Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Hukum dan Batasannya

Dalam Islam, menjaga pandangan bukan hanya perkara adab, tetapi bagian dari ketakwaan. Namun ada kondisi tertentu yang membolehkan laki-laki melihat perempuan dengan batasan dan syarat. Berikut penjelasan tujuh jenis pandangan laki-laki kepada perempuan menurut para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Para Ulama Syafiiyyah 2. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan? 2.1. Hukum wanita menutup aurat dari anak kecil 2.2. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuan 2.3. Apa hukum memandang anak perempuan kecil? 2.4. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)? 3. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak Perempuan 4. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah Menikah 4.1. Hukum laki-laki memandang laki-laki lain 4.2. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) 4.3. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslim 4.4. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisah 4.5. Hukum menyentuh vs memandang 4.6. Hukum tidur satu kasur 5. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan Pernikahan 6. Hukum Memandang untuk Keperluan Pengobatan 7. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan Transaksi 8. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak Membelinya  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَنَظَرَ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ:أَحَدُهَا نَظْرَةٌ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَغَيْرُ جَائِزٍ،وَالثَّانِي نَظْرَتُهُ إِلَى زَوْجَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجِ مِنْهُمَا،وَالثَّالِثُ نَظْرَتُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ أَوْ أَمَتِهِ الْمُزَوَّجَةِ فَيَجُوزُ فِيمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ،وَالرَّابِعُ النَّظَرُ لِأَجْلِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ،وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَيْهَا،وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ أَوْ لِلْمُعَامَلَةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ خَاصَّةً،وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيبِهَا.Pandangan Seorang Laki-laki kepada Perempuan Terbagi Menjadi Tujuh Keadaan:1. Pandangan kepada perempuan asing (ajnabiyyah) tanpa adanya kebutuhan: Ini tidak diperbolehkan.2. Pandangan kepada istri atau budaknya (amat) sendiri: Maka boleh memandang seluruh bagian tubuh selain kemaluan dari keduanya.3. Pandangan kepada perempuan mahramnya atau budak perempuan yang telah menikah: Maka boleh memandang selain bagian antara pusar dan lutut.4. Pandangan dengan tujuan melamar (untuk pernikahan): Maka boleh memandang wajah dan telapak tangan saja.5. Pandangan untuk keperluan pengobatan: Maka boleh memandang bagian tubuh yang dibutuhkan untuk proses pengobatan tersebut.6. Pandangan untuk keperluan menjadi saksi atau dalam muamalah: Maka boleh memandang wajah saja.7. Pandangan kepada budak perempuan saat hendak membelinya: Maka boleh memandang bagian tubuh yang diperlukan untuk diperiksa (dalam proses jual beli budak). Penjelasan Para Ulama SyafiiyyahPandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh macam:Pertama, seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu berhubungan intim, tidak boleh memandang wanita asing (yang bukan mahram) tanpa adanya kebutuhan. Jika ada kebutuhan seperti menjadi saksi dalam suatu perkara, maka dibolehkan.قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (QS. An-Nūr: 30)Kedua, pandangan laki-laki kepada istri atau budaknya: boleh baginya memandang seluruh tubuh mereka selain kemaluan. Namun, menurut pendapat yang lemah, melihat kemaluan itu haram. Sedangkan menurut pendapat yang lebih kuat, boleh melihatnya tetapi makruh.Menurut Syaikh Musthafa Al-Bugha, ia berkata, “Adapun melihat kemaluan wanita tanpa kebutuhan hukumnya makruh, karena bertentangan dengan adab.” Diriwayatkan dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) Rasulullah ﷺ dan beliau pun tidak pernah melihat milikku.” (Faidh Al-Qadir, 2:224, no. 1716)Ketiga, pandangan kepada perempuan mahram (karena nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan), termasuk juga kepada budak perempuan yang telah menikah: boleh melihat seluruh tubuh mereka selain bagian antara pusar dan lutut, karena bagian itu termasuk aurat dan haram dilihat.Dalil adalah firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah mertua mereka, anak-anak mereka, anak-anak suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka.” (QS. An-Nūr: 31). Perhiasan (zīnah) dalam ayat ini ditafsirkan bagian atas pusar dan bawah lutut—selain bagian yang dilarang dilihat.Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 4113) dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَمَتَهُ، فَلَا يَنْظُرْ إِلَى عَوْرَتِهَا“Apabila salah seorang dari kalian menikahkan budaknya dengan budak perempuan, maka janganlah ia melihat auratnya.”Dalam riwayat lain:فَلَا يَنْظُرْ إِلَى مَا دُونَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ الرُّكْبَةِ“Jangan melihat bagian antara pusar dan lutut.”Antara pusar dan lutut diharamkan dilihat selain suami dan istri karena termasuk aurat.Keempat, pandangan karena keperluan menikah: laki-laki yang hendak melamar seorang wanita boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian luar maupun dalam, walaupun tanpa izin si wanita. Dan menurut pendapat yang kuat dari Imam Nawawi, hal yang sama berlaku saat hendak melamar budak perempuan.Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 4833) dan Muslim (no. 1425), dari Sahal bin Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah ﷺ menatapnya dari atas sampai ke bawah dan menundukkan kepala beliau.Keterangan:“Menghadiahkan diri” maksudnya menawarkan diri untuk dinikahi Rasulullah ﷺ tanpa mahar, atau agar dinikahkan oleh beliau kepada orang yang dianggap layak.“Menatap dari atas ke bawah” artinya beliau ﷺ memperhatikan secara keseluruhan.“Menundukkan kepala” artinya beliau menolak tawaran tersebut dengan sopan.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1424), dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku berada di sisi Nabi ﷺ ketika seorang laki-laki datang dan memberitahu bahwa ia telah menikahi seorang wanita Anshar. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata kaum Anshar ada sesuatu (yang bisa jadi tidak cocok denganmu).'”Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1187) dan beliau menyatakannya hasan, dari Al-Mughīrah bin Syu‘bah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Lihatlah dia, karena itu lebih layak untuk menumbuhkan kecocokan di antara kalian.'”Keterangan:“Lebih layak” maksudnya lebih besar kemungkinan untuk terjalin kasih sayang dan kesepakatan.“Kecocokan” berasal dari kata ‘al-idām’, yang berarti lauk atau sesuatu yang dimakan bersama roti, yakni sebagai pelengkap agar lebih nikmat.Hadits-hadits ini dipahami bahwa yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua telapak tangan, karena tidak ada keperluan untuk melihat bagian lain.Kelima, pandangan karena keperluan pengobatan: dokter boleh melihat bagian tubuh wanita bukan mahram yang diperlukan untuk keperluan medis, termasuk area kemaluan, namun harus dengan syarat: di hadiri mahram, suami, atau tuannya, serta tidak ada dokter wanita yang bisa menangani.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2206) dari Jabir raḍiyallāhu ‘anhu: Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā pernah meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk melakukan hijamah (terapi bekam), maka beliau memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Catatan penting: Harus disertai dengan kehadiran mahram atau suami, serta tidak ada perempuan lain yang bisa mengobatinya. Jika ada dokter muslim, maka tidak boleh beralih kepada non-muslim.Keenam, pandangan karena keperluan persaksian: seorang saksi boleh melihat kemaluan wanita dalam kasus seperti persaksian atas perzinaan atau persalinan. Namun, jika ia melihat tanpa keperluan tersebut, maka ia berdosa dan kesaksiannya ditolak. Termasuk juga pandangan dalam urusan muamalah seperti jual beli: dibolehkan hanya melihat wajah saja, baik dalam konteks kesaksian maupun transaksi.Ketujuh, pandangan kepada budak perempuan saat hendak membeli: diperbolehkan melihat bagian tubuh yang biasanya diperiksa saat pembelian, seperti tangan dan rambutnya, tetapi tidak termasuk aurat. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan?Dalam Islam, pandangan seorang laki-laki kepada perempuan terbagi dalam beberapa kondisi. Di antara yang paling penting adalah larangan melihat perempuan asing (bukan mahram) tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syariat. Ini termasuk hukum yang ditegaskan para ulama.Yang dimaksud “laki-laki” di sini adalah laki-laki baligh, begitu pula “perempuan” adalah perempuan yang sudah baligh, kecuali jika dalam konteks tertentu kata “laki-laki” atau “perempuan” mencakup semua jenis kelamin tanpa memandang usia (karena penggunaan kata dengan alif lam pengenal).Nah, pandangan itu sendiri kadang tidak dibutuhkan, dan kadang memang ada kondisi yang membolehkannya karena kebutuhan, seperti pengobatan atau persaksian.Jenis yang pertama: jika tidak ada kebutuhan (yang dibenarkan), maka saat itu haram hukumnya laki-laki memandang aurat perempuan asing secara mutlak. Begitu pula haram hukumnya memandang wajah dan telapak tangan perempuan apabila dikhawatirkan menimbulkan fitnah (godaan syahwat).Namun jika tidak ada rasa takut akan muncul fitnah, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat menyatakan tetap haram, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ishṭikhrī, Abu ‘Alī Aṭ-Ṭabarī, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abū Muḥammad, serta ditegaskan pula oleh Abū Isḥāq Asy-Syīrāzī dan Ar-Ruyānī. Imam Al-Ḥaramain juga menyetujuinya.Alasan mereka kuat: umat Islam telah sepakat bahwa perempuan dilarang keluar rumah dalam keadaan terbuka aurat dan tanpa penutup, karena pandangan itu bisa menjadi sebab munculnya fitnah, membangkitkan syahwat, dan menimbulkan kerusakan. Maka, jalan terbaik menurut syariat adalah menutup semua pintu menuju fitnah, sebagaimana larangan berduaan dengan perempuan asing, tanpa perlu merinci setiap kondisi.Dalil umum yang dijadikan dasar adalah firman Allah Ta‘ala,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: “Tundukkanlah pandanganmu dan jagalah kemaluanmu.” (QS. An-Nūr: 30) Hukum wanita menutup aurat dari anak kecilAdapun hukum bagi remaja laki-laki yang belum baligh (muraahiq), terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa pandangannya dihukumi sebagaimana pandangan orang dewasa (baligh), karena pada umumnya mereka telah bisa melihat aurat perempuan. Oleh karena itu, perempuan tetap wajib menutup aurat dari mereka, sebagaimana juga wajib menutup aurat dari orang gila, tanpa ragu. Dan wali (orang tua) wajib mencegahnya dari memandang (yang haram), sebagaimana ia juga wajib mencegah anak dari perzinaan dan seluruh perkara haram lainnya. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuanAdapun mengenai hukum al-mamsūḥ (orang yang tidak memiliki hasrat seksual, seperti kasim, laki-laki yang telah dikebiri), maka mayoritas ulama berpendapat: hukum pandangannya kepada perempuan bukan mahram seperti pandangan laki-laki kepada mahramnya. Dalam hal ini, firman Allah Ta‘ala dapat dipahami sebagai berikut:أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ…atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)… (QS. An-Nūr: 31)Jenis yang kedua, yaitu bahwa lelaki tersebut (yang disebut ghayru ʾulī al-irbah) dihukumi seperti lelaki normal (fahl, yaitu laki-laki yang punya hasrat seksual) terhadap perempuan asing. Karena pada dasarnya ia tetap halal menikah dengannya.Imam Nawawi menjelaskan bahwa pendapat yang kuat dalam tafsir ayat ghayru ʾulī al-irbah adalah: yang dimaksud adalah orang yang lemah akalnya, sehingga tidak peduli terhadap perempuan, atau ia tidak memiliki syahwat kepada mereka. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selain beliau radhiyallāhu ‘anhum. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.Perlu diketahui, bahwa:Orang yang hanya terpotong zakarnya saja,atau yang hanya diangkat dua buah zakarnya saja,atau yang disebut ‘anin (lelaki yang impoten sejak awal pernikahan),atau orang tua yang sangat renta,— semua ini hukumnya tetap seperti laki-laki normal (fahl) dalam hal interaksi dengan perempuan bukan mahram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Apa hukum memandang anak perempuan kecil?Imam Ar-Rafi‘i menyebutkan dalam pembahasan hukum melihat anak kecil perempuan bahwa terdapat dua pendapat. Dan menurutnya, pendapat yang lebih kuat (al-aṣaḥ) adalah boleh melihatnya, tanpa ada perbedaan antara aurat dan selain auratnya, selama tidak melihat kemaluannya (farj).Imam An-Nawawi menegaskan bahwa Ar-Rafi‘i memutuskan haram melihat kemaluan anak perempuan kecil. Bahkan, penulis kitab Al-‘Uddah menyebutkan bahwa hal ini disepakati oleh para ulama.Namun, kenyataannya tidak demikian. Karena Qadhi Husain justru secara tegas membolehkan melihat kemaluan anak perempuan kecil yang belum memiliki syahwat, demikian juga anak laki-laki kecil. Pendapat ini juga dipastikan oleh Al-Marwazi terkait anak laki-laki kecil.Imam Al-Mutawalli menyebutkan ada dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang lebih benar adalah boleh melihatnya, karena manusia pada zaman dahulu maupun sekarang bersikap toleran terhadap hal ini, dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran.Kebolehan ini tetap berlaku sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz (dapat membedakan dan mulai sadar akan aurat), yaitu ketika ia sudah mampu menutupi auratnya dari pandangan orang lain.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)?Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat (awjuh). Pendapat yang paling kuat menurut Ar-Rafi‘i adalah: Perempuan boleh memandang seluruh tubuh laki-laki asing kecuali antara pusar dan lutut, karena bagian itu adalah aurat laki-laki secara syar‘i.Pendapat kedua: Perempuan tidak boleh melihat dari laki-laki kecuali bagian yang boleh dilihat darinya juga, yakni wajah dan telapak tangan.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih kuat menurut sekelompok ulama. Pendapat ini juga ditegaskan (dipastikan) oleh penulis Al-Muhadzdzab dan yang lainnya. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah Ta‘ala:وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ“Katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nūr: 31)Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian melihat dia?”(Dikatakan Nabi kepada dua perempuan yang duduk bersama laki-laki buta, yang semestinya tetap menjaga pandangan meski laki-laki itu tak bisa melihat mereka.)Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak PerempuanSeorang laki-laki boleh memandang seluruh tubuh istrinya, karena ia diizinkan menikmati seluruh bagian tubuhnya. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang memandang kemaluan istri.Sebagian ulama berpendapat, haram memandang kemaluan istri berdasarkan sabda Nabi ﷺ:النَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ“Memandang kemaluan dapat menyebabkan kebutaan.”Dalam penjelasan Al-‘Uddah disebutkan: hal itu bisa menyebabkan anak yang dilahirkan terlahir buta. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksudnya adalah kebutaan bisa menimpa orang yang memandang.Tentang status hadis ini, Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Namun, pendapat yang lebih shahih menyatakan: tidak haram memandang kemaluan istri, karena boleh menikmati bagian itu secara langsung. Bahkan, kemaluan adalah tempat kenikmatan yang paling besar, maka memandangnya pun lebih layak dibolehkan. Jika hadis tersebut sahih, maka dipahami dalam konteks makruh, bukan haram. Dan memandang bagian dalam kemaluan lebih makruh lagi. Oleh sebab itu, dimakruhkan bagi seseorang memandang kemaluannya sendiri tanpa ada keperluan.Adapun memandang budak perempuan yang boleh dinikmati, maka hukumnya seperti suami memandang istrinya—baik ia budak murni (qinnah), budak yang sedang dalam masa mudabbirah (dijanjikan merdeka setelah wafat tuannya), budak mustauladah (yang telah melahirkan anak dari tuannya), atau budak yang tertahan sementara karena suatu hal yang akan segera hilang seperti haid atau karena digadaikan.Namun, jika budak perempuan tersebut sedang berstatus:istri orang lain (muzawwijah),dalam perjanjian kemerdekaan (mukatabah),dimiliki bersama orang lain (musytarakah),beragama Majusi, penyembah berhala, atau murtad,maka haram bagi tuannya memandang bagian antara pusar dan lutut. Adapun bagian tubuh lainnya, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak haram untuk dilihat.Perlu diketahui:Pandangan istri kepada suaminya sama hukumnya dengan suami memandang istrinya. Bahkan, sebagian ulama menegaskan bahwa boleh secara mutlak bagi istri memandang kemaluan suaminya.Begitu juga pandangan budak perempuan kepada tuannya, sama seperti pandangan tuan kepada budaknya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah MenikahLaki-laki boleh memandang mahramnya (perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, persusuan, atau pernikahan), selama bukan bagian antara pusar dan lutut, karena bagian tersebut merupakan aurat secara mutlak. Adapun bagian tubuh selain itu, menurut mazhab Syafi‘i, boleh dipandang. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An-Nūr: 31)Juga karena hubungan mahram menciptakan larangan menikah, sehingga keduanya dalam hal ini dianggap seperti dua orang laki-laki (yang tidak berlaku hukum aurat di antara mereka secara penuh). Bukankah kamu lihat, bahwa menyentuh mahram tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang lebih kuat?Hukum ini berlaku sama, baik mahram karena nasab, pernikahan (mushāharah), maupun persusuan (raḍā‘ah), menurut pendapat yang lebih shahih.Ada juga pendapat lain yang menyatakan: tidak boleh melihat dari mahram kecuali bagian yang biasa tampak ketika sedang bekerja (seperti membantu di dapur, mencuci, dll).Kemudian, apakah bagian payudara termasuk yang biasa tampak saat bekerja? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.Sebagaimana bolehnya memandang mahram, maka boleh pula berkhalwat (berduaan) dan bepergian bersama mahram, tanpa ada larangan.Adapun hukum budak perempuan telah dijelaskan sebelumnya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum laki-laki memandang laki-laki lainLaki-laki boleh memandang seluruh tubuh laki-laki lain, kecuali bagian antara pusar dan lutut, selama aman dari fitnah (godaan syahwat). Jika khawatir terjadi fitnah, maka haram hukumnya.Demikian pula, haram memandang mahram (perempuan yang haram dinikahi) dengan syahwat — tanpa ada perbedaan pendapat. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut)Juga haram memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) dengan syahwat — tanpa khilaf, bahkan lebih utama untuk diharamkan daripada memandang wanita. Jika tidak ada syahwat dan tidak pula dikhawatirkan fitnah, maka menurut Ar-Rafi‘i tidak haram. Namun, jika tidak ada syahwat namun tetap dikhawatirkan timbul fitnah, maka haram menurut pendapat yang lebih shahih dan ini juga pendapat mayoritas ulama.Imam Nawawi menegaskan dalam banyak tempat di Syarh al-Muhadzdzab bahwa: yang shahih adalah haram memandang laki-laki amrad secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Imam Asy-Syafi‘i juga menegaskan hal ini.Ya, dalam kitab Ar-Riyadh, disebutkan syarat bahwa laki-laki itu harus tampan.Saya katakan: Ketampanan itu bersifat relatif, berbeda-beda sesuai selera manusia. Namun, tidak diragukan bahwa laki-laki amrad memang merupakan sumber fitnah, sebagaimana halnya perempuan.Dan karena hikmah larangan ini tidak bisa dibatasi secara pasti, maka kaidahnya: hikmah semacam ini tidak bisa dijadikan patokan hukum, dan hukum harus dikaitkan dengan perkara yang jelas dan terukur.Contohnya: Masyaqqah (kesulitan) dalam safar adalah hikmah kebolehan qashar salat. Namun, karena kesulitan itu tidak bisa ditentukan secara pasti, maka yang dijadikan patokan hukum adalah safarnya itu sendiri, bukan masyaqqah-nya. Maka, dalam hal ini pun demikian — hukum memandang amrad tetap harus dilarang secara mutlak.Dan ini juga ditegaskan oleh banyak ulama Syafi‘iyyah, bahkan Imam Asy-Syafi‘i secara tegas menyatakan larangan mutlaknya. Dan Allah Maha Mengetahui. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslimHukum perempuan memandang perempuan lain seperti halnya laki-laki memandang laki-laki lain. Ini berlaku untuk sesama muslimah.Adapun perempuan non-muslim (dzimmiyah) yang memandang muslimah, terdapat perbedaan pendapat:Al-Ghazali: yang lebih kuat (aṣaḥ) adalah, dzimmiyah sama hukumnya seperti muslimah.Al-Baghawi: yang shahih adalah tidak boleh. Berdasarkan ini, dzimmiyah tidak boleh mandi bersama muslimah di pemandian umum.Apa saja yang boleh dilihat dari tubuh muslimah oleh sesama perempuan?Ada yang mengatakan: seperti pandangan laki-laki kepada laki-laki (yakni, boleh selain pusar sampai lutut).Ada yang mengatakan: hanya bagian yang terbuka ketika bekerja.Ar-Rafi‘i berkata: Pendapat kedua lebih mendekati kebenaran.An-Nawawi menyatakan: Yang shahih adalah pendapat Al-Baghawi.Perempuan kafir selain dzimmiyah (seperti penyembah berhala, murtad, dll), hukum pandangannya terhadap muslimah juga seperti dzimmiyah, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Imrani.Saya katakan: Al-Baghawi berdalil dengan firman Allah:أَوْ نِسَائِهِنَّ(“…atau kepada sesama perempuan mereka.”)Yang dimaksud dengan “nisā’ihinna” adalah perempuan-perempuan beriman, bukan perempuan kafir.Bahkan, Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: perempuan fasik pun hukumnya seperti dzimmiyah. Maka, pemerintah wajib melarang perempuan kafir dan perempuan fasik masuk ke pemandian bersama perempuan-perempuan muslimah yang terjaga.Jika pemerintah abai terhadap hal ini, maka perempuan muslimah yang merdeka wajib menjaga diri dari perempuan kafir dan fasik. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisahSegala sesuatu yang haram dilihat saat masih menempel pada tubuh — seperti kemaluan, lengan bawah perempuan, rambut kepala, potongan kuku, rambut kemaluan laki-laki, dan semisalnya — maka haram juga dilihat setelah terpisah dari tubuh, menurut pendapat yang shahih.Maka, sebaiknya laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, atau perempuan yang menyisir rambutnya, menyembunyikan bagian tubuh yang terlepas itu dari pandangan orang lain. Hukum menyentuh vs memandangKetahuilah, bahwa jika memandang itu haram, maka menyentuh lebih utama untuk diharamkan, karena menyentuh itu lebih kuat membangkitkan syahwat.Maka, haram bagi laki-laki menyentuh paha laki-laki lain tanpa penghalang.Jika menyentuh dari atas kain dan dikhawatirkan timbul fitnah, maka tetap haram.Bahkan, menyentuh bisa haram meskipun memandang tidak haram.Termasuk: haram bagi seseorang menyentuh perut ibunya, punggungnya, kakinya, atau betisnya, walaupun ia anaknya sendiri.Juga haram menciumnya — sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qaffal.Tidak boleh juga seorang ayah menyuruh anak perempuannya atau saudarinya untuk memijat kakinya.Karena itu, Qadhi Husain menyatakan: perempuan-perempuan tua yang menghias laki-laki dengan celak pada Hari ‘Asyura termasuk pelaku maksiat. Hukum tidur satu kasurHaram bagi laki-laki tidur bersebelahan dengan laki-laki lain dalam satu kasur.Demikian pula, haram bagi perempuan tidur bersama perempuan lain dalam satu ranjang — walaupun mereka tidur di sisi yang berbeda dari kasur tersebut.Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh Ar-Rafi‘i dan diikuti oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah.Namun, An-Nawawi dalam Syarh Muslim membatasi keharaman ini jika keduanya dalam keadaan telanjang.Batasan ini juga disebutkan oleh Qadhi Husain, Al-Harawi, dan lainnya, dan ada riwayat yang mendukungnya.Jika anak laki-laki atau perempuan telah berusia sepuluh tahun, maka wajib dipisahkan tempat tidurnya dari ibu, ayah, dan saudara kandungnya, berdasarkan nash-nash syar‘i yang jelas.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan PernikahanSebelumnya telah dijelaskan bahwa memandang kadang tidak dibutuhkan, dan kadang diperlukan karena kebutuhan. Bagian pertama adalah saat tidak ada kebutuhan. Adapun bagian kedua adalah ketika memandang itu diperlukan, seperti untuk tujuan pernikahan.Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan dan tertarik untuk meminangnya, maka tidak diragukan lagi boleh baginya untuk melihat calon istrinya.Apakah disunnahkan (dianjurkan) untuk melihatnya, agar tidak menyesal kemudian hari? Karena pernikahan adalah ikatan yang dimaksudkan untuk jangka panjang?Pendapat yang paling kuat (ash-shahih): ya, disunnahkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Al-Mughīrah bin Syu‘bah:انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا“Lihatlah ia, karena itu lebih memungkinkan terjalin kecocokan di antara kalian berdua.”Demikian pula riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan hal yang sama.Boleh mengulangi pandangan jika masih belum jelas bagi laki-laki tersebut. Baik ia melihat dengan izin perempuan itu maupun tanpa izin—keduanya dibolehkan.Jika tidak memungkinkan untuk melihat secara langsung, maka ia boleh mengutus perempuan lain untuk mengamati dan menggambarkan calon istri itu kepadanya. Ini berdasar pada kisah ketika Nabi ﷺ mengutus Ummu Sulaim kepada seorang wanita dan beliau berkata:انْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا وَاشُمِّي مَعَاطِفَهَا“Perhatikan tumitnya dan cium (rambut) bagian lehernya.”Perempuan pun, jika ia tertarik kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, boleh memandangnya, karena biasanya perempuan tertarik kepada hal-hal yang sama sebagaimana laki-laki tertarik kepada perempuan. Hal ini dikatakan oleh Umar radhiyallāhu ‘anhu.Adapun bagian yang boleh dipandang dalam konteks ini adalah wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian luar maupun dalam. Tidak boleh melihat bagian tubuh lainnya.Ada juga pendapat bahwa pandangan ini diperbolehkan sebagaimana laki-laki memandang laki-laki lain, dan pandangan ini tetap dibolehkan walaupun dikhawatirkan timbul fitnah, selama tujuannya adalah untuk pernikahan.Waktu yang tepat untuk melihat: setelah muncul niat serius untuk menikah, sebelum melakukan khitbah (melamar secara resmi). Tujuannya, agar tidak menyakiti hati pihak perempuan jika ternyata laki-laki itu memutuskan mundur setelah melihatnya.Inilah pendapat yang paling shahih.Ada juga pendapat lain yang mengatakan: baru boleh melihat setelah diizinkan untuk akad nikah.Ada pula yang mengatakan: boleh melihat saat kedua belah pihak sudah mulai tertarik satu sama lain.Jika setelah melihat ternyata ia tidak menyukai calon tersebut, maka hendaknya ia diam dan tidak mengungkapkan ketidaktertarikannya. Jangan sampai ia berkata, “Aku tidak menginginkannya,” karena hal itu bisa menyakiti perempuan tersebut.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan PengobatanDi antara bentuk kebutuhan yang dibenarkan syariat adalah memandang perempuan asing karena keperluan pengobatan, seperti untuk bekam, operasi, atau perawatan penyakit tertentu.Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menjalani bekam, lalu beliau ﷺ memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Namun, hal itu harus dilakukan di hadapan mahram atau suami, guna menghindari khalwat (berduaan).Syaratnya: tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan pengobatan tersebut.Begitu pula sebaliknya: perempuan boleh mengobati laki-laki, asalkan tidak ada laki-laki lain yang mampu mengobatinya. Ini adalah pendapat Az-Zubayri dan Ar-Ruyani.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ini adalah pendapat yang paling shahih, dan ditegaskan pula oleh Qadhi Husain dan Imam Al-Mutawalli.Keduanya juga mengatakan: lebih utama jika yang mengobati adalah seorang Muslim, dan sebaiknya tidak dilakukan oleh non-Muslim (dzimmiy) jika masih ada Muslim yang mampu melakukannya.Ketahuilah bahwa:Kebutuhan umum (asal ada keperluan) sudah mencukupi untuk membolehkan memandang wajah dan tangan.Untuk anggota tubuh lainnya, maka harus ada kebutuhan yang lebih mendesak dan meyakinkan.Sedangkan untuk melihat aurat besar (kemaluan dan dubur), maka dibutuhkan kebutuhan yang sangat kuat dan lebih mendesak lagi.Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ukuran kebutuhan yang sah adalah:ketika kondisi tersebut tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan diri (muru’ah) dan sudah menjadi hal yang sulit untuk dihindari secara umum dalam kebiasaan manusia.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan TransaksiTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibenarkan adalah memandang wajah seseorang untuk keperluan persaksian atau urusan transaksi. Maka, boleh bagi seseorang memandang wajah orang lain yang bukan mahram dalam konteks ini, karena kebutuhan itu mengharuskannya.Di antara contoh kebutuhan lain yang lebih spesifik:Boleh memandang payudara perempuan yang menyusui jika itu diperlukan untuk menjadi saksi dalam kasus persusuan.Boleh memandang kemaluan seorang perempuan dalam kasus persaksian terhadap kelahiran.Boleh memandang kemaluan dua orang pezina, dalam rangka memberikan kesaksian atas tindakan zina yang mereka lakukan.Semua ini dibolehkan karena kebutuhan syar‘i yang mendesak.Namun, ada pendapat lain yang menyatakan: semua itu tidak boleh, karena:Zina disyariatkan untuk ditutupi (dianjurkan untuk tidak diumbar).Dan untuk kasus kelahiran serta persusuan, kesaksian perempuan saja sudah dianggap sah menurut syariat. Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih adalah pendapat pertama: boleh memandang untuk kepentingan persaksian, karena zina merupakan pelanggaran serius terhadap kehormatan syariat, maka boleh pula kehormatannya dibuka untuk menegakkan hukum.Adapun untuk persaksian tentang persusuan dan kelahiran, maka jawabannya masih ditangguhkan (ada keraguan dalam memutuskannya), karena ada sisi pertimbangan yang kompleks.Sebagaimana dibolehkan memandang untuk keperluan tersebut, demikian pula boleh memandang dalam konteks transaksi dan akad, karena terkadang ada kebutuhan untuk itu.Namun, pembatasan oleh sebagian ulama bahwa yang boleh dilihat hanya wajah saja, didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan sudah bisa terpenuhi hanya dengan melihat wajah. Maka, bagian tubuh lainnya tetap dilarang dan kembali pada hukum asal: haram memandang aurat.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak MembelinyaTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibolehkan adalah memandang budak perempuan saat hendak membelinya. Dalam hal ini, boleh bagi pembeli untuk melihat bagian tubuh budak yang memang diperlukan dalam proses pemeriksaan dan penilaian, sebagaimana lazim dilakukan saat membeli barang dagangan.Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Referensi:Al-Bugha, M. (2019). At-Tadzhiib fī Adillah Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb. Damaskus: Dār al-‘Ālamiyyah.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’.Al-Ḥiṣnī, M. b. ‘A. M. (2007). Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār. Jeddah: Dār al-Minhāj. ________ Ditulis pada Kamis, 18 Syawal 1446 H, 17 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab nikah memandang lawan jenis

Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Hukum dan Batasannya

Dalam Islam, menjaga pandangan bukan hanya perkara adab, tetapi bagian dari ketakwaan. Namun ada kondisi tertentu yang membolehkan laki-laki melihat perempuan dengan batasan dan syarat. Berikut penjelasan tujuh jenis pandangan laki-laki kepada perempuan menurut para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Para Ulama Syafiiyyah 2. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan? 2.1. Hukum wanita menutup aurat dari anak kecil 2.2. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuan 2.3. Apa hukum memandang anak perempuan kecil? 2.4. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)? 3. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak Perempuan 4. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah Menikah 4.1. Hukum laki-laki memandang laki-laki lain 4.2. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) 4.3. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslim 4.4. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisah 4.5. Hukum menyentuh vs memandang 4.6. Hukum tidur satu kasur 5. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan Pernikahan 6. Hukum Memandang untuk Keperluan Pengobatan 7. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan Transaksi 8. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak Membelinya  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَنَظَرَ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ:أَحَدُهَا نَظْرَةٌ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَغَيْرُ جَائِزٍ،وَالثَّانِي نَظْرَتُهُ إِلَى زَوْجَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجِ مِنْهُمَا،وَالثَّالِثُ نَظْرَتُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ أَوْ أَمَتِهِ الْمُزَوَّجَةِ فَيَجُوزُ فِيمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ،وَالرَّابِعُ النَّظَرُ لِأَجْلِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ،وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَيْهَا،وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ أَوْ لِلْمُعَامَلَةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ خَاصَّةً،وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيبِهَا.Pandangan Seorang Laki-laki kepada Perempuan Terbagi Menjadi Tujuh Keadaan:1. Pandangan kepada perempuan asing (ajnabiyyah) tanpa adanya kebutuhan: Ini tidak diperbolehkan.2. Pandangan kepada istri atau budaknya (amat) sendiri: Maka boleh memandang seluruh bagian tubuh selain kemaluan dari keduanya.3. Pandangan kepada perempuan mahramnya atau budak perempuan yang telah menikah: Maka boleh memandang selain bagian antara pusar dan lutut.4. Pandangan dengan tujuan melamar (untuk pernikahan): Maka boleh memandang wajah dan telapak tangan saja.5. Pandangan untuk keperluan pengobatan: Maka boleh memandang bagian tubuh yang dibutuhkan untuk proses pengobatan tersebut.6. Pandangan untuk keperluan menjadi saksi atau dalam muamalah: Maka boleh memandang wajah saja.7. Pandangan kepada budak perempuan saat hendak membelinya: Maka boleh memandang bagian tubuh yang diperlukan untuk diperiksa (dalam proses jual beli budak). Penjelasan Para Ulama SyafiiyyahPandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh macam:Pertama, seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu berhubungan intim, tidak boleh memandang wanita asing (yang bukan mahram) tanpa adanya kebutuhan. Jika ada kebutuhan seperti menjadi saksi dalam suatu perkara, maka dibolehkan.قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (QS. An-Nūr: 30)Kedua, pandangan laki-laki kepada istri atau budaknya: boleh baginya memandang seluruh tubuh mereka selain kemaluan. Namun, menurut pendapat yang lemah, melihat kemaluan itu haram. Sedangkan menurut pendapat yang lebih kuat, boleh melihatnya tetapi makruh.Menurut Syaikh Musthafa Al-Bugha, ia berkata, “Adapun melihat kemaluan wanita tanpa kebutuhan hukumnya makruh, karena bertentangan dengan adab.” Diriwayatkan dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) Rasulullah ﷺ dan beliau pun tidak pernah melihat milikku.” (Faidh Al-Qadir, 2:224, no. 1716)Ketiga, pandangan kepada perempuan mahram (karena nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan), termasuk juga kepada budak perempuan yang telah menikah: boleh melihat seluruh tubuh mereka selain bagian antara pusar dan lutut, karena bagian itu termasuk aurat dan haram dilihat.Dalil adalah firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah mertua mereka, anak-anak mereka, anak-anak suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka.” (QS. An-Nūr: 31). Perhiasan (zīnah) dalam ayat ini ditafsirkan bagian atas pusar dan bawah lutut—selain bagian yang dilarang dilihat.Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 4113) dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَمَتَهُ، فَلَا يَنْظُرْ إِلَى عَوْرَتِهَا“Apabila salah seorang dari kalian menikahkan budaknya dengan budak perempuan, maka janganlah ia melihat auratnya.”Dalam riwayat lain:فَلَا يَنْظُرْ إِلَى مَا دُونَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ الرُّكْبَةِ“Jangan melihat bagian antara pusar dan lutut.”Antara pusar dan lutut diharamkan dilihat selain suami dan istri karena termasuk aurat.Keempat, pandangan karena keperluan menikah: laki-laki yang hendak melamar seorang wanita boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian luar maupun dalam, walaupun tanpa izin si wanita. Dan menurut pendapat yang kuat dari Imam Nawawi, hal yang sama berlaku saat hendak melamar budak perempuan.Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 4833) dan Muslim (no. 1425), dari Sahal bin Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah ﷺ menatapnya dari atas sampai ke bawah dan menundukkan kepala beliau.Keterangan:“Menghadiahkan diri” maksudnya menawarkan diri untuk dinikahi Rasulullah ﷺ tanpa mahar, atau agar dinikahkan oleh beliau kepada orang yang dianggap layak.“Menatap dari atas ke bawah” artinya beliau ﷺ memperhatikan secara keseluruhan.“Menundukkan kepala” artinya beliau menolak tawaran tersebut dengan sopan.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1424), dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku berada di sisi Nabi ﷺ ketika seorang laki-laki datang dan memberitahu bahwa ia telah menikahi seorang wanita Anshar. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata kaum Anshar ada sesuatu (yang bisa jadi tidak cocok denganmu).'”Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1187) dan beliau menyatakannya hasan, dari Al-Mughīrah bin Syu‘bah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Lihatlah dia, karena itu lebih layak untuk menumbuhkan kecocokan di antara kalian.'”Keterangan:“Lebih layak” maksudnya lebih besar kemungkinan untuk terjalin kasih sayang dan kesepakatan.“Kecocokan” berasal dari kata ‘al-idām’, yang berarti lauk atau sesuatu yang dimakan bersama roti, yakni sebagai pelengkap agar lebih nikmat.Hadits-hadits ini dipahami bahwa yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua telapak tangan, karena tidak ada keperluan untuk melihat bagian lain.Kelima, pandangan karena keperluan pengobatan: dokter boleh melihat bagian tubuh wanita bukan mahram yang diperlukan untuk keperluan medis, termasuk area kemaluan, namun harus dengan syarat: di hadiri mahram, suami, atau tuannya, serta tidak ada dokter wanita yang bisa menangani.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2206) dari Jabir raḍiyallāhu ‘anhu: Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā pernah meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk melakukan hijamah (terapi bekam), maka beliau memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Catatan penting: Harus disertai dengan kehadiran mahram atau suami, serta tidak ada perempuan lain yang bisa mengobatinya. Jika ada dokter muslim, maka tidak boleh beralih kepada non-muslim.Keenam, pandangan karena keperluan persaksian: seorang saksi boleh melihat kemaluan wanita dalam kasus seperti persaksian atas perzinaan atau persalinan. Namun, jika ia melihat tanpa keperluan tersebut, maka ia berdosa dan kesaksiannya ditolak. Termasuk juga pandangan dalam urusan muamalah seperti jual beli: dibolehkan hanya melihat wajah saja, baik dalam konteks kesaksian maupun transaksi.Ketujuh, pandangan kepada budak perempuan saat hendak membeli: diperbolehkan melihat bagian tubuh yang biasanya diperiksa saat pembelian, seperti tangan dan rambutnya, tetapi tidak termasuk aurat. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan?Dalam Islam, pandangan seorang laki-laki kepada perempuan terbagi dalam beberapa kondisi. Di antara yang paling penting adalah larangan melihat perempuan asing (bukan mahram) tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syariat. Ini termasuk hukum yang ditegaskan para ulama.Yang dimaksud “laki-laki” di sini adalah laki-laki baligh, begitu pula “perempuan” adalah perempuan yang sudah baligh, kecuali jika dalam konteks tertentu kata “laki-laki” atau “perempuan” mencakup semua jenis kelamin tanpa memandang usia (karena penggunaan kata dengan alif lam pengenal).Nah, pandangan itu sendiri kadang tidak dibutuhkan, dan kadang memang ada kondisi yang membolehkannya karena kebutuhan, seperti pengobatan atau persaksian.Jenis yang pertama: jika tidak ada kebutuhan (yang dibenarkan), maka saat itu haram hukumnya laki-laki memandang aurat perempuan asing secara mutlak. Begitu pula haram hukumnya memandang wajah dan telapak tangan perempuan apabila dikhawatirkan menimbulkan fitnah (godaan syahwat).Namun jika tidak ada rasa takut akan muncul fitnah, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat menyatakan tetap haram, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ishṭikhrī, Abu ‘Alī Aṭ-Ṭabarī, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abū Muḥammad, serta ditegaskan pula oleh Abū Isḥāq Asy-Syīrāzī dan Ar-Ruyānī. Imam Al-Ḥaramain juga menyetujuinya.Alasan mereka kuat: umat Islam telah sepakat bahwa perempuan dilarang keluar rumah dalam keadaan terbuka aurat dan tanpa penutup, karena pandangan itu bisa menjadi sebab munculnya fitnah, membangkitkan syahwat, dan menimbulkan kerusakan. Maka, jalan terbaik menurut syariat adalah menutup semua pintu menuju fitnah, sebagaimana larangan berduaan dengan perempuan asing, tanpa perlu merinci setiap kondisi.Dalil umum yang dijadikan dasar adalah firman Allah Ta‘ala,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: “Tundukkanlah pandanganmu dan jagalah kemaluanmu.” (QS. An-Nūr: 30) Hukum wanita menutup aurat dari anak kecilAdapun hukum bagi remaja laki-laki yang belum baligh (muraahiq), terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa pandangannya dihukumi sebagaimana pandangan orang dewasa (baligh), karena pada umumnya mereka telah bisa melihat aurat perempuan. Oleh karena itu, perempuan tetap wajib menutup aurat dari mereka, sebagaimana juga wajib menutup aurat dari orang gila, tanpa ragu. Dan wali (orang tua) wajib mencegahnya dari memandang (yang haram), sebagaimana ia juga wajib mencegah anak dari perzinaan dan seluruh perkara haram lainnya. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuanAdapun mengenai hukum al-mamsūḥ (orang yang tidak memiliki hasrat seksual, seperti kasim, laki-laki yang telah dikebiri), maka mayoritas ulama berpendapat: hukum pandangannya kepada perempuan bukan mahram seperti pandangan laki-laki kepada mahramnya. Dalam hal ini, firman Allah Ta‘ala dapat dipahami sebagai berikut:أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ…atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)… (QS. An-Nūr: 31)Jenis yang kedua, yaitu bahwa lelaki tersebut (yang disebut ghayru ʾulī al-irbah) dihukumi seperti lelaki normal (fahl, yaitu laki-laki yang punya hasrat seksual) terhadap perempuan asing. Karena pada dasarnya ia tetap halal menikah dengannya.Imam Nawawi menjelaskan bahwa pendapat yang kuat dalam tafsir ayat ghayru ʾulī al-irbah adalah: yang dimaksud adalah orang yang lemah akalnya, sehingga tidak peduli terhadap perempuan, atau ia tidak memiliki syahwat kepada mereka. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selain beliau radhiyallāhu ‘anhum. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.Perlu diketahui, bahwa:Orang yang hanya terpotong zakarnya saja,atau yang hanya diangkat dua buah zakarnya saja,atau yang disebut ‘anin (lelaki yang impoten sejak awal pernikahan),atau orang tua yang sangat renta,— semua ini hukumnya tetap seperti laki-laki normal (fahl) dalam hal interaksi dengan perempuan bukan mahram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Apa hukum memandang anak perempuan kecil?Imam Ar-Rafi‘i menyebutkan dalam pembahasan hukum melihat anak kecil perempuan bahwa terdapat dua pendapat. Dan menurutnya, pendapat yang lebih kuat (al-aṣaḥ) adalah boleh melihatnya, tanpa ada perbedaan antara aurat dan selain auratnya, selama tidak melihat kemaluannya (farj).Imam An-Nawawi menegaskan bahwa Ar-Rafi‘i memutuskan haram melihat kemaluan anak perempuan kecil. Bahkan, penulis kitab Al-‘Uddah menyebutkan bahwa hal ini disepakati oleh para ulama.Namun, kenyataannya tidak demikian. Karena Qadhi Husain justru secara tegas membolehkan melihat kemaluan anak perempuan kecil yang belum memiliki syahwat, demikian juga anak laki-laki kecil. Pendapat ini juga dipastikan oleh Al-Marwazi terkait anak laki-laki kecil.Imam Al-Mutawalli menyebutkan ada dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang lebih benar adalah boleh melihatnya, karena manusia pada zaman dahulu maupun sekarang bersikap toleran terhadap hal ini, dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran.Kebolehan ini tetap berlaku sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz (dapat membedakan dan mulai sadar akan aurat), yaitu ketika ia sudah mampu menutupi auratnya dari pandangan orang lain.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)?Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat (awjuh). Pendapat yang paling kuat menurut Ar-Rafi‘i adalah: Perempuan boleh memandang seluruh tubuh laki-laki asing kecuali antara pusar dan lutut, karena bagian itu adalah aurat laki-laki secara syar‘i.Pendapat kedua: Perempuan tidak boleh melihat dari laki-laki kecuali bagian yang boleh dilihat darinya juga, yakni wajah dan telapak tangan.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih kuat menurut sekelompok ulama. Pendapat ini juga ditegaskan (dipastikan) oleh penulis Al-Muhadzdzab dan yang lainnya. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah Ta‘ala:وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ“Katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nūr: 31)Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian melihat dia?”(Dikatakan Nabi kepada dua perempuan yang duduk bersama laki-laki buta, yang semestinya tetap menjaga pandangan meski laki-laki itu tak bisa melihat mereka.)Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak PerempuanSeorang laki-laki boleh memandang seluruh tubuh istrinya, karena ia diizinkan menikmati seluruh bagian tubuhnya. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang memandang kemaluan istri.Sebagian ulama berpendapat, haram memandang kemaluan istri berdasarkan sabda Nabi ﷺ:النَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ“Memandang kemaluan dapat menyebabkan kebutaan.”Dalam penjelasan Al-‘Uddah disebutkan: hal itu bisa menyebabkan anak yang dilahirkan terlahir buta. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksudnya adalah kebutaan bisa menimpa orang yang memandang.Tentang status hadis ini, Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Namun, pendapat yang lebih shahih menyatakan: tidak haram memandang kemaluan istri, karena boleh menikmati bagian itu secara langsung. Bahkan, kemaluan adalah tempat kenikmatan yang paling besar, maka memandangnya pun lebih layak dibolehkan. Jika hadis tersebut sahih, maka dipahami dalam konteks makruh, bukan haram. Dan memandang bagian dalam kemaluan lebih makruh lagi. Oleh sebab itu, dimakruhkan bagi seseorang memandang kemaluannya sendiri tanpa ada keperluan.Adapun memandang budak perempuan yang boleh dinikmati, maka hukumnya seperti suami memandang istrinya—baik ia budak murni (qinnah), budak yang sedang dalam masa mudabbirah (dijanjikan merdeka setelah wafat tuannya), budak mustauladah (yang telah melahirkan anak dari tuannya), atau budak yang tertahan sementara karena suatu hal yang akan segera hilang seperti haid atau karena digadaikan.Namun, jika budak perempuan tersebut sedang berstatus:istri orang lain (muzawwijah),dalam perjanjian kemerdekaan (mukatabah),dimiliki bersama orang lain (musytarakah),beragama Majusi, penyembah berhala, atau murtad,maka haram bagi tuannya memandang bagian antara pusar dan lutut. Adapun bagian tubuh lainnya, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak haram untuk dilihat.Perlu diketahui:Pandangan istri kepada suaminya sama hukumnya dengan suami memandang istrinya. Bahkan, sebagian ulama menegaskan bahwa boleh secara mutlak bagi istri memandang kemaluan suaminya.Begitu juga pandangan budak perempuan kepada tuannya, sama seperti pandangan tuan kepada budaknya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah MenikahLaki-laki boleh memandang mahramnya (perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, persusuan, atau pernikahan), selama bukan bagian antara pusar dan lutut, karena bagian tersebut merupakan aurat secara mutlak. Adapun bagian tubuh selain itu, menurut mazhab Syafi‘i, boleh dipandang. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An-Nūr: 31)Juga karena hubungan mahram menciptakan larangan menikah, sehingga keduanya dalam hal ini dianggap seperti dua orang laki-laki (yang tidak berlaku hukum aurat di antara mereka secara penuh). Bukankah kamu lihat, bahwa menyentuh mahram tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang lebih kuat?Hukum ini berlaku sama, baik mahram karena nasab, pernikahan (mushāharah), maupun persusuan (raḍā‘ah), menurut pendapat yang lebih shahih.Ada juga pendapat lain yang menyatakan: tidak boleh melihat dari mahram kecuali bagian yang biasa tampak ketika sedang bekerja (seperti membantu di dapur, mencuci, dll).Kemudian, apakah bagian payudara termasuk yang biasa tampak saat bekerja? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.Sebagaimana bolehnya memandang mahram, maka boleh pula berkhalwat (berduaan) dan bepergian bersama mahram, tanpa ada larangan.Adapun hukum budak perempuan telah dijelaskan sebelumnya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum laki-laki memandang laki-laki lainLaki-laki boleh memandang seluruh tubuh laki-laki lain, kecuali bagian antara pusar dan lutut, selama aman dari fitnah (godaan syahwat). Jika khawatir terjadi fitnah, maka haram hukumnya.Demikian pula, haram memandang mahram (perempuan yang haram dinikahi) dengan syahwat — tanpa ada perbedaan pendapat. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut)Juga haram memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) dengan syahwat — tanpa khilaf, bahkan lebih utama untuk diharamkan daripada memandang wanita. Jika tidak ada syahwat dan tidak pula dikhawatirkan fitnah, maka menurut Ar-Rafi‘i tidak haram. Namun, jika tidak ada syahwat namun tetap dikhawatirkan timbul fitnah, maka haram menurut pendapat yang lebih shahih dan ini juga pendapat mayoritas ulama.Imam Nawawi menegaskan dalam banyak tempat di Syarh al-Muhadzdzab bahwa: yang shahih adalah haram memandang laki-laki amrad secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Imam Asy-Syafi‘i juga menegaskan hal ini.Ya, dalam kitab Ar-Riyadh, disebutkan syarat bahwa laki-laki itu harus tampan.Saya katakan: Ketampanan itu bersifat relatif, berbeda-beda sesuai selera manusia. Namun, tidak diragukan bahwa laki-laki amrad memang merupakan sumber fitnah, sebagaimana halnya perempuan.Dan karena hikmah larangan ini tidak bisa dibatasi secara pasti, maka kaidahnya: hikmah semacam ini tidak bisa dijadikan patokan hukum, dan hukum harus dikaitkan dengan perkara yang jelas dan terukur.Contohnya: Masyaqqah (kesulitan) dalam safar adalah hikmah kebolehan qashar salat. Namun, karena kesulitan itu tidak bisa ditentukan secara pasti, maka yang dijadikan patokan hukum adalah safarnya itu sendiri, bukan masyaqqah-nya. Maka, dalam hal ini pun demikian — hukum memandang amrad tetap harus dilarang secara mutlak.Dan ini juga ditegaskan oleh banyak ulama Syafi‘iyyah, bahkan Imam Asy-Syafi‘i secara tegas menyatakan larangan mutlaknya. Dan Allah Maha Mengetahui. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslimHukum perempuan memandang perempuan lain seperti halnya laki-laki memandang laki-laki lain. Ini berlaku untuk sesama muslimah.Adapun perempuan non-muslim (dzimmiyah) yang memandang muslimah, terdapat perbedaan pendapat:Al-Ghazali: yang lebih kuat (aṣaḥ) adalah, dzimmiyah sama hukumnya seperti muslimah.Al-Baghawi: yang shahih adalah tidak boleh. Berdasarkan ini, dzimmiyah tidak boleh mandi bersama muslimah di pemandian umum.Apa saja yang boleh dilihat dari tubuh muslimah oleh sesama perempuan?Ada yang mengatakan: seperti pandangan laki-laki kepada laki-laki (yakni, boleh selain pusar sampai lutut).Ada yang mengatakan: hanya bagian yang terbuka ketika bekerja.Ar-Rafi‘i berkata: Pendapat kedua lebih mendekati kebenaran.An-Nawawi menyatakan: Yang shahih adalah pendapat Al-Baghawi.Perempuan kafir selain dzimmiyah (seperti penyembah berhala, murtad, dll), hukum pandangannya terhadap muslimah juga seperti dzimmiyah, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Imrani.Saya katakan: Al-Baghawi berdalil dengan firman Allah:أَوْ نِسَائِهِنَّ(“…atau kepada sesama perempuan mereka.”)Yang dimaksud dengan “nisā’ihinna” adalah perempuan-perempuan beriman, bukan perempuan kafir.Bahkan, Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: perempuan fasik pun hukumnya seperti dzimmiyah. Maka, pemerintah wajib melarang perempuan kafir dan perempuan fasik masuk ke pemandian bersama perempuan-perempuan muslimah yang terjaga.Jika pemerintah abai terhadap hal ini, maka perempuan muslimah yang merdeka wajib menjaga diri dari perempuan kafir dan fasik. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisahSegala sesuatu yang haram dilihat saat masih menempel pada tubuh — seperti kemaluan, lengan bawah perempuan, rambut kepala, potongan kuku, rambut kemaluan laki-laki, dan semisalnya — maka haram juga dilihat setelah terpisah dari tubuh, menurut pendapat yang shahih.Maka, sebaiknya laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, atau perempuan yang menyisir rambutnya, menyembunyikan bagian tubuh yang terlepas itu dari pandangan orang lain. Hukum menyentuh vs memandangKetahuilah, bahwa jika memandang itu haram, maka menyentuh lebih utama untuk diharamkan, karena menyentuh itu lebih kuat membangkitkan syahwat.Maka, haram bagi laki-laki menyentuh paha laki-laki lain tanpa penghalang.Jika menyentuh dari atas kain dan dikhawatirkan timbul fitnah, maka tetap haram.Bahkan, menyentuh bisa haram meskipun memandang tidak haram.Termasuk: haram bagi seseorang menyentuh perut ibunya, punggungnya, kakinya, atau betisnya, walaupun ia anaknya sendiri.Juga haram menciumnya — sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qaffal.Tidak boleh juga seorang ayah menyuruh anak perempuannya atau saudarinya untuk memijat kakinya.Karena itu, Qadhi Husain menyatakan: perempuan-perempuan tua yang menghias laki-laki dengan celak pada Hari ‘Asyura termasuk pelaku maksiat. Hukum tidur satu kasurHaram bagi laki-laki tidur bersebelahan dengan laki-laki lain dalam satu kasur.Demikian pula, haram bagi perempuan tidur bersama perempuan lain dalam satu ranjang — walaupun mereka tidur di sisi yang berbeda dari kasur tersebut.Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh Ar-Rafi‘i dan diikuti oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah.Namun, An-Nawawi dalam Syarh Muslim membatasi keharaman ini jika keduanya dalam keadaan telanjang.Batasan ini juga disebutkan oleh Qadhi Husain, Al-Harawi, dan lainnya, dan ada riwayat yang mendukungnya.Jika anak laki-laki atau perempuan telah berusia sepuluh tahun, maka wajib dipisahkan tempat tidurnya dari ibu, ayah, dan saudara kandungnya, berdasarkan nash-nash syar‘i yang jelas.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan PernikahanSebelumnya telah dijelaskan bahwa memandang kadang tidak dibutuhkan, dan kadang diperlukan karena kebutuhan. Bagian pertama adalah saat tidak ada kebutuhan. Adapun bagian kedua adalah ketika memandang itu diperlukan, seperti untuk tujuan pernikahan.Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan dan tertarik untuk meminangnya, maka tidak diragukan lagi boleh baginya untuk melihat calon istrinya.Apakah disunnahkan (dianjurkan) untuk melihatnya, agar tidak menyesal kemudian hari? Karena pernikahan adalah ikatan yang dimaksudkan untuk jangka panjang?Pendapat yang paling kuat (ash-shahih): ya, disunnahkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Al-Mughīrah bin Syu‘bah:انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا“Lihatlah ia, karena itu lebih memungkinkan terjalin kecocokan di antara kalian berdua.”Demikian pula riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan hal yang sama.Boleh mengulangi pandangan jika masih belum jelas bagi laki-laki tersebut. Baik ia melihat dengan izin perempuan itu maupun tanpa izin—keduanya dibolehkan.Jika tidak memungkinkan untuk melihat secara langsung, maka ia boleh mengutus perempuan lain untuk mengamati dan menggambarkan calon istri itu kepadanya. Ini berdasar pada kisah ketika Nabi ﷺ mengutus Ummu Sulaim kepada seorang wanita dan beliau berkata:انْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا وَاشُمِّي مَعَاطِفَهَا“Perhatikan tumitnya dan cium (rambut) bagian lehernya.”Perempuan pun, jika ia tertarik kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, boleh memandangnya, karena biasanya perempuan tertarik kepada hal-hal yang sama sebagaimana laki-laki tertarik kepada perempuan. Hal ini dikatakan oleh Umar radhiyallāhu ‘anhu.Adapun bagian yang boleh dipandang dalam konteks ini adalah wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian luar maupun dalam. Tidak boleh melihat bagian tubuh lainnya.Ada juga pendapat bahwa pandangan ini diperbolehkan sebagaimana laki-laki memandang laki-laki lain, dan pandangan ini tetap dibolehkan walaupun dikhawatirkan timbul fitnah, selama tujuannya adalah untuk pernikahan.Waktu yang tepat untuk melihat: setelah muncul niat serius untuk menikah, sebelum melakukan khitbah (melamar secara resmi). Tujuannya, agar tidak menyakiti hati pihak perempuan jika ternyata laki-laki itu memutuskan mundur setelah melihatnya.Inilah pendapat yang paling shahih.Ada juga pendapat lain yang mengatakan: baru boleh melihat setelah diizinkan untuk akad nikah.Ada pula yang mengatakan: boleh melihat saat kedua belah pihak sudah mulai tertarik satu sama lain.Jika setelah melihat ternyata ia tidak menyukai calon tersebut, maka hendaknya ia diam dan tidak mengungkapkan ketidaktertarikannya. Jangan sampai ia berkata, “Aku tidak menginginkannya,” karena hal itu bisa menyakiti perempuan tersebut.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan PengobatanDi antara bentuk kebutuhan yang dibenarkan syariat adalah memandang perempuan asing karena keperluan pengobatan, seperti untuk bekam, operasi, atau perawatan penyakit tertentu.Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menjalani bekam, lalu beliau ﷺ memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Namun, hal itu harus dilakukan di hadapan mahram atau suami, guna menghindari khalwat (berduaan).Syaratnya: tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan pengobatan tersebut.Begitu pula sebaliknya: perempuan boleh mengobati laki-laki, asalkan tidak ada laki-laki lain yang mampu mengobatinya. Ini adalah pendapat Az-Zubayri dan Ar-Ruyani.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ini adalah pendapat yang paling shahih, dan ditegaskan pula oleh Qadhi Husain dan Imam Al-Mutawalli.Keduanya juga mengatakan: lebih utama jika yang mengobati adalah seorang Muslim, dan sebaiknya tidak dilakukan oleh non-Muslim (dzimmiy) jika masih ada Muslim yang mampu melakukannya.Ketahuilah bahwa:Kebutuhan umum (asal ada keperluan) sudah mencukupi untuk membolehkan memandang wajah dan tangan.Untuk anggota tubuh lainnya, maka harus ada kebutuhan yang lebih mendesak dan meyakinkan.Sedangkan untuk melihat aurat besar (kemaluan dan dubur), maka dibutuhkan kebutuhan yang sangat kuat dan lebih mendesak lagi.Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ukuran kebutuhan yang sah adalah:ketika kondisi tersebut tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan diri (muru’ah) dan sudah menjadi hal yang sulit untuk dihindari secara umum dalam kebiasaan manusia.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan TransaksiTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibenarkan adalah memandang wajah seseorang untuk keperluan persaksian atau urusan transaksi. Maka, boleh bagi seseorang memandang wajah orang lain yang bukan mahram dalam konteks ini, karena kebutuhan itu mengharuskannya.Di antara contoh kebutuhan lain yang lebih spesifik:Boleh memandang payudara perempuan yang menyusui jika itu diperlukan untuk menjadi saksi dalam kasus persusuan.Boleh memandang kemaluan seorang perempuan dalam kasus persaksian terhadap kelahiran.Boleh memandang kemaluan dua orang pezina, dalam rangka memberikan kesaksian atas tindakan zina yang mereka lakukan.Semua ini dibolehkan karena kebutuhan syar‘i yang mendesak.Namun, ada pendapat lain yang menyatakan: semua itu tidak boleh, karena:Zina disyariatkan untuk ditutupi (dianjurkan untuk tidak diumbar).Dan untuk kasus kelahiran serta persusuan, kesaksian perempuan saja sudah dianggap sah menurut syariat. Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih adalah pendapat pertama: boleh memandang untuk kepentingan persaksian, karena zina merupakan pelanggaran serius terhadap kehormatan syariat, maka boleh pula kehormatannya dibuka untuk menegakkan hukum.Adapun untuk persaksian tentang persusuan dan kelahiran, maka jawabannya masih ditangguhkan (ada keraguan dalam memutuskannya), karena ada sisi pertimbangan yang kompleks.Sebagaimana dibolehkan memandang untuk keperluan tersebut, demikian pula boleh memandang dalam konteks transaksi dan akad, karena terkadang ada kebutuhan untuk itu.Namun, pembatasan oleh sebagian ulama bahwa yang boleh dilihat hanya wajah saja, didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan sudah bisa terpenuhi hanya dengan melihat wajah. Maka, bagian tubuh lainnya tetap dilarang dan kembali pada hukum asal: haram memandang aurat.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak MembelinyaTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibolehkan adalah memandang budak perempuan saat hendak membelinya. Dalam hal ini, boleh bagi pembeli untuk melihat bagian tubuh budak yang memang diperlukan dalam proses pemeriksaan dan penilaian, sebagaimana lazim dilakukan saat membeli barang dagangan.Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Referensi:Al-Bugha, M. (2019). At-Tadzhiib fī Adillah Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb. Damaskus: Dār al-‘Ālamiyyah.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’.Al-Ḥiṣnī, M. b. ‘A. M. (2007). Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār. Jeddah: Dār al-Minhāj. ________ Ditulis pada Kamis, 18 Syawal 1446 H, 17 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab nikah memandang lawan jenis
Dalam Islam, menjaga pandangan bukan hanya perkara adab, tetapi bagian dari ketakwaan. Namun ada kondisi tertentu yang membolehkan laki-laki melihat perempuan dengan batasan dan syarat. Berikut penjelasan tujuh jenis pandangan laki-laki kepada perempuan menurut para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Para Ulama Syafiiyyah 2. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan? 2.1. Hukum wanita menutup aurat dari anak kecil 2.2. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuan 2.3. Apa hukum memandang anak perempuan kecil? 2.4. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)? 3. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak Perempuan 4. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah Menikah 4.1. Hukum laki-laki memandang laki-laki lain 4.2. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) 4.3. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslim 4.4. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisah 4.5. Hukum menyentuh vs memandang 4.6. Hukum tidur satu kasur 5. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan Pernikahan 6. Hukum Memandang untuk Keperluan Pengobatan 7. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan Transaksi 8. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak Membelinya  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَنَظَرَ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ:أَحَدُهَا نَظْرَةٌ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَغَيْرُ جَائِزٍ،وَالثَّانِي نَظْرَتُهُ إِلَى زَوْجَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجِ مِنْهُمَا،وَالثَّالِثُ نَظْرَتُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ أَوْ أَمَتِهِ الْمُزَوَّجَةِ فَيَجُوزُ فِيمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ،وَالرَّابِعُ النَّظَرُ لِأَجْلِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ،وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَيْهَا،وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ أَوْ لِلْمُعَامَلَةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ خَاصَّةً،وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيبِهَا.Pandangan Seorang Laki-laki kepada Perempuan Terbagi Menjadi Tujuh Keadaan:1. Pandangan kepada perempuan asing (ajnabiyyah) tanpa adanya kebutuhan: Ini tidak diperbolehkan.2. Pandangan kepada istri atau budaknya (amat) sendiri: Maka boleh memandang seluruh bagian tubuh selain kemaluan dari keduanya.3. Pandangan kepada perempuan mahramnya atau budak perempuan yang telah menikah: Maka boleh memandang selain bagian antara pusar dan lutut.4. Pandangan dengan tujuan melamar (untuk pernikahan): Maka boleh memandang wajah dan telapak tangan saja.5. Pandangan untuk keperluan pengobatan: Maka boleh memandang bagian tubuh yang dibutuhkan untuk proses pengobatan tersebut.6. Pandangan untuk keperluan menjadi saksi atau dalam muamalah: Maka boleh memandang wajah saja.7. Pandangan kepada budak perempuan saat hendak membelinya: Maka boleh memandang bagian tubuh yang diperlukan untuk diperiksa (dalam proses jual beli budak). Penjelasan Para Ulama SyafiiyyahPandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh macam:Pertama, seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu berhubungan intim, tidak boleh memandang wanita asing (yang bukan mahram) tanpa adanya kebutuhan. Jika ada kebutuhan seperti menjadi saksi dalam suatu perkara, maka dibolehkan.قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (QS. An-Nūr: 30)Kedua, pandangan laki-laki kepada istri atau budaknya: boleh baginya memandang seluruh tubuh mereka selain kemaluan. Namun, menurut pendapat yang lemah, melihat kemaluan itu haram. Sedangkan menurut pendapat yang lebih kuat, boleh melihatnya tetapi makruh.Menurut Syaikh Musthafa Al-Bugha, ia berkata, “Adapun melihat kemaluan wanita tanpa kebutuhan hukumnya makruh, karena bertentangan dengan adab.” Diriwayatkan dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) Rasulullah ﷺ dan beliau pun tidak pernah melihat milikku.” (Faidh Al-Qadir, 2:224, no. 1716)Ketiga, pandangan kepada perempuan mahram (karena nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan), termasuk juga kepada budak perempuan yang telah menikah: boleh melihat seluruh tubuh mereka selain bagian antara pusar dan lutut, karena bagian itu termasuk aurat dan haram dilihat.Dalil adalah firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah mertua mereka, anak-anak mereka, anak-anak suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka.” (QS. An-Nūr: 31). Perhiasan (zīnah) dalam ayat ini ditafsirkan bagian atas pusar dan bawah lutut—selain bagian yang dilarang dilihat.Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 4113) dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَمَتَهُ، فَلَا يَنْظُرْ إِلَى عَوْرَتِهَا“Apabila salah seorang dari kalian menikahkan budaknya dengan budak perempuan, maka janganlah ia melihat auratnya.”Dalam riwayat lain:فَلَا يَنْظُرْ إِلَى مَا دُونَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ الرُّكْبَةِ“Jangan melihat bagian antara pusar dan lutut.”Antara pusar dan lutut diharamkan dilihat selain suami dan istri karena termasuk aurat.Keempat, pandangan karena keperluan menikah: laki-laki yang hendak melamar seorang wanita boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian luar maupun dalam, walaupun tanpa izin si wanita. Dan menurut pendapat yang kuat dari Imam Nawawi, hal yang sama berlaku saat hendak melamar budak perempuan.Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 4833) dan Muslim (no. 1425), dari Sahal bin Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah ﷺ menatapnya dari atas sampai ke bawah dan menundukkan kepala beliau.Keterangan:“Menghadiahkan diri” maksudnya menawarkan diri untuk dinikahi Rasulullah ﷺ tanpa mahar, atau agar dinikahkan oleh beliau kepada orang yang dianggap layak.“Menatap dari atas ke bawah” artinya beliau ﷺ memperhatikan secara keseluruhan.“Menundukkan kepala” artinya beliau menolak tawaran tersebut dengan sopan.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1424), dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku berada di sisi Nabi ﷺ ketika seorang laki-laki datang dan memberitahu bahwa ia telah menikahi seorang wanita Anshar. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata kaum Anshar ada sesuatu (yang bisa jadi tidak cocok denganmu).'”Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1187) dan beliau menyatakannya hasan, dari Al-Mughīrah bin Syu‘bah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Lihatlah dia, karena itu lebih layak untuk menumbuhkan kecocokan di antara kalian.'”Keterangan:“Lebih layak” maksudnya lebih besar kemungkinan untuk terjalin kasih sayang dan kesepakatan.“Kecocokan” berasal dari kata ‘al-idām’, yang berarti lauk atau sesuatu yang dimakan bersama roti, yakni sebagai pelengkap agar lebih nikmat.Hadits-hadits ini dipahami bahwa yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua telapak tangan, karena tidak ada keperluan untuk melihat bagian lain.Kelima, pandangan karena keperluan pengobatan: dokter boleh melihat bagian tubuh wanita bukan mahram yang diperlukan untuk keperluan medis, termasuk area kemaluan, namun harus dengan syarat: di hadiri mahram, suami, atau tuannya, serta tidak ada dokter wanita yang bisa menangani.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2206) dari Jabir raḍiyallāhu ‘anhu: Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā pernah meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk melakukan hijamah (terapi bekam), maka beliau memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Catatan penting: Harus disertai dengan kehadiran mahram atau suami, serta tidak ada perempuan lain yang bisa mengobatinya. Jika ada dokter muslim, maka tidak boleh beralih kepada non-muslim.Keenam, pandangan karena keperluan persaksian: seorang saksi boleh melihat kemaluan wanita dalam kasus seperti persaksian atas perzinaan atau persalinan. Namun, jika ia melihat tanpa keperluan tersebut, maka ia berdosa dan kesaksiannya ditolak. Termasuk juga pandangan dalam urusan muamalah seperti jual beli: dibolehkan hanya melihat wajah saja, baik dalam konteks kesaksian maupun transaksi.Ketujuh, pandangan kepada budak perempuan saat hendak membeli: diperbolehkan melihat bagian tubuh yang biasanya diperiksa saat pembelian, seperti tangan dan rambutnya, tetapi tidak termasuk aurat. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan?Dalam Islam, pandangan seorang laki-laki kepada perempuan terbagi dalam beberapa kondisi. Di antara yang paling penting adalah larangan melihat perempuan asing (bukan mahram) tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syariat. Ini termasuk hukum yang ditegaskan para ulama.Yang dimaksud “laki-laki” di sini adalah laki-laki baligh, begitu pula “perempuan” adalah perempuan yang sudah baligh, kecuali jika dalam konteks tertentu kata “laki-laki” atau “perempuan” mencakup semua jenis kelamin tanpa memandang usia (karena penggunaan kata dengan alif lam pengenal).Nah, pandangan itu sendiri kadang tidak dibutuhkan, dan kadang memang ada kondisi yang membolehkannya karena kebutuhan, seperti pengobatan atau persaksian.Jenis yang pertama: jika tidak ada kebutuhan (yang dibenarkan), maka saat itu haram hukumnya laki-laki memandang aurat perempuan asing secara mutlak. Begitu pula haram hukumnya memandang wajah dan telapak tangan perempuan apabila dikhawatirkan menimbulkan fitnah (godaan syahwat).Namun jika tidak ada rasa takut akan muncul fitnah, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat menyatakan tetap haram, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ishṭikhrī, Abu ‘Alī Aṭ-Ṭabarī, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abū Muḥammad, serta ditegaskan pula oleh Abū Isḥāq Asy-Syīrāzī dan Ar-Ruyānī. Imam Al-Ḥaramain juga menyetujuinya.Alasan mereka kuat: umat Islam telah sepakat bahwa perempuan dilarang keluar rumah dalam keadaan terbuka aurat dan tanpa penutup, karena pandangan itu bisa menjadi sebab munculnya fitnah, membangkitkan syahwat, dan menimbulkan kerusakan. Maka, jalan terbaik menurut syariat adalah menutup semua pintu menuju fitnah, sebagaimana larangan berduaan dengan perempuan asing, tanpa perlu merinci setiap kondisi.Dalil umum yang dijadikan dasar adalah firman Allah Ta‘ala,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: “Tundukkanlah pandanganmu dan jagalah kemaluanmu.” (QS. An-Nūr: 30) Hukum wanita menutup aurat dari anak kecilAdapun hukum bagi remaja laki-laki yang belum baligh (muraahiq), terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa pandangannya dihukumi sebagaimana pandangan orang dewasa (baligh), karena pada umumnya mereka telah bisa melihat aurat perempuan. Oleh karena itu, perempuan tetap wajib menutup aurat dari mereka, sebagaimana juga wajib menutup aurat dari orang gila, tanpa ragu. Dan wali (orang tua) wajib mencegahnya dari memandang (yang haram), sebagaimana ia juga wajib mencegah anak dari perzinaan dan seluruh perkara haram lainnya. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuanAdapun mengenai hukum al-mamsūḥ (orang yang tidak memiliki hasrat seksual, seperti kasim, laki-laki yang telah dikebiri), maka mayoritas ulama berpendapat: hukum pandangannya kepada perempuan bukan mahram seperti pandangan laki-laki kepada mahramnya. Dalam hal ini, firman Allah Ta‘ala dapat dipahami sebagai berikut:أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ…atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)… (QS. An-Nūr: 31)Jenis yang kedua, yaitu bahwa lelaki tersebut (yang disebut ghayru ʾulī al-irbah) dihukumi seperti lelaki normal (fahl, yaitu laki-laki yang punya hasrat seksual) terhadap perempuan asing. Karena pada dasarnya ia tetap halal menikah dengannya.Imam Nawawi menjelaskan bahwa pendapat yang kuat dalam tafsir ayat ghayru ʾulī al-irbah adalah: yang dimaksud adalah orang yang lemah akalnya, sehingga tidak peduli terhadap perempuan, atau ia tidak memiliki syahwat kepada mereka. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selain beliau radhiyallāhu ‘anhum. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.Perlu diketahui, bahwa:Orang yang hanya terpotong zakarnya saja,atau yang hanya diangkat dua buah zakarnya saja,atau yang disebut ‘anin (lelaki yang impoten sejak awal pernikahan),atau orang tua yang sangat renta,— semua ini hukumnya tetap seperti laki-laki normal (fahl) dalam hal interaksi dengan perempuan bukan mahram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Apa hukum memandang anak perempuan kecil?Imam Ar-Rafi‘i menyebutkan dalam pembahasan hukum melihat anak kecil perempuan bahwa terdapat dua pendapat. Dan menurutnya, pendapat yang lebih kuat (al-aṣaḥ) adalah boleh melihatnya, tanpa ada perbedaan antara aurat dan selain auratnya, selama tidak melihat kemaluannya (farj).Imam An-Nawawi menegaskan bahwa Ar-Rafi‘i memutuskan haram melihat kemaluan anak perempuan kecil. Bahkan, penulis kitab Al-‘Uddah menyebutkan bahwa hal ini disepakati oleh para ulama.Namun, kenyataannya tidak demikian. Karena Qadhi Husain justru secara tegas membolehkan melihat kemaluan anak perempuan kecil yang belum memiliki syahwat, demikian juga anak laki-laki kecil. Pendapat ini juga dipastikan oleh Al-Marwazi terkait anak laki-laki kecil.Imam Al-Mutawalli menyebutkan ada dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang lebih benar adalah boleh melihatnya, karena manusia pada zaman dahulu maupun sekarang bersikap toleran terhadap hal ini, dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran.Kebolehan ini tetap berlaku sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz (dapat membedakan dan mulai sadar akan aurat), yaitu ketika ia sudah mampu menutupi auratnya dari pandangan orang lain.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)?Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat (awjuh). Pendapat yang paling kuat menurut Ar-Rafi‘i adalah: Perempuan boleh memandang seluruh tubuh laki-laki asing kecuali antara pusar dan lutut, karena bagian itu adalah aurat laki-laki secara syar‘i.Pendapat kedua: Perempuan tidak boleh melihat dari laki-laki kecuali bagian yang boleh dilihat darinya juga, yakni wajah dan telapak tangan.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih kuat menurut sekelompok ulama. Pendapat ini juga ditegaskan (dipastikan) oleh penulis Al-Muhadzdzab dan yang lainnya. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah Ta‘ala:وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ“Katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nūr: 31)Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian melihat dia?”(Dikatakan Nabi kepada dua perempuan yang duduk bersama laki-laki buta, yang semestinya tetap menjaga pandangan meski laki-laki itu tak bisa melihat mereka.)Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak PerempuanSeorang laki-laki boleh memandang seluruh tubuh istrinya, karena ia diizinkan menikmati seluruh bagian tubuhnya. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang memandang kemaluan istri.Sebagian ulama berpendapat, haram memandang kemaluan istri berdasarkan sabda Nabi ﷺ:النَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ“Memandang kemaluan dapat menyebabkan kebutaan.”Dalam penjelasan Al-‘Uddah disebutkan: hal itu bisa menyebabkan anak yang dilahirkan terlahir buta. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksudnya adalah kebutaan bisa menimpa orang yang memandang.Tentang status hadis ini, Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Namun, pendapat yang lebih shahih menyatakan: tidak haram memandang kemaluan istri, karena boleh menikmati bagian itu secara langsung. Bahkan, kemaluan adalah tempat kenikmatan yang paling besar, maka memandangnya pun lebih layak dibolehkan. Jika hadis tersebut sahih, maka dipahami dalam konteks makruh, bukan haram. Dan memandang bagian dalam kemaluan lebih makruh lagi. Oleh sebab itu, dimakruhkan bagi seseorang memandang kemaluannya sendiri tanpa ada keperluan.Adapun memandang budak perempuan yang boleh dinikmati, maka hukumnya seperti suami memandang istrinya—baik ia budak murni (qinnah), budak yang sedang dalam masa mudabbirah (dijanjikan merdeka setelah wafat tuannya), budak mustauladah (yang telah melahirkan anak dari tuannya), atau budak yang tertahan sementara karena suatu hal yang akan segera hilang seperti haid atau karena digadaikan.Namun, jika budak perempuan tersebut sedang berstatus:istri orang lain (muzawwijah),dalam perjanjian kemerdekaan (mukatabah),dimiliki bersama orang lain (musytarakah),beragama Majusi, penyembah berhala, atau murtad,maka haram bagi tuannya memandang bagian antara pusar dan lutut. Adapun bagian tubuh lainnya, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak haram untuk dilihat.Perlu diketahui:Pandangan istri kepada suaminya sama hukumnya dengan suami memandang istrinya. Bahkan, sebagian ulama menegaskan bahwa boleh secara mutlak bagi istri memandang kemaluan suaminya.Begitu juga pandangan budak perempuan kepada tuannya, sama seperti pandangan tuan kepada budaknya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah MenikahLaki-laki boleh memandang mahramnya (perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, persusuan, atau pernikahan), selama bukan bagian antara pusar dan lutut, karena bagian tersebut merupakan aurat secara mutlak. Adapun bagian tubuh selain itu, menurut mazhab Syafi‘i, boleh dipandang. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An-Nūr: 31)Juga karena hubungan mahram menciptakan larangan menikah, sehingga keduanya dalam hal ini dianggap seperti dua orang laki-laki (yang tidak berlaku hukum aurat di antara mereka secara penuh). Bukankah kamu lihat, bahwa menyentuh mahram tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang lebih kuat?Hukum ini berlaku sama, baik mahram karena nasab, pernikahan (mushāharah), maupun persusuan (raḍā‘ah), menurut pendapat yang lebih shahih.Ada juga pendapat lain yang menyatakan: tidak boleh melihat dari mahram kecuali bagian yang biasa tampak ketika sedang bekerja (seperti membantu di dapur, mencuci, dll).Kemudian, apakah bagian payudara termasuk yang biasa tampak saat bekerja? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.Sebagaimana bolehnya memandang mahram, maka boleh pula berkhalwat (berduaan) dan bepergian bersama mahram, tanpa ada larangan.Adapun hukum budak perempuan telah dijelaskan sebelumnya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum laki-laki memandang laki-laki lainLaki-laki boleh memandang seluruh tubuh laki-laki lain, kecuali bagian antara pusar dan lutut, selama aman dari fitnah (godaan syahwat). Jika khawatir terjadi fitnah, maka haram hukumnya.Demikian pula, haram memandang mahram (perempuan yang haram dinikahi) dengan syahwat — tanpa ada perbedaan pendapat. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut)Juga haram memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) dengan syahwat — tanpa khilaf, bahkan lebih utama untuk diharamkan daripada memandang wanita. Jika tidak ada syahwat dan tidak pula dikhawatirkan fitnah, maka menurut Ar-Rafi‘i tidak haram. Namun, jika tidak ada syahwat namun tetap dikhawatirkan timbul fitnah, maka haram menurut pendapat yang lebih shahih dan ini juga pendapat mayoritas ulama.Imam Nawawi menegaskan dalam banyak tempat di Syarh al-Muhadzdzab bahwa: yang shahih adalah haram memandang laki-laki amrad secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Imam Asy-Syafi‘i juga menegaskan hal ini.Ya, dalam kitab Ar-Riyadh, disebutkan syarat bahwa laki-laki itu harus tampan.Saya katakan: Ketampanan itu bersifat relatif, berbeda-beda sesuai selera manusia. Namun, tidak diragukan bahwa laki-laki amrad memang merupakan sumber fitnah, sebagaimana halnya perempuan.Dan karena hikmah larangan ini tidak bisa dibatasi secara pasti, maka kaidahnya: hikmah semacam ini tidak bisa dijadikan patokan hukum, dan hukum harus dikaitkan dengan perkara yang jelas dan terukur.Contohnya: Masyaqqah (kesulitan) dalam safar adalah hikmah kebolehan qashar salat. Namun, karena kesulitan itu tidak bisa ditentukan secara pasti, maka yang dijadikan patokan hukum adalah safarnya itu sendiri, bukan masyaqqah-nya. Maka, dalam hal ini pun demikian — hukum memandang amrad tetap harus dilarang secara mutlak.Dan ini juga ditegaskan oleh banyak ulama Syafi‘iyyah, bahkan Imam Asy-Syafi‘i secara tegas menyatakan larangan mutlaknya. Dan Allah Maha Mengetahui. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslimHukum perempuan memandang perempuan lain seperti halnya laki-laki memandang laki-laki lain. Ini berlaku untuk sesama muslimah.Adapun perempuan non-muslim (dzimmiyah) yang memandang muslimah, terdapat perbedaan pendapat:Al-Ghazali: yang lebih kuat (aṣaḥ) adalah, dzimmiyah sama hukumnya seperti muslimah.Al-Baghawi: yang shahih adalah tidak boleh. Berdasarkan ini, dzimmiyah tidak boleh mandi bersama muslimah di pemandian umum.Apa saja yang boleh dilihat dari tubuh muslimah oleh sesama perempuan?Ada yang mengatakan: seperti pandangan laki-laki kepada laki-laki (yakni, boleh selain pusar sampai lutut).Ada yang mengatakan: hanya bagian yang terbuka ketika bekerja.Ar-Rafi‘i berkata: Pendapat kedua lebih mendekati kebenaran.An-Nawawi menyatakan: Yang shahih adalah pendapat Al-Baghawi.Perempuan kafir selain dzimmiyah (seperti penyembah berhala, murtad, dll), hukum pandangannya terhadap muslimah juga seperti dzimmiyah, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Imrani.Saya katakan: Al-Baghawi berdalil dengan firman Allah:أَوْ نِسَائِهِنَّ(“…atau kepada sesama perempuan mereka.”)Yang dimaksud dengan “nisā’ihinna” adalah perempuan-perempuan beriman, bukan perempuan kafir.Bahkan, Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: perempuan fasik pun hukumnya seperti dzimmiyah. Maka, pemerintah wajib melarang perempuan kafir dan perempuan fasik masuk ke pemandian bersama perempuan-perempuan muslimah yang terjaga.Jika pemerintah abai terhadap hal ini, maka perempuan muslimah yang merdeka wajib menjaga diri dari perempuan kafir dan fasik. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisahSegala sesuatu yang haram dilihat saat masih menempel pada tubuh — seperti kemaluan, lengan bawah perempuan, rambut kepala, potongan kuku, rambut kemaluan laki-laki, dan semisalnya — maka haram juga dilihat setelah terpisah dari tubuh, menurut pendapat yang shahih.Maka, sebaiknya laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, atau perempuan yang menyisir rambutnya, menyembunyikan bagian tubuh yang terlepas itu dari pandangan orang lain. Hukum menyentuh vs memandangKetahuilah, bahwa jika memandang itu haram, maka menyentuh lebih utama untuk diharamkan, karena menyentuh itu lebih kuat membangkitkan syahwat.Maka, haram bagi laki-laki menyentuh paha laki-laki lain tanpa penghalang.Jika menyentuh dari atas kain dan dikhawatirkan timbul fitnah, maka tetap haram.Bahkan, menyentuh bisa haram meskipun memandang tidak haram.Termasuk: haram bagi seseorang menyentuh perut ibunya, punggungnya, kakinya, atau betisnya, walaupun ia anaknya sendiri.Juga haram menciumnya — sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qaffal.Tidak boleh juga seorang ayah menyuruh anak perempuannya atau saudarinya untuk memijat kakinya.Karena itu, Qadhi Husain menyatakan: perempuan-perempuan tua yang menghias laki-laki dengan celak pada Hari ‘Asyura termasuk pelaku maksiat. Hukum tidur satu kasurHaram bagi laki-laki tidur bersebelahan dengan laki-laki lain dalam satu kasur.Demikian pula, haram bagi perempuan tidur bersama perempuan lain dalam satu ranjang — walaupun mereka tidur di sisi yang berbeda dari kasur tersebut.Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh Ar-Rafi‘i dan diikuti oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah.Namun, An-Nawawi dalam Syarh Muslim membatasi keharaman ini jika keduanya dalam keadaan telanjang.Batasan ini juga disebutkan oleh Qadhi Husain, Al-Harawi, dan lainnya, dan ada riwayat yang mendukungnya.Jika anak laki-laki atau perempuan telah berusia sepuluh tahun, maka wajib dipisahkan tempat tidurnya dari ibu, ayah, dan saudara kandungnya, berdasarkan nash-nash syar‘i yang jelas.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan PernikahanSebelumnya telah dijelaskan bahwa memandang kadang tidak dibutuhkan, dan kadang diperlukan karena kebutuhan. Bagian pertama adalah saat tidak ada kebutuhan. Adapun bagian kedua adalah ketika memandang itu diperlukan, seperti untuk tujuan pernikahan.Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan dan tertarik untuk meminangnya, maka tidak diragukan lagi boleh baginya untuk melihat calon istrinya.Apakah disunnahkan (dianjurkan) untuk melihatnya, agar tidak menyesal kemudian hari? Karena pernikahan adalah ikatan yang dimaksudkan untuk jangka panjang?Pendapat yang paling kuat (ash-shahih): ya, disunnahkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Al-Mughīrah bin Syu‘bah:انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا“Lihatlah ia, karena itu lebih memungkinkan terjalin kecocokan di antara kalian berdua.”Demikian pula riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan hal yang sama.Boleh mengulangi pandangan jika masih belum jelas bagi laki-laki tersebut. Baik ia melihat dengan izin perempuan itu maupun tanpa izin—keduanya dibolehkan.Jika tidak memungkinkan untuk melihat secara langsung, maka ia boleh mengutus perempuan lain untuk mengamati dan menggambarkan calon istri itu kepadanya. Ini berdasar pada kisah ketika Nabi ﷺ mengutus Ummu Sulaim kepada seorang wanita dan beliau berkata:انْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا وَاشُمِّي مَعَاطِفَهَا“Perhatikan tumitnya dan cium (rambut) bagian lehernya.”Perempuan pun, jika ia tertarik kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, boleh memandangnya, karena biasanya perempuan tertarik kepada hal-hal yang sama sebagaimana laki-laki tertarik kepada perempuan. Hal ini dikatakan oleh Umar radhiyallāhu ‘anhu.Adapun bagian yang boleh dipandang dalam konteks ini adalah wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian luar maupun dalam. Tidak boleh melihat bagian tubuh lainnya.Ada juga pendapat bahwa pandangan ini diperbolehkan sebagaimana laki-laki memandang laki-laki lain, dan pandangan ini tetap dibolehkan walaupun dikhawatirkan timbul fitnah, selama tujuannya adalah untuk pernikahan.Waktu yang tepat untuk melihat: setelah muncul niat serius untuk menikah, sebelum melakukan khitbah (melamar secara resmi). Tujuannya, agar tidak menyakiti hati pihak perempuan jika ternyata laki-laki itu memutuskan mundur setelah melihatnya.Inilah pendapat yang paling shahih.Ada juga pendapat lain yang mengatakan: baru boleh melihat setelah diizinkan untuk akad nikah.Ada pula yang mengatakan: boleh melihat saat kedua belah pihak sudah mulai tertarik satu sama lain.Jika setelah melihat ternyata ia tidak menyukai calon tersebut, maka hendaknya ia diam dan tidak mengungkapkan ketidaktertarikannya. Jangan sampai ia berkata, “Aku tidak menginginkannya,” karena hal itu bisa menyakiti perempuan tersebut.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan PengobatanDi antara bentuk kebutuhan yang dibenarkan syariat adalah memandang perempuan asing karena keperluan pengobatan, seperti untuk bekam, operasi, atau perawatan penyakit tertentu.Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menjalani bekam, lalu beliau ﷺ memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Namun, hal itu harus dilakukan di hadapan mahram atau suami, guna menghindari khalwat (berduaan).Syaratnya: tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan pengobatan tersebut.Begitu pula sebaliknya: perempuan boleh mengobati laki-laki, asalkan tidak ada laki-laki lain yang mampu mengobatinya. Ini adalah pendapat Az-Zubayri dan Ar-Ruyani.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ini adalah pendapat yang paling shahih, dan ditegaskan pula oleh Qadhi Husain dan Imam Al-Mutawalli.Keduanya juga mengatakan: lebih utama jika yang mengobati adalah seorang Muslim, dan sebaiknya tidak dilakukan oleh non-Muslim (dzimmiy) jika masih ada Muslim yang mampu melakukannya.Ketahuilah bahwa:Kebutuhan umum (asal ada keperluan) sudah mencukupi untuk membolehkan memandang wajah dan tangan.Untuk anggota tubuh lainnya, maka harus ada kebutuhan yang lebih mendesak dan meyakinkan.Sedangkan untuk melihat aurat besar (kemaluan dan dubur), maka dibutuhkan kebutuhan yang sangat kuat dan lebih mendesak lagi.Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ukuran kebutuhan yang sah adalah:ketika kondisi tersebut tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan diri (muru’ah) dan sudah menjadi hal yang sulit untuk dihindari secara umum dalam kebiasaan manusia.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan TransaksiTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibenarkan adalah memandang wajah seseorang untuk keperluan persaksian atau urusan transaksi. Maka, boleh bagi seseorang memandang wajah orang lain yang bukan mahram dalam konteks ini, karena kebutuhan itu mengharuskannya.Di antara contoh kebutuhan lain yang lebih spesifik:Boleh memandang payudara perempuan yang menyusui jika itu diperlukan untuk menjadi saksi dalam kasus persusuan.Boleh memandang kemaluan seorang perempuan dalam kasus persaksian terhadap kelahiran.Boleh memandang kemaluan dua orang pezina, dalam rangka memberikan kesaksian atas tindakan zina yang mereka lakukan.Semua ini dibolehkan karena kebutuhan syar‘i yang mendesak.Namun, ada pendapat lain yang menyatakan: semua itu tidak boleh, karena:Zina disyariatkan untuk ditutupi (dianjurkan untuk tidak diumbar).Dan untuk kasus kelahiran serta persusuan, kesaksian perempuan saja sudah dianggap sah menurut syariat. Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih adalah pendapat pertama: boleh memandang untuk kepentingan persaksian, karena zina merupakan pelanggaran serius terhadap kehormatan syariat, maka boleh pula kehormatannya dibuka untuk menegakkan hukum.Adapun untuk persaksian tentang persusuan dan kelahiran, maka jawabannya masih ditangguhkan (ada keraguan dalam memutuskannya), karena ada sisi pertimbangan yang kompleks.Sebagaimana dibolehkan memandang untuk keperluan tersebut, demikian pula boleh memandang dalam konteks transaksi dan akad, karena terkadang ada kebutuhan untuk itu.Namun, pembatasan oleh sebagian ulama bahwa yang boleh dilihat hanya wajah saja, didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan sudah bisa terpenuhi hanya dengan melihat wajah. Maka, bagian tubuh lainnya tetap dilarang dan kembali pada hukum asal: haram memandang aurat.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak MembelinyaTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibolehkan adalah memandang budak perempuan saat hendak membelinya. Dalam hal ini, boleh bagi pembeli untuk melihat bagian tubuh budak yang memang diperlukan dalam proses pemeriksaan dan penilaian, sebagaimana lazim dilakukan saat membeli barang dagangan.Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Referensi:Al-Bugha, M. (2019). At-Tadzhiib fī Adillah Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb. Damaskus: Dār al-‘Ālamiyyah.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’.Al-Ḥiṣnī, M. b. ‘A. M. (2007). Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār. Jeddah: Dār al-Minhāj. ________ Ditulis pada Kamis, 18 Syawal 1446 H, 17 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab nikah memandang lawan jenis


Dalam Islam, menjaga pandangan bukan hanya perkara adab, tetapi bagian dari ketakwaan. Namun ada kondisi tertentu yang membolehkan laki-laki melihat perempuan dengan batasan dan syarat. Berikut penjelasan tujuh jenis pandangan laki-laki kepada perempuan menurut para ulama.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan Para Ulama Syafiiyyah 2. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan? 2.1. Hukum wanita menutup aurat dari anak kecil 2.2. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuan 2.3. Apa hukum memandang anak perempuan kecil? 2.4. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)? 3. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak Perempuan 4. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah Menikah 4.1. Hukum laki-laki memandang laki-laki lain 4.2. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) 4.3. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslim 4.4. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisah 4.5. Hukum menyentuh vs memandang 4.6. Hukum tidur satu kasur 5. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan Pernikahan 6. Hukum Memandang untuk Keperluan Pengobatan 7. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan Transaksi 8. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak Membelinya  Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,وَنَظَرَ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ:أَحَدُهَا نَظْرَةٌ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَغَيْرُ جَائِزٍ،وَالثَّانِي نَظْرَتُهُ إِلَى زَوْجَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجِ مِنْهُمَا،وَالثَّالِثُ نَظْرَتُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ أَوْ أَمَتِهِ الْمُزَوَّجَةِ فَيَجُوزُ فِيمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ،وَالرَّابِعُ النَّظَرُ لِأَجْلِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ،وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَيْهَا،وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ أَوْ لِلْمُعَامَلَةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ خَاصَّةً،وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيبِهَا.Pandangan Seorang Laki-laki kepada Perempuan Terbagi Menjadi Tujuh Keadaan:1. Pandangan kepada perempuan asing (ajnabiyyah) tanpa adanya kebutuhan: Ini tidak diperbolehkan.2. Pandangan kepada istri atau budaknya (amat) sendiri: Maka boleh memandang seluruh bagian tubuh selain kemaluan dari keduanya.3. Pandangan kepada perempuan mahramnya atau budak perempuan yang telah menikah: Maka boleh memandang selain bagian antara pusar dan lutut.4. Pandangan dengan tujuan melamar (untuk pernikahan): Maka boleh memandang wajah dan telapak tangan saja.5. Pandangan untuk keperluan pengobatan: Maka boleh memandang bagian tubuh yang dibutuhkan untuk proses pengobatan tersebut.6. Pandangan untuk keperluan menjadi saksi atau dalam muamalah: Maka boleh memandang wajah saja.7. Pandangan kepada budak perempuan saat hendak membelinya: Maka boleh memandang bagian tubuh yang diperlukan untuk diperiksa (dalam proses jual beli budak). Penjelasan Para Ulama SyafiiyyahPandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh macam:Pertama, seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu berhubungan intim, tidak boleh memandang wanita asing (yang bukan mahram) tanpa adanya kebutuhan. Jika ada kebutuhan seperti menjadi saksi dalam suatu perkara, maka dibolehkan.قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (QS. An-Nūr: 30)Kedua, pandangan laki-laki kepada istri atau budaknya: boleh baginya memandang seluruh tubuh mereka selain kemaluan. Namun, menurut pendapat yang lemah, melihat kemaluan itu haram. Sedangkan menurut pendapat yang lebih kuat, boleh melihatnya tetapi makruh.Menurut Syaikh Musthafa Al-Bugha, ia berkata, “Adapun melihat kemaluan wanita tanpa kebutuhan hukumnya makruh, karena bertentangan dengan adab.” Diriwayatkan dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) Rasulullah ﷺ dan beliau pun tidak pernah melihat milikku.” (Faidh Al-Qadir, 2:224, no. 1716)Ketiga, pandangan kepada perempuan mahram (karena nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan), termasuk juga kepada budak perempuan yang telah menikah: boleh melihat seluruh tubuh mereka selain bagian antara pusar dan lutut, karena bagian itu termasuk aurat dan haram dilihat.Dalil adalah firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah mertua mereka, anak-anak mereka, anak-anak suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka.” (QS. An-Nūr: 31). Perhiasan (zīnah) dalam ayat ini ditafsirkan bagian atas pusar dan bawah lutut—selain bagian yang dilarang dilihat.Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 4113) dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَمَتَهُ، فَلَا يَنْظُرْ إِلَى عَوْرَتِهَا“Apabila salah seorang dari kalian menikahkan budaknya dengan budak perempuan, maka janganlah ia melihat auratnya.”Dalam riwayat lain:فَلَا يَنْظُرْ إِلَى مَا دُونَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ الرُّكْبَةِ“Jangan melihat bagian antara pusar dan lutut.”Antara pusar dan lutut diharamkan dilihat selain suami dan istri karena termasuk aurat.Keempat, pandangan karena keperluan menikah: laki-laki yang hendak melamar seorang wanita boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian luar maupun dalam, walaupun tanpa izin si wanita. Dan menurut pendapat yang kuat dari Imam Nawawi, hal yang sama berlaku saat hendak melamar budak perempuan.Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 4833) dan Muslim (no. 1425), dari Sahal bin Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah ﷺ menatapnya dari atas sampai ke bawah dan menundukkan kepala beliau.Keterangan:“Menghadiahkan diri” maksudnya menawarkan diri untuk dinikahi Rasulullah ﷺ tanpa mahar, atau agar dinikahkan oleh beliau kepada orang yang dianggap layak.“Menatap dari atas ke bawah” artinya beliau ﷺ memperhatikan secara keseluruhan.“Menundukkan kepala” artinya beliau menolak tawaran tersebut dengan sopan.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1424), dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku berada di sisi Nabi ﷺ ketika seorang laki-laki datang dan memberitahu bahwa ia telah menikahi seorang wanita Anshar. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata kaum Anshar ada sesuatu (yang bisa jadi tidak cocok denganmu).'”Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1187) dan beliau menyatakannya hasan, dari Al-Mughīrah bin Syu‘bah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:“Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Lihatlah dia, karena itu lebih layak untuk menumbuhkan kecocokan di antara kalian.'”Keterangan:“Lebih layak” maksudnya lebih besar kemungkinan untuk terjalin kasih sayang dan kesepakatan.“Kecocokan” berasal dari kata ‘al-idām’, yang berarti lauk atau sesuatu yang dimakan bersama roti, yakni sebagai pelengkap agar lebih nikmat.Hadits-hadits ini dipahami bahwa yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua telapak tangan, karena tidak ada keperluan untuk melihat bagian lain.Kelima, pandangan karena keperluan pengobatan: dokter boleh melihat bagian tubuh wanita bukan mahram yang diperlukan untuk keperluan medis, termasuk area kemaluan, namun harus dengan syarat: di hadiri mahram, suami, atau tuannya, serta tidak ada dokter wanita yang bisa menangani.Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2206) dari Jabir raḍiyallāhu ‘anhu: Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā pernah meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk melakukan hijamah (terapi bekam), maka beliau memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Catatan penting: Harus disertai dengan kehadiran mahram atau suami, serta tidak ada perempuan lain yang bisa mengobatinya. Jika ada dokter muslim, maka tidak boleh beralih kepada non-muslim.Keenam, pandangan karena keperluan persaksian: seorang saksi boleh melihat kemaluan wanita dalam kasus seperti persaksian atas perzinaan atau persalinan. Namun, jika ia melihat tanpa keperluan tersebut, maka ia berdosa dan kesaksiannya ditolak. Termasuk juga pandangan dalam urusan muamalah seperti jual beli: dibolehkan hanya melihat wajah saja, baik dalam konteks kesaksian maupun transaksi.Ketujuh, pandangan kepada budak perempuan saat hendak membeli: diperbolehkan melihat bagian tubuh yang biasanya diperiksa saat pembelian, seperti tangan dan rambutnya, tetapi tidak termasuk aurat. Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan?Dalam Islam, pandangan seorang laki-laki kepada perempuan terbagi dalam beberapa kondisi. Di antara yang paling penting adalah larangan melihat perempuan asing (bukan mahram) tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syariat. Ini termasuk hukum yang ditegaskan para ulama.Yang dimaksud “laki-laki” di sini adalah laki-laki baligh, begitu pula “perempuan” adalah perempuan yang sudah baligh, kecuali jika dalam konteks tertentu kata “laki-laki” atau “perempuan” mencakup semua jenis kelamin tanpa memandang usia (karena penggunaan kata dengan alif lam pengenal).Nah, pandangan itu sendiri kadang tidak dibutuhkan, dan kadang memang ada kondisi yang membolehkannya karena kebutuhan, seperti pengobatan atau persaksian.Jenis yang pertama: jika tidak ada kebutuhan (yang dibenarkan), maka saat itu haram hukumnya laki-laki memandang aurat perempuan asing secara mutlak. Begitu pula haram hukumnya memandang wajah dan telapak tangan perempuan apabila dikhawatirkan menimbulkan fitnah (godaan syahwat).Namun jika tidak ada rasa takut akan muncul fitnah, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat menyatakan tetap haram, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ishṭikhrī, Abu ‘Alī Aṭ-Ṭabarī, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abū Muḥammad, serta ditegaskan pula oleh Abū Isḥāq Asy-Syīrāzī dan Ar-Ruyānī. Imam Al-Ḥaramain juga menyetujuinya.Alasan mereka kuat: umat Islam telah sepakat bahwa perempuan dilarang keluar rumah dalam keadaan terbuka aurat dan tanpa penutup, karena pandangan itu bisa menjadi sebab munculnya fitnah, membangkitkan syahwat, dan menimbulkan kerusakan. Maka, jalan terbaik menurut syariat adalah menutup semua pintu menuju fitnah, sebagaimana larangan berduaan dengan perempuan asing, tanpa perlu merinci setiap kondisi.Dalil umum yang dijadikan dasar adalah firman Allah Ta‘ala,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: “Tundukkanlah pandanganmu dan jagalah kemaluanmu.” (QS. An-Nūr: 30) Hukum wanita menutup aurat dari anak kecilAdapun hukum bagi remaja laki-laki yang belum baligh (muraahiq), terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa pandangannya dihukumi sebagaimana pandangan orang dewasa (baligh), karena pada umumnya mereka telah bisa melihat aurat perempuan. Oleh karena itu, perempuan tetap wajib menutup aurat dari mereka, sebagaimana juga wajib menutup aurat dari orang gila, tanpa ragu. Dan wali (orang tua) wajib mencegahnya dari memandang (yang haram), sebagaimana ia juga wajib mencegah anak dari perzinaan dan seluruh perkara haram lainnya. Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuanAdapun mengenai hukum al-mamsūḥ (orang yang tidak memiliki hasrat seksual, seperti kasim, laki-laki yang telah dikebiri), maka mayoritas ulama berpendapat: hukum pandangannya kepada perempuan bukan mahram seperti pandangan laki-laki kepada mahramnya. Dalam hal ini, firman Allah Ta‘ala dapat dipahami sebagai berikut:أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ…atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)… (QS. An-Nūr: 31)Jenis yang kedua, yaitu bahwa lelaki tersebut (yang disebut ghayru ʾulī al-irbah) dihukumi seperti lelaki normal (fahl, yaitu laki-laki yang punya hasrat seksual) terhadap perempuan asing. Karena pada dasarnya ia tetap halal menikah dengannya.Imam Nawawi menjelaskan bahwa pendapat yang kuat dalam tafsir ayat ghayru ʾulī al-irbah adalah: yang dimaksud adalah orang yang lemah akalnya, sehingga tidak peduli terhadap perempuan, atau ia tidak memiliki syahwat kepada mereka. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selain beliau radhiyallāhu ‘anhum. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.Perlu diketahui, bahwa:Orang yang hanya terpotong zakarnya saja,atau yang hanya diangkat dua buah zakarnya saja,atau yang disebut ‘anin (lelaki yang impoten sejak awal pernikahan),atau orang tua yang sangat renta,— semua ini hukumnya tetap seperti laki-laki normal (fahl) dalam hal interaksi dengan perempuan bukan mahram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Apa hukum memandang anak perempuan kecil?Imam Ar-Rafi‘i menyebutkan dalam pembahasan hukum melihat anak kecil perempuan bahwa terdapat dua pendapat. Dan menurutnya, pendapat yang lebih kuat (al-aṣaḥ) adalah boleh melihatnya, tanpa ada perbedaan antara aurat dan selain auratnya, selama tidak melihat kemaluannya (farj).Imam An-Nawawi menegaskan bahwa Ar-Rafi‘i memutuskan haram melihat kemaluan anak perempuan kecil. Bahkan, penulis kitab Al-‘Uddah menyebutkan bahwa hal ini disepakati oleh para ulama.Namun, kenyataannya tidak demikian. Karena Qadhi Husain justru secara tegas membolehkan melihat kemaluan anak perempuan kecil yang belum memiliki syahwat, demikian juga anak laki-laki kecil. Pendapat ini juga dipastikan oleh Al-Marwazi terkait anak laki-laki kecil.Imam Al-Mutawalli menyebutkan ada dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang lebih benar adalah boleh melihatnya, karena manusia pada zaman dahulu maupun sekarang bersikap toleran terhadap hal ini, dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran.Kebolehan ini tetap berlaku sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz (dapat membedakan dan mulai sadar akan aurat), yaitu ketika ia sudah mampu menutupi auratnya dari pandangan orang lain.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)?Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat (awjuh). Pendapat yang paling kuat menurut Ar-Rafi‘i adalah: Perempuan boleh memandang seluruh tubuh laki-laki asing kecuali antara pusar dan lutut, karena bagian itu adalah aurat laki-laki secara syar‘i.Pendapat kedua: Perempuan tidak boleh melihat dari laki-laki kecuali bagian yang boleh dilihat darinya juga, yakni wajah dan telapak tangan.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih kuat menurut sekelompok ulama. Pendapat ini juga ditegaskan (dipastikan) oleh penulis Al-Muhadzdzab dan yang lainnya. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah Ta‘ala:وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ“Katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nūr: 31)Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian melihat dia?”(Dikatakan Nabi kepada dua perempuan yang duduk bersama laki-laki buta, yang semestinya tetap menjaga pandangan meski laki-laki itu tak bisa melihat mereka.)Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak PerempuanSeorang laki-laki boleh memandang seluruh tubuh istrinya, karena ia diizinkan menikmati seluruh bagian tubuhnya. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang memandang kemaluan istri.Sebagian ulama berpendapat, haram memandang kemaluan istri berdasarkan sabda Nabi ﷺ:النَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ“Memandang kemaluan dapat menyebabkan kebutaan.”Dalam penjelasan Al-‘Uddah disebutkan: hal itu bisa menyebabkan anak yang dilahirkan terlahir buta. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksudnya adalah kebutaan bisa menimpa orang yang memandang.Tentang status hadis ini, Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Namun, pendapat yang lebih shahih menyatakan: tidak haram memandang kemaluan istri, karena boleh menikmati bagian itu secara langsung. Bahkan, kemaluan adalah tempat kenikmatan yang paling besar, maka memandangnya pun lebih layak dibolehkan. Jika hadis tersebut sahih, maka dipahami dalam konteks makruh, bukan haram. Dan memandang bagian dalam kemaluan lebih makruh lagi. Oleh sebab itu, dimakruhkan bagi seseorang memandang kemaluannya sendiri tanpa ada keperluan.Adapun memandang budak perempuan yang boleh dinikmati, maka hukumnya seperti suami memandang istrinya—baik ia budak murni (qinnah), budak yang sedang dalam masa mudabbirah (dijanjikan merdeka setelah wafat tuannya), budak mustauladah (yang telah melahirkan anak dari tuannya), atau budak yang tertahan sementara karena suatu hal yang akan segera hilang seperti haid atau karena digadaikan.Namun, jika budak perempuan tersebut sedang berstatus:istri orang lain (muzawwijah),dalam perjanjian kemerdekaan (mukatabah),dimiliki bersama orang lain (musytarakah),beragama Majusi, penyembah berhala, atau murtad,maka haram bagi tuannya memandang bagian antara pusar dan lutut. Adapun bagian tubuh lainnya, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak haram untuk dilihat.Perlu diketahui:Pandangan istri kepada suaminya sama hukumnya dengan suami memandang istrinya. Bahkan, sebagian ulama menegaskan bahwa boleh secara mutlak bagi istri memandang kemaluan suaminya.Begitu juga pandangan budak perempuan kepada tuannya, sama seperti pandangan tuan kepada budaknya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah MenikahLaki-laki boleh memandang mahramnya (perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, persusuan, atau pernikahan), selama bukan bagian antara pusar dan lutut, karena bagian tersebut merupakan aurat secara mutlak. Adapun bagian tubuh selain itu, menurut mazhab Syafi‘i, boleh dipandang. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An-Nūr: 31)Juga karena hubungan mahram menciptakan larangan menikah, sehingga keduanya dalam hal ini dianggap seperti dua orang laki-laki (yang tidak berlaku hukum aurat di antara mereka secara penuh). Bukankah kamu lihat, bahwa menyentuh mahram tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang lebih kuat?Hukum ini berlaku sama, baik mahram karena nasab, pernikahan (mushāharah), maupun persusuan (raḍā‘ah), menurut pendapat yang lebih shahih.Ada juga pendapat lain yang menyatakan: tidak boleh melihat dari mahram kecuali bagian yang biasa tampak ketika sedang bekerja (seperti membantu di dapur, mencuci, dll).Kemudian, apakah bagian payudara termasuk yang biasa tampak saat bekerja? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.Sebagaimana bolehnya memandang mahram, maka boleh pula berkhalwat (berduaan) dan bepergian bersama mahram, tanpa ada larangan.Adapun hukum budak perempuan telah dijelaskan sebelumnya.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum laki-laki memandang laki-laki lainLaki-laki boleh memandang seluruh tubuh laki-laki lain, kecuali bagian antara pusar dan lutut, selama aman dari fitnah (godaan syahwat). Jika khawatir terjadi fitnah, maka haram hukumnya.Demikian pula, haram memandang mahram (perempuan yang haram dinikahi) dengan syahwat — tanpa ada perbedaan pendapat. Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut)Juga haram memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) dengan syahwat — tanpa khilaf, bahkan lebih utama untuk diharamkan daripada memandang wanita. Jika tidak ada syahwat dan tidak pula dikhawatirkan fitnah, maka menurut Ar-Rafi‘i tidak haram. Namun, jika tidak ada syahwat namun tetap dikhawatirkan timbul fitnah, maka haram menurut pendapat yang lebih shahih dan ini juga pendapat mayoritas ulama.Imam Nawawi menegaskan dalam banyak tempat di Syarh al-Muhadzdzab bahwa: yang shahih adalah haram memandang laki-laki amrad secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Imam Asy-Syafi‘i juga menegaskan hal ini.Ya, dalam kitab Ar-Riyadh, disebutkan syarat bahwa laki-laki itu harus tampan.Saya katakan: Ketampanan itu bersifat relatif, berbeda-beda sesuai selera manusia. Namun, tidak diragukan bahwa laki-laki amrad memang merupakan sumber fitnah, sebagaimana halnya perempuan.Dan karena hikmah larangan ini tidak bisa dibatasi secara pasti, maka kaidahnya: hikmah semacam ini tidak bisa dijadikan patokan hukum, dan hukum harus dikaitkan dengan perkara yang jelas dan terukur.Contohnya: Masyaqqah (kesulitan) dalam safar adalah hikmah kebolehan qashar salat. Namun, karena kesulitan itu tidak bisa ditentukan secara pasti, maka yang dijadikan patokan hukum adalah safarnya itu sendiri, bukan masyaqqah-nya. Maka, dalam hal ini pun demikian — hukum memandang amrad tetap harus dilarang secara mutlak.Dan ini juga ditegaskan oleh banyak ulama Syafi‘iyyah, bahkan Imam Asy-Syafi‘i secara tegas menyatakan larangan mutlaknya. Dan Allah Maha Mengetahui. Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslimHukum perempuan memandang perempuan lain seperti halnya laki-laki memandang laki-laki lain. Ini berlaku untuk sesama muslimah.Adapun perempuan non-muslim (dzimmiyah) yang memandang muslimah, terdapat perbedaan pendapat:Al-Ghazali: yang lebih kuat (aṣaḥ) adalah, dzimmiyah sama hukumnya seperti muslimah.Al-Baghawi: yang shahih adalah tidak boleh. Berdasarkan ini, dzimmiyah tidak boleh mandi bersama muslimah di pemandian umum.Apa saja yang boleh dilihat dari tubuh muslimah oleh sesama perempuan?Ada yang mengatakan: seperti pandangan laki-laki kepada laki-laki (yakni, boleh selain pusar sampai lutut).Ada yang mengatakan: hanya bagian yang terbuka ketika bekerja.Ar-Rafi‘i berkata: Pendapat kedua lebih mendekati kebenaran.An-Nawawi menyatakan: Yang shahih adalah pendapat Al-Baghawi.Perempuan kafir selain dzimmiyah (seperti penyembah berhala, murtad, dll), hukum pandangannya terhadap muslimah juga seperti dzimmiyah, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Imrani.Saya katakan: Al-Baghawi berdalil dengan firman Allah:أَوْ نِسَائِهِنَّ(“…atau kepada sesama perempuan mereka.”)Yang dimaksud dengan “nisā’ihinna” adalah perempuan-perempuan beriman, bukan perempuan kafir.Bahkan, Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: perempuan fasik pun hukumnya seperti dzimmiyah. Maka, pemerintah wajib melarang perempuan kafir dan perempuan fasik masuk ke pemandian bersama perempuan-perempuan muslimah yang terjaga.Jika pemerintah abai terhadap hal ini, maka perempuan muslimah yang merdeka wajib menjaga diri dari perempuan kafir dan fasik. Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisahSegala sesuatu yang haram dilihat saat masih menempel pada tubuh — seperti kemaluan, lengan bawah perempuan, rambut kepala, potongan kuku, rambut kemaluan laki-laki, dan semisalnya — maka haram juga dilihat setelah terpisah dari tubuh, menurut pendapat yang shahih.Maka, sebaiknya laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, atau perempuan yang menyisir rambutnya, menyembunyikan bagian tubuh yang terlepas itu dari pandangan orang lain. Hukum menyentuh vs memandangKetahuilah, bahwa jika memandang itu haram, maka menyentuh lebih utama untuk diharamkan, karena menyentuh itu lebih kuat membangkitkan syahwat.Maka, haram bagi laki-laki menyentuh paha laki-laki lain tanpa penghalang.Jika menyentuh dari atas kain dan dikhawatirkan timbul fitnah, maka tetap haram.Bahkan, menyentuh bisa haram meskipun memandang tidak haram.Termasuk: haram bagi seseorang menyentuh perut ibunya, punggungnya, kakinya, atau betisnya, walaupun ia anaknya sendiri.Juga haram menciumnya — sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qaffal.Tidak boleh juga seorang ayah menyuruh anak perempuannya atau saudarinya untuk memijat kakinya.Karena itu, Qadhi Husain menyatakan: perempuan-perempuan tua yang menghias laki-laki dengan celak pada Hari ‘Asyura termasuk pelaku maksiat. Hukum tidur satu kasurHaram bagi laki-laki tidur bersebelahan dengan laki-laki lain dalam satu kasur.Demikian pula, haram bagi perempuan tidur bersama perempuan lain dalam satu ranjang — walaupun mereka tidur di sisi yang berbeda dari kasur tersebut.Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh Ar-Rafi‘i dan diikuti oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah.Namun, An-Nawawi dalam Syarh Muslim membatasi keharaman ini jika keduanya dalam keadaan telanjang.Batasan ini juga disebutkan oleh Qadhi Husain, Al-Harawi, dan lainnya, dan ada riwayat yang mendukungnya.Jika anak laki-laki atau perempuan telah berusia sepuluh tahun, maka wajib dipisahkan tempat tidurnya dari ibu, ayah, dan saudara kandungnya, berdasarkan nash-nash syar‘i yang jelas.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan PernikahanSebelumnya telah dijelaskan bahwa memandang kadang tidak dibutuhkan, dan kadang diperlukan karena kebutuhan. Bagian pertama adalah saat tidak ada kebutuhan. Adapun bagian kedua adalah ketika memandang itu diperlukan, seperti untuk tujuan pernikahan.Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan dan tertarik untuk meminangnya, maka tidak diragukan lagi boleh baginya untuk melihat calon istrinya.Apakah disunnahkan (dianjurkan) untuk melihatnya, agar tidak menyesal kemudian hari? Karena pernikahan adalah ikatan yang dimaksudkan untuk jangka panjang?Pendapat yang paling kuat (ash-shahih): ya, disunnahkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Al-Mughīrah bin Syu‘bah:انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا“Lihatlah ia, karena itu lebih memungkinkan terjalin kecocokan di antara kalian berdua.”Demikian pula riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan hal yang sama.Boleh mengulangi pandangan jika masih belum jelas bagi laki-laki tersebut. Baik ia melihat dengan izin perempuan itu maupun tanpa izin—keduanya dibolehkan.Jika tidak memungkinkan untuk melihat secara langsung, maka ia boleh mengutus perempuan lain untuk mengamati dan menggambarkan calon istri itu kepadanya. Ini berdasar pada kisah ketika Nabi ﷺ mengutus Ummu Sulaim kepada seorang wanita dan beliau berkata:انْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا وَاشُمِّي مَعَاطِفَهَا“Perhatikan tumitnya dan cium (rambut) bagian lehernya.”Perempuan pun, jika ia tertarik kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, boleh memandangnya, karena biasanya perempuan tertarik kepada hal-hal yang sama sebagaimana laki-laki tertarik kepada perempuan. Hal ini dikatakan oleh Umar radhiyallāhu ‘anhu.Adapun bagian yang boleh dipandang dalam konteks ini adalah wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian luar maupun dalam. Tidak boleh melihat bagian tubuh lainnya.Ada juga pendapat bahwa pandangan ini diperbolehkan sebagaimana laki-laki memandang laki-laki lain, dan pandangan ini tetap dibolehkan walaupun dikhawatirkan timbul fitnah, selama tujuannya adalah untuk pernikahan.Waktu yang tepat untuk melihat: setelah muncul niat serius untuk menikah, sebelum melakukan khitbah (melamar secara resmi). Tujuannya, agar tidak menyakiti hati pihak perempuan jika ternyata laki-laki itu memutuskan mundur setelah melihatnya.Inilah pendapat yang paling shahih.Ada juga pendapat lain yang mengatakan: baru boleh melihat setelah diizinkan untuk akad nikah.Ada pula yang mengatakan: boleh melihat saat kedua belah pihak sudah mulai tertarik satu sama lain.Jika setelah melihat ternyata ia tidak menyukai calon tersebut, maka hendaknya ia diam dan tidak mengungkapkan ketidaktertarikannya. Jangan sampai ia berkata, “Aku tidak menginginkannya,” karena hal itu bisa menyakiti perempuan tersebut.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan PengobatanDi antara bentuk kebutuhan yang dibenarkan syariat adalah memandang perempuan asing karena keperluan pengobatan, seperti untuk bekam, operasi, atau perawatan penyakit tertentu.Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menjalani bekam, lalu beliau ﷺ memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.Namun, hal itu harus dilakukan di hadapan mahram atau suami, guna menghindari khalwat (berduaan).Syaratnya: tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan pengobatan tersebut.Begitu pula sebaliknya: perempuan boleh mengobati laki-laki, asalkan tidak ada laki-laki lain yang mampu mengobatinya. Ini adalah pendapat Az-Zubayri dan Ar-Ruyani.Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ini adalah pendapat yang paling shahih, dan ditegaskan pula oleh Qadhi Husain dan Imam Al-Mutawalli.Keduanya juga mengatakan: lebih utama jika yang mengobati adalah seorang Muslim, dan sebaiknya tidak dilakukan oleh non-Muslim (dzimmiy) jika masih ada Muslim yang mampu melakukannya.Ketahuilah bahwa:Kebutuhan umum (asal ada keperluan) sudah mencukupi untuk membolehkan memandang wajah dan tangan.Untuk anggota tubuh lainnya, maka harus ada kebutuhan yang lebih mendesak dan meyakinkan.Sedangkan untuk melihat aurat besar (kemaluan dan dubur), maka dibutuhkan kebutuhan yang sangat kuat dan lebih mendesak lagi.Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ukuran kebutuhan yang sah adalah:ketika kondisi tersebut tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan diri (muru’ah) dan sudah menjadi hal yang sulit untuk dihindari secara umum dalam kebiasaan manusia.Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan TransaksiTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibenarkan adalah memandang wajah seseorang untuk keperluan persaksian atau urusan transaksi. Maka, boleh bagi seseorang memandang wajah orang lain yang bukan mahram dalam konteks ini, karena kebutuhan itu mengharuskannya.Di antara contoh kebutuhan lain yang lebih spesifik:Boleh memandang payudara perempuan yang menyusui jika itu diperlukan untuk menjadi saksi dalam kasus persusuan.Boleh memandang kemaluan seorang perempuan dalam kasus persaksian terhadap kelahiran.Boleh memandang kemaluan dua orang pezina, dalam rangka memberikan kesaksian atas tindakan zina yang mereka lakukan.Semua ini dibolehkan karena kebutuhan syar‘i yang mendesak.Namun, ada pendapat lain yang menyatakan: semua itu tidak boleh, karena:Zina disyariatkan untuk ditutupi (dianjurkan untuk tidak diumbar).Dan untuk kasus kelahiran serta persusuan, kesaksian perempuan saja sudah dianggap sah menurut syariat. Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih adalah pendapat pertama: boleh memandang untuk kepentingan persaksian, karena zina merupakan pelanggaran serius terhadap kehormatan syariat, maka boleh pula kehormatannya dibuka untuk menegakkan hukum.Adapun untuk persaksian tentang persusuan dan kelahiran, maka jawabannya masih ditangguhkan (ada keraguan dalam memutuskannya), karena ada sisi pertimbangan yang kompleks.Sebagaimana dibolehkan memandang untuk keperluan tersebut, demikian pula boleh memandang dalam konteks transaksi dan akad, karena terkadang ada kebutuhan untuk itu.Namun, pembatasan oleh sebagian ulama bahwa yang boleh dilihat hanya wajah saja, didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan sudah bisa terpenuhi hanya dengan melihat wajah. Maka, bagian tubuh lainnya tetap dilarang dan kembali pada hukum asal: haram memandang aurat.Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak MembelinyaTermasuk dalam kategori kebutuhan yang dibolehkan adalah memandang budak perempuan saat hendak membelinya. Dalam hal ini, boleh bagi pembeli untuk melihat bagian tubuh budak yang memang diperlukan dalam proses pemeriksaan dan penilaian, sebagaimana lazim dilakukan saat membeli barang dagangan.Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Referensi:Al-Bugha, M. (2019). At-Tadzhiib fī Adillah Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb. Damaskus: Dār al-‘Ālamiyyah.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’.Al-Ḥiṣnī, M. b. ‘A. M. (2007). Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār. Jeddah: Dār al-Minhāj. ________ Ditulis pada Kamis, 18 Syawal 1446 H, 17 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab nikah memandang lawan jenis

Ternyata Ini Amalan yang Bikin Masuk Surga Langsung, tanpa Dihisab & Diazab Sedetik Pun!

Apa amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa azab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ini dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, ketika Nabi mengabarkan bahwa akan masuk surga dari umatnya sebanyak 70.000 orang tanpa hisab dan tanpa azab. Kemudian Nabi menyebutkan sifat-sifat mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan besi panas (kay), tidak berprasangka sial, dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal. Inilah amal-amal orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. “Mereka tidak meminta diruqyah,” maksudnya tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, meskipun hukum meminta ruqyah itu boleh. Namun, karena sempurnanya tawakal mereka kepada Allah, mereka tidak melakukannya, karena mereka khawatir itu bertepatan dengan takdir, sehingga mereka sembuh dengan sebab ruqyah itu, sehingga hati mereka terpaut dengan tukang ruqyahnya, yang bisa memengaruhi kesempurnaan tawakal mereka. “Mereka tidak melakukan kay,” artinya mereka tidak meminta diobati dengan besi panas, meskipun meminta kay hukumnya boleh saat dibutuhkan, dan tidak mengapa. Namun, mereka meninggalkan kay karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka tidak berprasangka sial,” artinya mereka tidak beranggapan sial, baik itu anggapan terkait waktu, tempat, suara, bunyi-bunyian, atau apa pun itu, karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah. Kemudian Nabi menyebutkan sifat keempat, yang menjadi akar dari tiga sifat sebelumnya. Beliau bersabda: “Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal.” Yakni mereka memiliki tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka tidak meminta ruqyah karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak melakukan kay karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak beranggapan sial karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini menunjukkan bahwa salah satu sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah tawakal yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan amal-amal hati, bahwa amal-amal hati itu mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, dengan derajat yang sangat tinggi. Amal-amal hati memiliki kedudukan yang agung, karena amal-amal ini mengangkat pelakunya di sisi Allah Ta’ala ke derajat yang tinggi. Sa‘ad bin Mu‘adz masuk Islam pada usia 31 tahun, dan wafat pada usia 37 atau 38 tahun. Artinya, ia hanya hidup dalam Islam selama 6 atau 7 tahun. Kendati demikian, ketika ia wafat, Arsy Allah berguncang karena kematiannya. Kemungkinan besar—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa di samping amal-amal saleh yang ia lakukan, beliau juga melakukan amalan-amalan hati yang mengangkatnya ke derajat yang sangat tinggi itu. ==== مَا الْأَعْمَالُ الَّتِي تُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ لَمَّا أَخْبَرَ بِأَنَّهُ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ أُمَّتِي بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ ذَكَرَ أَوْصَافَهُم وَأَنَّهُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ هَذِهِ هِيَ أَعْمَالُ مَنْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ لاَ يَسْتَرْقُونَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الرُّقْيَةَ وَإِنْ كَانَ طَلَبُهَا جَائِزًا لَكِنْ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ خَشْيَةَ أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ قَدَرًا فَيُشْفَونَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ فَتَتَعَلَّقُ قُلُوبُهُمْ بِالرَّاقِي فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ فِي كَمَالِ التَّوَكُّلِ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الْكَيَّ مَعَ أَنَّ طَلَبَ الْكَيِّ جَائِزٌ عِنْدَ الْحَاجَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لَكِن هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَتْرُكُونَ الْكَيَّ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُوْنَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِصَوْتٍ وَلَا بِمَسْمُوعٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ الصِّفَةَ الرَّابِعَةَ الَّتِي تَفَرَّعَتْ عَنْهَا الصِّفَاتُ الثَّلَاثُ السَّابِقَةُ قَالَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ أَيْ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُمْ لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ مِنْ أَسْبَابِ دُخُولِ الْجَنَّةِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ شَأْنِ الْأَعْمَالِ الْقَلْبِيَّةِ وَأَنَّهَا تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً الْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ لَهَا شَأْنٌ عَظِيمٌ فَهِيَ تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى دَرَجَاتٍ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ أَسْلَمَ وَعُمْرُهُ وَاحِدٌ وَثَلَاثُونَ وَمَاتَ وَعُمْرُهُ سَبْعٌ أَوْ ثَمَانٍ وَثَلَاثُونَ يَعْنِي بَقِيَ فِي الْإِسْلَامِ سِتَّ أَوْ سَبْعَ سِنِينَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا مَاتَ اهْتَزَّ لِمَوْتِهِ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ عِنْدَهُ مَعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الَّتِي كَانَ يَقُومُ بِهَا عِنْدَهُ أَعْمَالٌ قَلْبِيَّةٌ رَفَعَتْهُ إِلَى هَذِهِ الْمَنْزِلَةِ الْعَلِيَّةِ

Ternyata Ini Amalan yang Bikin Masuk Surga Langsung, tanpa Dihisab & Diazab Sedetik Pun!

Apa amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa azab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ini dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, ketika Nabi mengabarkan bahwa akan masuk surga dari umatnya sebanyak 70.000 orang tanpa hisab dan tanpa azab. Kemudian Nabi menyebutkan sifat-sifat mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan besi panas (kay), tidak berprasangka sial, dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal. Inilah amal-amal orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. “Mereka tidak meminta diruqyah,” maksudnya tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, meskipun hukum meminta ruqyah itu boleh. Namun, karena sempurnanya tawakal mereka kepada Allah, mereka tidak melakukannya, karena mereka khawatir itu bertepatan dengan takdir, sehingga mereka sembuh dengan sebab ruqyah itu, sehingga hati mereka terpaut dengan tukang ruqyahnya, yang bisa memengaruhi kesempurnaan tawakal mereka. “Mereka tidak melakukan kay,” artinya mereka tidak meminta diobati dengan besi panas, meskipun meminta kay hukumnya boleh saat dibutuhkan, dan tidak mengapa. Namun, mereka meninggalkan kay karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka tidak berprasangka sial,” artinya mereka tidak beranggapan sial, baik itu anggapan terkait waktu, tempat, suara, bunyi-bunyian, atau apa pun itu, karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah. Kemudian Nabi menyebutkan sifat keempat, yang menjadi akar dari tiga sifat sebelumnya. Beliau bersabda: “Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal.” Yakni mereka memiliki tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka tidak meminta ruqyah karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak melakukan kay karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak beranggapan sial karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini menunjukkan bahwa salah satu sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah tawakal yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan amal-amal hati, bahwa amal-amal hati itu mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, dengan derajat yang sangat tinggi. Amal-amal hati memiliki kedudukan yang agung, karena amal-amal ini mengangkat pelakunya di sisi Allah Ta’ala ke derajat yang tinggi. Sa‘ad bin Mu‘adz masuk Islam pada usia 31 tahun, dan wafat pada usia 37 atau 38 tahun. Artinya, ia hanya hidup dalam Islam selama 6 atau 7 tahun. Kendati demikian, ketika ia wafat, Arsy Allah berguncang karena kematiannya. Kemungkinan besar—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa di samping amal-amal saleh yang ia lakukan, beliau juga melakukan amalan-amalan hati yang mengangkatnya ke derajat yang sangat tinggi itu. ==== مَا الْأَعْمَالُ الَّتِي تُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ لَمَّا أَخْبَرَ بِأَنَّهُ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ أُمَّتِي بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ ذَكَرَ أَوْصَافَهُم وَأَنَّهُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ هَذِهِ هِيَ أَعْمَالُ مَنْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ لاَ يَسْتَرْقُونَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الرُّقْيَةَ وَإِنْ كَانَ طَلَبُهَا جَائِزًا لَكِنْ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ خَشْيَةَ أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ قَدَرًا فَيُشْفَونَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ فَتَتَعَلَّقُ قُلُوبُهُمْ بِالرَّاقِي فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ فِي كَمَالِ التَّوَكُّلِ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الْكَيَّ مَعَ أَنَّ طَلَبَ الْكَيِّ جَائِزٌ عِنْدَ الْحَاجَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لَكِن هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَتْرُكُونَ الْكَيَّ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُوْنَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِصَوْتٍ وَلَا بِمَسْمُوعٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ الصِّفَةَ الرَّابِعَةَ الَّتِي تَفَرَّعَتْ عَنْهَا الصِّفَاتُ الثَّلَاثُ السَّابِقَةُ قَالَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ أَيْ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُمْ لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ مِنْ أَسْبَابِ دُخُولِ الْجَنَّةِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ شَأْنِ الْأَعْمَالِ الْقَلْبِيَّةِ وَأَنَّهَا تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً الْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ لَهَا شَأْنٌ عَظِيمٌ فَهِيَ تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى دَرَجَاتٍ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ أَسْلَمَ وَعُمْرُهُ وَاحِدٌ وَثَلَاثُونَ وَمَاتَ وَعُمْرُهُ سَبْعٌ أَوْ ثَمَانٍ وَثَلَاثُونَ يَعْنِي بَقِيَ فِي الْإِسْلَامِ سِتَّ أَوْ سَبْعَ سِنِينَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا مَاتَ اهْتَزَّ لِمَوْتِهِ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ عِنْدَهُ مَعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الَّتِي كَانَ يَقُومُ بِهَا عِنْدَهُ أَعْمَالٌ قَلْبِيَّةٌ رَفَعَتْهُ إِلَى هَذِهِ الْمَنْزِلَةِ الْعَلِيَّةِ
Apa amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa azab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ini dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, ketika Nabi mengabarkan bahwa akan masuk surga dari umatnya sebanyak 70.000 orang tanpa hisab dan tanpa azab. Kemudian Nabi menyebutkan sifat-sifat mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan besi panas (kay), tidak berprasangka sial, dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal. Inilah amal-amal orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. “Mereka tidak meminta diruqyah,” maksudnya tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, meskipun hukum meminta ruqyah itu boleh. Namun, karena sempurnanya tawakal mereka kepada Allah, mereka tidak melakukannya, karena mereka khawatir itu bertepatan dengan takdir, sehingga mereka sembuh dengan sebab ruqyah itu, sehingga hati mereka terpaut dengan tukang ruqyahnya, yang bisa memengaruhi kesempurnaan tawakal mereka. “Mereka tidak melakukan kay,” artinya mereka tidak meminta diobati dengan besi panas, meskipun meminta kay hukumnya boleh saat dibutuhkan, dan tidak mengapa. Namun, mereka meninggalkan kay karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka tidak berprasangka sial,” artinya mereka tidak beranggapan sial, baik itu anggapan terkait waktu, tempat, suara, bunyi-bunyian, atau apa pun itu, karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah. Kemudian Nabi menyebutkan sifat keempat, yang menjadi akar dari tiga sifat sebelumnya. Beliau bersabda: “Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal.” Yakni mereka memiliki tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka tidak meminta ruqyah karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak melakukan kay karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak beranggapan sial karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini menunjukkan bahwa salah satu sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah tawakal yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan amal-amal hati, bahwa amal-amal hati itu mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, dengan derajat yang sangat tinggi. Amal-amal hati memiliki kedudukan yang agung, karena amal-amal ini mengangkat pelakunya di sisi Allah Ta’ala ke derajat yang tinggi. Sa‘ad bin Mu‘adz masuk Islam pada usia 31 tahun, dan wafat pada usia 37 atau 38 tahun. Artinya, ia hanya hidup dalam Islam selama 6 atau 7 tahun. Kendati demikian, ketika ia wafat, Arsy Allah berguncang karena kematiannya. Kemungkinan besar—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa di samping amal-amal saleh yang ia lakukan, beliau juga melakukan amalan-amalan hati yang mengangkatnya ke derajat yang sangat tinggi itu. ==== مَا الْأَعْمَالُ الَّتِي تُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ لَمَّا أَخْبَرَ بِأَنَّهُ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ أُمَّتِي بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ ذَكَرَ أَوْصَافَهُم وَأَنَّهُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ هَذِهِ هِيَ أَعْمَالُ مَنْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ لاَ يَسْتَرْقُونَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الرُّقْيَةَ وَإِنْ كَانَ طَلَبُهَا جَائِزًا لَكِنْ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ خَشْيَةَ أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ قَدَرًا فَيُشْفَونَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ فَتَتَعَلَّقُ قُلُوبُهُمْ بِالرَّاقِي فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ فِي كَمَالِ التَّوَكُّلِ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الْكَيَّ مَعَ أَنَّ طَلَبَ الْكَيِّ جَائِزٌ عِنْدَ الْحَاجَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لَكِن هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَتْرُكُونَ الْكَيَّ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُوْنَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِصَوْتٍ وَلَا بِمَسْمُوعٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ الصِّفَةَ الرَّابِعَةَ الَّتِي تَفَرَّعَتْ عَنْهَا الصِّفَاتُ الثَّلَاثُ السَّابِقَةُ قَالَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ أَيْ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُمْ لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ مِنْ أَسْبَابِ دُخُولِ الْجَنَّةِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ شَأْنِ الْأَعْمَالِ الْقَلْبِيَّةِ وَأَنَّهَا تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً الْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ لَهَا شَأْنٌ عَظِيمٌ فَهِيَ تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى دَرَجَاتٍ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ أَسْلَمَ وَعُمْرُهُ وَاحِدٌ وَثَلَاثُونَ وَمَاتَ وَعُمْرُهُ سَبْعٌ أَوْ ثَمَانٍ وَثَلَاثُونَ يَعْنِي بَقِيَ فِي الْإِسْلَامِ سِتَّ أَوْ سَبْعَ سِنِينَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا مَاتَ اهْتَزَّ لِمَوْتِهِ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ عِنْدَهُ مَعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الَّتِي كَانَ يَقُومُ بِهَا عِنْدَهُ أَعْمَالٌ قَلْبِيَّةٌ رَفَعَتْهُ إِلَى هَذِهِ الْمَنْزِلَةِ الْعَلِيَّةِ


Apa amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa azab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ini dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, ketika Nabi mengabarkan bahwa akan masuk surga dari umatnya sebanyak 70.000 orang tanpa hisab dan tanpa azab. Kemudian Nabi menyebutkan sifat-sifat mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan besi panas (kay), tidak berprasangka sial, dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal. Inilah amal-amal orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. “Mereka tidak meminta diruqyah,” maksudnya tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, meskipun hukum meminta ruqyah itu boleh. Namun, karena sempurnanya tawakal mereka kepada Allah, mereka tidak melakukannya, karena mereka khawatir itu bertepatan dengan takdir, sehingga mereka sembuh dengan sebab ruqyah itu, sehingga hati mereka terpaut dengan tukang ruqyahnya, yang bisa memengaruhi kesempurnaan tawakal mereka. “Mereka tidak melakukan kay,” artinya mereka tidak meminta diobati dengan besi panas, meskipun meminta kay hukumnya boleh saat dibutuhkan, dan tidak mengapa. Namun, mereka meninggalkan kay karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. “Mereka tidak berprasangka sial,” artinya mereka tidak beranggapan sial, baik itu anggapan terkait waktu, tempat, suara, bunyi-bunyian, atau apa pun itu, karena kesempurnaan tawakal mereka kepada Allah. Kemudian Nabi menyebutkan sifat keempat, yang menjadi akar dari tiga sifat sebelumnya. Beliau bersabda: “Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal.” Yakni mereka memiliki tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka tidak meminta ruqyah karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak melakukan kay karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka tidak beranggapan sial karena hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ini menunjukkan bahwa salah satu sebab masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah tawakal yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan amal-amal hati, bahwa amal-amal hati itu mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, dengan derajat yang sangat tinggi. Amal-amal hati memiliki kedudukan yang agung, karena amal-amal ini mengangkat pelakunya di sisi Allah Ta’ala ke derajat yang tinggi. Sa‘ad bin Mu‘adz masuk Islam pada usia 31 tahun, dan wafat pada usia 37 atau 38 tahun. Artinya, ia hanya hidup dalam Islam selama 6 atau 7 tahun. Kendati demikian, ketika ia wafat, Arsy Allah berguncang karena kematiannya. Kemungkinan besar—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa di samping amal-amal saleh yang ia lakukan, beliau juga melakukan amalan-amalan hati yang mengangkatnya ke derajat yang sangat tinggi itu. ==== مَا الْأَعْمَالُ الَّتِي تُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ لَمَّا أَخْبَرَ بِأَنَّهُ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ أُمَّتِي بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ ذَكَرَ أَوْصَافَهُم وَأَنَّهُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ هَذِهِ هِيَ أَعْمَالُ مَنْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ لاَ يَسْتَرْقُونَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الرُّقْيَةَ وَإِنْ كَانَ طَلَبُهَا جَائِزًا لَكِنْ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ خَشْيَةَ أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ قَدَرًا فَيُشْفَونَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ فَتَتَعَلَّقُ قُلُوبُهُمْ بِالرَّاقِي فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ فِي كَمَالِ التَّوَكُّلِ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ الْكَيَّ مَعَ أَنَّ طَلَبَ الْكَيِّ جَائِزٌ عِنْدَ الْحَاجَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لَكِن هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَتْرُكُونَ الْكَيَّ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُوْنَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِصَوْتٍ وَلَا بِمَسْمُوعٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ ذَكَرَ الصِّفَةَ الرَّابِعَةَ الَّتِي تَفَرَّعَتْ عَنْهَا الصِّفَاتُ الثَّلَاثُ السَّابِقَةُ قَالَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ أَيْ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُمْ لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ عِنْدَهُم قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ مِنْ أَسْبَابِ دُخُولِ الْجَنَّةِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى عَظِيمِ شَأْنِ الْأَعْمَالِ الْقَلْبِيَّةِ وَأَنَّهَا تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً الْأَعْمَالُ الْقَلْبِيَّةُ أَعْمَالُ الْقُلُوبِ لَهَا شَأْنٌ عَظِيمٌ فَهِيَ تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى دَرَجَاتٍ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ أَسْلَمَ وَعُمْرُهُ وَاحِدٌ وَثَلَاثُونَ وَمَاتَ وَعُمْرُهُ سَبْعٌ أَوْ ثَمَانٍ وَثَلَاثُونَ يَعْنِي بَقِيَ فِي الْإِسْلَامِ سِتَّ أَوْ سَبْعَ سِنِينَ وَمَعَ ذَلِكَ لَمَّا مَاتَ اهْتَزَّ لِمَوْتِهِ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ عِنْدَهُ مَعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الَّتِي كَانَ يَقُومُ بِهَا عِنْدَهُ أَعْمَالٌ قَلْبِيَّةٌ رَفَعَتْهُ إِلَى هَذِهِ الْمَنْزِلَةِ الْعَلِيَّةِ

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 6): Ujian dan Musibah adalah Tanda Kasih Sayang Allah

Daftar Isi Toggle Dua macam ujianUjian dalam bentuk kesulitanUjian dalam bentuk kenikmatanHikmah di balik ujian dan musibahMenghapus dosa dan kesalahanMenguji dan meningkatkan keimananMengangkat derajat di sisi AllahMelatih kesabaran dan ketakwaanTanda cinta Allah kepada seorang hambaYang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Pernahkah kita merasa dunia begitu berat, seolah-olah ujian dan musibah datang silih berganti tanpa henti? Saat kehilangan orang tercinta, mengalami kegagalan, atau menghadapi kesulitan hidup, hati kita bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Namun, tahukah kita bahwa di balik setiap air mata, ada kasih sayang Allah yang begitu besar? Ujian bukanlah tanda kebencian-Nya, melainkan cara-Nya mendekatkan kita kepada-Nya. Seperti seorang ayah yang ingin anaknya tumbuh kuat, Allah menguji hamba-Nya agar semakin sabar, semakin bersyukur, dan semakin dekat dengan-Nya. Di dalam setiap kesedihan, ada hikmah. Dalam setiap luka, ada pahala. Dan dalam setiap kesulitan, ada pertolongan Allah yang selalu lebih dekat dari yang kita kira. Allah Azza wa Jalla berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم  مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَاءُ وَٱلضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ  أَلَا إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. ” [1] Setiap manusia pasti mengalami ujian dan musibah dalam hidupnya. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap manusia akan diuji. Allah Azza wa Jalla berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّترَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [2] Namun, manusia cenderung melihat kesulitan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal, ujian bukanlah hukuman, melainkan bentuk kasih sayang Allah yang bertujuan untuk mendidik dan mengangkat derajat hamba-Nya. Dua macam ujian Ujian dalam bentuk kesulitan Ujian dalam bentuk kesulitan meliputi sakit, kehilangan, bencana alam, dan berbagai penderitaan lainnya. Allah berfirman, وَلَـنَبلُوَنَّكُم بِشَىءٍ مِّنَ الخَـوفِ وَالجُـوعِ وَنَقصٍ مِّنَ الاَموَالِ وَالاَنفُسِ وَالثَّمَرٰتِ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِينَ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” [3] Ujian dalam bentuk kenikmatan Tidak semua ujian berupa penderitaan. Kenikmatan seperti kekayaan, kesehatan, dan jabatan juga merupakan ujian dari Allah. Dalam surah Al-Anfal ayat 28, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak adalah fitnah (ujian). Allah berfirman, وَاعلَمُوۤا اَنَّمَاۤ اَموَالُكُم وَاَولَادُكُم فِتنَةٌوَّاَنَّ اللّٰهَ عِندَهۤ اَجرٌ عَظِيمٌ‏ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” [4] Ujian dalam bentuk ini sering kali lebih sulit karena dapat membuat seseorang lalai dan jauh dari Allah. Hikmah di balik ujian dan musibah Ujian dan musibah yang menimpa manusia bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi justru merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Berikut beberapa hikmah di balik ujian dan musibah beserta dalil dari Al-Qur’an dan hadis: Menghapus dosa dan kesalahan Ujian menjadi sarana penghapusan dosa, sehingga seorang hamba kembali dalam keadaan lebih suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [5] Menguji dan meningkatkan keimanan Allah menguji manusia untuk melihat siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya mengaku beriman tanpa kesabaran dan keteguhan. Allah berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّتۡرَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [6] Mengangkat derajat di sisi Allah Semakin berat ujian seseorang, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah jika ia bersabar. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka seorang hamba senantiasa diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” [7] Melatih kesabaran dan ketakwaan Kesabaran dalam menghadapi musibah akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. Allah berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [8] Tanda cinta Allah kepada seorang hamba Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, إن عِظَمَ الجزاءِ مع عِظَمِ البلاءِ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رَضِيَ فله الرِضا، ومن سَخِطَ فله السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia pasti menguji mereka. Siapa yang rida, maka baginya keridaan (Allah) dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan (Allah).” [9] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ “Barangsiapa yang Allah kehendaki (mendapat) kebaikan, maka Dia akan memberinya musibah.” [10] Yang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Allah Azza wa Jalla berfirman, وَعَسٰۤى أَن تَكْرَهُوا شَيْـًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسٰۤى أَن تُحِبُّوا شَيْـًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ  وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [11] Ayat ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita anggap sebagai musibah bisa jadi adalah cara Allah mendidik dan membersihkan kita dari dosa. Ujian adalah bentuk kasih sayang Allah agar kita semakin dekat kepada-Nya. Ketika kita bersabar dan bertawakal, kita akan mendapatkan pahala besar serta kebaikan yang mungkin belum kita pahami saat ini. Oleh karena itu, dalam menghadapi kesulitan, janganlah berputus asa. Yakinlah bahwa setiap ujian memiliki hikmah dan kebaikan yang Allah telah siapkan bagi kita. [Bersambung] Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al Baqarah: 214 [2] QS. Al-‘Ankabut: 2 [3] QS. Al-Baqarah: 155 [4] QS. Al-Anfal: 28 [5] Muttafaqun ‘alaihi [6] QS. Al-‘Ankabut: 2 [7] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani berkata, “Hasan shahih.” [8] QS. Az-Zumar: 10 [9] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah [10] HR. Bukhari [11] QS. Al Baqarah: 216

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 6): Ujian dan Musibah adalah Tanda Kasih Sayang Allah

Daftar Isi Toggle Dua macam ujianUjian dalam bentuk kesulitanUjian dalam bentuk kenikmatanHikmah di balik ujian dan musibahMenghapus dosa dan kesalahanMenguji dan meningkatkan keimananMengangkat derajat di sisi AllahMelatih kesabaran dan ketakwaanTanda cinta Allah kepada seorang hambaYang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Pernahkah kita merasa dunia begitu berat, seolah-olah ujian dan musibah datang silih berganti tanpa henti? Saat kehilangan orang tercinta, mengalami kegagalan, atau menghadapi kesulitan hidup, hati kita bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Namun, tahukah kita bahwa di balik setiap air mata, ada kasih sayang Allah yang begitu besar? Ujian bukanlah tanda kebencian-Nya, melainkan cara-Nya mendekatkan kita kepada-Nya. Seperti seorang ayah yang ingin anaknya tumbuh kuat, Allah menguji hamba-Nya agar semakin sabar, semakin bersyukur, dan semakin dekat dengan-Nya. Di dalam setiap kesedihan, ada hikmah. Dalam setiap luka, ada pahala. Dan dalam setiap kesulitan, ada pertolongan Allah yang selalu lebih dekat dari yang kita kira. Allah Azza wa Jalla berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم  مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَاءُ وَٱلضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ  أَلَا إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. ” [1] Setiap manusia pasti mengalami ujian dan musibah dalam hidupnya. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap manusia akan diuji. Allah Azza wa Jalla berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّترَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [2] Namun, manusia cenderung melihat kesulitan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal, ujian bukanlah hukuman, melainkan bentuk kasih sayang Allah yang bertujuan untuk mendidik dan mengangkat derajat hamba-Nya. Dua macam ujian Ujian dalam bentuk kesulitan Ujian dalam bentuk kesulitan meliputi sakit, kehilangan, bencana alam, dan berbagai penderitaan lainnya. Allah berfirman, وَلَـنَبلُوَنَّكُم بِشَىءٍ مِّنَ الخَـوفِ وَالجُـوعِ وَنَقصٍ مِّنَ الاَموَالِ وَالاَنفُسِ وَالثَّمَرٰتِ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِينَ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” [3] Ujian dalam bentuk kenikmatan Tidak semua ujian berupa penderitaan. Kenikmatan seperti kekayaan, kesehatan, dan jabatan juga merupakan ujian dari Allah. Dalam surah Al-Anfal ayat 28, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak adalah fitnah (ujian). Allah berfirman, وَاعلَمُوۤا اَنَّمَاۤ اَموَالُكُم وَاَولَادُكُم فِتنَةٌوَّاَنَّ اللّٰهَ عِندَهۤ اَجرٌ عَظِيمٌ‏ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” [4] Ujian dalam bentuk ini sering kali lebih sulit karena dapat membuat seseorang lalai dan jauh dari Allah. Hikmah di balik ujian dan musibah Ujian dan musibah yang menimpa manusia bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi justru merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Berikut beberapa hikmah di balik ujian dan musibah beserta dalil dari Al-Qur’an dan hadis: Menghapus dosa dan kesalahan Ujian menjadi sarana penghapusan dosa, sehingga seorang hamba kembali dalam keadaan lebih suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [5] Menguji dan meningkatkan keimanan Allah menguji manusia untuk melihat siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya mengaku beriman tanpa kesabaran dan keteguhan. Allah berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّتۡرَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [6] Mengangkat derajat di sisi Allah Semakin berat ujian seseorang, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah jika ia bersabar. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka seorang hamba senantiasa diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” [7] Melatih kesabaran dan ketakwaan Kesabaran dalam menghadapi musibah akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. Allah berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [8] Tanda cinta Allah kepada seorang hamba Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, إن عِظَمَ الجزاءِ مع عِظَمِ البلاءِ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رَضِيَ فله الرِضا، ومن سَخِطَ فله السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia pasti menguji mereka. Siapa yang rida, maka baginya keridaan (Allah) dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan (Allah).” [9] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ “Barangsiapa yang Allah kehendaki (mendapat) kebaikan, maka Dia akan memberinya musibah.” [10] Yang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Allah Azza wa Jalla berfirman, وَعَسٰۤى أَن تَكْرَهُوا شَيْـًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسٰۤى أَن تُحِبُّوا شَيْـًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ  وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [11] Ayat ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita anggap sebagai musibah bisa jadi adalah cara Allah mendidik dan membersihkan kita dari dosa. Ujian adalah bentuk kasih sayang Allah agar kita semakin dekat kepada-Nya. Ketika kita bersabar dan bertawakal, kita akan mendapatkan pahala besar serta kebaikan yang mungkin belum kita pahami saat ini. Oleh karena itu, dalam menghadapi kesulitan, janganlah berputus asa. Yakinlah bahwa setiap ujian memiliki hikmah dan kebaikan yang Allah telah siapkan bagi kita. [Bersambung] Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al Baqarah: 214 [2] QS. Al-‘Ankabut: 2 [3] QS. Al-Baqarah: 155 [4] QS. Al-Anfal: 28 [5] Muttafaqun ‘alaihi [6] QS. Al-‘Ankabut: 2 [7] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani berkata, “Hasan shahih.” [8] QS. Az-Zumar: 10 [9] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah [10] HR. Bukhari [11] QS. Al Baqarah: 216
Daftar Isi Toggle Dua macam ujianUjian dalam bentuk kesulitanUjian dalam bentuk kenikmatanHikmah di balik ujian dan musibahMenghapus dosa dan kesalahanMenguji dan meningkatkan keimananMengangkat derajat di sisi AllahMelatih kesabaran dan ketakwaanTanda cinta Allah kepada seorang hambaYang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Pernahkah kita merasa dunia begitu berat, seolah-olah ujian dan musibah datang silih berganti tanpa henti? Saat kehilangan orang tercinta, mengalami kegagalan, atau menghadapi kesulitan hidup, hati kita bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Namun, tahukah kita bahwa di balik setiap air mata, ada kasih sayang Allah yang begitu besar? Ujian bukanlah tanda kebencian-Nya, melainkan cara-Nya mendekatkan kita kepada-Nya. Seperti seorang ayah yang ingin anaknya tumbuh kuat, Allah menguji hamba-Nya agar semakin sabar, semakin bersyukur, dan semakin dekat dengan-Nya. Di dalam setiap kesedihan, ada hikmah. Dalam setiap luka, ada pahala. Dan dalam setiap kesulitan, ada pertolongan Allah yang selalu lebih dekat dari yang kita kira. Allah Azza wa Jalla berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم  مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَاءُ وَٱلضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ  أَلَا إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. ” [1] Setiap manusia pasti mengalami ujian dan musibah dalam hidupnya. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap manusia akan diuji. Allah Azza wa Jalla berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّترَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [2] Namun, manusia cenderung melihat kesulitan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal, ujian bukanlah hukuman, melainkan bentuk kasih sayang Allah yang bertujuan untuk mendidik dan mengangkat derajat hamba-Nya. Dua macam ujian Ujian dalam bentuk kesulitan Ujian dalam bentuk kesulitan meliputi sakit, kehilangan, bencana alam, dan berbagai penderitaan lainnya. Allah berfirman, وَلَـنَبلُوَنَّكُم بِشَىءٍ مِّنَ الخَـوفِ وَالجُـوعِ وَنَقصٍ مِّنَ الاَموَالِ وَالاَنفُسِ وَالثَّمَرٰتِ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِينَ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” [3] Ujian dalam bentuk kenikmatan Tidak semua ujian berupa penderitaan. Kenikmatan seperti kekayaan, kesehatan, dan jabatan juga merupakan ujian dari Allah. Dalam surah Al-Anfal ayat 28, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak adalah fitnah (ujian). Allah berfirman, وَاعلَمُوۤا اَنَّمَاۤ اَموَالُكُم وَاَولَادُكُم فِتنَةٌوَّاَنَّ اللّٰهَ عِندَهۤ اَجرٌ عَظِيمٌ‏ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” [4] Ujian dalam bentuk ini sering kali lebih sulit karena dapat membuat seseorang lalai dan jauh dari Allah. Hikmah di balik ujian dan musibah Ujian dan musibah yang menimpa manusia bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi justru merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Berikut beberapa hikmah di balik ujian dan musibah beserta dalil dari Al-Qur’an dan hadis: Menghapus dosa dan kesalahan Ujian menjadi sarana penghapusan dosa, sehingga seorang hamba kembali dalam keadaan lebih suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [5] Menguji dan meningkatkan keimanan Allah menguji manusia untuk melihat siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya mengaku beriman tanpa kesabaran dan keteguhan. Allah berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّتۡرَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [6] Mengangkat derajat di sisi Allah Semakin berat ujian seseorang, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah jika ia bersabar. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka seorang hamba senantiasa diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” [7] Melatih kesabaran dan ketakwaan Kesabaran dalam menghadapi musibah akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. Allah berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [8] Tanda cinta Allah kepada seorang hamba Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, إن عِظَمَ الجزاءِ مع عِظَمِ البلاءِ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رَضِيَ فله الرِضا، ومن سَخِطَ فله السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia pasti menguji mereka. Siapa yang rida, maka baginya keridaan (Allah) dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan (Allah).” [9] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ “Barangsiapa yang Allah kehendaki (mendapat) kebaikan, maka Dia akan memberinya musibah.” [10] Yang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Allah Azza wa Jalla berfirman, وَعَسٰۤى أَن تَكْرَهُوا شَيْـًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسٰۤى أَن تُحِبُّوا شَيْـًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ  وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [11] Ayat ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita anggap sebagai musibah bisa jadi adalah cara Allah mendidik dan membersihkan kita dari dosa. Ujian adalah bentuk kasih sayang Allah agar kita semakin dekat kepada-Nya. Ketika kita bersabar dan bertawakal, kita akan mendapatkan pahala besar serta kebaikan yang mungkin belum kita pahami saat ini. Oleh karena itu, dalam menghadapi kesulitan, janganlah berputus asa. Yakinlah bahwa setiap ujian memiliki hikmah dan kebaikan yang Allah telah siapkan bagi kita. [Bersambung] Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al Baqarah: 214 [2] QS. Al-‘Ankabut: 2 [3] QS. Al-Baqarah: 155 [4] QS. Al-Anfal: 28 [5] Muttafaqun ‘alaihi [6] QS. Al-‘Ankabut: 2 [7] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani berkata, “Hasan shahih.” [8] QS. Az-Zumar: 10 [9] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah [10] HR. Bukhari [11] QS. Al Baqarah: 216


Daftar Isi Toggle Dua macam ujianUjian dalam bentuk kesulitanUjian dalam bentuk kenikmatanHikmah di balik ujian dan musibahMenghapus dosa dan kesalahanMenguji dan meningkatkan keimananMengangkat derajat di sisi AllahMelatih kesabaran dan ketakwaanTanda cinta Allah kepada seorang hambaYang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Pernahkah kita merasa dunia begitu berat, seolah-olah ujian dan musibah datang silih berganti tanpa henti? Saat kehilangan orang tercinta, mengalami kegagalan, atau menghadapi kesulitan hidup, hati kita bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Namun, tahukah kita bahwa di balik setiap air mata, ada kasih sayang Allah yang begitu besar? Ujian bukanlah tanda kebencian-Nya, melainkan cara-Nya mendekatkan kita kepada-Nya. Seperti seorang ayah yang ingin anaknya tumbuh kuat, Allah menguji hamba-Nya agar semakin sabar, semakin bersyukur, dan semakin dekat dengan-Nya. Di dalam setiap kesedihan, ada hikmah. Dalam setiap luka, ada pahala. Dan dalam setiap kesulitan, ada pertolongan Allah yang selalu lebih dekat dari yang kita kira. Allah Azza wa Jalla berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم  مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَاءُ وَٱلضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ  أَلَا إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. ” [1] Setiap manusia pasti mengalami ujian dan musibah dalam hidupnya. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap manusia akan diuji. Allah Azza wa Jalla berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّترَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [2] Namun, manusia cenderung melihat kesulitan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal, ujian bukanlah hukuman, melainkan bentuk kasih sayang Allah yang bertujuan untuk mendidik dan mengangkat derajat hamba-Nya. Dua macam ujian Ujian dalam bentuk kesulitan Ujian dalam bentuk kesulitan meliputi sakit, kehilangan, bencana alam, dan berbagai penderitaan lainnya. Allah berfirman, وَلَـنَبلُوَنَّكُم بِشَىءٍ مِّنَ الخَـوفِ وَالجُـوعِ وَنَقصٍ مِّنَ الاَموَالِ وَالاَنفُسِ وَالثَّمَرٰتِ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِينَ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” [3] Ujian dalam bentuk kenikmatan Tidak semua ujian berupa penderitaan. Kenikmatan seperti kekayaan, kesehatan, dan jabatan juga merupakan ujian dari Allah. Dalam surah Al-Anfal ayat 28, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak adalah fitnah (ujian). Allah berfirman, وَاعلَمُوۤا اَنَّمَاۤ اَموَالُكُم وَاَولَادُكُم فِتنَةٌوَّاَنَّ اللّٰهَ عِندَهۤ اَجرٌ عَظِيمٌ‏ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” [4] Ujian dalam bentuk ini sering kali lebih sulit karena dapat membuat seseorang lalai dan jauh dari Allah. Hikmah di balik ujian dan musibah Ujian dan musibah yang menimpa manusia bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi justru merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Berikut beberapa hikmah di balik ujian dan musibah beserta dalil dari Al-Qur’an dan hadis: Menghapus dosa dan kesalahan Ujian menjadi sarana penghapusan dosa, sehingga seorang hamba kembali dalam keadaan lebih suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [5] Menguji dan meningkatkan keimanan Allah menguji manusia untuk melihat siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang hanya mengaku beriman tanpa kesabaran dan keteguhan. Allah berfirman, اَحَسِبَ النَّاسُ اَن يُّتۡرَكُوۤا اَن يَّقُولُوۤا اٰمَنَّا وَهُم لَا يُفتَـنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” [6] Mengangkat derajat di sisi Allah Semakin berat ujian seseorang, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah jika ia bersabar. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka seorang hamba senantiasa diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” [7] Melatih kesabaran dan ketakwaan Kesabaran dalam menghadapi musibah akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. Allah berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [8] Tanda cinta Allah kepada seorang hamba Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, إن عِظَمَ الجزاءِ مع عِظَمِ البلاءِ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رَضِيَ فله الرِضا، ومن سَخِطَ فله السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia pasti menguji mereka. Siapa yang rida, maka baginya keridaan (Allah) dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan (Allah).” [9] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ “Barangsiapa yang Allah kehendaki (mendapat) kebaikan, maka Dia akan memberinya musibah.” [10] Yang kita benci, bisa jadi adalah kebaikan Allah Azza wa Jalla berfirman, وَعَسٰۤى أَن تَكْرَهُوا شَيْـًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسٰۤى أَن تُحِبُّوا شَيْـًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ  وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [11] Ayat ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita anggap sebagai musibah bisa jadi adalah cara Allah mendidik dan membersihkan kita dari dosa. Ujian adalah bentuk kasih sayang Allah agar kita semakin dekat kepada-Nya. Ketika kita bersabar dan bertawakal, kita akan mendapatkan pahala besar serta kebaikan yang mungkin belum kita pahami saat ini. Oleh karena itu, dalam menghadapi kesulitan, janganlah berputus asa. Yakinlah bahwa setiap ujian memiliki hikmah dan kebaikan yang Allah telah siapkan bagi kita. [Bersambung] Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al Baqarah: 214 [2] QS. Al-‘Ankabut: 2 [3] QS. Al-Baqarah: 155 [4] QS. Al-Anfal: 28 [5] Muttafaqun ‘alaihi [6] QS. Al-‘Ankabut: 2 [7] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syekh Al-Albani berkata, “Hasan shahih.” [8] QS. Az-Zumar: 10 [9] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah [10] HR. Bukhari [11] QS. Al Baqarah: 216

Walid Bertanya: Boleh Nggak Membaca Zikir Saat Junub? Ini Jawaban Lengkapnya!

Saudara-saudari sekalian, masih tersisa satu pertanyaan dari saudara Walid, wahai Syaikh kami. Ia bertanya tentang zikir sebelum tidur. Bolehkah membaca zikir sebelum tidur dalam keadaan junub? Zikir sebelum tidur terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah zikir yang bukan ayat-ayat Al-Quran, seperti zikir-zikir dan doa-doa biasanya. Seperti ucapanmu: WADHO’TU JANBII LILLAAH (Aku baringkan tubuhku karena Allah). dan ucapanmu: ALLAAHUMMA QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB-‘ATSU ‘IBAADAK(Ya Allah, lindungilah aku dari azab-Mu pada hari Engkau membangkitkan para hamba-Mu). Zikir seperti ini boleh diucapkan oleh seseorang meskipun dalam keadaan junub. Adapun jenis kedua, yaitu zikir yang merupakan ayat-ayat Al-Quran, maka ayat-ayat Al-Quran tidak boleh bagi orang yang junub untuk membacanya. Diriwayatkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat-ayat dari Al-Quran, lalu beliau bersabda: “Membaca Al-Quran seperti ini boleh bagi orang yang tidak junub. Adapun orang yang junub, maka tidak boleh membaca satu ayat pun dari Al-Quran.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya). Oleh karena itu, tidak sah bagi orang yang junub untuk membaca ayat-ayat dari Al-Quran. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama fikih tentang hukum orang junub, apakah ia boleh tidur dalam keadaan junub? Adapun orang yang junub itu mandi terlebih dulu, atau berwudhu untuk meringankan hadas junubnya, maka ia boleh tidur setelah itu. Namun jika ia dalam keadaan junub dan ingin tidur sebelum berwudhu atau mandi junub, apakah dibolehkan? Sebagian ulama fikih melarangnya. Sedangkan ulama lainnya membolehkannya. Ulama yang melarang itu berlandaskan dalil yang disebutkan dalam hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Apakah orang yang junub boleh tidur?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya boleh, jika ia berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari).Ini menunjukkan bahwa jika ia belum berwudhu, ia tidak boleh tidur dalam keadaan junub. Namun, dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan dalam kitab As-Sunan, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berhubungan badan dengan istrinya, lalu tidur sebelum menyentuh air sedikit pun (yaitu belum berwudhu atau belum mandi junub). Meskipun ada beberapa ulama yang mempermasalahkan sanad hadis ini. ==== الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ جَمِيعًا بَقِيَ سُؤَالُ الْأَخِ وَلِيْدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ أَذْكَارِ النَّوْمِ هَلْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقْرَأَ أَذْكَارَ النَّوْمِ وَهُوَ عَلَى جَنَابَةٍ؟ أَذْكَارُ النَّوْمِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعِ الْأَوَّلِ مَا لَيْسَ آيَاتٍ قُرْآنِيَّةً مِثْلَ الْأَذْكَارِ وَالْأَدْعِيَةِ كَقَوْلِكَ وَضَعْتُ جَنْبِي لِلَّهِ وَقَوْلِكَ اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَومَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ فَيَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقُولَهُ وَلَوْ كَانَ عَلَى الْجُنُبِ النَّوْعِ الثَّانِي مَا كَانَ مِنَ الْأَذْكَارِ آيَاتٌ قُرْآنِيَّةٌ فَالْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ لَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَهَا وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا لِمَنْ لَمْ يَكُنْ جُنُبًا فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا آيَةً كَمَا رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى فِي مُسْنَدِهِ وَمِنْ هُنَا فَلَا يَصِحُّ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ قَدْ وَقَعَ اخْتِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي الْجُنُبِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَإِذَا اغْتَسَلَ الْجُنُبُ أَوْ تَوَضَّأَ وَخَفَّفَ الْجَنَابَةَ جَازَ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَلَكِنْ إِذَا أَجْنَبَ وَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَقَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ؟ حَيْثُ إِنَّ بَعْضَ الْفُقَهَاءِ رَأَى مَنْعَ هَذَا وَرَأَى آخَرُوْنَ إِجَازَتَهُ وَمَنْ مَنَعَ اسْتَدَلَّ بِمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيَنَامُ الْجُنُبُ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ يَنَمْ وَعَلَى كُلٍّ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ ثُمَّ يَنَامُ وَلَا يَمَسُّ مَاءً وَإِنْ كَانَ لِبَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَلَامُهُ فِي إِسْنَادِ هَذَا

Walid Bertanya: Boleh Nggak Membaca Zikir Saat Junub? Ini Jawaban Lengkapnya!

Saudara-saudari sekalian, masih tersisa satu pertanyaan dari saudara Walid, wahai Syaikh kami. Ia bertanya tentang zikir sebelum tidur. Bolehkah membaca zikir sebelum tidur dalam keadaan junub? Zikir sebelum tidur terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah zikir yang bukan ayat-ayat Al-Quran, seperti zikir-zikir dan doa-doa biasanya. Seperti ucapanmu: WADHO’TU JANBII LILLAAH (Aku baringkan tubuhku karena Allah). dan ucapanmu: ALLAAHUMMA QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB-‘ATSU ‘IBAADAK(Ya Allah, lindungilah aku dari azab-Mu pada hari Engkau membangkitkan para hamba-Mu). Zikir seperti ini boleh diucapkan oleh seseorang meskipun dalam keadaan junub. Adapun jenis kedua, yaitu zikir yang merupakan ayat-ayat Al-Quran, maka ayat-ayat Al-Quran tidak boleh bagi orang yang junub untuk membacanya. Diriwayatkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat-ayat dari Al-Quran, lalu beliau bersabda: “Membaca Al-Quran seperti ini boleh bagi orang yang tidak junub. Adapun orang yang junub, maka tidak boleh membaca satu ayat pun dari Al-Quran.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya). Oleh karena itu, tidak sah bagi orang yang junub untuk membaca ayat-ayat dari Al-Quran. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama fikih tentang hukum orang junub, apakah ia boleh tidur dalam keadaan junub? Adapun orang yang junub itu mandi terlebih dulu, atau berwudhu untuk meringankan hadas junubnya, maka ia boleh tidur setelah itu. Namun jika ia dalam keadaan junub dan ingin tidur sebelum berwudhu atau mandi junub, apakah dibolehkan? Sebagian ulama fikih melarangnya. Sedangkan ulama lainnya membolehkannya. Ulama yang melarang itu berlandaskan dalil yang disebutkan dalam hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Apakah orang yang junub boleh tidur?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya boleh, jika ia berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari).Ini menunjukkan bahwa jika ia belum berwudhu, ia tidak boleh tidur dalam keadaan junub. Namun, dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan dalam kitab As-Sunan, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berhubungan badan dengan istrinya, lalu tidur sebelum menyentuh air sedikit pun (yaitu belum berwudhu atau belum mandi junub). Meskipun ada beberapa ulama yang mempermasalahkan sanad hadis ini. ==== الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ جَمِيعًا بَقِيَ سُؤَالُ الْأَخِ وَلِيْدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ أَذْكَارِ النَّوْمِ هَلْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقْرَأَ أَذْكَارَ النَّوْمِ وَهُوَ عَلَى جَنَابَةٍ؟ أَذْكَارُ النَّوْمِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعِ الْأَوَّلِ مَا لَيْسَ آيَاتٍ قُرْآنِيَّةً مِثْلَ الْأَذْكَارِ وَالْأَدْعِيَةِ كَقَوْلِكَ وَضَعْتُ جَنْبِي لِلَّهِ وَقَوْلِكَ اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَومَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ فَيَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقُولَهُ وَلَوْ كَانَ عَلَى الْجُنُبِ النَّوْعِ الثَّانِي مَا كَانَ مِنَ الْأَذْكَارِ آيَاتٌ قُرْآنِيَّةٌ فَالْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ لَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَهَا وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا لِمَنْ لَمْ يَكُنْ جُنُبًا فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا آيَةً كَمَا رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى فِي مُسْنَدِهِ وَمِنْ هُنَا فَلَا يَصِحُّ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ قَدْ وَقَعَ اخْتِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي الْجُنُبِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَإِذَا اغْتَسَلَ الْجُنُبُ أَوْ تَوَضَّأَ وَخَفَّفَ الْجَنَابَةَ جَازَ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَلَكِنْ إِذَا أَجْنَبَ وَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَقَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ؟ حَيْثُ إِنَّ بَعْضَ الْفُقَهَاءِ رَأَى مَنْعَ هَذَا وَرَأَى آخَرُوْنَ إِجَازَتَهُ وَمَنْ مَنَعَ اسْتَدَلَّ بِمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيَنَامُ الْجُنُبُ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ يَنَمْ وَعَلَى كُلٍّ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ ثُمَّ يَنَامُ وَلَا يَمَسُّ مَاءً وَإِنْ كَانَ لِبَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَلَامُهُ فِي إِسْنَادِ هَذَا
Saudara-saudari sekalian, masih tersisa satu pertanyaan dari saudara Walid, wahai Syaikh kami. Ia bertanya tentang zikir sebelum tidur. Bolehkah membaca zikir sebelum tidur dalam keadaan junub? Zikir sebelum tidur terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah zikir yang bukan ayat-ayat Al-Quran, seperti zikir-zikir dan doa-doa biasanya. Seperti ucapanmu: WADHO’TU JANBII LILLAAH (Aku baringkan tubuhku karena Allah). dan ucapanmu: ALLAAHUMMA QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB-‘ATSU ‘IBAADAK(Ya Allah, lindungilah aku dari azab-Mu pada hari Engkau membangkitkan para hamba-Mu). Zikir seperti ini boleh diucapkan oleh seseorang meskipun dalam keadaan junub. Adapun jenis kedua, yaitu zikir yang merupakan ayat-ayat Al-Quran, maka ayat-ayat Al-Quran tidak boleh bagi orang yang junub untuk membacanya. Diriwayatkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat-ayat dari Al-Quran, lalu beliau bersabda: “Membaca Al-Quran seperti ini boleh bagi orang yang tidak junub. Adapun orang yang junub, maka tidak boleh membaca satu ayat pun dari Al-Quran.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya). Oleh karena itu, tidak sah bagi orang yang junub untuk membaca ayat-ayat dari Al-Quran. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama fikih tentang hukum orang junub, apakah ia boleh tidur dalam keadaan junub? Adapun orang yang junub itu mandi terlebih dulu, atau berwudhu untuk meringankan hadas junubnya, maka ia boleh tidur setelah itu. Namun jika ia dalam keadaan junub dan ingin tidur sebelum berwudhu atau mandi junub, apakah dibolehkan? Sebagian ulama fikih melarangnya. Sedangkan ulama lainnya membolehkannya. Ulama yang melarang itu berlandaskan dalil yang disebutkan dalam hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Apakah orang yang junub boleh tidur?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya boleh, jika ia berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari).Ini menunjukkan bahwa jika ia belum berwudhu, ia tidak boleh tidur dalam keadaan junub. Namun, dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan dalam kitab As-Sunan, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berhubungan badan dengan istrinya, lalu tidur sebelum menyentuh air sedikit pun (yaitu belum berwudhu atau belum mandi junub). Meskipun ada beberapa ulama yang mempermasalahkan sanad hadis ini. ==== الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ جَمِيعًا بَقِيَ سُؤَالُ الْأَخِ وَلِيْدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ أَذْكَارِ النَّوْمِ هَلْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقْرَأَ أَذْكَارَ النَّوْمِ وَهُوَ عَلَى جَنَابَةٍ؟ أَذْكَارُ النَّوْمِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعِ الْأَوَّلِ مَا لَيْسَ آيَاتٍ قُرْآنِيَّةً مِثْلَ الْأَذْكَارِ وَالْأَدْعِيَةِ كَقَوْلِكَ وَضَعْتُ جَنْبِي لِلَّهِ وَقَوْلِكَ اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَومَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ فَيَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقُولَهُ وَلَوْ كَانَ عَلَى الْجُنُبِ النَّوْعِ الثَّانِي مَا كَانَ مِنَ الْأَذْكَارِ آيَاتٌ قُرْآنِيَّةٌ فَالْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ لَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَهَا وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا لِمَنْ لَمْ يَكُنْ جُنُبًا فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا آيَةً كَمَا رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى فِي مُسْنَدِهِ وَمِنْ هُنَا فَلَا يَصِحُّ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ قَدْ وَقَعَ اخْتِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي الْجُنُبِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَإِذَا اغْتَسَلَ الْجُنُبُ أَوْ تَوَضَّأَ وَخَفَّفَ الْجَنَابَةَ جَازَ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَلَكِنْ إِذَا أَجْنَبَ وَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَقَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ؟ حَيْثُ إِنَّ بَعْضَ الْفُقَهَاءِ رَأَى مَنْعَ هَذَا وَرَأَى آخَرُوْنَ إِجَازَتَهُ وَمَنْ مَنَعَ اسْتَدَلَّ بِمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيَنَامُ الْجُنُبُ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ يَنَمْ وَعَلَى كُلٍّ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ ثُمَّ يَنَامُ وَلَا يَمَسُّ مَاءً وَإِنْ كَانَ لِبَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَلَامُهُ فِي إِسْنَادِ هَذَا


Saudara-saudari sekalian, masih tersisa satu pertanyaan dari saudara Walid, wahai Syaikh kami. Ia bertanya tentang zikir sebelum tidur. Bolehkah membaca zikir sebelum tidur dalam keadaan junub? Zikir sebelum tidur terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah zikir yang bukan ayat-ayat Al-Quran, seperti zikir-zikir dan doa-doa biasanya. Seperti ucapanmu: WADHO’TU JANBII LILLAAH (Aku baringkan tubuhku karena Allah). dan ucapanmu: ALLAAHUMMA QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB-‘ATSU ‘IBAADAK(Ya Allah, lindungilah aku dari azab-Mu pada hari Engkau membangkitkan para hamba-Mu). Zikir seperti ini boleh diucapkan oleh seseorang meskipun dalam keadaan junub. Adapun jenis kedua, yaitu zikir yang merupakan ayat-ayat Al-Quran, maka ayat-ayat Al-Quran tidak boleh bagi orang yang junub untuk membacanya. Diriwayatkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat-ayat dari Al-Quran, lalu beliau bersabda: “Membaca Al-Quran seperti ini boleh bagi orang yang tidak junub. Adapun orang yang junub, maka tidak boleh membaca satu ayat pun dari Al-Quran.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya). Oleh karena itu, tidak sah bagi orang yang junub untuk membaca ayat-ayat dari Al-Quran. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama fikih tentang hukum orang junub, apakah ia boleh tidur dalam keadaan junub? Adapun orang yang junub itu mandi terlebih dulu, atau berwudhu untuk meringankan hadas junubnya, maka ia boleh tidur setelah itu. Namun jika ia dalam keadaan junub dan ingin tidur sebelum berwudhu atau mandi junub, apakah dibolehkan? Sebagian ulama fikih melarangnya. Sedangkan ulama lainnya membolehkannya. Ulama yang melarang itu berlandaskan dalil yang disebutkan dalam hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Apakah orang yang junub boleh tidur?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya boleh, jika ia berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari).Ini menunjukkan bahwa jika ia belum berwudhu, ia tidak boleh tidur dalam keadaan junub. Namun, dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan dalam kitab As-Sunan, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berhubungan badan dengan istrinya, lalu tidur sebelum menyentuh air sedikit pun (yaitu belum berwudhu atau belum mandi junub). Meskipun ada beberapa ulama yang mempermasalahkan sanad hadis ini. ==== الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ جَمِيعًا بَقِيَ سُؤَالُ الْأَخِ وَلِيْدٍ شَيْخَنَا يَسْأَلُ عَنْ أَذْكَارِ النَّوْمِ هَلْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقْرَأَ أَذْكَارَ النَّوْمِ وَهُوَ عَلَى جَنَابَةٍ؟ أَذْكَارُ النَّوْمِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعِ الْأَوَّلِ مَا لَيْسَ آيَاتٍ قُرْآنِيَّةً مِثْلَ الْأَذْكَارِ وَالْأَدْعِيَةِ كَقَوْلِكَ وَضَعْتُ جَنْبِي لِلَّهِ وَقَوْلِكَ اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَومَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ فَيَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَقُولَهُ وَلَوْ كَانَ عَلَى الْجُنُبِ النَّوْعِ الثَّانِي مَا كَانَ مِنَ الْأَذْكَارِ آيَاتٌ قُرْآنِيَّةٌ فَالْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ لَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَهَا وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا لِمَنْ لَمْ يَكُنْ جُنُبًا فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا آيَةً كَمَا رَوَاهُ أَبُو يَعْلَى فِي مُسْنَدِهِ وَمِنْ هُنَا فَلَا يَصِحُّ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ قَدْ وَقَعَ اخْتِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي الْجُنُبِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَإِذَا اغْتَسَلَ الْجُنُبُ أَوْ تَوَضَّأَ وَخَفَّفَ الْجَنَابَةَ جَازَ لَهُ أَنْ يَنَامَ وَلَكِنْ إِذَا أَجْنَبَ وَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَقَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ فَهَلْ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ؟ حَيْثُ إِنَّ بَعْضَ الْفُقَهَاءِ رَأَى مَنْعَ هَذَا وَرَأَى آخَرُوْنَ إِجَازَتَهُ وَمَنْ مَنَعَ اسْتَدَلَّ بِمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيَنَامُ الْجُنُبُ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَوَضَّأْ لَمْ يَنَمْ وَعَلَى كُلٍّ قَدْ وَرَدَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْتِي أَهْلَهُ ثُمَّ يَنَامُ وَلَا يَمَسُّ مَاءً وَإِنْ كَانَ لِبَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَلَامُهُ فِي إِسْنَادِ هَذَا

Memaafkan Seperti Allah dengan Tetap Melupakan

Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.   Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02   Apa itu Al-‘Afuwwu? Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata, “Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82)   Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an Nama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya. Contoh ayat: إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43) فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا “Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149) وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا… “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14)   Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi) Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu.   al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan Para ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu: Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.” Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.” Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.” Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat.   Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya. Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140): “al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka. Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya. Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.”   Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya: ﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13) ﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾ “Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109) Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi. Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan?   Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni Bahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan): ﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan: ﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾ “Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40) Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa: ﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134)   Apakah Memaafkan Harus Melupakan? Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam? Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi). Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama. Namun perlu dipahami juga: Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan. Seperti Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya: “al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum. ash-Shafh: berpaling tanpa mencela. al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219) Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan: “al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran. ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan. al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.” “Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285) Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts: “(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk). (وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut. (وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.” (Tafsir al-Wasith, 10/1453) Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna. Catatan berharga #01 Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah. Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali. Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan. Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan. Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.   Catatan berharga #02 Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita. ________ Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah

Memaafkan Seperti Allah dengan Tetap Melupakan

Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.   Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02   Apa itu Al-‘Afuwwu? Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata, “Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82)   Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an Nama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya. Contoh ayat: إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43) فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا “Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149) وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا… “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14)   Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi) Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu.   al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan Para ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu: Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.” Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.” Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.” Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat.   Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya. Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140): “al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka. Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya. Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.”   Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya: ﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13) ﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾ “Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109) Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi. Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan?   Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni Bahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan): ﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan: ﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾ “Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40) Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa: ﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134)   Apakah Memaafkan Harus Melupakan? Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam? Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi). Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama. Namun perlu dipahami juga: Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan. Seperti Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya: “al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum. ash-Shafh: berpaling tanpa mencela. al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219) Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan: “al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran. ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan. al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.” “Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285) Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts: “(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk). (وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut. (وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.” (Tafsir al-Wasith, 10/1453) Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna. Catatan berharga #01 Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah. Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali. Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan. Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan. Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.   Catatan berharga #02 Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita. ________ Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah
Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.   Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02   Apa itu Al-‘Afuwwu? Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata, “Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82)   Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an Nama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya. Contoh ayat: إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43) فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا “Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149) وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا… “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14)   Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi) Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu.   al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan Para ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu: Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.” Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.” Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.” Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat.   Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya. Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140): “al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka. Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya. Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.”   Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya: ﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13) ﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾ “Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109) Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi. Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan?   Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni Bahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan): ﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan: ﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾ “Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40) Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa: ﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134)   Apakah Memaafkan Harus Melupakan? Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam? Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi). Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama. Namun perlu dipahami juga: Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan. Seperti Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya: “al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum. ash-Shafh: berpaling tanpa mencela. al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219) Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan: “al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran. ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan. al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.” “Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285) Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts: “(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk). (وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut. (وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.” (Tafsir al-Wasith, 10/1453) Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna. Catatan berharga #01 Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah. Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali. Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan. Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan. Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.   Catatan berharga #02 Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita. ________ Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah


Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.   Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02   Apa itu Al-‘Afuwwu? Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya. Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya. Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata, “Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82)   Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an Nama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya. Contoh ayat: إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43) فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا “Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149) وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا… “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14)   Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi) Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu.   al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan Para ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu: Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.” Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.” Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.” Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat.   Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya. Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140): “al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka. Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya. Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.”   Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya: ﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13) ﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾ “Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109) Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi. Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan?   Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni Bahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan): ﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ “Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan: ﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾ “Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40) Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa: ﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ “…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134)   Apakah Memaafkan Harus Melupakan? Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam? Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi). Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama. Namun perlu dipahami juga: Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan. Seperti Allah Ta‘ala berfirman: ﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾ “Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85) Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14) Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya: “al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum. ash-Shafh: berpaling tanpa mencela. al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219) Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan: “al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran. ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan. al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.” “Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285) Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts: “(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk). (وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut. (وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.” (Tafsir al-Wasith, 10/1453) Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna. Catatan berharga #01 Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah. Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali. Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan. Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan. Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.   Catatan berharga #02 Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk: Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.” Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.” Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita. ________ Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Definisi dan model jual beliDefinisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Definisi dan model jual beli Sebagaimana yang diketahui, dalam masalah muamalah dan transaksi, manusia terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan waktu. Model demi model dari transaksi akan terus tercipta bersamaan dengan berjalannya masa ke masa. Di antara transaksi yang banyak digandrungi oleh masyarakat di zaman sekarang adalah jual beli kredit. Sehingga untuk mengetahui hukum-hukumnya, dibutuhkan ilmu. Sejatinya, untuk mengetahui tentang jual beli kredit harus tahu terlebih dahulu duduk perkara tentang masalah jual beli. Karena bab jual beli adalah bab dasar di dalam muamalah. Dengan mengetahui bab jual beli, akan lebih mudah tentunya memahami tentang masalah fikih jual beli kredit. Definisi dari jual beli adalah, مُبَادَلَةُ المَالِ وَلَوْ فِي الذِّمَّةِ أَومَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ مُطْلَقاً بِمِثْلِ أَحَدِهِمَا عَلَى التَّأْبِيِدِ غَيْر رِبَا وَقَرْضٍ “Pertukaran harta, baik yang ada dalam bentuk utang atau manfaat yang diperbolehkan secara mutlak dengan hal yang sama keadaannya seperti keduanya, dalam waktu yang permanen (selama-lamanya), yang bukan termasuk riba atau pinjaman.” [1]   Terdapat beberapa definisi dari jual beli, namun kiranya inilah yang paling mencakup. Bisa diartikan bahwa jual beli adalah proses pertukaran antara harta (uang) dengan hal yang dapat diambil manfaatnya dengan kepemilikan yang permanen. Sedikit gambaran tentang jual beli, bahwa terdapat beberapa tinjauan dari jual beli: Jual beli ditinjau dari jenis pertukarannya ada tiga, yaitu: [2] (1) Ash Sharf: jual beli dengan cara saling menukar antara emas, perak, uang, dan yang lainnya. (2) Al–Muqayadhah: jual beli dengan sistem barter. Seperti membeli mobil dengan mobil. (3) Al–Bay’ul Mutlaq: jual beli secara mutlak. Yaitu seperti membeli barang dengan uang. Dan inilah jual beli yang populer di tengah masyarakat. Jual beli ditinjau dari segi kontan dan utang: (1) Uang dan barang diberikan secara kontan. Tidak ada penundaan barang dan uang. Jenis inilah yang menjadi asas dalam jual beli. (2) Uang dan barang ditangguhkan. Artinya, uang dibayar pada kemudian hari dan barang diberikan di kemudian hari. Keduanya sama-sama ditangguhkan. Misalnya, seseorang membeli rumah seharga seratus juta yang akan diserahkan satu tahun kemudian, dan rumah yang dibelipun akan diserahkan satu tahun kemudian. (3) Salah satu di antara uang atau barang ditangguhkan. Dalam hal ini terbagi menjadi dua, Pertama, jika yang ditangguhkan adalah barang, maka ini dinamakan dengan akad salam. Artinya, uang dibayarkan di muka atau secara kontan, namun barang akan diberikan kemudian hari. Kedua, jika yang ditangguhkan adalah uang, maka inilah yang dinamakan dengan at-taqsith atau kredit. Barang diberikan di awal dan uang diberikan di akhir sesuai dengan kesepakatan. [3] Demikian gambaran sederhana tentang masalah jual beli. Definisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Tentang jual beli kredit, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang definisinya secara istilah. Ada yang mengatakan bahwa istilah taqsith (kredit) adalah istilah yang tidak dikenal oleh para ulama zaman dahulu.[4] Dan ada yang berpendapat bahwa para ulama terdahulu sudah ada yang membahasnya. [5] Secara keseluruhan, para ulama telah membahasnya namun dengan penggunaan istilah yang berbeda-beda. Secara bahasa, at-taqsith diambil dari kata al-qisth, yang artinya adalah adil. [6] Secara istilah, jual beli kredit adalah, عَقْدٌ عَلَى مَبِيْعِ حَالٍ ، بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ ، يُؤَدّى مُفَرَّقًا عَلَى أَجْزَاء مَعْلُوْمَةٍ ، فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَة “Suatu akad terhadap pembelian barang yang dibayarkan secara utang, yang utang tersebut dibayarkan dengan cara mencicil dengan bagian yang diketahui (jelas), pada waktu yang jelas.” [7] Demikian istilah yang dijelaskan oleh para ulama, yakni jual beli kredit adalah membeli suatu barang yang barang tersebut diberikan di awal. Kemudian uang dibayarkan dengan cara dicicil sesuai dengan waktu kesepakatan pihak yang terkait (penjual dan pembeli). Ada istilah yang serupa, yaitu bay’u al-ajil. Hal ini serupa dari segi penundaan pembayaran. Namun, terdapat perbedaan antara bay’u al-ajil dengan bay’u at-taqsith. Walaupun keduanya serupa dari segi penundaan, namun berbeda dari sisi cara pembayarannya. Pada bay’u at-taqisth, metode pembayarannya adalah dengan cara dicicil. Sedangkan bay’u al-ajil, metode pembayarannya adalah dengan cara langsung di akhir. Sebagai contoh, – Umar membeli mobil kepada Abdullah secara utang dengan harga dua ratus juta. Dalam tempo waktu satu tahun, Umar mencicil dua ratus juta tersebut dalam waktu setahun, berdasarkan kesepakatan. Maka inilah yang dinamakan bay’u at-taqsith atau jual beli kredit. – Utsman membeli rumah kepada Mu’awiyah secara utang dengan harga lima ratus juta. Dalam tempo waktu lima tahun, Utsman membayarnya ketika sudah sampai lima tahun, berdasarkan kesepakatan. Ketika sudah sampai lima tahun, Utsman pun langsung membayarkan lima ratus juta kepada Mu’awiyah. Inilah yang dinamakan dengan bay’u al-ajil. Sehingga dapat diketahui bahwa bay’u al-ajil itu lebih umum daripada bay’u at-taqsith. Demikianlah sedikit gambaran tentang jual beli kredit, tentunya masih banyak yang perlu diketahui tentang jual beli kredit ini. Wallahu a’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 21 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, karya Sulaiman bin Turki At-Turki. Cet. Dar Isbiliya. Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 32. [2] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 24 dan Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 71. [3] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 25. [4] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 73. [5] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 33. [6] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 32. [7] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 34.

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Definisi dan model jual beliDefinisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Definisi dan model jual beli Sebagaimana yang diketahui, dalam masalah muamalah dan transaksi, manusia terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan waktu. Model demi model dari transaksi akan terus tercipta bersamaan dengan berjalannya masa ke masa. Di antara transaksi yang banyak digandrungi oleh masyarakat di zaman sekarang adalah jual beli kredit. Sehingga untuk mengetahui hukum-hukumnya, dibutuhkan ilmu. Sejatinya, untuk mengetahui tentang jual beli kredit harus tahu terlebih dahulu duduk perkara tentang masalah jual beli. Karena bab jual beli adalah bab dasar di dalam muamalah. Dengan mengetahui bab jual beli, akan lebih mudah tentunya memahami tentang masalah fikih jual beli kredit. Definisi dari jual beli adalah, مُبَادَلَةُ المَالِ وَلَوْ فِي الذِّمَّةِ أَومَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ مُطْلَقاً بِمِثْلِ أَحَدِهِمَا عَلَى التَّأْبِيِدِ غَيْر رِبَا وَقَرْضٍ “Pertukaran harta, baik yang ada dalam bentuk utang atau manfaat yang diperbolehkan secara mutlak dengan hal yang sama keadaannya seperti keduanya, dalam waktu yang permanen (selama-lamanya), yang bukan termasuk riba atau pinjaman.” [1]   Terdapat beberapa definisi dari jual beli, namun kiranya inilah yang paling mencakup. Bisa diartikan bahwa jual beli adalah proses pertukaran antara harta (uang) dengan hal yang dapat diambil manfaatnya dengan kepemilikan yang permanen. Sedikit gambaran tentang jual beli, bahwa terdapat beberapa tinjauan dari jual beli: Jual beli ditinjau dari jenis pertukarannya ada tiga, yaitu: [2] (1) Ash Sharf: jual beli dengan cara saling menukar antara emas, perak, uang, dan yang lainnya. (2) Al–Muqayadhah: jual beli dengan sistem barter. Seperti membeli mobil dengan mobil. (3) Al–Bay’ul Mutlaq: jual beli secara mutlak. Yaitu seperti membeli barang dengan uang. Dan inilah jual beli yang populer di tengah masyarakat. Jual beli ditinjau dari segi kontan dan utang: (1) Uang dan barang diberikan secara kontan. Tidak ada penundaan barang dan uang. Jenis inilah yang menjadi asas dalam jual beli. (2) Uang dan barang ditangguhkan. Artinya, uang dibayar pada kemudian hari dan barang diberikan di kemudian hari. Keduanya sama-sama ditangguhkan. Misalnya, seseorang membeli rumah seharga seratus juta yang akan diserahkan satu tahun kemudian, dan rumah yang dibelipun akan diserahkan satu tahun kemudian. (3) Salah satu di antara uang atau barang ditangguhkan. Dalam hal ini terbagi menjadi dua, Pertama, jika yang ditangguhkan adalah barang, maka ini dinamakan dengan akad salam. Artinya, uang dibayarkan di muka atau secara kontan, namun barang akan diberikan kemudian hari. Kedua, jika yang ditangguhkan adalah uang, maka inilah yang dinamakan dengan at-taqsith atau kredit. Barang diberikan di awal dan uang diberikan di akhir sesuai dengan kesepakatan. [3] Demikian gambaran sederhana tentang masalah jual beli. Definisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Tentang jual beli kredit, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang definisinya secara istilah. Ada yang mengatakan bahwa istilah taqsith (kredit) adalah istilah yang tidak dikenal oleh para ulama zaman dahulu.[4] Dan ada yang berpendapat bahwa para ulama terdahulu sudah ada yang membahasnya. [5] Secara keseluruhan, para ulama telah membahasnya namun dengan penggunaan istilah yang berbeda-beda. Secara bahasa, at-taqsith diambil dari kata al-qisth, yang artinya adalah adil. [6] Secara istilah, jual beli kredit adalah, عَقْدٌ عَلَى مَبِيْعِ حَالٍ ، بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ ، يُؤَدّى مُفَرَّقًا عَلَى أَجْزَاء مَعْلُوْمَةٍ ، فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَة “Suatu akad terhadap pembelian barang yang dibayarkan secara utang, yang utang tersebut dibayarkan dengan cara mencicil dengan bagian yang diketahui (jelas), pada waktu yang jelas.” [7] Demikian istilah yang dijelaskan oleh para ulama, yakni jual beli kredit adalah membeli suatu barang yang barang tersebut diberikan di awal. Kemudian uang dibayarkan dengan cara dicicil sesuai dengan waktu kesepakatan pihak yang terkait (penjual dan pembeli). Ada istilah yang serupa, yaitu bay’u al-ajil. Hal ini serupa dari segi penundaan pembayaran. Namun, terdapat perbedaan antara bay’u al-ajil dengan bay’u at-taqsith. Walaupun keduanya serupa dari segi penundaan, namun berbeda dari sisi cara pembayarannya. Pada bay’u at-taqisth, metode pembayarannya adalah dengan cara dicicil. Sedangkan bay’u al-ajil, metode pembayarannya adalah dengan cara langsung di akhir. Sebagai contoh, – Umar membeli mobil kepada Abdullah secara utang dengan harga dua ratus juta. Dalam tempo waktu satu tahun, Umar mencicil dua ratus juta tersebut dalam waktu setahun, berdasarkan kesepakatan. Maka inilah yang dinamakan bay’u at-taqsith atau jual beli kredit. – Utsman membeli rumah kepada Mu’awiyah secara utang dengan harga lima ratus juta. Dalam tempo waktu lima tahun, Utsman membayarnya ketika sudah sampai lima tahun, berdasarkan kesepakatan. Ketika sudah sampai lima tahun, Utsman pun langsung membayarkan lima ratus juta kepada Mu’awiyah. Inilah yang dinamakan dengan bay’u al-ajil. Sehingga dapat diketahui bahwa bay’u al-ajil itu lebih umum daripada bay’u at-taqsith. Demikianlah sedikit gambaran tentang jual beli kredit, tentunya masih banyak yang perlu diketahui tentang jual beli kredit ini. Wallahu a’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 21 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, karya Sulaiman bin Turki At-Turki. Cet. Dar Isbiliya. Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 32. [2] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 24 dan Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 71. [3] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 25. [4] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 73. [5] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 33. [6] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 32. [7] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 34.
Daftar Isi Toggle Definisi dan model jual beliDefinisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Definisi dan model jual beli Sebagaimana yang diketahui, dalam masalah muamalah dan transaksi, manusia terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan waktu. Model demi model dari transaksi akan terus tercipta bersamaan dengan berjalannya masa ke masa. Di antara transaksi yang banyak digandrungi oleh masyarakat di zaman sekarang adalah jual beli kredit. Sehingga untuk mengetahui hukum-hukumnya, dibutuhkan ilmu. Sejatinya, untuk mengetahui tentang jual beli kredit harus tahu terlebih dahulu duduk perkara tentang masalah jual beli. Karena bab jual beli adalah bab dasar di dalam muamalah. Dengan mengetahui bab jual beli, akan lebih mudah tentunya memahami tentang masalah fikih jual beli kredit. Definisi dari jual beli adalah, مُبَادَلَةُ المَالِ وَلَوْ فِي الذِّمَّةِ أَومَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ مُطْلَقاً بِمِثْلِ أَحَدِهِمَا عَلَى التَّأْبِيِدِ غَيْر رِبَا وَقَرْضٍ “Pertukaran harta, baik yang ada dalam bentuk utang atau manfaat yang diperbolehkan secara mutlak dengan hal yang sama keadaannya seperti keduanya, dalam waktu yang permanen (selama-lamanya), yang bukan termasuk riba atau pinjaman.” [1]   Terdapat beberapa definisi dari jual beli, namun kiranya inilah yang paling mencakup. Bisa diartikan bahwa jual beli adalah proses pertukaran antara harta (uang) dengan hal yang dapat diambil manfaatnya dengan kepemilikan yang permanen. Sedikit gambaran tentang jual beli, bahwa terdapat beberapa tinjauan dari jual beli: Jual beli ditinjau dari jenis pertukarannya ada tiga, yaitu: [2] (1) Ash Sharf: jual beli dengan cara saling menukar antara emas, perak, uang, dan yang lainnya. (2) Al–Muqayadhah: jual beli dengan sistem barter. Seperti membeli mobil dengan mobil. (3) Al–Bay’ul Mutlaq: jual beli secara mutlak. Yaitu seperti membeli barang dengan uang. Dan inilah jual beli yang populer di tengah masyarakat. Jual beli ditinjau dari segi kontan dan utang: (1) Uang dan barang diberikan secara kontan. Tidak ada penundaan barang dan uang. Jenis inilah yang menjadi asas dalam jual beli. (2) Uang dan barang ditangguhkan. Artinya, uang dibayar pada kemudian hari dan barang diberikan di kemudian hari. Keduanya sama-sama ditangguhkan. Misalnya, seseorang membeli rumah seharga seratus juta yang akan diserahkan satu tahun kemudian, dan rumah yang dibelipun akan diserahkan satu tahun kemudian. (3) Salah satu di antara uang atau barang ditangguhkan. Dalam hal ini terbagi menjadi dua, Pertama, jika yang ditangguhkan adalah barang, maka ini dinamakan dengan akad salam. Artinya, uang dibayarkan di muka atau secara kontan, namun barang akan diberikan kemudian hari. Kedua, jika yang ditangguhkan adalah uang, maka inilah yang dinamakan dengan at-taqsith atau kredit. Barang diberikan di awal dan uang diberikan di akhir sesuai dengan kesepakatan. [3] Demikian gambaran sederhana tentang masalah jual beli. Definisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Tentang jual beli kredit, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang definisinya secara istilah. Ada yang mengatakan bahwa istilah taqsith (kredit) adalah istilah yang tidak dikenal oleh para ulama zaman dahulu.[4] Dan ada yang berpendapat bahwa para ulama terdahulu sudah ada yang membahasnya. [5] Secara keseluruhan, para ulama telah membahasnya namun dengan penggunaan istilah yang berbeda-beda. Secara bahasa, at-taqsith diambil dari kata al-qisth, yang artinya adalah adil. [6] Secara istilah, jual beli kredit adalah, عَقْدٌ عَلَى مَبِيْعِ حَالٍ ، بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ ، يُؤَدّى مُفَرَّقًا عَلَى أَجْزَاء مَعْلُوْمَةٍ ، فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَة “Suatu akad terhadap pembelian barang yang dibayarkan secara utang, yang utang tersebut dibayarkan dengan cara mencicil dengan bagian yang diketahui (jelas), pada waktu yang jelas.” [7] Demikian istilah yang dijelaskan oleh para ulama, yakni jual beli kredit adalah membeli suatu barang yang barang tersebut diberikan di awal. Kemudian uang dibayarkan dengan cara dicicil sesuai dengan waktu kesepakatan pihak yang terkait (penjual dan pembeli). Ada istilah yang serupa, yaitu bay’u al-ajil. Hal ini serupa dari segi penundaan pembayaran. Namun, terdapat perbedaan antara bay’u al-ajil dengan bay’u at-taqsith. Walaupun keduanya serupa dari segi penundaan, namun berbeda dari sisi cara pembayarannya. Pada bay’u at-taqisth, metode pembayarannya adalah dengan cara dicicil. Sedangkan bay’u al-ajil, metode pembayarannya adalah dengan cara langsung di akhir. Sebagai contoh, – Umar membeli mobil kepada Abdullah secara utang dengan harga dua ratus juta. Dalam tempo waktu satu tahun, Umar mencicil dua ratus juta tersebut dalam waktu setahun, berdasarkan kesepakatan. Maka inilah yang dinamakan bay’u at-taqsith atau jual beli kredit. – Utsman membeli rumah kepada Mu’awiyah secara utang dengan harga lima ratus juta. Dalam tempo waktu lima tahun, Utsman membayarnya ketika sudah sampai lima tahun, berdasarkan kesepakatan. Ketika sudah sampai lima tahun, Utsman pun langsung membayarkan lima ratus juta kepada Mu’awiyah. Inilah yang dinamakan dengan bay’u al-ajil. Sehingga dapat diketahui bahwa bay’u al-ajil itu lebih umum daripada bay’u at-taqsith. Demikianlah sedikit gambaran tentang jual beli kredit, tentunya masih banyak yang perlu diketahui tentang jual beli kredit ini. Wallahu a’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 21 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, karya Sulaiman bin Turki At-Turki. Cet. Dar Isbiliya. Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 32. [2] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 24 dan Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 71. [3] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 25. [4] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 73. [5] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 33. [6] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 32. [7] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 34.


Daftar Isi Toggle Definisi dan model jual beliDefinisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Definisi dan model jual beli Sebagaimana yang diketahui, dalam masalah muamalah dan transaksi, manusia terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan waktu. Model demi model dari transaksi akan terus tercipta bersamaan dengan berjalannya masa ke masa. Di antara transaksi yang banyak digandrungi oleh masyarakat di zaman sekarang adalah jual beli kredit. Sehingga untuk mengetahui hukum-hukumnya, dibutuhkan ilmu. Sejatinya, untuk mengetahui tentang jual beli kredit harus tahu terlebih dahulu duduk perkara tentang masalah jual beli. Karena bab jual beli adalah bab dasar di dalam muamalah. Dengan mengetahui bab jual beli, akan lebih mudah tentunya memahami tentang masalah fikih jual beli kredit. Definisi dari jual beli adalah, مُبَادَلَةُ المَالِ وَلَوْ فِي الذِّمَّةِ أَومَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ مُطْلَقاً بِمِثْلِ أَحَدِهِمَا عَلَى التَّأْبِيِدِ غَيْر رِبَا وَقَرْضٍ “Pertukaran harta, baik yang ada dalam bentuk utang atau manfaat yang diperbolehkan secara mutlak dengan hal yang sama keadaannya seperti keduanya, dalam waktu yang permanen (selama-lamanya), yang bukan termasuk riba atau pinjaman.” [1]   Terdapat beberapa definisi dari jual beli, namun kiranya inilah yang paling mencakup. Bisa diartikan bahwa jual beli adalah proses pertukaran antara harta (uang) dengan hal yang dapat diambil manfaatnya dengan kepemilikan yang permanen. Sedikit gambaran tentang jual beli, bahwa terdapat beberapa tinjauan dari jual beli: Jual beli ditinjau dari jenis pertukarannya ada tiga, yaitu: [2] (1) Ash Sharf: jual beli dengan cara saling menukar antara emas, perak, uang, dan yang lainnya. (2) Al–Muqayadhah: jual beli dengan sistem barter. Seperti membeli mobil dengan mobil. (3) Al–Bay’ul Mutlaq: jual beli secara mutlak. Yaitu seperti membeli barang dengan uang. Dan inilah jual beli yang populer di tengah masyarakat. Jual beli ditinjau dari segi kontan dan utang: (1) Uang dan barang diberikan secara kontan. Tidak ada penundaan barang dan uang. Jenis inilah yang menjadi asas dalam jual beli. (2) Uang dan barang ditangguhkan. Artinya, uang dibayar pada kemudian hari dan barang diberikan di kemudian hari. Keduanya sama-sama ditangguhkan. Misalnya, seseorang membeli rumah seharga seratus juta yang akan diserahkan satu tahun kemudian, dan rumah yang dibelipun akan diserahkan satu tahun kemudian. (3) Salah satu di antara uang atau barang ditangguhkan. Dalam hal ini terbagi menjadi dua, Pertama, jika yang ditangguhkan adalah barang, maka ini dinamakan dengan akad salam. Artinya, uang dibayarkan di muka atau secara kontan, namun barang akan diberikan kemudian hari. Kedua, jika yang ditangguhkan adalah uang, maka inilah yang dinamakan dengan at-taqsith atau kredit. Barang diberikan di awal dan uang diberikan di akhir sesuai dengan kesepakatan. [3] Demikian gambaran sederhana tentang masalah jual beli. Definisi bay’u at-taqsith (jual beli kredit) Tentang jual beli kredit, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang definisinya secara istilah. Ada yang mengatakan bahwa istilah taqsith (kredit) adalah istilah yang tidak dikenal oleh para ulama zaman dahulu.[4] Dan ada yang berpendapat bahwa para ulama terdahulu sudah ada yang membahasnya. [5] Secara keseluruhan, para ulama telah membahasnya namun dengan penggunaan istilah yang berbeda-beda. Secara bahasa, at-taqsith diambil dari kata al-qisth, yang artinya adalah adil. [6] Secara istilah, jual beli kredit adalah, عَقْدٌ عَلَى مَبِيْعِ حَالٍ ، بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ ، يُؤَدّى مُفَرَّقًا عَلَى أَجْزَاء مَعْلُوْمَةٍ ، فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَة “Suatu akad terhadap pembelian barang yang dibayarkan secara utang, yang utang tersebut dibayarkan dengan cara mencicil dengan bagian yang diketahui (jelas), pada waktu yang jelas.” [7] Demikian istilah yang dijelaskan oleh para ulama, yakni jual beli kredit adalah membeli suatu barang yang barang tersebut diberikan di awal. Kemudian uang dibayarkan dengan cara dicicil sesuai dengan waktu kesepakatan pihak yang terkait (penjual dan pembeli). Ada istilah yang serupa, yaitu bay’u al-ajil. Hal ini serupa dari segi penundaan pembayaran. Namun, terdapat perbedaan antara bay’u al-ajil dengan bay’u at-taqsith. Walaupun keduanya serupa dari segi penundaan, namun berbeda dari sisi cara pembayarannya. Pada bay’u at-taqisth, metode pembayarannya adalah dengan cara dicicil. Sedangkan bay’u al-ajil, metode pembayarannya adalah dengan cara langsung di akhir. Sebagai contoh, – Umar membeli mobil kepada Abdullah secara utang dengan harga dua ratus juta. Dalam tempo waktu satu tahun, Umar mencicil dua ratus juta tersebut dalam waktu setahun, berdasarkan kesepakatan. Maka inilah yang dinamakan bay’u at-taqsith atau jual beli kredit. – Utsman membeli rumah kepada Mu’awiyah secara utang dengan harga lima ratus juta. Dalam tempo waktu lima tahun, Utsman membayarnya ketika sudah sampai lima tahun, berdasarkan kesepakatan. Ketika sudah sampai lima tahun, Utsman pun langsung membayarkan lima ratus juta kepada Mu’awiyah. Inilah yang dinamakan dengan bay’u al-ajil. Sehingga dapat diketahui bahwa bay’u al-ajil itu lebih umum daripada bay’u at-taqsith. Demikianlah sedikit gambaran tentang jual beli kredit, tentunya masih banyak yang perlu diketahui tentang jual beli kredit ini. Wallahu a’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 21 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz-Dzahabi. Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, karya Sulaiman bin Turki At-Turki. Cet. Dar Isbiliya. Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 32. [2] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 24 dan Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 71. [3] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 25. [4] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 73. [5] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 33. [6] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 32. [7] Bay’u At-Taqsith wa Ahkaamuhu, hal. 34.

Tobat Dosa Lagi…Masihkah Diterima? Jawaban Ini Bikin Air Mata Menetes – Syaikh Bin Baz

Saudari penanya berkata: “Saya ingin menanyakan hukum syariat menurut pandangan Anda, Wahai Samahat asy-Syaikh tentang seorang wanita yang telah berjanji kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk tidak berbuat maksiat. Namun ternyata ia melanggar dan kembali bermaksiat. Lalu setelah itu ia bertobat lagi dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apakah tobat seperti ini bisa diterima?” Ya, diterima! Jika seseorang bertobat, meskipun dosa itu telah berulang kali dilakukan, bahkan jika ia bertobat lalu bermaksiat lagi, kemudian bertobat, lalu bermaksiat lagi—selama ia benar-benar jujur dalam tobatnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Tobat yang tulus dan jujur adalah yang disertai dengan penyesalan atas masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ia berhenti bermaksiat, meninggalkan perbuatan maksiat itu sepenuhnya karena takut kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Maka jika seseorang melakukan itu, tobatnya sah. Meskipun ia sebelumnya telah bermaksiat, lalu bertobat darinya. Manusia memang tempatnya salah, bisa saja ia terjerumus. Bermaksiat, lalu bertobat, lalu kembali bermaksiat, lalu bertobat lagi. Sebagai misalnya, ia terjerumus dalam perzinaan, lalu ia bertobat kepada Allah darinya, namun kemudian diuji lagi, lalu bertobat kembali. Jika ia bertobat, maka Allah pun menerima tobatnya. Atau ia meminum minuman memabukkan (khamr), atau melakukan ghibah, atau yang semisalnya. Maksudnya, apabila tobatnya terus berulang namun ia tetap jujur, maka Allah menerima tobatnya. Banyak hadis sahih tentang hal ini. Al-Qur’an juga menunjukkan hal ini, dalam firman-Nya: “Bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Allah juga berfirman: “Tidakkah mereka bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?” (QS. Al-Maidah: 74) Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (tobat nasuha).” (QS. At-Tahrim: 8) Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada hamba-Nya: “Apabila hamba-Ku berdosa, lalu ia memohon ampun kepada-Ku maka Aku ampuni dosanya. Jika ia mengulanginya, lalu meminta ampun kepada-Ku lagi, maka Aku pun mengampuninya.” (HR. Bukhari & Muslim yang dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jadi, pengulangan dosa selama disertai dengan kejujuran dalam tobat, maka itu tidak merusak keabsahan tobatnya. Yang merusak keabsahan tobatnya adalah jika tobat itu hanya main-main, bukan tobat yang sungguh-sungguh. Itu adalah bentuk kemungkaran yang besar, keburukan yang besar, dan bahaya yang sangat besar. Namun, jika dia benar-benar jujur dalam bertobat, menyesal dan berhenti bermaksiat, lalu setelah itu diuji kembali dengan maksiat, kemudian bertobat dan berhenti dengan tobat yang tulus, maka sungguh Allah akan menerima tobatnya. ==== تَقُولُ السَّائِلَةُ أَسْأَلُ عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِي نَظَرِكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ فِي امْرَأَةٍ عَاهَدَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَلَّا تَعْمَلَ الْمَعَاصِي وَلَكِنَّهَا خَالَفَتْ وَعَادَتْ ثُمَّ تَابَتْ بَعْدَ ذَلِكَ وَاسْتَغْفَرَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُقْبَلُ مِثْلُ هَذِهِ التَّوْبَةِ؟ نَعَمْ إِذَا تَابَ الْإِنْسَانُ وَلَوْ كَانَتِ الْمَعْصِيَةُ قَدْ تَكَرَّرَتْ وَلَوْ تَابَ ثُمَّ عَصَى ثُمَّ تَابَ ثُمَّ عَصَى مَتَى صَدَق فِي التَّوْبَةِ قَبِلَ اللَّهُ تَوْبَتَهُ وَالتَّوْبَةُ الصَّادِقَةُ النَّصُوحُ أَنْ يَنْدَمَ عَلَى الْمَاضِي وَيَعْزِمَ أَنْ لَا يَعُودَ وَيُقْلِعَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ يَتْرُكُهَا خَوْفًا مِنَ اللَّهِ وَتَعْظِيمًا لِلَّهِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ وَلَوْ كَانَ قَدْ فَعَلَهُ سَابِقًا وَتَابَ مِنْهُ فَالْإِنْسَانُ عُرْضَةٌ لِلْخَطَأِ قَدْ يَأْتِيهِ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ ثُمَّ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ كَأَنْ يَتَعَاطَى الزِّنَا ثُمَّ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مِنْهُ ثُمَّ يُبْتَلَى بِهِ ثُمَّ يَتُوبُ فَإِذَا تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَوْ شُرْبَ مُسْكِرٍ أَوْ غِيْبَةً أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْمَقْصُودُ أَنَّ التَّوْبَةَ إِذَا تَكَرَّرَتْ وَهُوَ صَادِقٌ قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ قَدْ صَحَّتْ الْأَحَادِيثُ فِي ذَلِكَ وَدَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فِي قَوْلِهِ جَلَّ وَعَلَا وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ قَالَ سُبْحَانَهُ أَفَلَا يَتُوْبُوْنَ إِلَى اللهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا وَجَاءَ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِعَبْدِهِ إِذَا أَذْنَبَ عَبْدِي ثُمَّ اسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ ذُنُوْبَهُ ثُمَّ عَادَ فَاسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ لَهُ فَالتِّكْرَارُ إِذَا كَانَ مَعَ صِدْقٍ فِي التَّوْبَةِ لَا يَضُرُّ وَأَمَّا التَّلَاعُبُ هَذَا يَضُرُّهُ إِذَا كَانَ مَا بِتَوْبَةٍ صَادِقَةٍ هَذَا مُنْكَرٌ عَظِيمٌ وَشَرٌّ عَظِيْمٌ وَخَطَرٌ كَبِيْرٌ وَأَمَّا إِذَا كَانَ صَادِقًا نَدِمَ وَأَقْلَعَ ثُمَّ بُلِيَ بِالْمَعْصِيَةِ ثُمَّ تَابَ وَأَقْلَعَ صَادِقًا فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Tobat Dosa Lagi…Masihkah Diterima? Jawaban Ini Bikin Air Mata Menetes – Syaikh Bin Baz

Saudari penanya berkata: “Saya ingin menanyakan hukum syariat menurut pandangan Anda, Wahai Samahat asy-Syaikh tentang seorang wanita yang telah berjanji kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk tidak berbuat maksiat. Namun ternyata ia melanggar dan kembali bermaksiat. Lalu setelah itu ia bertobat lagi dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apakah tobat seperti ini bisa diterima?” Ya, diterima! Jika seseorang bertobat, meskipun dosa itu telah berulang kali dilakukan, bahkan jika ia bertobat lalu bermaksiat lagi, kemudian bertobat, lalu bermaksiat lagi—selama ia benar-benar jujur dalam tobatnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Tobat yang tulus dan jujur adalah yang disertai dengan penyesalan atas masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ia berhenti bermaksiat, meninggalkan perbuatan maksiat itu sepenuhnya karena takut kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Maka jika seseorang melakukan itu, tobatnya sah. Meskipun ia sebelumnya telah bermaksiat, lalu bertobat darinya. Manusia memang tempatnya salah, bisa saja ia terjerumus. Bermaksiat, lalu bertobat, lalu kembali bermaksiat, lalu bertobat lagi. Sebagai misalnya, ia terjerumus dalam perzinaan, lalu ia bertobat kepada Allah darinya, namun kemudian diuji lagi, lalu bertobat kembali. Jika ia bertobat, maka Allah pun menerima tobatnya. Atau ia meminum minuman memabukkan (khamr), atau melakukan ghibah, atau yang semisalnya. Maksudnya, apabila tobatnya terus berulang namun ia tetap jujur, maka Allah menerima tobatnya. Banyak hadis sahih tentang hal ini. Al-Qur’an juga menunjukkan hal ini, dalam firman-Nya: “Bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Allah juga berfirman: “Tidakkah mereka bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?” (QS. Al-Maidah: 74) Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (tobat nasuha).” (QS. At-Tahrim: 8) Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada hamba-Nya: “Apabila hamba-Ku berdosa, lalu ia memohon ampun kepada-Ku maka Aku ampuni dosanya. Jika ia mengulanginya, lalu meminta ampun kepada-Ku lagi, maka Aku pun mengampuninya.” (HR. Bukhari & Muslim yang dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jadi, pengulangan dosa selama disertai dengan kejujuran dalam tobat, maka itu tidak merusak keabsahan tobatnya. Yang merusak keabsahan tobatnya adalah jika tobat itu hanya main-main, bukan tobat yang sungguh-sungguh. Itu adalah bentuk kemungkaran yang besar, keburukan yang besar, dan bahaya yang sangat besar. Namun, jika dia benar-benar jujur dalam bertobat, menyesal dan berhenti bermaksiat, lalu setelah itu diuji kembali dengan maksiat, kemudian bertobat dan berhenti dengan tobat yang tulus, maka sungguh Allah akan menerima tobatnya. ==== تَقُولُ السَّائِلَةُ أَسْأَلُ عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِي نَظَرِكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ فِي امْرَأَةٍ عَاهَدَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَلَّا تَعْمَلَ الْمَعَاصِي وَلَكِنَّهَا خَالَفَتْ وَعَادَتْ ثُمَّ تَابَتْ بَعْدَ ذَلِكَ وَاسْتَغْفَرَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُقْبَلُ مِثْلُ هَذِهِ التَّوْبَةِ؟ نَعَمْ إِذَا تَابَ الْإِنْسَانُ وَلَوْ كَانَتِ الْمَعْصِيَةُ قَدْ تَكَرَّرَتْ وَلَوْ تَابَ ثُمَّ عَصَى ثُمَّ تَابَ ثُمَّ عَصَى مَتَى صَدَق فِي التَّوْبَةِ قَبِلَ اللَّهُ تَوْبَتَهُ وَالتَّوْبَةُ الصَّادِقَةُ النَّصُوحُ أَنْ يَنْدَمَ عَلَى الْمَاضِي وَيَعْزِمَ أَنْ لَا يَعُودَ وَيُقْلِعَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ يَتْرُكُهَا خَوْفًا مِنَ اللَّهِ وَتَعْظِيمًا لِلَّهِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ وَلَوْ كَانَ قَدْ فَعَلَهُ سَابِقًا وَتَابَ مِنْهُ فَالْإِنْسَانُ عُرْضَةٌ لِلْخَطَأِ قَدْ يَأْتِيهِ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ ثُمَّ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ كَأَنْ يَتَعَاطَى الزِّنَا ثُمَّ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مِنْهُ ثُمَّ يُبْتَلَى بِهِ ثُمَّ يَتُوبُ فَإِذَا تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَوْ شُرْبَ مُسْكِرٍ أَوْ غِيْبَةً أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْمَقْصُودُ أَنَّ التَّوْبَةَ إِذَا تَكَرَّرَتْ وَهُوَ صَادِقٌ قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ قَدْ صَحَّتْ الْأَحَادِيثُ فِي ذَلِكَ وَدَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فِي قَوْلِهِ جَلَّ وَعَلَا وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ قَالَ سُبْحَانَهُ أَفَلَا يَتُوْبُوْنَ إِلَى اللهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا وَجَاءَ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِعَبْدِهِ إِذَا أَذْنَبَ عَبْدِي ثُمَّ اسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ ذُنُوْبَهُ ثُمَّ عَادَ فَاسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ لَهُ فَالتِّكْرَارُ إِذَا كَانَ مَعَ صِدْقٍ فِي التَّوْبَةِ لَا يَضُرُّ وَأَمَّا التَّلَاعُبُ هَذَا يَضُرُّهُ إِذَا كَانَ مَا بِتَوْبَةٍ صَادِقَةٍ هَذَا مُنْكَرٌ عَظِيمٌ وَشَرٌّ عَظِيْمٌ وَخَطَرٌ كَبِيْرٌ وَأَمَّا إِذَا كَانَ صَادِقًا نَدِمَ وَأَقْلَعَ ثُمَّ بُلِيَ بِالْمَعْصِيَةِ ثُمَّ تَابَ وَأَقْلَعَ صَادِقًا فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Saudari penanya berkata: “Saya ingin menanyakan hukum syariat menurut pandangan Anda, Wahai Samahat asy-Syaikh tentang seorang wanita yang telah berjanji kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk tidak berbuat maksiat. Namun ternyata ia melanggar dan kembali bermaksiat. Lalu setelah itu ia bertobat lagi dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apakah tobat seperti ini bisa diterima?” Ya, diterima! Jika seseorang bertobat, meskipun dosa itu telah berulang kali dilakukan, bahkan jika ia bertobat lalu bermaksiat lagi, kemudian bertobat, lalu bermaksiat lagi—selama ia benar-benar jujur dalam tobatnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Tobat yang tulus dan jujur adalah yang disertai dengan penyesalan atas masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ia berhenti bermaksiat, meninggalkan perbuatan maksiat itu sepenuhnya karena takut kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Maka jika seseorang melakukan itu, tobatnya sah. Meskipun ia sebelumnya telah bermaksiat, lalu bertobat darinya. Manusia memang tempatnya salah, bisa saja ia terjerumus. Bermaksiat, lalu bertobat, lalu kembali bermaksiat, lalu bertobat lagi. Sebagai misalnya, ia terjerumus dalam perzinaan, lalu ia bertobat kepada Allah darinya, namun kemudian diuji lagi, lalu bertobat kembali. Jika ia bertobat, maka Allah pun menerima tobatnya. Atau ia meminum minuman memabukkan (khamr), atau melakukan ghibah, atau yang semisalnya. Maksudnya, apabila tobatnya terus berulang namun ia tetap jujur, maka Allah menerima tobatnya. Banyak hadis sahih tentang hal ini. Al-Qur’an juga menunjukkan hal ini, dalam firman-Nya: “Bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Allah juga berfirman: “Tidakkah mereka bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?” (QS. Al-Maidah: 74) Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (tobat nasuha).” (QS. At-Tahrim: 8) Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada hamba-Nya: “Apabila hamba-Ku berdosa, lalu ia memohon ampun kepada-Ku maka Aku ampuni dosanya. Jika ia mengulanginya, lalu meminta ampun kepada-Ku lagi, maka Aku pun mengampuninya.” (HR. Bukhari & Muslim yang dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jadi, pengulangan dosa selama disertai dengan kejujuran dalam tobat, maka itu tidak merusak keabsahan tobatnya. Yang merusak keabsahan tobatnya adalah jika tobat itu hanya main-main, bukan tobat yang sungguh-sungguh. Itu adalah bentuk kemungkaran yang besar, keburukan yang besar, dan bahaya yang sangat besar. Namun, jika dia benar-benar jujur dalam bertobat, menyesal dan berhenti bermaksiat, lalu setelah itu diuji kembali dengan maksiat, kemudian bertobat dan berhenti dengan tobat yang tulus, maka sungguh Allah akan menerima tobatnya. ==== تَقُولُ السَّائِلَةُ أَسْأَلُ عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِي نَظَرِكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ فِي امْرَأَةٍ عَاهَدَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَلَّا تَعْمَلَ الْمَعَاصِي وَلَكِنَّهَا خَالَفَتْ وَعَادَتْ ثُمَّ تَابَتْ بَعْدَ ذَلِكَ وَاسْتَغْفَرَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُقْبَلُ مِثْلُ هَذِهِ التَّوْبَةِ؟ نَعَمْ إِذَا تَابَ الْإِنْسَانُ وَلَوْ كَانَتِ الْمَعْصِيَةُ قَدْ تَكَرَّرَتْ وَلَوْ تَابَ ثُمَّ عَصَى ثُمَّ تَابَ ثُمَّ عَصَى مَتَى صَدَق فِي التَّوْبَةِ قَبِلَ اللَّهُ تَوْبَتَهُ وَالتَّوْبَةُ الصَّادِقَةُ النَّصُوحُ أَنْ يَنْدَمَ عَلَى الْمَاضِي وَيَعْزِمَ أَنْ لَا يَعُودَ وَيُقْلِعَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ يَتْرُكُهَا خَوْفًا مِنَ اللَّهِ وَتَعْظِيمًا لِلَّهِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ وَلَوْ كَانَ قَدْ فَعَلَهُ سَابِقًا وَتَابَ مِنْهُ فَالْإِنْسَانُ عُرْضَةٌ لِلْخَطَأِ قَدْ يَأْتِيهِ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ ثُمَّ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ كَأَنْ يَتَعَاطَى الزِّنَا ثُمَّ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مِنْهُ ثُمَّ يُبْتَلَى بِهِ ثُمَّ يَتُوبُ فَإِذَا تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَوْ شُرْبَ مُسْكِرٍ أَوْ غِيْبَةً أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْمَقْصُودُ أَنَّ التَّوْبَةَ إِذَا تَكَرَّرَتْ وَهُوَ صَادِقٌ قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ قَدْ صَحَّتْ الْأَحَادِيثُ فِي ذَلِكَ وَدَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فِي قَوْلِهِ جَلَّ وَعَلَا وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ قَالَ سُبْحَانَهُ أَفَلَا يَتُوْبُوْنَ إِلَى اللهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا وَجَاءَ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِعَبْدِهِ إِذَا أَذْنَبَ عَبْدِي ثُمَّ اسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ ذُنُوْبَهُ ثُمَّ عَادَ فَاسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ لَهُ فَالتِّكْرَارُ إِذَا كَانَ مَعَ صِدْقٍ فِي التَّوْبَةِ لَا يَضُرُّ وَأَمَّا التَّلَاعُبُ هَذَا يَضُرُّهُ إِذَا كَانَ مَا بِتَوْبَةٍ صَادِقَةٍ هَذَا مُنْكَرٌ عَظِيمٌ وَشَرٌّ عَظِيْمٌ وَخَطَرٌ كَبِيْرٌ وَأَمَّا إِذَا كَانَ صَادِقًا نَدِمَ وَأَقْلَعَ ثُمَّ بُلِيَ بِالْمَعْصِيَةِ ثُمَّ تَابَ وَأَقْلَعَ صَادِقًا فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى


Saudari penanya berkata: “Saya ingin menanyakan hukum syariat menurut pandangan Anda, Wahai Samahat asy-Syaikh tentang seorang wanita yang telah berjanji kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk tidak berbuat maksiat. Namun ternyata ia melanggar dan kembali bermaksiat. Lalu setelah itu ia bertobat lagi dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apakah tobat seperti ini bisa diterima?” Ya, diterima! Jika seseorang bertobat, meskipun dosa itu telah berulang kali dilakukan, bahkan jika ia bertobat lalu bermaksiat lagi, kemudian bertobat, lalu bermaksiat lagi—selama ia benar-benar jujur dalam tobatnya, maka Allah akan menerima tobatnya. Tobat yang tulus dan jujur adalah yang disertai dengan penyesalan atas masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ia berhenti bermaksiat, meninggalkan perbuatan maksiat itu sepenuhnya karena takut kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Maka jika seseorang melakukan itu, tobatnya sah. Meskipun ia sebelumnya telah bermaksiat, lalu bertobat darinya. Manusia memang tempatnya salah, bisa saja ia terjerumus. Bermaksiat, lalu bertobat, lalu kembali bermaksiat, lalu bertobat lagi. Sebagai misalnya, ia terjerumus dalam perzinaan, lalu ia bertobat kepada Allah darinya, namun kemudian diuji lagi, lalu bertobat kembali. Jika ia bertobat, maka Allah pun menerima tobatnya. Atau ia meminum minuman memabukkan (khamr), atau melakukan ghibah, atau yang semisalnya. Maksudnya, apabila tobatnya terus berulang namun ia tetap jujur, maka Allah menerima tobatnya. Banyak hadis sahih tentang hal ini. Al-Qur’an juga menunjukkan hal ini, dalam firman-Nya: “Bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Allah juga berfirman: “Tidakkah mereka bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?” (QS. Al-Maidah: 74) Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (tobat nasuha).” (QS. At-Tahrim: 8) Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada hamba-Nya: “Apabila hamba-Ku berdosa, lalu ia memohon ampun kepada-Ku maka Aku ampuni dosanya. Jika ia mengulanginya, lalu meminta ampun kepada-Ku lagi, maka Aku pun mengampuninya.” (HR. Bukhari & Muslim yang dibacakan secara makna oleh Syaikh). Jadi, pengulangan dosa selama disertai dengan kejujuran dalam tobat, maka itu tidak merusak keabsahan tobatnya. Yang merusak keabsahan tobatnya adalah jika tobat itu hanya main-main, bukan tobat yang sungguh-sungguh. Itu adalah bentuk kemungkaran yang besar, keburukan yang besar, dan bahaya yang sangat besar. Namun, jika dia benar-benar jujur dalam bertobat, menyesal dan berhenti bermaksiat, lalu setelah itu diuji kembali dengan maksiat, kemudian bertobat dan berhenti dengan tobat yang tulus, maka sungguh Allah akan menerima tobatnya. ==== تَقُولُ السَّائِلَةُ أَسْأَلُ عَنْ حُكْمِ الشَّرْعِ فِي نَظَرِكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ فِي امْرَأَةٍ عَاهَدَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَلَّا تَعْمَلَ الْمَعَاصِي وَلَكِنَّهَا خَالَفَتْ وَعَادَتْ ثُمَّ تَابَتْ بَعْدَ ذَلِكَ وَاسْتَغْفَرَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُقْبَلُ مِثْلُ هَذِهِ التَّوْبَةِ؟ نَعَمْ إِذَا تَابَ الْإِنْسَانُ وَلَوْ كَانَتِ الْمَعْصِيَةُ قَدْ تَكَرَّرَتْ وَلَوْ تَابَ ثُمَّ عَصَى ثُمَّ تَابَ ثُمَّ عَصَى مَتَى صَدَق فِي التَّوْبَةِ قَبِلَ اللَّهُ تَوْبَتَهُ وَالتَّوْبَةُ الصَّادِقَةُ النَّصُوحُ أَنْ يَنْدَمَ عَلَى الْمَاضِي وَيَعْزِمَ أَنْ لَا يَعُودَ وَيُقْلِعَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ يَتْرُكُهَا خَوْفًا مِنَ اللَّهِ وَتَعْظِيمًا لِلَّهِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ صَحَّتْ تَوْبَتُهُ وَلَوْ كَانَ قَدْ فَعَلَهُ سَابِقًا وَتَابَ مِنْهُ فَالْإِنْسَانُ عُرْضَةٌ لِلْخَطَأِ قَدْ يَأْتِيهِ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ ثُمَّ يَعْصِي ثُمَّ يَتُوبُ كَأَنْ يَتَعَاطَى الزِّنَا ثُمَّ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مِنْهُ ثُمَّ يُبْتَلَى بِهِ ثُمَّ يَتُوبُ فَإِذَا تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَوْ شُرْبَ مُسْكِرٍ أَوْ غِيْبَةً أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْمَقْصُودُ أَنَّ التَّوْبَةَ إِذَا تَكَرَّرَتْ وَهُوَ صَادِقٌ قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ قَدْ صَحَّتْ الْأَحَادِيثُ فِي ذَلِكَ وَدَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فِي قَوْلِهِ جَلَّ وَعَلَا وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ قَالَ سُبْحَانَهُ أَفَلَا يَتُوْبُوْنَ إِلَى اللهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا وَجَاءَ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا يَقُولُ لِعَبْدِهِ إِذَا أَذْنَبَ عَبْدِي ثُمَّ اسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ ذُنُوْبَهُ ثُمَّ عَادَ فَاسْتَغْفَرَنِي غَفَرْتُ لَهُ فَالتِّكْرَارُ إِذَا كَانَ مَعَ صِدْقٍ فِي التَّوْبَةِ لَا يَضُرُّ وَأَمَّا التَّلَاعُبُ هَذَا يَضُرُّهُ إِذَا كَانَ مَا بِتَوْبَةٍ صَادِقَةٍ هَذَا مُنْكَرٌ عَظِيمٌ وَشَرٌّ عَظِيْمٌ وَخَطَرٌ كَبِيْرٌ وَأَمَّا إِذَا كَانَ صَادِقًا نَدِمَ وَأَقْلَعَ ثُمَّ بُلِيَ بِالْمَعْصِيَةِ ثُمَّ تَابَ وَأَقْلَعَ صَادِقًا فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Memaafkan Seperti Allah dengan Tetap Melupakan

Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02  Apa itu Al-‘Afuwwu?Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya.Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya.Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata,“Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya.Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى“Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’anNama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya.Contoh ayat:إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149)وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا…“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14) Doa dengan Nama Allah Al-‘AfuwwuAisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab:اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi)Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar MemaafkanPara ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu:Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.”Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.”Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.”Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah?Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya.Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140):“al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka.Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya.Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.” Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh?Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya:﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13)﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾“Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109)Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi.Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan? Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan MengampuniBahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan):﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan:﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾“Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa:﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134) Apakah Memaafkan Harus Melupakan?Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam?Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi).Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama.Namun perlu dipahami juga:Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan.Seperti Allah Ta‘ala berfirman:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya:“al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum.ash-Shafh: berpaling tanpa mencela.al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219)Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan:“al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran.ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan.al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.”“Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285)Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts:“(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk).(وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut.(وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.”(Tafsir al-Wasith, 10/1453)Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna.Catatan berharga #01Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah.Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali.Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan.Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan.Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Catatan berharga #02Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita.________Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah

Memaafkan Seperti Allah dengan Tetap Melupakan

Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02  Apa itu Al-‘Afuwwu?Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya.Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya.Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata,“Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya.Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى“Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’anNama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya.Contoh ayat:إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149)وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا…“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14) Doa dengan Nama Allah Al-‘AfuwwuAisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab:اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi)Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar MemaafkanPara ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu:Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.”Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.”Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.”Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah?Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya.Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140):“al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka.Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya.Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.” Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh?Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya:﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13)﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾“Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109)Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi.Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan? Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan MengampuniBahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan):﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan:﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾“Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa:﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134) Apakah Memaafkan Harus Melupakan?Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam?Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi).Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama.Namun perlu dipahami juga:Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan.Seperti Allah Ta‘ala berfirman:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya:“al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum.ash-Shafh: berpaling tanpa mencela.al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219)Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan:“al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran.ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan.al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.”“Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285)Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts:“(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk).(وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut.(وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.”(Tafsir al-Wasith, 10/1453)Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna.Catatan berharga #01Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah.Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali.Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan.Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan.Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Catatan berharga #02Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita.________Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah
Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02  Apa itu Al-‘Afuwwu?Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya.Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya.Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata,“Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya.Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى“Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’anNama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya.Contoh ayat:إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149)وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا…“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14) Doa dengan Nama Allah Al-‘AfuwwuAisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab:اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi)Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar MemaafkanPara ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu:Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.”Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.”Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.”Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah?Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya.Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140):“al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka.Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya.Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.” Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh?Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya:﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13)﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾“Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109)Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi.Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan? Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan MengampuniBahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan):﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan:﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾“Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa:﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134) Apakah Memaafkan Harus Melupakan?Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam?Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi).Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama.Namun perlu dipahami juga:Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan.Seperti Allah Ta‘ala berfirman:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya:“al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum.ash-Shafh: berpaling tanpa mencela.al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219)Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan:“al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran.ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan.al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.”“Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285)Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts:“(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk).(وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut.(وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.”(Tafsir al-Wasith, 10/1453)Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna.Catatan berharga #01Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah.Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali.Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan.Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan.Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Catatan berharga #02Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita.________Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah


Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.  Daftar Isi tutup 1. Apa itu Al-‘Afuwwu? 2. Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’an 3. Doa dengan Nama Allah Al-‘Afuwwu 4. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan 5. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah? 6. Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh? 7. Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni 8. Apakah Memaafkan Harus Melupakan? 8.1. Catatan berharga #01 8.2. Catatan berharga #02  Apa itu Al-‘Afuwwu?Al-‘Afuwwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya.Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya.Syaikh As-Sa‘di rahimahullah berkata,“Allah adalah Al-‘Afuwwu (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan al-Ghaffar (Yang senantiasa mengampuni). Ia dikenal sepanjang zaman dengan sifat pemaaf-Nya, dan senantiasa memberikan ampunan serta kelembutan kepada para hamba-Nya. Setiap manusia sangat membutuhkan ampunan dan penghapusan dosa dari Allah, sebagaimana mereka butuh rahmat dan kemurahan-Nya.Dan Allah telah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang datang dengan sebab-sebabnya.” Allah Ta‘ala berfirman:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى“Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Al-‘Afuwwu dalam Al-Qur’anNama Allah Al-‘Afuwwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya.Contoh ayat:إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149)وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا…“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni.” (QS. At-Taghabun: 14) Doa dengan Nama Allah Al-‘AfuwwuAisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?” Beliau menjawab:اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi)Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu. al-‘Afwu Lebih dari Sekadar MemaafkanPara ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu:Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.”Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.”Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.”Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat. Apa Bedanya Al-‘Afwu dan Al-Maghfirah?Sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘afwu (memaafkan) lebih agung daripada al-maghfirah (mengampuni), karena al-‘afwu bermakna menghapus dosa, sementara al-maghfirah bermakna menutupinya.Namun pendapat yang lebih kuat dan rajih adalah bahwa al-maghfirah lebih agung daripada al-‘afwu, karena maghfirah mencakup bukan hanya menutupi, tetapi juga melibatkan kebaikan, kasih sayang, dan pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang berdosa.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmū‘ al-Fatāwā (14:140):“al-‘Afwu (memaafkan) mencakup makna menggugurkan hak untuk menuntut dan memaafkan pelakunya atas kesalahan yang dilakukan. Sementara al-maghfirah (mengampuni) mencakup makna melindungi pelakunya dari dampak buruk dosa-dosa mereka, menyambut mereka kembali dengan penuh kasih, dan meridhai mereka.Berbeda halnya dengan al-‘afwu yang sekadar memaafkan. Sebab bisa jadi seseorang memaafkan, tetapi tidak ingin dekat dengan orang yang ia maafkan, bahkan tidak rela terhadapnya.Maka al-‘afwu adalah sekadar tindakan meninggalkan balasan, sedangkan al-maghfirah adalah bentuk kebaikan, anugerah, dan kemurahan yang menyertai penerimaan.” Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh?Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya:﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13)﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾“Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109)Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi.Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan? Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan MengampuniBahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan):﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan:﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾“Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa:﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾“…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134) Apakah Memaafkan Harus Melupakan?Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam?Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi).Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama.Namun perlu dipahami juga:Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan.Seperti Allah Ta‘ala berfirman:﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya:“al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum.ash-Shafh: berpaling tanpa mencela.al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219)Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan:“al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran.ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan.al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.”“Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285)Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts:“(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk).(وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut.(وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.”(Tafsir al-Wasith, 10/1453)Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna.Catatan berharga #01Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah.Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali.Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan.Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan.Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Catatan berharga #02Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.”Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita.________Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal-‘Afwu ampunan Allah arti al-‘Afwu asmaul husna doa harian doa lailatul qadar doa mohon ampun maaf memaafkan memaafkan memaafkan kesalahan minta maaf mohon maaf lahir dan batin nama Allah nama-nama Allah pemaaf sifat Allah tafsir nama Allah

Bukan Ustaz, Tapi Dia Beribadah & Dapat Pahala Saat Bekerja, Ini Caranya! – Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri

Pada kesempatan ini, aku ingatkan saudaraku seluruhnya, untuk senantiasa mengharap pahala dan ganjaran akhirat, atas segala pekerjaan yang mereka kerjakan. Wahai engkau pegawai yang bekerja, baik di instansi pemerintah atau di instansi swasta, jadikanlah niatmu dalam bekerja sebagai bentuk upaya meraih ridha Allah dan pahala dari-Nya, melalui pemenuhan tanggung jawab atas kontrak yang telah engkau sepakati, dan melalui pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadamu, dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Dengan cara engkau hadir tepat waktu, dan tidak mangkir (absen) dari tugas. Dengan cara itu, agar gaji yang engkau terima menjadi gaji yang halal, serta agar penghasilanmu bersih dan suci. Dengan niat seperti ini, engkau terhitung beribadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala dalam pekerjaan yang engkau lakukan. Dengan cara inilah, seseorang dapat mengubah seluruh kehidupannya agar semua amal perbuatannya menjadi ibadah kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba pun akan menyadari bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk menyembah Allah. Dan di antara bentuk ibadah itu adalah menunaikan tugas dan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) ==== وَمِنْ هُنَا فَإِنِّي أُنَبِّهُ إِخْوَانِي جَمِيْعًا عَلَى احْتِسَابِ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْأُخْرَوِيِّ فِيمَا يُؤَدُّونَهُ مِنْ أَعْمَالِهِمْ فَأَنْتَ يَا أَيُّهَا الْمُوَظَّفُ الَّذِي تَذْهَبُ لِوَظِيفَتِكَ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي قِطَاعٍ حُكُومِيٍّ أَوْ فِي قِطَاعٍ خَاصٍّ لِيَكُنْ مِنْ شَأْنِكَ أَنْ تَنْوِيَ بِهَذَا الْعَمَلِ أَنْ تَنَالَ رِضَا اللَّهِ وَأَجْرَهُ مِنْ خِلَالِ وَفَائِكَ بِهَذَا الْعَقْدِ وَأَدَائِكَ لِلْعَمَلِ الْمُوْكَلِ بِكَ عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ وَأَتَمِّهَا مِنْ خِلَالِ حُضُورِكَ عَلَى الْوَقْتِ وَعَدَمِ تَغَيُّبِكَ عَنْهُ مِنْ خِلَالِ سَعْيِكَ بِأَنْ يَكُونَ رَاتِبُكَ حَلَالًا وَأَنْ يَكُونَ كَسْبُكَ نَقِيًّا فَمِنْ ثَمَّ تَكُونُ عَابِدًا لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي أَدَاءِ الْعَمَلِ الَّذِي قَدْ عَمِلْتَهُ وَهَكَذَا يَتَمَكَّنُ الْإِنْسَانُ مِنْ قَلْبِ حَيَاتِهِ كُلِّهَا لِتَكُونَ أَعْمَالُهُ كُلُّهَا عِبَادَةً لِلَّهِ تَعَالَى وَالْعَبْدُ يَسْتَشْعِرُ أَنَّ خَلْقَ الْإِنْسَانِ كَانَ مِنْ أَجْلِ عِبَادَةِ اللَّهِ وَمِنْ تِلْكَ الْعِبَادَةِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْأَعْمَالَ الْمُوْكَلَةَ بِهِ قَالَ تَعَالَى وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Bukan Ustaz, Tapi Dia Beribadah & Dapat Pahala Saat Bekerja, Ini Caranya! – Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri

Pada kesempatan ini, aku ingatkan saudaraku seluruhnya, untuk senantiasa mengharap pahala dan ganjaran akhirat, atas segala pekerjaan yang mereka kerjakan. Wahai engkau pegawai yang bekerja, baik di instansi pemerintah atau di instansi swasta, jadikanlah niatmu dalam bekerja sebagai bentuk upaya meraih ridha Allah dan pahala dari-Nya, melalui pemenuhan tanggung jawab atas kontrak yang telah engkau sepakati, dan melalui pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadamu, dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Dengan cara engkau hadir tepat waktu, dan tidak mangkir (absen) dari tugas. Dengan cara itu, agar gaji yang engkau terima menjadi gaji yang halal, serta agar penghasilanmu bersih dan suci. Dengan niat seperti ini, engkau terhitung beribadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala dalam pekerjaan yang engkau lakukan. Dengan cara inilah, seseorang dapat mengubah seluruh kehidupannya agar semua amal perbuatannya menjadi ibadah kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba pun akan menyadari bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk menyembah Allah. Dan di antara bentuk ibadah itu adalah menunaikan tugas dan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) ==== وَمِنْ هُنَا فَإِنِّي أُنَبِّهُ إِخْوَانِي جَمِيْعًا عَلَى احْتِسَابِ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْأُخْرَوِيِّ فِيمَا يُؤَدُّونَهُ مِنْ أَعْمَالِهِمْ فَأَنْتَ يَا أَيُّهَا الْمُوَظَّفُ الَّذِي تَذْهَبُ لِوَظِيفَتِكَ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي قِطَاعٍ حُكُومِيٍّ أَوْ فِي قِطَاعٍ خَاصٍّ لِيَكُنْ مِنْ شَأْنِكَ أَنْ تَنْوِيَ بِهَذَا الْعَمَلِ أَنْ تَنَالَ رِضَا اللَّهِ وَأَجْرَهُ مِنْ خِلَالِ وَفَائِكَ بِهَذَا الْعَقْدِ وَأَدَائِكَ لِلْعَمَلِ الْمُوْكَلِ بِكَ عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ وَأَتَمِّهَا مِنْ خِلَالِ حُضُورِكَ عَلَى الْوَقْتِ وَعَدَمِ تَغَيُّبِكَ عَنْهُ مِنْ خِلَالِ سَعْيِكَ بِأَنْ يَكُونَ رَاتِبُكَ حَلَالًا وَأَنْ يَكُونَ كَسْبُكَ نَقِيًّا فَمِنْ ثَمَّ تَكُونُ عَابِدًا لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي أَدَاءِ الْعَمَلِ الَّذِي قَدْ عَمِلْتَهُ وَهَكَذَا يَتَمَكَّنُ الْإِنْسَانُ مِنْ قَلْبِ حَيَاتِهِ كُلِّهَا لِتَكُونَ أَعْمَالُهُ كُلُّهَا عِبَادَةً لِلَّهِ تَعَالَى وَالْعَبْدُ يَسْتَشْعِرُ أَنَّ خَلْقَ الْإِنْسَانِ كَانَ مِنْ أَجْلِ عِبَادَةِ اللَّهِ وَمِنْ تِلْكَ الْعِبَادَةِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْأَعْمَالَ الْمُوْكَلَةَ بِهِ قَالَ تَعَالَى وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Pada kesempatan ini, aku ingatkan saudaraku seluruhnya, untuk senantiasa mengharap pahala dan ganjaran akhirat, atas segala pekerjaan yang mereka kerjakan. Wahai engkau pegawai yang bekerja, baik di instansi pemerintah atau di instansi swasta, jadikanlah niatmu dalam bekerja sebagai bentuk upaya meraih ridha Allah dan pahala dari-Nya, melalui pemenuhan tanggung jawab atas kontrak yang telah engkau sepakati, dan melalui pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadamu, dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Dengan cara engkau hadir tepat waktu, dan tidak mangkir (absen) dari tugas. Dengan cara itu, agar gaji yang engkau terima menjadi gaji yang halal, serta agar penghasilanmu bersih dan suci. Dengan niat seperti ini, engkau terhitung beribadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala dalam pekerjaan yang engkau lakukan. Dengan cara inilah, seseorang dapat mengubah seluruh kehidupannya agar semua amal perbuatannya menjadi ibadah kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba pun akan menyadari bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk menyembah Allah. Dan di antara bentuk ibadah itu adalah menunaikan tugas dan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) ==== وَمِنْ هُنَا فَإِنِّي أُنَبِّهُ إِخْوَانِي جَمِيْعًا عَلَى احْتِسَابِ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْأُخْرَوِيِّ فِيمَا يُؤَدُّونَهُ مِنْ أَعْمَالِهِمْ فَأَنْتَ يَا أَيُّهَا الْمُوَظَّفُ الَّذِي تَذْهَبُ لِوَظِيفَتِكَ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي قِطَاعٍ حُكُومِيٍّ أَوْ فِي قِطَاعٍ خَاصٍّ لِيَكُنْ مِنْ شَأْنِكَ أَنْ تَنْوِيَ بِهَذَا الْعَمَلِ أَنْ تَنَالَ رِضَا اللَّهِ وَأَجْرَهُ مِنْ خِلَالِ وَفَائِكَ بِهَذَا الْعَقْدِ وَأَدَائِكَ لِلْعَمَلِ الْمُوْكَلِ بِكَ عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ وَأَتَمِّهَا مِنْ خِلَالِ حُضُورِكَ عَلَى الْوَقْتِ وَعَدَمِ تَغَيُّبِكَ عَنْهُ مِنْ خِلَالِ سَعْيِكَ بِأَنْ يَكُونَ رَاتِبُكَ حَلَالًا وَأَنْ يَكُونَ كَسْبُكَ نَقِيًّا فَمِنْ ثَمَّ تَكُونُ عَابِدًا لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي أَدَاءِ الْعَمَلِ الَّذِي قَدْ عَمِلْتَهُ وَهَكَذَا يَتَمَكَّنُ الْإِنْسَانُ مِنْ قَلْبِ حَيَاتِهِ كُلِّهَا لِتَكُونَ أَعْمَالُهُ كُلُّهَا عِبَادَةً لِلَّهِ تَعَالَى وَالْعَبْدُ يَسْتَشْعِرُ أَنَّ خَلْقَ الْإِنْسَانِ كَانَ مِنْ أَجْلِ عِبَادَةِ اللَّهِ وَمِنْ تِلْكَ الْعِبَادَةِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْأَعْمَالَ الْمُوْكَلَةَ بِهِ قَالَ تَعَالَى وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ


Pada kesempatan ini, aku ingatkan saudaraku seluruhnya, untuk senantiasa mengharap pahala dan ganjaran akhirat, atas segala pekerjaan yang mereka kerjakan. Wahai engkau pegawai yang bekerja, baik di instansi pemerintah atau di instansi swasta, jadikanlah niatmu dalam bekerja sebagai bentuk upaya meraih ridha Allah dan pahala dari-Nya, melalui pemenuhan tanggung jawab atas kontrak yang telah engkau sepakati, dan melalui pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadamu, dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Dengan cara engkau hadir tepat waktu, dan tidak mangkir (absen) dari tugas. Dengan cara itu, agar gaji yang engkau terima menjadi gaji yang halal, serta agar penghasilanmu bersih dan suci. Dengan niat seperti ini, engkau terhitung beribadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala dalam pekerjaan yang engkau lakukan. Dengan cara inilah, seseorang dapat mengubah seluruh kehidupannya agar semua amal perbuatannya menjadi ibadah kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba pun akan menyadari bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk menyembah Allah. Dan di antara bentuk ibadah itu adalah menunaikan tugas dan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) ==== وَمِنْ هُنَا فَإِنِّي أُنَبِّهُ إِخْوَانِي جَمِيْعًا عَلَى احْتِسَابِ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ الْأُخْرَوِيِّ فِيمَا يُؤَدُّونَهُ مِنْ أَعْمَالِهِمْ فَأَنْتَ يَا أَيُّهَا الْمُوَظَّفُ الَّذِي تَذْهَبُ لِوَظِيفَتِكَ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي قِطَاعٍ حُكُومِيٍّ أَوْ فِي قِطَاعٍ خَاصٍّ لِيَكُنْ مِنْ شَأْنِكَ أَنْ تَنْوِيَ بِهَذَا الْعَمَلِ أَنْ تَنَالَ رِضَا اللَّهِ وَأَجْرَهُ مِنْ خِلَالِ وَفَائِكَ بِهَذَا الْعَقْدِ وَأَدَائِكَ لِلْعَمَلِ الْمُوْكَلِ بِكَ عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ وَأَتَمِّهَا مِنْ خِلَالِ حُضُورِكَ عَلَى الْوَقْتِ وَعَدَمِ تَغَيُّبِكَ عَنْهُ مِنْ خِلَالِ سَعْيِكَ بِأَنْ يَكُونَ رَاتِبُكَ حَلَالًا وَأَنْ يَكُونَ كَسْبُكَ نَقِيًّا فَمِنْ ثَمَّ تَكُونُ عَابِدًا لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي أَدَاءِ الْعَمَلِ الَّذِي قَدْ عَمِلْتَهُ وَهَكَذَا يَتَمَكَّنُ الْإِنْسَانُ مِنْ قَلْبِ حَيَاتِهِ كُلِّهَا لِتَكُونَ أَعْمَالُهُ كُلُّهَا عِبَادَةً لِلَّهِ تَعَالَى وَالْعَبْدُ يَسْتَشْعِرُ أَنَّ خَلْقَ الْإِنْسَانِ كَانَ مِنْ أَجْلِ عِبَادَةِ اللَّهِ وَمِنْ تِلْكَ الْعِبَادَةِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْأَعْمَالَ الْمُوْكَلَةَ بِهِ قَالَ تَعَالَى وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Semua Orang Dimudahkan Sesuai dengan Takdirnya

Daftar Isi Toggle Sering maksiat, apakah saya ahli neraka?Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Ada sebuah pertanyaan filosofis yang sering dijadikan argumen penguji tentang otoritas Tuhan, “Kalau kita sudah ditakdirkan masuk neraka, mengapa kita masih disuruh beramal?” Pertanyaan mendasar ini kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebagian hanya karena rasa penasaran dalam perjalanannya berusaha memahami agama. Sebagian lagi juga menjadikannya argumen untuk mengkritisi konsep ketuhanan atau merendahkannya. Untuk menjawab kebingungan ini, Islam mengakomodasinya dengan sebuah konsep dan beberapa argumentasi yang logis dan kritis. Karena ternyata pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi ﷺ. Tentu konteks para sahabat bertanya berbeda dengan sebagian orang yang bertanya demikian, yakni para sahabat bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya. Pertanyaan tersebut termaktub dalam sebuah hadis dari ‘Imran radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟ “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka?” (HR. Bukhari no. 7551) Pertanyaan semisal kemungkinan tidak ditanyakan sekali oleh para sahabat, sebab ada riwayat lain yang memiliki narasi semisal, seperti datang dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Lalu, Rasulullah menjawabnya dengan sebuah kalimat ringkas nan indah, كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ Beliau ﷺ bersabda, “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.” Dari jawaban beliau ﷺ, terdapat argumentasi yang dapat menjawab seutuhnya pertanyaan tersebut. Pertama, kita tidak mengetahui hakikat takdir kita berakhir seperti apa. Tidak ada yang saat ini bisa menjamin posisi akhir kita di akhirat nanti, apakah di surga ataupun di neraka. Kedua, kita hanya diberitahukan tanda-tanda dan kaidah global mengenai hal tersebut. Penghuni surga adalah mereka yang memenuhi syarat ahli surga. Ciri-ciri penghuni surga adalah mereka yang melakukan amalan ahli surga. Informasi ini kita ketahui datangnya dari Sang Penguasa Surga sendiri, yakni Allah ﷻ melalui kitab-Nya dan utusan-Nya. Argumen ini ditegaskan Nabi ﷺ dengan ungkapan, “Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan takdirnya.” Maka, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk “memastikan” takdir kita adalah surga, hanyalah dengan berusaha jujur dan semaksimal mungkin melaksanakan amalan ahli surga. Sering maksiat, apakah saya ahli neraka? Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, “Kok saya merasa sulit melakukan amal kebaikan dan mudah bermaksiat? Apakah ini pertanda saya ahli neraka?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menggunakan keterangan lain dalam Islam yang berbeda sub-bab dari pembahasan sebelumnya. Rasulullah ﷺ memberikan keterangan bahwasanya surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sedangkan neraka dihiasi dengan semua yang memuaskan syahwat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بَالْمَكَارِهِ “Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.” (HR. Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822) Melakukan amal surgawi itu tidaklah mudah karena ia memiliki prasyarat, yakni harus melawan hawa nafsu. Sementara hawa nafsu adalah hal yang sudah terinstal sejak awal dalam jiwa kita. Hawa nafsu dan akal menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Sebagaimana Allah ﷻ menjadikan kecintaan pada urusan dunia sebagai fitrah sekaligus ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14) Jelaslah bahwa melawan kesukaan jiwa itu akan sangat sulit, sebab ia telah terpatri dan kita hidup bertumbuh dengannya. Dan menuruti hawa nafsu adalah biang dari berbagai keburukan. Tidaklah ia mengantarkan kepada keburukan kecuali jika ia terbimbing oleh petunjuk Allah ﷻ Dalam Al-Quran, Allah ﷻ berfirman, إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53) فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Qashshash: 50) Namun, ketahuilah! Sesungguhnya beratnya melawan hawa nafsu adalah jihad atau kesempatan berjuang yang memiliki nilai berharga di sisi Allah ﷻ. Sulitnya perjuangan itu berhikmah menambah nilai pahala yang berbalas kenikmatan dari rahmat Allah ﷻ. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ (40) فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ  “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’at: 40-41) Al-Qur’an menggambarkan perjalanan manusia menuju kesempurnaan sebagai perjuangan. Allah ﷻ berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ “Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Kesempurnaan manusia dicapai melalui perjalanan di lautan hawa nafsu, syahwat, dan tarikan berbagai keinginan. Dalam perjalanannya menuju Allah, manusia melawan hawa nafsunya dengan kehendaknya sendiri. Jika hawa nafsu dihilangkan dari manusia, maka gerakan dan perjuangannya juga akan hilang, sehingga ia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan spiritual, psikologis, maupun intelektual. Maka, mudahnya berbuat maksiat bukanlah pertanda anda ahli neraka. Justru hal itu menjadi peluang bagi kita untuk mencapai surga tertinggi Allah ﷻ. Kesadaran dramatis bahwa diri ini mudah berbuat dosa sebenarnya dapat dijadikan penguat kita untuk semangat bertobat dan memperbanyak amal kebaikan sebagai pengiringnya. Baca juga: Apakah Doa Dapat Mengubah Takdir? Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Bahkan dengan kabar dari Nabi ﷺ demikian, justru para sahabat begitu bersemangat untuk beramal. Dalam sebagian riwayat, setelah mendengar sabda Nabi tersebut, sahabat Nabi Suroqoh bin Ju’syum radhiyallahu ‘anhu menyatakan, فَلَا أَكُونُ أَبَدًا أَشَدَّ اجْتِهَادًا فِي الْعَمَلِ مِنِّي الْآنَ “Tidak pernah aku merasa lebih bersemangat untuk beramal (berbuat kebaikan) dibandingkan hari ini (sejak mendengar sabda nabi tersebut).” (HR. Ibnu Hibban no. 337) Lihatlah teladan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. Mereka tidak berpangku tangan dengan catatan takdir yang sudah digariskan. Akal mereka menghasilkan pandangan yang bijak, hasil dari penalaran kritis terhadap jawaban Nabi ﷺ. Mereka bersemangat mencari sebab prasyarat memasuki surga Allah ﷻ. Perhatikanlah keadaan para sahabat yang sudah dijamin surga bahkan dipastikan langsung oleh lisan Nabi ﷺ. Hingga akhir hayatnya, mereka semua berusaha menjaga iman dan memperbanyak amal saleh. Abu Bakr tetap menyumbangkan seluruh hartanya di jalan Allah ﷻ. Umar tetap mengkhawatirkan dirinya sebagai munafik dan terus memperhatikan imannya. Begitupula dengan sahabat lainnya, mereka tidak jumawa dengan jaminan surga atas diri mereka. Ingatlah! Tiada yang mengetahui takdirnya hingga ia menemui takdir itu sendiri. Ketahuilah! Kesempatan untuk meraih surga tidak tertutup hingga ajal di kerongkongan. Maka, bersegeralah bertobat, agar amal surgawi kian banyak memenuhi catatan amal kita yang penuh dosa maksiat itu. Hingga akhirnya kita mendapatkan panggilan dari Allah ﷻ Al-Halim, يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ () ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً () فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى () وَٱدْخُلِى جَنَّتِى  “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30) Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id

Semua Orang Dimudahkan Sesuai dengan Takdirnya

Daftar Isi Toggle Sering maksiat, apakah saya ahli neraka?Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Ada sebuah pertanyaan filosofis yang sering dijadikan argumen penguji tentang otoritas Tuhan, “Kalau kita sudah ditakdirkan masuk neraka, mengapa kita masih disuruh beramal?” Pertanyaan mendasar ini kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebagian hanya karena rasa penasaran dalam perjalanannya berusaha memahami agama. Sebagian lagi juga menjadikannya argumen untuk mengkritisi konsep ketuhanan atau merendahkannya. Untuk menjawab kebingungan ini, Islam mengakomodasinya dengan sebuah konsep dan beberapa argumentasi yang logis dan kritis. Karena ternyata pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi ﷺ. Tentu konteks para sahabat bertanya berbeda dengan sebagian orang yang bertanya demikian, yakni para sahabat bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya. Pertanyaan tersebut termaktub dalam sebuah hadis dari ‘Imran radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟ “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka?” (HR. Bukhari no. 7551) Pertanyaan semisal kemungkinan tidak ditanyakan sekali oleh para sahabat, sebab ada riwayat lain yang memiliki narasi semisal, seperti datang dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Lalu, Rasulullah menjawabnya dengan sebuah kalimat ringkas nan indah, كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ Beliau ﷺ bersabda, “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.” Dari jawaban beliau ﷺ, terdapat argumentasi yang dapat menjawab seutuhnya pertanyaan tersebut. Pertama, kita tidak mengetahui hakikat takdir kita berakhir seperti apa. Tidak ada yang saat ini bisa menjamin posisi akhir kita di akhirat nanti, apakah di surga ataupun di neraka. Kedua, kita hanya diberitahukan tanda-tanda dan kaidah global mengenai hal tersebut. Penghuni surga adalah mereka yang memenuhi syarat ahli surga. Ciri-ciri penghuni surga adalah mereka yang melakukan amalan ahli surga. Informasi ini kita ketahui datangnya dari Sang Penguasa Surga sendiri, yakni Allah ﷻ melalui kitab-Nya dan utusan-Nya. Argumen ini ditegaskan Nabi ﷺ dengan ungkapan, “Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan takdirnya.” Maka, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk “memastikan” takdir kita adalah surga, hanyalah dengan berusaha jujur dan semaksimal mungkin melaksanakan amalan ahli surga. Sering maksiat, apakah saya ahli neraka? Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, “Kok saya merasa sulit melakukan amal kebaikan dan mudah bermaksiat? Apakah ini pertanda saya ahli neraka?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menggunakan keterangan lain dalam Islam yang berbeda sub-bab dari pembahasan sebelumnya. Rasulullah ﷺ memberikan keterangan bahwasanya surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sedangkan neraka dihiasi dengan semua yang memuaskan syahwat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بَالْمَكَارِهِ “Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.” (HR. Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822) Melakukan amal surgawi itu tidaklah mudah karena ia memiliki prasyarat, yakni harus melawan hawa nafsu. Sementara hawa nafsu adalah hal yang sudah terinstal sejak awal dalam jiwa kita. Hawa nafsu dan akal menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Sebagaimana Allah ﷻ menjadikan kecintaan pada urusan dunia sebagai fitrah sekaligus ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14) Jelaslah bahwa melawan kesukaan jiwa itu akan sangat sulit, sebab ia telah terpatri dan kita hidup bertumbuh dengannya. Dan menuruti hawa nafsu adalah biang dari berbagai keburukan. Tidaklah ia mengantarkan kepada keburukan kecuali jika ia terbimbing oleh petunjuk Allah ﷻ Dalam Al-Quran, Allah ﷻ berfirman, إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53) فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Qashshash: 50) Namun, ketahuilah! Sesungguhnya beratnya melawan hawa nafsu adalah jihad atau kesempatan berjuang yang memiliki nilai berharga di sisi Allah ﷻ. Sulitnya perjuangan itu berhikmah menambah nilai pahala yang berbalas kenikmatan dari rahmat Allah ﷻ. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ (40) فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ  “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’at: 40-41) Al-Qur’an menggambarkan perjalanan manusia menuju kesempurnaan sebagai perjuangan. Allah ﷻ berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ “Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Kesempurnaan manusia dicapai melalui perjalanan di lautan hawa nafsu, syahwat, dan tarikan berbagai keinginan. Dalam perjalanannya menuju Allah, manusia melawan hawa nafsunya dengan kehendaknya sendiri. Jika hawa nafsu dihilangkan dari manusia, maka gerakan dan perjuangannya juga akan hilang, sehingga ia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan spiritual, psikologis, maupun intelektual. Maka, mudahnya berbuat maksiat bukanlah pertanda anda ahli neraka. Justru hal itu menjadi peluang bagi kita untuk mencapai surga tertinggi Allah ﷻ. Kesadaran dramatis bahwa diri ini mudah berbuat dosa sebenarnya dapat dijadikan penguat kita untuk semangat bertobat dan memperbanyak amal kebaikan sebagai pengiringnya. Baca juga: Apakah Doa Dapat Mengubah Takdir? Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Bahkan dengan kabar dari Nabi ﷺ demikian, justru para sahabat begitu bersemangat untuk beramal. Dalam sebagian riwayat, setelah mendengar sabda Nabi tersebut, sahabat Nabi Suroqoh bin Ju’syum radhiyallahu ‘anhu menyatakan, فَلَا أَكُونُ أَبَدًا أَشَدَّ اجْتِهَادًا فِي الْعَمَلِ مِنِّي الْآنَ “Tidak pernah aku merasa lebih bersemangat untuk beramal (berbuat kebaikan) dibandingkan hari ini (sejak mendengar sabda nabi tersebut).” (HR. Ibnu Hibban no. 337) Lihatlah teladan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. Mereka tidak berpangku tangan dengan catatan takdir yang sudah digariskan. Akal mereka menghasilkan pandangan yang bijak, hasil dari penalaran kritis terhadap jawaban Nabi ﷺ. Mereka bersemangat mencari sebab prasyarat memasuki surga Allah ﷻ. Perhatikanlah keadaan para sahabat yang sudah dijamin surga bahkan dipastikan langsung oleh lisan Nabi ﷺ. Hingga akhir hayatnya, mereka semua berusaha menjaga iman dan memperbanyak amal saleh. Abu Bakr tetap menyumbangkan seluruh hartanya di jalan Allah ﷻ. Umar tetap mengkhawatirkan dirinya sebagai munafik dan terus memperhatikan imannya. Begitupula dengan sahabat lainnya, mereka tidak jumawa dengan jaminan surga atas diri mereka. Ingatlah! Tiada yang mengetahui takdirnya hingga ia menemui takdir itu sendiri. Ketahuilah! Kesempatan untuk meraih surga tidak tertutup hingga ajal di kerongkongan. Maka, bersegeralah bertobat, agar amal surgawi kian banyak memenuhi catatan amal kita yang penuh dosa maksiat itu. Hingga akhirnya kita mendapatkan panggilan dari Allah ﷻ Al-Halim, يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ () ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً () فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى () وَٱدْخُلِى جَنَّتِى  “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30) Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Sering maksiat, apakah saya ahli neraka?Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Ada sebuah pertanyaan filosofis yang sering dijadikan argumen penguji tentang otoritas Tuhan, “Kalau kita sudah ditakdirkan masuk neraka, mengapa kita masih disuruh beramal?” Pertanyaan mendasar ini kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebagian hanya karena rasa penasaran dalam perjalanannya berusaha memahami agama. Sebagian lagi juga menjadikannya argumen untuk mengkritisi konsep ketuhanan atau merendahkannya. Untuk menjawab kebingungan ini, Islam mengakomodasinya dengan sebuah konsep dan beberapa argumentasi yang logis dan kritis. Karena ternyata pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi ﷺ. Tentu konteks para sahabat bertanya berbeda dengan sebagian orang yang bertanya demikian, yakni para sahabat bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya. Pertanyaan tersebut termaktub dalam sebuah hadis dari ‘Imran radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟ “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka?” (HR. Bukhari no. 7551) Pertanyaan semisal kemungkinan tidak ditanyakan sekali oleh para sahabat, sebab ada riwayat lain yang memiliki narasi semisal, seperti datang dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Lalu, Rasulullah menjawabnya dengan sebuah kalimat ringkas nan indah, كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ Beliau ﷺ bersabda, “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.” Dari jawaban beliau ﷺ, terdapat argumentasi yang dapat menjawab seutuhnya pertanyaan tersebut. Pertama, kita tidak mengetahui hakikat takdir kita berakhir seperti apa. Tidak ada yang saat ini bisa menjamin posisi akhir kita di akhirat nanti, apakah di surga ataupun di neraka. Kedua, kita hanya diberitahukan tanda-tanda dan kaidah global mengenai hal tersebut. Penghuni surga adalah mereka yang memenuhi syarat ahli surga. Ciri-ciri penghuni surga adalah mereka yang melakukan amalan ahli surga. Informasi ini kita ketahui datangnya dari Sang Penguasa Surga sendiri, yakni Allah ﷻ melalui kitab-Nya dan utusan-Nya. Argumen ini ditegaskan Nabi ﷺ dengan ungkapan, “Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan takdirnya.” Maka, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk “memastikan” takdir kita adalah surga, hanyalah dengan berusaha jujur dan semaksimal mungkin melaksanakan amalan ahli surga. Sering maksiat, apakah saya ahli neraka? Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, “Kok saya merasa sulit melakukan amal kebaikan dan mudah bermaksiat? Apakah ini pertanda saya ahli neraka?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menggunakan keterangan lain dalam Islam yang berbeda sub-bab dari pembahasan sebelumnya. Rasulullah ﷺ memberikan keterangan bahwasanya surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sedangkan neraka dihiasi dengan semua yang memuaskan syahwat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بَالْمَكَارِهِ “Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.” (HR. Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822) Melakukan amal surgawi itu tidaklah mudah karena ia memiliki prasyarat, yakni harus melawan hawa nafsu. Sementara hawa nafsu adalah hal yang sudah terinstal sejak awal dalam jiwa kita. Hawa nafsu dan akal menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Sebagaimana Allah ﷻ menjadikan kecintaan pada urusan dunia sebagai fitrah sekaligus ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14) Jelaslah bahwa melawan kesukaan jiwa itu akan sangat sulit, sebab ia telah terpatri dan kita hidup bertumbuh dengannya. Dan menuruti hawa nafsu adalah biang dari berbagai keburukan. Tidaklah ia mengantarkan kepada keburukan kecuali jika ia terbimbing oleh petunjuk Allah ﷻ Dalam Al-Quran, Allah ﷻ berfirman, إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53) فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Qashshash: 50) Namun, ketahuilah! Sesungguhnya beratnya melawan hawa nafsu adalah jihad atau kesempatan berjuang yang memiliki nilai berharga di sisi Allah ﷻ. Sulitnya perjuangan itu berhikmah menambah nilai pahala yang berbalas kenikmatan dari rahmat Allah ﷻ. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ (40) فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ  “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’at: 40-41) Al-Qur’an menggambarkan perjalanan manusia menuju kesempurnaan sebagai perjuangan. Allah ﷻ berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ “Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Kesempurnaan manusia dicapai melalui perjalanan di lautan hawa nafsu, syahwat, dan tarikan berbagai keinginan. Dalam perjalanannya menuju Allah, manusia melawan hawa nafsunya dengan kehendaknya sendiri. Jika hawa nafsu dihilangkan dari manusia, maka gerakan dan perjuangannya juga akan hilang, sehingga ia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan spiritual, psikologis, maupun intelektual. Maka, mudahnya berbuat maksiat bukanlah pertanda anda ahli neraka. Justru hal itu menjadi peluang bagi kita untuk mencapai surga tertinggi Allah ﷻ. Kesadaran dramatis bahwa diri ini mudah berbuat dosa sebenarnya dapat dijadikan penguat kita untuk semangat bertobat dan memperbanyak amal kebaikan sebagai pengiringnya. Baca juga: Apakah Doa Dapat Mengubah Takdir? Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Bahkan dengan kabar dari Nabi ﷺ demikian, justru para sahabat begitu bersemangat untuk beramal. Dalam sebagian riwayat, setelah mendengar sabda Nabi tersebut, sahabat Nabi Suroqoh bin Ju’syum radhiyallahu ‘anhu menyatakan, فَلَا أَكُونُ أَبَدًا أَشَدَّ اجْتِهَادًا فِي الْعَمَلِ مِنِّي الْآنَ “Tidak pernah aku merasa lebih bersemangat untuk beramal (berbuat kebaikan) dibandingkan hari ini (sejak mendengar sabda nabi tersebut).” (HR. Ibnu Hibban no. 337) Lihatlah teladan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. Mereka tidak berpangku tangan dengan catatan takdir yang sudah digariskan. Akal mereka menghasilkan pandangan yang bijak, hasil dari penalaran kritis terhadap jawaban Nabi ﷺ. Mereka bersemangat mencari sebab prasyarat memasuki surga Allah ﷻ. Perhatikanlah keadaan para sahabat yang sudah dijamin surga bahkan dipastikan langsung oleh lisan Nabi ﷺ. Hingga akhir hayatnya, mereka semua berusaha menjaga iman dan memperbanyak amal saleh. Abu Bakr tetap menyumbangkan seluruh hartanya di jalan Allah ﷻ. Umar tetap mengkhawatirkan dirinya sebagai munafik dan terus memperhatikan imannya. Begitupula dengan sahabat lainnya, mereka tidak jumawa dengan jaminan surga atas diri mereka. Ingatlah! Tiada yang mengetahui takdirnya hingga ia menemui takdir itu sendiri. Ketahuilah! Kesempatan untuk meraih surga tidak tertutup hingga ajal di kerongkongan. Maka, bersegeralah bertobat, agar amal surgawi kian banyak memenuhi catatan amal kita yang penuh dosa maksiat itu. Hingga akhirnya kita mendapatkan panggilan dari Allah ﷻ Al-Halim, يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ () ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً () فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى () وَٱدْخُلِى جَنَّتِى  “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30) Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Sering maksiat, apakah saya ahli neraka?Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Ada sebuah pertanyaan filosofis yang sering dijadikan argumen penguji tentang otoritas Tuhan, “Kalau kita sudah ditakdirkan masuk neraka, mengapa kita masih disuruh beramal?” Pertanyaan mendasar ini kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebagian hanya karena rasa penasaran dalam perjalanannya berusaha memahami agama. Sebagian lagi juga menjadikannya argumen untuk mengkritisi konsep ketuhanan atau merendahkannya. Untuk menjawab kebingungan ini, Islam mengakomodasinya dengan sebuah konsep dan beberapa argumentasi yang logis dan kritis. Karena ternyata pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi ﷺ. Tentu konteks para sahabat bertanya berbeda dengan sebagian orang yang bertanya demikian, yakni para sahabat bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya. Pertanyaan tersebut termaktub dalam sebuah hadis dari ‘Imran radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟ “Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka?” (HR. Bukhari no. 7551) Pertanyaan semisal kemungkinan tidak ditanyakan sekali oleh para sahabat, sebab ada riwayat lain yang memiliki narasi semisal, seperti datang dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Lalu, Rasulullah menjawabnya dengan sebuah kalimat ringkas nan indah, كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ Beliau ﷺ bersabda, “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.” Dari jawaban beliau ﷺ, terdapat argumentasi yang dapat menjawab seutuhnya pertanyaan tersebut. Pertama, kita tidak mengetahui hakikat takdir kita berakhir seperti apa. Tidak ada yang saat ini bisa menjamin posisi akhir kita di akhirat nanti, apakah di surga ataupun di neraka. Kedua, kita hanya diberitahukan tanda-tanda dan kaidah global mengenai hal tersebut. Penghuni surga adalah mereka yang memenuhi syarat ahli surga. Ciri-ciri penghuni surga adalah mereka yang melakukan amalan ahli surga. Informasi ini kita ketahui datangnya dari Sang Penguasa Surga sendiri, yakni Allah ﷻ melalui kitab-Nya dan utusan-Nya. Argumen ini ditegaskan Nabi ﷺ dengan ungkapan, “Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan takdirnya.” Maka, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk “memastikan” takdir kita adalah surga, hanyalah dengan berusaha jujur dan semaksimal mungkin melaksanakan amalan ahli surga. Sering maksiat, apakah saya ahli neraka? Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, “Kok saya merasa sulit melakukan amal kebaikan dan mudah bermaksiat? Apakah ini pertanda saya ahli neraka?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menggunakan keterangan lain dalam Islam yang berbeda sub-bab dari pembahasan sebelumnya. Rasulullah ﷺ memberikan keterangan bahwasanya surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sedangkan neraka dihiasi dengan semua yang memuaskan syahwat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بَالْمَكَارِهِ “Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.” (HR. Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822) Melakukan amal surgawi itu tidaklah mudah karena ia memiliki prasyarat, yakni harus melawan hawa nafsu. Sementara hawa nafsu adalah hal yang sudah terinstal sejak awal dalam jiwa kita. Hawa nafsu dan akal menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Sebagaimana Allah ﷻ menjadikan kecintaan pada urusan dunia sebagai fitrah sekaligus ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14) Jelaslah bahwa melawan kesukaan jiwa itu akan sangat sulit, sebab ia telah terpatri dan kita hidup bertumbuh dengannya. Dan menuruti hawa nafsu adalah biang dari berbagai keburukan. Tidaklah ia mengantarkan kepada keburukan kecuali jika ia terbimbing oleh petunjuk Allah ﷻ Dalam Al-Quran, Allah ﷻ berfirman, إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53) فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Qashshash: 50) Namun, ketahuilah! Sesungguhnya beratnya melawan hawa nafsu adalah jihad atau kesempatan berjuang yang memiliki nilai berharga di sisi Allah ﷻ. Sulitnya perjuangan itu berhikmah menambah nilai pahala yang berbalas kenikmatan dari rahmat Allah ﷻ. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ (40) فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ  “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’at: 40-41) Al-Qur’an menggambarkan perjalanan manusia menuju kesempurnaan sebagai perjuangan. Allah ﷻ berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ “Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) Kesempurnaan manusia dicapai melalui perjalanan di lautan hawa nafsu, syahwat, dan tarikan berbagai keinginan. Dalam perjalanannya menuju Allah, manusia melawan hawa nafsunya dengan kehendaknya sendiri. Jika hawa nafsu dihilangkan dari manusia, maka gerakan dan perjuangannya juga akan hilang, sehingga ia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan spiritual, psikologis, maupun intelektual. Maka, mudahnya berbuat maksiat bukanlah pertanda anda ahli neraka. Justru hal itu menjadi peluang bagi kita untuk mencapai surga tertinggi Allah ﷻ. Kesadaran dramatis bahwa diri ini mudah berbuat dosa sebenarnya dapat dijadikan penguat kita untuk semangat bertobat dan memperbanyak amal kebaikan sebagai pengiringnya. Baca juga: Apakah Doa Dapat Mengubah Takdir? Teladan sahabat Nabi ﷺ dalam menyikapi hadis takdir Bahkan dengan kabar dari Nabi ﷺ demikian, justru para sahabat begitu bersemangat untuk beramal. Dalam sebagian riwayat, setelah mendengar sabda Nabi tersebut, sahabat Nabi Suroqoh bin Ju’syum radhiyallahu ‘anhu menyatakan, فَلَا أَكُونُ أَبَدًا أَشَدَّ اجْتِهَادًا فِي الْعَمَلِ مِنِّي الْآنَ “Tidak pernah aku merasa lebih bersemangat untuk beramal (berbuat kebaikan) dibandingkan hari ini (sejak mendengar sabda nabi tersebut).” (HR. Ibnu Hibban no. 337) Lihatlah teladan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. Mereka tidak berpangku tangan dengan catatan takdir yang sudah digariskan. Akal mereka menghasilkan pandangan yang bijak, hasil dari penalaran kritis terhadap jawaban Nabi ﷺ. Mereka bersemangat mencari sebab prasyarat memasuki surga Allah ﷻ. Perhatikanlah keadaan para sahabat yang sudah dijamin surga bahkan dipastikan langsung oleh lisan Nabi ﷺ. Hingga akhir hayatnya, mereka semua berusaha menjaga iman dan memperbanyak amal saleh. Abu Bakr tetap menyumbangkan seluruh hartanya di jalan Allah ﷻ. Umar tetap mengkhawatirkan dirinya sebagai munafik dan terus memperhatikan imannya. Begitupula dengan sahabat lainnya, mereka tidak jumawa dengan jaminan surga atas diri mereka. Ingatlah! Tiada yang mengetahui takdirnya hingga ia menemui takdir itu sendiri. Ketahuilah! Kesempatan untuk meraih surga tidak tertutup hingga ajal di kerongkongan. Maka, bersegeralah bertobat, agar amal surgawi kian banyak memenuhi catatan amal kita yang penuh dosa maksiat itu. Hingga akhirnya kita mendapatkan panggilan dari Allah ﷻ Al-Halim, يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ () ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً () فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى () وَٱدْخُلِى جَنَّتِى  “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30) Baca juga: Jangan Bersedih dan Putus Asa karena Takdir Allah Pasti yang Terbaik *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel Muslim.or.id

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 12)

Daftar Isi Toggle Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umumKeadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknyaKeadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Dalam sewa menyewa jasa secara umum, tentunya ada hal-hal yang sifatnya berisiko, seperti rusak, hilang, hancur, dan lain sebagainya. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jaminan atau ganti rugi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak. Apakah ganti rugi hanya ada di penyedia jasa? Apakah penyedia jasa wajib untuk mengganti rugi segala kerusakan? Bagaimana jika penyedia jasa tidak mau ganti rugi? Berangkat dari pertanyaan inilah pembahasan ini dituliskan. Mengingat pembahasan ini dibahas oleh para ulama di kitab-kitab mereka, karena tentunya problem seperti ini banyak terjadi di tengah masyarakat muslim. Tulisan ini menjadi penutup dari serial fikih transaksi sewa menyewa. Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umum Pada poin ini terdapat beberapa keadaan yang perlu diketahui. Di antaranya, Keadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknya Hal ini sebagaimana yang datang dari sebagian sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhuma. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari ‘Umar radiyallahu ‘anhu, ضَمَّنَ الصُّنَاعَ الذِيْنَ اِنْتَصَبُوا لِلنَّاسِ فِي أّعْمَالِهِمْ مَا أَهْلَكُوْا فِي أَيْدِيْهِمْ “Para pekerja (penyedia jasa) yang bekerja untuk masyarakat (secara umum) dalam pekerjaan mereka harus bertanggung jawab atas segala kesalahan dan kerusakan yang mungkin terjadi akibat pekerjaan mereka.”  Dari atsar di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa penyedia jasa atau pekerja wajib mengganti rugi barang yang rusak akibat pekerjaan mereka. Artinya, hal ini secara mutlak, baik secara sengaja atau tidak. Alasannya, dikarenakan yang menjadi patokan dalam sewa menyewa jasa secara umum adalah selesainya pekerjaan. Jika pekerjaan tidak selesai disebabkan kesalahan dari pekerjanya, maka wajib bagi pekerja untuk menggantinya. Contoh: Tukang jahit, seseorang datang kepadanya membawa kain dengan tujuan untuk dibuatkan baju dalam waktu sepekan. Setelah sepekan berlalu, yang jadi bukanlah baju, namun celana. Kesalahan ini tentunya ada pada pihak pekerja atau penyedia jasa. Apakah harus ganti rugi? Jawabnya, iya. Walaupun ia mengatakan lupa, tertukar, dan lain sebagainya, tetaplah kewajiban ganti rugi tidak gugur darinya, ia tetap harus ganti rugi. Jika pihak penyedia jasa enggan untuk ganti rugi, tentunya ia berdosa. Jika penyedia jasa ganti rugi, kemudian mengerjakan ulang lagi dengan menjahit bajunya. Apakah ia berhak untuk mendapat upah tambahan? Jawabnya, tidak. Karena kesalahan terjadi dari pihak penyedia jasa. Dan contoh-contoh lainnya, seperti pembuat makanan yang ternyata hasil makanannya gosong, koki yang merusak peralatan dapur, penyedia jasa seperti porter yang membawa barang-barang penumpang ternyata barangnya terjatuh karena ia terpeleset, dan lain sebagainya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib untuk ganti rugi secara mutlak, walaupun tidak ada kesengajaan sama sekali. Pendapat ini diselisihi oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, وَلَكِنَّ الصَّحِيْحَ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ مُطْلَقاً إِذَا لَمْ يَتَعَد أَوْ يفرط “Yang lebih tepat adalah tidak ada ganti rugi secara mutlak, terlebih ia tidak sengaja dan merusak.” (Syarhul Mumti’, 10: 38) Sehingga dari pendapat ini, tidak ada ganti rugi jika ada kesalahan atau kerusakan selama tidak ada unsur kesengajaan. Keadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Ketika ada barang yang sedang dikerjakan oleh penyedia jasa, semisal bahan yang diberikan oleh pengguna jasanya, dan penyedia jasa telah meletakkan barang tersebut di tempat yang tersimpan atau terjaga (tidak diketahui oleh orang lain, kemudian barang tersebut dicuri, maka penyedia jasa tidak memiliki kewajiban ganti rugi atas hal tersebut. Sama halnya jika ada suatu bahan atau barang yang sifatnya mudah rusak, kemudian barang tersebut rusak secara natural, maka penyedia jasa tidak dituntut ganti rugi. Seperti halnya juga jika toko terbakar dengan sendirinya tanpa kesengajaan dari penyedia jasa. Contoh: Penjahit telah menjaga baju yang dijahitnya untuk pengguna jasa dengan sebaik mungkin. Ditaruh di dalam rumahnya dan dikunci rapat. Pada malam hari, ternyata bajunya di ambil oleh pencuri. Maka penyedia jasa tidak wajib mengganti, karena hal ini terjadi bukan disebabkan oleh kesengajaannya. Tersisa satu masalah pada keadaan ini, yaitu apakah penyedia jasa tetap mendapatkan upah walaupun hasil tidak jadi dan ia tidak menggantinya? Pada masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Para ulama dari madzhab Hanbali mengatakan bahwa dia tidak berhak mendapatkan upah. Karena penyedia jasa belum menyelesaikan pekerjaan dan jasanya. Sehingga ia tidak berhak untuk mendapatkan upah. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (10: 85) mengatakan, والصحيح أن له الأجرة؛ لأنه وفى بما استؤجر عليه، وما دام لا يضمن لك الثوب فإنه لا يضمن لك العمل في الثوب؛ لأننا إذا قلنا: ليس له أجرة، فمعناه أننا ضمَّنَّاه العمل في الثوب وذهب عليه خسارة، ولأنه غير متعدٍّ ولا مفرط وقد قام بالعمل الذي عليه، وتلف الثوب ـ مثلاً ـ على حساب صاحبه ـ المالك ـ، أما الأجير، فقد أدى ما عليه، فكيف نقول: لا أجرة له؟ “Yang tepat, penyedia jasa tetap berhak mendapatkan upah. Karena ia telah menunaikan dan mengerjakan sesuai dengan penyewaan jasanya. Selama dia tidak harus bertanggung jawab atas kerusakan pakaian, maka ia pun tidak bertanggung jawab atas terhenti pekerjaannya (jika terhenti di luar batas kemampuannya). Jika kita mengatakan bahwa dia tidak berhak atas upah, itu berarti kita menuntutnya untuk bertanggung jawab atas pekerjaan pada pakaian dan kerugiannya. Padahal, dia tidak melakukan kelalaian atau kesalahan dan telah melaksanakan pekerjaannya dengan benar. Oleh karena itu, kerusakan pada pakaian -misalnya- menjadi tanggung jawab pemiliknya. Adapun pekerja (penyedia jasa), dia telah melakukan tugasnya, jadi bagaimana kita bisa mengatakan dia tidak berhak atas upahnya?” Sehingga jika kita mengatakan penyedia jasa harus tetap ganti rugi jika terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya dan bukan kesalahannya, tentu tidak adil dalam akad ini. Oleh karena itu, pendapat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah adalah pendapat yang tepat dalam hal ini. Inilah di antara keadaan-keadaan ganti rugi penyedia jasa dalam transaksi sewa menyewa jasa secara umum. Dan dengan ini, kami menutup tulisan tentang pembahasan fikih ijarah (transaksi sewa menyewa). Semoga tulisan kami bermanfaat bagi diri kami pribadi dan keluarga dan untuk kaum muslimin secara umum. Alhamdulillah Alladzi Bini’matihi Tatimmus Shaalihat … Wallahu’alam. [Selesai] Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 20 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Syarhul Mumti’ karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 12)

Daftar Isi Toggle Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umumKeadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknyaKeadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Dalam sewa menyewa jasa secara umum, tentunya ada hal-hal yang sifatnya berisiko, seperti rusak, hilang, hancur, dan lain sebagainya. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jaminan atau ganti rugi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak. Apakah ganti rugi hanya ada di penyedia jasa? Apakah penyedia jasa wajib untuk mengganti rugi segala kerusakan? Bagaimana jika penyedia jasa tidak mau ganti rugi? Berangkat dari pertanyaan inilah pembahasan ini dituliskan. Mengingat pembahasan ini dibahas oleh para ulama di kitab-kitab mereka, karena tentunya problem seperti ini banyak terjadi di tengah masyarakat muslim. Tulisan ini menjadi penutup dari serial fikih transaksi sewa menyewa. Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umum Pada poin ini terdapat beberapa keadaan yang perlu diketahui. Di antaranya, Keadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknya Hal ini sebagaimana yang datang dari sebagian sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhuma. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari ‘Umar radiyallahu ‘anhu, ضَمَّنَ الصُّنَاعَ الذِيْنَ اِنْتَصَبُوا لِلنَّاسِ فِي أّعْمَالِهِمْ مَا أَهْلَكُوْا فِي أَيْدِيْهِمْ “Para pekerja (penyedia jasa) yang bekerja untuk masyarakat (secara umum) dalam pekerjaan mereka harus bertanggung jawab atas segala kesalahan dan kerusakan yang mungkin terjadi akibat pekerjaan mereka.”  Dari atsar di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa penyedia jasa atau pekerja wajib mengganti rugi barang yang rusak akibat pekerjaan mereka. Artinya, hal ini secara mutlak, baik secara sengaja atau tidak. Alasannya, dikarenakan yang menjadi patokan dalam sewa menyewa jasa secara umum adalah selesainya pekerjaan. Jika pekerjaan tidak selesai disebabkan kesalahan dari pekerjanya, maka wajib bagi pekerja untuk menggantinya. Contoh: Tukang jahit, seseorang datang kepadanya membawa kain dengan tujuan untuk dibuatkan baju dalam waktu sepekan. Setelah sepekan berlalu, yang jadi bukanlah baju, namun celana. Kesalahan ini tentunya ada pada pihak pekerja atau penyedia jasa. Apakah harus ganti rugi? Jawabnya, iya. Walaupun ia mengatakan lupa, tertukar, dan lain sebagainya, tetaplah kewajiban ganti rugi tidak gugur darinya, ia tetap harus ganti rugi. Jika pihak penyedia jasa enggan untuk ganti rugi, tentunya ia berdosa. Jika penyedia jasa ganti rugi, kemudian mengerjakan ulang lagi dengan menjahit bajunya. Apakah ia berhak untuk mendapat upah tambahan? Jawabnya, tidak. Karena kesalahan terjadi dari pihak penyedia jasa. Dan contoh-contoh lainnya, seperti pembuat makanan yang ternyata hasil makanannya gosong, koki yang merusak peralatan dapur, penyedia jasa seperti porter yang membawa barang-barang penumpang ternyata barangnya terjatuh karena ia terpeleset, dan lain sebagainya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib untuk ganti rugi secara mutlak, walaupun tidak ada kesengajaan sama sekali. Pendapat ini diselisihi oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, وَلَكِنَّ الصَّحِيْحَ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ مُطْلَقاً إِذَا لَمْ يَتَعَد أَوْ يفرط “Yang lebih tepat adalah tidak ada ganti rugi secara mutlak, terlebih ia tidak sengaja dan merusak.” (Syarhul Mumti’, 10: 38) Sehingga dari pendapat ini, tidak ada ganti rugi jika ada kesalahan atau kerusakan selama tidak ada unsur kesengajaan. Keadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Ketika ada barang yang sedang dikerjakan oleh penyedia jasa, semisal bahan yang diberikan oleh pengguna jasanya, dan penyedia jasa telah meletakkan barang tersebut di tempat yang tersimpan atau terjaga (tidak diketahui oleh orang lain, kemudian barang tersebut dicuri, maka penyedia jasa tidak memiliki kewajiban ganti rugi atas hal tersebut. Sama halnya jika ada suatu bahan atau barang yang sifatnya mudah rusak, kemudian barang tersebut rusak secara natural, maka penyedia jasa tidak dituntut ganti rugi. Seperti halnya juga jika toko terbakar dengan sendirinya tanpa kesengajaan dari penyedia jasa. Contoh: Penjahit telah menjaga baju yang dijahitnya untuk pengguna jasa dengan sebaik mungkin. Ditaruh di dalam rumahnya dan dikunci rapat. Pada malam hari, ternyata bajunya di ambil oleh pencuri. Maka penyedia jasa tidak wajib mengganti, karena hal ini terjadi bukan disebabkan oleh kesengajaannya. Tersisa satu masalah pada keadaan ini, yaitu apakah penyedia jasa tetap mendapatkan upah walaupun hasil tidak jadi dan ia tidak menggantinya? Pada masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Para ulama dari madzhab Hanbali mengatakan bahwa dia tidak berhak mendapatkan upah. Karena penyedia jasa belum menyelesaikan pekerjaan dan jasanya. Sehingga ia tidak berhak untuk mendapatkan upah. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (10: 85) mengatakan, والصحيح أن له الأجرة؛ لأنه وفى بما استؤجر عليه، وما دام لا يضمن لك الثوب فإنه لا يضمن لك العمل في الثوب؛ لأننا إذا قلنا: ليس له أجرة، فمعناه أننا ضمَّنَّاه العمل في الثوب وذهب عليه خسارة، ولأنه غير متعدٍّ ولا مفرط وقد قام بالعمل الذي عليه، وتلف الثوب ـ مثلاً ـ على حساب صاحبه ـ المالك ـ، أما الأجير، فقد أدى ما عليه، فكيف نقول: لا أجرة له؟ “Yang tepat, penyedia jasa tetap berhak mendapatkan upah. Karena ia telah menunaikan dan mengerjakan sesuai dengan penyewaan jasanya. Selama dia tidak harus bertanggung jawab atas kerusakan pakaian, maka ia pun tidak bertanggung jawab atas terhenti pekerjaannya (jika terhenti di luar batas kemampuannya). Jika kita mengatakan bahwa dia tidak berhak atas upah, itu berarti kita menuntutnya untuk bertanggung jawab atas pekerjaan pada pakaian dan kerugiannya. Padahal, dia tidak melakukan kelalaian atau kesalahan dan telah melaksanakan pekerjaannya dengan benar. Oleh karena itu, kerusakan pada pakaian -misalnya- menjadi tanggung jawab pemiliknya. Adapun pekerja (penyedia jasa), dia telah melakukan tugasnya, jadi bagaimana kita bisa mengatakan dia tidak berhak atas upahnya?” Sehingga jika kita mengatakan penyedia jasa harus tetap ganti rugi jika terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya dan bukan kesalahannya, tentu tidak adil dalam akad ini. Oleh karena itu, pendapat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah adalah pendapat yang tepat dalam hal ini. Inilah di antara keadaan-keadaan ganti rugi penyedia jasa dalam transaksi sewa menyewa jasa secara umum. Dan dengan ini, kami menutup tulisan tentang pembahasan fikih ijarah (transaksi sewa menyewa). Semoga tulisan kami bermanfaat bagi diri kami pribadi dan keluarga dan untuk kaum muslimin secara umum. Alhamdulillah Alladzi Bini’matihi Tatimmus Shaalihat … Wallahu’alam. [Selesai] Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 20 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Syarhul Mumti’ karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.
Daftar Isi Toggle Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umumKeadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknyaKeadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Dalam sewa menyewa jasa secara umum, tentunya ada hal-hal yang sifatnya berisiko, seperti rusak, hilang, hancur, dan lain sebagainya. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jaminan atau ganti rugi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak. Apakah ganti rugi hanya ada di penyedia jasa? Apakah penyedia jasa wajib untuk mengganti rugi segala kerusakan? Bagaimana jika penyedia jasa tidak mau ganti rugi? Berangkat dari pertanyaan inilah pembahasan ini dituliskan. Mengingat pembahasan ini dibahas oleh para ulama di kitab-kitab mereka, karena tentunya problem seperti ini banyak terjadi di tengah masyarakat muslim. Tulisan ini menjadi penutup dari serial fikih transaksi sewa menyewa. Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umum Pada poin ini terdapat beberapa keadaan yang perlu diketahui. Di antaranya, Keadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknya Hal ini sebagaimana yang datang dari sebagian sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhuma. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari ‘Umar radiyallahu ‘anhu, ضَمَّنَ الصُّنَاعَ الذِيْنَ اِنْتَصَبُوا لِلنَّاسِ فِي أّعْمَالِهِمْ مَا أَهْلَكُوْا فِي أَيْدِيْهِمْ “Para pekerja (penyedia jasa) yang bekerja untuk masyarakat (secara umum) dalam pekerjaan mereka harus bertanggung jawab atas segala kesalahan dan kerusakan yang mungkin terjadi akibat pekerjaan mereka.”  Dari atsar di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa penyedia jasa atau pekerja wajib mengganti rugi barang yang rusak akibat pekerjaan mereka. Artinya, hal ini secara mutlak, baik secara sengaja atau tidak. Alasannya, dikarenakan yang menjadi patokan dalam sewa menyewa jasa secara umum adalah selesainya pekerjaan. Jika pekerjaan tidak selesai disebabkan kesalahan dari pekerjanya, maka wajib bagi pekerja untuk menggantinya. Contoh: Tukang jahit, seseorang datang kepadanya membawa kain dengan tujuan untuk dibuatkan baju dalam waktu sepekan. Setelah sepekan berlalu, yang jadi bukanlah baju, namun celana. Kesalahan ini tentunya ada pada pihak pekerja atau penyedia jasa. Apakah harus ganti rugi? Jawabnya, iya. Walaupun ia mengatakan lupa, tertukar, dan lain sebagainya, tetaplah kewajiban ganti rugi tidak gugur darinya, ia tetap harus ganti rugi. Jika pihak penyedia jasa enggan untuk ganti rugi, tentunya ia berdosa. Jika penyedia jasa ganti rugi, kemudian mengerjakan ulang lagi dengan menjahit bajunya. Apakah ia berhak untuk mendapat upah tambahan? Jawabnya, tidak. Karena kesalahan terjadi dari pihak penyedia jasa. Dan contoh-contoh lainnya, seperti pembuat makanan yang ternyata hasil makanannya gosong, koki yang merusak peralatan dapur, penyedia jasa seperti porter yang membawa barang-barang penumpang ternyata barangnya terjatuh karena ia terpeleset, dan lain sebagainya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib untuk ganti rugi secara mutlak, walaupun tidak ada kesengajaan sama sekali. Pendapat ini diselisihi oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, وَلَكِنَّ الصَّحِيْحَ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ مُطْلَقاً إِذَا لَمْ يَتَعَد أَوْ يفرط “Yang lebih tepat adalah tidak ada ganti rugi secara mutlak, terlebih ia tidak sengaja dan merusak.” (Syarhul Mumti’, 10: 38) Sehingga dari pendapat ini, tidak ada ganti rugi jika ada kesalahan atau kerusakan selama tidak ada unsur kesengajaan. Keadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Ketika ada barang yang sedang dikerjakan oleh penyedia jasa, semisal bahan yang diberikan oleh pengguna jasanya, dan penyedia jasa telah meletakkan barang tersebut di tempat yang tersimpan atau terjaga (tidak diketahui oleh orang lain, kemudian barang tersebut dicuri, maka penyedia jasa tidak memiliki kewajiban ganti rugi atas hal tersebut. Sama halnya jika ada suatu bahan atau barang yang sifatnya mudah rusak, kemudian barang tersebut rusak secara natural, maka penyedia jasa tidak dituntut ganti rugi. Seperti halnya juga jika toko terbakar dengan sendirinya tanpa kesengajaan dari penyedia jasa. Contoh: Penjahit telah menjaga baju yang dijahitnya untuk pengguna jasa dengan sebaik mungkin. Ditaruh di dalam rumahnya dan dikunci rapat. Pada malam hari, ternyata bajunya di ambil oleh pencuri. Maka penyedia jasa tidak wajib mengganti, karena hal ini terjadi bukan disebabkan oleh kesengajaannya. Tersisa satu masalah pada keadaan ini, yaitu apakah penyedia jasa tetap mendapatkan upah walaupun hasil tidak jadi dan ia tidak menggantinya? Pada masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Para ulama dari madzhab Hanbali mengatakan bahwa dia tidak berhak mendapatkan upah. Karena penyedia jasa belum menyelesaikan pekerjaan dan jasanya. Sehingga ia tidak berhak untuk mendapatkan upah. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (10: 85) mengatakan, والصحيح أن له الأجرة؛ لأنه وفى بما استؤجر عليه، وما دام لا يضمن لك الثوب فإنه لا يضمن لك العمل في الثوب؛ لأننا إذا قلنا: ليس له أجرة، فمعناه أننا ضمَّنَّاه العمل في الثوب وذهب عليه خسارة، ولأنه غير متعدٍّ ولا مفرط وقد قام بالعمل الذي عليه، وتلف الثوب ـ مثلاً ـ على حساب صاحبه ـ المالك ـ، أما الأجير، فقد أدى ما عليه، فكيف نقول: لا أجرة له؟ “Yang tepat, penyedia jasa tetap berhak mendapatkan upah. Karena ia telah menunaikan dan mengerjakan sesuai dengan penyewaan jasanya. Selama dia tidak harus bertanggung jawab atas kerusakan pakaian, maka ia pun tidak bertanggung jawab atas terhenti pekerjaannya (jika terhenti di luar batas kemampuannya). Jika kita mengatakan bahwa dia tidak berhak atas upah, itu berarti kita menuntutnya untuk bertanggung jawab atas pekerjaan pada pakaian dan kerugiannya. Padahal, dia tidak melakukan kelalaian atau kesalahan dan telah melaksanakan pekerjaannya dengan benar. Oleh karena itu, kerusakan pada pakaian -misalnya- menjadi tanggung jawab pemiliknya. Adapun pekerja (penyedia jasa), dia telah melakukan tugasnya, jadi bagaimana kita bisa mengatakan dia tidak berhak atas upahnya?” Sehingga jika kita mengatakan penyedia jasa harus tetap ganti rugi jika terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya dan bukan kesalahannya, tentu tidak adil dalam akad ini. Oleh karena itu, pendapat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah adalah pendapat yang tepat dalam hal ini. Inilah di antara keadaan-keadaan ganti rugi penyedia jasa dalam transaksi sewa menyewa jasa secara umum. Dan dengan ini, kami menutup tulisan tentang pembahasan fikih ijarah (transaksi sewa menyewa). Semoga tulisan kami bermanfaat bagi diri kami pribadi dan keluarga dan untuk kaum muslimin secara umum. Alhamdulillah Alladzi Bini’matihi Tatimmus Shaalihat … Wallahu’alam. [Selesai] Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 20 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Syarhul Mumti’ karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.


Daftar Isi Toggle Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umumKeadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknyaKeadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Dalam sewa menyewa jasa secara umum, tentunya ada hal-hal yang sifatnya berisiko, seperti rusak, hilang, hancur, dan lain sebagainya. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jaminan atau ganti rugi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak. Apakah ganti rugi hanya ada di penyedia jasa? Apakah penyedia jasa wajib untuk mengganti rugi segala kerusakan? Bagaimana jika penyedia jasa tidak mau ganti rugi? Berangkat dari pertanyaan inilah pembahasan ini dituliskan. Mengingat pembahasan ini dibahas oleh para ulama di kitab-kitab mereka, karena tentunya problem seperti ini banyak terjadi di tengah masyarakat muslim. Tulisan ini menjadi penutup dari serial fikih transaksi sewa menyewa. Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umum Pada poin ini terdapat beberapa keadaan yang perlu diketahui. Di antaranya, Keadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknya Hal ini sebagaimana yang datang dari sebagian sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhuma. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari ‘Umar radiyallahu ‘anhu, ضَمَّنَ الصُّنَاعَ الذِيْنَ اِنْتَصَبُوا لِلنَّاسِ فِي أّعْمَالِهِمْ مَا أَهْلَكُوْا فِي أَيْدِيْهِمْ “Para pekerja (penyedia jasa) yang bekerja untuk masyarakat (secara umum) dalam pekerjaan mereka harus bertanggung jawab atas segala kesalahan dan kerusakan yang mungkin terjadi akibat pekerjaan mereka.”  Dari atsar di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa penyedia jasa atau pekerja wajib mengganti rugi barang yang rusak akibat pekerjaan mereka. Artinya, hal ini secara mutlak, baik secara sengaja atau tidak. Alasannya, dikarenakan yang menjadi patokan dalam sewa menyewa jasa secara umum adalah selesainya pekerjaan. Jika pekerjaan tidak selesai disebabkan kesalahan dari pekerjanya, maka wajib bagi pekerja untuk menggantinya. Contoh: Tukang jahit, seseorang datang kepadanya membawa kain dengan tujuan untuk dibuatkan baju dalam waktu sepekan. Setelah sepekan berlalu, yang jadi bukanlah baju, namun celana. Kesalahan ini tentunya ada pada pihak pekerja atau penyedia jasa. Apakah harus ganti rugi? Jawabnya, iya. Walaupun ia mengatakan lupa, tertukar, dan lain sebagainya, tetaplah kewajiban ganti rugi tidak gugur darinya, ia tetap harus ganti rugi. Jika pihak penyedia jasa enggan untuk ganti rugi, tentunya ia berdosa. Jika penyedia jasa ganti rugi, kemudian mengerjakan ulang lagi dengan menjahit bajunya. Apakah ia berhak untuk mendapat upah tambahan? Jawabnya, tidak. Karena kesalahan terjadi dari pihak penyedia jasa. Dan contoh-contoh lainnya, seperti pembuat makanan yang ternyata hasil makanannya gosong, koki yang merusak peralatan dapur, penyedia jasa seperti porter yang membawa barang-barang penumpang ternyata barangnya terjatuh karena ia terpeleset, dan lain sebagainya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib untuk ganti rugi secara mutlak, walaupun tidak ada kesengajaan sama sekali. Pendapat ini diselisihi oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, وَلَكِنَّ الصَّحِيْحَ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ مُطْلَقاً إِذَا لَمْ يَتَعَد أَوْ يفرط “Yang lebih tepat adalah tidak ada ganti rugi secara mutlak, terlebih ia tidak sengaja dan merusak.” (Syarhul Mumti’, 10: 38) Sehingga dari pendapat ini, tidak ada ganti rugi jika ada kesalahan atau kerusakan selama tidak ada unsur kesengajaan. Keadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan) Ketika ada barang yang sedang dikerjakan oleh penyedia jasa, semisal bahan yang diberikan oleh pengguna jasanya, dan penyedia jasa telah meletakkan barang tersebut di tempat yang tersimpan atau terjaga (tidak diketahui oleh orang lain, kemudian barang tersebut dicuri, maka penyedia jasa tidak memiliki kewajiban ganti rugi atas hal tersebut. Sama halnya jika ada suatu bahan atau barang yang sifatnya mudah rusak, kemudian barang tersebut rusak secara natural, maka penyedia jasa tidak dituntut ganti rugi. Seperti halnya juga jika toko terbakar dengan sendirinya tanpa kesengajaan dari penyedia jasa. Contoh: Penjahit telah menjaga baju yang dijahitnya untuk pengguna jasa dengan sebaik mungkin. Ditaruh di dalam rumahnya dan dikunci rapat. Pada malam hari, ternyata bajunya di ambil oleh pencuri. Maka penyedia jasa tidak wajib mengganti, karena hal ini terjadi bukan disebabkan oleh kesengajaannya. Tersisa satu masalah pada keadaan ini, yaitu apakah penyedia jasa tetap mendapatkan upah walaupun hasil tidak jadi dan ia tidak menggantinya? Pada masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Para ulama dari madzhab Hanbali mengatakan bahwa dia tidak berhak mendapatkan upah. Karena penyedia jasa belum menyelesaikan pekerjaan dan jasanya. Sehingga ia tidak berhak untuk mendapatkan upah. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (10: 85) mengatakan, والصحيح أن له الأجرة؛ لأنه وفى بما استؤجر عليه، وما دام لا يضمن لك الثوب فإنه لا يضمن لك العمل في الثوب؛ لأننا إذا قلنا: ليس له أجرة، فمعناه أننا ضمَّنَّاه العمل في الثوب وذهب عليه خسارة، ولأنه غير متعدٍّ ولا مفرط وقد قام بالعمل الذي عليه، وتلف الثوب ـ مثلاً ـ على حساب صاحبه ـ المالك ـ، أما الأجير، فقد أدى ما عليه، فكيف نقول: لا أجرة له؟ “Yang tepat, penyedia jasa tetap berhak mendapatkan upah. Karena ia telah menunaikan dan mengerjakan sesuai dengan penyewaan jasanya. Selama dia tidak harus bertanggung jawab atas kerusakan pakaian, maka ia pun tidak bertanggung jawab atas terhenti pekerjaannya (jika terhenti di luar batas kemampuannya). Jika kita mengatakan bahwa dia tidak berhak atas upah, itu berarti kita menuntutnya untuk bertanggung jawab atas pekerjaan pada pakaian dan kerugiannya. Padahal, dia tidak melakukan kelalaian atau kesalahan dan telah melaksanakan pekerjaannya dengan benar. Oleh karena itu, kerusakan pada pakaian -misalnya- menjadi tanggung jawab pemiliknya. Adapun pekerja (penyedia jasa), dia telah melakukan tugasnya, jadi bagaimana kita bisa mengatakan dia tidak berhak atas upahnya?” Sehingga jika kita mengatakan penyedia jasa harus tetap ganti rugi jika terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya dan bukan kesalahannya, tentu tidak adil dalam akad ini. Oleh karena itu, pendapat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah adalah pendapat yang tepat dalam hal ini. Inilah di antara keadaan-keadaan ganti rugi penyedia jasa dalam transaksi sewa menyewa jasa secara umum. Dan dengan ini, kami menutup tulisan tentang pembahasan fikih ijarah (transaksi sewa menyewa). Semoga tulisan kami bermanfaat bagi diri kami pribadi dan keluarga dan untuk kaum muslimin secara umum. Alhamdulillah Alladzi Bini’matihi Tatimmus Shaalihat … Wallahu’alam. [Selesai] Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1 *** Depok, 21 Ramadan 1446/ 20 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Syarhul Mumti’ karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz Dzahabi. Dan beberapa referensi lainnya.

Doa Favorit untuk Menjaga Hati yang Gampang Goyah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Dari sinilah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan hamba-hamba Allah tentang hati, dan memotivasi mereka untuk memperbaikinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Hati para hamba berada di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), dan Allah membolak-balikkannya sekehendak-Nya.” (HR. At-Tirmidzi, dan lain-lain, dibacakan Syaikh secara makna). Di antara sumpah yang sering diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan hati.” (HR. Bukhari). Di antara doa Nabi: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad dan lainnya). “Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Berdasarkan hal ini, dulu para hamba Allah yang saleh terbiasa berdoa memohon agar hati mereka diperbaiki, dan mereka berharap kepada Allah agar menjadikan hati ini menjadi hati yang selamat. Ketika Allah menyebutkan (dalam Al-Quran) tentang orang-orang yang kokoh ilmunya, di antara ciri mereka yang Allah sebutkan, bahwa mereka selalu berdoa: ROBBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA“Ya Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami…” (QS. Ali Imran: 8). Allah Jalla wa ‘Ala juga telah menjelaskan bahwa keadaan para hamba dapat berubah—entah menuju kebaikan dan kesalehan, atau justru menuju keburukan dan kerusakan—akibat hati mereka. Sebagaimana Allah berfirman: “Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Salah satu bagian terpenting pada diri seseorang adalah apa yang berkaitan dengan hatinya. ==== وَمِنْ هُنَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُ الْعِبَادَ بِالْقُلُوبِ وَيُرَغِّبُهُمْ فِي إِصْلَاحِهَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلُوبُ الْعِبَادِ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ قَدْ كَانَ مِنْ قَسَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ الَّذِي يُكَرِّرُهُ لَا وَمُقَلِّبِ الْقُلُوبِ وَمِنْ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قَلْبِي لِطَاعَتِكَ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ عِبَادُ اللَّهِ الصَّالِحِينَ يَدْعُونَ بِصَلَاحِ قُلُوبِهِمْ وَيُؤَمِّلُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَجْعَلَ هَذِهِ الْقُلُوبَ قُلُوبًا سَلِيمَةً وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الرَّاسِخِيْنَ فِي الْعِلْمِ كَانَ مِمَّا ذَكَرَهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَحْوَالَ الْعِبَادِ تَتَغَيَّرُ إِمَّا إِلَى الْخَيْرِ وَالصَّلَاحِ وَإِمَّا إِلَى الشَّرِّ وَالْفَسَادِ بِسَبَبِ هَذِهِ الْقُلُوبِ كَمَا قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ مِنْ أَعْظَمِ مَا فِي النُّفُوسِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْقَلْبِ

Doa Favorit untuk Menjaga Hati yang Gampang Goyah – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Dari sinilah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan hamba-hamba Allah tentang hati, dan memotivasi mereka untuk memperbaikinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Hati para hamba berada di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), dan Allah membolak-balikkannya sekehendak-Nya.” (HR. At-Tirmidzi, dan lain-lain, dibacakan Syaikh secara makna). Di antara sumpah yang sering diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan hati.” (HR. Bukhari). Di antara doa Nabi: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad dan lainnya). “Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Berdasarkan hal ini, dulu para hamba Allah yang saleh terbiasa berdoa memohon agar hati mereka diperbaiki, dan mereka berharap kepada Allah agar menjadikan hati ini menjadi hati yang selamat. Ketika Allah menyebutkan (dalam Al-Quran) tentang orang-orang yang kokoh ilmunya, di antara ciri mereka yang Allah sebutkan, bahwa mereka selalu berdoa: ROBBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA“Ya Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami…” (QS. Ali Imran: 8). Allah Jalla wa ‘Ala juga telah menjelaskan bahwa keadaan para hamba dapat berubah—entah menuju kebaikan dan kesalehan, atau justru menuju keburukan dan kerusakan—akibat hati mereka. Sebagaimana Allah berfirman: “Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Salah satu bagian terpenting pada diri seseorang adalah apa yang berkaitan dengan hatinya. ==== وَمِنْ هُنَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُ الْعِبَادَ بِالْقُلُوبِ وَيُرَغِّبُهُمْ فِي إِصْلَاحِهَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلُوبُ الْعِبَادِ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ قَدْ كَانَ مِنْ قَسَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ الَّذِي يُكَرِّرُهُ لَا وَمُقَلِّبِ الْقُلُوبِ وَمِنْ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قَلْبِي لِطَاعَتِكَ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ عِبَادُ اللَّهِ الصَّالِحِينَ يَدْعُونَ بِصَلَاحِ قُلُوبِهِمْ وَيُؤَمِّلُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَجْعَلَ هَذِهِ الْقُلُوبَ قُلُوبًا سَلِيمَةً وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الرَّاسِخِيْنَ فِي الْعِلْمِ كَانَ مِمَّا ذَكَرَهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَحْوَالَ الْعِبَادِ تَتَغَيَّرُ إِمَّا إِلَى الْخَيْرِ وَالصَّلَاحِ وَإِمَّا إِلَى الشَّرِّ وَالْفَسَادِ بِسَبَبِ هَذِهِ الْقُلُوبِ كَمَا قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ مِنْ أَعْظَمِ مَا فِي النُّفُوسِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْقَلْبِ
Dari sinilah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan hamba-hamba Allah tentang hati, dan memotivasi mereka untuk memperbaikinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Hati para hamba berada di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), dan Allah membolak-balikkannya sekehendak-Nya.” (HR. At-Tirmidzi, dan lain-lain, dibacakan Syaikh secara makna). Di antara sumpah yang sering diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan hati.” (HR. Bukhari). Di antara doa Nabi: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad dan lainnya). “Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Berdasarkan hal ini, dulu para hamba Allah yang saleh terbiasa berdoa memohon agar hati mereka diperbaiki, dan mereka berharap kepada Allah agar menjadikan hati ini menjadi hati yang selamat. Ketika Allah menyebutkan (dalam Al-Quran) tentang orang-orang yang kokoh ilmunya, di antara ciri mereka yang Allah sebutkan, bahwa mereka selalu berdoa: ROBBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA“Ya Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami…” (QS. Ali Imran: 8). Allah Jalla wa ‘Ala juga telah menjelaskan bahwa keadaan para hamba dapat berubah—entah menuju kebaikan dan kesalehan, atau justru menuju keburukan dan kerusakan—akibat hati mereka. Sebagaimana Allah berfirman: “Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Salah satu bagian terpenting pada diri seseorang adalah apa yang berkaitan dengan hatinya. ==== وَمِنْ هُنَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُ الْعِبَادَ بِالْقُلُوبِ وَيُرَغِّبُهُمْ فِي إِصْلَاحِهَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلُوبُ الْعِبَادِ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ قَدْ كَانَ مِنْ قَسَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ الَّذِي يُكَرِّرُهُ لَا وَمُقَلِّبِ الْقُلُوبِ وَمِنْ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قَلْبِي لِطَاعَتِكَ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ عِبَادُ اللَّهِ الصَّالِحِينَ يَدْعُونَ بِصَلَاحِ قُلُوبِهِمْ وَيُؤَمِّلُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَجْعَلَ هَذِهِ الْقُلُوبَ قُلُوبًا سَلِيمَةً وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الرَّاسِخِيْنَ فِي الْعِلْمِ كَانَ مِمَّا ذَكَرَهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَحْوَالَ الْعِبَادِ تَتَغَيَّرُ إِمَّا إِلَى الْخَيْرِ وَالصَّلَاحِ وَإِمَّا إِلَى الشَّرِّ وَالْفَسَادِ بِسَبَبِ هَذِهِ الْقُلُوبِ كَمَا قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ مِنْ أَعْظَمِ مَا فِي النُّفُوسِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْقَلْبِ


Dari sinilah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan hamba-hamba Allah tentang hati, dan memotivasi mereka untuk memperbaikinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Hati para hamba berada di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih), dan Allah membolak-balikkannya sekehendak-Nya.” (HR. At-Tirmidzi, dan lain-lain, dibacakan Syaikh secara makna). Di antara sumpah yang sering diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan hati.” (HR. Bukhari). Di antara doa Nabi: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad dan lainnya). “Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Berdasarkan hal ini, dulu para hamba Allah yang saleh terbiasa berdoa memohon agar hati mereka diperbaiki, dan mereka berharap kepada Allah agar menjadikan hati ini menjadi hati yang selamat. Ketika Allah menyebutkan (dalam Al-Quran) tentang orang-orang yang kokoh ilmunya, di antara ciri mereka yang Allah sebutkan, bahwa mereka selalu berdoa: ROBBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA“Ya Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami…” (QS. Ali Imran: 8). Allah Jalla wa ‘Ala juga telah menjelaskan bahwa keadaan para hamba dapat berubah—entah menuju kebaikan dan kesalehan, atau justru menuju keburukan dan kerusakan—akibat hati mereka. Sebagaimana Allah berfirman: “Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Salah satu bagian terpenting pada diri seseorang adalah apa yang berkaitan dengan hatinya. ==== وَمِنْ هُنَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُ الْعِبَادَ بِالْقُلُوبِ وَيُرَغِّبُهُمْ فِي إِصْلَاحِهَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلُوبُ الْعِبَادِ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ قَدْ كَانَ مِنْ قَسَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ الَّذِي يُكَرِّرُهُ لَا وَمُقَلِّبِ الْقُلُوبِ وَمِنْ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ اصْرِفْ قَلْبِي لِطَاعَتِكَ وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ كَانَ عِبَادُ اللَّهِ الصَّالِحِينَ يَدْعُونَ بِصَلَاحِ قُلُوبِهِمْ وَيُؤَمِّلُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَجْعَلَ هَذِهِ الْقُلُوبَ قُلُوبًا سَلِيمَةً وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الرَّاسِخِيْنَ فِي الْعِلْمِ كَانَ مِمَّا ذَكَرَهُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ أَحْوَالَ الْعِبَادِ تَتَغَيَّرُ إِمَّا إِلَى الْخَيْرِ وَالصَّلَاحِ وَإِمَّا إِلَى الشَّرِّ وَالْفَسَادِ بِسَبَبِ هَذِهِ الْقُلُوبِ كَمَا قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ مِنْ أَعْظَمِ مَا فِي النُّفُوسِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْقَلْبِ

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan
Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan


Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.–Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal CeritaKira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka. Mengepung KhaibarKaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.” Tugas Ali dalam Perang KhaibarKaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta MerahSaat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah. Dua PeristiwaDalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari AkhirnyaSetelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.” Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar1. Makna Dakwah yang MuliaSaat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.2. Dakwah untuk Semua KalanganRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.3. Optimisme di Tengah Medan PerangKetika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.4. Keutamaan Ali bin Abi ThalibPerang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.6. Ketika Damai Dibalas PengkhianatanMeski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.7. Kaki Kambing yang BerbicaraAda satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati SyahidAda seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.9. Jangan Tertipu oleh Amal BesarAda juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.10. Nubuwat yang Menjadi NyataRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak TergoyahkanSuatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.12. Keadilan: Penyangga Langit dan BumiMendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida AllahSetelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya. Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan

Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya

Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan
Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan


Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab. – Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah. Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim. Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh. Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah. Daftar Isi tutup 1. Awal Cerita 2. Mengepung Khaibar 3. Tugas Ali dalam Perang Khaibar 4. Dua Peristiwa 5. Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar Awal Cerita Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan. Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.” Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.   Mengepung Khaibar Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar. Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”   Tugas Ali dalam Perang Khaibar Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut. Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.” Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.” Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.   Dua Peristiwa Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang: Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.” Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.” Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga. Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain. Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.” Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”   Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar 1. Makna Dakwah yang Mulia Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun. 2. Dakwah untuk Semua Kalangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan. 3. Optimisme di Tengah Medan Perang Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju. 4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar. 5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah? Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. 6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan. 7. Kaki Kambing yang Berbicara Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya. 8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat. Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus. 9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka. Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik. 10. Nubuwat yang Menjadi Nyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata. 11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.” Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan. 12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan. Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa. 13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan. Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah. Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.   Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsajakan masuk Islam ali bin abi thalib benteng Yahudi dakwah Rasulullah faedah sirah nabi ghanimah hikmah keadilan. hikmah perang keadilan Islam kemenangan Islam kisah Abdullah bin Rawahah kisah sahabat pengkhianatan Yahudi perang khaibar perjalanan dakwah perjanjian damai Rasulullah di Khaibar sejarah Islam sirah nabi stabilitas Madinah strategi militer strategi pengepungan
Prev     Next