Saat Istri Puasa Sunnah Syawal dan Suami Mengajak: Mana yang Lebih Utama?

Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?    Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga

Saat Istri Puasa Sunnah Syawal dan Suami Mengajak: Mana yang Lebih Utama?

Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?    Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga
Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA?    Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga


Banyak istri yang ingin meraih pahala tambahan dengan berpuasa sunnah. Namun, bagaimana jika suami mengajaknya untuk bermesraan saat ia sedang puasa tersebut? Dalam kondisi ini, manakah yang lebih utama: melanjutkan puasa atau memenuhi ajakan suami? Tonton video: ISTRI PUASA SYAWAL, SUAMI AJAK HUBUNGAN, BAGAIMANA HUKUMNYA? <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span>   Orang yang sedang menjalankan puasa sunnah bersifat sukarela adalah pemegang keputusan atas dirinya sendiri. Ia boleh memilih untuk melanjutkan puasanya, dan boleh juga membatalkannya, meskipun menyempurnakan puasa tentu lebih utama. Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke rumahnya, lalu beliau meminta minuman dan meminumnya. Setelah itu beliau memberikan sisanya kepada Ummu Hani’, lalu ia pun meminumnya. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٱلصَّائِمُ ٱلْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ “Orang yang berpuasa sunnah adalah penguasa atas dirinya; jika ia mau, ia lanjutkan puasanya, dan jika ia mau, ia boleh berbuka.” Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3854). Maka siapa pun yang sedang berpuasa enam hari Syawal, lalu memilih untuk berbuka, diperbolehkan melakukannya, baik dengan makan, berhubungan suami istri, atau sebab lainnya. Dalam kasus ini, jika sang istri berpuasa tanpa izin suaminya, maka suami boleh mengajaknya berhubungan, dan ia pun wajib memenuhi ajakan itu. Namun jika ia berpuasa dengan seizin suami, maka suami tidak boleh memaksanya membatalkan puasa tersebut. Meski begitu, apabila suami menghendakinya, maka sebaiknya ia memenuhi keinginan suami. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, إِذَا صَامَتْ نَفْلًا بِإِذْنِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفْسِدَ صَوْمَهَا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهَا. وَلَكِنْ فِي هٰذِهِ الْحَالِ وَهِيَ صَائِمَةٌ صِيَامَ نَفْلٍ بِإِذْنِهِ، لَوْ طَلَبَ مِنْهَا أَنْ تَأْتِيَ لِلْفِرَاشِ، فَهَلِ الْأَفْضَلُ أَنْ تَسْتَمِرَّ فِي الصَّوْمِ وَتَمْتَنِعَ، أَوْ أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؟ الثَّانِي أَفْضَلُ: أَنْ تُجِيبَ الزَّوْجَ؛ لِأَنَّ إِجَابَتَهَا الزَّوْجَ مِنْ بَابِ الْمَفْرُوضَاتِ فِي الْأَصْلِ، وَالصَّوْمُ تَطَوُّعٌ مِنْ بَابِ الْمُسْتَحَبَّاتِ، وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا لَوْ أَبَتْ مَعَ شِدَّةِ رَغْبَتِهِ، رُبَّمَا يَكُونُ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ عَلَيْهَا، فَتَسُوءَ الْعِشْرَةُ بِسَبَبِ ذٰلِكَ. “Jika istri berpuasa sunnah dengan izin suaminya, maka tidak halal bagi suami untuk membatalkannya, karena ia telah memberikan izin. Namun dalam kondisi seperti ini, jika suami mengajaknya ke ranjang, apakah lebih utama bagi sang istri untuk tetap melanjutkan puasanya atau memenuhi ajakan suami? Yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Karena memenuhi kebutuhan suami termasuk kewajiban asal (yang bersifat fardhu), sedangkan puasa sunnah adalah amalan yang dianjurkan (mustahab). Selain itu, jika sang istri menolak sementara suami sedang sangat menginginkannya, dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan ganjalan di hati suami dan berdampak buruk pada keharmonisan rumah tangga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 21:174)   Kesimpulan Jika istri sedang puasa sunnah dengan izin suami, lalu suami mengajaknya berhubungan, maka yang lebih utama adalah memenuhi ajakan suami. Sebab, memenuhi hak suami termasuk kewajiban, sementara puasa sunnah bersifat anjuran. Mendahulukan kewajiban atas amalan sunnah adalah sikap yang benar secara syar‘i dan menjaga keharmonisan rumah tangga.   Referensi: Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 110059, dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid   –   Ditulis pada Rabu pagi, 10 Syawal 1446 H, 9 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab puasa cara puasa syawal fikih puasa syawal hak suami dalam Islam harmonis rumah tangga hubungan suami istri saat puasa hukum membatalkan puasa sunnah hukum puasa sunnah tanpa izin suami istri menolak ajakan suami kewajiban istri dalam Islam nafkah batin dalam pernikahan prioritas ibadah istri puasa sunnah istri puasa sunnah wanita menikah puasa syawal rumah tangga

Menceraikan Istri Demi Wanita Lain? Ini Kisah Cinta Khalid bin Yazid dan Ramlah

Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya.   Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini.  Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya. Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.” ‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.” Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).” Kemudian Khalid menjelaskan: “Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan. Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya. Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.” Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.” Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!” Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata: “Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam, dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat? Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya, seolah semua beban hidupku ikut sirna.” Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia: “Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya, bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.” Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka, tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249) Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa.   Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanita Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini, وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata, إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ “Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya. Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245) Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita   Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atas Cinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional. Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan. Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal. Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat. Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid.   “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.” Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain? Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang: Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik. Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis. Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka. Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.   Referensi: Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir.   –   Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak

Menceraikan Istri Demi Wanita Lain? Ini Kisah Cinta Khalid bin Yazid dan Ramlah

Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya.   Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini.  Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya. Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.” ‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.” Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).” Kemudian Khalid menjelaskan: “Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan. Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya. Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.” Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.” Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!” Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata: “Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam, dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat? Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya, seolah semua beban hidupku ikut sirna.” Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia: “Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya, bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.” Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka, tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249) Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa.   Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanita Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini, وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata, إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ “Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya. Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245) Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita   Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atas Cinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional. Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan. Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal. Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat. Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid.   “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.” Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain? Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang: Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik. Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis. Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka. Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.   Referensi: Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir.   –   Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak
Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya.   Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini.  Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya. Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.” ‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.” Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).” Kemudian Khalid menjelaskan: “Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan. Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya. Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.” Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.” Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!” Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata: “Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam, dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat? Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya, seolah semua beban hidupku ikut sirna.” Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia: “Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya, bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.” Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka, tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249) Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa.   Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanita Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini, وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata, إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ “Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya. Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245) Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita   Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atas Cinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional. Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan. Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal. Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat. Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid.   “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.” Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain? Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang: Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik. Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis. Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka. Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.   Referensi: Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir.   –   Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak


Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya.   Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini.  Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya. Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.” ‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.” Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).” Kemudian Khalid menjelaskan: “Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan. Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya. Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.” Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.” Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!” Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata: “Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam, dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat? Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya, seolah semua beban hidupku ikut sirna.” Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia: “Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya, bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.” Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka, tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249) Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa.   Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanita Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini, وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28) Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata, إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ “Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya. Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245) Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita   Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atas Cinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional. Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan. Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal. Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat. Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid.   “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.” Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain? Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang: Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik. Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis. Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka. Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.   Referensi: Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir.   –   Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak

Keistimewaan Manhaj Salaf

Daftar Isi Toggle Semangat menuntut ilmuMenyebarkan akidah tauhidUrgensi ilmu akidahKarya ulama akidahKedudukan tauhidFenomena menyedihkanPilar utama manhaj salafKunci-kunci persatuan Secara bahasa, manhaj berarti ‘jalan yang terang dan gamblang’. Adapun istilah ‘salaf’ yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan sahabat dan pengikut setia mereka. (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16) Apabila disebutkan istilah salaf secara umum, maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari, Tirmidzi, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11) Semangat menuntut ilmu Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah fondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar’i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku …” (QS. Yusuf: 108) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27) Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul, ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu. (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1: 226-227) Menyebarkan akidah tauhid Salah satu keistimewaan pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan akidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasihat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bidah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bidah. (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13) Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah akidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42) Urgensi ilmu akidah Ilmu akidah merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh sebab itu, sebagian ulama terdahulu menyebut ilmu akidah sebagai fikih akbar. Karena dalam ilmu akidah inilah kita akan mengerti pokok-pokok ajaran agama. (lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya, Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 34-35) Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8) Karya ulama akidah Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkara akidah. Ada di antara mereka yang menyusun buku dalam hal akidah dengan judul as-Sunnah, seperti as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, as-Sunnah karya al-Khallal, dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim. Ada juga yang dinamai dengan asy-Syari’ah, seperti yang ditulis oleh al-Aajurri. Ada pula yang diberi nama dengan Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah sebagaimana yang ditulis oleh al-Laalikaa’i. Ada juga yang diberi nama dengan at-Tauhid seperti karya Ibnu Khuzaimah dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah, dan Kitab Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada pula yang disebut dengan ‘Aqidah, seperti yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi dan ‘Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah. Ada juga yang disebut i’tiqad seperti Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan hafizhahullah, hal. 22) Baca juga: Mengaku Salafi, Namun Realitanya Tidak Bermanhaj Salaf Kedudukan tauhid Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula, akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18) Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63) Fenomena menyedihkan Di antara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya para dai yang kurang memperhatikan perkara akidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan akidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal akidah yang notabene merupakan pondasi agama. (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 7) Tauhid bagaikan asas dan pondasi bagi sebuah bangunan. Ketinggian dan kokohnya sebuah bangunan tergantung pada kekuatan pondasi dan keteguhannya. Amalan-amalan ibarat unsur sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Orang yang paham akan fokus untuk memperbaiki pondasi dan menguatkannya sebelum meninggikan bangunan, sedangkan orang yang bodoh bersemangat untuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya. Hal itu sebagaimana keadaan orang munafik yang membangun masjid tanpa landasan ikhlas dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas ketakwaan kepada Allah dan untuk mencari keridaan-Nya, itukah yang lebih baik atau orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang miring sehingga justru menjerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109) (lihat Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar, hal. 13) Pilar utama manhaj salaf Di antara sekian banyak pokok akidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bidah dan pembela bidah. (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, hal. 7-8) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seseorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah (menghamba) kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147) Kunci-kunci persatuan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah (perbaikan) dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar (pertemuan) atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semua tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16) Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihimus shalatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas (pondasi) yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bidah-bidah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117) Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153) Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bidah.” (lihat al-I’tisham, 1: 76). Baca juga: Dalil Manhaj Salaf Dalam Surat Al Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel Muslim.or.id

Keistimewaan Manhaj Salaf

Daftar Isi Toggle Semangat menuntut ilmuMenyebarkan akidah tauhidUrgensi ilmu akidahKarya ulama akidahKedudukan tauhidFenomena menyedihkanPilar utama manhaj salafKunci-kunci persatuan Secara bahasa, manhaj berarti ‘jalan yang terang dan gamblang’. Adapun istilah ‘salaf’ yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan sahabat dan pengikut setia mereka. (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16) Apabila disebutkan istilah salaf secara umum, maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari, Tirmidzi, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11) Semangat menuntut ilmu Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah fondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar’i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku …” (QS. Yusuf: 108) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27) Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul, ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu. (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1: 226-227) Menyebarkan akidah tauhid Salah satu keistimewaan pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan akidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasihat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bidah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bidah. (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13) Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah akidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42) Urgensi ilmu akidah Ilmu akidah merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh sebab itu, sebagian ulama terdahulu menyebut ilmu akidah sebagai fikih akbar. Karena dalam ilmu akidah inilah kita akan mengerti pokok-pokok ajaran agama. (lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya, Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 34-35) Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8) Karya ulama akidah Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkara akidah. Ada di antara mereka yang menyusun buku dalam hal akidah dengan judul as-Sunnah, seperti as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, as-Sunnah karya al-Khallal, dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim. Ada juga yang dinamai dengan asy-Syari’ah, seperti yang ditulis oleh al-Aajurri. Ada pula yang diberi nama dengan Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah sebagaimana yang ditulis oleh al-Laalikaa’i. Ada juga yang diberi nama dengan at-Tauhid seperti karya Ibnu Khuzaimah dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah, dan Kitab Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada pula yang disebut dengan ‘Aqidah, seperti yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi dan ‘Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah. Ada juga yang disebut i’tiqad seperti Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan hafizhahullah, hal. 22) Baca juga: Mengaku Salafi, Namun Realitanya Tidak Bermanhaj Salaf Kedudukan tauhid Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula, akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18) Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63) Fenomena menyedihkan Di antara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya para dai yang kurang memperhatikan perkara akidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan akidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal akidah yang notabene merupakan pondasi agama. (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 7) Tauhid bagaikan asas dan pondasi bagi sebuah bangunan. Ketinggian dan kokohnya sebuah bangunan tergantung pada kekuatan pondasi dan keteguhannya. Amalan-amalan ibarat unsur sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Orang yang paham akan fokus untuk memperbaiki pondasi dan menguatkannya sebelum meninggikan bangunan, sedangkan orang yang bodoh bersemangat untuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya. Hal itu sebagaimana keadaan orang munafik yang membangun masjid tanpa landasan ikhlas dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas ketakwaan kepada Allah dan untuk mencari keridaan-Nya, itukah yang lebih baik atau orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang miring sehingga justru menjerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109) (lihat Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar, hal. 13) Pilar utama manhaj salaf Di antara sekian banyak pokok akidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bidah dan pembela bidah. (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, hal. 7-8) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seseorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah (menghamba) kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147) Kunci-kunci persatuan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah (perbaikan) dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar (pertemuan) atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semua tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16) Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihimus shalatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas (pondasi) yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bidah-bidah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117) Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153) Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bidah.” (lihat al-I’tisham, 1: 76). Baca juga: Dalil Manhaj Salaf Dalam Surat Al Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Semangat menuntut ilmuMenyebarkan akidah tauhidUrgensi ilmu akidahKarya ulama akidahKedudukan tauhidFenomena menyedihkanPilar utama manhaj salafKunci-kunci persatuan Secara bahasa, manhaj berarti ‘jalan yang terang dan gamblang’. Adapun istilah ‘salaf’ yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan sahabat dan pengikut setia mereka. (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16) Apabila disebutkan istilah salaf secara umum, maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari, Tirmidzi, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11) Semangat menuntut ilmu Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah fondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar’i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku …” (QS. Yusuf: 108) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27) Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul, ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu. (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1: 226-227) Menyebarkan akidah tauhid Salah satu keistimewaan pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan akidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasihat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bidah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bidah. (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13) Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah akidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42) Urgensi ilmu akidah Ilmu akidah merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh sebab itu, sebagian ulama terdahulu menyebut ilmu akidah sebagai fikih akbar. Karena dalam ilmu akidah inilah kita akan mengerti pokok-pokok ajaran agama. (lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya, Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 34-35) Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8) Karya ulama akidah Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkara akidah. Ada di antara mereka yang menyusun buku dalam hal akidah dengan judul as-Sunnah, seperti as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, as-Sunnah karya al-Khallal, dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim. Ada juga yang dinamai dengan asy-Syari’ah, seperti yang ditulis oleh al-Aajurri. Ada pula yang diberi nama dengan Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah sebagaimana yang ditulis oleh al-Laalikaa’i. Ada juga yang diberi nama dengan at-Tauhid seperti karya Ibnu Khuzaimah dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah, dan Kitab Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada pula yang disebut dengan ‘Aqidah, seperti yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi dan ‘Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah. Ada juga yang disebut i’tiqad seperti Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan hafizhahullah, hal. 22) Baca juga: Mengaku Salafi, Namun Realitanya Tidak Bermanhaj Salaf Kedudukan tauhid Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula, akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18) Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63) Fenomena menyedihkan Di antara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya para dai yang kurang memperhatikan perkara akidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan akidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal akidah yang notabene merupakan pondasi agama. (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 7) Tauhid bagaikan asas dan pondasi bagi sebuah bangunan. Ketinggian dan kokohnya sebuah bangunan tergantung pada kekuatan pondasi dan keteguhannya. Amalan-amalan ibarat unsur sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Orang yang paham akan fokus untuk memperbaiki pondasi dan menguatkannya sebelum meninggikan bangunan, sedangkan orang yang bodoh bersemangat untuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya. Hal itu sebagaimana keadaan orang munafik yang membangun masjid tanpa landasan ikhlas dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas ketakwaan kepada Allah dan untuk mencari keridaan-Nya, itukah yang lebih baik atau orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang miring sehingga justru menjerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109) (lihat Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar, hal. 13) Pilar utama manhaj salaf Di antara sekian banyak pokok akidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bidah dan pembela bidah. (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, hal. 7-8) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seseorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah (menghamba) kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147) Kunci-kunci persatuan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah (perbaikan) dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar (pertemuan) atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semua tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16) Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihimus shalatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas (pondasi) yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bidah-bidah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117) Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153) Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bidah.” (lihat al-I’tisham, 1: 76). Baca juga: Dalil Manhaj Salaf Dalam Surat Al Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Semangat menuntut ilmuMenyebarkan akidah tauhidUrgensi ilmu akidahKarya ulama akidahKedudukan tauhidFenomena menyedihkanPilar utama manhaj salafKunci-kunci persatuan Secara bahasa, manhaj berarti ‘jalan yang terang dan gamblang’. Adapun istilah ‘salaf’ yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan sahabat dan pengikut setia mereka. (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16) Apabila disebutkan istilah salaf secara umum, maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari, Tirmidzi, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11) Semangat menuntut ilmu Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah fondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar’i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku …” (QS. Yusuf: 108) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27) Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul, ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu. (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1: 226-227) Menyebarkan akidah tauhid Salah satu keistimewaan pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan akidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasihat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bidah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bidah. (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13) Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah akidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42) Urgensi ilmu akidah Ilmu akidah merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh sebab itu, sebagian ulama terdahulu menyebut ilmu akidah sebagai fikih akbar. Karena dalam ilmu akidah inilah kita akan mengerti pokok-pokok ajaran agama. (lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya, Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 34-35) Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8) Karya ulama akidah Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkara akidah. Ada di antara mereka yang menyusun buku dalam hal akidah dengan judul as-Sunnah, seperti as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, as-Sunnah karya al-Khallal, dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim. Ada juga yang dinamai dengan asy-Syari’ah, seperti yang ditulis oleh al-Aajurri. Ada pula yang diberi nama dengan Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah sebagaimana yang ditulis oleh al-Laalikaa’i. Ada juga yang diberi nama dengan at-Tauhid seperti karya Ibnu Khuzaimah dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah, dan Kitab Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada pula yang disebut dengan ‘Aqidah, seperti yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi dan ‘Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah. Ada juga yang disebut i’tiqad seperti Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan hafizhahullah, hal. 22) Baca juga: Mengaku Salafi, Namun Realitanya Tidak Bermanhaj Salaf Kedudukan tauhid Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula, akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18) Syekh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63) Fenomena menyedihkan Di antara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya para dai yang kurang memperhatikan perkara akidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan akidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan cara kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal akidah yang notabene merupakan pondasi agama. (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 7) Tauhid bagaikan asas dan pondasi bagi sebuah bangunan. Ketinggian dan kokohnya sebuah bangunan tergantung pada kekuatan pondasi dan keteguhannya. Amalan-amalan ibarat unsur sebuah bangunan, sedangkan pondasinya adalah iman. Orang yang paham akan fokus untuk memperbaiki pondasi dan menguatkannya sebelum meninggikan bangunan, sedangkan orang yang bodoh bersemangat untuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya. Hal itu sebagaimana keadaan orang munafik yang membangun masjid tanpa landasan ikhlas dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas ketakwaan kepada Allah dan untuk mencari keridaan-Nya, itukah yang lebih baik atau orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang miring sehingga justru menjerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109) (lihat Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar, hal. 13) Pilar utama manhaj salaf Di antara sekian banyak pokok akidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bidah dan pembela bidah. (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, hal. 7-8) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seseorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11) Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah (menghamba) kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147) Kunci-kunci persatuan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah (perbaikan) dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar (pertemuan) atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semua tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16) Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihimus shalatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas (pondasi) yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bidah-bidah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117) Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153) Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bidah.” (lihat al-I’tisham, 1: 76). Baca juga: Dalil Manhaj Salaf Dalam Surat Al Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi Artikel Muslim.or.id

Menceraikan Istri Demi Wanita Lain? Ini Kisah Cinta Khalid bin Yazid dan Ramlah

Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya. Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini. Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya.Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab:“Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.”‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.”Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).”Kemudian Khalid menjelaskan:“Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan.Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya.Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.”Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.”Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!”Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata:“Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam,dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat?Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya,seolah semua beban hidupku ikut sirna.”Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia:“Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya,bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.”Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka,tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati.(Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249)Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa. Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanitaImam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini,وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata,إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ“Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya.Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245)Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atasCinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional.Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan.Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal.Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat.Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid. “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.”Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain?Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang:Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik.Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis.Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka.Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Referensi:Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir. – Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak

Menceraikan Istri Demi Wanita Lain? Ini Kisah Cinta Khalid bin Yazid dan Ramlah

Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya. Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini. Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya.Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab:“Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.”‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.”Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).”Kemudian Khalid menjelaskan:“Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan.Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya.Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.”Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.”Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!”Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata:“Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam,dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat?Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya,seolah semua beban hidupku ikut sirna.”Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia:“Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya,bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.”Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka,tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati.(Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249)Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa. Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanitaImam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini,وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata,إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ“Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya.Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245)Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atasCinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional.Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan.Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal.Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat.Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid. “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.”Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain?Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang:Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik.Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis.Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka.Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Referensi:Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir. – Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak
Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya. Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini. Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya.Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab:“Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.”‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.”Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).”Kemudian Khalid menjelaskan:“Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan.Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya.Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.”Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.”Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!”Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata:“Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam,dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat?Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya,seolah semua beban hidupku ikut sirna.”Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia:“Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya,bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.”Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka,tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati.(Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249)Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa. Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanitaImam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini,وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata,إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ“Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya.Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245)Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atasCinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional.Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan.Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal.Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat.Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid. “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.”Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain?Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang:Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik.Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis.Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka.Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Referensi:Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir. – Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak


Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah, seorang tokoh Quraisy terpandang, jatuh cinta hanya dari satu pandangan saat melihat Ramlah binti az-Zubair thawaf di Masjidil Haram. Perasaan itu begitu kuat hingga ia gelisah, kehilangan tidur, dan tak mampu menyembunyikannya dari khalifah. Demi meminang wanita yang baru dikenalnya itu, ia bahkan menceraikan dua istrinya sekaligus. Kisah ini menunjukkan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba dan mengguncang kehidupan seorang lelaki, sekuat apa pun ia sebelumnya. Kisah berikut diambil dari bahasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin berikut ini. Abu ‘Ubaidah berkata: Suatu ketika, ‘Abdul Malik bin Marwan melaksanakan ibadah haji, dan bersamanya ikut pula Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah. Khalid ini adalah salah satu tokoh penting dari kalangan Quraisy dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata ‘Abdul Malik. Ketika Khalid sedang thawaf mengelilingi Ka‘bah, ia melihat Ramlah binti Az-Zubair bin Al-‘Awwam. Pandangan itu seketika menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam hatinya. Ia jatuh cinta dengan sangat, dan pesona Ramlah benar-benar tertanam kuat dalam dirinya.Ketika ‘Abdul Malik hendak kembali dari perjalanan haji itu, Khalid berniat untuk tidak ikut serta pulang. Sikap ini menimbulkan kecurigaan dalam hati ‘Abdul Malik. Maka ia pun mengutus seseorang untuk memanggil Khalid dan menanyainya. Khalid pun menjawab:“Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat Ramlah binti Az-Zubair ketika ia sedang thawaf. Pemandangan itu membuatku lupa diri. Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan hal ini jika bukan karena kesabaranku telah habis. Aku telah mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi tak bisa. Aku juga mencoba melupakan perasaan ini dari hati, tetapi hatiku tak mau menerima. Sungguh, rasa ini telah merenggut seluruh ketenanganku.”‘Abdul Malik terheran-heran mendengar penuturan itu dan berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa menawan orang sepertimu.”Khalid menjawab, “Justru aku lebih heran lagi karena kau heran terhadap diriku. Dulu aku mengira bahwa cinta itu hanya akan benar-benar menguasai dua jenis manusia: para penyair dan orang-orang Arab pedalaman (a‘rab).”Kemudian Khalid menjelaskan:“Adapun para penyair, mereka membiarkan hati mereka terus dipenuhi pikiran tentang perempuan, menyusun bait demi bait yang memuja dan menggambarkan mereka, menulis syair-syair asmara. Karena itulah naluri mereka condong kepada wanita, hingga hati mereka melemah dalam menghadapi gejolak cinta, dan akhirnya tunduk pasrah tanpa perlawanan.Adapun orang-orang Arab pedalaman, mereka terbiasa hidup hanya dengan istri mereka di tempat yang sunyi. Tak ada hal lain yang menguasai hati mereka selain cinta kepada istri mereka sendiri, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka darinya. Karena itulah mereka pun lemah menghadapi cinta dan mudah ditundukkan olehnya.Dan aku sendiri, demi Allah, belum pernah mengalami pandangan yang mampu meruntuhkan keteguhan dan melemahkan tekadku untuk menolak maksiat seperti pandanganku yang satu ini.”Mendengar pengakuan itu, ‘Abdul Malik tersenyum dan berkata, “Apakah sampai sebegitunya perasaan itu menguasaimu?” Khalid menjawab, “Demi Allah, belum pernah aku tertimpa cobaan seperti ini sebelumnya.”Akhirnya, ‘Abdul Malik mengirim utusan kepada keluarga Az-Zubair untuk melamar Ramlah atas nama Khalid. Namun ketika hal itu disampaikan kepadanya, Ramlah berkata, “Demi Allah, tidak! Kecuali jika ia menceraikan istri-istrinya!”Lalu Khalid pun menceraikan dua istrinya yang saat itu masih bersamanya, kemudian membawa Ramlah ke Syam sebagai istrinya. Sejak saat itu, cintanya kepada Ramlah bukan hanya bertahan, tetapi justru makin membara. Ia tak segan melantunkan syair-syair yang mengabadikan perasaannya. Dalam salah satu syairnya yang terkenal, ia berkata:“Bukankah rindu ini terus bertambah setiap malam,dan setiap hari membuat kekasih kita terasa lebih dekat?Wahai dua sahabatku, setiap kali kalian menyebut namanya,seolah semua beban hidupku ikut sirna.”Kecintaannya pada Ramlah begitu dalam, sampai-sampai ia mengaku mencintai seluruh keluarga Ramlah hanya karena dia:“Aku mencintai seluruh Bani az-Zubair karena mencintainya,bahkan aku mencintai keluarga dari pihak ibunya, hanya karena dia.”Dan di antara banyak wanita yang berhias dan melenggang dengan gelang kaki mereka,tak ada satu pun yang bisa menyamai cara Ramlah melangkah—baik gemanya, maupun getarannya di hati.(Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 247-249)Khalid telah jatuh, bukan sekadar karena paras, tetapi karena kehadiran seorang wanita yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang baru. Cintanya bukan sekadar kisah asmara, tetapi peralihan dari gengsi kepada ketulusan, dari logika kepada kelembutan rasa. Manusia diciptakan dalam keadaan lemah pada wanitaImam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan mengenai ayat berikut ini,وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)Maknanya adalah bahwa manusia tidak sanggup menahan diri dari ketertarikan terhadap wanita. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa ketika menafsirkan ayat “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28), beliau berkata,إِذَا نَظَرَ إِلَى النِّسَاءِ لَمْ يَصْبِرْ“Jika seseorang melihat wanita, maka ia sulit menahan diri.” Hal ini juga dikatakan oleh sejumlah ulama salaf lainnya.Karena dorongan syahwat dalam perkara ini begitu kuat dan dominan, maka hal itu sering kali membawa seseorang kepada perbuatan yang menuntut taubat. Oleh sebab itu, Allah mengulangi penyebutan taubat sebanyak dua kali dalam surah An-Nisa ayat 26-28. Dia menjelaskan bahwa para pengikut hawa nafsu menginginkan agar hamba-hamba-Nya tergelincir dalam penyimpangan yang besar. Namun, Allah Maha Pengasih, Dia ingin meringankan beban hukum atas kita karena kelemahan kita. Maka, Allah menghalalkan bagi kita untuk menikahi wanita-wanita baik hingga empat orang, serta memperbolehkan berhubungan dengan budak perempuan yang dimiliki. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2008, hlm. 245)Baca juga: Cobaan Berat Nabi Yusuf saat Digoda Wanita Pelajaran penting dari kisah Khalid bin Yazid dan Ramlah di atasCinta bisa menaklukkan siapa saja, bahkan seorang tokoh terpandang seperti Khalid bin Yazid yang dikenal cerdas, terhormat, dan rasional.Satu pandangan kepada seorang wanita bisa mengguncang hati sedalam itu, sampai membuat seorang pria kehilangan tidur dan ketenangan.Bisa saja seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita lain, lalu menceraikan istri-istrinya demi mengejar yang baru—bukan karena main-main, tetapi karena hatinya tak lagi bisa disangkal.Kejujuran dalam cinta itu penting. Khalid tidak menyembunyikan perasaannya, tetapi menyampaikannya dengan terbuka dan meminta dengan cara yang terhormat.Terkadang, satu momen kecil bisa mengubah arah hidup seseorang. Pandangan di sekitar Ka‘bah itu menjadi titik balik besar dalam hidup Khalid. “Beginilah dahsyatnya pesona seorang wanita—sekali pandang, mampu mengguncang hati lelaki hingga membuatnya mengambil keputusan besar: menceraikan dua istrinya demi memenuhi syarat dari wanita yang memikat hatinya.”Lalu, apakah dibenarkan menceraikan istri lama demi wanita lain?Secara hukum syar’i, menceraikan istri hukumnya mubah (boleh), selama tidak dilakukan dengan cara zalim, tidak di saat haid atau dalam keadaan istri suci yang baru digauli, dan tidak bertentangan dengan adab dan maslahat. Namun, memutuskan menceraikan istri hanya karena tertarik pada wanita lain adalah perkara yang:Secara hukum: sah, tetapi tidak ideal, apalagi jika istri lama tidak bersalah dan pernikahan berlangsung baik.Secara adab dan akhlak: kurang terpuji, kecuali bila istri lama memang ridha, atau hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis.Secara sosial dan emosional: bisa melukai, dan sering menimbulkan akibat buruk bila hanya berdasarkan gejolak sesaat atau syahwat belaka.Dalam kisah Khalid dan Ramlah, konteksnya bukan sedang membahas hukum ideal, tetapi gambaran betapa kuatnya gejolak cinta yang bisa melumpuhkan logika dan menggugurkan gengsi, bahkan pada tokoh sebesar Khalid bin Yazid. Hal ini justru jadi pelajaran bahwa syahwat, jika tidak dikendalikan, bisa membuat keputusan tergesa dan berdampak besar.Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Referensi:Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2008). Raudhah al-muhibbin wa nuzhat al-musytaqin (Yusuf ‘Ali Badiwi, Tahq.). Dar Ibn Katsir. – Ditulis pada Malam Rabu, malam 10 Syawal 1446 H, 8 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscerai cerita sahabat nabi cinta dalam islam cinta dan pernikahan faedah dari Ibnul Qayyim fitnah wanita godaan wanita khalid bin yazid kisah cinta islami kisah nyata islami nasihat ibnul qayyim pelajaran dari cinta ramlah binti az-zubair raudhah al muhibbin sejarah islam klasik talak

Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat iniHadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhumaHadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhuHadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhumaKeutamaan salat saat pulang dari safarTata cara salat saat pulang dari safarDoa dan dzikir yang dibaca Dalam Islam, safar bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga bisa menjadi ladang pahala jika dijalani dengan niat yang benar dan diiringi dengan ibadah. Salah satu sunah yang diajarkan Rasulullah ﷺ saat kembali dari safar adalah menunaikan salat dua rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah. Amalan ini menjadi bentuk syukur atas keselamatan dalam perjalanan serta sarana meraih keberkahan di aktifitas-aktifitas setelahnya. Sayangnya, banyak yang tidak mengetahui atau mengabaikan sunah ini. Padahal, salat ini merupakan petunjuk Nabi ﷺ, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, serta tata cara pelaksanaannya. Hadis-hadis tentang salat ini Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat saat pulang dari safar, baik yang berada dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), maupun dalam kitab sunan. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2921, dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنهما, ia berkata, كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، قَالَ لِي: (ادْخُلِ الْمَسْجِدَ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ). “Aku pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu perjalanan. Ketika kami tiba di Madinah, beliau bersabda kepadaku, ‘Masuklah ke dalam masjid dan salatlah dua rakaat.’” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2922, dari Ka’ab رضي الله عنه, أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ. “Apabila Nabi ﷺ pulang dari safar di waktu dhuha, beliau masuk ke masjid, lalu salat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2782, dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم حين أقبلَ من حَجَّتِهِ دخلَ المدينةَ، فأناخَ على بابِ مَسْجدِه، ثم دخلَه، فركَع فيه ركعتَين، ثم انصرفَ إلى بيتهِ، قال نافعٌ: فكانَ ابنُ عمرَ كذلك يصنَعُ “Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari hajinya, beliau memasuki Madinah, lalu berhenti di depan pintu masjidnya, kemudian masuk ke dalamnya dan salat dua rakaat, lalu pergi ke rumahnya.” Nafi‘ berkata, “Ibnu Umar pun melakukan hal yang sama.” (Sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al-Arnauth). Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Isya Keutamaan salat saat pulang dari safar Al-Muhallab rahimahullah menjelaskan bahwa salat saat tiba dari safar adalah sunah yang memiliki banyak keutamaan. Ia menyebutkan beberapa keutamaan dari salat ini, فيها معنى الحمد لله على السلامة والتبرك بالصلاة أول ما يبدأ به فى حضره، ونعم المفتاح هى إلى كل خير،  وفيها يناجى العبد ربه تعالى  وذلك هدى رسول الله وسنته، ولنا فيه أكرم الأسوة. Pertama, mengandung makna pujian kepada Allah atas keselamatan dalam perjalanan. Kedua, merupakan bentuk mencari keberkahan dengan menjadikan salat sebagai amalan pertama yang dilakukan saat tiba di tempat tujuan. Dan salat merupakan sebaik-baik pembuka bagi segala kebaikan. Ketiga, melalui salat ini, seorang hamba dapat bermunajat kepada Allah. Keempat, ini adalah bagian dari petunjuk Rasulullah ﷺ dan sunahnya, yang menjadi teladan terbaik bagi umatnya. [1] Kelima, menghidupkan sunah yang terlupakan. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, وهذه السنة قد غفل عنها كثير من الناس إما جهلا بذلك وإما تهاونا ولكن ينبغي للإنسان أن يحيي هذه السنة “Sunah ini telah banyak dilupakan oleh sebagian orang, baik karena ketidaktahuan maupun karena meremehkannya. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan untuk menghidupkan sunah ini.” [2] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) Tata cara salat saat pulang dari safar Salat saat pulang dari safar tidak memiliki tata cara yang berbeda dengan salat sunah lainnya. Seseorang berniat salat sunah pulang dari safar, kemudian melaksanakan salat dua rakaat di masjid, dengan tata cara sebagaimana salat-salat sunah lainnya. [3] Hanya saja, terdapat sunah-sunah sebelum dan setelah salat. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan beberapa adab yang dianjurkan bagi seseorang yang kembali dari safar. Beliau mengatakan, أن المستحب للقادم: أن يكون على وضوء، وأن يبدأ بالمسجد قبل بيته فيصلي ثم ‌يجلس ‌لمن ‌يسلم ‌عليه» “Disunahkan bagi orang yang datang dari safar: 1) Dalam keadaan berwudu; 2) Mendahulukan masjid sebelum rumah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah; 3) Melaksanakan salat (dua rakaat sunah pulang dari safar); 4) Setelah salat, duduk di masjid untuk menerima salam dari kaum muslimin sebelum menuju rumah.” [4] Syekh Ibnu Utsaimin juga menegaskan bahwa seorang muslim yang pulang dari perjalanan hendaknya memulai dengan masjid sebelum menemui keluarganya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam perkataan dan perbuatannya. [5] Doa dan dzikir yang dibaca Salat saat pulang dari safar tidak memiliki perbedaan dengan salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun tata cara pelaksanaannya. Cukup membaca surah Al-Fatihah dan ayat lain dari Al-Qur’an sesuai kemampuan di setiap rakaat. Wallaahu a’lam. [6] Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam mengamalkan sunah-sunah Rasulullah ﷺ, termasuk salat saat pulang dari safar, sebagai bentuk syukur dan mencari keberkahan dalam setiap aktifitas kita. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib *** Lampung, 18 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Syarh Shahih al-Bukhari, 5: 243; karya Ibnu Baththal. [2] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626; karya Ibnu ‘Utsaimin. [3] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863. [4] Fath al-Bari, 8: 124. Lihat juga Aun al-Ma‘bud, 7: 332; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626. [6] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863.

Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat iniHadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhumaHadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhuHadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhumaKeutamaan salat saat pulang dari safarTata cara salat saat pulang dari safarDoa dan dzikir yang dibaca Dalam Islam, safar bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga bisa menjadi ladang pahala jika dijalani dengan niat yang benar dan diiringi dengan ibadah. Salah satu sunah yang diajarkan Rasulullah ﷺ saat kembali dari safar adalah menunaikan salat dua rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah. Amalan ini menjadi bentuk syukur atas keselamatan dalam perjalanan serta sarana meraih keberkahan di aktifitas-aktifitas setelahnya. Sayangnya, banyak yang tidak mengetahui atau mengabaikan sunah ini. Padahal, salat ini merupakan petunjuk Nabi ﷺ, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, serta tata cara pelaksanaannya. Hadis-hadis tentang salat ini Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat saat pulang dari safar, baik yang berada dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), maupun dalam kitab sunan. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2921, dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنهما, ia berkata, كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، قَالَ لِي: (ادْخُلِ الْمَسْجِدَ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ). “Aku pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu perjalanan. Ketika kami tiba di Madinah, beliau bersabda kepadaku, ‘Masuklah ke dalam masjid dan salatlah dua rakaat.’” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2922, dari Ka’ab رضي الله عنه, أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ. “Apabila Nabi ﷺ pulang dari safar di waktu dhuha, beliau masuk ke masjid, lalu salat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2782, dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم حين أقبلَ من حَجَّتِهِ دخلَ المدينةَ، فأناخَ على بابِ مَسْجدِه، ثم دخلَه، فركَع فيه ركعتَين، ثم انصرفَ إلى بيتهِ، قال نافعٌ: فكانَ ابنُ عمرَ كذلك يصنَعُ “Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari hajinya, beliau memasuki Madinah, lalu berhenti di depan pintu masjidnya, kemudian masuk ke dalamnya dan salat dua rakaat, lalu pergi ke rumahnya.” Nafi‘ berkata, “Ibnu Umar pun melakukan hal yang sama.” (Sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al-Arnauth). Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Isya Keutamaan salat saat pulang dari safar Al-Muhallab rahimahullah menjelaskan bahwa salat saat tiba dari safar adalah sunah yang memiliki banyak keutamaan. Ia menyebutkan beberapa keutamaan dari salat ini, فيها معنى الحمد لله على السلامة والتبرك بالصلاة أول ما يبدأ به فى حضره، ونعم المفتاح هى إلى كل خير،  وفيها يناجى العبد ربه تعالى  وذلك هدى رسول الله وسنته، ولنا فيه أكرم الأسوة. Pertama, mengandung makna pujian kepada Allah atas keselamatan dalam perjalanan. Kedua, merupakan bentuk mencari keberkahan dengan menjadikan salat sebagai amalan pertama yang dilakukan saat tiba di tempat tujuan. Dan salat merupakan sebaik-baik pembuka bagi segala kebaikan. Ketiga, melalui salat ini, seorang hamba dapat bermunajat kepada Allah. Keempat, ini adalah bagian dari petunjuk Rasulullah ﷺ dan sunahnya, yang menjadi teladan terbaik bagi umatnya. [1] Kelima, menghidupkan sunah yang terlupakan. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, وهذه السنة قد غفل عنها كثير من الناس إما جهلا بذلك وإما تهاونا ولكن ينبغي للإنسان أن يحيي هذه السنة “Sunah ini telah banyak dilupakan oleh sebagian orang, baik karena ketidaktahuan maupun karena meremehkannya. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan untuk menghidupkan sunah ini.” [2] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) Tata cara salat saat pulang dari safar Salat saat pulang dari safar tidak memiliki tata cara yang berbeda dengan salat sunah lainnya. Seseorang berniat salat sunah pulang dari safar, kemudian melaksanakan salat dua rakaat di masjid, dengan tata cara sebagaimana salat-salat sunah lainnya. [3] Hanya saja, terdapat sunah-sunah sebelum dan setelah salat. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan beberapa adab yang dianjurkan bagi seseorang yang kembali dari safar. Beliau mengatakan, أن المستحب للقادم: أن يكون على وضوء، وأن يبدأ بالمسجد قبل بيته فيصلي ثم ‌يجلس ‌لمن ‌يسلم ‌عليه» “Disunahkan bagi orang yang datang dari safar: 1) Dalam keadaan berwudu; 2) Mendahulukan masjid sebelum rumah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah; 3) Melaksanakan salat (dua rakaat sunah pulang dari safar); 4) Setelah salat, duduk di masjid untuk menerima salam dari kaum muslimin sebelum menuju rumah.” [4] Syekh Ibnu Utsaimin juga menegaskan bahwa seorang muslim yang pulang dari perjalanan hendaknya memulai dengan masjid sebelum menemui keluarganya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam perkataan dan perbuatannya. [5] Doa dan dzikir yang dibaca Salat saat pulang dari safar tidak memiliki perbedaan dengan salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun tata cara pelaksanaannya. Cukup membaca surah Al-Fatihah dan ayat lain dari Al-Qur’an sesuai kemampuan di setiap rakaat. Wallaahu a’lam. [6] Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam mengamalkan sunah-sunah Rasulullah ﷺ, termasuk salat saat pulang dari safar, sebagai bentuk syukur dan mencari keberkahan dalam setiap aktifitas kita. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib *** Lampung, 18 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Syarh Shahih al-Bukhari, 5: 243; karya Ibnu Baththal. [2] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626; karya Ibnu ‘Utsaimin. [3] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863. [4] Fath al-Bari, 8: 124. Lihat juga Aun al-Ma‘bud, 7: 332; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626. [6] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863.
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat iniHadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhumaHadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhuHadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhumaKeutamaan salat saat pulang dari safarTata cara salat saat pulang dari safarDoa dan dzikir yang dibaca Dalam Islam, safar bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga bisa menjadi ladang pahala jika dijalani dengan niat yang benar dan diiringi dengan ibadah. Salah satu sunah yang diajarkan Rasulullah ﷺ saat kembali dari safar adalah menunaikan salat dua rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah. Amalan ini menjadi bentuk syukur atas keselamatan dalam perjalanan serta sarana meraih keberkahan di aktifitas-aktifitas setelahnya. Sayangnya, banyak yang tidak mengetahui atau mengabaikan sunah ini. Padahal, salat ini merupakan petunjuk Nabi ﷺ, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, serta tata cara pelaksanaannya. Hadis-hadis tentang salat ini Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat saat pulang dari safar, baik yang berada dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), maupun dalam kitab sunan. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2921, dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنهما, ia berkata, كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، قَالَ لِي: (ادْخُلِ الْمَسْجِدَ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ). “Aku pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu perjalanan. Ketika kami tiba di Madinah, beliau bersabda kepadaku, ‘Masuklah ke dalam masjid dan salatlah dua rakaat.’” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2922, dari Ka’ab رضي الله عنه, أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ. “Apabila Nabi ﷺ pulang dari safar di waktu dhuha, beliau masuk ke masjid, lalu salat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2782, dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم حين أقبلَ من حَجَّتِهِ دخلَ المدينةَ، فأناخَ على بابِ مَسْجدِه، ثم دخلَه، فركَع فيه ركعتَين، ثم انصرفَ إلى بيتهِ، قال نافعٌ: فكانَ ابنُ عمرَ كذلك يصنَعُ “Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari hajinya, beliau memasuki Madinah, lalu berhenti di depan pintu masjidnya, kemudian masuk ke dalamnya dan salat dua rakaat, lalu pergi ke rumahnya.” Nafi‘ berkata, “Ibnu Umar pun melakukan hal yang sama.” (Sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al-Arnauth). Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Isya Keutamaan salat saat pulang dari safar Al-Muhallab rahimahullah menjelaskan bahwa salat saat tiba dari safar adalah sunah yang memiliki banyak keutamaan. Ia menyebutkan beberapa keutamaan dari salat ini, فيها معنى الحمد لله على السلامة والتبرك بالصلاة أول ما يبدأ به فى حضره، ونعم المفتاح هى إلى كل خير،  وفيها يناجى العبد ربه تعالى  وذلك هدى رسول الله وسنته، ولنا فيه أكرم الأسوة. Pertama, mengandung makna pujian kepada Allah atas keselamatan dalam perjalanan. Kedua, merupakan bentuk mencari keberkahan dengan menjadikan salat sebagai amalan pertama yang dilakukan saat tiba di tempat tujuan. Dan salat merupakan sebaik-baik pembuka bagi segala kebaikan. Ketiga, melalui salat ini, seorang hamba dapat bermunajat kepada Allah. Keempat, ini adalah bagian dari petunjuk Rasulullah ﷺ dan sunahnya, yang menjadi teladan terbaik bagi umatnya. [1] Kelima, menghidupkan sunah yang terlupakan. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, وهذه السنة قد غفل عنها كثير من الناس إما جهلا بذلك وإما تهاونا ولكن ينبغي للإنسان أن يحيي هذه السنة “Sunah ini telah banyak dilupakan oleh sebagian orang, baik karena ketidaktahuan maupun karena meremehkannya. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan untuk menghidupkan sunah ini.” [2] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) Tata cara salat saat pulang dari safar Salat saat pulang dari safar tidak memiliki tata cara yang berbeda dengan salat sunah lainnya. Seseorang berniat salat sunah pulang dari safar, kemudian melaksanakan salat dua rakaat di masjid, dengan tata cara sebagaimana salat-salat sunah lainnya. [3] Hanya saja, terdapat sunah-sunah sebelum dan setelah salat. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan beberapa adab yang dianjurkan bagi seseorang yang kembali dari safar. Beliau mengatakan, أن المستحب للقادم: أن يكون على وضوء، وأن يبدأ بالمسجد قبل بيته فيصلي ثم ‌يجلس ‌لمن ‌يسلم ‌عليه» “Disunahkan bagi orang yang datang dari safar: 1) Dalam keadaan berwudu; 2) Mendahulukan masjid sebelum rumah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah; 3) Melaksanakan salat (dua rakaat sunah pulang dari safar); 4) Setelah salat, duduk di masjid untuk menerima salam dari kaum muslimin sebelum menuju rumah.” [4] Syekh Ibnu Utsaimin juga menegaskan bahwa seorang muslim yang pulang dari perjalanan hendaknya memulai dengan masjid sebelum menemui keluarganya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam perkataan dan perbuatannya. [5] Doa dan dzikir yang dibaca Salat saat pulang dari safar tidak memiliki perbedaan dengan salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun tata cara pelaksanaannya. Cukup membaca surah Al-Fatihah dan ayat lain dari Al-Qur’an sesuai kemampuan di setiap rakaat. Wallaahu a’lam. [6] Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam mengamalkan sunah-sunah Rasulullah ﷺ, termasuk salat saat pulang dari safar, sebagai bentuk syukur dan mencari keberkahan dalam setiap aktifitas kita. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib *** Lampung, 18 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Syarh Shahih al-Bukhari, 5: 243; karya Ibnu Baththal. [2] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626; karya Ibnu ‘Utsaimin. [3] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863. [4] Fath al-Bari, 8: 124. Lihat juga Aun al-Ma‘bud, 7: 332; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626. [6] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863.


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat iniHadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhumaHadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhuHadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhumaKeutamaan salat saat pulang dari safarTata cara salat saat pulang dari safarDoa dan dzikir yang dibaca Dalam Islam, safar bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga bisa menjadi ladang pahala jika dijalani dengan niat yang benar dan diiringi dengan ibadah. Salah satu sunah yang diajarkan Rasulullah ﷺ saat kembali dari safar adalah menunaikan salat dua rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah. Amalan ini menjadi bentuk syukur atas keselamatan dalam perjalanan serta sarana meraih keberkahan di aktifitas-aktifitas setelahnya. Sayangnya, banyak yang tidak mengetahui atau mengabaikan sunah ini. Padahal, salat ini merupakan petunjuk Nabi ﷺ, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, serta tata cara pelaksanaannya. Hadis-hadis tentang salat ini Terdapat banyak hadis yang membahas tentang salat saat pulang dari safar, baik yang berada dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), maupun dalam kitab sunan. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2921, dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنهما, ia berkata, كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ، قَالَ لِي: (ادْخُلِ الْمَسْجِدَ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ). “Aku pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu perjalanan. Ketika kami tiba di Madinah, beliau bersabda kepadaku, ‘Masuklah ke dalam masjid dan salatlah dua rakaat.’” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 2922, dari Ka’ab رضي الله عنه, أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ. “Apabila Nabi ﷺ pulang dari safar di waktu dhuha, beliau masuk ke masjid, lalu salat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaihi) Hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2782, dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم حين أقبلَ من حَجَّتِهِ دخلَ المدينةَ، فأناخَ على بابِ مَسْجدِه، ثم دخلَه، فركَع فيه ركعتَين، ثم انصرفَ إلى بيتهِ، قال نافعٌ: فكانَ ابنُ عمرَ كذلك يصنَعُ “Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari hajinya, beliau memasuki Madinah, lalu berhenti di depan pintu masjidnya, kemudian masuk ke dalamnya dan salat dua rakaat, lalu pergi ke rumahnya.” Nafi‘ berkata, “Ibnu Umar pun melakukan hal yang sama.” (Sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al-Arnauth). Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Isya Keutamaan salat saat pulang dari safar Al-Muhallab rahimahullah menjelaskan bahwa salat saat tiba dari safar adalah sunah yang memiliki banyak keutamaan. Ia menyebutkan beberapa keutamaan dari salat ini, فيها معنى الحمد لله على السلامة والتبرك بالصلاة أول ما يبدأ به فى حضره، ونعم المفتاح هى إلى كل خير،  وفيها يناجى العبد ربه تعالى  وذلك هدى رسول الله وسنته، ولنا فيه أكرم الأسوة. Pertama, mengandung makna pujian kepada Allah atas keselamatan dalam perjalanan. Kedua, merupakan bentuk mencari keberkahan dengan menjadikan salat sebagai amalan pertama yang dilakukan saat tiba di tempat tujuan. Dan salat merupakan sebaik-baik pembuka bagi segala kebaikan. Ketiga, melalui salat ini, seorang hamba dapat bermunajat kepada Allah. Keempat, ini adalah bagian dari petunjuk Rasulullah ﷺ dan sunahnya, yang menjadi teladan terbaik bagi umatnya. [1] Kelima, menghidupkan sunah yang terlupakan. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, وهذه السنة قد غفل عنها كثير من الناس إما جهلا بذلك وإما تهاونا ولكن ينبغي للإنسان أن يحيي هذه السنة “Sunah ini telah banyak dilupakan oleh sebagian orang, baik karena ketidaktahuan maupun karena meremehkannya. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan untuk menghidupkan sunah ini.” [2] Siapa saja yang mengamalkan sunah ini, dan diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Rasulullah ﷺ bersabda, من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي، فإن له من الأجر مثل من عمل بها، من غير أن ينقص من أجورهم شيئا “Barangsiapa menghidupkan satu sunah dari sunahku yang telah ditinggalkan setelahku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2677, dinilai hasan) Tata cara salat saat pulang dari safar Salat saat pulang dari safar tidak memiliki tata cara yang berbeda dengan salat sunah lainnya. Seseorang berniat salat sunah pulang dari safar, kemudian melaksanakan salat dua rakaat di masjid, dengan tata cara sebagaimana salat-salat sunah lainnya. [3] Hanya saja, terdapat sunah-sunah sebelum dan setelah salat. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan beberapa adab yang dianjurkan bagi seseorang yang kembali dari safar. Beliau mengatakan, أن المستحب للقادم: أن يكون على وضوء، وأن يبدأ بالمسجد قبل بيته فيصلي ثم ‌يجلس ‌لمن ‌يسلم ‌عليه» “Disunahkan bagi orang yang datang dari safar: 1) Dalam keadaan berwudu; 2) Mendahulukan masjid sebelum rumah, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah; 3) Melaksanakan salat (dua rakaat sunah pulang dari safar); 4) Setelah salat, duduk di masjid untuk menerima salam dari kaum muslimin sebelum menuju rumah.” [4] Syekh Ibnu Utsaimin juga menegaskan bahwa seorang muslim yang pulang dari perjalanan hendaknya memulai dengan masjid sebelum menemui keluarganya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam perkataan dan perbuatannya. [5] Doa dan dzikir yang dibaca Salat saat pulang dari safar tidak memiliki perbedaan dengan salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun tata cara pelaksanaannya. Cukup membaca surah Al-Fatihah dan ayat lain dari Al-Qur’an sesuai kemampuan di setiap rakaat. Wallaahu a’lam. [6] Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam mengamalkan sunah-sunah Rasulullah ﷺ, termasuk salat saat pulang dari safar, sebagai bentuk syukur dan mencari keberkahan dalam setiap aktifitas kita. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib *** Lampung, 18 Ramadhan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi Utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Syarh Shahih al-Bukhari, 5: 243; karya Ibnu Baththal. [2] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626; karya Ibnu ‘Utsaimin. [3] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863. [4] Fath al-Bari, 8: 124. Lihat juga Aun al-Ma‘bud, 7: 332; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 99. [5] Syarh Riyadh al-Shalihin, 4: 626. [6] Lihat Islamweb.net, Fatwa No. 98863.

Penyebar Gosip Tak Akan Masuk Surga! Jangan Biarkan Namimah Merusak Hidup Anda!

Namimah (adu domba) adalah menyampaikan perkataan dengan maksud merusak. Seseorang datang kepada orang lain dan berkata, “Si Fulan berkata ini dan itu.” Perbuatan ini termasuk dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga seorang Qattat (penyebar namimah).” (HR. Bukhari dan Muslim). Makna Qattat yakni orang yang suka melakukan namimah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika melewati dua kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena perkara besar (dianggap remeh oleh manusia).” Ketahuilah, itu adalah perkara besar (di sisi Allah). “Salah satu dari mereka disiksa karena ia suka menyebarkan namimah.” Nabi bersabda: “Namimah adalah menyebarkan perkataan di antara manusia.” (HR. Muslim). Maksudnya adalah menyampaikan ucapan orang lain, menyebarkan gosip, dan memindahkan pembicaraan dari satu orang ke orang lain. Sebagian orang diuji dengan perbuatan seperti ini. Semoga Allah menjaga kita. Jika seseorang datang membawa kabar dari orang lain, hendaknya ia tidak langsung menerimanya. Jangan menerimanya! Tunjukkan sikap bahwa ia tidak ingin mendengar ucapan semacam ini. Sebab, orang yang membawa kabar kepadamu, kelak akan menebar ucapanmu kepada orang-orang juga. Dia ingin mendengar komentarmu, lalu pergi dan menyampaikannya kepada orang lain. Lalu dia menyulut permusuhan dan kebencian di antara orang-orang. ===== وَالنَّمِيمَةُ هِيَ نَقْلُ الْكَلَامِ عَلَى وَجْهِ الإِفْسَادِ يَأْتِي إِلَى شَخْصٍ وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَهِيَ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ وَالْقَتَّاتُ النَّمَّامُ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ خَرَّجَ فِي الصَّحِيحَيْنِ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ أَلَا إِنَّهُ كَبِيرٌ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ قَالَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ يَعْنِي الْكَلَامُ بَيْنَ النَّاسِ الْقِيْلُ وَالْقَالُ وَنَقْلُ الْكَلَامِ وَهَذَا يُبْتَلَى بِهِ حَفِظَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ بَعْضُ النَّاسِ وَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ عِنْدَمَا يَأْتِي إِلَيْهِ شَخْصٌ يَنْقُلُ لَهُ كَلَامًا أَنْ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ وَيُظْهِرَ لَهُ بِأَنَّهُ لَا يُرِيدُ أَنْ يَسْمَعَ هَذَا الْكَلَامَ لِأَنَّ هَذَا الَّذِي نَقَلَ إِلَيْكَ سَوْفَ يَنْقُلُ عَنْكَ يُرِيدُ مِنْكَ كَلِمَةً ثُمَّ يَذْهَبُ وَيُخْبِرُ بِهَا الطَّرَفَ الْآخَرَ ثُمَّ يُوقِعُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ بَيْنَ النَّاسِ

Penyebar Gosip Tak Akan Masuk Surga! Jangan Biarkan Namimah Merusak Hidup Anda!

Namimah (adu domba) adalah menyampaikan perkataan dengan maksud merusak. Seseorang datang kepada orang lain dan berkata, “Si Fulan berkata ini dan itu.” Perbuatan ini termasuk dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga seorang Qattat (penyebar namimah).” (HR. Bukhari dan Muslim). Makna Qattat yakni orang yang suka melakukan namimah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika melewati dua kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena perkara besar (dianggap remeh oleh manusia).” Ketahuilah, itu adalah perkara besar (di sisi Allah). “Salah satu dari mereka disiksa karena ia suka menyebarkan namimah.” Nabi bersabda: “Namimah adalah menyebarkan perkataan di antara manusia.” (HR. Muslim). Maksudnya adalah menyampaikan ucapan orang lain, menyebarkan gosip, dan memindahkan pembicaraan dari satu orang ke orang lain. Sebagian orang diuji dengan perbuatan seperti ini. Semoga Allah menjaga kita. Jika seseorang datang membawa kabar dari orang lain, hendaknya ia tidak langsung menerimanya. Jangan menerimanya! Tunjukkan sikap bahwa ia tidak ingin mendengar ucapan semacam ini. Sebab, orang yang membawa kabar kepadamu, kelak akan menebar ucapanmu kepada orang-orang juga. Dia ingin mendengar komentarmu, lalu pergi dan menyampaikannya kepada orang lain. Lalu dia menyulut permusuhan dan kebencian di antara orang-orang. ===== وَالنَّمِيمَةُ هِيَ نَقْلُ الْكَلَامِ عَلَى وَجْهِ الإِفْسَادِ يَأْتِي إِلَى شَخْصٍ وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَهِيَ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ وَالْقَتَّاتُ النَّمَّامُ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ خَرَّجَ فِي الصَّحِيحَيْنِ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ أَلَا إِنَّهُ كَبِيرٌ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ قَالَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ يَعْنِي الْكَلَامُ بَيْنَ النَّاسِ الْقِيْلُ وَالْقَالُ وَنَقْلُ الْكَلَامِ وَهَذَا يُبْتَلَى بِهِ حَفِظَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ بَعْضُ النَّاسِ وَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ عِنْدَمَا يَأْتِي إِلَيْهِ شَخْصٌ يَنْقُلُ لَهُ كَلَامًا أَنْ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ وَيُظْهِرَ لَهُ بِأَنَّهُ لَا يُرِيدُ أَنْ يَسْمَعَ هَذَا الْكَلَامَ لِأَنَّ هَذَا الَّذِي نَقَلَ إِلَيْكَ سَوْفَ يَنْقُلُ عَنْكَ يُرِيدُ مِنْكَ كَلِمَةً ثُمَّ يَذْهَبُ وَيُخْبِرُ بِهَا الطَّرَفَ الْآخَرَ ثُمَّ يُوقِعُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ بَيْنَ النَّاسِ
Namimah (adu domba) adalah menyampaikan perkataan dengan maksud merusak. Seseorang datang kepada orang lain dan berkata, “Si Fulan berkata ini dan itu.” Perbuatan ini termasuk dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga seorang Qattat (penyebar namimah).” (HR. Bukhari dan Muslim). Makna Qattat yakni orang yang suka melakukan namimah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika melewati dua kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena perkara besar (dianggap remeh oleh manusia).” Ketahuilah, itu adalah perkara besar (di sisi Allah). “Salah satu dari mereka disiksa karena ia suka menyebarkan namimah.” Nabi bersabda: “Namimah adalah menyebarkan perkataan di antara manusia.” (HR. Muslim). Maksudnya adalah menyampaikan ucapan orang lain, menyebarkan gosip, dan memindahkan pembicaraan dari satu orang ke orang lain. Sebagian orang diuji dengan perbuatan seperti ini. Semoga Allah menjaga kita. Jika seseorang datang membawa kabar dari orang lain, hendaknya ia tidak langsung menerimanya. Jangan menerimanya! Tunjukkan sikap bahwa ia tidak ingin mendengar ucapan semacam ini. Sebab, orang yang membawa kabar kepadamu, kelak akan menebar ucapanmu kepada orang-orang juga. Dia ingin mendengar komentarmu, lalu pergi dan menyampaikannya kepada orang lain. Lalu dia menyulut permusuhan dan kebencian di antara orang-orang. ===== وَالنَّمِيمَةُ هِيَ نَقْلُ الْكَلَامِ عَلَى وَجْهِ الإِفْسَادِ يَأْتِي إِلَى شَخْصٍ وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَهِيَ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ وَالْقَتَّاتُ النَّمَّامُ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ خَرَّجَ فِي الصَّحِيحَيْنِ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ أَلَا إِنَّهُ كَبِيرٌ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ قَالَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ يَعْنِي الْكَلَامُ بَيْنَ النَّاسِ الْقِيْلُ وَالْقَالُ وَنَقْلُ الْكَلَامِ وَهَذَا يُبْتَلَى بِهِ حَفِظَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ بَعْضُ النَّاسِ وَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ عِنْدَمَا يَأْتِي إِلَيْهِ شَخْصٌ يَنْقُلُ لَهُ كَلَامًا أَنْ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ وَيُظْهِرَ لَهُ بِأَنَّهُ لَا يُرِيدُ أَنْ يَسْمَعَ هَذَا الْكَلَامَ لِأَنَّ هَذَا الَّذِي نَقَلَ إِلَيْكَ سَوْفَ يَنْقُلُ عَنْكَ يُرِيدُ مِنْكَ كَلِمَةً ثُمَّ يَذْهَبُ وَيُخْبِرُ بِهَا الطَّرَفَ الْآخَرَ ثُمَّ يُوقِعُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ بَيْنَ النَّاسِ


Namimah (adu domba) adalah menyampaikan perkataan dengan maksud merusak. Seseorang datang kepada orang lain dan berkata, “Si Fulan berkata ini dan itu.” Perbuatan ini termasuk dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga seorang Qattat (penyebar namimah).” (HR. Bukhari dan Muslim). Makna Qattat yakni orang yang suka melakukan namimah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika melewati dua kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena perkara besar (dianggap remeh oleh manusia).” Ketahuilah, itu adalah perkara besar (di sisi Allah). “Salah satu dari mereka disiksa karena ia suka menyebarkan namimah.” Nabi bersabda: “Namimah adalah menyebarkan perkataan di antara manusia.” (HR. Muslim). Maksudnya adalah menyampaikan ucapan orang lain, menyebarkan gosip, dan memindahkan pembicaraan dari satu orang ke orang lain. Sebagian orang diuji dengan perbuatan seperti ini. Semoga Allah menjaga kita. Jika seseorang datang membawa kabar dari orang lain, hendaknya ia tidak langsung menerimanya. Jangan menerimanya! Tunjukkan sikap bahwa ia tidak ingin mendengar ucapan semacam ini. Sebab, orang yang membawa kabar kepadamu, kelak akan menebar ucapanmu kepada orang-orang juga. Dia ingin mendengar komentarmu, lalu pergi dan menyampaikannya kepada orang lain. Lalu dia menyulut permusuhan dan kebencian di antara orang-orang. ===== وَالنَّمِيمَةُ هِيَ نَقْلُ الْكَلَامِ عَلَى وَجْهِ الإِفْسَادِ يَأْتِي إِلَى شَخْصٍ وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَقَالَ فُلَانٌ كَذَا وَهِيَ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ وَالْقَتَّاتُ النَّمَّامُ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ خَرَّجَ فِي الصَّحِيحَيْنِ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ أَلَا إِنَّهُ كَبِيرٌ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ قَالَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ يَعْنِي الْكَلَامُ بَيْنَ النَّاسِ الْقِيْلُ وَالْقَالُ وَنَقْلُ الْكَلَامِ وَهَذَا يُبْتَلَى بِهِ حَفِظَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ بَعْضُ النَّاسِ وَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ عِنْدَمَا يَأْتِي إِلَيْهِ شَخْصٌ يَنْقُلُ لَهُ كَلَامًا أَنْ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ لَا يَقْبَلَ مِنْهُ وَيُظْهِرَ لَهُ بِأَنَّهُ لَا يُرِيدُ أَنْ يَسْمَعَ هَذَا الْكَلَامَ لِأَنَّ هَذَا الَّذِي نَقَلَ إِلَيْكَ سَوْفَ يَنْقُلُ عَنْكَ يُرِيدُ مِنْكَ كَلِمَةً ثُمَّ يَذْهَبُ وَيُخْبِرُ بِهَا الطَّرَفَ الْآخَرَ ثُمَّ يُوقِعُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ بَيْنَ النَّاسِ

Mengenal Nama Allah “Al-Hadi”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Hadi“Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“Makna bahasa dari “Al-Hadi“Makna “Al-Hadi” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Dalam kehidupan ini, setiap manusia membutuhkan petunjuk agar dapat menempuh jalan yang benar dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Tanpa petunjuk, seseorang akan mudah tersesat. Oleh karena itu, Allah, dengan rahmat dan hikmah-Nya, memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Hadi, Zat Yang Maha Pemberi petunjuk. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Hadi, kandungan maknanya, serta konsekuensi dari sisi hamba dalam menyikapi nama yang agung ini. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita semua. Amin. Dalil nama Allah “Al-Hadi“ Nama Al-Hadi disebutkan dalam dua ayat dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 54) Kedua: Firman Allah Ta’ala, وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً “Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS. Al-Furqan: 31) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Hadi” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Hadi“ Al-Hadi merupakan bentuk isim fa’il (kata pelaku) dari kata ( هدى – يهدي – هُدًى وهَدْيًا وهِدايةً ). Artinya adalah ( الرَّشادُ والدّلالةُ ), yaitu petunjuk dan bimbingan. [2] Ibnu Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (هدي) الْهَاءُ وَالدَّالُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ: أَصْلَانِ [أَحَدُهُمَا] التَّقَدُّمُ لِلْإِرْشَادِ، وَالْآخَرُ بَعْثَةُ لَطَفٍ. “Kata ( هدي ) terdiri dari huruf ha’, dal, dan huruf mu’tal, memiliki dua akar makna: (1) mendahului untuk memberi petunjuk, dan (2) mengantarkan dengan kelembutan.” [3] Selain itu, al-huda juga bermakna penjelasan. [4] Sedangkan al-hadi ( الهادي ) secara bahasa bermakna ( الدليل ), yaitu pemberi petunjuk. [5] Makna “Al-Hadi” dalam konteks Allah Az-Zajjajiy (w. 337 H) rahimahullah mengatakan, الله عز وجل الهادي يهدي عباده إليه ويدلهم عليه وعلى سبيل الخير والأعمال المقربة منه عز وجل. “Allah Azza Wajalla adalah Al-Hadi, yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya menuju diri-Nya, menunjukkan mereka kepada-Nya, serta kepada jalan kebaikan dan amal-amal yang mendekatkan mereka kepada-Nya.” [6] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah al-Hajj ayat 55, {وَإِنَّ اللَّهَ ‌لَهَادِ ‌الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}أَيْ: فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَمَّا فِي الدُّنْيَا فَيُرْشِدُهُمْ إِلَى الْحَقِّ وَاتِّبَاعِهِ، وَيُوَفِّقُهُمْ لِمُخَالَفَةِ الْبَاطِلِ وَاجْتِنَابِهِ، وَفِي الْآخِرَةِ يَهْدِيهِمْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ، الْمُوصِلِ إِلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّاتِ، وَيُزَحْزِحُهُمْ عَنِ الْعَذَابِ الْأَلِيمِ وَالدَّرَكَاتِ. “{Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus}. Yaitu, di dunia dan akhirat. Di dunia, Allah menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menguatkan mereka untuk mengikutinya, serta memberikan taufik untuk menyelisihi kebatilan dan menjauhinya. Di akhirat, Allah akan membimbing mereka menuju Shirathal Mustaqim, jalan yang mengantarkan mereka kepada derajat-derajat surga, serta menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan jurang-jurangnya.” [7] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, «الهادي»: هو الذي يهدي عباده ويرشدهم ويدلهم إلى ما فيه سعادتهم في دنياهم وأخراهم، وهو الذي بهدايته اهتدى أهل ولايته إلى طاعته ورضاه، وهو الذي بهدايته اهتدى الحيوان لما يصلحه واتقى ما يضره. “Al-Hadi adalah Zat yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, membimbing mereka, serta menunjukkan mereka kepada segala sesuatu yang membawa kebahagiaan bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan hidayah-Nya, para wali-Nya mendapatkan petunjuk untuk menaati-Nya dan meraih keridaan-Nya. Dengan hidayah-Nya pula, seluruh hewan mengetahui hal yang bermanfaat baginya dan menjauhi hal yang membahayakannya.” [8] Kemudian, beliau hafidzahullaah merincinya dengan mengatakan, “Berikut ini penjelasan lebih mendalam mengenai macam-macam hidayah yang dikaitkan dengan Allah, sebagaimana tercakup dalam nama-Nya, “Al-Hadi”: Pertama: Hidayah ‘ammah (Petunjuk umum) Petunjuk yang diberikan Allah kepada setiap makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mempertahankan eksistensinya. Petunjuk ini mencakup seluruh hewan dan manusia, baik yang dapat berbicara maupun tidak, burung-burung di udara, binatang liar, dan seluruh makhluk hidup lainnya. Kedua: Hidayah irsyad wa bayan (Petunjuk berupa bimbingan dan penjelasan bagi mukallaf) Ini adalah hujah (bukti) Allah atas makhluk-Nya, yang menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Allah tidak akan menghukum seorang pun sebelum petunjuk ini ditegakkan kepadanya, yaitu dengan disampaikan kepadanya kebenaran melalui wahyu dan rasul. Ketiga: Hidayah taufiq wa ilham (Petunjuk berupa taufik, ilham, dan ketenangan hati untuk menerima kebenaran dan rida dengannya) Ini adalah petunjuk khusus dari Allah yang membuat seseorang mendapatkan taufik untuk menerima kebenaran, merasakan keimanan dalam hatinya, dan tunduk kepada perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Petunjuk ini tidak bisa diberikan oleh manusia, tetapi semata-mata adalah anugerah dari Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Keempat: Hidayah ke surga atau neraka pada hari kiamat Ini adalah petunjuk Allah kepada manusia di akhirat. Allah akan membimbing orang-orang beriman menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka, sementara orang-orang kafir akan digiring menuju azab yang telah ditetapkan bagi mereka.” [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Penetapan nama “Al-Hadi” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa Allah adalah Al-Hadi (Zat yang memberi petunjuk) Seorang hamba wajib meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, yang menjelaskan kepada mereka jalan kebenaran dan keimanan. Allah memberikan petunjuk ini melalui para rasul yang diutus-Nya, kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya, yang berisi firman-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya di langit dan bumi, dan semua bentuk hidayah yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua: Menaati Rasulullah ﷺ Seorang muslim tidak mungkin mendapatkan petunjuk, kecuali dengan mengikuti Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah, وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Dan jika kamu menaatinya (Rasulullah), niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Nur: 54) Mengikuti petunjuk Nabi ﷺ (mutaba’ah) adalah salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal saleh, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. [10] Ketiga: Merasakan kebergantungan dan kebutuhannya kepada Allah dalam mendapatkan petunjuk Seorang hamba harus menyadari betapa ia sangat membutuhkan Allah dalam segala urusannya, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Ia harus selalu meminta kepada Allah agar diberi petunjuk kepada jalan yang benar, serta dijauhkan dari kesesatan dan penyimpangan. Merenungkan makna nama “Al-Hadi” akan membuat seseorang semakin sadar bahwa tanpa petunjuk dari Allah, ia tidak akan mampu mencapai kebaikan dan keselamatan. [11] Keempat: Memperbanyak doa meminta hidayah dalam setiap keadaan Umat Islam diperintahkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah dalam setiap rakaat salatnya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Fatihah, اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ  صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7) Rasulullah ﷺ yang merupakan qudwah kita, beliau sering berdoa, اللهمَّ إني أسْألك الهُدَى والتُّقَى؛ والعَفافَ والغِنَى “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 2721) [12] Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan jalan mereka yang sesat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” *** Rumdin PPIA Sragen, 7 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [2] Al-Bayan, hal. 338; Al-Mishbah, hal. 654; Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 188. Lihat juga An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 933. [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) dalam Al-Mishbah Al-Munir, hal. 654. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 187. [6] ibid [7] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 446. [8] Fiqh Al-Asma’, hal. 133. [9] Ringkasan dari Fiqh Al-Asma’, hal. 134-136. [10] Disarikan dari An-Nahjul Asma, hal. 493. [11] Fiqh Al-Asma’, hal. 136. [12] Disarikan dari An-Nahju Al-Asma, hal. 495-497.

Mengenal Nama Allah “Al-Hadi”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Hadi“Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“Makna bahasa dari “Al-Hadi“Makna “Al-Hadi” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Dalam kehidupan ini, setiap manusia membutuhkan petunjuk agar dapat menempuh jalan yang benar dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Tanpa petunjuk, seseorang akan mudah tersesat. Oleh karena itu, Allah, dengan rahmat dan hikmah-Nya, memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Hadi, Zat Yang Maha Pemberi petunjuk. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Hadi, kandungan maknanya, serta konsekuensi dari sisi hamba dalam menyikapi nama yang agung ini. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita semua. Amin. Dalil nama Allah “Al-Hadi“ Nama Al-Hadi disebutkan dalam dua ayat dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 54) Kedua: Firman Allah Ta’ala, وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً “Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS. Al-Furqan: 31) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Hadi” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Hadi“ Al-Hadi merupakan bentuk isim fa’il (kata pelaku) dari kata ( هدى – يهدي – هُدًى وهَدْيًا وهِدايةً ). Artinya adalah ( الرَّشادُ والدّلالةُ ), yaitu petunjuk dan bimbingan. [2] Ibnu Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (هدي) الْهَاءُ وَالدَّالُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ: أَصْلَانِ [أَحَدُهُمَا] التَّقَدُّمُ لِلْإِرْشَادِ، وَالْآخَرُ بَعْثَةُ لَطَفٍ. “Kata ( هدي ) terdiri dari huruf ha’, dal, dan huruf mu’tal, memiliki dua akar makna: (1) mendahului untuk memberi petunjuk, dan (2) mengantarkan dengan kelembutan.” [3] Selain itu, al-huda juga bermakna penjelasan. [4] Sedangkan al-hadi ( الهادي ) secara bahasa bermakna ( الدليل ), yaitu pemberi petunjuk. [5] Makna “Al-Hadi” dalam konteks Allah Az-Zajjajiy (w. 337 H) rahimahullah mengatakan, الله عز وجل الهادي يهدي عباده إليه ويدلهم عليه وعلى سبيل الخير والأعمال المقربة منه عز وجل. “Allah Azza Wajalla adalah Al-Hadi, yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya menuju diri-Nya, menunjukkan mereka kepada-Nya, serta kepada jalan kebaikan dan amal-amal yang mendekatkan mereka kepada-Nya.” [6] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah al-Hajj ayat 55, {وَإِنَّ اللَّهَ ‌لَهَادِ ‌الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}أَيْ: فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَمَّا فِي الدُّنْيَا فَيُرْشِدُهُمْ إِلَى الْحَقِّ وَاتِّبَاعِهِ، وَيُوَفِّقُهُمْ لِمُخَالَفَةِ الْبَاطِلِ وَاجْتِنَابِهِ، وَفِي الْآخِرَةِ يَهْدِيهِمْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ، الْمُوصِلِ إِلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّاتِ، وَيُزَحْزِحُهُمْ عَنِ الْعَذَابِ الْأَلِيمِ وَالدَّرَكَاتِ. “{Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus}. Yaitu, di dunia dan akhirat. Di dunia, Allah menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menguatkan mereka untuk mengikutinya, serta memberikan taufik untuk menyelisihi kebatilan dan menjauhinya. Di akhirat, Allah akan membimbing mereka menuju Shirathal Mustaqim, jalan yang mengantarkan mereka kepada derajat-derajat surga, serta menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan jurang-jurangnya.” [7] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, «الهادي»: هو الذي يهدي عباده ويرشدهم ويدلهم إلى ما فيه سعادتهم في دنياهم وأخراهم، وهو الذي بهدايته اهتدى أهل ولايته إلى طاعته ورضاه، وهو الذي بهدايته اهتدى الحيوان لما يصلحه واتقى ما يضره. “Al-Hadi adalah Zat yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, membimbing mereka, serta menunjukkan mereka kepada segala sesuatu yang membawa kebahagiaan bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan hidayah-Nya, para wali-Nya mendapatkan petunjuk untuk menaati-Nya dan meraih keridaan-Nya. Dengan hidayah-Nya pula, seluruh hewan mengetahui hal yang bermanfaat baginya dan menjauhi hal yang membahayakannya.” [8] Kemudian, beliau hafidzahullaah merincinya dengan mengatakan, “Berikut ini penjelasan lebih mendalam mengenai macam-macam hidayah yang dikaitkan dengan Allah, sebagaimana tercakup dalam nama-Nya, “Al-Hadi”: Pertama: Hidayah ‘ammah (Petunjuk umum) Petunjuk yang diberikan Allah kepada setiap makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mempertahankan eksistensinya. Petunjuk ini mencakup seluruh hewan dan manusia, baik yang dapat berbicara maupun tidak, burung-burung di udara, binatang liar, dan seluruh makhluk hidup lainnya. Kedua: Hidayah irsyad wa bayan (Petunjuk berupa bimbingan dan penjelasan bagi mukallaf) Ini adalah hujah (bukti) Allah atas makhluk-Nya, yang menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Allah tidak akan menghukum seorang pun sebelum petunjuk ini ditegakkan kepadanya, yaitu dengan disampaikan kepadanya kebenaran melalui wahyu dan rasul. Ketiga: Hidayah taufiq wa ilham (Petunjuk berupa taufik, ilham, dan ketenangan hati untuk menerima kebenaran dan rida dengannya) Ini adalah petunjuk khusus dari Allah yang membuat seseorang mendapatkan taufik untuk menerima kebenaran, merasakan keimanan dalam hatinya, dan tunduk kepada perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Petunjuk ini tidak bisa diberikan oleh manusia, tetapi semata-mata adalah anugerah dari Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Keempat: Hidayah ke surga atau neraka pada hari kiamat Ini adalah petunjuk Allah kepada manusia di akhirat. Allah akan membimbing orang-orang beriman menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka, sementara orang-orang kafir akan digiring menuju azab yang telah ditetapkan bagi mereka.” [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Penetapan nama “Al-Hadi” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa Allah adalah Al-Hadi (Zat yang memberi petunjuk) Seorang hamba wajib meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, yang menjelaskan kepada mereka jalan kebenaran dan keimanan. Allah memberikan petunjuk ini melalui para rasul yang diutus-Nya, kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya, yang berisi firman-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya di langit dan bumi, dan semua bentuk hidayah yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua: Menaati Rasulullah ﷺ Seorang muslim tidak mungkin mendapatkan petunjuk, kecuali dengan mengikuti Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah, وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Dan jika kamu menaatinya (Rasulullah), niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Nur: 54) Mengikuti petunjuk Nabi ﷺ (mutaba’ah) adalah salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal saleh, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. [10] Ketiga: Merasakan kebergantungan dan kebutuhannya kepada Allah dalam mendapatkan petunjuk Seorang hamba harus menyadari betapa ia sangat membutuhkan Allah dalam segala urusannya, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Ia harus selalu meminta kepada Allah agar diberi petunjuk kepada jalan yang benar, serta dijauhkan dari kesesatan dan penyimpangan. Merenungkan makna nama “Al-Hadi” akan membuat seseorang semakin sadar bahwa tanpa petunjuk dari Allah, ia tidak akan mampu mencapai kebaikan dan keselamatan. [11] Keempat: Memperbanyak doa meminta hidayah dalam setiap keadaan Umat Islam diperintahkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah dalam setiap rakaat salatnya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Fatihah, اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ  صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7) Rasulullah ﷺ yang merupakan qudwah kita, beliau sering berdoa, اللهمَّ إني أسْألك الهُدَى والتُّقَى؛ والعَفافَ والغِنَى “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 2721) [12] Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan jalan mereka yang sesat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” *** Rumdin PPIA Sragen, 7 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [2] Al-Bayan, hal. 338; Al-Mishbah, hal. 654; Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 188. Lihat juga An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 933. [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) dalam Al-Mishbah Al-Munir, hal. 654. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 187. [6] ibid [7] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 446. [8] Fiqh Al-Asma’, hal. 133. [9] Ringkasan dari Fiqh Al-Asma’, hal. 134-136. [10] Disarikan dari An-Nahjul Asma, hal. 493. [11] Fiqh Al-Asma’, hal. 136. [12] Disarikan dari An-Nahju Al-Asma, hal. 495-497.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Hadi“Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“Makna bahasa dari “Al-Hadi“Makna “Al-Hadi” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Dalam kehidupan ini, setiap manusia membutuhkan petunjuk agar dapat menempuh jalan yang benar dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Tanpa petunjuk, seseorang akan mudah tersesat. Oleh karena itu, Allah, dengan rahmat dan hikmah-Nya, memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Hadi, Zat Yang Maha Pemberi petunjuk. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Hadi, kandungan maknanya, serta konsekuensi dari sisi hamba dalam menyikapi nama yang agung ini. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita semua. Amin. Dalil nama Allah “Al-Hadi“ Nama Al-Hadi disebutkan dalam dua ayat dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 54) Kedua: Firman Allah Ta’ala, وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً “Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS. Al-Furqan: 31) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Hadi” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Hadi“ Al-Hadi merupakan bentuk isim fa’il (kata pelaku) dari kata ( هدى – يهدي – هُدًى وهَدْيًا وهِدايةً ). Artinya adalah ( الرَّشادُ والدّلالةُ ), yaitu petunjuk dan bimbingan. [2] Ibnu Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (هدي) الْهَاءُ وَالدَّالُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ: أَصْلَانِ [أَحَدُهُمَا] التَّقَدُّمُ لِلْإِرْشَادِ، وَالْآخَرُ بَعْثَةُ لَطَفٍ. “Kata ( هدي ) terdiri dari huruf ha’, dal, dan huruf mu’tal, memiliki dua akar makna: (1) mendahului untuk memberi petunjuk, dan (2) mengantarkan dengan kelembutan.” [3] Selain itu, al-huda juga bermakna penjelasan. [4] Sedangkan al-hadi ( الهادي ) secara bahasa bermakna ( الدليل ), yaitu pemberi petunjuk. [5] Makna “Al-Hadi” dalam konteks Allah Az-Zajjajiy (w. 337 H) rahimahullah mengatakan, الله عز وجل الهادي يهدي عباده إليه ويدلهم عليه وعلى سبيل الخير والأعمال المقربة منه عز وجل. “Allah Azza Wajalla adalah Al-Hadi, yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya menuju diri-Nya, menunjukkan mereka kepada-Nya, serta kepada jalan kebaikan dan amal-amal yang mendekatkan mereka kepada-Nya.” [6] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah al-Hajj ayat 55, {وَإِنَّ اللَّهَ ‌لَهَادِ ‌الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}أَيْ: فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَمَّا فِي الدُّنْيَا فَيُرْشِدُهُمْ إِلَى الْحَقِّ وَاتِّبَاعِهِ، وَيُوَفِّقُهُمْ لِمُخَالَفَةِ الْبَاطِلِ وَاجْتِنَابِهِ، وَفِي الْآخِرَةِ يَهْدِيهِمْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ، الْمُوصِلِ إِلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّاتِ، وَيُزَحْزِحُهُمْ عَنِ الْعَذَابِ الْأَلِيمِ وَالدَّرَكَاتِ. “{Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus}. Yaitu, di dunia dan akhirat. Di dunia, Allah menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menguatkan mereka untuk mengikutinya, serta memberikan taufik untuk menyelisihi kebatilan dan menjauhinya. Di akhirat, Allah akan membimbing mereka menuju Shirathal Mustaqim, jalan yang mengantarkan mereka kepada derajat-derajat surga, serta menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan jurang-jurangnya.” [7] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, «الهادي»: هو الذي يهدي عباده ويرشدهم ويدلهم إلى ما فيه سعادتهم في دنياهم وأخراهم، وهو الذي بهدايته اهتدى أهل ولايته إلى طاعته ورضاه، وهو الذي بهدايته اهتدى الحيوان لما يصلحه واتقى ما يضره. “Al-Hadi adalah Zat yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, membimbing mereka, serta menunjukkan mereka kepada segala sesuatu yang membawa kebahagiaan bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan hidayah-Nya, para wali-Nya mendapatkan petunjuk untuk menaati-Nya dan meraih keridaan-Nya. Dengan hidayah-Nya pula, seluruh hewan mengetahui hal yang bermanfaat baginya dan menjauhi hal yang membahayakannya.” [8] Kemudian, beliau hafidzahullaah merincinya dengan mengatakan, “Berikut ini penjelasan lebih mendalam mengenai macam-macam hidayah yang dikaitkan dengan Allah, sebagaimana tercakup dalam nama-Nya, “Al-Hadi”: Pertama: Hidayah ‘ammah (Petunjuk umum) Petunjuk yang diberikan Allah kepada setiap makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mempertahankan eksistensinya. Petunjuk ini mencakup seluruh hewan dan manusia, baik yang dapat berbicara maupun tidak, burung-burung di udara, binatang liar, dan seluruh makhluk hidup lainnya. Kedua: Hidayah irsyad wa bayan (Petunjuk berupa bimbingan dan penjelasan bagi mukallaf) Ini adalah hujah (bukti) Allah atas makhluk-Nya, yang menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Allah tidak akan menghukum seorang pun sebelum petunjuk ini ditegakkan kepadanya, yaitu dengan disampaikan kepadanya kebenaran melalui wahyu dan rasul. Ketiga: Hidayah taufiq wa ilham (Petunjuk berupa taufik, ilham, dan ketenangan hati untuk menerima kebenaran dan rida dengannya) Ini adalah petunjuk khusus dari Allah yang membuat seseorang mendapatkan taufik untuk menerima kebenaran, merasakan keimanan dalam hatinya, dan tunduk kepada perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Petunjuk ini tidak bisa diberikan oleh manusia, tetapi semata-mata adalah anugerah dari Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Keempat: Hidayah ke surga atau neraka pada hari kiamat Ini adalah petunjuk Allah kepada manusia di akhirat. Allah akan membimbing orang-orang beriman menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka, sementara orang-orang kafir akan digiring menuju azab yang telah ditetapkan bagi mereka.” [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Penetapan nama “Al-Hadi” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa Allah adalah Al-Hadi (Zat yang memberi petunjuk) Seorang hamba wajib meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, yang menjelaskan kepada mereka jalan kebenaran dan keimanan. Allah memberikan petunjuk ini melalui para rasul yang diutus-Nya, kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya, yang berisi firman-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya di langit dan bumi, dan semua bentuk hidayah yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua: Menaati Rasulullah ﷺ Seorang muslim tidak mungkin mendapatkan petunjuk, kecuali dengan mengikuti Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah, وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Dan jika kamu menaatinya (Rasulullah), niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Nur: 54) Mengikuti petunjuk Nabi ﷺ (mutaba’ah) adalah salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal saleh, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. [10] Ketiga: Merasakan kebergantungan dan kebutuhannya kepada Allah dalam mendapatkan petunjuk Seorang hamba harus menyadari betapa ia sangat membutuhkan Allah dalam segala urusannya, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Ia harus selalu meminta kepada Allah agar diberi petunjuk kepada jalan yang benar, serta dijauhkan dari kesesatan dan penyimpangan. Merenungkan makna nama “Al-Hadi” akan membuat seseorang semakin sadar bahwa tanpa petunjuk dari Allah, ia tidak akan mampu mencapai kebaikan dan keselamatan. [11] Keempat: Memperbanyak doa meminta hidayah dalam setiap keadaan Umat Islam diperintahkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah dalam setiap rakaat salatnya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Fatihah, اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ  صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7) Rasulullah ﷺ yang merupakan qudwah kita, beliau sering berdoa, اللهمَّ إني أسْألك الهُدَى والتُّقَى؛ والعَفافَ والغِنَى “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 2721) [12] Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan jalan mereka yang sesat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” *** Rumdin PPIA Sragen, 7 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [2] Al-Bayan, hal. 338; Al-Mishbah, hal. 654; Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 188. Lihat juga An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 933. [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) dalam Al-Mishbah Al-Munir, hal. 654. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 187. [6] ibid [7] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 446. [8] Fiqh Al-Asma’, hal. 133. [9] Ringkasan dari Fiqh Al-Asma’, hal. 134-136. [10] Disarikan dari An-Nahjul Asma, hal. 493. [11] Fiqh Al-Asma’, hal. 136. [12] Disarikan dari An-Nahju Al-Asma, hal. 495-497.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Hadi“Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“Makna bahasa dari “Al-Hadi“Makna “Al-Hadi” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Dalam kehidupan ini, setiap manusia membutuhkan petunjuk agar dapat menempuh jalan yang benar dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Tanpa petunjuk, seseorang akan mudah tersesat. Oleh karena itu, Allah, dengan rahmat dan hikmah-Nya, memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Hadi, Zat Yang Maha Pemberi petunjuk. Dalam artikel ini, kita akan mengupas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah Al-Hadi, kandungan maknanya, serta konsekuensi dari sisi hamba dalam menyikapi nama yang agung ini. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita semua. Amin. Dalil nama Allah “Al-Hadi“ Nama Al-Hadi disebutkan dalam dua ayat dalam Al-Qur’an, yaitu: Pertama: Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 54) Kedua: Firman Allah Ta’ala, وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً “Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS. Al-Furqan: 31) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Hadi“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Hadi” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Hadi“ Al-Hadi merupakan bentuk isim fa’il (kata pelaku) dari kata ( هدى – يهدي – هُدًى وهَدْيًا وهِدايةً ). Artinya adalah ( الرَّشادُ والدّلالةُ ), yaitu petunjuk dan bimbingan. [2] Ibnu Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (هدي) الْهَاءُ وَالدَّالُ وَالْحَرْفُ الْمُعْتَلُّ: أَصْلَانِ [أَحَدُهُمَا] التَّقَدُّمُ لِلْإِرْشَادِ، وَالْآخَرُ بَعْثَةُ لَطَفٍ. “Kata ( هدي ) terdiri dari huruf ha’, dal, dan huruf mu’tal, memiliki dua akar makna: (1) mendahului untuk memberi petunjuk, dan (2) mengantarkan dengan kelembutan.” [3] Selain itu, al-huda juga bermakna penjelasan. [4] Sedangkan al-hadi ( الهادي ) secara bahasa bermakna ( الدليل ), yaitu pemberi petunjuk. [5] Makna “Al-Hadi” dalam konteks Allah Az-Zajjajiy (w. 337 H) rahimahullah mengatakan, الله عز وجل الهادي يهدي عباده إليه ويدلهم عليه وعلى سبيل الخير والأعمال المقربة منه عز وجل. “Allah Azza Wajalla adalah Al-Hadi, yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya menuju diri-Nya, menunjukkan mereka kepada-Nya, serta kepada jalan kebaikan dan amal-amal yang mendekatkan mereka kepada-Nya.” [6] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah al-Hajj ayat 55, {وَإِنَّ اللَّهَ ‌لَهَادِ ‌الَّذِينَ آمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}أَيْ: فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَمَّا فِي الدُّنْيَا فَيُرْشِدُهُمْ إِلَى الْحَقِّ وَاتِّبَاعِهِ، وَيُوَفِّقُهُمْ لِمُخَالَفَةِ الْبَاطِلِ وَاجْتِنَابِهِ، وَفِي الْآخِرَةِ يَهْدِيهِمْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ، الْمُوصِلِ إِلَى دَرَجَاتِ الْجَنَّاتِ، وَيُزَحْزِحُهُمْ عَنِ الْعَذَابِ الْأَلِيمِ وَالدَّرَكَاتِ. “{Dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus}. Yaitu, di dunia dan akhirat. Di dunia, Allah menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menguatkan mereka untuk mengikutinya, serta memberikan taufik untuk menyelisihi kebatilan dan menjauhinya. Di akhirat, Allah akan membimbing mereka menuju Shirathal Mustaqim, jalan yang mengantarkan mereka kepada derajat-derajat surga, serta menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan jurang-jurangnya.” [7] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, «الهادي»: هو الذي يهدي عباده ويرشدهم ويدلهم إلى ما فيه سعادتهم في دنياهم وأخراهم، وهو الذي بهدايته اهتدى أهل ولايته إلى طاعته ورضاه، وهو الذي بهدايته اهتدى الحيوان لما يصلحه واتقى ما يضره. “Al-Hadi adalah Zat yang memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, membimbing mereka, serta menunjukkan mereka kepada segala sesuatu yang membawa kebahagiaan bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan hidayah-Nya, para wali-Nya mendapatkan petunjuk untuk menaati-Nya dan meraih keridaan-Nya. Dengan hidayah-Nya pula, seluruh hewan mengetahui hal yang bermanfaat baginya dan menjauhi hal yang membahayakannya.” [8] Kemudian, beliau hafidzahullaah merincinya dengan mengatakan, “Berikut ini penjelasan lebih mendalam mengenai macam-macam hidayah yang dikaitkan dengan Allah, sebagaimana tercakup dalam nama-Nya, “Al-Hadi”: Pertama: Hidayah ‘ammah (Petunjuk umum) Petunjuk yang diberikan Allah kepada setiap makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mempertahankan eksistensinya. Petunjuk ini mencakup seluruh hewan dan manusia, baik yang dapat berbicara maupun tidak, burung-burung di udara, binatang liar, dan seluruh makhluk hidup lainnya. Kedua: Hidayah irsyad wa bayan (Petunjuk berupa bimbingan dan penjelasan bagi mukallaf) Ini adalah hujah (bukti) Allah atas makhluk-Nya, yang menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Allah tidak akan menghukum seorang pun sebelum petunjuk ini ditegakkan kepadanya, yaitu dengan disampaikan kepadanya kebenaran melalui wahyu dan rasul. Ketiga: Hidayah taufiq wa ilham (Petunjuk berupa taufik, ilham, dan ketenangan hati untuk menerima kebenaran dan rida dengannya) Ini adalah petunjuk khusus dari Allah yang membuat seseorang mendapatkan taufik untuk menerima kebenaran, merasakan keimanan dalam hatinya, dan tunduk kepada perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Petunjuk ini tidak bisa diberikan oleh manusia, tetapi semata-mata adalah anugerah dari Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Keempat: Hidayah ke surga atau neraka pada hari kiamat Ini adalah petunjuk Allah kepada manusia di akhirat. Allah akan membimbing orang-orang beriman menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka, sementara orang-orang kafir akan digiring menuju azab yang telah ditetapkan bagi mereka.” [9] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Hadi” bagi hamba Penetapan nama “Al-Hadi” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman bahwa Allah adalah Al-Hadi (Zat yang memberi petunjuk) Seorang hamba wajib meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, yang menjelaskan kepada mereka jalan kebenaran dan keimanan. Allah memberikan petunjuk ini melalui para rasul yang diutus-Nya, kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya, yang berisi firman-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya di langit dan bumi, dan semua bentuk hidayah yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua: Menaati Rasulullah ﷺ Seorang muslim tidak mungkin mendapatkan petunjuk, kecuali dengan mengikuti Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah, وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Dan jika kamu menaatinya (Rasulullah), niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Nur: 54) Mengikuti petunjuk Nabi ﷺ (mutaba’ah) adalah salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal saleh, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. [10] Ketiga: Merasakan kebergantungan dan kebutuhannya kepada Allah dalam mendapatkan petunjuk Seorang hamba harus menyadari betapa ia sangat membutuhkan Allah dalam segala urusannya, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Ia harus selalu meminta kepada Allah agar diberi petunjuk kepada jalan yang benar, serta dijauhkan dari kesesatan dan penyimpangan. Merenungkan makna nama “Al-Hadi” akan membuat seseorang semakin sadar bahwa tanpa petunjuk dari Allah, ia tidak akan mampu mencapai kebaikan dan keselamatan. [11] Keempat: Memperbanyak doa meminta hidayah dalam setiap keadaan Umat Islam diperintahkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah dalam setiap rakaat salatnya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Fatihah, اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ  صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7) Rasulullah ﷺ yang merupakan qudwah kita, beliau sering berdoa, اللهمَّ إني أسْألك الهُدَى والتُّقَى؛ والعَفافَ والغِنَى “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 2721) [12] Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan jalan mereka yang sesat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” *** Rumdin PPIA Sragen, 7 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [2] Al-Bayan, hal. 338; Al-Mishbah, hal. 654; Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 188. Lihat juga An-Nahju Al-Asma, hal. 491. [3] Maqayis Al-Lughah, hal. 933. [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) dalam Al-Mishbah Al-Munir, hal. 654. [5] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 187. [6] ibid [7] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 446. [8] Fiqh Al-Asma’, hal. 133. [9] Ringkasan dari Fiqh Al-Asma’, hal. 134-136. [10] Disarikan dari An-Nahjul Asma, hal. 493. [11] Fiqh Al-Asma’, hal. 136. [12] Disarikan dari An-Nahju Al-Asma, hal. 495-497.

Biografi Imam Al-Qurthubi

Daftar Isi Toggle Masa kecil dan pendidikan beliauPerangai dan akhlak beliauSederhanaBerani dan teguh di atas kebenaranDisiplin dan tekun dalam menuntut ilmuJujur dan amanah dalam keilmuanGuru-guru Imam Al-QurthubiGuru-guru beliau di AndalusiaIbnu Abi HujjahIbnu UbayHakim Abu Al-Hasan Ali bin QathralGuru-guru beliau di MesirAbu Al-Abbas Al-QurthubiAbu Muhammad Abdul Wahhab bin RawajIbnu Al-JumayziDi antara murid-murid Imam Al-QurthubiDi antara karya beliau yang fenomenalWafat beliau rahimahullah Seorang penuntut ilmu yang menggeluti bidang tafsir pasti tidak asing dengan kitab berjudul, “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, sebuah kitab tafsir fenomenal yang sering disebut para ulama dan dijadikan referensi di dalam karya-karya mereka. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan,  أَمرَنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أنْ نُنزِّلَ الناسَ مَنازلَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menempatkan orang sesuai dengan kedudukan mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya, 8: 246; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 4: 379; dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 7: 462) Sungguh aib bagi seseorang yang mengetahui judul sebuah kitab namun tidak mengetahui perihal penulis dan pengarangnya. Oleh karena itu, izinkan kami dalam artikel kali ini untuk berbagi pengetahuan mengenai kisah hidup dan perjalanan hidup penulis dari kitab “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, salah seorang imam besar tafsir yang pendapatnya menjadi acuan dan rujukan ulama’ di berbagai bidang. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi, seorang ahli tafsir terkemuka dari belahan bumi Eropa, tepatnya dari semenanjung Iberia, yang saat ini terletak di negeri Spanyol dan Portugal. Tidak ada yg menyebutkan secara pasti kapan beliau dilahirkan, akan tetapi muhaqqiq kitab “At-Tidzkar fi Afdal Al-Adzkar lil Qurthubi”, Basyir Uyun, memperkirakan bahwa beliau lahir sekitar akhir abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah. Masa kecil dan pendidikan beliau Beliau rahimahullah lahir dan besar di Cordoba, Andalusia, pada masa kepemimpinan dinasti Al-Muwahhidun. Beliau menetap di Andalusia hingga mendapati runtuhnya Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Franka pada tahun 633 Hijriah. Lalu beliau meninggalkan tanah kelahirannya tersebut dan berpindah ke Mesir dan menetap di sana. Pada saat itu, Mesir menjadi pusat keilmuan Islam, sehingga beliau dimungkinkan untuk menimba ilmu dan belajar dari ulama-ulama besar di sana hingga wafat. Di dalam kitab Nafhu At-Thayyib disebutkan, “Dan telah masyhur diketahui bahwa Andalusia, khususnya Cordoba, adalah kiblat, pusat peradaban, tempat berdiamnya dan tinggalnya orang-orang yang memiliki keutamaan dan ketakwaan, tanah air bagi orang-orang berilmu dan bijaksana, jantung wilayah, sumber mata air ilmu pengetahuan yang memancar, dan dari ufuknya muncul bintang-bintang yang menerangi bumi, yaitu tokoh-tokoh di zamannya, para ksatria syair dan prosa. Dan di sanalah karya-karya besar diciptakan, dan berbagai karya dalam berbagai bidang ilmu disusun. Telah masyhur pula bahwa Andalusia adalah negeri yang paling banyak memiliki buku, dan penduduknya adalah orang-orang yang paling peduli dengan perpustakaan, dan merupakan pusat perbelanjaan kitab yang paling laris. Sampai-sampai dikatakan, “Jika ada seorang ilmuwan meninggal di Seville dan buku-bukunya ingin dijual, maka buku-buku itu dibawa ke Cordoba untuk dijual di sana.” Sejak kecil, Imam Al-Qurthubi sangat mencintai ilmu agama dan bahasa Arab. Di Córdoba beliau belajar bahasa Arab, syair, serta Al-Qur’an. Ia memperoleh wawasan luas dalam bidang ilmu fikih, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at dari para ulama terkenal di zamannya. Setelah ayahnya wafat pada tahun 627 H, ia hidup mandiri dan pernah bekerja sebagai pengangkut batu bata untuk pembuatan tembikar, salah satu industri tradisional di Córdoba saat itu. Perangai dan akhlak beliau Sederhana Imam Al-Qurthubi rahimahullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara’. Para sejarawan banyak memuji dan menyanjungnya karena sikap beliau yang menjauhi dunia dan hanya fokus pada kehidupan akhirat. Ibnu Farhun berkata, “Ia termasuk hamba Allah yang saleh, ulama yang bertakwa, serta menjauhi kesenangan dunia dan sibuk dengan urusan akhirat.” (Ad-Diibaj Al-Madzhab, hal. 671) Dalam kitab-kitabnya, beliau sering memberikan kritik terhadap penyimpangan moral, ketidakadilan, dan jauhnya masyarakat dari norma agama pada zamannya. Bukti kezuhudan beliau juga terlihat dalam karyanya seperti “Manhaj Al-Ubbad wa Mahajjah As-Saalikin Az-Zuhhad” dan “At-Tadzkirah bi Ahwal Al-Mauta wa Umuur Al-Aakhirah.” Imam Al-Qurthubi tidak hidup dalam kemewahan. Ia memakai pakaian sederhana dan tidak berlebihan dalam berpenampilan, yang artinya menunjukkan bahwa ia tidak tergoda oleh kekayaan dunia. Berani dan teguh di atas kebenaran Imam Al-Qurthubi adalah sosok yang pemberani, beliau tidak takut menyampaikan kebenaran, memberikan nasihat kepada penguasa di zamannya yang menyimpang dari jalan yang lurus; baik itu melakukan kezaliman, menerima suap, ataupun lebih mengutamakan non-muslim dalam pemerintahan. Dalam kitabnya, At-Tadzkirah, beliau menulis, هذا هو الزمان الذي استولى فيه الباطل على الحق، وتغلَّب فيه العبيد على الأحرار من الخلق، فباعوا الأحكام، ورضي بذلك منهم الحكام، فصار الحكم مكسًا، والحق عكسًا لا يوصل إليه، ولا يقدر عليه، بدَّلوا دين الله، وغيَّروا حكم الله، سمَّاعون للكذب أكَّالون للسحت ((وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)). “Inilah zaman di mana kebatilan mengalahkan kebenaran, budak menguasai orang merdeka, hukum dijual, dan para penguasa rida dengan hal itu dari mereka, maka hukum menjadi sama dengan pungutan liar, dan kebenaran diputarbalikkan sehingga tidak tercapai hukum yang benar. Para penegak hukum pun tidak berdaya karena hal tersebut. Mereka mengganti agama Allah serta mengubah hukum Allah, mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang haram. Kemudian beliau membacakan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).” Disiplin dan tekun dalam menuntut ilmu Imam Al-Qurthubi menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar, mengajar, dan menulis tanpa mengenal lelah. Para sejarawan menggambarkannya sebagai orang yang waktunya diisi dengan ibadah, penelitian, dan menulis karya ilmiah. Beliau sangat gemar membaca dan mengumpulkan buku. Beliau banyak mengutip dari kitab-kitab ulama besar seperti Ibnu ’Abdi Al-Barr dan Ibn Al-’Arabi. Jujur dan amanah dalam keilmuan Beliau dikenal sangat jujur dalam keilmuan. Beliau selalu menulis dan mencantumkan sumber pendapat yang ia ambil dan menyebut nama pemilik aslinya. Beliau menyampaikan di dalam kitab tafsirnya, وشرطي في هذا الكتاب إضافة الأقوال إلى قائليها، والأحاديث إلى مصنفيها، فإنه يقال: من بركة العلم أن يضاف إلى قائله “Dan syaratku dalam kitab ini, aku berusaha menisbatkan dan menyandarkan setiap pendapat kepada pemiliknya dan setiap hadis kepada perawinya, karena pernah dikatakan bahwa salah satu keberkahan ilmu adalah dengan menyandarkan sebuah perkataan kepada pemiliknya.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an al-Karim, 1: 3) Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah Guru-guru Imam Al-Qurthubi Secara umum, guru-guru beliau dapat kita bagi berdasarkan tempatnya menjadi 2 tempat: Guru-guru beliau di Andalusia Ibnu Abi Hujjah Beliau adalah Syekh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Qaisi, yang dikenal sebagai Ibnu Abi Hujjah, yang berasal dari Cordoba. Beliau memimpin pengajaran Al-Qur’an dan bahasa Arab, dan pindah ke Sevilla setelah jatuhnya Cordoba. Beliau ditawan oleh orang-orang Romawi di laut, disiksa, dan meninggal dunia setelah itu di Mallorca. Di antara karya-karyanya adalah: “Tasdid al-Lisan li-Dzikr Anwa’ Al-Bayan” (Pelurusan Lidah dalam Menyebutkan Jenis-Jenis Penjelasan); “Tafhim Al-Qulub Aayaat ‘Allam Al-Ghuyub” (Memahamkan Hati tentang Ayat-Ayat Sang Maha Mengetahui yang Gaib); “Mukhtashar At-Tabshirah fi Al-Qira’at” (Ringkasan Al-Tabshirah dalam Qira’at). Imam Al-Qurthubi memperoleh 7 sanad qira’at dari gurunya ini. Beliau adalah guru pertama yang ditanya oleh Imam Al-Qurthubi tentang tatacara memandikan dan menyalatkan jenazah ayahnya, yang terbunuh dalam serangan mendadak yang dilancarkan musuh ke Cordoba. Al-Qurthubi berkata, “Saya bertanya kepada guru kami, ahli qira’at, Ustadz Abu Ja’far Ahmad, yang dikenal sebagai Abu Hujjah, dan beliau menjawab, ‘Mandikan dan salatkanlah jenazahnya, karena ayahmu tidak terbunuh karena ikut berperang dalam pertempuran antara dua barisan …'” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurthubi, 4: 272. Masalah kelima dari tafsir ayat 169 dan 170 dari Surah Ali Imran) Ibnu Abi Hujjah wafat pada tahun 643 H. Ibnu Ubay Rabi’ bin Ahmad bin Rabi’ Al-Asywi, berasal dari Cordoba dan merupakan seorang hakim di sana. Beliau adalah seorang yang saleh, adil dalam memberikan keputusan serta memiliki pengetahuan yang luas. Beliau juga memiliki kontribusi dalam ilmu hadis. Setelah bertanya kepada Ibnu Abi Hujjah tentang tatacara memandikan jenazah ayahnya, Imam Al-Qurthubi juga bertanya kepadanya. Beliau menjawab, “Hukumnya sama dengan hukum orang-orang yang terbunuh dalam pertempuran (tidak dimandikan)…” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurtubi, 4: 272) Setelah jatuhnya Cordoba, beliau pindah ke Sevilla dan wafat di sana. Hakim Abu Al-Hasan Ali bin Qathral Beliau adalah Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Qurthubi, yang dikenal sebagai Ibnu Qathral, seorang ahli fikih bermazhab Maliki. Guru-guru beliau di Mesir Abu Al-Abbas Al-Qurthubi Beliau adalah Al-Abbas Dhiya’uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim bin Umar Al-Anshari Al-Qurthubi. Beliau merupakan tokoh terkemuka ahli fikih bermazhab Maliki. Beliau lahir di Cordoba dan pindah bersama ayahnya dari Andalusia pada usia muda. Beliau banyak mendengar hadis di kota Mekkah, Madinah, dan tempat-tempat lainnya. Kemudian beliau menetap di Alexandria dan mengajar di sana. Beliau mahir di bidang ilmu fikih, bahasa Arab, dan ilmu hadis. Di antara karya-karyanya yang paling penting adalah “Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim” (Pemahaman tentang Apa yang Sulit Dipahami dari Ringkasan Kitab Muslim). Beliau wafat pada tahun 656 H dan Al-Qurthubi pernah menyebutkannya dalam tafsirnya. Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Rawaj Beliau adalah Syekh Rasyiduddin Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Zhafir bin Fattuh bin Abi Al-Hasan Al-Qurasyi bin Rawaj Al-Iskandaraani Al-Maliki. Beliau adalah seorang ahli fikih dan ahli hadis. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata tentang beliau, “Banyak penuntut ilmu yang mengambil ilmu dari beliau, di antaranya adalah Abu Abdillah Al-Qurthubi.” (Thabaqat Al-Mufassiriin, hal. 39) Ibnu Al-Jumayzi Beliau adalah Bahauddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al-Lakhmi. Beliau dikenal sebagai Ibnu Al-Jumayzi. Beliau hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun lalu melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Beliau adalah seorang imam dalam bidang fikih, hadis, qira’at, dan nahwu. Beliau wafat pada tahun 649 Hijriah. Di antara murid-murid Imam Al-Qurthubi Hampir tidak ada kitab biografi  yang  menyebutkan nama murid-murid Imam Al-Qurthubi yang mengambil ilmu kepada beliau, kecuali Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Thabaqat Al-Mufassirin”. Beliau menyebutkan salah satu murid beliau rahimahullah, yaitu putra dari Imam Al-Qurthubi sendiri. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Dan putranya, Syihabuddin Ahmad, meriwayatkan dari beliau dengan metode ijazah.” Sumber-sumber tersebut juga tidak menyebutkan bahwa Imam Al-Qurthubi pernah duduk untuk mengajar di negara mana pun yang pernah ia tinggali. Kita tidak mengetahui apa rahasianya, apakah Imam Al-Qurthubi benar-benar tidak memiliki halaqah pelajaran atau murid dan perhatiannya hanya terfokus pada penulisan dan menuntut ilmu? Dan mereka hanya menyebutkan putranya sebagai satu-satunya muridnya dikarenakan ia selalu bersamanya di rumah? Hal ini sangatlah tidak mungkin, namun ini adalah pertanyaan dan masalah yang diajukan oleh para peneliti tatkala menelusuri kehidupan imam dan ulama besar ini, terutama kita sama-sama tahu bahwa negara tempat Imam Al-Qurthubi menetap hingga wafatnya adalah tempat yang dikenal sebagai “Minyat Bani Khusaib,” dan itu adalah negara yang penuh dengan pelajaran, ilmu, lingkaran (halaqah) pengajian, dan diskusi ilmiah. Namun demikian, pertanyaan itu tetap ada: mengapa buku-buku biografi mengabaikan murid-murid seorang imam besar seperti Imam Al-Qurthubi? Semoga di kesempatan mendatang ada peneliti-peneliti yang dapat memberikan kita faidah dan wawasan baru mengenai hal ini. Wabillahi At-Taufiiq. Di antara karya beliau yang fenomenal Pertama, karya beliau yang paling terkenal adalah kitab di bidang tafsir, yaitu kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Dalam tafsirnya, beliau tidak hanya menyebutkan riwayat dari Rasulullah dan sahabat saja, beliau juga menggunakan berbagai ilmu seperti bahasa Arab, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at. Beliau juga membahas ayat-ayat secara mendalam dengan membagi tafsirnya ke dalam beberapa bab. Ibnu Farhun mengatakan, وهو من أجلِّ التفاسير وأعظمها نفعًا، أسقط منه القصص والتواريخ، وأثبت عوضها أحكام القرآن واستنباط الأدلة، وذكر القراءات والإعراب، والناسخ والمنسوخ “Dan itu adalah salah satu tafsir yang paling mulia dan paling bermanfaat, beliau menghilangkan kisah-kisah dan sejarah darinya, dan menggantinya dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan penggalian dalil-dalil yang mendalam, serta menyebutkan bacaan-bacaan (qira’at), i’rab, dan nasikh mansukh (dari sebuah hukum).” (Ad-Dibaj Al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yan Ulama Al-Mazhab, hal. 317) Kedua, At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah (Berbicara mengenai kematian dan kehidupan akhirat). Ketiga, At-Tadzkir fi Afdhal Al-Adzkar (Tentang dzikir). Keempat, Al-Asnaa fi Syarhi Asma’ Allah Al-Husna wa Shifatuhu Al-Ulyaa (Mengenai Asma’ dan Sifat Allah Ta’ala). Kelima, Al-I’lam bima fi Diin An-Nasaraa min Al-Mafasid wa Al-Awham (Tentang kebatilan dalam ajaran Nasrani). Wafat beliau rahimahullah Setelah Imam Al-Qurthubi menghabiskan hampir seluruh umurnya dalam belajar, beribadah, dan menulis, beliau rahimahullah wafat di Munyat Bani Khasib (sekarang Minya, Mesir) pada malam Senin, 9 Syawal 671 H. Makamnya berada di Minya, di sebelah timur Sungai Nil. Rahimahullah rahmatan wasiah. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir *** Penulis: Muhammad Idris Artikel Muslim.or.id

Biografi Imam Al-Qurthubi

Daftar Isi Toggle Masa kecil dan pendidikan beliauPerangai dan akhlak beliauSederhanaBerani dan teguh di atas kebenaranDisiplin dan tekun dalam menuntut ilmuJujur dan amanah dalam keilmuanGuru-guru Imam Al-QurthubiGuru-guru beliau di AndalusiaIbnu Abi HujjahIbnu UbayHakim Abu Al-Hasan Ali bin QathralGuru-guru beliau di MesirAbu Al-Abbas Al-QurthubiAbu Muhammad Abdul Wahhab bin RawajIbnu Al-JumayziDi antara murid-murid Imam Al-QurthubiDi antara karya beliau yang fenomenalWafat beliau rahimahullah Seorang penuntut ilmu yang menggeluti bidang tafsir pasti tidak asing dengan kitab berjudul, “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, sebuah kitab tafsir fenomenal yang sering disebut para ulama dan dijadikan referensi di dalam karya-karya mereka. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan,  أَمرَنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أنْ نُنزِّلَ الناسَ مَنازلَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menempatkan orang sesuai dengan kedudukan mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya, 8: 246; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 4: 379; dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 7: 462) Sungguh aib bagi seseorang yang mengetahui judul sebuah kitab namun tidak mengetahui perihal penulis dan pengarangnya. Oleh karena itu, izinkan kami dalam artikel kali ini untuk berbagi pengetahuan mengenai kisah hidup dan perjalanan hidup penulis dari kitab “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, salah seorang imam besar tafsir yang pendapatnya menjadi acuan dan rujukan ulama’ di berbagai bidang. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi, seorang ahli tafsir terkemuka dari belahan bumi Eropa, tepatnya dari semenanjung Iberia, yang saat ini terletak di negeri Spanyol dan Portugal. Tidak ada yg menyebutkan secara pasti kapan beliau dilahirkan, akan tetapi muhaqqiq kitab “At-Tidzkar fi Afdal Al-Adzkar lil Qurthubi”, Basyir Uyun, memperkirakan bahwa beliau lahir sekitar akhir abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah. Masa kecil dan pendidikan beliau Beliau rahimahullah lahir dan besar di Cordoba, Andalusia, pada masa kepemimpinan dinasti Al-Muwahhidun. Beliau menetap di Andalusia hingga mendapati runtuhnya Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Franka pada tahun 633 Hijriah. Lalu beliau meninggalkan tanah kelahirannya tersebut dan berpindah ke Mesir dan menetap di sana. Pada saat itu, Mesir menjadi pusat keilmuan Islam, sehingga beliau dimungkinkan untuk menimba ilmu dan belajar dari ulama-ulama besar di sana hingga wafat. Di dalam kitab Nafhu At-Thayyib disebutkan, “Dan telah masyhur diketahui bahwa Andalusia, khususnya Cordoba, adalah kiblat, pusat peradaban, tempat berdiamnya dan tinggalnya orang-orang yang memiliki keutamaan dan ketakwaan, tanah air bagi orang-orang berilmu dan bijaksana, jantung wilayah, sumber mata air ilmu pengetahuan yang memancar, dan dari ufuknya muncul bintang-bintang yang menerangi bumi, yaitu tokoh-tokoh di zamannya, para ksatria syair dan prosa. Dan di sanalah karya-karya besar diciptakan, dan berbagai karya dalam berbagai bidang ilmu disusun. Telah masyhur pula bahwa Andalusia adalah negeri yang paling banyak memiliki buku, dan penduduknya adalah orang-orang yang paling peduli dengan perpustakaan, dan merupakan pusat perbelanjaan kitab yang paling laris. Sampai-sampai dikatakan, “Jika ada seorang ilmuwan meninggal di Seville dan buku-bukunya ingin dijual, maka buku-buku itu dibawa ke Cordoba untuk dijual di sana.” Sejak kecil, Imam Al-Qurthubi sangat mencintai ilmu agama dan bahasa Arab. Di Córdoba beliau belajar bahasa Arab, syair, serta Al-Qur’an. Ia memperoleh wawasan luas dalam bidang ilmu fikih, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at dari para ulama terkenal di zamannya. Setelah ayahnya wafat pada tahun 627 H, ia hidup mandiri dan pernah bekerja sebagai pengangkut batu bata untuk pembuatan tembikar, salah satu industri tradisional di Córdoba saat itu. Perangai dan akhlak beliau Sederhana Imam Al-Qurthubi rahimahullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara’. Para sejarawan banyak memuji dan menyanjungnya karena sikap beliau yang menjauhi dunia dan hanya fokus pada kehidupan akhirat. Ibnu Farhun berkata, “Ia termasuk hamba Allah yang saleh, ulama yang bertakwa, serta menjauhi kesenangan dunia dan sibuk dengan urusan akhirat.” (Ad-Diibaj Al-Madzhab, hal. 671) Dalam kitab-kitabnya, beliau sering memberikan kritik terhadap penyimpangan moral, ketidakadilan, dan jauhnya masyarakat dari norma agama pada zamannya. Bukti kezuhudan beliau juga terlihat dalam karyanya seperti “Manhaj Al-Ubbad wa Mahajjah As-Saalikin Az-Zuhhad” dan “At-Tadzkirah bi Ahwal Al-Mauta wa Umuur Al-Aakhirah.” Imam Al-Qurthubi tidak hidup dalam kemewahan. Ia memakai pakaian sederhana dan tidak berlebihan dalam berpenampilan, yang artinya menunjukkan bahwa ia tidak tergoda oleh kekayaan dunia. Berani dan teguh di atas kebenaran Imam Al-Qurthubi adalah sosok yang pemberani, beliau tidak takut menyampaikan kebenaran, memberikan nasihat kepada penguasa di zamannya yang menyimpang dari jalan yang lurus; baik itu melakukan kezaliman, menerima suap, ataupun lebih mengutamakan non-muslim dalam pemerintahan. Dalam kitabnya, At-Tadzkirah, beliau menulis, هذا هو الزمان الذي استولى فيه الباطل على الحق، وتغلَّب فيه العبيد على الأحرار من الخلق، فباعوا الأحكام، ورضي بذلك منهم الحكام، فصار الحكم مكسًا، والحق عكسًا لا يوصل إليه، ولا يقدر عليه، بدَّلوا دين الله، وغيَّروا حكم الله، سمَّاعون للكذب أكَّالون للسحت ((وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)). “Inilah zaman di mana kebatilan mengalahkan kebenaran, budak menguasai orang merdeka, hukum dijual, dan para penguasa rida dengan hal itu dari mereka, maka hukum menjadi sama dengan pungutan liar, dan kebenaran diputarbalikkan sehingga tidak tercapai hukum yang benar. Para penegak hukum pun tidak berdaya karena hal tersebut. Mereka mengganti agama Allah serta mengubah hukum Allah, mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang haram. Kemudian beliau membacakan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).” Disiplin dan tekun dalam menuntut ilmu Imam Al-Qurthubi menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar, mengajar, dan menulis tanpa mengenal lelah. Para sejarawan menggambarkannya sebagai orang yang waktunya diisi dengan ibadah, penelitian, dan menulis karya ilmiah. Beliau sangat gemar membaca dan mengumpulkan buku. Beliau banyak mengutip dari kitab-kitab ulama besar seperti Ibnu ’Abdi Al-Barr dan Ibn Al-’Arabi. Jujur dan amanah dalam keilmuan Beliau dikenal sangat jujur dalam keilmuan. Beliau selalu menulis dan mencantumkan sumber pendapat yang ia ambil dan menyebut nama pemilik aslinya. Beliau menyampaikan di dalam kitab tafsirnya, وشرطي في هذا الكتاب إضافة الأقوال إلى قائليها، والأحاديث إلى مصنفيها، فإنه يقال: من بركة العلم أن يضاف إلى قائله “Dan syaratku dalam kitab ini, aku berusaha menisbatkan dan menyandarkan setiap pendapat kepada pemiliknya dan setiap hadis kepada perawinya, karena pernah dikatakan bahwa salah satu keberkahan ilmu adalah dengan menyandarkan sebuah perkataan kepada pemiliknya.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an al-Karim, 1: 3) Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah Guru-guru Imam Al-Qurthubi Secara umum, guru-guru beliau dapat kita bagi berdasarkan tempatnya menjadi 2 tempat: Guru-guru beliau di Andalusia Ibnu Abi Hujjah Beliau adalah Syekh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Qaisi, yang dikenal sebagai Ibnu Abi Hujjah, yang berasal dari Cordoba. Beliau memimpin pengajaran Al-Qur’an dan bahasa Arab, dan pindah ke Sevilla setelah jatuhnya Cordoba. Beliau ditawan oleh orang-orang Romawi di laut, disiksa, dan meninggal dunia setelah itu di Mallorca. Di antara karya-karyanya adalah: “Tasdid al-Lisan li-Dzikr Anwa’ Al-Bayan” (Pelurusan Lidah dalam Menyebutkan Jenis-Jenis Penjelasan); “Tafhim Al-Qulub Aayaat ‘Allam Al-Ghuyub” (Memahamkan Hati tentang Ayat-Ayat Sang Maha Mengetahui yang Gaib); “Mukhtashar At-Tabshirah fi Al-Qira’at” (Ringkasan Al-Tabshirah dalam Qira’at). Imam Al-Qurthubi memperoleh 7 sanad qira’at dari gurunya ini. Beliau adalah guru pertama yang ditanya oleh Imam Al-Qurthubi tentang tatacara memandikan dan menyalatkan jenazah ayahnya, yang terbunuh dalam serangan mendadak yang dilancarkan musuh ke Cordoba. Al-Qurthubi berkata, “Saya bertanya kepada guru kami, ahli qira’at, Ustadz Abu Ja’far Ahmad, yang dikenal sebagai Abu Hujjah, dan beliau menjawab, ‘Mandikan dan salatkanlah jenazahnya, karena ayahmu tidak terbunuh karena ikut berperang dalam pertempuran antara dua barisan …'” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurthubi, 4: 272. Masalah kelima dari tafsir ayat 169 dan 170 dari Surah Ali Imran) Ibnu Abi Hujjah wafat pada tahun 643 H. Ibnu Ubay Rabi’ bin Ahmad bin Rabi’ Al-Asywi, berasal dari Cordoba dan merupakan seorang hakim di sana. Beliau adalah seorang yang saleh, adil dalam memberikan keputusan serta memiliki pengetahuan yang luas. Beliau juga memiliki kontribusi dalam ilmu hadis. Setelah bertanya kepada Ibnu Abi Hujjah tentang tatacara memandikan jenazah ayahnya, Imam Al-Qurthubi juga bertanya kepadanya. Beliau menjawab, “Hukumnya sama dengan hukum orang-orang yang terbunuh dalam pertempuran (tidak dimandikan)…” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurtubi, 4: 272) Setelah jatuhnya Cordoba, beliau pindah ke Sevilla dan wafat di sana. Hakim Abu Al-Hasan Ali bin Qathral Beliau adalah Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Qurthubi, yang dikenal sebagai Ibnu Qathral, seorang ahli fikih bermazhab Maliki. Guru-guru beliau di Mesir Abu Al-Abbas Al-Qurthubi Beliau adalah Al-Abbas Dhiya’uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim bin Umar Al-Anshari Al-Qurthubi. Beliau merupakan tokoh terkemuka ahli fikih bermazhab Maliki. Beliau lahir di Cordoba dan pindah bersama ayahnya dari Andalusia pada usia muda. Beliau banyak mendengar hadis di kota Mekkah, Madinah, dan tempat-tempat lainnya. Kemudian beliau menetap di Alexandria dan mengajar di sana. Beliau mahir di bidang ilmu fikih, bahasa Arab, dan ilmu hadis. Di antara karya-karyanya yang paling penting adalah “Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim” (Pemahaman tentang Apa yang Sulit Dipahami dari Ringkasan Kitab Muslim). Beliau wafat pada tahun 656 H dan Al-Qurthubi pernah menyebutkannya dalam tafsirnya. Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Rawaj Beliau adalah Syekh Rasyiduddin Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Zhafir bin Fattuh bin Abi Al-Hasan Al-Qurasyi bin Rawaj Al-Iskandaraani Al-Maliki. Beliau adalah seorang ahli fikih dan ahli hadis. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata tentang beliau, “Banyak penuntut ilmu yang mengambil ilmu dari beliau, di antaranya adalah Abu Abdillah Al-Qurthubi.” (Thabaqat Al-Mufassiriin, hal. 39) Ibnu Al-Jumayzi Beliau adalah Bahauddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al-Lakhmi. Beliau dikenal sebagai Ibnu Al-Jumayzi. Beliau hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun lalu melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Beliau adalah seorang imam dalam bidang fikih, hadis, qira’at, dan nahwu. Beliau wafat pada tahun 649 Hijriah. Di antara murid-murid Imam Al-Qurthubi Hampir tidak ada kitab biografi  yang  menyebutkan nama murid-murid Imam Al-Qurthubi yang mengambil ilmu kepada beliau, kecuali Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Thabaqat Al-Mufassirin”. Beliau menyebutkan salah satu murid beliau rahimahullah, yaitu putra dari Imam Al-Qurthubi sendiri. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Dan putranya, Syihabuddin Ahmad, meriwayatkan dari beliau dengan metode ijazah.” Sumber-sumber tersebut juga tidak menyebutkan bahwa Imam Al-Qurthubi pernah duduk untuk mengajar di negara mana pun yang pernah ia tinggali. Kita tidak mengetahui apa rahasianya, apakah Imam Al-Qurthubi benar-benar tidak memiliki halaqah pelajaran atau murid dan perhatiannya hanya terfokus pada penulisan dan menuntut ilmu? Dan mereka hanya menyebutkan putranya sebagai satu-satunya muridnya dikarenakan ia selalu bersamanya di rumah? Hal ini sangatlah tidak mungkin, namun ini adalah pertanyaan dan masalah yang diajukan oleh para peneliti tatkala menelusuri kehidupan imam dan ulama besar ini, terutama kita sama-sama tahu bahwa negara tempat Imam Al-Qurthubi menetap hingga wafatnya adalah tempat yang dikenal sebagai “Minyat Bani Khusaib,” dan itu adalah negara yang penuh dengan pelajaran, ilmu, lingkaran (halaqah) pengajian, dan diskusi ilmiah. Namun demikian, pertanyaan itu tetap ada: mengapa buku-buku biografi mengabaikan murid-murid seorang imam besar seperti Imam Al-Qurthubi? Semoga di kesempatan mendatang ada peneliti-peneliti yang dapat memberikan kita faidah dan wawasan baru mengenai hal ini. Wabillahi At-Taufiiq. Di antara karya beliau yang fenomenal Pertama, karya beliau yang paling terkenal adalah kitab di bidang tafsir, yaitu kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Dalam tafsirnya, beliau tidak hanya menyebutkan riwayat dari Rasulullah dan sahabat saja, beliau juga menggunakan berbagai ilmu seperti bahasa Arab, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at. Beliau juga membahas ayat-ayat secara mendalam dengan membagi tafsirnya ke dalam beberapa bab. Ibnu Farhun mengatakan, وهو من أجلِّ التفاسير وأعظمها نفعًا، أسقط منه القصص والتواريخ، وأثبت عوضها أحكام القرآن واستنباط الأدلة، وذكر القراءات والإعراب، والناسخ والمنسوخ “Dan itu adalah salah satu tafsir yang paling mulia dan paling bermanfaat, beliau menghilangkan kisah-kisah dan sejarah darinya, dan menggantinya dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan penggalian dalil-dalil yang mendalam, serta menyebutkan bacaan-bacaan (qira’at), i’rab, dan nasikh mansukh (dari sebuah hukum).” (Ad-Dibaj Al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yan Ulama Al-Mazhab, hal. 317) Kedua, At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah (Berbicara mengenai kematian dan kehidupan akhirat). Ketiga, At-Tadzkir fi Afdhal Al-Adzkar (Tentang dzikir). Keempat, Al-Asnaa fi Syarhi Asma’ Allah Al-Husna wa Shifatuhu Al-Ulyaa (Mengenai Asma’ dan Sifat Allah Ta’ala). Kelima, Al-I’lam bima fi Diin An-Nasaraa min Al-Mafasid wa Al-Awham (Tentang kebatilan dalam ajaran Nasrani). Wafat beliau rahimahullah Setelah Imam Al-Qurthubi menghabiskan hampir seluruh umurnya dalam belajar, beribadah, dan menulis, beliau rahimahullah wafat di Munyat Bani Khasib (sekarang Minya, Mesir) pada malam Senin, 9 Syawal 671 H. Makamnya berada di Minya, di sebelah timur Sungai Nil. Rahimahullah rahmatan wasiah. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir *** Penulis: Muhammad Idris Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Masa kecil dan pendidikan beliauPerangai dan akhlak beliauSederhanaBerani dan teguh di atas kebenaranDisiplin dan tekun dalam menuntut ilmuJujur dan amanah dalam keilmuanGuru-guru Imam Al-QurthubiGuru-guru beliau di AndalusiaIbnu Abi HujjahIbnu UbayHakim Abu Al-Hasan Ali bin QathralGuru-guru beliau di MesirAbu Al-Abbas Al-QurthubiAbu Muhammad Abdul Wahhab bin RawajIbnu Al-JumayziDi antara murid-murid Imam Al-QurthubiDi antara karya beliau yang fenomenalWafat beliau rahimahullah Seorang penuntut ilmu yang menggeluti bidang tafsir pasti tidak asing dengan kitab berjudul, “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, sebuah kitab tafsir fenomenal yang sering disebut para ulama dan dijadikan referensi di dalam karya-karya mereka. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan,  أَمرَنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أنْ نُنزِّلَ الناسَ مَنازلَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menempatkan orang sesuai dengan kedudukan mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya, 8: 246; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 4: 379; dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 7: 462) Sungguh aib bagi seseorang yang mengetahui judul sebuah kitab namun tidak mengetahui perihal penulis dan pengarangnya. Oleh karena itu, izinkan kami dalam artikel kali ini untuk berbagi pengetahuan mengenai kisah hidup dan perjalanan hidup penulis dari kitab “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, salah seorang imam besar tafsir yang pendapatnya menjadi acuan dan rujukan ulama’ di berbagai bidang. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi, seorang ahli tafsir terkemuka dari belahan bumi Eropa, tepatnya dari semenanjung Iberia, yang saat ini terletak di negeri Spanyol dan Portugal. Tidak ada yg menyebutkan secara pasti kapan beliau dilahirkan, akan tetapi muhaqqiq kitab “At-Tidzkar fi Afdal Al-Adzkar lil Qurthubi”, Basyir Uyun, memperkirakan bahwa beliau lahir sekitar akhir abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah. Masa kecil dan pendidikan beliau Beliau rahimahullah lahir dan besar di Cordoba, Andalusia, pada masa kepemimpinan dinasti Al-Muwahhidun. Beliau menetap di Andalusia hingga mendapati runtuhnya Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Franka pada tahun 633 Hijriah. Lalu beliau meninggalkan tanah kelahirannya tersebut dan berpindah ke Mesir dan menetap di sana. Pada saat itu, Mesir menjadi pusat keilmuan Islam, sehingga beliau dimungkinkan untuk menimba ilmu dan belajar dari ulama-ulama besar di sana hingga wafat. Di dalam kitab Nafhu At-Thayyib disebutkan, “Dan telah masyhur diketahui bahwa Andalusia, khususnya Cordoba, adalah kiblat, pusat peradaban, tempat berdiamnya dan tinggalnya orang-orang yang memiliki keutamaan dan ketakwaan, tanah air bagi orang-orang berilmu dan bijaksana, jantung wilayah, sumber mata air ilmu pengetahuan yang memancar, dan dari ufuknya muncul bintang-bintang yang menerangi bumi, yaitu tokoh-tokoh di zamannya, para ksatria syair dan prosa. Dan di sanalah karya-karya besar diciptakan, dan berbagai karya dalam berbagai bidang ilmu disusun. Telah masyhur pula bahwa Andalusia adalah negeri yang paling banyak memiliki buku, dan penduduknya adalah orang-orang yang paling peduli dengan perpustakaan, dan merupakan pusat perbelanjaan kitab yang paling laris. Sampai-sampai dikatakan, “Jika ada seorang ilmuwan meninggal di Seville dan buku-bukunya ingin dijual, maka buku-buku itu dibawa ke Cordoba untuk dijual di sana.” Sejak kecil, Imam Al-Qurthubi sangat mencintai ilmu agama dan bahasa Arab. Di Córdoba beliau belajar bahasa Arab, syair, serta Al-Qur’an. Ia memperoleh wawasan luas dalam bidang ilmu fikih, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at dari para ulama terkenal di zamannya. Setelah ayahnya wafat pada tahun 627 H, ia hidup mandiri dan pernah bekerja sebagai pengangkut batu bata untuk pembuatan tembikar, salah satu industri tradisional di Córdoba saat itu. Perangai dan akhlak beliau Sederhana Imam Al-Qurthubi rahimahullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara’. Para sejarawan banyak memuji dan menyanjungnya karena sikap beliau yang menjauhi dunia dan hanya fokus pada kehidupan akhirat. Ibnu Farhun berkata, “Ia termasuk hamba Allah yang saleh, ulama yang bertakwa, serta menjauhi kesenangan dunia dan sibuk dengan urusan akhirat.” (Ad-Diibaj Al-Madzhab, hal. 671) Dalam kitab-kitabnya, beliau sering memberikan kritik terhadap penyimpangan moral, ketidakadilan, dan jauhnya masyarakat dari norma agama pada zamannya. Bukti kezuhudan beliau juga terlihat dalam karyanya seperti “Manhaj Al-Ubbad wa Mahajjah As-Saalikin Az-Zuhhad” dan “At-Tadzkirah bi Ahwal Al-Mauta wa Umuur Al-Aakhirah.” Imam Al-Qurthubi tidak hidup dalam kemewahan. Ia memakai pakaian sederhana dan tidak berlebihan dalam berpenampilan, yang artinya menunjukkan bahwa ia tidak tergoda oleh kekayaan dunia. Berani dan teguh di atas kebenaran Imam Al-Qurthubi adalah sosok yang pemberani, beliau tidak takut menyampaikan kebenaran, memberikan nasihat kepada penguasa di zamannya yang menyimpang dari jalan yang lurus; baik itu melakukan kezaliman, menerima suap, ataupun lebih mengutamakan non-muslim dalam pemerintahan. Dalam kitabnya, At-Tadzkirah, beliau menulis, هذا هو الزمان الذي استولى فيه الباطل على الحق، وتغلَّب فيه العبيد على الأحرار من الخلق، فباعوا الأحكام، ورضي بذلك منهم الحكام، فصار الحكم مكسًا، والحق عكسًا لا يوصل إليه، ولا يقدر عليه، بدَّلوا دين الله، وغيَّروا حكم الله، سمَّاعون للكذب أكَّالون للسحت ((وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)). “Inilah zaman di mana kebatilan mengalahkan kebenaran, budak menguasai orang merdeka, hukum dijual, dan para penguasa rida dengan hal itu dari mereka, maka hukum menjadi sama dengan pungutan liar, dan kebenaran diputarbalikkan sehingga tidak tercapai hukum yang benar. Para penegak hukum pun tidak berdaya karena hal tersebut. Mereka mengganti agama Allah serta mengubah hukum Allah, mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang haram. Kemudian beliau membacakan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).” Disiplin dan tekun dalam menuntut ilmu Imam Al-Qurthubi menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar, mengajar, dan menulis tanpa mengenal lelah. Para sejarawan menggambarkannya sebagai orang yang waktunya diisi dengan ibadah, penelitian, dan menulis karya ilmiah. Beliau sangat gemar membaca dan mengumpulkan buku. Beliau banyak mengutip dari kitab-kitab ulama besar seperti Ibnu ’Abdi Al-Barr dan Ibn Al-’Arabi. Jujur dan amanah dalam keilmuan Beliau dikenal sangat jujur dalam keilmuan. Beliau selalu menulis dan mencantumkan sumber pendapat yang ia ambil dan menyebut nama pemilik aslinya. Beliau menyampaikan di dalam kitab tafsirnya, وشرطي في هذا الكتاب إضافة الأقوال إلى قائليها، والأحاديث إلى مصنفيها، فإنه يقال: من بركة العلم أن يضاف إلى قائله “Dan syaratku dalam kitab ini, aku berusaha menisbatkan dan menyandarkan setiap pendapat kepada pemiliknya dan setiap hadis kepada perawinya, karena pernah dikatakan bahwa salah satu keberkahan ilmu adalah dengan menyandarkan sebuah perkataan kepada pemiliknya.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an al-Karim, 1: 3) Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah Guru-guru Imam Al-Qurthubi Secara umum, guru-guru beliau dapat kita bagi berdasarkan tempatnya menjadi 2 tempat: Guru-guru beliau di Andalusia Ibnu Abi Hujjah Beliau adalah Syekh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Qaisi, yang dikenal sebagai Ibnu Abi Hujjah, yang berasal dari Cordoba. Beliau memimpin pengajaran Al-Qur’an dan bahasa Arab, dan pindah ke Sevilla setelah jatuhnya Cordoba. Beliau ditawan oleh orang-orang Romawi di laut, disiksa, dan meninggal dunia setelah itu di Mallorca. Di antara karya-karyanya adalah: “Tasdid al-Lisan li-Dzikr Anwa’ Al-Bayan” (Pelurusan Lidah dalam Menyebutkan Jenis-Jenis Penjelasan); “Tafhim Al-Qulub Aayaat ‘Allam Al-Ghuyub” (Memahamkan Hati tentang Ayat-Ayat Sang Maha Mengetahui yang Gaib); “Mukhtashar At-Tabshirah fi Al-Qira’at” (Ringkasan Al-Tabshirah dalam Qira’at). Imam Al-Qurthubi memperoleh 7 sanad qira’at dari gurunya ini. Beliau adalah guru pertama yang ditanya oleh Imam Al-Qurthubi tentang tatacara memandikan dan menyalatkan jenazah ayahnya, yang terbunuh dalam serangan mendadak yang dilancarkan musuh ke Cordoba. Al-Qurthubi berkata, “Saya bertanya kepada guru kami, ahli qira’at, Ustadz Abu Ja’far Ahmad, yang dikenal sebagai Abu Hujjah, dan beliau menjawab, ‘Mandikan dan salatkanlah jenazahnya, karena ayahmu tidak terbunuh karena ikut berperang dalam pertempuran antara dua barisan …'” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurthubi, 4: 272. Masalah kelima dari tafsir ayat 169 dan 170 dari Surah Ali Imran) Ibnu Abi Hujjah wafat pada tahun 643 H. Ibnu Ubay Rabi’ bin Ahmad bin Rabi’ Al-Asywi, berasal dari Cordoba dan merupakan seorang hakim di sana. Beliau adalah seorang yang saleh, adil dalam memberikan keputusan serta memiliki pengetahuan yang luas. Beliau juga memiliki kontribusi dalam ilmu hadis. Setelah bertanya kepada Ibnu Abi Hujjah tentang tatacara memandikan jenazah ayahnya, Imam Al-Qurthubi juga bertanya kepadanya. Beliau menjawab, “Hukumnya sama dengan hukum orang-orang yang terbunuh dalam pertempuran (tidak dimandikan)…” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurtubi, 4: 272) Setelah jatuhnya Cordoba, beliau pindah ke Sevilla dan wafat di sana. Hakim Abu Al-Hasan Ali bin Qathral Beliau adalah Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Qurthubi, yang dikenal sebagai Ibnu Qathral, seorang ahli fikih bermazhab Maliki. Guru-guru beliau di Mesir Abu Al-Abbas Al-Qurthubi Beliau adalah Al-Abbas Dhiya’uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim bin Umar Al-Anshari Al-Qurthubi. Beliau merupakan tokoh terkemuka ahli fikih bermazhab Maliki. Beliau lahir di Cordoba dan pindah bersama ayahnya dari Andalusia pada usia muda. Beliau banyak mendengar hadis di kota Mekkah, Madinah, dan tempat-tempat lainnya. Kemudian beliau menetap di Alexandria dan mengajar di sana. Beliau mahir di bidang ilmu fikih, bahasa Arab, dan ilmu hadis. Di antara karya-karyanya yang paling penting adalah “Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim” (Pemahaman tentang Apa yang Sulit Dipahami dari Ringkasan Kitab Muslim). Beliau wafat pada tahun 656 H dan Al-Qurthubi pernah menyebutkannya dalam tafsirnya. Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Rawaj Beliau adalah Syekh Rasyiduddin Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Zhafir bin Fattuh bin Abi Al-Hasan Al-Qurasyi bin Rawaj Al-Iskandaraani Al-Maliki. Beliau adalah seorang ahli fikih dan ahli hadis. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata tentang beliau, “Banyak penuntut ilmu yang mengambil ilmu dari beliau, di antaranya adalah Abu Abdillah Al-Qurthubi.” (Thabaqat Al-Mufassiriin, hal. 39) Ibnu Al-Jumayzi Beliau adalah Bahauddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al-Lakhmi. Beliau dikenal sebagai Ibnu Al-Jumayzi. Beliau hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun lalu melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Beliau adalah seorang imam dalam bidang fikih, hadis, qira’at, dan nahwu. Beliau wafat pada tahun 649 Hijriah. Di antara murid-murid Imam Al-Qurthubi Hampir tidak ada kitab biografi  yang  menyebutkan nama murid-murid Imam Al-Qurthubi yang mengambil ilmu kepada beliau, kecuali Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Thabaqat Al-Mufassirin”. Beliau menyebutkan salah satu murid beliau rahimahullah, yaitu putra dari Imam Al-Qurthubi sendiri. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Dan putranya, Syihabuddin Ahmad, meriwayatkan dari beliau dengan metode ijazah.” Sumber-sumber tersebut juga tidak menyebutkan bahwa Imam Al-Qurthubi pernah duduk untuk mengajar di negara mana pun yang pernah ia tinggali. Kita tidak mengetahui apa rahasianya, apakah Imam Al-Qurthubi benar-benar tidak memiliki halaqah pelajaran atau murid dan perhatiannya hanya terfokus pada penulisan dan menuntut ilmu? Dan mereka hanya menyebutkan putranya sebagai satu-satunya muridnya dikarenakan ia selalu bersamanya di rumah? Hal ini sangatlah tidak mungkin, namun ini adalah pertanyaan dan masalah yang diajukan oleh para peneliti tatkala menelusuri kehidupan imam dan ulama besar ini, terutama kita sama-sama tahu bahwa negara tempat Imam Al-Qurthubi menetap hingga wafatnya adalah tempat yang dikenal sebagai “Minyat Bani Khusaib,” dan itu adalah negara yang penuh dengan pelajaran, ilmu, lingkaran (halaqah) pengajian, dan diskusi ilmiah. Namun demikian, pertanyaan itu tetap ada: mengapa buku-buku biografi mengabaikan murid-murid seorang imam besar seperti Imam Al-Qurthubi? Semoga di kesempatan mendatang ada peneliti-peneliti yang dapat memberikan kita faidah dan wawasan baru mengenai hal ini. Wabillahi At-Taufiiq. Di antara karya beliau yang fenomenal Pertama, karya beliau yang paling terkenal adalah kitab di bidang tafsir, yaitu kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Dalam tafsirnya, beliau tidak hanya menyebutkan riwayat dari Rasulullah dan sahabat saja, beliau juga menggunakan berbagai ilmu seperti bahasa Arab, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at. Beliau juga membahas ayat-ayat secara mendalam dengan membagi tafsirnya ke dalam beberapa bab. Ibnu Farhun mengatakan, وهو من أجلِّ التفاسير وأعظمها نفعًا، أسقط منه القصص والتواريخ، وأثبت عوضها أحكام القرآن واستنباط الأدلة، وذكر القراءات والإعراب، والناسخ والمنسوخ “Dan itu adalah salah satu tafsir yang paling mulia dan paling bermanfaat, beliau menghilangkan kisah-kisah dan sejarah darinya, dan menggantinya dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan penggalian dalil-dalil yang mendalam, serta menyebutkan bacaan-bacaan (qira’at), i’rab, dan nasikh mansukh (dari sebuah hukum).” (Ad-Dibaj Al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yan Ulama Al-Mazhab, hal. 317) Kedua, At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah (Berbicara mengenai kematian dan kehidupan akhirat). Ketiga, At-Tadzkir fi Afdhal Al-Adzkar (Tentang dzikir). Keempat, Al-Asnaa fi Syarhi Asma’ Allah Al-Husna wa Shifatuhu Al-Ulyaa (Mengenai Asma’ dan Sifat Allah Ta’ala). Kelima, Al-I’lam bima fi Diin An-Nasaraa min Al-Mafasid wa Al-Awham (Tentang kebatilan dalam ajaran Nasrani). Wafat beliau rahimahullah Setelah Imam Al-Qurthubi menghabiskan hampir seluruh umurnya dalam belajar, beribadah, dan menulis, beliau rahimahullah wafat di Munyat Bani Khasib (sekarang Minya, Mesir) pada malam Senin, 9 Syawal 671 H. Makamnya berada di Minya, di sebelah timur Sungai Nil. Rahimahullah rahmatan wasiah. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir *** Penulis: Muhammad Idris Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Masa kecil dan pendidikan beliauPerangai dan akhlak beliauSederhanaBerani dan teguh di atas kebenaranDisiplin dan tekun dalam menuntut ilmuJujur dan amanah dalam keilmuanGuru-guru Imam Al-QurthubiGuru-guru beliau di AndalusiaIbnu Abi HujjahIbnu UbayHakim Abu Al-Hasan Ali bin QathralGuru-guru beliau di MesirAbu Al-Abbas Al-QurthubiAbu Muhammad Abdul Wahhab bin RawajIbnu Al-JumayziDi antara murid-murid Imam Al-QurthubiDi antara karya beliau yang fenomenalWafat beliau rahimahullah Seorang penuntut ilmu yang menggeluti bidang tafsir pasti tidak asing dengan kitab berjudul, “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, sebuah kitab tafsir fenomenal yang sering disebut para ulama dan dijadikan referensi di dalam karya-karya mereka. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan,  أَمرَنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أنْ نُنزِّلَ الناسَ مَنازلَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menempatkan orang sesuai dengan kedudukan mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya, 8: 246; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 4: 379; dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 7: 462) Sungguh aib bagi seseorang yang mengetahui judul sebuah kitab namun tidak mengetahui perihal penulis dan pengarangnya. Oleh karena itu, izinkan kami dalam artikel kali ini untuk berbagi pengetahuan mengenai kisah hidup dan perjalanan hidup penulis dari kitab “Al-Jaami Li Ahkam Al-Qur’an”, salah seorang imam besar tafsir yang pendapatnya menjadi acuan dan rujukan ulama’ di berbagai bidang. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi, seorang ahli tafsir terkemuka dari belahan bumi Eropa, tepatnya dari semenanjung Iberia, yang saat ini terletak di negeri Spanyol dan Portugal. Tidak ada yg menyebutkan secara pasti kapan beliau dilahirkan, akan tetapi muhaqqiq kitab “At-Tidzkar fi Afdal Al-Adzkar lil Qurthubi”, Basyir Uyun, memperkirakan bahwa beliau lahir sekitar akhir abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah. Masa kecil dan pendidikan beliau Beliau rahimahullah lahir dan besar di Cordoba, Andalusia, pada masa kepemimpinan dinasti Al-Muwahhidun. Beliau menetap di Andalusia hingga mendapati runtuhnya Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Franka pada tahun 633 Hijriah. Lalu beliau meninggalkan tanah kelahirannya tersebut dan berpindah ke Mesir dan menetap di sana. Pada saat itu, Mesir menjadi pusat keilmuan Islam, sehingga beliau dimungkinkan untuk menimba ilmu dan belajar dari ulama-ulama besar di sana hingga wafat. Di dalam kitab Nafhu At-Thayyib disebutkan, “Dan telah masyhur diketahui bahwa Andalusia, khususnya Cordoba, adalah kiblat, pusat peradaban, tempat berdiamnya dan tinggalnya orang-orang yang memiliki keutamaan dan ketakwaan, tanah air bagi orang-orang berilmu dan bijaksana, jantung wilayah, sumber mata air ilmu pengetahuan yang memancar, dan dari ufuknya muncul bintang-bintang yang menerangi bumi, yaitu tokoh-tokoh di zamannya, para ksatria syair dan prosa. Dan di sanalah karya-karya besar diciptakan, dan berbagai karya dalam berbagai bidang ilmu disusun. Telah masyhur pula bahwa Andalusia adalah negeri yang paling banyak memiliki buku, dan penduduknya adalah orang-orang yang paling peduli dengan perpustakaan, dan merupakan pusat perbelanjaan kitab yang paling laris. Sampai-sampai dikatakan, “Jika ada seorang ilmuwan meninggal di Seville dan buku-bukunya ingin dijual, maka buku-buku itu dibawa ke Cordoba untuk dijual di sana.” Sejak kecil, Imam Al-Qurthubi sangat mencintai ilmu agama dan bahasa Arab. Di Córdoba beliau belajar bahasa Arab, syair, serta Al-Qur’an. Ia memperoleh wawasan luas dalam bidang ilmu fikih, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at dari para ulama terkenal di zamannya. Setelah ayahnya wafat pada tahun 627 H, ia hidup mandiri dan pernah bekerja sebagai pengangkut batu bata untuk pembuatan tembikar, salah satu industri tradisional di Córdoba saat itu. Perangai dan akhlak beliau Sederhana Imam Al-Qurthubi rahimahullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara’. Para sejarawan banyak memuji dan menyanjungnya karena sikap beliau yang menjauhi dunia dan hanya fokus pada kehidupan akhirat. Ibnu Farhun berkata, “Ia termasuk hamba Allah yang saleh, ulama yang bertakwa, serta menjauhi kesenangan dunia dan sibuk dengan urusan akhirat.” (Ad-Diibaj Al-Madzhab, hal. 671) Dalam kitab-kitabnya, beliau sering memberikan kritik terhadap penyimpangan moral, ketidakadilan, dan jauhnya masyarakat dari norma agama pada zamannya. Bukti kezuhudan beliau juga terlihat dalam karyanya seperti “Manhaj Al-Ubbad wa Mahajjah As-Saalikin Az-Zuhhad” dan “At-Tadzkirah bi Ahwal Al-Mauta wa Umuur Al-Aakhirah.” Imam Al-Qurthubi tidak hidup dalam kemewahan. Ia memakai pakaian sederhana dan tidak berlebihan dalam berpenampilan, yang artinya menunjukkan bahwa ia tidak tergoda oleh kekayaan dunia. Berani dan teguh di atas kebenaran Imam Al-Qurthubi adalah sosok yang pemberani, beliau tidak takut menyampaikan kebenaran, memberikan nasihat kepada penguasa di zamannya yang menyimpang dari jalan yang lurus; baik itu melakukan kezaliman, menerima suap, ataupun lebih mengutamakan non-muslim dalam pemerintahan. Dalam kitabnya, At-Tadzkirah, beliau menulis, هذا هو الزمان الذي استولى فيه الباطل على الحق، وتغلَّب فيه العبيد على الأحرار من الخلق، فباعوا الأحكام، ورضي بذلك منهم الحكام، فصار الحكم مكسًا، والحق عكسًا لا يوصل إليه، ولا يقدر عليه، بدَّلوا دين الله، وغيَّروا حكم الله، سمَّاعون للكذب أكَّالون للسحت ((وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)). “Inilah zaman di mana kebatilan mengalahkan kebenaran, budak menguasai orang merdeka, hukum dijual, dan para penguasa rida dengan hal itu dari mereka, maka hukum menjadi sama dengan pungutan liar, dan kebenaran diputarbalikkan sehingga tidak tercapai hukum yang benar. Para penegak hukum pun tidak berdaya karena hal tersebut. Mereka mengganti agama Allah serta mengubah hukum Allah, mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang haram. Kemudian beliau membacakan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).” Disiplin dan tekun dalam menuntut ilmu Imam Al-Qurthubi menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar, mengajar, dan menulis tanpa mengenal lelah. Para sejarawan menggambarkannya sebagai orang yang waktunya diisi dengan ibadah, penelitian, dan menulis karya ilmiah. Beliau sangat gemar membaca dan mengumpulkan buku. Beliau banyak mengutip dari kitab-kitab ulama besar seperti Ibnu ’Abdi Al-Barr dan Ibn Al-’Arabi. Jujur dan amanah dalam keilmuan Beliau dikenal sangat jujur dalam keilmuan. Beliau selalu menulis dan mencantumkan sumber pendapat yang ia ambil dan menyebut nama pemilik aslinya. Beliau menyampaikan di dalam kitab tafsirnya, وشرطي في هذا الكتاب إضافة الأقوال إلى قائليها، والأحاديث إلى مصنفيها، فإنه يقال: من بركة العلم أن يضاف إلى قائله “Dan syaratku dalam kitab ini, aku berusaha menisbatkan dan menyandarkan setiap pendapat kepada pemiliknya dan setiap hadis kepada perawinya, karena pernah dikatakan bahwa salah satu keberkahan ilmu adalah dengan menyandarkan sebuah perkataan kepada pemiliknya.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an al-Karim, 1: 3) Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah Guru-guru Imam Al-Qurthubi Secara umum, guru-guru beliau dapat kita bagi berdasarkan tempatnya menjadi 2 tempat: Guru-guru beliau di Andalusia Ibnu Abi Hujjah Beliau adalah Syekh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Qaisi, yang dikenal sebagai Ibnu Abi Hujjah, yang berasal dari Cordoba. Beliau memimpin pengajaran Al-Qur’an dan bahasa Arab, dan pindah ke Sevilla setelah jatuhnya Cordoba. Beliau ditawan oleh orang-orang Romawi di laut, disiksa, dan meninggal dunia setelah itu di Mallorca. Di antara karya-karyanya adalah: “Tasdid al-Lisan li-Dzikr Anwa’ Al-Bayan” (Pelurusan Lidah dalam Menyebutkan Jenis-Jenis Penjelasan); “Tafhim Al-Qulub Aayaat ‘Allam Al-Ghuyub” (Memahamkan Hati tentang Ayat-Ayat Sang Maha Mengetahui yang Gaib); “Mukhtashar At-Tabshirah fi Al-Qira’at” (Ringkasan Al-Tabshirah dalam Qira’at). Imam Al-Qurthubi memperoleh 7 sanad qira’at dari gurunya ini. Beliau adalah guru pertama yang ditanya oleh Imam Al-Qurthubi tentang tatacara memandikan dan menyalatkan jenazah ayahnya, yang terbunuh dalam serangan mendadak yang dilancarkan musuh ke Cordoba. Al-Qurthubi berkata, “Saya bertanya kepada guru kami, ahli qira’at, Ustadz Abu Ja’far Ahmad, yang dikenal sebagai Abu Hujjah, dan beliau menjawab, ‘Mandikan dan salatkanlah jenazahnya, karena ayahmu tidak terbunuh karena ikut berperang dalam pertempuran antara dua barisan …'” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurthubi, 4: 272. Masalah kelima dari tafsir ayat 169 dan 170 dari Surah Ali Imran) Ibnu Abi Hujjah wafat pada tahun 643 H. Ibnu Ubay Rabi’ bin Ahmad bin Rabi’ Al-Asywi, berasal dari Cordoba dan merupakan seorang hakim di sana. Beliau adalah seorang yang saleh, adil dalam memberikan keputusan serta memiliki pengetahuan yang luas. Beliau juga memiliki kontribusi dalam ilmu hadis. Setelah bertanya kepada Ibnu Abi Hujjah tentang tatacara memandikan jenazah ayahnya, Imam Al-Qurthubi juga bertanya kepadanya. Beliau menjawab, “Hukumnya sama dengan hukum orang-orang yang terbunuh dalam pertempuran (tidak dimandikan)…” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an; karya Al-Qurtubi, 4: 272) Setelah jatuhnya Cordoba, beliau pindah ke Sevilla dan wafat di sana. Hakim Abu Al-Hasan Ali bin Qathral Beliau adalah Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah bin Muhammad Al-Anshari Al-Qurthubi, yang dikenal sebagai Ibnu Qathral, seorang ahli fikih bermazhab Maliki. Guru-guru beliau di Mesir Abu Al-Abbas Al-Qurthubi Beliau adalah Al-Abbas Dhiya’uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim bin Umar Al-Anshari Al-Qurthubi. Beliau merupakan tokoh terkemuka ahli fikih bermazhab Maliki. Beliau lahir di Cordoba dan pindah bersama ayahnya dari Andalusia pada usia muda. Beliau banyak mendengar hadis di kota Mekkah, Madinah, dan tempat-tempat lainnya. Kemudian beliau menetap di Alexandria dan mengajar di sana. Beliau mahir di bidang ilmu fikih, bahasa Arab, dan ilmu hadis. Di antara karya-karyanya yang paling penting adalah “Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim” (Pemahaman tentang Apa yang Sulit Dipahami dari Ringkasan Kitab Muslim). Beliau wafat pada tahun 656 H dan Al-Qurthubi pernah menyebutkannya dalam tafsirnya. Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Rawaj Beliau adalah Syekh Rasyiduddin Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Zhafir bin Fattuh bin Abi Al-Hasan Al-Qurasyi bin Rawaj Al-Iskandaraani Al-Maliki. Beliau adalah seorang ahli fikih dan ahli hadis. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata tentang beliau, “Banyak penuntut ilmu yang mengambil ilmu dari beliau, di antaranya adalah Abu Abdillah Al-Qurthubi.” (Thabaqat Al-Mufassiriin, hal. 39) Ibnu Al-Jumayzi Beliau adalah Bahauddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al-Lakhmi. Beliau dikenal sebagai Ibnu Al-Jumayzi. Beliau hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun lalu melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Beliau adalah seorang imam dalam bidang fikih, hadis, qira’at, dan nahwu. Beliau wafat pada tahun 649 Hijriah. Di antara murid-murid Imam Al-Qurthubi Hampir tidak ada kitab biografi  yang  menyebutkan nama murid-murid Imam Al-Qurthubi yang mengambil ilmu kepada beliau, kecuali Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Thabaqat Al-Mufassirin”. Beliau menyebutkan salah satu murid beliau rahimahullah, yaitu putra dari Imam Al-Qurthubi sendiri. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Dan putranya, Syihabuddin Ahmad, meriwayatkan dari beliau dengan metode ijazah.” Sumber-sumber tersebut juga tidak menyebutkan bahwa Imam Al-Qurthubi pernah duduk untuk mengajar di negara mana pun yang pernah ia tinggali. Kita tidak mengetahui apa rahasianya, apakah Imam Al-Qurthubi benar-benar tidak memiliki halaqah pelajaran atau murid dan perhatiannya hanya terfokus pada penulisan dan menuntut ilmu? Dan mereka hanya menyebutkan putranya sebagai satu-satunya muridnya dikarenakan ia selalu bersamanya di rumah? Hal ini sangatlah tidak mungkin, namun ini adalah pertanyaan dan masalah yang diajukan oleh para peneliti tatkala menelusuri kehidupan imam dan ulama besar ini, terutama kita sama-sama tahu bahwa negara tempat Imam Al-Qurthubi menetap hingga wafatnya adalah tempat yang dikenal sebagai “Minyat Bani Khusaib,” dan itu adalah negara yang penuh dengan pelajaran, ilmu, lingkaran (halaqah) pengajian, dan diskusi ilmiah. Namun demikian, pertanyaan itu tetap ada: mengapa buku-buku biografi mengabaikan murid-murid seorang imam besar seperti Imam Al-Qurthubi? Semoga di kesempatan mendatang ada peneliti-peneliti yang dapat memberikan kita faidah dan wawasan baru mengenai hal ini. Wabillahi At-Taufiiq. Di antara karya beliau yang fenomenal Pertama, karya beliau yang paling terkenal adalah kitab di bidang tafsir, yaitu kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Dalam tafsirnya, beliau tidak hanya menyebutkan riwayat dari Rasulullah dan sahabat saja, beliau juga menggunakan berbagai ilmu seperti bahasa Arab, ilmu nahwu, dan ilmu qira’at. Beliau juga membahas ayat-ayat secara mendalam dengan membagi tafsirnya ke dalam beberapa bab. Ibnu Farhun mengatakan, وهو من أجلِّ التفاسير وأعظمها نفعًا، أسقط منه القصص والتواريخ، وأثبت عوضها أحكام القرآن واستنباط الأدلة، وذكر القراءات والإعراب، والناسخ والمنسوخ “Dan itu adalah salah satu tafsir yang paling mulia dan paling bermanfaat, beliau menghilangkan kisah-kisah dan sejarah darinya, dan menggantinya dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan penggalian dalil-dalil yang mendalam, serta menyebutkan bacaan-bacaan (qira’at), i’rab, dan nasikh mansukh (dari sebuah hukum).” (Ad-Dibaj Al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yan Ulama Al-Mazhab, hal. 317) Kedua, At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah (Berbicara mengenai kematian dan kehidupan akhirat). Ketiga, At-Tadzkir fi Afdhal Al-Adzkar (Tentang dzikir). Keempat, Al-Asnaa fi Syarhi Asma’ Allah Al-Husna wa Shifatuhu Al-Ulyaa (Mengenai Asma’ dan Sifat Allah Ta’ala). Kelima, Al-I’lam bima fi Diin An-Nasaraa min Al-Mafasid wa Al-Awham (Tentang kebatilan dalam ajaran Nasrani). Wafat beliau rahimahullah Setelah Imam Al-Qurthubi menghabiskan hampir seluruh umurnya dalam belajar, beribadah, dan menulis, beliau rahimahullah wafat di Munyat Bani Khasib (sekarang Minya, Mesir) pada malam Senin, 9 Syawal 671 H. Makamnya berada di Minya, di sebelah timur Sungai Nil. Rahimahullah rahmatan wasiah. Baca juga: Biografi Al-Hafidz Ibnu Katsir *** Penulis: Muhammad Idris Artikel Muslim.or.id

Rahasia Puasa 3 Hari yang Setara dengan Setahun! Sudah Tahu? Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apa keutamaan puasa Ayyamul Bidh? Diriwayatkan dalam hadis Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah. Meskipun sanad hadis ini terdapat kelemahan (maqāl), tetapi mayoritas ulama membolehkan mengamalkannya. Yang terpenting bagi seorang muslim adalah berpuasa tiga hari dalam sebulan, baik itu di awal, pertengahan, maupun akhir bulan. Karena itu, dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa tanpa membatasi waktu tertentu, apakah di awal, pertengahan, atau akhir bulan. Beliau bahkan sering berpuasa hingga orang mengira beliau tidak akan berbuka, dan terkadang berbuka hingga orang mengira beliau tidak akan berpuasa. Hadis-hadis sahih dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab lainnya menegaskan anjuran puasa tiga hari dalam setiap bulan, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Amr, Abu Darda, dan Abu Dzar. Yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan. Jika memungkinkan untuk melaksanakan puasa tiga hari ini pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Hijriah, maka itu sangat baik. Namun, puasa tiga hari ini dapat dilakukan kapan saja dalam sebulan. Sebagian orang punya cara sendiri, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan itu pada hari Senin: Senin pertama bulan Hijriah, Senin kedua, dan Senin ketiga. Dia berpuasa pada hari Senin. Cara ini juga baik, karena dalam hal ini ada keleluasaan. Yang penting, seorang muslim hendaknya bersemangat dalam berpuasa sunnah. Jika seseorang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka sesuai firman Allah, bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Maka, seakan-akan ia berpuasa setahun penuh. Karena 3 × 10 = 30, maka jika Anda berpuasa tiga hari setiap bulan, seolah-olah Anda berpuasa sebulan penuh. Jika Anda konsisten menjalankan ini setiap bulan, maka seakan-akan Anda berpuasa sepanjang tahun. Inilah karunia Allah, dan Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. ==== مَا فَضْلُ صِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ؟ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَفِي سَنَدِهِ مَقَالٌ لَكِنَّ الْعَمَلَ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْمُهِمُّ هُوَ أَنْ يَصُومَ الْمُسْلِمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ سَوَاءً أَكَانَتْ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَلَا يُبَالِي مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَكَانَ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالَّذِي جَاءَ فِي أَكْثَرِ الْأَحَادِيثِ وَفِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ كَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهَا صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ كَمَا فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَحَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الْأَيَّامُ الثَّلَاثَةُ فِي أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ مِنَ الشَّهْرِ الْهِجْرِيِّ فَهَذَا حَسَنٌ أَوْ يَجْعَلُهُ فِي أَيِّ وَقْتٍ وَبَعْضُ النَّاسِ أَيْضًا لَهُمْ طَرِيقَةُ فِي هَذَا يَجْعَلُ الصِّيَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ فِي يَوْمِ الِإثْنَيْنِ يَعْنِي يَصُومُ الِإثْنَيْنِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ الإِثْنَيْنِ الْأَوَّلِ ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّانِي ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّالِثِ فَيَجْعَلُ الصِّيَامَ فِي الِإثْنَيْنِفَهَذَا كُلُّهُ حَسَنٌ وَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى صِيَامِ النَّافِلَةِ وَإِذَا صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا يَعْنِي كَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ لِأَنَّ ثَلَاثَةً إِذَا ضَرَبْتَ ثَلَاثَةً فِي عَشَرَةٍ يَعْنِي ثَلَاثِيْنَ فَإِذَا صُمْتَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ كَأَنَّمَا صُمْتَ الشَّهْرَ فَإِذَا حَافَظْتَ عَلَى ذَلِكَ تَكُونُ كَأَنَّكَ صُمْتَ السَّنَةَ كُلَّهَا وَهَذَا فَضْلُ اللَّهِ وَفَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

Rahasia Puasa 3 Hari yang Setara dengan Setahun! Sudah Tahu? Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apa keutamaan puasa Ayyamul Bidh? Diriwayatkan dalam hadis Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah. Meskipun sanad hadis ini terdapat kelemahan (maqāl), tetapi mayoritas ulama membolehkan mengamalkannya. Yang terpenting bagi seorang muslim adalah berpuasa tiga hari dalam sebulan, baik itu di awal, pertengahan, maupun akhir bulan. Karena itu, dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa tanpa membatasi waktu tertentu, apakah di awal, pertengahan, atau akhir bulan. Beliau bahkan sering berpuasa hingga orang mengira beliau tidak akan berbuka, dan terkadang berbuka hingga orang mengira beliau tidak akan berpuasa. Hadis-hadis sahih dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab lainnya menegaskan anjuran puasa tiga hari dalam setiap bulan, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Amr, Abu Darda, dan Abu Dzar. Yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan. Jika memungkinkan untuk melaksanakan puasa tiga hari ini pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Hijriah, maka itu sangat baik. Namun, puasa tiga hari ini dapat dilakukan kapan saja dalam sebulan. Sebagian orang punya cara sendiri, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan itu pada hari Senin: Senin pertama bulan Hijriah, Senin kedua, dan Senin ketiga. Dia berpuasa pada hari Senin. Cara ini juga baik, karena dalam hal ini ada keleluasaan. Yang penting, seorang muslim hendaknya bersemangat dalam berpuasa sunnah. Jika seseorang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka sesuai firman Allah, bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Maka, seakan-akan ia berpuasa setahun penuh. Karena 3 × 10 = 30, maka jika Anda berpuasa tiga hari setiap bulan, seolah-olah Anda berpuasa sebulan penuh. Jika Anda konsisten menjalankan ini setiap bulan, maka seakan-akan Anda berpuasa sepanjang tahun. Inilah karunia Allah, dan Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. ==== مَا فَضْلُ صِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ؟ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَفِي سَنَدِهِ مَقَالٌ لَكِنَّ الْعَمَلَ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْمُهِمُّ هُوَ أَنْ يَصُومَ الْمُسْلِمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ سَوَاءً أَكَانَتْ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَلَا يُبَالِي مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَكَانَ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالَّذِي جَاءَ فِي أَكْثَرِ الْأَحَادِيثِ وَفِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ كَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهَا صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ كَمَا فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَحَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الْأَيَّامُ الثَّلَاثَةُ فِي أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ مِنَ الشَّهْرِ الْهِجْرِيِّ فَهَذَا حَسَنٌ أَوْ يَجْعَلُهُ فِي أَيِّ وَقْتٍ وَبَعْضُ النَّاسِ أَيْضًا لَهُمْ طَرِيقَةُ فِي هَذَا يَجْعَلُ الصِّيَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ فِي يَوْمِ الِإثْنَيْنِ يَعْنِي يَصُومُ الِإثْنَيْنِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ الإِثْنَيْنِ الْأَوَّلِ ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّانِي ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّالِثِ فَيَجْعَلُ الصِّيَامَ فِي الِإثْنَيْنِفَهَذَا كُلُّهُ حَسَنٌ وَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى صِيَامِ النَّافِلَةِ وَإِذَا صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا يَعْنِي كَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ لِأَنَّ ثَلَاثَةً إِذَا ضَرَبْتَ ثَلَاثَةً فِي عَشَرَةٍ يَعْنِي ثَلَاثِيْنَ فَإِذَا صُمْتَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ كَأَنَّمَا صُمْتَ الشَّهْرَ فَإِذَا حَافَظْتَ عَلَى ذَلِكَ تَكُونُ كَأَنَّكَ صُمْتَ السَّنَةَ كُلَّهَا وَهَذَا فَضْلُ اللَّهِ وَفَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Apa keutamaan puasa Ayyamul Bidh? Diriwayatkan dalam hadis Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah. Meskipun sanad hadis ini terdapat kelemahan (maqāl), tetapi mayoritas ulama membolehkan mengamalkannya. Yang terpenting bagi seorang muslim adalah berpuasa tiga hari dalam sebulan, baik itu di awal, pertengahan, maupun akhir bulan. Karena itu, dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa tanpa membatasi waktu tertentu, apakah di awal, pertengahan, atau akhir bulan. Beliau bahkan sering berpuasa hingga orang mengira beliau tidak akan berbuka, dan terkadang berbuka hingga orang mengira beliau tidak akan berpuasa. Hadis-hadis sahih dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab lainnya menegaskan anjuran puasa tiga hari dalam setiap bulan, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Amr, Abu Darda, dan Abu Dzar. Yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan. Jika memungkinkan untuk melaksanakan puasa tiga hari ini pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Hijriah, maka itu sangat baik. Namun, puasa tiga hari ini dapat dilakukan kapan saja dalam sebulan. Sebagian orang punya cara sendiri, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan itu pada hari Senin: Senin pertama bulan Hijriah, Senin kedua, dan Senin ketiga. Dia berpuasa pada hari Senin. Cara ini juga baik, karena dalam hal ini ada keleluasaan. Yang penting, seorang muslim hendaknya bersemangat dalam berpuasa sunnah. Jika seseorang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka sesuai firman Allah, bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Maka, seakan-akan ia berpuasa setahun penuh. Karena 3 × 10 = 30, maka jika Anda berpuasa tiga hari setiap bulan, seolah-olah Anda berpuasa sebulan penuh. Jika Anda konsisten menjalankan ini setiap bulan, maka seakan-akan Anda berpuasa sepanjang tahun. Inilah karunia Allah, dan Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. ==== مَا فَضْلُ صِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ؟ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَفِي سَنَدِهِ مَقَالٌ لَكِنَّ الْعَمَلَ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْمُهِمُّ هُوَ أَنْ يَصُومَ الْمُسْلِمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ سَوَاءً أَكَانَتْ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَلَا يُبَالِي مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَكَانَ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالَّذِي جَاءَ فِي أَكْثَرِ الْأَحَادِيثِ وَفِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ كَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهَا صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ كَمَا فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَحَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الْأَيَّامُ الثَّلَاثَةُ فِي أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ مِنَ الشَّهْرِ الْهِجْرِيِّ فَهَذَا حَسَنٌ أَوْ يَجْعَلُهُ فِي أَيِّ وَقْتٍ وَبَعْضُ النَّاسِ أَيْضًا لَهُمْ طَرِيقَةُ فِي هَذَا يَجْعَلُ الصِّيَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ فِي يَوْمِ الِإثْنَيْنِ يَعْنِي يَصُومُ الِإثْنَيْنِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ الإِثْنَيْنِ الْأَوَّلِ ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّانِي ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّالِثِ فَيَجْعَلُ الصِّيَامَ فِي الِإثْنَيْنِفَهَذَا كُلُّهُ حَسَنٌ وَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى صِيَامِ النَّافِلَةِ وَإِذَا صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا يَعْنِي كَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ لِأَنَّ ثَلَاثَةً إِذَا ضَرَبْتَ ثَلَاثَةً فِي عَشَرَةٍ يَعْنِي ثَلَاثِيْنَ فَإِذَا صُمْتَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ كَأَنَّمَا صُمْتَ الشَّهْرَ فَإِذَا حَافَظْتَ عَلَى ذَلِكَ تَكُونُ كَأَنَّكَ صُمْتَ السَّنَةَ كُلَّهَا وَهَذَا فَضْلُ اللَّهِ وَفَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ


Apa keutamaan puasa Ayyamul Bidh? Diriwayatkan dalam hadis Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah. Meskipun sanad hadis ini terdapat kelemahan (maqāl), tetapi mayoritas ulama membolehkan mengamalkannya. Yang terpenting bagi seorang muslim adalah berpuasa tiga hari dalam sebulan, baik itu di awal, pertengahan, maupun akhir bulan. Karena itu, dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa tanpa membatasi waktu tertentu, apakah di awal, pertengahan, atau akhir bulan. Beliau bahkan sering berpuasa hingga orang mengira beliau tidak akan berbuka, dan terkadang berbuka hingga orang mengira beliau tidak akan berpuasa. Hadis-hadis sahih dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab lainnya menegaskan anjuran puasa tiga hari dalam setiap bulan, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Amr, Abu Darda, dan Abu Dzar. Yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan. Jika memungkinkan untuk melaksanakan puasa tiga hari ini pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Hijriah, maka itu sangat baik. Namun, puasa tiga hari ini dapat dilakukan kapan saja dalam sebulan. Sebagian orang punya cara sendiri, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan itu pada hari Senin: Senin pertama bulan Hijriah, Senin kedua, dan Senin ketiga. Dia berpuasa pada hari Senin. Cara ini juga baik, karena dalam hal ini ada keleluasaan. Yang penting, seorang muslim hendaknya bersemangat dalam berpuasa sunnah. Jika seseorang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka sesuai firman Allah, bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Maka, seakan-akan ia berpuasa setahun penuh. Karena 3 × 10 = 30, maka jika Anda berpuasa tiga hari setiap bulan, seolah-olah Anda berpuasa sebulan penuh. Jika Anda konsisten menjalankan ini setiap bulan, maka seakan-akan Anda berpuasa sepanjang tahun. Inilah karunia Allah, dan Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. ==== مَا فَضْلُ صِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ؟ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ وَفِي سَنَدِهِ مَقَالٌ لَكِنَّ الْعَمَلَ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْمُهِمُّ هُوَ أَنْ يَصُومَ الْمُسْلِمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ سَوَاءً أَكَانَتْ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَلَا يُبَالِي مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ وَكَانَ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالَّذِي جَاءَ فِي أَكْثَرِ الْأَحَادِيثِ وَفِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ كَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهَا صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ كَمَا فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَحَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الْأَيَّامُ الثَّلَاثَةُ فِي أَيَّامِ الْبِيضِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَالرَّابِعَ عَشَرَ وَالْخَامِسَ عَشَرَ مِنَ الشَّهْرِ الْهِجْرِيِّ فَهَذَا حَسَنٌ أَوْ يَجْعَلُهُ فِي أَيِّ وَقْتٍ وَبَعْضُ النَّاسِ أَيْضًا لَهُمْ طَرِيقَةُ فِي هَذَا يَجْعَلُ الصِّيَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ فِي يَوْمِ الِإثْنَيْنِ يَعْنِي يَصُومُ الِإثْنَيْنِ مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ الإِثْنَيْنِ الْأَوَّلِ ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّانِي ثُمَّ الِإثْنَيْنِ الثَّالِثِ فَيَجْعَلُ الصِّيَامَ فِي الِإثْنَيْنِفَهَذَا كُلُّهُ حَسَنٌ وَالْأَمْرُ فِي هَذَا وَاسِعٌ لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَى صِيَامِ النَّافِلَةِ وَإِذَا صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا يَعْنِي كَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ لِأَنَّ ثَلَاثَةً إِذَا ضَرَبْتَ ثَلَاثَةً فِي عَشَرَةٍ يَعْنِي ثَلَاثِيْنَ فَإِذَا صُمْتَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ كَأَنَّمَا صُمْتَ الشَّهْرَ فَإِذَا حَافَظْتَ عَلَى ذَلِكَ تَكُونُ كَأَنَّكَ صُمْتَ السَّنَةَ كُلَّهَا وَهَذَا فَضْلُ اللَّهِ وَفَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

Kenapa Ibadahmu Sering Putus Nyambung? Ini Solusinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana cara agar konsisten mengerjakan amal saleh dan tidak futur (lemah dan malas)? Pertama, seseorang harus menjaga konsistensi dalam mengerjakan amal-amal wajib. Kewajiban dan fardu ini, sebagaimana dikatakan, adalah “garis merah” yang tidak boleh dilanggar. Ini harus menjadi bagian utama dalam hidup Anda—jangan pernah meremehkannya! Kedua, tetapkan ibadah sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. Perhatikan syarat ini baik-baik: rutin dan istiqamah! Sebab, ketika seseorang terus melakukan amal meskipun sedikit, pada akhirnya amalan itu akan menjadi banyak. Oleh sebab itu, seandainya Anda cermati amalan apa pun. Misalnya, dua rakaat Salat Duha setiap hari. Jika Anda konsisten Salat Duha setiap hari, maka dalam satu tahun Anda telah melakukan lebih dari 700 rakaat! Ketika mendengar jumlah 700 rakaat ini, Anda katakan: “Banyak sekali!” Padahal yang Anda lakukan hanyalah Salat Duha dua rakaat setiap hari, yang hanya memerlukan satu hingga dua menit. Maka dari itu, sedikit tetapi kontinu akan menjadi banyak. Selain itu, istiqamah dalam amal saleh sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Muslim). Ada pula faidah lain dari istiqamah dalam ibadah. Seseorang yang konsisten melakukan amal saleh, jika suatu hari ia terhalang karena sakit, bepergian, atau halangan lainnya, maka Allah tetap mencatat pahalanya secara penuh, Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka Allah tetap mencatat baginya pahala seperti yang biasa ia lakukan ketika sehat dan dalam keadaan menetap.” (HR. Bukhari). Namun, keutamaan ini hanya berlaku bagi orang yang konsisten dan rutin melakukan amal saleh. Adapun orang yang melakukannya sesekali saja tanpa konsistensi, lalu berhenti di lain waktu, maka tidak ditulis pahala baginya ketika dia sedang berhalangan. Oleh karena itu, nasihat saya bagi penanya yang mulia: Pertama, jagalah amalan wajib dengan baik. Kedua, tetapkan amalan sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. ===== كَيْفَ السَّبِيلُ إِلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَعَدَمِ الْفُتُورِ؟ أَوَّلًا يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْفَرَائِضِ الْفَرَائِضُ وَالْوَاجِبَاتُ هَذِهِ كَمَا يُقَالُ خَطٌّ أَحْمَرُ هَذِه تَجْعَلُهَا شَيْئًا أَسَاسِيًّا فِي حَيَاتِكَ لَا تُفَرِّطْ فِيهَا ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا انْتَبِهْ لِهَذَا القَيْدِ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا لِأَنَّ هَذِهِ الْمُدَاوَمَةَ وَالْمُحَافَظَةَ وَالِاسْتِمْرَارَ تَجْعَلُ هَذَا الْعَمَلَ الْقَلِيلَ كَثِيرًا وَلِذَلِكَ لَوْ تَأَمَّلْتَ فِي أَيِّ عَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ مَثَلًا رَكْعَتَي الضُّحَى لَوْ حَافَظْتَ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّكَ مَعَ نِهَايَةِ السَّنَةِ تَكُونُ قَدْ صَلَّيْتَ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِ مِئَةِ رَكْعَةٍ عِنْدَمَا تَسْمَعُ هَذَا الرَّقْمَ سَبْعَ مِئَةِ رَكْعَةٍ تَقُولُ هَذَا كَثِيرٌ وَهُوَ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تُصَلِّي رَكْعَتَي الضُّحَى مَا تَأْخُذُ مِنْكَ دَقِيقِةً أَوْ دَقِيقَتَيْنِ كُلَّ يَوْمٍ فَالْقَلِيْلُ مَعَ الْقَلِيلِ يَكُونُ كَثِيرًا ثُمَّ إِنَّ الْمُدَاوَمَةَ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ مَحْبُوبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَمَّ أَيْضًا هُنَاكَ فَائِدَةٌ أُخْرَى وَهِيَ أَنَّ مَنْ دَاوَمَ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍوَعَرَضَ لَهُ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا هَذَا إِنَّمَا يَكُونُ فِي حَقِّ مَنْ كَانَ مُدَاوِمًا وَمُحَافِظًا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ أَمَّا مَنْ كَانَ لَيْسَ مُحَافِظًا وَإِنَّمَا تَارَةً يَعْمَلُ وَتَارَةً يَنْقَطِعُ لَا يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ عِنْدَمَا يَعْرِضُ لَهُ عَارِضٌ وَلِذَلِكَ أَقُولُ لِلْأَخِ السَّائِلِ الْكَرِيمِ يَنْبَغِي أَوَّلًا أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الْوَاجِبَاتِ وَالْفَرَائِضِ ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا

Kenapa Ibadahmu Sering Putus Nyambung? Ini Solusinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana cara agar konsisten mengerjakan amal saleh dan tidak futur (lemah dan malas)? Pertama, seseorang harus menjaga konsistensi dalam mengerjakan amal-amal wajib. Kewajiban dan fardu ini, sebagaimana dikatakan, adalah “garis merah” yang tidak boleh dilanggar. Ini harus menjadi bagian utama dalam hidup Anda—jangan pernah meremehkannya! Kedua, tetapkan ibadah sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. Perhatikan syarat ini baik-baik: rutin dan istiqamah! Sebab, ketika seseorang terus melakukan amal meskipun sedikit, pada akhirnya amalan itu akan menjadi banyak. Oleh sebab itu, seandainya Anda cermati amalan apa pun. Misalnya, dua rakaat Salat Duha setiap hari. Jika Anda konsisten Salat Duha setiap hari, maka dalam satu tahun Anda telah melakukan lebih dari 700 rakaat! Ketika mendengar jumlah 700 rakaat ini, Anda katakan: “Banyak sekali!” Padahal yang Anda lakukan hanyalah Salat Duha dua rakaat setiap hari, yang hanya memerlukan satu hingga dua menit. Maka dari itu, sedikit tetapi kontinu akan menjadi banyak. Selain itu, istiqamah dalam amal saleh sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Muslim). Ada pula faidah lain dari istiqamah dalam ibadah. Seseorang yang konsisten melakukan amal saleh, jika suatu hari ia terhalang karena sakit, bepergian, atau halangan lainnya, maka Allah tetap mencatat pahalanya secara penuh, Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka Allah tetap mencatat baginya pahala seperti yang biasa ia lakukan ketika sehat dan dalam keadaan menetap.” (HR. Bukhari). Namun, keutamaan ini hanya berlaku bagi orang yang konsisten dan rutin melakukan amal saleh. Adapun orang yang melakukannya sesekali saja tanpa konsistensi, lalu berhenti di lain waktu, maka tidak ditulis pahala baginya ketika dia sedang berhalangan. Oleh karena itu, nasihat saya bagi penanya yang mulia: Pertama, jagalah amalan wajib dengan baik. Kedua, tetapkan amalan sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. ===== كَيْفَ السَّبِيلُ إِلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَعَدَمِ الْفُتُورِ؟ أَوَّلًا يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْفَرَائِضِ الْفَرَائِضُ وَالْوَاجِبَاتُ هَذِهِ كَمَا يُقَالُ خَطٌّ أَحْمَرُ هَذِه تَجْعَلُهَا شَيْئًا أَسَاسِيًّا فِي حَيَاتِكَ لَا تُفَرِّطْ فِيهَا ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا انْتَبِهْ لِهَذَا القَيْدِ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا لِأَنَّ هَذِهِ الْمُدَاوَمَةَ وَالْمُحَافَظَةَ وَالِاسْتِمْرَارَ تَجْعَلُ هَذَا الْعَمَلَ الْقَلِيلَ كَثِيرًا وَلِذَلِكَ لَوْ تَأَمَّلْتَ فِي أَيِّ عَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ مَثَلًا رَكْعَتَي الضُّحَى لَوْ حَافَظْتَ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّكَ مَعَ نِهَايَةِ السَّنَةِ تَكُونُ قَدْ صَلَّيْتَ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِ مِئَةِ رَكْعَةٍ عِنْدَمَا تَسْمَعُ هَذَا الرَّقْمَ سَبْعَ مِئَةِ رَكْعَةٍ تَقُولُ هَذَا كَثِيرٌ وَهُوَ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تُصَلِّي رَكْعَتَي الضُّحَى مَا تَأْخُذُ مِنْكَ دَقِيقِةً أَوْ دَقِيقَتَيْنِ كُلَّ يَوْمٍ فَالْقَلِيْلُ مَعَ الْقَلِيلِ يَكُونُ كَثِيرًا ثُمَّ إِنَّ الْمُدَاوَمَةَ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ مَحْبُوبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَمَّ أَيْضًا هُنَاكَ فَائِدَةٌ أُخْرَى وَهِيَ أَنَّ مَنْ دَاوَمَ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍوَعَرَضَ لَهُ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا هَذَا إِنَّمَا يَكُونُ فِي حَقِّ مَنْ كَانَ مُدَاوِمًا وَمُحَافِظًا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ أَمَّا مَنْ كَانَ لَيْسَ مُحَافِظًا وَإِنَّمَا تَارَةً يَعْمَلُ وَتَارَةً يَنْقَطِعُ لَا يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ عِنْدَمَا يَعْرِضُ لَهُ عَارِضٌ وَلِذَلِكَ أَقُولُ لِلْأَخِ السَّائِلِ الْكَرِيمِ يَنْبَغِي أَوَّلًا أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الْوَاجِبَاتِ وَالْفَرَائِضِ ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا
Bagaimana cara agar konsisten mengerjakan amal saleh dan tidak futur (lemah dan malas)? Pertama, seseorang harus menjaga konsistensi dalam mengerjakan amal-amal wajib. Kewajiban dan fardu ini, sebagaimana dikatakan, adalah “garis merah” yang tidak boleh dilanggar. Ini harus menjadi bagian utama dalam hidup Anda—jangan pernah meremehkannya! Kedua, tetapkan ibadah sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. Perhatikan syarat ini baik-baik: rutin dan istiqamah! Sebab, ketika seseorang terus melakukan amal meskipun sedikit, pada akhirnya amalan itu akan menjadi banyak. Oleh sebab itu, seandainya Anda cermati amalan apa pun. Misalnya, dua rakaat Salat Duha setiap hari. Jika Anda konsisten Salat Duha setiap hari, maka dalam satu tahun Anda telah melakukan lebih dari 700 rakaat! Ketika mendengar jumlah 700 rakaat ini, Anda katakan: “Banyak sekali!” Padahal yang Anda lakukan hanyalah Salat Duha dua rakaat setiap hari, yang hanya memerlukan satu hingga dua menit. Maka dari itu, sedikit tetapi kontinu akan menjadi banyak. Selain itu, istiqamah dalam amal saleh sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Muslim). Ada pula faidah lain dari istiqamah dalam ibadah. Seseorang yang konsisten melakukan amal saleh, jika suatu hari ia terhalang karena sakit, bepergian, atau halangan lainnya, maka Allah tetap mencatat pahalanya secara penuh, Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka Allah tetap mencatat baginya pahala seperti yang biasa ia lakukan ketika sehat dan dalam keadaan menetap.” (HR. Bukhari). Namun, keutamaan ini hanya berlaku bagi orang yang konsisten dan rutin melakukan amal saleh. Adapun orang yang melakukannya sesekali saja tanpa konsistensi, lalu berhenti di lain waktu, maka tidak ditulis pahala baginya ketika dia sedang berhalangan. Oleh karena itu, nasihat saya bagi penanya yang mulia: Pertama, jagalah amalan wajib dengan baik. Kedua, tetapkan amalan sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. ===== كَيْفَ السَّبِيلُ إِلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَعَدَمِ الْفُتُورِ؟ أَوَّلًا يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْفَرَائِضِ الْفَرَائِضُ وَالْوَاجِبَاتُ هَذِهِ كَمَا يُقَالُ خَطٌّ أَحْمَرُ هَذِه تَجْعَلُهَا شَيْئًا أَسَاسِيًّا فِي حَيَاتِكَ لَا تُفَرِّطْ فِيهَا ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا انْتَبِهْ لِهَذَا القَيْدِ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا لِأَنَّ هَذِهِ الْمُدَاوَمَةَ وَالْمُحَافَظَةَ وَالِاسْتِمْرَارَ تَجْعَلُ هَذَا الْعَمَلَ الْقَلِيلَ كَثِيرًا وَلِذَلِكَ لَوْ تَأَمَّلْتَ فِي أَيِّ عَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ مَثَلًا رَكْعَتَي الضُّحَى لَوْ حَافَظْتَ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّكَ مَعَ نِهَايَةِ السَّنَةِ تَكُونُ قَدْ صَلَّيْتَ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِ مِئَةِ رَكْعَةٍ عِنْدَمَا تَسْمَعُ هَذَا الرَّقْمَ سَبْعَ مِئَةِ رَكْعَةٍ تَقُولُ هَذَا كَثِيرٌ وَهُوَ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تُصَلِّي رَكْعَتَي الضُّحَى مَا تَأْخُذُ مِنْكَ دَقِيقِةً أَوْ دَقِيقَتَيْنِ كُلَّ يَوْمٍ فَالْقَلِيْلُ مَعَ الْقَلِيلِ يَكُونُ كَثِيرًا ثُمَّ إِنَّ الْمُدَاوَمَةَ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ مَحْبُوبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَمَّ أَيْضًا هُنَاكَ فَائِدَةٌ أُخْرَى وَهِيَ أَنَّ مَنْ دَاوَمَ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍوَعَرَضَ لَهُ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا هَذَا إِنَّمَا يَكُونُ فِي حَقِّ مَنْ كَانَ مُدَاوِمًا وَمُحَافِظًا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ أَمَّا مَنْ كَانَ لَيْسَ مُحَافِظًا وَإِنَّمَا تَارَةً يَعْمَلُ وَتَارَةً يَنْقَطِعُ لَا يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ عِنْدَمَا يَعْرِضُ لَهُ عَارِضٌ وَلِذَلِكَ أَقُولُ لِلْأَخِ السَّائِلِ الْكَرِيمِ يَنْبَغِي أَوَّلًا أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الْوَاجِبَاتِ وَالْفَرَائِضِ ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا


Bagaimana cara agar konsisten mengerjakan amal saleh dan tidak futur (lemah dan malas)? Pertama, seseorang harus menjaga konsistensi dalam mengerjakan amal-amal wajib. Kewajiban dan fardu ini, sebagaimana dikatakan, adalah “garis merah” yang tidak boleh dilanggar. Ini harus menjadi bagian utama dalam hidup Anda—jangan pernah meremehkannya! Kedua, tetapkan ibadah sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. Perhatikan syarat ini baik-baik: rutin dan istiqamah! Sebab, ketika seseorang terus melakukan amal meskipun sedikit, pada akhirnya amalan itu akan menjadi banyak. Oleh sebab itu, seandainya Anda cermati amalan apa pun. Misalnya, dua rakaat Salat Duha setiap hari. Jika Anda konsisten Salat Duha setiap hari, maka dalam satu tahun Anda telah melakukan lebih dari 700 rakaat! Ketika mendengar jumlah 700 rakaat ini, Anda katakan: “Banyak sekali!” Padahal yang Anda lakukan hanyalah Salat Duha dua rakaat setiap hari, yang hanya memerlukan satu hingga dua menit. Maka dari itu, sedikit tetapi kontinu akan menjadi banyak. Selain itu, istiqamah dalam amal saleh sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla. “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Muslim). Ada pula faidah lain dari istiqamah dalam ibadah. Seseorang yang konsisten melakukan amal saleh, jika suatu hari ia terhalang karena sakit, bepergian, atau halangan lainnya, maka Allah tetap mencatat pahalanya secara penuh, Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka Allah tetap mencatat baginya pahala seperti yang biasa ia lakukan ketika sehat dan dalam keadaan menetap.” (HR. Bukhari). Namun, keutamaan ini hanya berlaku bagi orang yang konsisten dan rutin melakukan amal saleh. Adapun orang yang melakukannya sesekali saja tanpa konsistensi, lalu berhenti di lain waktu, maka tidak ditulis pahala baginya ketika dia sedang berhalangan. Oleh karena itu, nasihat saya bagi penanya yang mulia: Pertama, jagalah amalan wajib dengan baik. Kedua, tetapkan amalan sunah yang bisa Anda lakukan secara rutin dan istiqamah. ===== كَيْفَ السَّبِيلُ إِلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَعَدَمِ الْفُتُورِ؟ أَوَّلًا يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْفَرَائِضِ الْفَرَائِضُ وَالْوَاجِبَاتُ هَذِهِ كَمَا يُقَالُ خَطٌّ أَحْمَرُ هَذِه تَجْعَلُهَا شَيْئًا أَسَاسِيًّا فِي حَيَاتِكَ لَا تُفَرِّطْ فِيهَا ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا انْتَبِهْ لِهَذَا القَيْدِ تُدَاوِمُ وَتُحَافِظُ عَلَيْهَا لِأَنَّ هَذِهِ الْمُدَاوَمَةَ وَالْمُحَافَظَةَ وَالِاسْتِمْرَارَ تَجْعَلُ هَذَا الْعَمَلَ الْقَلِيلَ كَثِيرًا وَلِذَلِكَ لَوْ تَأَمَّلْتَ فِي أَيِّ عَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ مَثَلًا رَكْعَتَي الضُّحَى لَوْ حَافَظْتَ عَلَيْهَا كُلَّ يَوْمٍ فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّكَ مَعَ نِهَايَةِ السَّنَةِ تَكُونُ قَدْ صَلَّيْتَ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِ مِئَةِ رَكْعَةٍ عِنْدَمَا تَسْمَعُ هَذَا الرَّقْمَ سَبْعَ مِئَةِ رَكْعَةٍ تَقُولُ هَذَا كَثِيرٌ وَهُوَ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تُصَلِّي رَكْعَتَي الضُّحَى مَا تَأْخُذُ مِنْكَ دَقِيقِةً أَوْ دَقِيقَتَيْنِ كُلَّ يَوْمٍ فَالْقَلِيْلُ مَعَ الْقَلِيلِ يَكُونُ كَثِيرًا ثُمَّ إِنَّ الْمُدَاوَمَةَ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ مَحْبُوبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ ثَمَّ أَيْضًا هُنَاكَ فَائِدَةٌ أُخْرَى وَهِيَ أَنَّ مَنْ دَاوَمَ عَلَى عَمَلٍ صَالِحٍوَعَرَضَ لَهُ عَارِضٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ كَامِلًا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا هَذَا إِنَّمَا يَكُونُ فِي حَقِّ مَنْ كَانَ مُدَاوِمًا وَمُحَافِظًا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ أَمَّا مَنْ كَانَ لَيْسَ مُحَافِظًا وَإِنَّمَا تَارَةً يَعْمَلُ وَتَارَةً يَنْقَطِعُ لَا يُكْتَبُ لَهُ الْأَجْرُ عِنْدَمَا يَعْرِضُ لَهُ عَارِضٌ وَلِذَلِكَ أَقُولُ لِلْأَخِ السَّائِلِ الْكَرِيمِ يَنْبَغِي أَوَّلًا أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الْوَاجِبَاتِ وَالْفَرَائِضِ ثَانِيًا تَجْعَلُ لَكَ نَوَافِلَ تُحَافِظُ عَلَيْهَا

Rahasia Hidup Tenang dari Hadis Nabi: Zuhud Itu Bukan Miskin – Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri

Wahai Syaikh, kita mulai dengan pertanyaan yang telah sampai kepada kami di sini. Dalam pertanyaan ini, ada keterkaitan antara sikap warak dan zuhud. Pertanyaannya: “Apakah sikap warak dan zuhud mengharuskan seseorang untuk tidak terlibat atau tidak ikut serta dalam saham dan jual beli saham?” “Apakah perbedaan antara kedua akhlak ini—warak dan zuhud?” Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Seorang mukmin pasti berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat membahayakan akhiratnya. Dia berusaha keras untuk menyiapkan masa depannya yang besar, yaitu kehidupan di akhirat kelak, dengan menyiapkan amal saleh dan menjauhi perbuatan buruk. Salah satu bentuknya adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat baginya di akhirat. Oleh karena itu, kita perlu membedakan antara dua istilah ini: Istilah yang pertama yaitu istilah warak. Warak artinya meninggalkan segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan akhirat. Setiap hal yang dapat merugikanmu di akhirat, jika kamu menjauhinya, maka kamu termasuk orang yang memiliki sifat warak. Adapun zuhud, maknanya adalah meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat. Ada hal-hal yang bersifat merugikan; meninggalkannya termasuk zuhud sekaligus warak. Sebaliknya, ada pula perkara yang bermanfaat; meninggalkannya justru berarti menjauhi kebaikan dan sama sekali bukan bagian dari zuhud atau warak. Ada juga perkara yang tidak memberikan manfaat di akhirat, tetapi juga tidak membahayakan. Meninggalkannya termasuk dalam zuhud, tapi bukan bagian dari warak. Banyak dalil yang menyebutkan anjuran untuk berakhlak dengan sikap warak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, dan pilihlah apa yang tidak meragukanmu.” (HR. An-Nasai) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas… Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui banyak orang. Barang siapa yang menghindari syubhat, maka dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.” (HR. Muslim). Dari sini, kita memahami maksud dari hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang penafsiran dari dosa. “Mintalah pertimbangan kepada hatimu, meskipun orang-orang berulang kali membolehkan perbuatanmu.” Artinya, jika dalam hatimu masih ada keraguan, maka seorang mukmin akan menghindari sesuatu yang membuatnya bimbang, meskipun ada orang yang memberi fatwa bahwa hal tersebut diperbolehkan. ==== شَيْخَنَا نَبْدَأُ بِسُؤَالٍ وَصَلَنَا هُنَا يَا شَيْخُ وَفِي السُّؤَالِ حَتَّى جَمَعَ بَيْنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ يَقُولُ هَلْ مِنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ عَدَمُ الِاشْتِرَاكِ أَوْ عَدَمِ يَعْنِي الدُّخُولِ فِي الْأَسْهُمِ وَالتِّجَارَةِ فِي الْأَسْهُمِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْخُلُقَيْنِ الْوَرَعِ وَكَذَلِكَ الزُّهْدِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ حَرِيْصٌ كُلَّ الْحِرْصِ عَلَى الِابْتِعَادِ عَمَّا يَكُونُ لَهُ ضَرَرٌ فِي آخِرَتِهِ فَهُو حَرِيصٌ عَلَى تَهْيِئَةِ مُسْتَقْبَلِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَكُونُ فِي الْآخِرَةِ بِإِعْدَادِ عَمَلٍ صَالِحٍ وَبِالِابْتِعَادِ عَنِ الْأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ مَا لَا يَنْتَفِعُ بِهِ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ وَمِنْ ثَمَّ نُفَرِّقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْمُصْطَلَحَيْنِ الْمُصْطَلَحِ الْأَوَّلِ مُصْطَلَحِ الْوَرَعِ وَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا يَكُونُ مُضِرًّا فِي الْآخِرَةِ فَكُلُّ مَا أَضَرَّ بِكَ فِي آخِرَتِكَ إِذَا اجْتَنَبْتَهُ فَإِنَّكَ حِينَئِذٍ تَكُونُ مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ وَأَمَّا الزُّهْدُ فَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا لَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ فَهُنَاكَ أُمُورٌ ضَارَّةٌ تَرْكُهَا يُعَدُّ زُهْدًا وَوَرَعًا وَهُنَاكَ أُمُورٌ نَافِعَةٌ يُعَدُّ تَرْكُهَا ابْتِعَادًا عَنِ الْخَيْرِ وَلَيْسَ مِنْ الزُّهْدِ وَلَا مِنَ الْوَرَعِ فِي شَيْءٍ وَهُنَاكَ أُمُورٌ لَا تَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ وَلَكِنَّهَا أَيْضًا لَا تَضُرُّ فَتَرْكُهَا يُعْتَبَرُ مِنَ الزُّهْدِ وَلَيْسَ مِنَ الْوَرَعِ وَقَدْ جَاءَتِ النُّصُوصُ تُرَغِّبُ بِالتَّخَلُّقِ بِخُلُقِ الْوَرِعِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ وَمِنْ هُنَا نَفْهَمُ مَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ حِينَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَفْسِيرِ الْإِثْمِ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ ثُمَّ أَفْتَوْكَ يَعْنِي إِذَا كَانَ فِي نَفْسِكَ شَيءٌ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَجْتَنِبُ مَا وَقَعَ فِيهِ التَّرَدُّدُحَتَّى وَلَوْ وُجِدَ مَنْ يُفْتِي بِجَوَازِ تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ

Rahasia Hidup Tenang dari Hadis Nabi: Zuhud Itu Bukan Miskin – Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri

Wahai Syaikh, kita mulai dengan pertanyaan yang telah sampai kepada kami di sini. Dalam pertanyaan ini, ada keterkaitan antara sikap warak dan zuhud. Pertanyaannya: “Apakah sikap warak dan zuhud mengharuskan seseorang untuk tidak terlibat atau tidak ikut serta dalam saham dan jual beli saham?” “Apakah perbedaan antara kedua akhlak ini—warak dan zuhud?” Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Seorang mukmin pasti berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat membahayakan akhiratnya. Dia berusaha keras untuk menyiapkan masa depannya yang besar, yaitu kehidupan di akhirat kelak, dengan menyiapkan amal saleh dan menjauhi perbuatan buruk. Salah satu bentuknya adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat baginya di akhirat. Oleh karena itu, kita perlu membedakan antara dua istilah ini: Istilah yang pertama yaitu istilah warak. Warak artinya meninggalkan segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan akhirat. Setiap hal yang dapat merugikanmu di akhirat, jika kamu menjauhinya, maka kamu termasuk orang yang memiliki sifat warak. Adapun zuhud, maknanya adalah meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat. Ada hal-hal yang bersifat merugikan; meninggalkannya termasuk zuhud sekaligus warak. Sebaliknya, ada pula perkara yang bermanfaat; meninggalkannya justru berarti menjauhi kebaikan dan sama sekali bukan bagian dari zuhud atau warak. Ada juga perkara yang tidak memberikan manfaat di akhirat, tetapi juga tidak membahayakan. Meninggalkannya termasuk dalam zuhud, tapi bukan bagian dari warak. Banyak dalil yang menyebutkan anjuran untuk berakhlak dengan sikap warak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, dan pilihlah apa yang tidak meragukanmu.” (HR. An-Nasai) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas… Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui banyak orang. Barang siapa yang menghindari syubhat, maka dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.” (HR. Muslim). Dari sini, kita memahami maksud dari hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang penafsiran dari dosa. “Mintalah pertimbangan kepada hatimu, meskipun orang-orang berulang kali membolehkan perbuatanmu.” Artinya, jika dalam hatimu masih ada keraguan, maka seorang mukmin akan menghindari sesuatu yang membuatnya bimbang, meskipun ada orang yang memberi fatwa bahwa hal tersebut diperbolehkan. ==== شَيْخَنَا نَبْدَأُ بِسُؤَالٍ وَصَلَنَا هُنَا يَا شَيْخُ وَفِي السُّؤَالِ حَتَّى جَمَعَ بَيْنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ يَقُولُ هَلْ مِنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ عَدَمُ الِاشْتِرَاكِ أَوْ عَدَمِ يَعْنِي الدُّخُولِ فِي الْأَسْهُمِ وَالتِّجَارَةِ فِي الْأَسْهُمِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْخُلُقَيْنِ الْوَرَعِ وَكَذَلِكَ الزُّهْدِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ حَرِيْصٌ كُلَّ الْحِرْصِ عَلَى الِابْتِعَادِ عَمَّا يَكُونُ لَهُ ضَرَرٌ فِي آخِرَتِهِ فَهُو حَرِيصٌ عَلَى تَهْيِئَةِ مُسْتَقْبَلِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَكُونُ فِي الْآخِرَةِ بِإِعْدَادِ عَمَلٍ صَالِحٍ وَبِالِابْتِعَادِ عَنِ الْأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ مَا لَا يَنْتَفِعُ بِهِ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ وَمِنْ ثَمَّ نُفَرِّقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْمُصْطَلَحَيْنِ الْمُصْطَلَحِ الْأَوَّلِ مُصْطَلَحِ الْوَرَعِ وَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا يَكُونُ مُضِرًّا فِي الْآخِرَةِ فَكُلُّ مَا أَضَرَّ بِكَ فِي آخِرَتِكَ إِذَا اجْتَنَبْتَهُ فَإِنَّكَ حِينَئِذٍ تَكُونُ مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ وَأَمَّا الزُّهْدُ فَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا لَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ فَهُنَاكَ أُمُورٌ ضَارَّةٌ تَرْكُهَا يُعَدُّ زُهْدًا وَوَرَعًا وَهُنَاكَ أُمُورٌ نَافِعَةٌ يُعَدُّ تَرْكُهَا ابْتِعَادًا عَنِ الْخَيْرِ وَلَيْسَ مِنْ الزُّهْدِ وَلَا مِنَ الْوَرَعِ فِي شَيْءٍ وَهُنَاكَ أُمُورٌ لَا تَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ وَلَكِنَّهَا أَيْضًا لَا تَضُرُّ فَتَرْكُهَا يُعْتَبَرُ مِنَ الزُّهْدِ وَلَيْسَ مِنَ الْوَرَعِ وَقَدْ جَاءَتِ النُّصُوصُ تُرَغِّبُ بِالتَّخَلُّقِ بِخُلُقِ الْوَرِعِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ وَمِنْ هُنَا نَفْهَمُ مَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ حِينَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَفْسِيرِ الْإِثْمِ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ ثُمَّ أَفْتَوْكَ يَعْنِي إِذَا كَانَ فِي نَفْسِكَ شَيءٌ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَجْتَنِبُ مَا وَقَعَ فِيهِ التَّرَدُّدُحَتَّى وَلَوْ وُجِدَ مَنْ يُفْتِي بِجَوَازِ تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ
Wahai Syaikh, kita mulai dengan pertanyaan yang telah sampai kepada kami di sini. Dalam pertanyaan ini, ada keterkaitan antara sikap warak dan zuhud. Pertanyaannya: “Apakah sikap warak dan zuhud mengharuskan seseorang untuk tidak terlibat atau tidak ikut serta dalam saham dan jual beli saham?” “Apakah perbedaan antara kedua akhlak ini—warak dan zuhud?” Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Seorang mukmin pasti berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat membahayakan akhiratnya. Dia berusaha keras untuk menyiapkan masa depannya yang besar, yaitu kehidupan di akhirat kelak, dengan menyiapkan amal saleh dan menjauhi perbuatan buruk. Salah satu bentuknya adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat baginya di akhirat. Oleh karena itu, kita perlu membedakan antara dua istilah ini: Istilah yang pertama yaitu istilah warak. Warak artinya meninggalkan segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan akhirat. Setiap hal yang dapat merugikanmu di akhirat, jika kamu menjauhinya, maka kamu termasuk orang yang memiliki sifat warak. Adapun zuhud, maknanya adalah meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat. Ada hal-hal yang bersifat merugikan; meninggalkannya termasuk zuhud sekaligus warak. Sebaliknya, ada pula perkara yang bermanfaat; meninggalkannya justru berarti menjauhi kebaikan dan sama sekali bukan bagian dari zuhud atau warak. Ada juga perkara yang tidak memberikan manfaat di akhirat, tetapi juga tidak membahayakan. Meninggalkannya termasuk dalam zuhud, tapi bukan bagian dari warak. Banyak dalil yang menyebutkan anjuran untuk berakhlak dengan sikap warak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, dan pilihlah apa yang tidak meragukanmu.” (HR. An-Nasai) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas… Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui banyak orang. Barang siapa yang menghindari syubhat, maka dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.” (HR. Muslim). Dari sini, kita memahami maksud dari hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang penafsiran dari dosa. “Mintalah pertimbangan kepada hatimu, meskipun orang-orang berulang kali membolehkan perbuatanmu.” Artinya, jika dalam hatimu masih ada keraguan, maka seorang mukmin akan menghindari sesuatu yang membuatnya bimbang, meskipun ada orang yang memberi fatwa bahwa hal tersebut diperbolehkan. ==== شَيْخَنَا نَبْدَأُ بِسُؤَالٍ وَصَلَنَا هُنَا يَا شَيْخُ وَفِي السُّؤَالِ حَتَّى جَمَعَ بَيْنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ يَقُولُ هَلْ مِنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ عَدَمُ الِاشْتِرَاكِ أَوْ عَدَمِ يَعْنِي الدُّخُولِ فِي الْأَسْهُمِ وَالتِّجَارَةِ فِي الْأَسْهُمِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْخُلُقَيْنِ الْوَرَعِ وَكَذَلِكَ الزُّهْدِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ حَرِيْصٌ كُلَّ الْحِرْصِ عَلَى الِابْتِعَادِ عَمَّا يَكُونُ لَهُ ضَرَرٌ فِي آخِرَتِهِ فَهُو حَرِيصٌ عَلَى تَهْيِئَةِ مُسْتَقْبَلِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَكُونُ فِي الْآخِرَةِ بِإِعْدَادِ عَمَلٍ صَالِحٍ وَبِالِابْتِعَادِ عَنِ الْأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ مَا لَا يَنْتَفِعُ بِهِ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ وَمِنْ ثَمَّ نُفَرِّقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْمُصْطَلَحَيْنِ الْمُصْطَلَحِ الْأَوَّلِ مُصْطَلَحِ الْوَرَعِ وَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا يَكُونُ مُضِرًّا فِي الْآخِرَةِ فَكُلُّ مَا أَضَرَّ بِكَ فِي آخِرَتِكَ إِذَا اجْتَنَبْتَهُ فَإِنَّكَ حِينَئِذٍ تَكُونُ مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ وَأَمَّا الزُّهْدُ فَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا لَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ فَهُنَاكَ أُمُورٌ ضَارَّةٌ تَرْكُهَا يُعَدُّ زُهْدًا وَوَرَعًا وَهُنَاكَ أُمُورٌ نَافِعَةٌ يُعَدُّ تَرْكُهَا ابْتِعَادًا عَنِ الْخَيْرِ وَلَيْسَ مِنْ الزُّهْدِ وَلَا مِنَ الْوَرَعِ فِي شَيْءٍ وَهُنَاكَ أُمُورٌ لَا تَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ وَلَكِنَّهَا أَيْضًا لَا تَضُرُّ فَتَرْكُهَا يُعْتَبَرُ مِنَ الزُّهْدِ وَلَيْسَ مِنَ الْوَرَعِ وَقَدْ جَاءَتِ النُّصُوصُ تُرَغِّبُ بِالتَّخَلُّقِ بِخُلُقِ الْوَرِعِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ وَمِنْ هُنَا نَفْهَمُ مَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ حِينَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَفْسِيرِ الْإِثْمِ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ ثُمَّ أَفْتَوْكَ يَعْنِي إِذَا كَانَ فِي نَفْسِكَ شَيءٌ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَجْتَنِبُ مَا وَقَعَ فِيهِ التَّرَدُّدُحَتَّى وَلَوْ وُجِدَ مَنْ يُفْتِي بِجَوَازِ تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ


Wahai Syaikh, kita mulai dengan pertanyaan yang telah sampai kepada kami di sini. Dalam pertanyaan ini, ada keterkaitan antara sikap warak dan zuhud. Pertanyaannya: “Apakah sikap warak dan zuhud mengharuskan seseorang untuk tidak terlibat atau tidak ikut serta dalam saham dan jual beli saham?” “Apakah perbedaan antara kedua akhlak ini—warak dan zuhud?” Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du. Seorang mukmin pasti berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat membahayakan akhiratnya. Dia berusaha keras untuk menyiapkan masa depannya yang besar, yaitu kehidupan di akhirat kelak, dengan menyiapkan amal saleh dan menjauhi perbuatan buruk. Salah satu bentuknya adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat baginya di akhirat. Oleh karena itu, kita perlu membedakan antara dua istilah ini: Istilah yang pertama yaitu istilah warak. Warak artinya meninggalkan segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan akhirat. Setiap hal yang dapat merugikanmu di akhirat, jika kamu menjauhinya, maka kamu termasuk orang yang memiliki sifat warak. Adapun zuhud, maknanya adalah meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat. Ada hal-hal yang bersifat merugikan; meninggalkannya termasuk zuhud sekaligus warak. Sebaliknya, ada pula perkara yang bermanfaat; meninggalkannya justru berarti menjauhi kebaikan dan sama sekali bukan bagian dari zuhud atau warak. Ada juga perkara yang tidak memberikan manfaat di akhirat, tetapi juga tidak membahayakan. Meninggalkannya termasuk dalam zuhud, tapi bukan bagian dari warak. Banyak dalil yang menyebutkan anjuran untuk berakhlak dengan sikap warak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, dan pilihlah apa yang tidak meragukanmu.” (HR. An-Nasai) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas… Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui banyak orang. Barang siapa yang menghindari syubhat, maka dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.” (HR. Muslim). Dari sini, kita memahami maksud dari hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang penafsiran dari dosa. “Mintalah pertimbangan kepada hatimu, meskipun orang-orang berulang kali membolehkan perbuatanmu.” Artinya, jika dalam hatimu masih ada keraguan, maka seorang mukmin akan menghindari sesuatu yang membuatnya bimbang, meskipun ada orang yang memberi fatwa bahwa hal tersebut diperbolehkan. ==== شَيْخَنَا نَبْدَأُ بِسُؤَالٍ وَصَلَنَا هُنَا يَا شَيْخُ وَفِي السُّؤَالِ حَتَّى جَمَعَ بَيْنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ يَقُولُ هَلْ مِنَ الْوَرَعِ وَالزُّهْدِ عَدَمُ الِاشْتِرَاكِ أَوْ عَدَمِ يَعْنِي الدُّخُولِ فِي الْأَسْهُمِ وَالتِّجَارَةِ فِي الْأَسْهُمِ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْخُلُقَيْنِ الْوَرَعِ وَكَذَلِكَ الزُّهْدِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ حَرِيْصٌ كُلَّ الْحِرْصِ عَلَى الِابْتِعَادِ عَمَّا يَكُونُ لَهُ ضَرَرٌ فِي آخِرَتِهِ فَهُو حَرِيصٌ عَلَى تَهْيِئَةِ مُسْتَقْبَلِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي يَكُونُ فِي الْآخِرَةِ بِإِعْدَادِ عَمَلٍ صَالِحٍ وَبِالِابْتِعَادِ عَنِ الْأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ مَا لَا يَنْتَفِعُ بِهِ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ وَمِنْ ثَمَّ نُفَرِّقُ بَيْنَ هَذَيْنِ الْمُصْطَلَحَيْنِ الْمُصْطَلَحِ الْأَوَّلِ مُصْطَلَحِ الْوَرَعِ وَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا يَكُونُ مُضِرًّا فِي الْآخِرَةِ فَكُلُّ مَا أَضَرَّ بِكَ فِي آخِرَتِكَ إِذَا اجْتَنَبْتَهُ فَإِنَّكَ حِينَئِذٍ تَكُونُ مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ وَأَمَّا الزُّهْدُ فَالْمُرَادُ بِهِ تَرْكُ مَا لَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ فَهُنَاكَ أُمُورٌ ضَارَّةٌ تَرْكُهَا يُعَدُّ زُهْدًا وَوَرَعًا وَهُنَاكَ أُمُورٌ نَافِعَةٌ يُعَدُّ تَرْكُهَا ابْتِعَادًا عَنِ الْخَيْرِ وَلَيْسَ مِنْ الزُّهْدِ وَلَا مِنَ الْوَرَعِ فِي شَيْءٍ وَهُنَاكَ أُمُورٌ لَا تَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ وَلَكِنَّهَا أَيْضًا لَا تَضُرُّ فَتَرْكُهَا يُعْتَبَرُ مِنَ الزُّهْدِ وَلَيْسَ مِنَ الْوَرَعِ وَقَدْ جَاءَتِ النُّصُوصُ تُرَغِّبُ بِالتَّخَلُّقِ بِخُلُقِ الْوَرِعِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ وَمِنْ هُنَا نَفْهَمُ مَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ حِينَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَفْسِيرِ الْإِثْمِ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ ثُمَّ أَفْتَوْكَ يَعْنِي إِذَا كَانَ فِي نَفْسِكَ شَيءٌ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَجْتَنِبُ مَا وَقَعَ فِيهِ التَّرَدُّدُحَتَّى وَلَوْ وُجِدَ مَنْ يُفْتِي بِجَوَازِ تِلْكَ الْمَسْأَلَةِ

Langkah yang Membantu untuk Muhasabah

Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal Allah Ta’alaKedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhiratKetiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelakKeempat, mengingat balasan yang telah disiapkan AllahPenghujung Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan yang terus bergerak cepat dan kesibukan yang tiada henti, seringkali kita lupa untuk sejenak berhenti, merenung, dan mengevaluasi diri. Inilah yang disebut dengan muhasabah, sebuah proses introspeksi yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menilai tindakan, niat, dan perjalanan hidup kita. Muhasabah berarti menatap kembali setiap amalan, meninggalkan segala keburukan yang pernah dilakukan, dan mempertahankan setiap kebaikan yang telah kita tanamkan, agar langkah kita selalu tertuju pada kebaikan. Sebagaimana perkataan Syekh Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, “Muhasabah bermakna memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan.” (A’malul Qulub, hal. 362) Muhasabah merupakan ibadah yang sangat mulia dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang, bahkan merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi) Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat A’malul Qulub, hal. 363-364) Ada beberapa hal yang bisa membantu kita untuk melakukan muhasabah sebagai berikut: Pertama, mengenal Allah Ta’ala Di antara hal yang dapat membantu seseorang untuk bermuhasabah adalah ia merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala, dan ia senantiasa sadar bahwa Allah Ta’ala mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari-Nya. Tiada satupun yang luput dari pengawasan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 6) Dalam ayat yang lain, وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 235) Dengan mengenal Allah, juga mengajarkan kita tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil dan Maha Bijaksana. Allah memiliki banyak nama yang indah, yang mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Merenungi makna dari setiap nama-Nya, mentadaburi maksud dari setiap firman-Nya dan memikirkan hikmah dari setiap ciptaan-Nya bisa membantu kita dalam bermuhasabah kepada-Nya. Kedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhirat Di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menghisab diri dan memperbaiki amalan yang kita lakukan. Ketika seseorang terbiasa melakukan muhasabah di dunia, maka menjadikannya lebih siap untuk menghadapi hisab di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ “Orang yang pandai (berakal) adalah yang mengevaluasi dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah (imannya) adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah (bahwa Allah akan mengampuninya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2459 dengan sanad hasan. Lihat Riyadush Shalihin, Bab Muraqabah, hadis ke-66) Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.” (HR. At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, 1: 319) Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Ketiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelak Allah Ta’ala berfirman, لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah (manusia) yang akan ditanyai (tentang perbuatan yang telah mereka lakukan).” (QS. Al-Anbiya’: 23) Hari kiamat adalah hari dimana semua manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Saat itu akan dilemparkan berbagai pertanyaan tentang semua amalan yang telah ia kerjakan di dunia. Setiap detik, setiap langkah, setiap perbuatan kita adalah bagian dari perjalanan yang akan dipertanggungjawabkan nanti. Ketika kita memikirkan dan merenungkan akan adanya persidangan di hadapan Allah tersebut, membuat kita untuk lebih terdorong melakukan muhasabah atas amalan yang telah dilakukan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan ditanya (diminta pertanggungjawaban).” (QS. Al-Isra’: 36) Kita juga akan ditanya tentang berbagai kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang berbagai kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8) Bahkan, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, seperti para Nabi dan Rasul, juga akan ditanya tentang perbuatannya, لِّيَسْـَٔلَ ٱلصَّٰدِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8) Dalam ayat yang lain, فَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلْمُرْسَلِينَ “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (QS. Al-A’raf: 6) Jika orang yang benar dan menyampaikan kebenaran (nabi dan rasul) juga orang-orang yang membenarkannya (pengikut nabi dan rasul) saja akan dimintai pertanggungjawaban atasnya, apalagi orang yang menyimpang dari kebenaran dan mengajarkan penyimpangannya? Keempat, mengingat balasan yang telah disiapkan Allah Allah yang Maha Adil telah menyiapkan balasan yang sempurna bagi setiap hamba-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan surga yang penuh kenikmatan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, serta neraka dan siksa yang hina bagi mereka yang durhaka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا “Bagi siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 124) Dalam ayat yang lain, وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Hajj: 57) Ketika kita merasa lelah dalam beribadah atau berbuat baik, ingatlah bahwa segala usaha kita tidak akan sia-sia. Balasan dari Allah tidak hanya berupa materi duniawi, tetapi juga kenikmatan abadi di akhirat nanti. Sebaliknya, tatkala kita hendak melakukan dosa dan maksiat, ingatlah bahwasanya setiap langkah menuju maksiat dan dosa adalah langkah yang dapat menjauhkan kita dari rahmat dan surga-Nya, bahkan menjadikan kita mendapatkan azab-Nya. Di sinilah muhasabah menjadi sangat penting. Dengan bermuhasabah, kita bisa lebih menyadari bahwa setiap perbuatan kita, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan dari Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Penghujung Di dalam muhasabah, ada kelembutan dan penerimaan akan kekurangan diri dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan. Ia mengajarkan kita untuk tetap memberikan ruang perbaikan. Melalui muhasabah, kita belajar bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang instan, melainkan sebuah perjalanan yang membutuhkan kesabaran dan usaha yang berkelanjutan. Semoga kita senantiasa dimudahkan dan diberikan taufik untuk bermuhasabah kepada-Nya. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 380

Langkah yang Membantu untuk Muhasabah

Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal Allah Ta’alaKedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhiratKetiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelakKeempat, mengingat balasan yang telah disiapkan AllahPenghujung Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan yang terus bergerak cepat dan kesibukan yang tiada henti, seringkali kita lupa untuk sejenak berhenti, merenung, dan mengevaluasi diri. Inilah yang disebut dengan muhasabah, sebuah proses introspeksi yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menilai tindakan, niat, dan perjalanan hidup kita. Muhasabah berarti menatap kembali setiap amalan, meninggalkan segala keburukan yang pernah dilakukan, dan mempertahankan setiap kebaikan yang telah kita tanamkan, agar langkah kita selalu tertuju pada kebaikan. Sebagaimana perkataan Syekh Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, “Muhasabah bermakna memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan.” (A’malul Qulub, hal. 362) Muhasabah merupakan ibadah yang sangat mulia dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang, bahkan merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi) Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat A’malul Qulub, hal. 363-364) Ada beberapa hal yang bisa membantu kita untuk melakukan muhasabah sebagai berikut: Pertama, mengenal Allah Ta’ala Di antara hal yang dapat membantu seseorang untuk bermuhasabah adalah ia merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala, dan ia senantiasa sadar bahwa Allah Ta’ala mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari-Nya. Tiada satupun yang luput dari pengawasan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 6) Dalam ayat yang lain, وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 235) Dengan mengenal Allah, juga mengajarkan kita tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil dan Maha Bijaksana. Allah memiliki banyak nama yang indah, yang mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Merenungi makna dari setiap nama-Nya, mentadaburi maksud dari setiap firman-Nya dan memikirkan hikmah dari setiap ciptaan-Nya bisa membantu kita dalam bermuhasabah kepada-Nya. Kedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhirat Di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menghisab diri dan memperbaiki amalan yang kita lakukan. Ketika seseorang terbiasa melakukan muhasabah di dunia, maka menjadikannya lebih siap untuk menghadapi hisab di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ “Orang yang pandai (berakal) adalah yang mengevaluasi dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah (imannya) adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah (bahwa Allah akan mengampuninya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2459 dengan sanad hasan. Lihat Riyadush Shalihin, Bab Muraqabah, hadis ke-66) Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.” (HR. At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, 1: 319) Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Ketiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelak Allah Ta’ala berfirman, لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah (manusia) yang akan ditanyai (tentang perbuatan yang telah mereka lakukan).” (QS. Al-Anbiya’: 23) Hari kiamat adalah hari dimana semua manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Saat itu akan dilemparkan berbagai pertanyaan tentang semua amalan yang telah ia kerjakan di dunia. Setiap detik, setiap langkah, setiap perbuatan kita adalah bagian dari perjalanan yang akan dipertanggungjawabkan nanti. Ketika kita memikirkan dan merenungkan akan adanya persidangan di hadapan Allah tersebut, membuat kita untuk lebih terdorong melakukan muhasabah atas amalan yang telah dilakukan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan ditanya (diminta pertanggungjawaban).” (QS. Al-Isra’: 36) Kita juga akan ditanya tentang berbagai kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang berbagai kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8) Bahkan, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, seperti para Nabi dan Rasul, juga akan ditanya tentang perbuatannya, لِّيَسْـَٔلَ ٱلصَّٰدِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8) Dalam ayat yang lain, فَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلْمُرْسَلِينَ “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (QS. Al-A’raf: 6) Jika orang yang benar dan menyampaikan kebenaran (nabi dan rasul) juga orang-orang yang membenarkannya (pengikut nabi dan rasul) saja akan dimintai pertanggungjawaban atasnya, apalagi orang yang menyimpang dari kebenaran dan mengajarkan penyimpangannya? Keempat, mengingat balasan yang telah disiapkan Allah Allah yang Maha Adil telah menyiapkan balasan yang sempurna bagi setiap hamba-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan surga yang penuh kenikmatan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, serta neraka dan siksa yang hina bagi mereka yang durhaka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا “Bagi siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 124) Dalam ayat yang lain, وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Hajj: 57) Ketika kita merasa lelah dalam beribadah atau berbuat baik, ingatlah bahwa segala usaha kita tidak akan sia-sia. Balasan dari Allah tidak hanya berupa materi duniawi, tetapi juga kenikmatan abadi di akhirat nanti. Sebaliknya, tatkala kita hendak melakukan dosa dan maksiat, ingatlah bahwasanya setiap langkah menuju maksiat dan dosa adalah langkah yang dapat menjauhkan kita dari rahmat dan surga-Nya, bahkan menjadikan kita mendapatkan azab-Nya. Di sinilah muhasabah menjadi sangat penting. Dengan bermuhasabah, kita bisa lebih menyadari bahwa setiap perbuatan kita, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan dari Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Penghujung Di dalam muhasabah, ada kelembutan dan penerimaan akan kekurangan diri dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan. Ia mengajarkan kita untuk tetap memberikan ruang perbaikan. Melalui muhasabah, kita belajar bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang instan, melainkan sebuah perjalanan yang membutuhkan kesabaran dan usaha yang berkelanjutan. Semoga kita senantiasa dimudahkan dan diberikan taufik untuk bermuhasabah kepada-Nya. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 380
Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal Allah Ta’alaKedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhiratKetiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelakKeempat, mengingat balasan yang telah disiapkan AllahPenghujung Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan yang terus bergerak cepat dan kesibukan yang tiada henti, seringkali kita lupa untuk sejenak berhenti, merenung, dan mengevaluasi diri. Inilah yang disebut dengan muhasabah, sebuah proses introspeksi yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menilai tindakan, niat, dan perjalanan hidup kita. Muhasabah berarti menatap kembali setiap amalan, meninggalkan segala keburukan yang pernah dilakukan, dan mempertahankan setiap kebaikan yang telah kita tanamkan, agar langkah kita selalu tertuju pada kebaikan. Sebagaimana perkataan Syekh Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, “Muhasabah bermakna memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan.” (A’malul Qulub, hal. 362) Muhasabah merupakan ibadah yang sangat mulia dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang, bahkan merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi) Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat A’malul Qulub, hal. 363-364) Ada beberapa hal yang bisa membantu kita untuk melakukan muhasabah sebagai berikut: Pertama, mengenal Allah Ta’ala Di antara hal yang dapat membantu seseorang untuk bermuhasabah adalah ia merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala, dan ia senantiasa sadar bahwa Allah Ta’ala mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari-Nya. Tiada satupun yang luput dari pengawasan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 6) Dalam ayat yang lain, وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 235) Dengan mengenal Allah, juga mengajarkan kita tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil dan Maha Bijaksana. Allah memiliki banyak nama yang indah, yang mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Merenungi makna dari setiap nama-Nya, mentadaburi maksud dari setiap firman-Nya dan memikirkan hikmah dari setiap ciptaan-Nya bisa membantu kita dalam bermuhasabah kepada-Nya. Kedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhirat Di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menghisab diri dan memperbaiki amalan yang kita lakukan. Ketika seseorang terbiasa melakukan muhasabah di dunia, maka menjadikannya lebih siap untuk menghadapi hisab di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ “Orang yang pandai (berakal) adalah yang mengevaluasi dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah (imannya) adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah (bahwa Allah akan mengampuninya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2459 dengan sanad hasan. Lihat Riyadush Shalihin, Bab Muraqabah, hadis ke-66) Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.” (HR. At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, 1: 319) Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Ketiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelak Allah Ta’ala berfirman, لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah (manusia) yang akan ditanyai (tentang perbuatan yang telah mereka lakukan).” (QS. Al-Anbiya’: 23) Hari kiamat adalah hari dimana semua manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Saat itu akan dilemparkan berbagai pertanyaan tentang semua amalan yang telah ia kerjakan di dunia. Setiap detik, setiap langkah, setiap perbuatan kita adalah bagian dari perjalanan yang akan dipertanggungjawabkan nanti. Ketika kita memikirkan dan merenungkan akan adanya persidangan di hadapan Allah tersebut, membuat kita untuk lebih terdorong melakukan muhasabah atas amalan yang telah dilakukan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan ditanya (diminta pertanggungjawaban).” (QS. Al-Isra’: 36) Kita juga akan ditanya tentang berbagai kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang berbagai kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8) Bahkan, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, seperti para Nabi dan Rasul, juga akan ditanya tentang perbuatannya, لِّيَسْـَٔلَ ٱلصَّٰدِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8) Dalam ayat yang lain, فَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلْمُرْسَلِينَ “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (QS. Al-A’raf: 6) Jika orang yang benar dan menyampaikan kebenaran (nabi dan rasul) juga orang-orang yang membenarkannya (pengikut nabi dan rasul) saja akan dimintai pertanggungjawaban atasnya, apalagi orang yang menyimpang dari kebenaran dan mengajarkan penyimpangannya? Keempat, mengingat balasan yang telah disiapkan Allah Allah yang Maha Adil telah menyiapkan balasan yang sempurna bagi setiap hamba-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan surga yang penuh kenikmatan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, serta neraka dan siksa yang hina bagi mereka yang durhaka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا “Bagi siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 124) Dalam ayat yang lain, وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Hajj: 57) Ketika kita merasa lelah dalam beribadah atau berbuat baik, ingatlah bahwa segala usaha kita tidak akan sia-sia. Balasan dari Allah tidak hanya berupa materi duniawi, tetapi juga kenikmatan abadi di akhirat nanti. Sebaliknya, tatkala kita hendak melakukan dosa dan maksiat, ingatlah bahwasanya setiap langkah menuju maksiat dan dosa adalah langkah yang dapat menjauhkan kita dari rahmat dan surga-Nya, bahkan menjadikan kita mendapatkan azab-Nya. Di sinilah muhasabah menjadi sangat penting. Dengan bermuhasabah, kita bisa lebih menyadari bahwa setiap perbuatan kita, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan dari Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Penghujung Di dalam muhasabah, ada kelembutan dan penerimaan akan kekurangan diri dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan. Ia mengajarkan kita untuk tetap memberikan ruang perbaikan. Melalui muhasabah, kita belajar bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang instan, melainkan sebuah perjalanan yang membutuhkan kesabaran dan usaha yang berkelanjutan. Semoga kita senantiasa dimudahkan dan diberikan taufik untuk bermuhasabah kepada-Nya. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 380


Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal Allah Ta’alaKedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhiratKetiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelakKeempat, mengingat balasan yang telah disiapkan AllahPenghujung Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan yang terus bergerak cepat dan kesibukan yang tiada henti, seringkali kita lupa untuk sejenak berhenti, merenung, dan mengevaluasi diri. Inilah yang disebut dengan muhasabah, sebuah proses introspeksi yang memberikan kesempatan bagi kita untuk menilai tindakan, niat, dan perjalanan hidup kita. Muhasabah berarti menatap kembali setiap amalan, meninggalkan segala keburukan yang pernah dilakukan, dan mempertahankan setiap kebaikan yang telah kita tanamkan, agar langkah kita selalu tertuju pada kebaikan. Sebagaimana perkataan Syekh Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, “Muhasabah bermakna memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan.” (A’malul Qulub, hal. 362) Muhasabah merupakan ibadah yang sangat mulia dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang, bahkan merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi) Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat A’malul Qulub, hal. 363-364) Ada beberapa hal yang bisa membantu kita untuk melakukan muhasabah sebagai berikut: Pertama, mengenal Allah Ta’ala Di antara hal yang dapat membantu seseorang untuk bermuhasabah adalah ia merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala, dan ia senantiasa sadar bahwa Allah Ta’ala mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari-Nya. Tiada satupun yang luput dari pengawasan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 6) Dalam ayat yang lain, وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 235) Dengan mengenal Allah, juga mengajarkan kita tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil dan Maha Bijaksana. Allah memiliki banyak nama yang indah, yang mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Merenungi makna dari setiap nama-Nya, mentadaburi maksud dari setiap firman-Nya dan memikirkan hikmah dari setiap ciptaan-Nya bisa membantu kita dalam bermuhasabah kepada-Nya. Kedua, mengetahui bahwa muhasabah di dunia dapat meringankan hisab di akhirat Di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menghisab diri dan memperbaiki amalan yang kita lakukan. Ketika seseorang terbiasa melakukan muhasabah di dunia, maka menjadikannya lebih siap untuk menghadapi hisab di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ “Orang yang pandai (berakal) adalah yang mengevaluasi dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah (imannya) adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah (bahwa Allah akan mengampuninya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2459 dengan sanad hasan. Lihat Riyadush Shalihin, Bab Muraqabah, hadis ke-66) Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.” (HR. At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, 1: 319) Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Ketiga, merenungkan berbagai pertanyaan di akhirat kelak Allah Ta’ala berfirman, لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah (manusia) yang akan ditanyai (tentang perbuatan yang telah mereka lakukan).” (QS. Al-Anbiya’: 23) Hari kiamat adalah hari dimana semua manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Saat itu akan dilemparkan berbagai pertanyaan tentang semua amalan yang telah ia kerjakan di dunia. Setiap detik, setiap langkah, setiap perbuatan kita adalah bagian dari perjalanan yang akan dipertanggungjawabkan nanti. Ketika kita memikirkan dan merenungkan akan adanya persidangan di hadapan Allah tersebut, membuat kita untuk lebih terdorong melakukan muhasabah atas amalan yang telah dilakukan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan ditanya (diminta pertanggungjawaban).” (QS. Al-Isra’: 36) Kita juga akan ditanya tentang berbagai kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang berbagai kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8) Bahkan, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, seperti para Nabi dan Rasul, juga akan ditanya tentang perbuatannya, لِّيَسْـَٔلَ ٱلصَّٰدِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS. Al-Ahzab: 8) Dalam ayat yang lain, فَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْـَٔلَنَّ ٱلْمُرْسَلِينَ “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (QS. Al-A’raf: 6) Jika orang yang benar dan menyampaikan kebenaran (nabi dan rasul) juga orang-orang yang membenarkannya (pengikut nabi dan rasul) saja akan dimintai pertanggungjawaban atasnya, apalagi orang yang menyimpang dari kebenaran dan mengajarkan penyimpangannya? Keempat, mengingat balasan yang telah disiapkan Allah Allah yang Maha Adil telah menyiapkan balasan yang sempurna bagi setiap hamba-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan surga yang penuh kenikmatan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, serta neraka dan siksa yang hina bagi mereka yang durhaka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا “Bagi siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dizalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 124) Dalam ayat yang lain, وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Hajj: 57) Ketika kita merasa lelah dalam beribadah atau berbuat baik, ingatlah bahwa segala usaha kita tidak akan sia-sia. Balasan dari Allah tidak hanya berupa materi duniawi, tetapi juga kenikmatan abadi di akhirat nanti. Sebaliknya, tatkala kita hendak melakukan dosa dan maksiat, ingatlah bahwasanya setiap langkah menuju maksiat dan dosa adalah langkah yang dapat menjauhkan kita dari rahmat dan surga-Nya, bahkan menjadikan kita mendapatkan azab-Nya. Di sinilah muhasabah menjadi sangat penting. Dengan bermuhasabah, kita bisa lebih menyadari bahwa setiap perbuatan kita, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan dari Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Penghujung Di dalam muhasabah, ada kelembutan dan penerimaan akan kekurangan diri dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan. Ia mengajarkan kita untuk tetap memberikan ruang perbaikan. Melalui muhasabah, kita belajar bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang instan, melainkan sebuah perjalanan yang membutuhkan kesabaran dan usaha yang berkelanjutan. Semoga kita senantiasa dimudahkan dan diberikan taufik untuk bermuhasabah kepada-Nya. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id   Referensi: A’malul Qulub, karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah, hal. 380

Ramadan Usai tapi Pahala seperti Setahun Puasa? Begini Caranya! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Wahai hamba-hamba Allah, teruskan ketaatan kepada Rabb kalian setelah bulan Ramadan. Rasulullah shallallāhu ʿalaihi wa sallam telah memotivasi kita untuk terus berpuasa. Beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadan, lalu ia mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa satu tahun.” (HR. Muslim). Hal ini karena setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat pahalanya. Lalu, apa yang menghalangi kita untuk berpegang teguh pada agama kita dan terus menaati Rabb kita? Padahal Allah Ta’ala telah mensyariatkan agama yang paling mudah, paling indah, dan paling sempurna bagi kita. Rabb kita adalah Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Allah lebih sayang kepada hamba-Nya daripada sayangnya seorang ibu kepada anaknya. Allah Jalla wa ʿAlā berfirman: “Sungguh, rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” (HR. Bukhari). Allah telah mensyariatkan agama yang paling mudah bagi kita. ==== فَيَا عِبَادَ اللهِ دَاوِمُوا عَلَى طَاعَةِ رَبِّكُمْ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ حَثَّنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الصِّيَامِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَمَا لَنَا لَا نَتَمَسَّكُ بِدِينِنَا وَنُدَاوِمُ عَلَى طَاعَةِ رَبِّنَا وَاللهُ تَعَالَى قَدْ شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ وَأَجْمَلَهُ وَأَحْسَنَهُ رَبُّنَا رُبٌّ رَحِيمٌ كَرِيمٌ هُوَ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنَ الْوَالِدَةِ بِوَلَدِهَا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ

Ramadan Usai tapi Pahala seperti Setahun Puasa? Begini Caranya! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Wahai hamba-hamba Allah, teruskan ketaatan kepada Rabb kalian setelah bulan Ramadan. Rasulullah shallallāhu ʿalaihi wa sallam telah memotivasi kita untuk terus berpuasa. Beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadan, lalu ia mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa satu tahun.” (HR. Muslim). Hal ini karena setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat pahalanya. Lalu, apa yang menghalangi kita untuk berpegang teguh pada agama kita dan terus menaati Rabb kita? Padahal Allah Ta’ala telah mensyariatkan agama yang paling mudah, paling indah, dan paling sempurna bagi kita. Rabb kita adalah Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Allah lebih sayang kepada hamba-Nya daripada sayangnya seorang ibu kepada anaknya. Allah Jalla wa ʿAlā berfirman: “Sungguh, rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” (HR. Bukhari). Allah telah mensyariatkan agama yang paling mudah bagi kita. ==== فَيَا عِبَادَ اللهِ دَاوِمُوا عَلَى طَاعَةِ رَبِّكُمْ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ حَثَّنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الصِّيَامِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَمَا لَنَا لَا نَتَمَسَّكُ بِدِينِنَا وَنُدَاوِمُ عَلَى طَاعَةِ رَبِّنَا وَاللهُ تَعَالَى قَدْ شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ وَأَجْمَلَهُ وَأَحْسَنَهُ رَبُّنَا رُبٌّ رَحِيمٌ كَرِيمٌ هُوَ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنَ الْوَالِدَةِ بِوَلَدِهَا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ
Wahai hamba-hamba Allah, teruskan ketaatan kepada Rabb kalian setelah bulan Ramadan. Rasulullah shallallāhu ʿalaihi wa sallam telah memotivasi kita untuk terus berpuasa. Beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadan, lalu ia mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa satu tahun.” (HR. Muslim). Hal ini karena setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat pahalanya. Lalu, apa yang menghalangi kita untuk berpegang teguh pada agama kita dan terus menaati Rabb kita? Padahal Allah Ta’ala telah mensyariatkan agama yang paling mudah, paling indah, dan paling sempurna bagi kita. Rabb kita adalah Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Allah lebih sayang kepada hamba-Nya daripada sayangnya seorang ibu kepada anaknya. Allah Jalla wa ʿAlā berfirman: “Sungguh, rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” (HR. Bukhari). Allah telah mensyariatkan agama yang paling mudah bagi kita. ==== فَيَا عِبَادَ اللهِ دَاوِمُوا عَلَى طَاعَةِ رَبِّكُمْ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ حَثَّنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الصِّيَامِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَمَا لَنَا لَا نَتَمَسَّكُ بِدِينِنَا وَنُدَاوِمُ عَلَى طَاعَةِ رَبِّنَا وَاللهُ تَعَالَى قَدْ شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ وَأَجْمَلَهُ وَأَحْسَنَهُ رَبُّنَا رُبٌّ رَحِيمٌ كَرِيمٌ هُوَ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنَ الْوَالِدَةِ بِوَلَدِهَا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ


Wahai hamba-hamba Allah, teruskan ketaatan kepada Rabb kalian setelah bulan Ramadan. Rasulullah shallallāhu ʿalaihi wa sallam telah memotivasi kita untuk terus berpuasa. Beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadan, lalu ia mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa satu tahun.” (HR. Muslim). Hal ini karena setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat pahalanya. Lalu, apa yang menghalangi kita untuk berpegang teguh pada agama kita dan terus menaati Rabb kita? Padahal Allah Ta’ala telah mensyariatkan agama yang paling mudah, paling indah, dan paling sempurna bagi kita. Rabb kita adalah Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Allah lebih sayang kepada hamba-Nya daripada sayangnya seorang ibu kepada anaknya. Allah Jalla wa ʿAlā berfirman: “Sungguh, rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” (HR. Bukhari). Allah telah mensyariatkan agama yang paling mudah bagi kita. ==== فَيَا عِبَادَ اللهِ دَاوِمُوا عَلَى طَاعَةِ رَبِّكُمْ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ حَثَّنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى الصِّيَامِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَمَا لَنَا لَا نَتَمَسَّكُ بِدِينِنَا وَنُدَاوِمُ عَلَى طَاعَةِ رَبِّنَا وَاللهُ تَعَالَى قَدْ شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ وَأَجْمَلَهُ وَأَحْسَنَهُ رَبُّنَا رُبٌّ رَحِيمٌ كَرِيمٌ هُوَ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنَ الْوَالِدَةِ بِوَلَدِهَا وَيَقُولُ جَلَّ وَعَلَا: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي شَرَعَ لَنَا أَيسَرَ دِينٍ

Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aziz”Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz”Makna bahasa dari “Al-‘Aziz”Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hambaBeriman bahwa Allah adalah Al-‘AzizMencari kemuliaan dengan menaati AllahMemiliki sifat pemaaf dan rendah hatiHanya tunduk kepada Allah semata Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memiliki nama-nama terbaik dan sifat-sifat yang sempurna. Di antara nama-Nya yang mulia adalah “Al-‘Aziz”, yang menunjukkan keperkasaan, kemuliaan, dan kemenangan-Nya atas segala sesuatu. Memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz” sangat penting bagi setiap muslim, karena hal ini akan menumbuhkan keyakinan, keteguhan hati, dan kepercayaan penuh kepada-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Aziz, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini dapat menjadikan kita mengenal sifat keperkasaan Allah, sehingga kita akan semakin yakin bahwa hanya kepada-Nya tempat bergantung, dan hanya melalui ketaatan kepada-Nya kita akan memperoleh kemuliaan sejati. Dalil nama Allah “Al-‘Aziz” Nama “Al-‘Aziz” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 92 kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260) Firman Allah Ta’ala, وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ “Dan Allah Maha Perkasa, memiliki pembalasan.” (QS. Ali Imran: 4) Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’ara), disebutkan berulang kali dalam surat tersebut. Firman Allah Yang Maha Suci, رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ “Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Shad: 66) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aziz” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aziz” Kata “Al-‘Aziz” merupakan bentuk sifat musyabbah yang berasal dari kata ( عَزَّ يَعِزُّ عِزًّا ), yang berarti ( الشدة والامتناع ) “kekuatan” dan “ketidakterjangkauan”. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, العزيز في كلام العرب على أربعة أوجه: العزيز: الغالب القاهر والعزيز: الجليل الشريف والعزيز: القوي والعزيز بمعنى الشيء القليل الوجود المنقطع النظير “Kata “Al-‘Aziz” dalam bahasa arab memiliki empat makna utama: (1) yang mengalahkan dan menundukkan; (2) yang mulia dan agung; (3) yang kuat; dan (4) yang langka dan tiada bandingan.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (عزّ) الْعَيْنُ وَالزَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ وَاحِدٌ، يَدُلُّ عَلَى شِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَمَا ضَاهَاهُمَا، مِنْ غَلَبَةٍ وَقَهْرٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘za’) merupakan akar kata yang satu, yang sahih; yang menunjukkan kekuatan, keteguhan, dan hal-hal yang serupa dengannya, seperti kemenangan dan penundukan.” [4] Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Ar-Ruum, {وَهُوَ الْعَزِيزُ}. يقولُ: واللهُ ‌الشديدُ ‌فى ‌انتقامِه ‌من ‌أعدائِه، لا يمنعُه من ذلك مانعٌ، ولا يَحولُ بينَه وبينَه حائلٌ “{Dan Dialah Al-‘Aziz}; artinya, Allah adalah Dzat yang Maha Kuat dalam pembalasan terhadap musuh-musuh-Nya, tidak ada yang dapat menghalangi-Nya dari melakukan hal tersebut, dan tidak ada satu pun yang bisa menghambat-Nya.” [5] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Al-Hajj ayat 75, وَقَوْلُهُ: {عَزِيزٌ} أَيْ: ‌قَدْ ‌عَزَّ كُلَّ ‌شَيْءٍ فَقَهَرَهُ وَغَلَبَهُ، فَلَا يُمَانَعُ وَلَا يُغَالَبُ، لِعَظْمَتِهِ وَسُلْطَانِهِ، وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ. “Dan firman-Nya, {Al-‘Aziz}, yaitu Dzat yang telah mengalahkan segala sesuatu, menundukkannya, dan menguasainya. Maka tidak ada yang mampu melawan atau mengalahkan-Nya, karena keagungan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang Maha Esa dan Maha Menundukkan.” [6] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menjelaskan, {‌الْعَزِيزُ} الذي له العزة كلها، عزة القوة والقدرة، فهو القوي المتين، وعزة القهر والغلبة لكل مخلوق، فكلهم نواصيهم بيده، وليس لهم من الأمر شيء، وعزة الامتناع الذي تمنع بعزته عن كل مخلوق، فلا يعارض ولا يمانع، وليس له نديد ولا ضديد “{Al-‘Aziz} adalah Dzat yang memiliki seluruh keperkasaan: keperkasaan dalam kekuatan dan kemampuan – karena Dia adalah Yang Maha Kuat dan Maha Kokoh; keperkasaan dalam kemenangan dan dominasi – terhadap seluruh makhluk-Nya, karena segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya; dan keperkasaan dalam ketidakterjangkauan – karena dengan keperkasaan-Nya, Dia tidak bisa dilawan, ditentang, atau disandingkan dengan makhluk mana pun.” [7] Maka berdasarkan hal ini, makna nama Allah “Al-‘Aziz” dapat dipahami dalam empat aspek utama: Pertama, Al-Manii’ ( المَنِيعُ ) Allah adalah Dzat yang Maha Perkasa, yang memiliki kekuasaan mutlak dan keagungan yang tidak dapat dijangkau atau diganggu gugat. Kedua, Al-Qahir ( القَاهرُ ) Allah adalah Dzat yang mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan atau ditundukkan. Ketiga, Al-Qawiyy Asy-Syadid ( القَويُّ الشّديد ) Allah memiliki kekuatan yang absolut, sempurna, dan tiada tandingan. Keempat, Nafasatul Al-Qadr ( نَفَاسة القَدْر ) Allah adalah Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamai-Nya. Dia tidak memiliki tandingan atau kesetaraan dalam keagungan dan kemuliaan-Nya. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Aziz” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah adalah Al-‘Aziz Meyakini bahwa salah satu nama Allah adalah Al-‘Aziz, yang tidak dapat dikalahkan dan tidak bisa ditundukkan, akan memberikan keberanian dan kepercayaan diri (kepada Allah) yang besar dari seorang muslim. Sebab, makna nama ini menunjukkan bahwa ketetapan-Nya tidak bisa ditentang, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, meskipun manusia tidak menginginkannya. Sebaliknya, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi, meskipun manusia mengusahakannya. Hal ini sangat jelas dalam kisah para rasul dan nabi. Misalnya, dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salaam, saudara-saudaranya berusaha membunuhnya; dan ketika orang-orang Yahudi berusaha membunuh Nabi Isa ‘alaihis salaam; dan pada kisah Nabi Muhammad ﷺ, ketika kaum Quraisy berusaha membunuhnya, menahannya, atau mengusirnya dari tanah kelahirannya. [9] Mencari kemuliaan dengan menaati Allah Kemuliaan di dunia dan akhirat hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Allah berfirman, قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Katakanlah, ‘Wahai Allah, pemilik kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” (QS. Ali Imran: 26) Maka, siapa pun yang mencari kemuliaan, hendaknya ia mencarinya hanya dari Allah. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Artinya, siapa pun yang ingin menjadi mulia di dunia dan akhirat, hendaknya ia taat kepada Allah, karena hanya dengan itulah ia akan mendapatkan kemuliaan yang hakiki. [10] Memiliki sifat pemaaf dan rendah hati Di antara sebab-sebab yang membawa kemuliaan adalah pemaafan dan ketawaduan (rendah hati). Rasulullah ﷺ bersabda, ما نقصتْ صَدَقةٌ منْ مالٍ؛ وما زادَ اللهُ عبداً بعفوٍ إلا عِزّاً، وما تواضعَ أحدٌ لله؛ إلا رَفَعه الله “Harta seseorang tidak akan berkurang karena sedekah. Dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya tinggi.” (HR. Muslim no. 2588) Siapa pun yang memaafkan kesalahan orang lain, padahal ia mampu membalasnya, maka ia akan menjadi mulia di dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa pun yang bersikap rendah hati karena mengharapkan rida Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya di hadapan manusia dan memberinya kedudukan yang terhormat. [11] Hanya tunduk kepada Allah semata Hamba yang benar-benar beriman kepada Al-‘Aziz akan merendahkan dirinya hanya kepada Allah, tidak bergantung kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali kepada-Nya, dan tidak mencari kemuliaan kecuali dari-Nya. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا “Barang siapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Semakin tinggi realisasi penghambaan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula kemuliaan yang akan ia peroleh. Sebagaimana firman Allah, وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ “Dan kemuliaan itu milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8) [12] Sebagai penutup, nama Allah “Al-‘Aziz” mencerminkan kekuatan, kemenangan, dan keagungan-Nya yang tidak tertandingi. Nama ini mengajarkan kita untuk bertawakal kepada Allah, mencari kemuliaan hanya dari-Nya, serta menjalani kehidupan dengan penuh ketundukan kepada-Nya. Dengan memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz”, seorang muslim akan semakin percaya kepada Allah dalam menghadapi kehidupan dan lebih teguh dalam menjalankan ajaran Islam. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” *** Rumdin PPIA Sragen, 6 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 98. [2] Al-Bayān, hal. 44; Al-Mishbāḥ, hal. 410; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [3] Diringkas dari Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 237-239. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 410; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 96. [5] Tafsir Ath-Thabari, 18: 447. [6] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 454. [7] Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 25. [8] An-Nahjul Asmaa, hal. 98. Makna-makna ini juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam Nadhom Nūniyah (bait 3262-3265). Lihat juga Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [9] Diringkas dari An-Nahjul Asmaa, hal. 98. [10] An-Nahjul Asmaa, hal. 99. [11] ibid, hal. 99-100. [12] Fiqhul Asmaail Husnaa, hal. 279.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Aziz”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aziz”Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz”Makna bahasa dari “Al-‘Aziz”Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hambaBeriman bahwa Allah adalah Al-‘AzizMencari kemuliaan dengan menaati AllahMemiliki sifat pemaaf dan rendah hatiHanya tunduk kepada Allah semata Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memiliki nama-nama terbaik dan sifat-sifat yang sempurna. Di antara nama-Nya yang mulia adalah “Al-‘Aziz”, yang menunjukkan keperkasaan, kemuliaan, dan kemenangan-Nya atas segala sesuatu. Memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz” sangat penting bagi setiap muslim, karena hal ini akan menumbuhkan keyakinan, keteguhan hati, dan kepercayaan penuh kepada-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Aziz, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini dapat menjadikan kita mengenal sifat keperkasaan Allah, sehingga kita akan semakin yakin bahwa hanya kepada-Nya tempat bergantung, dan hanya melalui ketaatan kepada-Nya kita akan memperoleh kemuliaan sejati. Dalil nama Allah “Al-‘Aziz” Nama “Al-‘Aziz” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 92 kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260) Firman Allah Ta’ala, وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ “Dan Allah Maha Perkasa, memiliki pembalasan.” (QS. Ali Imran: 4) Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’ara), disebutkan berulang kali dalam surat tersebut. Firman Allah Yang Maha Suci, رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ “Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Shad: 66) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aziz” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aziz” Kata “Al-‘Aziz” merupakan bentuk sifat musyabbah yang berasal dari kata ( عَزَّ يَعِزُّ عِزًّا ), yang berarti ( الشدة والامتناع ) “kekuatan” dan “ketidakterjangkauan”. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, العزيز في كلام العرب على أربعة أوجه: العزيز: الغالب القاهر والعزيز: الجليل الشريف والعزيز: القوي والعزيز بمعنى الشيء القليل الوجود المنقطع النظير “Kata “Al-‘Aziz” dalam bahasa arab memiliki empat makna utama: (1) yang mengalahkan dan menundukkan; (2) yang mulia dan agung; (3) yang kuat; dan (4) yang langka dan tiada bandingan.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (عزّ) الْعَيْنُ وَالزَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ وَاحِدٌ، يَدُلُّ عَلَى شِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَمَا ضَاهَاهُمَا، مِنْ غَلَبَةٍ وَقَهْرٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘za’) merupakan akar kata yang satu, yang sahih; yang menunjukkan kekuatan, keteguhan, dan hal-hal yang serupa dengannya, seperti kemenangan dan penundukan.” [4] Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Ar-Ruum, {وَهُوَ الْعَزِيزُ}. يقولُ: واللهُ ‌الشديدُ ‌فى ‌انتقامِه ‌من ‌أعدائِه، لا يمنعُه من ذلك مانعٌ، ولا يَحولُ بينَه وبينَه حائلٌ “{Dan Dialah Al-‘Aziz}; artinya, Allah adalah Dzat yang Maha Kuat dalam pembalasan terhadap musuh-musuh-Nya, tidak ada yang dapat menghalangi-Nya dari melakukan hal tersebut, dan tidak ada satu pun yang bisa menghambat-Nya.” [5] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Al-Hajj ayat 75, وَقَوْلُهُ: {عَزِيزٌ} أَيْ: ‌قَدْ ‌عَزَّ كُلَّ ‌شَيْءٍ فَقَهَرَهُ وَغَلَبَهُ، فَلَا يُمَانَعُ وَلَا يُغَالَبُ، لِعَظْمَتِهِ وَسُلْطَانِهِ، وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ. “Dan firman-Nya, {Al-‘Aziz}, yaitu Dzat yang telah mengalahkan segala sesuatu, menundukkannya, dan menguasainya. Maka tidak ada yang mampu melawan atau mengalahkan-Nya, karena keagungan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang Maha Esa dan Maha Menundukkan.” [6] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menjelaskan, {‌الْعَزِيزُ} الذي له العزة كلها، عزة القوة والقدرة، فهو القوي المتين، وعزة القهر والغلبة لكل مخلوق، فكلهم نواصيهم بيده، وليس لهم من الأمر شيء، وعزة الامتناع الذي تمنع بعزته عن كل مخلوق، فلا يعارض ولا يمانع، وليس له نديد ولا ضديد “{Al-‘Aziz} adalah Dzat yang memiliki seluruh keperkasaan: keperkasaan dalam kekuatan dan kemampuan – karena Dia adalah Yang Maha Kuat dan Maha Kokoh; keperkasaan dalam kemenangan dan dominasi – terhadap seluruh makhluk-Nya, karena segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya; dan keperkasaan dalam ketidakterjangkauan – karena dengan keperkasaan-Nya, Dia tidak bisa dilawan, ditentang, atau disandingkan dengan makhluk mana pun.” [7] Maka berdasarkan hal ini, makna nama Allah “Al-‘Aziz” dapat dipahami dalam empat aspek utama: Pertama, Al-Manii’ ( المَنِيعُ ) Allah adalah Dzat yang Maha Perkasa, yang memiliki kekuasaan mutlak dan keagungan yang tidak dapat dijangkau atau diganggu gugat. Kedua, Al-Qahir ( القَاهرُ ) Allah adalah Dzat yang mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan atau ditundukkan. Ketiga, Al-Qawiyy Asy-Syadid ( القَويُّ الشّديد ) Allah memiliki kekuatan yang absolut, sempurna, dan tiada tandingan. Keempat, Nafasatul Al-Qadr ( نَفَاسة القَدْر ) Allah adalah Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamai-Nya. Dia tidak memiliki tandingan atau kesetaraan dalam keagungan dan kemuliaan-Nya. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Aziz” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah adalah Al-‘Aziz Meyakini bahwa salah satu nama Allah adalah Al-‘Aziz, yang tidak dapat dikalahkan dan tidak bisa ditundukkan, akan memberikan keberanian dan kepercayaan diri (kepada Allah) yang besar dari seorang muslim. Sebab, makna nama ini menunjukkan bahwa ketetapan-Nya tidak bisa ditentang, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, meskipun manusia tidak menginginkannya. Sebaliknya, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi, meskipun manusia mengusahakannya. Hal ini sangat jelas dalam kisah para rasul dan nabi. Misalnya, dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salaam, saudara-saudaranya berusaha membunuhnya; dan ketika orang-orang Yahudi berusaha membunuh Nabi Isa ‘alaihis salaam; dan pada kisah Nabi Muhammad ﷺ, ketika kaum Quraisy berusaha membunuhnya, menahannya, atau mengusirnya dari tanah kelahirannya. [9] Mencari kemuliaan dengan menaati Allah Kemuliaan di dunia dan akhirat hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Allah berfirman, قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Katakanlah, ‘Wahai Allah, pemilik kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” (QS. Ali Imran: 26) Maka, siapa pun yang mencari kemuliaan, hendaknya ia mencarinya hanya dari Allah. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Artinya, siapa pun yang ingin menjadi mulia di dunia dan akhirat, hendaknya ia taat kepada Allah, karena hanya dengan itulah ia akan mendapatkan kemuliaan yang hakiki. [10] Memiliki sifat pemaaf dan rendah hati Di antara sebab-sebab yang membawa kemuliaan adalah pemaafan dan ketawaduan (rendah hati). Rasulullah ﷺ bersabda, ما نقصتْ صَدَقةٌ منْ مالٍ؛ وما زادَ اللهُ عبداً بعفوٍ إلا عِزّاً، وما تواضعَ أحدٌ لله؛ إلا رَفَعه الله “Harta seseorang tidak akan berkurang karena sedekah. Dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya tinggi.” (HR. Muslim no. 2588) Siapa pun yang memaafkan kesalahan orang lain, padahal ia mampu membalasnya, maka ia akan menjadi mulia di dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa pun yang bersikap rendah hati karena mengharapkan rida Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya di hadapan manusia dan memberinya kedudukan yang terhormat. [11] Hanya tunduk kepada Allah semata Hamba yang benar-benar beriman kepada Al-‘Aziz akan merendahkan dirinya hanya kepada Allah, tidak bergantung kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali kepada-Nya, dan tidak mencari kemuliaan kecuali dari-Nya. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا “Barang siapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Semakin tinggi realisasi penghambaan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula kemuliaan yang akan ia peroleh. Sebagaimana firman Allah, وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ “Dan kemuliaan itu milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8) [12] Sebagai penutup, nama Allah “Al-‘Aziz” mencerminkan kekuatan, kemenangan, dan keagungan-Nya yang tidak tertandingi. Nama ini mengajarkan kita untuk bertawakal kepada Allah, mencari kemuliaan hanya dari-Nya, serta menjalani kehidupan dengan penuh ketundukan kepada-Nya. Dengan memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz”, seorang muslim akan semakin percaya kepada Allah dalam menghadapi kehidupan dan lebih teguh dalam menjalankan ajaran Islam. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” *** Rumdin PPIA Sragen, 6 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 98. [2] Al-Bayān, hal. 44; Al-Mishbāḥ, hal. 410; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [3] Diringkas dari Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 237-239. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 410; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 96. [5] Tafsir Ath-Thabari, 18: 447. [6] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 454. [7] Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 25. [8] An-Nahjul Asmaa, hal. 98. Makna-makna ini juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam Nadhom Nūniyah (bait 3262-3265). Lihat juga Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [9] Diringkas dari An-Nahjul Asmaa, hal. 98. [10] An-Nahjul Asmaa, hal. 99. [11] ibid, hal. 99-100. [12] Fiqhul Asmaail Husnaa, hal. 279.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aziz”Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz”Makna bahasa dari “Al-‘Aziz”Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hambaBeriman bahwa Allah adalah Al-‘AzizMencari kemuliaan dengan menaati AllahMemiliki sifat pemaaf dan rendah hatiHanya tunduk kepada Allah semata Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memiliki nama-nama terbaik dan sifat-sifat yang sempurna. Di antara nama-Nya yang mulia adalah “Al-‘Aziz”, yang menunjukkan keperkasaan, kemuliaan, dan kemenangan-Nya atas segala sesuatu. Memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz” sangat penting bagi setiap muslim, karena hal ini akan menumbuhkan keyakinan, keteguhan hati, dan kepercayaan penuh kepada-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Aziz, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini dapat menjadikan kita mengenal sifat keperkasaan Allah, sehingga kita akan semakin yakin bahwa hanya kepada-Nya tempat bergantung, dan hanya melalui ketaatan kepada-Nya kita akan memperoleh kemuliaan sejati. Dalil nama Allah “Al-‘Aziz” Nama “Al-‘Aziz” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 92 kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260) Firman Allah Ta’ala, وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ “Dan Allah Maha Perkasa, memiliki pembalasan.” (QS. Ali Imran: 4) Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’ara), disebutkan berulang kali dalam surat tersebut. Firman Allah Yang Maha Suci, رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ “Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Shad: 66) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aziz” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aziz” Kata “Al-‘Aziz” merupakan bentuk sifat musyabbah yang berasal dari kata ( عَزَّ يَعِزُّ عِزًّا ), yang berarti ( الشدة والامتناع ) “kekuatan” dan “ketidakterjangkauan”. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, العزيز في كلام العرب على أربعة أوجه: العزيز: الغالب القاهر والعزيز: الجليل الشريف والعزيز: القوي والعزيز بمعنى الشيء القليل الوجود المنقطع النظير “Kata “Al-‘Aziz” dalam bahasa arab memiliki empat makna utama: (1) yang mengalahkan dan menundukkan; (2) yang mulia dan agung; (3) yang kuat; dan (4) yang langka dan tiada bandingan.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (عزّ) الْعَيْنُ وَالزَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ وَاحِدٌ، يَدُلُّ عَلَى شِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَمَا ضَاهَاهُمَا، مِنْ غَلَبَةٍ وَقَهْرٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘za’) merupakan akar kata yang satu, yang sahih; yang menunjukkan kekuatan, keteguhan, dan hal-hal yang serupa dengannya, seperti kemenangan dan penundukan.” [4] Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Ar-Ruum, {وَهُوَ الْعَزِيزُ}. يقولُ: واللهُ ‌الشديدُ ‌فى ‌انتقامِه ‌من ‌أعدائِه، لا يمنعُه من ذلك مانعٌ، ولا يَحولُ بينَه وبينَه حائلٌ “{Dan Dialah Al-‘Aziz}; artinya, Allah adalah Dzat yang Maha Kuat dalam pembalasan terhadap musuh-musuh-Nya, tidak ada yang dapat menghalangi-Nya dari melakukan hal tersebut, dan tidak ada satu pun yang bisa menghambat-Nya.” [5] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Al-Hajj ayat 75, وَقَوْلُهُ: {عَزِيزٌ} أَيْ: ‌قَدْ ‌عَزَّ كُلَّ ‌شَيْءٍ فَقَهَرَهُ وَغَلَبَهُ، فَلَا يُمَانَعُ وَلَا يُغَالَبُ، لِعَظْمَتِهِ وَسُلْطَانِهِ، وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ. “Dan firman-Nya, {Al-‘Aziz}, yaitu Dzat yang telah mengalahkan segala sesuatu, menundukkannya, dan menguasainya. Maka tidak ada yang mampu melawan atau mengalahkan-Nya, karena keagungan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang Maha Esa dan Maha Menundukkan.” [6] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menjelaskan, {‌الْعَزِيزُ} الذي له العزة كلها، عزة القوة والقدرة، فهو القوي المتين، وعزة القهر والغلبة لكل مخلوق، فكلهم نواصيهم بيده، وليس لهم من الأمر شيء، وعزة الامتناع الذي تمنع بعزته عن كل مخلوق، فلا يعارض ولا يمانع، وليس له نديد ولا ضديد “{Al-‘Aziz} adalah Dzat yang memiliki seluruh keperkasaan: keperkasaan dalam kekuatan dan kemampuan – karena Dia adalah Yang Maha Kuat dan Maha Kokoh; keperkasaan dalam kemenangan dan dominasi – terhadap seluruh makhluk-Nya, karena segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya; dan keperkasaan dalam ketidakterjangkauan – karena dengan keperkasaan-Nya, Dia tidak bisa dilawan, ditentang, atau disandingkan dengan makhluk mana pun.” [7] Maka berdasarkan hal ini, makna nama Allah “Al-‘Aziz” dapat dipahami dalam empat aspek utama: Pertama, Al-Manii’ ( المَنِيعُ ) Allah adalah Dzat yang Maha Perkasa, yang memiliki kekuasaan mutlak dan keagungan yang tidak dapat dijangkau atau diganggu gugat. Kedua, Al-Qahir ( القَاهرُ ) Allah adalah Dzat yang mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan atau ditundukkan. Ketiga, Al-Qawiyy Asy-Syadid ( القَويُّ الشّديد ) Allah memiliki kekuatan yang absolut, sempurna, dan tiada tandingan. Keempat, Nafasatul Al-Qadr ( نَفَاسة القَدْر ) Allah adalah Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamai-Nya. Dia tidak memiliki tandingan atau kesetaraan dalam keagungan dan kemuliaan-Nya. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Aziz” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah adalah Al-‘Aziz Meyakini bahwa salah satu nama Allah adalah Al-‘Aziz, yang tidak dapat dikalahkan dan tidak bisa ditundukkan, akan memberikan keberanian dan kepercayaan diri (kepada Allah) yang besar dari seorang muslim. Sebab, makna nama ini menunjukkan bahwa ketetapan-Nya tidak bisa ditentang, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, meskipun manusia tidak menginginkannya. Sebaliknya, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi, meskipun manusia mengusahakannya. Hal ini sangat jelas dalam kisah para rasul dan nabi. Misalnya, dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salaam, saudara-saudaranya berusaha membunuhnya; dan ketika orang-orang Yahudi berusaha membunuh Nabi Isa ‘alaihis salaam; dan pada kisah Nabi Muhammad ﷺ, ketika kaum Quraisy berusaha membunuhnya, menahannya, atau mengusirnya dari tanah kelahirannya. [9] Mencari kemuliaan dengan menaati Allah Kemuliaan di dunia dan akhirat hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Allah berfirman, قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Katakanlah, ‘Wahai Allah, pemilik kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” (QS. Ali Imran: 26) Maka, siapa pun yang mencari kemuliaan, hendaknya ia mencarinya hanya dari Allah. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Artinya, siapa pun yang ingin menjadi mulia di dunia dan akhirat, hendaknya ia taat kepada Allah, karena hanya dengan itulah ia akan mendapatkan kemuliaan yang hakiki. [10] Memiliki sifat pemaaf dan rendah hati Di antara sebab-sebab yang membawa kemuliaan adalah pemaafan dan ketawaduan (rendah hati). Rasulullah ﷺ bersabda, ما نقصتْ صَدَقةٌ منْ مالٍ؛ وما زادَ اللهُ عبداً بعفوٍ إلا عِزّاً، وما تواضعَ أحدٌ لله؛ إلا رَفَعه الله “Harta seseorang tidak akan berkurang karena sedekah. Dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya tinggi.” (HR. Muslim no. 2588) Siapa pun yang memaafkan kesalahan orang lain, padahal ia mampu membalasnya, maka ia akan menjadi mulia di dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa pun yang bersikap rendah hati karena mengharapkan rida Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya di hadapan manusia dan memberinya kedudukan yang terhormat. [11] Hanya tunduk kepada Allah semata Hamba yang benar-benar beriman kepada Al-‘Aziz akan merendahkan dirinya hanya kepada Allah, tidak bergantung kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali kepada-Nya, dan tidak mencari kemuliaan kecuali dari-Nya. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا “Barang siapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Semakin tinggi realisasi penghambaan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula kemuliaan yang akan ia peroleh. Sebagaimana firman Allah, وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ “Dan kemuliaan itu milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8) [12] Sebagai penutup, nama Allah “Al-‘Aziz” mencerminkan kekuatan, kemenangan, dan keagungan-Nya yang tidak tertandingi. Nama ini mengajarkan kita untuk bertawakal kepada Allah, mencari kemuliaan hanya dari-Nya, serta menjalani kehidupan dengan penuh ketundukan kepada-Nya. Dengan memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz”, seorang muslim akan semakin percaya kepada Allah dalam menghadapi kehidupan dan lebih teguh dalam menjalankan ajaran Islam. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” *** Rumdin PPIA Sragen, 6 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 98. [2] Al-Bayān, hal. 44; Al-Mishbāḥ, hal. 410; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [3] Diringkas dari Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 237-239. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 410; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 96. [5] Tafsir Ath-Thabari, 18: 447. [6] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 454. [7] Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 25. [8] An-Nahjul Asmaa, hal. 98. Makna-makna ini juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam Nadhom Nūniyah (bait 3262-3265). Lihat juga Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [9] Diringkas dari An-Nahjul Asmaa, hal. 98. [10] An-Nahjul Asmaa, hal. 99. [11] ibid, hal. 99-100. [12] Fiqhul Asmaail Husnaa, hal. 279.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Aziz”Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz”Makna bahasa dari “Al-‘Aziz”Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hambaBeriman bahwa Allah adalah Al-‘AzizMencari kemuliaan dengan menaati AllahMemiliki sifat pemaaf dan rendah hatiHanya tunduk kepada Allah semata Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memiliki nama-nama terbaik dan sifat-sifat yang sempurna. Di antara nama-Nya yang mulia adalah “Al-‘Aziz”, yang menunjukkan keperkasaan, kemuliaan, dan kemenangan-Nya atas segala sesuatu. Memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz” sangat penting bagi setiap muslim, karena hal ini akan menumbuhkan keyakinan, keteguhan hati, dan kepercayaan penuh kepada-Nya. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Aziz, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini dapat menjadikan kita mengenal sifat keperkasaan Allah, sehingga kita akan semakin yakin bahwa hanya kepada-Nya tempat bergantung, dan hanya melalui ketaatan kepada-Nya kita akan memperoleh kemuliaan sejati. Dalil nama Allah “Al-‘Aziz” Nama “Al-‘Aziz” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 92 kali, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَاعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260) Firman Allah Ta’ala, وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ “Dan Allah Maha Perkasa, memiliki pembalasan.” (QS. Ali Imran: 4) Firman Allah Ta’ala, وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ “Dan sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’ara), disebutkan berulang kali dalam surat tersebut. Firman Allah Yang Maha Suci, رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ “Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Shad: 66) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Aziz” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Aziz” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Aziz” Kata “Al-‘Aziz” merupakan bentuk sifat musyabbah yang berasal dari kata ( عَزَّ يَعِزُّ عِزًّا ), yang berarti ( الشدة والامتناع ) “kekuatan” dan “ketidakterjangkauan”. [2] Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan, العزيز في كلام العرب على أربعة أوجه: العزيز: الغالب القاهر والعزيز: الجليل الشريف والعزيز: القوي والعزيز بمعنى الشيء القليل الوجود المنقطع النظير “Kata “Al-‘Aziz” dalam bahasa arab memiliki empat makna utama: (1) yang mengalahkan dan menundukkan; (2) yang mulia dan agung; (3) yang kuat; dan (4) yang langka dan tiada bandingan.” [3] Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan, (عزّ) الْعَيْنُ وَالزَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ وَاحِدٌ، يَدُلُّ عَلَى شِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَمَا ضَاهَاهُمَا، مِنْ غَلَبَةٍ وَقَهْرٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘za’) merupakan akar kata yang satu, yang sahih; yang menunjukkan kekuatan, keteguhan, dan hal-hal yang serupa dengannya, seperti kemenangan dan penundukan.” [4] Makna “Al-‘Aziz” dalam konteks Allah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Ar-Ruum, {وَهُوَ الْعَزِيزُ}. يقولُ: واللهُ ‌الشديدُ ‌فى ‌انتقامِه ‌من ‌أعدائِه، لا يمنعُه من ذلك مانعٌ، ولا يَحولُ بينَه وبينَه حائلٌ “{Dan Dialah Al-‘Aziz}; artinya, Allah adalah Dzat yang Maha Kuat dalam pembalasan terhadap musuh-musuh-Nya, tidak ada yang dapat menghalangi-Nya dari melakukan hal tersebut, dan tidak ada satu pun yang bisa menghambat-Nya.” [5] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya di surah Al-Hajj ayat 75, وَقَوْلُهُ: {عَزِيزٌ} أَيْ: ‌قَدْ ‌عَزَّ كُلَّ ‌شَيْءٍ فَقَهَرَهُ وَغَلَبَهُ، فَلَا يُمَانَعُ وَلَا يُغَالَبُ، لِعَظْمَتِهِ وَسُلْطَانِهِ، وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ. “Dan firman-Nya, {Al-‘Aziz}, yaitu Dzat yang telah mengalahkan segala sesuatu, menundukkannya, dan menguasainya. Maka tidak ada yang mampu melawan atau mengalahkan-Nya, karena keagungan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang Maha Esa dan Maha Menundukkan.” [6] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menjelaskan, {‌الْعَزِيزُ} الذي له العزة كلها، عزة القوة والقدرة، فهو القوي المتين، وعزة القهر والغلبة لكل مخلوق، فكلهم نواصيهم بيده، وليس لهم من الأمر شيء، وعزة الامتناع الذي تمنع بعزته عن كل مخلوق، فلا يعارض ولا يمانع، وليس له نديد ولا ضديد “{Al-‘Aziz} adalah Dzat yang memiliki seluruh keperkasaan: keperkasaan dalam kekuatan dan kemampuan – karena Dia adalah Yang Maha Kuat dan Maha Kokoh; keperkasaan dalam kemenangan dan dominasi – terhadap seluruh makhluk-Nya, karena segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya; dan keperkasaan dalam ketidakterjangkauan – karena dengan keperkasaan-Nya, Dia tidak bisa dilawan, ditentang, atau disandingkan dengan makhluk mana pun.” [7] Maka berdasarkan hal ini, makna nama Allah “Al-‘Aziz” dapat dipahami dalam empat aspek utama: Pertama, Al-Manii’ ( المَنِيعُ ) Allah adalah Dzat yang Maha Perkasa, yang memiliki kekuasaan mutlak dan keagungan yang tidak dapat dijangkau atau diganggu gugat. Kedua, Al-Qahir ( القَاهرُ ) Allah adalah Dzat yang mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan atau ditundukkan. Ketiga, Al-Qawiyy Asy-Syadid ( القَويُّ الشّديد ) Allah memiliki kekuatan yang absolut, sempurna, dan tiada tandingan. Keempat, Nafasatul Al-Qadr ( نَفَاسة القَدْر ) Allah adalah Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamai-Nya. Dia tidak memiliki tandingan atau kesetaraan dalam keagungan dan kemuliaan-Nya. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ilah” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Aziz” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Aziz” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah adalah Al-‘Aziz Meyakini bahwa salah satu nama Allah adalah Al-‘Aziz, yang tidak dapat dikalahkan dan tidak bisa ditundukkan, akan memberikan keberanian dan kepercayaan diri (kepada Allah) yang besar dari seorang muslim. Sebab, makna nama ini menunjukkan bahwa ketetapan-Nya tidak bisa ditentang, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, meskipun manusia tidak menginginkannya. Sebaliknya, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi, meskipun manusia mengusahakannya. Hal ini sangat jelas dalam kisah para rasul dan nabi. Misalnya, dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salaam, saudara-saudaranya berusaha membunuhnya; dan ketika orang-orang Yahudi berusaha membunuh Nabi Isa ‘alaihis salaam; dan pada kisah Nabi Muhammad ﷺ, ketika kaum Quraisy berusaha membunuhnya, menahannya, atau mengusirnya dari tanah kelahirannya. [9] Mencari kemuliaan dengan menaati Allah Kemuliaan di dunia dan akhirat hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Allah berfirman, قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Katakanlah, ‘Wahai Allah, pemilik kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” (QS. Ali Imran: 26) Maka, siapa pun yang mencari kemuliaan, hendaknya ia mencarinya hanya dari Allah. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Artinya, siapa pun yang ingin menjadi mulia di dunia dan akhirat, hendaknya ia taat kepada Allah, karena hanya dengan itulah ia akan mendapatkan kemuliaan yang hakiki. [10] Memiliki sifat pemaaf dan rendah hati Di antara sebab-sebab yang membawa kemuliaan adalah pemaafan dan ketawaduan (rendah hati). Rasulullah ﷺ bersabda, ما نقصتْ صَدَقةٌ منْ مالٍ؛ وما زادَ اللهُ عبداً بعفوٍ إلا عِزّاً، وما تواضعَ أحدٌ لله؛ إلا رَفَعه الله “Harta seseorang tidak akan berkurang karena sedekah. Dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya tinggi.” (HR. Muslim no. 2588) Siapa pun yang memaafkan kesalahan orang lain, padahal ia mampu membalasnya, maka ia akan menjadi mulia di dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa pun yang bersikap rendah hati karena mengharapkan rida Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya di hadapan manusia dan memberinya kedudukan yang terhormat. [11] Hanya tunduk kepada Allah semata Hamba yang benar-benar beriman kepada Al-‘Aziz akan merendahkan dirinya hanya kepada Allah, tidak bergantung kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali kepada-Nya, dan tidak mencari kemuliaan kecuali dari-Nya. Allah berfirman, مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا “Barang siapa yang menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Fathir: 10) Semakin tinggi realisasi penghambaan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula kemuliaan yang akan ia peroleh. Sebagaimana firman Allah, وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ “Dan kemuliaan itu milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8) [12] Sebagai penutup, nama Allah “Al-‘Aziz” mencerminkan kekuatan, kemenangan, dan keagungan-Nya yang tidak tertandingi. Nama ini mengajarkan kita untuk bertawakal kepada Allah, mencari kemuliaan hanya dari-Nya, serta menjalani kehidupan dengan penuh ketundukan kepada-Nya. Dengan memahami dan menghayati nama “Al-‘Aziz”, seorang muslim akan semakin percaya kepada Allah dalam menghadapi kehidupan dan lebih teguh dalam menjalankan ajaran Islam. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Bashir” *** Rumdin PPIA Sragen, 6 Ramadan 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 98. [2] Al-Bayān, hal. 44; Al-Mishbāḥ, hal. 410; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [3] Diringkas dari Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 237-239. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 410; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 96. [5] Tafsir Ath-Thabari, 18: 447. [6] Tafsir Ibnu Katsir, 5: 454. [7] Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 25. [8] An-Nahjul Asmaa, hal. 98. Makna-makna ini juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam Nadhom Nūniyah (bait 3262-3265). Lihat juga Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 239. [9] Diringkas dari An-Nahjul Asmaa, hal. 98. [10] An-Nahjul Asmaa, hal. 99. [11] ibid, hal. 99-100. [12] Fiqhul Asmaail Husnaa, hal. 279.
Prev     Next