Doa Agar Amal Diterima dan Taubat Diterima, Teladan dari Nabi Ibrahim dan Ismail

Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka.   Amalan Para Salaf Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم “Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369)   Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail Pernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini.   Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bah Ketika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya: وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127) Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka.   Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan Taubat Tak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar: رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128) Makna Mendalam dari Doa Ini Doa ini mengandung beberapa makna mendalam: 1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 2. Permintaan taubat: وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Karena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah. 3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat: Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam. 4. Tawassul dengan Asmaul Husna: Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan. Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas   Pelajaran Penting dari Doa Ini Berikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini: Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal. Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum. Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas. Doa adalah senjata utama para nabi. Hindari merasa bangga atas amal sendiri. Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita. Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan.   Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak Cukup Nabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah. Mari kita biasakan berdoa setelah beramal: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ RABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM. WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM. Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin.   Referensi: Kalamtayeb.Com   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat

Doa Agar Amal Diterima dan Taubat Diterima, Teladan dari Nabi Ibrahim dan Ismail

Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka.   Amalan Para Salaf Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم “Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369)   Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail Pernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini.   Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bah Ketika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya: وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127) Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka.   Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan Taubat Tak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar: رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128) Makna Mendalam dari Doa Ini Doa ini mengandung beberapa makna mendalam: 1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 2. Permintaan taubat: وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Karena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah. 3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat: Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam. 4. Tawassul dengan Asmaul Husna: Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan. Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas   Pelajaran Penting dari Doa Ini Berikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini: Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal. Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum. Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas. Doa adalah senjata utama para nabi. Hindari merasa bangga atas amal sendiri. Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita. Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan.   Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak Cukup Nabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah. Mari kita biasakan berdoa setelah beramal: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ RABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM. WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM. Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin.   Referensi: Kalamtayeb.Com   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat
Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka.   Amalan Para Salaf Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم “Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369)   Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail Pernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini.   Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bah Ketika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya: وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127) Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka.   Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan Taubat Tak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar: رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128) Makna Mendalam dari Doa Ini Doa ini mengandung beberapa makna mendalam: 1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 2. Permintaan taubat: وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Karena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah. 3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat: Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam. 4. Tawassul dengan Asmaul Husna: Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan. Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas   Pelajaran Penting dari Doa Ini Berikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini: Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal. Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum. Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas. Doa adalah senjata utama para nabi. Hindari merasa bangga atas amal sendiri. Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita. Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan.   Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak Cukup Nabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah. Mari kita biasakan berdoa setelah beramal: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ RABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM. WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM. Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin.   Referensi: Kalamtayeb.Com   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat


Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka.   Amalan Para Salaf Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم “Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369)   Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail Pernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini.   Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bah Ketika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya: وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127) Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka.   Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan Taubat Tak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar: رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128) Makna Mendalam dari Doa Ini Doa ini mengandung beberapa makna mendalam: 1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 2. Permintaan taubat: وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ Karena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah. 3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat: Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam. 4. Tawassul dengan Asmaul Husna: Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan. Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas   Pelajaran Penting dari Doa Ini Berikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini: Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal. Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum. Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas. Doa adalah senjata utama para nabi. Hindari merasa bangga atas amal sendiri. Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita. Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan.   Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak Cukup Nabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah. Mari kita biasakan berdoa setelah beramal: رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ RABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM. WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM. Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin.   Referensi: Kalamtayeb.Com   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat

At-Tawwab: Allah Maha Menerima Taubat, Berkali-Kali Tanpa Batas

Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.  Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab“At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati.Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati.Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya.Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau KembaliAllah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat.Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759)Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537)Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula.Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā, فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70)Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman:يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً“Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540) Allah Bergembira Saat Kamu BertaubatBukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا“Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675)Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu.Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah.Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga:Memaafkan dengan ampunan yang baru,Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa,Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar.Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali? Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-NyaIbnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali.Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah:Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat,kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran.Allah Ta‘ālā berfirman:وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka.Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk KembaliPara ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali.Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah: وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104)Qatādah menafsirkan:إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ“Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.”Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa:“At-Tawwāb artinya:يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِAllah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.”Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ“Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.”Dari sini kita memahami bahwa:Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah.Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan.Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah: غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3)Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ“Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.”Az-Zajjājī menambahkan bahwa:فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ.“Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.”Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan:(التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118]“At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat: ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118)وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ”“Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.”Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan:(التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.”Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat:هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ“Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.”Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan,(التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.” Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada AllahDalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal:Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk,Menyesal karena telah melakukannya,Bertekad untuk tidak mengulangi,Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya.Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang.Mengenai firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ.Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal:memohon ampun dengan lisan,meninggalkan dosa dengan anggota badan,berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, danmenjauhi teman-teman yang buruk.(Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431) Kewajiban Taubat Sepanjang HayatTaubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri.Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata,وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ،“Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.”Allah berfirman, وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31)Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi ZhalimAllah juga berfirman: وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11)Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan:Yang bertaubat, atauYang zhalim.Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali SehariDiriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ“Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali.Sejak turun firman Allah: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya,سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي“Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ“Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.”Para sahabat bertanya:“Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?”Beliau menjawab:وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ“Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.” Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat. Referensi: Tulisan di alukah.net – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat

At-Tawwab: Allah Maha Menerima Taubat, Berkali-Kali Tanpa Batas

Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.  Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab“At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati.Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati.Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya.Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau KembaliAllah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat.Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759)Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537)Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula.Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā, فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70)Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman:يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً“Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540) Allah Bergembira Saat Kamu BertaubatBukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا“Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675)Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu.Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah.Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga:Memaafkan dengan ampunan yang baru,Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa,Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar.Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali? Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-NyaIbnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali.Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah:Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat,kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran.Allah Ta‘ālā berfirman:وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka.Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk KembaliPara ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali.Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah: وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104)Qatādah menafsirkan:إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ“Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.”Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa:“At-Tawwāb artinya:يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِAllah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.”Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ“Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.”Dari sini kita memahami bahwa:Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah.Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan.Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah: غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3)Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ“Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.”Az-Zajjājī menambahkan bahwa:فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ.“Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.”Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan:(التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118]“At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat: ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118)وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ”“Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.”Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan:(التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.”Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat:هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ“Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.”Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan,(التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.” Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada AllahDalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal:Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk,Menyesal karena telah melakukannya,Bertekad untuk tidak mengulangi,Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya.Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang.Mengenai firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ.Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal:memohon ampun dengan lisan,meninggalkan dosa dengan anggota badan,berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, danmenjauhi teman-teman yang buruk.(Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431) Kewajiban Taubat Sepanjang HayatTaubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri.Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata,وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ،“Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.”Allah berfirman, وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31)Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi ZhalimAllah juga berfirman: وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11)Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan:Yang bertaubat, atauYang zhalim.Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali SehariDiriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ“Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali.Sejak turun firman Allah: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya,سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي“Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ“Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.”Para sahabat bertanya:“Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?”Beliau menjawab:وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ“Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.” Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat. Referensi: Tulisan di alukah.net – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat
Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.  Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab“At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati.Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati.Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya.Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau KembaliAllah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat.Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759)Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537)Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula.Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā, فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70)Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman:يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً“Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540) Allah Bergembira Saat Kamu BertaubatBukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا“Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675)Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu.Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah.Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga:Memaafkan dengan ampunan yang baru,Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa,Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar.Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali? Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-NyaIbnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali.Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah:Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat,kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran.Allah Ta‘ālā berfirman:وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka.Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk KembaliPara ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali.Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah: وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104)Qatādah menafsirkan:إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ“Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.”Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa:“At-Tawwāb artinya:يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِAllah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.”Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ“Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.”Dari sini kita memahami bahwa:Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah.Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan.Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah: غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3)Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ“Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.”Az-Zajjājī menambahkan bahwa:فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ.“Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.”Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan:(التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118]“At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat: ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118)وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ”“Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.”Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan:(التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.”Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat:هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ“Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.”Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan,(التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.” Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada AllahDalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal:Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk,Menyesal karena telah melakukannya,Bertekad untuk tidak mengulangi,Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya.Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang.Mengenai firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ.Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal:memohon ampun dengan lisan,meninggalkan dosa dengan anggota badan,berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, danmenjauhi teman-teman yang buruk.(Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431) Kewajiban Taubat Sepanjang HayatTaubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri.Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata,وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ،“Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.”Allah berfirman, وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31)Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi ZhalimAllah juga berfirman: وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11)Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan:Yang bertaubat, atauYang zhalim.Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali SehariDiriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ“Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali.Sejak turun firman Allah: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya,سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي“Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ“Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.”Para sahabat bertanya:“Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?”Beliau menjawab:وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ“Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.” Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat. Referensi: Tulisan di alukah.net – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat


Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.  Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab“At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati.Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati.Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya.Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau KembaliAllah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat.Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759)Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537)Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula.Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā, فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70)Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman:يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً“Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540) Allah Bergembira Saat Kamu BertaubatBukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا“Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675)Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu.Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah.Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga:Memaafkan dengan ampunan yang baru,Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa,Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar.Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali? Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-NyaIbnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali.Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah:Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat,kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran.Allah Ta‘ālā berfirman:وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka.Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk KembaliPara ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali.Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah: وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104)Qatādah menafsirkan:إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ“Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.”Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa:“At-Tawwāb artinya:يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِAllah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.”Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ“Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.”Dari sini kita memahami bahwa:Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah.Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan.Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah: غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3)Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ“Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.”Az-Zajjājī menambahkan bahwa:فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ.“Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.”Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan:(التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118]“At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat: ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118)وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ”“Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.”Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan:(التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.”Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat:هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ“Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.”Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan,(التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ“At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.” Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada AllahDalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal:Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk,Menyesal karena telah melakukannya,Bertekad untuk tidak mengulangi,Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya.Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang.Mengenai firman Allah Ta’ala,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8)قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ.Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal:memohon ampun dengan lisan,meninggalkan dosa dengan anggota badan,berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, danmenjauhi teman-teman yang buruk.(Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431) Kewajiban Taubat Sepanjang HayatTaubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri.Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata,وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ،“Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.”Allah berfirman, وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31)Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi ZhalimAllah juga berfirman: وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11)Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan:Yang bertaubat, atauYang zhalim.Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali SehariDiriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ“Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali.Sejak turun firman Allah: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya,سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي“Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ“Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.”Para sahabat bertanya:“Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?”Beliau menjawab:وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ“Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.” Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat. Referensi: Tulisan di alukah.net – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat

At-Tawwab: Allah Maha Menerima Taubat, Berkali-Kali Tanpa Batas

Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.   Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab “At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati. Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati. Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya. Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman.   Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali Allah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat. Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537) Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,  فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا  “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70) Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً “Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540)   Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat Bukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا “Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675) Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu. Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah. Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga: Memaafkan dengan ampunan yang baru, Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa, Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar. Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali?   Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali. Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah: Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat, kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran. Allah Ta‘ālā berfirman: وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali.   Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali Para ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali. Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah:  وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104) Qatādah menafsirkan: إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ “Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.” Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa: “At-Tawwāb artinya: يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِ Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.” Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ “Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.” Dari sini kita memahami bahwa: Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah. Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan. Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah:  غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ  “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3) Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ “Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.” Az-Zajjājī menambahkan bahwa: فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ. “Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.” Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan: (التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118] “At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat:  ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا  ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118) وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ” “Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.” Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan: (التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.” Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat: هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ “Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan, (التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.”   Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah Dalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal: Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk, Menyesal karena telah melakukannya, Bertekad untuk tidak mengulangi, Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya. Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang. Mengenai firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8) قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ. Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal: memohon ampun dengan lisan, meninggalkan dosa dengan anggota badan, berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, dan menjauhi teman-teman yang buruk. (Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431)   Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat Taubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri. Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ، “Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.” Allah berfirman,  وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31) Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat.   Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim Allah juga berfirman:  وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ  “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11) Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan: Yang bertaubat, atau Yang zhalim. Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya.   Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Diriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari) Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ “Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali. Sejak turun firman Allah:  إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ  “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya, سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي “Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ “Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.” Para sahabat bertanya: “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ “Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”   Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat.   Referensi: Tulisan di alukah.net   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat

At-Tawwab: Allah Maha Menerima Taubat, Berkali-Kali Tanpa Batas

Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.   Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab “At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati. Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati. Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya. Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman.   Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali Allah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat. Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537) Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,  فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا  “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70) Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً “Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540)   Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat Bukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا “Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675) Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu. Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah. Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga: Memaafkan dengan ampunan yang baru, Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa, Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar. Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali?   Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali. Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah: Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat, kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran. Allah Ta‘ālā berfirman: وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali.   Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali Para ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali. Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah:  وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104) Qatādah menafsirkan: إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ “Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.” Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa: “At-Tawwāb artinya: يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِ Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.” Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ “Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.” Dari sini kita memahami bahwa: Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah. Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan. Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah:  غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ  “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3) Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ “Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.” Az-Zajjājī menambahkan bahwa: فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ. “Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.” Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan: (التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118] “At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat:  ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا  ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118) وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ” “Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.” Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan: (التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.” Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat: هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ “Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan, (التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.”   Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah Dalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal: Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk, Menyesal karena telah melakukannya, Bertekad untuk tidak mengulangi, Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya. Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang. Mengenai firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8) قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ. Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal: memohon ampun dengan lisan, meninggalkan dosa dengan anggota badan, berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, dan menjauhi teman-teman yang buruk. (Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431)   Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat Taubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri. Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ، “Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.” Allah berfirman,  وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31) Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat.   Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim Allah juga berfirman:  وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ  “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11) Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan: Yang bertaubat, atau Yang zhalim. Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya.   Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Diriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari) Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ “Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali. Sejak turun firman Allah:  إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ  “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya, سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي “Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ “Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.” Para sahabat bertanya: “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ “Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”   Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat.   Referensi: Tulisan di alukah.net   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat
Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.   Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab “At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati. Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati. Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya. Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman.   Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali Allah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat. Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537) Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,  فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا  “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70) Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً “Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540)   Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat Bukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا “Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675) Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu. Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah. Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga: Memaafkan dengan ampunan yang baru, Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa, Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar. Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali?   Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali. Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah: Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat, kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran. Allah Ta‘ālā berfirman: وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali.   Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali Para ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali. Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah:  وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104) Qatādah menafsirkan: إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ “Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.” Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa: “At-Tawwāb artinya: يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِ Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.” Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ “Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.” Dari sini kita memahami bahwa: Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah. Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan. Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah:  غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ  “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3) Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ “Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.” Az-Zajjājī menambahkan bahwa: فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ. “Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.” Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan: (التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118] “At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat:  ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا  ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118) وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ” “Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.” Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan: (التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.” Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat: هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ “Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan, (التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.”   Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah Dalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal: Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk, Menyesal karena telah melakukannya, Bertekad untuk tidak mengulangi, Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya. Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang. Mengenai firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8) قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ. Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal: memohon ampun dengan lisan, meninggalkan dosa dengan anggota badan, berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, dan menjauhi teman-teman yang buruk. (Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431)   Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat Taubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri. Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ، “Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.” Allah berfirman,  وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31) Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat.   Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim Allah juga berfirman:  وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ  “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11) Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan: Yang bertaubat, atau Yang zhalim. Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya.   Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Diriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari) Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ “Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali. Sejak turun firman Allah:  إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ  “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya, سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي “Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ “Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.” Para sahabat bertanya: “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ “Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”   Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat.   Referensi: Tulisan di alukah.net   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat


Tak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita mau kembali. Allah adalah At-Tawwāb—yang membuka pintu taubat, berkali-kali, tanpa henti menyambut hamba-Nya yang ingin pulang.   Daftar Isi tutup 1. Nama Allah At-Tawwab 2. Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali 3. Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat 4. Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya 5. Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali 6. Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah 7. Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat 8. Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim 9. Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Nama Allah At-Tawwab “At-Tawwāb” dalam bahasa Arab merupakan bentuk mubālaghah (bentuk intensif) dari kata kerja tāba – yatūbu – tawban wa tawbah, yang berarti kembali atau berbalik dari sesuatu menuju selainnya. Dalam konteks agama, maknanya adalah meninggalkan dosa dengan cara yang paling indah dan tulus. Itulah bentuk permohonan maaf yang paling dalam dan sejati. Permintaan maaf sendiri bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, seseorang berkata: “Saya tidak melakukannya.” Kedua, ia berkata: “Saya melakukannya karena alasan tertentu.” Ketiga, ia berkata: “Saya memang melakukannya, saya telah keliru, dan kini saya telah berhenti serta tidak akan mengulanginya.” Nah, bentuk ketiga inilah yang disebut dengan taubat sejati. Istilah tā’ib (orang yang bertaubat) bisa digunakan untuk dua makna: bagi hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Allah, maupun bagi Allah yang menerima taubat hamba-Nya. Jadi, seorang hamba disebut tā’ib karena ia kembali kepada Allah, dan Allah pun disebut tā’ib karena Dia menerima dan menyambut taubat hamba-Nya. Taubat adalah kewajiban yang tak bisa ditawar untuk setiap pelaku dosa dan maksiat, baik dosanya tergolong kecil maupun besar. Tidak ada satu orang pun yang punya alasan untuk menunda atau meninggalkan taubat setelah melakukan maksiat, sebab semua bentuk dosa telah diancam oleh Allah dengan hukuman.   Pintu Taubat Terbuka 24 Jam, Asal Hati Mau Kembali Allah At-Tawwāb, Mahasuci Dia, adalah Dzat yang terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, dari waktu ke waktu, tanpa bosan dan tanpa batas. Tidak ada satu pun hamba yang terjerumus dalam maksiat—seberat apa pun dan selama apa pun—lalu tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah, melainkan Allah akan membukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Allah bergembira dengan kembalinya si hamba, selama nyawanya belum sampai di tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari arah barat. Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537) Seandainya ada seseorang yang begitu jauh dari Allah. Ia mengikuti hawa nafsunya, membiarkan bisikan setan menguasainya, lalu tenggelam dalam dosa demi dosa. Bahkan ia membunuh seratus jiwa, dan tak ada dosa yang tidak ia lakukan. Namun suatu saat ia ingin kembali kepada Allah, ingin diampuni—maka Allah yang Maha Menerima Taubat tetap akan menerimanya. Bahkan, semua keburukan yang telah ia kumpulkan akan diganti dengan kebaikan sebanyak itu pula. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,  فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا  “Mereka itulah orang-orang yang Allah akan ganti semua keburukan mereka menjadi kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqān: 70) Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, dan Al-Albani menyatakannya hasan, dari Anas bin Mālik radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah berfirman: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَىٰ مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ، ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ ٱلْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً “Wahai anak Adam, selama engkau terus berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampunimu atas apa pun yang telah kau lakukan, dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosamu menjulang sampai ke langit, lalu engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa mempersekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540)   Allah Bergembira Saat Kamu Bertaubat Bukan hanya menerima taubat, Allah juga bergembira luar biasa ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu: الله أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ إِذَا وَجَدَهَا “Sungguh, Allah lebih bergembira dengan taubat salah seorang dari kalian, melebihi gembiranya seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang.” (HR. Muslim, no. 2675) Bayangkan seseorang yang sedang tersesat di padang pasir, kehausan, tak punya harapan, lalu menemukan kembali untanya yang membawa bekalnya. Betapa bahagianya dia! Tapi kegembiraan Allah saat kamu bertaubat jauh lebih besar dari itu. Seorang yang berdosa sejatinya telah berbuat kesalahan besar di hadapan Allah. Besarnya dosa diukur dari siapa yang dilanggar hak-Nya, bukan sekadar dari apa bentuk maksiatnya. Maka, sekadar diterima saja taubat seorang pendosa, itu sudah merupakan karunia agung dan kemurahan yang luar biasa dari Allah. Namun nyatanya, Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga: Memaafkan dengan ampunan yang baru, Menyambut dengan kegembiraan yang luar biasa, Dan bahkan mengganti dosa-dosa masa lalu dengan pahala besar. Bukankah itu bukti betapa cintanya Allah kepada hamba-hamba yang ingin kembali?   Taubat Kita Dimulai dari Allah, Diakhiri Juga oleh-Nya Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa taubat seorang hamba kepada Rabb-nya selalu diapit oleh dua bentuk taubat dari Allah. Pertama adalah taubat Allah yang mendahului taubat hamba, dan kedua adalah taubat-Nya setelah hamba itu kembali. Artinya, taubat seorang hamba berada di antara dua bentuk kasih sayang dari Allah: Allah lebih dulu menerima taubatnya melalui ilham, izin, dan taufik, lalu hamba itu bertaubat, kemudian Allah menerima taubat itu sebagai bentuk rahmat dan ganjaran. Allah Ta‘ālā berfirman: وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوٓا۟ أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan (Allah juga menerima taubat) terhadap tiga orang yang ditangguhkan (perkaranya), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah kecuali kembali kepada-Nya. Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Perhatikan bagaimana Allah menyebut bahwa Dia menerima taubat mereka terlebih dahulu agar mereka bisa bertaubat. Artinya, taubat yang mereka lakukan adalah buah dari kasih sayang Allah yang lebih dulu turun kepada mereka. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa: Seorang hamba tidak akan bisa bertaubat kecuali setelah Allah memberi izin dan taufik. Dan Allah pula yang akan menerima dan menolong setelah hamba itu kembali.   Makna At-Tawwab: Allah yang Terus Mengajak Hamba-Nya untuk Kembali Para ulama menjelaskan bahwa makna nama At-Tawwāb bagi Allah Ta‘ālā bukan hanya sekadar “Maha Menerima Taubat”, tetapi juga Dzat yang memberi hidayah untuk taubat, memudahkan jalannya, dan menerima taubat itu berkali-kali, tak peduli seberapa sering seorang hamba jatuh dan bangkit kembali. Qatādah rahimahullāh berkata tentang firman Allah:  وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  “Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 104) Qatādah menafsirkan: إِنَّ الله هُوَ الوَهَّابُ لِعِبَادِهِ الإِنَابَةَ إِلَى طَاعَتِهِ، المُوَفِّقُ مَنْ أَحبَّ تَوْفِيقَهُ مِنْهُمْ لِمَا يُرضِيهِ عَنْهُ “Allah adalah Dzat yang menganugerahkan kepada hamba-Nya keinginan untuk kembali menaati-Nya, dan memberi taufik kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara mereka, agar bisa berbuat yang membuat-Nya ridha.” Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa: “At-Tawwāb artinya: يَتُوبُ عَلَى العِبَادِ، والتَّوَّابُ مِنَ النَّاسِ الذِي يَتُوبُ مِنَ الذَّنْبِ Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya. Sedangkan kalau disebut ‘tawwāb’ dari kalangan manusia, artinya orang yang terus-menerus bertaubat dari dosa.” Ibnu Jarīr rahimahullāh berkata: إِنَّ الله جَلَّ ثَنَاؤُهُ هُوَ (التَّوَّابُ) عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ مِنْ عِبَادِهِ المُذْنِبِينَ مِنْ ذُنُوبِهِ، التَّارِكُ مُجَازَاتِهِ بِإِنَابَتِهِ إِلَى طَاعَتِهِ بَعْدَ مَعْصِيَتِهِ بِمَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِهِ “Sesungguhnya Allah-lah At-Tawwāb atas siapa pun dari hamba-hamba-Nya yang berdosa lalu kembali kepada-Nya. Dia tidak menghukum mereka karena dosa masa lalunya, karena mereka telah kembali kepada ketaatan.” Dari sini kita memahami bahwa: Taubat dari hamba berarti kembali kepada ketaatan dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah. Sedangkan taubat dari Allah berarti memberi taufik, mengganti murka dengan ridha, dan mengganti hukuman dengan ampunan. Az-Zajjāj berkata tentang firman Allah:  غَافِرِ ٱلذَّنۢبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ  “(Dialah) Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghāfir: 3) Ia menjelaskan: يَقْبَلُ رُجُوع عَبْدِهِ إِلَيْهِ، وَمِنْ هَذَا قِيلَ: التَّوْبَةُ كَأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الطَّاعَةِ، وَتركُ المَعْصِيَةِ “Artinya: Allah menerima kembalinya seorang hamba kepada-Nya. Karena itu, taubat disebut juga sebagai ‘kembali kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat’.” Az-Zajjājī menambahkan bahwa: فَجَاءَ تَوَّابٌ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ لِقَبُولِهِ تَوْبَةَ عِبَادِهِ، وَتكْرِيرِ الفِعْلِ مِنْهُم دُفْعَةً بَعْدَ دُفْعَةٍ، وَوَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ عَلَى طُولِ الزَّمَانِ، وَقَبُولِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ يَشَاءُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ، فَلِذَلِكَ جَاءَ عَلَى أَبْنِيَةِ المُبَالَغَةِ. “Nama ‘At-Tawwāb’ dibentuk dengan pola mubālaghah (penegasan) karena menunjukkan bahwa Allah terus-menerus menerima taubat hamba-hamba-Nya, satu demi satu, berulang kali, sepanjang masa. Dan Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya untuk diterima taubatnya.” Al-Khaṭṭābī rahimahullāh menjelaskan: (التَّوَّابُ): هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى عَبْدِهِ وَيَقْبَلُ تَوْبَتَهُ كُلَّمَا تَكَرَّرَتِ التَّوْبَةُ تَكَرَّرَ القَبُولُ، وَهُوَ حَرْفٌ يَكُونُ لاَزِمًا وَيَكُونُ مُتَعَدِّيًا، يُقَالُ: تَابَ اللهُ عَلَى العَبْدِ بِمَعْنَى وفَّقَهُ لِلتَّوْبَةِ فَتَابَ العَبْدُ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ﴾ [التوبة: 118] “At-Tawwāb adalah Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, dan setiap kali hamba itu bertaubat, Allah pun menerima kembali. Kata ‘tāba’ bisa bermakna lazim (taubat itu dari hamba) dan bisa bermakna muta’addi (taubat dari Allah) seperti dalam ayat:  ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا  ‘Lalu Allah menerima taubat mereka agar mereka benar-benar bertaubat.’ (QS. At-Taubah: 118) وَمَعْنَى التَّوْبَةِ: عَوْدُ العَبْدِ إِلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ المَعْصِيَةِ” “Makna taubat adalah: kembalinya hamba kepada ketaatan setelah sebelumnya dalam kemaksiatan.” Al-Ḥulaymi rahimahullāh menambahkan: (التَّوَّابُ) وَهُوَ المُعِيدُ إِلَى عَبْدِهِ فَضْلَ رَحْمَتِهِ إِذَا هُوَ رَجَعَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَنَدِمَ عَلَى مَعْصِيَتِهِ، وَلاَ يُحْبِطُ بِمَا قَدَّمَ مِنْ خَيْرٍ، وَلاَ يَمْنَعُهُ مَا وَعَدَ المُطِيعِينَ مِنَ الإِحْسَانِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang mengembalikan curahan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang kembali taat dan menyesali dosa-dosanya. Dia tidak menggugurkan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya, dan tidak menghalangi pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat.” Al-Bayhaqī rahimahullāh berkata singkat: هُوَ الذِي يَتُوبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عَبِيدِهِ “Dialah yang menerima taubat siapa pun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” Di dalam Al-Maqaṣhid al-Asnā, disebutkan, (التَّوَّابُ) هُوَ الذِي يَرْجِعُ إِلَى تَيْسِيرِ أَسْبَابِ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى، بِمَا يُظهِر لَهُمْ مِنْ آيَاتِهِ، وَيَسُوقُ إِلَيْهِم مِنْ تَنْبِيهَاتِهِ، وَيُطْلِعُهم عَلَيْهِ مِنْ تَخْوِيفَاتِهِ وَتَحْذِيرَاتِهِ، حَتَّى إِذَا اطَّلَعُوا بِتَعْرِيفِهِ عَلَى غَوَائِلِ الذُّنُوبِ، اسْتَشْعَرُوا الخَوْفَ بِتَخُوِيفِهِ فَرَجَعُوا إِلَى التَّوْبَةِ، فَرَجَعَ إِلَيْهِم فَضْلُ الله تَعَالَى بِالقَبُولِ “At-Tawwāb adalah Dzat yang terus memudahkan sebab-sebab taubat untuk hamba-hamba-Nya, berulang kali. Dia menampakkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, memberi peringatan, menunjukkan bahaya dosa-dosa, hingga ketika mereka sadar dan takut kepada-Nya, mereka pun kembali bertaubat. Maka Allah pun menyambut mereka dengan rahmat dan ampunan-Nya.”   Taubat: Cara Terbaik Meminta Maaf kepada Allah Dalam Islam, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tapi ia adalah bentuk permintaan maaf yang paling tulus dan mendalam. Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Secara syar‘i, taubat mencakup empat hal: Meninggalkan dosa karena sadar itu perbuatan buruk, Menyesal karena telah melakukannya, Bertekad untuk tidak mengulangi, Berusaha memperbaiki dan mengganti kesalahan itu dengan amal yang bisa menebusnya. Jika keempat hal ini terkumpul, maka sempurnalah taubat seseorang. Mengenai firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim: 8) قال القُرَظِيُّ: يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالإِقْلَاعُ بِالأَبْدَانِ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ العَوْدِ بِالجَنَانِ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّءِ الإِخْوَانِ. Al-Qurazhi berkata: Taubat nasuha mencakup empat hal: memohon ampun dengan lisan, meninggalkan dosa dengan anggota badan, berniat kuat dalam hati untuk tidak mengulangi, dan menjauhi teman-teman yang buruk. (Tafsir Al-Baghawi, 4:430–431)   Kewajiban Taubat Sepanjang Hayat Taubat adalah kewajiban setiap hamba, di setiap waktu dan keadaan. Tidak ada satu pun yang bisa lepas dari keperluan untuk bertaubat, bahkan orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling sering bertaubat dan menjaga taubatnya dengan baik. Jika seseorang tidak mau bertaubat, berarti ia sedang menzhalimi dirinya sendiri. Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, وَمَنْزِلُ (التَّوْبَةِ) أَوَّلُ المَنَازِل، وَأَوْسَطُهَا، وَآخِرُهَا، فَلَا يُفَارِقُهُ العَبْدُ السَّالِكُ، وَلَا يَزَالُ فِيهِ إِلَى المَمَاتِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ بِهِ، وَاسْتَصْحَبَهُ مَعَهُ وَنَزَلَ بِهِ، فَالتَّوْبَةُ هِي بِدَايَةُ العَبْدِ وَنِهَايَتُهُ، وَحَاجَتُهُ إِلَيْهَا فِي النَّهَايَةِ ضَرُورِيَّةٌ، كَمَا أَنَّ حَاجَتَهُ إِلَيْهَا فِي البِدَايَةِ كَذَلِكَ، “Manzil (tingkatan) taubat adalah awal perjalanan seorang hamba menuju Allah, pertengahan, dan sekaligus akhirnya. Seorang hamba tidak akan pernah lepas dari taubat, bahkan akan terus bersamanya hingga ajal menjemput. Taubat adalah permulaan dan juga tujuan akhir.” Allah berfirman,  وَتُوبُوا إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  “Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nūr: 31) Ini adalah ayat Madaniyyah (turun di Madinah), ditujukan kepada orang-orang beriman, yang telah bersabar, berhijrah, dan berjihad. Allah tetap memerintahkan mereka untuk bertaubat. Dalam ayat ini, Allah mengaitkan keberuntungan (al-falāḥ) dengan taubat, seolah menyiratkan: “Kalau kalian bertaubat, barulah kalian bisa berharap sukses dan selamat.” Maka, tak ada harapan kemenangan dan kebahagiaan selain bagi mereka yang bertaubat.   Tak Ada Pilihan Ketiga: Bertaubat atau Menjadi Zhalim Allah juga berfirman:  وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ  “Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ḥujurāt: 11) Ayat ini membagi manusia hanya ke dalam dua golongan: Yang bertaubat, atau Yang zhalim. Tidak ada golongan ketiga. Siapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah orang yang paling zhalim. Mengapa? Karena ia tidak mengenal Tuhannya, tidak tahu betapa agung hak Allah atas dirinya, dan tidak sadar betapa banyak cacat dalam dirinya sendiri dan amalnya.   Nabi pun Bertaubat Lebih dari 70 Kali Sehari Diriwayatkan dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلَى اللَّهِ، فَوَاللهِ إِنِّي لَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku sendiri bertaubat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR. Bukhari) Bahkan, para sahabat meriwayatkan bahwa dalam satu majelis, mereka menghitung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ “Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun.” … hingga seratus kali. Sejak turun firman Allah:  إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ  “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS. An-Naṣr: 1) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca dalam setiap shalatnya, سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي “Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami, dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُم عَمَلُهُ “Tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa selamat karena amalnya.” Para sahabat bertanya: “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ “Bahkan aku pun tidak, kecuali bila Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”   Renungkanlah nama Allah At-Tawwāb, lalu kembalilah kepada-Nya dengan taubat yang tulus sebelum terlambat.   Referensi: Tulisan di alukah.net   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsampunan asmaul husna At-Tawwab ayat taubat dosa istighfar kembali kepada Allah keutamaan taubat nama Allah nama dan sifat Allah syarat taubat taubat

Hukum Cipika-Cipiki dalam Islam: Antara Sunnah dan Larangan

Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.   Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum Para ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar, وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا. “Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.” Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini, عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan) Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas.   Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan Namun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ. “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi) Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat. Baca: Sunnah Berjabat Tangan   Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram Penting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis   Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup Yang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya: Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. “Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?” Anas menjawab, “Ya.” Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi?   Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata, فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي. “Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik   Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Bersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa. Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan

Hukum Cipika-Cipiki dalam Islam: Antara Sunnah dan Larangan

Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.   Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum Para ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar, وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا. “Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.” Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini, عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan) Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas.   Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan Namun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ. “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi) Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat. Baca: Sunnah Berjabat Tangan   Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram Penting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis   Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup Yang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya: Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. “Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?” Anas menjawab, “Ya.” Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi?   Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata, فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي. “Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik   Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Bersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa. Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan
Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.   Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum Para ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar, وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا. “Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.” Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini, عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan) Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas.   Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan Namun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ. “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi) Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat. Baca: Sunnah Berjabat Tangan   Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram Penting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis   Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup Yang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya: Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. “Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?” Anas menjawab, “Ya.” Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi?   Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata, فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي. “Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik   Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Bersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa. Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan


Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.   Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum Para ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar, وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا. “Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.” Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini, عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan) Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas.   Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan Namun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ. “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi) Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat. Baca: Sunnah Berjabat Tangan   Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram Penting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis   Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup Yang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya: Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. “Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?” Anas menjawab, “Ya.” Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi?   Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata, فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي. “Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik   Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Bersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa. Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik. Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam   –   Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan

Doa Agar Amal Diterima dan Taubat Diterima, Teladan dari Nabi Ibrahim dan Ismail

Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka. Amalan Para SalafIbnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم“Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369) Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan IsmailPernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini. Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bahKetika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya:وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127)Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka. Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan TaubatTak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar:رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128)Makna Mendalam dari Doa IniDoa ini mengandung beberapa makna mendalam:1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ2. Permintaan taubat:وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُKarena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah.3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat:Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam.4. Tawassul dengan Asmaul Husna:Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan.Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas Pelajaran Penting dari Doa IniBerikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini:Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal.Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum.Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas.Doa adalah senjata utama para nabi.Hindari merasa bangga atas amal sendiri.Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita.Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan. Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak CukupNabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah.Mari kita biasakan berdoa setelah beramal:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُوَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُRABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM.WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM.Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin. Referensi: Kalamtayeb.Com – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat

Doa Agar Amal Diterima dan Taubat Diterima, Teladan dari Nabi Ibrahim dan Ismail

Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka. Amalan Para SalafIbnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم“Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369) Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan IsmailPernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini. Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bahKetika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya:وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127)Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka. Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan TaubatTak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar:رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128)Makna Mendalam dari Doa IniDoa ini mengandung beberapa makna mendalam:1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ2. Permintaan taubat:وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُKarena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah.3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat:Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam.4. Tawassul dengan Asmaul Husna:Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan.Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas Pelajaran Penting dari Doa IniBerikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini:Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal.Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum.Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas.Doa adalah senjata utama para nabi.Hindari merasa bangga atas amal sendiri.Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita.Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan. Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak CukupNabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah.Mari kita biasakan berdoa setelah beramal:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُوَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُRABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM.WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM.Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin. Referensi: Kalamtayeb.Com – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat
Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka. Amalan Para SalafIbnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم“Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369) Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan IsmailPernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini. Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bahKetika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya:وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127)Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka. Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan TaubatTak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar:رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128)Makna Mendalam dari Doa IniDoa ini mengandung beberapa makna mendalam:1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ2. Permintaan taubat:وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُKarena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah.3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat:Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam.4. Tawassul dengan Asmaul Husna:Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan.Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas Pelajaran Penting dari Doa IniBerikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini:Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal.Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum.Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas.Doa adalah senjata utama para nabi.Hindari merasa bangga atas amal sendiri.Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita.Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan. Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak CukupNabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah.Mari kita biasakan berdoa setelah beramal:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُوَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُRABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM.WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM.Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin. Referensi: Kalamtayeb.Com – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat


Pernahkah kita khawatir apakah amal kita benar-benar diterima oleh Allah? Nabi Ibrahim dan Ismail saja memohon dengan penuh harap agar amal mereka diterima, padahal mereka sedang melaksanakan perintah langsung dari Rabb mereka. Amalan Para SalafIbnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُم“Para salaf selalu berdoa kepada Allah selama enam bulan agar bisa diperjumpakan dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah menerima amalan mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 369) Doa Agar Amal Diterima, Meneladani Nabi Ibrahim dan IsmailPernahkah kita bertanya dalam hati, “Apakah amal ibadahku diterima oleh Allah?” Nabi Ibrahim dan Ismail yang diangkat derajatnya oleh Allah saja memohon agar amal mereka diterima, apalagi kita yang penuh kekurangan ini. Doa Nabi Ibrahim dan Ismail Saat Mendirikan Ka’bahKetika membangun fondasi Ka’bah atas perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Ismail tak hanya bekerja keras secara fisik. Mereka juga tak lepas dari berdoa dan menggantungkan harapan pada Allah. Allah Ta‘ala mengabadikan doa mereka dalam firman-Nya:وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَٰهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ مِنَ ٱلْبَيْتِ وَإِسْمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127)Doa ini bukan sekadar pengharapan, tetapi juga cerminan rasa rendah hati di hadapan Allah. Mereka sadar, meski mereka melakukan ibadah agung atas perintah langsung dari Rabb mereka, itu belum menjamin diterimanya amal mereka. Doa Memohon Taufik untuk Ibadah dan TaubatTak cukup hanya dengan doa agar amal diterima, mereka juga meminta agar senantiasa menjadi hamba yang tunduk dan mendapatkan petunjuk untuk beribadah dengan benar:رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 128)Makna Mendalam dari Doa IniDoa ini mengandung beberapa makna mendalam:1. Harapan diterimanya amal: Meski ibadah itu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah, para nabi tetap khawatir akan tidak diterimanya amal. Maka dari itu, mereka berdoa:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ2. Permintaan taubat:وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُKarena manusia, sebaik apapun amalnya, tak lepas dari kekurangan yang memerlukan ampunan Allah.3. Menjadi muslim sejati dan memiliki keturunan yang taat:Mereka meminta agar diri mereka dan anak keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ini menunjukkan pentingnya mendoakan keturunan agar istiqamah dalam Islam.4. Tawassul dengan Asmaul Husna:Penyebutan nama Allah “As-Samii‘”, “Al-‘Aliim”, “At-Tawwaab”, dan “Ar-Rahiim” adalah bentuk tawassul yang diajarkan dalam Al-Qur’an, karena nama-nama itu selaras dengan isi doa yang dipanjatkan.Baca juga: Makna At-Tawwab, Allah Maha Menerima Taubat Berkali-Kali Tanpa Batas Pelajaran Penting dari Doa IniBerikut beberapa pelajaran berharga dari ayat ini:Pentingnya amal diterima, bukan sekadar banyaknya amal.Kita harus tetap berdoa setelah beramal, bukan hanya sebelum.Ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa harap dan takut adalah ciri amal yang ikhlas.Doa adalah senjata utama para nabi.Hindari merasa bangga atas amal sendiri.Sertakan anak keturunan dalam doa-doa kita.Jangan pernah merasa cukup dengan amal yang telah dikerjakan. Kesimpulan: Amal Baik Saja Tidak CukupNabi Ibrahim dan Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa sekadar mengerjakan amal baik belum tentu cukup. Amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, sesuai sunnah, serta dibarengi dengan permohonan agar diterima oleh Allah.Mari kita biasakan berdoa setelah beramal:رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُوَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُRABBANAA TAQABBAL MINNAA, INNAKA ANTAS-SAMII’UL-‘ALIIM.WA TUB ‘ALAINAA, INNAKA ANTAT-TAWWAABUR-RAHIIM.Semoga Allah menerima seluruh amal kita, mengampuni kekurangan kita, dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tunduk dan taat. Aamiin. Referensi: Kalamtayeb.Com – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan doa berdoa cara taubat doa agar diterimanya amalan taubat

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan
Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan


Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Hukum Cipika-Cipiki dalam Islam: Antara Sunnah dan Larangan

Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.  Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi UmumPara ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar,وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا.“Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.”Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini,عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?”Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan)Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari PerjalananNamun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat.Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ.“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi)Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat.Baca: Sunnah Berjabat Tangan Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya HaramPenting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah CukupYang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya:Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ.“Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?”Anas menjawab, “Ya.”Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi? Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata,فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي.“Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang MakruhBersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa.Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan

Hukum Cipika-Cipiki dalam Islam: Antara Sunnah dan Larangan

Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.  Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi UmumPara ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar,وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا.“Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.”Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini,عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?”Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan)Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari PerjalananNamun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat.Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ.“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi)Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat.Baca: Sunnah Berjabat Tangan Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya HaramPenting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah CukupYang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya:Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ.“Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?”Anas menjawab, “Ya.”Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi? Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata,فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي.“Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang MakruhBersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa.Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan
Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.  Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi UmumPara ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar,وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا.“Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.”Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini,عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?”Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan)Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari PerjalananNamun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat.Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ.“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi)Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat.Baca: Sunnah Berjabat Tangan Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya HaramPenting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah CukupYang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya:Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ.“Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?”Anas menjawab, “Ya.”Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi? Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata,فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي.“Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang MakruhBersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa.Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan


Sebagian orang mungkin terbiasa menunjukkan kehangatan dengan mencium wajah temannya saat berjumpa. Namun tahukah Anda, bahwa Islam punya adab tersendiri dalam hal ini? Tidak semua bentuk ekspresi keakraban itu dibolehkan secara mutlak. Ada yang disunnahkan, ada pula yang dimakruhkan—bahkan bisa jadi haram, tergantung konteks dan niat di baliknya.  Daftar Isi tutup 1. Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi Umum 2. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari Perjalanan 3. Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya Haram 4. Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah Cukup 5. Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang Makruh Mencium Wajah: Dimakruhkan dalam Kondisi UmumPara ulama menegaskan bahwa mencium wajah sesama laki-laki, dalam kondisi biasa tanpa sebab tertentu, hukumnya makruh. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Adzkar,وَأَمَّا الْمُعَانَقَةُ وَتَقْبِيلُ الْوَجْهِ لِغَيْرِ الطِّفْلِ وَلِغَيْرِ الْقَادِمِ مِنْ سَفَرٍ وَنَحْوِهِ فَمَكْرُوهَانِ، نَصَّ عَلَى كَرَاهِيَتِهِمَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا.“Adapun berpelukan dan mencium wajah selain kepada anak kecil atau orang yang datang dari safar, maka hukumnya makruh. Ini telah ditegaskan oleh Abu Muhammad Al-Baghawi dan para ulama mazhab kami lainnya.”Hadits yang menjadi dasar adalah kisah berikut ini,عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ، أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Wahai Rasulullah, apakah seseorang boleh menunduk saat bertemu saudaranya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Ia bertanya lagi, “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”Beliau menjawab, “Tidak.”Kemudian ia bertanya, “Bolehkah menjabat tangannya?”Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan)Hadits ini menunjukkan bahwa bentuk penghormatan yang berlebihan, seperti membungkuk atau mencium wajah, tidak disukai dalam Islam jika tidak ada alasan syar’i yang jelas. Diperbolehkan Saat Menyambut yang Pulang dari PerjalananNamun berbeda halnya ketika seseorang datang dari safar (perjalanan jauh). Dalam kondisi seperti ini, mencium wajah atau memeluknya boleh dilakukan sebagai bentuk kasih sayang dan sambutan hangat.Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, قَدِمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ، وَرَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي، فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ، فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ، وَاللّٰهِ مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ.“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumahku. Ia mengetuk pintu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dalam keadaan tergesa, hingga kainnya terseret. Demi Allah, aku tidak pernah melihat beliau dalam keadaan seperti itu, baik sebelum maupun sesudahnya. Beliau lalu memeluk dan menciumnya.” (HR. Tirmidzi)Kisah ini menjadi dalil bahwa mencium wajah teman dekat yang baru datang dari perjalanan adalah hal yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan tanpa syahwat.Baca: Sunnah Berjabat Tangan Jika Ada Unsur Syahwat, Maka Hukumnya HaramPenting untuk digarisbawahi, bahwa apapun bentuk sentuhan fisik—entah itu cium pipi, pelukan, atau lainnya—jika disertai syahwat, maka hukumnya haram secara mutlak. Islam sangat menjaga batasan antara sesama laki-laki maupun perempuan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Sunnahnya: Bersalaman, Itu Sudah CukupYang paling utama dan dianjurkan ketika bertemu saudara seiman adalah bersalaman. Ini didukung oleh berbagai hadits shahih, di antaranya:Dalam Shahih Bukhari, dari Qatadah, ia berkata kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ.“Apakah para sahabat Nabi biasa bersalaman?”Anas menjawab, “Ya.”Baca juga: Berapa Jumlah Sahabat Nabi? Dan dalam kisah taubat Ka’ab bin Malik yang terkenal, beliau berkata,فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي.“Lalu Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari menyambutku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)Baca juga: Diterimanya Taubat Ka’ab bin Malik Penutup: Ikuti Sunnah, Hindari yang MakruhBersalaman sudah cukup sebagai tanda kasih sayang dan persaudaraan. Tak perlu berlebihan dengan mencium wajah atau pelukan yang tidak pada tempatnya. Islam itu agama yang penuh adab dan keseimbangan—membolehkan kehangatan, tetapi membatasi demi menjaga kehormatan. Maka, mari cukupkan diri dengan sunnah yang ringan, tetapi berpahala besar: salaman yang menggugurkan dosa.Semoga Allah beri taufik untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya dengan baik.Baca juga: Hukum Berjabat Tangan Setelah Salam – Ditulis pada Jumat pagi, 12 Syawal 1446 H, 11 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab bersilaturahmi adab bertemu dalam islam adab dalam salam adab majelis dalil bersalaman menggugurkan dosa etika pergaulan islami hukum berpelukan sesama laki-laki hukum bersalaman dalam islam hukum cipika cipiki dalam islam hukum mencium wajah teman larangan mencium tanpa alasan syar’i sunnah berjabat tangan

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan
Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan


Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Mengenal Nama Allah “Al-Kabiir”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Kabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir”Makna bahasa dari “Al-Kabiir”Makna “Al-Kabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hambaBeriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatuMemutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-NyaTawadhu’ dan menjauhi kesombonganMemperbanyak takbirMengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Allah memiliki nama-nama yang paling bagus, yang masing-masing mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Di antara nama Allah yang agung dan penuh makna adalah “Al-Kabiir”, yang biasa diartikan “Yang Maha Besar”. Nama ini menunjukkan kebesaran Allah yang meliputi segala hal, baik dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-Kabiir, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, untuk bisa mengagungkan-Nya dengan benar. Aamiin. Dalil nama Allah “Al-Kabiir” Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan diri-Nya dengan nama “Al-Kabiir” dalam enam tempat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah: Firman-Nya dalam surah Ar-Ra’du ayat 9, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ “Dia-lah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar dan Maha Tinggi.” Firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 62, وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Kabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Kabiir” “Al-Kabiir” merupakan bentuk sifat musyabbahah dari kata kerja ( كَبِر يكْبَر مَكبِرا وكِبَرا ) yang berarti “besar” atau “agung”, lawan dari kecil. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, الكبير: العظيم الجليل، يقال: «فلان كبير بني فلان»: أي رئيسهم وعظيمهم ومنه قوله عز وجل: {انا أطعنا سادتنا وكبراءنا} أي عظماءنا ورؤوساءنا “Al-Kabiir: yang agung dan mulia. Dikatakan, ‘Si Fulan adalah kabiir dari Bani Fulan,’ yaitu pemimpin dan orang terhormat mereka. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami.’ (QS. Al-Ahzab: 67), yaitu orang-orang yang besar dan para pemimpin kami.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (‌كبر) الْكَافُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ الصِّغَرِ “(Huruf kaaf, baa, dan raa) adalah akar kata yang menunjukkan makna lawan dari kecil.” [4] Makna “Al-Kabiir” dalam konteks Allah Makna Al-Kabiir sebagai salah satu nama dari nama-nama Allah adalah Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih besar (agung) dari-Nya; Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan terkait firman Allah, {وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}. يعنى بقولِه: {الْعَلِيُّ} أنَّه ذو العلوِّ على كلِّ شيءٍ، هو فوقَ كلِّ شيءٍ، وكلُّ شيءٍ دونَه، {الْكَبِيرُ}. يعنى: العظيمُ، الذى كلُّ شيءٍ دونَه، ولا شيء أعظمُ منه. “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Maksud dari ‘al-‘Aliyy’ adalah bahwa Dia memiliki ketinggian di atas segala sesuatu, Dia lebih tinggi dari segala sesuatu, dan segala sesuatu berada di bawah-Nya. Sedangkan ‘al-Kabiir’ berarti Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih agung dari-Nya.” [5] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, العليُّ ذو العُلوِّ على كلِّ شيءٍ، وكلُّ ما دونَه فله مُتذلِلٌ منقادٌ، ‌الكبيرُ الذي كلُّ شيءٍ دونَه فله مُتَصَاغِرُ. “Al-‘Aliyy, yang berarti Dia memiliki kedudukan yang lebih tinggi di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu yang di bawah-Nya tunduk dan patuh. Al-Kabiir menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah-Nya tampak kecil dan hina.” [6] Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, {‌الْكَبِيرُ} الْعَظِيمُ الَّذِي كَلُّ شَيْءٍ دُونَهُ. “Al-Kabiir adalah yang Maha Agung, yang segala sesuatu lebih rendah dari-Nya.” [7] Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, {ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ ‌الْعَلِيُّ ‌الْكَبِيرُ} أَيِ: الْعَلِيُّ: الَّذِي لَا أَعْلَى مِنْهُ، الْكَبِيرُ: الَّذِي هُوَ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فكل شيء خاضع حقير بالنسبة إليه. “’Itulah karena Allah adalah yang Maha Benar dan apa yang mereka sembah selain-Nya adalah batil, dan Allah adalah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Yaitu, “al-‘Aliyy”, yang tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya; dan “al-Kabiir”, yang lebih besar dari segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tampak kecil di hadapan-Nya.” [8] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, فإنه {عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ‌الْكَبِيرُ} في ذاته وأسمائه وصفاته {الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره “Karena Dia adalah ‘Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar,’ dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya, dan ‘yang Maha Tinggi’ atas segala ciptaan-Nya dengan Diri-Nya, kekuasaan-Nya, dan penguasaan-Nya.” [9] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Al-’Aliy, yang Maha Tinggi dalam Diri-Nya, yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan-Nya, dalam kedudukan-Nya yang sempurna, dalam kekuasaan-Nya yang meliputi segalanya. Al-Kabiir, yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Di antara kebesaran dan kemuliaan-Nya, bahwa pada hari kiamat, bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya, dan langit-langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Dan di antara keagungan-Nya adalah, bahwasanya kursi-Nya mencakup langit dan bumi.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hadi” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Kabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu Hamba harus beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu, karena Dia adalah yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Memutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-Nya Ada hal yang perlu diperhatikan dan tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa ketika seorang muslim meyakini dan beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu, betapapun besarnya, menjadi kecil di hadapan kebesaran dan kemuliaan Allah, maka ia akan mengetahui dengan yakin bahwa kebesaran, kemuliaan, keagungan, dan keindahan Allah, serta seluruh sifat dan nama-Nya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau dibayangkan oleh pikiran, atau dipahami oleh pandangan dan pemikiran manusia. Allah lebih besar dan lebih agung dari itu. Allah Ta’ala berfirman, وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذُ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكَ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَيْرَهُ تَكْبِيرًا “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, dan tidak ada wali bagi-Nya dari kehinaan.’ Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111) [11] Tawadhu’ dan menjauhi kesombongan Kesombongan hanya layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sifat kebesaran dan ketinggian adalah milik-Nya, sementara hamba seharusnya memiliki sifat kerendahan hati, ketundukan, dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat pedih pada hari kiamat. Allah berfirman, أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ “Bukankah di neraka Jahannam ada tempat untuk orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60) Memperbanyak takbir Di antara konsekuensi dari penetapan nama Al-Kabiir, bahwasanya seorang hamba hendaknya memperbanyak takbir (ucapan: الله أكبر), terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti saat melakukan takbir dalam salat, dzikir setelah salat, ketika melewati tempat yang tinggi, dan yang semisalnya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, وفي قوله «الله أكبر» إثبات عظمته “Dalam ucapan takbir terkandung penetapan sifat kebesaran bagi Allah Ta’ala.” [12] Mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Orang yang mengetahui makna nama Allah ini akan merendahkan diri di hadapan-Nya, merasa hina di hadapan-Nya, dan mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, meyakini bahwa hanya Dia yang berhak untuk disembah. Orang tersebut juga akan tahu bahwa setiap penyembah selain Allah, mereka tidak menghargai kebesaran Yang Maha Besar. Allah berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتُ بِيَمِينِهِ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka syirikkan.” (QS. Az-Zumar: 67) Barangsiapa yang menjadikan sekutu bagi Allah, berarti mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang seharusnya, dan tidak memuliakan-Nya sebagaimana mestinya. Maha Suci Allah yang wajah-wajah makhluk tunduk di hadapan-Nya, suara-suara merendah kepada-Nya, dan hati mereka gentar karena takut kepada-Nya. [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” *** Rumdin PPIA Sragen, 10 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 107. [2] Al-Bayān, hal. 339; Maqayis Al-Lughah, hal. 570; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155 [3] Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 553; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 107. [5] Tafsir Ath-Thabari, 16: 622. [6] ibid, 18: 577. [7] Tafsir al-Baghawi, 5: 397. [8] Tafsir Ibn Katsir, 6: 350. [9] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 414. [10] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 544. Lihat juga Fiqhul Asmaa, hal. 177. [11] Fiqhul Asmaa, hal. 177. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 108 [12] Majmu’ Fatawa, 10: 253; dinukil dari Fiqhul Asmaa, hal. 177. [13] Disarikan dari Fiqhul Asmaa, hal. 178.

Mengenal Nama Allah “Al-Kabiir”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Kabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir”Makna bahasa dari “Al-Kabiir”Makna “Al-Kabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hambaBeriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatuMemutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-NyaTawadhu’ dan menjauhi kesombonganMemperbanyak takbirMengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Allah memiliki nama-nama yang paling bagus, yang masing-masing mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Di antara nama Allah yang agung dan penuh makna adalah “Al-Kabiir”, yang biasa diartikan “Yang Maha Besar”. Nama ini menunjukkan kebesaran Allah yang meliputi segala hal, baik dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-Kabiir, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, untuk bisa mengagungkan-Nya dengan benar. Aamiin. Dalil nama Allah “Al-Kabiir” Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan diri-Nya dengan nama “Al-Kabiir” dalam enam tempat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah: Firman-Nya dalam surah Ar-Ra’du ayat 9, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ “Dia-lah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar dan Maha Tinggi.” Firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 62, وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Kabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Kabiir” “Al-Kabiir” merupakan bentuk sifat musyabbahah dari kata kerja ( كَبِر يكْبَر مَكبِرا وكِبَرا ) yang berarti “besar” atau “agung”, lawan dari kecil. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, الكبير: العظيم الجليل، يقال: «فلان كبير بني فلان»: أي رئيسهم وعظيمهم ومنه قوله عز وجل: {انا أطعنا سادتنا وكبراءنا} أي عظماءنا ورؤوساءنا “Al-Kabiir: yang agung dan mulia. Dikatakan, ‘Si Fulan adalah kabiir dari Bani Fulan,’ yaitu pemimpin dan orang terhormat mereka. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami.’ (QS. Al-Ahzab: 67), yaitu orang-orang yang besar dan para pemimpin kami.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (‌كبر) الْكَافُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ الصِّغَرِ “(Huruf kaaf, baa, dan raa) adalah akar kata yang menunjukkan makna lawan dari kecil.” [4] Makna “Al-Kabiir” dalam konteks Allah Makna Al-Kabiir sebagai salah satu nama dari nama-nama Allah adalah Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih besar (agung) dari-Nya; Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan terkait firman Allah, {وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}. يعنى بقولِه: {الْعَلِيُّ} أنَّه ذو العلوِّ على كلِّ شيءٍ، هو فوقَ كلِّ شيءٍ، وكلُّ شيءٍ دونَه، {الْكَبِيرُ}. يعنى: العظيمُ، الذى كلُّ شيءٍ دونَه، ولا شيء أعظمُ منه. “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Maksud dari ‘al-‘Aliyy’ adalah bahwa Dia memiliki ketinggian di atas segala sesuatu, Dia lebih tinggi dari segala sesuatu, dan segala sesuatu berada di bawah-Nya. Sedangkan ‘al-Kabiir’ berarti Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih agung dari-Nya.” [5] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, العليُّ ذو العُلوِّ على كلِّ شيءٍ، وكلُّ ما دونَه فله مُتذلِلٌ منقادٌ، ‌الكبيرُ الذي كلُّ شيءٍ دونَه فله مُتَصَاغِرُ. “Al-‘Aliyy, yang berarti Dia memiliki kedudukan yang lebih tinggi di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu yang di bawah-Nya tunduk dan patuh. Al-Kabiir menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah-Nya tampak kecil dan hina.” [6] Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, {‌الْكَبِيرُ} الْعَظِيمُ الَّذِي كَلُّ شَيْءٍ دُونَهُ. “Al-Kabiir adalah yang Maha Agung, yang segala sesuatu lebih rendah dari-Nya.” [7] Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, {ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ ‌الْعَلِيُّ ‌الْكَبِيرُ} أَيِ: الْعَلِيُّ: الَّذِي لَا أَعْلَى مِنْهُ، الْكَبِيرُ: الَّذِي هُوَ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فكل شيء خاضع حقير بالنسبة إليه. “’Itulah karena Allah adalah yang Maha Benar dan apa yang mereka sembah selain-Nya adalah batil, dan Allah adalah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Yaitu, “al-‘Aliyy”, yang tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya; dan “al-Kabiir”, yang lebih besar dari segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tampak kecil di hadapan-Nya.” [8] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, فإنه {عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ‌الْكَبِيرُ} في ذاته وأسمائه وصفاته {الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره “Karena Dia adalah ‘Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar,’ dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya, dan ‘yang Maha Tinggi’ atas segala ciptaan-Nya dengan Diri-Nya, kekuasaan-Nya, dan penguasaan-Nya.” [9] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Al-’Aliy, yang Maha Tinggi dalam Diri-Nya, yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan-Nya, dalam kedudukan-Nya yang sempurna, dalam kekuasaan-Nya yang meliputi segalanya. Al-Kabiir, yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Di antara kebesaran dan kemuliaan-Nya, bahwa pada hari kiamat, bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya, dan langit-langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Dan di antara keagungan-Nya adalah, bahwasanya kursi-Nya mencakup langit dan bumi.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hadi” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Kabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu Hamba harus beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu, karena Dia adalah yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Memutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-Nya Ada hal yang perlu diperhatikan dan tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa ketika seorang muslim meyakini dan beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu, betapapun besarnya, menjadi kecil di hadapan kebesaran dan kemuliaan Allah, maka ia akan mengetahui dengan yakin bahwa kebesaran, kemuliaan, keagungan, dan keindahan Allah, serta seluruh sifat dan nama-Nya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau dibayangkan oleh pikiran, atau dipahami oleh pandangan dan pemikiran manusia. Allah lebih besar dan lebih agung dari itu. Allah Ta’ala berfirman, وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذُ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكَ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَيْرَهُ تَكْبِيرًا “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, dan tidak ada wali bagi-Nya dari kehinaan.’ Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111) [11] Tawadhu’ dan menjauhi kesombongan Kesombongan hanya layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sifat kebesaran dan ketinggian adalah milik-Nya, sementara hamba seharusnya memiliki sifat kerendahan hati, ketundukan, dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat pedih pada hari kiamat. Allah berfirman, أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ “Bukankah di neraka Jahannam ada tempat untuk orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60) Memperbanyak takbir Di antara konsekuensi dari penetapan nama Al-Kabiir, bahwasanya seorang hamba hendaknya memperbanyak takbir (ucapan: الله أكبر), terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti saat melakukan takbir dalam salat, dzikir setelah salat, ketika melewati tempat yang tinggi, dan yang semisalnya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, وفي قوله «الله أكبر» إثبات عظمته “Dalam ucapan takbir terkandung penetapan sifat kebesaran bagi Allah Ta’ala.” [12] Mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Orang yang mengetahui makna nama Allah ini akan merendahkan diri di hadapan-Nya, merasa hina di hadapan-Nya, dan mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, meyakini bahwa hanya Dia yang berhak untuk disembah. Orang tersebut juga akan tahu bahwa setiap penyembah selain Allah, mereka tidak menghargai kebesaran Yang Maha Besar. Allah berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتُ بِيَمِينِهِ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka syirikkan.” (QS. Az-Zumar: 67) Barangsiapa yang menjadikan sekutu bagi Allah, berarti mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang seharusnya, dan tidak memuliakan-Nya sebagaimana mestinya. Maha Suci Allah yang wajah-wajah makhluk tunduk di hadapan-Nya, suara-suara merendah kepada-Nya, dan hati mereka gentar karena takut kepada-Nya. [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” *** Rumdin PPIA Sragen, 10 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 107. [2] Al-Bayān, hal. 339; Maqayis Al-Lughah, hal. 570; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155 [3] Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 553; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 107. [5] Tafsir Ath-Thabari, 16: 622. [6] ibid, 18: 577. [7] Tafsir al-Baghawi, 5: 397. [8] Tafsir Ibn Katsir, 6: 350. [9] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 414. [10] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 544. Lihat juga Fiqhul Asmaa, hal. 177. [11] Fiqhul Asmaa, hal. 177. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 108 [12] Majmu’ Fatawa, 10: 253; dinukil dari Fiqhul Asmaa, hal. 177. [13] Disarikan dari Fiqhul Asmaa, hal. 178.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Kabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir”Makna bahasa dari “Al-Kabiir”Makna “Al-Kabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hambaBeriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatuMemutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-NyaTawadhu’ dan menjauhi kesombonganMemperbanyak takbirMengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Allah memiliki nama-nama yang paling bagus, yang masing-masing mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Di antara nama Allah yang agung dan penuh makna adalah “Al-Kabiir”, yang biasa diartikan “Yang Maha Besar”. Nama ini menunjukkan kebesaran Allah yang meliputi segala hal, baik dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-Kabiir, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, untuk bisa mengagungkan-Nya dengan benar. Aamiin. Dalil nama Allah “Al-Kabiir” Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan diri-Nya dengan nama “Al-Kabiir” dalam enam tempat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah: Firman-Nya dalam surah Ar-Ra’du ayat 9, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ “Dia-lah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar dan Maha Tinggi.” Firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 62, وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Kabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Kabiir” “Al-Kabiir” merupakan bentuk sifat musyabbahah dari kata kerja ( كَبِر يكْبَر مَكبِرا وكِبَرا ) yang berarti “besar” atau “agung”, lawan dari kecil. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, الكبير: العظيم الجليل، يقال: «فلان كبير بني فلان»: أي رئيسهم وعظيمهم ومنه قوله عز وجل: {انا أطعنا سادتنا وكبراءنا} أي عظماءنا ورؤوساءنا “Al-Kabiir: yang agung dan mulia. Dikatakan, ‘Si Fulan adalah kabiir dari Bani Fulan,’ yaitu pemimpin dan orang terhormat mereka. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami.’ (QS. Al-Ahzab: 67), yaitu orang-orang yang besar dan para pemimpin kami.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (‌كبر) الْكَافُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ الصِّغَرِ “(Huruf kaaf, baa, dan raa) adalah akar kata yang menunjukkan makna lawan dari kecil.” [4] Makna “Al-Kabiir” dalam konteks Allah Makna Al-Kabiir sebagai salah satu nama dari nama-nama Allah adalah Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih besar (agung) dari-Nya; Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan terkait firman Allah, {وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}. يعنى بقولِه: {الْعَلِيُّ} أنَّه ذو العلوِّ على كلِّ شيءٍ، هو فوقَ كلِّ شيءٍ، وكلُّ شيءٍ دونَه، {الْكَبِيرُ}. يعنى: العظيمُ، الذى كلُّ شيءٍ دونَه، ولا شيء أعظمُ منه. “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Maksud dari ‘al-‘Aliyy’ adalah bahwa Dia memiliki ketinggian di atas segala sesuatu, Dia lebih tinggi dari segala sesuatu, dan segala sesuatu berada di bawah-Nya. Sedangkan ‘al-Kabiir’ berarti Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih agung dari-Nya.” [5] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, العليُّ ذو العُلوِّ على كلِّ شيءٍ، وكلُّ ما دونَه فله مُتذلِلٌ منقادٌ، ‌الكبيرُ الذي كلُّ شيءٍ دونَه فله مُتَصَاغِرُ. “Al-‘Aliyy, yang berarti Dia memiliki kedudukan yang lebih tinggi di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu yang di bawah-Nya tunduk dan patuh. Al-Kabiir menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah-Nya tampak kecil dan hina.” [6] Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, {‌الْكَبِيرُ} الْعَظِيمُ الَّذِي كَلُّ شَيْءٍ دُونَهُ. “Al-Kabiir adalah yang Maha Agung, yang segala sesuatu lebih rendah dari-Nya.” [7] Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, {ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ ‌الْعَلِيُّ ‌الْكَبِيرُ} أَيِ: الْعَلِيُّ: الَّذِي لَا أَعْلَى مِنْهُ، الْكَبِيرُ: الَّذِي هُوَ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فكل شيء خاضع حقير بالنسبة إليه. “’Itulah karena Allah adalah yang Maha Benar dan apa yang mereka sembah selain-Nya adalah batil, dan Allah adalah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Yaitu, “al-‘Aliyy”, yang tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya; dan “al-Kabiir”, yang lebih besar dari segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tampak kecil di hadapan-Nya.” [8] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, فإنه {عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ‌الْكَبِيرُ} في ذاته وأسمائه وصفاته {الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره “Karena Dia adalah ‘Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar,’ dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya, dan ‘yang Maha Tinggi’ atas segala ciptaan-Nya dengan Diri-Nya, kekuasaan-Nya, dan penguasaan-Nya.” [9] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Al-’Aliy, yang Maha Tinggi dalam Diri-Nya, yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan-Nya, dalam kedudukan-Nya yang sempurna, dalam kekuasaan-Nya yang meliputi segalanya. Al-Kabiir, yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Di antara kebesaran dan kemuliaan-Nya, bahwa pada hari kiamat, bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya, dan langit-langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Dan di antara keagungan-Nya adalah, bahwasanya kursi-Nya mencakup langit dan bumi.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hadi” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Kabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu Hamba harus beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu, karena Dia adalah yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Memutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-Nya Ada hal yang perlu diperhatikan dan tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa ketika seorang muslim meyakini dan beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu, betapapun besarnya, menjadi kecil di hadapan kebesaran dan kemuliaan Allah, maka ia akan mengetahui dengan yakin bahwa kebesaran, kemuliaan, keagungan, dan keindahan Allah, serta seluruh sifat dan nama-Nya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau dibayangkan oleh pikiran, atau dipahami oleh pandangan dan pemikiran manusia. Allah lebih besar dan lebih agung dari itu. Allah Ta’ala berfirman, وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذُ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكَ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَيْرَهُ تَكْبِيرًا “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, dan tidak ada wali bagi-Nya dari kehinaan.’ Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111) [11] Tawadhu’ dan menjauhi kesombongan Kesombongan hanya layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sifat kebesaran dan ketinggian adalah milik-Nya, sementara hamba seharusnya memiliki sifat kerendahan hati, ketundukan, dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat pedih pada hari kiamat. Allah berfirman, أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ “Bukankah di neraka Jahannam ada tempat untuk orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60) Memperbanyak takbir Di antara konsekuensi dari penetapan nama Al-Kabiir, bahwasanya seorang hamba hendaknya memperbanyak takbir (ucapan: الله أكبر), terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti saat melakukan takbir dalam salat, dzikir setelah salat, ketika melewati tempat yang tinggi, dan yang semisalnya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, وفي قوله «الله أكبر» إثبات عظمته “Dalam ucapan takbir terkandung penetapan sifat kebesaran bagi Allah Ta’ala.” [12] Mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Orang yang mengetahui makna nama Allah ini akan merendahkan diri di hadapan-Nya, merasa hina di hadapan-Nya, dan mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, meyakini bahwa hanya Dia yang berhak untuk disembah. Orang tersebut juga akan tahu bahwa setiap penyembah selain Allah, mereka tidak menghargai kebesaran Yang Maha Besar. Allah berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتُ بِيَمِينِهِ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka syirikkan.” (QS. Az-Zumar: 67) Barangsiapa yang menjadikan sekutu bagi Allah, berarti mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang seharusnya, dan tidak memuliakan-Nya sebagaimana mestinya. Maha Suci Allah yang wajah-wajah makhluk tunduk di hadapan-Nya, suara-suara merendah kepada-Nya, dan hati mereka gentar karena takut kepada-Nya. [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” *** Rumdin PPIA Sragen, 10 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 107. [2] Al-Bayān, hal. 339; Maqayis Al-Lughah, hal. 570; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155 [3] Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 553; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 107. [5] Tafsir Ath-Thabari, 16: 622. [6] ibid, 18: 577. [7] Tafsir al-Baghawi, 5: 397. [8] Tafsir Ibn Katsir, 6: 350. [9] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 414. [10] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 544. Lihat juga Fiqhul Asmaa, hal. 177. [11] Fiqhul Asmaa, hal. 177. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 108 [12] Majmu’ Fatawa, 10: 253; dinukil dari Fiqhul Asmaa, hal. 177. [13] Disarikan dari Fiqhul Asmaa, hal. 178.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Kabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir”Makna bahasa dari “Al-Kabiir”Makna “Al-Kabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hambaBeriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatuMemutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-NyaTawadhu’ dan menjauhi kesombonganMemperbanyak takbirMengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Allah memiliki nama-nama yang paling bagus, yang masing-masing mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Di antara nama Allah yang agung dan penuh makna adalah “Al-Kabiir”, yang biasa diartikan “Yang Maha Besar”. Nama ini menunjukkan kebesaran Allah yang meliputi segala hal, baik dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-Kabiir, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, untuk bisa mengagungkan-Nya dengan benar. Aamiin. Dalil nama Allah “Al-Kabiir” Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan diri-Nya dengan nama “Al-Kabiir” dalam enam tempat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah: Firman-Nya dalam surah Ar-Ra’du ayat 9, عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ “Dia-lah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar dan Maha Tinggi.” Firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 62, وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Kabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Kabiir” “Al-Kabiir” merupakan bentuk sifat musyabbahah dari kata kerja ( كَبِر يكْبَر مَكبِرا وكِبَرا ) yang berarti “besar” atau “agung”, lawan dari kecil. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, الكبير: العظيم الجليل، يقال: «فلان كبير بني فلان»: أي رئيسهم وعظيمهم ومنه قوله عز وجل: {انا أطعنا سادتنا وكبراءنا} أي عظماءنا ورؤوساءنا “Al-Kabiir: yang agung dan mulia. Dikatakan, ‘Si Fulan adalah kabiir dari Bani Fulan,’ yaitu pemimpin dan orang terhormat mereka. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami.’ (QS. Al-Ahzab: 67), yaitu orang-orang yang besar dan para pemimpin kami.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (‌كبر) الْكَافُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ الصِّغَرِ “(Huruf kaaf, baa, dan raa) adalah akar kata yang menunjukkan makna lawan dari kecil.” [4] Makna “Al-Kabiir” dalam konteks Allah Makna Al-Kabiir sebagai salah satu nama dari nama-nama Allah adalah Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih besar (agung) dari-Nya; Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan terkait firman Allah, {وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}. يعنى بقولِه: {الْعَلِيُّ} أنَّه ذو العلوِّ على كلِّ شيءٍ، هو فوقَ كلِّ شيءٍ، وكلُّ شيءٍ دونَه، {الْكَبِيرُ}. يعنى: العظيمُ، الذى كلُّ شيءٍ دونَه، ولا شيء أعظمُ منه. “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Maksud dari ‘al-‘Aliyy’ adalah bahwa Dia memiliki ketinggian di atas segala sesuatu, Dia lebih tinggi dari segala sesuatu, dan segala sesuatu berada di bawah-Nya. Sedangkan ‘al-Kabiir’ berarti Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih agung dari-Nya.” [5] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, العليُّ ذو العُلوِّ على كلِّ شيءٍ، وكلُّ ما دونَه فله مُتذلِلٌ منقادٌ، ‌الكبيرُ الذي كلُّ شيءٍ دونَه فله مُتَصَاغِرُ. “Al-‘Aliyy, yang berarti Dia memiliki kedudukan yang lebih tinggi di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu yang di bawah-Nya tunduk dan patuh. Al-Kabiir menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah-Nya tampak kecil dan hina.” [6] Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, {‌الْكَبِيرُ} الْعَظِيمُ الَّذِي كَلُّ شَيْءٍ دُونَهُ. “Al-Kabiir adalah yang Maha Agung, yang segala sesuatu lebih rendah dari-Nya.” [7] Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, {ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ ‌الْعَلِيُّ ‌الْكَبِيرُ} أَيِ: الْعَلِيُّ: الَّذِي لَا أَعْلَى مِنْهُ، الْكَبِيرُ: الَّذِي هُوَ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فكل شيء خاضع حقير بالنسبة إليه. “’Itulah karena Allah adalah yang Maha Benar dan apa yang mereka sembah selain-Nya adalah batil, dan Allah adalah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Yaitu, “al-‘Aliyy”, yang tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya; dan “al-Kabiir”, yang lebih besar dari segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tampak kecil di hadapan-Nya.” [8] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan, فإنه {عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ‌الْكَبِيرُ} في ذاته وأسمائه وصفاته {الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره “Karena Dia adalah ‘Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar,’ dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya, dan ‘yang Maha Tinggi’ atas segala ciptaan-Nya dengan Diri-Nya, kekuasaan-Nya, dan penguasaan-Nya.” [9] Di tempat yang lain, beliau mengatakan, “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Al-’Aliy, yang Maha Tinggi dalam Diri-Nya, yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan-Nya, dalam kedudukan-Nya yang sempurna, dalam kekuasaan-Nya yang meliputi segalanya. Al-Kabiir, yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Di antara kebesaran dan kemuliaan-Nya, bahwa pada hari kiamat, bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya, dan langit-langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Dan di antara keagungan-Nya adalah, bahwasanya kursi-Nya mencakup langit dan bumi.” [10] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hadi” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hamba Penetapan nama “Al-Kabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu Hamba harus beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu, karena Dia adalah yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Memutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-Nya Ada hal yang perlu diperhatikan dan tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa ketika seorang muslim meyakini dan beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu, betapapun besarnya, menjadi kecil di hadapan kebesaran dan kemuliaan Allah, maka ia akan mengetahui dengan yakin bahwa kebesaran, kemuliaan, keagungan, dan keindahan Allah, serta seluruh sifat dan nama-Nya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau dibayangkan oleh pikiran, atau dipahami oleh pandangan dan pemikiran manusia. Allah lebih besar dan lebih agung dari itu. Allah Ta’ala berfirman, وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذُ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكَ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَيْرَهُ تَكْبِيرًا “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, dan tidak ada wali bagi-Nya dari kehinaan.’ Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111) [11] Tawadhu’ dan menjauhi kesombongan Kesombongan hanya layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sifat kebesaran dan ketinggian adalah milik-Nya, sementara hamba seharusnya memiliki sifat kerendahan hati, ketundukan, dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat pedih pada hari kiamat. Allah berfirman, أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ “Bukankah di neraka Jahannam ada tempat untuk orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60) Memperbanyak takbir Di antara konsekuensi dari penetapan nama Al-Kabiir, bahwasanya seorang hamba hendaknya memperbanyak takbir (ucapan: الله أكبر), terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti saat melakukan takbir dalam salat, dzikir setelah salat, ketika melewati tempat yang tinggi, dan yang semisalnya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, وفي قوله «الله أكبر» إثبات عظمته “Dalam ucapan takbir terkandung penetapan sifat kebesaran bagi Allah Ta’ala.” [12] Mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah Orang yang mengetahui makna nama Allah ini akan merendahkan diri di hadapan-Nya, merasa hina di hadapan-Nya, dan mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, meyakini bahwa hanya Dia yang berhak untuk disembah. Orang tersebut juga akan tahu bahwa setiap penyembah selain Allah, mereka tidak menghargai kebesaran Yang Maha Besar. Allah berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتُ بِيَمِينِهِ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka syirikkan.” (QS. Az-Zumar: 67) Barangsiapa yang menjadikan sekutu bagi Allah, berarti mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang seharusnya, dan tidak memuliakan-Nya sebagaimana mestinya. Maha Suci Allah yang wajah-wajah makhluk tunduk di hadapan-Nya, suara-suara merendah kepada-Nya, dan hati mereka gentar karena takut kepada-Nya. [13] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” *** Rumdin PPIA Sragen, 10 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 107. [2] Al-Bayān, hal. 339; Maqayis Al-Lughah, hal. 570; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155 [3] Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 553; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 107. [5] Tafsir Ath-Thabari, 16: 622. [6] ibid, 18: 577. [7] Tafsir al-Baghawi, 5: 397. [8] Tafsir Ibn Katsir, 6: 350. [9] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 414. [10] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 544. Lihat juga Fiqhul Asmaa, hal. 177. [11] Fiqhul Asmaa, hal. 177. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 108 [12] Majmu’ Fatawa, 10: 253; dinukil dari Fiqhul Asmaa, hal. 177. [13] Disarikan dari Fiqhul Asmaa, hal. 178.

Kenapa Hati Gampang Goyah? Mungkin Kita Lupa 2 Kunci Hidup Tenang & Dekat dengan Allah Ini

Syaikh—semoga Allah merahmatinya—menyebutkan bahwa hal yang paling memperkuat keterikatan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla ada dua perkara: Perhatikan baik-baik dua perkara ini, karena Syaikh telah menekankannya dalam ucapannya. Perkara pertama adalah: doa. Tidak ada sesuatu pun yang bisa memberikan manfaat pada seseorang dalam hal menguatkan keterikatan hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melebihi doa. Sebab ketika Anda berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mendengar doamu kecuali hanya Allah Subhanah, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Jalla wa ‘Ala. Saat itu, Anda menyadari bahwa sesungguhnya Anda hanya menyampaikan keperluan kepada-Nya, dan Anda sedang bermunajat hanya kepada-Nya. Terlebih lagi ketika Anda dalam keadaan sujud, atau berada di kegelapan malam, ketika semua harapan terhadap dunia dan penghuninya telah sirna, dan harapan itu hanya tertuju kepada Allah. Karena itulah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menguatkan keimanan seseorang melebihi doa. Dalam riwayat at-Tirmidzi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa itu adalah ibadah.” “Doa itu adalah ibadah.” Ia adalah bentuk ibadah yang paling kuat dalam menguatkan hubungan hamba dengan Rabb-nya. Oleh sebab itu, Syaikh menganjurkan untuk terus-menerus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keperluan, baik karena kekurangan maupun hajat. Keperluan apa pun yang Anda perlukan, perbanyaklah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh salah seorang dari sahabat Nabi memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla ketika tali sandalnya terputus. Merekalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Setiap urusan yang menimpa Anda, berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda ditimpa suatu hajat (keperluan), mintalah itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda mengharapkan sesuatu untuk masa depan, mintalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda takut terhadap seseorang, mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda bimbang dalam suatu urusan, maka datanglah kepada Allah melalui doa istikharah, agar Allah memilihkan yang terbaik untukmu. Hendaklah Anda berdoa! Hendaklah Anda berdoa! Apa kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu? Umar berkata, “Aku tidak memikirkan urusan terkabulnya doa,” atau perkataan sejenisnya. “…tapi yang menjadi pikiranku adalah soal doa itu sendiri.” Menjadi pribadi yang tekun berdoa adalah perjuangan yang tidak semua orang mampu. Tidak semua orang dibukakan pintu untuk banyak berdoa. Ibnu Muflih dalam kitab al-Adab menukil dari seorang saleh, bahwa dia berkata: “Ketika aku ditimpa suatu keperluan aku pun memperbanyak doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla Hingga aku berharap keperluan itu tidak segera diangkat karena aku merasakan dalam hatiku kehadiran dan ketergantungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Maka, apa yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla ketika Anda berdoa dengan ikhlas dan penuh ketundukan, berupa kebahagiaan, kehidupan yang baik, dan lapangnya dada, bisa jadi itu semua lebih agung daripada permintaan yang Anda minta. Inilah perkara pertama. Perkara kedua adalah: beramal dengan segala sesuatu yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi pembeda antara ahlussunnah yang mengenal Allah dan syariat-Nya, dengan mereka yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dari orang-orang jahil namun menyelisihi manhaj ahlussunnah. Sebagian orang mengira bahwa dengan sekadar mengaku cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, itu sudah cukup untuk meraih derajat tinggi, kedudukan sebagai wali, masuk surga, dan mengungguli orang lain. Padahal tidaklah demikian. Standar yang sebenarnya adalah dengan mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya. Allah berfirman, “Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian…” (QS. Ali Imran: 31) Juga dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah umumkan perang terhadapnya …Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya …Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar……penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan.” (HR. Bukhari). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya melebihi amalan yang diwajibkan. Dan hamba itu terus mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan-amalan sunah hingga Allah mencintainya. Intinya, di antara standar penting yang membuat hati senantiasa terpaut kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah memperbanyak amalan yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Salat, Salat Malam, belajar, mengajar, sedekah, haji, ziarah ke baitullah ‘Azza wa Jalla, berbuat baik kepada sesama dengan harta, akhlak yang baik, maupun tenaga. Pada setiap persendian dari anak Adam terdapat kewajiban sedekah, serta amalan mulia yang lainnya. Tidaklah bisa mengamalkan dan memahami amalan yang dicintai Allah, kecuali orang yang mempelajari syariat-Nya. ==== ذَكَرَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ أَكْثَرَ مَا يُقَوِّي تَعَلُّقَ الْقَلْبِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَانِ وَانْتَبِهْ لِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ فَقَدَ أَلْحَظَ إِلَيْهِمَا الشَّيْخُ فِي كَلَامِهِ الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الدُّعَاءُ وَمَا نَفَعَ عَبْدٌ فِي قَلْبِهِ تَعَلُّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِثْلُ الدُّعَاءِ لِأَنَّكَ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَسْمَعُ دُعَاءَكَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ وَلَا يَعْلَمُ بِهِ إِلَّا هُوَ جَلَّ وَعَلَا فَحِيْنَئِذٍ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِنَّمَا تُلْقِي حَاجَتَكَ بِهِ وَإِنَّمَا تُنَاجِيهِ سُبْحَانَهُ وَخَاصَّةً عِنْدَمَا تَكُونُ فِي سُجُودٍ أَوْ تَكُونُ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ وَقَدِ انْقَطَعَ الرَّجَاءُ مِنَ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا وَلَمْ يَتَّصِلْ إِلَّا بِهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ مَا قَوَّى إِيمَانَ شَخْصٍ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنَ الدُّعَاءِ وَقَدْ جَاءَ عِنْدَ التِّرْمِذِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ فَهُوَ الْعِبَادَةُ وَهُوَ أَقْوَى مَا يُقَوِّي عَلَاقَةَ الْعَبْدِ بِرَبِّهِ وَلِذَلِكَ قَالَ بِمُلَازَمَةِ الدُّعَاءِ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ مَطْلُوبٍ مِنْ فَاقَةٍ وَحَاجَةٍ أَيُّ حَاجَةٍ تَحْتَاجُهَا أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا انْقَطَعَ شَسْعُ نَعْلِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ كُلُّ أَمْرٍ يَنْزِلُ بِكَ اِسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا نَزَلَتْ بِكَ حَاجَةٌ اِسْأَلْهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَأَمَّلْتَ أَمَلًا أَوْ تَأَمَّلْتَ رَجَاءً فِي مُسْتَقْبَلِكَ فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا خِفْتَ أَحَدًا فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَرَدَّدْتَ فِي أَمْرٍ فَالْجَأْ إِلَى اللَّهِ بِالدُّعَاءِ بِالِاسْتِخَارَةِ لِيَخْتَارَ لَكَ الأَصْلَحَ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عُمَرُ مَاذَا يَقُولُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؟ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الِاسْتِجَابَةِ أَوْ نَحْوُ مَا قَالَ وَلَكِنْ هَمُّ الدُّعَاءُ فَذَاتُ الدُّعَاءِ هَمٌّ لَا يَسْتَطِيعُهُ كُلُّ امْرِئٍ لَيْسَ كُلُّ امْرِئٍ يُفْتَحُ عَلَيْهِ فِي بَابِ الدُّعَاءِ وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ مُفْلِحٍ فِي الْآدَابِ عَنْ بَعْضِ الصَّالِحِيْنَ أَنَّهُ يَقُولُ إِنَّهُ كَانَتْ تَنْزِلُ بِيَ الْحَاجَةُ فَأُكْثِرُ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَتَمَنَّى أَنْ لَا تَرْتَفِعَ تِلْكَ الْحَاجَةُ لِمَا أَجِدُ فِي قَلْبِي مِنَ الْإِقْبَالِ وَالتَّعَلُّقِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَمَا يُعْطِيْكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ الدُّعَاءِ وَالْإِخْلَاصِ فِيهِ وَالتَّضَرُّعِ مِنَ السَّعَادَةِ وَالْحَيَاةِ الطَّيِّبَةِ وَانْشِرَاحِ الصَّدْرِ رُبَّمَا يَكُونُ أَعْظَمَ مِنَ الطَّلَبِ الَّذِي تَطْلُبُهُ هَذَا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الْأَمْرُ الثَّانِي قَالَ وَالْعَمَلُ بِكُلِّ مَحْبُوبٍ أَيْ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ الْعَالِمِيْنَ بِاللَّهِ وَبِشَرْعِهِ وَبَيْنَ مَنْ يَدَّعِي مَحَبَّةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ خَالَفَ طَرِيقَتَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَهَالَةِ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَدَّعِي أَنَّ مُجَرَّدَ مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَافِيَةٌ فِي نَيْلِهِ الدَّرَجَاتِ الْعَالِيَةَ وَمَنْصِبَ الْوِلَايَةِ وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَالتَّقَدُّمَ عَلَى الْآخَرِيْنَ لَيْسَ ذَلِكَ كَذَلِكَ إِنَّمَا الْعِبْرَةُ وَالْمَحَكُّ الِامْتِثَالُ لِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمْرِ رَسُولِه قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَفِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَن عَادَى لِي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا فَبَيَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا اِفْتَرَضَ عَلَيْهِ وَمَا زَالَ يَتَقَرَّبُ إِلَيْهِ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى يُحِبَّهُ الْمَقْصُودُ أَنَّ مِنَ الْمَعَايِيرِ الْمُهِمَّةِ الَّتِي تَجْعَلُ الْقَلْبَ مُتَعَلِّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِكْثَارُ مِنْ فِعْلٍ مَحْبُوبٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صَلَاةٌ قِيَامٌ عِلْمٌ تَعَلُّمٌ تَعْلِيمٌ صَدَقَةٌ حَجٌّ قَصْدُ بَيْتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِحْسَانُ إِلَى النَّاسِ بِالْمَالِ وَبِالْخُلُقِ وَبِالْبَدَنِ كُلُّ سُلَامَى عَلَى ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الْفَاضِلَةِ وَلَا يُحْسِنُ وَيَعْرِفُ مَحْبُوبَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا مَنْ تَعَلَّمَ شَرْعَهُ

Kenapa Hati Gampang Goyah? Mungkin Kita Lupa 2 Kunci Hidup Tenang & Dekat dengan Allah Ini

Syaikh—semoga Allah merahmatinya—menyebutkan bahwa hal yang paling memperkuat keterikatan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla ada dua perkara: Perhatikan baik-baik dua perkara ini, karena Syaikh telah menekankannya dalam ucapannya. Perkara pertama adalah: doa. Tidak ada sesuatu pun yang bisa memberikan manfaat pada seseorang dalam hal menguatkan keterikatan hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melebihi doa. Sebab ketika Anda berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mendengar doamu kecuali hanya Allah Subhanah, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Jalla wa ‘Ala. Saat itu, Anda menyadari bahwa sesungguhnya Anda hanya menyampaikan keperluan kepada-Nya, dan Anda sedang bermunajat hanya kepada-Nya. Terlebih lagi ketika Anda dalam keadaan sujud, atau berada di kegelapan malam, ketika semua harapan terhadap dunia dan penghuninya telah sirna, dan harapan itu hanya tertuju kepada Allah. Karena itulah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menguatkan keimanan seseorang melebihi doa. Dalam riwayat at-Tirmidzi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa itu adalah ibadah.” “Doa itu adalah ibadah.” Ia adalah bentuk ibadah yang paling kuat dalam menguatkan hubungan hamba dengan Rabb-nya. Oleh sebab itu, Syaikh menganjurkan untuk terus-menerus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keperluan, baik karena kekurangan maupun hajat. Keperluan apa pun yang Anda perlukan, perbanyaklah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh salah seorang dari sahabat Nabi memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla ketika tali sandalnya terputus. Merekalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Setiap urusan yang menimpa Anda, berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda ditimpa suatu hajat (keperluan), mintalah itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda mengharapkan sesuatu untuk masa depan, mintalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda takut terhadap seseorang, mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda bimbang dalam suatu urusan, maka datanglah kepada Allah melalui doa istikharah, agar Allah memilihkan yang terbaik untukmu. Hendaklah Anda berdoa! Hendaklah Anda berdoa! Apa kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu? Umar berkata, “Aku tidak memikirkan urusan terkabulnya doa,” atau perkataan sejenisnya. “…tapi yang menjadi pikiranku adalah soal doa itu sendiri.” Menjadi pribadi yang tekun berdoa adalah perjuangan yang tidak semua orang mampu. Tidak semua orang dibukakan pintu untuk banyak berdoa. Ibnu Muflih dalam kitab al-Adab menukil dari seorang saleh, bahwa dia berkata: “Ketika aku ditimpa suatu keperluan aku pun memperbanyak doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla Hingga aku berharap keperluan itu tidak segera diangkat karena aku merasakan dalam hatiku kehadiran dan ketergantungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Maka, apa yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla ketika Anda berdoa dengan ikhlas dan penuh ketundukan, berupa kebahagiaan, kehidupan yang baik, dan lapangnya dada, bisa jadi itu semua lebih agung daripada permintaan yang Anda minta. Inilah perkara pertama. Perkara kedua adalah: beramal dengan segala sesuatu yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi pembeda antara ahlussunnah yang mengenal Allah dan syariat-Nya, dengan mereka yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dari orang-orang jahil namun menyelisihi manhaj ahlussunnah. Sebagian orang mengira bahwa dengan sekadar mengaku cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, itu sudah cukup untuk meraih derajat tinggi, kedudukan sebagai wali, masuk surga, dan mengungguli orang lain. Padahal tidaklah demikian. Standar yang sebenarnya adalah dengan mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya. Allah berfirman, “Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian…” (QS. Ali Imran: 31) Juga dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah umumkan perang terhadapnya …Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya …Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar……penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan.” (HR. Bukhari). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya melebihi amalan yang diwajibkan. Dan hamba itu terus mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan-amalan sunah hingga Allah mencintainya. Intinya, di antara standar penting yang membuat hati senantiasa terpaut kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah memperbanyak amalan yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Salat, Salat Malam, belajar, mengajar, sedekah, haji, ziarah ke baitullah ‘Azza wa Jalla, berbuat baik kepada sesama dengan harta, akhlak yang baik, maupun tenaga. Pada setiap persendian dari anak Adam terdapat kewajiban sedekah, serta amalan mulia yang lainnya. Tidaklah bisa mengamalkan dan memahami amalan yang dicintai Allah, kecuali orang yang mempelajari syariat-Nya. ==== ذَكَرَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ أَكْثَرَ مَا يُقَوِّي تَعَلُّقَ الْقَلْبِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَانِ وَانْتَبِهْ لِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ فَقَدَ أَلْحَظَ إِلَيْهِمَا الشَّيْخُ فِي كَلَامِهِ الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الدُّعَاءُ وَمَا نَفَعَ عَبْدٌ فِي قَلْبِهِ تَعَلُّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِثْلُ الدُّعَاءِ لِأَنَّكَ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَسْمَعُ دُعَاءَكَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ وَلَا يَعْلَمُ بِهِ إِلَّا هُوَ جَلَّ وَعَلَا فَحِيْنَئِذٍ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِنَّمَا تُلْقِي حَاجَتَكَ بِهِ وَإِنَّمَا تُنَاجِيهِ سُبْحَانَهُ وَخَاصَّةً عِنْدَمَا تَكُونُ فِي سُجُودٍ أَوْ تَكُونُ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ وَقَدِ انْقَطَعَ الرَّجَاءُ مِنَ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا وَلَمْ يَتَّصِلْ إِلَّا بِهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ مَا قَوَّى إِيمَانَ شَخْصٍ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنَ الدُّعَاءِ وَقَدْ جَاءَ عِنْدَ التِّرْمِذِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ فَهُوَ الْعِبَادَةُ وَهُوَ أَقْوَى مَا يُقَوِّي عَلَاقَةَ الْعَبْدِ بِرَبِّهِ وَلِذَلِكَ قَالَ بِمُلَازَمَةِ الدُّعَاءِ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ مَطْلُوبٍ مِنْ فَاقَةٍ وَحَاجَةٍ أَيُّ حَاجَةٍ تَحْتَاجُهَا أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا انْقَطَعَ شَسْعُ نَعْلِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ كُلُّ أَمْرٍ يَنْزِلُ بِكَ اِسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا نَزَلَتْ بِكَ حَاجَةٌ اِسْأَلْهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَأَمَّلْتَ أَمَلًا أَوْ تَأَمَّلْتَ رَجَاءً فِي مُسْتَقْبَلِكَ فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا خِفْتَ أَحَدًا فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَرَدَّدْتَ فِي أَمْرٍ فَالْجَأْ إِلَى اللَّهِ بِالدُّعَاءِ بِالِاسْتِخَارَةِ لِيَخْتَارَ لَكَ الأَصْلَحَ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عُمَرُ مَاذَا يَقُولُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؟ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الِاسْتِجَابَةِ أَوْ نَحْوُ مَا قَالَ وَلَكِنْ هَمُّ الدُّعَاءُ فَذَاتُ الدُّعَاءِ هَمٌّ لَا يَسْتَطِيعُهُ كُلُّ امْرِئٍ لَيْسَ كُلُّ امْرِئٍ يُفْتَحُ عَلَيْهِ فِي بَابِ الدُّعَاءِ وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ مُفْلِحٍ فِي الْآدَابِ عَنْ بَعْضِ الصَّالِحِيْنَ أَنَّهُ يَقُولُ إِنَّهُ كَانَتْ تَنْزِلُ بِيَ الْحَاجَةُ فَأُكْثِرُ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَتَمَنَّى أَنْ لَا تَرْتَفِعَ تِلْكَ الْحَاجَةُ لِمَا أَجِدُ فِي قَلْبِي مِنَ الْإِقْبَالِ وَالتَّعَلُّقِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَمَا يُعْطِيْكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ الدُّعَاءِ وَالْإِخْلَاصِ فِيهِ وَالتَّضَرُّعِ مِنَ السَّعَادَةِ وَالْحَيَاةِ الطَّيِّبَةِ وَانْشِرَاحِ الصَّدْرِ رُبَّمَا يَكُونُ أَعْظَمَ مِنَ الطَّلَبِ الَّذِي تَطْلُبُهُ هَذَا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الْأَمْرُ الثَّانِي قَالَ وَالْعَمَلُ بِكُلِّ مَحْبُوبٍ أَيْ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ الْعَالِمِيْنَ بِاللَّهِ وَبِشَرْعِهِ وَبَيْنَ مَنْ يَدَّعِي مَحَبَّةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ خَالَفَ طَرِيقَتَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَهَالَةِ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَدَّعِي أَنَّ مُجَرَّدَ مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَافِيَةٌ فِي نَيْلِهِ الدَّرَجَاتِ الْعَالِيَةَ وَمَنْصِبَ الْوِلَايَةِ وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَالتَّقَدُّمَ عَلَى الْآخَرِيْنَ لَيْسَ ذَلِكَ كَذَلِكَ إِنَّمَا الْعِبْرَةُ وَالْمَحَكُّ الِامْتِثَالُ لِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمْرِ رَسُولِه قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَفِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَن عَادَى لِي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا فَبَيَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا اِفْتَرَضَ عَلَيْهِ وَمَا زَالَ يَتَقَرَّبُ إِلَيْهِ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى يُحِبَّهُ الْمَقْصُودُ أَنَّ مِنَ الْمَعَايِيرِ الْمُهِمَّةِ الَّتِي تَجْعَلُ الْقَلْبَ مُتَعَلِّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِكْثَارُ مِنْ فِعْلٍ مَحْبُوبٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صَلَاةٌ قِيَامٌ عِلْمٌ تَعَلُّمٌ تَعْلِيمٌ صَدَقَةٌ حَجٌّ قَصْدُ بَيْتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِحْسَانُ إِلَى النَّاسِ بِالْمَالِ وَبِالْخُلُقِ وَبِالْبَدَنِ كُلُّ سُلَامَى عَلَى ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الْفَاضِلَةِ وَلَا يُحْسِنُ وَيَعْرِفُ مَحْبُوبَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا مَنْ تَعَلَّمَ شَرْعَهُ
Syaikh—semoga Allah merahmatinya—menyebutkan bahwa hal yang paling memperkuat keterikatan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla ada dua perkara: Perhatikan baik-baik dua perkara ini, karena Syaikh telah menekankannya dalam ucapannya. Perkara pertama adalah: doa. Tidak ada sesuatu pun yang bisa memberikan manfaat pada seseorang dalam hal menguatkan keterikatan hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melebihi doa. Sebab ketika Anda berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mendengar doamu kecuali hanya Allah Subhanah, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Jalla wa ‘Ala. Saat itu, Anda menyadari bahwa sesungguhnya Anda hanya menyampaikan keperluan kepada-Nya, dan Anda sedang bermunajat hanya kepada-Nya. Terlebih lagi ketika Anda dalam keadaan sujud, atau berada di kegelapan malam, ketika semua harapan terhadap dunia dan penghuninya telah sirna, dan harapan itu hanya tertuju kepada Allah. Karena itulah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menguatkan keimanan seseorang melebihi doa. Dalam riwayat at-Tirmidzi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa itu adalah ibadah.” “Doa itu adalah ibadah.” Ia adalah bentuk ibadah yang paling kuat dalam menguatkan hubungan hamba dengan Rabb-nya. Oleh sebab itu, Syaikh menganjurkan untuk terus-menerus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keperluan, baik karena kekurangan maupun hajat. Keperluan apa pun yang Anda perlukan, perbanyaklah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh salah seorang dari sahabat Nabi memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla ketika tali sandalnya terputus. Merekalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Setiap urusan yang menimpa Anda, berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda ditimpa suatu hajat (keperluan), mintalah itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda mengharapkan sesuatu untuk masa depan, mintalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda takut terhadap seseorang, mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda bimbang dalam suatu urusan, maka datanglah kepada Allah melalui doa istikharah, agar Allah memilihkan yang terbaik untukmu. Hendaklah Anda berdoa! Hendaklah Anda berdoa! Apa kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu? Umar berkata, “Aku tidak memikirkan urusan terkabulnya doa,” atau perkataan sejenisnya. “…tapi yang menjadi pikiranku adalah soal doa itu sendiri.” Menjadi pribadi yang tekun berdoa adalah perjuangan yang tidak semua orang mampu. Tidak semua orang dibukakan pintu untuk banyak berdoa. Ibnu Muflih dalam kitab al-Adab menukil dari seorang saleh, bahwa dia berkata: “Ketika aku ditimpa suatu keperluan aku pun memperbanyak doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla Hingga aku berharap keperluan itu tidak segera diangkat karena aku merasakan dalam hatiku kehadiran dan ketergantungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Maka, apa yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla ketika Anda berdoa dengan ikhlas dan penuh ketundukan, berupa kebahagiaan, kehidupan yang baik, dan lapangnya dada, bisa jadi itu semua lebih agung daripada permintaan yang Anda minta. Inilah perkara pertama. Perkara kedua adalah: beramal dengan segala sesuatu yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi pembeda antara ahlussunnah yang mengenal Allah dan syariat-Nya, dengan mereka yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dari orang-orang jahil namun menyelisihi manhaj ahlussunnah. Sebagian orang mengira bahwa dengan sekadar mengaku cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, itu sudah cukup untuk meraih derajat tinggi, kedudukan sebagai wali, masuk surga, dan mengungguli orang lain. Padahal tidaklah demikian. Standar yang sebenarnya adalah dengan mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya. Allah berfirman, “Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian…” (QS. Ali Imran: 31) Juga dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah umumkan perang terhadapnya …Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya …Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar……penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan.” (HR. Bukhari). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya melebihi amalan yang diwajibkan. Dan hamba itu terus mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan-amalan sunah hingga Allah mencintainya. Intinya, di antara standar penting yang membuat hati senantiasa terpaut kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah memperbanyak amalan yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Salat, Salat Malam, belajar, mengajar, sedekah, haji, ziarah ke baitullah ‘Azza wa Jalla, berbuat baik kepada sesama dengan harta, akhlak yang baik, maupun tenaga. Pada setiap persendian dari anak Adam terdapat kewajiban sedekah, serta amalan mulia yang lainnya. Tidaklah bisa mengamalkan dan memahami amalan yang dicintai Allah, kecuali orang yang mempelajari syariat-Nya. ==== ذَكَرَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ أَكْثَرَ مَا يُقَوِّي تَعَلُّقَ الْقَلْبِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَانِ وَانْتَبِهْ لِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ فَقَدَ أَلْحَظَ إِلَيْهِمَا الشَّيْخُ فِي كَلَامِهِ الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الدُّعَاءُ وَمَا نَفَعَ عَبْدٌ فِي قَلْبِهِ تَعَلُّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِثْلُ الدُّعَاءِ لِأَنَّكَ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَسْمَعُ دُعَاءَكَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ وَلَا يَعْلَمُ بِهِ إِلَّا هُوَ جَلَّ وَعَلَا فَحِيْنَئِذٍ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِنَّمَا تُلْقِي حَاجَتَكَ بِهِ وَإِنَّمَا تُنَاجِيهِ سُبْحَانَهُ وَخَاصَّةً عِنْدَمَا تَكُونُ فِي سُجُودٍ أَوْ تَكُونُ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ وَقَدِ انْقَطَعَ الرَّجَاءُ مِنَ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا وَلَمْ يَتَّصِلْ إِلَّا بِهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ مَا قَوَّى إِيمَانَ شَخْصٍ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنَ الدُّعَاءِ وَقَدْ جَاءَ عِنْدَ التِّرْمِذِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ فَهُوَ الْعِبَادَةُ وَهُوَ أَقْوَى مَا يُقَوِّي عَلَاقَةَ الْعَبْدِ بِرَبِّهِ وَلِذَلِكَ قَالَ بِمُلَازَمَةِ الدُّعَاءِ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ مَطْلُوبٍ مِنْ فَاقَةٍ وَحَاجَةٍ أَيُّ حَاجَةٍ تَحْتَاجُهَا أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا انْقَطَعَ شَسْعُ نَعْلِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ كُلُّ أَمْرٍ يَنْزِلُ بِكَ اِسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا نَزَلَتْ بِكَ حَاجَةٌ اِسْأَلْهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَأَمَّلْتَ أَمَلًا أَوْ تَأَمَّلْتَ رَجَاءً فِي مُسْتَقْبَلِكَ فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا خِفْتَ أَحَدًا فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَرَدَّدْتَ فِي أَمْرٍ فَالْجَأْ إِلَى اللَّهِ بِالدُّعَاءِ بِالِاسْتِخَارَةِ لِيَخْتَارَ لَكَ الأَصْلَحَ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عُمَرُ مَاذَا يَقُولُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؟ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الِاسْتِجَابَةِ أَوْ نَحْوُ مَا قَالَ وَلَكِنْ هَمُّ الدُّعَاءُ فَذَاتُ الدُّعَاءِ هَمٌّ لَا يَسْتَطِيعُهُ كُلُّ امْرِئٍ لَيْسَ كُلُّ امْرِئٍ يُفْتَحُ عَلَيْهِ فِي بَابِ الدُّعَاءِ وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ مُفْلِحٍ فِي الْآدَابِ عَنْ بَعْضِ الصَّالِحِيْنَ أَنَّهُ يَقُولُ إِنَّهُ كَانَتْ تَنْزِلُ بِيَ الْحَاجَةُ فَأُكْثِرُ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَتَمَنَّى أَنْ لَا تَرْتَفِعَ تِلْكَ الْحَاجَةُ لِمَا أَجِدُ فِي قَلْبِي مِنَ الْإِقْبَالِ وَالتَّعَلُّقِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَمَا يُعْطِيْكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ الدُّعَاءِ وَالْإِخْلَاصِ فِيهِ وَالتَّضَرُّعِ مِنَ السَّعَادَةِ وَالْحَيَاةِ الطَّيِّبَةِ وَانْشِرَاحِ الصَّدْرِ رُبَّمَا يَكُونُ أَعْظَمَ مِنَ الطَّلَبِ الَّذِي تَطْلُبُهُ هَذَا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الْأَمْرُ الثَّانِي قَالَ وَالْعَمَلُ بِكُلِّ مَحْبُوبٍ أَيْ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ الْعَالِمِيْنَ بِاللَّهِ وَبِشَرْعِهِ وَبَيْنَ مَنْ يَدَّعِي مَحَبَّةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ خَالَفَ طَرِيقَتَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَهَالَةِ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَدَّعِي أَنَّ مُجَرَّدَ مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَافِيَةٌ فِي نَيْلِهِ الدَّرَجَاتِ الْعَالِيَةَ وَمَنْصِبَ الْوِلَايَةِ وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَالتَّقَدُّمَ عَلَى الْآخَرِيْنَ لَيْسَ ذَلِكَ كَذَلِكَ إِنَّمَا الْعِبْرَةُ وَالْمَحَكُّ الِامْتِثَالُ لِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمْرِ رَسُولِه قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَفِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَن عَادَى لِي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا فَبَيَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا اِفْتَرَضَ عَلَيْهِ وَمَا زَالَ يَتَقَرَّبُ إِلَيْهِ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى يُحِبَّهُ الْمَقْصُودُ أَنَّ مِنَ الْمَعَايِيرِ الْمُهِمَّةِ الَّتِي تَجْعَلُ الْقَلْبَ مُتَعَلِّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِكْثَارُ مِنْ فِعْلٍ مَحْبُوبٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صَلَاةٌ قِيَامٌ عِلْمٌ تَعَلُّمٌ تَعْلِيمٌ صَدَقَةٌ حَجٌّ قَصْدُ بَيْتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِحْسَانُ إِلَى النَّاسِ بِالْمَالِ وَبِالْخُلُقِ وَبِالْبَدَنِ كُلُّ سُلَامَى عَلَى ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الْفَاضِلَةِ وَلَا يُحْسِنُ وَيَعْرِفُ مَحْبُوبَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا مَنْ تَعَلَّمَ شَرْعَهُ


Syaikh—semoga Allah merahmatinya—menyebutkan bahwa hal yang paling memperkuat keterikatan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla ada dua perkara: Perhatikan baik-baik dua perkara ini, karena Syaikh telah menekankannya dalam ucapannya. Perkara pertama adalah: doa. Tidak ada sesuatu pun yang bisa memberikan manfaat pada seseorang dalam hal menguatkan keterikatan hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melebihi doa. Sebab ketika Anda berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mendengar doamu kecuali hanya Allah Subhanah, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Jalla wa ‘Ala. Saat itu, Anda menyadari bahwa sesungguhnya Anda hanya menyampaikan keperluan kepada-Nya, dan Anda sedang bermunajat hanya kepada-Nya. Terlebih lagi ketika Anda dalam keadaan sujud, atau berada di kegelapan malam, ketika semua harapan terhadap dunia dan penghuninya telah sirna, dan harapan itu hanya tertuju kepada Allah. Karena itulah, tidak ada sesuatu pun yang lebih menguatkan keimanan seseorang melebihi doa. Dalam riwayat at-Tirmidzi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa itu adalah ibadah.” “Doa itu adalah ibadah.” Ia adalah bentuk ibadah yang paling kuat dalam menguatkan hubungan hamba dengan Rabb-nya. Oleh sebab itu, Syaikh menganjurkan untuk terus-menerus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keperluan, baik karena kekurangan maupun hajat. Keperluan apa pun yang Anda perlukan, perbanyaklah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh salah seorang dari sahabat Nabi memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla ketika tali sandalnya terputus. Merekalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Setiap urusan yang menimpa Anda, berdoalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda ditimpa suatu hajat (keperluan), mintalah itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda mengharapkan sesuatu untuk masa depan, mintalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda takut terhadap seseorang, mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Anda bimbang dalam suatu urusan, maka datanglah kepada Allah melalui doa istikharah, agar Allah memilihkan yang terbaik untukmu. Hendaklah Anda berdoa! Hendaklah Anda berdoa! Apa kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu? Umar berkata, “Aku tidak memikirkan urusan terkabulnya doa,” atau perkataan sejenisnya. “…tapi yang menjadi pikiranku adalah soal doa itu sendiri.” Menjadi pribadi yang tekun berdoa adalah perjuangan yang tidak semua orang mampu. Tidak semua orang dibukakan pintu untuk banyak berdoa. Ibnu Muflih dalam kitab al-Adab menukil dari seorang saleh, bahwa dia berkata: “Ketika aku ditimpa suatu keperluan aku pun memperbanyak doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla Hingga aku berharap keperluan itu tidak segera diangkat karena aku merasakan dalam hatiku kehadiran dan ketergantungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Maka, apa yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla ketika Anda berdoa dengan ikhlas dan penuh ketundukan, berupa kebahagiaan, kehidupan yang baik, dan lapangnya dada, bisa jadi itu semua lebih agung daripada permintaan yang Anda minta. Inilah perkara pertama. Perkara kedua adalah: beramal dengan segala sesuatu yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi pembeda antara ahlussunnah yang mengenal Allah dan syariat-Nya, dengan mereka yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dari orang-orang jahil namun menyelisihi manhaj ahlussunnah. Sebagian orang mengira bahwa dengan sekadar mengaku cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, itu sudah cukup untuk meraih derajat tinggi, kedudukan sebagai wali, masuk surga, dan mengungguli orang lain. Padahal tidaklah demikian. Standar yang sebenarnya adalah dengan mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan perintah Rasul-Nya. Allah berfirman, “Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian…” (QS. Ali Imran: 31) Juga dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku telah umumkan perang terhadapnya …Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya …Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar……penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan.” (HR. Bukhari). Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya melebihi amalan yang diwajibkan. Dan hamba itu terus mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan-amalan sunah hingga Allah mencintainya. Intinya, di antara standar penting yang membuat hati senantiasa terpaut kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah memperbanyak amalan yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Salat, Salat Malam, belajar, mengajar, sedekah, haji, ziarah ke baitullah ‘Azza wa Jalla, berbuat baik kepada sesama dengan harta, akhlak yang baik, maupun tenaga. Pada setiap persendian dari anak Adam terdapat kewajiban sedekah, serta amalan mulia yang lainnya. Tidaklah bisa mengamalkan dan memahami amalan yang dicintai Allah, kecuali orang yang mempelajari syariat-Nya. ==== ذَكَرَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ أَكْثَرَ مَا يُقَوِّي تَعَلُّقَ الْقَلْبِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَانِ وَانْتَبِهْ لِهَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ فَقَدَ أَلْحَظَ إِلَيْهِمَا الشَّيْخُ فِي كَلَامِهِ الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الدُّعَاءُ وَمَا نَفَعَ عَبْدٌ فِي قَلْبِهِ تَعَلُّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِثْلُ الدُّعَاءِ لِأَنَّكَ عِنْدَمَا تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَسْمَعُ دُعَاءَكَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ وَلَا يَعْلَمُ بِهِ إِلَّا هُوَ جَلَّ وَعَلَا فَحِيْنَئِذٍ تَعْلَمُ أَنَّكَ إِنَّمَا تُلْقِي حَاجَتَكَ بِهِ وَإِنَّمَا تُنَاجِيهِ سُبْحَانَهُ وَخَاصَّةً عِنْدَمَا تَكُونُ فِي سُجُودٍ أَوْ تَكُونُ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ وَقَدِ انْقَطَعَ الرَّجَاءُ مِنَ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا وَلَمْ يَتَّصِلْ إِلَّا بِهِ سُبْحَانَهُ وَلِذَلِكَ مَا قَوَّى إِيمَانَ شَخْصٍ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنَ الدُّعَاءِ وَقَدْ جَاءَ عِنْدَ التِّرْمِذِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ فَهُوَ الْعِبَادَةُ وَهُوَ أَقْوَى مَا يُقَوِّي عَلَاقَةَ الْعَبْدِ بِرَبِّهِ وَلِذَلِكَ قَالَ بِمُلَازَمَةِ الدُّعَاءِ لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ مَطْلُوبٍ مِنْ فَاقَةٍ وَحَاجَةٍ أَيُّ حَاجَةٍ تَحْتَاجُهَا أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا انْقَطَعَ شَسْعُ نَعْلِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ كُلُّ أَمْرٍ يَنْزِلُ بِكَ اِسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا نَزَلَتْ بِكَ حَاجَةٌ اِسْأَلْهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَأَمَّلْتَ أَمَلًا أَوْ تَأَمَّلْتَ رَجَاءً فِي مُسْتَقْبَلِكَ فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا خِفْتَ أَحَدًا فَاسْأَلِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَرَدَّدْتَ فِي أَمْرٍ فَالْجَأْ إِلَى اللَّهِ بِالدُّعَاءِ بِالِاسْتِخَارَةِ لِيَخْتَارَ لَكَ الأَصْلَحَ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عَلَيْكَ بِالدُّعَاءِ عُمَرُ مَاذَا يَقُولُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؟ يَقُولُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ الِاسْتِجَابَةِ أَوْ نَحْوُ مَا قَالَ وَلَكِنْ هَمُّ الدُّعَاءُ فَذَاتُ الدُّعَاءِ هَمٌّ لَا يَسْتَطِيعُهُ كُلُّ امْرِئٍ لَيْسَ كُلُّ امْرِئٍ يُفْتَحُ عَلَيْهِ فِي بَابِ الدُّعَاءِ وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ مُفْلِحٍ فِي الْآدَابِ عَنْ بَعْضِ الصَّالِحِيْنَ أَنَّهُ يَقُولُ إِنَّهُ كَانَتْ تَنْزِلُ بِيَ الْحَاجَةُ فَأُكْثِرُ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَتَمَنَّى أَنْ لَا تَرْتَفِعَ تِلْكَ الْحَاجَةُ لِمَا أَجِدُ فِي قَلْبِي مِنَ الْإِقْبَالِ وَالتَّعَلُّقِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَمَا يُعْطِيْكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ الدُّعَاءِ وَالْإِخْلَاصِ فِيهِ وَالتَّضَرُّعِ مِنَ السَّعَادَةِ وَالْحَيَاةِ الطَّيِّبَةِ وَانْشِرَاحِ الصَّدْرِ رُبَّمَا يَكُونُ أَعْظَمَ مِنَ الطَّلَبِ الَّذِي تَطْلُبُهُ هَذَا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الْأَمْرُ الثَّانِي قَالَ وَالْعَمَلُ بِكُلِّ مَحْبُوبٍ أَيْ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهَذِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ الْعَالِمِيْنَ بِاللَّهِ وَبِشَرْعِهِ وَبَيْنَ مَنْ يَدَّعِي مَحَبَّةَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِمَّنْ خَالَفَ طَرِيقَتَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَهَالَةِ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَدَّعِي أَنَّ مُجَرَّدَ مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَافِيَةٌ فِي نَيْلِهِ الدَّرَجَاتِ الْعَالِيَةَ وَمَنْصِبَ الْوِلَايَةِ وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَالتَّقَدُّمَ عَلَى الْآخَرِيْنَ لَيْسَ ذَلِكَ كَذَلِكَ إِنَّمَا الْعِبْرَةُ وَالْمَحَكُّ الِامْتِثَالُ لِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمْرِ رَسُولِه قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَفِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَن عَادَى لِي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا فَبَيَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا اِفْتَرَضَ عَلَيْهِ وَمَا زَالَ يَتَقَرَّبُ إِلَيْهِ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى يُحِبَّهُ الْمَقْصُودُ أَنَّ مِنَ الْمَعَايِيرِ الْمُهِمَّةِ الَّتِي تَجْعَلُ الْقَلْبَ مُتَعَلِّقًا بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِكْثَارُ مِنْ فِعْلٍ مَحْبُوبٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صَلَاةٌ قِيَامٌ عِلْمٌ تَعَلُّمٌ تَعْلِيمٌ صَدَقَةٌ حَجٌّ قَصْدُ بَيْتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِحْسَانُ إِلَى النَّاسِ بِالْمَالِ وَبِالْخُلُقِ وَبِالْبَدَنِ كُلُّ سُلَامَى عَلَى ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الْفَاضِلَةِ وَلَا يُحْسِنُ وَيَعْرِفُ مَحْبُوبَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا مَنْ تَعَلَّمَ شَرْعَهُ

Hadis: Persaksian yang Dijamin Surga

Daftar Isi Toggle Teks hadisPersaksian yang dijamin surgaApa yang dimaksud persaksian?Ahli tauhid pasti masuk surgaFaidah hadis Teks hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله، وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، والجنة حق، والنار حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل “Barangsiapa yang bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, sesuai amal yang telah dikerjakakannya” (HR. Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 28) Persaksian yang dijamin surga Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan surga bagi siapa saja yang bersaksi tentang hal-hal berikut: Pertama, bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له) Maksudnya adalah mengucapakan kalimat ini dengan lisan, memahami maknanya dengan benar, dan beramal dengan konsekuensinya secara lahir dan batin. Seseorang yang bersyahadat harus meyakini bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah saja. Kedua, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن محمداً عبده ورسوله) Maksudnya adalah bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan sekaligus juga utusan yang membawa risalah Allah. Status beliau sebagai hamba Allah, maka tidak boleh berlebih-lebihan sampai mengangkat derajat beliau melebihi sebagai hamba sehingga dijadikan sebagai sesembahan. Status beliau sebagai rasul utusan Allah, maka wajib untuk ditaati dan tidak boleh didustakan. Ketiga, bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه) Maksudnya adalah meyakini bahwa Isa adalah hamba ciptaan Allah dan juga sekaligus rasul utusan-Nya. Keempat, bersaksi bahwa surga benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والجنة حق) Maksudnya meyakini bahwa surga benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang beriman. Kelima, bersaksi bahwa neraka benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والنار حق) Maksudnya meyakini bahwa neraka benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang kafir. Allah telah memberitakan tentang surga dan neraka di dalam Al-Quran dan tidak boleh ragu tentangnya. Baca juga: Konsekuensi Syahadatain Apa yang dimaksud persaksian? Maksud persaksian atau syahadat yang benar harus terkandung tiga hal, yaitu: 1) mengucapkannya dengan lisan; 2) mengilmui maknanya; dan 3) mengamalkan segala konsekuensinya. Maka syahadat tidak cukup hanya sekadar mengucapknnya saja. Ahli tauhid pasti masuk surga Yang dimaksud dengan ‘alaa maa kaana minal ‘amal (sesuai amal yang telah dikerjakannya) ada dua tafsiran: Pertama: Mereka akan masuk surga walaupun memiliki dosa-dosa selain syirik, karena dosa-dosa selain syirik tersebut tidak menghalanginya untuk masuk ke dalam surga, baik masuk surga secara langsung, maupun pada akhirnya masuk surga, walau sempat diazab di neraka. Ini merupakan keutamaan tauhid yang dapat menghapuskan dosa-dosa dengan izin Allah, dan menghalangi seseorang kekal di neraka. Kedua: Mereka akan masuk surga, namun kedudukan mereka dalam surga sesuai dengan amalan mereka, karena kedudukan seseorang di surga bertingkat-tingkat sesuai dengan amal salehnya. Faidah hadis Hadis di atas mengandung beberapa faedah: (1) Keutamaan tauhid, bahwasanya tauhid bisa menghapuskan berbagai macam dosa. (2) Luasnya karunia dan kebaikan Allah pada seluruh hamba-Nya. (3). Wajib menjauhkan diri dari sikap berlebihan dan meremehkan para rasul dan orang saleh. Maka, tidak boleh menolak dan mendustakan beliau sebagai rasul. Tidak boleh pula ghuluw dengan menyembah beliau karena beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah. (4) Akidah tauhid menyelisihi agama kufur lainnya, baik Nasrani, Yahudi, atau agama orang musyrik. (5) Ahli tauhid yang berdosa tidak akan kekal dalam neraka. Namun, bukan berarti kita boleh meremehkan maksiat. Hal ini karena ahli tauhid yang menyempurnakan tauhidnya dengan menjauhi maksiat akan lebih mulia kedudukannya di surga dan lebih selamat dari siksa neraka. (7) Hadis ini membantah seluruh aliran kekufuran, membantah Yahudi yang menyatakan Isa adalah anak zina, membantah Nasrani yang menyatakan bahwa Isa adalah Allah atau anak Allah, membantah sebagain filsuf yang mengingkari adanya surga dan neraka, membantah kaum musyrikin penyembah berhala, membantah sekte Jahmiyah dan ‘Asyairah yang mengingkari Allah berbicara secara hakiki, serta membantah kaum sufi ekstrim yang berlebihan dan mengkultuskan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau kepada derajat ketuhanan. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: (1) Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid, karya Syekh Shalih Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. (2) Baitul Qashiid fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid Juz 1, karya Ahmad bin ‘Abdirrahaman bin ‘Utsman Al-Qaadhy.

Hadis: Persaksian yang Dijamin Surga

Daftar Isi Toggle Teks hadisPersaksian yang dijamin surgaApa yang dimaksud persaksian?Ahli tauhid pasti masuk surgaFaidah hadis Teks hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله، وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، والجنة حق، والنار حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل “Barangsiapa yang bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, sesuai amal yang telah dikerjakakannya” (HR. Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 28) Persaksian yang dijamin surga Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan surga bagi siapa saja yang bersaksi tentang hal-hal berikut: Pertama, bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له) Maksudnya adalah mengucapakan kalimat ini dengan lisan, memahami maknanya dengan benar, dan beramal dengan konsekuensinya secara lahir dan batin. Seseorang yang bersyahadat harus meyakini bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah saja. Kedua, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن محمداً عبده ورسوله) Maksudnya adalah bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan sekaligus juga utusan yang membawa risalah Allah. Status beliau sebagai hamba Allah, maka tidak boleh berlebih-lebihan sampai mengangkat derajat beliau melebihi sebagai hamba sehingga dijadikan sebagai sesembahan. Status beliau sebagai rasul utusan Allah, maka wajib untuk ditaati dan tidak boleh didustakan. Ketiga, bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه) Maksudnya adalah meyakini bahwa Isa adalah hamba ciptaan Allah dan juga sekaligus rasul utusan-Nya. Keempat, bersaksi bahwa surga benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والجنة حق) Maksudnya meyakini bahwa surga benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang beriman. Kelima, bersaksi bahwa neraka benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والنار حق) Maksudnya meyakini bahwa neraka benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang kafir. Allah telah memberitakan tentang surga dan neraka di dalam Al-Quran dan tidak boleh ragu tentangnya. Baca juga: Konsekuensi Syahadatain Apa yang dimaksud persaksian? Maksud persaksian atau syahadat yang benar harus terkandung tiga hal, yaitu: 1) mengucapkannya dengan lisan; 2) mengilmui maknanya; dan 3) mengamalkan segala konsekuensinya. Maka syahadat tidak cukup hanya sekadar mengucapknnya saja. Ahli tauhid pasti masuk surga Yang dimaksud dengan ‘alaa maa kaana minal ‘amal (sesuai amal yang telah dikerjakannya) ada dua tafsiran: Pertama: Mereka akan masuk surga walaupun memiliki dosa-dosa selain syirik, karena dosa-dosa selain syirik tersebut tidak menghalanginya untuk masuk ke dalam surga, baik masuk surga secara langsung, maupun pada akhirnya masuk surga, walau sempat diazab di neraka. Ini merupakan keutamaan tauhid yang dapat menghapuskan dosa-dosa dengan izin Allah, dan menghalangi seseorang kekal di neraka. Kedua: Mereka akan masuk surga, namun kedudukan mereka dalam surga sesuai dengan amalan mereka, karena kedudukan seseorang di surga bertingkat-tingkat sesuai dengan amal salehnya. Faidah hadis Hadis di atas mengandung beberapa faedah: (1) Keutamaan tauhid, bahwasanya tauhid bisa menghapuskan berbagai macam dosa. (2) Luasnya karunia dan kebaikan Allah pada seluruh hamba-Nya. (3). Wajib menjauhkan diri dari sikap berlebihan dan meremehkan para rasul dan orang saleh. Maka, tidak boleh menolak dan mendustakan beliau sebagai rasul. Tidak boleh pula ghuluw dengan menyembah beliau karena beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah. (4) Akidah tauhid menyelisihi agama kufur lainnya, baik Nasrani, Yahudi, atau agama orang musyrik. (5) Ahli tauhid yang berdosa tidak akan kekal dalam neraka. Namun, bukan berarti kita boleh meremehkan maksiat. Hal ini karena ahli tauhid yang menyempurnakan tauhidnya dengan menjauhi maksiat akan lebih mulia kedudukannya di surga dan lebih selamat dari siksa neraka. (7) Hadis ini membantah seluruh aliran kekufuran, membantah Yahudi yang menyatakan Isa adalah anak zina, membantah Nasrani yang menyatakan bahwa Isa adalah Allah atau anak Allah, membantah sebagain filsuf yang mengingkari adanya surga dan neraka, membantah kaum musyrikin penyembah berhala, membantah sekte Jahmiyah dan ‘Asyairah yang mengingkari Allah berbicara secara hakiki, serta membantah kaum sufi ekstrim yang berlebihan dan mengkultuskan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau kepada derajat ketuhanan. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: (1) Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid, karya Syekh Shalih Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. (2) Baitul Qashiid fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid Juz 1, karya Ahmad bin ‘Abdirrahaman bin ‘Utsman Al-Qaadhy.
Daftar Isi Toggle Teks hadisPersaksian yang dijamin surgaApa yang dimaksud persaksian?Ahli tauhid pasti masuk surgaFaidah hadis Teks hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله، وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، والجنة حق، والنار حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل “Barangsiapa yang bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, sesuai amal yang telah dikerjakakannya” (HR. Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 28) Persaksian yang dijamin surga Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan surga bagi siapa saja yang bersaksi tentang hal-hal berikut: Pertama, bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له) Maksudnya adalah mengucapakan kalimat ini dengan lisan, memahami maknanya dengan benar, dan beramal dengan konsekuensinya secara lahir dan batin. Seseorang yang bersyahadat harus meyakini bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah saja. Kedua, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن محمداً عبده ورسوله) Maksudnya adalah bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan sekaligus juga utusan yang membawa risalah Allah. Status beliau sebagai hamba Allah, maka tidak boleh berlebih-lebihan sampai mengangkat derajat beliau melebihi sebagai hamba sehingga dijadikan sebagai sesembahan. Status beliau sebagai rasul utusan Allah, maka wajib untuk ditaati dan tidak boleh didustakan. Ketiga, bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه) Maksudnya adalah meyakini bahwa Isa adalah hamba ciptaan Allah dan juga sekaligus rasul utusan-Nya. Keempat, bersaksi bahwa surga benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والجنة حق) Maksudnya meyakini bahwa surga benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang beriman. Kelima, bersaksi bahwa neraka benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والنار حق) Maksudnya meyakini bahwa neraka benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang kafir. Allah telah memberitakan tentang surga dan neraka di dalam Al-Quran dan tidak boleh ragu tentangnya. Baca juga: Konsekuensi Syahadatain Apa yang dimaksud persaksian? Maksud persaksian atau syahadat yang benar harus terkandung tiga hal, yaitu: 1) mengucapkannya dengan lisan; 2) mengilmui maknanya; dan 3) mengamalkan segala konsekuensinya. Maka syahadat tidak cukup hanya sekadar mengucapknnya saja. Ahli tauhid pasti masuk surga Yang dimaksud dengan ‘alaa maa kaana minal ‘amal (sesuai amal yang telah dikerjakannya) ada dua tafsiran: Pertama: Mereka akan masuk surga walaupun memiliki dosa-dosa selain syirik, karena dosa-dosa selain syirik tersebut tidak menghalanginya untuk masuk ke dalam surga, baik masuk surga secara langsung, maupun pada akhirnya masuk surga, walau sempat diazab di neraka. Ini merupakan keutamaan tauhid yang dapat menghapuskan dosa-dosa dengan izin Allah, dan menghalangi seseorang kekal di neraka. Kedua: Mereka akan masuk surga, namun kedudukan mereka dalam surga sesuai dengan amalan mereka, karena kedudukan seseorang di surga bertingkat-tingkat sesuai dengan amal salehnya. Faidah hadis Hadis di atas mengandung beberapa faedah: (1) Keutamaan tauhid, bahwasanya tauhid bisa menghapuskan berbagai macam dosa. (2) Luasnya karunia dan kebaikan Allah pada seluruh hamba-Nya. (3). Wajib menjauhkan diri dari sikap berlebihan dan meremehkan para rasul dan orang saleh. Maka, tidak boleh menolak dan mendustakan beliau sebagai rasul. Tidak boleh pula ghuluw dengan menyembah beliau karena beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah. (4) Akidah tauhid menyelisihi agama kufur lainnya, baik Nasrani, Yahudi, atau agama orang musyrik. (5) Ahli tauhid yang berdosa tidak akan kekal dalam neraka. Namun, bukan berarti kita boleh meremehkan maksiat. Hal ini karena ahli tauhid yang menyempurnakan tauhidnya dengan menjauhi maksiat akan lebih mulia kedudukannya di surga dan lebih selamat dari siksa neraka. (7) Hadis ini membantah seluruh aliran kekufuran, membantah Yahudi yang menyatakan Isa adalah anak zina, membantah Nasrani yang menyatakan bahwa Isa adalah Allah atau anak Allah, membantah sebagain filsuf yang mengingkari adanya surga dan neraka, membantah kaum musyrikin penyembah berhala, membantah sekte Jahmiyah dan ‘Asyairah yang mengingkari Allah berbicara secara hakiki, serta membantah kaum sufi ekstrim yang berlebihan dan mengkultuskan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau kepada derajat ketuhanan. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: (1) Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid, karya Syekh Shalih Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. (2) Baitul Qashiid fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid Juz 1, karya Ahmad bin ‘Abdirrahaman bin ‘Utsman Al-Qaadhy.


Daftar Isi Toggle Teks hadisPersaksian yang dijamin surgaApa yang dimaksud persaksian?Ahli tauhid pasti masuk surgaFaidah hadis Teks hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله، وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، والجنة حق، والنار حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل “Barangsiapa yang bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, sesuai amal yang telah dikerjakakannya” (HR. Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 28) Persaksian yang dijamin surga Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan surga bagi siapa saja yang bersaksi tentang hal-hal berikut: Pertama, bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له) Maksudnya adalah mengucapakan kalimat ini dengan lisan, memahami maknanya dengan benar, dan beramal dengan konsekuensinya secara lahir dan batin. Seseorang yang bersyahadat harus meyakini bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah saja. Kedua, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن محمداً عبده ورسوله) Maksudnya adalah bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan sekaligus juga utusan yang membawa risalah Allah. Status beliau sebagai hamba Allah, maka tidak boleh berlebih-lebihan sampai mengangkat derajat beliau melebihi sebagai hamba sehingga dijadikan sebagai sesembahan. Status beliau sebagai rasul utusan Allah, maka wajib untuk ditaati dan tidak boleh didustakan. Ketiga, bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya. Yaitu dalam sabda Nabi: (وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه) Maksudnya adalah meyakini bahwa Isa adalah hamba ciptaan Allah dan juga sekaligus rasul utusan-Nya. Keempat, bersaksi bahwa surga benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والجنة حق) Maksudnya meyakini bahwa surga benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang beriman. Kelima, bersaksi bahwa neraka benar adanya. Yaitu dalam sabda Nabi: (والنار حق) Maksudnya meyakini bahwa neraka benar adanya dan telah Allah sediakan bagi orang-orang yang kafir. Allah telah memberitakan tentang surga dan neraka di dalam Al-Quran dan tidak boleh ragu tentangnya. Baca juga: Konsekuensi Syahadatain Apa yang dimaksud persaksian? Maksud persaksian atau syahadat yang benar harus terkandung tiga hal, yaitu: 1) mengucapkannya dengan lisan; 2) mengilmui maknanya; dan 3) mengamalkan segala konsekuensinya. Maka syahadat tidak cukup hanya sekadar mengucapknnya saja. Ahli tauhid pasti masuk surga Yang dimaksud dengan ‘alaa maa kaana minal ‘amal (sesuai amal yang telah dikerjakannya) ada dua tafsiran: Pertama: Mereka akan masuk surga walaupun memiliki dosa-dosa selain syirik, karena dosa-dosa selain syirik tersebut tidak menghalanginya untuk masuk ke dalam surga, baik masuk surga secara langsung, maupun pada akhirnya masuk surga, walau sempat diazab di neraka. Ini merupakan keutamaan tauhid yang dapat menghapuskan dosa-dosa dengan izin Allah, dan menghalangi seseorang kekal di neraka. Kedua: Mereka akan masuk surga, namun kedudukan mereka dalam surga sesuai dengan amalan mereka, karena kedudukan seseorang di surga bertingkat-tingkat sesuai dengan amal salehnya. Faidah hadis Hadis di atas mengandung beberapa faedah: (1) Keutamaan tauhid, bahwasanya tauhid bisa menghapuskan berbagai macam dosa. (2) Luasnya karunia dan kebaikan Allah pada seluruh hamba-Nya. (3). Wajib menjauhkan diri dari sikap berlebihan dan meremehkan para rasul dan orang saleh. Maka, tidak boleh menolak dan mendustakan beliau sebagai rasul. Tidak boleh pula ghuluw dengan menyembah beliau karena beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah. (4) Akidah tauhid menyelisihi agama kufur lainnya, baik Nasrani, Yahudi, atau agama orang musyrik. (5) Ahli tauhid yang berdosa tidak akan kekal dalam neraka. Namun, bukan berarti kita boleh meremehkan maksiat. Hal ini karena ahli tauhid yang menyempurnakan tauhidnya dengan menjauhi maksiat akan lebih mulia kedudukannya di surga dan lebih selamat dari siksa neraka. (7) Hadis ini membantah seluruh aliran kekufuran, membantah Yahudi yang menyatakan Isa adalah anak zina, membantah Nasrani yang menyatakan bahwa Isa adalah Allah atau anak Allah, membantah sebagain filsuf yang mengingkari adanya surga dan neraka, membantah kaum musyrikin penyembah berhala, membantah sekte Jahmiyah dan ‘Asyairah yang mengingkari Allah berbicara secara hakiki, serta membantah kaum sufi ekstrim yang berlebihan dan mengkultuskan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau kepada derajat ketuhanan. Baca juga: 7 Syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: (1) Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid, karya Syekh Shalih Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. (2) Baitul Qashiid fii Syarhi Kitaabi at-Tauhid Juz 1, karya Ahmad bin ‘Abdirrahaman bin ‘Utsman Al-Qaadhy.

Saat Istri Puasa Sunnah Syawal dan Suami Mengajak: Mana yang Lebih Utama?

Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?    Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga

Saat Istri Puasa Sunnah Syawal dan Suami Mengajak: Mana yang Lebih Utama?

Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?    Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga
Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?    Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga


Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA? <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span>   Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga

Sakit Hati karena Keluarga? Dengarkan Jawaban yang Menyejukkan Ini! – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri

Sesi pertanyaan. Ummu Su’ud bertanya bahwa dirinya sering mendapatkan gangguan dari sebagian kerabatnya. Hal tersebut membuatnya sedih dan terluka. Ia pun terus-menerus teringat gangguan itu, hingga terkadang ia mendoakan keburukan bagi orang yang telah menyakiti dan menzaliminya. Apakah perasaan yang dirasakan ini, seperti sedih dan duka, serta tindakan mendoakan keburukan untuk orang yang menzaliminya, apakah dibolehkan atau tidak? Allah telah menetapkan dunia sebagai tempat ujian dan musibah-musibah. Tidak ada seorang pun yang selamat dari musibah di dunia ini, sehebat apa pun derajatnya. Oleh karena itu, setiap insan hendaknya merenungi keadaan orang-orang yang tertimpa musibah, terutama apa yang menimpa para nabi ‘alaihimus salam. Mereka pun disakiti di jalan Allah karena mereka menyeru kepada tauhid dan memerintahkan untuk beribadah kepada Allah Jalla wa ‘ala. Salah satu bentuk gangguan terbesar yang menimpa mereka, justru datang dari keluarga mereka sendiri. Maka lihatlah keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang dilakukan oleh pamannya, saudara kandung ayah beliau, Abu Lahab, bagaimana ia mencela dan merendahkan kedudukan Rasulullah. Lihat pula apa yang dilakukan oleh sepupu beliau lainnya dari kalangan Quraisy. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar atas gangguan mereka. Beliau menanggung segala bentuk penderitaan yang menimpa beliau. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintahkan untuk mencontohnya. Ketika dikatakan kepada beliau: “Doakan keburukan atas Quraisy!” Beliau justru berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.” Ini menunjukkan kepada Anda bahwa seorang insan hendaklah mengharapkan pahala dengan mendoakan kebaikan bagi kerabatnya, meskipun mereka menyakitinya. Adapun berkaitan dengan ucapan: “Cukuplah Allah bagiku” atau “Allah akan membelaku,” maka tidaklah mengapa mengucapkannya. Namun, selayaknya ketika Anda berdoa agar Allah menghentikan gangguan kerabat Anda, niatkanlah agar Allah meringankan dosa dan kesalahan mereka. Dengan niat seperti ini, Anda bisa mendapatkan pahala dari silaturahmi, dan agar ini menjadi sebab Anda meraih pahala yang setara dengan pahala mereka, ketika mereka meninggalkan perkara haram karenanya. Dengan begitu, itu menjadi sebab bagi Anda untuk memperoleh pahala dan ganjaran dari Allah. ==== الْأَسْئِلَةُ أُمُّ سُعُودٍ سَأَلَتْ تَقُولُ إِنَّهَا تَتَعَرَّضُ لِبَعْضِ الْأَذَى مِنْ بَعْضِ أَقَارِبِهَا وَبِسَبَبِ ذَلِكَ تَشْعُرُ بِنَوْعٍ مِنَ الْحُزْنِ وَدَائِمًا تَتَذَكَّرُ مِثْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَرُبَّمَا تَدْعِي عَلَى مَنْ آذَاهَا وَظَلَمَهَا هَلْ مِثْلُ هَذِهِ الْمَشَاعِرِ الَّتِي تَشْعُرُ بِهَا مِنَ الْحُزْنِ وَمِنَ الْأَسَى وَمِنْ أَيْضًا الدُّعَاءِ عَلَى مَنْ ظَلَمَهَا هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ قَضَى اللَّهُ الدُّنْيَا عَلَى أَنْ تَكُونَ مَحَلَّ إِيْلَامٍ وَمَحَلَّ مَصَاعِبَ وَلَا يَسْلَمُ فِي الدُّنْيَا أَحَدٌ مِنْ أَنْ يَنَالَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَصَائِبِ مَهْمَا بَلَغَتْ مَنْزِلَتُهُ وَلِذَلِكَ عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى أَحْوَالِ هَؤُلَاءِ الْمُصَابِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ مَا أُصِيبَ بِهِ أَنْبِيَاءُ اللَّهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَقَدْ أُوْذُوا فِي اللَّهِ مِنْ أَجْلِ كَوْنِهِمْ دَعَوْا إِلَى التَّوْحِيْدِ وَأَمَرُوا بِعِبَادَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ مَا نَالَهُمْ مِنَ الْأَذَى مِنْ قَرَابَاتِهِمْ وَلِذَا انْظُرْ إِلَى حَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا فَعَلَهُ مَعَهُ عَمُّهُ أَخُو وَالِدِهِ أَبُو لَهَبٍ وَكَيْفَ أَنَّهُ كَانَ يُسَفِّهُ بِهِ وَيَسْتَنْقِصُ مِنْ مَكَانَتِهِ انْظُر إِلَى مَا فَعَلَهُ بَقِيَّةُ أَبْنَاءِ عَمِّهِ مِنْ قَبِيلَةِ قُرَيْشٍ وَمَعَ ذَلِكَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ وَيَتَحَمَّلُ مَا يَنَالُهُ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَذَى فَهَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي أُمِرْنَا بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ وَلَمَّا قِيلَ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُ عَلَى قُرَيْشٍ قَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي الدُّعَاءِ لِقَرَابَتِهِ وَلَوْ كَانُوا يُؤْذُونَهُ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِقَوْلِ حَسْبِيَ اللَّهُ أَوْ يَكْفِيْنِي اللَّهُ فَهَذَا لَا حَرَجَ عَلَى الْإِنْسَانِ فِيهِ فَيَنْبَغِي بِكَ مَتَى دَعَوْتَ لِقَرَابَتِكَ بِأَنْ يَكُفَّ اللَّهُ أَذَاهُمْ عَنْكَ أَنْ تَنْوِيَ بِذَلِكَ أَنْ تُخَفِّفَ مِنْ آثَامِهِمْ وَأَنْ تُقَلِّلَ مِنْ ذُنُوبِهِمْ لِتَنَالَ بِذَلِكَ أَجْرَ صِلَةِ الرَّحِمِ وَلِيَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِأَجْرِ الْمُمَاثِلَةِ لِأُجُورِهِمْ الَّتِي تَرَكُوا الْأَمْرَ الْمُحَرَّمَ مِنْ أَجْلِهَا وَبِالتَّالِي يَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِلْأَجْرِ وَالثَّوَابِ

Sakit Hati karena Keluarga? Dengarkan Jawaban yang Menyejukkan Ini! – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri

Sesi pertanyaan. Ummu Su’ud bertanya bahwa dirinya sering mendapatkan gangguan dari sebagian kerabatnya. Hal tersebut membuatnya sedih dan terluka. Ia pun terus-menerus teringat gangguan itu, hingga terkadang ia mendoakan keburukan bagi orang yang telah menyakiti dan menzaliminya. Apakah perasaan yang dirasakan ini, seperti sedih dan duka, serta tindakan mendoakan keburukan untuk orang yang menzaliminya, apakah dibolehkan atau tidak? Allah telah menetapkan dunia sebagai tempat ujian dan musibah-musibah. Tidak ada seorang pun yang selamat dari musibah di dunia ini, sehebat apa pun derajatnya. Oleh karena itu, setiap insan hendaknya merenungi keadaan orang-orang yang tertimpa musibah, terutama apa yang menimpa para nabi ‘alaihimus salam. Mereka pun disakiti di jalan Allah karena mereka menyeru kepada tauhid dan memerintahkan untuk beribadah kepada Allah Jalla wa ‘ala. Salah satu bentuk gangguan terbesar yang menimpa mereka, justru datang dari keluarga mereka sendiri. Maka lihatlah keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang dilakukan oleh pamannya, saudara kandung ayah beliau, Abu Lahab, bagaimana ia mencela dan merendahkan kedudukan Rasulullah. Lihat pula apa yang dilakukan oleh sepupu beliau lainnya dari kalangan Quraisy. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar atas gangguan mereka. Beliau menanggung segala bentuk penderitaan yang menimpa beliau. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintahkan untuk mencontohnya. Ketika dikatakan kepada beliau: “Doakan keburukan atas Quraisy!” Beliau justru berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.” Ini menunjukkan kepada Anda bahwa seorang insan hendaklah mengharapkan pahala dengan mendoakan kebaikan bagi kerabatnya, meskipun mereka menyakitinya. Adapun berkaitan dengan ucapan: “Cukuplah Allah bagiku” atau “Allah akan membelaku,” maka tidaklah mengapa mengucapkannya. Namun, selayaknya ketika Anda berdoa agar Allah menghentikan gangguan kerabat Anda, niatkanlah agar Allah meringankan dosa dan kesalahan mereka. Dengan niat seperti ini, Anda bisa mendapatkan pahala dari silaturahmi, dan agar ini menjadi sebab Anda meraih pahala yang setara dengan pahala mereka, ketika mereka meninggalkan perkara haram karenanya. Dengan begitu, itu menjadi sebab bagi Anda untuk memperoleh pahala dan ganjaran dari Allah. ==== الْأَسْئِلَةُ أُمُّ سُعُودٍ سَأَلَتْ تَقُولُ إِنَّهَا تَتَعَرَّضُ لِبَعْضِ الْأَذَى مِنْ بَعْضِ أَقَارِبِهَا وَبِسَبَبِ ذَلِكَ تَشْعُرُ بِنَوْعٍ مِنَ الْحُزْنِ وَدَائِمًا تَتَذَكَّرُ مِثْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَرُبَّمَا تَدْعِي عَلَى مَنْ آذَاهَا وَظَلَمَهَا هَلْ مِثْلُ هَذِهِ الْمَشَاعِرِ الَّتِي تَشْعُرُ بِهَا مِنَ الْحُزْنِ وَمِنَ الْأَسَى وَمِنْ أَيْضًا الدُّعَاءِ عَلَى مَنْ ظَلَمَهَا هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ قَضَى اللَّهُ الدُّنْيَا عَلَى أَنْ تَكُونَ مَحَلَّ إِيْلَامٍ وَمَحَلَّ مَصَاعِبَ وَلَا يَسْلَمُ فِي الدُّنْيَا أَحَدٌ مِنْ أَنْ يَنَالَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَصَائِبِ مَهْمَا بَلَغَتْ مَنْزِلَتُهُ وَلِذَلِكَ عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى أَحْوَالِ هَؤُلَاءِ الْمُصَابِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ مَا أُصِيبَ بِهِ أَنْبِيَاءُ اللَّهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَقَدْ أُوْذُوا فِي اللَّهِ مِنْ أَجْلِ كَوْنِهِمْ دَعَوْا إِلَى التَّوْحِيْدِ وَأَمَرُوا بِعِبَادَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ مَا نَالَهُمْ مِنَ الْأَذَى مِنْ قَرَابَاتِهِمْ وَلِذَا انْظُرْ إِلَى حَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا فَعَلَهُ مَعَهُ عَمُّهُ أَخُو وَالِدِهِ أَبُو لَهَبٍ وَكَيْفَ أَنَّهُ كَانَ يُسَفِّهُ بِهِ وَيَسْتَنْقِصُ مِنْ مَكَانَتِهِ انْظُر إِلَى مَا فَعَلَهُ بَقِيَّةُ أَبْنَاءِ عَمِّهِ مِنْ قَبِيلَةِ قُرَيْشٍ وَمَعَ ذَلِكَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ وَيَتَحَمَّلُ مَا يَنَالُهُ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَذَى فَهَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي أُمِرْنَا بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ وَلَمَّا قِيلَ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُ عَلَى قُرَيْشٍ قَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي الدُّعَاءِ لِقَرَابَتِهِ وَلَوْ كَانُوا يُؤْذُونَهُ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِقَوْلِ حَسْبِيَ اللَّهُ أَوْ يَكْفِيْنِي اللَّهُ فَهَذَا لَا حَرَجَ عَلَى الْإِنْسَانِ فِيهِ فَيَنْبَغِي بِكَ مَتَى دَعَوْتَ لِقَرَابَتِكَ بِأَنْ يَكُفَّ اللَّهُ أَذَاهُمْ عَنْكَ أَنْ تَنْوِيَ بِذَلِكَ أَنْ تُخَفِّفَ مِنْ آثَامِهِمْ وَأَنْ تُقَلِّلَ مِنْ ذُنُوبِهِمْ لِتَنَالَ بِذَلِكَ أَجْرَ صِلَةِ الرَّحِمِ وَلِيَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِأَجْرِ الْمُمَاثِلَةِ لِأُجُورِهِمْ الَّتِي تَرَكُوا الْأَمْرَ الْمُحَرَّمَ مِنْ أَجْلِهَا وَبِالتَّالِي يَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِلْأَجْرِ وَالثَّوَابِ
Sesi pertanyaan. Ummu Su’ud bertanya bahwa dirinya sering mendapatkan gangguan dari sebagian kerabatnya. Hal tersebut membuatnya sedih dan terluka. Ia pun terus-menerus teringat gangguan itu, hingga terkadang ia mendoakan keburukan bagi orang yang telah menyakiti dan menzaliminya. Apakah perasaan yang dirasakan ini, seperti sedih dan duka, serta tindakan mendoakan keburukan untuk orang yang menzaliminya, apakah dibolehkan atau tidak? Allah telah menetapkan dunia sebagai tempat ujian dan musibah-musibah. Tidak ada seorang pun yang selamat dari musibah di dunia ini, sehebat apa pun derajatnya. Oleh karena itu, setiap insan hendaknya merenungi keadaan orang-orang yang tertimpa musibah, terutama apa yang menimpa para nabi ‘alaihimus salam. Mereka pun disakiti di jalan Allah karena mereka menyeru kepada tauhid dan memerintahkan untuk beribadah kepada Allah Jalla wa ‘ala. Salah satu bentuk gangguan terbesar yang menimpa mereka, justru datang dari keluarga mereka sendiri. Maka lihatlah keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang dilakukan oleh pamannya, saudara kandung ayah beliau, Abu Lahab, bagaimana ia mencela dan merendahkan kedudukan Rasulullah. Lihat pula apa yang dilakukan oleh sepupu beliau lainnya dari kalangan Quraisy. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar atas gangguan mereka. Beliau menanggung segala bentuk penderitaan yang menimpa beliau. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintahkan untuk mencontohnya. Ketika dikatakan kepada beliau: “Doakan keburukan atas Quraisy!” Beliau justru berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.” Ini menunjukkan kepada Anda bahwa seorang insan hendaklah mengharapkan pahala dengan mendoakan kebaikan bagi kerabatnya, meskipun mereka menyakitinya. Adapun berkaitan dengan ucapan: “Cukuplah Allah bagiku” atau “Allah akan membelaku,” maka tidaklah mengapa mengucapkannya. Namun, selayaknya ketika Anda berdoa agar Allah menghentikan gangguan kerabat Anda, niatkanlah agar Allah meringankan dosa dan kesalahan mereka. Dengan niat seperti ini, Anda bisa mendapatkan pahala dari silaturahmi, dan agar ini menjadi sebab Anda meraih pahala yang setara dengan pahala mereka, ketika mereka meninggalkan perkara haram karenanya. Dengan begitu, itu menjadi sebab bagi Anda untuk memperoleh pahala dan ganjaran dari Allah. ==== الْأَسْئِلَةُ أُمُّ سُعُودٍ سَأَلَتْ تَقُولُ إِنَّهَا تَتَعَرَّضُ لِبَعْضِ الْأَذَى مِنْ بَعْضِ أَقَارِبِهَا وَبِسَبَبِ ذَلِكَ تَشْعُرُ بِنَوْعٍ مِنَ الْحُزْنِ وَدَائِمًا تَتَذَكَّرُ مِثْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَرُبَّمَا تَدْعِي عَلَى مَنْ آذَاهَا وَظَلَمَهَا هَلْ مِثْلُ هَذِهِ الْمَشَاعِرِ الَّتِي تَشْعُرُ بِهَا مِنَ الْحُزْنِ وَمِنَ الْأَسَى وَمِنْ أَيْضًا الدُّعَاءِ عَلَى مَنْ ظَلَمَهَا هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ قَضَى اللَّهُ الدُّنْيَا عَلَى أَنْ تَكُونَ مَحَلَّ إِيْلَامٍ وَمَحَلَّ مَصَاعِبَ وَلَا يَسْلَمُ فِي الدُّنْيَا أَحَدٌ مِنْ أَنْ يَنَالَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَصَائِبِ مَهْمَا بَلَغَتْ مَنْزِلَتُهُ وَلِذَلِكَ عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى أَحْوَالِ هَؤُلَاءِ الْمُصَابِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ مَا أُصِيبَ بِهِ أَنْبِيَاءُ اللَّهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَقَدْ أُوْذُوا فِي اللَّهِ مِنْ أَجْلِ كَوْنِهِمْ دَعَوْا إِلَى التَّوْحِيْدِ وَأَمَرُوا بِعِبَادَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ مَا نَالَهُمْ مِنَ الْأَذَى مِنْ قَرَابَاتِهِمْ وَلِذَا انْظُرْ إِلَى حَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا فَعَلَهُ مَعَهُ عَمُّهُ أَخُو وَالِدِهِ أَبُو لَهَبٍ وَكَيْفَ أَنَّهُ كَانَ يُسَفِّهُ بِهِ وَيَسْتَنْقِصُ مِنْ مَكَانَتِهِ انْظُر إِلَى مَا فَعَلَهُ بَقِيَّةُ أَبْنَاءِ عَمِّهِ مِنْ قَبِيلَةِ قُرَيْشٍ وَمَعَ ذَلِكَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ وَيَتَحَمَّلُ مَا يَنَالُهُ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَذَى فَهَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي أُمِرْنَا بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ وَلَمَّا قِيلَ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُ عَلَى قُرَيْشٍ قَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي الدُّعَاءِ لِقَرَابَتِهِ وَلَوْ كَانُوا يُؤْذُونَهُ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِقَوْلِ حَسْبِيَ اللَّهُ أَوْ يَكْفِيْنِي اللَّهُ فَهَذَا لَا حَرَجَ عَلَى الْإِنْسَانِ فِيهِ فَيَنْبَغِي بِكَ مَتَى دَعَوْتَ لِقَرَابَتِكَ بِأَنْ يَكُفَّ اللَّهُ أَذَاهُمْ عَنْكَ أَنْ تَنْوِيَ بِذَلِكَ أَنْ تُخَفِّفَ مِنْ آثَامِهِمْ وَأَنْ تُقَلِّلَ مِنْ ذُنُوبِهِمْ لِتَنَالَ بِذَلِكَ أَجْرَ صِلَةِ الرَّحِمِ وَلِيَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِأَجْرِ الْمُمَاثِلَةِ لِأُجُورِهِمْ الَّتِي تَرَكُوا الْأَمْرَ الْمُحَرَّمَ مِنْ أَجْلِهَا وَبِالتَّالِي يَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِلْأَجْرِ وَالثَّوَابِ


Sesi pertanyaan. Ummu Su’ud bertanya bahwa dirinya sering mendapatkan gangguan dari sebagian kerabatnya. Hal tersebut membuatnya sedih dan terluka. Ia pun terus-menerus teringat gangguan itu, hingga terkadang ia mendoakan keburukan bagi orang yang telah menyakiti dan menzaliminya. Apakah perasaan yang dirasakan ini, seperti sedih dan duka, serta tindakan mendoakan keburukan untuk orang yang menzaliminya, apakah dibolehkan atau tidak? Allah telah menetapkan dunia sebagai tempat ujian dan musibah-musibah. Tidak ada seorang pun yang selamat dari musibah di dunia ini, sehebat apa pun derajatnya. Oleh karena itu, setiap insan hendaknya merenungi keadaan orang-orang yang tertimpa musibah, terutama apa yang menimpa para nabi ‘alaihimus salam. Mereka pun disakiti di jalan Allah karena mereka menyeru kepada tauhid dan memerintahkan untuk beribadah kepada Allah Jalla wa ‘ala. Salah satu bentuk gangguan terbesar yang menimpa mereka, justru datang dari keluarga mereka sendiri. Maka lihatlah keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang dilakukan oleh pamannya, saudara kandung ayah beliau, Abu Lahab, bagaimana ia mencela dan merendahkan kedudukan Rasulullah. Lihat pula apa yang dilakukan oleh sepupu beliau lainnya dari kalangan Quraisy. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar atas gangguan mereka. Beliau menanggung segala bentuk penderitaan yang menimpa beliau. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintahkan untuk mencontohnya. Ketika dikatakan kepada beliau: “Doakan keburukan atas Quraisy!” Beliau justru berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.” Ini menunjukkan kepada Anda bahwa seorang insan hendaklah mengharapkan pahala dengan mendoakan kebaikan bagi kerabatnya, meskipun mereka menyakitinya. Adapun berkaitan dengan ucapan: “Cukuplah Allah bagiku” atau “Allah akan membelaku,” maka tidaklah mengapa mengucapkannya. Namun, selayaknya ketika Anda berdoa agar Allah menghentikan gangguan kerabat Anda, niatkanlah agar Allah meringankan dosa dan kesalahan mereka. Dengan niat seperti ini, Anda bisa mendapatkan pahala dari silaturahmi, dan agar ini menjadi sebab Anda meraih pahala yang setara dengan pahala mereka, ketika mereka meninggalkan perkara haram karenanya. Dengan begitu, itu menjadi sebab bagi Anda untuk memperoleh pahala dan ganjaran dari Allah. ==== الْأَسْئِلَةُ أُمُّ سُعُودٍ سَأَلَتْ تَقُولُ إِنَّهَا تَتَعَرَّضُ لِبَعْضِ الْأَذَى مِنْ بَعْضِ أَقَارِبِهَا وَبِسَبَبِ ذَلِكَ تَشْعُرُ بِنَوْعٍ مِنَ الْحُزْنِ وَدَائِمًا تَتَذَكَّرُ مِثْلَ هَذَا الْأَمْرِ وَرُبَّمَا تَدْعِي عَلَى مَنْ آذَاهَا وَظَلَمَهَا هَلْ مِثْلُ هَذِهِ الْمَشَاعِرِ الَّتِي تَشْعُرُ بِهَا مِنَ الْحُزْنِ وَمِنَ الْأَسَى وَمِنْ أَيْضًا الدُّعَاءِ عَلَى مَنْ ظَلَمَهَا هَلْ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ أَمْ لَا؟ قَضَى اللَّهُ الدُّنْيَا عَلَى أَنْ تَكُونَ مَحَلَّ إِيْلَامٍ وَمَحَلَّ مَصَاعِبَ وَلَا يَسْلَمُ فِي الدُّنْيَا أَحَدٌ مِنْ أَنْ يَنَالَهُ شَيْءٌ مِنَ الْمَصَائِبِ مَهْمَا بَلَغَتْ مَنْزِلَتُهُ وَلِذَلِكَ عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى أَحْوَالِ هَؤُلَاءِ الْمُصَابِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ مَا أُصِيبَ بِهِ أَنْبِيَاءُ اللَّهِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَقَدْ أُوْذُوا فِي اللَّهِ مِنْ أَجْلِ كَوْنِهِمْ دَعَوْا إِلَى التَّوْحِيْدِ وَأَمَرُوا بِعِبَادَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ مَا نَالَهُمْ مِنَ الْأَذَى مِنْ قَرَابَاتِهِمْ وَلِذَا انْظُرْ إِلَى حَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا فَعَلَهُ مَعَهُ عَمُّهُ أَخُو وَالِدِهِ أَبُو لَهَبٍ وَكَيْفَ أَنَّهُ كَانَ يُسَفِّهُ بِهِ وَيَسْتَنْقِصُ مِنْ مَكَانَتِهِ انْظُر إِلَى مَا فَعَلَهُ بَقِيَّةُ أَبْنَاءِ عَمِّهِ مِنْ قَبِيلَةِ قُرَيْشٍ وَمَعَ ذَلِكَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ وَيَتَحَمَّلُ مَا يَنَالُهُ مِنْ أَنْوَاعِ الْأَذَى فَهَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي أُمِرْنَا بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ وَلَمَّا قِيلَ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُدْعُ عَلَى قُرَيْشٍ قَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ الْإِنْسَانَ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي الدُّعَاءِ لِقَرَابَتِهِ وَلَوْ كَانُوا يُؤْذُونَهُ وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِقَوْلِ حَسْبِيَ اللَّهُ أَوْ يَكْفِيْنِي اللَّهُ فَهَذَا لَا حَرَجَ عَلَى الْإِنْسَانِ فِيهِ فَيَنْبَغِي بِكَ مَتَى دَعَوْتَ لِقَرَابَتِكَ بِأَنْ يَكُفَّ اللَّهُ أَذَاهُمْ عَنْكَ أَنْ تَنْوِيَ بِذَلِكَ أَنْ تُخَفِّفَ مِنْ آثَامِهِمْ وَأَنْ تُقَلِّلَ مِنْ ذُنُوبِهِمْ لِتَنَالَ بِذَلِكَ أَجْرَ صِلَةِ الرَّحِمِ وَلِيَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِأَجْرِ الْمُمَاثِلَةِ لِأُجُورِهِمْ الَّتِي تَرَكُوا الْأَمْرَ الْمُحَرَّمَ مِنْ أَجْلِهَا وَبِالتَّالِي يَكُونَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ نَيْلِكَ لِلْأَجْرِ وَالثَّوَابِ

Saat Istri Puasa Sunnah Syawal dan Suami Mengajak: Mana yang Lebih Utama?

Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami?Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA? Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama.Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ“Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854).Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya.Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu.Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami.Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ.“Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174) KesimpulanJika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Referensi:Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid – Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga

Saat Istri Puasa Sunnah Syawal dan Suami Mengajak: Mana yang Lebih Utama?

Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami?Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA? Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama.Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ“Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854).Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya.Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu.Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami.Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ.“Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174) KesimpulanJika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Referensi:Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid – Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga
Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami?Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA? Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama.Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ“Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854).Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya.Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu.Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami.Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ.“Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174) KesimpulanJika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Referensi:Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid – Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga


Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami?Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?<span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span> Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama.Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ“Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854).Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya.Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu.Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami.Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ.“Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174) KesimpulanJika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Referensi:Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid – Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga
Prev     Next