Fikih Transaksi Gadai (Bag. 6): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4)

Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 6): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4)

Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagiGadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lainGadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkanGadai dalam bentuk barang yang sedang disewaGadai dalam bentuk barang milik orang lain Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya. Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1] Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain. Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya. Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin. Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya. Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah, قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257) Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu. Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2] Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya. Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya. Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini. Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali. Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan. Gadai dalam bentuk barang milik orang lain Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian. Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh. Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq.  Kembali ke bagian 5: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3) Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy Syarhul Mumti’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu. [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 130. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 5): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3)

Daftar Isi Toggle Gadai hewanKetentuan-ketentuan dalam gadai hewanKesimpulan Melanjutkan serial Fikih Transaksi Gadai, masih pada pembahasan jenis-jenis gadai yang diperbolehkan. Berikut ini yang termasuk jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, Gadai hewan Di antara hal yang boleh digadaikan adalah hewan. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya hewan digadaikan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، وعلى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ “Hewan yang digadaikan boleh ditunggangi dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Dan pemberian nafkah diwajibkan bagi yang menunggangi dan meminum hewan yang digadaikan tersebut.”  (HR. Bukhari no. 2512) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, – قال ابن القيم : دل هذا الحديث وقواعد الشريعة وأصولها على أن الحيوان المرهون محترم في نفسه لحق الله تعالى، وللمالك فيه حق الملك، وللمرتهن فيه حق التوثقة، فإذا كان بيده فلم يركبه ولم يحلبه ذهب نفعه باطلاً، فكان مقتضى العدل والقياس ومصلحة الراهن والمرتهن والحيوان أن يستوفي المرتهن منفعة الركوب والحلب، ويعوّض عنهما بالنفقة، فإذا استوفى المرتهن منفت نهن وعوض عنها نفقة، كان في هذا جمعاً بين المصلحتين وبين الحقين “Hadis ini dan kaidah-kaidah serta ushul syari’at menjelaskan bahwa hewan yang digadaikan menjadi terhormat kedudukannya karena terdapat hak Allah padanya. Bagi pemilik terdapat hak kepemilikan dan bagi murtahin (pemberi utang) terdapat hak tautsiqah (pemegang jaminan). Jika hewan yang berada di tangannya itu tidak ditunggangi dan diperah susunya, tentu akan hilang manfaatnya begitu saja. Oleh karena itu, di antara bentuk keadilan dan kemaslahatan bagi rahin (pengutang), murtahin (pemberi utang), dan juga hewannya, hendaknya murtahin memanfaatkan penggunaan hewan tersebut dengan ditunggangi atau diperah susunya. Kemudian, diganti dengan pemberian upah kepada hewan itu. Jika hal yang demikian dilakukan, akan terkumpul antara dua kemaslahatan dan dua hak.” [1] Syekh Abdullah Alu Bassam rahimahullah memberikan faidah tentang hadis di atas, beliau menyatakan, “Hadis di atas menunjukkan bolehnya menggadaikan hewan. Karena di antara syarat gadai adalah mengetahui jenis, sifat, dan jumlah dari yang digadaikan. Semua syarat itu terdapat pada hewan.” [2] Dengan contoh, pembahasan ini akan menjadi jelas. Contohnya: Abdullah ingin berutang kepada Ali dengan nominal uang sebesar Rp.15.000.000,- Kemudian, Ali ingin ada yang digadaikan dari Abdullah untuknya. Kemudian Abdullah menggadaikan sapinya sebagai jaminan atas utangnya kepada Ali. Maka, hal ini diperbolehkan. Tentunya dengan rincian yang akan dijelaskan di bawah ini. Ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan Berikut ini ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan [3]: Pertama: Bolehnya menggadaikan hewan sebagaimana yang telah disebutkan di atas berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati terdapat beberapa ulama yang tidak setuju akan bolehnya menggadaikan hewan. Hal ini dengan alasan bahwasanya hewan termasuk benda atau komoditi yang bisa hilang atau mati. Terkait hal ini, ada beberapa jawaban atau sanggahan [2], di antaranya: Pertama: Telah jelas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bolehnya menggadaikan hewan. Kedua: Hewan termasuk bagian dari harta yang jelas. Boleh untuk diperjualbelikan dan bisa menjadi pengganti dari utang tatkala pengutang tidak mampu untuk membayar. Ketiga: Tidaklah ada sesuatu, kecuali pasti bisa hilang atau mati pada waktunya. Sehingga kurang tepat jika alasan tidak bolehnya menggadaikan hewan karena hewan cepat hilang atau yang lain sebagainya. Karena barang-barang yang lain pun sifatnya demikian. Kedua: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa ditunggangi atau dikendarai, maka murtahin (pemberi utang) boleh menungganginya sesuai dengan upah makan dan minum yang diberikan kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Hukum asal memanfaatkan barang gadaian tidak diperbolehkan. Namun, dikhususkan dengan hewan yang bisa ditunggangi dan diambil susunya. Diperbolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan syarat diberi upah makan dan minum sesuai dengan penggunaan manfaatnya. Ketiga: Tidak menggunakan hewan yang digadaikan dalam bentuk yang memberatkan. Seperti mengangkut barang yang melebihi kapasitas, berjalan jauh, dan lain-lain. Karena hal itu akan memudaratkan hewan tersebut dan akan menyusahkan pemiliknya tatkala hewan itu dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rahin (pengutang). Keempat: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa diperah susunya, maka diperbolehkan untuk memerah susunya sebatas pemberian upah makan dan minum kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Kelima: Hukum yang telah disebutkan di atas, yakni yang berkaitan dengan bolehnya memanfaatkan tunggangan dan perahan susu dari hewan yang digadaikan. Hukum ini adalah hukum yang telah diizinkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak perlu lagi izin dari pemilik hewan tersebut, bahkan tidak perlu juga ada kesepakatan antara murtahin (pemberi utang) dengan rahin (pengutang) atas hal itu. [4] Artinya, murtahin boleh memanfaatkan hewan yang digadaikan tanpa sepengetahuan dan tanpa ada kesepakatan dengan rahin. Karena hal ini telah diizinkan oleh syariat. Namun, ada baiknya jika murtahin mengabarkan akan penggunaan manfaat dari hewan tersebut kepada rahin. Jika tidak digunakan, maka termasuk mubazir atau menyia-nyiakan harta. Terlebih jika hewan yang bisa diperah susunya. Keenam: Tatkala pemerahan susu sudah sesuai dengan pemberian upah kepada hewan yang digadaikan, kemudian susu keluar dalam kadar lebih dari upah yang diberikan, maka boleh bagi murtahin untuk menjual susu tersebut. Mengingat kedudukan murtahin sama dengan pemilik hewan itu. Ketujuh: Jika susu yang dikeluarkan tidak sesuai atau lebih sedikit dari pada pemberian upah kepada hewan itu, maka murtahin boleh meminta kembali upah kepada rahin atas lebihnya pemberian upah. Namun, jika murtahin berniat untuk memberikannya, maka tidak masalah. Kedelapan: Jika hewan yang digadaikan tidak bisa ditunggangi dan diperah susunya, maka boleh untuk dimanfaatkan dengan tetap diberikan upah kepadanya. [5] Kesimpulan Demikianlah secara singkat penjelasan tentang gadai hewan. Yang kesimpulannya adalah diperbolehkan dalam agama Islam dengan mengikuti aturan-aturan yang telah dijelaskan oleh para ulama. Yaitu, jika digunakan manfaatnya, maka harus diberikan upah sesuai manfaatnya. Semoga bermanfaat, Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (2) Lanjut ke bagian 6: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4) *** Depok, 09 Muharram 1446 / 15 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Syekh Abdullah bin Alu Bassam rahimahullah, Cet. An-Nahdhah Al-Haditsah Al-Muktashar fil Mu’amalat, karya Prof.Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Cet. Maktabah Ar-Rusyd   Catatan kaki: [1] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 78. [2] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [3] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [4] Lihat Al-Mabsuth, 21: 104. [5] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 112. Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 5): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (3)

Daftar Isi Toggle Gadai hewanKetentuan-ketentuan dalam gadai hewanKesimpulan Melanjutkan serial Fikih Transaksi Gadai, masih pada pembahasan jenis-jenis gadai yang diperbolehkan. Berikut ini yang termasuk jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, Gadai hewan Di antara hal yang boleh digadaikan adalah hewan. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya hewan digadaikan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، وعلى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ “Hewan yang digadaikan boleh ditunggangi dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Dan pemberian nafkah diwajibkan bagi yang menunggangi dan meminum hewan yang digadaikan tersebut.”  (HR. Bukhari no. 2512) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, – قال ابن القيم : دل هذا الحديث وقواعد الشريعة وأصولها على أن الحيوان المرهون محترم في نفسه لحق الله تعالى، وللمالك فيه حق الملك، وللمرتهن فيه حق التوثقة، فإذا كان بيده فلم يركبه ولم يحلبه ذهب نفعه باطلاً، فكان مقتضى العدل والقياس ومصلحة الراهن والمرتهن والحيوان أن يستوفي المرتهن منفعة الركوب والحلب، ويعوّض عنهما بالنفقة، فإذا استوفى المرتهن منفت نهن وعوض عنها نفقة، كان في هذا جمعاً بين المصلحتين وبين الحقين “Hadis ini dan kaidah-kaidah serta ushul syari’at menjelaskan bahwa hewan yang digadaikan menjadi terhormat kedudukannya karena terdapat hak Allah padanya. Bagi pemilik terdapat hak kepemilikan dan bagi murtahin (pemberi utang) terdapat hak tautsiqah (pemegang jaminan). Jika hewan yang berada di tangannya itu tidak ditunggangi dan diperah susunya, tentu akan hilang manfaatnya begitu saja. Oleh karena itu, di antara bentuk keadilan dan kemaslahatan bagi rahin (pengutang), murtahin (pemberi utang), dan juga hewannya, hendaknya murtahin memanfaatkan penggunaan hewan tersebut dengan ditunggangi atau diperah susunya. Kemudian, diganti dengan pemberian upah kepada hewan itu. Jika hal yang demikian dilakukan, akan terkumpul antara dua kemaslahatan dan dua hak.” [1] Syekh Abdullah Alu Bassam rahimahullah memberikan faidah tentang hadis di atas, beliau menyatakan, “Hadis di atas menunjukkan bolehnya menggadaikan hewan. Karena di antara syarat gadai adalah mengetahui jenis, sifat, dan jumlah dari yang digadaikan. Semua syarat itu terdapat pada hewan.” [2] Dengan contoh, pembahasan ini akan menjadi jelas. Contohnya: Abdullah ingin berutang kepada Ali dengan nominal uang sebesar Rp.15.000.000,- Kemudian, Ali ingin ada yang digadaikan dari Abdullah untuknya. Kemudian Abdullah menggadaikan sapinya sebagai jaminan atas utangnya kepada Ali. Maka, hal ini diperbolehkan. Tentunya dengan rincian yang akan dijelaskan di bawah ini. Ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan Berikut ini ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan [3]: Pertama: Bolehnya menggadaikan hewan sebagaimana yang telah disebutkan di atas berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati terdapat beberapa ulama yang tidak setuju akan bolehnya menggadaikan hewan. Hal ini dengan alasan bahwasanya hewan termasuk benda atau komoditi yang bisa hilang atau mati. Terkait hal ini, ada beberapa jawaban atau sanggahan [2], di antaranya: Pertama: Telah jelas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bolehnya menggadaikan hewan. Kedua: Hewan termasuk bagian dari harta yang jelas. Boleh untuk diperjualbelikan dan bisa menjadi pengganti dari utang tatkala pengutang tidak mampu untuk membayar. Ketiga: Tidaklah ada sesuatu, kecuali pasti bisa hilang atau mati pada waktunya. Sehingga kurang tepat jika alasan tidak bolehnya menggadaikan hewan karena hewan cepat hilang atau yang lain sebagainya. Karena barang-barang yang lain pun sifatnya demikian. Kedua: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa ditunggangi atau dikendarai, maka murtahin (pemberi utang) boleh menungganginya sesuai dengan upah makan dan minum yang diberikan kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Hukum asal memanfaatkan barang gadaian tidak diperbolehkan. Namun, dikhususkan dengan hewan yang bisa ditunggangi dan diambil susunya. Diperbolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan syarat diberi upah makan dan minum sesuai dengan penggunaan manfaatnya. Ketiga: Tidak menggunakan hewan yang digadaikan dalam bentuk yang memberatkan. Seperti mengangkut barang yang melebihi kapasitas, berjalan jauh, dan lain-lain. Karena hal itu akan memudaratkan hewan tersebut dan akan menyusahkan pemiliknya tatkala hewan itu dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rahin (pengutang). Keempat: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa diperah susunya, maka diperbolehkan untuk memerah susunya sebatas pemberian upah makan dan minum kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Kelima: Hukum yang telah disebutkan di atas, yakni yang berkaitan dengan bolehnya memanfaatkan tunggangan dan perahan susu dari hewan yang digadaikan. Hukum ini adalah hukum yang telah diizinkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak perlu lagi izin dari pemilik hewan tersebut, bahkan tidak perlu juga ada kesepakatan antara murtahin (pemberi utang) dengan rahin (pengutang) atas hal itu. [4] Artinya, murtahin boleh memanfaatkan hewan yang digadaikan tanpa sepengetahuan dan tanpa ada kesepakatan dengan rahin. Karena hal ini telah diizinkan oleh syariat. Namun, ada baiknya jika murtahin mengabarkan akan penggunaan manfaat dari hewan tersebut kepada rahin. Jika tidak digunakan, maka termasuk mubazir atau menyia-nyiakan harta. Terlebih jika hewan yang bisa diperah susunya. Keenam: Tatkala pemerahan susu sudah sesuai dengan pemberian upah kepada hewan yang digadaikan, kemudian susu keluar dalam kadar lebih dari upah yang diberikan, maka boleh bagi murtahin untuk menjual susu tersebut. Mengingat kedudukan murtahin sama dengan pemilik hewan itu. Ketujuh: Jika susu yang dikeluarkan tidak sesuai atau lebih sedikit dari pada pemberian upah kepada hewan itu, maka murtahin boleh meminta kembali upah kepada rahin atas lebihnya pemberian upah. Namun, jika murtahin berniat untuk memberikannya, maka tidak masalah. Kedelapan: Jika hewan yang digadaikan tidak bisa ditunggangi dan diperah susunya, maka boleh untuk dimanfaatkan dengan tetap diberikan upah kepadanya. [5] Kesimpulan Demikianlah secara singkat penjelasan tentang gadai hewan. Yang kesimpulannya adalah diperbolehkan dalam agama Islam dengan mengikuti aturan-aturan yang telah dijelaskan oleh para ulama. Yaitu, jika digunakan manfaatnya, maka harus diberikan upah sesuai manfaatnya. Semoga bermanfaat, Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (2) Lanjut ke bagian 6: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4) *** Depok, 09 Muharram 1446 / 15 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Syekh Abdullah bin Alu Bassam rahimahullah, Cet. An-Nahdhah Al-Haditsah Al-Muktashar fil Mu’amalat, karya Prof.Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Cet. Maktabah Ar-Rusyd   Catatan kaki: [1] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 78. [2] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [3] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [4] Lihat Al-Mabsuth, 21: 104. [5] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 112. Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Gadai hewanKetentuan-ketentuan dalam gadai hewanKesimpulan Melanjutkan serial Fikih Transaksi Gadai, masih pada pembahasan jenis-jenis gadai yang diperbolehkan. Berikut ini yang termasuk jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, Gadai hewan Di antara hal yang boleh digadaikan adalah hewan. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya hewan digadaikan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، وعلى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ “Hewan yang digadaikan boleh ditunggangi dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Dan pemberian nafkah diwajibkan bagi yang menunggangi dan meminum hewan yang digadaikan tersebut.”  (HR. Bukhari no. 2512) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, – قال ابن القيم : دل هذا الحديث وقواعد الشريعة وأصولها على أن الحيوان المرهون محترم في نفسه لحق الله تعالى، وللمالك فيه حق الملك، وللمرتهن فيه حق التوثقة، فإذا كان بيده فلم يركبه ولم يحلبه ذهب نفعه باطلاً، فكان مقتضى العدل والقياس ومصلحة الراهن والمرتهن والحيوان أن يستوفي المرتهن منفعة الركوب والحلب، ويعوّض عنهما بالنفقة، فإذا استوفى المرتهن منفت نهن وعوض عنها نفقة، كان في هذا جمعاً بين المصلحتين وبين الحقين “Hadis ini dan kaidah-kaidah serta ushul syari’at menjelaskan bahwa hewan yang digadaikan menjadi terhormat kedudukannya karena terdapat hak Allah padanya. Bagi pemilik terdapat hak kepemilikan dan bagi murtahin (pemberi utang) terdapat hak tautsiqah (pemegang jaminan). Jika hewan yang berada di tangannya itu tidak ditunggangi dan diperah susunya, tentu akan hilang manfaatnya begitu saja. Oleh karena itu, di antara bentuk keadilan dan kemaslahatan bagi rahin (pengutang), murtahin (pemberi utang), dan juga hewannya, hendaknya murtahin memanfaatkan penggunaan hewan tersebut dengan ditunggangi atau diperah susunya. Kemudian, diganti dengan pemberian upah kepada hewan itu. Jika hal yang demikian dilakukan, akan terkumpul antara dua kemaslahatan dan dua hak.” [1] Syekh Abdullah Alu Bassam rahimahullah memberikan faidah tentang hadis di atas, beliau menyatakan, “Hadis di atas menunjukkan bolehnya menggadaikan hewan. Karena di antara syarat gadai adalah mengetahui jenis, sifat, dan jumlah dari yang digadaikan. Semua syarat itu terdapat pada hewan.” [2] Dengan contoh, pembahasan ini akan menjadi jelas. Contohnya: Abdullah ingin berutang kepada Ali dengan nominal uang sebesar Rp.15.000.000,- Kemudian, Ali ingin ada yang digadaikan dari Abdullah untuknya. Kemudian Abdullah menggadaikan sapinya sebagai jaminan atas utangnya kepada Ali. Maka, hal ini diperbolehkan. Tentunya dengan rincian yang akan dijelaskan di bawah ini. Ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan Berikut ini ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan [3]: Pertama: Bolehnya menggadaikan hewan sebagaimana yang telah disebutkan di atas berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati terdapat beberapa ulama yang tidak setuju akan bolehnya menggadaikan hewan. Hal ini dengan alasan bahwasanya hewan termasuk benda atau komoditi yang bisa hilang atau mati. Terkait hal ini, ada beberapa jawaban atau sanggahan [2], di antaranya: Pertama: Telah jelas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bolehnya menggadaikan hewan. Kedua: Hewan termasuk bagian dari harta yang jelas. Boleh untuk diperjualbelikan dan bisa menjadi pengganti dari utang tatkala pengutang tidak mampu untuk membayar. Ketiga: Tidaklah ada sesuatu, kecuali pasti bisa hilang atau mati pada waktunya. Sehingga kurang tepat jika alasan tidak bolehnya menggadaikan hewan karena hewan cepat hilang atau yang lain sebagainya. Karena barang-barang yang lain pun sifatnya demikian. Kedua: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa ditunggangi atau dikendarai, maka murtahin (pemberi utang) boleh menungganginya sesuai dengan upah makan dan minum yang diberikan kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Hukum asal memanfaatkan barang gadaian tidak diperbolehkan. Namun, dikhususkan dengan hewan yang bisa ditunggangi dan diambil susunya. Diperbolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan syarat diberi upah makan dan minum sesuai dengan penggunaan manfaatnya. Ketiga: Tidak menggunakan hewan yang digadaikan dalam bentuk yang memberatkan. Seperti mengangkut barang yang melebihi kapasitas, berjalan jauh, dan lain-lain. Karena hal itu akan memudaratkan hewan tersebut dan akan menyusahkan pemiliknya tatkala hewan itu dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rahin (pengutang). Keempat: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa diperah susunya, maka diperbolehkan untuk memerah susunya sebatas pemberian upah makan dan minum kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Kelima: Hukum yang telah disebutkan di atas, yakni yang berkaitan dengan bolehnya memanfaatkan tunggangan dan perahan susu dari hewan yang digadaikan. Hukum ini adalah hukum yang telah diizinkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak perlu lagi izin dari pemilik hewan tersebut, bahkan tidak perlu juga ada kesepakatan antara murtahin (pemberi utang) dengan rahin (pengutang) atas hal itu. [4] Artinya, murtahin boleh memanfaatkan hewan yang digadaikan tanpa sepengetahuan dan tanpa ada kesepakatan dengan rahin. Karena hal ini telah diizinkan oleh syariat. Namun, ada baiknya jika murtahin mengabarkan akan penggunaan manfaat dari hewan tersebut kepada rahin. Jika tidak digunakan, maka termasuk mubazir atau menyia-nyiakan harta. Terlebih jika hewan yang bisa diperah susunya. Keenam: Tatkala pemerahan susu sudah sesuai dengan pemberian upah kepada hewan yang digadaikan, kemudian susu keluar dalam kadar lebih dari upah yang diberikan, maka boleh bagi murtahin untuk menjual susu tersebut. Mengingat kedudukan murtahin sama dengan pemilik hewan itu. Ketujuh: Jika susu yang dikeluarkan tidak sesuai atau lebih sedikit dari pada pemberian upah kepada hewan itu, maka murtahin boleh meminta kembali upah kepada rahin atas lebihnya pemberian upah. Namun, jika murtahin berniat untuk memberikannya, maka tidak masalah. Kedelapan: Jika hewan yang digadaikan tidak bisa ditunggangi dan diperah susunya, maka boleh untuk dimanfaatkan dengan tetap diberikan upah kepadanya. [5] Kesimpulan Demikianlah secara singkat penjelasan tentang gadai hewan. Yang kesimpulannya adalah diperbolehkan dalam agama Islam dengan mengikuti aturan-aturan yang telah dijelaskan oleh para ulama. Yaitu, jika digunakan manfaatnya, maka harus diberikan upah sesuai manfaatnya. Semoga bermanfaat, Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (2) Lanjut ke bagian 6: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4) *** Depok, 09 Muharram 1446 / 15 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Syekh Abdullah bin Alu Bassam rahimahullah, Cet. An-Nahdhah Al-Haditsah Al-Muktashar fil Mu’amalat, karya Prof.Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Cet. Maktabah Ar-Rusyd   Catatan kaki: [1] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 78. [2] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [3] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [4] Lihat Al-Mabsuth, 21: 104. [5] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 112. Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Gadai hewanKetentuan-ketentuan dalam gadai hewanKesimpulan Melanjutkan serial Fikih Transaksi Gadai, masih pada pembahasan jenis-jenis gadai yang diperbolehkan. Berikut ini yang termasuk jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, Gadai hewan Di antara hal yang boleh digadaikan adalah hewan. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya hewan digadaikan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، وعلى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ “Hewan yang digadaikan boleh ditunggangi dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Dan pemberian nafkah diwajibkan bagi yang menunggangi dan meminum hewan yang digadaikan tersebut.”  (HR. Bukhari no. 2512) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, – قال ابن القيم : دل هذا الحديث وقواعد الشريعة وأصولها على أن الحيوان المرهون محترم في نفسه لحق الله تعالى، وللمالك فيه حق الملك، وللمرتهن فيه حق التوثقة، فإذا كان بيده فلم يركبه ولم يحلبه ذهب نفعه باطلاً، فكان مقتضى العدل والقياس ومصلحة الراهن والمرتهن والحيوان أن يستوفي المرتهن منفعة الركوب والحلب، ويعوّض عنهما بالنفقة، فإذا استوفى المرتهن منفت نهن وعوض عنها نفقة، كان في هذا جمعاً بين المصلحتين وبين الحقين “Hadis ini dan kaidah-kaidah serta ushul syari’at menjelaskan bahwa hewan yang digadaikan menjadi terhormat kedudukannya karena terdapat hak Allah padanya. Bagi pemilik terdapat hak kepemilikan dan bagi murtahin (pemberi utang) terdapat hak tautsiqah (pemegang jaminan). Jika hewan yang berada di tangannya itu tidak ditunggangi dan diperah susunya, tentu akan hilang manfaatnya begitu saja. Oleh karena itu, di antara bentuk keadilan dan kemaslahatan bagi rahin (pengutang), murtahin (pemberi utang), dan juga hewannya, hendaknya murtahin memanfaatkan penggunaan hewan tersebut dengan ditunggangi atau diperah susunya. Kemudian, diganti dengan pemberian upah kepada hewan itu. Jika hal yang demikian dilakukan, akan terkumpul antara dua kemaslahatan dan dua hak.” [1] Syekh Abdullah Alu Bassam rahimahullah memberikan faidah tentang hadis di atas, beliau menyatakan, “Hadis di atas menunjukkan bolehnya menggadaikan hewan. Karena di antara syarat gadai adalah mengetahui jenis, sifat, dan jumlah dari yang digadaikan. Semua syarat itu terdapat pada hewan.” [2] Dengan contoh, pembahasan ini akan menjadi jelas. Contohnya: Abdullah ingin berutang kepada Ali dengan nominal uang sebesar Rp.15.000.000,- Kemudian, Ali ingin ada yang digadaikan dari Abdullah untuknya. Kemudian Abdullah menggadaikan sapinya sebagai jaminan atas utangnya kepada Ali. Maka, hal ini diperbolehkan. Tentunya dengan rincian yang akan dijelaskan di bawah ini. Ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan Berikut ini ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan [3]: Pertama: Bolehnya menggadaikan hewan sebagaimana yang telah disebutkan di atas berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati terdapat beberapa ulama yang tidak setuju akan bolehnya menggadaikan hewan. Hal ini dengan alasan bahwasanya hewan termasuk benda atau komoditi yang bisa hilang atau mati. Terkait hal ini, ada beberapa jawaban atau sanggahan [2], di antaranya: Pertama: Telah jelas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bolehnya menggadaikan hewan. Kedua: Hewan termasuk bagian dari harta yang jelas. Boleh untuk diperjualbelikan dan bisa menjadi pengganti dari utang tatkala pengutang tidak mampu untuk membayar. Ketiga: Tidaklah ada sesuatu, kecuali pasti bisa hilang atau mati pada waktunya. Sehingga kurang tepat jika alasan tidak bolehnya menggadaikan hewan karena hewan cepat hilang atau yang lain sebagainya. Karena barang-barang yang lain pun sifatnya demikian. Kedua: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa ditunggangi atau dikendarai, maka murtahin (pemberi utang) boleh menungganginya sesuai dengan upah makan dan minum yang diberikan kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Hukum asal memanfaatkan barang gadaian tidak diperbolehkan. Namun, dikhususkan dengan hewan yang bisa ditunggangi dan diambil susunya. Diperbolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan syarat diberi upah makan dan minum sesuai dengan penggunaan manfaatnya. Ketiga: Tidak menggunakan hewan yang digadaikan dalam bentuk yang memberatkan. Seperti mengangkut barang yang melebihi kapasitas, berjalan jauh, dan lain-lain. Karena hal itu akan memudaratkan hewan tersebut dan akan menyusahkan pemiliknya tatkala hewan itu dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rahin (pengutang). Keempat: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa diperah susunya, maka diperbolehkan untuk memerah susunya sebatas pemberian upah makan dan minum kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan. Kelima: Hukum yang telah disebutkan di atas, yakni yang berkaitan dengan bolehnya memanfaatkan tunggangan dan perahan susu dari hewan yang digadaikan. Hukum ini adalah hukum yang telah diizinkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak perlu lagi izin dari pemilik hewan tersebut, bahkan tidak perlu juga ada kesepakatan antara murtahin (pemberi utang) dengan rahin (pengutang) atas hal itu. [4] Artinya, murtahin boleh memanfaatkan hewan yang digadaikan tanpa sepengetahuan dan tanpa ada kesepakatan dengan rahin. Karena hal ini telah diizinkan oleh syariat. Namun, ada baiknya jika murtahin mengabarkan akan penggunaan manfaat dari hewan tersebut kepada rahin. Jika tidak digunakan, maka termasuk mubazir atau menyia-nyiakan harta. Terlebih jika hewan yang bisa diperah susunya. Keenam: Tatkala pemerahan susu sudah sesuai dengan pemberian upah kepada hewan yang digadaikan, kemudian susu keluar dalam kadar lebih dari upah yang diberikan, maka boleh bagi murtahin untuk menjual susu tersebut. Mengingat kedudukan murtahin sama dengan pemilik hewan itu. Ketujuh: Jika susu yang dikeluarkan tidak sesuai atau lebih sedikit dari pada pemberian upah kepada hewan itu, maka murtahin boleh meminta kembali upah kepada rahin atas lebihnya pemberian upah. Namun, jika murtahin berniat untuk memberikannya, maka tidak masalah. Kedelapan: Jika hewan yang digadaikan tidak bisa ditunggangi dan diperah susunya, maka boleh untuk dimanfaatkan dengan tetap diberikan upah kepadanya. [5] Kesimpulan Demikianlah secara singkat penjelasan tentang gadai hewan. Yang kesimpulannya adalah diperbolehkan dalam agama Islam dengan mengikuti aturan-aturan yang telah dijelaskan oleh para ulama. Yaitu, jika digunakan manfaatnya, maka harus diberikan upah sesuai manfaatnya. Semoga bermanfaat, Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 4: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (2) Lanjut ke bagian 6: Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4) *** Depok, 09 Muharram 1446 / 15 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Syekh Abdullah bin Alu Bassam rahimahullah, Cet. An-Nahdhah Al-Haditsah Al-Muktashar fil Mu’amalat, karya Prof.Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Cet. Maktabah Ar-Rusyd   Catatan kaki: [1] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 78. [2] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [3] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77. [4] Lihat Al-Mabsuth, 21: 104. [5] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 112. Tags: gadai

Banyak Tertawa Mematikan Hati

الإكثار من الضحك يؤدي إلى موت القلب السؤال ما حكم الدين في الضحك باستمرار مع عدم السيطرة عليه في معظم الأحيان؟ وما هو العلاج؟ جزاكم الله خيرا. Pertanyaan:  Apa hukum dalam Agama tentang sering tertawa terbahak-bahak secara terus menerus? Dan apa obatnya? Jazakumullahu khairan. الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم من كثرة الضحك بقوله صلى الله عليه وسلم: إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. رواه أحمد وغيره، وصححه الألباني. والضحك المذموم الإكثار منه ما كان مصحوبًا بصوت ويسمى القهقهة، وذلك لما يترتب عليه من آثار سيئة، كموت القلب وذهاب الهيبة وضياع الوقت. قال الإمام الماوردي في كتابه “أدب الدنيا والدين”: وأما الضحك فإن اعتياده شاغل عن النظر في الأمور المهمة، مذهل عن الفكر في النوائب الملمَّة وليس لمن أكثر منه هيبة ولا وقار، ولا لمن وصم به خطر ولا مقدار، روى أبو إدريس الخولاني عن أبي ذر الغفاري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. ورُوي عن ابن عباس في قوله تعالى: مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49]. إن الصغيرة الضحك. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: من كثر ضحكه قلت هيبته. وقال علي بن أبي طالب كرم الله وجهه: إذا ضحك العالم ضحكة مجَّ من العلم مجة. انتهى. وللمزيد من التفصيل في هذا الموضوع، تراجع الفتوى رقم: 30423. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan terhadap tertawa berlebihan, melalui sabda beliau: إِيَّاكَ وَكَثْرَةُ الضَّحِكِ، فَإِنَّهُ يُمِيْتُ الْقَلْبَ وَيَذْهَبُ بِنُورِ الْوَجْهِ “Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya; dan disahihkan oleh al-Albani). Tertawa yang tercela dan berlebihan adalah yang disertai dengan suara, atau yang disebut juga dengan terbahak-bahak. Hal ini karena dapat mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk, seperti matinya hati, hilangnya kewibawaan, dan waktu yang terbuang sia-sia. Imam al-Mawardi berkata dalam kitabnya Adab ad-Dunya wa ad-Din:  “Adapun tertawa, terbiasa melakukannya dapat menyibukkan diri dari memikirkan perkara-perkara penting, melalaikan pikiran dari musibah-musibah, dan orang yang terlalu banyak melakukannya tidak memiliki kewibawaan dan kesantunan, serta orang yang menjatuhkan harga dirinya dengan hal itu tidak lagi mempunyai kehormatan dan martabat.  Abu Idris al-Khaulani meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.’  Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna firman Allah Ta’ala,  مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49] ‘Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak meninggalkan yang kecil dan yang besar, kecuali mencatatnya.’ (QS. Al-Kahfi: 49).  Bahwa yang dimaksud dengan yang kecil adalah tertawa.  Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Barang siapa yang banyak tertawa, maka akan sedikit wibawanya.’  Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Apabila orang yang berilmu tertawa satu kali, maka dia telah memuntahkan satu ilmunya.’” Untuk pembahasan yang lebih terperinci dalam tema ini, dapat merujuk fatwa no. 30423 (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/30423/الضحك-مباح-في-الأصل) وعليه، فعليك بمجاهدة النفس للتخلي عن هذا الأمر حسب استطاعتك، وما كان منه خارجا عن إرادتك، فأنت مغلوب ولا إثم عليك إن شاء الله تعالى. قال تعالى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن: 16]، وقال تعالى: لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة: 286]. ومما يعين على تركه ما يلي: 1- التأمل في ثماره ونتائجه السيئة، فأي ضرر أشد على الإنسان من موت قلبه الذي هو المضغة التي إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله. 2- البعد عن كل ما يكون سببا في إثارته كمجالسة البطالين الذين لا هم لهم إلا إضاعة الأوقات في الهذر والهزل. والله أعلم. Dengan demikian, hendaklah kamu berusaha untuk meninggalkan perkara ini sekuat tenaga; sedangkan tertawa yang terlepas dari kehendakmu, maka itu di luar kuasamu, sehingga kamu tidak berdosa atas itu, InsyaAllah.  Allah Ta’ala berfirman: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16). لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya …” (QS. Al-Baqarah: 286) Di antara perkara yang dapat membantu untuk meninggalkan tertawa berlebihan adalah sebagai berikut: Mencermati hasil dan akibatnya yang buruk. Adakah mudarat yang lebih besar bagi manusia daripada kematian hatinya yang merupakan segumpal daging yang jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia buruk, maka buruk pula seluruh jasadnya?! Menjauhi segala hal yang dapat mengundang tawa, seperti duduk dengan para pengangguran yang tidak memiliki kepentingan kecuali menghabiskan waktu dalam senda gurau. Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/41154/الإكثار-من-الضحك-يؤدي-إلى-موت-القلب PDF Sumber Artikel. 🔍 Ilmu Hikmah Karomah, Shalat Sunnah Malam Pertama, Kumpulan Doa Mimpi Basah, Cara Qodho Sholat Maghrib, Bacaan Shalat Maghrib Visited 1,210 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,003 QRIS donasi Yufid

Banyak Tertawa Mematikan Hati

الإكثار من الضحك يؤدي إلى موت القلب السؤال ما حكم الدين في الضحك باستمرار مع عدم السيطرة عليه في معظم الأحيان؟ وما هو العلاج؟ جزاكم الله خيرا. Pertanyaan:  Apa hukum dalam Agama tentang sering tertawa terbahak-bahak secara terus menerus? Dan apa obatnya? Jazakumullahu khairan. الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم من كثرة الضحك بقوله صلى الله عليه وسلم: إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. رواه أحمد وغيره، وصححه الألباني. والضحك المذموم الإكثار منه ما كان مصحوبًا بصوت ويسمى القهقهة، وذلك لما يترتب عليه من آثار سيئة، كموت القلب وذهاب الهيبة وضياع الوقت. قال الإمام الماوردي في كتابه “أدب الدنيا والدين”: وأما الضحك فإن اعتياده شاغل عن النظر في الأمور المهمة، مذهل عن الفكر في النوائب الملمَّة وليس لمن أكثر منه هيبة ولا وقار، ولا لمن وصم به خطر ولا مقدار، روى أبو إدريس الخولاني عن أبي ذر الغفاري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. ورُوي عن ابن عباس في قوله تعالى: مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49]. إن الصغيرة الضحك. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: من كثر ضحكه قلت هيبته. وقال علي بن أبي طالب كرم الله وجهه: إذا ضحك العالم ضحكة مجَّ من العلم مجة. انتهى. وللمزيد من التفصيل في هذا الموضوع، تراجع الفتوى رقم: 30423. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan terhadap tertawa berlebihan, melalui sabda beliau: إِيَّاكَ وَكَثْرَةُ الضَّحِكِ، فَإِنَّهُ يُمِيْتُ الْقَلْبَ وَيَذْهَبُ بِنُورِ الْوَجْهِ “Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya; dan disahihkan oleh al-Albani). Tertawa yang tercela dan berlebihan adalah yang disertai dengan suara, atau yang disebut juga dengan terbahak-bahak. Hal ini karena dapat mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk, seperti matinya hati, hilangnya kewibawaan, dan waktu yang terbuang sia-sia. Imam al-Mawardi berkata dalam kitabnya Adab ad-Dunya wa ad-Din:  “Adapun tertawa, terbiasa melakukannya dapat menyibukkan diri dari memikirkan perkara-perkara penting, melalaikan pikiran dari musibah-musibah, dan orang yang terlalu banyak melakukannya tidak memiliki kewibawaan dan kesantunan, serta orang yang menjatuhkan harga dirinya dengan hal itu tidak lagi mempunyai kehormatan dan martabat.  Abu Idris al-Khaulani meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.’  Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna firman Allah Ta’ala,  مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49] ‘Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak meninggalkan yang kecil dan yang besar, kecuali mencatatnya.’ (QS. Al-Kahfi: 49).  Bahwa yang dimaksud dengan yang kecil adalah tertawa.  Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Barang siapa yang banyak tertawa, maka akan sedikit wibawanya.’  Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Apabila orang yang berilmu tertawa satu kali, maka dia telah memuntahkan satu ilmunya.’” Untuk pembahasan yang lebih terperinci dalam tema ini, dapat merujuk fatwa no. 30423 (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/30423/الضحك-مباح-في-الأصل) وعليه، فعليك بمجاهدة النفس للتخلي عن هذا الأمر حسب استطاعتك، وما كان منه خارجا عن إرادتك، فأنت مغلوب ولا إثم عليك إن شاء الله تعالى. قال تعالى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن: 16]، وقال تعالى: لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة: 286]. ومما يعين على تركه ما يلي: 1- التأمل في ثماره ونتائجه السيئة، فأي ضرر أشد على الإنسان من موت قلبه الذي هو المضغة التي إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله. 2- البعد عن كل ما يكون سببا في إثارته كمجالسة البطالين الذين لا هم لهم إلا إضاعة الأوقات في الهذر والهزل. والله أعلم. Dengan demikian, hendaklah kamu berusaha untuk meninggalkan perkara ini sekuat tenaga; sedangkan tertawa yang terlepas dari kehendakmu, maka itu di luar kuasamu, sehingga kamu tidak berdosa atas itu, InsyaAllah.  Allah Ta’ala berfirman: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16). لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya …” (QS. Al-Baqarah: 286) Di antara perkara yang dapat membantu untuk meninggalkan tertawa berlebihan adalah sebagai berikut: Mencermati hasil dan akibatnya yang buruk. Adakah mudarat yang lebih besar bagi manusia daripada kematian hatinya yang merupakan segumpal daging yang jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia buruk, maka buruk pula seluruh jasadnya?! Menjauhi segala hal yang dapat mengundang tawa, seperti duduk dengan para pengangguran yang tidak memiliki kepentingan kecuali menghabiskan waktu dalam senda gurau. Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/41154/الإكثار-من-الضحك-يؤدي-إلى-موت-القلب PDF Sumber Artikel. 🔍 Ilmu Hikmah Karomah, Shalat Sunnah Malam Pertama, Kumpulan Doa Mimpi Basah, Cara Qodho Sholat Maghrib, Bacaan Shalat Maghrib Visited 1,210 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,003 QRIS donasi Yufid
الإكثار من الضحك يؤدي إلى موت القلب السؤال ما حكم الدين في الضحك باستمرار مع عدم السيطرة عليه في معظم الأحيان؟ وما هو العلاج؟ جزاكم الله خيرا. Pertanyaan:  Apa hukum dalam Agama tentang sering tertawa terbahak-bahak secara terus menerus? Dan apa obatnya? Jazakumullahu khairan. الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم من كثرة الضحك بقوله صلى الله عليه وسلم: إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. رواه أحمد وغيره، وصححه الألباني. والضحك المذموم الإكثار منه ما كان مصحوبًا بصوت ويسمى القهقهة، وذلك لما يترتب عليه من آثار سيئة، كموت القلب وذهاب الهيبة وضياع الوقت. قال الإمام الماوردي في كتابه “أدب الدنيا والدين”: وأما الضحك فإن اعتياده شاغل عن النظر في الأمور المهمة، مذهل عن الفكر في النوائب الملمَّة وليس لمن أكثر منه هيبة ولا وقار، ولا لمن وصم به خطر ولا مقدار، روى أبو إدريس الخولاني عن أبي ذر الغفاري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. ورُوي عن ابن عباس في قوله تعالى: مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49]. إن الصغيرة الضحك. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: من كثر ضحكه قلت هيبته. وقال علي بن أبي طالب كرم الله وجهه: إذا ضحك العالم ضحكة مجَّ من العلم مجة. انتهى. وللمزيد من التفصيل في هذا الموضوع، تراجع الفتوى رقم: 30423. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan terhadap tertawa berlebihan, melalui sabda beliau: إِيَّاكَ وَكَثْرَةُ الضَّحِكِ، فَإِنَّهُ يُمِيْتُ الْقَلْبَ وَيَذْهَبُ بِنُورِ الْوَجْهِ “Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya; dan disahihkan oleh al-Albani). Tertawa yang tercela dan berlebihan adalah yang disertai dengan suara, atau yang disebut juga dengan terbahak-bahak. Hal ini karena dapat mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk, seperti matinya hati, hilangnya kewibawaan, dan waktu yang terbuang sia-sia. Imam al-Mawardi berkata dalam kitabnya Adab ad-Dunya wa ad-Din:  “Adapun tertawa, terbiasa melakukannya dapat menyibukkan diri dari memikirkan perkara-perkara penting, melalaikan pikiran dari musibah-musibah, dan orang yang terlalu banyak melakukannya tidak memiliki kewibawaan dan kesantunan, serta orang yang menjatuhkan harga dirinya dengan hal itu tidak lagi mempunyai kehormatan dan martabat.  Abu Idris al-Khaulani meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.’  Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna firman Allah Ta’ala,  مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49] ‘Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak meninggalkan yang kecil dan yang besar, kecuali mencatatnya.’ (QS. Al-Kahfi: 49).  Bahwa yang dimaksud dengan yang kecil adalah tertawa.  Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Barang siapa yang banyak tertawa, maka akan sedikit wibawanya.’  Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Apabila orang yang berilmu tertawa satu kali, maka dia telah memuntahkan satu ilmunya.’” Untuk pembahasan yang lebih terperinci dalam tema ini, dapat merujuk fatwa no. 30423 (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/30423/الضحك-مباح-في-الأصل) وعليه، فعليك بمجاهدة النفس للتخلي عن هذا الأمر حسب استطاعتك، وما كان منه خارجا عن إرادتك، فأنت مغلوب ولا إثم عليك إن شاء الله تعالى. قال تعالى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن: 16]، وقال تعالى: لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة: 286]. ومما يعين على تركه ما يلي: 1- التأمل في ثماره ونتائجه السيئة، فأي ضرر أشد على الإنسان من موت قلبه الذي هو المضغة التي إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله. 2- البعد عن كل ما يكون سببا في إثارته كمجالسة البطالين الذين لا هم لهم إلا إضاعة الأوقات في الهذر والهزل. والله أعلم. Dengan demikian, hendaklah kamu berusaha untuk meninggalkan perkara ini sekuat tenaga; sedangkan tertawa yang terlepas dari kehendakmu, maka itu di luar kuasamu, sehingga kamu tidak berdosa atas itu, InsyaAllah.  Allah Ta’ala berfirman: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16). لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya …” (QS. Al-Baqarah: 286) Di antara perkara yang dapat membantu untuk meninggalkan tertawa berlebihan adalah sebagai berikut: Mencermati hasil dan akibatnya yang buruk. Adakah mudarat yang lebih besar bagi manusia daripada kematian hatinya yang merupakan segumpal daging yang jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia buruk, maka buruk pula seluruh jasadnya?! Menjauhi segala hal yang dapat mengundang tawa, seperti duduk dengan para pengangguran yang tidak memiliki kepentingan kecuali menghabiskan waktu dalam senda gurau. Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/41154/الإكثار-من-الضحك-يؤدي-إلى-موت-القلب PDF Sumber Artikel. 🔍 Ilmu Hikmah Karomah, Shalat Sunnah Malam Pertama, Kumpulan Doa Mimpi Basah, Cara Qodho Sholat Maghrib, Bacaan Shalat Maghrib Visited 1,210 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,003 QRIS donasi Yufid


الإكثار من الضحك يؤدي إلى موت القلب السؤال ما حكم الدين في الضحك باستمرار مع عدم السيطرة عليه في معظم الأحيان؟ وما هو العلاج؟ جزاكم الله خيرا. Pertanyaan:  Apa hukum dalam Agama tentang sering tertawa terbahak-bahak secara terus menerus? Dan apa obatnya? Jazakumullahu khairan. الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم من كثرة الضحك بقوله صلى الله عليه وسلم: إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. رواه أحمد وغيره، وصححه الألباني. والضحك المذموم الإكثار منه ما كان مصحوبًا بصوت ويسمى القهقهة، وذلك لما يترتب عليه من آثار سيئة، كموت القلب وذهاب الهيبة وضياع الوقت. قال الإمام الماوردي في كتابه “أدب الدنيا والدين”: وأما الضحك فإن اعتياده شاغل عن النظر في الأمور المهمة، مذهل عن الفكر في النوائب الملمَّة وليس لمن أكثر منه هيبة ولا وقار، ولا لمن وصم به خطر ولا مقدار، روى أبو إدريس الخولاني عن أبي ذر الغفاري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إياك وكثرة الضحك، فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه. ورُوي عن ابن عباس في قوله تعالى: مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49]. إن الصغيرة الضحك. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: من كثر ضحكه قلت هيبته. وقال علي بن أبي طالب كرم الله وجهه: إذا ضحك العالم ضحكة مجَّ من العلم مجة. انتهى. وللمزيد من التفصيل في هذا الموضوع، تراجع الفتوى رقم: 30423. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan terhadap tertawa berlebihan, melalui sabda beliau: إِيَّاكَ وَكَثْرَةُ الضَّحِكِ، فَإِنَّهُ يُمِيْتُ الْقَلْبَ وَيَذْهَبُ بِنُورِ الْوَجْهِ “Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya; dan disahihkan oleh al-Albani). Tertawa yang tercela dan berlebihan adalah yang disertai dengan suara, atau yang disebut juga dengan terbahak-bahak. Hal ini karena dapat mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk, seperti matinya hati, hilangnya kewibawaan, dan waktu yang terbuang sia-sia. Imam al-Mawardi berkata dalam kitabnya Adab ad-Dunya wa ad-Din:  “Adapun tertawa, terbiasa melakukannya dapat menyibukkan diri dari memikirkan perkara-perkara penting, melalaikan pikiran dari musibah-musibah, dan orang yang terlalu banyak melakukannya tidak memiliki kewibawaan dan kesantunan, serta orang yang menjatuhkan harga dirinya dengan hal itu tidak lagi mempunyai kehormatan dan martabat.  Abu Idris al-Khaulani meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kamu banyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.’  Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna firman Allah Ta’ala,  مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا [الكهف: 49] ‘Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak meninggalkan yang kecil dan yang besar, kecuali mencatatnya.’ (QS. Al-Kahfi: 49).  Bahwa yang dimaksud dengan yang kecil adalah tertawa.  Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Barang siapa yang banyak tertawa, maka akan sedikit wibawanya.’  Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Apabila orang yang berilmu tertawa satu kali, maka dia telah memuntahkan satu ilmunya.’” Untuk pembahasan yang lebih terperinci dalam tema ini, dapat merujuk fatwa no. 30423 (https://www.islamweb.net/ar/fatwa/30423/الضحك-مباح-في-الأصل) وعليه، فعليك بمجاهدة النفس للتخلي عن هذا الأمر حسب استطاعتك، وما كان منه خارجا عن إرادتك، فأنت مغلوب ولا إثم عليك إن شاء الله تعالى. قال تعالى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن: 16]، وقال تعالى: لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة: 286]. ومما يعين على تركه ما يلي: 1- التأمل في ثماره ونتائجه السيئة، فأي ضرر أشد على الإنسان من موت قلبه الذي هو المضغة التي إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله. 2- البعد عن كل ما يكون سببا في إثارته كمجالسة البطالين الذين لا هم لهم إلا إضاعة الأوقات في الهذر والهزل. والله أعلم. Dengan demikian, hendaklah kamu berusaha untuk meninggalkan perkara ini sekuat tenaga; sedangkan tertawa yang terlepas dari kehendakmu, maka itu di luar kuasamu, sehingga kamu tidak berdosa atas itu, InsyaAllah.  Allah Ta’ala berfirman: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16). لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya …” (QS. Al-Baqarah: 286) Di antara perkara yang dapat membantu untuk meninggalkan tertawa berlebihan adalah sebagai berikut: Mencermati hasil dan akibatnya yang buruk. Adakah mudarat yang lebih besar bagi manusia daripada kematian hatinya yang merupakan segumpal daging yang jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia buruk, maka buruk pula seluruh jasadnya?! Menjauhi segala hal yang dapat mengundang tawa, seperti duduk dengan para pengangguran yang tidak memiliki kepentingan kecuali menghabiskan waktu dalam senda gurau. Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/41154/الإكثار-من-الضحك-يؤدي-إلى-موت-القلب PDF Sumber Artikel. 🔍 Ilmu Hikmah Karomah, Shalat Sunnah Malam Pertama, Kumpulan Doa Mimpi Basah, Cara Qodho Sholat Maghrib, Bacaan Shalat Maghrib Visited 1,210 times, 3 visit(s) today Post Views: 1,003 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Umur Berapa Anak Perempuan Diperintah Berhijab? – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Kapan kami harus menyuruh anak perempuan kami untuk memakai hijab? Wajib memerintahkan mereka memakai hijab jika mereka sudah mencapai usia balig. Jika anak perempuan mencapai usia 15 tahun atau telah mimpi basah, yakni mengeluarkan air mani pada saat tidur atau saat terjaga, atau juga telah tumbuh bulu kasar di sekitar kemaluan. Namun, hendaknya anak perempuan sudah dilatih memakai hijab sebelum itu. Yaitu ketika sudah mulai mencapai usia 9 tahun, karena pada usia itu anak perempuan sudah mulai menarik syahwat. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila anak perempuan sudah berusia 9 tahun, maka dia adalah wanita.” Sehingga hendaklah dia sudah mulai dilatih dan dianjurkan untuk memakai hijab, tapi tanpa pemaksaan. Agar ketika sudah balig, dia sudah terbiasa dan terlatih memakai hijab. Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Allah tidak menerima salatnya wanita dewasa, kecuali dengan memakai penutup kepala.” Jadi penutup kepala harus dia pakai saat salat apabila dia sudah balig. Adapun berkaitan dengan lawan jenis, maka apabila anak perempuan sudah menutup aurat sebelum balig, terbiasa memakainya, dan sudah disuruh untuk itu, maka ini lebih baik dan utama, untuk menghindarkan anak perempuan itu dari bahaya. Lalu saat anak perempuan sudah mulai balig, maka wajib memakai hijab dan wajib diperintahkan untuk memakainya. Allahul Musta’an. ==== مَتَى نَأْمُرُ بَنَاتَنَا بِالْحِجَابِ؟ يَجِبُ أَمْرُهُنَّ بِالْحِجَابِ إِذَا بَلَغْنَ الْحُلُمَ إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ خَمْسَةَ عَشَرَ سَنَةً أَوْ احْتَلَمَتْ يَعْنِي أَنْزَلَتْ فِي النَّوْمِ أَوْ فِي غَيْرِ النَّوْمِ الْمَنِيَّ أَوْ أَنْبَتَتْ الشَّعْرُ الْخَشِنُ حَوْلَ الْقُبُلِ وَهِيَ الشِّعْرَةُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يُدَرَّبْنَ عَلَى هَذَا قَبْلَ ذَلِكَ إِذَا بَدَأَ بُلُوغُ التِّسْعِ السِّنِينَ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ تُشْتَهَى قَدْ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا بَلَغَتِ الجَارِيَةُ تِسْعًا فَهِيَ امْرَأَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُدَرَّبَ عَلَى الْحِجَابِ وَتُوْصَى بِالْحِجَابِ لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَشْدِيْدٍ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ فَإِذَا هِيَ قَدْ اعْتَادَتِ الْحِجَابَ وَتَمَرَّنَتْ عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ فَالْخِمَارُ يَلْزَمُهَا فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ بُلُوغِهَا الْحُلُمِ أَمَّا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالرِّجَالِ فَإِنَّ كَوْنَهَا تَسْتَتِرُ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَتَعْتَادُ هَذَا وَتُؤْمَرُ بِهَذَا هَذَا أَوْلَى وَأَفْضَلُ إِبْعَادًا لَهَا عَنِ الْخَطَرِ فَإِذَا بَلَغَتْ الْحُلُمَ وَجَبَ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَوَجَبَ إِلْزَامُهَا بِذَلِكَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Umur Berapa Anak Perempuan Diperintah Berhijab? – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Kapan kami harus menyuruh anak perempuan kami untuk memakai hijab? Wajib memerintahkan mereka memakai hijab jika mereka sudah mencapai usia balig. Jika anak perempuan mencapai usia 15 tahun atau telah mimpi basah, yakni mengeluarkan air mani pada saat tidur atau saat terjaga, atau juga telah tumbuh bulu kasar di sekitar kemaluan. Namun, hendaknya anak perempuan sudah dilatih memakai hijab sebelum itu. Yaitu ketika sudah mulai mencapai usia 9 tahun, karena pada usia itu anak perempuan sudah mulai menarik syahwat. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila anak perempuan sudah berusia 9 tahun, maka dia adalah wanita.” Sehingga hendaklah dia sudah mulai dilatih dan dianjurkan untuk memakai hijab, tapi tanpa pemaksaan. Agar ketika sudah balig, dia sudah terbiasa dan terlatih memakai hijab. Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Allah tidak menerima salatnya wanita dewasa, kecuali dengan memakai penutup kepala.” Jadi penutup kepala harus dia pakai saat salat apabila dia sudah balig. Adapun berkaitan dengan lawan jenis, maka apabila anak perempuan sudah menutup aurat sebelum balig, terbiasa memakainya, dan sudah disuruh untuk itu, maka ini lebih baik dan utama, untuk menghindarkan anak perempuan itu dari bahaya. Lalu saat anak perempuan sudah mulai balig, maka wajib memakai hijab dan wajib diperintahkan untuk memakainya. Allahul Musta’an. ==== مَتَى نَأْمُرُ بَنَاتَنَا بِالْحِجَابِ؟ يَجِبُ أَمْرُهُنَّ بِالْحِجَابِ إِذَا بَلَغْنَ الْحُلُمَ إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ خَمْسَةَ عَشَرَ سَنَةً أَوْ احْتَلَمَتْ يَعْنِي أَنْزَلَتْ فِي النَّوْمِ أَوْ فِي غَيْرِ النَّوْمِ الْمَنِيَّ أَوْ أَنْبَتَتْ الشَّعْرُ الْخَشِنُ حَوْلَ الْقُبُلِ وَهِيَ الشِّعْرَةُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يُدَرَّبْنَ عَلَى هَذَا قَبْلَ ذَلِكَ إِذَا بَدَأَ بُلُوغُ التِّسْعِ السِّنِينَ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ تُشْتَهَى قَدْ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا بَلَغَتِ الجَارِيَةُ تِسْعًا فَهِيَ امْرَأَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُدَرَّبَ عَلَى الْحِجَابِ وَتُوْصَى بِالْحِجَابِ لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَشْدِيْدٍ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ فَإِذَا هِيَ قَدْ اعْتَادَتِ الْحِجَابَ وَتَمَرَّنَتْ عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ فَالْخِمَارُ يَلْزَمُهَا فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ بُلُوغِهَا الْحُلُمِ أَمَّا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالرِّجَالِ فَإِنَّ كَوْنَهَا تَسْتَتِرُ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَتَعْتَادُ هَذَا وَتُؤْمَرُ بِهَذَا هَذَا أَوْلَى وَأَفْضَلُ إِبْعَادًا لَهَا عَنِ الْخَطَرِ فَإِذَا بَلَغَتْ الْحُلُمَ وَجَبَ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَوَجَبَ إِلْزَامُهَا بِذَلِكَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
Kapan kami harus menyuruh anak perempuan kami untuk memakai hijab? Wajib memerintahkan mereka memakai hijab jika mereka sudah mencapai usia balig. Jika anak perempuan mencapai usia 15 tahun atau telah mimpi basah, yakni mengeluarkan air mani pada saat tidur atau saat terjaga, atau juga telah tumbuh bulu kasar di sekitar kemaluan. Namun, hendaknya anak perempuan sudah dilatih memakai hijab sebelum itu. Yaitu ketika sudah mulai mencapai usia 9 tahun, karena pada usia itu anak perempuan sudah mulai menarik syahwat. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila anak perempuan sudah berusia 9 tahun, maka dia adalah wanita.” Sehingga hendaklah dia sudah mulai dilatih dan dianjurkan untuk memakai hijab, tapi tanpa pemaksaan. Agar ketika sudah balig, dia sudah terbiasa dan terlatih memakai hijab. Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Allah tidak menerima salatnya wanita dewasa, kecuali dengan memakai penutup kepala.” Jadi penutup kepala harus dia pakai saat salat apabila dia sudah balig. Adapun berkaitan dengan lawan jenis, maka apabila anak perempuan sudah menutup aurat sebelum balig, terbiasa memakainya, dan sudah disuruh untuk itu, maka ini lebih baik dan utama, untuk menghindarkan anak perempuan itu dari bahaya. Lalu saat anak perempuan sudah mulai balig, maka wajib memakai hijab dan wajib diperintahkan untuk memakainya. Allahul Musta’an. ==== مَتَى نَأْمُرُ بَنَاتَنَا بِالْحِجَابِ؟ يَجِبُ أَمْرُهُنَّ بِالْحِجَابِ إِذَا بَلَغْنَ الْحُلُمَ إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ خَمْسَةَ عَشَرَ سَنَةً أَوْ احْتَلَمَتْ يَعْنِي أَنْزَلَتْ فِي النَّوْمِ أَوْ فِي غَيْرِ النَّوْمِ الْمَنِيَّ أَوْ أَنْبَتَتْ الشَّعْرُ الْخَشِنُ حَوْلَ الْقُبُلِ وَهِيَ الشِّعْرَةُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يُدَرَّبْنَ عَلَى هَذَا قَبْلَ ذَلِكَ إِذَا بَدَأَ بُلُوغُ التِّسْعِ السِّنِينَ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ تُشْتَهَى قَدْ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا بَلَغَتِ الجَارِيَةُ تِسْعًا فَهِيَ امْرَأَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُدَرَّبَ عَلَى الْحِجَابِ وَتُوْصَى بِالْحِجَابِ لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَشْدِيْدٍ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ فَإِذَا هِيَ قَدْ اعْتَادَتِ الْحِجَابَ وَتَمَرَّنَتْ عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ فَالْخِمَارُ يَلْزَمُهَا فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ بُلُوغِهَا الْحُلُمِ أَمَّا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالرِّجَالِ فَإِنَّ كَوْنَهَا تَسْتَتِرُ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَتَعْتَادُ هَذَا وَتُؤْمَرُ بِهَذَا هَذَا أَوْلَى وَأَفْضَلُ إِبْعَادًا لَهَا عَنِ الْخَطَرِ فَإِذَا بَلَغَتْ الْحُلُمَ وَجَبَ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَوَجَبَ إِلْزَامُهَا بِذَلِكَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ


Kapan kami harus menyuruh anak perempuan kami untuk memakai hijab? Wajib memerintahkan mereka memakai hijab jika mereka sudah mencapai usia balig. Jika anak perempuan mencapai usia 15 tahun atau telah mimpi basah, yakni mengeluarkan air mani pada saat tidur atau saat terjaga, atau juga telah tumbuh bulu kasar di sekitar kemaluan. Namun, hendaknya anak perempuan sudah dilatih memakai hijab sebelum itu. Yaitu ketika sudah mulai mencapai usia 9 tahun, karena pada usia itu anak perempuan sudah mulai menarik syahwat. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila anak perempuan sudah berusia 9 tahun, maka dia adalah wanita.” Sehingga hendaklah dia sudah mulai dilatih dan dianjurkan untuk memakai hijab, tapi tanpa pemaksaan. Agar ketika sudah balig, dia sudah terbiasa dan terlatih memakai hijab. Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Allah tidak menerima salatnya wanita dewasa, kecuali dengan memakai penutup kepala.” Jadi penutup kepala harus dia pakai saat salat apabila dia sudah balig. Adapun berkaitan dengan lawan jenis, maka apabila anak perempuan sudah menutup aurat sebelum balig, terbiasa memakainya, dan sudah disuruh untuk itu, maka ini lebih baik dan utama, untuk menghindarkan anak perempuan itu dari bahaya. Lalu saat anak perempuan sudah mulai balig, maka wajib memakai hijab dan wajib diperintahkan untuk memakainya. Allahul Musta’an. ==== مَتَى نَأْمُرُ بَنَاتَنَا بِالْحِجَابِ؟ يَجِبُ أَمْرُهُنَّ بِالْحِجَابِ إِذَا بَلَغْنَ الْحُلُمَ إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ خَمْسَةَ عَشَرَ سَنَةً أَوْ احْتَلَمَتْ يَعْنِي أَنْزَلَتْ فِي النَّوْمِ أَوْ فِي غَيْرِ النَّوْمِ الْمَنِيَّ أَوْ أَنْبَتَتْ الشَّعْرُ الْخَشِنُ حَوْلَ الْقُبُلِ وَهِيَ الشِّعْرَةُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يُدَرَّبْنَ عَلَى هَذَا قَبْلَ ذَلِكَ إِذَا بَدَأَ بُلُوغُ التِّسْعِ السِّنِينَ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ تُشْتَهَى قَدْ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا بَلَغَتِ الجَارِيَةُ تِسْعًا فَهِيَ امْرَأَةٌ فَيَنْبَغِي أَنْ تُدَرَّبَ عَلَى الْحِجَابِ وَتُوْصَى بِالْحِجَابِ لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَشْدِيْدٍ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ فَإِذَا هِيَ قَدْ اعْتَادَتِ الْحِجَابَ وَتَمَرَّنَتْ عَلَيْهِ وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ فَالْخِمَارُ يَلْزَمُهَا فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ بُلُوغِهَا الْحُلُمِ أَمَّا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالرِّجَالِ فَإِنَّ كَوْنَهَا تَسْتَتِرُ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَتَعْتَادُ هَذَا وَتُؤْمَرُ بِهَذَا هَذَا أَوْلَى وَأَفْضَلُ إِبْعَادًا لَهَا عَنِ الْخَطَرِ فَإِذَا بَلَغَتْ الْحُلُمَ وَجَبَ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَوَجَبَ إِلْزَامُهَا بِذَلِكَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Doa Saat Terbangun di Malam Hari

Daftar Isi Toggle Pentingnya doa saat terbangun malam hariDalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hariHadis riwayat ‘Ubadah bin ShamitHadis riwayat Abu HurairahSurah Al-Hajj ayat 24Mengapa harus mengamalkan doa ini? Saat kebanyakan manusia terlelap dalam mimpi, ada sekelompok hamba pilihan yang terjaga, meraih momen mustajab untuk bermunajat kepada Sang Pencipta. Inilah waktu yang diabaikan oleh banyak orang, namun sangat diutamakan dalam ajaran agama mulia yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ini. Doa di malam hari, khususnya saat terbangun tiba-tiba, merupakan sebuah anugerah luar biasa dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa doa di waktu ini tidak hanya diijabah, tetapi juga membawa keberkahan yang tak terhingga. Siapa yang tidak ingin doa dan ampunannya diterima oleh Allah? Mari kita renungi dan amalkan dengan penuh kesungguhan, karena inilah bagian penting dari jalan menuju rida Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan diamalkan oleh para salaf saleh. Pentingnya doa saat terbangun malam hari Bangun di tengah malam, saat keheningan menyelimuti bumi dan kebanyakan manusia terlelap dalam tidur nyenyak, adalah momen yang sangat istimewa. Saat-saat yang penuh dengan keberkahan, ketika Allah Ta’ala membuka pintu rahmat dan ampunan-Nya selebar-lebarnya bagi hamba-hamba yang terjaga dan bermunajat kepada-Nya. Mengapa kita harus melewatkan kesempatan emas ini? Inilah saat terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghidupkan sunah Rasulullah, dan meraih keridaan-Nya. Bayangkan, betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada kita yang memanfaatkan waktu ini untuk berdoa. Ketika kita membaca doa ini dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti sunah), kita mengakui kelemahan kita dan kebesaran Allah Ta’ala sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Jadi, janganlah kita melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Bangunlah, berdoalah, dan rasakan kedekatan dengan Allah yang tidak bisa didapatkan di waktu lain. Manfaatkanlah setiap waktu terbangun di malam hari untuk kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan meraih rida-Nya. Jadikan doa malam sebagai rutinitas yang tak tergantikan dalam hidup kita, sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hari Keutamaan doa di malam hari didukung oleh berbagai dalil sahih yang menjelaskan betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupan seorang muslim. Berikut adalah beberapa dalil yang menegaskan keutamaan doa ini: Hadis riwayat ‘Ubadah bin Shamit Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَن تَعارَّ من الليل فقال: لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ، ثم قال: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي – أو دعا – استُجِيبَ له، فإنْ توضأ وصلى قُبِلتْ صلاتُه “Barangsiapa yang terjaga di malam hari, kemudian dia membaca (zikir tersebut di atas), لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ ‘LAILAHAILLALLAH WAHDAHU LASYARIKALAHU. LAHUL MULKU WALAHULHAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QADIR. ALHAMDULILLAH WASUBHANALLAH WALAILAHA ILLALLAHU WALLAHU AKBAR WALAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ ‘Segala puji bagi Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah. Mahasuci Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah. Allah Mahabesar. Serta, tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan (pertolongan) Allah.’ Kemudian dia mengucapkan, اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي ‘ALLAHUMMAGH FIRLI’ ‘Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa)ku.’ Atau dia berdoa (dengan doa yang lain), maka akan dikabulkan doanya. Jika dia berwudu dan melaksanakan salat, maka akan diterima salatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang terbangun di malam hari dan mengucapkan doa tersebut, kemudian memohon ampun atau berdoa, doanya akan dikabulkan oleh Allah. Ini menunjukkan betapa besar rahmat Allah bagi hamba-Nya yang mengingat-Nya di waktu malam. Hadis riwayat Abu Hurairah Di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ “Rabb kami Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doanya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya. Dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalil di atas menegaskan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir untuk mendengarkan dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang berdoa, memohon, dan meminta ampun. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini diriwayatkan oleh 29 sahabat radhiyallahu anhum. Ini menunjukkan betapa kuatnya dalil ini. (Mukhtasharush Shawa-iq Al-Mursalah, 2: 232) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Surah Al-Hajj ayat 24 Ayat-ayat Al-Qur’an juga menekankan pentingnya berdoa dan berzikir di malam hari. Salah satu ayat yang relevan adalah firman Allah Ta’ala, وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَىٰ صِرَاطِ الْحَمِيدِ “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (QS. Al-Hajj: 24) Orang-orang yang terbangun di malam hari untuk berdoa dan berzikir mendapatkan petunjuk langsung dari Allah ke jalan yang benar dan terpuji. Mereka yang memanfaatkan waktu ini untuk mendekatkan diri kepada Allah akan diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan dijaga di jalan yang lurus. Oleh karenanya, sudah semestinya kita meneguhkan tekad untuk menghidupkan sunah ini dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus menjadikan doa malam sebagai bagian dari rutinitas ibadah kita, tidak hanya sebagai bentuk ketaatan, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah Ta’ala. Mengapa harus mengamalkan doa ini? Mengabaikan doa terbangun di malam hari berarti kita melewatkan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosa kita. Waktu malam adalah waktu yang tenang, di mana gangguan duniawi berkurang, memungkinkan kita untuk lebih khusyuk dalam berdoa dan berzikir. Dalam keheningan malam, kita bisa merenung, bermuhasabah, dan merasakan kedekatan dengan Allah yang sulit dicapai di siang hari. Keikhlasan dalam mengamalkan doa ini juga sangat dianjurkan. Setiap amal ibadah harus dilakukan dengan niat yang tulus semata-mata untuk mengharapkan rida Allah. Membaca doa saat terbangun di malam hari juga mengingatkan kita bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Dengan mengucapkan, لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ‘LAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ Kita mengakui bahwa segala kemampuan dan kekuatan yang kita miliki hanyalah karena pertolongan Allah sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan kebesaran Allah Ta’ala. Saudaraku, jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Hafalkan dan amalkan doa ini, ketika engkau terbangun di malam hari, setelah mengerti dan memahami urgensi doa ini, yakinlah bahwa Allah sedang memberimu kesempatan untuk mengamalkannya. Maka, sekali lagi, jangan pernah menyia-nyiakannya! Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Memohon Perlindungan dari Kemalasan dan Keburukan di Usia Tua *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: doa

Doa Saat Terbangun di Malam Hari

Daftar Isi Toggle Pentingnya doa saat terbangun malam hariDalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hariHadis riwayat ‘Ubadah bin ShamitHadis riwayat Abu HurairahSurah Al-Hajj ayat 24Mengapa harus mengamalkan doa ini? Saat kebanyakan manusia terlelap dalam mimpi, ada sekelompok hamba pilihan yang terjaga, meraih momen mustajab untuk bermunajat kepada Sang Pencipta. Inilah waktu yang diabaikan oleh banyak orang, namun sangat diutamakan dalam ajaran agama mulia yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ini. Doa di malam hari, khususnya saat terbangun tiba-tiba, merupakan sebuah anugerah luar biasa dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa doa di waktu ini tidak hanya diijabah, tetapi juga membawa keberkahan yang tak terhingga. Siapa yang tidak ingin doa dan ampunannya diterima oleh Allah? Mari kita renungi dan amalkan dengan penuh kesungguhan, karena inilah bagian penting dari jalan menuju rida Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan diamalkan oleh para salaf saleh. Pentingnya doa saat terbangun malam hari Bangun di tengah malam, saat keheningan menyelimuti bumi dan kebanyakan manusia terlelap dalam tidur nyenyak, adalah momen yang sangat istimewa. Saat-saat yang penuh dengan keberkahan, ketika Allah Ta’ala membuka pintu rahmat dan ampunan-Nya selebar-lebarnya bagi hamba-hamba yang terjaga dan bermunajat kepada-Nya. Mengapa kita harus melewatkan kesempatan emas ini? Inilah saat terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghidupkan sunah Rasulullah, dan meraih keridaan-Nya. Bayangkan, betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada kita yang memanfaatkan waktu ini untuk berdoa. Ketika kita membaca doa ini dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti sunah), kita mengakui kelemahan kita dan kebesaran Allah Ta’ala sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Jadi, janganlah kita melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Bangunlah, berdoalah, dan rasakan kedekatan dengan Allah yang tidak bisa didapatkan di waktu lain. Manfaatkanlah setiap waktu terbangun di malam hari untuk kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan meraih rida-Nya. Jadikan doa malam sebagai rutinitas yang tak tergantikan dalam hidup kita, sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hari Keutamaan doa di malam hari didukung oleh berbagai dalil sahih yang menjelaskan betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupan seorang muslim. Berikut adalah beberapa dalil yang menegaskan keutamaan doa ini: Hadis riwayat ‘Ubadah bin Shamit Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَن تَعارَّ من الليل فقال: لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ، ثم قال: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي – أو دعا – استُجِيبَ له، فإنْ توضأ وصلى قُبِلتْ صلاتُه “Barangsiapa yang terjaga di malam hari, kemudian dia membaca (zikir tersebut di atas), لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ ‘LAILAHAILLALLAH WAHDAHU LASYARIKALAHU. LAHUL MULKU WALAHULHAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QADIR. ALHAMDULILLAH WASUBHANALLAH WALAILAHA ILLALLAHU WALLAHU AKBAR WALAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ ‘Segala puji bagi Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah. Mahasuci Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah. Allah Mahabesar. Serta, tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan (pertolongan) Allah.’ Kemudian dia mengucapkan, اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي ‘ALLAHUMMAGH FIRLI’ ‘Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa)ku.’ Atau dia berdoa (dengan doa yang lain), maka akan dikabulkan doanya. Jika dia berwudu dan melaksanakan salat, maka akan diterima salatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang terbangun di malam hari dan mengucapkan doa tersebut, kemudian memohon ampun atau berdoa, doanya akan dikabulkan oleh Allah. Ini menunjukkan betapa besar rahmat Allah bagi hamba-Nya yang mengingat-Nya di waktu malam. Hadis riwayat Abu Hurairah Di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ “Rabb kami Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doanya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya. Dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalil di atas menegaskan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir untuk mendengarkan dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang berdoa, memohon, dan meminta ampun. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini diriwayatkan oleh 29 sahabat radhiyallahu anhum. Ini menunjukkan betapa kuatnya dalil ini. (Mukhtasharush Shawa-iq Al-Mursalah, 2: 232) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Surah Al-Hajj ayat 24 Ayat-ayat Al-Qur’an juga menekankan pentingnya berdoa dan berzikir di malam hari. Salah satu ayat yang relevan adalah firman Allah Ta’ala, وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَىٰ صِرَاطِ الْحَمِيدِ “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (QS. Al-Hajj: 24) Orang-orang yang terbangun di malam hari untuk berdoa dan berzikir mendapatkan petunjuk langsung dari Allah ke jalan yang benar dan terpuji. Mereka yang memanfaatkan waktu ini untuk mendekatkan diri kepada Allah akan diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan dijaga di jalan yang lurus. Oleh karenanya, sudah semestinya kita meneguhkan tekad untuk menghidupkan sunah ini dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus menjadikan doa malam sebagai bagian dari rutinitas ibadah kita, tidak hanya sebagai bentuk ketaatan, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah Ta’ala. Mengapa harus mengamalkan doa ini? Mengabaikan doa terbangun di malam hari berarti kita melewatkan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosa kita. Waktu malam adalah waktu yang tenang, di mana gangguan duniawi berkurang, memungkinkan kita untuk lebih khusyuk dalam berdoa dan berzikir. Dalam keheningan malam, kita bisa merenung, bermuhasabah, dan merasakan kedekatan dengan Allah yang sulit dicapai di siang hari. Keikhlasan dalam mengamalkan doa ini juga sangat dianjurkan. Setiap amal ibadah harus dilakukan dengan niat yang tulus semata-mata untuk mengharapkan rida Allah. Membaca doa saat terbangun di malam hari juga mengingatkan kita bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Dengan mengucapkan, لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ‘LAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ Kita mengakui bahwa segala kemampuan dan kekuatan yang kita miliki hanyalah karena pertolongan Allah sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan kebesaran Allah Ta’ala. Saudaraku, jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Hafalkan dan amalkan doa ini, ketika engkau terbangun di malam hari, setelah mengerti dan memahami urgensi doa ini, yakinlah bahwa Allah sedang memberimu kesempatan untuk mengamalkannya. Maka, sekali lagi, jangan pernah menyia-nyiakannya! Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Memohon Perlindungan dari Kemalasan dan Keburukan di Usia Tua *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: doa
Daftar Isi Toggle Pentingnya doa saat terbangun malam hariDalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hariHadis riwayat ‘Ubadah bin ShamitHadis riwayat Abu HurairahSurah Al-Hajj ayat 24Mengapa harus mengamalkan doa ini? Saat kebanyakan manusia terlelap dalam mimpi, ada sekelompok hamba pilihan yang terjaga, meraih momen mustajab untuk bermunajat kepada Sang Pencipta. Inilah waktu yang diabaikan oleh banyak orang, namun sangat diutamakan dalam ajaran agama mulia yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ini. Doa di malam hari, khususnya saat terbangun tiba-tiba, merupakan sebuah anugerah luar biasa dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa doa di waktu ini tidak hanya diijabah, tetapi juga membawa keberkahan yang tak terhingga. Siapa yang tidak ingin doa dan ampunannya diterima oleh Allah? Mari kita renungi dan amalkan dengan penuh kesungguhan, karena inilah bagian penting dari jalan menuju rida Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan diamalkan oleh para salaf saleh. Pentingnya doa saat terbangun malam hari Bangun di tengah malam, saat keheningan menyelimuti bumi dan kebanyakan manusia terlelap dalam tidur nyenyak, adalah momen yang sangat istimewa. Saat-saat yang penuh dengan keberkahan, ketika Allah Ta’ala membuka pintu rahmat dan ampunan-Nya selebar-lebarnya bagi hamba-hamba yang terjaga dan bermunajat kepada-Nya. Mengapa kita harus melewatkan kesempatan emas ini? Inilah saat terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghidupkan sunah Rasulullah, dan meraih keridaan-Nya. Bayangkan, betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada kita yang memanfaatkan waktu ini untuk berdoa. Ketika kita membaca doa ini dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti sunah), kita mengakui kelemahan kita dan kebesaran Allah Ta’ala sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Jadi, janganlah kita melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Bangunlah, berdoalah, dan rasakan kedekatan dengan Allah yang tidak bisa didapatkan di waktu lain. Manfaatkanlah setiap waktu terbangun di malam hari untuk kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan meraih rida-Nya. Jadikan doa malam sebagai rutinitas yang tak tergantikan dalam hidup kita, sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hari Keutamaan doa di malam hari didukung oleh berbagai dalil sahih yang menjelaskan betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupan seorang muslim. Berikut adalah beberapa dalil yang menegaskan keutamaan doa ini: Hadis riwayat ‘Ubadah bin Shamit Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَن تَعارَّ من الليل فقال: لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ، ثم قال: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي – أو دعا – استُجِيبَ له، فإنْ توضأ وصلى قُبِلتْ صلاتُه “Barangsiapa yang terjaga di malam hari, kemudian dia membaca (zikir tersebut di atas), لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ ‘LAILAHAILLALLAH WAHDAHU LASYARIKALAHU. LAHUL MULKU WALAHULHAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QADIR. ALHAMDULILLAH WASUBHANALLAH WALAILAHA ILLALLAHU WALLAHU AKBAR WALAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ ‘Segala puji bagi Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah. Mahasuci Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah. Allah Mahabesar. Serta, tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan (pertolongan) Allah.’ Kemudian dia mengucapkan, اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي ‘ALLAHUMMAGH FIRLI’ ‘Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa)ku.’ Atau dia berdoa (dengan doa yang lain), maka akan dikabulkan doanya. Jika dia berwudu dan melaksanakan salat, maka akan diterima salatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang terbangun di malam hari dan mengucapkan doa tersebut, kemudian memohon ampun atau berdoa, doanya akan dikabulkan oleh Allah. Ini menunjukkan betapa besar rahmat Allah bagi hamba-Nya yang mengingat-Nya di waktu malam. Hadis riwayat Abu Hurairah Di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ “Rabb kami Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doanya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya. Dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalil di atas menegaskan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir untuk mendengarkan dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang berdoa, memohon, dan meminta ampun. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini diriwayatkan oleh 29 sahabat radhiyallahu anhum. Ini menunjukkan betapa kuatnya dalil ini. (Mukhtasharush Shawa-iq Al-Mursalah, 2: 232) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Surah Al-Hajj ayat 24 Ayat-ayat Al-Qur’an juga menekankan pentingnya berdoa dan berzikir di malam hari. Salah satu ayat yang relevan adalah firman Allah Ta’ala, وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَىٰ صِرَاطِ الْحَمِيدِ “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (QS. Al-Hajj: 24) Orang-orang yang terbangun di malam hari untuk berdoa dan berzikir mendapatkan petunjuk langsung dari Allah ke jalan yang benar dan terpuji. Mereka yang memanfaatkan waktu ini untuk mendekatkan diri kepada Allah akan diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan dijaga di jalan yang lurus. Oleh karenanya, sudah semestinya kita meneguhkan tekad untuk menghidupkan sunah ini dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus menjadikan doa malam sebagai bagian dari rutinitas ibadah kita, tidak hanya sebagai bentuk ketaatan, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah Ta’ala. Mengapa harus mengamalkan doa ini? Mengabaikan doa terbangun di malam hari berarti kita melewatkan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosa kita. Waktu malam adalah waktu yang tenang, di mana gangguan duniawi berkurang, memungkinkan kita untuk lebih khusyuk dalam berdoa dan berzikir. Dalam keheningan malam, kita bisa merenung, bermuhasabah, dan merasakan kedekatan dengan Allah yang sulit dicapai di siang hari. Keikhlasan dalam mengamalkan doa ini juga sangat dianjurkan. Setiap amal ibadah harus dilakukan dengan niat yang tulus semata-mata untuk mengharapkan rida Allah. Membaca doa saat terbangun di malam hari juga mengingatkan kita bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Dengan mengucapkan, لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ‘LAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ Kita mengakui bahwa segala kemampuan dan kekuatan yang kita miliki hanyalah karena pertolongan Allah sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan kebesaran Allah Ta’ala. Saudaraku, jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Hafalkan dan amalkan doa ini, ketika engkau terbangun di malam hari, setelah mengerti dan memahami urgensi doa ini, yakinlah bahwa Allah sedang memberimu kesempatan untuk mengamalkannya. Maka, sekali lagi, jangan pernah menyia-nyiakannya! Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Memohon Perlindungan dari Kemalasan dan Keburukan di Usia Tua *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: doa


Daftar Isi Toggle Pentingnya doa saat terbangun malam hariDalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hariHadis riwayat ‘Ubadah bin ShamitHadis riwayat Abu HurairahSurah Al-Hajj ayat 24Mengapa harus mengamalkan doa ini? Saat kebanyakan manusia terlelap dalam mimpi, ada sekelompok hamba pilihan yang terjaga, meraih momen mustajab untuk bermunajat kepada Sang Pencipta. Inilah waktu yang diabaikan oleh banyak orang, namun sangat diutamakan dalam ajaran agama mulia yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ini. Doa di malam hari, khususnya saat terbangun tiba-tiba, merupakan sebuah anugerah luar biasa dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa doa di waktu ini tidak hanya diijabah, tetapi juga membawa keberkahan yang tak terhingga. Siapa yang tidak ingin doa dan ampunannya diterima oleh Allah? Mari kita renungi dan amalkan dengan penuh kesungguhan, karena inilah bagian penting dari jalan menuju rida Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan diamalkan oleh para salaf saleh. Pentingnya doa saat terbangun malam hari Bangun di tengah malam, saat keheningan menyelimuti bumi dan kebanyakan manusia terlelap dalam tidur nyenyak, adalah momen yang sangat istimewa. Saat-saat yang penuh dengan keberkahan, ketika Allah Ta’ala membuka pintu rahmat dan ampunan-Nya selebar-lebarnya bagi hamba-hamba yang terjaga dan bermunajat kepada-Nya. Mengapa kita harus melewatkan kesempatan emas ini? Inilah saat terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghidupkan sunah Rasulullah, dan meraih keridaan-Nya. Bayangkan, betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada kita yang memanfaatkan waktu ini untuk berdoa. Ketika kita membaca doa ini dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti sunah), kita mengakui kelemahan kita dan kebesaran Allah Ta’ala sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Jadi, janganlah kita melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Bangunlah, berdoalah, dan rasakan kedekatan dengan Allah yang tidak bisa didapatkan di waktu lain. Manfaatkanlah setiap waktu terbangun di malam hari untuk kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan meraih rida-Nya. Jadikan doa malam sebagai rutinitas yang tak tergantikan dalam hidup kita, sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dalil-dalil sahih tentang keutamaan doa di malam hari Keutamaan doa di malam hari didukung oleh berbagai dalil sahih yang menjelaskan betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupan seorang muslim. Berikut adalah beberapa dalil yang menegaskan keutamaan doa ini: Hadis riwayat ‘Ubadah bin Shamit Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, مَن تَعارَّ من الليل فقال: لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ، ثم قال: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي – أو دعا – استُجِيبَ له، فإنْ توضأ وصلى قُبِلتْ صلاتُه “Barangsiapa yang terjaga di malam hari, kemudian dia membaca (zikir tersebut di atas), لا إله إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ ولهُ الْحَمْدُ وهُوَ على كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الحمدُ للهِ، وسبحانَ اللهِ، ولا إله إلا اللهُ، واللهُ أَكْبَرُ، ولا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إلا بِاللهِ ‘LAILAHAILLALLAH WAHDAHU LASYARIKALAHU. LAHUL MULKU WALAHULHAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QADIR. ALHAMDULILLAH WASUBHANALLAH WALAILAHA ILLALLAHU WALLAHU AKBAR WALAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ ‘Segala puji bagi Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah. Mahasuci Allah. Tiada sembahan yang benar, kecuali Allah. Allah Mahabesar. Serta, tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan (pertolongan) Allah.’ Kemudian dia mengucapkan, اَللّهُمَّ اغْفِرْ لي ‘ALLAHUMMAGH FIRLI’ ‘Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa)ku.’ Atau dia berdoa (dengan doa yang lain), maka akan dikabulkan doanya. Jika dia berwudu dan melaksanakan salat, maka akan diterima salatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang terbangun di malam hari dan mengucapkan doa tersebut, kemudian memohon ampun atau berdoa, doanya akan dikabulkan oleh Allah. Ini menunjukkan betapa besar rahmat Allah bagi hamba-Nya yang mengingat-Nya di waktu malam. Hadis riwayat Abu Hurairah Di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ “Rabb kami Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doanya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya. Dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalil di atas menegaskan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir untuk mendengarkan dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang berdoa, memohon, dan meminta ampun. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini diriwayatkan oleh 29 sahabat radhiyallahu anhum. Ini menunjukkan betapa kuatnya dalil ini. (Mukhtasharush Shawa-iq Al-Mursalah, 2: 232) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Surah Al-Hajj ayat 24 Ayat-ayat Al-Qur’an juga menekankan pentingnya berdoa dan berzikir di malam hari. Salah satu ayat yang relevan adalah firman Allah Ta’ala, وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَىٰ صِرَاطِ الْحَمِيدِ “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (QS. Al-Hajj: 24) Orang-orang yang terbangun di malam hari untuk berdoa dan berzikir mendapatkan petunjuk langsung dari Allah ke jalan yang benar dan terpuji. Mereka yang memanfaatkan waktu ini untuk mendekatkan diri kepada Allah akan diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan dijaga di jalan yang lurus. Oleh karenanya, sudah semestinya kita meneguhkan tekad untuk menghidupkan sunah ini dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus menjadikan doa malam sebagai bagian dari rutinitas ibadah kita, tidak hanya sebagai bentuk ketaatan, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah Ta’ala. Mengapa harus mengamalkan doa ini? Mengabaikan doa terbangun di malam hari berarti kita melewatkan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosa kita. Waktu malam adalah waktu yang tenang, di mana gangguan duniawi berkurang, memungkinkan kita untuk lebih khusyuk dalam berdoa dan berzikir. Dalam keheningan malam, kita bisa merenung, bermuhasabah, dan merasakan kedekatan dengan Allah yang sulit dicapai di siang hari. Keikhlasan dalam mengamalkan doa ini juga sangat dianjurkan. Setiap amal ibadah harus dilakukan dengan niat yang tulus semata-mata untuk mengharapkan rida Allah. Membaca doa saat terbangun di malam hari juga mengingatkan kita bahwa tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan izin Allah. Dengan mengucapkan, لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ‘LAHAULA WALAQUWWATA ILLA BILLAH’ Kita mengakui bahwa segala kemampuan dan kekuatan yang kita miliki hanyalah karena pertolongan Allah sebagai bentuk tawadhu‘ (kerendahan hati) dan pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan kebesaran Allah Ta’ala. Saudaraku, jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Hafalkan dan amalkan doa ini, ketika engkau terbangun di malam hari, setelah mengerti dan memahami urgensi doa ini, yakinlah bahwa Allah sedang memberimu kesempatan untuk mengamalkannya. Maka, sekali lagi, jangan pernah menyia-nyiakannya! Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Memohon Perlindungan dari Kemalasan dan Keburukan di Usia Tua *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: doa

Faedah Sirah Nabi: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya

Telah dijelaskan bahwa para perang Khandaq/ Ahzab, Bani Quraizhah terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika pasukan gabungan terbentuk, Huyay bin Akhthab membujuk mereka untuk melanggar perjanjian tersebut dan pasukan gabungan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun dengan bujukan Huyay. Bahkan pasukan gabungan dan Bani Quraizhah pulang membawa kerugian. Allah firmankan tentang pasukan Ahzab, وَرَدَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا۟ خَيْرًا ۚ وَكَفَى ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلْقِتَالَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25) Tentang Bani Quraizhah, Allah berfirman, وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَٰرَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُمْ وَأَرْضًا لَّمْ تَطَـُٔوهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 26-27) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah perang Ahzab, tidak ada yang dilakukannya kecuali meletakkan senjata. Namun, tiba-tiba Jibril ‘alaihis salam seraya berkata, “Apakah kamu telah meletakkan senjata?” Demi Allah, sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjatanya. Berangkatlah bersama sahabatmu menuju Bani Quraizhah! Aku akan mengawalmu dan akan meluluhlantakkan benteng-benteng mereka. Aku akan tanamkan rasa takut pada hati mereka.” Lalu Jibril pun berangkat dengan pasukan malaikatnya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat debu-debu berterbangan di lorong-lorong perkampungan Bani Ghanam karena pasukan Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, no. 4118) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Ahzab, لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Jangan ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Namun, sebagian mereka telah mendapatkan waktu Ashar saat dalam perjalanan. Kemudian berkatalah salah satu dari mereka, “Kita tidak akan shalat Ashar sampai kita datang di perkampungan mereka.” Sedangkan sebagian lain berkata, “Tidak, kita harus shalat dulu, sebab bukan itu yang diinginkan Nabi.” Kemudian peristiwa itu diceritakan kepada Nabi dan beliau tidak menyalahkan siapa pun di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 4119) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dengan kekuatan 3.000 pasukan, 36 pasukan berkuda dan melakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah selama sepuluh hari lebih. Allah membuat Huyay bin Akhthab pulang dan kembali ke bentengnya lalu Allah menanamkan rasa takut ke dalam hatinya, sementara pengepungan terus berlanjut. Akhirnya, mereka meminta untuk dikirim negosiator yang bernama Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya. Abu Lubabah datang menemui mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah datang, semua orang berdiri, sedangkan para wanita dan anak-anak menyambutnya dengan tangisan yang mengiba. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah menurutumu kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad?” Abu Lubabah berkata, “Ya.” Sambil memberi isyarat tangan ke lehernya yang berarti mereka harus dibunuh. Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, saat kedua kakiku belum bergerak, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya.” Kemudian ia pun kembali dan tidak berani menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan posisi ini hingga Allah menerima taubatku atas apa yang aku lakukan.” Ia berjanji tidak akan menginjakkan kakinya di Bani Quraizhah selama-lamanya dan tidak akan melihat negeri yang beliau pernah melakukan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya. Ibnu Hisyam berkata, “Allah menurunkan tentang Abu Lubabah seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ismail bin Abu Khalid dari Abdullah bin Abu Qatadah ayat yang berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Ibnu Hisyam berkata, “Ia mengikatkan dirinya selama enam hari. Istrinya datang untuk membuka ikatannya setiap kali datang waktu shalat. Lalu ia berwudhu dan shalat kemudian mengikat diri lagi hingga turun ayat yang menerima taubatnya, وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102) Oleh karena itu, Bani Quraizhah pun tunduk kepada keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan orang-orang dari suku Aus memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat baik kepada mitra mereka, Bani Quraizhah, sebagaimana beliau pernah berbuat baik kepada Bani Qainuqa’, mitra suku Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian senang seandainya yang akan mengambil keputusan adalah tokoh kalian?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda lagi, “Tokoh itu adalah Sa’ad bin Mu’adz.” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Penduduk Quraizhah dijatuhi sanksi berdasarkan keputusan Sa’ad bin Mu’adz. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Sa’ad untuk datang. Kemudian ia pun datang dengan mengendarai keledai. Ketika posisinya dekat dari masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, “Berdirilah untuk pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Kemudian beliau berkata kepada Sa’ad, “Mereka ingin agar kamulah yang mengambil keputusan.” Sa’ad berkata, “Bunuh semua prajurit mereka dan jadikan keluarga mereka sebagai tawanan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami telah memutuskan dengan hukum Allah.” Atau beliau mengatakan, “Dengan hukum malaikat.” Ibnul Qayyim berkata, “Mereka berkata, ‘Wahai Sa’ad, mereka menginginkan kamu yang memutuskan.” Sa’ad menjawab, “Apakah keputusanku berlaku untuk mereka?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi seluruh kaum muslimin?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi orang yang ada di sana” sambil mengarahkan wajahnya dan memberikan isyarat ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, juga berlaku bagiku.” Ia berkata, “Aku putuskan hukumannya adalah semua laki-laki dibunuh, keluarganya ditawan dan hartanya dibagikan. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu telah memutuskan sesuai dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” Sebagian mereka masuk Islam sebelum ada keputusan. Sedangkan Amr bin Sa’ad melarikan diri dan tidak ada yang mengetahui ke mana perginya. Ia termasuk orang yang menolak untuk melanggar perjanjian. Ketika keputusan sudah diambil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mereka yang telah ditumbuhi jenggot dan yang belum tumbuh jenggot dianggap masih anak-anak. Lalu digalilah lubang besar di tengah pasar Madinah kemudian mereka dipenggal yang jumlah mereka mencapai 600 – 700 orang. Tidak ada wanita yang dipenggal, kecuali hanya satu karena ia memukul Suwaid bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dengan batu hingga mati. Selain itu, dihadirkan Huyai bin Akhthab, ia memakai pakaian yang telah disobek-sobek dengan sengaja agar tidak disiksa, sementara tangannya diikat di atas lehernya. Ketika ia melihat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menyesal memusuhimu. Siapa yang dihinakan Allah, pasti hina.” Kemudian ia menghadap manusia seraya berkata, “Wahai manusia, tidak apa-apa dengan keputusan Allah, ini hanya takdir, ketentuan, dan tragedi berdarah yang telah Allah tetapkan atas Bani Israil.” Kemudian ia duduk bersimpuh lalu dipenggal kepalanya.   Pelajaran dari Perang Bani Quraizhah Pertama: Bergegasnya sahabat untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka masih merasa letih dan lelah dari perang Ahzab. Ketika mereka baru saja tiba di Madinah, mereka mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbunyi, “Tidak ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Mereka pun langsung menyambut seruan itu dengan segera sebagai bentuk ketaatan mereka kepada beliau. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, yakni melaksanakan setiap perintah, bahkan harus bersegera melaksanakannya sekalipun berat. Tidak ada lagi kata nanti atau menunda atau hidup hanya dengan angan-angan. Setiap muslim yang mendengar perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, maka segera ia melaksanakannya sebagai bentuk ketaatatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua: Sahabat yang pergi menuju ke Bani Quraizhah dan mendapatkan waktu shalat dan ada di antara mereka yang mengerjakannya, sedangkan sebagian yang lain tetap berpegang pada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan tidak mengerjakan shalat hingga sampai di Bani Quraizhah. Mereka telah berijtihad dalam memahami teks syari. Apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad, apabila benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah, ia akan mendapatkan satu pahala. Ketiga: Para sahabat yang melakukan ijtihad dalam hukum syari dan terjadi perbedaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan satu pun di antara mereka. Selain itu, perbedaan tersebut tidak memicu permusuhan, perpecahan, dan perdebatan yang sengit di antara mereka. Karena perbedaan adalah sesuatu yang wajar dalam masalah fikih. Perbedaan boleh saja terjadi, yang penting tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian. Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang timbul dari ijtihad terhadap dalil atau teks syariat yang tidak direkomendasikan untuk diijtihadkan, seperti masalah akidah atau pada masalah yang sudah ada dalil yang tegas. Keempat: Sebagian ulama menjadikan perbuatan sahabat sebagai dalil, jika dilihat bahwa kebenaran itu beragam. Maksud ungkapan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah lawan dari kebatilan, sesungguhnya kebenaran itu tidak mungkin beragam, kebenaran hanyalah satu. Namun, apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah dalam pandangan syariat yaitu sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, maka kebenaran dalam makna ini memang beragam. Kita harus membedakan antara kebenaran sebagai esensi dengan kebenaran yang dianggap benar oleh syariat dan mendapatkan pahala bagi yang melakukannya. Kebenaran sebagai esensi hanyalah satu. Adapun kebenaran yang dipandang benar oleh syariat dan diridai hingga diberi ganjaran, maka kebenaran di sini bisa beragam. Contohnya pada masa kini, ada berbagai pendapat dari berbagai madzhab. Dalam suatu masalah ada berbagai macam pendapat. Seseorang yang menjadi muqallid (hanya mengikuti pendapat madzhab yang ada), insya Allah berada dalam kebenaran, ia dianggap berada pada amalan syari yang diridai. Kelima: Perbedaan yang terjadi jika kembali pada kurangnya ilmu, maka mudaratnya ringan dan masih bisa diobati (diperbaiki). Dalam ayat disebutkan, فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59). Adapun perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan kerusakan, pasti dibangun di atas hawa nafsu, membela golongan tertentu, fanatik pada guru atau madzhab tertentu. Perbedaan kedua ini bukan untuk mencari kebenaran. Sedangkan ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah fikih hasilnya seharusnya bukan ta’ashub (fanatik buta). Dalam masalah fikih banyak sekali terdapat ikhtilaf dan ada pendapat pula yang bisa saling bersepakat. Keenam: Dua sahabat yang berbeda dalam menyikapi perintah Nabi untuk shalat Ashar di Bani Quraizhah sama-sama berpahala. Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.’” (HR. Bukhari, no. 7352 dan Muslim, no. 1716) Baca juga: Menyikapi Ijtihad Seorang Ulama Ketujuh: Dua pihak yang berijtihad berbeda tidaklah saling disalahkan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “As-Suhaili dan ulama lainnya berkata, “Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa ulama yang memahami hadits atau ayat secara tekstual tidaklah boleh disalahkan. Begitu pula ulama yang memahami dalil dengan makna yang khusus tidaklah disalahkan pula.” (Fath Al-Baari, 7:409). Hal ini menunjukkan bahwa ada yang memahami dalil secara tekstual, ada yang memahami dalil dengan memandang maqashid (maksud, tujuan). Dari sinilah letak timbulnya ikhtilaf perbedaan pendapat, maka dari sinilah setiap penuntut ilmu perlu memahaminya. Kedelapan: Bani Quraizhah sebenarnya penuh rasa aman ketika mereka berada di tempat tinggal mereka di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bermuamalah baik dengan mereka. Namun, mereka begitu tega berkhianat pada perang Ahzab. Pengkhiatan ini adalah pengkhianatan yang besar. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati, Bagaimanakah Kita Membalasnya? Kesembilan: Sikap Abu Lubabah yang ditugaskan ke Bani Quraizhah untuk bermusyawarah. Ketika beliau sampai dan menanyakan keadaan mereka, beliau mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa pembunuhan. Beliau menyadari bahwa ini adalah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun pergi mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid hingga turun ayat yang menerima taubatnya. Dari sini kita mendapatkan pelajaran betapa pentingnya nasihat Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat umum. Jangan sampai berkhianat, baik berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin maupun kepada masyarakat umum. Kesepuluh: Dari kisah tersebut juga kita dapat mengambil pelajaran pentingnya bergegas dalam bertaubat langsung setelah berbuat dosa. Sesungguhnya anak keturunan Adam pasti berdosa dan sebaik-baiknya para pelaku dosa adalah yang bertaubat. Syarat diterimanya taubat adalah: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal. Tidak terus-menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera meninggalkannya dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima. Kesebelas: Dari kisah tersebut, kita juga dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya menjauhi tempat-tempat maksiat. Karena Abu Lubabah menjadikan taubatnya untuk tidak kembali lagi ke perkampungan Bani Quraizhah, dan hal ini sangat berarti bagi yang bertaubat. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari maksiat seyogyanya menjauh dari tempat-tempat maksiat tersebut dan tidak bergaul lagi dengan pendukung maksiat. Hal ini menunjukkan kesungguhan taubatnya dan tekadnya untuk tidak kembali melakukan dosa dan maksiat untuk yang kedua kalinya. Terutama bagi mereka yang melakukan maksiat karena pergaulannya dengan orang-orang jahat. Bukti dari kesungguhan taubatnya adalah tidak bergaul lagi dengan mereka. Hadits yang menunjukkan pentingnya menjauhi tempat maksiat sebagai bagian dari syarat taubat adalah hadits tentang pembunuh 100 jiwa berikut ini. Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, pada masa sebelum kalian, ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu, ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun, ia ditunjukkan kepada seorang rahib. Lantas, ia pun mendatanginya dan berkata, ‘Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?’ Rahib pun menjawabnya, ‘Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.’ Lalu, orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian, ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjukkan kepada seorang alim. Lantas, ia bertanya pada alim tersebut, ‘Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya, masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.’ Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Namun, malaikat azab berkata, ‘Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’ Lalu, datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia; mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.’ Lalu, mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim, no. 2766) Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.” (Syarh Muslim, 17: 83) Kedua belas: Kisah Abu Lubabah menunjukkan betapa kuat imannya dan betapa peka hatinya, sehingga ia langsung menyadari kesalahannya dan menyesal bahkan sebelum bergerak dari posisinya. Seperti itulah orang-orang yang bertakwa; ketika digoda oleh setan, mereka segera sadar dan cepat bertaubat, kembali ke jalan Allah. Ketiga belas: Dari kisah ini, kita juga melihat kesungguhan Abu Lubabah dalam bertaubat, betapa dalam penyesalannya, serta keseriusannya untuk menebus kesalahan. Ia mengikat dirinya pada salah satu tiang masjid selama beberapa hari hingga Allah menurunkan ayat yang menerima taubatnya. Keempat belas: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Sa’ad datang, “Berdirilah untuk pemimpin kalian,” mengajarkan kita pentingnya menghormati orang yang memiliki kedudukan dan orang yang lebih tua, baik karena usia, ilmu, maupun kekuasaannya. Dengan demikian, disyariatkan untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan mereka. Kelima belas: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Contohnya, ketika Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyambut Ka’ab bin Malik yang baru tiba di masjid setelah turunnya ayat yang menerima taubatnya. Thalhah berdiri, menyalami, dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat Ka’ab oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Syaikh Muhammad bin Utsaimin menjelaskan bahwa berdiri dalam rangka menghormati diperbolehkan jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan (adat). Larangan hanya berlaku bagi orang yang menginginkan sambutan dengan berdiri karena ingin dihormati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka orang berdiri untuk menghormatinya, maka ia telah mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Abu Daud, no. 4357; Tirmidzi, no. 2212) Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Keenam belas: Mungkin kita menganggap keputusan Sa’ad bin Muadz terhadap Bani Quraizah sangat keras. Namun, untuk memahami keadilan dari keputusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa Bani Quraizah adalah kaum Yahudi yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memiliki perilaku yang sangat kasar. Oleh karena itu, mereka dihukum lebih berat dibandingkan saudara-saudara mereka. b. Bayangkan apa yang akan terjadi jika pasukan gabungan berhasil menyerang Madinah? Apa yang akan dilakukan Bani Quraizah terhadap wanita dan anak-anak kaum Muslimin? Bencana besar pasti akan menimpa mereka, mengingat kaum laki-laki berada di garis depan untuk menghadapi pasukan gabungan. Pengkhianatan besar inilah yang membuat Bani Quraizah layak menerima hukuman yang mereka terima. c. Bani Quraizah bukan hanya membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimin, tetapi juga ikut memerangi mereka. Mereka bersenjata dan memberikan bantuan kepada pasukan gabungan, yang pada akhirnya memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman. d. Sebagai penduduk Madinah, Bani Quraizah seharusnya membela kota dari serangan musuh, seperti yang dijanjikan. Namun, ketika musuh datang, mereka justru berkhianat dengan melakukan tiga kesalahan besar: Melakukan kontak dengan musuh dan membocorkan informasi penting tentang Madinah. Memberikan bantuan materi maupun non-materi kepada musuh. Menyiapkan senjata untuk melawan tentara Madinah, membatalkan perjanjian secara sepihak, dan siap menyerang kaum Muslimin dari belakang di saat kritis. Melihat semua ini, tidak mengherankan jika Sa’ad bin Muadz menjatuhkan hukuman tersebut, yang kemudian didukung oleh Rasulullah. Pengkhianatan mereka adalah kejahatan besar terhadap masyarakat Islam dan Rasulullah. Hukuman yang dijatuhkan Sa’ad juga sesuai dengan hukum dalam kitab suci mereka, Taurat. Muhammad Abu Syuhbah menjelaskan bahwa keputusan Sa’ad sejalan dengan ajaran Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa musuh yang menyerang harus dihukum mati, sementara rampasan perang dapat diambil. Oleh karena itu, keputusan Sa’ad tidak menyimpang dari hukum Taurat, mengingat Bani Quraizah bukan hanya musuh, tetapi juga pengkhianat yang tidak menepati janji.   Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Ditulis sejak 15 Dzulqa’dah 1445 H, 24 Mei 2024 M, berakhir pada 4 Safar 1446 H, 9 Agustus 2024, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang bani quraizhah perang khandaq sirah nabi

Faedah Sirah Nabi: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya

Telah dijelaskan bahwa para perang Khandaq/ Ahzab, Bani Quraizhah terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika pasukan gabungan terbentuk, Huyay bin Akhthab membujuk mereka untuk melanggar perjanjian tersebut dan pasukan gabungan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun dengan bujukan Huyay. Bahkan pasukan gabungan dan Bani Quraizhah pulang membawa kerugian. Allah firmankan tentang pasukan Ahzab, وَرَدَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا۟ خَيْرًا ۚ وَكَفَى ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلْقِتَالَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25) Tentang Bani Quraizhah, Allah berfirman, وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَٰرَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُمْ وَأَرْضًا لَّمْ تَطَـُٔوهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 26-27) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah perang Ahzab, tidak ada yang dilakukannya kecuali meletakkan senjata. Namun, tiba-tiba Jibril ‘alaihis salam seraya berkata, “Apakah kamu telah meletakkan senjata?” Demi Allah, sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjatanya. Berangkatlah bersama sahabatmu menuju Bani Quraizhah! Aku akan mengawalmu dan akan meluluhlantakkan benteng-benteng mereka. Aku akan tanamkan rasa takut pada hati mereka.” Lalu Jibril pun berangkat dengan pasukan malaikatnya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat debu-debu berterbangan di lorong-lorong perkampungan Bani Ghanam karena pasukan Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, no. 4118) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Ahzab, لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Jangan ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Namun, sebagian mereka telah mendapatkan waktu Ashar saat dalam perjalanan. Kemudian berkatalah salah satu dari mereka, “Kita tidak akan shalat Ashar sampai kita datang di perkampungan mereka.” Sedangkan sebagian lain berkata, “Tidak, kita harus shalat dulu, sebab bukan itu yang diinginkan Nabi.” Kemudian peristiwa itu diceritakan kepada Nabi dan beliau tidak menyalahkan siapa pun di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 4119) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dengan kekuatan 3.000 pasukan, 36 pasukan berkuda dan melakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah selama sepuluh hari lebih. Allah membuat Huyay bin Akhthab pulang dan kembali ke bentengnya lalu Allah menanamkan rasa takut ke dalam hatinya, sementara pengepungan terus berlanjut. Akhirnya, mereka meminta untuk dikirim negosiator yang bernama Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya. Abu Lubabah datang menemui mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah datang, semua orang berdiri, sedangkan para wanita dan anak-anak menyambutnya dengan tangisan yang mengiba. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah menurutumu kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad?” Abu Lubabah berkata, “Ya.” Sambil memberi isyarat tangan ke lehernya yang berarti mereka harus dibunuh. Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, saat kedua kakiku belum bergerak, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya.” Kemudian ia pun kembali dan tidak berani menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan posisi ini hingga Allah menerima taubatku atas apa yang aku lakukan.” Ia berjanji tidak akan menginjakkan kakinya di Bani Quraizhah selama-lamanya dan tidak akan melihat negeri yang beliau pernah melakukan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya. Ibnu Hisyam berkata, “Allah menurunkan tentang Abu Lubabah seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ismail bin Abu Khalid dari Abdullah bin Abu Qatadah ayat yang berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Ibnu Hisyam berkata, “Ia mengikatkan dirinya selama enam hari. Istrinya datang untuk membuka ikatannya setiap kali datang waktu shalat. Lalu ia berwudhu dan shalat kemudian mengikat diri lagi hingga turun ayat yang menerima taubatnya, وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102) Oleh karena itu, Bani Quraizhah pun tunduk kepada keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan orang-orang dari suku Aus memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat baik kepada mitra mereka, Bani Quraizhah, sebagaimana beliau pernah berbuat baik kepada Bani Qainuqa’, mitra suku Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian senang seandainya yang akan mengambil keputusan adalah tokoh kalian?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda lagi, “Tokoh itu adalah Sa’ad bin Mu’adz.” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Penduduk Quraizhah dijatuhi sanksi berdasarkan keputusan Sa’ad bin Mu’adz. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Sa’ad untuk datang. Kemudian ia pun datang dengan mengendarai keledai. Ketika posisinya dekat dari masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, “Berdirilah untuk pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Kemudian beliau berkata kepada Sa’ad, “Mereka ingin agar kamulah yang mengambil keputusan.” Sa’ad berkata, “Bunuh semua prajurit mereka dan jadikan keluarga mereka sebagai tawanan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami telah memutuskan dengan hukum Allah.” Atau beliau mengatakan, “Dengan hukum malaikat.” Ibnul Qayyim berkata, “Mereka berkata, ‘Wahai Sa’ad, mereka menginginkan kamu yang memutuskan.” Sa’ad menjawab, “Apakah keputusanku berlaku untuk mereka?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi seluruh kaum muslimin?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi orang yang ada di sana” sambil mengarahkan wajahnya dan memberikan isyarat ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, juga berlaku bagiku.” Ia berkata, “Aku putuskan hukumannya adalah semua laki-laki dibunuh, keluarganya ditawan dan hartanya dibagikan. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu telah memutuskan sesuai dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” Sebagian mereka masuk Islam sebelum ada keputusan. Sedangkan Amr bin Sa’ad melarikan diri dan tidak ada yang mengetahui ke mana perginya. Ia termasuk orang yang menolak untuk melanggar perjanjian. Ketika keputusan sudah diambil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mereka yang telah ditumbuhi jenggot dan yang belum tumbuh jenggot dianggap masih anak-anak. Lalu digalilah lubang besar di tengah pasar Madinah kemudian mereka dipenggal yang jumlah mereka mencapai 600 – 700 orang. Tidak ada wanita yang dipenggal, kecuali hanya satu karena ia memukul Suwaid bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dengan batu hingga mati. Selain itu, dihadirkan Huyai bin Akhthab, ia memakai pakaian yang telah disobek-sobek dengan sengaja agar tidak disiksa, sementara tangannya diikat di atas lehernya. Ketika ia melihat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menyesal memusuhimu. Siapa yang dihinakan Allah, pasti hina.” Kemudian ia menghadap manusia seraya berkata, “Wahai manusia, tidak apa-apa dengan keputusan Allah, ini hanya takdir, ketentuan, dan tragedi berdarah yang telah Allah tetapkan atas Bani Israil.” Kemudian ia duduk bersimpuh lalu dipenggal kepalanya.   Pelajaran dari Perang Bani Quraizhah Pertama: Bergegasnya sahabat untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka masih merasa letih dan lelah dari perang Ahzab. Ketika mereka baru saja tiba di Madinah, mereka mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbunyi, “Tidak ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Mereka pun langsung menyambut seruan itu dengan segera sebagai bentuk ketaatan mereka kepada beliau. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, yakni melaksanakan setiap perintah, bahkan harus bersegera melaksanakannya sekalipun berat. Tidak ada lagi kata nanti atau menunda atau hidup hanya dengan angan-angan. Setiap muslim yang mendengar perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, maka segera ia melaksanakannya sebagai bentuk ketaatatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua: Sahabat yang pergi menuju ke Bani Quraizhah dan mendapatkan waktu shalat dan ada di antara mereka yang mengerjakannya, sedangkan sebagian yang lain tetap berpegang pada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan tidak mengerjakan shalat hingga sampai di Bani Quraizhah. Mereka telah berijtihad dalam memahami teks syari. Apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad, apabila benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah, ia akan mendapatkan satu pahala. Ketiga: Para sahabat yang melakukan ijtihad dalam hukum syari dan terjadi perbedaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan satu pun di antara mereka. Selain itu, perbedaan tersebut tidak memicu permusuhan, perpecahan, dan perdebatan yang sengit di antara mereka. Karena perbedaan adalah sesuatu yang wajar dalam masalah fikih. Perbedaan boleh saja terjadi, yang penting tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian. Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang timbul dari ijtihad terhadap dalil atau teks syariat yang tidak direkomendasikan untuk diijtihadkan, seperti masalah akidah atau pada masalah yang sudah ada dalil yang tegas. Keempat: Sebagian ulama menjadikan perbuatan sahabat sebagai dalil, jika dilihat bahwa kebenaran itu beragam. Maksud ungkapan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah lawan dari kebatilan, sesungguhnya kebenaran itu tidak mungkin beragam, kebenaran hanyalah satu. Namun, apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah dalam pandangan syariat yaitu sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, maka kebenaran dalam makna ini memang beragam. Kita harus membedakan antara kebenaran sebagai esensi dengan kebenaran yang dianggap benar oleh syariat dan mendapatkan pahala bagi yang melakukannya. Kebenaran sebagai esensi hanyalah satu. Adapun kebenaran yang dipandang benar oleh syariat dan diridai hingga diberi ganjaran, maka kebenaran di sini bisa beragam. Contohnya pada masa kini, ada berbagai pendapat dari berbagai madzhab. Dalam suatu masalah ada berbagai macam pendapat. Seseorang yang menjadi muqallid (hanya mengikuti pendapat madzhab yang ada), insya Allah berada dalam kebenaran, ia dianggap berada pada amalan syari yang diridai. Kelima: Perbedaan yang terjadi jika kembali pada kurangnya ilmu, maka mudaratnya ringan dan masih bisa diobati (diperbaiki). Dalam ayat disebutkan, فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59). Adapun perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan kerusakan, pasti dibangun di atas hawa nafsu, membela golongan tertentu, fanatik pada guru atau madzhab tertentu. Perbedaan kedua ini bukan untuk mencari kebenaran. Sedangkan ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah fikih hasilnya seharusnya bukan ta’ashub (fanatik buta). Dalam masalah fikih banyak sekali terdapat ikhtilaf dan ada pendapat pula yang bisa saling bersepakat. Keenam: Dua sahabat yang berbeda dalam menyikapi perintah Nabi untuk shalat Ashar di Bani Quraizhah sama-sama berpahala. Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.’” (HR. Bukhari, no. 7352 dan Muslim, no. 1716) Baca juga: Menyikapi Ijtihad Seorang Ulama Ketujuh: Dua pihak yang berijtihad berbeda tidaklah saling disalahkan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “As-Suhaili dan ulama lainnya berkata, “Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa ulama yang memahami hadits atau ayat secara tekstual tidaklah boleh disalahkan. Begitu pula ulama yang memahami dalil dengan makna yang khusus tidaklah disalahkan pula.” (Fath Al-Baari, 7:409). Hal ini menunjukkan bahwa ada yang memahami dalil secara tekstual, ada yang memahami dalil dengan memandang maqashid (maksud, tujuan). Dari sinilah letak timbulnya ikhtilaf perbedaan pendapat, maka dari sinilah setiap penuntut ilmu perlu memahaminya. Kedelapan: Bani Quraizhah sebenarnya penuh rasa aman ketika mereka berada di tempat tinggal mereka di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bermuamalah baik dengan mereka. Namun, mereka begitu tega berkhianat pada perang Ahzab. Pengkhiatan ini adalah pengkhianatan yang besar. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati, Bagaimanakah Kita Membalasnya? Kesembilan: Sikap Abu Lubabah yang ditugaskan ke Bani Quraizhah untuk bermusyawarah. Ketika beliau sampai dan menanyakan keadaan mereka, beliau mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa pembunuhan. Beliau menyadari bahwa ini adalah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun pergi mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid hingga turun ayat yang menerima taubatnya. Dari sini kita mendapatkan pelajaran betapa pentingnya nasihat Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat umum. Jangan sampai berkhianat, baik berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin maupun kepada masyarakat umum. Kesepuluh: Dari kisah tersebut juga kita dapat mengambil pelajaran pentingnya bergegas dalam bertaubat langsung setelah berbuat dosa. Sesungguhnya anak keturunan Adam pasti berdosa dan sebaik-baiknya para pelaku dosa adalah yang bertaubat. Syarat diterimanya taubat adalah: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal. Tidak terus-menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera meninggalkannya dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima. Kesebelas: Dari kisah tersebut, kita juga dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya menjauhi tempat-tempat maksiat. Karena Abu Lubabah menjadikan taubatnya untuk tidak kembali lagi ke perkampungan Bani Quraizhah, dan hal ini sangat berarti bagi yang bertaubat. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari maksiat seyogyanya menjauh dari tempat-tempat maksiat tersebut dan tidak bergaul lagi dengan pendukung maksiat. Hal ini menunjukkan kesungguhan taubatnya dan tekadnya untuk tidak kembali melakukan dosa dan maksiat untuk yang kedua kalinya. Terutama bagi mereka yang melakukan maksiat karena pergaulannya dengan orang-orang jahat. Bukti dari kesungguhan taubatnya adalah tidak bergaul lagi dengan mereka. Hadits yang menunjukkan pentingnya menjauhi tempat maksiat sebagai bagian dari syarat taubat adalah hadits tentang pembunuh 100 jiwa berikut ini. Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, pada masa sebelum kalian, ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu, ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun, ia ditunjukkan kepada seorang rahib. Lantas, ia pun mendatanginya dan berkata, ‘Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?’ Rahib pun menjawabnya, ‘Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.’ Lalu, orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian, ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjukkan kepada seorang alim. Lantas, ia bertanya pada alim tersebut, ‘Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya, masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.’ Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Namun, malaikat azab berkata, ‘Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’ Lalu, datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia; mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.’ Lalu, mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim, no. 2766) Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.” (Syarh Muslim, 17: 83) Kedua belas: Kisah Abu Lubabah menunjukkan betapa kuat imannya dan betapa peka hatinya, sehingga ia langsung menyadari kesalahannya dan menyesal bahkan sebelum bergerak dari posisinya. Seperti itulah orang-orang yang bertakwa; ketika digoda oleh setan, mereka segera sadar dan cepat bertaubat, kembali ke jalan Allah. Ketiga belas: Dari kisah ini, kita juga melihat kesungguhan Abu Lubabah dalam bertaubat, betapa dalam penyesalannya, serta keseriusannya untuk menebus kesalahan. Ia mengikat dirinya pada salah satu tiang masjid selama beberapa hari hingga Allah menurunkan ayat yang menerima taubatnya. Keempat belas: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Sa’ad datang, “Berdirilah untuk pemimpin kalian,” mengajarkan kita pentingnya menghormati orang yang memiliki kedudukan dan orang yang lebih tua, baik karena usia, ilmu, maupun kekuasaannya. Dengan demikian, disyariatkan untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan mereka. Kelima belas: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Contohnya, ketika Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyambut Ka’ab bin Malik yang baru tiba di masjid setelah turunnya ayat yang menerima taubatnya. Thalhah berdiri, menyalami, dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat Ka’ab oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Syaikh Muhammad bin Utsaimin menjelaskan bahwa berdiri dalam rangka menghormati diperbolehkan jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan (adat). Larangan hanya berlaku bagi orang yang menginginkan sambutan dengan berdiri karena ingin dihormati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka orang berdiri untuk menghormatinya, maka ia telah mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Abu Daud, no. 4357; Tirmidzi, no. 2212) Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Keenam belas: Mungkin kita menganggap keputusan Sa’ad bin Muadz terhadap Bani Quraizah sangat keras. Namun, untuk memahami keadilan dari keputusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa Bani Quraizah adalah kaum Yahudi yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memiliki perilaku yang sangat kasar. Oleh karena itu, mereka dihukum lebih berat dibandingkan saudara-saudara mereka. b. Bayangkan apa yang akan terjadi jika pasukan gabungan berhasil menyerang Madinah? Apa yang akan dilakukan Bani Quraizah terhadap wanita dan anak-anak kaum Muslimin? Bencana besar pasti akan menimpa mereka, mengingat kaum laki-laki berada di garis depan untuk menghadapi pasukan gabungan. Pengkhianatan besar inilah yang membuat Bani Quraizah layak menerima hukuman yang mereka terima. c. Bani Quraizah bukan hanya membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimin, tetapi juga ikut memerangi mereka. Mereka bersenjata dan memberikan bantuan kepada pasukan gabungan, yang pada akhirnya memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman. d. Sebagai penduduk Madinah, Bani Quraizah seharusnya membela kota dari serangan musuh, seperti yang dijanjikan. Namun, ketika musuh datang, mereka justru berkhianat dengan melakukan tiga kesalahan besar: Melakukan kontak dengan musuh dan membocorkan informasi penting tentang Madinah. Memberikan bantuan materi maupun non-materi kepada musuh. Menyiapkan senjata untuk melawan tentara Madinah, membatalkan perjanjian secara sepihak, dan siap menyerang kaum Muslimin dari belakang di saat kritis. Melihat semua ini, tidak mengherankan jika Sa’ad bin Muadz menjatuhkan hukuman tersebut, yang kemudian didukung oleh Rasulullah. Pengkhianatan mereka adalah kejahatan besar terhadap masyarakat Islam dan Rasulullah. Hukuman yang dijatuhkan Sa’ad juga sesuai dengan hukum dalam kitab suci mereka, Taurat. Muhammad Abu Syuhbah menjelaskan bahwa keputusan Sa’ad sejalan dengan ajaran Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa musuh yang menyerang harus dihukum mati, sementara rampasan perang dapat diambil. Oleh karena itu, keputusan Sa’ad tidak menyimpang dari hukum Taurat, mengingat Bani Quraizah bukan hanya musuh, tetapi juga pengkhianat yang tidak menepati janji.   Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Ditulis sejak 15 Dzulqa’dah 1445 H, 24 Mei 2024 M, berakhir pada 4 Safar 1446 H, 9 Agustus 2024, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang bani quraizhah perang khandaq sirah nabi
Telah dijelaskan bahwa para perang Khandaq/ Ahzab, Bani Quraizhah terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika pasukan gabungan terbentuk, Huyay bin Akhthab membujuk mereka untuk melanggar perjanjian tersebut dan pasukan gabungan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun dengan bujukan Huyay. Bahkan pasukan gabungan dan Bani Quraizhah pulang membawa kerugian. Allah firmankan tentang pasukan Ahzab, وَرَدَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا۟ خَيْرًا ۚ وَكَفَى ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلْقِتَالَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25) Tentang Bani Quraizhah, Allah berfirman, وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَٰرَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُمْ وَأَرْضًا لَّمْ تَطَـُٔوهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 26-27) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah perang Ahzab, tidak ada yang dilakukannya kecuali meletakkan senjata. Namun, tiba-tiba Jibril ‘alaihis salam seraya berkata, “Apakah kamu telah meletakkan senjata?” Demi Allah, sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjatanya. Berangkatlah bersama sahabatmu menuju Bani Quraizhah! Aku akan mengawalmu dan akan meluluhlantakkan benteng-benteng mereka. Aku akan tanamkan rasa takut pada hati mereka.” Lalu Jibril pun berangkat dengan pasukan malaikatnya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat debu-debu berterbangan di lorong-lorong perkampungan Bani Ghanam karena pasukan Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, no. 4118) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Ahzab, لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Jangan ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Namun, sebagian mereka telah mendapatkan waktu Ashar saat dalam perjalanan. Kemudian berkatalah salah satu dari mereka, “Kita tidak akan shalat Ashar sampai kita datang di perkampungan mereka.” Sedangkan sebagian lain berkata, “Tidak, kita harus shalat dulu, sebab bukan itu yang diinginkan Nabi.” Kemudian peristiwa itu diceritakan kepada Nabi dan beliau tidak menyalahkan siapa pun di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 4119) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dengan kekuatan 3.000 pasukan, 36 pasukan berkuda dan melakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah selama sepuluh hari lebih. Allah membuat Huyay bin Akhthab pulang dan kembali ke bentengnya lalu Allah menanamkan rasa takut ke dalam hatinya, sementara pengepungan terus berlanjut. Akhirnya, mereka meminta untuk dikirim negosiator yang bernama Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya. Abu Lubabah datang menemui mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah datang, semua orang berdiri, sedangkan para wanita dan anak-anak menyambutnya dengan tangisan yang mengiba. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah menurutumu kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad?” Abu Lubabah berkata, “Ya.” Sambil memberi isyarat tangan ke lehernya yang berarti mereka harus dibunuh. Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, saat kedua kakiku belum bergerak, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya.” Kemudian ia pun kembali dan tidak berani menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan posisi ini hingga Allah menerima taubatku atas apa yang aku lakukan.” Ia berjanji tidak akan menginjakkan kakinya di Bani Quraizhah selama-lamanya dan tidak akan melihat negeri yang beliau pernah melakukan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya. Ibnu Hisyam berkata, “Allah menurunkan tentang Abu Lubabah seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ismail bin Abu Khalid dari Abdullah bin Abu Qatadah ayat yang berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Ibnu Hisyam berkata, “Ia mengikatkan dirinya selama enam hari. Istrinya datang untuk membuka ikatannya setiap kali datang waktu shalat. Lalu ia berwudhu dan shalat kemudian mengikat diri lagi hingga turun ayat yang menerima taubatnya, وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102) Oleh karena itu, Bani Quraizhah pun tunduk kepada keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan orang-orang dari suku Aus memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat baik kepada mitra mereka, Bani Quraizhah, sebagaimana beliau pernah berbuat baik kepada Bani Qainuqa’, mitra suku Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian senang seandainya yang akan mengambil keputusan adalah tokoh kalian?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda lagi, “Tokoh itu adalah Sa’ad bin Mu’adz.” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Penduduk Quraizhah dijatuhi sanksi berdasarkan keputusan Sa’ad bin Mu’adz. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Sa’ad untuk datang. Kemudian ia pun datang dengan mengendarai keledai. Ketika posisinya dekat dari masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, “Berdirilah untuk pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Kemudian beliau berkata kepada Sa’ad, “Mereka ingin agar kamulah yang mengambil keputusan.” Sa’ad berkata, “Bunuh semua prajurit mereka dan jadikan keluarga mereka sebagai tawanan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami telah memutuskan dengan hukum Allah.” Atau beliau mengatakan, “Dengan hukum malaikat.” Ibnul Qayyim berkata, “Mereka berkata, ‘Wahai Sa’ad, mereka menginginkan kamu yang memutuskan.” Sa’ad menjawab, “Apakah keputusanku berlaku untuk mereka?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi seluruh kaum muslimin?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi orang yang ada di sana” sambil mengarahkan wajahnya dan memberikan isyarat ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, juga berlaku bagiku.” Ia berkata, “Aku putuskan hukumannya adalah semua laki-laki dibunuh, keluarganya ditawan dan hartanya dibagikan. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu telah memutuskan sesuai dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” Sebagian mereka masuk Islam sebelum ada keputusan. Sedangkan Amr bin Sa’ad melarikan diri dan tidak ada yang mengetahui ke mana perginya. Ia termasuk orang yang menolak untuk melanggar perjanjian. Ketika keputusan sudah diambil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mereka yang telah ditumbuhi jenggot dan yang belum tumbuh jenggot dianggap masih anak-anak. Lalu digalilah lubang besar di tengah pasar Madinah kemudian mereka dipenggal yang jumlah mereka mencapai 600 – 700 orang. Tidak ada wanita yang dipenggal, kecuali hanya satu karena ia memukul Suwaid bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dengan batu hingga mati. Selain itu, dihadirkan Huyai bin Akhthab, ia memakai pakaian yang telah disobek-sobek dengan sengaja agar tidak disiksa, sementara tangannya diikat di atas lehernya. Ketika ia melihat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menyesal memusuhimu. Siapa yang dihinakan Allah, pasti hina.” Kemudian ia menghadap manusia seraya berkata, “Wahai manusia, tidak apa-apa dengan keputusan Allah, ini hanya takdir, ketentuan, dan tragedi berdarah yang telah Allah tetapkan atas Bani Israil.” Kemudian ia duduk bersimpuh lalu dipenggal kepalanya.   Pelajaran dari Perang Bani Quraizhah Pertama: Bergegasnya sahabat untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka masih merasa letih dan lelah dari perang Ahzab. Ketika mereka baru saja tiba di Madinah, mereka mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbunyi, “Tidak ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Mereka pun langsung menyambut seruan itu dengan segera sebagai bentuk ketaatan mereka kepada beliau. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, yakni melaksanakan setiap perintah, bahkan harus bersegera melaksanakannya sekalipun berat. Tidak ada lagi kata nanti atau menunda atau hidup hanya dengan angan-angan. Setiap muslim yang mendengar perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, maka segera ia melaksanakannya sebagai bentuk ketaatatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua: Sahabat yang pergi menuju ke Bani Quraizhah dan mendapatkan waktu shalat dan ada di antara mereka yang mengerjakannya, sedangkan sebagian yang lain tetap berpegang pada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan tidak mengerjakan shalat hingga sampai di Bani Quraizhah. Mereka telah berijtihad dalam memahami teks syari. Apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad, apabila benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah, ia akan mendapatkan satu pahala. Ketiga: Para sahabat yang melakukan ijtihad dalam hukum syari dan terjadi perbedaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan satu pun di antara mereka. Selain itu, perbedaan tersebut tidak memicu permusuhan, perpecahan, dan perdebatan yang sengit di antara mereka. Karena perbedaan adalah sesuatu yang wajar dalam masalah fikih. Perbedaan boleh saja terjadi, yang penting tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian. Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang timbul dari ijtihad terhadap dalil atau teks syariat yang tidak direkomendasikan untuk diijtihadkan, seperti masalah akidah atau pada masalah yang sudah ada dalil yang tegas. Keempat: Sebagian ulama menjadikan perbuatan sahabat sebagai dalil, jika dilihat bahwa kebenaran itu beragam. Maksud ungkapan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah lawan dari kebatilan, sesungguhnya kebenaran itu tidak mungkin beragam, kebenaran hanyalah satu. Namun, apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah dalam pandangan syariat yaitu sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, maka kebenaran dalam makna ini memang beragam. Kita harus membedakan antara kebenaran sebagai esensi dengan kebenaran yang dianggap benar oleh syariat dan mendapatkan pahala bagi yang melakukannya. Kebenaran sebagai esensi hanyalah satu. Adapun kebenaran yang dipandang benar oleh syariat dan diridai hingga diberi ganjaran, maka kebenaran di sini bisa beragam. Contohnya pada masa kini, ada berbagai pendapat dari berbagai madzhab. Dalam suatu masalah ada berbagai macam pendapat. Seseorang yang menjadi muqallid (hanya mengikuti pendapat madzhab yang ada), insya Allah berada dalam kebenaran, ia dianggap berada pada amalan syari yang diridai. Kelima: Perbedaan yang terjadi jika kembali pada kurangnya ilmu, maka mudaratnya ringan dan masih bisa diobati (diperbaiki). Dalam ayat disebutkan, فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59). Adapun perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan kerusakan, pasti dibangun di atas hawa nafsu, membela golongan tertentu, fanatik pada guru atau madzhab tertentu. Perbedaan kedua ini bukan untuk mencari kebenaran. Sedangkan ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah fikih hasilnya seharusnya bukan ta’ashub (fanatik buta). Dalam masalah fikih banyak sekali terdapat ikhtilaf dan ada pendapat pula yang bisa saling bersepakat. Keenam: Dua sahabat yang berbeda dalam menyikapi perintah Nabi untuk shalat Ashar di Bani Quraizhah sama-sama berpahala. Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.’” (HR. Bukhari, no. 7352 dan Muslim, no. 1716) Baca juga: Menyikapi Ijtihad Seorang Ulama Ketujuh: Dua pihak yang berijtihad berbeda tidaklah saling disalahkan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “As-Suhaili dan ulama lainnya berkata, “Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa ulama yang memahami hadits atau ayat secara tekstual tidaklah boleh disalahkan. Begitu pula ulama yang memahami dalil dengan makna yang khusus tidaklah disalahkan pula.” (Fath Al-Baari, 7:409). Hal ini menunjukkan bahwa ada yang memahami dalil secara tekstual, ada yang memahami dalil dengan memandang maqashid (maksud, tujuan). Dari sinilah letak timbulnya ikhtilaf perbedaan pendapat, maka dari sinilah setiap penuntut ilmu perlu memahaminya. Kedelapan: Bani Quraizhah sebenarnya penuh rasa aman ketika mereka berada di tempat tinggal mereka di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bermuamalah baik dengan mereka. Namun, mereka begitu tega berkhianat pada perang Ahzab. Pengkhiatan ini adalah pengkhianatan yang besar. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati, Bagaimanakah Kita Membalasnya? Kesembilan: Sikap Abu Lubabah yang ditugaskan ke Bani Quraizhah untuk bermusyawarah. Ketika beliau sampai dan menanyakan keadaan mereka, beliau mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa pembunuhan. Beliau menyadari bahwa ini adalah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun pergi mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid hingga turun ayat yang menerima taubatnya. Dari sini kita mendapatkan pelajaran betapa pentingnya nasihat Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat umum. Jangan sampai berkhianat, baik berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin maupun kepada masyarakat umum. Kesepuluh: Dari kisah tersebut juga kita dapat mengambil pelajaran pentingnya bergegas dalam bertaubat langsung setelah berbuat dosa. Sesungguhnya anak keturunan Adam pasti berdosa dan sebaik-baiknya para pelaku dosa adalah yang bertaubat. Syarat diterimanya taubat adalah: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal. Tidak terus-menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera meninggalkannya dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima. Kesebelas: Dari kisah tersebut, kita juga dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya menjauhi tempat-tempat maksiat. Karena Abu Lubabah menjadikan taubatnya untuk tidak kembali lagi ke perkampungan Bani Quraizhah, dan hal ini sangat berarti bagi yang bertaubat. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari maksiat seyogyanya menjauh dari tempat-tempat maksiat tersebut dan tidak bergaul lagi dengan pendukung maksiat. Hal ini menunjukkan kesungguhan taubatnya dan tekadnya untuk tidak kembali melakukan dosa dan maksiat untuk yang kedua kalinya. Terutama bagi mereka yang melakukan maksiat karena pergaulannya dengan orang-orang jahat. Bukti dari kesungguhan taubatnya adalah tidak bergaul lagi dengan mereka. Hadits yang menunjukkan pentingnya menjauhi tempat maksiat sebagai bagian dari syarat taubat adalah hadits tentang pembunuh 100 jiwa berikut ini. Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, pada masa sebelum kalian, ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu, ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun, ia ditunjukkan kepada seorang rahib. Lantas, ia pun mendatanginya dan berkata, ‘Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?’ Rahib pun menjawabnya, ‘Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.’ Lalu, orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian, ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjukkan kepada seorang alim. Lantas, ia bertanya pada alim tersebut, ‘Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya, masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.’ Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Namun, malaikat azab berkata, ‘Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’ Lalu, datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia; mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.’ Lalu, mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim, no. 2766) Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.” (Syarh Muslim, 17: 83) Kedua belas: Kisah Abu Lubabah menunjukkan betapa kuat imannya dan betapa peka hatinya, sehingga ia langsung menyadari kesalahannya dan menyesal bahkan sebelum bergerak dari posisinya. Seperti itulah orang-orang yang bertakwa; ketika digoda oleh setan, mereka segera sadar dan cepat bertaubat, kembali ke jalan Allah. Ketiga belas: Dari kisah ini, kita juga melihat kesungguhan Abu Lubabah dalam bertaubat, betapa dalam penyesalannya, serta keseriusannya untuk menebus kesalahan. Ia mengikat dirinya pada salah satu tiang masjid selama beberapa hari hingga Allah menurunkan ayat yang menerima taubatnya. Keempat belas: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Sa’ad datang, “Berdirilah untuk pemimpin kalian,” mengajarkan kita pentingnya menghormati orang yang memiliki kedudukan dan orang yang lebih tua, baik karena usia, ilmu, maupun kekuasaannya. Dengan demikian, disyariatkan untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan mereka. Kelima belas: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Contohnya, ketika Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyambut Ka’ab bin Malik yang baru tiba di masjid setelah turunnya ayat yang menerima taubatnya. Thalhah berdiri, menyalami, dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat Ka’ab oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Syaikh Muhammad bin Utsaimin menjelaskan bahwa berdiri dalam rangka menghormati diperbolehkan jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan (adat). Larangan hanya berlaku bagi orang yang menginginkan sambutan dengan berdiri karena ingin dihormati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka orang berdiri untuk menghormatinya, maka ia telah mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Abu Daud, no. 4357; Tirmidzi, no. 2212) Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Keenam belas: Mungkin kita menganggap keputusan Sa’ad bin Muadz terhadap Bani Quraizah sangat keras. Namun, untuk memahami keadilan dari keputusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa Bani Quraizah adalah kaum Yahudi yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memiliki perilaku yang sangat kasar. Oleh karena itu, mereka dihukum lebih berat dibandingkan saudara-saudara mereka. b. Bayangkan apa yang akan terjadi jika pasukan gabungan berhasil menyerang Madinah? Apa yang akan dilakukan Bani Quraizah terhadap wanita dan anak-anak kaum Muslimin? Bencana besar pasti akan menimpa mereka, mengingat kaum laki-laki berada di garis depan untuk menghadapi pasukan gabungan. Pengkhianatan besar inilah yang membuat Bani Quraizah layak menerima hukuman yang mereka terima. c. Bani Quraizah bukan hanya membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimin, tetapi juga ikut memerangi mereka. Mereka bersenjata dan memberikan bantuan kepada pasukan gabungan, yang pada akhirnya memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman. d. Sebagai penduduk Madinah, Bani Quraizah seharusnya membela kota dari serangan musuh, seperti yang dijanjikan. Namun, ketika musuh datang, mereka justru berkhianat dengan melakukan tiga kesalahan besar: Melakukan kontak dengan musuh dan membocorkan informasi penting tentang Madinah. Memberikan bantuan materi maupun non-materi kepada musuh. Menyiapkan senjata untuk melawan tentara Madinah, membatalkan perjanjian secara sepihak, dan siap menyerang kaum Muslimin dari belakang di saat kritis. Melihat semua ini, tidak mengherankan jika Sa’ad bin Muadz menjatuhkan hukuman tersebut, yang kemudian didukung oleh Rasulullah. Pengkhianatan mereka adalah kejahatan besar terhadap masyarakat Islam dan Rasulullah. Hukuman yang dijatuhkan Sa’ad juga sesuai dengan hukum dalam kitab suci mereka, Taurat. Muhammad Abu Syuhbah menjelaskan bahwa keputusan Sa’ad sejalan dengan ajaran Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa musuh yang menyerang harus dihukum mati, sementara rampasan perang dapat diambil. Oleh karena itu, keputusan Sa’ad tidak menyimpang dari hukum Taurat, mengingat Bani Quraizah bukan hanya musuh, tetapi juga pengkhianat yang tidak menepati janji.   Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Ditulis sejak 15 Dzulqa’dah 1445 H, 24 Mei 2024 M, berakhir pada 4 Safar 1446 H, 9 Agustus 2024, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang bani quraizhah perang khandaq sirah nabi


Telah dijelaskan bahwa para perang Khandaq/ Ahzab, Bani Quraizhah terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika pasukan gabungan terbentuk, Huyay bin Akhthab membujuk mereka untuk melanggar perjanjian tersebut dan pasukan gabungan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun dengan bujukan Huyay. Bahkan pasukan gabungan dan Bani Quraizhah pulang membawa kerugian. Allah firmankan tentang pasukan Ahzab, وَرَدَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا۟ خَيْرًا ۚ وَكَفَى ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلْقِتَالَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25) Tentang Bani Quraizhah, Allah berfirman, وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَٰرَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُمْ وَأَرْضًا لَّمْ تَطَـُٔوهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 26-27) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah perang Ahzab, tidak ada yang dilakukannya kecuali meletakkan senjata. Namun, tiba-tiba Jibril ‘alaihis salam seraya berkata, “Apakah kamu telah meletakkan senjata?” Demi Allah, sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjatanya. Berangkatlah bersama sahabatmu menuju Bani Quraizhah! Aku akan mengawalmu dan akan meluluhlantakkan benteng-benteng mereka. Aku akan tanamkan rasa takut pada hati mereka.” Lalu Jibril pun berangkat dengan pasukan malaikatnya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat debu-debu berterbangan di lorong-lorong perkampungan Bani Ghanam karena pasukan Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, no. 4118) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Ahzab, لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Jangan ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Namun, sebagian mereka telah mendapatkan waktu Ashar saat dalam perjalanan. Kemudian berkatalah salah satu dari mereka, “Kita tidak akan shalat Ashar sampai kita datang di perkampungan mereka.” Sedangkan sebagian lain berkata, “Tidak, kita harus shalat dulu, sebab bukan itu yang diinginkan Nabi.” Kemudian peristiwa itu diceritakan kepada Nabi dan beliau tidak menyalahkan siapa pun di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 4119) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dengan kekuatan 3.000 pasukan, 36 pasukan berkuda dan melakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah selama sepuluh hari lebih. Allah membuat Huyay bin Akhthab pulang dan kembali ke bentengnya lalu Allah menanamkan rasa takut ke dalam hatinya, sementara pengepungan terus berlanjut. Akhirnya, mereka meminta untuk dikirim negosiator yang bernama Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya. Abu Lubabah datang menemui mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah datang, semua orang berdiri, sedangkan para wanita dan anak-anak menyambutnya dengan tangisan yang mengiba. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah menurutumu kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad?” Abu Lubabah berkata, “Ya.” Sambil memberi isyarat tangan ke lehernya yang berarti mereka harus dibunuh. Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, saat kedua kakiku belum bergerak, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya.” Kemudian ia pun kembali dan tidak berani menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan posisi ini hingga Allah menerima taubatku atas apa yang aku lakukan.” Ia berjanji tidak akan menginjakkan kakinya di Bani Quraizhah selama-lamanya dan tidak akan melihat negeri yang beliau pernah melakukan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya. Ibnu Hisyam berkata, “Allah menurunkan tentang Abu Lubabah seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ismail bin Abu Khalid dari Abdullah bin Abu Qatadah ayat yang berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Ibnu Hisyam berkata, “Ia mengikatkan dirinya selama enam hari. Istrinya datang untuk membuka ikatannya setiap kali datang waktu shalat. Lalu ia berwudhu dan shalat kemudian mengikat diri lagi hingga turun ayat yang menerima taubatnya, وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102) Oleh karena itu, Bani Quraizhah pun tunduk kepada keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan orang-orang dari suku Aus memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat baik kepada mitra mereka, Bani Quraizhah, sebagaimana beliau pernah berbuat baik kepada Bani Qainuqa’, mitra suku Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian senang seandainya yang akan mengambil keputusan adalah tokoh kalian?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda lagi, “Tokoh itu adalah Sa’ad bin Mu’adz.” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Penduduk Quraizhah dijatuhi sanksi berdasarkan keputusan Sa’ad bin Mu’adz. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Sa’ad untuk datang. Kemudian ia pun datang dengan mengendarai keledai. Ketika posisinya dekat dari masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, “Berdirilah untuk pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Kemudian beliau berkata kepada Sa’ad, “Mereka ingin agar kamulah yang mengambil keputusan.” Sa’ad berkata, “Bunuh semua prajurit mereka dan jadikan keluarga mereka sebagai tawanan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami telah memutuskan dengan hukum Allah.” Atau beliau mengatakan, “Dengan hukum malaikat.” Ibnul Qayyim berkata, “Mereka berkata, ‘Wahai Sa’ad, mereka menginginkan kamu yang memutuskan.” Sa’ad menjawab, “Apakah keputusanku berlaku untuk mereka?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi seluruh kaum muslimin?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi orang yang ada di sana” sambil mengarahkan wajahnya dan memberikan isyarat ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, juga berlaku bagiku.” Ia berkata, “Aku putuskan hukumannya adalah semua laki-laki dibunuh, keluarganya ditawan dan hartanya dibagikan. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu telah memutuskan sesuai dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” Sebagian mereka masuk Islam sebelum ada keputusan. Sedangkan Amr bin Sa’ad melarikan diri dan tidak ada yang mengetahui ke mana perginya. Ia termasuk orang yang menolak untuk melanggar perjanjian. Ketika keputusan sudah diambil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mereka yang telah ditumbuhi jenggot dan yang belum tumbuh jenggot dianggap masih anak-anak. Lalu digalilah lubang besar di tengah pasar Madinah kemudian mereka dipenggal yang jumlah mereka mencapai 600 – 700 orang. Tidak ada wanita yang dipenggal, kecuali hanya satu karena ia memukul Suwaid bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dengan batu hingga mati. Selain itu, dihadirkan Huyai bin Akhthab, ia memakai pakaian yang telah disobek-sobek dengan sengaja agar tidak disiksa, sementara tangannya diikat di atas lehernya. Ketika ia melihat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menyesal memusuhimu. Siapa yang dihinakan Allah, pasti hina.” Kemudian ia menghadap manusia seraya berkata, “Wahai manusia, tidak apa-apa dengan keputusan Allah, ini hanya takdir, ketentuan, dan tragedi berdarah yang telah Allah tetapkan atas Bani Israil.” Kemudian ia duduk bersimpuh lalu dipenggal kepalanya.   Pelajaran dari Perang Bani Quraizhah Pertama: Bergegasnya sahabat untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka masih merasa letih dan lelah dari perang Ahzab. Ketika mereka baru saja tiba di Madinah, mereka mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbunyi, “Tidak ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Mereka pun langsung menyambut seruan itu dengan segera sebagai bentuk ketaatan mereka kepada beliau. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, yakni melaksanakan setiap perintah, bahkan harus bersegera melaksanakannya sekalipun berat. Tidak ada lagi kata nanti atau menunda atau hidup hanya dengan angan-angan. Setiap muslim yang mendengar perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, maka segera ia melaksanakannya sebagai bentuk ketaatatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua: Sahabat yang pergi menuju ke Bani Quraizhah dan mendapatkan waktu shalat dan ada di antara mereka yang mengerjakannya, sedangkan sebagian yang lain tetap berpegang pada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan tidak mengerjakan shalat hingga sampai di Bani Quraizhah. Mereka telah berijtihad dalam memahami teks syari. Apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad, apabila benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah, ia akan mendapatkan satu pahala. Ketiga: Para sahabat yang melakukan ijtihad dalam hukum syari dan terjadi perbedaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan satu pun di antara mereka. Selain itu, perbedaan tersebut tidak memicu permusuhan, perpecahan, dan perdebatan yang sengit di antara mereka. Karena perbedaan adalah sesuatu yang wajar dalam masalah fikih. Perbedaan boleh saja terjadi, yang penting tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian. Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang timbul dari ijtihad terhadap dalil atau teks syariat yang tidak direkomendasikan untuk diijtihadkan, seperti masalah akidah atau pada masalah yang sudah ada dalil yang tegas. Keempat: Sebagian ulama menjadikan perbuatan sahabat sebagai dalil, jika dilihat bahwa kebenaran itu beragam. Maksud ungkapan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah lawan dari kebatilan, sesungguhnya kebenaran itu tidak mungkin beragam, kebenaran hanyalah satu. Namun, apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah dalam pandangan syariat yaitu sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, maka kebenaran dalam makna ini memang beragam. Kita harus membedakan antara kebenaran sebagai esensi dengan kebenaran yang dianggap benar oleh syariat dan mendapatkan pahala bagi yang melakukannya. Kebenaran sebagai esensi hanyalah satu. Adapun kebenaran yang dipandang benar oleh syariat dan diridai hingga diberi ganjaran, maka kebenaran di sini bisa beragam. Contohnya pada masa kini, ada berbagai pendapat dari berbagai madzhab. Dalam suatu masalah ada berbagai macam pendapat. Seseorang yang menjadi muqallid (hanya mengikuti pendapat madzhab yang ada), insya Allah berada dalam kebenaran, ia dianggap berada pada amalan syari yang diridai. Kelima: Perbedaan yang terjadi jika kembali pada kurangnya ilmu, maka mudaratnya ringan dan masih bisa diobati (diperbaiki). Dalam ayat disebutkan, فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59). Adapun perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan kerusakan, pasti dibangun di atas hawa nafsu, membela golongan tertentu, fanatik pada guru atau madzhab tertentu. Perbedaan kedua ini bukan untuk mencari kebenaran. Sedangkan ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah fikih hasilnya seharusnya bukan ta’ashub (fanatik buta). Dalam masalah fikih banyak sekali terdapat ikhtilaf dan ada pendapat pula yang bisa saling bersepakat. Keenam: Dua sahabat yang berbeda dalam menyikapi perintah Nabi untuk shalat Ashar di Bani Quraizhah sama-sama berpahala. Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.’” (HR. Bukhari, no. 7352 dan Muslim, no. 1716) Baca juga: Menyikapi Ijtihad Seorang Ulama Ketujuh: Dua pihak yang berijtihad berbeda tidaklah saling disalahkan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “As-Suhaili dan ulama lainnya berkata, “Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa ulama yang memahami hadits atau ayat secara tekstual tidaklah boleh disalahkan. Begitu pula ulama yang memahami dalil dengan makna yang khusus tidaklah disalahkan pula.” (Fath Al-Baari, 7:409). Hal ini menunjukkan bahwa ada yang memahami dalil secara tekstual, ada yang memahami dalil dengan memandang maqashid (maksud, tujuan). Dari sinilah letak timbulnya ikhtilaf perbedaan pendapat, maka dari sinilah setiap penuntut ilmu perlu memahaminya. Kedelapan: Bani Quraizhah sebenarnya penuh rasa aman ketika mereka berada di tempat tinggal mereka di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bermuamalah baik dengan mereka. Namun, mereka begitu tega berkhianat pada perang Ahzab. Pengkhiatan ini adalah pengkhianatan yang besar. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati, Bagaimanakah Kita Membalasnya? Kesembilan: Sikap Abu Lubabah yang ditugaskan ke Bani Quraizhah untuk bermusyawarah. Ketika beliau sampai dan menanyakan keadaan mereka, beliau mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa pembunuhan. Beliau menyadari bahwa ini adalah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun pergi mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid hingga turun ayat yang menerima taubatnya. Dari sini kita mendapatkan pelajaran betapa pentingnya nasihat Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat umum. Jangan sampai berkhianat, baik berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin maupun kepada masyarakat umum. Kesepuluh: Dari kisah tersebut juga kita dapat mengambil pelajaran pentingnya bergegas dalam bertaubat langsung setelah berbuat dosa. Sesungguhnya anak keturunan Adam pasti berdosa dan sebaik-baiknya para pelaku dosa adalah yang bertaubat. Syarat diterimanya taubat adalah: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal. Tidak terus-menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera meninggalkannya dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima. Kesebelas: Dari kisah tersebut, kita juga dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya menjauhi tempat-tempat maksiat. Karena Abu Lubabah menjadikan taubatnya untuk tidak kembali lagi ke perkampungan Bani Quraizhah, dan hal ini sangat berarti bagi yang bertaubat. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari maksiat seyogyanya menjauh dari tempat-tempat maksiat tersebut dan tidak bergaul lagi dengan pendukung maksiat. Hal ini menunjukkan kesungguhan taubatnya dan tekadnya untuk tidak kembali melakukan dosa dan maksiat untuk yang kedua kalinya. Terutama bagi mereka yang melakukan maksiat karena pergaulannya dengan orang-orang jahat. Bukti dari kesungguhan taubatnya adalah tidak bergaul lagi dengan mereka. Hadits yang menunjukkan pentingnya menjauhi tempat maksiat sebagai bagian dari syarat taubat adalah hadits tentang pembunuh 100 jiwa berikut ini. Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, pada masa sebelum kalian, ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu, ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun, ia ditunjukkan kepada seorang rahib. Lantas, ia pun mendatanginya dan berkata, ‘Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?’ Rahib pun menjawabnya, ‘Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.’ Lalu, orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian, ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjukkan kepada seorang alim. Lantas, ia bertanya pada alim tersebut, ‘Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya, masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.’ Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Namun, malaikat azab berkata, ‘Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’ Lalu, datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia; mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.’ Lalu, mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim, no. 2766) Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.” (Syarh Muslim, 17: 83) Kedua belas: Kisah Abu Lubabah menunjukkan betapa kuat imannya dan betapa peka hatinya, sehingga ia langsung menyadari kesalahannya dan menyesal bahkan sebelum bergerak dari posisinya. Seperti itulah orang-orang yang bertakwa; ketika digoda oleh setan, mereka segera sadar dan cepat bertaubat, kembali ke jalan Allah. Ketiga belas: Dari kisah ini, kita juga melihat kesungguhan Abu Lubabah dalam bertaubat, betapa dalam penyesalannya, serta keseriusannya untuk menebus kesalahan. Ia mengikat dirinya pada salah satu tiang masjid selama beberapa hari hingga Allah menurunkan ayat yang menerima taubatnya. Keempat belas: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Sa’ad datang, “Berdirilah untuk pemimpin kalian,” mengajarkan kita pentingnya menghormati orang yang memiliki kedudukan dan orang yang lebih tua, baik karena usia, ilmu, maupun kekuasaannya. Dengan demikian, disyariatkan untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan mereka. Kelima belas: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Contohnya, ketika Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyambut Ka’ab bin Malik yang baru tiba di masjid setelah turunnya ayat yang menerima taubatnya. Thalhah berdiri, menyalami, dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat Ka’ab oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Syaikh Muhammad bin Utsaimin menjelaskan bahwa berdiri dalam rangka menghormati diperbolehkan jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan (adat). Larangan hanya berlaku bagi orang yang menginginkan sambutan dengan berdiri karena ingin dihormati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka orang berdiri untuk menghormatinya, maka ia telah mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Abu Daud, no. 4357; Tirmidzi, no. 2212) Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Keenam belas: Mungkin kita menganggap keputusan Sa’ad bin Muadz terhadap Bani Quraizah sangat keras. Namun, untuk memahami keadilan dari keputusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa Bani Quraizah adalah kaum Yahudi yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memiliki perilaku yang sangat kasar. Oleh karena itu, mereka dihukum lebih berat dibandingkan saudara-saudara mereka. b. Bayangkan apa yang akan terjadi jika pasukan gabungan berhasil menyerang Madinah? Apa yang akan dilakukan Bani Quraizah terhadap wanita dan anak-anak kaum Muslimin? Bencana besar pasti akan menimpa mereka, mengingat kaum laki-laki berada di garis depan untuk menghadapi pasukan gabungan. Pengkhianatan besar inilah yang membuat Bani Quraizah layak menerima hukuman yang mereka terima. c. Bani Quraizah bukan hanya membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimin, tetapi juga ikut memerangi mereka. Mereka bersenjata dan memberikan bantuan kepada pasukan gabungan, yang pada akhirnya memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman. d. Sebagai penduduk Madinah, Bani Quraizah seharusnya membela kota dari serangan musuh, seperti yang dijanjikan. Namun, ketika musuh datang, mereka justru berkhianat dengan melakukan tiga kesalahan besar: Melakukan kontak dengan musuh dan membocorkan informasi penting tentang Madinah. Memberikan bantuan materi maupun non-materi kepada musuh. Menyiapkan senjata untuk melawan tentara Madinah, membatalkan perjanjian secara sepihak, dan siap menyerang kaum Muslimin dari belakang di saat kritis. Melihat semua ini, tidak mengherankan jika Sa’ad bin Muadz menjatuhkan hukuman tersebut, yang kemudian didukung oleh Rasulullah. Pengkhianatan mereka adalah kejahatan besar terhadap masyarakat Islam dan Rasulullah. Hukuman yang dijatuhkan Sa’ad juga sesuai dengan hukum dalam kitab suci mereka, Taurat. Muhammad Abu Syuhbah menjelaskan bahwa keputusan Sa’ad sejalan dengan ajaran Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa musuh yang menyerang harus dihukum mati, sementara rampasan perang dapat diambil. Oleh karena itu, keputusan Sa’ad tidak menyimpang dari hukum Taurat, mengingat Bani Quraizah bukan hanya musuh, tetapi juga pengkhianat yang tidak menepati janji.   Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Ditulis sejak 15 Dzulqa’dah 1445 H, 24 Mei 2024 M, berakhir pada 4 Safar 1446 H, 9 Agustus 2024, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang bani quraizhah perang khandaq sirah nabi

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatasAkal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatas Telah disebutkan di artikel sebelumnya bahwa ahli sunah tidak menolak peran penting akal. Di saat yang bersamaan, mereka juga mengakui bahwa akal memiliki batasan yang tidak boleh dilewati. Oleh karena itu, kewenangannya terlalu lemah untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Ia juga terlalu lemah untuk bekerja secara independen tanpa bantuan wahyu. Justru ini adalah konsekuensi dari kesempurnaan Allah dan kekurangan makhluk. Allah berfirman, وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ ضَعِیفࣰا “Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Akal memiliki kendali sesuai ruang kerjanya. Meskipun demikian, ketika akal digunakan untuk memikirkan hal-hal yang berada di dalam maupun di luar ruang kerjanya, ia tetap membutuhkan bimbingan wahyu Allah. Berikut alasannya: Pertama: Akal tidak dapat masuk ke ranah perkara-perkara gaib. Rincian mengenai sifat Allah, para malaikat, dan kondisi hari kiamat tidak dapat diketahui tanpa didahului dengan informasi dari wahyu. Akal tidak memiliki akses untuk masuk ke dalamnya. Tugasnya hanya mengakui, menerima, dan melaksanakan konsekuensinya tanpa penolakan. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Berita-berita yang para rasul sampaikan berupa rincian kondisi hari kiamat, atau rincian aturan syariat itu tidak bisa diketahui oleh manusia semata-mata dengan akalnya. Begitu juga berlaku terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Seandainya manusia bisa tahu dengan akalnya, pengetahuan tersebut hanya secara garis besar saja.” [1] Alasan adanya keterbatasan ini adalah keberadaan indra yang mengikat akal, sehingga ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang tidak ditangkap indra tersebut. Akal pun mengakui keterbatasan ini. Oleh karena itu, dia sendiri yang memutuskan bahwa dia tidak mempunyai ruang untuk mengetahui apa pun yang melampaui wilayahnya. Kedua: Akal tidak dapat bekerja secara mandiri tanpa hidayah. Siapa pun yang menginginkan kemandirian tersebut, ia akan tersesat. Analogi yang cocok bagi akal adalah penglihatan pada bola mata kita. Bola mata tersebut tidak dapat melihat, kecuali dengan bantuan cahaya matahari atau lampu. Ketika cahaya itu hilang, bola mata tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu juga akal, ia tidak dapat melihat hidayah, kecuali dengan keberadaan cahaya Al-Qur’an dan iman. [2] Ketika akal bekerja tanpa cahaya tersebut, ia menjadi tidak bermanfaat.  Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَٰرًا وَأَفْـِٔدَةً فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ ”Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang belum pernah Kami teguhkan kedudukanmu dalam hal itu. Dan Kami telah berikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati. Akan tetapi, pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Al-Ahqaf: 26) Tidak ada jalan untuk mendapat hidayah, kecuali melalui wahyu. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنِ ٱهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِىٓ إِلَىَّ رَبِّىٌٓ ”Jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (QS. Saba’: 50) Ketiga: Akal tidak dapat memutuskan hukum terhadap kasus yang terjadi di tengah manusia secara independen. Hanya wahyu yang Allah turunkan yang dapat memutuskan hukum secara independen. Wahyu tersebut tidak memiliki pertentangan maupun sesuatu yang membingungkan. Hal ini disebabkan kekuatan penalaran tiap akal berbeda. Jika demikian, pendapat seseorang tidak bisa menyelesaikan sengketa antara dua orang dengan baik. Adapun yang dapat menyelesaikannya adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan dari langit dan juga rasul yang Allah utus dalam keadaan terjaga dari kekeliruan dalam menyampaikan wahyu Allah. [3] Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan kepada Al-Qur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman,  فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’‘ (QS. An-Nisa: 59) Keempat: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada kontradiksi antara akal dan wahyu. Namun, perlu diperhatikan bahwa bukan berarti akal adalah penentu kebenaran syariat, bukan juga ia harus bisa mengetahui seluruh sisi syariat. Akal dengan keterbatasannya terkadang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan beberapa aturan syariat. Bukan berarti ketika akal belum bisa memahami syariat, kemudian syariat itu keliru. Sekali lagi, ini merupakan dampak kesempurnaan Allah dan lemahnya kita sebagai makhluk-Nya.  Ahli sunah memiliki konsep yang konsisten bahwa beberapa rincian syariat ini memuat hal-hal yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Oleh karenanya, kita perlu membedakan antara hal-hal yang tidak masuk akal dengan hal-hal yang belum bisa dicerna akal. Tentu para rasul tidak membawa risalah yang tidak masuk akal, namun terkadang belum bisa dicerna akal. [4] Syekhul Islam rahimahullah berkata, “Akal sehat akan mencocoki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada penyelisihan sama sekali. Standar kebenaran itu ada bersama Al-Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kebenaran dan keadilan. Tetapi, terkadang akal memiliki kelemahan dalam memahami detail-detail syariat Allah. Para rasul membawakan wahyu yang terkadang belum bisa dipahami, namun bukan yang dipahami bahwa wahyu itu keliru. Para rasul membawakan pesan yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Inilah jalan hidayah, sunah, dan ilmu.” [5] Akal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Konsep ini adalah kesimpulan terpenting dari lima konsep sebelumnya. Meskipun akal dan wahyu itu saling berdampingan dan selaras, dalil wahyu harus tetap diunggulkan dari akal tanpa ada keraguan. Apakah orang yang berakal akan ragu ketika sesuatu yang tidak bisa salah diunggulkan daripada yang berpeluang salah? Apakah ia akan ragu untuk menerima sesuatu yang secara absolut terjaga dari kekeliruan dan inskonsistensi? Apakah sama antara akal yang memiliki keterbatasan, memiliki banyak persanggahan, dan dapat dimasuki kesalahan dengan wahyu yang turun dari Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana? Jika seseorang masih mengunggulkan akal, tidak diragukan lagi bahwa sikap tersebut sudah menyelisihi akal dan wahyu. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Jika wahyu dan akal bertentangan dalam suatu permasalahan, maka wajib mendahulukan wahyu dan mengesampingkan akal sehingga akal menjadi pengikut wahyu. Akal tidak dilepas begitu saja untuk berpikir, kecuali dengan batasan kerja yang ditentukan oleh wahyu.” [6] Kesimpulannya, pondasi agama Islam adalah kepatuhan terhadap wahyu. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf: 3) Adapun tujuan akal adalah untuk menjadi wasilah dalam memahami wahyu, menjadi pelayan bagi wahyu, dan tunduk patuh kepadanya. Ia tidak bisa untuk tidak butuh terhadap bimbingan wahyu dalam bekerja. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ‘’Akal menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum. Hal ini sama seperti ilustrasi berikut. Seorang awam bernama si A mengetahui seorang mufti yang memiliki kepakaran di bidang agama. Ia mengetahui mufti tersebut dari si B. Suatu ketika, terjadi perbedaan pendapat antara sang mufti dan si B. Tentu si A wajib untuk mendahulukan ucapan sang mufti. Andaikata itu terjadi, lantas si B berkata, ‘Saya adalah penuntunmu, sehingga kamu bisa mengetahui bahwa dia adalah mufti. Kalau kamu mendahulukan ucapan dia daripada ucapanku, berarti kamu tidak menghargaiku sebagai penuntunmu.’ Si A menjawab, ‘Justru ketika kamu mempersaksikan dan menunjukkan kepadaku bahwa dia adalah mufti, berarti kamu telah mempersaksikan kepadaku kewajiban untuk mengikuti perkataannya, bukan perkataanmu. Jika aku sepakat denganmu dalam permasalahan ilmiah tertentu, bukan berarti kita harus sepakat dalam permasalahan lain. Ketika kamu bersanggah dengan mufti tersebut pada suatu masalah, bukan berarti pengetahuanmu tentang kepakaran mufti itu juga keliru. Ketika kamu berijtihad untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang harus diikuti, lantas di kemudian hari kamu bersanggah dengan mufti tersebut dengan cara berijtihad juga, maka kekeliruanmu hanya terjadi pada ijtihad yang kedua saja. Adapun ijtihadmu untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang wajib diikuti itu tidak keliru.’ Kita paham bahwa bisa saja seorang mufti melakukan kesalahan. Akal juga mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang ma’shum (orang yang dijaga dari kekeliruan) dalam menyampaikan kabar tentang Allah. Oleh karenanya, mengunggulkan ucapan seseorang yang ma’shum di atas orang-orang yang menyelisihinya, meskipun dengan pendalilan-pendalilan logika itu lebih masuk akal daripada sekadar mendahulukan ucapan seorang mufti di atas orang-orang yang menyelisihinya.  Ketika seseorang mengetahui dan bersaksi bahwa si A merupakan ahli dalam ilmu kedokteran. Sang hakim juga mengetahui bahwa tidak ada orang selain si A yang menguasai ilmu kedokteran, atau bahkan tidak ada pakar kedokteran yang lebih ahli dari si A. Lantas, terjadi perselisihan antara saksi-saksi yang awam dengan si A. Tentu, ucapan si A harus dimenangkan daripada selainnya.” [7] Demikianlah penjelasan urgensi rambu-rambu yang terang mengenai kedudukan akal di sisi ahli sunah waljama’ah. Semoga Allah Ta’ala kokohkan kita di atas metode beragama mereka serta menguatkan kita di atas kegigihan mereka. Semoga selawat dan salam tercurah kepada hamba dan juga utusan-Nya, Muhammad, serta kepada keluarga, dan seluruh sahabatnya. [Selesai] Kembali ke bagian 4: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4) Mulai dari bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Majmu’ Al-Fatawa, 3: 115. [2] Ibid., 3: 338. [3] Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 137; Majmu’ Al-Fatawa, 12: 465. [4] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 391. [5] Majmu’ Al-Fatawa, 17: 444; 2: 312; 11: 243; Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400; Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 7: 327; Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 321; 8: 533; Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829-830. [6] Al-Muwafaqat, 1: 125. [7] Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 1: 138-139. Tags: akalislam

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatasAkal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatas Telah disebutkan di artikel sebelumnya bahwa ahli sunah tidak menolak peran penting akal. Di saat yang bersamaan, mereka juga mengakui bahwa akal memiliki batasan yang tidak boleh dilewati. Oleh karena itu, kewenangannya terlalu lemah untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Ia juga terlalu lemah untuk bekerja secara independen tanpa bantuan wahyu. Justru ini adalah konsekuensi dari kesempurnaan Allah dan kekurangan makhluk. Allah berfirman, وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ ضَعِیفࣰا “Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Akal memiliki kendali sesuai ruang kerjanya. Meskipun demikian, ketika akal digunakan untuk memikirkan hal-hal yang berada di dalam maupun di luar ruang kerjanya, ia tetap membutuhkan bimbingan wahyu Allah. Berikut alasannya: Pertama: Akal tidak dapat masuk ke ranah perkara-perkara gaib. Rincian mengenai sifat Allah, para malaikat, dan kondisi hari kiamat tidak dapat diketahui tanpa didahului dengan informasi dari wahyu. Akal tidak memiliki akses untuk masuk ke dalamnya. Tugasnya hanya mengakui, menerima, dan melaksanakan konsekuensinya tanpa penolakan. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Berita-berita yang para rasul sampaikan berupa rincian kondisi hari kiamat, atau rincian aturan syariat itu tidak bisa diketahui oleh manusia semata-mata dengan akalnya. Begitu juga berlaku terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Seandainya manusia bisa tahu dengan akalnya, pengetahuan tersebut hanya secara garis besar saja.” [1] Alasan adanya keterbatasan ini adalah keberadaan indra yang mengikat akal, sehingga ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang tidak ditangkap indra tersebut. Akal pun mengakui keterbatasan ini. Oleh karena itu, dia sendiri yang memutuskan bahwa dia tidak mempunyai ruang untuk mengetahui apa pun yang melampaui wilayahnya. Kedua: Akal tidak dapat bekerja secara mandiri tanpa hidayah. Siapa pun yang menginginkan kemandirian tersebut, ia akan tersesat. Analogi yang cocok bagi akal adalah penglihatan pada bola mata kita. Bola mata tersebut tidak dapat melihat, kecuali dengan bantuan cahaya matahari atau lampu. Ketika cahaya itu hilang, bola mata tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu juga akal, ia tidak dapat melihat hidayah, kecuali dengan keberadaan cahaya Al-Qur’an dan iman. [2] Ketika akal bekerja tanpa cahaya tersebut, ia menjadi tidak bermanfaat.  Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَٰرًا وَأَفْـِٔدَةً فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ ”Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang belum pernah Kami teguhkan kedudukanmu dalam hal itu. Dan Kami telah berikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati. Akan tetapi, pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Al-Ahqaf: 26) Tidak ada jalan untuk mendapat hidayah, kecuali melalui wahyu. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنِ ٱهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِىٓ إِلَىَّ رَبِّىٌٓ ”Jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (QS. Saba’: 50) Ketiga: Akal tidak dapat memutuskan hukum terhadap kasus yang terjadi di tengah manusia secara independen. Hanya wahyu yang Allah turunkan yang dapat memutuskan hukum secara independen. Wahyu tersebut tidak memiliki pertentangan maupun sesuatu yang membingungkan. Hal ini disebabkan kekuatan penalaran tiap akal berbeda. Jika demikian, pendapat seseorang tidak bisa menyelesaikan sengketa antara dua orang dengan baik. Adapun yang dapat menyelesaikannya adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan dari langit dan juga rasul yang Allah utus dalam keadaan terjaga dari kekeliruan dalam menyampaikan wahyu Allah. [3] Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan kepada Al-Qur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman,  فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’‘ (QS. An-Nisa: 59) Keempat: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada kontradiksi antara akal dan wahyu. Namun, perlu diperhatikan bahwa bukan berarti akal adalah penentu kebenaran syariat, bukan juga ia harus bisa mengetahui seluruh sisi syariat. Akal dengan keterbatasannya terkadang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan beberapa aturan syariat. Bukan berarti ketika akal belum bisa memahami syariat, kemudian syariat itu keliru. Sekali lagi, ini merupakan dampak kesempurnaan Allah dan lemahnya kita sebagai makhluk-Nya.  Ahli sunah memiliki konsep yang konsisten bahwa beberapa rincian syariat ini memuat hal-hal yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Oleh karenanya, kita perlu membedakan antara hal-hal yang tidak masuk akal dengan hal-hal yang belum bisa dicerna akal. Tentu para rasul tidak membawa risalah yang tidak masuk akal, namun terkadang belum bisa dicerna akal. [4] Syekhul Islam rahimahullah berkata, “Akal sehat akan mencocoki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada penyelisihan sama sekali. Standar kebenaran itu ada bersama Al-Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kebenaran dan keadilan. Tetapi, terkadang akal memiliki kelemahan dalam memahami detail-detail syariat Allah. Para rasul membawakan wahyu yang terkadang belum bisa dipahami, namun bukan yang dipahami bahwa wahyu itu keliru. Para rasul membawakan pesan yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Inilah jalan hidayah, sunah, dan ilmu.” [5] Akal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Konsep ini adalah kesimpulan terpenting dari lima konsep sebelumnya. Meskipun akal dan wahyu itu saling berdampingan dan selaras, dalil wahyu harus tetap diunggulkan dari akal tanpa ada keraguan. Apakah orang yang berakal akan ragu ketika sesuatu yang tidak bisa salah diunggulkan daripada yang berpeluang salah? Apakah ia akan ragu untuk menerima sesuatu yang secara absolut terjaga dari kekeliruan dan inskonsistensi? Apakah sama antara akal yang memiliki keterbatasan, memiliki banyak persanggahan, dan dapat dimasuki kesalahan dengan wahyu yang turun dari Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana? Jika seseorang masih mengunggulkan akal, tidak diragukan lagi bahwa sikap tersebut sudah menyelisihi akal dan wahyu. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Jika wahyu dan akal bertentangan dalam suatu permasalahan, maka wajib mendahulukan wahyu dan mengesampingkan akal sehingga akal menjadi pengikut wahyu. Akal tidak dilepas begitu saja untuk berpikir, kecuali dengan batasan kerja yang ditentukan oleh wahyu.” [6] Kesimpulannya, pondasi agama Islam adalah kepatuhan terhadap wahyu. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf: 3) Adapun tujuan akal adalah untuk menjadi wasilah dalam memahami wahyu, menjadi pelayan bagi wahyu, dan tunduk patuh kepadanya. Ia tidak bisa untuk tidak butuh terhadap bimbingan wahyu dalam bekerja. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ‘’Akal menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum. Hal ini sama seperti ilustrasi berikut. Seorang awam bernama si A mengetahui seorang mufti yang memiliki kepakaran di bidang agama. Ia mengetahui mufti tersebut dari si B. Suatu ketika, terjadi perbedaan pendapat antara sang mufti dan si B. Tentu si A wajib untuk mendahulukan ucapan sang mufti. Andaikata itu terjadi, lantas si B berkata, ‘Saya adalah penuntunmu, sehingga kamu bisa mengetahui bahwa dia adalah mufti. Kalau kamu mendahulukan ucapan dia daripada ucapanku, berarti kamu tidak menghargaiku sebagai penuntunmu.’ Si A menjawab, ‘Justru ketika kamu mempersaksikan dan menunjukkan kepadaku bahwa dia adalah mufti, berarti kamu telah mempersaksikan kepadaku kewajiban untuk mengikuti perkataannya, bukan perkataanmu. Jika aku sepakat denganmu dalam permasalahan ilmiah tertentu, bukan berarti kita harus sepakat dalam permasalahan lain. Ketika kamu bersanggah dengan mufti tersebut pada suatu masalah, bukan berarti pengetahuanmu tentang kepakaran mufti itu juga keliru. Ketika kamu berijtihad untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang harus diikuti, lantas di kemudian hari kamu bersanggah dengan mufti tersebut dengan cara berijtihad juga, maka kekeliruanmu hanya terjadi pada ijtihad yang kedua saja. Adapun ijtihadmu untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang wajib diikuti itu tidak keliru.’ Kita paham bahwa bisa saja seorang mufti melakukan kesalahan. Akal juga mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang ma’shum (orang yang dijaga dari kekeliruan) dalam menyampaikan kabar tentang Allah. Oleh karenanya, mengunggulkan ucapan seseorang yang ma’shum di atas orang-orang yang menyelisihinya, meskipun dengan pendalilan-pendalilan logika itu lebih masuk akal daripada sekadar mendahulukan ucapan seorang mufti di atas orang-orang yang menyelisihinya.  Ketika seseorang mengetahui dan bersaksi bahwa si A merupakan ahli dalam ilmu kedokteran. Sang hakim juga mengetahui bahwa tidak ada orang selain si A yang menguasai ilmu kedokteran, atau bahkan tidak ada pakar kedokteran yang lebih ahli dari si A. Lantas, terjadi perselisihan antara saksi-saksi yang awam dengan si A. Tentu, ucapan si A harus dimenangkan daripada selainnya.” [7] Demikianlah penjelasan urgensi rambu-rambu yang terang mengenai kedudukan akal di sisi ahli sunah waljama’ah. Semoga Allah Ta’ala kokohkan kita di atas metode beragama mereka serta menguatkan kita di atas kegigihan mereka. Semoga selawat dan salam tercurah kepada hamba dan juga utusan-Nya, Muhammad, serta kepada keluarga, dan seluruh sahabatnya. [Selesai] Kembali ke bagian 4: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4) Mulai dari bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Majmu’ Al-Fatawa, 3: 115. [2] Ibid., 3: 338. [3] Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 137; Majmu’ Al-Fatawa, 12: 465. [4] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 391. [5] Majmu’ Al-Fatawa, 17: 444; 2: 312; 11: 243; Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400; Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 7: 327; Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 321; 8: 533; Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829-830. [6] Al-Muwafaqat, 1: 125. [7] Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 1: 138-139. Tags: akalislam
Daftar Isi Toggle Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatasAkal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatas Telah disebutkan di artikel sebelumnya bahwa ahli sunah tidak menolak peran penting akal. Di saat yang bersamaan, mereka juga mengakui bahwa akal memiliki batasan yang tidak boleh dilewati. Oleh karena itu, kewenangannya terlalu lemah untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Ia juga terlalu lemah untuk bekerja secara independen tanpa bantuan wahyu. Justru ini adalah konsekuensi dari kesempurnaan Allah dan kekurangan makhluk. Allah berfirman, وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ ضَعِیفࣰا “Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Akal memiliki kendali sesuai ruang kerjanya. Meskipun demikian, ketika akal digunakan untuk memikirkan hal-hal yang berada di dalam maupun di luar ruang kerjanya, ia tetap membutuhkan bimbingan wahyu Allah. Berikut alasannya: Pertama: Akal tidak dapat masuk ke ranah perkara-perkara gaib. Rincian mengenai sifat Allah, para malaikat, dan kondisi hari kiamat tidak dapat diketahui tanpa didahului dengan informasi dari wahyu. Akal tidak memiliki akses untuk masuk ke dalamnya. Tugasnya hanya mengakui, menerima, dan melaksanakan konsekuensinya tanpa penolakan. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Berita-berita yang para rasul sampaikan berupa rincian kondisi hari kiamat, atau rincian aturan syariat itu tidak bisa diketahui oleh manusia semata-mata dengan akalnya. Begitu juga berlaku terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Seandainya manusia bisa tahu dengan akalnya, pengetahuan tersebut hanya secara garis besar saja.” [1] Alasan adanya keterbatasan ini adalah keberadaan indra yang mengikat akal, sehingga ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang tidak ditangkap indra tersebut. Akal pun mengakui keterbatasan ini. Oleh karena itu, dia sendiri yang memutuskan bahwa dia tidak mempunyai ruang untuk mengetahui apa pun yang melampaui wilayahnya. Kedua: Akal tidak dapat bekerja secara mandiri tanpa hidayah. Siapa pun yang menginginkan kemandirian tersebut, ia akan tersesat. Analogi yang cocok bagi akal adalah penglihatan pada bola mata kita. Bola mata tersebut tidak dapat melihat, kecuali dengan bantuan cahaya matahari atau lampu. Ketika cahaya itu hilang, bola mata tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu juga akal, ia tidak dapat melihat hidayah, kecuali dengan keberadaan cahaya Al-Qur’an dan iman. [2] Ketika akal bekerja tanpa cahaya tersebut, ia menjadi tidak bermanfaat.  Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَٰرًا وَأَفْـِٔدَةً فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ ”Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang belum pernah Kami teguhkan kedudukanmu dalam hal itu. Dan Kami telah berikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati. Akan tetapi, pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Al-Ahqaf: 26) Tidak ada jalan untuk mendapat hidayah, kecuali melalui wahyu. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنِ ٱهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِىٓ إِلَىَّ رَبِّىٌٓ ”Jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (QS. Saba’: 50) Ketiga: Akal tidak dapat memutuskan hukum terhadap kasus yang terjadi di tengah manusia secara independen. Hanya wahyu yang Allah turunkan yang dapat memutuskan hukum secara independen. Wahyu tersebut tidak memiliki pertentangan maupun sesuatu yang membingungkan. Hal ini disebabkan kekuatan penalaran tiap akal berbeda. Jika demikian, pendapat seseorang tidak bisa menyelesaikan sengketa antara dua orang dengan baik. Adapun yang dapat menyelesaikannya adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan dari langit dan juga rasul yang Allah utus dalam keadaan terjaga dari kekeliruan dalam menyampaikan wahyu Allah. [3] Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan kepada Al-Qur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman,  فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’‘ (QS. An-Nisa: 59) Keempat: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada kontradiksi antara akal dan wahyu. Namun, perlu diperhatikan bahwa bukan berarti akal adalah penentu kebenaran syariat, bukan juga ia harus bisa mengetahui seluruh sisi syariat. Akal dengan keterbatasannya terkadang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan beberapa aturan syariat. Bukan berarti ketika akal belum bisa memahami syariat, kemudian syariat itu keliru. Sekali lagi, ini merupakan dampak kesempurnaan Allah dan lemahnya kita sebagai makhluk-Nya.  Ahli sunah memiliki konsep yang konsisten bahwa beberapa rincian syariat ini memuat hal-hal yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Oleh karenanya, kita perlu membedakan antara hal-hal yang tidak masuk akal dengan hal-hal yang belum bisa dicerna akal. Tentu para rasul tidak membawa risalah yang tidak masuk akal, namun terkadang belum bisa dicerna akal. [4] Syekhul Islam rahimahullah berkata, “Akal sehat akan mencocoki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada penyelisihan sama sekali. Standar kebenaran itu ada bersama Al-Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kebenaran dan keadilan. Tetapi, terkadang akal memiliki kelemahan dalam memahami detail-detail syariat Allah. Para rasul membawakan wahyu yang terkadang belum bisa dipahami, namun bukan yang dipahami bahwa wahyu itu keliru. Para rasul membawakan pesan yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Inilah jalan hidayah, sunah, dan ilmu.” [5] Akal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Konsep ini adalah kesimpulan terpenting dari lima konsep sebelumnya. Meskipun akal dan wahyu itu saling berdampingan dan selaras, dalil wahyu harus tetap diunggulkan dari akal tanpa ada keraguan. Apakah orang yang berakal akan ragu ketika sesuatu yang tidak bisa salah diunggulkan daripada yang berpeluang salah? Apakah ia akan ragu untuk menerima sesuatu yang secara absolut terjaga dari kekeliruan dan inskonsistensi? Apakah sama antara akal yang memiliki keterbatasan, memiliki banyak persanggahan, dan dapat dimasuki kesalahan dengan wahyu yang turun dari Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana? Jika seseorang masih mengunggulkan akal, tidak diragukan lagi bahwa sikap tersebut sudah menyelisihi akal dan wahyu. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Jika wahyu dan akal bertentangan dalam suatu permasalahan, maka wajib mendahulukan wahyu dan mengesampingkan akal sehingga akal menjadi pengikut wahyu. Akal tidak dilepas begitu saja untuk berpikir, kecuali dengan batasan kerja yang ditentukan oleh wahyu.” [6] Kesimpulannya, pondasi agama Islam adalah kepatuhan terhadap wahyu. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf: 3) Adapun tujuan akal adalah untuk menjadi wasilah dalam memahami wahyu, menjadi pelayan bagi wahyu, dan tunduk patuh kepadanya. Ia tidak bisa untuk tidak butuh terhadap bimbingan wahyu dalam bekerja. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ‘’Akal menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum. Hal ini sama seperti ilustrasi berikut. Seorang awam bernama si A mengetahui seorang mufti yang memiliki kepakaran di bidang agama. Ia mengetahui mufti tersebut dari si B. Suatu ketika, terjadi perbedaan pendapat antara sang mufti dan si B. Tentu si A wajib untuk mendahulukan ucapan sang mufti. Andaikata itu terjadi, lantas si B berkata, ‘Saya adalah penuntunmu, sehingga kamu bisa mengetahui bahwa dia adalah mufti. Kalau kamu mendahulukan ucapan dia daripada ucapanku, berarti kamu tidak menghargaiku sebagai penuntunmu.’ Si A menjawab, ‘Justru ketika kamu mempersaksikan dan menunjukkan kepadaku bahwa dia adalah mufti, berarti kamu telah mempersaksikan kepadaku kewajiban untuk mengikuti perkataannya, bukan perkataanmu. Jika aku sepakat denganmu dalam permasalahan ilmiah tertentu, bukan berarti kita harus sepakat dalam permasalahan lain. Ketika kamu bersanggah dengan mufti tersebut pada suatu masalah, bukan berarti pengetahuanmu tentang kepakaran mufti itu juga keliru. Ketika kamu berijtihad untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang harus diikuti, lantas di kemudian hari kamu bersanggah dengan mufti tersebut dengan cara berijtihad juga, maka kekeliruanmu hanya terjadi pada ijtihad yang kedua saja. Adapun ijtihadmu untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang wajib diikuti itu tidak keliru.’ Kita paham bahwa bisa saja seorang mufti melakukan kesalahan. Akal juga mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang ma’shum (orang yang dijaga dari kekeliruan) dalam menyampaikan kabar tentang Allah. Oleh karenanya, mengunggulkan ucapan seseorang yang ma’shum di atas orang-orang yang menyelisihinya, meskipun dengan pendalilan-pendalilan logika itu lebih masuk akal daripada sekadar mendahulukan ucapan seorang mufti di atas orang-orang yang menyelisihinya.  Ketika seseorang mengetahui dan bersaksi bahwa si A merupakan ahli dalam ilmu kedokteran. Sang hakim juga mengetahui bahwa tidak ada orang selain si A yang menguasai ilmu kedokteran, atau bahkan tidak ada pakar kedokteran yang lebih ahli dari si A. Lantas, terjadi perselisihan antara saksi-saksi yang awam dengan si A. Tentu, ucapan si A harus dimenangkan daripada selainnya.” [7] Demikianlah penjelasan urgensi rambu-rambu yang terang mengenai kedudukan akal di sisi ahli sunah waljama’ah. Semoga Allah Ta’ala kokohkan kita di atas metode beragama mereka serta menguatkan kita di atas kegigihan mereka. Semoga selawat dan salam tercurah kepada hamba dan juga utusan-Nya, Muhammad, serta kepada keluarga, dan seluruh sahabatnya. [Selesai] Kembali ke bagian 4: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4) Mulai dari bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Majmu’ Al-Fatawa, 3: 115. [2] Ibid., 3: 338. [3] Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 137; Majmu’ Al-Fatawa, 12: 465. [4] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 391. [5] Majmu’ Al-Fatawa, 17: 444; 2: 312; 11: 243; Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400; Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 7: 327; Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 321; 8: 533; Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829-830. [6] Al-Muwafaqat, 1: 125. [7] Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 1: 138-139. Tags: akalislam


Daftar Isi Toggle Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatasAkal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatas Telah disebutkan di artikel sebelumnya bahwa ahli sunah tidak menolak peran penting akal. Di saat yang bersamaan, mereka juga mengakui bahwa akal memiliki batasan yang tidak boleh dilewati. Oleh karena itu, kewenangannya terlalu lemah untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Ia juga terlalu lemah untuk bekerja secara independen tanpa bantuan wahyu. Justru ini adalah konsekuensi dari kesempurnaan Allah dan kekurangan makhluk. Allah berfirman, وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ ضَعِیفࣰا “Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Akal memiliki kendali sesuai ruang kerjanya. Meskipun demikian, ketika akal digunakan untuk memikirkan hal-hal yang berada di dalam maupun di luar ruang kerjanya, ia tetap membutuhkan bimbingan wahyu Allah. Berikut alasannya: Pertama: Akal tidak dapat masuk ke ranah perkara-perkara gaib. Rincian mengenai sifat Allah, para malaikat, dan kondisi hari kiamat tidak dapat diketahui tanpa didahului dengan informasi dari wahyu. Akal tidak memiliki akses untuk masuk ke dalamnya. Tugasnya hanya mengakui, menerima, dan melaksanakan konsekuensinya tanpa penolakan. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Berita-berita yang para rasul sampaikan berupa rincian kondisi hari kiamat, atau rincian aturan syariat itu tidak bisa diketahui oleh manusia semata-mata dengan akalnya. Begitu juga berlaku terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Seandainya manusia bisa tahu dengan akalnya, pengetahuan tersebut hanya secara garis besar saja.” [1] Alasan adanya keterbatasan ini adalah keberadaan indra yang mengikat akal, sehingga ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang tidak ditangkap indra tersebut. Akal pun mengakui keterbatasan ini. Oleh karena itu, dia sendiri yang memutuskan bahwa dia tidak mempunyai ruang untuk mengetahui apa pun yang melampaui wilayahnya. Kedua: Akal tidak dapat bekerja secara mandiri tanpa hidayah. Siapa pun yang menginginkan kemandirian tersebut, ia akan tersesat. Analogi yang cocok bagi akal adalah penglihatan pada bola mata kita. Bola mata tersebut tidak dapat melihat, kecuali dengan bantuan cahaya matahari atau lampu. Ketika cahaya itu hilang, bola mata tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu juga akal, ia tidak dapat melihat hidayah, kecuali dengan keberadaan cahaya Al-Qur’an dan iman. [2] Ketika akal bekerja tanpa cahaya tersebut, ia menjadi tidak bermanfaat.  Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَٰرًا وَأَفْـِٔدَةً فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ ”Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang belum pernah Kami teguhkan kedudukanmu dalam hal itu. Dan Kami telah berikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati. Akan tetapi, pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Al-Ahqaf: 26) Tidak ada jalan untuk mendapat hidayah, kecuali melalui wahyu. Allah Ta’ala berfirman, وَإِنِ ٱهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِىٓ إِلَىَّ رَبِّىٌٓ ”Jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (QS. Saba’: 50) Ketiga: Akal tidak dapat memutuskan hukum terhadap kasus yang terjadi di tengah manusia secara independen. Hanya wahyu yang Allah turunkan yang dapat memutuskan hukum secara independen. Wahyu tersebut tidak memiliki pertentangan maupun sesuatu yang membingungkan. Hal ini disebabkan kekuatan penalaran tiap akal berbeda. Jika demikian, pendapat seseorang tidak bisa menyelesaikan sengketa antara dua orang dengan baik. Adapun yang dapat menyelesaikannya adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan dari langit dan juga rasul yang Allah utus dalam keadaan terjaga dari kekeliruan dalam menyampaikan wahyu Allah. [3] Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan kepada Al-Qur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman,  فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’‘ (QS. An-Nisa: 59) Keempat: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada kontradiksi antara akal dan wahyu. Namun, perlu diperhatikan bahwa bukan berarti akal adalah penentu kebenaran syariat, bukan juga ia harus bisa mengetahui seluruh sisi syariat. Akal dengan keterbatasannya terkadang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan beberapa aturan syariat. Bukan berarti ketika akal belum bisa memahami syariat, kemudian syariat itu keliru. Sekali lagi, ini merupakan dampak kesempurnaan Allah dan lemahnya kita sebagai makhluk-Nya.  Ahli sunah memiliki konsep yang konsisten bahwa beberapa rincian syariat ini memuat hal-hal yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Oleh karenanya, kita perlu membedakan antara hal-hal yang tidak masuk akal dengan hal-hal yang belum bisa dicerna akal. Tentu para rasul tidak membawa risalah yang tidak masuk akal, namun terkadang belum bisa dicerna akal. [4] Syekhul Islam rahimahullah berkata, “Akal sehat akan mencocoki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada penyelisihan sama sekali. Standar kebenaran itu ada bersama Al-Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kebenaran dan keadilan. Tetapi, terkadang akal memiliki kelemahan dalam memahami detail-detail syariat Allah. Para rasul membawakan wahyu yang terkadang belum bisa dipahami, namun bukan yang dipahami bahwa wahyu itu keliru. Para rasul membawakan pesan yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Inilah jalan hidayah, sunah, dan ilmu.” [5] <img fetchpriority="high" fetchpriority="high" decoding="async" class="alignnone size-full wp-image-96328" src="https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-5.webp?strip=all&lossy=1&ssl=1" alt="" width="577" height="263" srcset="https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-5.webp?strip=all&amp;lossy=1&amp;ssl=1 577w, https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-5-300x137.webp?strip=all&amp;lossy=1&amp;ssl=1 300w, https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-5.webp?strip=all&amp;lossy=1&amp;w=384&amp;ssl=1 384w" sizes="(max-width: 577px) 100vw, 577px" data-eio="l" /> Akal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal Konsep ini adalah kesimpulan terpenting dari lima konsep sebelumnya. Meskipun akal dan wahyu itu saling berdampingan dan selaras, dalil wahyu harus tetap diunggulkan dari akal tanpa ada keraguan. Apakah orang yang berakal akan ragu ketika sesuatu yang tidak bisa salah diunggulkan daripada yang berpeluang salah? Apakah ia akan ragu untuk menerima sesuatu yang secara absolut terjaga dari kekeliruan dan inskonsistensi? Apakah sama antara akal yang memiliki keterbatasan, memiliki banyak persanggahan, dan dapat dimasuki kesalahan dengan wahyu yang turun dari Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana? Jika seseorang masih mengunggulkan akal, tidak diragukan lagi bahwa sikap tersebut sudah menyelisihi akal dan wahyu. <img loading="lazy" decoding="async" class="alignnone size-full wp-image-96329" src="https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-5.1.webp?strip=all&lossy=1&resize=283%2C300&ssl=1" alt="" width="283" height="300" data-eio="l" /> Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Jika wahyu dan akal bertentangan dalam suatu permasalahan, maka wajib mendahulukan wahyu dan mengesampingkan akal sehingga akal menjadi pengikut wahyu. Akal tidak dilepas begitu saja untuk berpikir, kecuali dengan batasan kerja yang ditentukan oleh wahyu.” [6] Kesimpulannya, pondasi agama Islam adalah kepatuhan terhadap wahyu. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf: 3) Adapun tujuan akal adalah untuk menjadi wasilah dalam memahami wahyu, menjadi pelayan bagi wahyu, dan tunduk patuh kepadanya. Ia tidak bisa untuk tidak butuh terhadap bimbingan wahyu dalam bekerja. Syekhul Islam rahimahullah berkata, ‘’Akal menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum. Hal ini sama seperti ilustrasi berikut. Seorang awam bernama si A mengetahui seorang mufti yang memiliki kepakaran di bidang agama. Ia mengetahui mufti tersebut dari si B. Suatu ketika, terjadi perbedaan pendapat antara sang mufti dan si B. Tentu si A wajib untuk mendahulukan ucapan sang mufti. Andaikata itu terjadi, lantas si B berkata, ‘Saya adalah penuntunmu, sehingga kamu bisa mengetahui bahwa dia adalah mufti. Kalau kamu mendahulukan ucapan dia daripada ucapanku, berarti kamu tidak menghargaiku sebagai penuntunmu.’ Si A menjawab, ‘Justru ketika kamu mempersaksikan dan menunjukkan kepadaku bahwa dia adalah mufti, berarti kamu telah mempersaksikan kepadaku kewajiban untuk mengikuti perkataannya, bukan perkataanmu. Jika aku sepakat denganmu dalam permasalahan ilmiah tertentu, bukan berarti kita harus sepakat dalam permasalahan lain. Ketika kamu bersanggah dengan mufti tersebut pada suatu masalah, bukan berarti pengetahuanmu tentang kepakaran mufti itu juga keliru. Ketika kamu berijtihad untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang harus diikuti, lantas di kemudian hari kamu bersanggah dengan mufti tersebut dengan cara berijtihad juga, maka kekeliruanmu hanya terjadi pada ijtihad yang kedua saja. Adapun ijtihadmu untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang wajib diikuti itu tidak keliru.’ Kita paham bahwa bisa saja seorang mufti melakukan kesalahan. Akal juga mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang ma’shum (orang yang dijaga dari kekeliruan) dalam menyampaikan kabar tentang Allah. Oleh karenanya, mengunggulkan ucapan seseorang yang ma’shum di atas orang-orang yang menyelisihinya, meskipun dengan pendalilan-pendalilan logika itu lebih masuk akal daripada sekadar mendahulukan ucapan seorang mufti di atas orang-orang yang menyelisihinya.  Ketika seseorang mengetahui dan bersaksi bahwa si A merupakan ahli dalam ilmu kedokteran. Sang hakim juga mengetahui bahwa tidak ada orang selain si A yang menguasai ilmu kedokteran, atau bahkan tidak ada pakar kedokteran yang lebih ahli dari si A. Lantas, terjadi perselisihan antara saksi-saksi yang awam dengan si A. Tentu, ucapan si A harus dimenangkan daripada selainnya.” [7] Demikianlah penjelasan urgensi rambu-rambu yang terang mengenai kedudukan akal di sisi ahli sunah waljama’ah. Semoga Allah Ta’ala kokohkan kita di atas metode beragama mereka serta menguatkan kita di atas kegigihan mereka. Semoga selawat dan salam tercurah kepada hamba dan juga utusan-Nya, Muhammad, serta kepada keluarga, dan seluruh sahabatnya. [Selesai] Kembali ke bagian 4: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4) Mulai dari bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Majmu’ Al-Fatawa, 3: 115. [2] Ibid., 3: 338. [3] Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 137; Majmu’ Al-Fatawa, 12: 465. [4] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 391. [5] Majmu’ Al-Fatawa, 17: 444; 2: 312; 11: 243; Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400; Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 7: 327; Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, 2: 321; 8: 533; Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829-830. [6] Al-Muwafaqat, 1: 125. [7] Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, 1: 138-139. Tags: akalislam

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4)

Tidak ada kontradiksi antara dalil wahyu dan akal Konsep ini merupakan kaidah murni rumusan ahli sunah waljamaah. Mereka selalu berpegang teguh dengan konsep tersebut baik dalam rangka menjelaskan akidah Islam secara murni maupun mengkritisi akidah aliran lain.  Para nabi adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. Mereka tidak akan berucap hal-hal yang keliru mengenai Allah. Mereka juga tidak akan menyampaikan wahyu, kecuali dengan jujur. Siapa saja yang mengklaim bahwa di dalam wahyu yang disampaikan para nabi terdapat hal yang bertentangan dengan akal, ia telah menyatakan klaim yang tidak sesuai fakta. Hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini, yaitu: 1) akal tersebut tidak sehat atau 2) riwayat wahyu tersebut yang tidak sahih. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan bersumber dari para nabi, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan akal. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan selaras dengan akal, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan wahyu yang disampaikan para nabi. [1] Oleh karenanya, sudah jelas bahwa akal yang sehat tidak bertentangan dengan wahyu yang sahih. Kesimpulan tersebut dapat dicapai ketika seseorang telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil-dalil syar’i. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, ”Penelitian menunjukkan bahwa hukum syariat ini berjalan selaras dengan rasionalitas akal. Oleh karenanya, akal sehat dapat membenarkannya dan juga orang yang taat secara sukarela maupun terpaksa akan mematuhinya.” [2] Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Tidak terbayang ada hal-hal yang diketahui secara akal sehat kemudian bertentangan dengan wahyu. Bahkan, akal sehat sama sekali tidak kontradiktif terhadap wahyu yang sahih. Saya telah merenungi konsep tersebut pada hal-hal yang menjadi perselisihan manusia. Saya temukan bahwa perkara-perkara yang menyelisihi wahyu yang sahih lagi gamblang merupakan kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Poin ini saya renungi pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, hari kebangkitan, dan seterusnya. Saya temukan bahwa hal-hal yang dapat diketahui dengan akal sehat tidak bertentangan dengan wahyu sama sekali.” [3] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Hal-hal yang secara sepakat dapat diketahui dengan akal sehat, tidak mungkin diselisihi oleh wahyu dan dibiarkan kontradiktif begitu saja. Siapa saja yang merenungi hal tersebut pada hal-hal yang menjadi letak perselisihan manusia berupa permasalahan besar, maka akan ditemukan adanya kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Renungi hal tersebut pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, dan hari kebangkitan, kamu akan dapati tidak ada wahyu yang menyelisihi akal sehat. Jika ada wahyu yang menyelisihi akal, ada dua kemungkinan, yaitu periwayatannya bersumber dari hadis palsu atau makna yang terkandung di dalam wahyu tersebut sebenarnya tidak berseberangan dengan rasionalitas akal.” [4] Ringkasnya, ahli sunah waljamaah meyakini poin-poin berikut: Pertama: Tidak mungkin terjadi adanya kontradiksi antara wahyu yang sahih dengan akal sehat. Kedua: Setiap orang yang paling terdepan dalam mengimani wahyu para rasul lantas mengamalkannya, ia merupakan orang yang paling sempurna akal dan ketaatannya. Sebaliknya, setiap orang yang paling terbelakang dalam mengimani wahyu para rasul dan melaksanakan amalan wahyu tersebut, ia adalah orang yang paling lemah akal dan ketaatannya. [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Tidak ada orang yang menentang wahyu, kecuali Allah akan membuat akalnya rusak sampai ia mengucapkan hal-hal yang menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang berakal.” [6] Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, ”Setiap orang yang berkata dengan opini, perasaan, atau kecerdasannya, padahal wahyu telah mengatakan sebaliknya, maka ia telah menyaingi iblis, karena iblis dahulu tidak mau menerima wahyu Tuhannya. Demikian berlaku pula bagi orang yang menentang wahyu dengan akal.” [7] Ketiga: Setiap syubhat (meskipun diklaim sebagai hal yang rasional) yang menyelisihi wahyu adalah omong kosong. Akal sehat adalah entitas terdepan yang mengetahui kerancuannya. Tidak ada keraguan bahwa hal-hal yang rasional secara hakiki dapat menunjukkan kesalahan syubhat yang menyalahi wahyu yang sahih. [8] Keempat: Setiap orang yang mengklaim bahwa terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu hanya memiliki 3 kemungkinan, yaitu: 1) periwayatan wahyu tersebut tidak sahih, 2) pemahaman terhadap wahyu tersebut tidak sahih, atau 3) akal yang digunakan tidak sehat. [9] Kelima: Jika ada dugaan kontradiksi antara akal dan wahyu, sedangkan kita belum mampu menghilangkan dugaan tersebut, wajib bagi kita untuk memenangkan wahyu dan mencurigai keterbatasan akal kita. [10] Inilah konsep universal bagi ahli sunah waljamaah. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.’‘ (QS. Al-A’raf: 3) Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menulis surat yang berisi, ”Tidak ada ruang untuk beropini bagi siapa pun ketika telah datang sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [11] Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seluruh perkara yang menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi gugur. Tidak ada opini maupun analogi yang berdiri sejajar dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah telah memutus dalih manusia dengan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[12] Kembali ke bagian 3: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 3) Lanjut ke bagian 5: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 5) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400. [2] Al-Muwafaqat, 3: 210. [3] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 147. [4] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829. [5] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 7: 83. [6] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 1002. [7] Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 242. [8] Jawab Al-I’tiradhat Al-Mishriyyah ‘ala Al-Futya Al-Hamawiyyah, hal. 56. [9] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 148. [10] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1:170 dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 853  [11] Asy-Syari’ah lil Ajurri, 1: 423. [12] Al-Umm, 2: 250. Tags: akalislam

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 4)

Tidak ada kontradiksi antara dalil wahyu dan akal Konsep ini merupakan kaidah murni rumusan ahli sunah waljamaah. Mereka selalu berpegang teguh dengan konsep tersebut baik dalam rangka menjelaskan akidah Islam secara murni maupun mengkritisi akidah aliran lain.  Para nabi adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. Mereka tidak akan berucap hal-hal yang keliru mengenai Allah. Mereka juga tidak akan menyampaikan wahyu, kecuali dengan jujur. Siapa saja yang mengklaim bahwa di dalam wahyu yang disampaikan para nabi terdapat hal yang bertentangan dengan akal, ia telah menyatakan klaim yang tidak sesuai fakta. Hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini, yaitu: 1) akal tersebut tidak sehat atau 2) riwayat wahyu tersebut yang tidak sahih. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan bersumber dari para nabi, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan akal. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan selaras dengan akal, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan wahyu yang disampaikan para nabi. [1] Oleh karenanya, sudah jelas bahwa akal yang sehat tidak bertentangan dengan wahyu yang sahih. Kesimpulan tersebut dapat dicapai ketika seseorang telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil-dalil syar’i. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, ”Penelitian menunjukkan bahwa hukum syariat ini berjalan selaras dengan rasionalitas akal. Oleh karenanya, akal sehat dapat membenarkannya dan juga orang yang taat secara sukarela maupun terpaksa akan mematuhinya.” [2] Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Tidak terbayang ada hal-hal yang diketahui secara akal sehat kemudian bertentangan dengan wahyu. Bahkan, akal sehat sama sekali tidak kontradiktif terhadap wahyu yang sahih. Saya telah merenungi konsep tersebut pada hal-hal yang menjadi perselisihan manusia. Saya temukan bahwa perkara-perkara yang menyelisihi wahyu yang sahih lagi gamblang merupakan kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Poin ini saya renungi pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, hari kebangkitan, dan seterusnya. Saya temukan bahwa hal-hal yang dapat diketahui dengan akal sehat tidak bertentangan dengan wahyu sama sekali.” [3] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Hal-hal yang secara sepakat dapat diketahui dengan akal sehat, tidak mungkin diselisihi oleh wahyu dan dibiarkan kontradiktif begitu saja. Siapa saja yang merenungi hal tersebut pada hal-hal yang menjadi letak perselisihan manusia berupa permasalahan besar, maka akan ditemukan adanya kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Renungi hal tersebut pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, dan hari kebangkitan, kamu akan dapati tidak ada wahyu yang menyelisihi akal sehat. Jika ada wahyu yang menyelisihi akal, ada dua kemungkinan, yaitu periwayatannya bersumber dari hadis palsu atau makna yang terkandung di dalam wahyu tersebut sebenarnya tidak berseberangan dengan rasionalitas akal.” [4] Ringkasnya, ahli sunah waljamaah meyakini poin-poin berikut: Pertama: Tidak mungkin terjadi adanya kontradiksi antara wahyu yang sahih dengan akal sehat. Kedua: Setiap orang yang paling terdepan dalam mengimani wahyu para rasul lantas mengamalkannya, ia merupakan orang yang paling sempurna akal dan ketaatannya. Sebaliknya, setiap orang yang paling terbelakang dalam mengimani wahyu para rasul dan melaksanakan amalan wahyu tersebut, ia adalah orang yang paling lemah akal dan ketaatannya. [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Tidak ada orang yang menentang wahyu, kecuali Allah akan membuat akalnya rusak sampai ia mengucapkan hal-hal yang menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang berakal.” [6] Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, ”Setiap orang yang berkata dengan opini, perasaan, atau kecerdasannya, padahal wahyu telah mengatakan sebaliknya, maka ia telah menyaingi iblis, karena iblis dahulu tidak mau menerima wahyu Tuhannya. Demikian berlaku pula bagi orang yang menentang wahyu dengan akal.” [7] Ketiga: Setiap syubhat (meskipun diklaim sebagai hal yang rasional) yang menyelisihi wahyu adalah omong kosong. Akal sehat adalah entitas terdepan yang mengetahui kerancuannya. Tidak ada keraguan bahwa hal-hal yang rasional secara hakiki dapat menunjukkan kesalahan syubhat yang menyalahi wahyu yang sahih. [8] Keempat: Setiap orang yang mengklaim bahwa terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu hanya memiliki 3 kemungkinan, yaitu: 1) periwayatan wahyu tersebut tidak sahih, 2) pemahaman terhadap wahyu tersebut tidak sahih, atau 3) akal yang digunakan tidak sehat. [9] Kelima: Jika ada dugaan kontradiksi antara akal dan wahyu, sedangkan kita belum mampu menghilangkan dugaan tersebut, wajib bagi kita untuk memenangkan wahyu dan mencurigai keterbatasan akal kita. [10] Inilah konsep universal bagi ahli sunah waljamaah. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.’‘ (QS. Al-A’raf: 3) Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menulis surat yang berisi, ”Tidak ada ruang untuk beropini bagi siapa pun ketika telah datang sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [11] Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seluruh perkara yang menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi gugur. Tidak ada opini maupun analogi yang berdiri sejajar dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah telah memutus dalih manusia dengan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[12] Kembali ke bagian 3: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 3) Lanjut ke bagian 5: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 5) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400. [2] Al-Muwafaqat, 3: 210. [3] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 147. [4] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829. [5] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 7: 83. [6] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 1002. [7] Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 242. [8] Jawab Al-I’tiradhat Al-Mishriyyah ‘ala Al-Futya Al-Hamawiyyah, hal. 56. [9] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 148. [10] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1:170 dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 853  [11] Asy-Syari’ah lil Ajurri, 1: 423. [12] Al-Umm, 2: 250. Tags: akalislam
Tidak ada kontradiksi antara dalil wahyu dan akal Konsep ini merupakan kaidah murni rumusan ahli sunah waljamaah. Mereka selalu berpegang teguh dengan konsep tersebut baik dalam rangka menjelaskan akidah Islam secara murni maupun mengkritisi akidah aliran lain.  Para nabi adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. Mereka tidak akan berucap hal-hal yang keliru mengenai Allah. Mereka juga tidak akan menyampaikan wahyu, kecuali dengan jujur. Siapa saja yang mengklaim bahwa di dalam wahyu yang disampaikan para nabi terdapat hal yang bertentangan dengan akal, ia telah menyatakan klaim yang tidak sesuai fakta. Hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini, yaitu: 1) akal tersebut tidak sehat atau 2) riwayat wahyu tersebut yang tidak sahih. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan bersumber dari para nabi, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan akal. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan selaras dengan akal, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan wahyu yang disampaikan para nabi. [1] Oleh karenanya, sudah jelas bahwa akal yang sehat tidak bertentangan dengan wahyu yang sahih. Kesimpulan tersebut dapat dicapai ketika seseorang telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil-dalil syar’i. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, ”Penelitian menunjukkan bahwa hukum syariat ini berjalan selaras dengan rasionalitas akal. Oleh karenanya, akal sehat dapat membenarkannya dan juga orang yang taat secara sukarela maupun terpaksa akan mematuhinya.” [2] Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Tidak terbayang ada hal-hal yang diketahui secara akal sehat kemudian bertentangan dengan wahyu. Bahkan, akal sehat sama sekali tidak kontradiktif terhadap wahyu yang sahih. Saya telah merenungi konsep tersebut pada hal-hal yang menjadi perselisihan manusia. Saya temukan bahwa perkara-perkara yang menyelisihi wahyu yang sahih lagi gamblang merupakan kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Poin ini saya renungi pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, hari kebangkitan, dan seterusnya. Saya temukan bahwa hal-hal yang dapat diketahui dengan akal sehat tidak bertentangan dengan wahyu sama sekali.” [3] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Hal-hal yang secara sepakat dapat diketahui dengan akal sehat, tidak mungkin diselisihi oleh wahyu dan dibiarkan kontradiktif begitu saja. Siapa saja yang merenungi hal tersebut pada hal-hal yang menjadi letak perselisihan manusia berupa permasalahan besar, maka akan ditemukan adanya kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Renungi hal tersebut pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, dan hari kebangkitan, kamu akan dapati tidak ada wahyu yang menyelisihi akal sehat. Jika ada wahyu yang menyelisihi akal, ada dua kemungkinan, yaitu periwayatannya bersumber dari hadis palsu atau makna yang terkandung di dalam wahyu tersebut sebenarnya tidak berseberangan dengan rasionalitas akal.” [4] Ringkasnya, ahli sunah waljamaah meyakini poin-poin berikut: Pertama: Tidak mungkin terjadi adanya kontradiksi antara wahyu yang sahih dengan akal sehat. Kedua: Setiap orang yang paling terdepan dalam mengimani wahyu para rasul lantas mengamalkannya, ia merupakan orang yang paling sempurna akal dan ketaatannya. Sebaliknya, setiap orang yang paling terbelakang dalam mengimani wahyu para rasul dan melaksanakan amalan wahyu tersebut, ia adalah orang yang paling lemah akal dan ketaatannya. [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Tidak ada orang yang menentang wahyu, kecuali Allah akan membuat akalnya rusak sampai ia mengucapkan hal-hal yang menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang berakal.” [6] Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, ”Setiap orang yang berkata dengan opini, perasaan, atau kecerdasannya, padahal wahyu telah mengatakan sebaliknya, maka ia telah menyaingi iblis, karena iblis dahulu tidak mau menerima wahyu Tuhannya. Demikian berlaku pula bagi orang yang menentang wahyu dengan akal.” [7] Ketiga: Setiap syubhat (meskipun diklaim sebagai hal yang rasional) yang menyelisihi wahyu adalah omong kosong. Akal sehat adalah entitas terdepan yang mengetahui kerancuannya. Tidak ada keraguan bahwa hal-hal yang rasional secara hakiki dapat menunjukkan kesalahan syubhat yang menyalahi wahyu yang sahih. [8] Keempat: Setiap orang yang mengklaim bahwa terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu hanya memiliki 3 kemungkinan, yaitu: 1) periwayatan wahyu tersebut tidak sahih, 2) pemahaman terhadap wahyu tersebut tidak sahih, atau 3) akal yang digunakan tidak sehat. [9] Kelima: Jika ada dugaan kontradiksi antara akal dan wahyu, sedangkan kita belum mampu menghilangkan dugaan tersebut, wajib bagi kita untuk memenangkan wahyu dan mencurigai keterbatasan akal kita. [10] Inilah konsep universal bagi ahli sunah waljamaah. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.’‘ (QS. Al-A’raf: 3) Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menulis surat yang berisi, ”Tidak ada ruang untuk beropini bagi siapa pun ketika telah datang sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [11] Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seluruh perkara yang menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi gugur. Tidak ada opini maupun analogi yang berdiri sejajar dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah telah memutus dalih manusia dengan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[12] Kembali ke bagian 3: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 3) Lanjut ke bagian 5: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 5) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400. [2] Al-Muwafaqat, 3: 210. [3] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 147. [4] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829. [5] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 7: 83. [6] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 1002. [7] Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 242. [8] Jawab Al-I’tiradhat Al-Mishriyyah ‘ala Al-Futya Al-Hamawiyyah, hal. 56. [9] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 148. [10] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1:170 dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 853  [11] Asy-Syari’ah lil Ajurri, 1: 423. [12] Al-Umm, 2: 250. Tags: akalislam


Tidak ada kontradiksi antara dalil wahyu dan akal Konsep ini merupakan kaidah murni rumusan ahli sunah waljamaah. Mereka selalu berpegang teguh dengan konsep tersebut baik dalam rangka menjelaskan akidah Islam secara murni maupun mengkritisi akidah aliran lain.  Para nabi adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah dari kesalahan. Mereka tidak akan berucap hal-hal yang keliru mengenai Allah. Mereka juga tidak akan menyampaikan wahyu, kecuali dengan jujur. Siapa saja yang mengklaim bahwa di dalam wahyu yang disampaikan para nabi terdapat hal yang bertentangan dengan akal, ia telah menyatakan klaim yang tidak sesuai fakta. Hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini, yaitu: 1) akal tersebut tidak sehat atau 2) riwayat wahyu tersebut yang tidak sahih. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan bersumber dari para nabi, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan akal. Hal-hal yang diketahui secara pasti dan selaras dengan akal, tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan wahyu yang disampaikan para nabi. [1] Oleh karenanya, sudah jelas bahwa akal yang sehat tidak bertentangan dengan wahyu yang sahih. Kesimpulan tersebut dapat dicapai ketika seseorang telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil-dalil syar’i. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, ”Penelitian menunjukkan bahwa hukum syariat ini berjalan selaras dengan rasionalitas akal. Oleh karenanya, akal sehat dapat membenarkannya dan juga orang yang taat secara sukarela maupun terpaksa akan mematuhinya.” [2] Syekhul Islam rahimahullah berkata, ”Tidak terbayang ada hal-hal yang diketahui secara akal sehat kemudian bertentangan dengan wahyu. Bahkan, akal sehat sama sekali tidak kontradiktif terhadap wahyu yang sahih. Saya telah merenungi konsep tersebut pada hal-hal yang menjadi perselisihan manusia. Saya temukan bahwa perkara-perkara yang menyelisihi wahyu yang sahih lagi gamblang merupakan kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Poin ini saya renungi pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, hari kebangkitan, dan seterusnya. Saya temukan bahwa hal-hal yang dapat diketahui dengan akal sehat tidak bertentangan dengan wahyu sama sekali.” [3] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Hal-hal yang secara sepakat dapat diketahui dengan akal sehat, tidak mungkin diselisihi oleh wahyu dan dibiarkan kontradiktif begitu saja. Siapa saja yang merenungi hal tersebut pada hal-hal yang menjadi letak perselisihan manusia berupa permasalahan besar, maka akan ditemukan adanya kerancuan pemikiran (syubhat) yang rusak. Syubhat tersebut beserta sanggahannya dapat diketahui dengan akal. Renungi hal tersebut pada permasalahan yang besar seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, dan hari kebangkitan, kamu akan dapati tidak ada wahyu yang menyelisihi akal sehat. Jika ada wahyu yang menyelisihi akal, ada dua kemungkinan, yaitu periwayatannya bersumber dari hadis palsu atau makna yang terkandung di dalam wahyu tersebut sebenarnya tidak berseberangan dengan rasionalitas akal.” [4] Ringkasnya, ahli sunah waljamaah meyakini poin-poin berikut: Pertama: Tidak mungkin terjadi adanya kontradiksi antara wahyu yang sahih dengan akal sehat. Kedua: Setiap orang yang paling terdepan dalam mengimani wahyu para rasul lantas mengamalkannya, ia merupakan orang yang paling sempurna akal dan ketaatannya. Sebaliknya, setiap orang yang paling terbelakang dalam mengimani wahyu para rasul dan melaksanakan amalan wahyu tersebut, ia adalah orang yang paling lemah akal dan ketaatannya. [5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Tidak ada orang yang menentang wahyu, kecuali Allah akan membuat akalnya rusak sampai ia mengucapkan hal-hal yang menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang berakal.” [6] Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, ”Setiap orang yang berkata dengan opini, perasaan, atau kecerdasannya, padahal wahyu telah mengatakan sebaliknya, maka ia telah menyaingi iblis, karena iblis dahulu tidak mau menerima wahyu Tuhannya. Demikian berlaku pula bagi orang yang menentang wahyu dengan akal.” [7] Ketiga: Setiap syubhat (meskipun diklaim sebagai hal yang rasional) yang menyelisihi wahyu adalah omong kosong. Akal sehat adalah entitas terdepan yang mengetahui kerancuannya. Tidak ada keraguan bahwa hal-hal yang rasional secara hakiki dapat menunjukkan kesalahan syubhat yang menyalahi wahyu yang sahih. [8] Keempat: Setiap orang yang mengklaim bahwa terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu hanya memiliki 3 kemungkinan, yaitu: 1) periwayatan wahyu tersebut tidak sahih, 2) pemahaman terhadap wahyu tersebut tidak sahih, atau 3) akal yang digunakan tidak sehat. [9] <img fetchpriority="high" fetchpriority="high" decoding="async" class="alignnone size-full wp-image-96325" src="https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-4.webp?strip=all&lossy=1&ssl=1" alt="" width="497" height="337" srcset="https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-4.webp?strip=all&amp;lossy=1&amp;ssl=1 497w, https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-4-300x203.webp?strip=all&amp;lossy=1&amp;ssl=1 300w, https://cdnm.muslim.or.id/wp-content/uploads/2024/07/Kesempurnaan-Islam-dalam-Memuliakan-Akal-4.webp?strip=all&amp;lossy=1&amp;w=384&amp;ssl=1 384w" sizes="(max-width: 497px) 100vw, 497px" data-eio="l" /> Kelima: Jika ada dugaan kontradiksi antara akal dan wahyu, sedangkan kita belum mampu menghilangkan dugaan tersebut, wajib bagi kita untuk memenangkan wahyu dan mencurigai keterbatasan akal kita. [10] Inilah konsep universal bagi ahli sunah waljamaah. Allah Ta’ala berfirman,  ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.’‘ (QS. Al-A’raf: 3) Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menulis surat yang berisi, ”Tidak ada ruang untuk beropini bagi siapa pun ketika telah datang sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [11] Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seluruh perkara yang menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi gugur. Tidak ada opini maupun analogi yang berdiri sejajar dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah telah memutus dalih manusia dengan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[12] Kembali ke bagian 3: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 3) Lanjut ke bagian 5: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 5) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Jawab Ash-Shahih liman Baddala Din Al-Masih, 4: 400. [2] Al-Muwafaqat, 3: 210. [3] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 147. [4] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 829. [5] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 7: 83. [6] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 1002. [7] Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 242. [8] Jawab Al-I’tiradhat Al-Mishriyyah ‘ala Al-Futya Al-Hamawiyyah, hal. 56. [9] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1: 148. [10] Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1:170 dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 3: 853  [11] Asy-Syari’ah lil Ajurri, 1: 423. [12] Al-Umm, 2: 250. Tags: akalislam

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 11): Huruf Ma’ani

وَأَمَّا الْحَرْفُ فَيُعْرَفُ بِأَنْ لَا يَقْبَلَ شَيْئًا مِنْ عَلَامَاتِ الإسْمِ وَالفِعْلِ نَحْوُ : هَلْ وَبَلْ “Huruf ma’ani bisa diketahui dengan tidak menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contoh dari huruf ma’ani adalah: هَلْ dan بَل”. Setelah Ibnu Hisyam menjelaskan pembahasan tentang isim dan fi’il, beliau memulai membahas tentang huruf ma’ani. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwasanya huruf ma’ani sama sekali tidak bisa menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contohnya adalah: هَلْ  dan بَلْ Dari kedua contoh di atas, terlihat huruf tidak memiliki tanda, baik itu tanda-tanda dari isim, maupun tanda-tanda fi’il. وَلَيْسَ مِنْهُ (مَهْمَا)  وَ (إِذْمَا) وَ بَلْ (مَا) المَصْدَرِيَةُ وَ (لَمَّا) الرَّابِطَةُ فِي الْأَصَحِّ “Menurut pendapat yang kuat, maka kata-kata berikut tidak termasuk pembahasan huruf, yaitu: مَهْمَا (apa pun), إِذْمَا (ketika),  مَا المَصْدَرِيَةُ(kata sambung memiliki arti ‘yang’), لَمّا  (belum/ketika).” Empat contoh kata di atas adalah penjelasan kata-kata yang diperselisihkan status kata tersebut sebagai isim ataukah huruf. Penjelasannya sebagai berikut: Pertama, مَهْمَا (apa pun). Pendapat yang kuat menyebutkan kata tersebut adalah isim syarat yang mempunyai amalan men-jazm-kan fi’il mudhari’. Dalil yang menunjukkan kata tersebut berstatus sebagai isim terdapat pada firman Allah, وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهٖ مِنْ  اٰيَةٍ “Mereka (kaum Fir’aun) berkata kepada Musa, ‘Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami.’ ” (QS. Al-A’raf:132) Maka, huruf هـ yang terdapat pada به yang bergaris bawah di atas menunjukkan tempat kembalinya pada kata مَهْمَا. Alasannya adalah هـ tersebut merupakan dhamir. Adapun dhamir tempat kembalinya pastilah kepada isim juga. Oleh karena itu, مَهْمَا pasti berstatus sebagai isim. Kedua, إِذْمَا (ketika). Pendapat yang kuat mengatakan bahwasanya kata tersebut berstatus sebagai isim syarat yang beramal men-jazm-kan fi’il mudhari’. Kata tersebut menunjukkan keterangan waktu. Kata إِذْمَا bersinonim dengan kata مَتَى (kapan pun). Kata إِذْ jika terletak sebelum kata مَا, maka kata إِذْ tersebut masuk kategori isim. Hukum asalnya adalah mempertahankan status sesuatu sesuai dengan asalnya. Contohnya adalah: إِذْمَا تَقُمْ أَقُمْ “Kapan pun kamu berdiri, maka aku akan berdiri.” Ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya إِذْمَا statusnya adalah huruf, sebagaimana status إِنْ الشَرْطِيَةِ. Pendapat ini juga kuat sebagaimana yang tertuang di kitab Audhahul Masalik. Pembahasanya akan dijelaskan pada bab pen-jazm fi’il mudhari’. Ketiga, مَا المَصْدَرِيَة. Huruf tersebut adalah huruf yang membentuk mashdar mu’awwal ketika huruf tersebut bergandengan dengan fi’il yang terletak setelah huruf tersebut. Contohnya di dalam kalimat adalah: سَرَّنِيْ مَا فَعَلْتَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah ma masdhariyah dan fi’il mudhari’ yang menjadi susunan kata. Di dalam kaidah Bahasa Arab, susunan ma mashdariyah dan fi’il mudhari’ bisa diganti ke bentuk mashdar sharih. Sehingga contoh di atas maksudnya adalah: سَرَّنِيْ فِعْلُكَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Menurut pendapat yang kuat, huruf ma masdhariyah tersebut berstatus huruf, sebagaimana huruf  أَنْ مَصْدَرِيَةِ. Keempat, لَمّا (belum/kecuali). Ketika kata tersebut dimaksudkan kata nafiyah, maka kata tersebut berstatus sebagai huruf pen-jazm sebagaimana kata لَمْ. Apabila kata tersebut dimaksudkan kata إِيْجَابِيَّةُ (kecuali), maka kata tersebut semakna dengan kata إلَّا (kecuali).  Apabila kata لَمّا tersebut bermakna dua kata yang telah disebutkan di atas, maka ulama nahwu sepakat berpendapat bahwasanya itu adalah huruf. Contoh penggunaan kata لَمّا di dalam kalimat yaitu: Pertama, contoh kata لَمّا yang bermakna nafiyah (belum) adalah: لَمَّا تُشْرِقِ الشَّمْسُ “Matahari belum terbit.” Kedua, contoh kata لَمّا yang bermakna ijabiyyah (kecuali) adalah: إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ “Setiap jiwa, kecuali ada penjaga atasnya.” (QS. At-Thariq: 4) Kata إِنْ pada potongan ayat Al-Qur’an di atas adalah nafiyah (tidak), kata كُلُّ berkedudukan sebagai mubtada’, kata لَمّا adalah huruf mabni dengan tanda sukun, kata عَلَيْهَا adalah khabar muqaddam, حَافِظٌ adalah mubtada muakkhar. Adapun gabungan dari kata  لَمّا عَلَيْهَا حَافِظٌ berkedudukan sebagai khabar kata كُلُّ. Ketiga, contoh kata لَمّا yang bermakna ar-rabithah (ketika) dan ulama nahwu juga berselisih pendapat apakah kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) tersebut berkedudukan sebagai huruf ataukah isim. Pertama, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) yang berstatus sebagai huruf adalah: لَمَّا جَاءَنِيْ أَكْرَمْتُهُ “Ketika dia datang kepadaku, aku muliakan dia.” Dalil yang menunjukkan kata لَمَّا tersebut bisa dikatakan sebagai huruf adalah kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai berikut: لَمَّا أَكْرَمْتَنِيْ أَمْسَ أَكْرَمْتُكَ اَلْيَوْمَ “Ketika kemarin kamu muliakan aku, maka di hari ini aku muliakan kamu.” Sebagian Ulama Nahwu berpendapat bahwasanya kata لَمَّا tersebut berstatus isim berkedudukan zharaf. Jika begitu, maka seharusnya ada ‘amil untuk kata لَمَّا tersebut yang menyebabkan kata لَمَّا tersebut menjadi nashab. Jika yang dimaksudkan ‘amil kata لَمَّا tersebut adalah أَكْرَمْتَنِي, maka tidak bisa. Ulama Nahwu mengatakan bahwasanya jika ada ‘amil kata لَمَّا harusnya ada mudhaf yang terletak sebelum kata لَمَّا tersebut. Adapun mudhaf ‘ilaih tidak bisa menjadi ‘amil untuk mudhaf. Oleh karena itu, kata أَكْرَمْتَنِي tidak bisa dikatakan menjadi ‘amil untuk kata لَمَّا. Oleh karena itu, kata لَمَّا tersebut bermakna ‘ketika’ yang menunjukkan terjadinya sesuatu, karena adanya perbuatan lain. Kesimpulannya adalah kata لَمَّا tersebut berstatus huruf menurut pendapat yang kuat. Kedua, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) berstatus sebagai zharaf , yaitu zharaf zaman. Faktor yang menyebabkan kata tersebut nashab adalah jawab syarat. Ibnu Hisyam mengatakan, وَجَمِيْعُ اَلْحُرُوْفِ مَبْنِيَةٌ “Semua huruf adalah mabni.” Ini adalah pembahasan hukum huruf. Bahwasanya semua huruf tidak butuh i’rab (berubah). Karena huruf tidak butuh i’rab (perubahan) untuk mengetahui makna masing-masing dari huruf. Adapun untuk mengetahui makna huruf cukup melihat konteks kalimat. Adapun isim, untuk menentukan maknanya apa di dalam kalimat, maka sangat dibutuhkan i’rab (perubahan). Contoh penggunaan huruf di dalam kalimat sebagai berikut: أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ “Aku mengambil sebagian dirham.” Kembali ke bagian 10: Fi’il Mudhari (3) Lanjut ke bagian 12: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 11): Huruf Ma’ani

وَأَمَّا الْحَرْفُ فَيُعْرَفُ بِأَنْ لَا يَقْبَلَ شَيْئًا مِنْ عَلَامَاتِ الإسْمِ وَالفِعْلِ نَحْوُ : هَلْ وَبَلْ “Huruf ma’ani bisa diketahui dengan tidak menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contoh dari huruf ma’ani adalah: هَلْ dan بَل”. Setelah Ibnu Hisyam menjelaskan pembahasan tentang isim dan fi’il, beliau memulai membahas tentang huruf ma’ani. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwasanya huruf ma’ani sama sekali tidak bisa menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contohnya adalah: هَلْ  dan بَلْ Dari kedua contoh di atas, terlihat huruf tidak memiliki tanda, baik itu tanda-tanda dari isim, maupun tanda-tanda fi’il. وَلَيْسَ مِنْهُ (مَهْمَا)  وَ (إِذْمَا) وَ بَلْ (مَا) المَصْدَرِيَةُ وَ (لَمَّا) الرَّابِطَةُ فِي الْأَصَحِّ “Menurut pendapat yang kuat, maka kata-kata berikut tidak termasuk pembahasan huruf, yaitu: مَهْمَا (apa pun), إِذْمَا (ketika),  مَا المَصْدَرِيَةُ(kata sambung memiliki arti ‘yang’), لَمّا  (belum/ketika).” Empat contoh kata di atas adalah penjelasan kata-kata yang diperselisihkan status kata tersebut sebagai isim ataukah huruf. Penjelasannya sebagai berikut: Pertama, مَهْمَا (apa pun). Pendapat yang kuat menyebutkan kata tersebut adalah isim syarat yang mempunyai amalan men-jazm-kan fi’il mudhari’. Dalil yang menunjukkan kata tersebut berstatus sebagai isim terdapat pada firman Allah, وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهٖ مِنْ  اٰيَةٍ “Mereka (kaum Fir’aun) berkata kepada Musa, ‘Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami.’ ” (QS. Al-A’raf:132) Maka, huruf هـ yang terdapat pada به yang bergaris bawah di atas menunjukkan tempat kembalinya pada kata مَهْمَا. Alasannya adalah هـ tersebut merupakan dhamir. Adapun dhamir tempat kembalinya pastilah kepada isim juga. Oleh karena itu, مَهْمَا pasti berstatus sebagai isim. Kedua, إِذْمَا (ketika). Pendapat yang kuat mengatakan bahwasanya kata tersebut berstatus sebagai isim syarat yang beramal men-jazm-kan fi’il mudhari’. Kata tersebut menunjukkan keterangan waktu. Kata إِذْمَا bersinonim dengan kata مَتَى (kapan pun). Kata إِذْ jika terletak sebelum kata مَا, maka kata إِذْ tersebut masuk kategori isim. Hukum asalnya adalah mempertahankan status sesuatu sesuai dengan asalnya. Contohnya adalah: إِذْمَا تَقُمْ أَقُمْ “Kapan pun kamu berdiri, maka aku akan berdiri.” Ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya إِذْمَا statusnya adalah huruf, sebagaimana status إِنْ الشَرْطِيَةِ. Pendapat ini juga kuat sebagaimana yang tertuang di kitab Audhahul Masalik. Pembahasanya akan dijelaskan pada bab pen-jazm fi’il mudhari’. Ketiga, مَا المَصْدَرِيَة. Huruf tersebut adalah huruf yang membentuk mashdar mu’awwal ketika huruf tersebut bergandengan dengan fi’il yang terletak setelah huruf tersebut. Contohnya di dalam kalimat adalah: سَرَّنِيْ مَا فَعَلْتَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah ma masdhariyah dan fi’il mudhari’ yang menjadi susunan kata. Di dalam kaidah Bahasa Arab, susunan ma mashdariyah dan fi’il mudhari’ bisa diganti ke bentuk mashdar sharih. Sehingga contoh di atas maksudnya adalah: سَرَّنِيْ فِعْلُكَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Menurut pendapat yang kuat, huruf ma masdhariyah tersebut berstatus huruf, sebagaimana huruf  أَنْ مَصْدَرِيَةِ. Keempat, لَمّا (belum/kecuali). Ketika kata tersebut dimaksudkan kata nafiyah, maka kata tersebut berstatus sebagai huruf pen-jazm sebagaimana kata لَمْ. Apabila kata tersebut dimaksudkan kata إِيْجَابِيَّةُ (kecuali), maka kata tersebut semakna dengan kata إلَّا (kecuali).  Apabila kata لَمّا tersebut bermakna dua kata yang telah disebutkan di atas, maka ulama nahwu sepakat berpendapat bahwasanya itu adalah huruf. Contoh penggunaan kata لَمّا di dalam kalimat yaitu: Pertama, contoh kata لَمّا yang bermakna nafiyah (belum) adalah: لَمَّا تُشْرِقِ الشَّمْسُ “Matahari belum terbit.” Kedua, contoh kata لَمّا yang bermakna ijabiyyah (kecuali) adalah: إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ “Setiap jiwa, kecuali ada penjaga atasnya.” (QS. At-Thariq: 4) Kata إِنْ pada potongan ayat Al-Qur’an di atas adalah nafiyah (tidak), kata كُلُّ berkedudukan sebagai mubtada’, kata لَمّا adalah huruf mabni dengan tanda sukun, kata عَلَيْهَا adalah khabar muqaddam, حَافِظٌ adalah mubtada muakkhar. Adapun gabungan dari kata  لَمّا عَلَيْهَا حَافِظٌ berkedudukan sebagai khabar kata كُلُّ. Ketiga, contoh kata لَمّا yang bermakna ar-rabithah (ketika) dan ulama nahwu juga berselisih pendapat apakah kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) tersebut berkedudukan sebagai huruf ataukah isim. Pertama, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) yang berstatus sebagai huruf adalah: لَمَّا جَاءَنِيْ أَكْرَمْتُهُ “Ketika dia datang kepadaku, aku muliakan dia.” Dalil yang menunjukkan kata لَمَّا tersebut bisa dikatakan sebagai huruf adalah kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai berikut: لَمَّا أَكْرَمْتَنِيْ أَمْسَ أَكْرَمْتُكَ اَلْيَوْمَ “Ketika kemarin kamu muliakan aku, maka di hari ini aku muliakan kamu.” Sebagian Ulama Nahwu berpendapat bahwasanya kata لَمَّا tersebut berstatus isim berkedudukan zharaf. Jika begitu, maka seharusnya ada ‘amil untuk kata لَمَّا tersebut yang menyebabkan kata لَمَّا tersebut menjadi nashab. Jika yang dimaksudkan ‘amil kata لَمَّا tersebut adalah أَكْرَمْتَنِي, maka tidak bisa. Ulama Nahwu mengatakan bahwasanya jika ada ‘amil kata لَمَّا harusnya ada mudhaf yang terletak sebelum kata لَمَّا tersebut. Adapun mudhaf ‘ilaih tidak bisa menjadi ‘amil untuk mudhaf. Oleh karena itu, kata أَكْرَمْتَنِي tidak bisa dikatakan menjadi ‘amil untuk kata لَمَّا. Oleh karena itu, kata لَمَّا tersebut bermakna ‘ketika’ yang menunjukkan terjadinya sesuatu, karena adanya perbuatan lain. Kesimpulannya adalah kata لَمَّا tersebut berstatus huruf menurut pendapat yang kuat. Kedua, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) berstatus sebagai zharaf , yaitu zharaf zaman. Faktor yang menyebabkan kata tersebut nashab adalah jawab syarat. Ibnu Hisyam mengatakan, وَجَمِيْعُ اَلْحُرُوْفِ مَبْنِيَةٌ “Semua huruf adalah mabni.” Ini adalah pembahasan hukum huruf. Bahwasanya semua huruf tidak butuh i’rab (berubah). Karena huruf tidak butuh i’rab (perubahan) untuk mengetahui makna masing-masing dari huruf. Adapun untuk mengetahui makna huruf cukup melihat konteks kalimat. Adapun isim, untuk menentukan maknanya apa di dalam kalimat, maka sangat dibutuhkan i’rab (perubahan). Contoh penggunaan huruf di dalam kalimat sebagai berikut: أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ “Aku mengambil sebagian dirham.” Kembali ke bagian 10: Fi’il Mudhari (3) Lanjut ke bagian 12: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
وَأَمَّا الْحَرْفُ فَيُعْرَفُ بِأَنْ لَا يَقْبَلَ شَيْئًا مِنْ عَلَامَاتِ الإسْمِ وَالفِعْلِ نَحْوُ : هَلْ وَبَلْ “Huruf ma’ani bisa diketahui dengan tidak menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contoh dari huruf ma’ani adalah: هَلْ dan بَل”. Setelah Ibnu Hisyam menjelaskan pembahasan tentang isim dan fi’il, beliau memulai membahas tentang huruf ma’ani. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwasanya huruf ma’ani sama sekali tidak bisa menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contohnya adalah: هَلْ  dan بَلْ Dari kedua contoh di atas, terlihat huruf tidak memiliki tanda, baik itu tanda-tanda dari isim, maupun tanda-tanda fi’il. وَلَيْسَ مِنْهُ (مَهْمَا)  وَ (إِذْمَا) وَ بَلْ (مَا) المَصْدَرِيَةُ وَ (لَمَّا) الرَّابِطَةُ فِي الْأَصَحِّ “Menurut pendapat yang kuat, maka kata-kata berikut tidak termasuk pembahasan huruf, yaitu: مَهْمَا (apa pun), إِذْمَا (ketika),  مَا المَصْدَرِيَةُ(kata sambung memiliki arti ‘yang’), لَمّا  (belum/ketika).” Empat contoh kata di atas adalah penjelasan kata-kata yang diperselisihkan status kata tersebut sebagai isim ataukah huruf. Penjelasannya sebagai berikut: Pertama, مَهْمَا (apa pun). Pendapat yang kuat menyebutkan kata tersebut adalah isim syarat yang mempunyai amalan men-jazm-kan fi’il mudhari’. Dalil yang menunjukkan kata tersebut berstatus sebagai isim terdapat pada firman Allah, وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهٖ مِنْ  اٰيَةٍ “Mereka (kaum Fir’aun) berkata kepada Musa, ‘Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami.’ ” (QS. Al-A’raf:132) Maka, huruf هـ yang terdapat pada به yang bergaris bawah di atas menunjukkan tempat kembalinya pada kata مَهْمَا. Alasannya adalah هـ tersebut merupakan dhamir. Adapun dhamir tempat kembalinya pastilah kepada isim juga. Oleh karena itu, مَهْمَا pasti berstatus sebagai isim. Kedua, إِذْمَا (ketika). Pendapat yang kuat mengatakan bahwasanya kata tersebut berstatus sebagai isim syarat yang beramal men-jazm-kan fi’il mudhari’. Kata tersebut menunjukkan keterangan waktu. Kata إِذْمَا bersinonim dengan kata مَتَى (kapan pun). Kata إِذْ jika terletak sebelum kata مَا, maka kata إِذْ tersebut masuk kategori isim. Hukum asalnya adalah mempertahankan status sesuatu sesuai dengan asalnya. Contohnya adalah: إِذْمَا تَقُمْ أَقُمْ “Kapan pun kamu berdiri, maka aku akan berdiri.” Ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya إِذْمَا statusnya adalah huruf, sebagaimana status إِنْ الشَرْطِيَةِ. Pendapat ini juga kuat sebagaimana yang tertuang di kitab Audhahul Masalik. Pembahasanya akan dijelaskan pada bab pen-jazm fi’il mudhari’. Ketiga, مَا المَصْدَرِيَة. Huruf tersebut adalah huruf yang membentuk mashdar mu’awwal ketika huruf tersebut bergandengan dengan fi’il yang terletak setelah huruf tersebut. Contohnya di dalam kalimat adalah: سَرَّنِيْ مَا فَعَلْتَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah ma masdhariyah dan fi’il mudhari’ yang menjadi susunan kata. Di dalam kaidah Bahasa Arab, susunan ma mashdariyah dan fi’il mudhari’ bisa diganti ke bentuk mashdar sharih. Sehingga contoh di atas maksudnya adalah: سَرَّنِيْ فِعْلُكَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Menurut pendapat yang kuat, huruf ma masdhariyah tersebut berstatus huruf, sebagaimana huruf  أَنْ مَصْدَرِيَةِ. Keempat, لَمّا (belum/kecuali). Ketika kata tersebut dimaksudkan kata nafiyah, maka kata tersebut berstatus sebagai huruf pen-jazm sebagaimana kata لَمْ. Apabila kata tersebut dimaksudkan kata إِيْجَابِيَّةُ (kecuali), maka kata tersebut semakna dengan kata إلَّا (kecuali).  Apabila kata لَمّا tersebut bermakna dua kata yang telah disebutkan di atas, maka ulama nahwu sepakat berpendapat bahwasanya itu adalah huruf. Contoh penggunaan kata لَمّا di dalam kalimat yaitu: Pertama, contoh kata لَمّا yang bermakna nafiyah (belum) adalah: لَمَّا تُشْرِقِ الشَّمْسُ “Matahari belum terbit.” Kedua, contoh kata لَمّا yang bermakna ijabiyyah (kecuali) adalah: إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ “Setiap jiwa, kecuali ada penjaga atasnya.” (QS. At-Thariq: 4) Kata إِنْ pada potongan ayat Al-Qur’an di atas adalah nafiyah (tidak), kata كُلُّ berkedudukan sebagai mubtada’, kata لَمّا adalah huruf mabni dengan tanda sukun, kata عَلَيْهَا adalah khabar muqaddam, حَافِظٌ adalah mubtada muakkhar. Adapun gabungan dari kata  لَمّا عَلَيْهَا حَافِظٌ berkedudukan sebagai khabar kata كُلُّ. Ketiga, contoh kata لَمّا yang bermakna ar-rabithah (ketika) dan ulama nahwu juga berselisih pendapat apakah kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) tersebut berkedudukan sebagai huruf ataukah isim. Pertama, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) yang berstatus sebagai huruf adalah: لَمَّا جَاءَنِيْ أَكْرَمْتُهُ “Ketika dia datang kepadaku, aku muliakan dia.” Dalil yang menunjukkan kata لَمَّا tersebut bisa dikatakan sebagai huruf adalah kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai berikut: لَمَّا أَكْرَمْتَنِيْ أَمْسَ أَكْرَمْتُكَ اَلْيَوْمَ “Ketika kemarin kamu muliakan aku, maka di hari ini aku muliakan kamu.” Sebagian Ulama Nahwu berpendapat bahwasanya kata لَمَّا tersebut berstatus isim berkedudukan zharaf. Jika begitu, maka seharusnya ada ‘amil untuk kata لَمَّا tersebut yang menyebabkan kata لَمَّا tersebut menjadi nashab. Jika yang dimaksudkan ‘amil kata لَمَّا tersebut adalah أَكْرَمْتَنِي, maka tidak bisa. Ulama Nahwu mengatakan bahwasanya jika ada ‘amil kata لَمَّا harusnya ada mudhaf yang terletak sebelum kata لَمَّا tersebut. Adapun mudhaf ‘ilaih tidak bisa menjadi ‘amil untuk mudhaf. Oleh karena itu, kata أَكْرَمْتَنِي tidak bisa dikatakan menjadi ‘amil untuk kata لَمَّا. Oleh karena itu, kata لَمَّا tersebut bermakna ‘ketika’ yang menunjukkan terjadinya sesuatu, karena adanya perbuatan lain. Kesimpulannya adalah kata لَمَّا tersebut berstatus huruf menurut pendapat yang kuat. Kedua, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) berstatus sebagai zharaf , yaitu zharaf zaman. Faktor yang menyebabkan kata tersebut nashab adalah jawab syarat. Ibnu Hisyam mengatakan, وَجَمِيْعُ اَلْحُرُوْفِ مَبْنِيَةٌ “Semua huruf adalah mabni.” Ini adalah pembahasan hukum huruf. Bahwasanya semua huruf tidak butuh i’rab (berubah). Karena huruf tidak butuh i’rab (perubahan) untuk mengetahui makna masing-masing dari huruf. Adapun untuk mengetahui makna huruf cukup melihat konteks kalimat. Adapun isim, untuk menentukan maknanya apa di dalam kalimat, maka sangat dibutuhkan i’rab (perubahan). Contoh penggunaan huruf di dalam kalimat sebagai berikut: أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ “Aku mengambil sebagian dirham.” Kembali ke bagian 10: Fi’il Mudhari (3) Lanjut ke bagian 12: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


وَأَمَّا الْحَرْفُ فَيُعْرَفُ بِأَنْ لَا يَقْبَلَ شَيْئًا مِنْ عَلَامَاتِ الإسْمِ وَالفِعْلِ نَحْوُ : هَلْ وَبَلْ “Huruf ma’ani bisa diketahui dengan tidak menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contoh dari huruf ma’ani adalah: هَلْ dan بَل”. Setelah Ibnu Hisyam menjelaskan pembahasan tentang isim dan fi’il, beliau memulai membahas tentang huruf ma’ani. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwasanya huruf ma’ani sama sekali tidak bisa menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contohnya adalah: هَلْ  dan بَلْ Dari kedua contoh di atas, terlihat huruf tidak memiliki tanda, baik itu tanda-tanda dari isim, maupun tanda-tanda fi’il. وَلَيْسَ مِنْهُ (مَهْمَا)  وَ (إِذْمَا) وَ بَلْ (مَا) المَصْدَرِيَةُ وَ (لَمَّا) الرَّابِطَةُ فِي الْأَصَحِّ “Menurut pendapat yang kuat, maka kata-kata berikut tidak termasuk pembahasan huruf, yaitu: مَهْمَا (apa pun), إِذْمَا (ketika),  مَا المَصْدَرِيَةُ(kata sambung memiliki arti ‘yang’), لَمّا  (belum/ketika).” Empat contoh kata di atas adalah penjelasan kata-kata yang diperselisihkan status kata tersebut sebagai isim ataukah huruf. Penjelasannya sebagai berikut: Pertama, مَهْمَا (apa pun). Pendapat yang kuat menyebutkan kata tersebut adalah isim syarat yang mempunyai amalan men-jazm-kan fi’il mudhari’. Dalil yang menunjukkan kata tersebut berstatus sebagai isim terdapat pada firman Allah, وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهٖ مِنْ  اٰيَةٍ “Mereka (kaum Fir’aun) berkata kepada Musa, ‘Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami.’ ” (QS. Al-A’raf:132) Maka, huruf هـ yang terdapat pada به yang bergaris bawah di atas menunjukkan tempat kembalinya pada kata مَهْمَا. Alasannya adalah هـ tersebut merupakan dhamir. Adapun dhamir tempat kembalinya pastilah kepada isim juga. Oleh karena itu, مَهْمَا pasti berstatus sebagai isim. Kedua, إِذْمَا (ketika). Pendapat yang kuat mengatakan bahwasanya kata tersebut berstatus sebagai isim syarat yang beramal men-jazm-kan fi’il mudhari’. Kata tersebut menunjukkan keterangan waktu. Kata إِذْمَا bersinonim dengan kata مَتَى (kapan pun). Kata إِذْ jika terletak sebelum kata مَا, maka kata إِذْ tersebut masuk kategori isim. Hukum asalnya adalah mempertahankan status sesuatu sesuai dengan asalnya. Contohnya adalah: إِذْمَا تَقُمْ أَقُمْ “Kapan pun kamu berdiri, maka aku akan berdiri.” Ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya إِذْمَا statusnya adalah huruf, sebagaimana status إِنْ الشَرْطِيَةِ. Pendapat ini juga kuat sebagaimana yang tertuang di kitab Audhahul Masalik. Pembahasanya akan dijelaskan pada bab pen-jazm fi’il mudhari’. Ketiga, مَا المَصْدَرِيَة. Huruf tersebut adalah huruf yang membentuk mashdar mu’awwal ketika huruf tersebut bergandengan dengan fi’il yang terletak setelah huruf tersebut. Contohnya di dalam kalimat adalah: سَرَّنِيْ مَا فَعَلْتَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah ma masdhariyah dan fi’il mudhari’ yang menjadi susunan kata. Di dalam kaidah Bahasa Arab, susunan ma mashdariyah dan fi’il mudhari’ bisa diganti ke bentuk mashdar sharih. Sehingga contoh di atas maksudnya adalah: سَرَّنِيْ فِعْلُكَ “Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.” Menurut pendapat yang kuat, huruf ma masdhariyah tersebut berstatus huruf, sebagaimana huruf  أَنْ مَصْدَرِيَةِ. Keempat, لَمّا (belum/kecuali). Ketika kata tersebut dimaksudkan kata nafiyah, maka kata tersebut berstatus sebagai huruf pen-jazm sebagaimana kata لَمْ. Apabila kata tersebut dimaksudkan kata إِيْجَابِيَّةُ (kecuali), maka kata tersebut semakna dengan kata إلَّا (kecuali).  Apabila kata لَمّا tersebut bermakna dua kata yang telah disebutkan di atas, maka ulama nahwu sepakat berpendapat bahwasanya itu adalah huruf. Contoh penggunaan kata لَمّا di dalam kalimat yaitu: Pertama, contoh kata لَمّا yang bermakna nafiyah (belum) adalah: لَمَّا تُشْرِقِ الشَّمْسُ “Matahari belum terbit.” Kedua, contoh kata لَمّا yang bermakna ijabiyyah (kecuali) adalah: إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ “Setiap jiwa, kecuali ada penjaga atasnya.” (QS. At-Thariq: 4) Kata إِنْ pada potongan ayat Al-Qur’an di atas adalah nafiyah (tidak), kata كُلُّ berkedudukan sebagai mubtada’, kata لَمّا adalah huruf mabni dengan tanda sukun, kata عَلَيْهَا adalah khabar muqaddam, حَافِظٌ adalah mubtada muakkhar. Adapun gabungan dari kata  لَمّا عَلَيْهَا حَافِظٌ berkedudukan sebagai khabar kata كُلُّ. Ketiga, contoh kata لَمّا yang bermakna ar-rabithah (ketika) dan ulama nahwu juga berselisih pendapat apakah kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) tersebut berkedudukan sebagai huruf ataukah isim. Pertama, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) yang berstatus sebagai huruf adalah: لَمَّا جَاءَنِيْ أَكْرَمْتُهُ “Ketika dia datang kepadaku, aku muliakan dia.” Dalil yang menunjukkan kata لَمَّا tersebut bisa dikatakan sebagai huruf adalah kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai berikut: لَمَّا أَكْرَمْتَنِيْ أَمْسَ أَكْرَمْتُكَ اَلْيَوْمَ “Ketika kemarin kamu muliakan aku, maka di hari ini aku muliakan kamu.” Sebagian Ulama Nahwu berpendapat bahwasanya kata لَمَّا tersebut berstatus isim berkedudukan zharaf. Jika begitu, maka seharusnya ada ‘amil untuk kata لَمَّا tersebut yang menyebabkan kata لَمَّا tersebut menjadi nashab. Jika yang dimaksudkan ‘amil kata لَمَّا tersebut adalah أَكْرَمْتَنِي, maka tidak bisa. Ulama Nahwu mengatakan bahwasanya jika ada ‘amil kata لَمَّا harusnya ada mudhaf yang terletak sebelum kata لَمَّا tersebut. Adapun mudhaf ‘ilaih tidak bisa menjadi ‘amil untuk mudhaf. Oleh karena itu, kata أَكْرَمْتَنِي tidak bisa dikatakan menjadi ‘amil untuk kata لَمَّا. Oleh karena itu, kata لَمَّا tersebut bermakna ‘ketika’ yang menunjukkan terjadinya sesuatu, karena adanya perbuatan lain. Kesimpulannya adalah kata لَمَّا tersebut berstatus huruf menurut pendapat yang kuat. Kedua, kata لَمَّا  ar-rabithah (ketika) berstatus sebagai zharaf , yaitu zharaf zaman. Faktor yang menyebabkan kata tersebut nashab adalah jawab syarat. Ibnu Hisyam mengatakan, وَجَمِيْعُ اَلْحُرُوْفِ مَبْنِيَةٌ “Semua huruf adalah mabni.” Ini adalah pembahasan hukum huruf. Bahwasanya semua huruf tidak butuh i’rab (berubah). Karena huruf tidak butuh i’rab (perubahan) untuk mengetahui makna masing-masing dari huruf. Adapun untuk mengetahui makna huruf cukup melihat konteks kalimat. Adapun isim, untuk menentukan maknanya apa di dalam kalimat, maka sangat dibutuhkan i’rab (perubahan). Contoh penggunaan huruf di dalam kalimat sebagai berikut: أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ “Aku mengambil sebagian dirham.” Kembali ke bagian 10: Fi’il Mudhari (3) Lanjut ke bagian 12: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Manfaat Membaca Surah Al-Baqarah di Rumah: Setan Tak Berani Mendekat

Membaca Surah Al-Baqarah di rumah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, salah satunya adalah mengusir setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa setan akan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah, menjadikan rumah tersebut penuh berkah dan perlindungan.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1018 ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ؛ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ البَقَرَةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian bagaikan pekuburan. Sesungguhnya setan lari (benar-benar berpaling) dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 780]   Faedah hadits Larangan bagi orang hidup untuk menyerupai orang yang telah mati, karena orang mati tidak dapat mengambil manfaat, hukum-hukum, peringatan yang terkandung di dalam surah Al-Baqarah. Setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah, ia tidak akan mendekatinya malam itu. Penjelasan mengenai keutamaan surah Al-Baqarah. Shalat di pekuburan diharamkan. Tidak boleh menguburkan mayat di dalam rumah secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan rumah sebagai kuburan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikuburkan di rumah Aisyah adalah kekhususan syariat untuk beliau saja. Baca juga: Rumah yang Seperti Kuburan Membaca Surah Al-Baqarah di rumah bukan hanya menjadi sumber keberkahan, tetapi juga menjadi benteng perlindungan dari gangguan setan. Sebagai seorang Muslim, menjaga amalan ini dapat menjadikan rumah kita senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala keburukan. Semoga kita semua dapat istiqamah dalam mengamalkannya, sehingga rumah kita selalu dipenuhi dengan cahaya iman dan ketenangan. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:218.   –   3 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail

Manfaat Membaca Surah Al-Baqarah di Rumah: Setan Tak Berani Mendekat

Membaca Surah Al-Baqarah di rumah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, salah satunya adalah mengusir setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa setan akan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah, menjadikan rumah tersebut penuh berkah dan perlindungan.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1018 ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ؛ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ البَقَرَةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian bagaikan pekuburan. Sesungguhnya setan lari (benar-benar berpaling) dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 780]   Faedah hadits Larangan bagi orang hidup untuk menyerupai orang yang telah mati, karena orang mati tidak dapat mengambil manfaat, hukum-hukum, peringatan yang terkandung di dalam surah Al-Baqarah. Setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah, ia tidak akan mendekatinya malam itu. Penjelasan mengenai keutamaan surah Al-Baqarah. Shalat di pekuburan diharamkan. Tidak boleh menguburkan mayat di dalam rumah secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan rumah sebagai kuburan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikuburkan di rumah Aisyah adalah kekhususan syariat untuk beliau saja. Baca juga: Rumah yang Seperti Kuburan Membaca Surah Al-Baqarah di rumah bukan hanya menjadi sumber keberkahan, tetapi juga menjadi benteng perlindungan dari gangguan setan. Sebagai seorang Muslim, menjaga amalan ini dapat menjadikan rumah kita senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala keburukan. Semoga kita semua dapat istiqamah dalam mengamalkannya, sehingga rumah kita selalu dipenuhi dengan cahaya iman dan ketenangan. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:218.   –   3 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail
Membaca Surah Al-Baqarah di rumah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, salah satunya adalah mengusir setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa setan akan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah, menjadikan rumah tersebut penuh berkah dan perlindungan.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1018 ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ؛ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ البَقَرَةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian bagaikan pekuburan. Sesungguhnya setan lari (benar-benar berpaling) dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 780]   Faedah hadits Larangan bagi orang hidup untuk menyerupai orang yang telah mati, karena orang mati tidak dapat mengambil manfaat, hukum-hukum, peringatan yang terkandung di dalam surah Al-Baqarah. Setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah, ia tidak akan mendekatinya malam itu. Penjelasan mengenai keutamaan surah Al-Baqarah. Shalat di pekuburan diharamkan. Tidak boleh menguburkan mayat di dalam rumah secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan rumah sebagai kuburan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikuburkan di rumah Aisyah adalah kekhususan syariat untuk beliau saja. Baca juga: Rumah yang Seperti Kuburan Membaca Surah Al-Baqarah di rumah bukan hanya menjadi sumber keberkahan, tetapi juga menjadi benteng perlindungan dari gangguan setan. Sebagai seorang Muslim, menjaga amalan ini dapat menjadikan rumah kita senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala keburukan. Semoga kita semua dapat istiqamah dalam mengamalkannya, sehingga rumah kita selalu dipenuhi dengan cahaya iman dan ketenangan. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:218.   –   3 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail


Membaca Surah Al-Baqarah di rumah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, salah satunya adalah mengusir setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa setan akan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah, menjadikan rumah tersebut penuh berkah dan perlindungan.   Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1018 ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ؛ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ البَقَرَةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian bagaikan pekuburan. Sesungguhnya setan lari (benar-benar berpaling) dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 780]   Faedah hadits Larangan bagi orang hidup untuk menyerupai orang yang telah mati, karena orang mati tidak dapat mengambil manfaat, hukum-hukum, peringatan yang terkandung di dalam surah Al-Baqarah. Setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah, ia tidak akan mendekatinya malam itu. Penjelasan mengenai keutamaan surah Al-Baqarah. Shalat di pekuburan diharamkan. Tidak boleh menguburkan mayat di dalam rumah secara mutlak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan rumah sebagai kuburan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikuburkan di rumah Aisyah adalah kekhususan syariat untuk beliau saja. Baca juga: Rumah yang Seperti Kuburan Membaca Surah Al-Baqarah di rumah bukan hanya menjadi sumber keberkahan, tetapi juga menjadi benteng perlindungan dari gangguan setan. Sebagai seorang Muslim, menjaga amalan ini dapat menjadikan rumah kita senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala keburukan. Semoga kita semua dapat istiqamah dalam mengamalkannya, sehingga rumah kita selalu dipenuhi dengan cahaya iman dan ketenangan. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:218.   –   3 Safar 1446 H, 8 Agustus 2024 @ Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail

Menjaga Istikamah Pemuda di Era Milenial

Salah satu ciri menjaga keistikamahan pemuda di era milenial adalah menjadi pemuda yang rajin dalam mencari ilmu, baik ilmu syar’i maupun disiplin ilmu yang bermanfaat dalam kehidupannya dan menunjang dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Yakni, pemuda yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memahami batasan terhadap lawan jenis. Tidaklah seorang pemuda dikatakan berilmu, jika ia masih malas, nonproduktif, serta tidak memanfaatkan waktu mudanya dalam hal yang bermanfaat dan produktif. Jadilah pemuda muslim milenial yang mampu memberi pengaruh yang baik pada umat dan masyarakat. Seperti Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassallam setelah meninggal, beliau mewariskan banyak ilmu syar’i, baik yang termaktub dalam wahyu Allah ‘Azza Wajalla, yakni Al-Quran ataupun dalam As-Sunah. Al-Quran sebagai petunjuk akan kebesaran dan kemuliaan Allah dalam membimbing kita semua dalam menuju kebenaran dan kebaikan. Dalam hal ini, Imam Asy- Syafi’i rahimahullah memberikan nasihat yang berharga, “Demi Allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada.” Selain itu, ada banyak nasihat yang bisa kita ambil dari para ulama kita. Kita perhatikan bahwa Al-Quran menyebutkan tentang “pemuda” di banyak keutamaan dan di banyak tempat. Allah Ta’ala berfirman, قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ “Mereka berkata, ’Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya’: 60) Selain itu, banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih yang menerangkan nasihat khusus untuk pemuda muslim. Engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan rabb-Nya).” (HR. Tirmidzi no. 2340) Pemuda di setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Karena mereka memiliki kekuatan yang produktif dan kontribusi (peran) yang terus-menerus. Dan pada umumnya, tidaklah suatu umat akan runtuh, karena masih ada pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat yang membara. ولقد علم أعداء الإسلام هذه الحقيقة ، فسعوا إلى وضع العراقيل في طريقهم ، أو تغيير اتجاههم ، إما بفصلهم عن دينهم ، أو إيجاد هوة سحيقة بينهم وبين أولي العلم ، والرأي الصائب ، في أمتهم ، أو بإلصاق الألقاب المنفِّرة منهم ، أو وصفهم بصفات ونعوت ، غير صحيحة ، وتشويه سمعة من أنار الله بصائرهم في مجتمعاتهم ، أو بتأليب بعض الحكومات عليهم “ “Musuh-musuh Islam telah mengetahui fakta ini. Mereka pun berusaha merintangi jalan para pemuda muslim, mengubah pandangan hidup mereka, baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. Mereka memberikan label yang buruk terhadap para ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan mereka dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat, atau memprovokasi penguasa untuk berseberangan dengan mereka.” (Fatwa Syekh Ibnu Baz, 2: 365) Maka, pemuda yang dijanjikan akan mendapatkan naungan dari Allah Ta’ala ialah yang memiliki peran penting dalam mengambil posisi strategis baik dalam hal keilmuan agama, disiplin ilmu, dan kebermanfaatan di lingkungan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ “Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran, pent.).” (HR. Ahmad, 2: 263; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 17: 309; dan lain-lain. Dinilai sahih dengan berbagai jalurnya oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2843.) Inilah sosok pemuda muslim yang Allah Ta’ala cintai dan pemuda yang pandai dalam mensyukuri nikmat besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Istikamah Bukan Hal Mudah *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamahpemuda

Menjaga Istikamah Pemuda di Era Milenial

Salah satu ciri menjaga keistikamahan pemuda di era milenial adalah menjadi pemuda yang rajin dalam mencari ilmu, baik ilmu syar’i maupun disiplin ilmu yang bermanfaat dalam kehidupannya dan menunjang dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Yakni, pemuda yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memahami batasan terhadap lawan jenis. Tidaklah seorang pemuda dikatakan berilmu, jika ia masih malas, nonproduktif, serta tidak memanfaatkan waktu mudanya dalam hal yang bermanfaat dan produktif. Jadilah pemuda muslim milenial yang mampu memberi pengaruh yang baik pada umat dan masyarakat. Seperti Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassallam setelah meninggal, beliau mewariskan banyak ilmu syar’i, baik yang termaktub dalam wahyu Allah ‘Azza Wajalla, yakni Al-Quran ataupun dalam As-Sunah. Al-Quran sebagai petunjuk akan kebesaran dan kemuliaan Allah dalam membimbing kita semua dalam menuju kebenaran dan kebaikan. Dalam hal ini, Imam Asy- Syafi’i rahimahullah memberikan nasihat yang berharga, “Demi Allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada.” Selain itu, ada banyak nasihat yang bisa kita ambil dari para ulama kita. Kita perhatikan bahwa Al-Quran menyebutkan tentang “pemuda” di banyak keutamaan dan di banyak tempat. Allah Ta’ala berfirman, قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ “Mereka berkata, ’Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya’: 60) Selain itu, banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih yang menerangkan nasihat khusus untuk pemuda muslim. Engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan rabb-Nya).” (HR. Tirmidzi no. 2340) Pemuda di setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Karena mereka memiliki kekuatan yang produktif dan kontribusi (peran) yang terus-menerus. Dan pada umumnya, tidaklah suatu umat akan runtuh, karena masih ada pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat yang membara. ولقد علم أعداء الإسلام هذه الحقيقة ، فسعوا إلى وضع العراقيل في طريقهم ، أو تغيير اتجاههم ، إما بفصلهم عن دينهم ، أو إيجاد هوة سحيقة بينهم وبين أولي العلم ، والرأي الصائب ، في أمتهم ، أو بإلصاق الألقاب المنفِّرة منهم ، أو وصفهم بصفات ونعوت ، غير صحيحة ، وتشويه سمعة من أنار الله بصائرهم في مجتمعاتهم ، أو بتأليب بعض الحكومات عليهم “ “Musuh-musuh Islam telah mengetahui fakta ini. Mereka pun berusaha merintangi jalan para pemuda muslim, mengubah pandangan hidup mereka, baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. Mereka memberikan label yang buruk terhadap para ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan mereka dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat, atau memprovokasi penguasa untuk berseberangan dengan mereka.” (Fatwa Syekh Ibnu Baz, 2: 365) Maka, pemuda yang dijanjikan akan mendapatkan naungan dari Allah Ta’ala ialah yang memiliki peran penting dalam mengambil posisi strategis baik dalam hal keilmuan agama, disiplin ilmu, dan kebermanfaatan di lingkungan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ “Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran, pent.).” (HR. Ahmad, 2: 263; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 17: 309; dan lain-lain. Dinilai sahih dengan berbagai jalurnya oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2843.) Inilah sosok pemuda muslim yang Allah Ta’ala cintai dan pemuda yang pandai dalam mensyukuri nikmat besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Istikamah Bukan Hal Mudah *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamahpemuda
Salah satu ciri menjaga keistikamahan pemuda di era milenial adalah menjadi pemuda yang rajin dalam mencari ilmu, baik ilmu syar’i maupun disiplin ilmu yang bermanfaat dalam kehidupannya dan menunjang dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Yakni, pemuda yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memahami batasan terhadap lawan jenis. Tidaklah seorang pemuda dikatakan berilmu, jika ia masih malas, nonproduktif, serta tidak memanfaatkan waktu mudanya dalam hal yang bermanfaat dan produktif. Jadilah pemuda muslim milenial yang mampu memberi pengaruh yang baik pada umat dan masyarakat. Seperti Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassallam setelah meninggal, beliau mewariskan banyak ilmu syar’i, baik yang termaktub dalam wahyu Allah ‘Azza Wajalla, yakni Al-Quran ataupun dalam As-Sunah. Al-Quran sebagai petunjuk akan kebesaran dan kemuliaan Allah dalam membimbing kita semua dalam menuju kebenaran dan kebaikan. Dalam hal ini, Imam Asy- Syafi’i rahimahullah memberikan nasihat yang berharga, “Demi Allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada.” Selain itu, ada banyak nasihat yang bisa kita ambil dari para ulama kita. Kita perhatikan bahwa Al-Quran menyebutkan tentang “pemuda” di banyak keutamaan dan di banyak tempat. Allah Ta’ala berfirman, قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ “Mereka berkata, ’Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya’: 60) Selain itu, banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih yang menerangkan nasihat khusus untuk pemuda muslim. Engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan rabb-Nya).” (HR. Tirmidzi no. 2340) Pemuda di setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Karena mereka memiliki kekuatan yang produktif dan kontribusi (peran) yang terus-menerus. Dan pada umumnya, tidaklah suatu umat akan runtuh, karena masih ada pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat yang membara. ولقد علم أعداء الإسلام هذه الحقيقة ، فسعوا إلى وضع العراقيل في طريقهم ، أو تغيير اتجاههم ، إما بفصلهم عن دينهم ، أو إيجاد هوة سحيقة بينهم وبين أولي العلم ، والرأي الصائب ، في أمتهم ، أو بإلصاق الألقاب المنفِّرة منهم ، أو وصفهم بصفات ونعوت ، غير صحيحة ، وتشويه سمعة من أنار الله بصائرهم في مجتمعاتهم ، أو بتأليب بعض الحكومات عليهم “ “Musuh-musuh Islam telah mengetahui fakta ini. Mereka pun berusaha merintangi jalan para pemuda muslim, mengubah pandangan hidup mereka, baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. Mereka memberikan label yang buruk terhadap para ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan mereka dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat, atau memprovokasi penguasa untuk berseberangan dengan mereka.” (Fatwa Syekh Ibnu Baz, 2: 365) Maka, pemuda yang dijanjikan akan mendapatkan naungan dari Allah Ta’ala ialah yang memiliki peran penting dalam mengambil posisi strategis baik dalam hal keilmuan agama, disiplin ilmu, dan kebermanfaatan di lingkungan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ “Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran, pent.).” (HR. Ahmad, 2: 263; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 17: 309; dan lain-lain. Dinilai sahih dengan berbagai jalurnya oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2843.) Inilah sosok pemuda muslim yang Allah Ta’ala cintai dan pemuda yang pandai dalam mensyukuri nikmat besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Istikamah Bukan Hal Mudah *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamahpemuda


Salah satu ciri menjaga keistikamahan pemuda di era milenial adalah menjadi pemuda yang rajin dalam mencari ilmu, baik ilmu syar’i maupun disiplin ilmu yang bermanfaat dalam kehidupannya dan menunjang dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Yakni, pemuda yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memahami batasan terhadap lawan jenis. Tidaklah seorang pemuda dikatakan berilmu, jika ia masih malas, nonproduktif, serta tidak memanfaatkan waktu mudanya dalam hal yang bermanfaat dan produktif. Jadilah pemuda muslim milenial yang mampu memberi pengaruh yang baik pada umat dan masyarakat. Seperti Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassallam setelah meninggal, beliau mewariskan banyak ilmu syar’i, baik yang termaktub dalam wahyu Allah ‘Azza Wajalla, yakni Al-Quran ataupun dalam As-Sunah. Al-Quran sebagai petunjuk akan kebesaran dan kemuliaan Allah dalam membimbing kita semua dalam menuju kebenaran dan kebaikan. Dalam hal ini, Imam Asy- Syafi’i rahimahullah memberikan nasihat yang berharga, “Demi Allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada.” Selain itu, ada banyak nasihat yang bisa kita ambil dari para ulama kita. Kita perhatikan bahwa Al-Quran menyebutkan tentang “pemuda” di banyak keutamaan dan di banyak tempat. Allah Ta’ala berfirman, قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ “Mereka berkata, ’Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya’: 60) Selain itu, banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih yang menerangkan nasihat khusus untuk pemuda muslim. Engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan rabb-Nya).” (HR. Tirmidzi no. 2340) Pemuda di setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Karena mereka memiliki kekuatan yang produktif dan kontribusi (peran) yang terus-menerus. Dan pada umumnya, tidaklah suatu umat akan runtuh, karena masih ada pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat yang membara. ولقد علم أعداء الإسلام هذه الحقيقة ، فسعوا إلى وضع العراقيل في طريقهم ، أو تغيير اتجاههم ، إما بفصلهم عن دينهم ، أو إيجاد هوة سحيقة بينهم وبين أولي العلم ، والرأي الصائب ، في أمتهم ، أو بإلصاق الألقاب المنفِّرة منهم ، أو وصفهم بصفات ونعوت ، غير صحيحة ، وتشويه سمعة من أنار الله بصائرهم في مجتمعاتهم ، أو بتأليب بعض الحكومات عليهم “ “Musuh-musuh Islam telah mengetahui fakta ini. Mereka pun berusaha merintangi jalan para pemuda muslim, mengubah pandangan hidup mereka, baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. Mereka memberikan label yang buruk terhadap para ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan mereka dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat, atau memprovokasi penguasa untuk berseberangan dengan mereka.” (Fatwa Syekh Ibnu Baz, 2: 365) Maka, pemuda yang dijanjikan akan mendapatkan naungan dari Allah Ta’ala ialah yang memiliki peran penting dalam mengambil posisi strategis baik dalam hal keilmuan agama, disiplin ilmu, dan kebermanfaatan di lingkungan masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ “Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran, pent.).” (HR. Ahmad, 2: 263; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 17: 309; dan lain-lain. Dinilai sahih dengan berbagai jalurnya oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2843.) Inilah sosok pemuda muslim yang Allah Ta’ala cintai dan pemuda yang pandai dalam mensyukuri nikmat besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Istikamah Bukan Hal Mudah *** Penulis: Kiki Dwi Setiabudi Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamahpemuda

Hadis: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis Pertama dan KeduaKandungan Hadis Pertama dan KeduaKandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Teks Hadis Pertama dan Kedua Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ “Tidak (sah) nikah tanpa wali.” (HR. Abu Dawud no. 2085, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1881, dan Ahmad 32: 280. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika dia telah digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika ada perselisihan (dari keluarga wanita dan tidak ada wali bagi wanita itu), maka penguasalah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Abu Awanah 3: 18, Ibnu Hibban 9: 384, dan Al-Hakim 2: 168. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Pertama dan Kedua Kandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Apakah yang dimaksudkan dengan penafian (peniadaan) dalam hadis ini? Peniadaan di sini ada tiga kemungkinan, yaitu: 1) peniadaan dzat (نفي الذات); maksudnya, pernikahan tanpa wali itu tidak pernah terjadi); 2) peniadaan kesempurnaan (نفي الكمال); dan 3) peniadaan keabsahan (نفي الصحة). Kemungkinan pertama itu mustahil, karena akad nikah tanpa wali itu bisa saja terjadi. Adapun kemungkinan kedua, maka itu kemungkinan yang tidak dimaksudkan dalam hadis ini. Dalilnya adalah hadis dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Hadis tersebut menunjukkan batilnya akad nikah tanpa wali. Sehingga jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah peniadaan keabsahan akad nikah. Artinya, tidak ada akad nikah yang sah aau dianggap secara syar’i, kecuali dengan adanya wali. Siapakah yang dimaksud dengan wali? Wali adalah kerabat yang memiliki hak perwalian untuk menikahkan wanita. Wali karena kekerabatan ini disebut dengan “wali nasab”. Ayah (bapak) adalah yang lebih berhak untuk menikahkan si wanita, kemudian kakek (dan seterusnya ke atas) ketika ayah tidak ada, menurut pendapat yang lebih kuat. Selanjutnya adalah kerabat lainnya (ashabah) yang laki-laki, yang urutannya berbeda-beda dalam pembahasan kitab-kitab fikih. Baca juga: Fikih Nikah (Bag. 2) Berdasarkan penjelasan ini, maka wali adalah syarat sahnya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu (salaf) dan kholaf (ulama belakangan). Termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 20; Al-Mughni, 9: 344; Mughni Al-Muhtaj, 3: 147) Jumhur ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa ‘iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232) Sisi pendalilan dari ayat ini adalah Allah Ta’ala melarang para wali menghalang-halangi wanita yang telah menyelesaikan masa ‘iddah untuk rujuk jika dilamar kembali oleh suami yang telah mentalaknya. Jika wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, maka tidak ada faidahnya dari larangan bagi para wali wali untuk menghalang-halangi wanita tersebut rujuk lagi dengan suami yang telah mentalaknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa wali itu tidak dipersyaratkan ketika akad nikah, namun hukumnya sunah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sejumlah ulama. (Lihat Bada’i Ash-Shanaa’i, 2: 241-247) Para ulama tersebut berdalil dengan dalil nash dan qiyas. Adapun dalil dari nash adalah firman Allah Ta’ala, فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Kemudian apabila telah habis ‘iddah-nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 234) Dan juga firman Allah Ta’ala, فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Dalam dua ayat tersebut, Allah Ta’ala menyandarkan pernikahan kepada si wanita. Penyandaran ini menunjukkan bolehnya akad nikah yang berasal dari wanita. Adapun dalil qiyas, maka mereka mengqiyaskan pernikahan dengan jual beli. Wanita yang sudah balig dan bisa mengatur pengeluaran, mereka boleh mengadakan transaksi jual beli dari harta mereka sendiri tanpa perlu ijin wali. Demikian pula pernikahan, maka diperbolehkan bagi si wanita untuk mengadakan akad bagi dirinya sendiri tanpa wali. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, bahwa dipersyaratkan wali ketika akad nikah. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Di antara yang menguatkan hal itu di antaranya: Pertama, terjaganya wanita ketika muncul dari dirinya kecenderungan kepada laki-laki. Kedua, laki-laki itu lebih mampu dari wanita ketika mencari informasi tentang calon pasangan. Adapun wanita itu terkadang tidak bisa berpikir panjang ketika mencari calon suami yang saleh dan sekufu. Terkadang wanita tersebut tidak mendapatkan taufik ketika memilih laki-laki yang sesuai. Ketiga, dipersyaratkannya wali itu lebih dari sekedar mengumumkan pernikahan. Keempat, pernikahan itu bukan hanya ikatan yang menyatukan mempelai laki-laki dan wanita, akan tetapi juga menyatukan antara dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan wanita. Sehingga penting bagi ayah dan kerabat dari pihak wanita untuk mengetahui keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Adapun ayat Al-Quran yang dipakai sebagai dalil bagi Imam Abu Hanifah dan selainnya, maka ayat tersebut tidaklah menunjukkan bahwa wali bukanlah syarat akad nikah. Akan tetapi, ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita merdeka dan sudah baligh merupakan pihak langsung dalam akad nikah, sehingga harus dimintai pendapat dan persetujuannya; bukan berarti wanita tersebut bebas dan mandiri dalam melakukan akad nikah. Adapun dalil qiyas, maka qiyas tersebut tidak teranggap. Hal ini karena kesimpulan qiyas tersebut bertentangan dengan dalil nash. Selain itu, akad nikah tidak bisa serta merta disamakan dengan akad jual beli. Konsekuensi dari akad nikah itu sangat besar, yaitu menghalalkan kemaluan. Berbeda dengan konsekuensi dari akad jual beli yang tidak sebesar itu dan perkaranya pun lebih ringan dibanding akad nikah. Adapun Imam Abu Hanifah, beliau memang berpendapat bahwa wali itu bukan syarat akad nikah sebagaimana pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah rahimahullah memberikan hak bagi wali wanita untuk menghentikan dan membatalkan akad jika suami dinilai tidak sekufu. (Lihat Syarh Fathul Qadir, 3: 258; Ahkamuz Zawaj, hal. 130) Lanjut ke bagian 2: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 222-228). Tags: wali nikah

Hadis: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis Pertama dan KeduaKandungan Hadis Pertama dan KeduaKandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Teks Hadis Pertama dan Kedua Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ “Tidak (sah) nikah tanpa wali.” (HR. Abu Dawud no. 2085, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1881, dan Ahmad 32: 280. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika dia telah digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika ada perselisihan (dari keluarga wanita dan tidak ada wali bagi wanita itu), maka penguasalah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Abu Awanah 3: 18, Ibnu Hibban 9: 384, dan Al-Hakim 2: 168. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Pertama dan Kedua Kandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Apakah yang dimaksudkan dengan penafian (peniadaan) dalam hadis ini? Peniadaan di sini ada tiga kemungkinan, yaitu: 1) peniadaan dzat (نفي الذات); maksudnya, pernikahan tanpa wali itu tidak pernah terjadi); 2) peniadaan kesempurnaan (نفي الكمال); dan 3) peniadaan keabsahan (نفي الصحة). Kemungkinan pertama itu mustahil, karena akad nikah tanpa wali itu bisa saja terjadi. Adapun kemungkinan kedua, maka itu kemungkinan yang tidak dimaksudkan dalam hadis ini. Dalilnya adalah hadis dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Hadis tersebut menunjukkan batilnya akad nikah tanpa wali. Sehingga jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah peniadaan keabsahan akad nikah. Artinya, tidak ada akad nikah yang sah aau dianggap secara syar’i, kecuali dengan adanya wali. Siapakah yang dimaksud dengan wali? Wali adalah kerabat yang memiliki hak perwalian untuk menikahkan wanita. Wali karena kekerabatan ini disebut dengan “wali nasab”. Ayah (bapak) adalah yang lebih berhak untuk menikahkan si wanita, kemudian kakek (dan seterusnya ke atas) ketika ayah tidak ada, menurut pendapat yang lebih kuat. Selanjutnya adalah kerabat lainnya (ashabah) yang laki-laki, yang urutannya berbeda-beda dalam pembahasan kitab-kitab fikih. Baca juga: Fikih Nikah (Bag. 2) Berdasarkan penjelasan ini, maka wali adalah syarat sahnya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu (salaf) dan kholaf (ulama belakangan). Termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 20; Al-Mughni, 9: 344; Mughni Al-Muhtaj, 3: 147) Jumhur ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa ‘iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232) Sisi pendalilan dari ayat ini adalah Allah Ta’ala melarang para wali menghalang-halangi wanita yang telah menyelesaikan masa ‘iddah untuk rujuk jika dilamar kembali oleh suami yang telah mentalaknya. Jika wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, maka tidak ada faidahnya dari larangan bagi para wali wali untuk menghalang-halangi wanita tersebut rujuk lagi dengan suami yang telah mentalaknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa wali itu tidak dipersyaratkan ketika akad nikah, namun hukumnya sunah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sejumlah ulama. (Lihat Bada’i Ash-Shanaa’i, 2: 241-247) Para ulama tersebut berdalil dengan dalil nash dan qiyas. Adapun dalil dari nash adalah firman Allah Ta’ala, فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Kemudian apabila telah habis ‘iddah-nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 234) Dan juga firman Allah Ta’ala, فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Dalam dua ayat tersebut, Allah Ta’ala menyandarkan pernikahan kepada si wanita. Penyandaran ini menunjukkan bolehnya akad nikah yang berasal dari wanita. Adapun dalil qiyas, maka mereka mengqiyaskan pernikahan dengan jual beli. Wanita yang sudah balig dan bisa mengatur pengeluaran, mereka boleh mengadakan transaksi jual beli dari harta mereka sendiri tanpa perlu ijin wali. Demikian pula pernikahan, maka diperbolehkan bagi si wanita untuk mengadakan akad bagi dirinya sendiri tanpa wali. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, bahwa dipersyaratkan wali ketika akad nikah. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Di antara yang menguatkan hal itu di antaranya: Pertama, terjaganya wanita ketika muncul dari dirinya kecenderungan kepada laki-laki. Kedua, laki-laki itu lebih mampu dari wanita ketika mencari informasi tentang calon pasangan. Adapun wanita itu terkadang tidak bisa berpikir panjang ketika mencari calon suami yang saleh dan sekufu. Terkadang wanita tersebut tidak mendapatkan taufik ketika memilih laki-laki yang sesuai. Ketiga, dipersyaratkannya wali itu lebih dari sekedar mengumumkan pernikahan. Keempat, pernikahan itu bukan hanya ikatan yang menyatukan mempelai laki-laki dan wanita, akan tetapi juga menyatukan antara dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan wanita. Sehingga penting bagi ayah dan kerabat dari pihak wanita untuk mengetahui keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Adapun ayat Al-Quran yang dipakai sebagai dalil bagi Imam Abu Hanifah dan selainnya, maka ayat tersebut tidaklah menunjukkan bahwa wali bukanlah syarat akad nikah. Akan tetapi, ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita merdeka dan sudah baligh merupakan pihak langsung dalam akad nikah, sehingga harus dimintai pendapat dan persetujuannya; bukan berarti wanita tersebut bebas dan mandiri dalam melakukan akad nikah. Adapun dalil qiyas, maka qiyas tersebut tidak teranggap. Hal ini karena kesimpulan qiyas tersebut bertentangan dengan dalil nash. Selain itu, akad nikah tidak bisa serta merta disamakan dengan akad jual beli. Konsekuensi dari akad nikah itu sangat besar, yaitu menghalalkan kemaluan. Berbeda dengan konsekuensi dari akad jual beli yang tidak sebesar itu dan perkaranya pun lebih ringan dibanding akad nikah. Adapun Imam Abu Hanifah, beliau memang berpendapat bahwa wali itu bukan syarat akad nikah sebagaimana pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah rahimahullah memberikan hak bagi wali wanita untuk menghentikan dan membatalkan akad jika suami dinilai tidak sekufu. (Lihat Syarh Fathul Qadir, 3: 258; Ahkamuz Zawaj, hal. 130) Lanjut ke bagian 2: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 222-228). Tags: wali nikah
Daftar Isi Toggle Teks Hadis Pertama dan KeduaKandungan Hadis Pertama dan KeduaKandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Teks Hadis Pertama dan Kedua Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ “Tidak (sah) nikah tanpa wali.” (HR. Abu Dawud no. 2085, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1881, dan Ahmad 32: 280. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika dia telah digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika ada perselisihan (dari keluarga wanita dan tidak ada wali bagi wanita itu), maka penguasalah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Abu Awanah 3: 18, Ibnu Hibban 9: 384, dan Al-Hakim 2: 168. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Pertama dan Kedua Kandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Apakah yang dimaksudkan dengan penafian (peniadaan) dalam hadis ini? Peniadaan di sini ada tiga kemungkinan, yaitu: 1) peniadaan dzat (نفي الذات); maksudnya, pernikahan tanpa wali itu tidak pernah terjadi); 2) peniadaan kesempurnaan (نفي الكمال); dan 3) peniadaan keabsahan (نفي الصحة). Kemungkinan pertama itu mustahil, karena akad nikah tanpa wali itu bisa saja terjadi. Adapun kemungkinan kedua, maka itu kemungkinan yang tidak dimaksudkan dalam hadis ini. Dalilnya adalah hadis dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Hadis tersebut menunjukkan batilnya akad nikah tanpa wali. Sehingga jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah peniadaan keabsahan akad nikah. Artinya, tidak ada akad nikah yang sah aau dianggap secara syar’i, kecuali dengan adanya wali. Siapakah yang dimaksud dengan wali? Wali adalah kerabat yang memiliki hak perwalian untuk menikahkan wanita. Wali karena kekerabatan ini disebut dengan “wali nasab”. Ayah (bapak) adalah yang lebih berhak untuk menikahkan si wanita, kemudian kakek (dan seterusnya ke atas) ketika ayah tidak ada, menurut pendapat yang lebih kuat. Selanjutnya adalah kerabat lainnya (ashabah) yang laki-laki, yang urutannya berbeda-beda dalam pembahasan kitab-kitab fikih. Baca juga: Fikih Nikah (Bag. 2) Berdasarkan penjelasan ini, maka wali adalah syarat sahnya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu (salaf) dan kholaf (ulama belakangan). Termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 20; Al-Mughni, 9: 344; Mughni Al-Muhtaj, 3: 147) Jumhur ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa ‘iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232) Sisi pendalilan dari ayat ini adalah Allah Ta’ala melarang para wali menghalang-halangi wanita yang telah menyelesaikan masa ‘iddah untuk rujuk jika dilamar kembali oleh suami yang telah mentalaknya. Jika wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, maka tidak ada faidahnya dari larangan bagi para wali wali untuk menghalang-halangi wanita tersebut rujuk lagi dengan suami yang telah mentalaknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa wali itu tidak dipersyaratkan ketika akad nikah, namun hukumnya sunah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sejumlah ulama. (Lihat Bada’i Ash-Shanaa’i, 2: 241-247) Para ulama tersebut berdalil dengan dalil nash dan qiyas. Adapun dalil dari nash adalah firman Allah Ta’ala, فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Kemudian apabila telah habis ‘iddah-nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 234) Dan juga firman Allah Ta’ala, فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Dalam dua ayat tersebut, Allah Ta’ala menyandarkan pernikahan kepada si wanita. Penyandaran ini menunjukkan bolehnya akad nikah yang berasal dari wanita. Adapun dalil qiyas, maka mereka mengqiyaskan pernikahan dengan jual beli. Wanita yang sudah balig dan bisa mengatur pengeluaran, mereka boleh mengadakan transaksi jual beli dari harta mereka sendiri tanpa perlu ijin wali. Demikian pula pernikahan, maka diperbolehkan bagi si wanita untuk mengadakan akad bagi dirinya sendiri tanpa wali. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, bahwa dipersyaratkan wali ketika akad nikah. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Di antara yang menguatkan hal itu di antaranya: Pertama, terjaganya wanita ketika muncul dari dirinya kecenderungan kepada laki-laki. Kedua, laki-laki itu lebih mampu dari wanita ketika mencari informasi tentang calon pasangan. Adapun wanita itu terkadang tidak bisa berpikir panjang ketika mencari calon suami yang saleh dan sekufu. Terkadang wanita tersebut tidak mendapatkan taufik ketika memilih laki-laki yang sesuai. Ketiga, dipersyaratkannya wali itu lebih dari sekedar mengumumkan pernikahan. Keempat, pernikahan itu bukan hanya ikatan yang menyatukan mempelai laki-laki dan wanita, akan tetapi juga menyatukan antara dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan wanita. Sehingga penting bagi ayah dan kerabat dari pihak wanita untuk mengetahui keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Adapun ayat Al-Quran yang dipakai sebagai dalil bagi Imam Abu Hanifah dan selainnya, maka ayat tersebut tidaklah menunjukkan bahwa wali bukanlah syarat akad nikah. Akan tetapi, ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita merdeka dan sudah baligh merupakan pihak langsung dalam akad nikah, sehingga harus dimintai pendapat dan persetujuannya; bukan berarti wanita tersebut bebas dan mandiri dalam melakukan akad nikah. Adapun dalil qiyas, maka qiyas tersebut tidak teranggap. Hal ini karena kesimpulan qiyas tersebut bertentangan dengan dalil nash. Selain itu, akad nikah tidak bisa serta merta disamakan dengan akad jual beli. Konsekuensi dari akad nikah itu sangat besar, yaitu menghalalkan kemaluan. Berbeda dengan konsekuensi dari akad jual beli yang tidak sebesar itu dan perkaranya pun lebih ringan dibanding akad nikah. Adapun Imam Abu Hanifah, beliau memang berpendapat bahwa wali itu bukan syarat akad nikah sebagaimana pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah rahimahullah memberikan hak bagi wali wanita untuk menghentikan dan membatalkan akad jika suami dinilai tidak sekufu. (Lihat Syarh Fathul Qadir, 3: 258; Ahkamuz Zawaj, hal. 130) Lanjut ke bagian 2: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 222-228). Tags: wali nikah


Daftar Isi Toggle Teks Hadis Pertama dan KeduaKandungan Hadis Pertama dan KeduaKandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Teks Hadis Pertama dan Kedua Diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ “Tidak (sah) nikah tanpa wali.” (HR. Abu Dawud no. 2085, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1881, dan Ahmad 32: 280. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika dia telah digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika ada perselisihan (dari keluarga wanita dan tidak ada wali bagi wanita itu), maka penguasalah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Abu Awanah 3: 18, Ibnu Hibban 9: 384, dan Al-Hakim 2: 168. Dinilai sahih oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Pertama dan Kedua Kandungan pertama: Disyaratkannya wali ketika akad nikah Apakah yang dimaksudkan dengan penafian (peniadaan) dalam hadis ini? Peniadaan di sini ada tiga kemungkinan, yaitu: 1) peniadaan dzat (نفي الذات); maksudnya, pernikahan tanpa wali itu tidak pernah terjadi); 2) peniadaan kesempurnaan (نفي الكمال); dan 3) peniadaan keabsahan (نفي الصحة). Kemungkinan pertama itu mustahil, karena akad nikah tanpa wali itu bisa saja terjadi. Adapun kemungkinan kedua, maka itu kemungkinan yang tidak dimaksudkan dalam hadis ini. Dalilnya adalah hadis dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Hadis tersebut menunjukkan batilnya akad nikah tanpa wali. Sehingga jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah peniadaan keabsahan akad nikah. Artinya, tidak ada akad nikah yang sah aau dianggap secara syar’i, kecuali dengan adanya wali. Siapakah yang dimaksud dengan wali? Wali adalah kerabat yang memiliki hak perwalian untuk menikahkan wanita. Wali karena kekerabatan ini disebut dengan “wali nasab”. Ayah (bapak) adalah yang lebih berhak untuk menikahkan si wanita, kemudian kakek (dan seterusnya ke atas) ketika ayah tidak ada, menurut pendapat yang lebih kuat. Selanjutnya adalah kerabat lainnya (ashabah) yang laki-laki, yang urutannya berbeda-beda dalam pembahasan kitab-kitab fikih. Baca juga: Fikih Nikah (Bag. 2) Berdasarkan penjelasan ini, maka wali adalah syarat sahnya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu (salaf) dan kholaf (ulama belakangan). Termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 20; Al-Mughni, 9: 344; Mughni Al-Muhtaj, 3: 147) Jumhur ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa ‘iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232) Sisi pendalilan dari ayat ini adalah Allah Ta’ala melarang para wali menghalang-halangi wanita yang telah menyelesaikan masa ‘iddah untuk rujuk jika dilamar kembali oleh suami yang telah mentalaknya. Jika wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, maka tidak ada faidahnya dari larangan bagi para wali wali untuk menghalang-halangi wanita tersebut rujuk lagi dengan suami yang telah mentalaknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa wali itu tidak dipersyaratkan ketika akad nikah, namun hukumnya sunah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sejumlah ulama. (Lihat Bada’i Ash-Shanaa’i, 2: 241-247) Para ulama tersebut berdalil dengan dalil nash dan qiyas. Adapun dalil dari nash adalah firman Allah Ta’ala, فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Kemudian apabila telah habis ‘iddah-nya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 234) Dan juga firman Allah Ta’ala, فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Dalam dua ayat tersebut, Allah Ta’ala menyandarkan pernikahan kepada si wanita. Penyandaran ini menunjukkan bolehnya akad nikah yang berasal dari wanita. Adapun dalil qiyas, maka mereka mengqiyaskan pernikahan dengan jual beli. Wanita yang sudah balig dan bisa mengatur pengeluaran, mereka boleh mengadakan transaksi jual beli dari harta mereka sendiri tanpa perlu ijin wali. Demikian pula pernikahan, maka diperbolehkan bagi si wanita untuk mengadakan akad bagi dirinya sendiri tanpa wali. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, bahwa dipersyaratkan wali ketika akad nikah. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Di antara yang menguatkan hal itu di antaranya: Pertama, terjaganya wanita ketika muncul dari dirinya kecenderungan kepada laki-laki. Kedua, laki-laki itu lebih mampu dari wanita ketika mencari informasi tentang calon pasangan. Adapun wanita itu terkadang tidak bisa berpikir panjang ketika mencari calon suami yang saleh dan sekufu. Terkadang wanita tersebut tidak mendapatkan taufik ketika memilih laki-laki yang sesuai. Ketiga, dipersyaratkannya wali itu lebih dari sekedar mengumumkan pernikahan. Keempat, pernikahan itu bukan hanya ikatan yang menyatukan mempelai laki-laki dan wanita, akan tetapi juga menyatukan antara dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan wanita. Sehingga penting bagi ayah dan kerabat dari pihak wanita untuk mengetahui keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Adapun ayat Al-Quran yang dipakai sebagai dalil bagi Imam Abu Hanifah dan selainnya, maka ayat tersebut tidaklah menunjukkan bahwa wali bukanlah syarat akad nikah. Akan tetapi, ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita merdeka dan sudah baligh merupakan pihak langsung dalam akad nikah, sehingga harus dimintai pendapat dan persetujuannya; bukan berarti wanita tersebut bebas dan mandiri dalam melakukan akad nikah. Adapun dalil qiyas, maka qiyas tersebut tidak teranggap. Hal ini karena kesimpulan qiyas tersebut bertentangan dengan dalil nash. Selain itu, akad nikah tidak bisa serta merta disamakan dengan akad jual beli. Konsekuensi dari akad nikah itu sangat besar, yaitu menghalalkan kemaluan. Berbeda dengan konsekuensi dari akad jual beli yang tidak sebesar itu dan perkaranya pun lebih ringan dibanding akad nikah. Adapun Imam Abu Hanifah, beliau memang berpendapat bahwa wali itu bukan syarat akad nikah sebagaimana pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah rahimahullah memberikan hak bagi wali wanita untuk menghentikan dan membatalkan akad jika suami dinilai tidak sekufu. (Lihat Syarh Fathul Qadir, 3: 258; Ahkamuz Zawaj, hal. 130) Lanjut ke bagian 2: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 222-228). Tags: wali nikah

Definisi Harta dalam Islam: Apakah Keahlian Termasuk di Dalamnya?

Dalam Islam, konsep harta atau “المال” mencakup segala sesuatu yang dimiliki dan bermanfaat bagi pemiliknya. Artikel ini mengeksplorasi pandangan para ulama fikih tentang apakah keahlian dan keterampilan dapat dianggap sebagai harta. Dengan memahami definisi ini, kita dapat lebih menghargai nilai keahlian dan bagaimana Islam mendorong pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat.   Daftar Isi tutup 1. Definisi Harta 2. Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? 3. Keahilan Apakah Termasuk Harta? 4. Kesimpulan 4.1. Referensi utama: Definisi Harta Kata “المال” atau “harta” secara bahasa berarti segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia. Secara istilah syar’i, para ahli fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta sebagai berikut: Para ahli fikih Hanafi mendefinisikan harta dengan berbagai definisi. Ibnu Abidin berkata: “Yang dimaksud dengan harta adalah sesuatu yang disenangi oleh tabiat dan bisa disimpan untuk waktu yang dibutuhkan. Harta itu diakui dengan diperjualbelikan oleh semua orang atau sebagian dari mereka.” Para ahli fikih Maliki juga mendefinisikan harta dengan berbagai cara. Asy-Syatibi berkata: “Harta adalah sesuatu yang bisa dimiliki, dan pemiliknya bisa menguasainya dari orang lain jika ia mengambilnya secara sah.” Ibnu Al-Arabi berkata: “Harta adalah sesuatu yang diinginkan oleh pandangan, dan secara kebiasaan serta syariat dapat dimanfaatkan.” Abdul Wahab Al-Baghdadi berkata bahwa harta adalah sesuatu yang biasa dipandang sebagai harta dan boleh diambil gantinya. Az-Zarkasyi dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang bermanfaat, artinya siap untuk dimanfaatkan. As-Suyuthi dari kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa istilah harta tidak berlaku kecuali pada sesuatu yang memiliki nilai yang bisa dijual dengannya, dan orang yang merusaknya wajib menggantinya, meskipun sedikit, serta sesuatu yang tidak dibuang oleh manusia seperti uang receh dan sejenisnya. Ulama Hanabilah berkata bahwa harta secara syar’i adalah sesuatu yang bermanfaat secara mutlak, artinya dalam semua keadaan, atau sesuatu yang boleh dimiliki tanpa kebutuhan.   Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? Keahlian adalah kompetensi khusus yang diperoleh seseorang melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalaman, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan efektif dan efisien. Keahlian ini meliputi pengetahuan mendalam tentang suatu bidang, keterampilan praktis, pengalaman nyata, kredensial seperti sertifikat atau lisensi, dan pencapaian konkret dalam bidang tersebut. Keahlian dapat bervariasi dari keterampilan teknis hingga keterampilan interpersonal, seperti kemampuan berkomunikasi atau bekerja dalam tim. Keahlian dan skill sering kali digunakan secara bergantian, tetapi terdapat perbedaan dalam konotasi dan konteks penggunaannya. Keahlian merujuk pada kemampuan yang lebih mendalam dan spesifik, mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, seperti keahlian dalam bedah medis atau analisis data. Sebaliknya, skill lebih sering digunakan untuk keterampilan praktis atau teknis yang diperoleh melalui latihan dan praktek, seperti mengetik atau berbicara di depan umum. Jadi, meskipun memiliki makna yang hampir sama, keahlian cenderung lebih luas dan mendalam dibandingkan skill yang lebih berfokus pada kemampuan praktis. Adapun keahlian usaha adalah kemampuan khusus dalam menjalankan dan mengelola bisnis dengan efektif, mencakup manajemen keuangan, pemasaran, manajemen operasional, sumber daya manusia, inovasi produk, kepemimpinan, dan analisis bisnis. Ini melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang memungkinkan seseorang atau tim untuk mengelola anggaran, strategi pemasaran, produksi, pelatihan karyawan, pengembangan produk baru, memimpin tim, dan membuat keputusan berdasarkan data pasar, sehingga dapat menjalankan bisnis dengan sukses dan beradaptasi dengan perubahan pasar. Keahilan Apakah Termasuk Harta? Dalam bahasa Arab, “skill” atau “keahlian” bisa diterjemahkan sebagai “مهارة” (maharah). Kata ini merujuk pada kemampuan atau keterampilan yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. “المال المنافع” (al-maal al-manafi’) secara harfiah berarti “harta manfaat” atau “aset yang bermanfaat”. Dalam konteks Islam, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang memiliki nilai dan manfaat yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh seseorang. Keahlian atau “مهارة” (maharah) bisa dianggap sebagai bagian dari “المال المنافع” karena keahlian adalah aset yang memiliki nilai dan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi individu maupun masyarakat. Keahlian bisa menjadi sumber pendapatan, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang memiliki manfaat dan dapat digunakan untuk kebaikan, termasuk keahlian dan keterampilan, dianggap sebagai bentuk dari “المال المنافع”. Oleh karena itu, pengembangan dan penggunaan keahlian dalam cara yang bermanfaat dan positif sangat dianjurkan. Para ahli fikih berselisih pendapat mengenai harta manfaat (المال المنافع) apakah bisa dianggap sebagai harta. Pendapat pertama dari Hanafi: Manfaat bukanlah harta yang memiliki nilai intrinsik, karena sifat kehartaan sesuatu hanya ditetapkan dengan memiliki nilai (tamwil), dan memiliki nilai berarti menjaga sesuatu dan menyimpannya untuk kebutuhan di masa mendatang. Manfaat tidak bisa bertahan dalam dua waktu, karena ia adalah sifat sementara; setiap kali keluar dari ketiadaan ke keberadaan, ia akan lenyap, sehingga tidak bisa dibayangkan memiliki nilai (tamwil). Namun, para ahli fikih Hanafi menganggap manfaat sebagai harta yang memiliki nilai jika disertai dengan akad pertukaran, seperti dalam sewa. Pendapat kedua dari mayoritas ahli fikih dari Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Manfaat adalah harta dengan sendirinya, karena benda tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manfaatnya. Ini sesuai dengan kebiasaan manusia dan transaksi mereka. Syariat telah menetapkan bahwa manfaat adalah harta ketika ia diperbandingkan dengan harta dalam akad sewa, yang merupakan akad pertukaran harta. Demikian juga ketika manfaat diperbolehkan menjadi mahar dalam akad nikah, dan karena tidak menganggapnya sebagai harta akan merugikan hak-hak manusia. Kesimpulan Kesimpulan dari tulisan di atas adalah bahwa definisi “harta” dalam Islam bervariasi di antara para ahli fikih, dengan beberapa mendefinisikannya secara sempit sebagai sesuatu yang memiliki nilai dan dapat disimpan, sementara yang lain lebih luas, mencakup manfaat yang dapat diperoleh dari benda tersebut. Selain itu, konsep keahlian atau keterampilan juga bisa dianggap sebagai bentuk harta, terutama ketika memiliki nilai dan memberikan manfaat bagi individu atau masyarakat. Berdasarkan tulisan ini, keahlian usaha dapat dianggap sebagai harta, khususnya jika mengikuti pendapat mayoritas ahli fikih dari kalangan Syafi’i, Maliki, dan Hanbali yang menyatakan bahwa manfaat (termasuk keahlian) adalah harta. Keahlian usaha memiliki nilai yang signifikan, dapat dimanfaatkan, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial, sehingga sesuai dengan definisi harta menurut mayoritas ahli fikih.   Referensi utama: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.   – Disusun pada Selasa pagi, 1 Safar 1446 H, 6 Agustus 2024 (Tugas Kuliah di Ekonomi Syariah Universitas Ibn Khaldun, dari Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, SE.,M.H.,M.Ag Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta buang harta budak harta cinta harta dampak harta haram definisi harta harta harta haram keahlian skill

Definisi Harta dalam Islam: Apakah Keahlian Termasuk di Dalamnya?

Dalam Islam, konsep harta atau “المال” mencakup segala sesuatu yang dimiliki dan bermanfaat bagi pemiliknya. Artikel ini mengeksplorasi pandangan para ulama fikih tentang apakah keahlian dan keterampilan dapat dianggap sebagai harta. Dengan memahami definisi ini, kita dapat lebih menghargai nilai keahlian dan bagaimana Islam mendorong pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat.   Daftar Isi tutup 1. Definisi Harta 2. Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? 3. Keahilan Apakah Termasuk Harta? 4. Kesimpulan 4.1. Referensi utama: Definisi Harta Kata “المال” atau “harta” secara bahasa berarti segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia. Secara istilah syar’i, para ahli fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta sebagai berikut: Para ahli fikih Hanafi mendefinisikan harta dengan berbagai definisi. Ibnu Abidin berkata: “Yang dimaksud dengan harta adalah sesuatu yang disenangi oleh tabiat dan bisa disimpan untuk waktu yang dibutuhkan. Harta itu diakui dengan diperjualbelikan oleh semua orang atau sebagian dari mereka.” Para ahli fikih Maliki juga mendefinisikan harta dengan berbagai cara. Asy-Syatibi berkata: “Harta adalah sesuatu yang bisa dimiliki, dan pemiliknya bisa menguasainya dari orang lain jika ia mengambilnya secara sah.” Ibnu Al-Arabi berkata: “Harta adalah sesuatu yang diinginkan oleh pandangan, dan secara kebiasaan serta syariat dapat dimanfaatkan.” Abdul Wahab Al-Baghdadi berkata bahwa harta adalah sesuatu yang biasa dipandang sebagai harta dan boleh diambil gantinya. Az-Zarkasyi dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang bermanfaat, artinya siap untuk dimanfaatkan. As-Suyuthi dari kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa istilah harta tidak berlaku kecuali pada sesuatu yang memiliki nilai yang bisa dijual dengannya, dan orang yang merusaknya wajib menggantinya, meskipun sedikit, serta sesuatu yang tidak dibuang oleh manusia seperti uang receh dan sejenisnya. Ulama Hanabilah berkata bahwa harta secara syar’i adalah sesuatu yang bermanfaat secara mutlak, artinya dalam semua keadaan, atau sesuatu yang boleh dimiliki tanpa kebutuhan.   Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? Keahlian adalah kompetensi khusus yang diperoleh seseorang melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalaman, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan efektif dan efisien. Keahlian ini meliputi pengetahuan mendalam tentang suatu bidang, keterampilan praktis, pengalaman nyata, kredensial seperti sertifikat atau lisensi, dan pencapaian konkret dalam bidang tersebut. Keahlian dapat bervariasi dari keterampilan teknis hingga keterampilan interpersonal, seperti kemampuan berkomunikasi atau bekerja dalam tim. Keahlian dan skill sering kali digunakan secara bergantian, tetapi terdapat perbedaan dalam konotasi dan konteks penggunaannya. Keahlian merujuk pada kemampuan yang lebih mendalam dan spesifik, mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, seperti keahlian dalam bedah medis atau analisis data. Sebaliknya, skill lebih sering digunakan untuk keterampilan praktis atau teknis yang diperoleh melalui latihan dan praktek, seperti mengetik atau berbicara di depan umum. Jadi, meskipun memiliki makna yang hampir sama, keahlian cenderung lebih luas dan mendalam dibandingkan skill yang lebih berfokus pada kemampuan praktis. Adapun keahlian usaha adalah kemampuan khusus dalam menjalankan dan mengelola bisnis dengan efektif, mencakup manajemen keuangan, pemasaran, manajemen operasional, sumber daya manusia, inovasi produk, kepemimpinan, dan analisis bisnis. Ini melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang memungkinkan seseorang atau tim untuk mengelola anggaran, strategi pemasaran, produksi, pelatihan karyawan, pengembangan produk baru, memimpin tim, dan membuat keputusan berdasarkan data pasar, sehingga dapat menjalankan bisnis dengan sukses dan beradaptasi dengan perubahan pasar. Keahilan Apakah Termasuk Harta? Dalam bahasa Arab, “skill” atau “keahlian” bisa diterjemahkan sebagai “مهارة” (maharah). Kata ini merujuk pada kemampuan atau keterampilan yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. “المال المنافع” (al-maal al-manafi’) secara harfiah berarti “harta manfaat” atau “aset yang bermanfaat”. Dalam konteks Islam, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang memiliki nilai dan manfaat yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh seseorang. Keahlian atau “مهارة” (maharah) bisa dianggap sebagai bagian dari “المال المنافع” karena keahlian adalah aset yang memiliki nilai dan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi individu maupun masyarakat. Keahlian bisa menjadi sumber pendapatan, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang memiliki manfaat dan dapat digunakan untuk kebaikan, termasuk keahlian dan keterampilan, dianggap sebagai bentuk dari “المال المنافع”. Oleh karena itu, pengembangan dan penggunaan keahlian dalam cara yang bermanfaat dan positif sangat dianjurkan. Para ahli fikih berselisih pendapat mengenai harta manfaat (المال المنافع) apakah bisa dianggap sebagai harta. Pendapat pertama dari Hanafi: Manfaat bukanlah harta yang memiliki nilai intrinsik, karena sifat kehartaan sesuatu hanya ditetapkan dengan memiliki nilai (tamwil), dan memiliki nilai berarti menjaga sesuatu dan menyimpannya untuk kebutuhan di masa mendatang. Manfaat tidak bisa bertahan dalam dua waktu, karena ia adalah sifat sementara; setiap kali keluar dari ketiadaan ke keberadaan, ia akan lenyap, sehingga tidak bisa dibayangkan memiliki nilai (tamwil). Namun, para ahli fikih Hanafi menganggap manfaat sebagai harta yang memiliki nilai jika disertai dengan akad pertukaran, seperti dalam sewa. Pendapat kedua dari mayoritas ahli fikih dari Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Manfaat adalah harta dengan sendirinya, karena benda tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manfaatnya. Ini sesuai dengan kebiasaan manusia dan transaksi mereka. Syariat telah menetapkan bahwa manfaat adalah harta ketika ia diperbandingkan dengan harta dalam akad sewa, yang merupakan akad pertukaran harta. Demikian juga ketika manfaat diperbolehkan menjadi mahar dalam akad nikah, dan karena tidak menganggapnya sebagai harta akan merugikan hak-hak manusia. Kesimpulan Kesimpulan dari tulisan di atas adalah bahwa definisi “harta” dalam Islam bervariasi di antara para ahli fikih, dengan beberapa mendefinisikannya secara sempit sebagai sesuatu yang memiliki nilai dan dapat disimpan, sementara yang lain lebih luas, mencakup manfaat yang dapat diperoleh dari benda tersebut. Selain itu, konsep keahlian atau keterampilan juga bisa dianggap sebagai bentuk harta, terutama ketika memiliki nilai dan memberikan manfaat bagi individu atau masyarakat. Berdasarkan tulisan ini, keahlian usaha dapat dianggap sebagai harta, khususnya jika mengikuti pendapat mayoritas ahli fikih dari kalangan Syafi’i, Maliki, dan Hanbali yang menyatakan bahwa manfaat (termasuk keahlian) adalah harta. Keahlian usaha memiliki nilai yang signifikan, dapat dimanfaatkan, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial, sehingga sesuai dengan definisi harta menurut mayoritas ahli fikih.   Referensi utama: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.   – Disusun pada Selasa pagi, 1 Safar 1446 H, 6 Agustus 2024 (Tugas Kuliah di Ekonomi Syariah Universitas Ibn Khaldun, dari Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, SE.,M.H.,M.Ag Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta buang harta budak harta cinta harta dampak harta haram definisi harta harta harta haram keahlian skill
Dalam Islam, konsep harta atau “المال” mencakup segala sesuatu yang dimiliki dan bermanfaat bagi pemiliknya. Artikel ini mengeksplorasi pandangan para ulama fikih tentang apakah keahlian dan keterampilan dapat dianggap sebagai harta. Dengan memahami definisi ini, kita dapat lebih menghargai nilai keahlian dan bagaimana Islam mendorong pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat.   Daftar Isi tutup 1. Definisi Harta 2. Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? 3. Keahilan Apakah Termasuk Harta? 4. Kesimpulan 4.1. Referensi utama: Definisi Harta Kata “المال” atau “harta” secara bahasa berarti segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia. Secara istilah syar’i, para ahli fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta sebagai berikut: Para ahli fikih Hanafi mendefinisikan harta dengan berbagai definisi. Ibnu Abidin berkata: “Yang dimaksud dengan harta adalah sesuatu yang disenangi oleh tabiat dan bisa disimpan untuk waktu yang dibutuhkan. Harta itu diakui dengan diperjualbelikan oleh semua orang atau sebagian dari mereka.” Para ahli fikih Maliki juga mendefinisikan harta dengan berbagai cara. Asy-Syatibi berkata: “Harta adalah sesuatu yang bisa dimiliki, dan pemiliknya bisa menguasainya dari orang lain jika ia mengambilnya secara sah.” Ibnu Al-Arabi berkata: “Harta adalah sesuatu yang diinginkan oleh pandangan, dan secara kebiasaan serta syariat dapat dimanfaatkan.” Abdul Wahab Al-Baghdadi berkata bahwa harta adalah sesuatu yang biasa dipandang sebagai harta dan boleh diambil gantinya. Az-Zarkasyi dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang bermanfaat, artinya siap untuk dimanfaatkan. As-Suyuthi dari kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa istilah harta tidak berlaku kecuali pada sesuatu yang memiliki nilai yang bisa dijual dengannya, dan orang yang merusaknya wajib menggantinya, meskipun sedikit, serta sesuatu yang tidak dibuang oleh manusia seperti uang receh dan sejenisnya. Ulama Hanabilah berkata bahwa harta secara syar’i adalah sesuatu yang bermanfaat secara mutlak, artinya dalam semua keadaan, atau sesuatu yang boleh dimiliki tanpa kebutuhan.   Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? Keahlian adalah kompetensi khusus yang diperoleh seseorang melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalaman, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan efektif dan efisien. Keahlian ini meliputi pengetahuan mendalam tentang suatu bidang, keterampilan praktis, pengalaman nyata, kredensial seperti sertifikat atau lisensi, dan pencapaian konkret dalam bidang tersebut. Keahlian dapat bervariasi dari keterampilan teknis hingga keterampilan interpersonal, seperti kemampuan berkomunikasi atau bekerja dalam tim. Keahlian dan skill sering kali digunakan secara bergantian, tetapi terdapat perbedaan dalam konotasi dan konteks penggunaannya. Keahlian merujuk pada kemampuan yang lebih mendalam dan spesifik, mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, seperti keahlian dalam bedah medis atau analisis data. Sebaliknya, skill lebih sering digunakan untuk keterampilan praktis atau teknis yang diperoleh melalui latihan dan praktek, seperti mengetik atau berbicara di depan umum. Jadi, meskipun memiliki makna yang hampir sama, keahlian cenderung lebih luas dan mendalam dibandingkan skill yang lebih berfokus pada kemampuan praktis. Adapun keahlian usaha adalah kemampuan khusus dalam menjalankan dan mengelola bisnis dengan efektif, mencakup manajemen keuangan, pemasaran, manajemen operasional, sumber daya manusia, inovasi produk, kepemimpinan, dan analisis bisnis. Ini melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang memungkinkan seseorang atau tim untuk mengelola anggaran, strategi pemasaran, produksi, pelatihan karyawan, pengembangan produk baru, memimpin tim, dan membuat keputusan berdasarkan data pasar, sehingga dapat menjalankan bisnis dengan sukses dan beradaptasi dengan perubahan pasar. Keahilan Apakah Termasuk Harta? Dalam bahasa Arab, “skill” atau “keahlian” bisa diterjemahkan sebagai “مهارة” (maharah). Kata ini merujuk pada kemampuan atau keterampilan yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. “المال المنافع” (al-maal al-manafi’) secara harfiah berarti “harta manfaat” atau “aset yang bermanfaat”. Dalam konteks Islam, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang memiliki nilai dan manfaat yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh seseorang. Keahlian atau “مهارة” (maharah) bisa dianggap sebagai bagian dari “المال المنافع” karena keahlian adalah aset yang memiliki nilai dan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi individu maupun masyarakat. Keahlian bisa menjadi sumber pendapatan, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang memiliki manfaat dan dapat digunakan untuk kebaikan, termasuk keahlian dan keterampilan, dianggap sebagai bentuk dari “المال المنافع”. Oleh karena itu, pengembangan dan penggunaan keahlian dalam cara yang bermanfaat dan positif sangat dianjurkan. Para ahli fikih berselisih pendapat mengenai harta manfaat (المال المنافع) apakah bisa dianggap sebagai harta. Pendapat pertama dari Hanafi: Manfaat bukanlah harta yang memiliki nilai intrinsik, karena sifat kehartaan sesuatu hanya ditetapkan dengan memiliki nilai (tamwil), dan memiliki nilai berarti menjaga sesuatu dan menyimpannya untuk kebutuhan di masa mendatang. Manfaat tidak bisa bertahan dalam dua waktu, karena ia adalah sifat sementara; setiap kali keluar dari ketiadaan ke keberadaan, ia akan lenyap, sehingga tidak bisa dibayangkan memiliki nilai (tamwil). Namun, para ahli fikih Hanafi menganggap manfaat sebagai harta yang memiliki nilai jika disertai dengan akad pertukaran, seperti dalam sewa. Pendapat kedua dari mayoritas ahli fikih dari Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Manfaat adalah harta dengan sendirinya, karena benda tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manfaatnya. Ini sesuai dengan kebiasaan manusia dan transaksi mereka. Syariat telah menetapkan bahwa manfaat adalah harta ketika ia diperbandingkan dengan harta dalam akad sewa, yang merupakan akad pertukaran harta. Demikian juga ketika manfaat diperbolehkan menjadi mahar dalam akad nikah, dan karena tidak menganggapnya sebagai harta akan merugikan hak-hak manusia. Kesimpulan Kesimpulan dari tulisan di atas adalah bahwa definisi “harta” dalam Islam bervariasi di antara para ahli fikih, dengan beberapa mendefinisikannya secara sempit sebagai sesuatu yang memiliki nilai dan dapat disimpan, sementara yang lain lebih luas, mencakup manfaat yang dapat diperoleh dari benda tersebut. Selain itu, konsep keahlian atau keterampilan juga bisa dianggap sebagai bentuk harta, terutama ketika memiliki nilai dan memberikan manfaat bagi individu atau masyarakat. Berdasarkan tulisan ini, keahlian usaha dapat dianggap sebagai harta, khususnya jika mengikuti pendapat mayoritas ahli fikih dari kalangan Syafi’i, Maliki, dan Hanbali yang menyatakan bahwa manfaat (termasuk keahlian) adalah harta. Keahlian usaha memiliki nilai yang signifikan, dapat dimanfaatkan, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial, sehingga sesuai dengan definisi harta menurut mayoritas ahli fikih.   Referensi utama: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.   – Disusun pada Selasa pagi, 1 Safar 1446 H, 6 Agustus 2024 (Tugas Kuliah di Ekonomi Syariah Universitas Ibn Khaldun, dari Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, SE.,M.H.,M.Ag Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta buang harta budak harta cinta harta dampak harta haram definisi harta harta harta haram keahlian skill


Dalam Islam, konsep harta atau “المال” mencakup segala sesuatu yang dimiliki dan bermanfaat bagi pemiliknya. Artikel ini mengeksplorasi pandangan para ulama fikih tentang apakah keahlian dan keterampilan dapat dianggap sebagai harta. Dengan memahami definisi ini, kita dapat lebih menghargai nilai keahlian dan bagaimana Islam mendorong pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat.   Daftar Isi tutup 1. Definisi Harta 2. Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? 3. Keahilan Apakah Termasuk Harta? 4. Kesimpulan 4.1. Referensi utama: Definisi Harta Kata “المال” atau “harta” secara bahasa berarti segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia. Secara istilah syar’i, para ahli fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta sebagai berikut: Para ahli fikih Hanafi mendefinisikan harta dengan berbagai definisi. Ibnu Abidin berkata: “Yang dimaksud dengan harta adalah sesuatu yang disenangi oleh tabiat dan bisa disimpan untuk waktu yang dibutuhkan. Harta itu diakui dengan diperjualbelikan oleh semua orang atau sebagian dari mereka.” Para ahli fikih Maliki juga mendefinisikan harta dengan berbagai cara. Asy-Syatibi berkata: “Harta adalah sesuatu yang bisa dimiliki, dan pemiliknya bisa menguasainya dari orang lain jika ia mengambilnya secara sah.” Ibnu Al-Arabi berkata: “Harta adalah sesuatu yang diinginkan oleh pandangan, dan secara kebiasaan serta syariat dapat dimanfaatkan.” Abdul Wahab Al-Baghdadi berkata bahwa harta adalah sesuatu yang biasa dipandang sebagai harta dan boleh diambil gantinya. Az-Zarkasyi dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang bermanfaat, artinya siap untuk dimanfaatkan. As-Suyuthi dari kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa istilah harta tidak berlaku kecuali pada sesuatu yang memiliki nilai yang bisa dijual dengannya, dan orang yang merusaknya wajib menggantinya, meskipun sedikit, serta sesuatu yang tidak dibuang oleh manusia seperti uang receh dan sejenisnya. Ulama Hanabilah berkata bahwa harta secara syar’i adalah sesuatu yang bermanfaat secara mutlak, artinya dalam semua keadaan, atau sesuatu yang boleh dimiliki tanpa kebutuhan.   Apa itu Keahlian? Apa Bedanya dengan Skill? Keahlian adalah kompetensi khusus yang diperoleh seseorang melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalaman, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan efektif dan efisien. Keahlian ini meliputi pengetahuan mendalam tentang suatu bidang, keterampilan praktis, pengalaman nyata, kredensial seperti sertifikat atau lisensi, dan pencapaian konkret dalam bidang tersebut. Keahlian dapat bervariasi dari keterampilan teknis hingga keterampilan interpersonal, seperti kemampuan berkomunikasi atau bekerja dalam tim. Keahlian dan skill sering kali digunakan secara bergantian, tetapi terdapat perbedaan dalam konotasi dan konteks penggunaannya. Keahlian merujuk pada kemampuan yang lebih mendalam dan spesifik, mencakup pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, seperti keahlian dalam bedah medis atau analisis data. Sebaliknya, skill lebih sering digunakan untuk keterampilan praktis atau teknis yang diperoleh melalui latihan dan praktek, seperti mengetik atau berbicara di depan umum. Jadi, meskipun memiliki makna yang hampir sama, keahlian cenderung lebih luas dan mendalam dibandingkan skill yang lebih berfokus pada kemampuan praktis. Adapun keahlian usaha adalah kemampuan khusus dalam menjalankan dan mengelola bisnis dengan efektif, mencakup manajemen keuangan, pemasaran, manajemen operasional, sumber daya manusia, inovasi produk, kepemimpinan, dan analisis bisnis. Ini melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang memungkinkan seseorang atau tim untuk mengelola anggaran, strategi pemasaran, produksi, pelatihan karyawan, pengembangan produk baru, memimpin tim, dan membuat keputusan berdasarkan data pasar, sehingga dapat menjalankan bisnis dengan sukses dan beradaptasi dengan perubahan pasar. Keahilan Apakah Termasuk Harta? Dalam bahasa Arab, “skill” atau “keahlian” bisa diterjemahkan sebagai “مهارة” (maharah). Kata ini merujuk pada kemampuan atau keterampilan yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. “المال المنافع” (al-maal al-manafi’) secara harfiah berarti “harta manfaat” atau “aset yang bermanfaat”. Dalam konteks Islam, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang memiliki nilai dan manfaat yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh seseorang. Keahlian atau “مهارة” (maharah) bisa dianggap sebagai bagian dari “المال المنافع” karena keahlian adalah aset yang memiliki nilai dan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi individu maupun masyarakat. Keahlian bisa menjadi sumber pendapatan, meningkatkan kualitas hidup, dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang memiliki manfaat dan dapat digunakan untuk kebaikan, termasuk keahlian dan keterampilan, dianggap sebagai bentuk dari “المال المنافع”. Oleh karena itu, pengembangan dan penggunaan keahlian dalam cara yang bermanfaat dan positif sangat dianjurkan. Para ahli fikih berselisih pendapat mengenai harta manfaat (المال المنافع) apakah bisa dianggap sebagai harta. Pendapat pertama dari Hanafi: Manfaat bukanlah harta yang memiliki nilai intrinsik, karena sifat kehartaan sesuatu hanya ditetapkan dengan memiliki nilai (tamwil), dan memiliki nilai berarti menjaga sesuatu dan menyimpannya untuk kebutuhan di masa mendatang. Manfaat tidak bisa bertahan dalam dua waktu, karena ia adalah sifat sementara; setiap kali keluar dari ketiadaan ke keberadaan, ia akan lenyap, sehingga tidak bisa dibayangkan memiliki nilai (tamwil). Namun, para ahli fikih Hanafi menganggap manfaat sebagai harta yang memiliki nilai jika disertai dengan akad pertukaran, seperti dalam sewa. Pendapat kedua dari mayoritas ahli fikih dari Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Manfaat adalah harta dengan sendirinya, karena benda tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manfaatnya. Ini sesuai dengan kebiasaan manusia dan transaksi mereka. Syariat telah menetapkan bahwa manfaat adalah harta ketika ia diperbandingkan dengan harta dalam akad sewa, yang merupakan akad pertukaran harta. Demikian juga ketika manfaat diperbolehkan menjadi mahar dalam akad nikah, dan karena tidak menganggapnya sebagai harta akan merugikan hak-hak manusia. Kesimpulan Kesimpulan dari tulisan di atas adalah bahwa definisi “harta” dalam Islam bervariasi di antara para ahli fikih, dengan beberapa mendefinisikannya secara sempit sebagai sesuatu yang memiliki nilai dan dapat disimpan, sementara yang lain lebih luas, mencakup manfaat yang dapat diperoleh dari benda tersebut. Selain itu, konsep keahlian atau keterampilan juga bisa dianggap sebagai bentuk harta, terutama ketika memiliki nilai dan memberikan manfaat bagi individu atau masyarakat. Berdasarkan tulisan ini, keahlian usaha dapat dianggap sebagai harta, khususnya jika mengikuti pendapat mayoritas ahli fikih dari kalangan Syafi’i, Maliki, dan Hanbali yang menyatakan bahwa manfaat (termasuk keahlian) adalah harta. Keahlian usaha memiliki nilai yang signifikan, dapat dimanfaatkan, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial, sehingga sesuai dengan definisi harta menurut mayoritas ahli fikih.   Referensi utama: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.   – Disusun pada Selasa pagi, 1 Safar 1446 H, 6 Agustus 2024 (Tugas Kuliah di Ekonomi Syariah Universitas Ibn Khaldun, dari Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, SE.,M.H.,M.Ag Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta buang harta budak harta cinta harta dampak harta haram definisi harta harta harta haram keahlian skill

Hadis: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan)Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakimTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan) Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakim Hadis tersebut merupakan dalil bahwa ketika wali nasab dari wanita tersebut tidak ada, maka perwaliannya diambil alih oleh penguasa atau pemerintah (wali hakim). Pihak yang mewakili penguasa dalam hal ini adalah qadhi (hakim pengadilan agama). Qadhi atau wali hakim tersebut menjadi wali bagi wanita dalam beberapa kondisi berikut ini. Pertama, jika wanita tersebut sama sekali tidak memiliki wali nasab dari kerabatnya. Kedua, jika ayah dari si wanita bersikap adhol. Yang dimaksud adhol adalah jika ayah dari wanita tersebut melarang (menghalang-halangi) wanita tersebut untuk menikah, tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Dalam kasus ini, perwalian berpindah ke wali hakim menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau (Al-Mughni, 9: 382). Adapun Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad (wali nasab yang lebih jauh) [1], dengan syarat jika calon suaminya sekufu. (Lihat Al-Mughni, 9: 382; Ahkamuz Zawaj, hal. 148) Ketiga, jika semua wali nasab dari wanita tersebut bersikap adhol. Dalam kasus ini, maka ulama sepakat bahwa perwaliannya berpindah ke wali hakim. Di sebagian daerah, terdapat budaya yang tidak baik, yaitu ketika mereka melarang atau mempersulit wanita untuk menikah karena adanya tujuan atau maksud yang buruk. Sebagian wali ingin agar anak wanitanya bisa senantiasa membantu hidupnya, atau agar mereka bisa tetap menggembalakan sapi atau binatang ternaknya, atau mereka mengharuskan si wanita untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan oleh si wanita. Atau bisa juga karena wali ingin tetap memanfaatkan kedudukan si wanita, misalnya karena si wanita itu adalah seorang pengajar, atau mempersulit kriteria laki-laki yang layak untuk menikahi anak wanitanya. Ini semua termasuk kezaliman dan sikap buruk terhadap wanita, dan juga tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman, فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ “ … maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (para wanita untuk menikah) … ” (QS. Al-Baqarah: 232) Keempat, jika walinya ghaib (hilang atau tidak bisa dihubungi sama sekali). Dalam kasus ini, maka perwalian tersebut berpindah ke wali hakim, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali ab’ad, menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i. Adapun Imam Ahmad dan Abu Hanifah, mereka berpendapat bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali hakim selama masih ada wali ab’ad. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka penguasa (wali hakim) yang menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali.” Dalam kasus keempat ini, wanita tersebut masih punya wali ab’ad. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat tentang batasan ghaib yang menyebabkan hak perwalian berpindah ke wali ab’ad. Perbedaan pendapat ini karena adanya perbedaan zaman di masa itu berupa sulitnya alat komunikasi. Sebagian ulama memberi patokan dengan batasan waktu, sebagian ulama yang lain memberi patokan dengan batasan jarak perjalanan. Adapun kondisi saat ini tentu sudah jauh berbeda, ketika kita bisa menghubungi orang lain dengan sangat mudah, meskipun berada di tempat yang sangat jauh sekalipun. Sehingga pendapat yang benar, batasan ghaib tersebut adalah ketika maslahat bagi pihak wanita tidak bisa terwujud. Jika ketiadaan wali nasab tersebut tidak menyebabkan terluputnya maslahat, maka tidak mengapa menunggu beberapa saat. Demikian pula apabila wali nasab masih bisa dihubungi lewat telepon, dan beliau mewakilkan ke wali ab’ad, maka hal itu tidak masalah. Apabila wanita tersebut berada di negeri non-muslim yang tidak memiliki pemerintahan dari kaum muslimin, dan wanita tersebut juga tidak mempunyai wali, maka jika terdapat muassasah (yayasan Islam), bisa menggantikan kedudukan sebagai wali. Jika tidak ada juga, maka perwaliannya bisa berpindah ke laki-laki saleh di daerah tersebut (Lihat Ahkamuz Zawaj, hal. 149). Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا “Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 1882, Ad-Daruquthni 3: 227, dan Al-Baihaqi 7: 110. Dinilai sahih oleh Al-Albani, tanpa tambahan redaksi “karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” Tambahan redaksi tersebut adalah perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini mengaskan bahwa seorang wanita tidak memiliki hak perwalian dalam pernikahan. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, juga tidak boleh menikahkan wanita yang lainnya. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, baik dengan ijin wali ataukah yang lainnya. Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya baik statusnya sebagai wali atau sebagai wakil. Akad nikah semacam itu tidak sah. Dilarangnya wanita menjadi wali adalah sebagai bentuk penjagaan terhadap kemuliaan wanita itu sendiri, lebih-lebih tabiat wanita adalah memiliki rasa malu yang bisa menghalanginya dari peran semacam itu. Wallahu Ta’ala a’lam. [2] [Selesai] Kembali ke bagian 1: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Wali ab’ad adalah wali yang secara hubungan nasab lebih jauh, berkebalikan dengan wali aqrab. Contoh, jika seorang wanita memiliki ayah dan masih ada kakek. Maka wali aqrab adalah ayah, sedangkan wali ab’ad adalah kakek. Contoh lain, jika ayah sudah tidak ada, ada kakek dan saudara laki-laki kandung. Maka wali aqrab adalah kakek, sedangkan wali ab’ad adalah saudara laki-laki kandung. [2] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 228-230 dan 7: 238-239). Tags: wali nikah

Hadis: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan)Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakimTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan) Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakim Hadis tersebut merupakan dalil bahwa ketika wali nasab dari wanita tersebut tidak ada, maka perwaliannya diambil alih oleh penguasa atau pemerintah (wali hakim). Pihak yang mewakili penguasa dalam hal ini adalah qadhi (hakim pengadilan agama). Qadhi atau wali hakim tersebut menjadi wali bagi wanita dalam beberapa kondisi berikut ini. Pertama, jika wanita tersebut sama sekali tidak memiliki wali nasab dari kerabatnya. Kedua, jika ayah dari si wanita bersikap adhol. Yang dimaksud adhol adalah jika ayah dari wanita tersebut melarang (menghalang-halangi) wanita tersebut untuk menikah, tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Dalam kasus ini, perwalian berpindah ke wali hakim menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau (Al-Mughni, 9: 382). Adapun Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad (wali nasab yang lebih jauh) [1], dengan syarat jika calon suaminya sekufu. (Lihat Al-Mughni, 9: 382; Ahkamuz Zawaj, hal. 148) Ketiga, jika semua wali nasab dari wanita tersebut bersikap adhol. Dalam kasus ini, maka ulama sepakat bahwa perwaliannya berpindah ke wali hakim. Di sebagian daerah, terdapat budaya yang tidak baik, yaitu ketika mereka melarang atau mempersulit wanita untuk menikah karena adanya tujuan atau maksud yang buruk. Sebagian wali ingin agar anak wanitanya bisa senantiasa membantu hidupnya, atau agar mereka bisa tetap menggembalakan sapi atau binatang ternaknya, atau mereka mengharuskan si wanita untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan oleh si wanita. Atau bisa juga karena wali ingin tetap memanfaatkan kedudukan si wanita, misalnya karena si wanita itu adalah seorang pengajar, atau mempersulit kriteria laki-laki yang layak untuk menikahi anak wanitanya. Ini semua termasuk kezaliman dan sikap buruk terhadap wanita, dan juga tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman, فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ “ … maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (para wanita untuk menikah) … ” (QS. Al-Baqarah: 232) Keempat, jika walinya ghaib (hilang atau tidak bisa dihubungi sama sekali). Dalam kasus ini, maka perwalian tersebut berpindah ke wali hakim, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali ab’ad, menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i. Adapun Imam Ahmad dan Abu Hanifah, mereka berpendapat bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali hakim selama masih ada wali ab’ad. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka penguasa (wali hakim) yang menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali.” Dalam kasus keempat ini, wanita tersebut masih punya wali ab’ad. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat tentang batasan ghaib yang menyebabkan hak perwalian berpindah ke wali ab’ad. Perbedaan pendapat ini karena adanya perbedaan zaman di masa itu berupa sulitnya alat komunikasi. Sebagian ulama memberi patokan dengan batasan waktu, sebagian ulama yang lain memberi patokan dengan batasan jarak perjalanan. Adapun kondisi saat ini tentu sudah jauh berbeda, ketika kita bisa menghubungi orang lain dengan sangat mudah, meskipun berada di tempat yang sangat jauh sekalipun. Sehingga pendapat yang benar, batasan ghaib tersebut adalah ketika maslahat bagi pihak wanita tidak bisa terwujud. Jika ketiadaan wali nasab tersebut tidak menyebabkan terluputnya maslahat, maka tidak mengapa menunggu beberapa saat. Demikian pula apabila wali nasab masih bisa dihubungi lewat telepon, dan beliau mewakilkan ke wali ab’ad, maka hal itu tidak masalah. Apabila wanita tersebut berada di negeri non-muslim yang tidak memiliki pemerintahan dari kaum muslimin, dan wanita tersebut juga tidak mempunyai wali, maka jika terdapat muassasah (yayasan Islam), bisa menggantikan kedudukan sebagai wali. Jika tidak ada juga, maka perwaliannya bisa berpindah ke laki-laki saleh di daerah tersebut (Lihat Ahkamuz Zawaj, hal. 149). Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا “Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 1882, Ad-Daruquthni 3: 227, dan Al-Baihaqi 7: 110. Dinilai sahih oleh Al-Albani, tanpa tambahan redaksi “karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” Tambahan redaksi tersebut adalah perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini mengaskan bahwa seorang wanita tidak memiliki hak perwalian dalam pernikahan. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, juga tidak boleh menikahkan wanita yang lainnya. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, baik dengan ijin wali ataukah yang lainnya. Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya baik statusnya sebagai wali atau sebagai wakil. Akad nikah semacam itu tidak sah. Dilarangnya wanita menjadi wali adalah sebagai bentuk penjagaan terhadap kemuliaan wanita itu sendiri, lebih-lebih tabiat wanita adalah memiliki rasa malu yang bisa menghalanginya dari peran semacam itu. Wallahu Ta’ala a’lam. [2] [Selesai] Kembali ke bagian 1: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Wali ab’ad adalah wali yang secara hubungan nasab lebih jauh, berkebalikan dengan wali aqrab. Contoh, jika seorang wanita memiliki ayah dan masih ada kakek. Maka wali aqrab adalah ayah, sedangkan wali ab’ad adalah kakek. Contoh lain, jika ayah sudah tidak ada, ada kakek dan saudara laki-laki kandung. Maka wali aqrab adalah kakek, sedangkan wali ab’ad adalah saudara laki-laki kandung. [2] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 228-230 dan 7: 238-239). Tags: wali nikah
Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan)Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakimTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan) Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakim Hadis tersebut merupakan dalil bahwa ketika wali nasab dari wanita tersebut tidak ada, maka perwaliannya diambil alih oleh penguasa atau pemerintah (wali hakim). Pihak yang mewakili penguasa dalam hal ini adalah qadhi (hakim pengadilan agama). Qadhi atau wali hakim tersebut menjadi wali bagi wanita dalam beberapa kondisi berikut ini. Pertama, jika wanita tersebut sama sekali tidak memiliki wali nasab dari kerabatnya. Kedua, jika ayah dari si wanita bersikap adhol. Yang dimaksud adhol adalah jika ayah dari wanita tersebut melarang (menghalang-halangi) wanita tersebut untuk menikah, tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Dalam kasus ini, perwalian berpindah ke wali hakim menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau (Al-Mughni, 9: 382). Adapun Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad (wali nasab yang lebih jauh) [1], dengan syarat jika calon suaminya sekufu. (Lihat Al-Mughni, 9: 382; Ahkamuz Zawaj, hal. 148) Ketiga, jika semua wali nasab dari wanita tersebut bersikap adhol. Dalam kasus ini, maka ulama sepakat bahwa perwaliannya berpindah ke wali hakim. Di sebagian daerah, terdapat budaya yang tidak baik, yaitu ketika mereka melarang atau mempersulit wanita untuk menikah karena adanya tujuan atau maksud yang buruk. Sebagian wali ingin agar anak wanitanya bisa senantiasa membantu hidupnya, atau agar mereka bisa tetap menggembalakan sapi atau binatang ternaknya, atau mereka mengharuskan si wanita untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan oleh si wanita. Atau bisa juga karena wali ingin tetap memanfaatkan kedudukan si wanita, misalnya karena si wanita itu adalah seorang pengajar, atau mempersulit kriteria laki-laki yang layak untuk menikahi anak wanitanya. Ini semua termasuk kezaliman dan sikap buruk terhadap wanita, dan juga tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman, فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ “ … maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (para wanita untuk menikah) … ” (QS. Al-Baqarah: 232) Keempat, jika walinya ghaib (hilang atau tidak bisa dihubungi sama sekali). Dalam kasus ini, maka perwalian tersebut berpindah ke wali hakim, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali ab’ad, menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i. Adapun Imam Ahmad dan Abu Hanifah, mereka berpendapat bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali hakim selama masih ada wali ab’ad. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka penguasa (wali hakim) yang menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali.” Dalam kasus keempat ini, wanita tersebut masih punya wali ab’ad. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat tentang batasan ghaib yang menyebabkan hak perwalian berpindah ke wali ab’ad. Perbedaan pendapat ini karena adanya perbedaan zaman di masa itu berupa sulitnya alat komunikasi. Sebagian ulama memberi patokan dengan batasan waktu, sebagian ulama yang lain memberi patokan dengan batasan jarak perjalanan. Adapun kondisi saat ini tentu sudah jauh berbeda, ketika kita bisa menghubungi orang lain dengan sangat mudah, meskipun berada di tempat yang sangat jauh sekalipun. Sehingga pendapat yang benar, batasan ghaib tersebut adalah ketika maslahat bagi pihak wanita tidak bisa terwujud. Jika ketiadaan wali nasab tersebut tidak menyebabkan terluputnya maslahat, maka tidak mengapa menunggu beberapa saat. Demikian pula apabila wali nasab masih bisa dihubungi lewat telepon, dan beliau mewakilkan ke wali ab’ad, maka hal itu tidak masalah. Apabila wanita tersebut berada di negeri non-muslim yang tidak memiliki pemerintahan dari kaum muslimin, dan wanita tersebut juga tidak mempunyai wali, maka jika terdapat muassasah (yayasan Islam), bisa menggantikan kedudukan sebagai wali. Jika tidak ada juga, maka perwaliannya bisa berpindah ke laki-laki saleh di daerah tersebut (Lihat Ahkamuz Zawaj, hal. 149). Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا “Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 1882, Ad-Daruquthni 3: 227, dan Al-Baihaqi 7: 110. Dinilai sahih oleh Al-Albani, tanpa tambahan redaksi “karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” Tambahan redaksi tersebut adalah perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini mengaskan bahwa seorang wanita tidak memiliki hak perwalian dalam pernikahan. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, juga tidak boleh menikahkan wanita yang lainnya. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, baik dengan ijin wali ataukah yang lainnya. Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya baik statusnya sebagai wali atau sebagai wakil. Akad nikah semacam itu tidak sah. Dilarangnya wanita menjadi wali adalah sebagai bentuk penjagaan terhadap kemuliaan wanita itu sendiri, lebih-lebih tabiat wanita adalah memiliki rasa malu yang bisa menghalanginya dari peran semacam itu. Wallahu Ta’ala a’lam. [2] [Selesai] Kembali ke bagian 1: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Wali ab’ad adalah wali yang secara hubungan nasab lebih jauh, berkebalikan dengan wali aqrab. Contoh, jika seorang wanita memiliki ayah dan masih ada kakek. Maka wali aqrab adalah ayah, sedangkan wali ab’ad adalah kakek. Contoh lain, jika ayah sudah tidak ada, ada kakek dan saudara laki-laki kandung. Maka wali aqrab adalah kakek, sedangkan wali ab’ad adalah saudara laki-laki kandung. [2] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 228-230 dan 7: 238-239). Tags: wali nikah


Daftar Isi Toggle Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan)Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakimTeks Hadis KetigaKandungan Hadis Ketiga Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan) Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakim Hadis tersebut merupakan dalil bahwa ketika wali nasab dari wanita tersebut tidak ada, maka perwaliannya diambil alih oleh penguasa atau pemerintah (wali hakim). Pihak yang mewakili penguasa dalam hal ini adalah qadhi (hakim pengadilan agama). Qadhi atau wali hakim tersebut menjadi wali bagi wanita dalam beberapa kondisi berikut ini. Pertama, jika wanita tersebut sama sekali tidak memiliki wali nasab dari kerabatnya. Kedua, jika ayah dari si wanita bersikap adhol. Yang dimaksud adhol adalah jika ayah dari wanita tersebut melarang (menghalang-halangi) wanita tersebut untuk menikah, tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Dalam kasus ini, perwalian berpindah ke wali hakim menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau (Al-Mughni, 9: 382). Adapun Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad (wali nasab yang lebih jauh) [1], dengan syarat jika calon suaminya sekufu. (Lihat Al-Mughni, 9: 382; Ahkamuz Zawaj, hal. 148) Ketiga, jika semua wali nasab dari wanita tersebut bersikap adhol. Dalam kasus ini, maka ulama sepakat bahwa perwaliannya berpindah ke wali hakim. Di sebagian daerah, terdapat budaya yang tidak baik, yaitu ketika mereka melarang atau mempersulit wanita untuk menikah karena adanya tujuan atau maksud yang buruk. Sebagian wali ingin agar anak wanitanya bisa senantiasa membantu hidupnya, atau agar mereka bisa tetap menggembalakan sapi atau binatang ternaknya, atau mereka mengharuskan si wanita untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan oleh si wanita. Atau bisa juga karena wali ingin tetap memanfaatkan kedudukan si wanita, misalnya karena si wanita itu adalah seorang pengajar, atau mempersulit kriteria laki-laki yang layak untuk menikahi anak wanitanya. Ini semua termasuk kezaliman dan sikap buruk terhadap wanita, dan juga tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman, فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ “ … maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (para wanita untuk menikah) … ” (QS. Al-Baqarah: 232) Keempat, jika walinya ghaib (hilang atau tidak bisa dihubungi sama sekali). Dalam kasus ini, maka perwalian tersebut berpindah ke wali hakim, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali ab’ad, menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i. Adapun Imam Ahmad dan Abu Hanifah, mereka berpendapat bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali hakim selama masih ada wali ab’ad. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka penguasa (wali hakim) yang menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali.” Dalam kasus keempat ini, wanita tersebut masih punya wali ab’ad. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat tentang batasan ghaib yang menyebabkan hak perwalian berpindah ke wali ab’ad. Perbedaan pendapat ini karena adanya perbedaan zaman di masa itu berupa sulitnya alat komunikasi. Sebagian ulama memberi patokan dengan batasan waktu, sebagian ulama yang lain memberi patokan dengan batasan jarak perjalanan. Adapun kondisi saat ini tentu sudah jauh berbeda, ketika kita bisa menghubungi orang lain dengan sangat mudah, meskipun berada di tempat yang sangat jauh sekalipun. Sehingga pendapat yang benar, batasan ghaib tersebut adalah ketika maslahat bagi pihak wanita tidak bisa terwujud. Jika ketiadaan wali nasab tersebut tidak menyebabkan terluputnya maslahat, maka tidak mengapa menunggu beberapa saat. Demikian pula apabila wali nasab masih bisa dihubungi lewat telepon, dan beliau mewakilkan ke wali ab’ad, maka hal itu tidak masalah. Apabila wanita tersebut berada di negeri non-muslim yang tidak memiliki pemerintahan dari kaum muslimin, dan wanita tersebut juga tidak mempunyai wali, maka jika terdapat muassasah (yayasan Islam), bisa menggantikan kedudukan sebagai wali. Jika tidak ada juga, maka perwaliannya bisa berpindah ke laki-laki saleh di daerah tersebut (Lihat Ahkamuz Zawaj, hal. 149). Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Ketiga Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا “Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 1882, Ad-Daruquthni 3: 227, dan Al-Baihaqi 7: 110. Dinilai sahih oleh Al-Albani, tanpa tambahan redaksi “karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” Tambahan redaksi tersebut adalah perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.) Kandungan Hadis Ketiga Hadis ini mengaskan bahwa seorang wanita tidak memiliki hak perwalian dalam pernikahan. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, juga tidak boleh menikahkan wanita yang lainnya. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, baik dengan ijin wali ataukah yang lainnya. Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya baik statusnya sebagai wali atau sebagai wakil. Akad nikah semacam itu tidak sah. Dilarangnya wanita menjadi wali adalah sebagai bentuk penjagaan terhadap kemuliaan wanita itu sendiri, lebih-lebih tabiat wanita adalah memiliki rasa malu yang bisa menghalanginya dari peran semacam itu. Wallahu Ta’ala a’lam. [2] [Selesai] Kembali ke bagian 1: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Wali ab’ad adalah wali yang secara hubungan nasab lebih jauh, berkebalikan dengan wali aqrab. Contoh, jika seorang wanita memiliki ayah dan masih ada kakek. Maka wali aqrab adalah ayah, sedangkan wali ab’ad adalah kakek. Contoh lain, jika ayah sudah tidak ada, ada kakek dan saudara laki-laki kandung. Maka wali aqrab adalah kakek, sedangkan wali ab’ad adalah saudara laki-laki kandung. [2] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 228-230 dan 7: 238-239). Tags: wali nikah
Prev     Next