu dan kamu merasakan sesuatu mencekik ruhmu. Namun, butir-butir harapan mulai turun, mengangkat kembali mata yang sayu dan hati yang berharap pertolongan, yang kamu ucapkan hanya kalimat, “Ya Tuhanku!” Kamu mengucapkannya sepenuh jiwa dan raga dan seluruh tubuhmu bergetar olehnya, sehingga kamu merasakan getaran dan ketulusannya, seakan-akan alam semesta ikut berseru bersamamu. Lalu di depan matamu terlintas rekaman ingatan-ingatan tentang segala kesalahan dan kelalaianmu, mulai dari meninggalkan shalat, mengabaikan Al-Qur’an, melupakan amal-amal wajib dan sunnah, hingga segala dosa kecil dan besar. Kamu kemudian semakin bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku?” فما هي إلا لحظات حتى يَمُن الله عليك، وتملأ رُوحك السكينةُ، وتبدأ علامات قبول التوبة في الظهور، فيطمئن قلبك بعدما تداخلت به الظنون أن الله لن يغفر لك، فتشعر أن الكون بكل ما فيه مسخر لتنعم بركاب التائبين. Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan karunia kepadamu, memenuhi jiwamu dengan ketenangan, dan tanda-tanda penerimaan tobatmu mulai terlihat, sehingga hatimu menjadi damai, yang sebelumnya penuh dengan prasangka bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu, kemudian kamu merasa bahwa alam semesta dengan segala yang ada di dalamnya bergerak agar menuntunmu bergabung bersama kafilah orang-orang yang bertobat. أقبل ولا تخِف، أبحر ولا تتردَّد، اطرق يُفتحْ لك، هروِل يُستجاب لك، لماذا؟! لأنه الله، لأنه التواب، لأنه الغفور؛ عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة)؛ رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. Datanglah dan jangan takut! Berlayarlah dan jangan ragu! Ketuklah pasti akan dibukakan untukmu! Bersegeralah niscaya kamu akan disambut! Mengapa demikian? Karena Dia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Dia Maha Penerima Tobat, karena Dia Maha Pengampun. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة  “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya tidaklah kamu berdoa dan berharap kepadaku, melainkan Aku akan mengampunimu atas segala dosa darimu tanpa Aku pedulikan! Wahai anak Adam! Seandainya dosamu mencapai awan di langit, lalu kamu memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu! Wahai anak Adam! Sungguh seandainya kamu datang kepada-Ku membawa dosa-dosa sepenuh bumi, tapi kamu menemuiku tanpa menyekutukan-Ku dengan apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, “Hadis ini hasan sahih”). فما خاب عبد طرَق أبواب الله مستجيرًا به إلا وقد عفا عنه مهما بلغت خطاياه، واعلم أن لكل عبد سفينة لن تُبحر بدونه مهما طال بك الوقت، فإن فاتتك تلك فابحثْ عن الأخرى، فإنها تنتظرك بشوق فلا تجعلها تبحر بدونك. Tidak ada seorang hamba yang mengetuk pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengharap pertolongan-Nya, melainkan Dia akan mengampuninya, sebesar apa pun dosa-dosanya. Ketahuilah bahwa setiap hamba punya bahtera yang tidak akan berlayar tanpa dirinya, selama apa pun ia harus menunggu. Apabila bahtera itu meninggalkanmu, maka carilah bahtera berikutnya, karena ia akan terus menunggumu dengan penuh kerinduan, maka jangan biarkan ia berlayar tanpamu. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/135271/ومن-يغفر-الذنوب-إلا-الله/ومنيغفرالذنوبإلاالله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 86 times, 1 visit(s) today Post Views: 60 QRIS donasi Yufid

Dan siapa yang Dapat Mengampuni Dosa-Dosa Selain Allah?

وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ Oleh: Fatimah Al-Amir فاطمة الأمير قد تحدِّثك نفسك بأن الذنوب كثيرة، والأخطاء عظيمة، وتبدأ نفسك بالتردد في الدخول إلى عالم التوبة، وتشرد فيما فعلت من الذنوب فيما مضى، وكيف لم تترك من المعاصي شيئًا إلا وقد فعلتَه، فتبدأ الذكريات تقضُّ مضجعَك، وتؤرِّق نومك، وتنغِّص حياتك، ويتسلل الشيطان إلى نفسك، فيوهمك أنه لا توبة لك بعد كل ما اقترفت سابقًا من الزلات والهفوات. فتتذكر كيف مضت السنون من حياتك متسربة من بين يديك؛ فتبكي وتتحسر وفي ذلك صدق التوبة، ثم تتساءل: هل يغفر الله لي؟ هل أضمن قبول توبتي إن تبت إلى الله؟ أقول لكم: إخوتي إن لنا ربًّا يغفر ويمحو الذنوب، وقد سبقت رحمته وعفوه غضبه، فلماذا نشكك في قبول توبتنا؟ ولنتأمل هذه الآية الكريمة: ﴿ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ﴾ [الأعراف: 156]. Mungkin hatimu pernah bergumam kepadamu bahwa dosa-dosamu sangat banyak dan kesalahan-kesalahanmu amat besar. Lalu hatimu mulai ragu untuk memasuki alam pertobatan, mengenang dosa-dosa yang telah ia kerjakan di masa lampau, dan bagaimana kamu tidak membiarkan satupun kemaksiatan kecuali kamu kerjakan. Ingatan-ingatan itu mulai mengusik tempat tidurmu, mengganggu tidurmu, dan memperkeruh hidupmu, serta setan mulai menyusup ke dalam dirimu untuk membuatmu mengira bahwa tidak ada lagi tobat bagimu setelah segala kesalahan dan dosa yang telah kamu perbuat. Kemudian kamu teringat bagaimana tahun demi tahun kehidupanmu menyusup di hadapanmu, sehingga kamu menangis dan menyesal. Ketika itulah datang keinginan tulus untuk bertobat, lalu kamu bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku? Apakah aku dapat menjamin tobatku dapat diterima jika aku bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala?” Saya katakan kepada kalian: Wahai saudara-saudaraku! Kita memiliki Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Menghapus dosa-dosa. Rahmat dan ampunan-Nya melebihi kemurkaan-Nya. Mengapa kita ragu terhadap penerimaan tobat kita? Marilah kita menghayati ayat yang mulia ini: وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf: 156). إلى كل من استصعب مغفرة الذنوب وقبول التوبة: أبواب الله مفتوحة متى طرقتها أنت، ولكن تجنَّب أن تشترط على الله في قبول المغفرة؛ كأن تقول: سأتوب إن غفر الله لي، وانظروا إلى رواية إسلام عمرو بن العاص يقول: “فلما جعل الله الإسلام في قلبي، أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وقلت: ابسط يمينك فلأبايعك، فبسط يمينة فقبضت يدي، قال: مالك يا عمرو؟ قال: قلت: أردت أن اشترط؟ قال: تشترط بماذا؟ قلت: أن يغفر لي، قال: أما علمت يا عمرو أن الإسلام يهدِم ما قبله، وأن الهجرة تهدم ما كانت قبلها، وأن الحج يهدم ما كان قبله؟. Bagi setiap orang yang merasa sulit menggapai ampunan atas dosa-dosa dan penerimaan tobatnya: Pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa terbuka setiap kali kamu mengetuknya. Namun, jangan sampai kamu menetapkan syarat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menerima tobatmu, seakan-akan kamu berkata, “Aku akan bertobat, asalkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuniku.” Perhatikanlah kisah keislaman Amru bin Al-Ash yang dia ceritakan sendiri, “Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan Islam dalam hatiku, aku segera mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Tolong julurkanlah tangan engkau, karena sungguh aku akan berbaiat kepada engkau.’ Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjulurkan tangan kanan beliau lalu menggenggam tanganku. Lalu beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai Amru?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin menetapkan syarat.’ Beliau bertanya lagi, ‘Syarat apa?’ Aku menjawab, ‘Syarat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus mengampuniku.’ Beliau lalu bersabda, ‘Tidakkah kamu mengetahui, wahai Amru! Bahwa masuk Islam akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, dan hijrah juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, serta haji juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya?’” ولو تأملنا هذه الرواية لزال ما في النفس من تساؤلات، وخلا القلب من تسلُّلات الشيطان؛ لأن معنى التواب أنه غافر الذنوب جميعها متى طرقت أبوابه، فلا يجوز الاشتراط على صاحب الكرم والجود والعطاء: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. Seandainya kita memperhatikan dengan baik kisah ini, niscaya pertanyaan-pertanyaan itu akan hilang dari dalam diri, dan hembusan-hembusan keraguan dari setan akan sirna dari hati, karena makna dari Maha Penerima Tobat yakni mengampuni seluruh dosa, selagi pintu-pintu tobat-Nya diketuk. Oleh sebab itu, tidak boleh ada pengajuan syarat terhadap Yang Maha Pemurah, Maha Dermawan, dan Maha Pemberi.  قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). انظروا إلى رحمة الله عز وجل: ﴿ لَا تَقْنَطُـوا مِن رَحْمَةِ اللهِ ﴾؛ أي: يا أيتها الأنفس، لا تيئَسوا ولا تحزنوا، فتلقوا بأيديكم إلى التهلكة، وتقولوا: قد كثُرت ذنوبنا، وتراكمت عيوبنا، فليس لها طريق ولا سبيل، فتبقى القلوب بسبب ذلك مُصرة على العصيان، سالكة دروب الضلال، متزودة بكل معاني الغفلة والكسل، ولكن اعلموا أن ربكم يغفـر الذنوب جميعًا من الشرك، والقتل والزنا والربا والظلم، وغير ذلك من الذنوب، ولهذا كانت من أسمائه أنه التواب؛ فانفُض الشك في قبولها، وأقبل تُفتحْ لك أبواب الخير والتوبة متى طرقتها. Lihatlah bagaimana rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Yakni, wahai manusia! Janganlah kalian berputus asa dan bersedih sehingga membuat kalian menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, dan mengucapkan, “Sungguh dosa-dosa kita amat banyak dan keburukan-keburukan kita sudah menggunung!” Sehingga diri kalian merasa tidak punya lagi jalan keluar, lalu karena hal itu, hati kalian terus melakukan kemaksiatan, menempuh jalan kesesatan, dan menambah segala bentuk kelalaian dan kelengahan. Namun, justru ketahuilah bahwa Tuhan kalian Maha Mengampuni segala dosa, baik itu berupa dosa kesyirikan, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan dosa-dosa lainnya. Oleh sebab itulah, salah satu nama-Nya adalah “At-Tawwab”, Maha Penerima Tobat. Jadi, tepislah segala keraguan terhadap penerimaan tobat, dan menghadaplah kepada-Nya niscaya dibukakan bagimu pintu-pintu kebaikan dan tobat, selagi kamu mengetuknya. أما الإحساس الذي قد يداخلك، فإنه نابع من عدم يقين النفس بسعة رحمة الخالق، ونقص في الإيمان، وضعف بداخل القلوب ووساوس من الشيطان أن الله لن يغفر لك! فاطُرد كل هؤلاء، واستعذ بالله، وانطلق لتنعم بركاب التوبة، ومغفرة الذنوب جميعها. Adapun perasaan ragu yang terkadang muncul dalam dirimu, maka itu berasal dari ketidakyakinan diri terhadap luasnya rahmat Sang Pencipta, kurangnya iman, dan kelemahan yang ada dalam hati serta bisikan dari setan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu! Oleh sebab itu, usirlah itu semua, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan bangkitlah agar kamu dapat menikmati pertobatan dan ampunan segala dosa. إذًا فلتنظر إلى نفسك، فإن رأيت روحَك وقد صعدت وأبحرتْ في سفينة التوبة، وبدأت تتصارع عليك الأفكار والهواجس كأمواج البحار التي تعصف بالسفينة وركابها تارةً إلى اليمين، وتارةً أخرى إلى اليسار، فبنت تلك الأفكار حاجزًا عاليًا تقول لك: لن تُغفر ذنوبك، ولن تُقبل توبتك، حينها ينتابك الفزع والهلع، وتشعر بغصة تخنق روحك، وتنزل تلك اللآلئ الصغيرة، وتُرفع تلك العيون الذابلة والقلوب المستجيرة، ولم تنطق إلا بكلمة واحدة: يا رب. تنطقها بكل جوارحك ويهتز لها جميعُ جسدك؛ فتشعر بصداها وصدقها، وكأن الكون كله يصرخ معك، ويمر أمام عينك شريط من الذكريات يعرض عليك كلَّ أخطائك وتقصيرك، بدايةً من ترك الصلاة، وهجر القرآن، وترك الفرائض والسُّنن، ومرورًا بفعل الصغائر والكبائر من الذنوب، فتهلع أكثر وتتساءل أكثر: هل يغفر الله لي؟ Jadi, lihatlah dirimu sendiri! Ketika kamu mendapati ruhmu telah berlayar di atas bahtera pertobatan, lalu pikiran-pikiran dan bisikan-bisikan buruk mulai mengamuk bagaikan deburan ombak yang mengombang-ambingkan bahtera dan penumpangnya ke kiri dan ke kanan, sehingga pikiran-pikiran itu mulai menjadi tembok pemisah yang tinggi, “Dosamu tidak akan diampuni! Tobatmu tidak akan diterima!” Ketika itu, ketakutan dan kekhawatiran silih berganti menyudutkanmu dan kamu merasakan sesuatu mencekik ruhmu. Namun, butir-butir harapan mulai turun, mengangkat kembali mata yang sayu dan hati yang berharap pertolongan, yang kamu ucapkan hanya kalimat, “Ya Tuhanku!” Kamu mengucapkannya sepenuh jiwa dan raga dan seluruh tubuhmu bergetar olehnya, sehingga kamu merasakan getaran dan ketulusannya, seakan-akan alam semesta ikut berseru bersamamu. Lalu di depan matamu terlintas rekaman ingatan-ingatan tentang segala kesalahan dan kelalaianmu, mulai dari meninggalkan shalat, mengabaikan Al-Qur’an, melupakan amal-amal wajib dan sunnah, hingga segala dosa kecil dan besar. Kamu kemudian semakin bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku?” فما هي إلا لحظات حتى يَمُن الله عليك، وتملأ رُوحك السكينةُ، وتبدأ علامات قبول التوبة في الظهور، فيطمئن قلبك بعدما تداخلت به الظنون أن الله لن يغفر لك، فتشعر أن الكون بكل ما فيه مسخر لتنعم بركاب التائبين. Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan karunia kepadamu, memenuhi jiwamu dengan ketenangan, dan tanda-tanda penerimaan tobatmu mulai terlihat, sehingga hatimu menjadi damai, yang sebelumnya penuh dengan prasangka bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu, kemudian kamu merasa bahwa alam semesta dengan segala yang ada di dalamnya bergerak agar menuntunmu bergabung bersama kafilah orang-orang yang bertobat. أقبل ولا تخِف، أبحر ولا تتردَّد، اطرق يُفتحْ لك، هروِل يُستجاب لك، لماذا؟! لأنه الله، لأنه التواب، لأنه الغفور؛ عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة)؛ رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. Datanglah dan jangan takut! Berlayarlah dan jangan ragu! Ketuklah pasti akan dibukakan untukmu! Bersegeralah niscaya kamu akan disambut! Mengapa demikian? Karena Dia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Dia Maha Penerima Tobat, karena Dia Maha Pengampun. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة  “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya tidaklah kamu berdoa dan berharap kepadaku, melainkan Aku akan mengampunimu atas segala dosa darimu tanpa Aku pedulikan! Wahai anak Adam! Seandainya dosamu mencapai awan di langit, lalu kamu memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu! Wahai anak Adam! Sungguh seandainya kamu datang kepada-Ku membawa dosa-dosa sepenuh bumi, tapi kamu menemuiku tanpa menyekutukan-Ku dengan apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, “Hadis ini hasan sahih”). فما خاب عبد طرَق أبواب الله مستجيرًا به إلا وقد عفا عنه مهما بلغت خطاياه، واعلم أن لكل عبد سفينة لن تُبحر بدونه مهما طال بك الوقت، فإن فاتتك تلك فابحثْ عن الأخرى، فإنها تنتظرك بشوق فلا تجعلها تبحر بدونك. Tidak ada seorang hamba yang mengetuk pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengharap pertolongan-Nya, melainkan Dia akan mengampuninya, sebesar apa pun dosa-dosanya. Ketahuilah bahwa setiap hamba punya bahtera yang tidak akan berlayar tanpa dirinya, selama apa pun ia harus menunggu. Apabila bahtera itu meninggalkanmu, maka carilah bahtera berikutnya, karena ia akan terus menunggumu dengan penuh kerinduan, maka jangan biarkan ia berlayar tanpamu. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/135271/ومن-يغفر-الذنوب-إلا-الله/ومنيغفرالذنوبإلاالله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 86 times, 1 visit(s) today Post Views: 60 QRIS donasi Yufid
وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ Oleh: Fatimah Al-Amir فاطمة الأمير قد تحدِّثك نفسك بأن الذنوب كثيرة، والأخطاء عظيمة، وتبدأ نفسك بالتردد في الدخول إلى عالم التوبة، وتشرد فيما فعلت من الذنوب فيما مضى، وكيف لم تترك من المعاصي شيئًا إلا وقد فعلتَه، فتبدأ الذكريات تقضُّ مضجعَك، وتؤرِّق نومك، وتنغِّص حياتك، ويتسلل الشيطان إلى نفسك، فيوهمك أنه لا توبة لك بعد كل ما اقترفت سابقًا من الزلات والهفوات. فتتذكر كيف مضت السنون من حياتك متسربة من بين يديك؛ فتبكي وتتحسر وفي ذلك صدق التوبة، ثم تتساءل: هل يغفر الله لي؟ هل أضمن قبول توبتي إن تبت إلى الله؟ أقول لكم: إخوتي إن لنا ربًّا يغفر ويمحو الذنوب، وقد سبقت رحمته وعفوه غضبه، فلماذا نشكك في قبول توبتنا؟ ولنتأمل هذه الآية الكريمة: ﴿ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ﴾ [الأعراف: 156]. Mungkin hatimu pernah bergumam kepadamu bahwa dosa-dosamu sangat banyak dan kesalahan-kesalahanmu amat besar. Lalu hatimu mulai ragu untuk memasuki alam pertobatan, mengenang dosa-dosa yang telah ia kerjakan di masa lampau, dan bagaimana kamu tidak membiarkan satupun kemaksiatan kecuali kamu kerjakan. Ingatan-ingatan itu mulai mengusik tempat tidurmu, mengganggu tidurmu, dan memperkeruh hidupmu, serta setan mulai menyusup ke dalam dirimu untuk membuatmu mengira bahwa tidak ada lagi tobat bagimu setelah segala kesalahan dan dosa yang telah kamu perbuat. Kemudian kamu teringat bagaimana tahun demi tahun kehidupanmu menyusup di hadapanmu, sehingga kamu menangis dan menyesal. Ketika itulah datang keinginan tulus untuk bertobat, lalu kamu bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku? Apakah aku dapat menjamin tobatku dapat diterima jika aku bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala?” Saya katakan kepada kalian: Wahai saudara-saudaraku! Kita memiliki Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Menghapus dosa-dosa. Rahmat dan ampunan-Nya melebihi kemurkaan-Nya. Mengapa kita ragu terhadap penerimaan tobat kita? Marilah kita menghayati ayat yang mulia ini: وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf: 156). إلى كل من استصعب مغفرة الذنوب وقبول التوبة: أبواب الله مفتوحة متى طرقتها أنت، ولكن تجنَّب أن تشترط على الله في قبول المغفرة؛ كأن تقول: سأتوب إن غفر الله لي، وانظروا إلى رواية إسلام عمرو بن العاص يقول: “فلما جعل الله الإسلام في قلبي، أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وقلت: ابسط يمينك فلأبايعك، فبسط يمينة فقبضت يدي، قال: مالك يا عمرو؟ قال: قلت: أردت أن اشترط؟ قال: تشترط بماذا؟ قلت: أن يغفر لي، قال: أما علمت يا عمرو أن الإسلام يهدِم ما قبله، وأن الهجرة تهدم ما كانت قبلها، وأن الحج يهدم ما كان قبله؟. Bagi setiap orang yang merasa sulit menggapai ampunan atas dosa-dosa dan penerimaan tobatnya: Pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa terbuka setiap kali kamu mengetuknya. Namun, jangan sampai kamu menetapkan syarat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menerima tobatmu, seakan-akan kamu berkata, “Aku akan bertobat, asalkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuniku.” Perhatikanlah kisah keislaman Amru bin Al-Ash yang dia ceritakan sendiri, “Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan Islam dalam hatiku, aku segera mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Tolong julurkanlah tangan engkau, karena sungguh aku akan berbaiat kepada engkau.’ Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjulurkan tangan kanan beliau lalu menggenggam tanganku. Lalu beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai Amru?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin menetapkan syarat.’ Beliau bertanya lagi, ‘Syarat apa?’ Aku menjawab, ‘Syarat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus mengampuniku.’ Beliau lalu bersabda, ‘Tidakkah kamu mengetahui, wahai Amru! Bahwa masuk Islam akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, dan hijrah juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, serta haji juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya?’” ولو تأملنا هذه الرواية لزال ما في النفس من تساؤلات، وخلا القلب من تسلُّلات الشيطان؛ لأن معنى التواب أنه غافر الذنوب جميعها متى طرقت أبوابه، فلا يجوز الاشتراط على صاحب الكرم والجود والعطاء: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. Seandainya kita memperhatikan dengan baik kisah ini, niscaya pertanyaan-pertanyaan itu akan hilang dari dalam diri, dan hembusan-hembusan keraguan dari setan akan sirna dari hati, karena makna dari Maha Penerima Tobat yakni mengampuni seluruh dosa, selagi pintu-pintu tobat-Nya diketuk. Oleh sebab itu, tidak boleh ada pengajuan syarat terhadap Yang Maha Pemurah, Maha Dermawan, dan Maha Pemberi.  قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). انظروا إلى رحمة الله عز وجل: ﴿ لَا تَقْنَطُـوا مِن رَحْمَةِ اللهِ ﴾؛ أي: يا أيتها الأنفس، لا تيئَسوا ولا تحزنوا، فتلقوا بأيديكم إلى التهلكة، وتقولوا: قد كثُرت ذنوبنا، وتراكمت عيوبنا، فليس لها طريق ولا سبيل، فتبقى القلوب بسبب ذلك مُصرة على العصيان، سالكة دروب الضلال، متزودة بكل معاني الغفلة والكسل، ولكن اعلموا أن ربكم يغفـر الذنوب جميعًا من الشرك، والقتل والزنا والربا والظلم، وغير ذلك من الذنوب، ولهذا كانت من أسمائه أنه التواب؛ فانفُض الشك في قبولها، وأقبل تُفتحْ لك أبواب الخير والتوبة متى طرقتها. Lihatlah bagaimana rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Yakni, wahai manusia! Janganlah kalian berputus asa dan bersedih sehingga membuat kalian menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, dan mengucapkan, “Sungguh dosa-dosa kita amat banyak dan keburukan-keburukan kita sudah menggunung!” Sehingga diri kalian merasa tidak punya lagi jalan keluar, lalu karena hal itu, hati kalian terus melakukan kemaksiatan, menempuh jalan kesesatan, dan menambah segala bentuk kelalaian dan kelengahan. Namun, justru ketahuilah bahwa Tuhan kalian Maha Mengampuni segala dosa, baik itu berupa dosa kesyirikan, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan dosa-dosa lainnya. Oleh sebab itulah, salah satu nama-Nya adalah “At-Tawwab”, Maha Penerima Tobat. Jadi, tepislah segala keraguan terhadap penerimaan tobat, dan menghadaplah kepada-Nya niscaya dibukakan bagimu pintu-pintu kebaikan dan tobat, selagi kamu mengetuknya. أما الإحساس الذي قد يداخلك، فإنه نابع من عدم يقين النفس بسعة رحمة الخالق، ونقص في الإيمان، وضعف بداخل القلوب ووساوس من الشيطان أن الله لن يغفر لك! فاطُرد كل هؤلاء، واستعذ بالله، وانطلق لتنعم بركاب التوبة، ومغفرة الذنوب جميعها. Adapun perasaan ragu yang terkadang muncul dalam dirimu, maka itu berasal dari ketidakyakinan diri terhadap luasnya rahmat Sang Pencipta, kurangnya iman, dan kelemahan yang ada dalam hati serta bisikan dari setan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu! Oleh sebab itu, usirlah itu semua, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan bangkitlah agar kamu dapat menikmati pertobatan dan ampunan segala dosa. إذًا فلتنظر إلى نفسك، فإن رأيت روحَك وقد صعدت وأبحرتْ في سفينة التوبة، وبدأت تتصارع عليك الأفكار والهواجس كأمواج البحار التي تعصف بالسفينة وركابها تارةً إلى اليمين، وتارةً أخرى إلى اليسار، فبنت تلك الأفكار حاجزًا عاليًا تقول لك: لن تُغفر ذنوبك، ولن تُقبل توبتك، حينها ينتابك الفزع والهلع، وتشعر بغصة تخنق روحك، وتنزل تلك اللآلئ الصغيرة، وتُرفع تلك العيون الذابلة والقلوب المستجيرة، ولم تنطق إلا بكلمة واحدة: يا رب. تنطقها بكل جوارحك ويهتز لها جميعُ جسدك؛ فتشعر بصداها وصدقها، وكأن الكون كله يصرخ معك، ويمر أمام عينك شريط من الذكريات يعرض عليك كلَّ أخطائك وتقصيرك، بدايةً من ترك الصلاة، وهجر القرآن، وترك الفرائض والسُّنن، ومرورًا بفعل الصغائر والكبائر من الذنوب، فتهلع أكثر وتتساءل أكثر: هل يغفر الله لي؟ Jadi, lihatlah dirimu sendiri! Ketika kamu mendapati ruhmu telah berlayar di atas bahtera pertobatan, lalu pikiran-pikiran dan bisikan-bisikan buruk mulai mengamuk bagaikan deburan ombak yang mengombang-ambingkan bahtera dan penumpangnya ke kiri dan ke kanan, sehingga pikiran-pikiran itu mulai menjadi tembok pemisah yang tinggi, “Dosamu tidak akan diampuni! Tobatmu tidak akan diterima!” Ketika itu, ketakutan dan kekhawatiran silih berganti menyudutkanmu dan kamu merasakan sesuatu mencekik ruhmu. Namun, butir-butir harapan mulai turun, mengangkat kembali mata yang sayu dan hati yang berharap pertolongan, yang kamu ucapkan hanya kalimat, “Ya Tuhanku!” Kamu mengucapkannya sepenuh jiwa dan raga dan seluruh tubuhmu bergetar olehnya, sehingga kamu merasakan getaran dan ketulusannya, seakan-akan alam semesta ikut berseru bersamamu. Lalu di depan matamu terlintas rekaman ingatan-ingatan tentang segala kesalahan dan kelalaianmu, mulai dari meninggalkan shalat, mengabaikan Al-Qur’an, melupakan amal-amal wajib dan sunnah, hingga segala dosa kecil dan besar. Kamu kemudian semakin bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku?” فما هي إلا لحظات حتى يَمُن الله عليك، وتملأ رُوحك السكينةُ، وتبدأ علامات قبول التوبة في الظهور، فيطمئن قلبك بعدما تداخلت به الظنون أن الله لن يغفر لك، فتشعر أن الكون بكل ما فيه مسخر لتنعم بركاب التائبين. Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan karunia kepadamu, memenuhi jiwamu dengan ketenangan, dan tanda-tanda penerimaan tobatmu mulai terlihat, sehingga hatimu menjadi damai, yang sebelumnya penuh dengan prasangka bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu, kemudian kamu merasa bahwa alam semesta dengan segala yang ada di dalamnya bergerak agar menuntunmu bergabung bersama kafilah orang-orang yang bertobat. أقبل ولا تخِف، أبحر ولا تتردَّد، اطرق يُفتحْ لك، هروِل يُستجاب لك، لماذا؟! لأنه الله، لأنه التواب، لأنه الغفور؛ عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة)؛ رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. Datanglah dan jangan takut! Berlayarlah dan jangan ragu! Ketuklah pasti akan dibukakan untukmu! Bersegeralah niscaya kamu akan disambut! Mengapa demikian? Karena Dia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Dia Maha Penerima Tobat, karena Dia Maha Pengampun. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة  “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya tidaklah kamu berdoa dan berharap kepadaku, melainkan Aku akan mengampunimu atas segala dosa darimu tanpa Aku pedulikan! Wahai anak Adam! Seandainya dosamu mencapai awan di langit, lalu kamu memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu! Wahai anak Adam! Sungguh seandainya kamu datang kepada-Ku membawa dosa-dosa sepenuh bumi, tapi kamu menemuiku tanpa menyekutukan-Ku dengan apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, “Hadis ini hasan sahih”). فما خاب عبد طرَق أبواب الله مستجيرًا به إلا وقد عفا عنه مهما بلغت خطاياه، واعلم أن لكل عبد سفينة لن تُبحر بدونه مهما طال بك الوقت، فإن فاتتك تلك فابحثْ عن الأخرى، فإنها تنتظرك بشوق فلا تجعلها تبحر بدونك. Tidak ada seorang hamba yang mengetuk pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengharap pertolongan-Nya, melainkan Dia akan mengampuninya, sebesar apa pun dosa-dosanya. Ketahuilah bahwa setiap hamba punya bahtera yang tidak akan berlayar tanpa dirinya, selama apa pun ia harus menunggu. Apabila bahtera itu meninggalkanmu, maka carilah bahtera berikutnya, karena ia akan terus menunggumu dengan penuh kerinduan, maka jangan biarkan ia berlayar tanpamu. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/135271/ومن-يغفر-الذنوب-إلا-الله/ومنيغفرالذنوبإلاالله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 86 times, 1 visit(s) today Post Views: 60 QRIS donasi Yufid


وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ Oleh: Fatimah Al-Amir فاطمة الأمير قد تحدِّثك نفسك بأن الذنوب كثيرة، والأخطاء عظيمة، وتبدأ نفسك بالتردد في الدخول إلى عالم التوبة، وتشرد فيما فعلت من الذنوب فيما مضى، وكيف لم تترك من المعاصي شيئًا إلا وقد فعلتَه، فتبدأ الذكريات تقضُّ مضجعَك، وتؤرِّق نومك، وتنغِّص حياتك، ويتسلل الشيطان إلى نفسك، فيوهمك أنه لا توبة لك بعد كل ما اقترفت سابقًا من الزلات والهفوات. فتتذكر كيف مضت السنون من حياتك متسربة من بين يديك؛ فتبكي وتتحسر وفي ذلك صدق التوبة، ثم تتساءل: هل يغفر الله لي؟ هل أضمن قبول توبتي إن تبت إلى الله؟ أقول لكم: إخوتي إن لنا ربًّا يغفر ويمحو الذنوب، وقد سبقت رحمته وعفوه غضبه، فلماذا نشكك في قبول توبتنا؟ ولنتأمل هذه الآية الكريمة: ﴿ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ﴾ [الأعراف: 156]. Mungkin hatimu pernah bergumam kepadamu bahwa dosa-dosamu sangat banyak dan kesalahan-kesalahanmu amat besar. Lalu hatimu mulai ragu untuk memasuki alam pertobatan, mengenang dosa-dosa yang telah ia kerjakan di masa lampau, dan bagaimana kamu tidak membiarkan satupun kemaksiatan kecuali kamu kerjakan. Ingatan-ingatan itu mulai mengusik tempat tidurmu, mengganggu tidurmu, dan memperkeruh hidupmu, serta setan mulai menyusup ke dalam dirimu untuk membuatmu mengira bahwa tidak ada lagi tobat bagimu setelah segala kesalahan dan dosa yang telah kamu perbuat. Kemudian kamu teringat bagaimana tahun demi tahun kehidupanmu menyusup di hadapanmu, sehingga kamu menangis dan menyesal. Ketika itulah datang keinginan tulus untuk bertobat, lalu kamu bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku? Apakah aku dapat menjamin tobatku dapat diterima jika aku bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala?” Saya katakan kepada kalian: Wahai saudara-saudaraku! Kita memiliki Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Menghapus dosa-dosa. Rahmat dan ampunan-Nya melebihi kemurkaan-Nya. Mengapa kita ragu terhadap penerimaan tobat kita? Marilah kita menghayati ayat yang mulia ini: وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf: 156). إلى كل من استصعب مغفرة الذنوب وقبول التوبة: أبواب الله مفتوحة متى طرقتها أنت، ولكن تجنَّب أن تشترط على الله في قبول المغفرة؛ كأن تقول: سأتوب إن غفر الله لي، وانظروا إلى رواية إسلام عمرو بن العاص يقول: “فلما جعل الله الإسلام في قلبي، أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وقلت: ابسط يمينك فلأبايعك، فبسط يمينة فقبضت يدي، قال: مالك يا عمرو؟ قال: قلت: أردت أن اشترط؟ قال: تشترط بماذا؟ قلت: أن يغفر لي، قال: أما علمت يا عمرو أن الإسلام يهدِم ما قبله، وأن الهجرة تهدم ما كانت قبلها، وأن الحج يهدم ما كان قبله؟. Bagi setiap orang yang merasa sulit menggapai ampunan atas dosa-dosa dan penerimaan tobatnya: Pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa terbuka setiap kali kamu mengetuknya. Namun, jangan sampai kamu menetapkan syarat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menerima tobatmu, seakan-akan kamu berkata, “Aku akan bertobat, asalkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuniku.” Perhatikanlah kisah keislaman Amru bin Al-Ash yang dia ceritakan sendiri, “Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan Islam dalam hatiku, aku segera mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Tolong julurkanlah tangan engkau, karena sungguh aku akan berbaiat kepada engkau.’ Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjulurkan tangan kanan beliau lalu menggenggam tanganku. Lalu beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai Amru?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin menetapkan syarat.’ Beliau bertanya lagi, ‘Syarat apa?’ Aku menjawab, ‘Syarat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus mengampuniku.’ Beliau lalu bersabda, ‘Tidakkah kamu mengetahui, wahai Amru! Bahwa masuk Islam akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, dan hijrah juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya, serta haji juga akan menggugurkan dosa yang ada sebelumnya?’” ولو تأملنا هذه الرواية لزال ما في النفس من تساؤلات، وخلا القلب من تسلُّلات الشيطان؛ لأن معنى التواب أنه غافر الذنوب جميعها متى طرقت أبوابه، فلا يجوز الاشتراط على صاحب الكرم والجود والعطاء: ﴿ قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر: 53]. Seandainya kita memperhatikan dengan baik kisah ini, niscaya pertanyaan-pertanyaan itu akan hilang dari dalam diri, dan hembusan-hembusan keraguan dari setan akan sirna dari hati, karena makna dari Maha Penerima Tobat yakni mengampuni seluruh dosa, selagi pintu-pintu tobat-Nya diketuk. Oleh sebab itu, tidak boleh ada pengajuan syarat terhadap Yang Maha Pemurah, Maha Dermawan, dan Maha Pemberi.  قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53). انظروا إلى رحمة الله عز وجل: ﴿ لَا تَقْنَطُـوا مِن رَحْمَةِ اللهِ ﴾؛ أي: يا أيتها الأنفس، لا تيئَسوا ولا تحزنوا، فتلقوا بأيديكم إلى التهلكة، وتقولوا: قد كثُرت ذنوبنا، وتراكمت عيوبنا، فليس لها طريق ولا سبيل، فتبقى القلوب بسبب ذلك مُصرة على العصيان، سالكة دروب الضلال، متزودة بكل معاني الغفلة والكسل، ولكن اعلموا أن ربكم يغفـر الذنوب جميعًا من الشرك، والقتل والزنا والربا والظلم، وغير ذلك من الذنوب، ولهذا كانت من أسمائه أنه التواب؛ فانفُض الشك في قبولها، وأقبل تُفتحْ لك أبواب الخير والتوبة متى طرقتها. Lihatlah bagaimana rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Yakni, wahai manusia! Janganlah kalian berputus asa dan bersedih sehingga membuat kalian menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, dan mengucapkan, “Sungguh dosa-dosa kita amat banyak dan keburukan-keburukan kita sudah menggunung!” Sehingga diri kalian merasa tidak punya lagi jalan keluar, lalu karena hal itu, hati kalian terus melakukan kemaksiatan, menempuh jalan kesesatan, dan menambah segala bentuk kelalaian dan kelengahan. Namun, justru ketahuilah bahwa Tuhan kalian Maha Mengampuni segala dosa, baik itu berupa dosa kesyirikan, pembunuhan, zina, riba, kezaliman, dan dosa-dosa lainnya. Oleh sebab itulah, salah satu nama-Nya adalah “At-Tawwab”, Maha Penerima Tobat. Jadi, tepislah segala keraguan terhadap penerimaan tobat, dan menghadaplah kepada-Nya niscaya dibukakan bagimu pintu-pintu kebaikan dan tobat, selagi kamu mengetuknya. أما الإحساس الذي قد يداخلك، فإنه نابع من عدم يقين النفس بسعة رحمة الخالق، ونقص في الإيمان، وضعف بداخل القلوب ووساوس من الشيطان أن الله لن يغفر لك! فاطُرد كل هؤلاء، واستعذ بالله، وانطلق لتنعم بركاب التوبة، ومغفرة الذنوب جميعها. Adapun perasaan ragu yang terkadang muncul dalam dirimu, maka itu berasal dari ketidakyakinan diri terhadap luasnya rahmat Sang Pencipta, kurangnya iman, dan kelemahan yang ada dalam hati serta bisikan dari setan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu! Oleh sebab itu, usirlah itu semua, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan bangkitlah agar kamu dapat menikmati pertobatan dan ampunan segala dosa. إذًا فلتنظر إلى نفسك، فإن رأيت روحَك وقد صعدت وأبحرتْ في سفينة التوبة، وبدأت تتصارع عليك الأفكار والهواجس كأمواج البحار التي تعصف بالسفينة وركابها تارةً إلى اليمين، وتارةً أخرى إلى اليسار، فبنت تلك الأفكار حاجزًا عاليًا تقول لك: لن تُغفر ذنوبك، ولن تُقبل توبتك، حينها ينتابك الفزع والهلع، وتشعر بغصة تخنق روحك، وتنزل تلك اللآلئ الصغيرة، وتُرفع تلك العيون الذابلة والقلوب المستجيرة، ولم تنطق إلا بكلمة واحدة: يا رب. تنطقها بكل جوارحك ويهتز لها جميعُ جسدك؛ فتشعر بصداها وصدقها، وكأن الكون كله يصرخ معك، ويمر أمام عينك شريط من الذكريات يعرض عليك كلَّ أخطائك وتقصيرك، بدايةً من ترك الصلاة، وهجر القرآن، وترك الفرائض والسُّنن، ومرورًا بفعل الصغائر والكبائر من الذنوب، فتهلع أكثر وتتساءل أكثر: هل يغفر الله لي؟ Jadi, lihatlah dirimu sendiri! Ketika kamu mendapati ruhmu telah berlayar di atas bahtera pertobatan, lalu pikiran-pikiran dan bisikan-bisikan buruk mulai mengamuk bagaikan deburan ombak yang mengombang-ambingkan bahtera dan penumpangnya ke kiri dan ke kanan, sehingga pikiran-pikiran itu mulai menjadi tembok pemisah yang tinggi, “Dosamu tidak akan diampuni! Tobatmu tidak akan diterima!” Ketika itu, ketakutan dan kekhawatiran silih berganti menyudutkanmu dan kamu merasakan sesuatu mencekik ruhmu. Namun, butir-butir harapan mulai turun, mengangkat kembali mata yang sayu dan hati yang berharap pertolongan, yang kamu ucapkan hanya kalimat, “Ya Tuhanku!” Kamu mengucapkannya sepenuh jiwa dan raga dan seluruh tubuhmu bergetar olehnya, sehingga kamu merasakan getaran dan ketulusannya, seakan-akan alam semesta ikut berseru bersamamu. Lalu di depan matamu terlintas rekaman ingatan-ingatan tentang segala kesalahan dan kelalaianmu, mulai dari meninggalkan shalat, mengabaikan Al-Qur’an, melupakan amal-amal wajib dan sunnah, hingga segala dosa kecil dan besar. Kamu kemudian semakin bertanya-tanya, “Apakah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengampuniku?” فما هي إلا لحظات حتى يَمُن الله عليك، وتملأ رُوحك السكينةُ، وتبدأ علامات قبول التوبة في الظهور، فيطمئن قلبك بعدما تداخلت به الظنون أن الله لن يغفر لك، فتشعر أن الكون بكل ما فيه مسخر لتنعم بركاب التائبين. Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan karunia kepadamu, memenuhi jiwamu dengan ketenangan, dan tanda-tanda penerimaan tobatmu mulai terlihat, sehingga hatimu menjadi damai, yang sebelumnya penuh dengan prasangka bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengampunimu, kemudian kamu merasa bahwa alam semesta dengan segala yang ada di dalamnya bergerak agar menuntunmu bergabung bersama kafilah orang-orang yang bertobat. أقبل ولا تخِف، أبحر ولا تتردَّد، اطرق يُفتحْ لك، هروِل يُستجاب لك، لماذا؟! لأنه الله، لأنه التواب، لأنه الغفور؛ عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة)؛ رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. Datanglah dan jangan takut! Berlayarlah dan jangan ragu! Ketuklah pasti akan dibukakan untukmu! Bersegeralah niscaya kamu akan disambut! Mengapa demikian? Karena Dia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Dia Maha Penerima Tobat, karena Dia Maha Pengampun. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: قال اللهُ تعالى: يا بنَ آدَم، إِنَّك ما دَعَوتَني ورَجَوتَني غَفَرتُ لِكَ على ما كان منكَ ولا أُبالي، يا بن آدَمَ لو بَلَغَت ذُنوبُك عَنَانَ السَّماءِ ثمَّ استَغفرَتَنِي غَفَرتُ لَكَ، يا بنَ آدَمَ إنك لو أتَيتَنِي بقُرابِ الأرضِ خَطَايَا ثم لقِيتنِي لا تُشرِكُ بي شَيئًا لأتَيتُكَ بقُرابها مغفِرة  “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya tidaklah kamu berdoa dan berharap kepadaku, melainkan Aku akan mengampunimu atas segala dosa darimu tanpa Aku pedulikan! Wahai anak Adam! Seandainya dosamu mencapai awan di langit, lalu kamu memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu! Wahai anak Adam! Sungguh seandainya kamu datang kepada-Ku membawa dosa-dosa sepenuh bumi, tapi kamu menemuiku tanpa menyekutukan-Ku dengan apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, “Hadis ini hasan sahih”). فما خاب عبد طرَق أبواب الله مستجيرًا به إلا وقد عفا عنه مهما بلغت خطاياه، واعلم أن لكل عبد سفينة لن تُبحر بدونه مهما طال بك الوقت، فإن فاتتك تلك فابحثْ عن الأخرى، فإنها تنتظرك بشوق فلا تجعلها تبحر بدونك. Tidak ada seorang hamba yang mengetuk pintu-pintu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengharap pertolongan-Nya, melainkan Dia akan mengampuninya, sebesar apa pun dosa-dosanya. Ketahuilah bahwa setiap hamba punya bahtera yang tidak akan berlayar tanpa dirinya, selama apa pun ia harus menunggu. Apabila bahtera itu meninggalkanmu, maka carilah bahtera berikutnya, karena ia akan terus menunggumu dengan penuh kerinduan, maka jangan biarkan ia berlayar tanpamu. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/135271/ومن-يغفر-الذنوب-إلا-الله/ومنيغفرالذنوبإلاالله/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 86 times, 1 visit(s) today Post Views: 60 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next