Kisah Sa’ad bin Abi Waqash (Bag. 1): Keutamaan-Keutamaan Sa’ad bin Abi Waqash

Daftar Isi Toggle Awal kehidupan dan masuk IslamnyaSa’ad merupakan seorang penjaga NabiOrang yang pertama kali melesatkan panah di jalan IslamDoa Sa’ad yang mustajabZuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Awal kehidupan dan masuk Islamnya Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kisahnya perlu untuk diketahui dan diteladani oleh kaum muslimin. Beliau merupakan seorang sahabat yang mulia yang merupakan satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga, seorang pejuang yang hebat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di semua peperangan yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ikuti dan juga merupakan pahlawan di pertempuran Qadisiyyah. Sa’ad lahir di Makkah, ia merupakan seorang yang memiliki nasab yang mulia. Ayahnya adalah Abu Waqash Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah dari Bani Zuhrah. Sa’ad bin Abi Waqash juga merupakan paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dari jalur ibu. Sa’ad merupakan paman yang dicintai dan dibanggakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, كنا جلوساً عند النبي ﷺ فأقبل سعد بن أبي وقاص فقال : هذا خالی فلیرنی امرو خاله “Dahulu kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah Sa’ad bin Abi Waqash, maka Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah pamanku, maka siapa yang mau mengabarkan padaku pamannya.’“ (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak) Sa’ad yang masih muda sudah memiliki, menghimpun kematangan orang dewasa, dan hikmah orang tua. Di usianya yang muda, ia sudah menyadari dan tidak senang dengan keadaan masa jahiliah yang penuh kegelapan dan hatinya sangat merindukan adanya tokoh yang mampu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah. Masa muda Sa’ad tidak dihabiskan untuk bermain-main sebagaimana pemuda umumnya. Sa’ad lebih senang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merawat busur, menajamkan anak panah, dan berlatih memanah. Seakan-akan ia ingin menyiapkan dirinya untuk hal yang besar. Ketika Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam diutus menjadi Rasul, hidayah memasuki hati Sa’ad bin Abi Waqash dan ia pun masuk Islam. Masuk Islamnya Sa’ad tidak berjalan mulus, ibu Sa’ad bin Abi Waqash tidak setuju dengan keislaman Sa’ad bin Abi Waqash dan memerintahkan Sa’ad untuk keluar dari Islam. Bagi seorang pemuda yang berbakti pada orang tuanya, hal ini merupakan cobaan yang cukup berat. Ibu Sa’ad mengancam Sa’ad untuk tidak makan dan minum hingga Sa’ad keluar dari Islam dan jika ia meninggal, Sa’ad akan disalahkan sebagai pembunuh ibunya. Ketika Sa’ad melihat ibunya yang lemah setelah tidak makan dan minum, Sa’ad pun berkata, يا أمه !تعلمين والله لو كان لك مئه نفس، فخرجت نفسا نفساً، ما تركت ديني. إن شئت فكلي أو لا تأكلي. فلما رأت ذلك أكلت. “Wahai ibunda! Ketahuilah, demi Allah, jika Anda memiliki seratus nyawa dan keluar nyawa tersebut satu persatu, tidak akan aku tinggalkan agamaku. Jika engkau mau, makanlah atau tidak makan. Ketika melihat hal tersebut, ibunya pun makan.” (HR. Muslim) Cobaan Sa’ad ini Allah abadikan pada surah Al-Ankabut ayat 8, وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًاۗ وَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَاۗ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ “Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8) Sa’ad merupakan seorang penjaga Nabi Sa’ad bin Abi Waqash merupakan paman Nabi yang kecintaannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah besar, hingga ia berkeinginan menyerahkan jiwa dan hartanya untuk membela Rasulullah. Saking cintanya Sa’ad bin Abi Waqash kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau radhiyallahu ’anhu siap untuk selalu menjaga Rasulullah. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, أرق رسول الله ﷺ ذات ليلة، فقال: ليت رجلاً صالحاً من أصحابي يحرسني الليلة. قالت: فسمعنا صوت السلاح، فقال رسول الله: من هذا؟ قال سعد بن أبي وقاص أنا يا رسول الله جئت أحرسك، فنام رسول الله ﷺ حتى سمعت غطيطه. Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa tidur, lalu ia berkata, “Seandainya ada seorang lelaki saleh dari sahabatku yang menjagaku di malam hari.” Aisyah berkata, “Kami mendengar suara senjata.” Maka, Rasulullah berkata, “Siapa itu?” Sa’ad bin Abi Waqash menjawab, “Saya wahai Rasulullah, aku datang untuk menjagamu.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidur hingga aku mendengar suara dengkurannya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Orang yang pertama kali melesatkan panah di jalan Islam Masa muda Sa’ad bin Abi Waqash yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memanah terbukti tidak sia-sia. Ia merupakan salah satu pemanah terhebat yang pernah ada dan merupakan orang yang pertama kali melesatkan anak panah di jalan Allah. Dikisahkan oleh Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, وكان سعد ـ رضى الله عنه – هو أول من رمى بسهم في سبيل الله.عن الزهري قال : بعث رسول الله سرية فيها سعد بن أبي وقاص إلى جانب من الحجاز يدعى )رابغ (وهو من جانب الجحفة. فانكفأ المشركون على المسلمين، فحماهم سعد يومئذ بسهامه فكان هذا أول قتال في الإسلم “Sa’ad radhiyallahu ’anhu merupakan yang pertama melesatkan anak panah di jalan Allah. Dari Zuhri, ia berkata, ‘Rasulullah mengutus pasukan yang di dalamnya ada Sa’ad bin Abi Waqash ke daerah di Hijaz yang bernama Rabi’ di sebelah Juhfah. Lalu, kaum musyrikin memukul mundur kaum muslimin. Maka, ketika itu Sa’ad pun melindungi mereka dengan anak panahnya. Itu adalah pertempuran pertama dalam Islam.” (Sirah li Ibni Hisyam, 1: 594-595) Doa Sa’ad yang mustajab Di antara keutamaan Sa’ad adalah Allah menganugerahkan kepadanya doa yang mustajab. Hal tersebut dikarenakan barakah dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Sa’ad. Rasulullah mendoakan Sa’ad, اللهم استجب لسعد إذا دعاك “Ya Allah, kabulkanlah Saad jika ia berdoa padamu.” (HR. Tirmidzi) Di antara contoh mustajabnya doa Sa’ad adalah ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seseorang yang menjelek-jelekkan Sa’ad bin Abi Waqash, yaitu Usamah bin Qatadah. Ia menuduh bahwa Sa’ad tidak memimpin pasukan, tidak membagikan pembagian secara merata, dan hakim yang tidak adil. Mendengar hal tersebut, Sa’ad pun mendoakannya dengan tiga hal, اللهم إن كان عبدك هذا كاذبا قام رياء وسمعة فأطل عمره وأطل فقره وعَرَّضه للفتن “Ya Allah, jika hambamu ini berbohong, ia berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan jerumuskanlah ia pada fitnah.” (HR. Bukhari) Seiring berjalannya waktu, doa Sa’ad pun terealisasikan. Orang tersebut panjang umurnya hingga alisnya menutupi kedua matanya karena tua, ia di pinggir jalan mengedip-ngedipkan matanya pada para perempuan. Zuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu meyakini bahwa setiap kenikmatan selain kenikmatan surga adalah fatamorgana, setiap siksaan selain siksa neraka adalah ringan. Maka, Sa’ad tidak berambisi, kecuali berambisi untuk meraih surga. Sehingga, walaupun ia merupakan sahabat yang mulia, paman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak mengharapkan mendapatkan posisi sebagai pemimpin, bahkan menolak jabatan dan kekuasaan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Saad, عن عامر بن سعد أن أباه سعدا، كان في غنم له، فجاء ابنه عمر، فلما رآه قال: أعوذ بالله من شر هذا الراكب فلما انتهى إليه قال: يا أبت أرضيت أن تكون أعرابيا في غنمك، والناس يتنازعون فى الملك بالمدينة، فضرب صدر عمر، وقال: اسكت، فإني سمعت رسول الله ﷺ يقول: «إن الله – عز وجل – يحب العبد التقى الغنى الخفى Dari Amir bin Sa’ad, bahwa ayahnya Sa’ad (bin Abi Waqash) sedang menggembala kambingnya, lalu datang anaknya, Umar. Ketika melihat Umar, Sa’ad berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini.” Ketika ia sampai padanya Umar berkata, “Wahai ayahku, apakah ayah rida menjadi orang pedalaman menggembala kambing, sedangkan orang-orang berebut kekuasaan di Madinah.” Lalu, Sa’ad menepuk dada Umar dan berkata, “Diamlah, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla mencintai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan tidak dikenal.'” (HR. Muslim) Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash

Kisah Sa’ad bin Abi Waqash (Bag. 1): Keutamaan-Keutamaan Sa’ad bin Abi Waqash

Daftar Isi Toggle Awal kehidupan dan masuk IslamnyaSa’ad merupakan seorang penjaga NabiOrang yang pertama kali melesatkan panah di jalan IslamDoa Sa’ad yang mustajabZuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Awal kehidupan dan masuk Islamnya Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kisahnya perlu untuk diketahui dan diteladani oleh kaum muslimin. Beliau merupakan seorang sahabat yang mulia yang merupakan satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga, seorang pejuang yang hebat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di semua peperangan yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ikuti dan juga merupakan pahlawan di pertempuran Qadisiyyah. Sa’ad lahir di Makkah, ia merupakan seorang yang memiliki nasab yang mulia. Ayahnya adalah Abu Waqash Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah dari Bani Zuhrah. Sa’ad bin Abi Waqash juga merupakan paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dari jalur ibu. Sa’ad merupakan paman yang dicintai dan dibanggakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, كنا جلوساً عند النبي ﷺ فأقبل سعد بن أبي وقاص فقال : هذا خالی فلیرنی امرو خاله “Dahulu kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah Sa’ad bin Abi Waqash, maka Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah pamanku, maka siapa yang mau mengabarkan padaku pamannya.’“ (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak) Sa’ad yang masih muda sudah memiliki, menghimpun kematangan orang dewasa, dan hikmah orang tua. Di usianya yang muda, ia sudah menyadari dan tidak senang dengan keadaan masa jahiliah yang penuh kegelapan dan hatinya sangat merindukan adanya tokoh yang mampu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah. Masa muda Sa’ad tidak dihabiskan untuk bermain-main sebagaimana pemuda umumnya. Sa’ad lebih senang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merawat busur, menajamkan anak panah, dan berlatih memanah. Seakan-akan ia ingin menyiapkan dirinya untuk hal yang besar. Ketika Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam diutus menjadi Rasul, hidayah memasuki hati Sa’ad bin Abi Waqash dan ia pun masuk Islam. Masuk Islamnya Sa’ad tidak berjalan mulus, ibu Sa’ad bin Abi Waqash tidak setuju dengan keislaman Sa’ad bin Abi Waqash dan memerintahkan Sa’ad untuk keluar dari Islam. Bagi seorang pemuda yang berbakti pada orang tuanya, hal ini merupakan cobaan yang cukup berat. Ibu Sa’ad mengancam Sa’ad untuk tidak makan dan minum hingga Sa’ad keluar dari Islam dan jika ia meninggal, Sa’ad akan disalahkan sebagai pembunuh ibunya. Ketika Sa’ad melihat ibunya yang lemah setelah tidak makan dan minum, Sa’ad pun berkata, يا أمه !تعلمين والله لو كان لك مئه نفس، فخرجت نفسا نفساً، ما تركت ديني. إن شئت فكلي أو لا تأكلي. فلما رأت ذلك أكلت. “Wahai ibunda! Ketahuilah, demi Allah, jika Anda memiliki seratus nyawa dan keluar nyawa tersebut satu persatu, tidak akan aku tinggalkan agamaku. Jika engkau mau, makanlah atau tidak makan. Ketika melihat hal tersebut, ibunya pun makan.” (HR. Muslim) Cobaan Sa’ad ini Allah abadikan pada surah Al-Ankabut ayat 8, وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًاۗ وَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَاۗ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ “Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8) Sa’ad merupakan seorang penjaga Nabi Sa’ad bin Abi Waqash merupakan paman Nabi yang kecintaannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah besar, hingga ia berkeinginan menyerahkan jiwa dan hartanya untuk membela Rasulullah. Saking cintanya Sa’ad bin Abi Waqash kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau radhiyallahu ’anhu siap untuk selalu menjaga Rasulullah. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, أرق رسول الله ﷺ ذات ليلة، فقال: ليت رجلاً صالحاً من أصحابي يحرسني الليلة. قالت: فسمعنا صوت السلاح، فقال رسول الله: من هذا؟ قال سعد بن أبي وقاص أنا يا رسول الله جئت أحرسك، فنام رسول الله ﷺ حتى سمعت غطيطه. Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa tidur, lalu ia berkata, “Seandainya ada seorang lelaki saleh dari sahabatku yang menjagaku di malam hari.” Aisyah berkata, “Kami mendengar suara senjata.” Maka, Rasulullah berkata, “Siapa itu?” Sa’ad bin Abi Waqash menjawab, “Saya wahai Rasulullah, aku datang untuk menjagamu.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidur hingga aku mendengar suara dengkurannya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Orang yang pertama kali melesatkan panah di jalan Islam Masa muda Sa’ad bin Abi Waqash yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memanah terbukti tidak sia-sia. Ia merupakan salah satu pemanah terhebat yang pernah ada dan merupakan orang yang pertama kali melesatkan anak panah di jalan Allah. Dikisahkan oleh Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, وكان سعد ـ رضى الله عنه – هو أول من رمى بسهم في سبيل الله.عن الزهري قال : بعث رسول الله سرية فيها سعد بن أبي وقاص إلى جانب من الحجاز يدعى )رابغ (وهو من جانب الجحفة. فانكفأ المشركون على المسلمين، فحماهم سعد يومئذ بسهامه فكان هذا أول قتال في الإسلم “Sa’ad radhiyallahu ’anhu merupakan yang pertama melesatkan anak panah di jalan Allah. Dari Zuhri, ia berkata, ‘Rasulullah mengutus pasukan yang di dalamnya ada Sa’ad bin Abi Waqash ke daerah di Hijaz yang bernama Rabi’ di sebelah Juhfah. Lalu, kaum musyrikin memukul mundur kaum muslimin. Maka, ketika itu Sa’ad pun melindungi mereka dengan anak panahnya. Itu adalah pertempuran pertama dalam Islam.” (Sirah li Ibni Hisyam, 1: 594-595) Doa Sa’ad yang mustajab Di antara keutamaan Sa’ad adalah Allah menganugerahkan kepadanya doa yang mustajab. Hal tersebut dikarenakan barakah dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Sa’ad. Rasulullah mendoakan Sa’ad, اللهم استجب لسعد إذا دعاك “Ya Allah, kabulkanlah Saad jika ia berdoa padamu.” (HR. Tirmidzi) Di antara contoh mustajabnya doa Sa’ad adalah ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seseorang yang menjelek-jelekkan Sa’ad bin Abi Waqash, yaitu Usamah bin Qatadah. Ia menuduh bahwa Sa’ad tidak memimpin pasukan, tidak membagikan pembagian secara merata, dan hakim yang tidak adil. Mendengar hal tersebut, Sa’ad pun mendoakannya dengan tiga hal, اللهم إن كان عبدك هذا كاذبا قام رياء وسمعة فأطل عمره وأطل فقره وعَرَّضه للفتن “Ya Allah, jika hambamu ini berbohong, ia berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan jerumuskanlah ia pada fitnah.” (HR. Bukhari) Seiring berjalannya waktu, doa Sa’ad pun terealisasikan. Orang tersebut panjang umurnya hingga alisnya menutupi kedua matanya karena tua, ia di pinggir jalan mengedip-ngedipkan matanya pada para perempuan. Zuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu meyakini bahwa setiap kenikmatan selain kenikmatan surga adalah fatamorgana, setiap siksaan selain siksa neraka adalah ringan. Maka, Sa’ad tidak berambisi, kecuali berambisi untuk meraih surga. Sehingga, walaupun ia merupakan sahabat yang mulia, paman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak mengharapkan mendapatkan posisi sebagai pemimpin, bahkan menolak jabatan dan kekuasaan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Saad, عن عامر بن سعد أن أباه سعدا، كان في غنم له، فجاء ابنه عمر، فلما رآه قال: أعوذ بالله من شر هذا الراكب فلما انتهى إليه قال: يا أبت أرضيت أن تكون أعرابيا في غنمك، والناس يتنازعون فى الملك بالمدينة، فضرب صدر عمر، وقال: اسكت، فإني سمعت رسول الله ﷺ يقول: «إن الله – عز وجل – يحب العبد التقى الغنى الخفى Dari Amir bin Sa’ad, bahwa ayahnya Sa’ad (bin Abi Waqash) sedang menggembala kambingnya, lalu datang anaknya, Umar. Ketika melihat Umar, Sa’ad berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini.” Ketika ia sampai padanya Umar berkata, “Wahai ayahku, apakah ayah rida menjadi orang pedalaman menggembala kambing, sedangkan orang-orang berebut kekuasaan di Madinah.” Lalu, Sa’ad menepuk dada Umar dan berkata, “Diamlah, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla mencintai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan tidak dikenal.'” (HR. Muslim) Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash
Daftar Isi Toggle Awal kehidupan dan masuk IslamnyaSa’ad merupakan seorang penjaga NabiOrang yang pertama kali melesatkan panah di jalan IslamDoa Sa’ad yang mustajabZuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Awal kehidupan dan masuk Islamnya Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kisahnya perlu untuk diketahui dan diteladani oleh kaum muslimin. Beliau merupakan seorang sahabat yang mulia yang merupakan satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga, seorang pejuang yang hebat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di semua peperangan yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ikuti dan juga merupakan pahlawan di pertempuran Qadisiyyah. Sa’ad lahir di Makkah, ia merupakan seorang yang memiliki nasab yang mulia. Ayahnya adalah Abu Waqash Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah dari Bani Zuhrah. Sa’ad bin Abi Waqash juga merupakan paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dari jalur ibu. Sa’ad merupakan paman yang dicintai dan dibanggakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, كنا جلوساً عند النبي ﷺ فأقبل سعد بن أبي وقاص فقال : هذا خالی فلیرنی امرو خاله “Dahulu kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah Sa’ad bin Abi Waqash, maka Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah pamanku, maka siapa yang mau mengabarkan padaku pamannya.’“ (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak) Sa’ad yang masih muda sudah memiliki, menghimpun kematangan orang dewasa, dan hikmah orang tua. Di usianya yang muda, ia sudah menyadari dan tidak senang dengan keadaan masa jahiliah yang penuh kegelapan dan hatinya sangat merindukan adanya tokoh yang mampu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah. Masa muda Sa’ad tidak dihabiskan untuk bermain-main sebagaimana pemuda umumnya. Sa’ad lebih senang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merawat busur, menajamkan anak panah, dan berlatih memanah. Seakan-akan ia ingin menyiapkan dirinya untuk hal yang besar. Ketika Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam diutus menjadi Rasul, hidayah memasuki hati Sa’ad bin Abi Waqash dan ia pun masuk Islam. Masuk Islamnya Sa’ad tidak berjalan mulus, ibu Sa’ad bin Abi Waqash tidak setuju dengan keislaman Sa’ad bin Abi Waqash dan memerintahkan Sa’ad untuk keluar dari Islam. Bagi seorang pemuda yang berbakti pada orang tuanya, hal ini merupakan cobaan yang cukup berat. Ibu Sa’ad mengancam Sa’ad untuk tidak makan dan minum hingga Sa’ad keluar dari Islam dan jika ia meninggal, Sa’ad akan disalahkan sebagai pembunuh ibunya. Ketika Sa’ad melihat ibunya yang lemah setelah tidak makan dan minum, Sa’ad pun berkata, يا أمه !تعلمين والله لو كان لك مئه نفس، فخرجت نفسا نفساً، ما تركت ديني. إن شئت فكلي أو لا تأكلي. فلما رأت ذلك أكلت. “Wahai ibunda! Ketahuilah, demi Allah, jika Anda memiliki seratus nyawa dan keluar nyawa tersebut satu persatu, tidak akan aku tinggalkan agamaku. Jika engkau mau, makanlah atau tidak makan. Ketika melihat hal tersebut, ibunya pun makan.” (HR. Muslim) Cobaan Sa’ad ini Allah abadikan pada surah Al-Ankabut ayat 8, وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًاۗ وَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَاۗ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ “Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8) Sa’ad merupakan seorang penjaga Nabi Sa’ad bin Abi Waqash merupakan paman Nabi yang kecintaannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah besar, hingga ia berkeinginan menyerahkan jiwa dan hartanya untuk membela Rasulullah. Saking cintanya Sa’ad bin Abi Waqash kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau radhiyallahu ’anhu siap untuk selalu menjaga Rasulullah. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, أرق رسول الله ﷺ ذات ليلة، فقال: ليت رجلاً صالحاً من أصحابي يحرسني الليلة. قالت: فسمعنا صوت السلاح، فقال رسول الله: من هذا؟ قال سعد بن أبي وقاص أنا يا رسول الله جئت أحرسك، فنام رسول الله ﷺ حتى سمعت غطيطه. Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa tidur, lalu ia berkata, “Seandainya ada seorang lelaki saleh dari sahabatku yang menjagaku di malam hari.” Aisyah berkata, “Kami mendengar suara senjata.” Maka, Rasulullah berkata, “Siapa itu?” Sa’ad bin Abi Waqash menjawab, “Saya wahai Rasulullah, aku datang untuk menjagamu.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidur hingga aku mendengar suara dengkurannya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Orang yang pertama kali melesatkan panah di jalan Islam Masa muda Sa’ad bin Abi Waqash yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memanah terbukti tidak sia-sia. Ia merupakan salah satu pemanah terhebat yang pernah ada dan merupakan orang yang pertama kali melesatkan anak panah di jalan Allah. Dikisahkan oleh Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, وكان سعد ـ رضى الله عنه – هو أول من رمى بسهم في سبيل الله.عن الزهري قال : بعث رسول الله سرية فيها سعد بن أبي وقاص إلى جانب من الحجاز يدعى )رابغ (وهو من جانب الجحفة. فانكفأ المشركون على المسلمين، فحماهم سعد يومئذ بسهامه فكان هذا أول قتال في الإسلم “Sa’ad radhiyallahu ’anhu merupakan yang pertama melesatkan anak panah di jalan Allah. Dari Zuhri, ia berkata, ‘Rasulullah mengutus pasukan yang di dalamnya ada Sa’ad bin Abi Waqash ke daerah di Hijaz yang bernama Rabi’ di sebelah Juhfah. Lalu, kaum musyrikin memukul mundur kaum muslimin. Maka, ketika itu Sa’ad pun melindungi mereka dengan anak panahnya. Itu adalah pertempuran pertama dalam Islam.” (Sirah li Ibni Hisyam, 1: 594-595) Doa Sa’ad yang mustajab Di antara keutamaan Sa’ad adalah Allah menganugerahkan kepadanya doa yang mustajab. Hal tersebut dikarenakan barakah dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Sa’ad. Rasulullah mendoakan Sa’ad, اللهم استجب لسعد إذا دعاك “Ya Allah, kabulkanlah Saad jika ia berdoa padamu.” (HR. Tirmidzi) Di antara contoh mustajabnya doa Sa’ad adalah ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seseorang yang menjelek-jelekkan Sa’ad bin Abi Waqash, yaitu Usamah bin Qatadah. Ia menuduh bahwa Sa’ad tidak memimpin pasukan, tidak membagikan pembagian secara merata, dan hakim yang tidak adil. Mendengar hal tersebut, Sa’ad pun mendoakannya dengan tiga hal, اللهم إن كان عبدك هذا كاذبا قام رياء وسمعة فأطل عمره وأطل فقره وعَرَّضه للفتن “Ya Allah, jika hambamu ini berbohong, ia berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan jerumuskanlah ia pada fitnah.” (HR. Bukhari) Seiring berjalannya waktu, doa Sa’ad pun terealisasikan. Orang tersebut panjang umurnya hingga alisnya menutupi kedua matanya karena tua, ia di pinggir jalan mengedip-ngedipkan matanya pada para perempuan. Zuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu meyakini bahwa setiap kenikmatan selain kenikmatan surga adalah fatamorgana, setiap siksaan selain siksa neraka adalah ringan. Maka, Sa’ad tidak berambisi, kecuali berambisi untuk meraih surga. Sehingga, walaupun ia merupakan sahabat yang mulia, paman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak mengharapkan mendapatkan posisi sebagai pemimpin, bahkan menolak jabatan dan kekuasaan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Saad, عن عامر بن سعد أن أباه سعدا، كان في غنم له، فجاء ابنه عمر، فلما رآه قال: أعوذ بالله من شر هذا الراكب فلما انتهى إليه قال: يا أبت أرضيت أن تكون أعرابيا في غنمك، والناس يتنازعون فى الملك بالمدينة، فضرب صدر عمر، وقال: اسكت، فإني سمعت رسول الله ﷺ يقول: «إن الله – عز وجل – يحب العبد التقى الغنى الخفى Dari Amir bin Sa’ad, bahwa ayahnya Sa’ad (bin Abi Waqash) sedang menggembala kambingnya, lalu datang anaknya, Umar. Ketika melihat Umar, Sa’ad berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini.” Ketika ia sampai padanya Umar berkata, “Wahai ayahku, apakah ayah rida menjadi orang pedalaman menggembala kambing, sedangkan orang-orang berebut kekuasaan di Madinah.” Lalu, Sa’ad menepuk dada Umar dan berkata, “Diamlah, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla mencintai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan tidak dikenal.'” (HR. Muslim) Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash


Daftar Isi Toggle Awal kehidupan dan masuk IslamnyaSa’ad merupakan seorang penjaga NabiOrang yang pertama kali melesatkan panah di jalan IslamDoa Sa’ad yang mustajabZuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Awal kehidupan dan masuk Islamnya Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kisahnya perlu untuk diketahui dan diteladani oleh kaum muslimin. Beliau merupakan seorang sahabat yang mulia yang merupakan satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga, seorang pejuang yang hebat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di semua peperangan yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ikuti dan juga merupakan pahlawan di pertempuran Qadisiyyah. Sa’ad lahir di Makkah, ia merupakan seorang yang memiliki nasab yang mulia. Ayahnya adalah Abu Waqash Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah dari Bani Zuhrah. Sa’ad bin Abi Waqash juga merupakan paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dari jalur ibu. Sa’ad merupakan paman yang dicintai dan dibanggakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, كنا جلوساً عند النبي ﷺ فأقبل سعد بن أبي وقاص فقال : هذا خالی فلیرنی امرو خاله “Dahulu kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah Sa’ad bin Abi Waqash, maka Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah pamanku, maka siapa yang mau mengabarkan padaku pamannya.’“ (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak) Sa’ad yang masih muda sudah memiliki, menghimpun kematangan orang dewasa, dan hikmah orang tua. Di usianya yang muda, ia sudah menyadari dan tidak senang dengan keadaan masa jahiliah yang penuh kegelapan dan hatinya sangat merindukan adanya tokoh yang mampu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah. Masa muda Sa’ad tidak dihabiskan untuk bermain-main sebagaimana pemuda umumnya. Sa’ad lebih senang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merawat busur, menajamkan anak panah, dan berlatih memanah. Seakan-akan ia ingin menyiapkan dirinya untuk hal yang besar. Ketika Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam diutus menjadi Rasul, hidayah memasuki hati Sa’ad bin Abi Waqash dan ia pun masuk Islam. Masuk Islamnya Sa’ad tidak berjalan mulus, ibu Sa’ad bin Abi Waqash tidak setuju dengan keislaman Sa’ad bin Abi Waqash dan memerintahkan Sa’ad untuk keluar dari Islam. Bagi seorang pemuda yang berbakti pada orang tuanya, hal ini merupakan cobaan yang cukup berat. Ibu Sa’ad mengancam Sa’ad untuk tidak makan dan minum hingga Sa’ad keluar dari Islam dan jika ia meninggal, Sa’ad akan disalahkan sebagai pembunuh ibunya. Ketika Sa’ad melihat ibunya yang lemah setelah tidak makan dan minum, Sa’ad pun berkata, يا أمه !تعلمين والله لو كان لك مئه نفس، فخرجت نفسا نفساً، ما تركت ديني. إن شئت فكلي أو لا تأكلي. فلما رأت ذلك أكلت. “Wahai ibunda! Ketahuilah, demi Allah, jika Anda memiliki seratus nyawa dan keluar nyawa tersebut satu persatu, tidak akan aku tinggalkan agamaku. Jika engkau mau, makanlah atau tidak makan. Ketika melihat hal tersebut, ibunya pun makan.” (HR. Muslim) Cobaan Sa’ad ini Allah abadikan pada surah Al-Ankabut ayat 8, وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًاۗ وَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَاۗ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ “Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8) Sa’ad merupakan seorang penjaga Nabi Sa’ad bin Abi Waqash merupakan paman Nabi yang kecintaannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah besar, hingga ia berkeinginan menyerahkan jiwa dan hartanya untuk membela Rasulullah. Saking cintanya Sa’ad bin Abi Waqash kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau radhiyallahu ’anhu siap untuk selalu menjaga Rasulullah. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, أرق رسول الله ﷺ ذات ليلة، فقال: ليت رجلاً صالحاً من أصحابي يحرسني الليلة. قالت: فسمعنا صوت السلاح، فقال رسول الله: من هذا؟ قال سعد بن أبي وقاص أنا يا رسول الله جئت أحرسك، فنام رسول الله ﷺ حتى سمعت غطيطه. Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa tidur, lalu ia berkata, “Seandainya ada seorang lelaki saleh dari sahabatku yang menjagaku di malam hari.” Aisyah berkata, “Kami mendengar suara senjata.” Maka, Rasulullah berkata, “Siapa itu?” Sa’ad bin Abi Waqash menjawab, “Saya wahai Rasulullah, aku datang untuk menjagamu.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidur hingga aku mendengar suara dengkurannya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Orang yang pertama kali melesatkan panah di jalan Islam Masa muda Sa’ad bin Abi Waqash yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memanah terbukti tidak sia-sia. Ia merupakan salah satu pemanah terhebat yang pernah ada dan merupakan orang yang pertama kali melesatkan anak panah di jalan Allah. Dikisahkan oleh Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, وكان سعد ـ رضى الله عنه – هو أول من رمى بسهم في سبيل الله.عن الزهري قال : بعث رسول الله سرية فيها سعد بن أبي وقاص إلى جانب من الحجاز يدعى )رابغ (وهو من جانب الجحفة. فانكفأ المشركون على المسلمين، فحماهم سعد يومئذ بسهامه فكان هذا أول قتال في الإسلم “Sa’ad radhiyallahu ’anhu merupakan yang pertama melesatkan anak panah di jalan Allah. Dari Zuhri, ia berkata, ‘Rasulullah mengutus pasukan yang di dalamnya ada Sa’ad bin Abi Waqash ke daerah di Hijaz yang bernama Rabi’ di sebelah Juhfah. Lalu, kaum musyrikin memukul mundur kaum muslimin. Maka, ketika itu Sa’ad pun melindungi mereka dengan anak panahnya. Itu adalah pertempuran pertama dalam Islam.” (Sirah li Ibni Hisyam, 1: 594-595) Doa Sa’ad yang mustajab Di antara keutamaan Sa’ad adalah Allah menganugerahkan kepadanya doa yang mustajab. Hal tersebut dikarenakan barakah dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Sa’ad. Rasulullah mendoakan Sa’ad, اللهم استجب لسعد إذا دعاك “Ya Allah, kabulkanlah Saad jika ia berdoa padamu.” (HR. Tirmidzi) Di antara contoh mustajabnya doa Sa’ad adalah ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seseorang yang menjelek-jelekkan Sa’ad bin Abi Waqash, yaitu Usamah bin Qatadah. Ia menuduh bahwa Sa’ad tidak memimpin pasukan, tidak membagikan pembagian secara merata, dan hakim yang tidak adil. Mendengar hal tersebut, Sa’ad pun mendoakannya dengan tiga hal, اللهم إن كان عبدك هذا كاذبا قام رياء وسمعة فأطل عمره وأطل فقره وعَرَّضه للفتن “Ya Allah, jika hambamu ini berbohong, ia berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan jerumuskanlah ia pada fitnah.” (HR. Bukhari) Seiring berjalannya waktu, doa Sa’ad pun terealisasikan. Orang tersebut panjang umurnya hingga alisnya menutupi kedua matanya karena tua, ia di pinggir jalan mengedip-ngedipkan matanya pada para perempuan. Zuhudnya Sa’ad terhadap kepemimpinan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu meyakini bahwa setiap kenikmatan selain kenikmatan surga adalah fatamorgana, setiap siksaan selain siksa neraka adalah ringan. Maka, Sa’ad tidak berambisi, kecuali berambisi untuk meraih surga. Sehingga, walaupun ia merupakan sahabat yang mulia, paman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak mengharapkan mendapatkan posisi sebagai pemimpin, bahkan menolak jabatan dan kekuasaan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Saad, عن عامر بن سعد أن أباه سعدا، كان في غنم له، فجاء ابنه عمر، فلما رآه قال: أعوذ بالله من شر هذا الراكب فلما انتهى إليه قال: يا أبت أرضيت أن تكون أعرابيا في غنمك، والناس يتنازعون فى الملك بالمدينة، فضرب صدر عمر، وقال: اسكت، فإني سمعت رسول الله ﷺ يقول: «إن الله – عز وجل – يحب العبد التقى الغنى الخفى Dari Amir bin Sa’ad, bahwa ayahnya Sa’ad (bin Abi Waqash) sedang menggembala kambingnya, lalu datang anaknya, Umar. Ketika melihat Umar, Sa’ad berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini.” Ketika ia sampai padanya Umar berkata, “Wahai ayahku, apakah ayah rida menjadi orang pedalaman menggembala kambing, sedangkan orang-orang berebut kekuasaan di Madinah.” Lalu, Sa’ad menepuk dada Umar dan berkata, “Diamlah, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla mencintai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan tidak dikenal.'” (HR. Muslim) Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash

Doa Saat Kita Merasa Sedih

Daftar Isi Toggle Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihanDoa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihanBagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala.Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala.Bagian ketiga, inti permintaan. Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihan Di antara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah adanya perkara yang berpasangan, ada hidup dan ada mati; ada senang dan ada sedih; ada laki-laki dan ada perempuan; ada sehat dan ada sakit; ada muda dan ada tua. Demikian pula ada dunia dan ada akhirat, ada surga dan neraka. Ketika seseorang memahami sunnatullah ini, dia akan lebih mudah dalam menjalani lika-liku kehidupan ini. Ketika dia sedang dalam kondisi sakit, dia lebih bisa bersabar karena dia sadar tidak mungkin manusia selamanya sehat tidak pernah sakit. Demikian pula saat muda, dia sudah memahami dan menyadari bahwa suatu saat dia akan menua dan lemah, sehingga bisa menerima ketika waktu itu tiba. Demikian pula, ada masa di mana Allah memberikan kebahagiaan dan sebaliknya, ada masa di mana kita tertimpa kesedihan yang membuat kita menangis. Ada saatnya kita tertawa, bahagia, makan enak, dan ada saatnya saat kita bersedih dan menangis. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ “Dan Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Allah Ta’ala berfirman, إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Dengan menyadari hal ini, maka kita pun sadar bahwa kita adalah makhluk, di saat-saat genting, kita membutuhkan Allah Ta’ala. Siapa yang akan menolong kita kecuali Allah Ta’ala? Sehingga ketika tertimpa musibah, kita pun kembali kepada Allah. Allah siapkan perangkat untuk menghadapi musibah, baik itu akal untuk mencari solusi, atau Allah karuniakan kesabaran, atau doa yang Allah ajarkan di saat sulit tersebut. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik Doa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihan اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII. (Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku.) (HR. Ahmad, 1: 391 dan 1: 452, sahih) Doa ini sangat luar biasa makna dan nilainya, sehingga penting bagi kita untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam doa ini. Bagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala. “Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu)”, menunjukkan ketundukan kita kepada Allah Ta’ala, kita mengakui bahwa kita adalah hamba Allah Ta’ala. “Ubun-ubunku di tangan-Mu”, menunjukkan ruh kehidupan kita ada di tangan Allah Ta’ala. Kita bisa berdoa dan beribadah, karena kita diberikan kehidupan oleh Allah Ta’ala. “Keputusan-Mu berlaku padaku”, menunjukkan penerimaan kita terhadap takdir Allah Ta’ala. Ketika hari ini kita sedih, kita menyadari bahwa itu memang takdir dari Allah Ta’ala, dan kita menerima keputusan Allah tersebut dengan lapang dada. Orang yang menerima musibah dengan sabar dan lapang dada, dia kan mendapatkan tiga hal: 1) dia akan mendapatkan pahala, 2) dia akan mudah melaluinya, dan 3) akan mendapatkan solusi dari musibahnya. Sehingga setiap musibah apapun yang menimpa kita, ada ujung kemudahan dan solusi dari Allah Ta’ala. Kita tetap berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berbeda halnya dengan orang yang tertimpa musibah lalu protes, berkeluh kesah, dan tidak bisa menerima. Maka dia mendapatkan dosa karena memprotes keputusan Allah Ta’ala, dia pun akan merasa berat dan sulit melalui musibah tersebut, dan tidak mendapatkan solusi sampai dia kembali kepada Allah Ta’ala. “Ketentuan-Mu kepadaku pasti adil”, Allah yang memberikan musibah kepada kita itu karena keadilan-Nya. Allah mengetahui mengapa Allah berikan cobaan tersebut. Allah tidak akan menguji seorang hamba melebihi kemampuannya. Allah Mahaadil, Allah tahu bahwa kita akan mampu melalui musibah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala. Allah memiliki nama-nama yang mulia, dan kita bertawassul dengan semua nama Allah Ta’ala. Nama-nama Allah tersebut, bisa jadi kita ketahui atau kita belum mengetahuinya. “Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.” Pada bagian kedua ini, kita belum meminta spesifik apa yang kita hajatkan. Bagian ketiga, inti permintaan. “Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku”, semua puji-pujian tadi itu adalah untuk meminta agar Allah menjadikan Al-Quran sebagai penenteram dan penghibur hati kita. Inti dari doa ini adalah Al-Quran, karena semua yang dinisbatkan kepada Al-Quran adalah kemuliaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termuliakan karena Al-Quran. Al-Quran adalah kalamullah, bukan makhluk. Yang hidup dengan Al-Quran, dia akan bahagia. “Cahaya di dadaku”, karena ada hati yang penuh dengan kegelapan, yaitu hati dari orang berbuat maksiat. Oleh karena itu, seorang yang beriman itu sangat peka ketika dia tertimpa musibah, sekecil apapun itu, dia akan menjadikannya sebagai peringatan atas dosa yang dia lakukan. “Pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku”, karena Allah-lah yang mampu melenyapkan dan menghilangkan kesedihan kita secara total. Berbeda dengan manusia, mereka mungkin hanya menghibur dan membesarkan diri kita sesaat saja. Akan tetapi, yang benar-benar melenyapkan kesedihan kita secara total hanyalah Allah Ta’ala. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah *** @10 Shafar 1446/ 15 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Khalid Basalamah, di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=PqFP-t_ZNgA&t=410s Tags: doasedih

Doa Saat Kita Merasa Sedih

Daftar Isi Toggle Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihanDoa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihanBagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala.Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala.Bagian ketiga, inti permintaan. Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihan Di antara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah adanya perkara yang berpasangan, ada hidup dan ada mati; ada senang dan ada sedih; ada laki-laki dan ada perempuan; ada sehat dan ada sakit; ada muda dan ada tua. Demikian pula ada dunia dan ada akhirat, ada surga dan neraka. Ketika seseorang memahami sunnatullah ini, dia akan lebih mudah dalam menjalani lika-liku kehidupan ini. Ketika dia sedang dalam kondisi sakit, dia lebih bisa bersabar karena dia sadar tidak mungkin manusia selamanya sehat tidak pernah sakit. Demikian pula saat muda, dia sudah memahami dan menyadari bahwa suatu saat dia akan menua dan lemah, sehingga bisa menerima ketika waktu itu tiba. Demikian pula, ada masa di mana Allah memberikan kebahagiaan dan sebaliknya, ada masa di mana kita tertimpa kesedihan yang membuat kita menangis. Ada saatnya kita tertawa, bahagia, makan enak, dan ada saatnya saat kita bersedih dan menangis. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ “Dan Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Allah Ta’ala berfirman, إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Dengan menyadari hal ini, maka kita pun sadar bahwa kita adalah makhluk, di saat-saat genting, kita membutuhkan Allah Ta’ala. Siapa yang akan menolong kita kecuali Allah Ta’ala? Sehingga ketika tertimpa musibah, kita pun kembali kepada Allah. Allah siapkan perangkat untuk menghadapi musibah, baik itu akal untuk mencari solusi, atau Allah karuniakan kesabaran, atau doa yang Allah ajarkan di saat sulit tersebut. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik Doa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihan اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII. (Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku.) (HR. Ahmad, 1: 391 dan 1: 452, sahih) Doa ini sangat luar biasa makna dan nilainya, sehingga penting bagi kita untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam doa ini. Bagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala. “Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu)”, menunjukkan ketundukan kita kepada Allah Ta’ala, kita mengakui bahwa kita adalah hamba Allah Ta’ala. “Ubun-ubunku di tangan-Mu”, menunjukkan ruh kehidupan kita ada di tangan Allah Ta’ala. Kita bisa berdoa dan beribadah, karena kita diberikan kehidupan oleh Allah Ta’ala. “Keputusan-Mu berlaku padaku”, menunjukkan penerimaan kita terhadap takdir Allah Ta’ala. Ketika hari ini kita sedih, kita menyadari bahwa itu memang takdir dari Allah Ta’ala, dan kita menerima keputusan Allah tersebut dengan lapang dada. Orang yang menerima musibah dengan sabar dan lapang dada, dia kan mendapatkan tiga hal: 1) dia akan mendapatkan pahala, 2) dia akan mudah melaluinya, dan 3) akan mendapatkan solusi dari musibahnya. Sehingga setiap musibah apapun yang menimpa kita, ada ujung kemudahan dan solusi dari Allah Ta’ala. Kita tetap berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berbeda halnya dengan orang yang tertimpa musibah lalu protes, berkeluh kesah, dan tidak bisa menerima. Maka dia mendapatkan dosa karena memprotes keputusan Allah Ta’ala, dia pun akan merasa berat dan sulit melalui musibah tersebut, dan tidak mendapatkan solusi sampai dia kembali kepada Allah Ta’ala. “Ketentuan-Mu kepadaku pasti adil”, Allah yang memberikan musibah kepada kita itu karena keadilan-Nya. Allah mengetahui mengapa Allah berikan cobaan tersebut. Allah tidak akan menguji seorang hamba melebihi kemampuannya. Allah Mahaadil, Allah tahu bahwa kita akan mampu melalui musibah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala. Allah memiliki nama-nama yang mulia, dan kita bertawassul dengan semua nama Allah Ta’ala. Nama-nama Allah tersebut, bisa jadi kita ketahui atau kita belum mengetahuinya. “Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.” Pada bagian kedua ini, kita belum meminta spesifik apa yang kita hajatkan. Bagian ketiga, inti permintaan. “Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku”, semua puji-pujian tadi itu adalah untuk meminta agar Allah menjadikan Al-Quran sebagai penenteram dan penghibur hati kita. Inti dari doa ini adalah Al-Quran, karena semua yang dinisbatkan kepada Al-Quran adalah kemuliaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termuliakan karena Al-Quran. Al-Quran adalah kalamullah, bukan makhluk. Yang hidup dengan Al-Quran, dia akan bahagia. “Cahaya di dadaku”, karena ada hati yang penuh dengan kegelapan, yaitu hati dari orang berbuat maksiat. Oleh karena itu, seorang yang beriman itu sangat peka ketika dia tertimpa musibah, sekecil apapun itu, dia akan menjadikannya sebagai peringatan atas dosa yang dia lakukan. “Pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku”, karena Allah-lah yang mampu melenyapkan dan menghilangkan kesedihan kita secara total. Berbeda dengan manusia, mereka mungkin hanya menghibur dan membesarkan diri kita sesaat saja. Akan tetapi, yang benar-benar melenyapkan kesedihan kita secara total hanyalah Allah Ta’ala. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah *** @10 Shafar 1446/ 15 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Khalid Basalamah, di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=PqFP-t_ZNgA&t=410s Tags: doasedih
Daftar Isi Toggle Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihanDoa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihanBagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala.Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala.Bagian ketiga, inti permintaan. Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihan Di antara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah adanya perkara yang berpasangan, ada hidup dan ada mati; ada senang dan ada sedih; ada laki-laki dan ada perempuan; ada sehat dan ada sakit; ada muda dan ada tua. Demikian pula ada dunia dan ada akhirat, ada surga dan neraka. Ketika seseorang memahami sunnatullah ini, dia akan lebih mudah dalam menjalani lika-liku kehidupan ini. Ketika dia sedang dalam kondisi sakit, dia lebih bisa bersabar karena dia sadar tidak mungkin manusia selamanya sehat tidak pernah sakit. Demikian pula saat muda, dia sudah memahami dan menyadari bahwa suatu saat dia akan menua dan lemah, sehingga bisa menerima ketika waktu itu tiba. Demikian pula, ada masa di mana Allah memberikan kebahagiaan dan sebaliknya, ada masa di mana kita tertimpa kesedihan yang membuat kita menangis. Ada saatnya kita tertawa, bahagia, makan enak, dan ada saatnya saat kita bersedih dan menangis. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ “Dan Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Allah Ta’ala berfirman, إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Dengan menyadari hal ini, maka kita pun sadar bahwa kita adalah makhluk, di saat-saat genting, kita membutuhkan Allah Ta’ala. Siapa yang akan menolong kita kecuali Allah Ta’ala? Sehingga ketika tertimpa musibah, kita pun kembali kepada Allah. Allah siapkan perangkat untuk menghadapi musibah, baik itu akal untuk mencari solusi, atau Allah karuniakan kesabaran, atau doa yang Allah ajarkan di saat sulit tersebut. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik Doa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihan اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII. (Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku.) (HR. Ahmad, 1: 391 dan 1: 452, sahih) Doa ini sangat luar biasa makna dan nilainya, sehingga penting bagi kita untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam doa ini. Bagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala. “Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu)”, menunjukkan ketundukan kita kepada Allah Ta’ala, kita mengakui bahwa kita adalah hamba Allah Ta’ala. “Ubun-ubunku di tangan-Mu”, menunjukkan ruh kehidupan kita ada di tangan Allah Ta’ala. Kita bisa berdoa dan beribadah, karena kita diberikan kehidupan oleh Allah Ta’ala. “Keputusan-Mu berlaku padaku”, menunjukkan penerimaan kita terhadap takdir Allah Ta’ala. Ketika hari ini kita sedih, kita menyadari bahwa itu memang takdir dari Allah Ta’ala, dan kita menerima keputusan Allah tersebut dengan lapang dada. Orang yang menerima musibah dengan sabar dan lapang dada, dia kan mendapatkan tiga hal: 1) dia akan mendapatkan pahala, 2) dia akan mudah melaluinya, dan 3) akan mendapatkan solusi dari musibahnya. Sehingga setiap musibah apapun yang menimpa kita, ada ujung kemudahan dan solusi dari Allah Ta’ala. Kita tetap berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berbeda halnya dengan orang yang tertimpa musibah lalu protes, berkeluh kesah, dan tidak bisa menerima. Maka dia mendapatkan dosa karena memprotes keputusan Allah Ta’ala, dia pun akan merasa berat dan sulit melalui musibah tersebut, dan tidak mendapatkan solusi sampai dia kembali kepada Allah Ta’ala. “Ketentuan-Mu kepadaku pasti adil”, Allah yang memberikan musibah kepada kita itu karena keadilan-Nya. Allah mengetahui mengapa Allah berikan cobaan tersebut. Allah tidak akan menguji seorang hamba melebihi kemampuannya. Allah Mahaadil, Allah tahu bahwa kita akan mampu melalui musibah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala. Allah memiliki nama-nama yang mulia, dan kita bertawassul dengan semua nama Allah Ta’ala. Nama-nama Allah tersebut, bisa jadi kita ketahui atau kita belum mengetahuinya. “Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.” Pada bagian kedua ini, kita belum meminta spesifik apa yang kita hajatkan. Bagian ketiga, inti permintaan. “Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku”, semua puji-pujian tadi itu adalah untuk meminta agar Allah menjadikan Al-Quran sebagai penenteram dan penghibur hati kita. Inti dari doa ini adalah Al-Quran, karena semua yang dinisbatkan kepada Al-Quran adalah kemuliaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termuliakan karena Al-Quran. Al-Quran adalah kalamullah, bukan makhluk. Yang hidup dengan Al-Quran, dia akan bahagia. “Cahaya di dadaku”, karena ada hati yang penuh dengan kegelapan, yaitu hati dari orang berbuat maksiat. Oleh karena itu, seorang yang beriman itu sangat peka ketika dia tertimpa musibah, sekecil apapun itu, dia akan menjadikannya sebagai peringatan atas dosa yang dia lakukan. “Pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku”, karena Allah-lah yang mampu melenyapkan dan menghilangkan kesedihan kita secara total. Berbeda dengan manusia, mereka mungkin hanya menghibur dan membesarkan diri kita sesaat saja. Akan tetapi, yang benar-benar melenyapkan kesedihan kita secara total hanyalah Allah Ta’ala. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah *** @10 Shafar 1446/ 15 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Khalid Basalamah, di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=PqFP-t_ZNgA&t=410s Tags: doasedih


Daftar Isi Toggle Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihanDoa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihanBagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala.Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala.Bagian ketiga, inti permintaan. Sunnatullah, ada kebahagiaan dan ada kesedihan Di antara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah adanya perkara yang berpasangan, ada hidup dan ada mati; ada senang dan ada sedih; ada laki-laki dan ada perempuan; ada sehat dan ada sakit; ada muda dan ada tua. Demikian pula ada dunia dan ada akhirat, ada surga dan neraka. Ketika seseorang memahami sunnatullah ini, dia akan lebih mudah dalam menjalani lika-liku kehidupan ini. Ketika dia sedang dalam kondisi sakit, dia lebih bisa bersabar karena dia sadar tidak mungkin manusia selamanya sehat tidak pernah sakit. Demikian pula saat muda, dia sudah memahami dan menyadari bahwa suatu saat dia akan menua dan lemah, sehingga bisa menerima ketika waktu itu tiba. Demikian pula, ada masa di mana Allah memberikan kebahagiaan dan sebaliknya, ada masa di mana kita tertimpa kesedihan yang membuat kita menangis. Ada saatnya kita tertawa, bahagia, makan enak, dan ada saatnya saat kita bersedih dan menangis. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ “Dan Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Allah Ta’ala berfirman, إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140) Dengan menyadari hal ini, maka kita pun sadar bahwa kita adalah makhluk, di saat-saat genting, kita membutuhkan Allah Ta’ala. Siapa yang akan menolong kita kecuali Allah Ta’ala? Sehingga ketika tertimpa musibah, kita pun kembali kepada Allah. Allah siapkan perangkat untuk menghadapi musibah, baik itu akal untuk mencari solusi, atau Allah karuniakan kesabaran, atau doa yang Allah ajarkan di saat sulit tersebut. Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik Doa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihan اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII. (Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku.) (HR. Ahmad, 1: 391 dan 1: 452, sahih) Doa ini sangat luar biasa makna dan nilainya, sehingga penting bagi kita untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam doa ini. Bagian pertama, adalah ikrar keberadaan Allah, penghambaan kita kepada Allah, dan juga kemahakuasaan Allah Ta’ala. “Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba laki-laki-Mu (yaitu, ayah), dan anak dari hamba perempuan-Mu (yaitu, ibu)”, menunjukkan ketundukan kita kepada Allah Ta’ala, kita mengakui bahwa kita adalah hamba Allah Ta’ala. “Ubun-ubunku di tangan-Mu”, menunjukkan ruh kehidupan kita ada di tangan Allah Ta’ala. Kita bisa berdoa dan beribadah, karena kita diberikan kehidupan oleh Allah Ta’ala. “Keputusan-Mu berlaku padaku”, menunjukkan penerimaan kita terhadap takdir Allah Ta’ala. Ketika hari ini kita sedih, kita menyadari bahwa itu memang takdir dari Allah Ta’ala, dan kita menerima keputusan Allah tersebut dengan lapang dada. Orang yang menerima musibah dengan sabar dan lapang dada, dia kan mendapatkan tiga hal: 1) dia akan mendapatkan pahala, 2) dia akan mudah melaluinya, dan 3) akan mendapatkan solusi dari musibahnya. Sehingga setiap musibah apapun yang menimpa kita, ada ujung kemudahan dan solusi dari Allah Ta’ala. Kita tetap berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berbeda halnya dengan orang yang tertimpa musibah lalu protes, berkeluh kesah, dan tidak bisa menerima. Maka dia mendapatkan dosa karena memprotes keputusan Allah Ta’ala, dia pun akan merasa berat dan sulit melalui musibah tersebut, dan tidak mendapatkan solusi sampai dia kembali kepada Allah Ta’ala. “Ketentuan-Mu kepadaku pasti adil”, Allah yang memberikan musibah kepada kita itu karena keadilan-Nya. Allah mengetahui mengapa Allah berikan cobaan tersebut. Allah tidak akan menguji seorang hamba melebihi kemampuannya. Allah Mahaadil, Allah tahu bahwa kita akan mampu melalui musibah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Bagian kedua, untuk meminta kepada Allah dengan memuji Allah Ta’ala. Allah memiliki nama-nama yang mulia, dan kita bertawassul dengan semua nama Allah Ta’ala. Nama-nama Allah tersebut, bisa jadi kita ketahui atau kita belum mengetahuinya. “Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau miliki, yang Engkau namakan Dirimu sendiri dengan nama tersebut, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.” Pada bagian kedua ini, kita belum meminta spesifik apa yang kita hajatkan. Bagian ketiga, inti permintaan. “Aku mohon jadikan Al-Quran sebagai penenteram hatiku”, semua puji-pujian tadi itu adalah untuk meminta agar Allah menjadikan Al-Quran sebagai penenteram dan penghibur hati kita. Inti dari doa ini adalah Al-Quran, karena semua yang dinisbatkan kepada Al-Quran adalah kemuliaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termuliakan karena Al-Quran. Al-Quran adalah kalamullah, bukan makhluk. Yang hidup dengan Al-Quran, dia akan bahagia. “Cahaya di dadaku”, karena ada hati yang penuh dengan kegelapan, yaitu hati dari orang berbuat maksiat. Oleh karena itu, seorang yang beriman itu sangat peka ketika dia tertimpa musibah, sekecil apapun itu, dia akan menjadikannya sebagai peringatan atas dosa yang dia lakukan. “Pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku”, karena Allah-lah yang mampu melenyapkan dan menghilangkan kesedihan kita secara total. Berbeda dengan manusia, mereka mungkin hanya menghibur dan membesarkan diri kita sesaat saja. Akan tetapi, yang benar-benar melenyapkan kesedihan kita secara total hanyalah Allah Ta’ala. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Baca juga: Sering Menangis Karena Film Sedih, Namun Tidak Pernah Menangis Karena Allah *** @10 Shafar 1446/ 15 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari penjelasan Ustadz Khalid Basalamah, di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=PqFP-t_ZNgA&t=410s Tags: doasedih

Bulan Safar, Bulan Istimewa atau Bulan Sial? (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kekeliruan-kekeliruan di bulan SafarKemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa tidak ada keistimewaan secara khusus pada bulan Safar. Bulan Safar, tidak ubahnya seperti bulan-bulan yang lain, takdir Allah tetap berjalan kepada seluruh makhluknya. Bulan Safar, sebagaimana di bulan lain, kita diperintahkan untuk berbuat ketaatan dan istikamah di atasnya, begitu pun di bulan Safar. Kalau di bulan lain, kita diperintahkan untuk meninggalkan segala kemaksiatan, demikian pula di bulan Safar. Seperti itulah yang seharusnya diyakini dan dilaksanakan oleh seorang yang beriman. Namun, kiranya masih ada dari sebagian kaum muslimin yang melestarikan keyakinan-keyakinan orang Arab jahiliah terdahulu. Orang-orang Arab jahiliah menganggap bulan Safar sebagai bulan sial. Mereka menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan turunnya bala, kesialan, musibah, dan bencana. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang menginginkan suatu hajat pada bulan Safar, namun tidak mereka tunaikan. Seperti ingin menikah, berdagang, safar, dan lain sebagainya. Karena anggapan sial yang sudah terpatri dalam benak mereka. Berikut ini beberapa kekeliruan dan ke-bid’ah-an tentang bulan Safar. Kekeliruan-kekeliruan di bulan Safar Pada bulan Safar ini, terdapat beberapa keyakinan-keyakinan dan kekeliruan-kekeliruan yang harus diketahui agar tidak terjatuh ke dalam kekeliruan tersebut. Pertama, orang Arab terdahulu senang memainkan bulan Safar ini. Yaitu, dengan memajukan dan mengakhirkan bulan ini. Mereka mengetahui ayat Allah Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ مِنْهَاۤ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ ۗ “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu….” (QS. At-Taubah: 36) Mereka mengetahui akan ayat Allah ini, bahwasanya Allah telah mengatur bilangan bulan dan waktu-waktunya. Namun, mereka mengakhirkan dan memajukan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka menjadikan bulan Safar sebagai pengganti dari bulan Muharam. Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ العُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الحَجِّ مِنْ أَفْجَر الفُجُوْرِ فِي الأَرْضِ ، وَيَجْعَلُوْنَ المُحَرَّمَ صَفَراً ، وَيَقُوْلُوْنَ : إِذَا بَرَأَ الدَّبَرُ ، وَعَفَا الأَثَرُ ، وَانْسَلَخَ صَفَر : حَلَّتْ العُمْرَةُ لِمَنْ اِعْتَمَرَ “Dahulu mereka berpendapat bahwa umrah di bulan haji adalah kedurhakaan yang paling besar di muka bumi. Mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Safar. Lalu, mereka mengatakan, ‘Jika unta jemaah haji telah kembali, bekas-bekas tapak kakinya telah menghilang, dan bulan Safar telah habis. Maka, dihalalkan umrah bagi yang ingin melaksanakan umrah.” (HR. Bukhari no. 1489 dan Muslim no.1240) Demikianlah keyakinan mereka, mereka tidak membolehkan umrah, kecuali setelah selesai bulan Safar. Bukan hanya ini saja, terkadang mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram dan bulan Muharam mereka akhirkan setelah bulan Safar. Sesuai dengan hawa nafsu yang mereka inginkan. Bahkan, terjadi pada suatu keadaaan, mereka menambah bulan Safar menjadi dua. Kedua, sifat pesimis pada bulan Safar. Hal ini masyhur di kalangan penduduk jahiliah yang sayangnya hal ini masih tersisa pada sebagian orang yang menyandarkan diri kepada agama Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ عَدْوَى وَلَا طَيْرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر وَفر مِنَ المَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُ مِنَ الأَسَدِ “Tidak ada penyakit menular, thiyarah, burung hantu, dan safar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari no. 5387 dan Muslim no. 2220) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Safar ditafsiri dengan banyak penafsiran. Yang dimaksud safar adalah bulan Safar yang dikenal dan orang Arab pesimis dengannya. Ia adalah penyakit perut yang menyerang unta dan ia berpindah dari satu unta ke unta lainnya. Karena itu, kata safar pada hadis di atas sebagai kata sambung dari ‘Adwa (penyakit menular). Hal ini termasuk dalam bab menyebutkan perkara khusus kepada yang umum. Bulan Safar maksudnya adalah mengulur-ulur, di mana orang kafir tersesat dengannya. Mereka mengakhirkan pengharaman bulan Muharam ke bulan Safar. Sehingga mereka menghalalkan setahun dan mengharamkan setahun. Yang paling kuat adalah bahwa maksudnya di sini adalah bulan Safar, di mana orang jahiliah pesimis dengannya. Adapun waktu, tidak ada pengaruhnya dalam takdir Allah Ta’ala. Ia dengan waktu lainnya sama saja, ditakdirkan padanya kebaikan dan keburukan.” [1] Kemudian Syekh melanjutkan, “Meniadakan empat perkara ini, bukan meniadakan keberadaannya. Karena semua itu memang ada. Akan tetapi, meniadakan pengaruhnya. Sebab yang memberikan pengaruh adalah Allah. Jika perkaranya memiliki sebab yang diketahui, maka itu adalah sebab yang dibenarkan. Sementara kalau itu sebab yang tidak jelas, maka itu termasuk sebab yang batil. Maka, permasalahan meniadakan pengaruh itu masalah tersendiri dan masalah sebab itu pun lain lagi.” [2] Sehingga bulan Safar tidak dapat memberikan pengaruh berupa musibah, petaka, kecelakaan, dan lain sebagainya, kecuali dengan izin Allah. Oleh karena itu, bulan Safar bukanlah bulan yang sial. Untuk itu, keyakinan-keyakinan seperti ini harus dihapuskan dan dienyahkan dari muka bumi ini. Karena tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Baca juga: Ada Apa Dengan Acara Rebo Wekasan? Kemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Terdapat beberapa keyakinan yang ini diada-adakan. Sama sekali tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagian ke-bid’ah-an ini timbul dari keyakinan sial dari bulan safar. Tidak memperbolehkan untuk melaksanakan pernikahan atau walimatul ‘ursy. Karena adanya anggapan sial di bulan Safar. Maka, ini adalah sebuah ke-bid’ah-an dan kemungkaran. Sebagian orang berkeyakinan, siapa yang membaca firman Allah di surah Yusuf, وَا للّٰهُ غَا لِبٌ عَلٰۤى اَمْرِهٖ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf: 21) maka ia akan terhalang dari keburukan, musibah, petaka, dan lain sebagainya. Tentunya hal ini tidak terdapat pada ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ke-bid’ah-an di bulan Safar, terdapat suatu amalan berupa salat sunah yang dilakukan pada hari Rabu akhir bulan Safar tepatnya pada waktu Duha. Salat sunah empat rakaat dengan satu kali salam. Dengan membaca surah Al-Fatihah, kemudian surah Al-Kautsar tujuh belas kali, surah Al-Ikhlas lima puluh kali, dan membaca mu’awidzatain satu kali. Hal itu dilakukan di setiap rakaat. Diyakini, siapa yang menunaikan salat ini dengan cara seperti di atas, maka Allah akan menjaganya dengan kemuliaan Allah dari semua bencana yang turun pada hari itu. Hal ini pun juga termasuk dari ke-bid’ah-an dan kemungkaran yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya. Di antara kemungkaran yang ada, terdapat hadis palsu tentang bulan Safar. Sebuah hadis yang dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dikatakan, مَنْ بَشَّرَنِي بِخُرُوْجِ صَفَر بَشَّرْتُهُ بِالجَنَّةِ “Siapa yang memberikan padaku kabar gembira berupa telah berlalunya bulan Safar, maka aku akan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.” Demikianlah anggapan-anggapan sial serta kemungkaran dan ke-bid’ah-an yang ada di bulan Safar. Tentu semuanya tidak benar adanya dan semuanya adalah perkara yang batil. Karena bulan Safar adalah sebagaimana bulan hijriah yang lainnya. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 1 *** Depok, 09 Safar 1446 H / 13 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Diringkas secara umum dari website islamqa.info   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 113. [2] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 115. Tags: bulan safar

Bulan Safar, Bulan Istimewa atau Bulan Sial? (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kekeliruan-kekeliruan di bulan SafarKemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa tidak ada keistimewaan secara khusus pada bulan Safar. Bulan Safar, tidak ubahnya seperti bulan-bulan yang lain, takdir Allah tetap berjalan kepada seluruh makhluknya. Bulan Safar, sebagaimana di bulan lain, kita diperintahkan untuk berbuat ketaatan dan istikamah di atasnya, begitu pun di bulan Safar. Kalau di bulan lain, kita diperintahkan untuk meninggalkan segala kemaksiatan, demikian pula di bulan Safar. Seperti itulah yang seharusnya diyakini dan dilaksanakan oleh seorang yang beriman. Namun, kiranya masih ada dari sebagian kaum muslimin yang melestarikan keyakinan-keyakinan orang Arab jahiliah terdahulu. Orang-orang Arab jahiliah menganggap bulan Safar sebagai bulan sial. Mereka menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan turunnya bala, kesialan, musibah, dan bencana. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang menginginkan suatu hajat pada bulan Safar, namun tidak mereka tunaikan. Seperti ingin menikah, berdagang, safar, dan lain sebagainya. Karena anggapan sial yang sudah terpatri dalam benak mereka. Berikut ini beberapa kekeliruan dan ke-bid’ah-an tentang bulan Safar. Kekeliruan-kekeliruan di bulan Safar Pada bulan Safar ini, terdapat beberapa keyakinan-keyakinan dan kekeliruan-kekeliruan yang harus diketahui agar tidak terjatuh ke dalam kekeliruan tersebut. Pertama, orang Arab terdahulu senang memainkan bulan Safar ini. Yaitu, dengan memajukan dan mengakhirkan bulan ini. Mereka mengetahui ayat Allah Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ مِنْهَاۤ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ ۗ “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu….” (QS. At-Taubah: 36) Mereka mengetahui akan ayat Allah ini, bahwasanya Allah telah mengatur bilangan bulan dan waktu-waktunya. Namun, mereka mengakhirkan dan memajukan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka menjadikan bulan Safar sebagai pengganti dari bulan Muharam. Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ العُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الحَجِّ مِنْ أَفْجَر الفُجُوْرِ فِي الأَرْضِ ، وَيَجْعَلُوْنَ المُحَرَّمَ صَفَراً ، وَيَقُوْلُوْنَ : إِذَا بَرَأَ الدَّبَرُ ، وَعَفَا الأَثَرُ ، وَانْسَلَخَ صَفَر : حَلَّتْ العُمْرَةُ لِمَنْ اِعْتَمَرَ “Dahulu mereka berpendapat bahwa umrah di bulan haji adalah kedurhakaan yang paling besar di muka bumi. Mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Safar. Lalu, mereka mengatakan, ‘Jika unta jemaah haji telah kembali, bekas-bekas tapak kakinya telah menghilang, dan bulan Safar telah habis. Maka, dihalalkan umrah bagi yang ingin melaksanakan umrah.” (HR. Bukhari no. 1489 dan Muslim no.1240) Demikianlah keyakinan mereka, mereka tidak membolehkan umrah, kecuali setelah selesai bulan Safar. Bukan hanya ini saja, terkadang mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram dan bulan Muharam mereka akhirkan setelah bulan Safar. Sesuai dengan hawa nafsu yang mereka inginkan. Bahkan, terjadi pada suatu keadaaan, mereka menambah bulan Safar menjadi dua. Kedua, sifat pesimis pada bulan Safar. Hal ini masyhur di kalangan penduduk jahiliah yang sayangnya hal ini masih tersisa pada sebagian orang yang menyandarkan diri kepada agama Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ عَدْوَى وَلَا طَيْرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر وَفر مِنَ المَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُ مِنَ الأَسَدِ “Tidak ada penyakit menular, thiyarah, burung hantu, dan safar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari no. 5387 dan Muslim no. 2220) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Safar ditafsiri dengan banyak penafsiran. Yang dimaksud safar adalah bulan Safar yang dikenal dan orang Arab pesimis dengannya. Ia adalah penyakit perut yang menyerang unta dan ia berpindah dari satu unta ke unta lainnya. Karena itu, kata safar pada hadis di atas sebagai kata sambung dari ‘Adwa (penyakit menular). Hal ini termasuk dalam bab menyebutkan perkara khusus kepada yang umum. Bulan Safar maksudnya adalah mengulur-ulur, di mana orang kafir tersesat dengannya. Mereka mengakhirkan pengharaman bulan Muharam ke bulan Safar. Sehingga mereka menghalalkan setahun dan mengharamkan setahun. Yang paling kuat adalah bahwa maksudnya di sini adalah bulan Safar, di mana orang jahiliah pesimis dengannya. Adapun waktu, tidak ada pengaruhnya dalam takdir Allah Ta’ala. Ia dengan waktu lainnya sama saja, ditakdirkan padanya kebaikan dan keburukan.” [1] Kemudian Syekh melanjutkan, “Meniadakan empat perkara ini, bukan meniadakan keberadaannya. Karena semua itu memang ada. Akan tetapi, meniadakan pengaruhnya. Sebab yang memberikan pengaruh adalah Allah. Jika perkaranya memiliki sebab yang diketahui, maka itu adalah sebab yang dibenarkan. Sementara kalau itu sebab yang tidak jelas, maka itu termasuk sebab yang batil. Maka, permasalahan meniadakan pengaruh itu masalah tersendiri dan masalah sebab itu pun lain lagi.” [2] Sehingga bulan Safar tidak dapat memberikan pengaruh berupa musibah, petaka, kecelakaan, dan lain sebagainya, kecuali dengan izin Allah. Oleh karena itu, bulan Safar bukanlah bulan yang sial. Untuk itu, keyakinan-keyakinan seperti ini harus dihapuskan dan dienyahkan dari muka bumi ini. Karena tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Baca juga: Ada Apa Dengan Acara Rebo Wekasan? Kemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Terdapat beberapa keyakinan yang ini diada-adakan. Sama sekali tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagian ke-bid’ah-an ini timbul dari keyakinan sial dari bulan safar. Tidak memperbolehkan untuk melaksanakan pernikahan atau walimatul ‘ursy. Karena adanya anggapan sial di bulan Safar. Maka, ini adalah sebuah ke-bid’ah-an dan kemungkaran. Sebagian orang berkeyakinan, siapa yang membaca firman Allah di surah Yusuf, وَا للّٰهُ غَا لِبٌ عَلٰۤى اَمْرِهٖ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf: 21) maka ia akan terhalang dari keburukan, musibah, petaka, dan lain sebagainya. Tentunya hal ini tidak terdapat pada ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ke-bid’ah-an di bulan Safar, terdapat suatu amalan berupa salat sunah yang dilakukan pada hari Rabu akhir bulan Safar tepatnya pada waktu Duha. Salat sunah empat rakaat dengan satu kali salam. Dengan membaca surah Al-Fatihah, kemudian surah Al-Kautsar tujuh belas kali, surah Al-Ikhlas lima puluh kali, dan membaca mu’awidzatain satu kali. Hal itu dilakukan di setiap rakaat. Diyakini, siapa yang menunaikan salat ini dengan cara seperti di atas, maka Allah akan menjaganya dengan kemuliaan Allah dari semua bencana yang turun pada hari itu. Hal ini pun juga termasuk dari ke-bid’ah-an dan kemungkaran yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya. Di antara kemungkaran yang ada, terdapat hadis palsu tentang bulan Safar. Sebuah hadis yang dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dikatakan, مَنْ بَشَّرَنِي بِخُرُوْجِ صَفَر بَشَّرْتُهُ بِالجَنَّةِ “Siapa yang memberikan padaku kabar gembira berupa telah berlalunya bulan Safar, maka aku akan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.” Demikianlah anggapan-anggapan sial serta kemungkaran dan ke-bid’ah-an yang ada di bulan Safar. Tentu semuanya tidak benar adanya dan semuanya adalah perkara yang batil. Karena bulan Safar adalah sebagaimana bulan hijriah yang lainnya. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 1 *** Depok, 09 Safar 1446 H / 13 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Diringkas secara umum dari website islamqa.info   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 113. [2] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 115. Tags: bulan safar
Daftar Isi Toggle Kekeliruan-kekeliruan di bulan SafarKemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa tidak ada keistimewaan secara khusus pada bulan Safar. Bulan Safar, tidak ubahnya seperti bulan-bulan yang lain, takdir Allah tetap berjalan kepada seluruh makhluknya. Bulan Safar, sebagaimana di bulan lain, kita diperintahkan untuk berbuat ketaatan dan istikamah di atasnya, begitu pun di bulan Safar. Kalau di bulan lain, kita diperintahkan untuk meninggalkan segala kemaksiatan, demikian pula di bulan Safar. Seperti itulah yang seharusnya diyakini dan dilaksanakan oleh seorang yang beriman. Namun, kiranya masih ada dari sebagian kaum muslimin yang melestarikan keyakinan-keyakinan orang Arab jahiliah terdahulu. Orang-orang Arab jahiliah menganggap bulan Safar sebagai bulan sial. Mereka menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan turunnya bala, kesialan, musibah, dan bencana. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang menginginkan suatu hajat pada bulan Safar, namun tidak mereka tunaikan. Seperti ingin menikah, berdagang, safar, dan lain sebagainya. Karena anggapan sial yang sudah terpatri dalam benak mereka. Berikut ini beberapa kekeliruan dan ke-bid’ah-an tentang bulan Safar. Kekeliruan-kekeliruan di bulan Safar Pada bulan Safar ini, terdapat beberapa keyakinan-keyakinan dan kekeliruan-kekeliruan yang harus diketahui agar tidak terjatuh ke dalam kekeliruan tersebut. Pertama, orang Arab terdahulu senang memainkan bulan Safar ini. Yaitu, dengan memajukan dan mengakhirkan bulan ini. Mereka mengetahui ayat Allah Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ مِنْهَاۤ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ ۗ “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu….” (QS. At-Taubah: 36) Mereka mengetahui akan ayat Allah ini, bahwasanya Allah telah mengatur bilangan bulan dan waktu-waktunya. Namun, mereka mengakhirkan dan memajukan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka menjadikan bulan Safar sebagai pengganti dari bulan Muharam. Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ العُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الحَجِّ مِنْ أَفْجَر الفُجُوْرِ فِي الأَرْضِ ، وَيَجْعَلُوْنَ المُحَرَّمَ صَفَراً ، وَيَقُوْلُوْنَ : إِذَا بَرَأَ الدَّبَرُ ، وَعَفَا الأَثَرُ ، وَانْسَلَخَ صَفَر : حَلَّتْ العُمْرَةُ لِمَنْ اِعْتَمَرَ “Dahulu mereka berpendapat bahwa umrah di bulan haji adalah kedurhakaan yang paling besar di muka bumi. Mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Safar. Lalu, mereka mengatakan, ‘Jika unta jemaah haji telah kembali, bekas-bekas tapak kakinya telah menghilang, dan bulan Safar telah habis. Maka, dihalalkan umrah bagi yang ingin melaksanakan umrah.” (HR. Bukhari no. 1489 dan Muslim no.1240) Demikianlah keyakinan mereka, mereka tidak membolehkan umrah, kecuali setelah selesai bulan Safar. Bukan hanya ini saja, terkadang mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram dan bulan Muharam mereka akhirkan setelah bulan Safar. Sesuai dengan hawa nafsu yang mereka inginkan. Bahkan, terjadi pada suatu keadaaan, mereka menambah bulan Safar menjadi dua. Kedua, sifat pesimis pada bulan Safar. Hal ini masyhur di kalangan penduduk jahiliah yang sayangnya hal ini masih tersisa pada sebagian orang yang menyandarkan diri kepada agama Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ عَدْوَى وَلَا طَيْرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر وَفر مِنَ المَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُ مِنَ الأَسَدِ “Tidak ada penyakit menular, thiyarah, burung hantu, dan safar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari no. 5387 dan Muslim no. 2220) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Safar ditafsiri dengan banyak penafsiran. Yang dimaksud safar adalah bulan Safar yang dikenal dan orang Arab pesimis dengannya. Ia adalah penyakit perut yang menyerang unta dan ia berpindah dari satu unta ke unta lainnya. Karena itu, kata safar pada hadis di atas sebagai kata sambung dari ‘Adwa (penyakit menular). Hal ini termasuk dalam bab menyebutkan perkara khusus kepada yang umum. Bulan Safar maksudnya adalah mengulur-ulur, di mana orang kafir tersesat dengannya. Mereka mengakhirkan pengharaman bulan Muharam ke bulan Safar. Sehingga mereka menghalalkan setahun dan mengharamkan setahun. Yang paling kuat adalah bahwa maksudnya di sini adalah bulan Safar, di mana orang jahiliah pesimis dengannya. Adapun waktu, tidak ada pengaruhnya dalam takdir Allah Ta’ala. Ia dengan waktu lainnya sama saja, ditakdirkan padanya kebaikan dan keburukan.” [1] Kemudian Syekh melanjutkan, “Meniadakan empat perkara ini, bukan meniadakan keberadaannya. Karena semua itu memang ada. Akan tetapi, meniadakan pengaruhnya. Sebab yang memberikan pengaruh adalah Allah. Jika perkaranya memiliki sebab yang diketahui, maka itu adalah sebab yang dibenarkan. Sementara kalau itu sebab yang tidak jelas, maka itu termasuk sebab yang batil. Maka, permasalahan meniadakan pengaruh itu masalah tersendiri dan masalah sebab itu pun lain lagi.” [2] Sehingga bulan Safar tidak dapat memberikan pengaruh berupa musibah, petaka, kecelakaan, dan lain sebagainya, kecuali dengan izin Allah. Oleh karena itu, bulan Safar bukanlah bulan yang sial. Untuk itu, keyakinan-keyakinan seperti ini harus dihapuskan dan dienyahkan dari muka bumi ini. Karena tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Baca juga: Ada Apa Dengan Acara Rebo Wekasan? Kemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Terdapat beberapa keyakinan yang ini diada-adakan. Sama sekali tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagian ke-bid’ah-an ini timbul dari keyakinan sial dari bulan safar. Tidak memperbolehkan untuk melaksanakan pernikahan atau walimatul ‘ursy. Karena adanya anggapan sial di bulan Safar. Maka, ini adalah sebuah ke-bid’ah-an dan kemungkaran. Sebagian orang berkeyakinan, siapa yang membaca firman Allah di surah Yusuf, وَا للّٰهُ غَا لِبٌ عَلٰۤى اَمْرِهٖ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf: 21) maka ia akan terhalang dari keburukan, musibah, petaka, dan lain sebagainya. Tentunya hal ini tidak terdapat pada ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ke-bid’ah-an di bulan Safar, terdapat suatu amalan berupa salat sunah yang dilakukan pada hari Rabu akhir bulan Safar tepatnya pada waktu Duha. Salat sunah empat rakaat dengan satu kali salam. Dengan membaca surah Al-Fatihah, kemudian surah Al-Kautsar tujuh belas kali, surah Al-Ikhlas lima puluh kali, dan membaca mu’awidzatain satu kali. Hal itu dilakukan di setiap rakaat. Diyakini, siapa yang menunaikan salat ini dengan cara seperti di atas, maka Allah akan menjaganya dengan kemuliaan Allah dari semua bencana yang turun pada hari itu. Hal ini pun juga termasuk dari ke-bid’ah-an dan kemungkaran yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya. Di antara kemungkaran yang ada, terdapat hadis palsu tentang bulan Safar. Sebuah hadis yang dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dikatakan, مَنْ بَشَّرَنِي بِخُرُوْجِ صَفَر بَشَّرْتُهُ بِالجَنَّةِ “Siapa yang memberikan padaku kabar gembira berupa telah berlalunya bulan Safar, maka aku akan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.” Demikianlah anggapan-anggapan sial serta kemungkaran dan ke-bid’ah-an yang ada di bulan Safar. Tentu semuanya tidak benar adanya dan semuanya adalah perkara yang batil. Karena bulan Safar adalah sebagaimana bulan hijriah yang lainnya. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 1 *** Depok, 09 Safar 1446 H / 13 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Diringkas secara umum dari website islamqa.info   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 113. [2] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 115. Tags: bulan safar


Daftar Isi Toggle Kekeliruan-kekeliruan di bulan SafarKemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa tidak ada keistimewaan secara khusus pada bulan Safar. Bulan Safar, tidak ubahnya seperti bulan-bulan yang lain, takdir Allah tetap berjalan kepada seluruh makhluknya. Bulan Safar, sebagaimana di bulan lain, kita diperintahkan untuk berbuat ketaatan dan istikamah di atasnya, begitu pun di bulan Safar. Kalau di bulan lain, kita diperintahkan untuk meninggalkan segala kemaksiatan, demikian pula di bulan Safar. Seperti itulah yang seharusnya diyakini dan dilaksanakan oleh seorang yang beriman. Namun, kiranya masih ada dari sebagian kaum muslimin yang melestarikan keyakinan-keyakinan orang Arab jahiliah terdahulu. Orang-orang Arab jahiliah menganggap bulan Safar sebagai bulan sial. Mereka menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan turunnya bala, kesialan, musibah, dan bencana. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang menginginkan suatu hajat pada bulan Safar, namun tidak mereka tunaikan. Seperti ingin menikah, berdagang, safar, dan lain sebagainya. Karena anggapan sial yang sudah terpatri dalam benak mereka. Berikut ini beberapa kekeliruan dan ke-bid’ah-an tentang bulan Safar. Kekeliruan-kekeliruan di bulan Safar Pada bulan Safar ini, terdapat beberapa keyakinan-keyakinan dan kekeliruan-kekeliruan yang harus diketahui agar tidak terjatuh ke dalam kekeliruan tersebut. Pertama, orang Arab terdahulu senang memainkan bulan Safar ini. Yaitu, dengan memajukan dan mengakhirkan bulan ini. Mereka mengetahui ayat Allah Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ مِنْهَاۤ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ ۗ “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu….” (QS. At-Taubah: 36) Mereka mengetahui akan ayat Allah ini, bahwasanya Allah telah mengatur bilangan bulan dan waktu-waktunya. Namun, mereka mengakhirkan dan memajukan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka menjadikan bulan Safar sebagai pengganti dari bulan Muharam. Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ العُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الحَجِّ مِنْ أَفْجَر الفُجُوْرِ فِي الأَرْضِ ، وَيَجْعَلُوْنَ المُحَرَّمَ صَفَراً ، وَيَقُوْلُوْنَ : إِذَا بَرَأَ الدَّبَرُ ، وَعَفَا الأَثَرُ ، وَانْسَلَخَ صَفَر : حَلَّتْ العُمْرَةُ لِمَنْ اِعْتَمَرَ “Dahulu mereka berpendapat bahwa umrah di bulan haji adalah kedurhakaan yang paling besar di muka bumi. Mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Safar. Lalu, mereka mengatakan, ‘Jika unta jemaah haji telah kembali, bekas-bekas tapak kakinya telah menghilang, dan bulan Safar telah habis. Maka, dihalalkan umrah bagi yang ingin melaksanakan umrah.” (HR. Bukhari no. 1489 dan Muslim no.1240) Demikianlah keyakinan mereka, mereka tidak membolehkan umrah, kecuali setelah selesai bulan Safar. Bukan hanya ini saja, terkadang mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram dan bulan Muharam mereka akhirkan setelah bulan Safar. Sesuai dengan hawa nafsu yang mereka inginkan. Bahkan, terjadi pada suatu keadaaan, mereka menambah bulan Safar menjadi dua. Kedua, sifat pesimis pada bulan Safar. Hal ini masyhur di kalangan penduduk jahiliah yang sayangnya hal ini masih tersisa pada sebagian orang yang menyandarkan diri kepada agama Islam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ عَدْوَى وَلَا طَيْرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر وَفر مِنَ المَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُ مِنَ الأَسَدِ “Tidak ada penyakit menular, thiyarah, burung hantu, dan safar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari no. 5387 dan Muslim no. 2220) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Safar ditafsiri dengan banyak penafsiran. Yang dimaksud safar adalah bulan Safar yang dikenal dan orang Arab pesimis dengannya. Ia adalah penyakit perut yang menyerang unta dan ia berpindah dari satu unta ke unta lainnya. Karena itu, kata safar pada hadis di atas sebagai kata sambung dari ‘Adwa (penyakit menular). Hal ini termasuk dalam bab menyebutkan perkara khusus kepada yang umum. Bulan Safar maksudnya adalah mengulur-ulur, di mana orang kafir tersesat dengannya. Mereka mengakhirkan pengharaman bulan Muharam ke bulan Safar. Sehingga mereka menghalalkan setahun dan mengharamkan setahun. Yang paling kuat adalah bahwa maksudnya di sini adalah bulan Safar, di mana orang jahiliah pesimis dengannya. Adapun waktu, tidak ada pengaruhnya dalam takdir Allah Ta’ala. Ia dengan waktu lainnya sama saja, ditakdirkan padanya kebaikan dan keburukan.” [1] Kemudian Syekh melanjutkan, “Meniadakan empat perkara ini, bukan meniadakan keberadaannya. Karena semua itu memang ada. Akan tetapi, meniadakan pengaruhnya. Sebab yang memberikan pengaruh adalah Allah. Jika perkaranya memiliki sebab yang diketahui, maka itu adalah sebab yang dibenarkan. Sementara kalau itu sebab yang tidak jelas, maka itu termasuk sebab yang batil. Maka, permasalahan meniadakan pengaruh itu masalah tersendiri dan masalah sebab itu pun lain lagi.” [2] Sehingga bulan Safar tidak dapat memberikan pengaruh berupa musibah, petaka, kecelakaan, dan lain sebagainya, kecuali dengan izin Allah. Oleh karena itu, bulan Safar bukanlah bulan yang sial. Untuk itu, keyakinan-keyakinan seperti ini harus dihapuskan dan dienyahkan dari muka bumi ini. Karena tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam. Baca juga: Ada Apa Dengan Acara Rebo Wekasan? Kemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar Terdapat beberapa keyakinan yang ini diada-adakan. Sama sekali tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagian ke-bid’ah-an ini timbul dari keyakinan sial dari bulan safar. Tidak memperbolehkan untuk melaksanakan pernikahan atau walimatul ‘ursy. Karena adanya anggapan sial di bulan Safar. Maka, ini adalah sebuah ke-bid’ah-an dan kemungkaran. Sebagian orang berkeyakinan, siapa yang membaca firman Allah di surah Yusuf, وَا للّٰهُ غَا لِبٌ عَلٰۤى اَمْرِهٖ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf: 21) maka ia akan terhalang dari keburukan, musibah, petaka, dan lain sebagainya. Tentunya hal ini tidak terdapat pada ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ke-bid’ah-an di bulan Safar, terdapat suatu amalan berupa salat sunah yang dilakukan pada hari Rabu akhir bulan Safar tepatnya pada waktu Duha. Salat sunah empat rakaat dengan satu kali salam. Dengan membaca surah Al-Fatihah, kemudian surah Al-Kautsar tujuh belas kali, surah Al-Ikhlas lima puluh kali, dan membaca mu’awidzatain satu kali. Hal itu dilakukan di setiap rakaat. Diyakini, siapa yang menunaikan salat ini dengan cara seperti di atas, maka Allah akan menjaganya dengan kemuliaan Allah dari semua bencana yang turun pada hari itu. Hal ini pun juga termasuk dari ke-bid’ah-an dan kemungkaran yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya. Di antara kemungkaran yang ada, terdapat hadis palsu tentang bulan Safar. Sebuah hadis yang dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dikatakan, مَنْ بَشَّرَنِي بِخُرُوْجِ صَفَر بَشَّرْتُهُ بِالجَنَّةِ “Siapa yang memberikan padaku kabar gembira berupa telah berlalunya bulan Safar, maka aku akan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.” Demikianlah anggapan-anggapan sial serta kemungkaran dan ke-bid’ah-an yang ada di bulan Safar. Tentu semuanya tidak benar adanya dan semuanya adalah perkara yang batil. Karena bulan Safar adalah sebagaimana bulan hijriah yang lainnya. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 1 *** Depok, 09 Safar 1446 H / 13 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Diringkas secara umum dari website islamqa.info   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 113. [2] Lihat Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2: 115. Tags: bulan safar

Kisah Sa’ad bin Abi Waqash (Bag. 2): Jihad Sa’ad bin Abi Waqash

Daftar Isi Toggle Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamPertempuran Al-QadisiyyahPenaklukan CtesiphonPerpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Di antara sahabat yang memiliki kemampuan perang yang luar biasa adalah Sa’ad bin Abi Waqash. Beliau radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat yang dijamin masuk surga yang dikenal dengan kemampuan memanahnya yang luar biasa. Hal tersebut dikarenakan masa kecil Sa’ad dihabiskan dengan memanah, mulai dari merawat busur dan menajamkan anak panah hingga berlatih memanah. Semua hal tersebut beliau lakukan seakan-akan beliau radhiyallahu ’anhu sedang mempersiapkan diri untuk perkara yang besar. Masa kecil Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu mengasah dirinya dalam memanah di kemudian hari menjadi bermanfaat untuk membela Islam, melindungi Rasulullah, menegakkan kalimat tauhid, dan menghancurkan api dan berhala majusi di bumi Persia. Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah seorang sahabat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di setiap jihad yang beliau shallallahu ’alaihi wasallam ikuti. Sa’ad bin Abi Waqash berjihad di setiap jihad bersama Rasulullah, dan dalam peperangan tersebut, beliau diberi kemenangan yang baik. Ketika perang Badar terjadi, Sa’ad bin Abi Waqash bertempur dengan gagah berani. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, لقد رأيت سعداً يقاتل يوم بدر قتال الفارس في الرجال “Sungguh aku telah melihat Sa’ad berperang di hari Badar bagaikan seorang penunggang kuda di tengah suatu kaum.” (Thabaqat li Ibni Sa’ad) Ketika perang Uhud terjadi, kaum musyrikin mulai membalikkan keadaan akibat turunnya para pemanah dari bukit Uhud. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikepung oleh pasukan musyrikin dan dilindungi oleh beberapa sahabat saja. Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah satu dari sedikit sahabat yang bersama Rasulullah ketika itu. Ia bersama dengan beberapa orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dari serangan kaum musyrikin. Ketika itu, satu per satu syahidlah sahabat dari golongan Anshar dan tersisalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika itu, Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dengan mengorbankan badannya hingga tubuhnya dipenuhi oleh luka, sedangkan Sa’ad melindungi Rasulullah dengan busurnya. Rasulullah sangat mempercayai kemampuan memanah Sa’ad bin Abi Waqash. Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu, ia berkata, فلقد رأيته يناولني النبل وهو يقول: ارم فداك أبي وأمي، حتى إنه ليناولني السهم ما له من نصل فيقول ارم به “Sungguh aku telah melihat Rasulullah memberikanku sebuah anak panah lalu beliau bersabda, ‘Panahlah, ayah dan ibuku menjadi tebusan.’ Sampai-sampai beliau memberikanku anak panah yang tidak memiliki ujung lalu beliau berssbda, ‘Panahlah dengannya.'” (HR. Bukhari) Sa’ad bin Abi Waqash terus berjihad di setiap peperangan bersama Rasulullah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Setelah wafatnya Rasulullah, Sa’ad pun berjihad bersama Abu Bakar, lalu bersama Umar bin Khattab hingga menaklukan kekaisaran Persia. Pertempuran Al-Qadisiyyah Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan kaum muslimin sedang berperang melawan dua kekuatan besar ketika itu, yaitu Romawi dan Persia, Sa’ad bin Abi Waqash dipercaya oleh Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menuju ke wilayah kekuasaan Persia. Sa’ad bin Abi Waqash ketika itu memimpin pasukan hingga bertemu dengan pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustam di barat sungai Eufrat yang bernama Al-Qadisiyyah. Ketika kedua pasukan bertemu, keduanya mendirikan camp militer dan memulai dengan perundingan. Delegasi kaum muslimin mengirimkan pesan agar pasukan Persia memeluk Islam atau membayar Jizyah. Tentu hal tersebut tidak disetujui oleh Rustam dan peperangan pun tidak bisa dihindari. Akan tetapi, sebelum peperangan berlangsung, Sa’ad bin Abi Waqash sakit dengan berbagai macam penyakit sehingga tidak bisa memimpin pasukan secara langsung. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan, وتحالفت الأمراض على البطل القائد العام) سعد  (فأصابته بعرق النسا، وبحبون و دماميل منعته من الركوب، بل حتى من الجلوس، فلم يستطع أن يركب ولا أن يجلس فاعتلى القصر وأكب من فوقه على وسادة في صدره يشرف على الناس “Berbagai penyakit telah menimpa komandan pasukan (Sa’ad). Ia terkena encok, bisul yang bernanah, dan borok yang menghalanginya untuk mengendarai kuda, bahkan tidak bisa untuk duduk. Ia tidak mampu untuk memimpin dengan berkuda dan duduk, maka ia naik di atas bangunan dan tidur tengkurap di atas bantal di dadanya mengatur pasukan.” Walaupun dengan penyakitnya yang cukup serius, Sa’ad tetap berusaha untuk memimpin pasukan dan mewakilkan komando kepada Khalid bin Urfuthah. Sa’ad memberikan perintah kepada Khalid dari atas markasnya. Pertempuran berlangsung selama tiga hari, pertempuran berlangsung dengan sengit. Kedua pasukan awalnya bertempur dengan imbang hingga akhirnya kaum muslimin mulai memenangkan pertempuran hingga akhirnya bisa memukul mundur pasukan Persia dan mengalahkannya. Pada peperangan tersebut, kaum muslimin kehilangan sekitar 25% dari pasukannya dan pasukan Persia kehilangan sekitar 40.000 dari pasukannya. Kemenangan pasukan kaum muslimin di Al-Qadisiyyah ini merupakan awal dari keruntuhan kekaisaran Persia. Setelah pertempuran ini, pasukan kaum muslimin terus mendesak pasukan Persia sehingga akhirnya meruntuhkan kekaisaran Persia. Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Penaklukan Ctesiphon Setelah menangnya kaum muslimin di Al-Qadisiyyah, Sa’ad memimpin pasukan kaum muslimin dan mendesak pasukan Persia, hingga akhirnya pasukan kaum muslimin bisa mencapai ibu kota kekaisaran Persia Ctesiphon atau Mada’in. Sebuah kota megah yang terdiri dari banyak bangunan-bangunan megah sehingga dijuluki oleh orang Arab sebagai Mada’in (kota-kota). Kaum muslimin yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash berhasil mengepung dan mendesak Yezdegerd, sang Kaisar Persia hingga ia berlindung di istananya. Ketika itu, pasukan muslimin pun terhalang oleh sungai dan pertahanan yang dibangun oleh pasukan Persia sehingga tidak bisa menyerang. Pada suatu malam, Sa’ad bin Abi Waqash bermimpi bahwa kuda-kuda kaum muslimin menyeberangi sungai. Sa’ad bin Abi Waqash setelah itu memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk menyeberangi sungai. Pasukan kaum muslimin pun ketika itu menyeberangi sungai tersebut dengan kuda-kuda mereka. Ketika itu, semua pasukan berhasil menyeberangi sungai dengan selamat, kecuali satu orang saja yang jatuh dari kudanya. Melihat kejadian yang luar biasa tersebut, Yezdegerd pun kabur dari istananya bersama para pelayannya. Setelah itu, menaklukan Ctesiphon dan menduduki istana putih, istana kekaisaran Persia. Sa’ad bin Abi Waqash pun masuk ke Ctesiphon, menuju singgasana Kisra (Kaisar Persia), lalu Sa’ad radhiyallahu ’anhu membacakan ayat Al-Quran, كَمْ تَرَكُوا۟ مِن جَنَّـٰتٍۢ وَعُيُونٍۢ  وَزُرُوعٍۢ وَمَقَامٍۢ كَرِيمٍۢ  وَنَعْمَةٍۢ كَانُوا۟ فِيهَا فَـٰكِهِينَ   كَذَٰلِكَ وَأَوْرَثْنَـٰهَا قَوْمًا ءَاخَرِينَ “Betapa banyak taman-taman dan mata-mata air yang mereka tinggalkan, kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, juga kesenangan-kesenangan yang dapat mereka nikmati di sana. Demikianlah (Allah menyiksa mereka). Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang lain.” (QS. Ad-Dukhan: 25 -28) Perpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Setelah perjalanan panjang, Sa’ad bin Abi Waqash menaklukan Persia lalu menduduki posisi penting di kekhalifahan Utsman. Sa’ad memilih untuk pergi ketika terjadi fitnah setelah syahidnya Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu. وعن عمر بن سعد، عن أبيه، أنه جاءه ابنه ،عامر فقال: «أى بنى، أفي الفتنة تأمرني أن أكون رأساً؟ لا والله، حتى أعطى سيفاً، إن ضربت به مسلما، نبا عنه، وإن ضربت كافراً ،قتله سمعت رسول الله يقول: إن الله يحب الغنى الخفى التقى “Dari Umar bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad), bahwasanya ia didatangi anaknya Amir, lalu ia berkata, ‘Wahai anakku, apakah kamu memerintahkanku untuk memimpin dalam fitnah? Tidak, demi Allah, hingga aku diberi sebuah pedang, jika aku menebas seorang muslim, maka tidak mempan dan jika aku menebas seorang kafir, maka membunuhnya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,  ‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang merasa cukup, tidak dikenal, dan bertakwa.’” (HR. Muslim) Setelah perjuangan yang panjang, Sa’ad bin Abi Waqash terbaring di pembaringan terakhirnya menyusul kekasihnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di surga. Ia merupakan salah satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga. Dari Mus’ab bin Sa’ad ia berkata, كان رأس أبي في حجري، وهو يقضى. فبكيت، فرفع رأسه إلى، فقال: أى بنى ما يبكيك؟ قلت: لمكانك وما أرى بك. قال: لا تبك فإن الله لا يعذبني أبداً. وإني من أهل الجنة “Kepala ayahku di pangkuanku dan ia dalam keadaan sekarat, lalu aku menangis. Lalu, ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai anakku, kenapa engkau menangis?’ Aku pun berkata, ‘Atas keadaanmu dan apa yang aku lihat padamu.’ Lalu ia berkata, ‘Janganlah engkau menangis, sesungguhnya Allah tidak akan menyiksaku selamanya. Sesungguhnya aku adalah penghuni surga.’” (Thabaqat li ibni Sa’ad) Dengan ini, selesailah kisah seorang sahabat yang mulia, paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, pemanah handal, dan juga penakluk kekaisaran Persia, Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash

Kisah Sa’ad bin Abi Waqash (Bag. 2): Jihad Sa’ad bin Abi Waqash

Daftar Isi Toggle Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamPertempuran Al-QadisiyyahPenaklukan CtesiphonPerpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Di antara sahabat yang memiliki kemampuan perang yang luar biasa adalah Sa’ad bin Abi Waqash. Beliau radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat yang dijamin masuk surga yang dikenal dengan kemampuan memanahnya yang luar biasa. Hal tersebut dikarenakan masa kecil Sa’ad dihabiskan dengan memanah, mulai dari merawat busur dan menajamkan anak panah hingga berlatih memanah. Semua hal tersebut beliau lakukan seakan-akan beliau radhiyallahu ’anhu sedang mempersiapkan diri untuk perkara yang besar. Masa kecil Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu mengasah dirinya dalam memanah di kemudian hari menjadi bermanfaat untuk membela Islam, melindungi Rasulullah, menegakkan kalimat tauhid, dan menghancurkan api dan berhala majusi di bumi Persia. Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah seorang sahabat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di setiap jihad yang beliau shallallahu ’alaihi wasallam ikuti. Sa’ad bin Abi Waqash berjihad di setiap jihad bersama Rasulullah, dan dalam peperangan tersebut, beliau diberi kemenangan yang baik. Ketika perang Badar terjadi, Sa’ad bin Abi Waqash bertempur dengan gagah berani. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, لقد رأيت سعداً يقاتل يوم بدر قتال الفارس في الرجال “Sungguh aku telah melihat Sa’ad berperang di hari Badar bagaikan seorang penunggang kuda di tengah suatu kaum.” (Thabaqat li Ibni Sa’ad) Ketika perang Uhud terjadi, kaum musyrikin mulai membalikkan keadaan akibat turunnya para pemanah dari bukit Uhud. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikepung oleh pasukan musyrikin dan dilindungi oleh beberapa sahabat saja. Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah satu dari sedikit sahabat yang bersama Rasulullah ketika itu. Ia bersama dengan beberapa orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dari serangan kaum musyrikin. Ketika itu, satu per satu syahidlah sahabat dari golongan Anshar dan tersisalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika itu, Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dengan mengorbankan badannya hingga tubuhnya dipenuhi oleh luka, sedangkan Sa’ad melindungi Rasulullah dengan busurnya. Rasulullah sangat mempercayai kemampuan memanah Sa’ad bin Abi Waqash. Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu, ia berkata, فلقد رأيته يناولني النبل وهو يقول: ارم فداك أبي وأمي، حتى إنه ليناولني السهم ما له من نصل فيقول ارم به “Sungguh aku telah melihat Rasulullah memberikanku sebuah anak panah lalu beliau bersabda, ‘Panahlah, ayah dan ibuku menjadi tebusan.’ Sampai-sampai beliau memberikanku anak panah yang tidak memiliki ujung lalu beliau berssbda, ‘Panahlah dengannya.'” (HR. Bukhari) Sa’ad bin Abi Waqash terus berjihad di setiap peperangan bersama Rasulullah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Setelah wafatnya Rasulullah, Sa’ad pun berjihad bersama Abu Bakar, lalu bersama Umar bin Khattab hingga menaklukan kekaisaran Persia. Pertempuran Al-Qadisiyyah Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan kaum muslimin sedang berperang melawan dua kekuatan besar ketika itu, yaitu Romawi dan Persia, Sa’ad bin Abi Waqash dipercaya oleh Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menuju ke wilayah kekuasaan Persia. Sa’ad bin Abi Waqash ketika itu memimpin pasukan hingga bertemu dengan pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustam di barat sungai Eufrat yang bernama Al-Qadisiyyah. Ketika kedua pasukan bertemu, keduanya mendirikan camp militer dan memulai dengan perundingan. Delegasi kaum muslimin mengirimkan pesan agar pasukan Persia memeluk Islam atau membayar Jizyah. Tentu hal tersebut tidak disetujui oleh Rustam dan peperangan pun tidak bisa dihindari. Akan tetapi, sebelum peperangan berlangsung, Sa’ad bin Abi Waqash sakit dengan berbagai macam penyakit sehingga tidak bisa memimpin pasukan secara langsung. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan, وتحالفت الأمراض على البطل القائد العام) سعد  (فأصابته بعرق النسا، وبحبون و دماميل منعته من الركوب، بل حتى من الجلوس، فلم يستطع أن يركب ولا أن يجلس فاعتلى القصر وأكب من فوقه على وسادة في صدره يشرف على الناس “Berbagai penyakit telah menimpa komandan pasukan (Sa’ad). Ia terkena encok, bisul yang bernanah, dan borok yang menghalanginya untuk mengendarai kuda, bahkan tidak bisa untuk duduk. Ia tidak mampu untuk memimpin dengan berkuda dan duduk, maka ia naik di atas bangunan dan tidur tengkurap di atas bantal di dadanya mengatur pasukan.” Walaupun dengan penyakitnya yang cukup serius, Sa’ad tetap berusaha untuk memimpin pasukan dan mewakilkan komando kepada Khalid bin Urfuthah. Sa’ad memberikan perintah kepada Khalid dari atas markasnya. Pertempuran berlangsung selama tiga hari, pertempuran berlangsung dengan sengit. Kedua pasukan awalnya bertempur dengan imbang hingga akhirnya kaum muslimin mulai memenangkan pertempuran hingga akhirnya bisa memukul mundur pasukan Persia dan mengalahkannya. Pada peperangan tersebut, kaum muslimin kehilangan sekitar 25% dari pasukannya dan pasukan Persia kehilangan sekitar 40.000 dari pasukannya. Kemenangan pasukan kaum muslimin di Al-Qadisiyyah ini merupakan awal dari keruntuhan kekaisaran Persia. Setelah pertempuran ini, pasukan kaum muslimin terus mendesak pasukan Persia sehingga akhirnya meruntuhkan kekaisaran Persia. Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Penaklukan Ctesiphon Setelah menangnya kaum muslimin di Al-Qadisiyyah, Sa’ad memimpin pasukan kaum muslimin dan mendesak pasukan Persia, hingga akhirnya pasukan kaum muslimin bisa mencapai ibu kota kekaisaran Persia Ctesiphon atau Mada’in. Sebuah kota megah yang terdiri dari banyak bangunan-bangunan megah sehingga dijuluki oleh orang Arab sebagai Mada’in (kota-kota). Kaum muslimin yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash berhasil mengepung dan mendesak Yezdegerd, sang Kaisar Persia hingga ia berlindung di istananya. Ketika itu, pasukan muslimin pun terhalang oleh sungai dan pertahanan yang dibangun oleh pasukan Persia sehingga tidak bisa menyerang. Pada suatu malam, Sa’ad bin Abi Waqash bermimpi bahwa kuda-kuda kaum muslimin menyeberangi sungai. Sa’ad bin Abi Waqash setelah itu memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk menyeberangi sungai. Pasukan kaum muslimin pun ketika itu menyeberangi sungai tersebut dengan kuda-kuda mereka. Ketika itu, semua pasukan berhasil menyeberangi sungai dengan selamat, kecuali satu orang saja yang jatuh dari kudanya. Melihat kejadian yang luar biasa tersebut, Yezdegerd pun kabur dari istananya bersama para pelayannya. Setelah itu, menaklukan Ctesiphon dan menduduki istana putih, istana kekaisaran Persia. Sa’ad bin Abi Waqash pun masuk ke Ctesiphon, menuju singgasana Kisra (Kaisar Persia), lalu Sa’ad radhiyallahu ’anhu membacakan ayat Al-Quran, كَمْ تَرَكُوا۟ مِن جَنَّـٰتٍۢ وَعُيُونٍۢ  وَزُرُوعٍۢ وَمَقَامٍۢ كَرِيمٍۢ  وَنَعْمَةٍۢ كَانُوا۟ فِيهَا فَـٰكِهِينَ   كَذَٰلِكَ وَأَوْرَثْنَـٰهَا قَوْمًا ءَاخَرِينَ “Betapa banyak taman-taman dan mata-mata air yang mereka tinggalkan, kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, juga kesenangan-kesenangan yang dapat mereka nikmati di sana. Demikianlah (Allah menyiksa mereka). Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang lain.” (QS. Ad-Dukhan: 25 -28) Perpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Setelah perjalanan panjang, Sa’ad bin Abi Waqash menaklukan Persia lalu menduduki posisi penting di kekhalifahan Utsman. Sa’ad memilih untuk pergi ketika terjadi fitnah setelah syahidnya Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu. وعن عمر بن سعد، عن أبيه، أنه جاءه ابنه ،عامر فقال: «أى بنى، أفي الفتنة تأمرني أن أكون رأساً؟ لا والله، حتى أعطى سيفاً، إن ضربت به مسلما، نبا عنه، وإن ضربت كافراً ،قتله سمعت رسول الله يقول: إن الله يحب الغنى الخفى التقى “Dari Umar bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad), bahwasanya ia didatangi anaknya Amir, lalu ia berkata, ‘Wahai anakku, apakah kamu memerintahkanku untuk memimpin dalam fitnah? Tidak, demi Allah, hingga aku diberi sebuah pedang, jika aku menebas seorang muslim, maka tidak mempan dan jika aku menebas seorang kafir, maka membunuhnya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,  ‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang merasa cukup, tidak dikenal, dan bertakwa.’” (HR. Muslim) Setelah perjuangan yang panjang, Sa’ad bin Abi Waqash terbaring di pembaringan terakhirnya menyusul kekasihnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di surga. Ia merupakan salah satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga. Dari Mus’ab bin Sa’ad ia berkata, كان رأس أبي في حجري، وهو يقضى. فبكيت، فرفع رأسه إلى، فقال: أى بنى ما يبكيك؟ قلت: لمكانك وما أرى بك. قال: لا تبك فإن الله لا يعذبني أبداً. وإني من أهل الجنة “Kepala ayahku di pangkuanku dan ia dalam keadaan sekarat, lalu aku menangis. Lalu, ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai anakku, kenapa engkau menangis?’ Aku pun berkata, ‘Atas keadaanmu dan apa yang aku lihat padamu.’ Lalu ia berkata, ‘Janganlah engkau menangis, sesungguhnya Allah tidak akan menyiksaku selamanya. Sesungguhnya aku adalah penghuni surga.’” (Thabaqat li ibni Sa’ad) Dengan ini, selesailah kisah seorang sahabat yang mulia, paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, pemanah handal, dan juga penakluk kekaisaran Persia, Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash
Daftar Isi Toggle Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamPertempuran Al-QadisiyyahPenaklukan CtesiphonPerpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Di antara sahabat yang memiliki kemampuan perang yang luar biasa adalah Sa’ad bin Abi Waqash. Beliau radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat yang dijamin masuk surga yang dikenal dengan kemampuan memanahnya yang luar biasa. Hal tersebut dikarenakan masa kecil Sa’ad dihabiskan dengan memanah, mulai dari merawat busur dan menajamkan anak panah hingga berlatih memanah. Semua hal tersebut beliau lakukan seakan-akan beliau radhiyallahu ’anhu sedang mempersiapkan diri untuk perkara yang besar. Masa kecil Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu mengasah dirinya dalam memanah di kemudian hari menjadi bermanfaat untuk membela Islam, melindungi Rasulullah, menegakkan kalimat tauhid, dan menghancurkan api dan berhala majusi di bumi Persia. Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah seorang sahabat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di setiap jihad yang beliau shallallahu ’alaihi wasallam ikuti. Sa’ad bin Abi Waqash berjihad di setiap jihad bersama Rasulullah, dan dalam peperangan tersebut, beliau diberi kemenangan yang baik. Ketika perang Badar terjadi, Sa’ad bin Abi Waqash bertempur dengan gagah berani. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, لقد رأيت سعداً يقاتل يوم بدر قتال الفارس في الرجال “Sungguh aku telah melihat Sa’ad berperang di hari Badar bagaikan seorang penunggang kuda di tengah suatu kaum.” (Thabaqat li Ibni Sa’ad) Ketika perang Uhud terjadi, kaum musyrikin mulai membalikkan keadaan akibat turunnya para pemanah dari bukit Uhud. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikepung oleh pasukan musyrikin dan dilindungi oleh beberapa sahabat saja. Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah satu dari sedikit sahabat yang bersama Rasulullah ketika itu. Ia bersama dengan beberapa orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dari serangan kaum musyrikin. Ketika itu, satu per satu syahidlah sahabat dari golongan Anshar dan tersisalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika itu, Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dengan mengorbankan badannya hingga tubuhnya dipenuhi oleh luka, sedangkan Sa’ad melindungi Rasulullah dengan busurnya. Rasulullah sangat mempercayai kemampuan memanah Sa’ad bin Abi Waqash. Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu, ia berkata, فلقد رأيته يناولني النبل وهو يقول: ارم فداك أبي وأمي، حتى إنه ليناولني السهم ما له من نصل فيقول ارم به “Sungguh aku telah melihat Rasulullah memberikanku sebuah anak panah lalu beliau bersabda, ‘Panahlah, ayah dan ibuku menjadi tebusan.’ Sampai-sampai beliau memberikanku anak panah yang tidak memiliki ujung lalu beliau berssbda, ‘Panahlah dengannya.'” (HR. Bukhari) Sa’ad bin Abi Waqash terus berjihad di setiap peperangan bersama Rasulullah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Setelah wafatnya Rasulullah, Sa’ad pun berjihad bersama Abu Bakar, lalu bersama Umar bin Khattab hingga menaklukan kekaisaran Persia. Pertempuran Al-Qadisiyyah Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan kaum muslimin sedang berperang melawan dua kekuatan besar ketika itu, yaitu Romawi dan Persia, Sa’ad bin Abi Waqash dipercaya oleh Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menuju ke wilayah kekuasaan Persia. Sa’ad bin Abi Waqash ketika itu memimpin pasukan hingga bertemu dengan pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustam di barat sungai Eufrat yang bernama Al-Qadisiyyah. Ketika kedua pasukan bertemu, keduanya mendirikan camp militer dan memulai dengan perundingan. Delegasi kaum muslimin mengirimkan pesan agar pasukan Persia memeluk Islam atau membayar Jizyah. Tentu hal tersebut tidak disetujui oleh Rustam dan peperangan pun tidak bisa dihindari. Akan tetapi, sebelum peperangan berlangsung, Sa’ad bin Abi Waqash sakit dengan berbagai macam penyakit sehingga tidak bisa memimpin pasukan secara langsung. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan, وتحالفت الأمراض على البطل القائد العام) سعد  (فأصابته بعرق النسا، وبحبون و دماميل منعته من الركوب، بل حتى من الجلوس، فلم يستطع أن يركب ولا أن يجلس فاعتلى القصر وأكب من فوقه على وسادة في صدره يشرف على الناس “Berbagai penyakit telah menimpa komandan pasukan (Sa’ad). Ia terkena encok, bisul yang bernanah, dan borok yang menghalanginya untuk mengendarai kuda, bahkan tidak bisa untuk duduk. Ia tidak mampu untuk memimpin dengan berkuda dan duduk, maka ia naik di atas bangunan dan tidur tengkurap di atas bantal di dadanya mengatur pasukan.” Walaupun dengan penyakitnya yang cukup serius, Sa’ad tetap berusaha untuk memimpin pasukan dan mewakilkan komando kepada Khalid bin Urfuthah. Sa’ad memberikan perintah kepada Khalid dari atas markasnya. Pertempuran berlangsung selama tiga hari, pertempuran berlangsung dengan sengit. Kedua pasukan awalnya bertempur dengan imbang hingga akhirnya kaum muslimin mulai memenangkan pertempuran hingga akhirnya bisa memukul mundur pasukan Persia dan mengalahkannya. Pada peperangan tersebut, kaum muslimin kehilangan sekitar 25% dari pasukannya dan pasukan Persia kehilangan sekitar 40.000 dari pasukannya. Kemenangan pasukan kaum muslimin di Al-Qadisiyyah ini merupakan awal dari keruntuhan kekaisaran Persia. Setelah pertempuran ini, pasukan kaum muslimin terus mendesak pasukan Persia sehingga akhirnya meruntuhkan kekaisaran Persia. Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Penaklukan Ctesiphon Setelah menangnya kaum muslimin di Al-Qadisiyyah, Sa’ad memimpin pasukan kaum muslimin dan mendesak pasukan Persia, hingga akhirnya pasukan kaum muslimin bisa mencapai ibu kota kekaisaran Persia Ctesiphon atau Mada’in. Sebuah kota megah yang terdiri dari banyak bangunan-bangunan megah sehingga dijuluki oleh orang Arab sebagai Mada’in (kota-kota). Kaum muslimin yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash berhasil mengepung dan mendesak Yezdegerd, sang Kaisar Persia hingga ia berlindung di istananya. Ketika itu, pasukan muslimin pun terhalang oleh sungai dan pertahanan yang dibangun oleh pasukan Persia sehingga tidak bisa menyerang. Pada suatu malam, Sa’ad bin Abi Waqash bermimpi bahwa kuda-kuda kaum muslimin menyeberangi sungai. Sa’ad bin Abi Waqash setelah itu memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk menyeberangi sungai. Pasukan kaum muslimin pun ketika itu menyeberangi sungai tersebut dengan kuda-kuda mereka. Ketika itu, semua pasukan berhasil menyeberangi sungai dengan selamat, kecuali satu orang saja yang jatuh dari kudanya. Melihat kejadian yang luar biasa tersebut, Yezdegerd pun kabur dari istananya bersama para pelayannya. Setelah itu, menaklukan Ctesiphon dan menduduki istana putih, istana kekaisaran Persia. Sa’ad bin Abi Waqash pun masuk ke Ctesiphon, menuju singgasana Kisra (Kaisar Persia), lalu Sa’ad radhiyallahu ’anhu membacakan ayat Al-Quran, كَمْ تَرَكُوا۟ مِن جَنَّـٰتٍۢ وَعُيُونٍۢ  وَزُرُوعٍۢ وَمَقَامٍۢ كَرِيمٍۢ  وَنَعْمَةٍۢ كَانُوا۟ فِيهَا فَـٰكِهِينَ   كَذَٰلِكَ وَأَوْرَثْنَـٰهَا قَوْمًا ءَاخَرِينَ “Betapa banyak taman-taman dan mata-mata air yang mereka tinggalkan, kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, juga kesenangan-kesenangan yang dapat mereka nikmati di sana. Demikianlah (Allah menyiksa mereka). Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang lain.” (QS. Ad-Dukhan: 25 -28) Perpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Setelah perjalanan panjang, Sa’ad bin Abi Waqash menaklukan Persia lalu menduduki posisi penting di kekhalifahan Utsman. Sa’ad memilih untuk pergi ketika terjadi fitnah setelah syahidnya Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu. وعن عمر بن سعد، عن أبيه، أنه جاءه ابنه ،عامر فقال: «أى بنى، أفي الفتنة تأمرني أن أكون رأساً؟ لا والله، حتى أعطى سيفاً، إن ضربت به مسلما، نبا عنه، وإن ضربت كافراً ،قتله سمعت رسول الله يقول: إن الله يحب الغنى الخفى التقى “Dari Umar bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad), bahwasanya ia didatangi anaknya Amir, lalu ia berkata, ‘Wahai anakku, apakah kamu memerintahkanku untuk memimpin dalam fitnah? Tidak, demi Allah, hingga aku diberi sebuah pedang, jika aku menebas seorang muslim, maka tidak mempan dan jika aku menebas seorang kafir, maka membunuhnya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,  ‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang merasa cukup, tidak dikenal, dan bertakwa.’” (HR. Muslim) Setelah perjuangan yang panjang, Sa’ad bin Abi Waqash terbaring di pembaringan terakhirnya menyusul kekasihnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di surga. Ia merupakan salah satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga. Dari Mus’ab bin Sa’ad ia berkata, كان رأس أبي في حجري، وهو يقضى. فبكيت، فرفع رأسه إلى، فقال: أى بنى ما يبكيك؟ قلت: لمكانك وما أرى بك. قال: لا تبك فإن الله لا يعذبني أبداً. وإني من أهل الجنة “Kepala ayahku di pangkuanku dan ia dalam keadaan sekarat, lalu aku menangis. Lalu, ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai anakku, kenapa engkau menangis?’ Aku pun berkata, ‘Atas keadaanmu dan apa yang aku lihat padamu.’ Lalu ia berkata, ‘Janganlah engkau menangis, sesungguhnya Allah tidak akan menyiksaku selamanya. Sesungguhnya aku adalah penghuni surga.’” (Thabaqat li ibni Sa’ad) Dengan ini, selesailah kisah seorang sahabat yang mulia, paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, pemanah handal, dan juga penakluk kekaisaran Persia, Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash


Daftar Isi Toggle Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamPertempuran Al-QadisiyyahPenaklukan CtesiphonPerpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Di antara sahabat yang memiliki kemampuan perang yang luar biasa adalah Sa’ad bin Abi Waqash. Beliau radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat yang dijamin masuk surga yang dikenal dengan kemampuan memanahnya yang luar biasa. Hal tersebut dikarenakan masa kecil Sa’ad dihabiskan dengan memanah, mulai dari merawat busur dan menajamkan anak panah hingga berlatih memanah. Semua hal tersebut beliau lakukan seakan-akan beliau radhiyallahu ’anhu sedang mempersiapkan diri untuk perkara yang besar. Masa kecil Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu mengasah dirinya dalam memanah di kemudian hari menjadi bermanfaat untuk membela Islam, melindungi Rasulullah, menegakkan kalimat tauhid, dan menghancurkan api dan berhala majusi di bumi Persia. Jihad Sa’ad bin Abi Waqash bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah seorang sahabat yang berjihad bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di setiap jihad yang beliau shallallahu ’alaihi wasallam ikuti. Sa’ad bin Abi Waqash berjihad di setiap jihad bersama Rasulullah, dan dalam peperangan tersebut, beliau diberi kemenangan yang baik. Ketika perang Badar terjadi, Sa’ad bin Abi Waqash bertempur dengan gagah berani. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, لقد رأيت سعداً يقاتل يوم بدر قتال الفارس في الرجال “Sungguh aku telah melihat Sa’ad berperang di hari Badar bagaikan seorang penunggang kuda di tengah suatu kaum.” (Thabaqat li Ibni Sa’ad) Ketika perang Uhud terjadi, kaum musyrikin mulai membalikkan keadaan akibat turunnya para pemanah dari bukit Uhud. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikepung oleh pasukan musyrikin dan dilindungi oleh beberapa sahabat saja. Sa’ad bin Abi Waqash merupakan salah satu dari sedikit sahabat yang bersama Rasulullah ketika itu. Ia bersama dengan beberapa orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dari serangan kaum musyrikin. Ketika itu, satu per satu syahidlah sahabat dari golongan Anshar dan tersisalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika itu, Thalhah bin Ubaidillah melindungi Rasulullah dengan mengorbankan badannya hingga tubuhnya dipenuhi oleh luka, sedangkan Sa’ad melindungi Rasulullah dengan busurnya. Rasulullah sangat mempercayai kemampuan memanah Sa’ad bin Abi Waqash. Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu, ia berkata, فلقد رأيته يناولني النبل وهو يقول: ارم فداك أبي وأمي، حتى إنه ليناولني السهم ما له من نصل فيقول ارم به “Sungguh aku telah melihat Rasulullah memberikanku sebuah anak panah lalu beliau bersabda, ‘Panahlah, ayah dan ibuku menjadi tebusan.’ Sampai-sampai beliau memberikanku anak panah yang tidak memiliki ujung lalu beliau berssbda, ‘Panahlah dengannya.'” (HR. Bukhari) Sa’ad bin Abi Waqash terus berjihad di setiap peperangan bersama Rasulullah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Setelah wafatnya Rasulullah, Sa’ad pun berjihad bersama Abu Bakar, lalu bersama Umar bin Khattab hingga menaklukan kekaisaran Persia. Pertempuran Al-Qadisiyyah Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan kaum muslimin sedang berperang melawan dua kekuatan besar ketika itu, yaitu Romawi dan Persia, Sa’ad bin Abi Waqash dipercaya oleh Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menuju ke wilayah kekuasaan Persia. Sa’ad bin Abi Waqash ketika itu memimpin pasukan hingga bertemu dengan pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustam di barat sungai Eufrat yang bernama Al-Qadisiyyah. Ketika kedua pasukan bertemu, keduanya mendirikan camp militer dan memulai dengan perundingan. Delegasi kaum muslimin mengirimkan pesan agar pasukan Persia memeluk Islam atau membayar Jizyah. Tentu hal tersebut tidak disetujui oleh Rustam dan peperangan pun tidak bisa dihindari. Akan tetapi, sebelum peperangan berlangsung, Sa’ad bin Abi Waqash sakit dengan berbagai macam penyakit sehingga tidak bisa memimpin pasukan secara langsung. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan, وتحالفت الأمراض على البطل القائد العام) سعد  (فأصابته بعرق النسا، وبحبون و دماميل منعته من الركوب، بل حتى من الجلوس، فلم يستطع أن يركب ولا أن يجلس فاعتلى القصر وأكب من فوقه على وسادة في صدره يشرف على الناس “Berbagai penyakit telah menimpa komandan pasukan (Sa’ad). Ia terkena encok, bisul yang bernanah, dan borok yang menghalanginya untuk mengendarai kuda, bahkan tidak bisa untuk duduk. Ia tidak mampu untuk memimpin dengan berkuda dan duduk, maka ia naik di atas bangunan dan tidur tengkurap di atas bantal di dadanya mengatur pasukan.” Walaupun dengan penyakitnya yang cukup serius, Sa’ad tetap berusaha untuk memimpin pasukan dan mewakilkan komando kepada Khalid bin Urfuthah. Sa’ad memberikan perintah kepada Khalid dari atas markasnya. Pertempuran berlangsung selama tiga hari, pertempuran berlangsung dengan sengit. Kedua pasukan awalnya bertempur dengan imbang hingga akhirnya kaum muslimin mulai memenangkan pertempuran hingga akhirnya bisa memukul mundur pasukan Persia dan mengalahkannya. Pada peperangan tersebut, kaum muslimin kehilangan sekitar 25% dari pasukannya dan pasukan Persia kehilangan sekitar 40.000 dari pasukannya. Kemenangan pasukan kaum muslimin di Al-Qadisiyyah ini merupakan awal dari keruntuhan kekaisaran Persia. Setelah pertempuran ini, pasukan kaum muslimin terus mendesak pasukan Persia sehingga akhirnya meruntuhkan kekaisaran Persia. Baca juga: Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: Pejuang Akidah dari Palestina Penaklukan Ctesiphon Setelah menangnya kaum muslimin di Al-Qadisiyyah, Sa’ad memimpin pasukan kaum muslimin dan mendesak pasukan Persia, hingga akhirnya pasukan kaum muslimin bisa mencapai ibu kota kekaisaran Persia Ctesiphon atau Mada’in. Sebuah kota megah yang terdiri dari banyak bangunan-bangunan megah sehingga dijuluki oleh orang Arab sebagai Mada’in (kota-kota). Kaum muslimin yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash berhasil mengepung dan mendesak Yezdegerd, sang Kaisar Persia hingga ia berlindung di istananya. Ketika itu, pasukan muslimin pun terhalang oleh sungai dan pertahanan yang dibangun oleh pasukan Persia sehingga tidak bisa menyerang. Pada suatu malam, Sa’ad bin Abi Waqash bermimpi bahwa kuda-kuda kaum muslimin menyeberangi sungai. Sa’ad bin Abi Waqash setelah itu memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk menyeberangi sungai. Pasukan kaum muslimin pun ketika itu menyeberangi sungai tersebut dengan kuda-kuda mereka. Ketika itu, semua pasukan berhasil menyeberangi sungai dengan selamat, kecuali satu orang saja yang jatuh dari kudanya. Melihat kejadian yang luar biasa tersebut, Yezdegerd pun kabur dari istananya bersama para pelayannya. Setelah itu, menaklukan Ctesiphon dan menduduki istana putih, istana kekaisaran Persia. Sa’ad bin Abi Waqash pun masuk ke Ctesiphon, menuju singgasana Kisra (Kaisar Persia), lalu Sa’ad radhiyallahu ’anhu membacakan ayat Al-Quran, كَمْ تَرَكُوا۟ مِن جَنَّـٰتٍۢ وَعُيُونٍۢ  وَزُرُوعٍۢ وَمَقَامٍۢ كَرِيمٍۢ  وَنَعْمَةٍۢ كَانُوا۟ فِيهَا فَـٰكِهِينَ   كَذَٰلِكَ وَأَوْرَثْنَـٰهَا قَوْمًا ءَاخَرِينَ “Betapa banyak taman-taman dan mata-mata air yang mereka tinggalkan, kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, juga kesenangan-kesenangan yang dapat mereka nikmati di sana. Demikianlah (Allah menyiksa mereka). Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang lain.” (QS. Ad-Dukhan: 25 -28) Perpisahan dengan Sa’ad bin Abi Waqash Setelah perjalanan panjang, Sa’ad bin Abi Waqash menaklukan Persia lalu menduduki posisi penting di kekhalifahan Utsman. Sa’ad memilih untuk pergi ketika terjadi fitnah setelah syahidnya Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu. وعن عمر بن سعد، عن أبيه، أنه جاءه ابنه ،عامر فقال: «أى بنى، أفي الفتنة تأمرني أن أكون رأساً؟ لا والله، حتى أعطى سيفاً، إن ضربت به مسلما، نبا عنه، وإن ضربت كافراً ،قتله سمعت رسول الله يقول: إن الله يحب الغنى الخفى التقى “Dari Umar bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad), bahwasanya ia didatangi anaknya Amir, lalu ia berkata, ‘Wahai anakku, apakah kamu memerintahkanku untuk memimpin dalam fitnah? Tidak, demi Allah, hingga aku diberi sebuah pedang, jika aku menebas seorang muslim, maka tidak mempan dan jika aku menebas seorang kafir, maka membunuhnya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,  ‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang merasa cukup, tidak dikenal, dan bertakwa.’” (HR. Muslim) Setelah perjuangan yang panjang, Sa’ad bin Abi Waqash terbaring di pembaringan terakhirnya menyusul kekasihnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di surga. Ia merupakan salah satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga. Dari Mus’ab bin Sa’ad ia berkata, كان رأس أبي في حجري، وهو يقضى. فبكيت، فرفع رأسه إلى، فقال: أى بنى ما يبكيك؟ قلت: لمكانك وما أرى بك. قال: لا تبك فإن الله لا يعذبني أبداً. وإني من أهل الجنة “Kepala ayahku di pangkuanku dan ia dalam keadaan sekarat, lalu aku menangis. Lalu, ia mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai anakku, kenapa engkau menangis?’ Aku pun berkata, ‘Atas keadaanmu dan apa yang aku lihat padamu.’ Lalu ia berkata, ‘Janganlah engkau menangis, sesungguhnya Allah tidak akan menyiksaku selamanya. Sesungguhnya aku adalah penghuni surga.’” (Thabaqat li ibni Sa’ad) Dengan ini, selesailah kisah seorang sahabat yang mulia, paman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, pemanah handal, dan juga penakluk kekaisaran Persia, Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri Tags: Sa'ad bin Abi Waqash

Bulan Safar, Bulan Istimewa atau Bulan Sial? (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Penamaan bulan SafarKeistimewaan bulan SafarPeristiwa-peristiwa di bulan SafarPerang Al-AbwaPeristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’anPerang KhaibarPerang Bir Ma’unah Safar adalah salah satu nama bulan di antara dua belas bulan hijriah dan terletak setelah bulan Muharam. Lebih tepatnya, bulan kedua pada penanggalan hijriah. Penamaan bulan Safar Terdapat beberapa pendapat mengenai penamaan bulan Safar. Ada yang mengatakan, Safar diambil dari kata isfaru makkah (kosongnya kota Makkah). Maksudnya, kota Makkah kosong dari penduduknya karena mereka melakukan safar (berpergian) pada bulan tersebut. Ada pula yang mengatakan, dinamakan bulan Safar karena dahulu para kabilah-kabilah Arab ketika pergi berperang, mereka tidak akan meninggalkan seseorang yang mereka temui, kecuali akan dirampas barangnya tersebut tanpa sisa. Inilah di antara beberapa penamaan bulan Safar. Keistimewaan bulan Safar Pada bulan Safar ini, tidak terdapat dalil yang menunjukkan secara spesifik tentang keistimewaan bulan Safar. Bulan Safar itu sama saja dengan bulan yang lainnya dari bulan-bulan hijriah. Karena seluruh hari yang Allah ciptakan adalah baik, dan bulan Safar ini termasuk hari-hari yang baik. Tentunya, pada bulan ini bisa dilakukan amalan-amalan seperti yang dilakukan di bulan lainnya. Di antaranya: qiyamul lail (menghidupkan malam dengan ibadah), membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya, berdoa dan zikir di pagi dan malam hari, berpuasa sesuai dengan kemampuan, zakat dan sedekah, menyambung tali silaturahmi dan menyebarkan salam, selawat kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, dan menuntut ilmu syar’i. Inilah amalan-amalan secara umum yang bisa dikerjakan di bulan Safar maupun di bulan-bulan lainnya. Tentunya masih banyak lagi amalan-amalan yang bisa dikerjakan. Peristiwa-peristiwa di bulan Safar Kendati tidak ada keistimewaan secara khusus, namun terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Safar pada zaman dahulu, yang hal ini kiranya rugi jika tidak diketahui. Ibnul Qayyim rahimahullah beliau membawakan dalam kitabnya Zadul Ma’ad tentang beberapa peristiwa atau peperangan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang pada bulan tersebut. Berikut ini di antara kejadian maupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Di antaranya: Perang Al-Abwa Perang ini di sebut dengan perang Al-Abwa. Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Kemudian beliau berperang dengan diri beliau sendiri pada perang Al-Abwa atau yang dikenal dengan Waddan. Yaitu, perang yang pertama kali beliau ikut serta dengan diri beliau sendiri. Perang itu terjadi pada bulan Safar, dua belas bulan dari peristiwa hijrah. Kala itu, yang membawa bendera perang adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Bendera tersebut berwarna putih. Sa’ad bin ‘Ubadah diminta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjaga kota Madinah. Orang-orang muhajirin saat itu keluar (dari Madinah) secara khusus untuk menghadang orang-orang Quraisy yang membawa barang dagangan. Quraisy pun tidak dapat melakukan tipu daya. Dalam perang ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil perjanjian Makhsyi bin Amr Ad-Dumari, pemimpin Bani Dumar. Perjanjian tersebut berisikan kaum muslimin tidak akan menyerang Bani Dumar dan mereka (Bani Dumar) tidak akan menyerang kaum muslimin, tidak mengumpulkan (pasukan), dan tidak membantu musuh. Perjanjian akan perdamaian itu ditulis antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mereka dalam suatu perjanjian. Hal itu yang menjadikan mereka (Bani Dumar) tidak kelihatan selama lima belas malam.” [1] Peristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Ketika bulan Safar (tahun ketiga hijriah), kaum ‘Adhal dan Qarah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menceritakan bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam. Mereka pun meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengutus bersama mereka orang-orang yang  bisa mengajarkan agama dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengutus enam orang (menurut pendapat Ibnu Ishaq). Imam Al-Bukhari mengatakan; mereka (para sahabat yang diutus) berjumlah sepuluh orang. Martsad bin Abi Martsad Al-Ganawiy diangkat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi pemimpinnya. Bersama mereka pun ada Khubaib bin ‘Adi. Mereka pun pergi bersama-sama, tatkala sampai di Roji’ -mata air milik suku Hudzail yang mengarah ke Hijaz-, kaum itu pun berkhianat kepada para sahabat. Para sahabat berteriak minta tolong kepada suku Hudzail, lalu mereka datang mengepungnya. Maka para sahabat hampir semuanya dibunuh, sedangkan Khubaib bin Adi dan Zain bin Datsinah ditawan. Keduanya dibawa dan dijual di Makkah. Dan keduanya pernah membunuh pembesar Makkah waktu perang Badar.” [2] Perang Khaibar Perang Khaibar terjadi di akhir bulan Muharam, bukan di awal bulan Muharam. Kemudian Khaibar berhasil ditaklukkan pada bulan Safar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [3] Perang Bir Ma’unah Terjadi pula pada bulan Safar tahun ke empat (peristiwa sumur Ma’unah). Kisah di mana utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni para sahabat yang kira-kira berjumlah tujuh puluh orang, dikhianati. Sehingga terdapat beberapa sahabat yang terbunuh pada peristiwa ini. [4] Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ataupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Tentunya hal ini sebagai pengetahuan bahwasanya tidak ada kesialan pada bulan Safar. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjalani beberapa peperangan di bulan Safar. Andaikata bulan ini adalah bulan yang sial, tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya tidak akan berangkat untuk berperang. Semoga bermanfaat, wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 07 Safar 1446H / 10 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website islamqa.info Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Cet. Muassasah Ar-Risalah, Beirut. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki:  [1] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 164. [2] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 244. [3] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 339-340. [4] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 246-248. Tags: bulan safar

Bulan Safar, Bulan Istimewa atau Bulan Sial? (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Penamaan bulan SafarKeistimewaan bulan SafarPeristiwa-peristiwa di bulan SafarPerang Al-AbwaPeristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’anPerang KhaibarPerang Bir Ma’unah Safar adalah salah satu nama bulan di antara dua belas bulan hijriah dan terletak setelah bulan Muharam. Lebih tepatnya, bulan kedua pada penanggalan hijriah. Penamaan bulan Safar Terdapat beberapa pendapat mengenai penamaan bulan Safar. Ada yang mengatakan, Safar diambil dari kata isfaru makkah (kosongnya kota Makkah). Maksudnya, kota Makkah kosong dari penduduknya karena mereka melakukan safar (berpergian) pada bulan tersebut. Ada pula yang mengatakan, dinamakan bulan Safar karena dahulu para kabilah-kabilah Arab ketika pergi berperang, mereka tidak akan meninggalkan seseorang yang mereka temui, kecuali akan dirampas barangnya tersebut tanpa sisa. Inilah di antara beberapa penamaan bulan Safar. Keistimewaan bulan Safar Pada bulan Safar ini, tidak terdapat dalil yang menunjukkan secara spesifik tentang keistimewaan bulan Safar. Bulan Safar itu sama saja dengan bulan yang lainnya dari bulan-bulan hijriah. Karena seluruh hari yang Allah ciptakan adalah baik, dan bulan Safar ini termasuk hari-hari yang baik. Tentunya, pada bulan ini bisa dilakukan amalan-amalan seperti yang dilakukan di bulan lainnya. Di antaranya: qiyamul lail (menghidupkan malam dengan ibadah), membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya, berdoa dan zikir di pagi dan malam hari, berpuasa sesuai dengan kemampuan, zakat dan sedekah, menyambung tali silaturahmi dan menyebarkan salam, selawat kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, dan menuntut ilmu syar’i. Inilah amalan-amalan secara umum yang bisa dikerjakan di bulan Safar maupun di bulan-bulan lainnya. Tentunya masih banyak lagi amalan-amalan yang bisa dikerjakan. Peristiwa-peristiwa di bulan Safar Kendati tidak ada keistimewaan secara khusus, namun terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Safar pada zaman dahulu, yang hal ini kiranya rugi jika tidak diketahui. Ibnul Qayyim rahimahullah beliau membawakan dalam kitabnya Zadul Ma’ad tentang beberapa peristiwa atau peperangan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang pada bulan tersebut. Berikut ini di antara kejadian maupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Di antaranya: Perang Al-Abwa Perang ini di sebut dengan perang Al-Abwa. Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Kemudian beliau berperang dengan diri beliau sendiri pada perang Al-Abwa atau yang dikenal dengan Waddan. Yaitu, perang yang pertama kali beliau ikut serta dengan diri beliau sendiri. Perang itu terjadi pada bulan Safar, dua belas bulan dari peristiwa hijrah. Kala itu, yang membawa bendera perang adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Bendera tersebut berwarna putih. Sa’ad bin ‘Ubadah diminta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjaga kota Madinah. Orang-orang muhajirin saat itu keluar (dari Madinah) secara khusus untuk menghadang orang-orang Quraisy yang membawa barang dagangan. Quraisy pun tidak dapat melakukan tipu daya. Dalam perang ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil perjanjian Makhsyi bin Amr Ad-Dumari, pemimpin Bani Dumar. Perjanjian tersebut berisikan kaum muslimin tidak akan menyerang Bani Dumar dan mereka (Bani Dumar) tidak akan menyerang kaum muslimin, tidak mengumpulkan (pasukan), dan tidak membantu musuh. Perjanjian akan perdamaian itu ditulis antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mereka dalam suatu perjanjian. Hal itu yang menjadikan mereka (Bani Dumar) tidak kelihatan selama lima belas malam.” [1] Peristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Ketika bulan Safar (tahun ketiga hijriah), kaum ‘Adhal dan Qarah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menceritakan bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam. Mereka pun meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengutus bersama mereka orang-orang yang  bisa mengajarkan agama dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengutus enam orang (menurut pendapat Ibnu Ishaq). Imam Al-Bukhari mengatakan; mereka (para sahabat yang diutus) berjumlah sepuluh orang. Martsad bin Abi Martsad Al-Ganawiy diangkat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi pemimpinnya. Bersama mereka pun ada Khubaib bin ‘Adi. Mereka pun pergi bersama-sama, tatkala sampai di Roji’ -mata air milik suku Hudzail yang mengarah ke Hijaz-, kaum itu pun berkhianat kepada para sahabat. Para sahabat berteriak minta tolong kepada suku Hudzail, lalu mereka datang mengepungnya. Maka para sahabat hampir semuanya dibunuh, sedangkan Khubaib bin Adi dan Zain bin Datsinah ditawan. Keduanya dibawa dan dijual di Makkah. Dan keduanya pernah membunuh pembesar Makkah waktu perang Badar.” [2] Perang Khaibar Perang Khaibar terjadi di akhir bulan Muharam, bukan di awal bulan Muharam. Kemudian Khaibar berhasil ditaklukkan pada bulan Safar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [3] Perang Bir Ma’unah Terjadi pula pada bulan Safar tahun ke empat (peristiwa sumur Ma’unah). Kisah di mana utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni para sahabat yang kira-kira berjumlah tujuh puluh orang, dikhianati. Sehingga terdapat beberapa sahabat yang terbunuh pada peristiwa ini. [4] Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ataupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Tentunya hal ini sebagai pengetahuan bahwasanya tidak ada kesialan pada bulan Safar. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjalani beberapa peperangan di bulan Safar. Andaikata bulan ini adalah bulan yang sial, tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya tidak akan berangkat untuk berperang. Semoga bermanfaat, wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 07 Safar 1446H / 10 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website islamqa.info Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Cet. Muassasah Ar-Risalah, Beirut. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki:  [1] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 164. [2] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 244. [3] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 339-340. [4] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 246-248. Tags: bulan safar
Daftar Isi Toggle Penamaan bulan SafarKeistimewaan bulan SafarPeristiwa-peristiwa di bulan SafarPerang Al-AbwaPeristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’anPerang KhaibarPerang Bir Ma’unah Safar adalah salah satu nama bulan di antara dua belas bulan hijriah dan terletak setelah bulan Muharam. Lebih tepatnya, bulan kedua pada penanggalan hijriah. Penamaan bulan Safar Terdapat beberapa pendapat mengenai penamaan bulan Safar. Ada yang mengatakan, Safar diambil dari kata isfaru makkah (kosongnya kota Makkah). Maksudnya, kota Makkah kosong dari penduduknya karena mereka melakukan safar (berpergian) pada bulan tersebut. Ada pula yang mengatakan, dinamakan bulan Safar karena dahulu para kabilah-kabilah Arab ketika pergi berperang, mereka tidak akan meninggalkan seseorang yang mereka temui, kecuali akan dirampas barangnya tersebut tanpa sisa. Inilah di antara beberapa penamaan bulan Safar. Keistimewaan bulan Safar Pada bulan Safar ini, tidak terdapat dalil yang menunjukkan secara spesifik tentang keistimewaan bulan Safar. Bulan Safar itu sama saja dengan bulan yang lainnya dari bulan-bulan hijriah. Karena seluruh hari yang Allah ciptakan adalah baik, dan bulan Safar ini termasuk hari-hari yang baik. Tentunya, pada bulan ini bisa dilakukan amalan-amalan seperti yang dilakukan di bulan lainnya. Di antaranya: qiyamul lail (menghidupkan malam dengan ibadah), membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya, berdoa dan zikir di pagi dan malam hari, berpuasa sesuai dengan kemampuan, zakat dan sedekah, menyambung tali silaturahmi dan menyebarkan salam, selawat kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, dan menuntut ilmu syar’i. Inilah amalan-amalan secara umum yang bisa dikerjakan di bulan Safar maupun di bulan-bulan lainnya. Tentunya masih banyak lagi amalan-amalan yang bisa dikerjakan. Peristiwa-peristiwa di bulan Safar Kendati tidak ada keistimewaan secara khusus, namun terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Safar pada zaman dahulu, yang hal ini kiranya rugi jika tidak diketahui. Ibnul Qayyim rahimahullah beliau membawakan dalam kitabnya Zadul Ma’ad tentang beberapa peristiwa atau peperangan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang pada bulan tersebut. Berikut ini di antara kejadian maupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Di antaranya: Perang Al-Abwa Perang ini di sebut dengan perang Al-Abwa. Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Kemudian beliau berperang dengan diri beliau sendiri pada perang Al-Abwa atau yang dikenal dengan Waddan. Yaitu, perang yang pertama kali beliau ikut serta dengan diri beliau sendiri. Perang itu terjadi pada bulan Safar, dua belas bulan dari peristiwa hijrah. Kala itu, yang membawa bendera perang adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Bendera tersebut berwarna putih. Sa’ad bin ‘Ubadah diminta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjaga kota Madinah. Orang-orang muhajirin saat itu keluar (dari Madinah) secara khusus untuk menghadang orang-orang Quraisy yang membawa barang dagangan. Quraisy pun tidak dapat melakukan tipu daya. Dalam perang ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil perjanjian Makhsyi bin Amr Ad-Dumari, pemimpin Bani Dumar. Perjanjian tersebut berisikan kaum muslimin tidak akan menyerang Bani Dumar dan mereka (Bani Dumar) tidak akan menyerang kaum muslimin, tidak mengumpulkan (pasukan), dan tidak membantu musuh. Perjanjian akan perdamaian itu ditulis antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mereka dalam suatu perjanjian. Hal itu yang menjadikan mereka (Bani Dumar) tidak kelihatan selama lima belas malam.” [1] Peristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Ketika bulan Safar (tahun ketiga hijriah), kaum ‘Adhal dan Qarah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menceritakan bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam. Mereka pun meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengutus bersama mereka orang-orang yang  bisa mengajarkan agama dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengutus enam orang (menurut pendapat Ibnu Ishaq). Imam Al-Bukhari mengatakan; mereka (para sahabat yang diutus) berjumlah sepuluh orang. Martsad bin Abi Martsad Al-Ganawiy diangkat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi pemimpinnya. Bersama mereka pun ada Khubaib bin ‘Adi. Mereka pun pergi bersama-sama, tatkala sampai di Roji’ -mata air milik suku Hudzail yang mengarah ke Hijaz-, kaum itu pun berkhianat kepada para sahabat. Para sahabat berteriak minta tolong kepada suku Hudzail, lalu mereka datang mengepungnya. Maka para sahabat hampir semuanya dibunuh, sedangkan Khubaib bin Adi dan Zain bin Datsinah ditawan. Keduanya dibawa dan dijual di Makkah. Dan keduanya pernah membunuh pembesar Makkah waktu perang Badar.” [2] Perang Khaibar Perang Khaibar terjadi di akhir bulan Muharam, bukan di awal bulan Muharam. Kemudian Khaibar berhasil ditaklukkan pada bulan Safar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [3] Perang Bir Ma’unah Terjadi pula pada bulan Safar tahun ke empat (peristiwa sumur Ma’unah). Kisah di mana utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni para sahabat yang kira-kira berjumlah tujuh puluh orang, dikhianati. Sehingga terdapat beberapa sahabat yang terbunuh pada peristiwa ini. [4] Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ataupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Tentunya hal ini sebagai pengetahuan bahwasanya tidak ada kesialan pada bulan Safar. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjalani beberapa peperangan di bulan Safar. Andaikata bulan ini adalah bulan yang sial, tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya tidak akan berangkat untuk berperang. Semoga bermanfaat, wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 07 Safar 1446H / 10 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website islamqa.info Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Cet. Muassasah Ar-Risalah, Beirut. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki:  [1] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 164. [2] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 244. [3] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 339-340. [4] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 246-248. Tags: bulan safar


Daftar Isi Toggle Penamaan bulan SafarKeistimewaan bulan SafarPeristiwa-peristiwa di bulan SafarPerang Al-AbwaPeristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’anPerang KhaibarPerang Bir Ma’unah Safar adalah salah satu nama bulan di antara dua belas bulan hijriah dan terletak setelah bulan Muharam. Lebih tepatnya, bulan kedua pada penanggalan hijriah. Penamaan bulan Safar Terdapat beberapa pendapat mengenai penamaan bulan Safar. Ada yang mengatakan, Safar diambil dari kata isfaru makkah (kosongnya kota Makkah). Maksudnya, kota Makkah kosong dari penduduknya karena mereka melakukan safar (berpergian) pada bulan tersebut. Ada pula yang mengatakan, dinamakan bulan Safar karena dahulu para kabilah-kabilah Arab ketika pergi berperang, mereka tidak akan meninggalkan seseorang yang mereka temui, kecuali akan dirampas barangnya tersebut tanpa sisa. Inilah di antara beberapa penamaan bulan Safar. Keistimewaan bulan Safar Pada bulan Safar ini, tidak terdapat dalil yang menunjukkan secara spesifik tentang keistimewaan bulan Safar. Bulan Safar itu sama saja dengan bulan yang lainnya dari bulan-bulan hijriah. Karena seluruh hari yang Allah ciptakan adalah baik, dan bulan Safar ini termasuk hari-hari yang baik. Tentunya, pada bulan ini bisa dilakukan amalan-amalan seperti yang dilakukan di bulan lainnya. Di antaranya: qiyamul lail (menghidupkan malam dengan ibadah), membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya, berdoa dan zikir di pagi dan malam hari, berpuasa sesuai dengan kemampuan, zakat dan sedekah, menyambung tali silaturahmi dan menyebarkan salam, selawat kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, dan menuntut ilmu syar’i. Inilah amalan-amalan secara umum yang bisa dikerjakan di bulan Safar maupun di bulan-bulan lainnya. Tentunya masih banyak lagi amalan-amalan yang bisa dikerjakan. Peristiwa-peristiwa di bulan Safar Kendati tidak ada keistimewaan secara khusus, namun terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Safar pada zaman dahulu, yang hal ini kiranya rugi jika tidak diketahui. Ibnul Qayyim rahimahullah beliau membawakan dalam kitabnya Zadul Ma’ad tentang beberapa peristiwa atau peperangan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang pada bulan tersebut. Berikut ini di antara kejadian maupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Di antaranya: Perang Al-Abwa Perang ini di sebut dengan perang Al-Abwa. Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Kemudian beliau berperang dengan diri beliau sendiri pada perang Al-Abwa atau yang dikenal dengan Waddan. Yaitu, perang yang pertama kali beliau ikut serta dengan diri beliau sendiri. Perang itu terjadi pada bulan Safar, dua belas bulan dari peristiwa hijrah. Kala itu, yang membawa bendera perang adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Bendera tersebut berwarna putih. Sa’ad bin ‘Ubadah diminta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjaga kota Madinah. Orang-orang muhajirin saat itu keluar (dari Madinah) secara khusus untuk menghadang orang-orang Quraisy yang membawa barang dagangan. Quraisy pun tidak dapat melakukan tipu daya. Dalam perang ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil perjanjian Makhsyi bin Amr Ad-Dumari, pemimpin Bani Dumar. Perjanjian tersebut berisikan kaum muslimin tidak akan menyerang Bani Dumar dan mereka (Bani Dumar) tidak akan menyerang kaum muslimin, tidak mengumpulkan (pasukan), dan tidak membantu musuh. Perjanjian akan perdamaian itu ditulis antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mereka dalam suatu perjanjian. Hal itu yang menjadikan mereka (Bani Dumar) tidak kelihatan selama lima belas malam.” [1] Peristiwa terbunuhnya para sahabat penghafal Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Ketika bulan Safar (tahun ketiga hijriah), kaum ‘Adhal dan Qarah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menceritakan bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam. Mereka pun meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengutus bersama mereka orang-orang yang  bisa mengajarkan agama dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengutus enam orang (menurut pendapat Ibnu Ishaq). Imam Al-Bukhari mengatakan; mereka (para sahabat yang diutus) berjumlah sepuluh orang. Martsad bin Abi Martsad Al-Ganawiy diangkat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi pemimpinnya. Bersama mereka pun ada Khubaib bin ‘Adi. Mereka pun pergi bersama-sama, tatkala sampai di Roji’ -mata air milik suku Hudzail yang mengarah ke Hijaz-, kaum itu pun berkhianat kepada para sahabat. Para sahabat berteriak minta tolong kepada suku Hudzail, lalu mereka datang mengepungnya. Maka para sahabat hampir semuanya dibunuh, sedangkan Khubaib bin Adi dan Zain bin Datsinah ditawan. Keduanya dibawa dan dijual di Makkah. Dan keduanya pernah membunuh pembesar Makkah waktu perang Badar.” [2] Perang Khaibar Perang Khaibar terjadi di akhir bulan Muharam, bukan di awal bulan Muharam. Kemudian Khaibar berhasil ditaklukkan pada bulan Safar. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [3] Perang Bir Ma’unah Terjadi pula pada bulan Safar tahun ke empat (peristiwa sumur Ma’unah). Kisah di mana utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni para sahabat yang kira-kira berjumlah tujuh puluh orang, dikhianati. Sehingga terdapat beberapa sahabat yang terbunuh pada peristiwa ini. [4] Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ataupun peperangan yang terjadi di bulan Safar. Tentunya hal ini sebagai pengetahuan bahwasanya tidak ada kesialan pada bulan Safar. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjalani beberapa peperangan di bulan Safar. Andaikata bulan ini adalah bulan yang sial, tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya tidak akan berangkat untuk berperang. Semoga bermanfaat, wallahul muwaffiq. Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 07 Safar 1446H / 10 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website islamqa.info Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Cet. Muassasah Ar-Risalah, Beirut. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki:  [1] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 164. [2] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 244. [3] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 339-340. [4] Lihat Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 3: 246-248. Tags: bulan safar

Hakikat Harta yang Anda Sedekahkan – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Infakkanlah dari rezeki yang Kami berikan kepadamu” (al-Baqarah: 254). Kata “مِنْ” (dari) di sini maknanya adalah sebagian. Maksudnya bahwa Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk apa? Menginfakkan sebagian, sedikit saja. Lalu penisbatan rezeki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yakni dalam kalimat “Rezeki yang ‘Kami’ berikan”). — dan Allah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha Pemurah — Apa yang dapat kita simpulkan darinya? Bahwa yang kamu infakkan adalah rezeki dari Allah ‘Azza wa Jalla dan harta milik Allah ‘Azza wa Jalla. Harta yang ada di hadapanmu itu adalah harta-Nya. Apa dalilnya? “…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dia karuniakan kepadamu…” (QS. an-Nur: 33). “…dan infakkanlah dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (al-Hadid: 7). Jadi, Anda diberi kuasa atas harta itu, ia dititipkan kepada kita. Karena hakikatnya harta itu adalah harta Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. Dalam ayat ini juga terdapat dorongan dan anjuran untuk berinfak di jalan Allah. ==== أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ هُنَا مَعْنَاهَا التَّبْعِيْضُ وَالْمَقْصُودُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَا أَمَرَنَا إِلَّا بِأَيِّ شَيْءٍ؟ بِبَعْضٍ بِالْقَلِيلِ وَإِضَافَتُهُ الرِّزْقَ إِلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهُوَ الرَّزَّاقُ الْكَرِيْمُ عَزَّ وَجَلَّ يُسْتَفَادُ مِنْهُ مَاذَا؟ أَنَّ مَا تُنْفِقُهُ إِنَّمَا هُوَ رِزْقُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَالُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْكَ هُوَ مَالُهُ إِيْش الدَّلِيلُ؟ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ فَأَنْتَ مُسْتَخْلَفٌ عَلَى هَذَا الْمَالِ وُكِّلْنَا عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالْمَالُ مَالُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ وَفِيهِ حَثٌّ وَحَضٌّ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَذْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Hakikat Harta yang Anda Sedekahkan – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Infakkanlah dari rezeki yang Kami berikan kepadamu” (al-Baqarah: 254). Kata “مِنْ” (dari) di sini maknanya adalah sebagian. Maksudnya bahwa Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk apa? Menginfakkan sebagian, sedikit saja. Lalu penisbatan rezeki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yakni dalam kalimat “Rezeki yang ‘Kami’ berikan”). — dan Allah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha Pemurah — Apa yang dapat kita simpulkan darinya? Bahwa yang kamu infakkan adalah rezeki dari Allah ‘Azza wa Jalla dan harta milik Allah ‘Azza wa Jalla. Harta yang ada di hadapanmu itu adalah harta-Nya. Apa dalilnya? “…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dia karuniakan kepadamu…” (QS. an-Nur: 33). “…dan infakkanlah dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (al-Hadid: 7). Jadi, Anda diberi kuasa atas harta itu, ia dititipkan kepada kita. Karena hakikatnya harta itu adalah harta Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. Dalam ayat ini juga terdapat dorongan dan anjuran untuk berinfak di jalan Allah. ==== أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ هُنَا مَعْنَاهَا التَّبْعِيْضُ وَالْمَقْصُودُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَا أَمَرَنَا إِلَّا بِأَيِّ شَيْءٍ؟ بِبَعْضٍ بِالْقَلِيلِ وَإِضَافَتُهُ الرِّزْقَ إِلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهُوَ الرَّزَّاقُ الْكَرِيْمُ عَزَّ وَجَلَّ يُسْتَفَادُ مِنْهُ مَاذَا؟ أَنَّ مَا تُنْفِقُهُ إِنَّمَا هُوَ رِزْقُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَالُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْكَ هُوَ مَالُهُ إِيْش الدَّلِيلُ؟ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ فَأَنْتَ مُسْتَخْلَفٌ عَلَى هَذَا الْمَالِ وُكِّلْنَا عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالْمَالُ مَالُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ وَفِيهِ حَثٌّ وَحَضٌّ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَذْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Infakkanlah dari rezeki yang Kami berikan kepadamu” (al-Baqarah: 254). Kata “مِنْ” (dari) di sini maknanya adalah sebagian. Maksudnya bahwa Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk apa? Menginfakkan sebagian, sedikit saja. Lalu penisbatan rezeki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yakni dalam kalimat “Rezeki yang ‘Kami’ berikan”). — dan Allah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha Pemurah — Apa yang dapat kita simpulkan darinya? Bahwa yang kamu infakkan adalah rezeki dari Allah ‘Azza wa Jalla dan harta milik Allah ‘Azza wa Jalla. Harta yang ada di hadapanmu itu adalah harta-Nya. Apa dalilnya? “…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dia karuniakan kepadamu…” (QS. an-Nur: 33). “…dan infakkanlah dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (al-Hadid: 7). Jadi, Anda diberi kuasa atas harta itu, ia dititipkan kepada kita. Karena hakikatnya harta itu adalah harta Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. Dalam ayat ini juga terdapat dorongan dan anjuran untuk berinfak di jalan Allah. ==== أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ هُنَا مَعْنَاهَا التَّبْعِيْضُ وَالْمَقْصُودُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَا أَمَرَنَا إِلَّا بِأَيِّ شَيْءٍ؟ بِبَعْضٍ بِالْقَلِيلِ وَإِضَافَتُهُ الرِّزْقَ إِلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهُوَ الرَّزَّاقُ الْكَرِيْمُ عَزَّ وَجَلَّ يُسْتَفَادُ مِنْهُ مَاذَا؟ أَنَّ مَا تُنْفِقُهُ إِنَّمَا هُوَ رِزْقُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَالُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْكَ هُوَ مَالُهُ إِيْش الدَّلِيلُ؟ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ فَأَنْتَ مُسْتَخْلَفٌ عَلَى هَذَا الْمَالِ وُكِّلْنَا عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالْمَالُ مَالُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ وَفِيهِ حَثٌّ وَحَضٌّ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَذْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ


“Infakkanlah dari rezeki yang Kami berikan kepadamu” (al-Baqarah: 254). Kata “مِنْ” (dari) di sini maknanya adalah sebagian. Maksudnya bahwa Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk apa? Menginfakkan sebagian, sedikit saja. Lalu penisbatan rezeki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yakni dalam kalimat “Rezeki yang ‘Kami’ berikan”). — dan Allah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha Pemurah — Apa yang dapat kita simpulkan darinya? Bahwa yang kamu infakkan adalah rezeki dari Allah ‘Azza wa Jalla dan harta milik Allah ‘Azza wa Jalla. Harta yang ada di hadapanmu itu adalah harta-Nya. Apa dalilnya? “…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dia karuniakan kepadamu…” (QS. an-Nur: 33). “…dan infakkanlah dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (al-Hadid: 7). Jadi, Anda diberi kuasa atas harta itu, ia dititipkan kepada kita. Karena hakikatnya harta itu adalah harta Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. Dalam ayat ini juga terdapat dorongan dan anjuran untuk berinfak di jalan Allah. ==== أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ هُنَا مَعْنَاهَا التَّبْعِيْضُ وَالْمَقْصُودُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى مَا أَمَرَنَا إِلَّا بِأَيِّ شَيْءٍ؟ بِبَعْضٍ بِالْقَلِيلِ وَإِضَافَتُهُ الرِّزْقَ إِلَى نَفْسِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهُوَ الرَّزَّاقُ الْكَرِيْمُ عَزَّ وَجَلَّ يُسْتَفَادُ مِنْهُ مَاذَا؟ أَنَّ مَا تُنْفِقُهُ إِنَّمَا هُوَ رِزْقُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَالُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْكَ هُوَ مَالُهُ إِيْش الدَّلِيلُ؟ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ فَأَنْتَ مُسْتَخْلَفٌ عَلَى هَذَا الْمَالِ وُكِّلْنَا عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالْمَالُ مَالُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ وَفِيهِ حَثٌّ وَحَضٌّ عَلَى النَّفَقَةِ وَالْبَذْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Cara Membiasakan Diri Shalat Malam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Cara Membiasakan Diri Shalat Malam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama Pertanyaan: Bagaimana cara seorang muslim membiasakan diri untuk Salat Malam? Jawaban: Cara membiasakan dirinya untuk Salat Malam adalah: Pertama, dengan memberi perhatian besar terhadap ibadah ini. Memberi perhatian besar terhadapnya dan berusaha keras untuk mengerjakannya. Serta melakukan hal-hal yang dapat membantunya untuk melakukannya. Di antaranya adalah dengan tidur lebih awal, memasang alarm agar membangunkannya untuk Salat Malam, menghadirkan makna yang terkandung dalam Salat Malam, seperti pahala dan keutamaannya, serta mengingat bahwa Salat Malam adalah munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta menghayati turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Tuhan kita turun ke langit dunia…” —dengan turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan turunnya para makhluk— “Tuhan kita turun ke langit dunia saat malam tersisa sepertiga akhirnya… Lalu Allah berfirman, ‘Apakah ada yang berdoa untuk Aku kabulkan? Apakah ada yang meminta untuk Aku Beri?… Apakah ada yang meminta ampun untuk Aku ampuni?’ Dan ini terjadi setiap malam.”Hendaklah menghadirkan makna ini. Dengan demikian… apabila dia mendirikan Salat Malam dan membiasakan dirinya maka dirinya akan terbiasa melakukannya. Di antara manfaat Salat Malam adalah dia akan mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Karena jika dia mendirikan Salat Malam di akhir malam, maka hampir pasti dia dapat mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Kalaulah manfaat Salat Malam hanya jaminan dapat Salat Subuh berjamaah di masjid, niscaya itu sudah cukup (menjadi motivasi). Apalagi jika dia Salat Malam, bisa mendapat rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, dan mungkin juga doanya dikabulkan, yang dengannya Allah Ta’ala menetapkan kebaikan yang besar baginya. ====

Cara Membiasakan Diri Shalat Malam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Cara Membiasakan Diri Shalat Malam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama Pertanyaan: Bagaimana cara seorang muslim membiasakan diri untuk Salat Malam? Jawaban: Cara membiasakan dirinya untuk Salat Malam adalah: Pertama, dengan memberi perhatian besar terhadap ibadah ini. Memberi perhatian besar terhadapnya dan berusaha keras untuk mengerjakannya. Serta melakukan hal-hal yang dapat membantunya untuk melakukannya. Di antaranya adalah dengan tidur lebih awal, memasang alarm agar membangunkannya untuk Salat Malam, menghadirkan makna yang terkandung dalam Salat Malam, seperti pahala dan keutamaannya, serta mengingat bahwa Salat Malam adalah munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta menghayati turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Tuhan kita turun ke langit dunia…” —dengan turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan turunnya para makhluk— “Tuhan kita turun ke langit dunia saat malam tersisa sepertiga akhirnya… Lalu Allah berfirman, ‘Apakah ada yang berdoa untuk Aku kabulkan? Apakah ada yang meminta untuk Aku Beri?… Apakah ada yang meminta ampun untuk Aku ampuni?’ Dan ini terjadi setiap malam.”Hendaklah menghadirkan makna ini. Dengan demikian… apabila dia mendirikan Salat Malam dan membiasakan dirinya maka dirinya akan terbiasa melakukannya. Di antara manfaat Salat Malam adalah dia akan mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Karena jika dia mendirikan Salat Malam di akhir malam, maka hampir pasti dia dapat mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Kalaulah manfaat Salat Malam hanya jaminan dapat Salat Subuh berjamaah di masjid, niscaya itu sudah cukup (menjadi motivasi). Apalagi jika dia Salat Malam, bisa mendapat rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, dan mungkin juga doanya dikabulkan, yang dengannya Allah Ta’ala menetapkan kebaikan yang besar baginya. ====
Cara Membiasakan Diri Shalat Malam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama Pertanyaan: Bagaimana cara seorang muslim membiasakan diri untuk Salat Malam? Jawaban: Cara membiasakan dirinya untuk Salat Malam adalah: Pertama, dengan memberi perhatian besar terhadap ibadah ini. Memberi perhatian besar terhadapnya dan berusaha keras untuk mengerjakannya. Serta melakukan hal-hal yang dapat membantunya untuk melakukannya. Di antaranya adalah dengan tidur lebih awal, memasang alarm agar membangunkannya untuk Salat Malam, menghadirkan makna yang terkandung dalam Salat Malam, seperti pahala dan keutamaannya, serta mengingat bahwa Salat Malam adalah munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta menghayati turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Tuhan kita turun ke langit dunia…” —dengan turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan turunnya para makhluk— “Tuhan kita turun ke langit dunia saat malam tersisa sepertiga akhirnya… Lalu Allah berfirman, ‘Apakah ada yang berdoa untuk Aku kabulkan? Apakah ada yang meminta untuk Aku Beri?… Apakah ada yang meminta ampun untuk Aku ampuni?’ Dan ini terjadi setiap malam.”Hendaklah menghadirkan makna ini. Dengan demikian… apabila dia mendirikan Salat Malam dan membiasakan dirinya maka dirinya akan terbiasa melakukannya. Di antara manfaat Salat Malam adalah dia akan mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Karena jika dia mendirikan Salat Malam di akhir malam, maka hampir pasti dia dapat mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Kalaulah manfaat Salat Malam hanya jaminan dapat Salat Subuh berjamaah di masjid, niscaya itu sudah cukup (menjadi motivasi). Apalagi jika dia Salat Malam, bisa mendapat rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, dan mungkin juga doanya dikabulkan, yang dengannya Allah Ta’ala menetapkan kebaikan yang besar baginya. ====


Cara Membiasakan Diri Shalat Malam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama Pertanyaan: Bagaimana cara seorang muslim membiasakan diri untuk Salat Malam? Jawaban: Cara membiasakan dirinya untuk Salat Malam adalah: Pertama, dengan memberi perhatian besar terhadap ibadah ini. Memberi perhatian besar terhadapnya dan berusaha keras untuk mengerjakannya. Serta melakukan hal-hal yang dapat membantunya untuk melakukannya. Di antaranya adalah dengan tidur lebih awal, memasang alarm agar membangunkannya untuk Salat Malam, menghadirkan makna yang terkandung dalam Salat Malam, seperti pahala dan keutamaannya, serta mengingat bahwa Salat Malam adalah munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta menghayati turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam, “Tuhan kita turun ke langit dunia…” —dengan turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan turunnya para makhluk— “Tuhan kita turun ke langit dunia saat malam tersisa sepertiga akhirnya… Lalu Allah berfirman, ‘Apakah ada yang berdoa untuk Aku kabulkan? Apakah ada yang meminta untuk Aku Beri?… Apakah ada yang meminta ampun untuk Aku ampuni?’ Dan ini terjadi setiap malam.”Hendaklah menghadirkan makna ini. Dengan demikian… apabila dia mendirikan Salat Malam dan membiasakan dirinya maka dirinya akan terbiasa melakukannya. Di antara manfaat Salat Malam adalah dia akan mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Karena jika dia mendirikan Salat Malam di akhir malam, maka hampir pasti dia dapat mendirikan Salat Subuh berjamaah di masjid. Kalaulah manfaat Salat Malam hanya jaminan dapat Salat Subuh berjamaah di masjid, niscaya itu sudah cukup (menjadi motivasi). Apalagi jika dia Salat Malam, bisa mendapat rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, dan mungkin juga doanya dikabulkan, yang dengannya Allah Ta’ala menetapkan kebaikan yang besar baginya. ====

Teks Khotbah Jumat: Kezaliman, Dosa yang Sering Diabaikan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di antara perkara-perkara yang Allah haramkan dan Allah larang kepada kita adalah kezaliman. Di dalam hadis qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا عِبَادِي، إنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ علَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فلا تَظَالَمُوا ”Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku pun jadikan kezaliman itu di antara kalian sebagai sesuatu yang haram. Maka, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan menggunakan hak orang lain tanpa seizin dan sepengetahuan mereka. Melakukan kezaliman, wahai saudaraku, adalah dosa yang sering diremehkan dan tidak dipedulikan oleh seorang muslim, padahal dosa tersebut memiliki efek yang begitu besar dan berbahaya bagi diri seorang muslim. Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa dirinya akan mempersiapkan neraka yang pedih bagi mereka yang berbuat kezaliman. Ia berfirman, إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan. Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” (QS. Gafir: 18) Sungguh, wahai saudaraku sekalian, kezaliman jugalah yang menjadi sumber kehancuran dan kebinasaan kaum-kaum terdahulu. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ ٱلْقُرَىٰٓ أَهْلَكْنَٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا۟ وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِدًا “Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS. Al-Kahfi: 59) Ma’asyiral mukminin, jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Tatkala membahas kezaliman, para ulama membagi kezaliman menjadi tiga macam: Yang pertama, ini merupakan kezaliman yang paling buruk dan paling berbahaya, adalah kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Luqman kepada anaknya yang Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an, وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (QS. Luqman: 13) Kesyirikan telah Allah jadikan sebagai bentuk kezaliman yang paling berat dan paling besar. Karena sejatinya tatkala seorang manusia melakukannya, maka ia telah meletakkan ibadah yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk Allah Ta’ala saja bukan pada tempatnya. Ia meminta rezeki pada kuburan, ngalap berkah kepada para wali, dan berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Sungguh semua itu merupakan bentuk kezaliman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Perbuatan kesyirikan ini tidak akan Allah ampuni, kecuali jika pelakunya benar-benar telah bertobat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48) Semoga Allah menjaga diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan dan melakukan kezaliman kepada Allah Ta’ala. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Yang Terluput dari Doa Orang yang Terzalimi Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Macam yang kedua dari kezaliman adalah berbuat kezaliman kepada sesama manusia. Entah itu kezaliman orang tua kepada anaknya karena tidak memberikan nafkah atau mendidik agama dan salatnya, ataukah kezaliman anak-anak kepada orangtuanya; karena tidak patuh dan membangkang, serta tidak mentaati keduanya. Atau kezaliman-kezaliman lainnya yang begitu beragam dan terjadi di antara manusia yang seringkali dianggap remeh oleh seorang muslim. Padahal, dosa kezaliman kepada sesama manusia tidaklah Allah Ta’ala ampuni kecuali dengan keridaan korbannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَتُؤَدُّنَّ الحُقُوقَ إلى أهْلِها يَومَ القِيامَةِ، حتَّى يُقادَ لِلشّاةِ الجَلْحاءِ، مِنَ الشَّاةِ القَرْناءِ “Semua hak itu (yang belum ditunaikan dan dipenuhi di dunia) pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.” (HR. Muslim no. 2582) Hadis di atas menunjukkan kepada kita, bahwa segala macam bentuk kezaliman di dunia ini pasti akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sungguh Allah Mahaadil dan tidak luput dari-Nya sekecil apapun dari bentuk kezaliman. Bentuk kezaliman yang ketiga, adalah kezaliman kepada diri sendiri. Yaitu, apabila seorang hamba bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan berbuat dosa. Hal ini sebagaimana yang Allah sampaikan di dalam Al-Qur’an, فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ “Lalu, di antara mereka (manusia) ada yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Fatir: 32) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan, “(Menzalimi diri sendiri) yaitu dengan perbuatan-perbuatan maksiat selain kekafiran.” (Tafsir As-Sa’di) Dalam ayat lain disebutkan, Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya, وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35) Allah melarang mereka berdua untuk mendekati sebuah pohon, yang apabila mereka mendekatinya dan memakan buahnya, mereka sungguh telah melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan menzalimi diri mereka sendiri dengan perbuatan mereka tersebut. Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Kesyirikan yang dilakukan seorang hamba, kezaliman yang dilakukannya kepada manusia lainnya dan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, maka sejatinya akan merugikan diri mereka sendiri, menjadikan mereka manusia yang berbuat kezaliman kepada diri mereka sendiri. Sayangnya, wahai saudaraku, sebagian dari kita masih banyak yang meremehkan dosa-dosa tersebut dan mengabaikannya. Menganggap bahwa perkara tersebut sangatlah ringan dan tidak akan dihukum Allah Ta’ala. Begitu dahsyatnya dan berbahayanya perbuatan zalim ini sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak doa agar dihindarkan darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa membaca doa, اللهم أعوذُ بك أن أَضِلَّ أو أُضَلَّ أو أَزِلَّ أو أُزَلَّ أو أَظْلِمَ أو أُظْلَمَ أو أَجْهَلَ أو أُجْهَلَ عَلَيَّ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.” (HR Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3427, dan An-Nasai no. 5539) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bahaya Kezaliman dan Berlaku Semena-Mena *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: dosazalim

Teks Khotbah Jumat: Kezaliman, Dosa yang Sering Diabaikan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di antara perkara-perkara yang Allah haramkan dan Allah larang kepada kita adalah kezaliman. Di dalam hadis qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا عِبَادِي، إنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ علَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فلا تَظَالَمُوا ”Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku pun jadikan kezaliman itu di antara kalian sebagai sesuatu yang haram. Maka, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan menggunakan hak orang lain tanpa seizin dan sepengetahuan mereka. Melakukan kezaliman, wahai saudaraku, adalah dosa yang sering diremehkan dan tidak dipedulikan oleh seorang muslim, padahal dosa tersebut memiliki efek yang begitu besar dan berbahaya bagi diri seorang muslim. Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa dirinya akan mempersiapkan neraka yang pedih bagi mereka yang berbuat kezaliman. Ia berfirman, إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan. Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” (QS. Gafir: 18) Sungguh, wahai saudaraku sekalian, kezaliman jugalah yang menjadi sumber kehancuran dan kebinasaan kaum-kaum terdahulu. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ ٱلْقُرَىٰٓ أَهْلَكْنَٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا۟ وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِدًا “Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS. Al-Kahfi: 59) Ma’asyiral mukminin, jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Tatkala membahas kezaliman, para ulama membagi kezaliman menjadi tiga macam: Yang pertama, ini merupakan kezaliman yang paling buruk dan paling berbahaya, adalah kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Luqman kepada anaknya yang Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an, وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (QS. Luqman: 13) Kesyirikan telah Allah jadikan sebagai bentuk kezaliman yang paling berat dan paling besar. Karena sejatinya tatkala seorang manusia melakukannya, maka ia telah meletakkan ibadah yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk Allah Ta’ala saja bukan pada tempatnya. Ia meminta rezeki pada kuburan, ngalap berkah kepada para wali, dan berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Sungguh semua itu merupakan bentuk kezaliman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Perbuatan kesyirikan ini tidak akan Allah ampuni, kecuali jika pelakunya benar-benar telah bertobat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48) Semoga Allah menjaga diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan dan melakukan kezaliman kepada Allah Ta’ala. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Yang Terluput dari Doa Orang yang Terzalimi Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Macam yang kedua dari kezaliman adalah berbuat kezaliman kepada sesama manusia. Entah itu kezaliman orang tua kepada anaknya karena tidak memberikan nafkah atau mendidik agama dan salatnya, ataukah kezaliman anak-anak kepada orangtuanya; karena tidak patuh dan membangkang, serta tidak mentaati keduanya. Atau kezaliman-kezaliman lainnya yang begitu beragam dan terjadi di antara manusia yang seringkali dianggap remeh oleh seorang muslim. Padahal, dosa kezaliman kepada sesama manusia tidaklah Allah Ta’ala ampuni kecuali dengan keridaan korbannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَتُؤَدُّنَّ الحُقُوقَ إلى أهْلِها يَومَ القِيامَةِ، حتَّى يُقادَ لِلشّاةِ الجَلْحاءِ، مِنَ الشَّاةِ القَرْناءِ “Semua hak itu (yang belum ditunaikan dan dipenuhi di dunia) pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.” (HR. Muslim no. 2582) Hadis di atas menunjukkan kepada kita, bahwa segala macam bentuk kezaliman di dunia ini pasti akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sungguh Allah Mahaadil dan tidak luput dari-Nya sekecil apapun dari bentuk kezaliman. Bentuk kezaliman yang ketiga, adalah kezaliman kepada diri sendiri. Yaitu, apabila seorang hamba bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan berbuat dosa. Hal ini sebagaimana yang Allah sampaikan di dalam Al-Qur’an, فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ “Lalu, di antara mereka (manusia) ada yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Fatir: 32) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan, “(Menzalimi diri sendiri) yaitu dengan perbuatan-perbuatan maksiat selain kekafiran.” (Tafsir As-Sa’di) Dalam ayat lain disebutkan, Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya, وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35) Allah melarang mereka berdua untuk mendekati sebuah pohon, yang apabila mereka mendekatinya dan memakan buahnya, mereka sungguh telah melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan menzalimi diri mereka sendiri dengan perbuatan mereka tersebut. Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Kesyirikan yang dilakukan seorang hamba, kezaliman yang dilakukannya kepada manusia lainnya dan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, maka sejatinya akan merugikan diri mereka sendiri, menjadikan mereka manusia yang berbuat kezaliman kepada diri mereka sendiri. Sayangnya, wahai saudaraku, sebagian dari kita masih banyak yang meremehkan dosa-dosa tersebut dan mengabaikannya. Menganggap bahwa perkara tersebut sangatlah ringan dan tidak akan dihukum Allah Ta’ala. Begitu dahsyatnya dan berbahayanya perbuatan zalim ini sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak doa agar dihindarkan darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa membaca doa, اللهم أعوذُ بك أن أَضِلَّ أو أُضَلَّ أو أَزِلَّ أو أُزَلَّ أو أَظْلِمَ أو أُظْلَمَ أو أَجْهَلَ أو أُجْهَلَ عَلَيَّ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.” (HR Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3427, dan An-Nasai no. 5539) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bahaya Kezaliman dan Berlaku Semena-Mena *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: dosazalim
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di antara perkara-perkara yang Allah haramkan dan Allah larang kepada kita adalah kezaliman. Di dalam hadis qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا عِبَادِي، إنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ علَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فلا تَظَالَمُوا ”Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku pun jadikan kezaliman itu di antara kalian sebagai sesuatu yang haram. Maka, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan menggunakan hak orang lain tanpa seizin dan sepengetahuan mereka. Melakukan kezaliman, wahai saudaraku, adalah dosa yang sering diremehkan dan tidak dipedulikan oleh seorang muslim, padahal dosa tersebut memiliki efek yang begitu besar dan berbahaya bagi diri seorang muslim. Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa dirinya akan mempersiapkan neraka yang pedih bagi mereka yang berbuat kezaliman. Ia berfirman, إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan. Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” (QS. Gafir: 18) Sungguh, wahai saudaraku sekalian, kezaliman jugalah yang menjadi sumber kehancuran dan kebinasaan kaum-kaum terdahulu. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ ٱلْقُرَىٰٓ أَهْلَكْنَٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا۟ وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِدًا “Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS. Al-Kahfi: 59) Ma’asyiral mukminin, jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Tatkala membahas kezaliman, para ulama membagi kezaliman menjadi tiga macam: Yang pertama, ini merupakan kezaliman yang paling buruk dan paling berbahaya, adalah kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Luqman kepada anaknya yang Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an, وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (QS. Luqman: 13) Kesyirikan telah Allah jadikan sebagai bentuk kezaliman yang paling berat dan paling besar. Karena sejatinya tatkala seorang manusia melakukannya, maka ia telah meletakkan ibadah yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk Allah Ta’ala saja bukan pada tempatnya. Ia meminta rezeki pada kuburan, ngalap berkah kepada para wali, dan berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Sungguh semua itu merupakan bentuk kezaliman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Perbuatan kesyirikan ini tidak akan Allah ampuni, kecuali jika pelakunya benar-benar telah bertobat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48) Semoga Allah menjaga diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan dan melakukan kezaliman kepada Allah Ta’ala. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Yang Terluput dari Doa Orang yang Terzalimi Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Macam yang kedua dari kezaliman adalah berbuat kezaliman kepada sesama manusia. Entah itu kezaliman orang tua kepada anaknya karena tidak memberikan nafkah atau mendidik agama dan salatnya, ataukah kezaliman anak-anak kepada orangtuanya; karena tidak patuh dan membangkang, serta tidak mentaati keduanya. Atau kezaliman-kezaliman lainnya yang begitu beragam dan terjadi di antara manusia yang seringkali dianggap remeh oleh seorang muslim. Padahal, dosa kezaliman kepada sesama manusia tidaklah Allah Ta’ala ampuni kecuali dengan keridaan korbannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَتُؤَدُّنَّ الحُقُوقَ إلى أهْلِها يَومَ القِيامَةِ، حتَّى يُقادَ لِلشّاةِ الجَلْحاءِ، مِنَ الشَّاةِ القَرْناءِ “Semua hak itu (yang belum ditunaikan dan dipenuhi di dunia) pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.” (HR. Muslim no. 2582) Hadis di atas menunjukkan kepada kita, bahwa segala macam bentuk kezaliman di dunia ini pasti akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sungguh Allah Mahaadil dan tidak luput dari-Nya sekecil apapun dari bentuk kezaliman. Bentuk kezaliman yang ketiga, adalah kezaliman kepada diri sendiri. Yaitu, apabila seorang hamba bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan berbuat dosa. Hal ini sebagaimana yang Allah sampaikan di dalam Al-Qur’an, فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ “Lalu, di antara mereka (manusia) ada yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Fatir: 32) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan, “(Menzalimi diri sendiri) yaitu dengan perbuatan-perbuatan maksiat selain kekafiran.” (Tafsir As-Sa’di) Dalam ayat lain disebutkan, Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya, وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35) Allah melarang mereka berdua untuk mendekati sebuah pohon, yang apabila mereka mendekatinya dan memakan buahnya, mereka sungguh telah melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan menzalimi diri mereka sendiri dengan perbuatan mereka tersebut. Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Kesyirikan yang dilakukan seorang hamba, kezaliman yang dilakukannya kepada manusia lainnya dan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, maka sejatinya akan merugikan diri mereka sendiri, menjadikan mereka manusia yang berbuat kezaliman kepada diri mereka sendiri. Sayangnya, wahai saudaraku, sebagian dari kita masih banyak yang meremehkan dosa-dosa tersebut dan mengabaikannya. Menganggap bahwa perkara tersebut sangatlah ringan dan tidak akan dihukum Allah Ta’ala. Begitu dahsyatnya dan berbahayanya perbuatan zalim ini sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak doa agar dihindarkan darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa membaca doa, اللهم أعوذُ بك أن أَضِلَّ أو أُضَلَّ أو أَزِلَّ أو أُزَلَّ أو أَظْلِمَ أو أُظْلَمَ أو أَجْهَلَ أو أُجْهَلَ عَلَيَّ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.” (HR Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3427, dan An-Nasai no. 5539) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bahaya Kezaliman dan Berlaku Semena-Mena *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: dosazalim


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya ataupun dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena takwa adalah perkara yang Allah wasiatkan kepada kita dan umat-umat sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman, یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di antara perkara-perkara yang Allah haramkan dan Allah larang kepada kita adalah kezaliman. Di dalam hadis qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا عِبَادِي، إنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ علَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فلا تَظَالَمُوا ”Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku pun jadikan kezaliman itu di antara kalian sebagai sesuatu yang haram. Maka, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan menggunakan hak orang lain tanpa seizin dan sepengetahuan mereka. Melakukan kezaliman, wahai saudaraku, adalah dosa yang sering diremehkan dan tidak dipedulikan oleh seorang muslim, padahal dosa tersebut memiliki efek yang begitu besar dan berbahaya bagi diri seorang muslim. Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa dirinya akan mempersiapkan neraka yang pedih bagi mereka yang berbuat kezaliman. Ia berfirman, إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29) Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan. Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” (QS. Gafir: 18) Sungguh, wahai saudaraku sekalian, kezaliman jugalah yang menjadi sumber kehancuran dan kebinasaan kaum-kaum terdahulu. Allah Ta’ala berfirman, وَتِلْكَ ٱلْقُرَىٰٓ أَهْلَكْنَٰهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا۟ وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِدًا “Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS. Al-Kahfi: 59) Ma’asyiral mukminin, jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Tatkala membahas kezaliman, para ulama membagi kezaliman menjadi tiga macam: Yang pertama, ini merupakan kezaliman yang paling buruk dan paling berbahaya, adalah kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Luqman kepada anaknya yang Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an, وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (QS. Luqman: 13) Kesyirikan telah Allah jadikan sebagai bentuk kezaliman yang paling berat dan paling besar. Karena sejatinya tatkala seorang manusia melakukannya, maka ia telah meletakkan ibadah yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk Allah Ta’ala saja bukan pada tempatnya. Ia meminta rezeki pada kuburan, ngalap berkah kepada para wali, dan berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Sungguh semua itu merupakan bentuk kezaliman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Perbuatan kesyirikan ini tidak akan Allah ampuni, kecuali jika pelakunya benar-benar telah bertobat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48) Semoga Allah menjaga diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan dan melakukan kezaliman kepada Allah Ta’ala. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Yang Terluput dari Doa Orang yang Terzalimi Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Macam yang kedua dari kezaliman adalah berbuat kezaliman kepada sesama manusia. Entah itu kezaliman orang tua kepada anaknya karena tidak memberikan nafkah atau mendidik agama dan salatnya, ataukah kezaliman anak-anak kepada orangtuanya; karena tidak patuh dan membangkang, serta tidak mentaati keduanya. Atau kezaliman-kezaliman lainnya yang begitu beragam dan terjadi di antara manusia yang seringkali dianggap remeh oleh seorang muslim. Padahal, dosa kezaliman kepada sesama manusia tidaklah Allah Ta’ala ampuni kecuali dengan keridaan korbannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَتُؤَدُّنَّ الحُقُوقَ إلى أهْلِها يَومَ القِيامَةِ، حتَّى يُقادَ لِلشّاةِ الجَلْحاءِ، مِنَ الشَّاةِ القَرْناءِ “Semua hak itu (yang belum ditunaikan dan dipenuhi di dunia) pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.” (HR. Muslim no. 2582) Hadis di atas menunjukkan kepada kita, bahwa segala macam bentuk kezaliman di dunia ini pasti akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sungguh Allah Mahaadil dan tidak luput dari-Nya sekecil apapun dari bentuk kezaliman. Bentuk kezaliman yang ketiga, adalah kezaliman kepada diri sendiri. Yaitu, apabila seorang hamba bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan berbuat dosa. Hal ini sebagaimana yang Allah sampaikan di dalam Al-Qur’an, فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ “Lalu, di antara mereka (manusia) ada yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Fatir: 32) Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan, “(Menzalimi diri sendiri) yaitu dengan perbuatan-perbuatan maksiat selain kekafiran.” (Tafsir As-Sa’di) Dalam ayat lain disebutkan, Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Adam dan istrinya, وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ “Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35) Allah melarang mereka berdua untuk mendekati sebuah pohon, yang apabila mereka mendekatinya dan memakan buahnya, mereka sungguh telah melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan menzalimi diri mereka sendiri dengan perbuatan mereka tersebut. Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Kesyirikan yang dilakukan seorang hamba, kezaliman yang dilakukannya kepada manusia lainnya dan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, maka sejatinya akan merugikan diri mereka sendiri, menjadikan mereka manusia yang berbuat kezaliman kepada diri mereka sendiri. Sayangnya, wahai saudaraku, sebagian dari kita masih banyak yang meremehkan dosa-dosa tersebut dan mengabaikannya. Menganggap bahwa perkara tersebut sangatlah ringan dan tidak akan dihukum Allah Ta’ala. Begitu dahsyatnya dan berbahayanya perbuatan zalim ini sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak doa agar dihindarkan darinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa membaca doa, اللهم أعوذُ بك أن أَضِلَّ أو أُضَلَّ أو أَزِلَّ أو أُزَلَّ أو أَظْلِمَ أو أُظْلَمَ أو أَجْهَلَ أو أُجْهَلَ عَلَيَّ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.” (HR Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3427, dan An-Nasai no. 5539) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Bahaya Kezaliman dan Berlaku Semena-Mena *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: dosazalim

Fikih Salat Sunah Mutlak

Daftar Isi Toggle Apa itu salat sunah mutlak?Keutamaan salat sunah mutlakHikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisabMendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surgaWaktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlakTata cara salat sunah mutlakDisunahkan memperbanyak salat sunahSebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya)Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaatSalat sunah yang terbaik adalah salat malamDan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malamSalat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzurSalat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumahDisunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witirSiapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan untuk kita sarana mendekatkan diri kepada-Nya di samping kewajiban salat, yaitu dengan salat sunah. Salat sunah adalah salah satu amal yang paling baik setelah berjihad di jalan Allah dan menuntut ilmu. Hal ini karena Nabi ﷺ senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan salat sunah. Nabi ﷺ bersabda, استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة “Istikamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu menghitung (pahala), dan ketahuilah bahwa amal kalian yang terbaik adalah salat.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani.) Salat mencakup berbagai bentuk ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, rukuk, sujud, doa, kerendahan hati, penghambaan, berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, takbir, tasbih, dan berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. [1] Apa itu salat sunah mutlak? Salat terdiri dari dua jenis, yaitu: wajib dan sunah. Salat wajib adalah lima waktu dalam sehari semalam. Adapun salat sunah, terbagi menjadi: Pertama: Salat sunah mu’ayyan, yaitu salat sunah yang berkaitan dengan sebab tertentu atau waktu tertentu. Kedua: Salat sunah mutlak, yaitu, النَّوَافِل الَّتِي لَا تَتَعَلَّقُ بِسَبَبٍ وَلَا وَقْتٍ وَلَا حَصْرٍ لأَِعْدَادِهَا “Salat sunah yang tidak terkait dengan sebab, waktu tertentu, dan jumlahnya juga tidak dibatasi.” [2] Keutamaan salat sunah mutlak Salat sunah (termasuk di dalamnya sunah mutlak) memiliki banyak keutamaan. Beberapa hadis [3] yang berkaitan dengan hal ini adalah: Hikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisab Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة”. قال: ” يقول ربنا جل وعز لملائكته – وهو أعلم -: انظروا في صلاة عبدي؛ أتمها أم نقصها ؟ فإن كانت تامة؛ كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئاً، قال: انظروا؛ هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع؛ قال: أتمموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Yang pertama kali dihisab dari amalan manusia pada hari kiamat adalah salat mereka.” Beliau ﷺ bersabda, “Tuhan kita yang Mahaagung dan Mahamulia akan berfirman kepada para malaikat-Nya, (padahal Dia lebih mengetahui), ‘Periksa salat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang?’ Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat sebagai sempurna. Namun, jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika dia memiliki salat sunah, Allah berfirman, ‘Lengkapilah kewajiban hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amal perbuatan akan dihisab berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Al-Albani, 1: 163.) Mendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surga Dari Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah ﷺ, dan aku membawakan air wudu dan kebutuhan beliau. Lalu, beliau ﷺ bersabda kepadaku, ‘Mintalah.’ Aku menjawab, ‘Aku memohon agar dapat bersamamu di surga.’ Beliau ﷺ bertanya, ‘Apakah ada yang lain?’ Aku menjawab, ‘Hanya itu!’ Beliau ﷺ bersabda, فأعني على نفسك بكثرة السجود ‘Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud, (yaitu salat).‘ (HR. Muslim no. 489) Waktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlak Disyariatkan melakukan salat sunah mutlak sepanjang malam dan siang hari, kecuali pada waktu-waktu terlarang. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, فأمَّا النَّوَافِلُ المُطْلَقَةُ فَتُشْرَعُ في اللَّيْلِ كُلِّه، وفي النَّهَارِ فيما سِوَى أوْقَات النَّهْىِ “Adapun salat sunah mutlak, maka ia disyariatkan sepanjang malam dan pada siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang.” [4] Adapun tentang waktu-waktu terlarang tersebut, ada lima waktu [5], yaitu: Pertama: Dari terbitnya fajar kedua hingga terbit matahari. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا تصلُّوا بعدَ الفجرِ إلَّا سجدتينِ “Janganlah kalian salat setelah (terbit) fajar, kecuali dua rakaat (sunah) fajar.” (HR. Abu Dawud no. 1278, disahihkan oleh Al-Albani) Jika fajar terbit, maka tidak boleh melakukan salat sunah, kecuali salat sunah fajar (salat sunah dua rakaat sebelum salat Subuh). Kedua: Dari terbit matahari hingga matahari naik setinggi satu tombak di pandangan mata. Ketiga: Saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat. Keadaan ini dikenal dengan berhentinya bayangan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang, hingga matahari condong ke barat. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن وأن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع، وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تزول، وحين تتضيف الشمس للغروب حتى تغرب “Ada tiga waktu yang Rasulullah ﷺ melarang kami untuk salat di dalamnya dan menguburkan mayat kami, yaitu: saat matahari terbit hingga naik, saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat, dan saat matahari mulai tenggelam ke barat hingga tenggelam.” (HR. Muslim no. 831) Keempat: Dari salat Asar hingga matahari tenggelam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا صلاة بعد الفجر حتى تطلع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس “Tidak ada salat setelah fajar hingga matahari terbit, dan tidak ada salat setelah Asar hingga matahari tenggelam.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kelima: Saat matahari mulai tenggelam hingga matahari tenggelam (berdasarkan HR. Muslim no. 831 di atas) Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar Tata cara salat sunah mutlak Para ulama menyebutkan banyak sifat secara panjang-lebar tentang salat sunah (nawafil) mutlak. Berikut ini ringkasan poin-poin penting yang mereka sebutkan [6]: Disunahkan memperbanyak salat sunah Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan sebelumnya, فأعني على نفسك بكثرة السجود “Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud (yaitu salat).” (HR. Muslim no. 489) Sebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya) Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, أفضل الصلاة طول القنوت “Sebaik-baik salat adalah yang panjang berdirinya.” (HR. Muslim no. 756) [7] Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaat Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang salat malam, maka beliau ﷺ bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu subuh, maka hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sisi pendalilan, bahwa sabda beliau “dua rakaat-dua rakaat” menunjukkan keharusan salam setiap dua rakaat. Rasulullah ﷺ secara khusus menyebutkan malam karena umumnya salat sunah dilakukan di malam hari, jadi tidak ada mafhum baginya (maksudnya, tidak bisa dipahami kalau salat sunah di siang hari tidak berlaku seperti itu, ed.), maka mencakup salat malam dan siang. Atau bisa jadi karena jawaban tersebut diberikan untuk pertanyaan tentang salat malam, maka tidak memiliki mafhum yang teranggap. [8] Salat sunah yang terbaik adalah salat malam Allah memuji orang-orang yang bangun di malam hari, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ ~ كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ~ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka memohon ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 16-18) [9] Dan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malam Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, أحب الصلاة إلى الله صلاة داود، كان ينام نصف الليل، ويقوم ثلثه، وينام سدسه “Salat yang paling Allah cintai adalah salat Daud, ia tidur separuh malam, bangun sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzur Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من صلى قائما؛ فهو أفضل، ومن صلى قاعداً؛ فله نصف أجر صلاة القائم “Siapa saja yang salat berdiri, itu lebih baik. Siapa saja salat duduk, maka baginya setengah dari pahala salat berdiri.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumah Para ulama sepakat bahwa salat sunnah di rumah lebih utama, dan Nabi ﷺ pun biasa salat di rumahnya. Beliau bersabda, صلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته؛ إلا المكتوبة “Salatlah di rumah kalian, karena sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat fardu.” (Muttafaqun ‘alaih) Disunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witir Nabi ﷺ selalu menjadikan salat terakhirnya di malam hari sebagai salat witir, dan beliau memerintahkan hal itu dalam banyak hadis, di antaranya hadis Ibnu Umar di poin no. 3 di atas. Siapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis, من نام عن حزبه من الليل، أو عن شيء منه، فقرأه ما بين صلاة الفجر وصلاة الظهر؛ كتب له، كأنما قرأه الليل “Barangsiapa tertidur dari wirid (yang dia baca ketika salat) di waktu malam atau sebagian darinya, lalu ia membacanya di antara salat Subuh dan salat Zuhur, maka akan dicatat baginya seolah-olah ia membacanya di malam hari.” (HR. Muslim no. 747) [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat *** 20 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 1430.   Catatan kaki: [1] Mulakhkhash Fiqhi, hal. 117. [2] Raudhatuth Tholalibiiln, 1: 335, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 108-109. [3] Lihat Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 555, lihat juga Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [5] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 135. [6] Lihat Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131-134. [7] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 168; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 112-114. [8] Lihat https://dorar.net/feqhia/1285 [9] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [10] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 563. Tags: salat sunah

Fikih Salat Sunah Mutlak

Daftar Isi Toggle Apa itu salat sunah mutlak?Keutamaan salat sunah mutlakHikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisabMendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surgaWaktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlakTata cara salat sunah mutlakDisunahkan memperbanyak salat sunahSebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya)Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaatSalat sunah yang terbaik adalah salat malamDan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malamSalat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzurSalat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumahDisunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witirSiapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan untuk kita sarana mendekatkan diri kepada-Nya di samping kewajiban salat, yaitu dengan salat sunah. Salat sunah adalah salah satu amal yang paling baik setelah berjihad di jalan Allah dan menuntut ilmu. Hal ini karena Nabi ﷺ senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan salat sunah. Nabi ﷺ bersabda, استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة “Istikamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu menghitung (pahala), dan ketahuilah bahwa amal kalian yang terbaik adalah salat.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani.) Salat mencakup berbagai bentuk ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, rukuk, sujud, doa, kerendahan hati, penghambaan, berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, takbir, tasbih, dan berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. [1] Apa itu salat sunah mutlak? Salat terdiri dari dua jenis, yaitu: wajib dan sunah. Salat wajib adalah lima waktu dalam sehari semalam. Adapun salat sunah, terbagi menjadi: Pertama: Salat sunah mu’ayyan, yaitu salat sunah yang berkaitan dengan sebab tertentu atau waktu tertentu. Kedua: Salat sunah mutlak, yaitu, النَّوَافِل الَّتِي لَا تَتَعَلَّقُ بِسَبَبٍ وَلَا وَقْتٍ وَلَا حَصْرٍ لأَِعْدَادِهَا “Salat sunah yang tidak terkait dengan sebab, waktu tertentu, dan jumlahnya juga tidak dibatasi.” [2] Keutamaan salat sunah mutlak Salat sunah (termasuk di dalamnya sunah mutlak) memiliki banyak keutamaan. Beberapa hadis [3] yang berkaitan dengan hal ini adalah: Hikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisab Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة”. قال: ” يقول ربنا جل وعز لملائكته – وهو أعلم -: انظروا في صلاة عبدي؛ أتمها أم نقصها ؟ فإن كانت تامة؛ كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئاً، قال: انظروا؛ هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع؛ قال: أتمموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Yang pertama kali dihisab dari amalan manusia pada hari kiamat adalah salat mereka.” Beliau ﷺ bersabda, “Tuhan kita yang Mahaagung dan Mahamulia akan berfirman kepada para malaikat-Nya, (padahal Dia lebih mengetahui), ‘Periksa salat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang?’ Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat sebagai sempurna. Namun, jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika dia memiliki salat sunah, Allah berfirman, ‘Lengkapilah kewajiban hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amal perbuatan akan dihisab berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Al-Albani, 1: 163.) Mendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surga Dari Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah ﷺ, dan aku membawakan air wudu dan kebutuhan beliau. Lalu, beliau ﷺ bersabda kepadaku, ‘Mintalah.’ Aku menjawab, ‘Aku memohon agar dapat bersamamu di surga.’ Beliau ﷺ bertanya, ‘Apakah ada yang lain?’ Aku menjawab, ‘Hanya itu!’ Beliau ﷺ bersabda, فأعني على نفسك بكثرة السجود ‘Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud, (yaitu salat).‘ (HR. Muslim no. 489) Waktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlak Disyariatkan melakukan salat sunah mutlak sepanjang malam dan siang hari, kecuali pada waktu-waktu terlarang. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, فأمَّا النَّوَافِلُ المُطْلَقَةُ فَتُشْرَعُ في اللَّيْلِ كُلِّه، وفي النَّهَارِ فيما سِوَى أوْقَات النَّهْىِ “Adapun salat sunah mutlak, maka ia disyariatkan sepanjang malam dan pada siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang.” [4] Adapun tentang waktu-waktu terlarang tersebut, ada lima waktu [5], yaitu: Pertama: Dari terbitnya fajar kedua hingga terbit matahari. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا تصلُّوا بعدَ الفجرِ إلَّا سجدتينِ “Janganlah kalian salat setelah (terbit) fajar, kecuali dua rakaat (sunah) fajar.” (HR. Abu Dawud no. 1278, disahihkan oleh Al-Albani) Jika fajar terbit, maka tidak boleh melakukan salat sunah, kecuali salat sunah fajar (salat sunah dua rakaat sebelum salat Subuh). Kedua: Dari terbit matahari hingga matahari naik setinggi satu tombak di pandangan mata. Ketiga: Saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat. Keadaan ini dikenal dengan berhentinya bayangan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang, hingga matahari condong ke barat. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن وأن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع، وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تزول، وحين تتضيف الشمس للغروب حتى تغرب “Ada tiga waktu yang Rasulullah ﷺ melarang kami untuk salat di dalamnya dan menguburkan mayat kami, yaitu: saat matahari terbit hingga naik, saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat, dan saat matahari mulai tenggelam ke barat hingga tenggelam.” (HR. Muslim no. 831) Keempat: Dari salat Asar hingga matahari tenggelam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا صلاة بعد الفجر حتى تطلع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس “Tidak ada salat setelah fajar hingga matahari terbit, dan tidak ada salat setelah Asar hingga matahari tenggelam.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kelima: Saat matahari mulai tenggelam hingga matahari tenggelam (berdasarkan HR. Muslim no. 831 di atas) Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar Tata cara salat sunah mutlak Para ulama menyebutkan banyak sifat secara panjang-lebar tentang salat sunah (nawafil) mutlak. Berikut ini ringkasan poin-poin penting yang mereka sebutkan [6]: Disunahkan memperbanyak salat sunah Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan sebelumnya, فأعني على نفسك بكثرة السجود “Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud (yaitu salat).” (HR. Muslim no. 489) Sebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya) Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, أفضل الصلاة طول القنوت “Sebaik-baik salat adalah yang panjang berdirinya.” (HR. Muslim no. 756) [7] Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaat Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang salat malam, maka beliau ﷺ bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu subuh, maka hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sisi pendalilan, bahwa sabda beliau “dua rakaat-dua rakaat” menunjukkan keharusan salam setiap dua rakaat. Rasulullah ﷺ secara khusus menyebutkan malam karena umumnya salat sunah dilakukan di malam hari, jadi tidak ada mafhum baginya (maksudnya, tidak bisa dipahami kalau salat sunah di siang hari tidak berlaku seperti itu, ed.), maka mencakup salat malam dan siang. Atau bisa jadi karena jawaban tersebut diberikan untuk pertanyaan tentang salat malam, maka tidak memiliki mafhum yang teranggap. [8] Salat sunah yang terbaik adalah salat malam Allah memuji orang-orang yang bangun di malam hari, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ ~ كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ~ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka memohon ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 16-18) [9] Dan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malam Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, أحب الصلاة إلى الله صلاة داود، كان ينام نصف الليل، ويقوم ثلثه، وينام سدسه “Salat yang paling Allah cintai adalah salat Daud, ia tidur separuh malam, bangun sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzur Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من صلى قائما؛ فهو أفضل، ومن صلى قاعداً؛ فله نصف أجر صلاة القائم “Siapa saja yang salat berdiri, itu lebih baik. Siapa saja salat duduk, maka baginya setengah dari pahala salat berdiri.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumah Para ulama sepakat bahwa salat sunnah di rumah lebih utama, dan Nabi ﷺ pun biasa salat di rumahnya. Beliau bersabda, صلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته؛ إلا المكتوبة “Salatlah di rumah kalian, karena sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat fardu.” (Muttafaqun ‘alaih) Disunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witir Nabi ﷺ selalu menjadikan salat terakhirnya di malam hari sebagai salat witir, dan beliau memerintahkan hal itu dalam banyak hadis, di antaranya hadis Ibnu Umar di poin no. 3 di atas. Siapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis, من نام عن حزبه من الليل، أو عن شيء منه، فقرأه ما بين صلاة الفجر وصلاة الظهر؛ كتب له، كأنما قرأه الليل “Barangsiapa tertidur dari wirid (yang dia baca ketika salat) di waktu malam atau sebagian darinya, lalu ia membacanya di antara salat Subuh dan salat Zuhur, maka akan dicatat baginya seolah-olah ia membacanya di malam hari.” (HR. Muslim no. 747) [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat *** 20 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 1430.   Catatan kaki: [1] Mulakhkhash Fiqhi, hal. 117. [2] Raudhatuth Tholalibiiln, 1: 335, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 108-109. [3] Lihat Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 555, lihat juga Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [5] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 135. [6] Lihat Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131-134. [7] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 168; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 112-114. [8] Lihat https://dorar.net/feqhia/1285 [9] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [10] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 563. Tags: salat sunah
Daftar Isi Toggle Apa itu salat sunah mutlak?Keutamaan salat sunah mutlakHikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisabMendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surgaWaktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlakTata cara salat sunah mutlakDisunahkan memperbanyak salat sunahSebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya)Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaatSalat sunah yang terbaik adalah salat malamDan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malamSalat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzurSalat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumahDisunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witirSiapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan untuk kita sarana mendekatkan diri kepada-Nya di samping kewajiban salat, yaitu dengan salat sunah. Salat sunah adalah salah satu amal yang paling baik setelah berjihad di jalan Allah dan menuntut ilmu. Hal ini karena Nabi ﷺ senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan salat sunah. Nabi ﷺ bersabda, استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة “Istikamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu menghitung (pahala), dan ketahuilah bahwa amal kalian yang terbaik adalah salat.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani.) Salat mencakup berbagai bentuk ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, rukuk, sujud, doa, kerendahan hati, penghambaan, berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, takbir, tasbih, dan berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. [1] Apa itu salat sunah mutlak? Salat terdiri dari dua jenis, yaitu: wajib dan sunah. Salat wajib adalah lima waktu dalam sehari semalam. Adapun salat sunah, terbagi menjadi: Pertama: Salat sunah mu’ayyan, yaitu salat sunah yang berkaitan dengan sebab tertentu atau waktu tertentu. Kedua: Salat sunah mutlak, yaitu, النَّوَافِل الَّتِي لَا تَتَعَلَّقُ بِسَبَبٍ وَلَا وَقْتٍ وَلَا حَصْرٍ لأَِعْدَادِهَا “Salat sunah yang tidak terkait dengan sebab, waktu tertentu, dan jumlahnya juga tidak dibatasi.” [2] Keutamaan salat sunah mutlak Salat sunah (termasuk di dalamnya sunah mutlak) memiliki banyak keutamaan. Beberapa hadis [3] yang berkaitan dengan hal ini adalah: Hikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisab Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة”. قال: ” يقول ربنا جل وعز لملائكته – وهو أعلم -: انظروا في صلاة عبدي؛ أتمها أم نقصها ؟ فإن كانت تامة؛ كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئاً، قال: انظروا؛ هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع؛ قال: أتمموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Yang pertama kali dihisab dari amalan manusia pada hari kiamat adalah salat mereka.” Beliau ﷺ bersabda, “Tuhan kita yang Mahaagung dan Mahamulia akan berfirman kepada para malaikat-Nya, (padahal Dia lebih mengetahui), ‘Periksa salat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang?’ Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat sebagai sempurna. Namun, jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika dia memiliki salat sunah, Allah berfirman, ‘Lengkapilah kewajiban hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amal perbuatan akan dihisab berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Al-Albani, 1: 163.) Mendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surga Dari Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah ﷺ, dan aku membawakan air wudu dan kebutuhan beliau. Lalu, beliau ﷺ bersabda kepadaku, ‘Mintalah.’ Aku menjawab, ‘Aku memohon agar dapat bersamamu di surga.’ Beliau ﷺ bertanya, ‘Apakah ada yang lain?’ Aku menjawab, ‘Hanya itu!’ Beliau ﷺ bersabda, فأعني على نفسك بكثرة السجود ‘Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud, (yaitu salat).‘ (HR. Muslim no. 489) Waktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlak Disyariatkan melakukan salat sunah mutlak sepanjang malam dan siang hari, kecuali pada waktu-waktu terlarang. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, فأمَّا النَّوَافِلُ المُطْلَقَةُ فَتُشْرَعُ في اللَّيْلِ كُلِّه، وفي النَّهَارِ فيما سِوَى أوْقَات النَّهْىِ “Adapun salat sunah mutlak, maka ia disyariatkan sepanjang malam dan pada siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang.” [4] Adapun tentang waktu-waktu terlarang tersebut, ada lima waktu [5], yaitu: Pertama: Dari terbitnya fajar kedua hingga terbit matahari. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا تصلُّوا بعدَ الفجرِ إلَّا سجدتينِ “Janganlah kalian salat setelah (terbit) fajar, kecuali dua rakaat (sunah) fajar.” (HR. Abu Dawud no. 1278, disahihkan oleh Al-Albani) Jika fajar terbit, maka tidak boleh melakukan salat sunah, kecuali salat sunah fajar (salat sunah dua rakaat sebelum salat Subuh). Kedua: Dari terbit matahari hingga matahari naik setinggi satu tombak di pandangan mata. Ketiga: Saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat. Keadaan ini dikenal dengan berhentinya bayangan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang, hingga matahari condong ke barat. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن وأن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع، وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تزول، وحين تتضيف الشمس للغروب حتى تغرب “Ada tiga waktu yang Rasulullah ﷺ melarang kami untuk salat di dalamnya dan menguburkan mayat kami, yaitu: saat matahari terbit hingga naik, saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat, dan saat matahari mulai tenggelam ke barat hingga tenggelam.” (HR. Muslim no. 831) Keempat: Dari salat Asar hingga matahari tenggelam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا صلاة بعد الفجر حتى تطلع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس “Tidak ada salat setelah fajar hingga matahari terbit, dan tidak ada salat setelah Asar hingga matahari tenggelam.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kelima: Saat matahari mulai tenggelam hingga matahari tenggelam (berdasarkan HR. Muslim no. 831 di atas) Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar Tata cara salat sunah mutlak Para ulama menyebutkan banyak sifat secara panjang-lebar tentang salat sunah (nawafil) mutlak. Berikut ini ringkasan poin-poin penting yang mereka sebutkan [6]: Disunahkan memperbanyak salat sunah Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan sebelumnya, فأعني على نفسك بكثرة السجود “Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud (yaitu salat).” (HR. Muslim no. 489) Sebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya) Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, أفضل الصلاة طول القنوت “Sebaik-baik salat adalah yang panjang berdirinya.” (HR. Muslim no. 756) [7] Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaat Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang salat malam, maka beliau ﷺ bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu subuh, maka hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sisi pendalilan, bahwa sabda beliau “dua rakaat-dua rakaat” menunjukkan keharusan salam setiap dua rakaat. Rasulullah ﷺ secara khusus menyebutkan malam karena umumnya salat sunah dilakukan di malam hari, jadi tidak ada mafhum baginya (maksudnya, tidak bisa dipahami kalau salat sunah di siang hari tidak berlaku seperti itu, ed.), maka mencakup salat malam dan siang. Atau bisa jadi karena jawaban tersebut diberikan untuk pertanyaan tentang salat malam, maka tidak memiliki mafhum yang teranggap. [8] Salat sunah yang terbaik adalah salat malam Allah memuji orang-orang yang bangun di malam hari, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ ~ كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ~ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka memohon ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 16-18) [9] Dan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malam Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, أحب الصلاة إلى الله صلاة داود، كان ينام نصف الليل، ويقوم ثلثه، وينام سدسه “Salat yang paling Allah cintai adalah salat Daud, ia tidur separuh malam, bangun sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzur Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من صلى قائما؛ فهو أفضل، ومن صلى قاعداً؛ فله نصف أجر صلاة القائم “Siapa saja yang salat berdiri, itu lebih baik. Siapa saja salat duduk, maka baginya setengah dari pahala salat berdiri.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumah Para ulama sepakat bahwa salat sunnah di rumah lebih utama, dan Nabi ﷺ pun biasa salat di rumahnya. Beliau bersabda, صلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته؛ إلا المكتوبة “Salatlah di rumah kalian, karena sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat fardu.” (Muttafaqun ‘alaih) Disunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witir Nabi ﷺ selalu menjadikan salat terakhirnya di malam hari sebagai salat witir, dan beliau memerintahkan hal itu dalam banyak hadis, di antaranya hadis Ibnu Umar di poin no. 3 di atas. Siapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis, من نام عن حزبه من الليل، أو عن شيء منه، فقرأه ما بين صلاة الفجر وصلاة الظهر؛ كتب له، كأنما قرأه الليل “Barangsiapa tertidur dari wirid (yang dia baca ketika salat) di waktu malam atau sebagian darinya, lalu ia membacanya di antara salat Subuh dan salat Zuhur, maka akan dicatat baginya seolah-olah ia membacanya di malam hari.” (HR. Muslim no. 747) [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat *** 20 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 1430.   Catatan kaki: [1] Mulakhkhash Fiqhi, hal. 117. [2] Raudhatuth Tholalibiiln, 1: 335, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 108-109. [3] Lihat Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 555, lihat juga Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [5] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 135. [6] Lihat Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131-134. [7] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 168; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 112-114. [8] Lihat https://dorar.net/feqhia/1285 [9] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [10] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 563. Tags: salat sunah


Daftar Isi Toggle Apa itu salat sunah mutlak?Keutamaan salat sunah mutlakHikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisabMendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surgaWaktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlakTata cara salat sunah mutlakDisunahkan memperbanyak salat sunahSebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya)Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaatSalat sunah yang terbaik adalah salat malamDan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malamSalat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzurSalat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumahDisunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witirSiapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan untuk kita sarana mendekatkan diri kepada-Nya di samping kewajiban salat, yaitu dengan salat sunah. Salat sunah adalah salah satu amal yang paling baik setelah berjihad di jalan Allah dan menuntut ilmu. Hal ini karena Nabi ﷺ senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan salat sunah. Nabi ﷺ bersabda, استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة “Istikamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu menghitung (pahala), dan ketahuilah bahwa amal kalian yang terbaik adalah salat.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Albani.) Salat mencakup berbagai bentuk ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, rukuk, sujud, doa, kerendahan hati, penghambaan, berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, takbir, tasbih, dan berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. [1] Apa itu salat sunah mutlak? Salat terdiri dari dua jenis, yaitu: wajib dan sunah. Salat wajib adalah lima waktu dalam sehari semalam. Adapun salat sunah, terbagi menjadi: Pertama: Salat sunah mu’ayyan, yaitu salat sunah yang berkaitan dengan sebab tertentu atau waktu tertentu. Kedua: Salat sunah mutlak, yaitu, النَّوَافِل الَّتِي لَا تَتَعَلَّقُ بِسَبَبٍ وَلَا وَقْتٍ وَلَا حَصْرٍ لأَِعْدَادِهَا “Salat sunah yang tidak terkait dengan sebab, waktu tertentu, dan jumlahnya juga tidak dibatasi.” [2] Keutamaan salat sunah mutlak Salat sunah (termasuk di dalamnya sunah mutlak) memiliki banyak keutamaan. Beberapa hadis [3] yang berkaitan dengan hal ini adalah: Hikmah dari pensyariatannya salat sunah, yaitu penyempurna salat (wajib), yang merupakan amalan pertama yang di-hisab Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة”. قال: ” يقول ربنا جل وعز لملائكته – وهو أعلم -: انظروا في صلاة عبدي؛ أتمها أم نقصها ؟ فإن كانت تامة؛ كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئاً، قال: انظروا؛ هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع؛ قال: أتمموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Yang pertama kali dihisab dari amalan manusia pada hari kiamat adalah salat mereka.” Beliau ﷺ bersabda, “Tuhan kita yang Mahaagung dan Mahamulia akan berfirman kepada para malaikat-Nya, (padahal Dia lebih mengetahui), ‘Periksa salat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang?’ Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat sebagai sempurna. Namun, jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika dia memiliki salat sunah, Allah berfirman, ‘Lengkapilah kewajiban hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amal perbuatan akan dihisab berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Al-Albani, 1: 163.) Mendapatkan tempat yang sangat tinggi, dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di surga Dari Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah ﷺ, dan aku membawakan air wudu dan kebutuhan beliau. Lalu, beliau ﷺ bersabda kepadaku, ‘Mintalah.’ Aku menjawab, ‘Aku memohon agar dapat bersamamu di surga.’ Beliau ﷺ bertanya, ‘Apakah ada yang lain?’ Aku menjawab, ‘Hanya itu!’ Beliau ﷺ bersabda, فأعني على نفسك بكثرة السجود ‘Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud, (yaitu salat).‘ (HR. Muslim no. 489) Waktu-waktu untuk melaksanakan salat sunah mutlak Disyariatkan melakukan salat sunah mutlak sepanjang malam dan siang hari, kecuali pada waktu-waktu terlarang. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, فأمَّا النَّوَافِلُ المُطْلَقَةُ فَتُشْرَعُ في اللَّيْلِ كُلِّه، وفي النَّهَارِ فيما سِوَى أوْقَات النَّهْىِ “Adapun salat sunah mutlak, maka ia disyariatkan sepanjang malam dan pada siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang.” [4] Adapun tentang waktu-waktu terlarang tersebut, ada lima waktu [5], yaitu: Pertama: Dari terbitnya fajar kedua hingga terbit matahari. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا تصلُّوا بعدَ الفجرِ إلَّا سجدتينِ “Janganlah kalian salat setelah (terbit) fajar, kecuali dua rakaat (sunah) fajar.” (HR. Abu Dawud no. 1278, disahihkan oleh Al-Albani) Jika fajar terbit, maka tidak boleh melakukan salat sunah, kecuali salat sunah fajar (salat sunah dua rakaat sebelum salat Subuh). Kedua: Dari terbit matahari hingga matahari naik setinggi satu tombak di pandangan mata. Ketiga: Saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat. Keadaan ini dikenal dengan berhentinya bayangan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang, hingga matahari condong ke barat. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن وأن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع، وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تزول، وحين تتضيف الشمس للغروب حتى تغرب “Ada tiga waktu yang Rasulullah ﷺ melarang kami untuk salat di dalamnya dan menguburkan mayat kami, yaitu: saat matahari terbit hingga naik, saat matahari berada di tengah langit hingga condong ke barat, dan saat matahari mulai tenggelam ke barat hingga tenggelam.” (HR. Muslim no. 831) Keempat: Dari salat Asar hingga matahari tenggelam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, لا صلاة بعد الفجر حتى تطلع الشمس، ولا صلاة بعد العصر حتى تغيب الشمس “Tidak ada salat setelah fajar hingga matahari terbit, dan tidak ada salat setelah Asar hingga matahari tenggelam.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kelima: Saat matahari mulai tenggelam hingga matahari tenggelam (berdasarkan HR. Muslim no. 831 di atas) Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar Tata cara salat sunah mutlak Para ulama menyebutkan banyak sifat secara panjang-lebar tentang salat sunah (nawafil) mutlak. Berikut ini ringkasan poin-poin penting yang mereka sebutkan [6]: Disunahkan memperbanyak salat sunah Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan sebelumnya, فأعني على نفسك بكثرة السجود “Bantulah aku (pada urusan ini agar Allah mewujudkannya) atasmu dengan banyak sujud (yaitu salat).” (HR. Muslim no. 489) Sebaik-baik salat adalah yang panjang bacaan (qiyam-nya) Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, أفضل الصلاة طول القنوت “Sebaik-baik salat adalah yang panjang berdirinya.” (HR. Muslim no. 756) [7] Salat malam dan siang dilakukan dua rakaat-dua rakaat Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang salat malam, maka beliau ﷺ bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu subuh, maka hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sisi pendalilan, bahwa sabda beliau “dua rakaat-dua rakaat” menunjukkan keharusan salam setiap dua rakaat. Rasulullah ﷺ secara khusus menyebutkan malam karena umumnya salat sunah dilakukan di malam hari, jadi tidak ada mafhum baginya (maksudnya, tidak bisa dipahami kalau salat sunah di siang hari tidak berlaku seperti itu, ed.), maka mencakup salat malam dan siang. Atau bisa jadi karena jawaban tersebut diberikan untuk pertanyaan tentang salat malam, maka tidak memiliki mafhum yang teranggap. [8] Salat sunah yang terbaik adalah salat malam Allah memuji orang-orang yang bangun di malam hari, sebagaimana firman-Nya, إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ ~ كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ~ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka memohon ampunan.” (QS. Adz-Dzariyat: 16-18) [9] Dan salat malam yang terbaik adalah salat di sepertiga malam setelah pertengahan malam Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, أحب الصلاة إلى الله صلاة داود، كان ينام نصف الليل، ويقوم ثلثه، وينام سدسه “Salat yang paling Allah cintai adalah salat Daud, ia tidur separuh malam, bangun sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah dalam keadaan berdiri lebih utama daripada salat dalam keadaan duduk tanpa ada uzur Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ, من صلى قائما؛ فهو أفضل، ومن صلى قاعداً؛ فله نصف أجر صلاة القائم “Siapa saja yang salat berdiri, itu lebih baik. Siapa saja salat duduk, maka baginya setengah dari pahala salat berdiri.” (Muttafaqun ‘alaih) Salat sunah yang terbaik adalah dilakukan di rumah Para ulama sepakat bahwa salat sunnah di rumah lebih utama, dan Nabi ﷺ pun biasa salat di rumahnya. Beliau bersabda, صلوا في بيوتكم؛ فإن أفضل صلاة المرء في بيته؛ إلا المكتوبة “Salatlah di rumah kalian, karena sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat fardu.” (Muttafaqun ‘alaih) Disunahkan untuk menutup salat sunah di malam hari dengan witir Nabi ﷺ selalu menjadikan salat terakhirnya di malam hari sebagai salat witir, dan beliau memerintahkan hal itu dalam banyak hadis, di antaranya hadis Ibnu Umar di poin no. 3 di atas. Siapa saja yang terlewat salat tahajud yang biasa dia lakukan di malam hari, disunahkan untuk menggantinya sebelum waktu zuhur Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis, من نام عن حزبه من الليل، أو عن شيء منه، فقرأه ما بين صلاة الفجر وصلاة الظهر؛ كتب له، كأنما قرأه الليل “Barangsiapa tertidur dari wirid (yang dia baca ketika salat) di waktu malam atau sebagian darinya, lalu ia membacanya di antara salat Subuh dan salat Zuhur, maka akan dicatat baginya seolah-olah ia membacanya di malam hari.” (HR. Muslim no. 747) [10] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat *** 20 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006 M. Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Darul Aqidah – Mesir, 1430.   Catatan kaki: [1] Mulakhkhash Fiqhi, hal. 117. [2] Raudhatuth Tholalibiiln, 1: 335, dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 108-109. [3] Lihat Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 555, lihat juga Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [5] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 135. [6] Lihat Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131-134. [7] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 168; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41: 112-114. [8] Lihat https://dorar.net/feqhia/1285 [9] Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, hal. 131. [10] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 2: 563. Tags: salat sunah

Matan Taqrib: Tata Cara Azan dan Iqamah yang Benar

Azan dan Iqamah adalah dua elemen penting dalam panggilan untuk salat bagi umat Muslim. Keduanya memiliki aturan dan tata cara tertentu yang perlu diikuti agar sesuai dengan ajaran Islam. Kitab Matan Taqrib, yang merupakan salah satu kitab fikih klasik yang banyak dirujuk, memberikan panduan rinci tentang tata cara Azan dan Iqamah yang benar. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam aturan-aturan tersebut berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Matan Taqrib, sehingga dapat menjadi pedoman yang tepat bagi umat Muslim dalam menjalankan kewajiban ini.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. 1. Azan 3.1. Syarat muazin 3.2. Sunah-Sunah Azan 4. Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid 5. Lafaz Azan Abu Mahdzurah 6. 2. Iqamah 6.1. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.   Penjelasan: Pertama: Sunah-sunah shalat sebelum memasuki shalat:   1. Azan Secara bahasa, azan berarti al-i’laam, pemberitahuan. Secara istilah, azan berarti ucapan khusus yang memberitahukan masuknya waktu shalat wajib. Azan bertujuan sebagai pemberitahuan tentang syiar Islam serta mengajak umat Islam untuk berkumpul melaksanakan shalat. Hukum azan: sunah muakkad dan aza adalah sunah kifayah yang dilakukan oleh seorang muazin di satu masjid, dan azan adalah sunah untuk shalat yang saat ini dan shalat yang luput. Catatan: Azan dihukumi sunnah untuk orang yang shalat sendirian. Jika shalat rutin sudah dilaksanakan di masjid, maka tidak perlu dikumandangkan lagi azan. Azan disyariatkan pada tahun pertama hijriah.   Syarat muazin Islam Tamyiz: Diterima dari anak yang sudah paham hukum azan, mengetahui waktu shalat. Laki-laki Kalimat azan berurutan Berkesinambungan antara kalimat azan (tidak dengan jeda waktu yang lama antara kalimat azan) Meninggikan suara jika mengumandangkan azan untuk jamaah Masuknya waktu, maka tidak sah sebelum masuk waktu berdasarkan ijmak ulama. Catatan: Wanita tidak mengumandangkan adzan, tetapi dianjurkan baginya untuk mengumandangkan iqamah dengan suara pelan.   Sunah-Sunah Azan Hendaknya muazin menghadap kiblat karena itu adalah arah yang paling mulia. Hendaknya muazin suci dari hadats besar dan kecil. Azan dilakukan sambil berdiri. Hendaknya muazin menoleh ke kanan saat mengucapkan “Hayya ‘alash shalah” dan menoleh ke kiri saat mengucapkan “Hayya ‘alal falah”. Melantunkan azan dengan tenang dan perlahan. Mengulang syahadat dalam azan (muazin mengucapkan dua kalimat syahadat secara lirih, lalu mengucapkannya dengan keras). Mengucapkan “As-shalatu khairun minan-naum” (Shalat lebih baik daripada tidur) dua kali dalam azan subuh setelah “Hayya ‘alal falah”. Hendaknya muazin memiliki suara yang merdu dan akhlak yang baik. Tidak salah dalam mengucapkan azan sehingga huruf dan kata-katanya keluar dari asalnya dan tempat keluarnya. Hendaknya muazin mengumandangkan azan subuh sebelum waktu masuk dan azan saat waktu masuk, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Bilal mengumandangkan azan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzan dari Ibnu Ummi Maktum”. Doa dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan sebagaimana disebutkan: ketika mendengar panggilan, “Ya Allah, Rabb dari seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan ini, berilah Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dia pada maqam terpuji yang telah Engkau janjikan”. (HR. Bukhari) Catatan: Mengikuti muazin dan memperhatikan adzannya, serta menjawab sebagaimana yang dikatakan oleh muazin, dari Abdullah bin Amr, seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, para muadzin mengungguli kami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakan sebagaimana yang mereka katakan, dan ketika selesai, mintalah, niscaya akan diberikan”. (Muttafaq Alaih) Jika seorang muslim mendengar beberapa azan dari masjid berbeda, hendaklah ia menjawab setiap ucapan muazin. Hendaklah ia ucapkan seperti ucapan muazin, hukumnya disunnahkan (dianjurkan). Orang yang sedang berhadats kecil dimakruhkan mengumandangkan azan. Orang junub lebih keras lagi untuk dilarang. Ketika shalat Id (Idulfitri dan Iduladha) disyariatkan memanggil jamaah dengan ucapan “ash-shalaatul jaami’ah”, tidak ada ucapan azan saat itu untuk memanggil jamaah.   Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Ahmad, 26:402; Abu Daud, no. 499; Tirmidzi, no. 189; Ibnu Khuzaimah, no. 371. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Imam Bukhari menyatakan hadits ini sahih).   Lafaz Azan Abu Mahdzurah اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Muslim, no. 379) Baca juga: Ucapan Azan 2. Iqamah Iqamah adalah suatu ucapan khusus yang disyariatkan untuk mengajak orang yang hadir untuk shalat. Hukum iqamah adalah sunnah kifayah. Catatan: Syarat-syarat iqamah: sama dengan syarat-syarat azan. Wanita masih dibolehkan untuk mengumandangkan iqamah. Sunnah-sunnah iqamah: Sama dengan sunnah-sunnah azan, dengan tambahan bahwa yang mengumandangkan iqamah adalah orang yang mengumandangkan azan. Disunnahkan untuk mempercepat pengucapan lafaz-lafaz iqamah. Jika seorang muslim melaksanakan lebih dari satu shalat dalam satu waktu, seperti shalat yang terlewat atau menjamak dua shalat, maka azan dikumandangkan untuk shalat yang pertama dan iqamah untuk masing-masing shalat. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menggabungkan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah. Azan lebih utama daripada iqamah. Muazin memiliki kendali atas waktu azan, dan imam memiliki kendali atas waktu iqamah. Lafaz-lafaz iqamah: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya ’ala as-salah, Hayya ’ala al-falah, Qad qamatis salah, Qad qamatis salah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaha illallah.”   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan pada 10 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadzan azan dan iqamah azan shubuh hukum adzan iqamah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat

Matan Taqrib: Tata Cara Azan dan Iqamah yang Benar

Azan dan Iqamah adalah dua elemen penting dalam panggilan untuk salat bagi umat Muslim. Keduanya memiliki aturan dan tata cara tertentu yang perlu diikuti agar sesuai dengan ajaran Islam. Kitab Matan Taqrib, yang merupakan salah satu kitab fikih klasik yang banyak dirujuk, memberikan panduan rinci tentang tata cara Azan dan Iqamah yang benar. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam aturan-aturan tersebut berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Matan Taqrib, sehingga dapat menjadi pedoman yang tepat bagi umat Muslim dalam menjalankan kewajiban ini.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. 1. Azan 3.1. Syarat muazin 3.2. Sunah-Sunah Azan 4. Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid 5. Lafaz Azan Abu Mahdzurah 6. 2. Iqamah 6.1. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.   Penjelasan: Pertama: Sunah-sunah shalat sebelum memasuki shalat:   1. Azan Secara bahasa, azan berarti al-i’laam, pemberitahuan. Secara istilah, azan berarti ucapan khusus yang memberitahukan masuknya waktu shalat wajib. Azan bertujuan sebagai pemberitahuan tentang syiar Islam serta mengajak umat Islam untuk berkumpul melaksanakan shalat. Hukum azan: sunah muakkad dan aza adalah sunah kifayah yang dilakukan oleh seorang muazin di satu masjid, dan azan adalah sunah untuk shalat yang saat ini dan shalat yang luput. Catatan: Azan dihukumi sunnah untuk orang yang shalat sendirian. Jika shalat rutin sudah dilaksanakan di masjid, maka tidak perlu dikumandangkan lagi azan. Azan disyariatkan pada tahun pertama hijriah.   Syarat muazin Islam Tamyiz: Diterima dari anak yang sudah paham hukum azan, mengetahui waktu shalat. Laki-laki Kalimat azan berurutan Berkesinambungan antara kalimat azan (tidak dengan jeda waktu yang lama antara kalimat azan) Meninggikan suara jika mengumandangkan azan untuk jamaah Masuknya waktu, maka tidak sah sebelum masuk waktu berdasarkan ijmak ulama. Catatan: Wanita tidak mengumandangkan adzan, tetapi dianjurkan baginya untuk mengumandangkan iqamah dengan suara pelan.   Sunah-Sunah Azan Hendaknya muazin menghadap kiblat karena itu adalah arah yang paling mulia. Hendaknya muazin suci dari hadats besar dan kecil. Azan dilakukan sambil berdiri. Hendaknya muazin menoleh ke kanan saat mengucapkan “Hayya ‘alash shalah” dan menoleh ke kiri saat mengucapkan “Hayya ‘alal falah”. Melantunkan azan dengan tenang dan perlahan. Mengulang syahadat dalam azan (muazin mengucapkan dua kalimat syahadat secara lirih, lalu mengucapkannya dengan keras). Mengucapkan “As-shalatu khairun minan-naum” (Shalat lebih baik daripada tidur) dua kali dalam azan subuh setelah “Hayya ‘alal falah”. Hendaknya muazin memiliki suara yang merdu dan akhlak yang baik. Tidak salah dalam mengucapkan azan sehingga huruf dan kata-katanya keluar dari asalnya dan tempat keluarnya. Hendaknya muazin mengumandangkan azan subuh sebelum waktu masuk dan azan saat waktu masuk, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Bilal mengumandangkan azan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzan dari Ibnu Ummi Maktum”. Doa dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan sebagaimana disebutkan: ketika mendengar panggilan, “Ya Allah, Rabb dari seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan ini, berilah Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dia pada maqam terpuji yang telah Engkau janjikan”. (HR. Bukhari) Catatan: Mengikuti muazin dan memperhatikan adzannya, serta menjawab sebagaimana yang dikatakan oleh muazin, dari Abdullah bin Amr, seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, para muadzin mengungguli kami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakan sebagaimana yang mereka katakan, dan ketika selesai, mintalah, niscaya akan diberikan”. (Muttafaq Alaih) Jika seorang muslim mendengar beberapa azan dari masjid berbeda, hendaklah ia menjawab setiap ucapan muazin. Hendaklah ia ucapkan seperti ucapan muazin, hukumnya disunnahkan (dianjurkan). Orang yang sedang berhadats kecil dimakruhkan mengumandangkan azan. Orang junub lebih keras lagi untuk dilarang. Ketika shalat Id (Idulfitri dan Iduladha) disyariatkan memanggil jamaah dengan ucapan “ash-shalaatul jaami’ah”, tidak ada ucapan azan saat itu untuk memanggil jamaah.   Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Ahmad, 26:402; Abu Daud, no. 499; Tirmidzi, no. 189; Ibnu Khuzaimah, no. 371. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Imam Bukhari menyatakan hadits ini sahih).   Lafaz Azan Abu Mahdzurah اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Muslim, no. 379) Baca juga: Ucapan Azan 2. Iqamah Iqamah adalah suatu ucapan khusus yang disyariatkan untuk mengajak orang yang hadir untuk shalat. Hukum iqamah adalah sunnah kifayah. Catatan: Syarat-syarat iqamah: sama dengan syarat-syarat azan. Wanita masih dibolehkan untuk mengumandangkan iqamah. Sunnah-sunnah iqamah: Sama dengan sunnah-sunnah azan, dengan tambahan bahwa yang mengumandangkan iqamah adalah orang yang mengumandangkan azan. Disunnahkan untuk mempercepat pengucapan lafaz-lafaz iqamah. Jika seorang muslim melaksanakan lebih dari satu shalat dalam satu waktu, seperti shalat yang terlewat atau menjamak dua shalat, maka azan dikumandangkan untuk shalat yang pertama dan iqamah untuk masing-masing shalat. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menggabungkan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah. Azan lebih utama daripada iqamah. Muazin memiliki kendali atas waktu azan, dan imam memiliki kendali atas waktu iqamah. Lafaz-lafaz iqamah: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya ’ala as-salah, Hayya ’ala al-falah, Qad qamatis salah, Qad qamatis salah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaha illallah.”   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan pada 10 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadzan azan dan iqamah azan shubuh hukum adzan iqamah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat
Azan dan Iqamah adalah dua elemen penting dalam panggilan untuk salat bagi umat Muslim. Keduanya memiliki aturan dan tata cara tertentu yang perlu diikuti agar sesuai dengan ajaran Islam. Kitab Matan Taqrib, yang merupakan salah satu kitab fikih klasik yang banyak dirujuk, memberikan panduan rinci tentang tata cara Azan dan Iqamah yang benar. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam aturan-aturan tersebut berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Matan Taqrib, sehingga dapat menjadi pedoman yang tepat bagi umat Muslim dalam menjalankan kewajiban ini.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. 1. Azan 3.1. Syarat muazin 3.2. Sunah-Sunah Azan 4. Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid 5. Lafaz Azan Abu Mahdzurah 6. 2. Iqamah 6.1. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.   Penjelasan: Pertama: Sunah-sunah shalat sebelum memasuki shalat:   1. Azan Secara bahasa, azan berarti al-i’laam, pemberitahuan. Secara istilah, azan berarti ucapan khusus yang memberitahukan masuknya waktu shalat wajib. Azan bertujuan sebagai pemberitahuan tentang syiar Islam serta mengajak umat Islam untuk berkumpul melaksanakan shalat. Hukum azan: sunah muakkad dan aza adalah sunah kifayah yang dilakukan oleh seorang muazin di satu masjid, dan azan adalah sunah untuk shalat yang saat ini dan shalat yang luput. Catatan: Azan dihukumi sunnah untuk orang yang shalat sendirian. Jika shalat rutin sudah dilaksanakan di masjid, maka tidak perlu dikumandangkan lagi azan. Azan disyariatkan pada tahun pertama hijriah.   Syarat muazin Islam Tamyiz: Diterima dari anak yang sudah paham hukum azan, mengetahui waktu shalat. Laki-laki Kalimat azan berurutan Berkesinambungan antara kalimat azan (tidak dengan jeda waktu yang lama antara kalimat azan) Meninggikan suara jika mengumandangkan azan untuk jamaah Masuknya waktu, maka tidak sah sebelum masuk waktu berdasarkan ijmak ulama. Catatan: Wanita tidak mengumandangkan adzan, tetapi dianjurkan baginya untuk mengumandangkan iqamah dengan suara pelan.   Sunah-Sunah Azan Hendaknya muazin menghadap kiblat karena itu adalah arah yang paling mulia. Hendaknya muazin suci dari hadats besar dan kecil. Azan dilakukan sambil berdiri. Hendaknya muazin menoleh ke kanan saat mengucapkan “Hayya ‘alash shalah” dan menoleh ke kiri saat mengucapkan “Hayya ‘alal falah”. Melantunkan azan dengan tenang dan perlahan. Mengulang syahadat dalam azan (muazin mengucapkan dua kalimat syahadat secara lirih, lalu mengucapkannya dengan keras). Mengucapkan “As-shalatu khairun minan-naum” (Shalat lebih baik daripada tidur) dua kali dalam azan subuh setelah “Hayya ‘alal falah”. Hendaknya muazin memiliki suara yang merdu dan akhlak yang baik. Tidak salah dalam mengucapkan azan sehingga huruf dan kata-katanya keluar dari asalnya dan tempat keluarnya. Hendaknya muazin mengumandangkan azan subuh sebelum waktu masuk dan azan saat waktu masuk, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Bilal mengumandangkan azan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzan dari Ibnu Ummi Maktum”. Doa dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan sebagaimana disebutkan: ketika mendengar panggilan, “Ya Allah, Rabb dari seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan ini, berilah Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dia pada maqam terpuji yang telah Engkau janjikan”. (HR. Bukhari) Catatan: Mengikuti muazin dan memperhatikan adzannya, serta menjawab sebagaimana yang dikatakan oleh muazin, dari Abdullah bin Amr, seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, para muadzin mengungguli kami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakan sebagaimana yang mereka katakan, dan ketika selesai, mintalah, niscaya akan diberikan”. (Muttafaq Alaih) Jika seorang muslim mendengar beberapa azan dari masjid berbeda, hendaklah ia menjawab setiap ucapan muazin. Hendaklah ia ucapkan seperti ucapan muazin, hukumnya disunnahkan (dianjurkan). Orang yang sedang berhadats kecil dimakruhkan mengumandangkan azan. Orang junub lebih keras lagi untuk dilarang. Ketika shalat Id (Idulfitri dan Iduladha) disyariatkan memanggil jamaah dengan ucapan “ash-shalaatul jaami’ah”, tidak ada ucapan azan saat itu untuk memanggil jamaah.   Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Ahmad, 26:402; Abu Daud, no. 499; Tirmidzi, no. 189; Ibnu Khuzaimah, no. 371. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Imam Bukhari menyatakan hadits ini sahih).   Lafaz Azan Abu Mahdzurah اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Muslim, no. 379) Baca juga: Ucapan Azan 2. Iqamah Iqamah adalah suatu ucapan khusus yang disyariatkan untuk mengajak orang yang hadir untuk shalat. Hukum iqamah adalah sunnah kifayah. Catatan: Syarat-syarat iqamah: sama dengan syarat-syarat azan. Wanita masih dibolehkan untuk mengumandangkan iqamah. Sunnah-sunnah iqamah: Sama dengan sunnah-sunnah azan, dengan tambahan bahwa yang mengumandangkan iqamah adalah orang yang mengumandangkan azan. Disunnahkan untuk mempercepat pengucapan lafaz-lafaz iqamah. Jika seorang muslim melaksanakan lebih dari satu shalat dalam satu waktu, seperti shalat yang terlewat atau menjamak dua shalat, maka azan dikumandangkan untuk shalat yang pertama dan iqamah untuk masing-masing shalat. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menggabungkan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah. Azan lebih utama daripada iqamah. Muazin memiliki kendali atas waktu azan, dan imam memiliki kendali atas waktu iqamah. Lafaz-lafaz iqamah: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya ’ala as-salah, Hayya ’ala al-falah, Qad qamatis salah, Qad qamatis salah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaha illallah.”   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan pada 10 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadzan azan dan iqamah azan shubuh hukum adzan iqamah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat


Azan dan Iqamah adalah dua elemen penting dalam panggilan untuk salat bagi umat Muslim. Keduanya memiliki aturan dan tata cara tertentu yang perlu diikuti agar sesuai dengan ajaran Islam. Kitab Matan Taqrib, yang merupakan salah satu kitab fikih klasik yang banyak dirujuk, memberikan panduan rinci tentang tata cara Azan dan Iqamah yang benar. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam aturan-aturan tersebut berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Matan Taqrib, sehingga dapat menjadi pedoman yang tepat bagi umat Muslim dalam menjalankan kewajiban ini.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. 1. Azan 3.1. Syarat muazin 3.2. Sunah-Sunah Azan 4. Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid 5. Lafaz Azan Abu Mahdzurah 6. 2. Iqamah 6.1. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.   Penjelasan: Pertama: Sunah-sunah shalat sebelum memasuki shalat:   1. Azan Secara bahasa, azan berarti al-i’laam, pemberitahuan. Secara istilah, azan berarti ucapan khusus yang memberitahukan masuknya waktu shalat wajib. Azan bertujuan sebagai pemberitahuan tentang syiar Islam serta mengajak umat Islam untuk berkumpul melaksanakan shalat. Hukum azan: sunah muakkad dan aza adalah sunah kifayah yang dilakukan oleh seorang muazin di satu masjid, dan azan adalah sunah untuk shalat yang saat ini dan shalat yang luput. Catatan: Azan dihukumi sunnah untuk orang yang shalat sendirian. Jika shalat rutin sudah dilaksanakan di masjid, maka tidak perlu dikumandangkan lagi azan. Azan disyariatkan pada tahun pertama hijriah.   Syarat muazin Islam Tamyiz: Diterima dari anak yang sudah paham hukum azan, mengetahui waktu shalat. Laki-laki Kalimat azan berurutan Berkesinambungan antara kalimat azan (tidak dengan jeda waktu yang lama antara kalimat azan) Meninggikan suara jika mengumandangkan azan untuk jamaah Masuknya waktu, maka tidak sah sebelum masuk waktu berdasarkan ijmak ulama. Catatan: Wanita tidak mengumandangkan adzan, tetapi dianjurkan baginya untuk mengumandangkan iqamah dengan suara pelan.   Sunah-Sunah Azan Hendaknya muazin menghadap kiblat karena itu adalah arah yang paling mulia. Hendaknya muazin suci dari hadats besar dan kecil. Azan dilakukan sambil berdiri. Hendaknya muazin menoleh ke kanan saat mengucapkan “Hayya ‘alash shalah” dan menoleh ke kiri saat mengucapkan “Hayya ‘alal falah”. Melantunkan azan dengan tenang dan perlahan. Mengulang syahadat dalam azan (muazin mengucapkan dua kalimat syahadat secara lirih, lalu mengucapkannya dengan keras). Mengucapkan “As-shalatu khairun minan-naum” (Shalat lebih baik daripada tidur) dua kali dalam azan subuh setelah “Hayya ‘alal falah”. Hendaknya muazin memiliki suara yang merdu dan akhlak yang baik. Tidak salah dalam mengucapkan azan sehingga huruf dan kata-katanya keluar dari asalnya dan tempat keluarnya. Hendaknya muazin mengumandangkan azan subuh sebelum waktu masuk dan azan saat waktu masuk, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Bilal mengumandangkan azan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzan dari Ibnu Ummi Maktum”. Doa dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan sebagaimana disebutkan: ketika mendengar panggilan, “Ya Allah, Rabb dari seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan ini, berilah Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dia pada maqam terpuji yang telah Engkau janjikan”. (HR. Bukhari) Catatan: Mengikuti muazin dan memperhatikan adzannya, serta menjawab sebagaimana yang dikatakan oleh muazin, dari Abdullah bin Amr, seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, para muadzin mengungguli kami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakan sebagaimana yang mereka katakan, dan ketika selesai, mintalah, niscaya akan diberikan”. (Muttafaq Alaih) Jika seorang muslim mendengar beberapa azan dari masjid berbeda, hendaklah ia menjawab setiap ucapan muazin. Hendaklah ia ucapkan seperti ucapan muazin, hukumnya disunnahkan (dianjurkan). Orang yang sedang berhadats kecil dimakruhkan mengumandangkan azan. Orang junub lebih keras lagi untuk dilarang. Ketika shalat Id (Idulfitri dan Iduladha) disyariatkan memanggil jamaah dengan ucapan “ash-shalaatul jaami’ah”, tidak ada ucapan azan saat itu untuk memanggil jamaah.   Lafaz Azan dari hadits ‘Abdullah bin Zaid اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Ahmad, 26:402; Abu Daud, no. 499; Tirmidzi, no. 189; Ibnu Khuzaimah, no. 371. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Imam Bukhari menyatakan hadits ini sahih).   Lafaz Azan Abu Mahdzurah اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (HR. Muslim, no. 379) Baca juga: Ucapan Azan 2. Iqamah Iqamah adalah suatu ucapan khusus yang disyariatkan untuk mengajak orang yang hadir untuk shalat. Hukum iqamah adalah sunnah kifayah. Catatan: Syarat-syarat iqamah: sama dengan syarat-syarat azan. Wanita masih dibolehkan untuk mengumandangkan iqamah. Sunnah-sunnah iqamah: Sama dengan sunnah-sunnah azan, dengan tambahan bahwa yang mengumandangkan iqamah adalah orang yang mengumandangkan azan. Disunnahkan untuk mempercepat pengucapan lafaz-lafaz iqamah. Jika seorang muslim melaksanakan lebih dari satu shalat dalam satu waktu, seperti shalat yang terlewat atau menjamak dua shalat, maka azan dikumandangkan untuk shalat yang pertama dan iqamah untuk masing-masing shalat. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menggabungkan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan satu azan dan dua iqamah. Azan lebih utama daripada iqamah. Muazin memiliki kendali atas waktu azan, dan imam memiliki kendali atas waktu iqamah. Lafaz-lafaz iqamah: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya ’ala as-salah, Hayya ’ala al-falah, Qad qamatis salah, Qad qamatis salah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaha illallah.”   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   – Diselesaikan pada 10 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadzan azan dan iqamah azan shubuh hukum adzan iqamah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat

Keutamaan Zikir Masuk Rumah: Basmalah

Daftar Isi Toggle Keutamaan membaca zikir basmalahPertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setanKedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setanKetiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Di antara tuntunan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk rumah adalah dengan membaca doa dan zikir. Salah satu doa atau zikir tersebut adalah dengan membaca بِسْمِ اللهِ “bismillah”. Tatkala kita membaca basmalah setiap masuk ke dalam rumah, maka kita akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa. Sebaliknya, jika kita meninggalkannya, maka kita akan merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Apabila seseorang memasuki rumahnya, kemudian ia menyebut nama Allah (membaca basmalah) saat memasukinya, begitu pula saat ia makan, maka setan akan berkata (pada teman-temannya), ‘Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).’ Ketika ia memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, setan pun mengatakan (pada teman-temannya), ‘Saat ini kalian mendapatkan tempat untuk bermalam.’ Ketika ia lupa menyebut nama Allah saat makan, maka setan pun berkata, ‘Kalian mendapat tempat bermalam dan jatah makan malam.’ ” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain, إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ “Jika hari mulai gelap, tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah). Tutuplah wadah (teko) kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keutamaan membaca zikir basmalah Pertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setan Setan berkata kepada teman-temannya, “Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).” Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa salah satu cara untuk mengusir setan dari suatu rumah adalah dengan membaca “bismillah” setiap kali masuk ke dalam rumah tersebut. Dan bayangkan saja berapa banyak setan yang ikut masuk ke dalam rumah jika kita tidak membaca “bismillah” selama bertahun-tahun? Bisa jadi itu sebabnya seseorang tidak merasa nyaman dan tenang di rumahnya karena banyaknya setan yang ikut menempati di rumah itu. Kedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setan “Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah)” Ketika seseorang masuk dan menutup pintu rumahnya dengan membaca “bismillah”,  maka setan tidak bisa masuk ke dalam rumah dan membuka pintu rumah tersebut sehingga ia akan terhindar dari kejahatan (gangguan) setan. Kejahatan setan ada banyak, bisa berupa gangguan fisik maupun batin (hati). Allah Ta’ala berfirman, مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 4-5) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai ayat di atas bahwa kejahatan setan yang bersembunyi maksudnya adalah berupa pikiran, khayalan, dan angan-angan yang tidak ada kebenarannya dan memperdayakan sehingga mengganggu seseorang. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syekh Utsaimin; dan Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 4: 495.) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan itu berjalan dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2174) Setan bisa mempengaruhi manusia sedemikian dekat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan pentingnya untuk senantiasa berzikir kepada Allah dengan memohon perlindungan dari gangguan dan godaan setan, salah satunya dengan membaca basmalah setiap hendak masuk ke dalam rumah. Ketiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Rumah adalah tempat yang mana banyak aktivitas ibadah dan kebaikan di dalamnya. Setiap aktivitas yang dimulai dengan mengingat Allah akan diberkahi. Keberkahan ini akan terpancar dalam hubungan antar anggota keluarga, serta dalam semua aktivitas yang dilakukan bersama-sama di dalam rumah. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ “Setiap urusan yang penting yang tidak dimulai dengan bismillah, maka ia akan terputus (tidak mendapatkan keberkahan).” (HR. Abu Dawud no. 4840 dan Ibnu Majah no. 1894) Dengan mengingat Allah saat memasuki rumah, setiap orang atau anggota dalam keluarga diingatkan untuk berperilaku baik dan menjaga etika serta adab dalam berinteraksi satu sama lain. Hal ini membantu mencegah terjadinya konflik dan menjaga kehidupan rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Dengan membaca basmalah (mengingat Allah) juga sebagai bentuk bersyukur atas nikmat tempat tinggal yang kita miliki, walaupun rumah tersebut bukan milik kita (masih menyewa, mengontrak, menumpang) atau rumah yang kita tempati hanya sederhana. Dan setiap nikmat itu wajib disyukuri. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: masuk rumahzikir

Keutamaan Zikir Masuk Rumah: Basmalah

Daftar Isi Toggle Keutamaan membaca zikir basmalahPertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setanKedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setanKetiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Di antara tuntunan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk rumah adalah dengan membaca doa dan zikir. Salah satu doa atau zikir tersebut adalah dengan membaca بِسْمِ اللهِ “bismillah”. Tatkala kita membaca basmalah setiap masuk ke dalam rumah, maka kita akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa. Sebaliknya, jika kita meninggalkannya, maka kita akan merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Apabila seseorang memasuki rumahnya, kemudian ia menyebut nama Allah (membaca basmalah) saat memasukinya, begitu pula saat ia makan, maka setan akan berkata (pada teman-temannya), ‘Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).’ Ketika ia memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, setan pun mengatakan (pada teman-temannya), ‘Saat ini kalian mendapatkan tempat untuk bermalam.’ Ketika ia lupa menyebut nama Allah saat makan, maka setan pun berkata, ‘Kalian mendapat tempat bermalam dan jatah makan malam.’ ” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain, إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ “Jika hari mulai gelap, tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah). Tutuplah wadah (teko) kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keutamaan membaca zikir basmalah Pertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setan Setan berkata kepada teman-temannya, “Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).” Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa salah satu cara untuk mengusir setan dari suatu rumah adalah dengan membaca “bismillah” setiap kali masuk ke dalam rumah tersebut. Dan bayangkan saja berapa banyak setan yang ikut masuk ke dalam rumah jika kita tidak membaca “bismillah” selama bertahun-tahun? Bisa jadi itu sebabnya seseorang tidak merasa nyaman dan tenang di rumahnya karena banyaknya setan yang ikut menempati di rumah itu. Kedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setan “Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah)” Ketika seseorang masuk dan menutup pintu rumahnya dengan membaca “bismillah”,  maka setan tidak bisa masuk ke dalam rumah dan membuka pintu rumah tersebut sehingga ia akan terhindar dari kejahatan (gangguan) setan. Kejahatan setan ada banyak, bisa berupa gangguan fisik maupun batin (hati). Allah Ta’ala berfirman, مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 4-5) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai ayat di atas bahwa kejahatan setan yang bersembunyi maksudnya adalah berupa pikiran, khayalan, dan angan-angan yang tidak ada kebenarannya dan memperdayakan sehingga mengganggu seseorang. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syekh Utsaimin; dan Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 4: 495.) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan itu berjalan dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2174) Setan bisa mempengaruhi manusia sedemikian dekat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan pentingnya untuk senantiasa berzikir kepada Allah dengan memohon perlindungan dari gangguan dan godaan setan, salah satunya dengan membaca basmalah setiap hendak masuk ke dalam rumah. Ketiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Rumah adalah tempat yang mana banyak aktivitas ibadah dan kebaikan di dalamnya. Setiap aktivitas yang dimulai dengan mengingat Allah akan diberkahi. Keberkahan ini akan terpancar dalam hubungan antar anggota keluarga, serta dalam semua aktivitas yang dilakukan bersama-sama di dalam rumah. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ “Setiap urusan yang penting yang tidak dimulai dengan bismillah, maka ia akan terputus (tidak mendapatkan keberkahan).” (HR. Abu Dawud no. 4840 dan Ibnu Majah no. 1894) Dengan mengingat Allah saat memasuki rumah, setiap orang atau anggota dalam keluarga diingatkan untuk berperilaku baik dan menjaga etika serta adab dalam berinteraksi satu sama lain. Hal ini membantu mencegah terjadinya konflik dan menjaga kehidupan rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Dengan membaca basmalah (mengingat Allah) juga sebagai bentuk bersyukur atas nikmat tempat tinggal yang kita miliki, walaupun rumah tersebut bukan milik kita (masih menyewa, mengontrak, menumpang) atau rumah yang kita tempati hanya sederhana. Dan setiap nikmat itu wajib disyukuri. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: masuk rumahzikir
Daftar Isi Toggle Keutamaan membaca zikir basmalahPertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setanKedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setanKetiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Di antara tuntunan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk rumah adalah dengan membaca doa dan zikir. Salah satu doa atau zikir tersebut adalah dengan membaca بِسْمِ اللهِ “bismillah”. Tatkala kita membaca basmalah setiap masuk ke dalam rumah, maka kita akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa. Sebaliknya, jika kita meninggalkannya, maka kita akan merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Apabila seseorang memasuki rumahnya, kemudian ia menyebut nama Allah (membaca basmalah) saat memasukinya, begitu pula saat ia makan, maka setan akan berkata (pada teman-temannya), ‘Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).’ Ketika ia memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, setan pun mengatakan (pada teman-temannya), ‘Saat ini kalian mendapatkan tempat untuk bermalam.’ Ketika ia lupa menyebut nama Allah saat makan, maka setan pun berkata, ‘Kalian mendapat tempat bermalam dan jatah makan malam.’ ” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain, إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ “Jika hari mulai gelap, tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah). Tutuplah wadah (teko) kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keutamaan membaca zikir basmalah Pertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setan Setan berkata kepada teman-temannya, “Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).” Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa salah satu cara untuk mengusir setan dari suatu rumah adalah dengan membaca “bismillah” setiap kali masuk ke dalam rumah tersebut. Dan bayangkan saja berapa banyak setan yang ikut masuk ke dalam rumah jika kita tidak membaca “bismillah” selama bertahun-tahun? Bisa jadi itu sebabnya seseorang tidak merasa nyaman dan tenang di rumahnya karena banyaknya setan yang ikut menempati di rumah itu. Kedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setan “Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah)” Ketika seseorang masuk dan menutup pintu rumahnya dengan membaca “bismillah”,  maka setan tidak bisa masuk ke dalam rumah dan membuka pintu rumah tersebut sehingga ia akan terhindar dari kejahatan (gangguan) setan. Kejahatan setan ada banyak, bisa berupa gangguan fisik maupun batin (hati). Allah Ta’ala berfirman, مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 4-5) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai ayat di atas bahwa kejahatan setan yang bersembunyi maksudnya adalah berupa pikiran, khayalan, dan angan-angan yang tidak ada kebenarannya dan memperdayakan sehingga mengganggu seseorang. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syekh Utsaimin; dan Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 4: 495.) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan itu berjalan dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2174) Setan bisa mempengaruhi manusia sedemikian dekat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan pentingnya untuk senantiasa berzikir kepada Allah dengan memohon perlindungan dari gangguan dan godaan setan, salah satunya dengan membaca basmalah setiap hendak masuk ke dalam rumah. Ketiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Rumah adalah tempat yang mana banyak aktivitas ibadah dan kebaikan di dalamnya. Setiap aktivitas yang dimulai dengan mengingat Allah akan diberkahi. Keberkahan ini akan terpancar dalam hubungan antar anggota keluarga, serta dalam semua aktivitas yang dilakukan bersama-sama di dalam rumah. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ “Setiap urusan yang penting yang tidak dimulai dengan bismillah, maka ia akan terputus (tidak mendapatkan keberkahan).” (HR. Abu Dawud no. 4840 dan Ibnu Majah no. 1894) Dengan mengingat Allah saat memasuki rumah, setiap orang atau anggota dalam keluarga diingatkan untuk berperilaku baik dan menjaga etika serta adab dalam berinteraksi satu sama lain. Hal ini membantu mencegah terjadinya konflik dan menjaga kehidupan rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Dengan membaca basmalah (mengingat Allah) juga sebagai bentuk bersyukur atas nikmat tempat tinggal yang kita miliki, walaupun rumah tersebut bukan milik kita (masih menyewa, mengontrak, menumpang) atau rumah yang kita tempati hanya sederhana. Dan setiap nikmat itu wajib disyukuri. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: masuk rumahzikir


Daftar Isi Toggle Keutamaan membaca zikir basmalahPertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setanKedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setanKetiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Di antara tuntunan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masuk rumah adalah dengan membaca doa dan zikir. Salah satu doa atau zikir tersebut adalah dengan membaca بِسْمِ اللهِ “bismillah”. Tatkala kita membaca basmalah setiap masuk ke dalam rumah, maka kita akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa. Sebaliknya, jika kita meninggalkannya, maka kita akan merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ “Apabila seseorang memasuki rumahnya, kemudian ia menyebut nama Allah (membaca basmalah) saat memasukinya, begitu pula saat ia makan, maka setan akan berkata (pada teman-temannya), ‘Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).’ Ketika ia memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, setan pun mengatakan (pada teman-temannya), ‘Saat ini kalian mendapatkan tempat untuk bermalam.’ Ketika ia lupa menyebut nama Allah saat makan, maka setan pun berkata, ‘Kalian mendapat tempat bermalam dan jatah makan malam.’ ” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain, إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ “Jika hari mulai gelap, tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu setan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam, biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah). Tutuplah wadah (teko) kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keutamaan membaca zikir basmalah Pertama, baca basmalah saat masuk rumah dapat mengusir setan Setan berkata kepada teman-temannya, “Kalian tidak ada tempat untuk bermalam dan tidak ada jatah makan (juga minum).” Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa salah satu cara untuk mengusir setan dari suatu rumah adalah dengan membaca “bismillah” setiap kali masuk ke dalam rumah tersebut. Dan bayangkan saja berapa banyak setan yang ikut masuk ke dalam rumah jika kita tidak membaca “bismillah” selama bertahun-tahun? Bisa jadi itu sebabnya seseorang tidak merasa nyaman dan tenang di rumahnya karena banyaknya setan yang ikut menempati di rumah itu. Kedua, akan mendapatkan perlindungan dari Allah dari kejahatan setan “Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup (dengan basmalah)” Ketika seseorang masuk dan menutup pintu rumahnya dengan membaca “bismillah”,  maka setan tidak bisa masuk ke dalam rumah dan membuka pintu rumah tersebut sehingga ia akan terhindar dari kejahatan (gangguan) setan. Kejahatan setan ada banyak, bisa berupa gangguan fisik maupun batin (hati). Allah Ta’ala berfirman, مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 4-5) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai ayat di atas bahwa kejahatan setan yang bersembunyi maksudnya adalah berupa pikiran, khayalan, dan angan-angan yang tidak ada kebenarannya dan memperdayakan sehingga mengganggu seseorang. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syekh Utsaimin; dan Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 4: 495.) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan itu berjalan dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2174) Setan bisa mempengaruhi manusia sedemikian dekat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan pentingnya untuk senantiasa berzikir kepada Allah dengan memohon perlindungan dari gangguan dan godaan setan, salah satunya dengan membaca basmalah setiap hendak masuk ke dalam rumah. Ketiga, keberkahan dengan membaca basmalah sebelum masuk ke rumah Rumah adalah tempat yang mana banyak aktivitas ibadah dan kebaikan di dalamnya. Setiap aktivitas yang dimulai dengan mengingat Allah akan diberkahi. Keberkahan ini akan terpancar dalam hubungan antar anggota keluarga, serta dalam semua aktivitas yang dilakukan bersama-sama di dalam rumah. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ “Setiap urusan yang penting yang tidak dimulai dengan bismillah, maka ia akan terputus (tidak mendapatkan keberkahan).” (HR. Abu Dawud no. 4840 dan Ibnu Majah no. 1894) Dengan mengingat Allah saat memasuki rumah, setiap orang atau anggota dalam keluarga diingatkan untuk berperilaku baik dan menjaga etika serta adab dalam berinteraksi satu sama lain. Hal ini membantu mencegah terjadinya konflik dan menjaga kehidupan rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Dengan membaca basmalah (mengingat Allah) juga sebagai bentuk bersyukur atas nikmat tempat tinggal yang kita miliki, walaupun rumah tersebut bukan milik kita (masih menyewa, mengontrak, menumpang) atau rumah yang kita tempati hanya sederhana. Dan setiap nikmat itu wajib disyukuri. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: masuk rumahzikir

Hadis: Hukum Nikah Syighar

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Pengertian nikah syigharKandungan kedua: Keabsahan nikah syigharKandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syigharKandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Teks Hadis Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (nikah) asy-syighar. Asy-Syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Pengertian nikah syighar Dalam hadis di atas, terdapat penjelasan tentang pengertian nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar. Namun, apakah definisi ini berasal langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau berasal dari perkataan perawi, yaitu Nafi’ rahimahullah yang merupakan seorang tabi’in? Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui tentang tafsir nikah syighar dalam hadis, apakah berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah dari Ibnu ‘Umar, ataukah dari Nafi’, ataukah dari Malik.” [1] Dalam riwayat lain di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat keterangan bahwa definisi tersebut berasal dari perawi, yaitu Nafi’. Dari jalur Ubaidullah, dari Nafi’, beliau (Nafi’) berkata, نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ قُلْتُ لِنَافِعٍ: مَا الشِّغَارُ؟ قَالَ: يَنْكِحُ ابْنَةَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ ابْنَتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ، وَيَنْكِحُ أُخْتَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ أُخْتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.” Saya (Ubaidullah) bertanya kepada Nafi’, “Apa yang dimaksud syighar?” Nafi’ menjawab, “Menikahi anak perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar, atau menikahi saudara perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut menikahkannya dengan saudara perempuannya tanpa mahar.” (HR. Bukhari no. 6960 dan Muslim no. 1415) Hadis di atas adalah lafal dari Imam Bukhari. Sehingga dalam riwayat tersebut terdapat penegasan bahwa definisi nikah syighar dalam hadis Ibnu ‘Umar di atas berasal dari Nafi’, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkaitan dengan definisi nikah syighar, juga terdapat hadis lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan nikah syighar.” Ibnu Numair (perawi hadis) menambahkan, وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي “Nikah syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah putrimu denganku, niscaya aku akan menikahkan putriku untukmu; atau, ‘Nikahkanlah sudara perempuanmu denganku, maka saya akan nikahkan saudara perempuanku denganmu.’” (HR. Muslim no. 1415) Dalam hadis Abu Hurairah di atas, tidak terdapat kalimat, “sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” Sehingga berdasarkan hal ini, definisi nikah syighar adalah seorang laki-laki (wali A) menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain (wali B), dengan syarat laki-laki lain tersebut (wali B) menikahkan anak perempuannya dengan dirinya (wali A), baik dengan atau tanpa adanya mahar di antara keduanya. Kandungan kedua: Keabsahan nikah syighar Hadis ini menunjukkan dilarangnya nikah syighar. Larangan ini berkonsekunasi haramnya pernikahan tersebut menurut ijmak (kesepakatan) para ulama. Adapun tentang keabsahan nikah syighar (sah ataukah tidak), maka terdapat dua pendapat di antara para ulama. Pendapat pertama: Nikah syighar itu tidak sah, karena larangan tersebut berkonsekuensi batilnya akad tersebut. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq (sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmidzi [2]), dan sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rusyd dari Imam Malik. [3] Pendapat kedua: Nikah syighar itu tetap sah, sehingga ditetapkan bagi wanita tersebut mahar standar (mahar mitsl). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan juga sejumlah ulama, di antaranya: Al-Laits, Abu Tsaur, Ath-Thabari, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. [4] Mereka berdalil dengan keumuman dalil disyariatkannya pernikahan, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “ … maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Argumentasi yang lain adalah karena cacat pada mahar itu tidak berkonsekuensi cacat pada akad nikah. Sebagaimana jika seseorang menjadikan khamr atau sejenisnya sebagai mahar, berupa harta benda yang tidak boleh dijadikan sebagai mahar. Mereka juga mengatakan bahwa larangan dalam hadis di atas menunjukkan hukum makruh. Atau mereka mengatakan bahwa maksud larangan tersebut adalah diharamkannya farji (kemaluan) jika tanpa mahar. Argumentasi yang disebutkan ini adalah argumentasi yang lemah. Karena larangan dalam hadis ini tidak bisa dipalingkan menjadi hukum makruh. Selain itu, telah ditegaskan tidak sahnya nikah syighar dari khalifah Umar bin Al-Khattab dan Zaid bin Tsabit, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad [5], dan juga dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah pendapat pertama. Baca juga: Disyariatkannya Khotbah ketika Akad Nikah Kandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syighar Ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (alasan atau pertimbangan hukum) dari larangan nikah syighar. Pendapat pertama: Sebab larangan adalah karena masing-masing dari pihak wanita tidak menerima mahar. Ulama yang berpendapat demikian mengambil pemaknaan nikah syighar dari tekstual hadis yang terdapat dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat kedua: Sebab larangan bukanlah karena ketiadaan mahar, akan tetapi karena masing-masing wali mensyaratkan untuk menikahi wanita yang berada di bawah perwalian dari wali lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, dan dipilih oleh Al-Kharqi [6], serta dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pemaknaan syighar sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar bukanlah berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah.” [7] Mereka juga berargumentasi dengan beberapa poin berikut ini: Pertama: Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis tersebut, terdapat penjelasan tentang makna nikah syighar. Mereka mengatakan, dzahir hadis tersebut menunjukkan bahwa tafsir tersebut berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena langsung bersambung dengan hadis. Berbeda dengan tafsir lainnya yang ternyata berasal dari perkataan Nafi’, dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis Abu Hurairah tidak terdapat kalimat, “Tidak ada mahar di antara keduanya.” Akan tetapi, hadis Abu Hurairah menunjukkan kemutlakannya, yaitu ada mahar atau tanpa mahar. Kedua: Perkataan seseorang ke orang lain, “Aku menikahi anak perempuanmu dengan (imbal balik) aku nikahkan Engkau dengan anak perempuanku”, adalah syarat yang tidak sesuai dengan kitab Allah Ta’ala. ومن اشترط شرطا ليس في كتاب الله، فهو باطل “Siapa saja yang menetapkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan kitabullah, maka syarat tersebut batil.” Ketiga: Persyaratan tersebut mengandung kezaliman terhadap wanita dan juga menyakitinya. Seolah-olah menjadikan wanita sebagai barang dagangan, si wali bisa melarang anak perempuannya menikah sampai si wali tersebut mendapat wanita yang ingin dia nikahi sendiri sebagai timbal balik. Keempat: Pernikahan semacam ini hanyalah akan menyebabkan perselisihan yang terus-menerus dan permusuhan yang besar. Jika kondisi suami istri pertama menjadi buruk, maka demikian pula kondisi suami istri di pihak lainnya. Kelima: Pemahaman sahabat terhadap nikah syighar dan juga praktik mereka. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Ahmad dari Mu’waiyah, bahwa Al-‘Abbas bin Abdullah bin ‘Abbas menikahkan Abdurrahman bin Al-Hakam dengan anak perempuannya, sedangkan Abdurrahman menikahkan Al-‘Abbas dengan anak perempuannya. Pada dua pernikahan tersebut, masing-masing pihak memberikan mahar. Maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, menulis surat kepada Marwan dan memerintahkannya untuk membatalkan (mem-fasakh) pernikahan di antara mereka. Beliau menulis di dalam suratnya, “Ini adalah nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [8] Meskipun pada pernikahan keduanya terdapat mahar, Mu’awiyah tetap mengatakan bahwa itu adalah nikah syighar. Maka yang dipahami oleh Mu’awiyah adalah batilnya akad nikah tersebut, dan ini selaras dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Juga selaras dengan makna yang dimaksudkan dari adanya larangan tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah berkata mengomentari hadis tersebut, “Inilah sikap Mu’awiyah, meskipun masih ada sahabat Nabi lainnya, tidak diketahui bahwa mereka menyelisihi praktik Mu’awiyah, yaitu membatalkan nikah tersebut meskipun disebutkan ada mahar.” [9] Nikah syighar adalah jenis pernikahan pada zaman jahiliyah. Namun, budaya tersebut tetap ada setelah datangnya Islam. Oleh karena itu, nikah syighar kemudian dilarang. Nikah syighar juga ada pada zaman sekarang ini, dengan nama nikah badal. Di antara sebab paling sering adanya pernikahan tersebut adalah sebagian orang memiliki anak perempuan atau saudara perempuan yang berada di bawah perwaliannya, sedangkan wali itu sendiri juga ingin menikah. Akan tetapi, dia tidak menemukan wanita yang mau menikah dengannya. Oleh karena itu, si wali menjadikan wanita yang berada di bawah perwaliannya sebagai sarana untuk mewujudkan keinginannya menikah. Oleh karena itu, Islam melarang pernikahan tersebut karena terdapat kezaliman kepada pihak wanita yang berada di bawah perwaliannya dan juga karena adanya kerusakan yang besar pada pernikahan tersebut. Kandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Jika nikah syighar terlanjur terjadi, maka bisa disikapi sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, sehingga wajib mengulang akad. Ada juga yang berpendapat, pernikahan tersebut bisa dibatalkan sebelum ada jimak, namun tidak bisa dibatalkan jika setelah jimak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ditetapkan mahar standar untuk pihak wanita. Namun, yang lebih baik adalah mengangkat masalah tersebut kepada qadhi (hakim pengadilan agama), dan qadhi itulah yang berijtihad untuk menyikapi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Selesai] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @26 Muharram 1446/ 1 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Umm, 5: 82. [2] Jami’ At-Tirmidzi, 3: 423; Al-Mughni, 10: 42; Mughni Al-Muhtaj, 3: 142. [3] Bidayatul Mujtahid, 3: 109. [4] Mukhtashar Ath-Thahawi, hal. 181; Al-Inshaf, 8: 159. [5] Al-Mughni, 10: 42. [6] Al-Mughni, 10: 42. [7] Al-Fataawa, 10: 279. [8] As-Sunan, no. 2075; Al-Musnad, 28: 70. [9] Al-Muhalla, 9: 516. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 240-244). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: nikah syighar

Hadis: Hukum Nikah Syighar

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Pengertian nikah syigharKandungan kedua: Keabsahan nikah syigharKandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syigharKandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Teks Hadis Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (nikah) asy-syighar. Asy-Syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Pengertian nikah syighar Dalam hadis di atas, terdapat penjelasan tentang pengertian nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar. Namun, apakah definisi ini berasal langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau berasal dari perkataan perawi, yaitu Nafi’ rahimahullah yang merupakan seorang tabi’in? Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui tentang tafsir nikah syighar dalam hadis, apakah berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah dari Ibnu ‘Umar, ataukah dari Nafi’, ataukah dari Malik.” [1] Dalam riwayat lain di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat keterangan bahwa definisi tersebut berasal dari perawi, yaitu Nafi’. Dari jalur Ubaidullah, dari Nafi’, beliau (Nafi’) berkata, نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ قُلْتُ لِنَافِعٍ: مَا الشِّغَارُ؟ قَالَ: يَنْكِحُ ابْنَةَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ ابْنَتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ، وَيَنْكِحُ أُخْتَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ أُخْتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.” Saya (Ubaidullah) bertanya kepada Nafi’, “Apa yang dimaksud syighar?” Nafi’ menjawab, “Menikahi anak perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar, atau menikahi saudara perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut menikahkannya dengan saudara perempuannya tanpa mahar.” (HR. Bukhari no. 6960 dan Muslim no. 1415) Hadis di atas adalah lafal dari Imam Bukhari. Sehingga dalam riwayat tersebut terdapat penegasan bahwa definisi nikah syighar dalam hadis Ibnu ‘Umar di atas berasal dari Nafi’, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkaitan dengan definisi nikah syighar, juga terdapat hadis lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan nikah syighar.” Ibnu Numair (perawi hadis) menambahkan, وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي “Nikah syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah putrimu denganku, niscaya aku akan menikahkan putriku untukmu; atau, ‘Nikahkanlah sudara perempuanmu denganku, maka saya akan nikahkan saudara perempuanku denganmu.’” (HR. Muslim no. 1415) Dalam hadis Abu Hurairah di atas, tidak terdapat kalimat, “sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” Sehingga berdasarkan hal ini, definisi nikah syighar adalah seorang laki-laki (wali A) menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain (wali B), dengan syarat laki-laki lain tersebut (wali B) menikahkan anak perempuannya dengan dirinya (wali A), baik dengan atau tanpa adanya mahar di antara keduanya. Kandungan kedua: Keabsahan nikah syighar Hadis ini menunjukkan dilarangnya nikah syighar. Larangan ini berkonsekunasi haramnya pernikahan tersebut menurut ijmak (kesepakatan) para ulama. Adapun tentang keabsahan nikah syighar (sah ataukah tidak), maka terdapat dua pendapat di antara para ulama. Pendapat pertama: Nikah syighar itu tidak sah, karena larangan tersebut berkonsekuensi batilnya akad tersebut. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq (sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmidzi [2]), dan sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rusyd dari Imam Malik. [3] Pendapat kedua: Nikah syighar itu tetap sah, sehingga ditetapkan bagi wanita tersebut mahar standar (mahar mitsl). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan juga sejumlah ulama, di antaranya: Al-Laits, Abu Tsaur, Ath-Thabari, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. [4] Mereka berdalil dengan keumuman dalil disyariatkannya pernikahan, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “ … maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Argumentasi yang lain adalah karena cacat pada mahar itu tidak berkonsekuensi cacat pada akad nikah. Sebagaimana jika seseorang menjadikan khamr atau sejenisnya sebagai mahar, berupa harta benda yang tidak boleh dijadikan sebagai mahar. Mereka juga mengatakan bahwa larangan dalam hadis di atas menunjukkan hukum makruh. Atau mereka mengatakan bahwa maksud larangan tersebut adalah diharamkannya farji (kemaluan) jika tanpa mahar. Argumentasi yang disebutkan ini adalah argumentasi yang lemah. Karena larangan dalam hadis ini tidak bisa dipalingkan menjadi hukum makruh. Selain itu, telah ditegaskan tidak sahnya nikah syighar dari khalifah Umar bin Al-Khattab dan Zaid bin Tsabit, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad [5], dan juga dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah pendapat pertama. Baca juga: Disyariatkannya Khotbah ketika Akad Nikah Kandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syighar Ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (alasan atau pertimbangan hukum) dari larangan nikah syighar. Pendapat pertama: Sebab larangan adalah karena masing-masing dari pihak wanita tidak menerima mahar. Ulama yang berpendapat demikian mengambil pemaknaan nikah syighar dari tekstual hadis yang terdapat dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat kedua: Sebab larangan bukanlah karena ketiadaan mahar, akan tetapi karena masing-masing wali mensyaratkan untuk menikahi wanita yang berada di bawah perwalian dari wali lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, dan dipilih oleh Al-Kharqi [6], serta dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pemaknaan syighar sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar bukanlah berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah.” [7] Mereka juga berargumentasi dengan beberapa poin berikut ini: Pertama: Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis tersebut, terdapat penjelasan tentang makna nikah syighar. Mereka mengatakan, dzahir hadis tersebut menunjukkan bahwa tafsir tersebut berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena langsung bersambung dengan hadis. Berbeda dengan tafsir lainnya yang ternyata berasal dari perkataan Nafi’, dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis Abu Hurairah tidak terdapat kalimat, “Tidak ada mahar di antara keduanya.” Akan tetapi, hadis Abu Hurairah menunjukkan kemutlakannya, yaitu ada mahar atau tanpa mahar. Kedua: Perkataan seseorang ke orang lain, “Aku menikahi anak perempuanmu dengan (imbal balik) aku nikahkan Engkau dengan anak perempuanku”, adalah syarat yang tidak sesuai dengan kitab Allah Ta’ala. ومن اشترط شرطا ليس في كتاب الله، فهو باطل “Siapa saja yang menetapkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan kitabullah, maka syarat tersebut batil.” Ketiga: Persyaratan tersebut mengandung kezaliman terhadap wanita dan juga menyakitinya. Seolah-olah menjadikan wanita sebagai barang dagangan, si wali bisa melarang anak perempuannya menikah sampai si wali tersebut mendapat wanita yang ingin dia nikahi sendiri sebagai timbal balik. Keempat: Pernikahan semacam ini hanyalah akan menyebabkan perselisihan yang terus-menerus dan permusuhan yang besar. Jika kondisi suami istri pertama menjadi buruk, maka demikian pula kondisi suami istri di pihak lainnya. Kelima: Pemahaman sahabat terhadap nikah syighar dan juga praktik mereka. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Ahmad dari Mu’waiyah, bahwa Al-‘Abbas bin Abdullah bin ‘Abbas menikahkan Abdurrahman bin Al-Hakam dengan anak perempuannya, sedangkan Abdurrahman menikahkan Al-‘Abbas dengan anak perempuannya. Pada dua pernikahan tersebut, masing-masing pihak memberikan mahar. Maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, menulis surat kepada Marwan dan memerintahkannya untuk membatalkan (mem-fasakh) pernikahan di antara mereka. Beliau menulis di dalam suratnya, “Ini adalah nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [8] Meskipun pada pernikahan keduanya terdapat mahar, Mu’awiyah tetap mengatakan bahwa itu adalah nikah syighar. Maka yang dipahami oleh Mu’awiyah adalah batilnya akad nikah tersebut, dan ini selaras dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Juga selaras dengan makna yang dimaksudkan dari adanya larangan tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah berkata mengomentari hadis tersebut, “Inilah sikap Mu’awiyah, meskipun masih ada sahabat Nabi lainnya, tidak diketahui bahwa mereka menyelisihi praktik Mu’awiyah, yaitu membatalkan nikah tersebut meskipun disebutkan ada mahar.” [9] Nikah syighar adalah jenis pernikahan pada zaman jahiliyah. Namun, budaya tersebut tetap ada setelah datangnya Islam. Oleh karena itu, nikah syighar kemudian dilarang. Nikah syighar juga ada pada zaman sekarang ini, dengan nama nikah badal. Di antara sebab paling sering adanya pernikahan tersebut adalah sebagian orang memiliki anak perempuan atau saudara perempuan yang berada di bawah perwaliannya, sedangkan wali itu sendiri juga ingin menikah. Akan tetapi, dia tidak menemukan wanita yang mau menikah dengannya. Oleh karena itu, si wali menjadikan wanita yang berada di bawah perwaliannya sebagai sarana untuk mewujudkan keinginannya menikah. Oleh karena itu, Islam melarang pernikahan tersebut karena terdapat kezaliman kepada pihak wanita yang berada di bawah perwaliannya dan juga karena adanya kerusakan yang besar pada pernikahan tersebut. Kandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Jika nikah syighar terlanjur terjadi, maka bisa disikapi sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, sehingga wajib mengulang akad. Ada juga yang berpendapat, pernikahan tersebut bisa dibatalkan sebelum ada jimak, namun tidak bisa dibatalkan jika setelah jimak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ditetapkan mahar standar untuk pihak wanita. Namun, yang lebih baik adalah mengangkat masalah tersebut kepada qadhi (hakim pengadilan agama), dan qadhi itulah yang berijtihad untuk menyikapi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Selesai] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @26 Muharram 1446/ 1 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Umm, 5: 82. [2] Jami’ At-Tirmidzi, 3: 423; Al-Mughni, 10: 42; Mughni Al-Muhtaj, 3: 142. [3] Bidayatul Mujtahid, 3: 109. [4] Mukhtashar Ath-Thahawi, hal. 181; Al-Inshaf, 8: 159. [5] Al-Mughni, 10: 42. [6] Al-Mughni, 10: 42. [7] Al-Fataawa, 10: 279. [8] As-Sunan, no. 2075; Al-Musnad, 28: 70. [9] Al-Muhalla, 9: 516. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 240-244). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: nikah syighar
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Pengertian nikah syigharKandungan kedua: Keabsahan nikah syigharKandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syigharKandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Teks Hadis Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (nikah) asy-syighar. Asy-Syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Pengertian nikah syighar Dalam hadis di atas, terdapat penjelasan tentang pengertian nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar. Namun, apakah definisi ini berasal langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau berasal dari perkataan perawi, yaitu Nafi’ rahimahullah yang merupakan seorang tabi’in? Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui tentang tafsir nikah syighar dalam hadis, apakah berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah dari Ibnu ‘Umar, ataukah dari Nafi’, ataukah dari Malik.” [1] Dalam riwayat lain di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat keterangan bahwa definisi tersebut berasal dari perawi, yaitu Nafi’. Dari jalur Ubaidullah, dari Nafi’, beliau (Nafi’) berkata, نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ قُلْتُ لِنَافِعٍ: مَا الشِّغَارُ؟ قَالَ: يَنْكِحُ ابْنَةَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ ابْنَتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ، وَيَنْكِحُ أُخْتَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ أُخْتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.” Saya (Ubaidullah) bertanya kepada Nafi’, “Apa yang dimaksud syighar?” Nafi’ menjawab, “Menikahi anak perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar, atau menikahi saudara perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut menikahkannya dengan saudara perempuannya tanpa mahar.” (HR. Bukhari no. 6960 dan Muslim no. 1415) Hadis di atas adalah lafal dari Imam Bukhari. Sehingga dalam riwayat tersebut terdapat penegasan bahwa definisi nikah syighar dalam hadis Ibnu ‘Umar di atas berasal dari Nafi’, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkaitan dengan definisi nikah syighar, juga terdapat hadis lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan nikah syighar.” Ibnu Numair (perawi hadis) menambahkan, وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي “Nikah syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah putrimu denganku, niscaya aku akan menikahkan putriku untukmu; atau, ‘Nikahkanlah sudara perempuanmu denganku, maka saya akan nikahkan saudara perempuanku denganmu.’” (HR. Muslim no. 1415) Dalam hadis Abu Hurairah di atas, tidak terdapat kalimat, “sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” Sehingga berdasarkan hal ini, definisi nikah syighar adalah seorang laki-laki (wali A) menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain (wali B), dengan syarat laki-laki lain tersebut (wali B) menikahkan anak perempuannya dengan dirinya (wali A), baik dengan atau tanpa adanya mahar di antara keduanya. Kandungan kedua: Keabsahan nikah syighar Hadis ini menunjukkan dilarangnya nikah syighar. Larangan ini berkonsekunasi haramnya pernikahan tersebut menurut ijmak (kesepakatan) para ulama. Adapun tentang keabsahan nikah syighar (sah ataukah tidak), maka terdapat dua pendapat di antara para ulama. Pendapat pertama: Nikah syighar itu tidak sah, karena larangan tersebut berkonsekuensi batilnya akad tersebut. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq (sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmidzi [2]), dan sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rusyd dari Imam Malik. [3] Pendapat kedua: Nikah syighar itu tetap sah, sehingga ditetapkan bagi wanita tersebut mahar standar (mahar mitsl). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan juga sejumlah ulama, di antaranya: Al-Laits, Abu Tsaur, Ath-Thabari, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. [4] Mereka berdalil dengan keumuman dalil disyariatkannya pernikahan, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “ … maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Argumentasi yang lain adalah karena cacat pada mahar itu tidak berkonsekuensi cacat pada akad nikah. Sebagaimana jika seseorang menjadikan khamr atau sejenisnya sebagai mahar, berupa harta benda yang tidak boleh dijadikan sebagai mahar. Mereka juga mengatakan bahwa larangan dalam hadis di atas menunjukkan hukum makruh. Atau mereka mengatakan bahwa maksud larangan tersebut adalah diharamkannya farji (kemaluan) jika tanpa mahar. Argumentasi yang disebutkan ini adalah argumentasi yang lemah. Karena larangan dalam hadis ini tidak bisa dipalingkan menjadi hukum makruh. Selain itu, telah ditegaskan tidak sahnya nikah syighar dari khalifah Umar bin Al-Khattab dan Zaid bin Tsabit, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad [5], dan juga dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah pendapat pertama. Baca juga: Disyariatkannya Khotbah ketika Akad Nikah Kandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syighar Ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (alasan atau pertimbangan hukum) dari larangan nikah syighar. Pendapat pertama: Sebab larangan adalah karena masing-masing dari pihak wanita tidak menerima mahar. Ulama yang berpendapat demikian mengambil pemaknaan nikah syighar dari tekstual hadis yang terdapat dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat kedua: Sebab larangan bukanlah karena ketiadaan mahar, akan tetapi karena masing-masing wali mensyaratkan untuk menikahi wanita yang berada di bawah perwalian dari wali lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, dan dipilih oleh Al-Kharqi [6], serta dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pemaknaan syighar sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar bukanlah berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah.” [7] Mereka juga berargumentasi dengan beberapa poin berikut ini: Pertama: Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis tersebut, terdapat penjelasan tentang makna nikah syighar. Mereka mengatakan, dzahir hadis tersebut menunjukkan bahwa tafsir tersebut berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena langsung bersambung dengan hadis. Berbeda dengan tafsir lainnya yang ternyata berasal dari perkataan Nafi’, dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis Abu Hurairah tidak terdapat kalimat, “Tidak ada mahar di antara keduanya.” Akan tetapi, hadis Abu Hurairah menunjukkan kemutlakannya, yaitu ada mahar atau tanpa mahar. Kedua: Perkataan seseorang ke orang lain, “Aku menikahi anak perempuanmu dengan (imbal balik) aku nikahkan Engkau dengan anak perempuanku”, adalah syarat yang tidak sesuai dengan kitab Allah Ta’ala. ومن اشترط شرطا ليس في كتاب الله، فهو باطل “Siapa saja yang menetapkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan kitabullah, maka syarat tersebut batil.” Ketiga: Persyaratan tersebut mengandung kezaliman terhadap wanita dan juga menyakitinya. Seolah-olah menjadikan wanita sebagai barang dagangan, si wali bisa melarang anak perempuannya menikah sampai si wali tersebut mendapat wanita yang ingin dia nikahi sendiri sebagai timbal balik. Keempat: Pernikahan semacam ini hanyalah akan menyebabkan perselisihan yang terus-menerus dan permusuhan yang besar. Jika kondisi suami istri pertama menjadi buruk, maka demikian pula kondisi suami istri di pihak lainnya. Kelima: Pemahaman sahabat terhadap nikah syighar dan juga praktik mereka. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Ahmad dari Mu’waiyah, bahwa Al-‘Abbas bin Abdullah bin ‘Abbas menikahkan Abdurrahman bin Al-Hakam dengan anak perempuannya, sedangkan Abdurrahman menikahkan Al-‘Abbas dengan anak perempuannya. Pada dua pernikahan tersebut, masing-masing pihak memberikan mahar. Maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, menulis surat kepada Marwan dan memerintahkannya untuk membatalkan (mem-fasakh) pernikahan di antara mereka. Beliau menulis di dalam suratnya, “Ini adalah nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [8] Meskipun pada pernikahan keduanya terdapat mahar, Mu’awiyah tetap mengatakan bahwa itu adalah nikah syighar. Maka yang dipahami oleh Mu’awiyah adalah batilnya akad nikah tersebut, dan ini selaras dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Juga selaras dengan makna yang dimaksudkan dari adanya larangan tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah berkata mengomentari hadis tersebut, “Inilah sikap Mu’awiyah, meskipun masih ada sahabat Nabi lainnya, tidak diketahui bahwa mereka menyelisihi praktik Mu’awiyah, yaitu membatalkan nikah tersebut meskipun disebutkan ada mahar.” [9] Nikah syighar adalah jenis pernikahan pada zaman jahiliyah. Namun, budaya tersebut tetap ada setelah datangnya Islam. Oleh karena itu, nikah syighar kemudian dilarang. Nikah syighar juga ada pada zaman sekarang ini, dengan nama nikah badal. Di antara sebab paling sering adanya pernikahan tersebut adalah sebagian orang memiliki anak perempuan atau saudara perempuan yang berada di bawah perwaliannya, sedangkan wali itu sendiri juga ingin menikah. Akan tetapi, dia tidak menemukan wanita yang mau menikah dengannya. Oleh karena itu, si wali menjadikan wanita yang berada di bawah perwaliannya sebagai sarana untuk mewujudkan keinginannya menikah. Oleh karena itu, Islam melarang pernikahan tersebut karena terdapat kezaliman kepada pihak wanita yang berada di bawah perwaliannya dan juga karena adanya kerusakan yang besar pada pernikahan tersebut. Kandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Jika nikah syighar terlanjur terjadi, maka bisa disikapi sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, sehingga wajib mengulang akad. Ada juga yang berpendapat, pernikahan tersebut bisa dibatalkan sebelum ada jimak, namun tidak bisa dibatalkan jika setelah jimak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ditetapkan mahar standar untuk pihak wanita. Namun, yang lebih baik adalah mengangkat masalah tersebut kepada qadhi (hakim pengadilan agama), dan qadhi itulah yang berijtihad untuk menyikapi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Selesai] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @26 Muharram 1446/ 1 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Umm, 5: 82. [2] Jami’ At-Tirmidzi, 3: 423; Al-Mughni, 10: 42; Mughni Al-Muhtaj, 3: 142. [3] Bidayatul Mujtahid, 3: 109. [4] Mukhtashar Ath-Thahawi, hal. 181; Al-Inshaf, 8: 159. [5] Al-Mughni, 10: 42. [6] Al-Mughni, 10: 42. [7] Al-Fataawa, 10: 279. [8] As-Sunan, no. 2075; Al-Musnad, 28: 70. [9] Al-Muhalla, 9: 516. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 240-244). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: nikah syighar


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Pengertian nikah syigharKandungan kedua: Keabsahan nikah syigharKandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syigharKandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Teks Hadis Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (nikah) asy-syighar. Asy-Syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Pengertian nikah syighar Dalam hadis di atas, terdapat penjelasan tentang pengertian nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar. Namun, apakah definisi ini berasal langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau berasal dari perkataan perawi, yaitu Nafi’ rahimahullah yang merupakan seorang tabi’in? Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui tentang tafsir nikah syighar dalam hadis, apakah berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah dari Ibnu ‘Umar, ataukah dari Nafi’, ataukah dari Malik.” [1] Dalam riwayat lain di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat keterangan bahwa definisi tersebut berasal dari perawi, yaitu Nafi’. Dari jalur Ubaidullah, dari Nafi’, beliau (Nafi’) berkata, نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ قُلْتُ لِنَافِعٍ: مَا الشِّغَارُ؟ قَالَ: يَنْكِحُ ابْنَةَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ ابْنَتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ، وَيَنْكِحُ أُخْتَ الرَّجُلِ وَيُنْكِحُهُ أُخْتَهُ بِغَيْرِ صَدَاقٍ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah syighar.” Saya (Ubaidullah) bertanya kepada Nafi’, “Apa yang dimaksud syighar?” Nafi’ menjawab, “Menikahi anak perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut dinikahkan dengan anak perempuannya tanpa mahar, atau menikahi saudara perempuan seorang lelaki dengan syarat lelaki tersebut menikahkannya dengan saudara perempuannya tanpa mahar.” (HR. Bukhari no. 6960 dan Muslim no. 1415) Hadis di atas adalah lafal dari Imam Bukhari. Sehingga dalam riwayat tersebut terdapat penegasan bahwa definisi nikah syighar dalam hadis Ibnu ‘Umar di atas berasal dari Nafi’, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkaitan dengan definisi nikah syighar, juga terdapat hadis lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan nikah syighar.” Ibnu Numair (perawi hadis) menambahkan, وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي “Nikah syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah putrimu denganku, niscaya aku akan menikahkan putriku untukmu; atau, ‘Nikahkanlah sudara perempuanmu denganku, maka saya akan nikahkan saudara perempuanku denganmu.’” (HR. Muslim no. 1415) Dalam hadis Abu Hurairah di atas, tidak terdapat kalimat, “sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.” Sehingga berdasarkan hal ini, definisi nikah syighar adalah seorang laki-laki (wali A) menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain (wali B), dengan syarat laki-laki lain tersebut (wali B) menikahkan anak perempuannya dengan dirinya (wali A), baik dengan atau tanpa adanya mahar di antara keduanya. Kandungan kedua: Keabsahan nikah syighar Hadis ini menunjukkan dilarangnya nikah syighar. Larangan ini berkonsekunasi haramnya pernikahan tersebut menurut ijmak (kesepakatan) para ulama. Adapun tentang keabsahan nikah syighar (sah ataukah tidak), maka terdapat dua pendapat di antara para ulama. Pendapat pertama: Nikah syighar itu tidak sah, karena larangan tersebut berkonsekuensi batilnya akad tersebut. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq (sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmidzi [2]), dan sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rusyd dari Imam Malik. [3] Pendapat kedua: Nikah syighar itu tetap sah, sehingga ditetapkan bagi wanita tersebut mahar standar (mahar mitsl). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan juga sejumlah ulama, di antaranya: Al-Laits, Abu Tsaur, Ath-Thabari, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. [4] Mereka berdalil dengan keumuman dalil disyariatkannya pernikahan, seperti firman Allah Ta’ala, فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء “ … maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3) Argumentasi yang lain adalah karena cacat pada mahar itu tidak berkonsekuensi cacat pada akad nikah. Sebagaimana jika seseorang menjadikan khamr atau sejenisnya sebagai mahar, berupa harta benda yang tidak boleh dijadikan sebagai mahar. Mereka juga mengatakan bahwa larangan dalam hadis di atas menunjukkan hukum makruh. Atau mereka mengatakan bahwa maksud larangan tersebut adalah diharamkannya farji (kemaluan) jika tanpa mahar. Argumentasi yang disebutkan ini adalah argumentasi yang lemah. Karena larangan dalam hadis ini tidak bisa dipalingkan menjadi hukum makruh. Selain itu, telah ditegaskan tidak sahnya nikah syighar dari khalifah Umar bin Al-Khattab dan Zaid bin Tsabit, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad [5], dan juga dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah pendapat pertama. Baca juga: Disyariatkannya Khotbah ketika Akad Nikah Kandungan ketiga: ‘Illat dilarangnya nikah syighar Ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (alasan atau pertimbangan hukum) dari larangan nikah syighar. Pendapat pertama: Sebab larangan adalah karena masing-masing dari pihak wanita tidak menerima mahar. Ulama yang berpendapat demikian mengambil pemaknaan nikah syighar dari tekstual hadis yang terdapat dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat kedua: Sebab larangan bukanlah karena ketiadaan mahar, akan tetapi karena masing-masing wali mensyaratkan untuk menikahi wanita yang berada di bawah perwalian dari wali lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, dan dipilih oleh Al-Kharqi [6], serta dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pemaknaan syighar sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar bukanlah berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah.” [7] Mereka juga berargumentasi dengan beberapa poin berikut ini: Pertama: Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis tersebut, terdapat penjelasan tentang makna nikah syighar. Mereka mengatakan, dzahir hadis tersebut menunjukkan bahwa tafsir tersebut berasal dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena langsung bersambung dengan hadis. Berbeda dengan tafsir lainnya yang ternyata berasal dari perkataan Nafi’, dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam hadis Abu Hurairah tidak terdapat kalimat, “Tidak ada mahar di antara keduanya.” Akan tetapi, hadis Abu Hurairah menunjukkan kemutlakannya, yaitu ada mahar atau tanpa mahar. Kedua: Perkataan seseorang ke orang lain, “Aku menikahi anak perempuanmu dengan (imbal balik) aku nikahkan Engkau dengan anak perempuanku”, adalah syarat yang tidak sesuai dengan kitab Allah Ta’ala. ومن اشترط شرطا ليس في كتاب الله، فهو باطل “Siapa saja yang menetapkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan kitabullah, maka syarat tersebut batil.” Ketiga: Persyaratan tersebut mengandung kezaliman terhadap wanita dan juga menyakitinya. Seolah-olah menjadikan wanita sebagai barang dagangan, si wali bisa melarang anak perempuannya menikah sampai si wali tersebut mendapat wanita yang ingin dia nikahi sendiri sebagai timbal balik. Keempat: Pernikahan semacam ini hanyalah akan menyebabkan perselisihan yang terus-menerus dan permusuhan yang besar. Jika kondisi suami istri pertama menjadi buruk, maka demikian pula kondisi suami istri di pihak lainnya. Kelima: Pemahaman sahabat terhadap nikah syighar dan juga praktik mereka. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Ahmad dari Mu’waiyah, bahwa Al-‘Abbas bin Abdullah bin ‘Abbas menikahkan Abdurrahman bin Al-Hakam dengan anak perempuannya, sedangkan Abdurrahman menikahkan Al-‘Abbas dengan anak perempuannya. Pada dua pernikahan tersebut, masing-masing pihak memberikan mahar. Maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, menulis surat kepada Marwan dan memerintahkannya untuk membatalkan (mem-fasakh) pernikahan di antara mereka. Beliau menulis di dalam suratnya, “Ini adalah nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [8] Meskipun pada pernikahan keduanya terdapat mahar, Mu’awiyah tetap mengatakan bahwa itu adalah nikah syighar. Maka yang dipahami oleh Mu’awiyah adalah batilnya akad nikah tersebut, dan ini selaras dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Juga selaras dengan makna yang dimaksudkan dari adanya larangan tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah berkata mengomentari hadis tersebut, “Inilah sikap Mu’awiyah, meskipun masih ada sahabat Nabi lainnya, tidak diketahui bahwa mereka menyelisihi praktik Mu’awiyah, yaitu membatalkan nikah tersebut meskipun disebutkan ada mahar.” [9] Nikah syighar adalah jenis pernikahan pada zaman jahiliyah. Namun, budaya tersebut tetap ada setelah datangnya Islam. Oleh karena itu, nikah syighar kemudian dilarang. Nikah syighar juga ada pada zaman sekarang ini, dengan nama nikah badal. Di antara sebab paling sering adanya pernikahan tersebut adalah sebagian orang memiliki anak perempuan atau saudara perempuan yang berada di bawah perwaliannya, sedangkan wali itu sendiri juga ingin menikah. Akan tetapi, dia tidak menemukan wanita yang mau menikah dengannya. Oleh karena itu, si wali menjadikan wanita yang berada di bawah perwaliannya sebagai sarana untuk mewujudkan keinginannya menikah. Oleh karena itu, Islam melarang pernikahan tersebut karena terdapat kezaliman kepada pihak wanita yang berada di bawah perwaliannya dan juga karena adanya kerusakan yang besar pada pernikahan tersebut. Kandungan keempat: Bagaimana jika nikah syighar tersebut telah terjadi? Jika nikah syighar terlanjur terjadi, maka bisa disikapi sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, sehingga wajib mengulang akad. Ada juga yang berpendapat, pernikahan tersebut bisa dibatalkan sebelum ada jimak, namun tidak bisa dibatalkan jika setelah jimak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ditetapkan mahar standar untuk pihak wanita. Namun, yang lebih baik adalah mengangkat masalah tersebut kepada qadhi (hakim pengadilan agama), dan qadhi itulah yang berijtihad untuk menyikapi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Selesai] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @26 Muharram 1446/ 1 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Umm, 5: 82. [2] Jami’ At-Tirmidzi, 3: 423; Al-Mughni, 10: 42; Mughni Al-Muhtaj, 3: 142. [3] Bidayatul Mujtahid, 3: 109. [4] Mukhtashar Ath-Thahawi, hal. 181; Al-Inshaf, 8: 159. [5] Al-Mughni, 10: 42. [6] Al-Mughni, 10: 42. [7] Al-Fataawa, 10: 279. [8] As-Sunan, no. 2075; Al-Musnad, 28: 70. [9] Al-Muhalla, 9: 516. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 240-244). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: nikah syighar

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 6): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4)

Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 6): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4)

Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai

Fikih Salat Sunah Sebelum Asar

Daftar Isi Toggle Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum AsarApakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib?Sifat salat sunah sebelum Asar Salat merupakan salah satu rukun agama dan fondasinya yang besar. Karena pada hakikatnya, salat adalah hubungan antara hamba dan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan untuk memperbanyak salat dan menekankan akan pentingnya, agar hamba semakin dekat dan memiliki hubungan yang kuat dengan Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد “Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud.” (HR. Muslim no. 482) Allah Ta’ala mensyariatkan bagi hamba-Nya salat sunah sebagai tambahan atas salat fardu agar hubungan dengan-Nya tetap terjaga. Bahkan, Allah menjadikan salat sunah ada yang dilakukan sebelum salat fardu dan ada yang setelahnya untuk menutupi kekurangan yang terjadi dalam salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم، الصلاة. قال: يقول ربنا -جل وعز- لملائكته وهو أعلم: انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها، فإن كانت تامة كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا هل لعبدي من تطوع، فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Allah berfirman kepada malaikat-Nya (sedangkan Dia lebih mengetahui), ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau ada kekurangannya.’ Jika sempurna, maka dituliskan sempurna baginya, dan jika ada kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah kekurangan salat fardunya dari salat sunahnya.’ Kemudian, semua amalnya dihitung berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, dan disahihkan oleh Al-Albani).” [1] Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum Asar Di antara salat sunah tersebut adalah salat sunah sebelum salat Asar. Salat ini dianjurkan berdasarkan kesepakatan empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini berdasarkan beberapa hadis, di antaranya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، ثم قال في الثالثة: لِمَن شاءَ “Di antara setiap dua azan (azan dan ikamah) terdapat salat.” Beliau mengulangi hal ini tiga kali dan pada ketiga kalinya beliau menambahkan, “Bagi yang menghendaki.” (HR. Bukhari no. 627, Muslim no. 838) Hadis ini menunjukkan bahwa disunahkan salat sebelum salat Asar, karena itu tentu terletak pada waktu di antara azan dan ikamah. [2] Hadis lain, yang menunjukkan disyariatkannya salat sunah sebelum Asar dan keutamaannya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعًا “Semoga Allah merahmati seseorang yang salat empat rakaat sebelum Asar.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud) [3] Apakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut mazhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya, salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib ghair muakkadah (yang tidak ditekankan). Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy rahimahullah mengatakan, السنة الراتبة، وهي (‌سبعة ‌عشر ‌ركعة: ركعتا الفجر، وأربع قبل الظهر، وركعتان بعده، وأربع قبل العصر، وركعتان بعد المغرب، وثلاث بعد العشاء يوتر بواحدة منهن) … . والراتب المؤكد من ذلك كله عشر ركعات: ركعتان قبل الصبح وركعتان قبل الظهر وركعتان بعدها وركعتان بعد المغرب وركعتان بعد العشاء. “Sunah rawatib adalah tujuh belas rakaat: dua rakaat Fajar, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, empat rakaat sebelum Asar, dua rakaat setelah Magrib, dan tiga rakaat setelah Isya yang diakhiri dengan satu rakaat witir. … Sunah rawatib yang ditekankan dari semuanya adalah sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Subuh, dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Magrib, dan dua rakaat setelah Isya.” [4] Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, فعدها من السنن الرواتب هو الصواب إن شاء الله؛ لثبوتها عنه صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً “Menghitungnya (salat sunah sebelum salat Asar) sebagai sunah rawatib adalah yang benar, InsyaAllah, karena hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara perkataan maupun perbuatan.” [5] Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat Sifat salat sunah sebelum Asar Telah diketahui dari pembahasan sebelumnya, bahwasanya salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Apakah salat tersebut dilaksanakan dua rakaat salam, dua rakaat salam; atau empat rakaat sekali salam dengan dua tasyahud? Secara umum, salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat malam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir akan masuk waktu subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah dikerjakannya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sabda beliau, “dua rakaat-dua rakaat”, mengandung makna bahwa ada salam di setiap dua rakaat. Beliau menyebut khusus malam karena kebanyakan salat sunah dilakukan pada waktu malam. Maka, tidak ada mafhum dalam sabda tersebut, karena keluar dalam konteks kebiasaan umum sehingga mencakup salat malam dan siang; atau bisa jadi itu adalah jawaban untuk seseorang yang bertanya tentang salat malam; maka tidak ada mafhum yang dianggap dalam hal ini. [6] Sebagian ulama mengkhususkan salat sunah sebelum Asar, dari keumuman salat dua rakaat-dua rakaat; sehingga khusus salat ini dikerjakan empat rakaat sekaligus (sekali salam), dengan dua tasyahud. Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah melanjutkan, راتبة العصر، أربع ركعات، موصولات بتشهدين كالصلوات الرباعية، يسلم في آخرهن، تصلى قبل صلاة العصر. “Salat sunah sebelum Asar adalah empat rakaat dengan dua tasyahud, mirip dengan salat fardu empat rakaat, dan dilakukan sebelum salat Asar.” Dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila telah salat Subuh, beliau menunggu, hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Asar dari sini (yakni dari arah barat); lalu beliau berdiri dan salat dua rakaat. Kemudian beliau menunggu hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Zuhur dari sini; lalu beliau berdiri dan salat empat rakaat, dan empat rakaat sebelum Zuhur apabila matahari telah tergelincir, dan dua rakaat setelahnya, serta empat rakaat sebelum Asar, memisahkan antara setiap dua rakaat dengan salam kepada malaikat yang dekat, nabi-nabi, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan muslimin dan mukminin.” Ali berkata, “Itulah enam belas rakaat salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di siang hari, dan sedikit sekali yang dapat melakukannya secara rutin.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Dalam riwayat Nasa’i, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat ketika matahari mulai condong, dua rakaat, dan sebelum tengah hari, empat rakaat, menjadikan salam pada akhirnya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa’i, dan disahihkan oleh Al-Albani) Abu Isa At-Tirmidzi berkata, حديث علي حديث حسن، واختار إسحاق بن إبراهيم أن لا يفصل في الأربع قبل العصر، واحتج بهذا الحديث، وقال إسحاق: ومعنى أنه يفصل بينهن بالتسليم؛ يعني: التشهد. ورأى الشافعي وأحمد صلاة الليل والنهار مثنى مثنى؛ يختاران الفصل في الأربع قبل العصر “Hadis Ali (di atas) adalah hadis hasan, dan Ishaq bin Ibrahim memilih untuk tidak memisahkan empat rakaat sebelum Asar dengan salam, dan berdalil dengan hadis ini. Ishaq berkata, ‘Maksud dari memisahkan adalah dengan tahiyyat.’ Imam Syafi’i dan Ahmad memilih untuk memisahkan salat malam dan siang dua rakaat-dua rakaat, memilih untuk memisahkan empat rakaat sebelum Asar.” (Sunan Tirmidzi, 2: 294-295, tahqiq Syekh Ahmad Syakir). [7] Ringkasnya, salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Lebih utama dikerjakan empat rakaat sekali salam, dengan dua tasyahud; dan boleh dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** 14 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006. Fathul Qaribil Mujib fi Syarhil Alfadzit Taqrib, Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy, Darul Dhiya – Saudi, cet. ke-1, 2019. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018.   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 346-347. [2] https://dorar.net/feqhia/1221 [3] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 37. [4] Fathul Qaribil Mujib, hal. 119. [5] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 39. [6] https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Bughiyat al-Mutathawwi’, hal. 37-38. Tags: salat sunah

Fikih Salat Sunah Sebelum Asar

Daftar Isi Toggle Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum AsarApakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib?Sifat salat sunah sebelum Asar Salat merupakan salah satu rukun agama dan fondasinya yang besar. Karena pada hakikatnya, salat adalah hubungan antara hamba dan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan untuk memperbanyak salat dan menekankan akan pentingnya, agar hamba semakin dekat dan memiliki hubungan yang kuat dengan Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد “Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud.” (HR. Muslim no. 482) Allah Ta’ala mensyariatkan bagi hamba-Nya salat sunah sebagai tambahan atas salat fardu agar hubungan dengan-Nya tetap terjaga. Bahkan, Allah menjadikan salat sunah ada yang dilakukan sebelum salat fardu dan ada yang setelahnya untuk menutupi kekurangan yang terjadi dalam salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم، الصلاة. قال: يقول ربنا -جل وعز- لملائكته وهو أعلم: انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها، فإن كانت تامة كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا هل لعبدي من تطوع، فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Allah berfirman kepada malaikat-Nya (sedangkan Dia lebih mengetahui), ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau ada kekurangannya.’ Jika sempurna, maka dituliskan sempurna baginya, dan jika ada kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah kekurangan salat fardunya dari salat sunahnya.’ Kemudian, semua amalnya dihitung berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, dan disahihkan oleh Al-Albani).” [1] Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum Asar Di antara salat sunah tersebut adalah salat sunah sebelum salat Asar. Salat ini dianjurkan berdasarkan kesepakatan empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini berdasarkan beberapa hadis, di antaranya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، ثم قال في الثالثة: لِمَن شاءَ “Di antara setiap dua azan (azan dan ikamah) terdapat salat.” Beliau mengulangi hal ini tiga kali dan pada ketiga kalinya beliau menambahkan, “Bagi yang menghendaki.” (HR. Bukhari no. 627, Muslim no. 838) Hadis ini menunjukkan bahwa disunahkan salat sebelum salat Asar, karena itu tentu terletak pada waktu di antara azan dan ikamah. [2] Hadis lain, yang menunjukkan disyariatkannya salat sunah sebelum Asar dan keutamaannya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعًا “Semoga Allah merahmati seseorang yang salat empat rakaat sebelum Asar.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud) [3] Apakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut mazhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya, salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib ghair muakkadah (yang tidak ditekankan). Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy rahimahullah mengatakan, السنة الراتبة، وهي (‌سبعة ‌عشر ‌ركعة: ركعتا الفجر، وأربع قبل الظهر، وركعتان بعده، وأربع قبل العصر، وركعتان بعد المغرب، وثلاث بعد العشاء يوتر بواحدة منهن) … . والراتب المؤكد من ذلك كله عشر ركعات: ركعتان قبل الصبح وركعتان قبل الظهر وركعتان بعدها وركعتان بعد المغرب وركعتان بعد العشاء. “Sunah rawatib adalah tujuh belas rakaat: dua rakaat Fajar, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, empat rakaat sebelum Asar, dua rakaat setelah Magrib, dan tiga rakaat setelah Isya yang diakhiri dengan satu rakaat witir. … Sunah rawatib yang ditekankan dari semuanya adalah sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Subuh, dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Magrib, dan dua rakaat setelah Isya.” [4] Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, فعدها من السنن الرواتب هو الصواب إن شاء الله؛ لثبوتها عنه صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً “Menghitungnya (salat sunah sebelum salat Asar) sebagai sunah rawatib adalah yang benar, InsyaAllah, karena hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara perkataan maupun perbuatan.” [5] Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat Sifat salat sunah sebelum Asar Telah diketahui dari pembahasan sebelumnya, bahwasanya salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Apakah salat tersebut dilaksanakan dua rakaat salam, dua rakaat salam; atau empat rakaat sekali salam dengan dua tasyahud? Secara umum, salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat malam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir akan masuk waktu subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah dikerjakannya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sabda beliau, “dua rakaat-dua rakaat”, mengandung makna bahwa ada salam di setiap dua rakaat. Beliau menyebut khusus malam karena kebanyakan salat sunah dilakukan pada waktu malam. Maka, tidak ada mafhum dalam sabda tersebut, karena keluar dalam konteks kebiasaan umum sehingga mencakup salat malam dan siang; atau bisa jadi itu adalah jawaban untuk seseorang yang bertanya tentang salat malam; maka tidak ada mafhum yang dianggap dalam hal ini. [6] Sebagian ulama mengkhususkan salat sunah sebelum Asar, dari keumuman salat dua rakaat-dua rakaat; sehingga khusus salat ini dikerjakan empat rakaat sekaligus (sekali salam), dengan dua tasyahud. Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah melanjutkan, راتبة العصر، أربع ركعات، موصولات بتشهدين كالصلوات الرباعية، يسلم في آخرهن، تصلى قبل صلاة العصر. “Salat sunah sebelum Asar adalah empat rakaat dengan dua tasyahud, mirip dengan salat fardu empat rakaat, dan dilakukan sebelum salat Asar.” Dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila telah salat Subuh, beliau menunggu, hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Asar dari sini (yakni dari arah barat); lalu beliau berdiri dan salat dua rakaat. Kemudian beliau menunggu hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Zuhur dari sini; lalu beliau berdiri dan salat empat rakaat, dan empat rakaat sebelum Zuhur apabila matahari telah tergelincir, dan dua rakaat setelahnya, serta empat rakaat sebelum Asar, memisahkan antara setiap dua rakaat dengan salam kepada malaikat yang dekat, nabi-nabi, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan muslimin dan mukminin.” Ali berkata, “Itulah enam belas rakaat salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di siang hari, dan sedikit sekali yang dapat melakukannya secara rutin.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Dalam riwayat Nasa’i, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat ketika matahari mulai condong, dua rakaat, dan sebelum tengah hari, empat rakaat, menjadikan salam pada akhirnya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa’i, dan disahihkan oleh Al-Albani) Abu Isa At-Tirmidzi berkata, حديث علي حديث حسن، واختار إسحاق بن إبراهيم أن لا يفصل في الأربع قبل العصر، واحتج بهذا الحديث، وقال إسحاق: ومعنى أنه يفصل بينهن بالتسليم؛ يعني: التشهد. ورأى الشافعي وأحمد صلاة الليل والنهار مثنى مثنى؛ يختاران الفصل في الأربع قبل العصر “Hadis Ali (di atas) adalah hadis hasan, dan Ishaq bin Ibrahim memilih untuk tidak memisahkan empat rakaat sebelum Asar dengan salam, dan berdalil dengan hadis ini. Ishaq berkata, ‘Maksud dari memisahkan adalah dengan tahiyyat.’ Imam Syafi’i dan Ahmad memilih untuk memisahkan salat malam dan siang dua rakaat-dua rakaat, memilih untuk memisahkan empat rakaat sebelum Asar.” (Sunan Tirmidzi, 2: 294-295, tahqiq Syekh Ahmad Syakir). [7] Ringkasnya, salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Lebih utama dikerjakan empat rakaat sekali salam, dengan dua tasyahud; dan boleh dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** 14 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006. Fathul Qaribil Mujib fi Syarhil Alfadzit Taqrib, Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy, Darul Dhiya – Saudi, cet. ke-1, 2019. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018.   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 346-347. [2] https://dorar.net/feqhia/1221 [3] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 37. [4] Fathul Qaribil Mujib, hal. 119. [5] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 39. [6] https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Bughiyat al-Mutathawwi’, hal. 37-38. Tags: salat sunah
Daftar Isi Toggle Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum AsarApakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib?Sifat salat sunah sebelum Asar Salat merupakan salah satu rukun agama dan fondasinya yang besar. Karena pada hakikatnya, salat adalah hubungan antara hamba dan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan untuk memperbanyak salat dan menekankan akan pentingnya, agar hamba semakin dekat dan memiliki hubungan yang kuat dengan Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد “Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud.” (HR. Muslim no. 482) Allah Ta’ala mensyariatkan bagi hamba-Nya salat sunah sebagai tambahan atas salat fardu agar hubungan dengan-Nya tetap terjaga. Bahkan, Allah menjadikan salat sunah ada yang dilakukan sebelum salat fardu dan ada yang setelahnya untuk menutupi kekurangan yang terjadi dalam salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم، الصلاة. قال: يقول ربنا -جل وعز- لملائكته وهو أعلم: انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها، فإن كانت تامة كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا هل لعبدي من تطوع، فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Allah berfirman kepada malaikat-Nya (sedangkan Dia lebih mengetahui), ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau ada kekurangannya.’ Jika sempurna, maka dituliskan sempurna baginya, dan jika ada kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah kekurangan salat fardunya dari salat sunahnya.’ Kemudian, semua amalnya dihitung berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, dan disahihkan oleh Al-Albani).” [1] Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum Asar Di antara salat sunah tersebut adalah salat sunah sebelum salat Asar. Salat ini dianjurkan berdasarkan kesepakatan empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini berdasarkan beberapa hadis, di antaranya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، ثم قال في الثالثة: لِمَن شاءَ “Di antara setiap dua azan (azan dan ikamah) terdapat salat.” Beliau mengulangi hal ini tiga kali dan pada ketiga kalinya beliau menambahkan, “Bagi yang menghendaki.” (HR. Bukhari no. 627, Muslim no. 838) Hadis ini menunjukkan bahwa disunahkan salat sebelum salat Asar, karena itu tentu terletak pada waktu di antara azan dan ikamah. [2] Hadis lain, yang menunjukkan disyariatkannya salat sunah sebelum Asar dan keutamaannya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعًا “Semoga Allah merahmati seseorang yang salat empat rakaat sebelum Asar.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud) [3] Apakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut mazhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya, salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib ghair muakkadah (yang tidak ditekankan). Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy rahimahullah mengatakan, السنة الراتبة، وهي (‌سبعة ‌عشر ‌ركعة: ركعتا الفجر، وأربع قبل الظهر، وركعتان بعده، وأربع قبل العصر، وركعتان بعد المغرب، وثلاث بعد العشاء يوتر بواحدة منهن) … . والراتب المؤكد من ذلك كله عشر ركعات: ركعتان قبل الصبح وركعتان قبل الظهر وركعتان بعدها وركعتان بعد المغرب وركعتان بعد العشاء. “Sunah rawatib adalah tujuh belas rakaat: dua rakaat Fajar, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, empat rakaat sebelum Asar, dua rakaat setelah Magrib, dan tiga rakaat setelah Isya yang diakhiri dengan satu rakaat witir. … Sunah rawatib yang ditekankan dari semuanya adalah sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Subuh, dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Magrib, dan dua rakaat setelah Isya.” [4] Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, فعدها من السنن الرواتب هو الصواب إن شاء الله؛ لثبوتها عنه صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً “Menghitungnya (salat sunah sebelum salat Asar) sebagai sunah rawatib adalah yang benar, InsyaAllah, karena hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara perkataan maupun perbuatan.” [5] Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat Sifat salat sunah sebelum Asar Telah diketahui dari pembahasan sebelumnya, bahwasanya salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Apakah salat tersebut dilaksanakan dua rakaat salam, dua rakaat salam; atau empat rakaat sekali salam dengan dua tasyahud? Secara umum, salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat malam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir akan masuk waktu subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah dikerjakannya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sabda beliau, “dua rakaat-dua rakaat”, mengandung makna bahwa ada salam di setiap dua rakaat. Beliau menyebut khusus malam karena kebanyakan salat sunah dilakukan pada waktu malam. Maka, tidak ada mafhum dalam sabda tersebut, karena keluar dalam konteks kebiasaan umum sehingga mencakup salat malam dan siang; atau bisa jadi itu adalah jawaban untuk seseorang yang bertanya tentang salat malam; maka tidak ada mafhum yang dianggap dalam hal ini. [6] Sebagian ulama mengkhususkan salat sunah sebelum Asar, dari keumuman salat dua rakaat-dua rakaat; sehingga khusus salat ini dikerjakan empat rakaat sekaligus (sekali salam), dengan dua tasyahud. Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah melanjutkan, راتبة العصر، أربع ركعات، موصولات بتشهدين كالصلوات الرباعية، يسلم في آخرهن، تصلى قبل صلاة العصر. “Salat sunah sebelum Asar adalah empat rakaat dengan dua tasyahud, mirip dengan salat fardu empat rakaat, dan dilakukan sebelum salat Asar.” Dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila telah salat Subuh, beliau menunggu, hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Asar dari sini (yakni dari arah barat); lalu beliau berdiri dan salat dua rakaat. Kemudian beliau menunggu hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Zuhur dari sini; lalu beliau berdiri dan salat empat rakaat, dan empat rakaat sebelum Zuhur apabila matahari telah tergelincir, dan dua rakaat setelahnya, serta empat rakaat sebelum Asar, memisahkan antara setiap dua rakaat dengan salam kepada malaikat yang dekat, nabi-nabi, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan muslimin dan mukminin.” Ali berkata, “Itulah enam belas rakaat salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di siang hari, dan sedikit sekali yang dapat melakukannya secara rutin.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Dalam riwayat Nasa’i, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat ketika matahari mulai condong, dua rakaat, dan sebelum tengah hari, empat rakaat, menjadikan salam pada akhirnya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa’i, dan disahihkan oleh Al-Albani) Abu Isa At-Tirmidzi berkata, حديث علي حديث حسن، واختار إسحاق بن إبراهيم أن لا يفصل في الأربع قبل العصر، واحتج بهذا الحديث، وقال إسحاق: ومعنى أنه يفصل بينهن بالتسليم؛ يعني: التشهد. ورأى الشافعي وأحمد صلاة الليل والنهار مثنى مثنى؛ يختاران الفصل في الأربع قبل العصر “Hadis Ali (di atas) adalah hadis hasan, dan Ishaq bin Ibrahim memilih untuk tidak memisahkan empat rakaat sebelum Asar dengan salam, dan berdalil dengan hadis ini. Ishaq berkata, ‘Maksud dari memisahkan adalah dengan tahiyyat.’ Imam Syafi’i dan Ahmad memilih untuk memisahkan salat malam dan siang dua rakaat-dua rakaat, memilih untuk memisahkan empat rakaat sebelum Asar.” (Sunan Tirmidzi, 2: 294-295, tahqiq Syekh Ahmad Syakir). [7] Ringkasnya, salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Lebih utama dikerjakan empat rakaat sekali salam, dengan dua tasyahud; dan boleh dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** 14 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006. Fathul Qaribil Mujib fi Syarhil Alfadzit Taqrib, Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy, Darul Dhiya – Saudi, cet. ke-1, 2019. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018.   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 346-347. [2] https://dorar.net/feqhia/1221 [3] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 37. [4] Fathul Qaribil Mujib, hal. 119. [5] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 39. [6] https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Bughiyat al-Mutathawwi’, hal. 37-38. Tags: salat sunah


Daftar Isi Toggle Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum AsarApakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib?Sifat salat sunah sebelum Asar Salat merupakan salah satu rukun agama dan fondasinya yang besar. Karena pada hakikatnya, salat adalah hubungan antara hamba dan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan untuk memperbanyak salat dan menekankan akan pentingnya, agar hamba semakin dekat dan memiliki hubungan yang kuat dengan Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد “Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud.” (HR. Muslim no. 482) Allah Ta’ala mensyariatkan bagi hamba-Nya salat sunah sebagai tambahan atas salat fardu agar hubungan dengan-Nya tetap terjaga. Bahkan, Allah menjadikan salat sunah ada yang dilakukan sebelum salat fardu dan ada yang setelahnya untuk menutupi kekurangan yang terjadi dalam salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم، الصلاة. قال: يقول ربنا -جل وعز- لملائكته وهو أعلم: انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها، فإن كانت تامة كتبت له تامة، وإن كان انتقص منها شيئًا قال: انظروا هل لعبدي من تطوع، فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه، ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Allah berfirman kepada malaikat-Nya (sedangkan Dia lebih mengetahui), ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau ada kekurangannya.’ Jika sempurna, maka dituliskan sempurna baginya, dan jika ada kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah. Jika ia memiliki salat sunah, maka sempurnakanlah kekurangan salat fardunya dari salat sunahnya.’ Kemudian, semua amalnya dihitung berdasarkan itu.” (HR. Abu Dawud no. 864, dan disahihkan oleh Al-Albani).” [1] Anjuran dan keutamaan salat sunah sebelum Asar Di antara salat sunah tersebut adalah salat sunah sebelum salat Asar. Salat ini dianjurkan berdasarkan kesepakatan empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Hal ini berdasarkan beberapa hadis, di antaranya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، بين كلِّ أذانينِ صلاةٌ، ثم قال في الثالثة: لِمَن شاءَ “Di antara setiap dua azan (azan dan ikamah) terdapat salat.” Beliau mengulangi hal ini tiga kali dan pada ketiga kalinya beliau menambahkan, “Bagi yang menghendaki.” (HR. Bukhari no. 627, Muslim no. 838) Hadis ini menunjukkan bahwa disunahkan salat sebelum salat Asar, karena itu tentu terletak pada waktu di antara azan dan ikamah. [2] Hadis lain, yang menunjukkan disyariatkannya salat sunah sebelum Asar dan keutamaannya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعًا “Semoga Allah merahmati seseorang yang salat empat rakaat sebelum Asar.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud) [3] Apakah salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut mazhab Syafi’i dan beberapa ulama lainnya, salat sunah sebelum Asar termasuk sunah rawatib ghair muakkadah (yang tidak ditekankan). Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy rahimahullah mengatakan, السنة الراتبة، وهي (‌سبعة ‌عشر ‌ركعة: ركعتا الفجر، وأربع قبل الظهر، وركعتان بعده، وأربع قبل العصر، وركعتان بعد المغرب، وثلاث بعد العشاء يوتر بواحدة منهن) … . والراتب المؤكد من ذلك كله عشر ركعات: ركعتان قبل الصبح وركعتان قبل الظهر وركعتان بعدها وركعتان بعد المغرب وركعتان بعد العشاء. “Sunah rawatib adalah tujuh belas rakaat: dua rakaat Fajar, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, empat rakaat sebelum Asar, dua rakaat setelah Magrib, dan tiga rakaat setelah Isya yang diakhiri dengan satu rakaat witir. … Sunah rawatib yang ditekankan dari semuanya adalah sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Subuh, dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Magrib, dan dua rakaat setelah Isya.” [4] Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah mengatakan, فعدها من السنن الرواتب هو الصواب إن شاء الله؛ لثبوتها عنه صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً “Menghitungnya (salat sunah sebelum salat Asar) sebagai sunah rawatib adalah yang benar, InsyaAllah, karena hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara perkataan maupun perbuatan.” [5] Baca juga: Fikih Salat Ba’diyah Jumat Sifat salat sunah sebelum Asar Telah diketahui dari pembahasan sebelumnya, bahwasanya salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Apakah salat tersebut dilaksanakan dua rakaat salam, dua rakaat salam; atau empat rakaat sekali salam dengan dua tasyahud? Secara umum, salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat malam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى، فإذا خشِي أحدُكم الصُّبحَ، صلَّى ركعةً واحدةً تُوتِرُ له ما قدْ صلَّى “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir akan masuk waktu subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir dari salat yang telah dikerjakannya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749) Sabda beliau, “dua rakaat-dua rakaat”, mengandung makna bahwa ada salam di setiap dua rakaat. Beliau menyebut khusus malam karena kebanyakan salat sunah dilakukan pada waktu malam. Maka, tidak ada mafhum dalam sabda tersebut, karena keluar dalam konteks kebiasaan umum sehingga mencakup salat malam dan siang; atau bisa jadi itu adalah jawaban untuk seseorang yang bertanya tentang salat malam; maka tidak ada mafhum yang dianggap dalam hal ini. [6] Sebagian ulama mengkhususkan salat sunah sebelum Asar, dari keumuman salat dua rakaat-dua rakaat; sehingga khusus salat ini dikerjakan empat rakaat sekaligus (sekali salam), dengan dua tasyahud. Syekh Muhammad bin Umar Bazmul hafidzahullah melanjutkan, راتبة العصر، أربع ركعات، موصولات بتشهدين كالصلوات الرباعية، يسلم في آخرهن، تصلى قبل صلاة العصر. “Salat sunah sebelum Asar adalah empat rakaat dengan dua tasyahud, mirip dengan salat fardu empat rakaat, dan dilakukan sebelum salat Asar.” Dalil dari pendapat ini adalah hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila telah salat Subuh, beliau menunggu, hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Asar dari sini (yakni dari arah barat); lalu beliau berdiri dan salat dua rakaat. Kemudian beliau menunggu hingga matahari dari sini (yakni dari arah timur) mencapai posisinya ketika salat Zuhur dari sini; lalu beliau berdiri dan salat empat rakaat, dan empat rakaat sebelum Zuhur apabila matahari telah tergelincir, dan dua rakaat setelahnya, serta empat rakaat sebelum Asar, memisahkan antara setiap dua rakaat dengan salam kepada malaikat yang dekat, nabi-nabi, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan muslimin dan mukminin.” Ali berkata, “Itulah enam belas rakaat salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di siang hari, dan sedikit sekali yang dapat melakukannya secara rutin.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Dalam riwayat Nasa’i, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat ketika matahari mulai condong, dua rakaat, dan sebelum tengah hari, empat rakaat, menjadikan salam pada akhirnya.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa’i, dan disahihkan oleh Al-Albani) Abu Isa At-Tirmidzi berkata, حديث علي حديث حسن، واختار إسحاق بن إبراهيم أن لا يفصل في الأربع قبل العصر، واحتج بهذا الحديث، وقال إسحاق: ومعنى أنه يفصل بينهن بالتسليم؛ يعني: التشهد. ورأى الشافعي وأحمد صلاة الليل والنهار مثنى مثنى؛ يختاران الفصل في الأربع قبل العصر “Hadis Ali (di atas) adalah hadis hasan, dan Ishaq bin Ibrahim memilih untuk tidak memisahkan empat rakaat sebelum Asar dengan salam, dan berdalil dengan hadis ini. Ishaq berkata, ‘Maksud dari memisahkan adalah dengan tahiyyat.’ Imam Syafi’i dan Ahmad memilih untuk memisahkan salat malam dan siang dua rakaat-dua rakaat, memilih untuk memisahkan empat rakaat sebelum Asar.” (Sunan Tirmidzi, 2: 294-295, tahqiq Syekh Ahmad Syakir). [7] Ringkasnya, salat sunah sebelum salat Asar adalah empat rakaat. Lebih utama dikerjakan empat rakaat sekali salam, dengan dua tasyahud; dan boleh dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah *** 14 Muharram 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad – Kairo, cet. ke-1, 2006. Fathul Qaribil Mujib fi Syarhil Alfadzit Taqrib, Muhammad bin Qasim Al-Ghazziy, Darul Dhiya – Saudi, cet. ke-1, 2019. Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018.   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Muyassar, 1: 346-347. [2] https://dorar.net/feqhia/1221 [3] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 37. [4] Fathul Qaribil Mujib, hal. 119. [5] Bughiyat Al-Mutathawwi’, hal. 39. [6] https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Bughiyat al-Mutathawwi’, hal. 37-38. Tags: salat sunah
Prev     Next