Fikih Salat Hajat

Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah

Fikih Salat Hajat

Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah
Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah


Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah

Bahaya Pinjaman Online (Pinjol)

Daftar Isi Toggle Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibahBahaya riba dalam pinjaman onlinePertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilanKedua: Kehilangan nikmat yang baikKetiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-NyaMencari solusi yang halal saat butuh uangPertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnyaKedua: SilaturahmiKetiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikanKeempat: Meminjam uang dari keluarga atau temanKelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariatKeenam: Doa Salah satu kenyataan yang diakui oleh manusia adalah bahwa dunia ini penuh dengan berbagai ujian dan cobaan, yang datang dalam berbagai bentuk. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan…” (QS. Al-Baqarah: 155) Ujian-ujian ini tidak membedakan antara seorang muslim dan nonmuslim. Akan tetapi, seorang muslim melihat cobaan ini dengan perspektif yang berbeda, yang dapat meringankan beban kesedihan, bahkan membawanya pada tingkat rida, suatu derajat yang tinggi yang hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang terpilih. [1] Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibah Betapa agungnya sebuah prinsip ini yang menunjukkan kita jalan keluar dari musibah dan kesulitan yang kita hadapi. Sesungguhnya jalan keluar itu adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya Ta’ala, وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجَاً “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” Jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan akhirat, serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka oleh manusia. Takwa berasal dari kata “wiqayah”, yang berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang merusak dan menyakitinya, serta menjadikan diri seseorang dalam perlindungan dari apa yang ditakutinya. Maka, takwa adalah menjaga diri dari hal-hal yang mendatangkan dosa, dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Takwa kepada Allah adalah sebab terlepasnya dari kesulitan dan musibah. Takwa juga akan menambah iman dan keyakinan seseorang kepada Allah Ta’ala. Ibnu Atha’ berkata, على قدر قربهم من التقوى أدركوا من اليقين “Sejauh mana mereka dekat dengan takwa, sejauh itulah mereka meraih keyakinan.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Dan orang yang benar-benar mulia adalah yang mulia di sisi Allah Ta’ala. Timbangan yang benar untuk mengukur nilai seseorang adalah timbangan takwa, timbangan hubungan dengan Allah, mengingat-Nya, dan bertakwa kepada-Nya. [2] Bahaya riba dalam pinjaman online Pinjaman [3] online, yang melibatkan riba, merupakan salah satu bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam. Riba merupakan pendapatan yang kotor, terlarang, dan penuh malapetaka. Selain itu, riba membawa kerugian dalam agama dan dunia, baik di masa kini maupun masa depan, bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya, membantu, atau merestuinya dalam bentuk apapun, baik dengan mengambil atau memberi, menulis atau menjadi saksi, atau cara lain apa pun yang mendukung dan membantu transaksi yang batil dan zalim ini. Transaksi yang sejatinya adalah bentuk perlawanan dan peperangan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta penindasan yang kejam terhadap manusia. Transaksi ini bergantung pada dosa dan permusuhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Maka, tidak diragukan lagi bahwa transaksi seperti ini membawa banyak kerugian besar dan kehancuran, serta konsekuensinya yang berat dan menyakitkan, baik bagi individu maupun masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya, dan juga bagi masyarakat yang mampu mengubah keburukan tersebut tetapi tidak mengingkarinya, tidak berusaha untuk mengubah atau menguranginya. Bahaya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Peringatan mengenai bahaya ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah merincinya dalam banyak hadis, sebagai penyampaian wahyu dari Allah Ta’ala. Orang-orang telah menyaksikan bukti-buktinya dan dampaknya yang nyata dalam diri mereka dan di sekitar mereka. Di antara bahaya tersebut adalah: Pertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilan Allah Ta’ala berfirman, يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا “Allah memusnahkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 276) Ayat ini merupakan peringatan yang jelas tentang akibat buruk dari riba bagi pelakunya dari segala aspek. Allah mungkin menimpakan berbagai sebab yang membawa kekurangan dan kerusakan, seperti tenggelam, kebakaran, pencurian, atau aturan yang zalim yang mengambil harta darinya dengan paksa dan kehinaan. Allah juga mungkin menghilangkan hartanya sepenuhnya sehingga tidak tersisa sedikit pun. Kedua: Kehilangan nikmat yang baik Allah Ta’ala berfirman, فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا  وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik yang (sebelumnya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161) Dalam ayat yang mulia ini disebutkan secara jelas bahwa mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah salah satu penyebab Allah mengharamkan nikmat yang baik-baik atas orang Yahudi. Pengharaman ini bersifat qadari (ketetapan) dan syar’i (hukum), dan siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka. Orang-orang yang menyerupai Yahudi dalam mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil telah menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk menerima hukuman yang sama seperti yang Allah timpakan kepada Yahudi. Betapa banyak orang kaya di zaman ini yang hidupnya penuh dengan kesulitan, kekurangan, dan keadaan yang buruk karena rasa cemas, takut, kikir, dan gelisah yang mereka alami! [4] Ketiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ “‌Wahai ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman,‌ ‌bertakwalah‌ ‌kepada‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌tinggalkanlah‌ ‌sisa-sisa‌ ‌riba‌ ‌(yang‌ ‌belum‌ ‌dipungut)‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌memang‌ ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman. Jika‌ ‌kalian‌ ‌tidak‌ ‌melakukannya,‌ ‌maka‌ ‌ketahuilah‌ ‌bahwa‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌dihadapkan‌ ‌pada‌ ‌perang‌ ‌dari‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌Rasul-Nya.‌ ‌Dan‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌bertobat,‌ ‌maka‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌mendapatkan‌ ‌modal‌ ‌pokok‌ ‌kalian‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌diperlakukan‌ ‌dengan‌ ‌zalim‌ ‌dan‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌zalim‌ ‌kepada‌ ‌orang‌ ‌lain.”‌ (QS. Al-Baqarah: 278-279) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Kemudian Allah Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya serta meninggalkan sisa-sisa transaksi riba yang mereka lakukan sebelumnya. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan salah satu bukti terbesar yang menunjukkan betapa buruknya riba, di mana orang yang tetap melakukannya dianggap sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya.” [5] Baca juga: Tipu Daya Judi Slot dan Pinjol Mencari solusi yang halal saat butuh uang Seseorang yang memerlukan uang dengan segera harus memperbesar usahanya dalam mencari rezeki dari Allah Ta’ala dan berusaha dengan cara-cara yang telah dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an menyebutkan balasan bagi orang yang bertakwa, termasuk juga bertakwa dalam mencari uang, وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dan memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 261) Syekh As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, “Dalam ayat lain, Allah menyebutkan cara-cara yang dapat digunakan untuk memperoleh rezeki-Nya, seperti dalam firman-Nya, وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * ‌وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia cukup baginya.” (QS. At-Talaq: 1-3) Oleh karena itu, hamba hendaknya hanya meminta rezeki dari Allah dan berusaha dengan cara-cara yang Allah mudahkan dan halalkan. [6] Beberapa cara yang halal untuk mendapatkan rezeki: Pertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, لَوْ أنَّكُم تَوكَّلُونَ على اللهِ حَق تَوكُّلهِ لَرَزقكُمَ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ، تَغدُو خِماصًا، وتَروحُ بِطانًا “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam “Shahih“-nya, serta Al-Hakim, dan Tirmidzi mengatakan, “Hasan sahih.”) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadis ini merupakan pokok dalam tawakal dan merupakan salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan rezeki. … Tawakal yang benar adalah ketulusan hati dalam bergantung kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh kebaikan dan menjauhi bahaya dari urusan dunia dan akhirat, serta meyakini bahwa tidak ada yang memberi, menahan, membahayakan, atau memberi manfaat, kecuali Allah.” [7] Cara ini termasuk cara yang paling ampuh untuk mendapatkan uang bagi orang yang terdesak, namun banyak orang yang mengabaikannya. Wallahu a’lam. Kedua: Silaturahmi Di antara cara lain adalah silaturahmi (menyambung kekerabatan), misalkan mengunjungi orang tua, atau kerabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن سَرَّهُ أنْ يُبْسَطَ له في رِزْقِهِ، أوْ يُنْسَأَ له في أثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barangsiapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya dipanjangkan, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 2067) Ketiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikan Salah satu cara untuk mendapatkan uang dengan segera adalah menjual barang yang mudah dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi. Barang-barang seperti pakaian, makanan, atau barang elektronik biasanya cepat laku di pasaran. Menjual barang-barang ini dapat memberikan penghasilan tambahan dalam waktu singkat, terutama jika barang tersebut masih dalam kondisi baik dan dibutuhkan oleh banyak orang. Keempat: Meminjam uang dari keluarga atau teman Meminjam uang dari keluarga atau teman bisa menjadi solusi cepat dalam kondisi mendesak. Namun, ada adab dan etika yang harus diperhatikan saat meminjam uang. Di antaranya adalah meminta izin dengan baik, menjelaskan kondisi keuangan yang sebenarnya, tidak berbohong atau melebih-lebihkan, berkomitmen untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu, dan mencatatnya dengan baik. Meminjam dengan cara yang baik akan menjaga hubungan baik dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Kelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariat Hukum asal meminta-minta tanpa keperluan mendesak adalah diharamkan, berdasarkan banyak hadis, di antaranya: مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa yang meminta tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.” (HR. Ahmad dan selainnya, disahihkan Al-Albani) Namun demikian, syariat mengizinkan seseorang (dengan kriteria tertentu) untuk meminta-minta kepada orang lain. Di antaranya adalah seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. [8] Keenam: Doa Doa adalah salah satu kunci utama dalam mendapatkan rezeki. Doa adalah pintu bagi segala sesuatu yang tertutup dan jalan untuk mempermudah segala urusan yang sulit. Allah Ta’ala berfirman, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.’” (QS. Ghafir: 60) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kelapangan dalam rezeki, berkah dalam umur, harta, dan anak-anak, serta anugerahkanlah kami syukur atas nikmat-Mu, ibadah yang baik, dan kemenangan di surga-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih. [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** 15 Safar 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] http://iswy.co/e1434r [2] http://saaid.org/rasael/712.htm [3] Pinjaman yang kami maksud di sini adalah pinjaman konvensional, yaitu seseorang meminjam sejumlah uang kepada pihak lain, di mana nantinya mengembalikan sejumlah uang tersebut, ditambah sekian persen; sesuai ketentuan yang biasa didapatkan di bank konvensional. [4] https://www.alukah.net/sharia/0/102097/ [5] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 959. [6] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 965. [7] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, 2: 496. [8] Untuk pembahasan lebih rinci, silakan merujuk ke link berikut: https://almanhaj.or.id artikel no. 17489 [9] https://www.islamweb.net/ar/article/237829/ Tags: pinjol

Bahaya Pinjaman Online (Pinjol)

Daftar Isi Toggle Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibahBahaya riba dalam pinjaman onlinePertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilanKedua: Kehilangan nikmat yang baikKetiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-NyaMencari solusi yang halal saat butuh uangPertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnyaKedua: SilaturahmiKetiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikanKeempat: Meminjam uang dari keluarga atau temanKelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariatKeenam: Doa Salah satu kenyataan yang diakui oleh manusia adalah bahwa dunia ini penuh dengan berbagai ujian dan cobaan, yang datang dalam berbagai bentuk. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan…” (QS. Al-Baqarah: 155) Ujian-ujian ini tidak membedakan antara seorang muslim dan nonmuslim. Akan tetapi, seorang muslim melihat cobaan ini dengan perspektif yang berbeda, yang dapat meringankan beban kesedihan, bahkan membawanya pada tingkat rida, suatu derajat yang tinggi yang hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang terpilih. [1] Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibah Betapa agungnya sebuah prinsip ini yang menunjukkan kita jalan keluar dari musibah dan kesulitan yang kita hadapi. Sesungguhnya jalan keluar itu adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya Ta’ala, وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجَاً “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” Jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan akhirat, serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka oleh manusia. Takwa berasal dari kata “wiqayah”, yang berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang merusak dan menyakitinya, serta menjadikan diri seseorang dalam perlindungan dari apa yang ditakutinya. Maka, takwa adalah menjaga diri dari hal-hal yang mendatangkan dosa, dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Takwa kepada Allah adalah sebab terlepasnya dari kesulitan dan musibah. Takwa juga akan menambah iman dan keyakinan seseorang kepada Allah Ta’ala. Ibnu Atha’ berkata, على قدر قربهم من التقوى أدركوا من اليقين “Sejauh mana mereka dekat dengan takwa, sejauh itulah mereka meraih keyakinan.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Dan orang yang benar-benar mulia adalah yang mulia di sisi Allah Ta’ala. Timbangan yang benar untuk mengukur nilai seseorang adalah timbangan takwa, timbangan hubungan dengan Allah, mengingat-Nya, dan bertakwa kepada-Nya. [2] Bahaya riba dalam pinjaman online Pinjaman [3] online, yang melibatkan riba, merupakan salah satu bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam. Riba merupakan pendapatan yang kotor, terlarang, dan penuh malapetaka. Selain itu, riba membawa kerugian dalam agama dan dunia, baik di masa kini maupun masa depan, bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya, membantu, atau merestuinya dalam bentuk apapun, baik dengan mengambil atau memberi, menulis atau menjadi saksi, atau cara lain apa pun yang mendukung dan membantu transaksi yang batil dan zalim ini. Transaksi yang sejatinya adalah bentuk perlawanan dan peperangan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta penindasan yang kejam terhadap manusia. Transaksi ini bergantung pada dosa dan permusuhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Maka, tidak diragukan lagi bahwa transaksi seperti ini membawa banyak kerugian besar dan kehancuran, serta konsekuensinya yang berat dan menyakitkan, baik bagi individu maupun masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya, dan juga bagi masyarakat yang mampu mengubah keburukan tersebut tetapi tidak mengingkarinya, tidak berusaha untuk mengubah atau menguranginya. Bahaya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Peringatan mengenai bahaya ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah merincinya dalam banyak hadis, sebagai penyampaian wahyu dari Allah Ta’ala. Orang-orang telah menyaksikan bukti-buktinya dan dampaknya yang nyata dalam diri mereka dan di sekitar mereka. Di antara bahaya tersebut adalah: Pertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilan Allah Ta’ala berfirman, يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا “Allah memusnahkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 276) Ayat ini merupakan peringatan yang jelas tentang akibat buruk dari riba bagi pelakunya dari segala aspek. Allah mungkin menimpakan berbagai sebab yang membawa kekurangan dan kerusakan, seperti tenggelam, kebakaran, pencurian, atau aturan yang zalim yang mengambil harta darinya dengan paksa dan kehinaan. Allah juga mungkin menghilangkan hartanya sepenuhnya sehingga tidak tersisa sedikit pun. Kedua: Kehilangan nikmat yang baik Allah Ta’ala berfirman, فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا  وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik yang (sebelumnya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161) Dalam ayat yang mulia ini disebutkan secara jelas bahwa mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah salah satu penyebab Allah mengharamkan nikmat yang baik-baik atas orang Yahudi. Pengharaman ini bersifat qadari (ketetapan) dan syar’i (hukum), dan siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka. Orang-orang yang menyerupai Yahudi dalam mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil telah menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk menerima hukuman yang sama seperti yang Allah timpakan kepada Yahudi. Betapa banyak orang kaya di zaman ini yang hidupnya penuh dengan kesulitan, kekurangan, dan keadaan yang buruk karena rasa cemas, takut, kikir, dan gelisah yang mereka alami! [4] Ketiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ “‌Wahai ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman,‌ ‌bertakwalah‌ ‌kepada‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌tinggalkanlah‌ ‌sisa-sisa‌ ‌riba‌ ‌(yang‌ ‌belum‌ ‌dipungut)‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌memang‌ ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman. Jika‌ ‌kalian‌ ‌tidak‌ ‌melakukannya,‌ ‌maka‌ ‌ketahuilah‌ ‌bahwa‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌dihadapkan‌ ‌pada‌ ‌perang‌ ‌dari‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌Rasul-Nya.‌ ‌Dan‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌bertobat,‌ ‌maka‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌mendapatkan‌ ‌modal‌ ‌pokok‌ ‌kalian‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌diperlakukan‌ ‌dengan‌ ‌zalim‌ ‌dan‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌zalim‌ ‌kepada‌ ‌orang‌ ‌lain.”‌ (QS. Al-Baqarah: 278-279) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Kemudian Allah Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya serta meninggalkan sisa-sisa transaksi riba yang mereka lakukan sebelumnya. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan salah satu bukti terbesar yang menunjukkan betapa buruknya riba, di mana orang yang tetap melakukannya dianggap sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya.” [5] Baca juga: Tipu Daya Judi Slot dan Pinjol Mencari solusi yang halal saat butuh uang Seseorang yang memerlukan uang dengan segera harus memperbesar usahanya dalam mencari rezeki dari Allah Ta’ala dan berusaha dengan cara-cara yang telah dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an menyebutkan balasan bagi orang yang bertakwa, termasuk juga bertakwa dalam mencari uang, وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dan memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 261) Syekh As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, “Dalam ayat lain, Allah menyebutkan cara-cara yang dapat digunakan untuk memperoleh rezeki-Nya, seperti dalam firman-Nya, وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * ‌وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia cukup baginya.” (QS. At-Talaq: 1-3) Oleh karena itu, hamba hendaknya hanya meminta rezeki dari Allah dan berusaha dengan cara-cara yang Allah mudahkan dan halalkan. [6] Beberapa cara yang halal untuk mendapatkan rezeki: Pertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, لَوْ أنَّكُم تَوكَّلُونَ على اللهِ حَق تَوكُّلهِ لَرَزقكُمَ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ، تَغدُو خِماصًا، وتَروحُ بِطانًا “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam “Shahih“-nya, serta Al-Hakim, dan Tirmidzi mengatakan, “Hasan sahih.”) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadis ini merupakan pokok dalam tawakal dan merupakan salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan rezeki. … Tawakal yang benar adalah ketulusan hati dalam bergantung kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh kebaikan dan menjauhi bahaya dari urusan dunia dan akhirat, serta meyakini bahwa tidak ada yang memberi, menahan, membahayakan, atau memberi manfaat, kecuali Allah.” [7] Cara ini termasuk cara yang paling ampuh untuk mendapatkan uang bagi orang yang terdesak, namun banyak orang yang mengabaikannya. Wallahu a’lam. Kedua: Silaturahmi Di antara cara lain adalah silaturahmi (menyambung kekerabatan), misalkan mengunjungi orang tua, atau kerabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن سَرَّهُ أنْ يُبْسَطَ له في رِزْقِهِ، أوْ يُنْسَأَ له في أثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barangsiapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya dipanjangkan, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 2067) Ketiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikan Salah satu cara untuk mendapatkan uang dengan segera adalah menjual barang yang mudah dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi. Barang-barang seperti pakaian, makanan, atau barang elektronik biasanya cepat laku di pasaran. Menjual barang-barang ini dapat memberikan penghasilan tambahan dalam waktu singkat, terutama jika barang tersebut masih dalam kondisi baik dan dibutuhkan oleh banyak orang. Keempat: Meminjam uang dari keluarga atau teman Meminjam uang dari keluarga atau teman bisa menjadi solusi cepat dalam kondisi mendesak. Namun, ada adab dan etika yang harus diperhatikan saat meminjam uang. Di antaranya adalah meminta izin dengan baik, menjelaskan kondisi keuangan yang sebenarnya, tidak berbohong atau melebih-lebihkan, berkomitmen untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu, dan mencatatnya dengan baik. Meminjam dengan cara yang baik akan menjaga hubungan baik dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Kelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariat Hukum asal meminta-minta tanpa keperluan mendesak adalah diharamkan, berdasarkan banyak hadis, di antaranya: مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa yang meminta tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.” (HR. Ahmad dan selainnya, disahihkan Al-Albani) Namun demikian, syariat mengizinkan seseorang (dengan kriteria tertentu) untuk meminta-minta kepada orang lain. Di antaranya adalah seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. [8] Keenam: Doa Doa adalah salah satu kunci utama dalam mendapatkan rezeki. Doa adalah pintu bagi segala sesuatu yang tertutup dan jalan untuk mempermudah segala urusan yang sulit. Allah Ta’ala berfirman, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.’” (QS. Ghafir: 60) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kelapangan dalam rezeki, berkah dalam umur, harta, dan anak-anak, serta anugerahkanlah kami syukur atas nikmat-Mu, ibadah yang baik, dan kemenangan di surga-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih. [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** 15 Safar 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] http://iswy.co/e1434r [2] http://saaid.org/rasael/712.htm [3] Pinjaman yang kami maksud di sini adalah pinjaman konvensional, yaitu seseorang meminjam sejumlah uang kepada pihak lain, di mana nantinya mengembalikan sejumlah uang tersebut, ditambah sekian persen; sesuai ketentuan yang biasa didapatkan di bank konvensional. [4] https://www.alukah.net/sharia/0/102097/ [5] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 959. [6] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 965. [7] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, 2: 496. [8] Untuk pembahasan lebih rinci, silakan merujuk ke link berikut: https://almanhaj.or.id artikel no. 17489 [9] https://www.islamweb.net/ar/article/237829/ Tags: pinjol
Daftar Isi Toggle Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibahBahaya riba dalam pinjaman onlinePertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilanKedua: Kehilangan nikmat yang baikKetiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-NyaMencari solusi yang halal saat butuh uangPertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnyaKedua: SilaturahmiKetiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikanKeempat: Meminjam uang dari keluarga atau temanKelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariatKeenam: Doa Salah satu kenyataan yang diakui oleh manusia adalah bahwa dunia ini penuh dengan berbagai ujian dan cobaan, yang datang dalam berbagai bentuk. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan…” (QS. Al-Baqarah: 155) Ujian-ujian ini tidak membedakan antara seorang muslim dan nonmuslim. Akan tetapi, seorang muslim melihat cobaan ini dengan perspektif yang berbeda, yang dapat meringankan beban kesedihan, bahkan membawanya pada tingkat rida, suatu derajat yang tinggi yang hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang terpilih. [1] Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibah Betapa agungnya sebuah prinsip ini yang menunjukkan kita jalan keluar dari musibah dan kesulitan yang kita hadapi. Sesungguhnya jalan keluar itu adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya Ta’ala, وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجَاً “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” Jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan akhirat, serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka oleh manusia. Takwa berasal dari kata “wiqayah”, yang berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang merusak dan menyakitinya, serta menjadikan diri seseorang dalam perlindungan dari apa yang ditakutinya. Maka, takwa adalah menjaga diri dari hal-hal yang mendatangkan dosa, dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Takwa kepada Allah adalah sebab terlepasnya dari kesulitan dan musibah. Takwa juga akan menambah iman dan keyakinan seseorang kepada Allah Ta’ala. Ibnu Atha’ berkata, على قدر قربهم من التقوى أدركوا من اليقين “Sejauh mana mereka dekat dengan takwa, sejauh itulah mereka meraih keyakinan.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Dan orang yang benar-benar mulia adalah yang mulia di sisi Allah Ta’ala. Timbangan yang benar untuk mengukur nilai seseorang adalah timbangan takwa, timbangan hubungan dengan Allah, mengingat-Nya, dan bertakwa kepada-Nya. [2] Bahaya riba dalam pinjaman online Pinjaman [3] online, yang melibatkan riba, merupakan salah satu bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam. Riba merupakan pendapatan yang kotor, terlarang, dan penuh malapetaka. Selain itu, riba membawa kerugian dalam agama dan dunia, baik di masa kini maupun masa depan, bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya, membantu, atau merestuinya dalam bentuk apapun, baik dengan mengambil atau memberi, menulis atau menjadi saksi, atau cara lain apa pun yang mendukung dan membantu transaksi yang batil dan zalim ini. Transaksi yang sejatinya adalah bentuk perlawanan dan peperangan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta penindasan yang kejam terhadap manusia. Transaksi ini bergantung pada dosa dan permusuhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Maka, tidak diragukan lagi bahwa transaksi seperti ini membawa banyak kerugian besar dan kehancuran, serta konsekuensinya yang berat dan menyakitkan, baik bagi individu maupun masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya, dan juga bagi masyarakat yang mampu mengubah keburukan tersebut tetapi tidak mengingkarinya, tidak berusaha untuk mengubah atau menguranginya. Bahaya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Peringatan mengenai bahaya ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah merincinya dalam banyak hadis, sebagai penyampaian wahyu dari Allah Ta’ala. Orang-orang telah menyaksikan bukti-buktinya dan dampaknya yang nyata dalam diri mereka dan di sekitar mereka. Di antara bahaya tersebut adalah: Pertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilan Allah Ta’ala berfirman, يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا “Allah memusnahkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 276) Ayat ini merupakan peringatan yang jelas tentang akibat buruk dari riba bagi pelakunya dari segala aspek. Allah mungkin menimpakan berbagai sebab yang membawa kekurangan dan kerusakan, seperti tenggelam, kebakaran, pencurian, atau aturan yang zalim yang mengambil harta darinya dengan paksa dan kehinaan. Allah juga mungkin menghilangkan hartanya sepenuhnya sehingga tidak tersisa sedikit pun. Kedua: Kehilangan nikmat yang baik Allah Ta’ala berfirman, فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا  وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik yang (sebelumnya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161) Dalam ayat yang mulia ini disebutkan secara jelas bahwa mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah salah satu penyebab Allah mengharamkan nikmat yang baik-baik atas orang Yahudi. Pengharaman ini bersifat qadari (ketetapan) dan syar’i (hukum), dan siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka. Orang-orang yang menyerupai Yahudi dalam mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil telah menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk menerima hukuman yang sama seperti yang Allah timpakan kepada Yahudi. Betapa banyak orang kaya di zaman ini yang hidupnya penuh dengan kesulitan, kekurangan, dan keadaan yang buruk karena rasa cemas, takut, kikir, dan gelisah yang mereka alami! [4] Ketiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ “‌Wahai ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman,‌ ‌bertakwalah‌ ‌kepada‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌tinggalkanlah‌ ‌sisa-sisa‌ ‌riba‌ ‌(yang‌ ‌belum‌ ‌dipungut)‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌memang‌ ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman. Jika‌ ‌kalian‌ ‌tidak‌ ‌melakukannya,‌ ‌maka‌ ‌ketahuilah‌ ‌bahwa‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌dihadapkan‌ ‌pada‌ ‌perang‌ ‌dari‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌Rasul-Nya.‌ ‌Dan‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌bertobat,‌ ‌maka‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌mendapatkan‌ ‌modal‌ ‌pokok‌ ‌kalian‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌diperlakukan‌ ‌dengan‌ ‌zalim‌ ‌dan‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌zalim‌ ‌kepada‌ ‌orang‌ ‌lain.”‌ (QS. Al-Baqarah: 278-279) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Kemudian Allah Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya serta meninggalkan sisa-sisa transaksi riba yang mereka lakukan sebelumnya. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan salah satu bukti terbesar yang menunjukkan betapa buruknya riba, di mana orang yang tetap melakukannya dianggap sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya.” [5] Baca juga: Tipu Daya Judi Slot dan Pinjol Mencari solusi yang halal saat butuh uang Seseorang yang memerlukan uang dengan segera harus memperbesar usahanya dalam mencari rezeki dari Allah Ta’ala dan berusaha dengan cara-cara yang telah dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an menyebutkan balasan bagi orang yang bertakwa, termasuk juga bertakwa dalam mencari uang, وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dan memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 261) Syekh As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, “Dalam ayat lain, Allah menyebutkan cara-cara yang dapat digunakan untuk memperoleh rezeki-Nya, seperti dalam firman-Nya, وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * ‌وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia cukup baginya.” (QS. At-Talaq: 1-3) Oleh karena itu, hamba hendaknya hanya meminta rezeki dari Allah dan berusaha dengan cara-cara yang Allah mudahkan dan halalkan. [6] Beberapa cara yang halal untuk mendapatkan rezeki: Pertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, لَوْ أنَّكُم تَوكَّلُونَ على اللهِ حَق تَوكُّلهِ لَرَزقكُمَ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ، تَغدُو خِماصًا، وتَروحُ بِطانًا “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam “Shahih“-nya, serta Al-Hakim, dan Tirmidzi mengatakan, “Hasan sahih.”) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadis ini merupakan pokok dalam tawakal dan merupakan salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan rezeki. … Tawakal yang benar adalah ketulusan hati dalam bergantung kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh kebaikan dan menjauhi bahaya dari urusan dunia dan akhirat, serta meyakini bahwa tidak ada yang memberi, menahan, membahayakan, atau memberi manfaat, kecuali Allah.” [7] Cara ini termasuk cara yang paling ampuh untuk mendapatkan uang bagi orang yang terdesak, namun banyak orang yang mengabaikannya. Wallahu a’lam. Kedua: Silaturahmi Di antara cara lain adalah silaturahmi (menyambung kekerabatan), misalkan mengunjungi orang tua, atau kerabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن سَرَّهُ أنْ يُبْسَطَ له في رِزْقِهِ، أوْ يُنْسَأَ له في أثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barangsiapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya dipanjangkan, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 2067) Ketiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikan Salah satu cara untuk mendapatkan uang dengan segera adalah menjual barang yang mudah dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi. Barang-barang seperti pakaian, makanan, atau barang elektronik biasanya cepat laku di pasaran. Menjual barang-barang ini dapat memberikan penghasilan tambahan dalam waktu singkat, terutama jika barang tersebut masih dalam kondisi baik dan dibutuhkan oleh banyak orang. Keempat: Meminjam uang dari keluarga atau teman Meminjam uang dari keluarga atau teman bisa menjadi solusi cepat dalam kondisi mendesak. Namun, ada adab dan etika yang harus diperhatikan saat meminjam uang. Di antaranya adalah meminta izin dengan baik, menjelaskan kondisi keuangan yang sebenarnya, tidak berbohong atau melebih-lebihkan, berkomitmen untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu, dan mencatatnya dengan baik. Meminjam dengan cara yang baik akan menjaga hubungan baik dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Kelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariat Hukum asal meminta-minta tanpa keperluan mendesak adalah diharamkan, berdasarkan banyak hadis, di antaranya: مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa yang meminta tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.” (HR. Ahmad dan selainnya, disahihkan Al-Albani) Namun demikian, syariat mengizinkan seseorang (dengan kriteria tertentu) untuk meminta-minta kepada orang lain. Di antaranya adalah seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. [8] Keenam: Doa Doa adalah salah satu kunci utama dalam mendapatkan rezeki. Doa adalah pintu bagi segala sesuatu yang tertutup dan jalan untuk mempermudah segala urusan yang sulit. Allah Ta’ala berfirman, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.’” (QS. Ghafir: 60) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kelapangan dalam rezeki, berkah dalam umur, harta, dan anak-anak, serta anugerahkanlah kami syukur atas nikmat-Mu, ibadah yang baik, dan kemenangan di surga-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih. [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** 15 Safar 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] http://iswy.co/e1434r [2] http://saaid.org/rasael/712.htm [3] Pinjaman yang kami maksud di sini adalah pinjaman konvensional, yaitu seseorang meminjam sejumlah uang kepada pihak lain, di mana nantinya mengembalikan sejumlah uang tersebut, ditambah sekian persen; sesuai ketentuan yang biasa didapatkan di bank konvensional. [4] https://www.alukah.net/sharia/0/102097/ [5] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 959. [6] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 965. [7] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, 2: 496. [8] Untuk pembahasan lebih rinci, silakan merujuk ke link berikut: https://almanhaj.or.id artikel no. 17489 [9] https://www.islamweb.net/ar/article/237829/ Tags: pinjol


Daftar Isi Toggle Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibahBahaya riba dalam pinjaman onlinePertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilanKedua: Kehilangan nikmat yang baikKetiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-NyaMencari solusi yang halal saat butuh uangPertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnyaKedua: SilaturahmiKetiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikanKeempat: Meminjam uang dari keluarga atau temanKelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariatKeenam: Doa Salah satu kenyataan yang diakui oleh manusia adalah bahwa dunia ini penuh dengan berbagai ujian dan cobaan, yang datang dalam berbagai bentuk. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan…” (QS. Al-Baqarah: 155) Ujian-ujian ini tidak membedakan antara seorang muslim dan nonmuslim. Akan tetapi, seorang muslim melihat cobaan ini dengan perspektif yang berbeda, yang dapat meringankan beban kesedihan, bahkan membawanya pada tingkat rida, suatu derajat yang tinggi yang hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang terpilih. [1] Takwa adalah sikap seorang muslim saat tertimpa musibah Betapa agungnya sebuah prinsip ini yang menunjukkan kita jalan keluar dari musibah dan kesulitan yang kita hadapi. Sesungguhnya jalan keluar itu adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya Ta’ala, وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجَاً “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” Jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan akhirat, serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka oleh manusia. Takwa berasal dari kata “wiqayah”, yang berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang merusak dan menyakitinya, serta menjadikan diri seseorang dalam perlindungan dari apa yang ditakutinya. Maka, takwa adalah menjaga diri dari hal-hal yang mendatangkan dosa, dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Takwa kepada Allah adalah sebab terlepasnya dari kesulitan dan musibah. Takwa juga akan menambah iman dan keyakinan seseorang kepada Allah Ta’ala. Ibnu Atha’ berkata, على قدر قربهم من التقوى أدركوا من اليقين “Sejauh mana mereka dekat dengan takwa, sejauh itulah mereka meraih keyakinan.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Dan orang yang benar-benar mulia adalah yang mulia di sisi Allah Ta’ala. Timbangan yang benar untuk mengukur nilai seseorang adalah timbangan takwa, timbangan hubungan dengan Allah, mengingat-Nya, dan bertakwa kepada-Nya. [2] Bahaya riba dalam pinjaman online Pinjaman [3] online, yang melibatkan riba, merupakan salah satu bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam. Riba merupakan pendapatan yang kotor, terlarang, dan penuh malapetaka. Selain itu, riba membawa kerugian dalam agama dan dunia, baik di masa kini maupun masa depan, bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya, membantu, atau merestuinya dalam bentuk apapun, baik dengan mengambil atau memberi, menulis atau menjadi saksi, atau cara lain apa pun yang mendukung dan membantu transaksi yang batil dan zalim ini. Transaksi yang sejatinya adalah bentuk perlawanan dan peperangan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta penindasan yang kejam terhadap manusia. Transaksi ini bergantung pada dosa dan permusuhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Maka, tidak diragukan lagi bahwa transaksi seperti ini membawa banyak kerugian besar dan kehancuran, serta konsekuensinya yang berat dan menyakitkan, baik bagi individu maupun masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya, dan juga bagi masyarakat yang mampu mengubah keburukan tersebut tetapi tidak mengingkarinya, tidak berusaha untuk mengubah atau menguranginya. Bahaya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Peringatan mengenai bahaya ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah merincinya dalam banyak hadis, sebagai penyampaian wahyu dari Allah Ta’ala. Orang-orang telah menyaksikan bukti-buktinya dan dampaknya yang nyata dalam diri mereka dan di sekitar mereka. Di antara bahaya tersebut adalah: Pertama: Penghilangan berkah dari umur dan penghasilan Allah Ta’ala berfirman, يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا “Allah memusnahkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 276) Ayat ini merupakan peringatan yang jelas tentang akibat buruk dari riba bagi pelakunya dari segala aspek. Allah mungkin menimpakan berbagai sebab yang membawa kekurangan dan kerusakan, seperti tenggelam, kebakaran, pencurian, atau aturan yang zalim yang mengambil harta darinya dengan paksa dan kehinaan. Allah juga mungkin menghilangkan hartanya sepenuhnya sehingga tidak tersisa sedikit pun. Kedua: Kehilangan nikmat yang baik Allah Ta’ala berfirman, فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا  وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik yang (sebelumnya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161) Dalam ayat yang mulia ini disebutkan secara jelas bahwa mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah salah satu penyebab Allah mengharamkan nikmat yang baik-baik atas orang Yahudi. Pengharaman ini bersifat qadari (ketetapan) dan syar’i (hukum), dan siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka. Orang-orang yang menyerupai Yahudi dalam mengambil riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil telah menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk menerima hukuman yang sama seperti yang Allah timpakan kepada Yahudi. Betapa banyak orang kaya di zaman ini yang hidupnya penuh dengan kesulitan, kekurangan, dan keadaan yang buruk karena rasa cemas, takut, kikir, dan gelisah yang mereka alami! [4] Ketiga: Mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ “‌Wahai ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman,‌ ‌bertakwalah‌ ‌kepada‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌tinggalkanlah‌ ‌sisa-sisa‌ ‌riba‌ ‌(yang‌ ‌belum‌ ‌dipungut)‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌memang‌ ‌orang-orang‌ ‌yang‌ ‌beriman. Jika‌ ‌kalian‌ ‌tidak‌ ‌melakukannya,‌ ‌maka‌ ‌ketahuilah‌ ‌bahwa‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌dihadapkan‌ ‌pada‌ ‌perang‌ ‌dari‌ ‌Allah‌ ‌dan‌ ‌Rasul-Nya.‌ ‌Dan‌ ‌jika‌ ‌kalian‌ ‌bertobat,‌ ‌maka‌ ‌kalian‌ ‌akan‌ ‌mendapatkan‌ ‌modal‌ ‌pokok‌ ‌kalian‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌diperlakukan‌ ‌dengan‌ ‌zalim‌ ‌dan‌ ‌tanpa‌ ‌kalian‌ ‌zalim‌ ‌kepada‌ ‌orang‌ ‌lain.”‌ (QS. Al-Baqarah: 278-279) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Kemudian Allah Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya serta meninggalkan sisa-sisa transaksi riba yang mereka lakukan sebelumnya. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan salah satu bukti terbesar yang menunjukkan betapa buruknya riba, di mana orang yang tetap melakukannya dianggap sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya.” [5] Baca juga: Tipu Daya Judi Slot dan Pinjol Mencari solusi yang halal saat butuh uang Seseorang yang memerlukan uang dengan segera harus memperbesar usahanya dalam mencari rezeki dari Allah Ta’ala dan berusaha dengan cara-cara yang telah dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an menyebutkan balasan bagi orang yang bertakwa, termasuk juga bertakwa dalam mencari uang, وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dan memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 261) Syekh As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, “Dalam ayat lain, Allah menyebutkan cara-cara yang dapat digunakan untuk memperoleh rezeki-Nya, seperti dalam firman-Nya, وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * ‌وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia cukup baginya.” (QS. At-Talaq: 1-3) Oleh karena itu, hamba hendaknya hanya meminta rezeki dari Allah dan berusaha dengan cara-cara yang Allah mudahkan dan halalkan. [6] Beberapa cara yang halal untuk mendapatkan rezeki: Pertama: Tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, لَوْ أنَّكُم تَوكَّلُونَ على اللهِ حَق تَوكُّلهِ لَرَزقكُمَ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ، تَغدُو خِماصًا، وتَروحُ بِطانًا “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam “Shahih“-nya, serta Al-Hakim, dan Tirmidzi mengatakan, “Hasan sahih.”) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadis ini merupakan pokok dalam tawakal dan merupakan salah satu sebab terbesar untuk mendapatkan rezeki. … Tawakal yang benar adalah ketulusan hati dalam bergantung kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh kebaikan dan menjauhi bahaya dari urusan dunia dan akhirat, serta meyakini bahwa tidak ada yang memberi, menahan, membahayakan, atau memberi manfaat, kecuali Allah.” [7] Cara ini termasuk cara yang paling ampuh untuk mendapatkan uang bagi orang yang terdesak, namun banyak orang yang mengabaikannya. Wallahu a’lam. Kedua: Silaturahmi Di antara cara lain adalah silaturahmi (menyambung kekerabatan), misalkan mengunjungi orang tua, atau kerabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن سَرَّهُ أنْ يُبْسَطَ له في رِزْقِهِ، أوْ يُنْسَأَ له في أثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barangsiapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya dipanjangkan, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 2067) Ketiga: Menjual barang yang mudah dijual-belikan Salah satu cara untuk mendapatkan uang dengan segera adalah menjual barang yang mudah dipasarkan dan memiliki nilai jual tinggi. Barang-barang seperti pakaian, makanan, atau barang elektronik biasanya cepat laku di pasaran. Menjual barang-barang ini dapat memberikan penghasilan tambahan dalam waktu singkat, terutama jika barang tersebut masih dalam kondisi baik dan dibutuhkan oleh banyak orang. Keempat: Meminjam uang dari keluarga atau teman Meminjam uang dari keluarga atau teman bisa menjadi solusi cepat dalam kondisi mendesak. Namun, ada adab dan etika yang harus diperhatikan saat meminjam uang. Di antaranya adalah meminta izin dengan baik, menjelaskan kondisi keuangan yang sebenarnya, tidak berbohong atau melebih-lebihkan, berkomitmen untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu, dan mencatatnya dengan baik. Meminjam dengan cara yang baik akan menjaga hubungan baik dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Kelima: Meminta-minta yang diizinkan oleh syariat Hukum asal meminta-minta tanpa keperluan mendesak adalah diharamkan, berdasarkan banyak hadis, di antaranya: مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa yang meminta tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.” (HR. Ahmad dan selainnya, disahihkan Al-Albani) Namun demikian, syariat mengizinkan seseorang (dengan kriteria tertentu) untuk meminta-minta kepada orang lain. Di antaranya adalah seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. [8] Keenam: Doa Doa adalah salah satu kunci utama dalam mendapatkan rezeki. Doa adalah pintu bagi segala sesuatu yang tertutup dan jalan untuk mempermudah segala urusan yang sulit. Allah Ta’ala berfirman, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.’” (QS. Ghafir: 60) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kelapangan dalam rezeki, berkah dalam umur, harta, dan anak-anak, serta anugerahkanlah kami syukur atas nikmat-Mu, ibadah yang baik, dan kemenangan di surga-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih. [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bahaya Memakan Harta Riba *** 15 Safar 1446 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] http://iswy.co/e1434r [2] http://saaid.org/rasael/712.htm [3] Pinjaman yang kami maksud di sini adalah pinjaman konvensional, yaitu seseorang meminjam sejumlah uang kepada pihak lain, di mana nantinya mengembalikan sejumlah uang tersebut, ditambah sekian persen; sesuai ketentuan yang biasa didapatkan di bank konvensional. [4] https://www.alukah.net/sharia/0/102097/ [5] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 959. [6] Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman), hal. 965. [7] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, 2: 496. [8] Untuk pembahasan lebih rinci, silakan merujuk ke link berikut: https://almanhaj.or.id artikel no. 17489 [9] https://www.islamweb.net/ar/article/237829/ Tags: pinjol

Jangan Tertipu dengan Ampunan Allah: Nasihat Ibnul Qayyim bagi Pendosa

Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ mengingatkan agar tidak terjebak dalam anggapan bahwa dosa-dosa akan terhapus hanya dengan amalan lahiriah seperti istighfar atau puasa sunnah, tanpa disertai taubat yang tulus, meninggalkan dosa, dan berbuat kebaikan yang nyata untuk mendapatkan ampunan Allah.   Daftar Isi tutup 1. [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal] 1.1. [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] 1.2. [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] 1.3. [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] 1.4. [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] 1.5. [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] 1.6. [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] 1.7. [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] 1.8. [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] 1.9. [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] 1.10. [Kesepuluh: Allah Maha Karim] 1.11. [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] 1.12. [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 32-40) sebagai berikut: Seorang hamba mengetahui bahwa maksiat dan kelalaian termasuk sejumlah sebab yang pasti mendatangkan bahaya atas dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.   [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal]   [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] Ada kalanya jiwa manusia menipu dirinya sendiri, misalnya mengandalkan kepada ampunan Allah serta menunda taubat. Terkadang juga berlindung dengan ucapan istighfar secara lisan, melaksanakan perkara-perkara yang disunnahkan, atau ilmu yang ia miliki. Terkadang pula dengan menjadikan takdir sebagai dalih, menjadikan hal-hal yang mirip dengan itu sebagai alasan, atau dengan alasan mengikuti para pemimpin. Baca juga: Allah Maha Pengampun, Allah Mengampuni Setiap Dosa   [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] Banyak orang menyangka bahwa apabila seseorang melakukan kemaksiatan lalu mengucapkan: “Astaghfirullah,” maka dampak negatif atau dosa dari kemaksiatan tersebut akan hilang dan selesailah urusannya. Baca juga: Perintah Memperbanyak Istighfar   [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] Ada orang yang mengaku faqih berkata kepadaku: “Aku akan berbuat semauku lalu aku mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’, sebanyak seratus kali, maka apa yang kulakukan itu akan terampuni seluruhnya,” sebagaimana riwayat shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ِمَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ “Barang siapa mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’ (Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya), sebanyak seratus kali dalam sehari, maka dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 2691] Seorang penduduk Makkah berkata kepada saya: “Jika seorang dari kami berbuat dosa, ia pun mandi dan melakukan thawaf sebanyak tujuh kali. Dengan demikian, dosa tersebut terhapus darinya.”   [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] Ada juga yang berkata kepada saya: “Dalam riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda: ِ«أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي، فَغَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا، فَاغْفِرْ لِي، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَصْنَعْ مَا شَاءَ.» ِوَقَالَ: أَنَا لَا أَشُكُّ أَنَّ لِي رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، “Ada seorang hamba yang melakukan sebuah dosa, lalu ia berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, kemudian ia melakukan lagi dosa yang lain. Ia lantas berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun kembali mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah ‘azza wa jalla berkata: ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku itu. Maka berbuatlah semaunya.’ Kemudian, orang itu berkata: ‘Aku tidak ragu bahwa aku memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghukum karenanya!’” (HR. Bukhari, no. 7068 dan Muslim, no. 2758) Baca juga: Segera Bertaubat dan Tidak Melanjutkan Maksiat   [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] Ada yang tertipu dengan permasalahan murji’ah bahwa iman itu hanya tashdiq (membenarkan), sedangkan amal tidak termasuk bagian dari iman. Iman manusia yang fasik itu bisa sama dengan imannya Jibril dan Mikail. Baca juga: Pengertian Iman Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah   [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] Sebagian lagi tertipu dengan mencintai orang-orang miskin, para syaikh, dan orang-orang saleh. Misalnya, dengan banyak mengunjungi kuburan para wali Allah tersebut, memohon kepada mereka dengan merendahkan diri, meminta syafa’at mereka, bertawassul kepada Allah dengan mereka, serta berdoa kepada-Nya dengan hak mereka atas Allah dan kehormatan mereka di sisi-Nya. Baca juga: Keutamaan Mencintai Orang Miskin   [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] Sebagian lain tertipu dengan kebesaran nenek moyang dan para pendahulunya. Ia menyangka bahwa mereka mempunyai kedudukan dan derajat kesalihan di sisi Allah. Ia juga menyangka bahwa mereka tidak akan meninggalkannya hingga berhasil mencarikan jalan keluar untuknya. Hal ini dapat disaksikan di kalangan para raja. Mereka melimpahkan dosa keturunan dan keluarga mereka kepada “orang-orang khusus” di sekitar mereka. Jika salah satu dari mereka terjerumus melakukan dosa besar, maka ayah atau kakeknya mencarikan jalan keluar untuknya dengan pangkat dan kedudukannya. Baca juga: Sebab Orang Sulit Menerima Kebenaran 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal   [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] Sebagian lain tertipu dengan anggapan bahwa Allah tidak butuh kepada azab-Nya karena azab tersebut tidak akan menambahkan sesuatu apa pun dalam kerajaan-Nya, sebagaimana rahmat-Nya tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Nya. Ia berkata: “Aku benar-benar membutuhkan rahmat-Nya. Allah adalah Dzat yang Mahakaya. Sekiranya seorang fakir lagi miskin yang benar-benar membutuhkan seteguk air meminta kepada seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat sungai yang mengalir, tentulah ia tidak akan mencegah orang fakir tadi untuk minum di sungai tersebut. Allah tentu saja jauh lebih dermawan dan kaya dibandingkan orang tadi. Di samping itu, ampunan Allah tidak akan membuat kerajaan-Nya berkurang sedikit pun dan azab tidak akan membuat kerajaan-Nya bertambah sedikit pun.”   [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] Allah Ta’ala berfirman, ِ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Ayat di atas mencakup semua dosa, termasuk syirik, dan Allah mengampuni dosa orang yang bertaubat, apa pun bentuknya. Jika ayat ini diterapkan pada selain orang yang bertaubat, maka ancaman dalam nash dan hadits terkait syafa’at tidak akan memiliki fungsi. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Allah mengampuni semua dosa adalah khusus bagi mereka yang bertaubat. Dalam ayat lainnya ada pembatasan (taqyid) di mana disebutkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik yang dibawa mati sebagaimana disebutkan dalam ayat, ِإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 48, 116). Baca juga: Dosa Syirik Tidak Diampuni   [Kesepuluh: Allah Maha Karim] Allah Ta’ala berfirman, ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6) Allah menyebutkan lafazh al-Karim (الكَرِيمُ), yang dimaksud adalah as-sayyid (tuan) yang sangat kuat, yang agung, yang ditaati, yang tidak seharusnya orang tertipu dengan makna ‘Pemurah’ dan mengabaikan hak-Nya. Orang yang tertipu ini telah menempatkan arti kata ‘karim’ (pemurah) bukan pada tempatnya. Akhirnya, ia pun tertipu dengan apa yang seharusnya tidak tertipu dengannya.   [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] Bagaimana mungkin puasa sunnah sehari bisa menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan seseorang, padahal ia masih berbuat dosa tersebut dan tidak bertaubat darinya? Hal ini mustahil. Meski puasa di hari Arafah dan hari Asyura mampu menghapuskan seluruh dosa yang terjadi dalam setahun, sesuai keumuman nas, tetapi ia termasuk kumpulan dalil yang berisi janji baik, yang terealisasi atau tidaknya bergantung pada sejumlah syarat dan penghalang. Padahal terus-menerus melakukan dosa besar merupakan salah satu penghalangnya. Jika seorang hamba tidak meneruskan dosa besarnya, puasa akan menopang terealisasinya janji tersebut, untuk kemudian menghapuskan perbuatan dosa secara umum, sebagaimana puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang dibarengi dengan menjauhi dosa besar; niscaya keduanya akan saling menopang untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah: ِإِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu …” (QS. An-Nisa: 31) Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab terhapusnya dosa tidak menghalanginya untuk turut menopang sebab lain yang mampu menghapuskan dosa; bahkan penghapusan dosa dengan terkumpulnya dua sebab tadi menjadi lebih kuat dan lebih sempurna daripada penghapusan dosa yang terjadi dengan satu sebab saja. Jika sebab-sebab yang dapat menghapuskan dosa semakin kuat, maka penghapusan dosa juga akan menjadi lebih sempurna dan lebih kuat.   [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Sebagian lain bersandar kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman: ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya orang Mukmin itu berbaik sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang baik. Sebaliknya, sesungguhnya orang yang durhaka itu bersikap buruk sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.” Bagaimana mungkin seseorang akan berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia lari dari-Nya, berpindah-pindah dari satu kemurkaan Allah kepada kemurkaan-Nya yang lain, menerjumuskan dirinya ke dalam laknat-Nya, merendahkan dan menyia-nyiakan hak dan perintah-Nya, serta meremehkan larangan-Nya sehingga mengerjakan dan terus-menerus melakukannya? Barang siapa yang mencermati masalah ini dengan benar tentu mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak lain dan yang baik adalah persangkaan baiknya kepada Allah, yakni bahwa Dia akan membalas, memberikan pahala, serta menerima amalannya. Jadi, persangkaan baik yang mendorongnya untuk berbuat amal yang baik. Setiap kali ia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala maka setiap waktu itu pulalah amal perbuatannya menjadi semakin baik. Jika tidak demikian, sesungguhnya persangkaan baik yang disertai dengan hawa nafsu hanyalah merupakan kelemahan. Persangkaan yang baik itu hanyalah bermanfaat bagi orang yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosanya; juga bagi mereka yang mengganti keburukan dengan kebaikan serta sisa umurnya dengan kebaikan dan ketaatan. Setelah itu, barulah ia dapat berbaik sangka. Berbaik sangka kepada Allah dan terperdaya oleh-Nya merupakan dua hal yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman: ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah….” (QS. Al-Baqarah: 218) Allah menjadikan mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya sebagai ahli raja’ (orang-orang yang mengharap ridha-Nya), bukan orang-orang yang malas beramal atau orang-orang fasik. Allah Ta’ala berfirman: ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ “Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110) Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa setelah terjadinya perkara-perkara itu, yaitu hijrah, jihad, dan sabar, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap orang-orang yang melakukannya. Orang yang berilmu meletakkan raja’ (harapan) pada tempat yang semestinya, sementara orang yang bodoh lagi tertipu meletakkannya tidak pada tempatnya.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   – Diselesaikan pada 30 Safar 1446 H, 4 September 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat

Jangan Tertipu dengan Ampunan Allah: Nasihat Ibnul Qayyim bagi Pendosa

Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ mengingatkan agar tidak terjebak dalam anggapan bahwa dosa-dosa akan terhapus hanya dengan amalan lahiriah seperti istighfar atau puasa sunnah, tanpa disertai taubat yang tulus, meninggalkan dosa, dan berbuat kebaikan yang nyata untuk mendapatkan ampunan Allah.   Daftar Isi tutup 1. [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal] 1.1. [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] 1.2. [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] 1.3. [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] 1.4. [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] 1.5. [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] 1.6. [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] 1.7. [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] 1.8. [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] 1.9. [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] 1.10. [Kesepuluh: Allah Maha Karim] 1.11. [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] 1.12. [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 32-40) sebagai berikut: Seorang hamba mengetahui bahwa maksiat dan kelalaian termasuk sejumlah sebab yang pasti mendatangkan bahaya atas dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.   [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal]   [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] Ada kalanya jiwa manusia menipu dirinya sendiri, misalnya mengandalkan kepada ampunan Allah serta menunda taubat. Terkadang juga berlindung dengan ucapan istighfar secara lisan, melaksanakan perkara-perkara yang disunnahkan, atau ilmu yang ia miliki. Terkadang pula dengan menjadikan takdir sebagai dalih, menjadikan hal-hal yang mirip dengan itu sebagai alasan, atau dengan alasan mengikuti para pemimpin. Baca juga: Allah Maha Pengampun, Allah Mengampuni Setiap Dosa   [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] Banyak orang menyangka bahwa apabila seseorang melakukan kemaksiatan lalu mengucapkan: “Astaghfirullah,” maka dampak negatif atau dosa dari kemaksiatan tersebut akan hilang dan selesailah urusannya. Baca juga: Perintah Memperbanyak Istighfar   [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] Ada orang yang mengaku faqih berkata kepadaku: “Aku akan berbuat semauku lalu aku mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’, sebanyak seratus kali, maka apa yang kulakukan itu akan terampuni seluruhnya,” sebagaimana riwayat shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ِمَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ “Barang siapa mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’ (Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya), sebanyak seratus kali dalam sehari, maka dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 2691] Seorang penduduk Makkah berkata kepada saya: “Jika seorang dari kami berbuat dosa, ia pun mandi dan melakukan thawaf sebanyak tujuh kali. Dengan demikian, dosa tersebut terhapus darinya.”   [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] Ada juga yang berkata kepada saya: “Dalam riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda: ِ«أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي، فَغَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا، فَاغْفِرْ لِي، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَصْنَعْ مَا شَاءَ.» ِوَقَالَ: أَنَا لَا أَشُكُّ أَنَّ لِي رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، “Ada seorang hamba yang melakukan sebuah dosa, lalu ia berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, kemudian ia melakukan lagi dosa yang lain. Ia lantas berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun kembali mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah ‘azza wa jalla berkata: ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku itu. Maka berbuatlah semaunya.’ Kemudian, orang itu berkata: ‘Aku tidak ragu bahwa aku memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghukum karenanya!’” (HR. Bukhari, no. 7068 dan Muslim, no. 2758) Baca juga: Segera Bertaubat dan Tidak Melanjutkan Maksiat   [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] Ada yang tertipu dengan permasalahan murji’ah bahwa iman itu hanya tashdiq (membenarkan), sedangkan amal tidak termasuk bagian dari iman. Iman manusia yang fasik itu bisa sama dengan imannya Jibril dan Mikail. Baca juga: Pengertian Iman Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah   [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] Sebagian lagi tertipu dengan mencintai orang-orang miskin, para syaikh, dan orang-orang saleh. Misalnya, dengan banyak mengunjungi kuburan para wali Allah tersebut, memohon kepada mereka dengan merendahkan diri, meminta syafa’at mereka, bertawassul kepada Allah dengan mereka, serta berdoa kepada-Nya dengan hak mereka atas Allah dan kehormatan mereka di sisi-Nya. Baca juga: Keutamaan Mencintai Orang Miskin   [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] Sebagian lain tertipu dengan kebesaran nenek moyang dan para pendahulunya. Ia menyangka bahwa mereka mempunyai kedudukan dan derajat kesalihan di sisi Allah. Ia juga menyangka bahwa mereka tidak akan meninggalkannya hingga berhasil mencarikan jalan keluar untuknya. Hal ini dapat disaksikan di kalangan para raja. Mereka melimpahkan dosa keturunan dan keluarga mereka kepada “orang-orang khusus” di sekitar mereka. Jika salah satu dari mereka terjerumus melakukan dosa besar, maka ayah atau kakeknya mencarikan jalan keluar untuknya dengan pangkat dan kedudukannya. Baca juga: Sebab Orang Sulit Menerima Kebenaran 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal   [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] Sebagian lain tertipu dengan anggapan bahwa Allah tidak butuh kepada azab-Nya karena azab tersebut tidak akan menambahkan sesuatu apa pun dalam kerajaan-Nya, sebagaimana rahmat-Nya tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Nya. Ia berkata: “Aku benar-benar membutuhkan rahmat-Nya. Allah adalah Dzat yang Mahakaya. Sekiranya seorang fakir lagi miskin yang benar-benar membutuhkan seteguk air meminta kepada seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat sungai yang mengalir, tentulah ia tidak akan mencegah orang fakir tadi untuk minum di sungai tersebut. Allah tentu saja jauh lebih dermawan dan kaya dibandingkan orang tadi. Di samping itu, ampunan Allah tidak akan membuat kerajaan-Nya berkurang sedikit pun dan azab tidak akan membuat kerajaan-Nya bertambah sedikit pun.”   [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] Allah Ta’ala berfirman, ِ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Ayat di atas mencakup semua dosa, termasuk syirik, dan Allah mengampuni dosa orang yang bertaubat, apa pun bentuknya. Jika ayat ini diterapkan pada selain orang yang bertaubat, maka ancaman dalam nash dan hadits terkait syafa’at tidak akan memiliki fungsi. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Allah mengampuni semua dosa adalah khusus bagi mereka yang bertaubat. Dalam ayat lainnya ada pembatasan (taqyid) di mana disebutkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik yang dibawa mati sebagaimana disebutkan dalam ayat, ِإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 48, 116). Baca juga: Dosa Syirik Tidak Diampuni   [Kesepuluh: Allah Maha Karim] Allah Ta’ala berfirman, ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6) Allah menyebutkan lafazh al-Karim (الكَرِيمُ), yang dimaksud adalah as-sayyid (tuan) yang sangat kuat, yang agung, yang ditaati, yang tidak seharusnya orang tertipu dengan makna ‘Pemurah’ dan mengabaikan hak-Nya. Orang yang tertipu ini telah menempatkan arti kata ‘karim’ (pemurah) bukan pada tempatnya. Akhirnya, ia pun tertipu dengan apa yang seharusnya tidak tertipu dengannya.   [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] Bagaimana mungkin puasa sunnah sehari bisa menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan seseorang, padahal ia masih berbuat dosa tersebut dan tidak bertaubat darinya? Hal ini mustahil. Meski puasa di hari Arafah dan hari Asyura mampu menghapuskan seluruh dosa yang terjadi dalam setahun, sesuai keumuman nas, tetapi ia termasuk kumpulan dalil yang berisi janji baik, yang terealisasi atau tidaknya bergantung pada sejumlah syarat dan penghalang. Padahal terus-menerus melakukan dosa besar merupakan salah satu penghalangnya. Jika seorang hamba tidak meneruskan dosa besarnya, puasa akan menopang terealisasinya janji tersebut, untuk kemudian menghapuskan perbuatan dosa secara umum, sebagaimana puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang dibarengi dengan menjauhi dosa besar; niscaya keduanya akan saling menopang untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah: ِإِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu …” (QS. An-Nisa: 31) Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab terhapusnya dosa tidak menghalanginya untuk turut menopang sebab lain yang mampu menghapuskan dosa; bahkan penghapusan dosa dengan terkumpulnya dua sebab tadi menjadi lebih kuat dan lebih sempurna daripada penghapusan dosa yang terjadi dengan satu sebab saja. Jika sebab-sebab yang dapat menghapuskan dosa semakin kuat, maka penghapusan dosa juga akan menjadi lebih sempurna dan lebih kuat.   [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Sebagian lain bersandar kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman: ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya orang Mukmin itu berbaik sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang baik. Sebaliknya, sesungguhnya orang yang durhaka itu bersikap buruk sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.” Bagaimana mungkin seseorang akan berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia lari dari-Nya, berpindah-pindah dari satu kemurkaan Allah kepada kemurkaan-Nya yang lain, menerjumuskan dirinya ke dalam laknat-Nya, merendahkan dan menyia-nyiakan hak dan perintah-Nya, serta meremehkan larangan-Nya sehingga mengerjakan dan terus-menerus melakukannya? Barang siapa yang mencermati masalah ini dengan benar tentu mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak lain dan yang baik adalah persangkaan baiknya kepada Allah, yakni bahwa Dia akan membalas, memberikan pahala, serta menerima amalannya. Jadi, persangkaan baik yang mendorongnya untuk berbuat amal yang baik. Setiap kali ia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala maka setiap waktu itu pulalah amal perbuatannya menjadi semakin baik. Jika tidak demikian, sesungguhnya persangkaan baik yang disertai dengan hawa nafsu hanyalah merupakan kelemahan. Persangkaan yang baik itu hanyalah bermanfaat bagi orang yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosanya; juga bagi mereka yang mengganti keburukan dengan kebaikan serta sisa umurnya dengan kebaikan dan ketaatan. Setelah itu, barulah ia dapat berbaik sangka. Berbaik sangka kepada Allah dan terperdaya oleh-Nya merupakan dua hal yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman: ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah….” (QS. Al-Baqarah: 218) Allah menjadikan mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya sebagai ahli raja’ (orang-orang yang mengharap ridha-Nya), bukan orang-orang yang malas beramal atau orang-orang fasik. Allah Ta’ala berfirman: ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ “Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110) Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa setelah terjadinya perkara-perkara itu, yaitu hijrah, jihad, dan sabar, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap orang-orang yang melakukannya. Orang yang berilmu meletakkan raja’ (harapan) pada tempat yang semestinya, sementara orang yang bodoh lagi tertipu meletakkannya tidak pada tempatnya.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   – Diselesaikan pada 30 Safar 1446 H, 4 September 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat
Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ mengingatkan agar tidak terjebak dalam anggapan bahwa dosa-dosa akan terhapus hanya dengan amalan lahiriah seperti istighfar atau puasa sunnah, tanpa disertai taubat yang tulus, meninggalkan dosa, dan berbuat kebaikan yang nyata untuk mendapatkan ampunan Allah.   Daftar Isi tutup 1. [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal] 1.1. [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] 1.2. [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] 1.3. [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] 1.4. [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] 1.5. [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] 1.6. [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] 1.7. [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] 1.8. [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] 1.9. [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] 1.10. [Kesepuluh: Allah Maha Karim] 1.11. [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] 1.12. [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 32-40) sebagai berikut: Seorang hamba mengetahui bahwa maksiat dan kelalaian termasuk sejumlah sebab yang pasti mendatangkan bahaya atas dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.   [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal]   [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] Ada kalanya jiwa manusia menipu dirinya sendiri, misalnya mengandalkan kepada ampunan Allah serta menunda taubat. Terkadang juga berlindung dengan ucapan istighfar secara lisan, melaksanakan perkara-perkara yang disunnahkan, atau ilmu yang ia miliki. Terkadang pula dengan menjadikan takdir sebagai dalih, menjadikan hal-hal yang mirip dengan itu sebagai alasan, atau dengan alasan mengikuti para pemimpin. Baca juga: Allah Maha Pengampun, Allah Mengampuni Setiap Dosa   [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] Banyak orang menyangka bahwa apabila seseorang melakukan kemaksiatan lalu mengucapkan: “Astaghfirullah,” maka dampak negatif atau dosa dari kemaksiatan tersebut akan hilang dan selesailah urusannya. Baca juga: Perintah Memperbanyak Istighfar   [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] Ada orang yang mengaku faqih berkata kepadaku: “Aku akan berbuat semauku lalu aku mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’, sebanyak seratus kali, maka apa yang kulakukan itu akan terampuni seluruhnya,” sebagaimana riwayat shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ِمَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ “Barang siapa mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’ (Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya), sebanyak seratus kali dalam sehari, maka dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 2691] Seorang penduduk Makkah berkata kepada saya: “Jika seorang dari kami berbuat dosa, ia pun mandi dan melakukan thawaf sebanyak tujuh kali. Dengan demikian, dosa tersebut terhapus darinya.”   [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] Ada juga yang berkata kepada saya: “Dalam riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda: ِ«أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي، فَغَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا، فَاغْفِرْ لِي، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَصْنَعْ مَا شَاءَ.» ِوَقَالَ: أَنَا لَا أَشُكُّ أَنَّ لِي رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، “Ada seorang hamba yang melakukan sebuah dosa, lalu ia berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, kemudian ia melakukan lagi dosa yang lain. Ia lantas berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun kembali mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah ‘azza wa jalla berkata: ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku itu. Maka berbuatlah semaunya.’ Kemudian, orang itu berkata: ‘Aku tidak ragu bahwa aku memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghukum karenanya!’” (HR. Bukhari, no. 7068 dan Muslim, no. 2758) Baca juga: Segera Bertaubat dan Tidak Melanjutkan Maksiat   [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] Ada yang tertipu dengan permasalahan murji’ah bahwa iman itu hanya tashdiq (membenarkan), sedangkan amal tidak termasuk bagian dari iman. Iman manusia yang fasik itu bisa sama dengan imannya Jibril dan Mikail. Baca juga: Pengertian Iman Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah   [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] Sebagian lagi tertipu dengan mencintai orang-orang miskin, para syaikh, dan orang-orang saleh. Misalnya, dengan banyak mengunjungi kuburan para wali Allah tersebut, memohon kepada mereka dengan merendahkan diri, meminta syafa’at mereka, bertawassul kepada Allah dengan mereka, serta berdoa kepada-Nya dengan hak mereka atas Allah dan kehormatan mereka di sisi-Nya. Baca juga: Keutamaan Mencintai Orang Miskin   [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] Sebagian lain tertipu dengan kebesaran nenek moyang dan para pendahulunya. Ia menyangka bahwa mereka mempunyai kedudukan dan derajat kesalihan di sisi Allah. Ia juga menyangka bahwa mereka tidak akan meninggalkannya hingga berhasil mencarikan jalan keluar untuknya. Hal ini dapat disaksikan di kalangan para raja. Mereka melimpahkan dosa keturunan dan keluarga mereka kepada “orang-orang khusus” di sekitar mereka. Jika salah satu dari mereka terjerumus melakukan dosa besar, maka ayah atau kakeknya mencarikan jalan keluar untuknya dengan pangkat dan kedudukannya. Baca juga: Sebab Orang Sulit Menerima Kebenaran 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal   [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] Sebagian lain tertipu dengan anggapan bahwa Allah tidak butuh kepada azab-Nya karena azab tersebut tidak akan menambahkan sesuatu apa pun dalam kerajaan-Nya, sebagaimana rahmat-Nya tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Nya. Ia berkata: “Aku benar-benar membutuhkan rahmat-Nya. Allah adalah Dzat yang Mahakaya. Sekiranya seorang fakir lagi miskin yang benar-benar membutuhkan seteguk air meminta kepada seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat sungai yang mengalir, tentulah ia tidak akan mencegah orang fakir tadi untuk minum di sungai tersebut. Allah tentu saja jauh lebih dermawan dan kaya dibandingkan orang tadi. Di samping itu, ampunan Allah tidak akan membuat kerajaan-Nya berkurang sedikit pun dan azab tidak akan membuat kerajaan-Nya bertambah sedikit pun.”   [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] Allah Ta’ala berfirman, ِ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Ayat di atas mencakup semua dosa, termasuk syirik, dan Allah mengampuni dosa orang yang bertaubat, apa pun bentuknya. Jika ayat ini diterapkan pada selain orang yang bertaubat, maka ancaman dalam nash dan hadits terkait syafa’at tidak akan memiliki fungsi. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Allah mengampuni semua dosa adalah khusus bagi mereka yang bertaubat. Dalam ayat lainnya ada pembatasan (taqyid) di mana disebutkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik yang dibawa mati sebagaimana disebutkan dalam ayat, ِإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 48, 116). Baca juga: Dosa Syirik Tidak Diampuni   [Kesepuluh: Allah Maha Karim] Allah Ta’ala berfirman, ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6) Allah menyebutkan lafazh al-Karim (الكَرِيمُ), yang dimaksud adalah as-sayyid (tuan) yang sangat kuat, yang agung, yang ditaati, yang tidak seharusnya orang tertipu dengan makna ‘Pemurah’ dan mengabaikan hak-Nya. Orang yang tertipu ini telah menempatkan arti kata ‘karim’ (pemurah) bukan pada tempatnya. Akhirnya, ia pun tertipu dengan apa yang seharusnya tidak tertipu dengannya.   [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] Bagaimana mungkin puasa sunnah sehari bisa menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan seseorang, padahal ia masih berbuat dosa tersebut dan tidak bertaubat darinya? Hal ini mustahil. Meski puasa di hari Arafah dan hari Asyura mampu menghapuskan seluruh dosa yang terjadi dalam setahun, sesuai keumuman nas, tetapi ia termasuk kumpulan dalil yang berisi janji baik, yang terealisasi atau tidaknya bergantung pada sejumlah syarat dan penghalang. Padahal terus-menerus melakukan dosa besar merupakan salah satu penghalangnya. Jika seorang hamba tidak meneruskan dosa besarnya, puasa akan menopang terealisasinya janji tersebut, untuk kemudian menghapuskan perbuatan dosa secara umum, sebagaimana puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang dibarengi dengan menjauhi dosa besar; niscaya keduanya akan saling menopang untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah: ِإِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu …” (QS. An-Nisa: 31) Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab terhapusnya dosa tidak menghalanginya untuk turut menopang sebab lain yang mampu menghapuskan dosa; bahkan penghapusan dosa dengan terkumpulnya dua sebab tadi menjadi lebih kuat dan lebih sempurna daripada penghapusan dosa yang terjadi dengan satu sebab saja. Jika sebab-sebab yang dapat menghapuskan dosa semakin kuat, maka penghapusan dosa juga akan menjadi lebih sempurna dan lebih kuat.   [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Sebagian lain bersandar kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman: ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya orang Mukmin itu berbaik sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang baik. Sebaliknya, sesungguhnya orang yang durhaka itu bersikap buruk sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.” Bagaimana mungkin seseorang akan berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia lari dari-Nya, berpindah-pindah dari satu kemurkaan Allah kepada kemurkaan-Nya yang lain, menerjumuskan dirinya ke dalam laknat-Nya, merendahkan dan menyia-nyiakan hak dan perintah-Nya, serta meremehkan larangan-Nya sehingga mengerjakan dan terus-menerus melakukannya? Barang siapa yang mencermati masalah ini dengan benar tentu mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak lain dan yang baik adalah persangkaan baiknya kepada Allah, yakni bahwa Dia akan membalas, memberikan pahala, serta menerima amalannya. Jadi, persangkaan baik yang mendorongnya untuk berbuat amal yang baik. Setiap kali ia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala maka setiap waktu itu pulalah amal perbuatannya menjadi semakin baik. Jika tidak demikian, sesungguhnya persangkaan baik yang disertai dengan hawa nafsu hanyalah merupakan kelemahan. Persangkaan yang baik itu hanyalah bermanfaat bagi orang yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosanya; juga bagi mereka yang mengganti keburukan dengan kebaikan serta sisa umurnya dengan kebaikan dan ketaatan. Setelah itu, barulah ia dapat berbaik sangka. Berbaik sangka kepada Allah dan terperdaya oleh-Nya merupakan dua hal yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman: ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah….” (QS. Al-Baqarah: 218) Allah menjadikan mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya sebagai ahli raja’ (orang-orang yang mengharap ridha-Nya), bukan orang-orang yang malas beramal atau orang-orang fasik. Allah Ta’ala berfirman: ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ “Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110) Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa setelah terjadinya perkara-perkara itu, yaitu hijrah, jihad, dan sabar, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap orang-orang yang melakukannya. Orang yang berilmu meletakkan raja’ (harapan) pada tempat yang semestinya, sementara orang yang bodoh lagi tertipu meletakkannya tidak pada tempatnya.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   – Diselesaikan pada 30 Safar 1446 H, 4 September 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat


Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ mengingatkan agar tidak terjebak dalam anggapan bahwa dosa-dosa akan terhapus hanya dengan amalan lahiriah seperti istighfar atau puasa sunnah, tanpa disertai taubat yang tulus, meninggalkan dosa, dan berbuat kebaikan yang nyata untuk mendapatkan ampunan Allah.   Daftar Isi tutup 1. [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal] 1.1. [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] 1.2. [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] 1.3. [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] 1.4. [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] 1.5. [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] 1.6. [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] 1.7. [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] 1.8. [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] 1.9. [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] 1.10. [Kesepuluh: Allah Maha Karim] 1.11. [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] 1.12. [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 32-40) sebagai berikut: Seorang hamba mengetahui bahwa maksiat dan kelalaian termasuk sejumlah sebab yang pasti mendatangkan bahaya atas dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.   [Kita bisa tertipu dengan beberapa hal]   [Pertama: Allah itu Maha Pengampun] Ada kalanya jiwa manusia menipu dirinya sendiri, misalnya mengandalkan kepada ampunan Allah serta menunda taubat. Terkadang juga berlindung dengan ucapan istighfar secara lisan, melaksanakan perkara-perkara yang disunnahkan, atau ilmu yang ia miliki. Terkadang pula dengan menjadikan takdir sebagai dalih, menjadikan hal-hal yang mirip dengan itu sebagai alasan, atau dengan alasan mengikuti para pemimpin. Baca juga: Allah Maha Pengampun, Allah Mengampuni Setiap Dosa   [Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus] Banyak orang menyangka bahwa apabila seseorang melakukan kemaksiatan lalu mengucapkan: “Astaghfirullah,” maka dampak negatif atau dosa dari kemaksiatan tersebut akan hilang dan selesailah urusannya. Baca juga: Perintah Memperbanyak Istighfar   [Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa] Ada orang yang mengaku faqih berkata kepadaku: “Aku akan berbuat semauku lalu aku mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’, sebanyak seratus kali, maka apa yang kulakukan itu akan terampuni seluruhnya,” sebagaimana riwayat shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ِمَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ “Barang siapa mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’ (Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya), sebanyak seratus kali dalam sehari, maka dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 2691] Seorang penduduk Makkah berkata kepada saya: “Jika seorang dari kami berbuat dosa, ia pun mandi dan melakukan thawaf sebanyak tujuh kali. Dengan demikian, dosa tersebut terhapus darinya.”   [Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali] Ada juga yang berkata kepada saya: “Dalam riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda: ِ«أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي، فَغَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا، فَاغْفِرْ لِي، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَصْنَعْ مَا شَاءَ.» ِوَقَالَ: أَنَا لَا أَشُكُّ أَنَّ لِي رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، “Ada seorang hamba yang melakukan sebuah dosa, lalu ia berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, kemudian ia melakukan lagi dosa yang lain. Ia lantas berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun kembali mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah ‘azza wa jalla berkata: ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku itu. Maka berbuatlah semaunya.’ Kemudian, orang itu berkata: ‘Aku tidak ragu bahwa aku memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghukum karenanya!’” (HR. Bukhari, no. 7068 dan Muslim, no. 2758) Baca juga: Segera Bertaubat dan Tidak Melanjutkan Maksiat   [Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya] Ada yang tertipu dengan permasalahan murji’ah bahwa iman itu hanya tashdiq (membenarkan), sedangkan amal tidak termasuk bagian dari iman. Iman manusia yang fasik itu bisa sama dengan imannya Jibril dan Mikail. Baca juga: Pengertian Iman Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah   [Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh] Sebagian lagi tertipu dengan mencintai orang-orang miskin, para syaikh, dan orang-orang saleh. Misalnya, dengan banyak mengunjungi kuburan para wali Allah tersebut, memohon kepada mereka dengan merendahkan diri, meminta syafa’at mereka, bertawassul kepada Allah dengan mereka, serta berdoa kepada-Nya dengan hak mereka atas Allah dan kehormatan mereka di sisi-Nya. Baca juga: Keutamaan Mencintai Orang Miskin   [Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang] Sebagian lain tertipu dengan kebesaran nenek moyang dan para pendahulunya. Ia menyangka bahwa mereka mempunyai kedudukan dan derajat kesalihan di sisi Allah. Ia juga menyangka bahwa mereka tidak akan meninggalkannya hingga berhasil mencarikan jalan keluar untuknya. Hal ini dapat disaksikan di kalangan para raja. Mereka melimpahkan dosa keturunan dan keluarga mereka kepada “orang-orang khusus” di sekitar mereka. Jika salah satu dari mereka terjerumus melakukan dosa besar, maka ayah atau kakeknya mencarikan jalan keluar untuknya dengan pangkat dan kedudukannya. Baca juga: Sebab Orang Sulit Menerima Kebenaran 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal   [Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya] Sebagian lain tertipu dengan anggapan bahwa Allah tidak butuh kepada azab-Nya karena azab tersebut tidak akan menambahkan sesuatu apa pun dalam kerajaan-Nya, sebagaimana rahmat-Nya tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Nya. Ia berkata: “Aku benar-benar membutuhkan rahmat-Nya. Allah adalah Dzat yang Mahakaya. Sekiranya seorang fakir lagi miskin yang benar-benar membutuhkan seteguk air meminta kepada seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat sungai yang mengalir, tentulah ia tidak akan mencegah orang fakir tadi untuk minum di sungai tersebut. Allah tentu saja jauh lebih dermawan dan kaya dibandingkan orang tadi. Di samping itu, ampunan Allah tidak akan membuat kerajaan-Nya berkurang sedikit pun dan azab tidak akan membuat kerajaan-Nya bertambah sedikit pun.”   [Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa] Allah Ta’ala berfirman, ِ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Ayat di atas mencakup semua dosa, termasuk syirik, dan Allah mengampuni dosa orang yang bertaubat, apa pun bentuknya. Jika ayat ini diterapkan pada selain orang yang bertaubat, maka ancaman dalam nash dan hadits terkait syafa’at tidak akan memiliki fungsi. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Allah mengampuni semua dosa adalah khusus bagi mereka yang bertaubat. Dalam ayat lainnya ada pembatasan (taqyid) di mana disebutkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik yang dibawa mati sebagaimana disebutkan dalam ayat, ِإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 48, 116). Baca juga: Dosa Syirik Tidak Diampuni   [Kesepuluh: Allah Maha Karim] Allah Ta’ala berfirman, ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6) Allah menyebutkan lafazh al-Karim (الكَرِيمُ), yang dimaksud adalah as-sayyid (tuan) yang sangat kuat, yang agung, yang ditaati, yang tidak seharusnya orang tertipu dengan makna ‘Pemurah’ dan mengabaikan hak-Nya. Orang yang tertipu ini telah menempatkan arti kata ‘karim’ (pemurah) bukan pada tempatnya. Akhirnya, ia pun tertipu dengan apa yang seharusnya tidak tertipu dengannya.   [Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa] Bagaimana mungkin puasa sunnah sehari bisa menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan seseorang, padahal ia masih berbuat dosa tersebut dan tidak bertaubat darinya? Hal ini mustahil. Meski puasa di hari Arafah dan hari Asyura mampu menghapuskan seluruh dosa yang terjadi dalam setahun, sesuai keumuman nas, tetapi ia termasuk kumpulan dalil yang berisi janji baik, yang terealisasi atau tidaknya bergantung pada sejumlah syarat dan penghalang. Padahal terus-menerus melakukan dosa besar merupakan salah satu penghalangnya. Jika seorang hamba tidak meneruskan dosa besarnya, puasa akan menopang terealisasinya janji tersebut, untuk kemudian menghapuskan perbuatan dosa secara umum, sebagaimana puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang dibarengi dengan menjauhi dosa besar; niscaya keduanya akan saling menopang untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah: ِإِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu …” (QS. An-Nisa: 31) Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab terhapusnya dosa tidak menghalanginya untuk turut menopang sebab lain yang mampu menghapuskan dosa; bahkan penghapusan dosa dengan terkumpulnya dua sebab tadi menjadi lebih kuat dan lebih sempurna daripada penghapusan dosa yang terjadi dengan satu sebab saja. Jika sebab-sebab yang dapat menghapuskan dosa semakin kuat, maka penghapusan dosa juga akan menjadi lebih sempurna dan lebih kuat.   [Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah] Sebagian lain bersandar kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman: ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya orang Mukmin itu berbaik sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang baik. Sebaliknya, sesungguhnya orang yang durhaka itu bersikap buruk sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.” Bagaimana mungkin seseorang akan berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia lari dari-Nya, berpindah-pindah dari satu kemurkaan Allah kepada kemurkaan-Nya yang lain, menerjumuskan dirinya ke dalam laknat-Nya, merendahkan dan menyia-nyiakan hak dan perintah-Nya, serta meremehkan larangan-Nya sehingga mengerjakan dan terus-menerus melakukannya? Barang siapa yang mencermati masalah ini dengan benar tentu mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak lain dan yang baik adalah persangkaan baiknya kepada Allah, yakni bahwa Dia akan membalas, memberikan pahala, serta menerima amalannya. Jadi, persangkaan baik yang mendorongnya untuk berbuat amal yang baik. Setiap kali ia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala maka setiap waktu itu pulalah amal perbuatannya menjadi semakin baik. Jika tidak demikian, sesungguhnya persangkaan baik yang disertai dengan hawa nafsu hanyalah merupakan kelemahan. Persangkaan yang baik itu hanyalah bermanfaat bagi orang yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosanya; juga bagi mereka yang mengganti keburukan dengan kebaikan serta sisa umurnya dengan kebaikan dan ketaatan. Setelah itu, barulah ia dapat berbaik sangka. Berbaik sangka kepada Allah dan terperdaya oleh-Nya merupakan dua hal yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman: ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah….” (QS. Al-Baqarah: 218) Allah menjadikan mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya sebagai ahli raja’ (orang-orang yang mengharap ridha-Nya), bukan orang-orang yang malas beramal atau orang-orang fasik. Allah Ta’ala berfirman: ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ “Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110) Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa setelah terjadinya perkara-perkara itu, yaitu hijrah, jihad, dan sabar, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap orang-orang yang melakukannya. Orang yang berilmu meletakkan raja’ (harapan) pada tempat yang semestinya, sementara orang yang bodoh lagi tertipu meletakkannya tidak pada tempatnya.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   – Diselesaikan pada 30 Safar 1446 H, 4 September 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat

Kisah Jabir bin Abdillah (Bag. 1): Saksi Mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Daftar Isi Toggle Kisah pertamaKisah kedua Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat yang mulia. Merupakan sahabat yang paling kecil usianya ketika peristiwa Baiat Al-Aqabah kedua. Selain itu, Jabir juga memiliki banyak sekali keistimewaan. Kisah-kisah yang pernah dialami oleh Jabir pun banyak dan tentu bisa menjadi teladan bagi kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin bisa memiliki teladan yang benar dan bisa menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Kisah Jabir yang pertama yang dapat kita ambil pelajaran adalah tatkala Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berupa keberkahan yang dimiliki oleh Rasulullah. Ada 2 kisah yang pernah terjadi. Kisah pertama Yang pertama adalah ketika wafatnya Abdullah, yaitu ayah Jabir. Dalam sebuah hadis, وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : لَمَّا حَضَرَتْ أُحُدٌ دعَانِي أَبي من اللَّيلِ فَقَالَ : مَا أُرَاني إِلاَّ مَقْتُولاً في أوْلِ مَنْ يُقْتَلُ من أصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، وإنِّي لا أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وإنَّ عَلَيَّ دَيْناً فَاقْضِ ، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْراً ، فَأصْبَحْنَا ، فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ ، وَدَفَنْتُ مَعَهُ آخَرَ في قَبْرِهِ ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أنْ أتْرُكَهُ مَعَ آخَرَ ، فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أشْهُرٍ ، فإذا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ غَيْرَ أُذنِهِ ، فَجَعَلْتُهُ في قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ . رَوَاهُ البُخَارِي  Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika perang Uhud tiba, ayah memanggilku pada malam hari. Ia berkata, ‘Aku kira diriku sebagai orang pertama yang gugur dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling mulia yang aku tinggalkan daripadamu setelah diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku juga mempunyai utang. Oleh karena itu, bayarlah. Aku berpesan agar engkau berbuat baik kepada saudari-saudari perempuanmu.’ Keesokan harinya, ternyata ayahku adalah orang pertama yang gugur. Aku pun memakamkannya bersama yang lain di dalam kuburnya. Namun, hatiku merasa tidak tenang, karena ayahku dikuburkan bersama orang lain dalam satu liang. Maka dari itu, aku mengeluarkannya setelah enam bulan berikutnya. Ternyata, aku mendapati jasadnya masih sama seperti semula ketika aku meletakkannya, kecuali telinganya. Kemudian, aku menguburkannya sendirian dalam satu liang.” (HR. Bukhari) [1] Syahidnya Abdullah ketika perang Uhud merupakan awal mula dari kisah ini. Abdullah radhiyallahu ‘anhu sebelum wafatnya mengabarkan kepada Jabir bahwasanya ia memiliki utang yang belum dibayarkan. Dan memberikan wasiat kepada Jabir agar membayarkan utang-utangnya serta menjaga saudari-saudarinya yang banyak. Mengetahui hal ini, Jabir bin Abdillah pun merasa sedih dan khawatir tidak bisa membayarkan utang-utang milik ayahnya karena ayahnya hanya meninggalkan harta berupa kebun kurma yang kecil. Setelah itu, Jabir mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam dan menceritakan hal ini kepadanya. Hal ini sebagaimana tertera dalam sebuah hadis, عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ تُوُفِّيَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ ثَلَاثِينَ وَسْقًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَنْظَرَهُ جَابِرٌ فَأَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ فَكَلَّمَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَشْفَعَ لَهُ إِلَيْهِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّمَ الْيَهُودِيَّ لِيَأْخُذَ ثَمَرَ نَخْلِهِ بِالَّذِي لَهُ فَأَبَى فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ فَمَشَى فِيهَا ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ جُدَّ لَهُ فَأَوْفِ لَهُ الَّذِي لَهُ فَجَدَّهُ بَعْدَمَا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْفَاهُ ثَلَاثِينَ وَسْقًا وَفَضَلَتْ لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ وَسْقًا فَجَاءَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَهُ بِالَّذِي كَانَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّي الْعَصْرَ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَخْبَرَهُ بِالْفَضْلِ فَقَالَ أَخْبِرْ ذَلِكَ ابْنَ الْخَطَّابِ فَذَهَبَ جَابِرٌ إِلَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ عَلِمْتُ حِينَ مَشَى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُبَارَكَنَّ فِيهَا “Dari Wahb bin Kaysan dari Jabir bin Abdillah, mengabarkan bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan kepadanya utang sebanyak tiga puluh wasaq kepada seseorang Yahudi. Kemudian, Jabir meminta penangguhan pembayaran utang kepadanya, namun orang Yahudi tersebut menolaknya. Kemudian, Jabir mendatangi Rasulullah untuk meminta bantuannya dalam permasalahan yang sedang dialaminya. Maka, Rasulullah mendatangi dan berbicara dengan orang Yahudi tersebut agar bersedia menerima kebun kurma Jabir sebagai pelunasan utang bapaknya, namun orang Yahudi tersebut tetap tidak mau. Kemudian Rasulullah mendatangi pohon kurma milik Jabir, lalu mengelilinginya kemudian berkata kepada Jabir, ‘Bersungguh-sungguhlah kamu untuk membayar utang dengan buah yang ada pada pohon kurma ini.’ Maka Jabir menandainya setelah Rasulullah pergi, lalu dia melunasi utang sebanyak tiga puluh wasaq dan masih tersisa sebanyak tujuh belas wasaq. Kemudian, Jabir datang menemui Rasulullah untuk mengabarkan apa yang terjadi, namun didapatinya beliau sedang melaksanakan salat Asar. Ketika sudah selesai, Jabir mengabarkan kepada beliau tentang sisa buah kurma tersebut. Beliau bersabda, ‘Kabarkanlah hal ini kepada Umar bin Khattab.’ Jabir pergi menemui Umar, lalu mengabarkannya, maka Umar berkata, ‘Sungguh aku sudah mengetahui ketika beliau mengelilingi pohon kurma tersebut untuk memberkahinya.’ ” (HR. Bukhari) [2] Sungguh, suatu peristiwa menakjubkan di mana Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Keistimewaan Jabir bin Abdillah Kisah kedua Di kisah lain yang terjadi pada saat persiapan perang Khandaq diriwayatkan dalam sebuah hadis. Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Ketika kami menggali parit pada peristiwa Khandaq, sebongkah batu yang sangat keras menghalangi kami, lalu para sahabat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan, ‘Batu yang sangat keras ini menghalangi kami menggali parit.’ Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku sendiri yang akan turun.’ Kemudian beliau berdiri (dalam parit), sementara perut beliau diganjal dengan batu (karena lapar). Tiga hari (terakhir) kami (para sahabat) belum merasakan makanan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil kampak dan memukul batu tersebut hingga pecah berkeping-keping. Lalu, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku pulang ke rumah.’ Sesampaiku di rumah, aku bercerita kepada istriku, ‘Aku tidak tega melihat kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah kamu memiliki sesuatu (makanan)?’ Istriku menjawab, ‘Aku memiliki gandum dan anak kambing.’ Kemudian, ia menyembelih anak kambing tersebut dan membuat adonan gandum hingga menjadi makanan dalam tungku. Ketika adonan makanan tersebut hampir matang dalam bejana yang masih di atas tungku, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki sedikit makanan. Datanglah ke rumahku dan ajaklah satu atau dua orang saja.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Untuk berapa orang?’ Lalu, aku beritahukan kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Lebih banyak yang datang lebih baik.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, ‘Katakan kepada istrimu, jangan ia angkat bejananya dan adonan roti dari tungku api sampai aku datang.’ Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bangunlah kalian semua.’ Kaum Muhajirin dan Anshar yang mendengar perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu langsung berdiri dan berangkat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu menemui istrinya (dengan cemas), dia mengatakan, “Celaka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang bersama mereka.” Istri Jabir bertanya, “Apa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bertanya (tentang jumlah makanan kita)?” Jabir radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Masuklah dan jangan berdesak-desakan.” Kemudian Rasulullah mencuil-cuil roti dan ia tambahkan dengan daging, dan ia tutup bejana dan tungku api. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dan mendekatkannya kepada para sahabatnya. Lantas, beliau mengambil kembali bejana itu dan terus-menerus beliau lakukan itu hingga semua sahabat merasa kenyang dan makanan masih tersisa. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepada istri Jabir radhiyallahu ‘anhu), “Sekarang kamu makanlah! Dan hadiahkanlah kepada orang lain, karena masih banyak orang yang kelaparan.” [3] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari, 3: 214-215. [2] HR. Bukhari, 3: 84. [3] HR. Bukhari dan Sirah Ibni Hisyam, 3: 360. Tags: Jabir bin Abdillah

Kisah Jabir bin Abdillah (Bag. 1): Saksi Mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Daftar Isi Toggle Kisah pertamaKisah kedua Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat yang mulia. Merupakan sahabat yang paling kecil usianya ketika peristiwa Baiat Al-Aqabah kedua. Selain itu, Jabir juga memiliki banyak sekali keistimewaan. Kisah-kisah yang pernah dialami oleh Jabir pun banyak dan tentu bisa menjadi teladan bagi kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin bisa memiliki teladan yang benar dan bisa menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Kisah Jabir yang pertama yang dapat kita ambil pelajaran adalah tatkala Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berupa keberkahan yang dimiliki oleh Rasulullah. Ada 2 kisah yang pernah terjadi. Kisah pertama Yang pertama adalah ketika wafatnya Abdullah, yaitu ayah Jabir. Dalam sebuah hadis, وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : لَمَّا حَضَرَتْ أُحُدٌ دعَانِي أَبي من اللَّيلِ فَقَالَ : مَا أُرَاني إِلاَّ مَقْتُولاً في أوْلِ مَنْ يُقْتَلُ من أصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، وإنِّي لا أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وإنَّ عَلَيَّ دَيْناً فَاقْضِ ، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْراً ، فَأصْبَحْنَا ، فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ ، وَدَفَنْتُ مَعَهُ آخَرَ في قَبْرِهِ ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أنْ أتْرُكَهُ مَعَ آخَرَ ، فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أشْهُرٍ ، فإذا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ غَيْرَ أُذنِهِ ، فَجَعَلْتُهُ في قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ . رَوَاهُ البُخَارِي  Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika perang Uhud tiba, ayah memanggilku pada malam hari. Ia berkata, ‘Aku kira diriku sebagai orang pertama yang gugur dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling mulia yang aku tinggalkan daripadamu setelah diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku juga mempunyai utang. Oleh karena itu, bayarlah. Aku berpesan agar engkau berbuat baik kepada saudari-saudari perempuanmu.’ Keesokan harinya, ternyata ayahku adalah orang pertama yang gugur. Aku pun memakamkannya bersama yang lain di dalam kuburnya. Namun, hatiku merasa tidak tenang, karena ayahku dikuburkan bersama orang lain dalam satu liang. Maka dari itu, aku mengeluarkannya setelah enam bulan berikutnya. Ternyata, aku mendapati jasadnya masih sama seperti semula ketika aku meletakkannya, kecuali telinganya. Kemudian, aku menguburkannya sendirian dalam satu liang.” (HR. Bukhari) [1] Syahidnya Abdullah ketika perang Uhud merupakan awal mula dari kisah ini. Abdullah radhiyallahu ‘anhu sebelum wafatnya mengabarkan kepada Jabir bahwasanya ia memiliki utang yang belum dibayarkan. Dan memberikan wasiat kepada Jabir agar membayarkan utang-utangnya serta menjaga saudari-saudarinya yang banyak. Mengetahui hal ini, Jabir bin Abdillah pun merasa sedih dan khawatir tidak bisa membayarkan utang-utang milik ayahnya karena ayahnya hanya meninggalkan harta berupa kebun kurma yang kecil. Setelah itu, Jabir mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam dan menceritakan hal ini kepadanya. Hal ini sebagaimana tertera dalam sebuah hadis, عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ تُوُفِّيَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ ثَلَاثِينَ وَسْقًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَنْظَرَهُ جَابِرٌ فَأَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ فَكَلَّمَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَشْفَعَ لَهُ إِلَيْهِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّمَ الْيَهُودِيَّ لِيَأْخُذَ ثَمَرَ نَخْلِهِ بِالَّذِي لَهُ فَأَبَى فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ فَمَشَى فِيهَا ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ جُدَّ لَهُ فَأَوْفِ لَهُ الَّذِي لَهُ فَجَدَّهُ بَعْدَمَا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْفَاهُ ثَلَاثِينَ وَسْقًا وَفَضَلَتْ لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ وَسْقًا فَجَاءَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَهُ بِالَّذِي كَانَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّي الْعَصْرَ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَخْبَرَهُ بِالْفَضْلِ فَقَالَ أَخْبِرْ ذَلِكَ ابْنَ الْخَطَّابِ فَذَهَبَ جَابِرٌ إِلَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ عَلِمْتُ حِينَ مَشَى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُبَارَكَنَّ فِيهَا “Dari Wahb bin Kaysan dari Jabir bin Abdillah, mengabarkan bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan kepadanya utang sebanyak tiga puluh wasaq kepada seseorang Yahudi. Kemudian, Jabir meminta penangguhan pembayaran utang kepadanya, namun orang Yahudi tersebut menolaknya. Kemudian, Jabir mendatangi Rasulullah untuk meminta bantuannya dalam permasalahan yang sedang dialaminya. Maka, Rasulullah mendatangi dan berbicara dengan orang Yahudi tersebut agar bersedia menerima kebun kurma Jabir sebagai pelunasan utang bapaknya, namun orang Yahudi tersebut tetap tidak mau. Kemudian Rasulullah mendatangi pohon kurma milik Jabir, lalu mengelilinginya kemudian berkata kepada Jabir, ‘Bersungguh-sungguhlah kamu untuk membayar utang dengan buah yang ada pada pohon kurma ini.’ Maka Jabir menandainya setelah Rasulullah pergi, lalu dia melunasi utang sebanyak tiga puluh wasaq dan masih tersisa sebanyak tujuh belas wasaq. Kemudian, Jabir datang menemui Rasulullah untuk mengabarkan apa yang terjadi, namun didapatinya beliau sedang melaksanakan salat Asar. Ketika sudah selesai, Jabir mengabarkan kepada beliau tentang sisa buah kurma tersebut. Beliau bersabda, ‘Kabarkanlah hal ini kepada Umar bin Khattab.’ Jabir pergi menemui Umar, lalu mengabarkannya, maka Umar berkata, ‘Sungguh aku sudah mengetahui ketika beliau mengelilingi pohon kurma tersebut untuk memberkahinya.’ ” (HR. Bukhari) [2] Sungguh, suatu peristiwa menakjubkan di mana Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Keistimewaan Jabir bin Abdillah Kisah kedua Di kisah lain yang terjadi pada saat persiapan perang Khandaq diriwayatkan dalam sebuah hadis. Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Ketika kami menggali parit pada peristiwa Khandaq, sebongkah batu yang sangat keras menghalangi kami, lalu para sahabat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan, ‘Batu yang sangat keras ini menghalangi kami menggali parit.’ Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku sendiri yang akan turun.’ Kemudian beliau berdiri (dalam parit), sementara perut beliau diganjal dengan batu (karena lapar). Tiga hari (terakhir) kami (para sahabat) belum merasakan makanan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil kampak dan memukul batu tersebut hingga pecah berkeping-keping. Lalu, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku pulang ke rumah.’ Sesampaiku di rumah, aku bercerita kepada istriku, ‘Aku tidak tega melihat kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah kamu memiliki sesuatu (makanan)?’ Istriku menjawab, ‘Aku memiliki gandum dan anak kambing.’ Kemudian, ia menyembelih anak kambing tersebut dan membuat adonan gandum hingga menjadi makanan dalam tungku. Ketika adonan makanan tersebut hampir matang dalam bejana yang masih di atas tungku, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki sedikit makanan. Datanglah ke rumahku dan ajaklah satu atau dua orang saja.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Untuk berapa orang?’ Lalu, aku beritahukan kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Lebih banyak yang datang lebih baik.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, ‘Katakan kepada istrimu, jangan ia angkat bejananya dan adonan roti dari tungku api sampai aku datang.’ Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bangunlah kalian semua.’ Kaum Muhajirin dan Anshar yang mendengar perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu langsung berdiri dan berangkat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu menemui istrinya (dengan cemas), dia mengatakan, “Celaka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang bersama mereka.” Istri Jabir bertanya, “Apa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bertanya (tentang jumlah makanan kita)?” Jabir radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Masuklah dan jangan berdesak-desakan.” Kemudian Rasulullah mencuil-cuil roti dan ia tambahkan dengan daging, dan ia tutup bejana dan tungku api. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dan mendekatkannya kepada para sahabatnya. Lantas, beliau mengambil kembali bejana itu dan terus-menerus beliau lakukan itu hingga semua sahabat merasa kenyang dan makanan masih tersisa. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepada istri Jabir radhiyallahu ‘anhu), “Sekarang kamu makanlah! Dan hadiahkanlah kepada orang lain, karena masih banyak orang yang kelaparan.” [3] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari, 3: 214-215. [2] HR. Bukhari, 3: 84. [3] HR. Bukhari dan Sirah Ibni Hisyam, 3: 360. Tags: Jabir bin Abdillah
Daftar Isi Toggle Kisah pertamaKisah kedua Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat yang mulia. Merupakan sahabat yang paling kecil usianya ketika peristiwa Baiat Al-Aqabah kedua. Selain itu, Jabir juga memiliki banyak sekali keistimewaan. Kisah-kisah yang pernah dialami oleh Jabir pun banyak dan tentu bisa menjadi teladan bagi kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin bisa memiliki teladan yang benar dan bisa menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Kisah Jabir yang pertama yang dapat kita ambil pelajaran adalah tatkala Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berupa keberkahan yang dimiliki oleh Rasulullah. Ada 2 kisah yang pernah terjadi. Kisah pertama Yang pertama adalah ketika wafatnya Abdullah, yaitu ayah Jabir. Dalam sebuah hadis, وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : لَمَّا حَضَرَتْ أُحُدٌ دعَانِي أَبي من اللَّيلِ فَقَالَ : مَا أُرَاني إِلاَّ مَقْتُولاً في أوْلِ مَنْ يُقْتَلُ من أصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، وإنِّي لا أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وإنَّ عَلَيَّ دَيْناً فَاقْضِ ، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْراً ، فَأصْبَحْنَا ، فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ ، وَدَفَنْتُ مَعَهُ آخَرَ في قَبْرِهِ ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أنْ أتْرُكَهُ مَعَ آخَرَ ، فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أشْهُرٍ ، فإذا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ غَيْرَ أُذنِهِ ، فَجَعَلْتُهُ في قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ . رَوَاهُ البُخَارِي  Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika perang Uhud tiba, ayah memanggilku pada malam hari. Ia berkata, ‘Aku kira diriku sebagai orang pertama yang gugur dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling mulia yang aku tinggalkan daripadamu setelah diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku juga mempunyai utang. Oleh karena itu, bayarlah. Aku berpesan agar engkau berbuat baik kepada saudari-saudari perempuanmu.’ Keesokan harinya, ternyata ayahku adalah orang pertama yang gugur. Aku pun memakamkannya bersama yang lain di dalam kuburnya. Namun, hatiku merasa tidak tenang, karena ayahku dikuburkan bersama orang lain dalam satu liang. Maka dari itu, aku mengeluarkannya setelah enam bulan berikutnya. Ternyata, aku mendapati jasadnya masih sama seperti semula ketika aku meletakkannya, kecuali telinganya. Kemudian, aku menguburkannya sendirian dalam satu liang.” (HR. Bukhari) [1] Syahidnya Abdullah ketika perang Uhud merupakan awal mula dari kisah ini. Abdullah radhiyallahu ‘anhu sebelum wafatnya mengabarkan kepada Jabir bahwasanya ia memiliki utang yang belum dibayarkan. Dan memberikan wasiat kepada Jabir agar membayarkan utang-utangnya serta menjaga saudari-saudarinya yang banyak. Mengetahui hal ini, Jabir bin Abdillah pun merasa sedih dan khawatir tidak bisa membayarkan utang-utang milik ayahnya karena ayahnya hanya meninggalkan harta berupa kebun kurma yang kecil. Setelah itu, Jabir mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam dan menceritakan hal ini kepadanya. Hal ini sebagaimana tertera dalam sebuah hadis, عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ تُوُفِّيَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ ثَلَاثِينَ وَسْقًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَنْظَرَهُ جَابِرٌ فَأَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ فَكَلَّمَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَشْفَعَ لَهُ إِلَيْهِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّمَ الْيَهُودِيَّ لِيَأْخُذَ ثَمَرَ نَخْلِهِ بِالَّذِي لَهُ فَأَبَى فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ فَمَشَى فِيهَا ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ جُدَّ لَهُ فَأَوْفِ لَهُ الَّذِي لَهُ فَجَدَّهُ بَعْدَمَا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْفَاهُ ثَلَاثِينَ وَسْقًا وَفَضَلَتْ لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ وَسْقًا فَجَاءَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَهُ بِالَّذِي كَانَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّي الْعَصْرَ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَخْبَرَهُ بِالْفَضْلِ فَقَالَ أَخْبِرْ ذَلِكَ ابْنَ الْخَطَّابِ فَذَهَبَ جَابِرٌ إِلَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ عَلِمْتُ حِينَ مَشَى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُبَارَكَنَّ فِيهَا “Dari Wahb bin Kaysan dari Jabir bin Abdillah, mengabarkan bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan kepadanya utang sebanyak tiga puluh wasaq kepada seseorang Yahudi. Kemudian, Jabir meminta penangguhan pembayaran utang kepadanya, namun orang Yahudi tersebut menolaknya. Kemudian, Jabir mendatangi Rasulullah untuk meminta bantuannya dalam permasalahan yang sedang dialaminya. Maka, Rasulullah mendatangi dan berbicara dengan orang Yahudi tersebut agar bersedia menerima kebun kurma Jabir sebagai pelunasan utang bapaknya, namun orang Yahudi tersebut tetap tidak mau. Kemudian Rasulullah mendatangi pohon kurma milik Jabir, lalu mengelilinginya kemudian berkata kepada Jabir, ‘Bersungguh-sungguhlah kamu untuk membayar utang dengan buah yang ada pada pohon kurma ini.’ Maka Jabir menandainya setelah Rasulullah pergi, lalu dia melunasi utang sebanyak tiga puluh wasaq dan masih tersisa sebanyak tujuh belas wasaq. Kemudian, Jabir datang menemui Rasulullah untuk mengabarkan apa yang terjadi, namun didapatinya beliau sedang melaksanakan salat Asar. Ketika sudah selesai, Jabir mengabarkan kepada beliau tentang sisa buah kurma tersebut. Beliau bersabda, ‘Kabarkanlah hal ini kepada Umar bin Khattab.’ Jabir pergi menemui Umar, lalu mengabarkannya, maka Umar berkata, ‘Sungguh aku sudah mengetahui ketika beliau mengelilingi pohon kurma tersebut untuk memberkahinya.’ ” (HR. Bukhari) [2] Sungguh, suatu peristiwa menakjubkan di mana Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Keistimewaan Jabir bin Abdillah Kisah kedua Di kisah lain yang terjadi pada saat persiapan perang Khandaq diriwayatkan dalam sebuah hadis. Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Ketika kami menggali parit pada peristiwa Khandaq, sebongkah batu yang sangat keras menghalangi kami, lalu para sahabat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan, ‘Batu yang sangat keras ini menghalangi kami menggali parit.’ Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku sendiri yang akan turun.’ Kemudian beliau berdiri (dalam parit), sementara perut beliau diganjal dengan batu (karena lapar). Tiga hari (terakhir) kami (para sahabat) belum merasakan makanan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil kampak dan memukul batu tersebut hingga pecah berkeping-keping. Lalu, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku pulang ke rumah.’ Sesampaiku di rumah, aku bercerita kepada istriku, ‘Aku tidak tega melihat kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah kamu memiliki sesuatu (makanan)?’ Istriku menjawab, ‘Aku memiliki gandum dan anak kambing.’ Kemudian, ia menyembelih anak kambing tersebut dan membuat adonan gandum hingga menjadi makanan dalam tungku. Ketika adonan makanan tersebut hampir matang dalam bejana yang masih di atas tungku, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki sedikit makanan. Datanglah ke rumahku dan ajaklah satu atau dua orang saja.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Untuk berapa orang?’ Lalu, aku beritahukan kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Lebih banyak yang datang lebih baik.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, ‘Katakan kepada istrimu, jangan ia angkat bejananya dan adonan roti dari tungku api sampai aku datang.’ Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bangunlah kalian semua.’ Kaum Muhajirin dan Anshar yang mendengar perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu langsung berdiri dan berangkat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu menemui istrinya (dengan cemas), dia mengatakan, “Celaka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang bersama mereka.” Istri Jabir bertanya, “Apa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bertanya (tentang jumlah makanan kita)?” Jabir radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Masuklah dan jangan berdesak-desakan.” Kemudian Rasulullah mencuil-cuil roti dan ia tambahkan dengan daging, dan ia tutup bejana dan tungku api. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dan mendekatkannya kepada para sahabatnya. Lantas, beliau mengambil kembali bejana itu dan terus-menerus beliau lakukan itu hingga semua sahabat merasa kenyang dan makanan masih tersisa. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepada istri Jabir radhiyallahu ‘anhu), “Sekarang kamu makanlah! Dan hadiahkanlah kepada orang lain, karena masih banyak orang yang kelaparan.” [3] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari, 3: 214-215. [2] HR. Bukhari, 3: 84. [3] HR. Bukhari dan Sirah Ibni Hisyam, 3: 360. Tags: Jabir bin Abdillah


Daftar Isi Toggle Kisah pertamaKisah kedua Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat yang mulia. Merupakan sahabat yang paling kecil usianya ketika peristiwa Baiat Al-Aqabah kedua. Selain itu, Jabir juga memiliki banyak sekali keistimewaan. Kisah-kisah yang pernah dialami oleh Jabir pun banyak dan tentu bisa menjadi teladan bagi kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin bisa memiliki teladan yang benar dan bisa menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Kisah Jabir yang pertama yang dapat kita ambil pelajaran adalah tatkala Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berupa keberkahan yang dimiliki oleh Rasulullah. Ada 2 kisah yang pernah terjadi. Kisah pertama Yang pertama adalah ketika wafatnya Abdullah, yaitu ayah Jabir. Dalam sebuah hadis, وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : لَمَّا حَضَرَتْ أُحُدٌ دعَانِي أَبي من اللَّيلِ فَقَالَ : مَا أُرَاني إِلاَّ مَقْتُولاً في أوْلِ مَنْ يُقْتَلُ من أصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، وإنِّي لا أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وإنَّ عَلَيَّ دَيْناً فَاقْضِ ، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْراً ، فَأصْبَحْنَا ، فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ ، وَدَفَنْتُ مَعَهُ آخَرَ في قَبْرِهِ ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أنْ أتْرُكَهُ مَعَ آخَرَ ، فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أشْهُرٍ ، فإذا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ غَيْرَ أُذنِهِ ، فَجَعَلْتُهُ في قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ . رَوَاهُ البُخَارِي  Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika perang Uhud tiba, ayah memanggilku pada malam hari. Ia berkata, ‘Aku kira diriku sebagai orang pertama yang gugur dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling mulia yang aku tinggalkan daripadamu setelah diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku juga mempunyai utang. Oleh karena itu, bayarlah. Aku berpesan agar engkau berbuat baik kepada saudari-saudari perempuanmu.’ Keesokan harinya, ternyata ayahku adalah orang pertama yang gugur. Aku pun memakamkannya bersama yang lain di dalam kuburnya. Namun, hatiku merasa tidak tenang, karena ayahku dikuburkan bersama orang lain dalam satu liang. Maka dari itu, aku mengeluarkannya setelah enam bulan berikutnya. Ternyata, aku mendapati jasadnya masih sama seperti semula ketika aku meletakkannya, kecuali telinganya. Kemudian, aku menguburkannya sendirian dalam satu liang.” (HR. Bukhari) [1] Syahidnya Abdullah ketika perang Uhud merupakan awal mula dari kisah ini. Abdullah radhiyallahu ‘anhu sebelum wafatnya mengabarkan kepada Jabir bahwasanya ia memiliki utang yang belum dibayarkan. Dan memberikan wasiat kepada Jabir agar membayarkan utang-utangnya serta menjaga saudari-saudarinya yang banyak. Mengetahui hal ini, Jabir bin Abdillah pun merasa sedih dan khawatir tidak bisa membayarkan utang-utang milik ayahnya karena ayahnya hanya meninggalkan harta berupa kebun kurma yang kecil. Setelah itu, Jabir mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam dan menceritakan hal ini kepadanya. Hal ini sebagaimana tertera dalam sebuah hadis, عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ تُوُفِّيَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ ثَلَاثِينَ وَسْقًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَنْظَرَهُ جَابِرٌ فَأَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ فَكَلَّمَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَشْفَعَ لَهُ إِلَيْهِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّمَ الْيَهُودِيَّ لِيَأْخُذَ ثَمَرَ نَخْلِهِ بِالَّذِي لَهُ فَأَبَى فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ فَمَشَى فِيهَا ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ جُدَّ لَهُ فَأَوْفِ لَهُ الَّذِي لَهُ فَجَدَّهُ بَعْدَمَا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْفَاهُ ثَلَاثِينَ وَسْقًا وَفَضَلَتْ لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ وَسْقًا فَجَاءَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَهُ بِالَّذِي كَانَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّي الْعَصْرَ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَخْبَرَهُ بِالْفَضْلِ فَقَالَ أَخْبِرْ ذَلِكَ ابْنَ الْخَطَّابِ فَذَهَبَ جَابِرٌ إِلَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ عَلِمْتُ حِينَ مَشَى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُبَارَكَنَّ فِيهَا “Dari Wahb bin Kaysan dari Jabir bin Abdillah, mengabarkan bahwa ayahnya wafat dan meninggalkan kepadanya utang sebanyak tiga puluh wasaq kepada seseorang Yahudi. Kemudian, Jabir meminta penangguhan pembayaran utang kepadanya, namun orang Yahudi tersebut menolaknya. Kemudian, Jabir mendatangi Rasulullah untuk meminta bantuannya dalam permasalahan yang sedang dialaminya. Maka, Rasulullah mendatangi dan berbicara dengan orang Yahudi tersebut agar bersedia menerima kebun kurma Jabir sebagai pelunasan utang bapaknya, namun orang Yahudi tersebut tetap tidak mau. Kemudian Rasulullah mendatangi pohon kurma milik Jabir, lalu mengelilinginya kemudian berkata kepada Jabir, ‘Bersungguh-sungguhlah kamu untuk membayar utang dengan buah yang ada pada pohon kurma ini.’ Maka Jabir menandainya setelah Rasulullah pergi, lalu dia melunasi utang sebanyak tiga puluh wasaq dan masih tersisa sebanyak tujuh belas wasaq. Kemudian, Jabir datang menemui Rasulullah untuk mengabarkan apa yang terjadi, namun didapatinya beliau sedang melaksanakan salat Asar. Ketika sudah selesai, Jabir mengabarkan kepada beliau tentang sisa buah kurma tersebut. Beliau bersabda, ‘Kabarkanlah hal ini kepada Umar bin Khattab.’ Jabir pergi menemui Umar, lalu mengabarkannya, maka Umar berkata, ‘Sungguh aku sudah mengetahui ketika beliau mengelilingi pohon kurma tersebut untuk memberkahinya.’ ” (HR. Bukhari) [2] Sungguh, suatu peristiwa menakjubkan di mana Jabir bin Abdillah menyaksikan secara langsung mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Keistimewaan Jabir bin Abdillah Kisah kedua Di kisah lain yang terjadi pada saat persiapan perang Khandaq diriwayatkan dalam sebuah hadis. Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Ketika kami menggali parit pada peristiwa Khandaq, sebongkah batu yang sangat keras menghalangi kami, lalu para sahabat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan, ‘Batu yang sangat keras ini menghalangi kami menggali parit.’ Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku sendiri yang akan turun.’ Kemudian beliau berdiri (dalam parit), sementara perut beliau diganjal dengan batu (karena lapar). Tiga hari (terakhir) kami (para sahabat) belum merasakan makanan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil kampak dan memukul batu tersebut hingga pecah berkeping-keping. Lalu, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku pulang ke rumah.’ Sesampaiku di rumah, aku bercerita kepada istriku, ‘Aku tidak tega melihat kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah kamu memiliki sesuatu (makanan)?’ Istriku menjawab, ‘Aku memiliki gandum dan anak kambing.’ Kemudian, ia menyembelih anak kambing tersebut dan membuat adonan gandum hingga menjadi makanan dalam tungku. Ketika adonan makanan tersebut hampir matang dalam bejana yang masih di atas tungku, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki sedikit makanan. Datanglah ke rumahku dan ajaklah satu atau dua orang saja.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Untuk berapa orang?’ Lalu, aku beritahukan kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Lebih banyak yang datang lebih baik.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi, ‘Katakan kepada istrimu, jangan ia angkat bejananya dan adonan roti dari tungku api sampai aku datang.’ Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bangunlah kalian semua.’ Kaum Muhajirin dan Anshar yang mendengar perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu langsung berdiri dan berangkat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu menemui istrinya (dengan cemas), dia mengatakan, “Celaka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang bersama mereka.” Istri Jabir bertanya, “Apa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bertanya (tentang jumlah makanan kita)?” Jabir radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Masuklah dan jangan berdesak-desakan.” Kemudian Rasulullah mencuil-cuil roti dan ia tambahkan dengan daging, dan ia tutup bejana dan tungku api. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dan mendekatkannya kepada para sahabatnya. Lantas, beliau mengambil kembali bejana itu dan terus-menerus beliau lakukan itu hingga semua sahabat merasa kenyang dan makanan masih tersisa. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepada istri Jabir radhiyallahu ‘anhu), “Sekarang kamu makanlah! Dan hadiahkanlah kepada orang lain, karena masih banyak orang yang kelaparan.” [3] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari, 3: 214-215. [2] HR. Bukhari, 3: 84. [3] HR. Bukhari dan Sirah Ibni Hisyam, 3: 360. Tags: Jabir bin Abdillah

Fikih Wakaf (Bag. 9): Penutup dan Poin-Poin Penting dalam Fikih Wakaf

Daftar Isi Toggle Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akadAgar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini:Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan?Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidakPara ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidakWakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiriWakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Saudaraku sekalian, wakaf adalah salah satu amal ibadah harta yang paling mulia karena pahalanya akan terus mengalir kepada kita, meskipun diri kita telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika manusia itu mati, maka akan terputus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631) Saat menjelaskan hadis tersebut, para ulama menyebutkan bahwa maksud “sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir” cenderung mengarah pada masalah wakaf. Karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh dalam jangka waktu yang lama. Sehingga berpeluang besar dimanfaatkan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, wahai saudaraku sekalian, setelah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wakaf pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu, marilah bersama-sama berlomba-lomba untuk mengamalkan wakaf ini dengan apa pun yang kita mampu, baik itu dengan ikut berdonasi membebaskan lahan yang akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat atau ikut andil dalam pembangunan sebuah pondok atau lembaga yang manfaatnya dirasakan oleh kaum muslimin ataupun bentuk-bentuk wakaf lainnya yang bisa kita amalkan. Saat dalam kondisi susah dan sempit sekalipun, jika ada kesempatan untuk bisa melaksanakan wakaf, maka lakukanlah! Ingatlah selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا “Ketika hamba berada di suatu pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).’ Malaikat yang lain berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).’” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010) Harta yang kita keluarkan di jalan Allah sejatinya tidak akan berkurang. Saudaraku sekalian, berikut ini adalah ringkasan poin-poin penting terkait fikih wakaf yang harus kita ketahui dan kita perhatikan sehingga wakaf yang kita laksanakan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tepat sasaran, dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang. Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akad Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Agar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini: Pertama, adanya orang yang berwakaf (Al-Waqif). Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok dan lembaga berwenang tertentu. Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim dan wajib dilaksanakan setelah adanya ikrar wakaf. Baik itu dilakukan secara eksplisit maupun implisit. Contohnya adalah seseorang yang membangun masjid, lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya. Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: Pertama, wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga tidak sah wakaf anak kecil yang belum bisa mengatur keuangannya, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga transaksi harta lainnya yang mereka lakukan. Kedua, wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan dan dimanfaatkan sedangkan wujud asli benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya. Ketiga, wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Keempat, penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila wakaf ditujukan pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.” Kelima, hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Hanya saja, apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf. Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan? Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada waqif (pewakaf), hanya saja sifatnya terikat (waqif tidak memiliki hak untuk mengatur-atur harta tersebut). Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi (yang diberi wakaf). Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diwakafkan, maka kepemilikannya telah berpindah dari milik waqif menjadi milik Allah Ta’ala. Pendapat yang paling kuat (rajih) adalah pendapat yang menyatakan bahwa kepemilikan harta wakaf berpindah kepada Allah Ta’ala. Karena mewakafkan harta mengharuskan keluarnya harta tersebut dari kepemilikan waqif. Dan tidak mungkin memindahkannya langsung ke dalam kepemilikan yang lainnya (mauquf ‘alaihi) karena mauquf ‘alaihi hanya berhak atas hasilnya. Seseorang yang telah mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan, maka tujuannya adalah mengharap rida Allah Ta’ala, sehingga kepemilikan harta benda wakaf tersebut berubah menjadi milik Allah. Wallahu A’lam bisshawab Dan belum ada ketentuan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan negara kita yang mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf, milik Allah, milik waqif, atau milik mauquf ‘alaihi. (Lihat buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc., MA.) Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidak Mayoritas (jumhur) ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf sementara hukumnya sah, apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Dan pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu A’lam bisshawab. (Lihat Fikih Muyassar, 6: 245) Sistem Undang-Undang di negeri kita (Indonesia) mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus pada objek harta benda bergerak, seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas. Para ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidak Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanbali, sebagian ulama Maliki, dan pendapat yang lebih tepat dalam Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa wakaf uang tidaklah sah. Mazhab Maliki, pendapat kedua Mazhab Syafi’iyyah, dan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya sah. Inilah yang lebih banyak dikuatkan (dirajihkan) oleh para ulama. Salah satunya oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu A’lam bisshawab. Wakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiri Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus dari sedekah yang kita berikan untuk keluarga sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصَّدقةُ على المسْكينِ صدقةٌ، وعلى ذي القرابةِ اثنتان: صدقةٌ وصلةٌ “Sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat, pahalanya dua: pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. Tirmidzi no. 658, An-Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah no. 1844.) Wakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Hal itu karena Islam sangat menjunjung kemaslahatan dan dengan adanya wakaf produktif, maka akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya. Wakaf produktif memiliki beberapa syarat: Pertama, menjaga amanah dengan hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Kedua, memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya agar tidak mencelakai dan membahayakan amanah ini. Ketiga, merencanakan dengan matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat, memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahaan-perusahaan terpercaya yang jauh dari praktik riba. Itulah beberapa poin penting dalam fikih wakaf yang harus kita ketahui sebelum mengamalkan syariat wakaf ini. Semoga kita termasuk hamba Allah Ta’ala yang dimudahkan untuk melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala serta ganti dari harta yang telah kita keluarkan. Amin, ya Rabbal ‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 8 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf

Fikih Wakaf (Bag. 9): Penutup dan Poin-Poin Penting dalam Fikih Wakaf

Daftar Isi Toggle Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akadAgar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini:Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan?Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidakPara ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidakWakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiriWakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Saudaraku sekalian, wakaf adalah salah satu amal ibadah harta yang paling mulia karena pahalanya akan terus mengalir kepada kita, meskipun diri kita telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika manusia itu mati, maka akan terputus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631) Saat menjelaskan hadis tersebut, para ulama menyebutkan bahwa maksud “sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir” cenderung mengarah pada masalah wakaf. Karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh dalam jangka waktu yang lama. Sehingga berpeluang besar dimanfaatkan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, wahai saudaraku sekalian, setelah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wakaf pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu, marilah bersama-sama berlomba-lomba untuk mengamalkan wakaf ini dengan apa pun yang kita mampu, baik itu dengan ikut berdonasi membebaskan lahan yang akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat atau ikut andil dalam pembangunan sebuah pondok atau lembaga yang manfaatnya dirasakan oleh kaum muslimin ataupun bentuk-bentuk wakaf lainnya yang bisa kita amalkan. Saat dalam kondisi susah dan sempit sekalipun, jika ada kesempatan untuk bisa melaksanakan wakaf, maka lakukanlah! Ingatlah selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا “Ketika hamba berada di suatu pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).’ Malaikat yang lain berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).’” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010) Harta yang kita keluarkan di jalan Allah sejatinya tidak akan berkurang. Saudaraku sekalian, berikut ini adalah ringkasan poin-poin penting terkait fikih wakaf yang harus kita ketahui dan kita perhatikan sehingga wakaf yang kita laksanakan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tepat sasaran, dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang. Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akad Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Agar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini: Pertama, adanya orang yang berwakaf (Al-Waqif). Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok dan lembaga berwenang tertentu. Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim dan wajib dilaksanakan setelah adanya ikrar wakaf. Baik itu dilakukan secara eksplisit maupun implisit. Contohnya adalah seseorang yang membangun masjid, lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya. Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: Pertama, wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga tidak sah wakaf anak kecil yang belum bisa mengatur keuangannya, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga transaksi harta lainnya yang mereka lakukan. Kedua, wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan dan dimanfaatkan sedangkan wujud asli benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya. Ketiga, wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Keempat, penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila wakaf ditujukan pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.” Kelima, hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Hanya saja, apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf. Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan? Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada waqif (pewakaf), hanya saja sifatnya terikat (waqif tidak memiliki hak untuk mengatur-atur harta tersebut). Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi (yang diberi wakaf). Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diwakafkan, maka kepemilikannya telah berpindah dari milik waqif menjadi milik Allah Ta’ala. Pendapat yang paling kuat (rajih) adalah pendapat yang menyatakan bahwa kepemilikan harta wakaf berpindah kepada Allah Ta’ala. Karena mewakafkan harta mengharuskan keluarnya harta tersebut dari kepemilikan waqif. Dan tidak mungkin memindahkannya langsung ke dalam kepemilikan yang lainnya (mauquf ‘alaihi) karena mauquf ‘alaihi hanya berhak atas hasilnya. Seseorang yang telah mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan, maka tujuannya adalah mengharap rida Allah Ta’ala, sehingga kepemilikan harta benda wakaf tersebut berubah menjadi milik Allah. Wallahu A’lam bisshawab Dan belum ada ketentuan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan negara kita yang mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf, milik Allah, milik waqif, atau milik mauquf ‘alaihi. (Lihat buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc., MA.) Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidak Mayoritas (jumhur) ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf sementara hukumnya sah, apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Dan pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu A’lam bisshawab. (Lihat Fikih Muyassar, 6: 245) Sistem Undang-Undang di negeri kita (Indonesia) mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus pada objek harta benda bergerak, seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas. Para ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidak Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanbali, sebagian ulama Maliki, dan pendapat yang lebih tepat dalam Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa wakaf uang tidaklah sah. Mazhab Maliki, pendapat kedua Mazhab Syafi’iyyah, dan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya sah. Inilah yang lebih banyak dikuatkan (dirajihkan) oleh para ulama. Salah satunya oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu A’lam bisshawab. Wakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiri Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus dari sedekah yang kita berikan untuk keluarga sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصَّدقةُ على المسْكينِ صدقةٌ، وعلى ذي القرابةِ اثنتان: صدقةٌ وصلةٌ “Sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat, pahalanya dua: pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. Tirmidzi no. 658, An-Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah no. 1844.) Wakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Hal itu karena Islam sangat menjunjung kemaslahatan dan dengan adanya wakaf produktif, maka akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya. Wakaf produktif memiliki beberapa syarat: Pertama, menjaga amanah dengan hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Kedua, memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya agar tidak mencelakai dan membahayakan amanah ini. Ketiga, merencanakan dengan matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat, memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahaan-perusahaan terpercaya yang jauh dari praktik riba. Itulah beberapa poin penting dalam fikih wakaf yang harus kita ketahui sebelum mengamalkan syariat wakaf ini. Semoga kita termasuk hamba Allah Ta’ala yang dimudahkan untuk melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala serta ganti dari harta yang telah kita keluarkan. Amin, ya Rabbal ‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 8 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf
Daftar Isi Toggle Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akadAgar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini:Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan?Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidakPara ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidakWakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiriWakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Saudaraku sekalian, wakaf adalah salah satu amal ibadah harta yang paling mulia karena pahalanya akan terus mengalir kepada kita, meskipun diri kita telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika manusia itu mati, maka akan terputus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631) Saat menjelaskan hadis tersebut, para ulama menyebutkan bahwa maksud “sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir” cenderung mengarah pada masalah wakaf. Karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh dalam jangka waktu yang lama. Sehingga berpeluang besar dimanfaatkan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, wahai saudaraku sekalian, setelah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wakaf pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu, marilah bersama-sama berlomba-lomba untuk mengamalkan wakaf ini dengan apa pun yang kita mampu, baik itu dengan ikut berdonasi membebaskan lahan yang akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat atau ikut andil dalam pembangunan sebuah pondok atau lembaga yang manfaatnya dirasakan oleh kaum muslimin ataupun bentuk-bentuk wakaf lainnya yang bisa kita amalkan. Saat dalam kondisi susah dan sempit sekalipun, jika ada kesempatan untuk bisa melaksanakan wakaf, maka lakukanlah! Ingatlah selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا “Ketika hamba berada di suatu pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).’ Malaikat yang lain berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).’” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010) Harta yang kita keluarkan di jalan Allah sejatinya tidak akan berkurang. Saudaraku sekalian, berikut ini adalah ringkasan poin-poin penting terkait fikih wakaf yang harus kita ketahui dan kita perhatikan sehingga wakaf yang kita laksanakan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tepat sasaran, dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang. Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akad Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Agar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini: Pertama, adanya orang yang berwakaf (Al-Waqif). Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok dan lembaga berwenang tertentu. Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim dan wajib dilaksanakan setelah adanya ikrar wakaf. Baik itu dilakukan secara eksplisit maupun implisit. Contohnya adalah seseorang yang membangun masjid, lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya. Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: Pertama, wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga tidak sah wakaf anak kecil yang belum bisa mengatur keuangannya, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga transaksi harta lainnya yang mereka lakukan. Kedua, wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan dan dimanfaatkan sedangkan wujud asli benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya. Ketiga, wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Keempat, penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila wakaf ditujukan pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.” Kelima, hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Hanya saja, apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf. Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan? Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada waqif (pewakaf), hanya saja sifatnya terikat (waqif tidak memiliki hak untuk mengatur-atur harta tersebut). Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi (yang diberi wakaf). Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diwakafkan, maka kepemilikannya telah berpindah dari milik waqif menjadi milik Allah Ta’ala. Pendapat yang paling kuat (rajih) adalah pendapat yang menyatakan bahwa kepemilikan harta wakaf berpindah kepada Allah Ta’ala. Karena mewakafkan harta mengharuskan keluarnya harta tersebut dari kepemilikan waqif. Dan tidak mungkin memindahkannya langsung ke dalam kepemilikan yang lainnya (mauquf ‘alaihi) karena mauquf ‘alaihi hanya berhak atas hasilnya. Seseorang yang telah mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan, maka tujuannya adalah mengharap rida Allah Ta’ala, sehingga kepemilikan harta benda wakaf tersebut berubah menjadi milik Allah. Wallahu A’lam bisshawab Dan belum ada ketentuan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan negara kita yang mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf, milik Allah, milik waqif, atau milik mauquf ‘alaihi. (Lihat buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc., MA.) Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidak Mayoritas (jumhur) ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf sementara hukumnya sah, apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Dan pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu A’lam bisshawab. (Lihat Fikih Muyassar, 6: 245) Sistem Undang-Undang di negeri kita (Indonesia) mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus pada objek harta benda bergerak, seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas. Para ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidak Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanbali, sebagian ulama Maliki, dan pendapat yang lebih tepat dalam Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa wakaf uang tidaklah sah. Mazhab Maliki, pendapat kedua Mazhab Syafi’iyyah, dan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya sah. Inilah yang lebih banyak dikuatkan (dirajihkan) oleh para ulama. Salah satunya oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu A’lam bisshawab. Wakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiri Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus dari sedekah yang kita berikan untuk keluarga sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصَّدقةُ على المسْكينِ صدقةٌ، وعلى ذي القرابةِ اثنتان: صدقةٌ وصلةٌ “Sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat, pahalanya dua: pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. Tirmidzi no. 658, An-Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah no. 1844.) Wakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Hal itu karena Islam sangat menjunjung kemaslahatan dan dengan adanya wakaf produktif, maka akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya. Wakaf produktif memiliki beberapa syarat: Pertama, menjaga amanah dengan hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Kedua, memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya agar tidak mencelakai dan membahayakan amanah ini. Ketiga, merencanakan dengan matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat, memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahaan-perusahaan terpercaya yang jauh dari praktik riba. Itulah beberapa poin penting dalam fikih wakaf yang harus kita ketahui sebelum mengamalkan syariat wakaf ini. Semoga kita termasuk hamba Allah Ta’ala yang dimudahkan untuk melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala serta ganti dari harta yang telah kita keluarkan. Amin, ya Rabbal ‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 8 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf


Daftar Isi Toggle Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akadAgar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini:Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan?Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidakPara ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidakWakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiriWakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Saudaraku sekalian, wakaf adalah salah satu amal ibadah harta yang paling mulia karena pahalanya akan terus mengalir kepada kita, meskipun diri kita telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له “Jika manusia itu mati, maka akan terputus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631) Saat menjelaskan hadis tersebut, para ulama menyebutkan bahwa maksud “sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir” cenderung mengarah pada masalah wakaf. Karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh dalam jangka waktu yang lama. Sehingga berpeluang besar dimanfaatkan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, wahai saudaraku sekalian, setelah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wakaf pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu, marilah bersama-sama berlomba-lomba untuk mengamalkan wakaf ini dengan apa pun yang kita mampu, baik itu dengan ikut berdonasi membebaskan lahan yang akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat atau ikut andil dalam pembangunan sebuah pondok atau lembaga yang manfaatnya dirasakan oleh kaum muslimin ataupun bentuk-bentuk wakaf lainnya yang bisa kita amalkan. Saat dalam kondisi susah dan sempit sekalipun, jika ada kesempatan untuk bisa melaksanakan wakaf, maka lakukanlah! Ingatlah selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا “Ketika hamba berada di suatu pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).’ Malaikat yang lain berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).’” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010) Harta yang kita keluarkan di jalan Allah sejatinya tidak akan berkurang. Saudaraku sekalian, berikut ini adalah ringkasan poin-poin penting terkait fikih wakaf yang harus kita ketahui dan kita perhatikan sehingga wakaf yang kita laksanakan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tepat sasaran, dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang. Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akad Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Agar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini: Pertama, adanya orang yang berwakaf (Al-Waqif). Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok dan lembaga berwenang tertentu. Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim dan wajib dilaksanakan setelah adanya ikrar wakaf. Baik itu dilakukan secara eksplisit maupun implisit. Contohnya adalah seseorang yang membangun masjid, lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya. Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: Pertama, wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga tidak sah wakaf anak kecil yang belum bisa mengatur keuangannya, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga transaksi harta lainnya yang mereka lakukan. Kedua, wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan dan dimanfaatkan sedangkan wujud asli benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya. Ketiga, wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Keempat, penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila wakaf ditujukan pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.” Kelima, hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Hanya saja, apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf. Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan? Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada waqif (pewakaf), hanya saja sifatnya terikat (waqif tidak memiliki hak untuk mengatur-atur harta tersebut). Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi (yang diberi wakaf). Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diwakafkan, maka kepemilikannya telah berpindah dari milik waqif menjadi milik Allah Ta’ala. Pendapat yang paling kuat (rajih) adalah pendapat yang menyatakan bahwa kepemilikan harta wakaf berpindah kepada Allah Ta’ala. Karena mewakafkan harta mengharuskan keluarnya harta tersebut dari kepemilikan waqif. Dan tidak mungkin memindahkannya langsung ke dalam kepemilikan yang lainnya (mauquf ‘alaihi) karena mauquf ‘alaihi hanya berhak atas hasilnya. Seseorang yang telah mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan, maka tujuannya adalah mengharap rida Allah Ta’ala, sehingga kepemilikan harta benda wakaf tersebut berubah menjadi milik Allah. Wallahu A’lam bisshawab Dan belum ada ketentuan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan negara kita yang mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf, milik Allah, milik waqif, atau milik mauquf ‘alaihi. (Lihat buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc., MA.) Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidak Mayoritas (jumhur) ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf sementara hukumnya sah, apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Dan pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu A’lam bisshawab. (Lihat Fikih Muyassar, 6: 245) Sistem Undang-Undang di negeri kita (Indonesia) mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus pada objek harta benda bergerak, seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas. Para ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidak Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanbali, sebagian ulama Maliki, dan pendapat yang lebih tepat dalam Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa wakaf uang tidaklah sah. Mazhab Maliki, pendapat kedua Mazhab Syafi’iyyah, dan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya sah. Inilah yang lebih banyak dikuatkan (dirajihkan) oleh para ulama. Salah satunya oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu A’lam bisshawab. Wakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiri Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus dari sedekah yang kita berikan untuk keluarga sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصَّدقةُ على المسْكينِ صدقةٌ، وعلى ذي القرابةِ اثنتان: صدقةٌ وصلةٌ “Sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat, pahalanya dua: pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. Tirmidzi no. 658, An-Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah no. 1844.) Wakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam Hal itu karena Islam sangat menjunjung kemaslahatan dan dengan adanya wakaf produktif, maka akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya. Wakaf produktif memiliki beberapa syarat: Pertama, menjaga amanah dengan hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Kedua, memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya agar tidak mencelakai dan membahayakan amanah ini. Ketiga, merencanakan dengan matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya. Keempat, memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahaan-perusahaan terpercaya yang jauh dari praktik riba. Itulah beberapa poin penting dalam fikih wakaf yang harus kita ketahui sebelum mengamalkan syariat wakaf ini. Semoga kita termasuk hamba Allah Ta’ala yang dimudahkan untuk melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala serta ganti dari harta yang telah kita keluarkan. Amin, ya Rabbal ‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 8 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: wakaf

Terlena dengan Jabatan dan Kekuasaan

Daftar Isi Toggle Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorangPada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan para sahabat beliau, tentang berbahayanya perkara ini, dan bahwa terlena dengan kekuasaan itu bisa menghancurkan seorang hamba. Ketika ada seorang sahabat yang minta jabatan, atau minta diberi suatu kedudukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا “Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825) Cinta kepada jabatan dan kekuasaan ini akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kapankah itu? Yaitu, ketika amanah kepemimpinan itu dikhianati dan ketika hak-hak rakyat disia-siakan oleh penguasa. Pada saat itu, kekuasaan di dunia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Demikian pula, dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kerusakan akibat kekuasaan pada agama seseorang, مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kemuliaan.” (HR. Tirmidzi no. 2376; Ahmad, 25: 82; dinilai sahih oleh Al-Albani) Apabila ada serigala lapar yang dilepas menuju seekor kambing, tentu kambing tersebut akan tercabik-cabik. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam gambarkan bahwa kerusakan pada kambing itu masih jauh lebih ringan dibandingkan rusaknya agama seseorang karena ambisi kekuasaan. Meskipun demikian, jabatan dan kepemimpinan adalah sesuatu yang menggiurkan di mata manusia, sehingga tidak sedikit yang memintanya ketika hidup di dunia. Padahal, kerusakan pada agama seseorang akibat ambisi kekuasaan itu lebih parah daripada kerusakan dua ekor serigala lapar yang dilepas ke kawanan kambing. Ini memang suatu hal yang wajar, karena fitrah manusia memang memiliki karakter ingin dihormati, ingin dimuliakan, ingin mendapatkan fasilitas kemudahan, kemewahan, pengawalan, pelayanan, yang semua itu didapatkan ketika seseorang memiliki kekuasaan. Sehingga wajarlah jika banyak yang memperebutkannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ “Kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal ia akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat. (Kekuasaan) adalah sebaik-baiknya ibu saat menyusu, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih.” (HR. An-Nasa’i no. 5385, dinilai sahih oleh Al-Albani) Renungkanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat perumpamaan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu bagaikan sebaik-baik ibu ketika menyusui, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih. Seseorang ketika sedang berkuasa, seakan-akan anak bayi yang disusui oleh ibu yang paling baik ketika menyusui. Anak bayi itu tentu akan merasa senang, nikmat, kenyang, dan bisa tidur pulas. Namun, ketika kekuasaan itu berahir, kekuasaan itu bagaikan sejahat-jahat ibu ketika menyapih, sang bayi tidak siap, lalu bayi itu pun menangis, menjerit, dan tampak menderita karena tiba-tiba tidak mendapatkan ASI dari ibunya dengan cara menyapih yang paling buruk. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang zuhud dalam sesuatu, yang paling sedikit orang melakukan ini seperti zuhud dalam kepemimpinan.” Benarlah kata Sufyan Ats-Tsauri, kadang kita melihat orang mudah untuk zuhud dalam masalah makanan, minuman, atau pakaian, namun untuk urusan kekuasaan, dia siap perang untuk mendapatkannya. Sampai-sampai ada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Yaitu seseorang yang terguncang ketika suatu saat dia harus turun dari jabatan, pekerjaan, dan kekuasaannya, melepaskan segala fasilitas kemudahan yang selama ini dia peroleh. Baca juga: Kampanye Demi Jabatan, Ujung-Ujungnya? Pada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Ketika mendapatkan kekuasaan, seseorang akan bergembira, sebagaimana dia gembira ketika mendapatkan harta, membeli rumah, mendapatkan untung dari perdagangan. Namun, jangan lupa, kekuasaan itu tidak akan selamanya, pasti suatu saat akan berakhir. Itu adalah pasti. Allah telah membuat suatu permisalan tentang nikmat dunia, وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِراً “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45) Permisalan kehidupan dunia itu seperti air hujan yang kita tunggu turunnya dari langit, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan menjadi hijau, membuat hati gembira, menyenangkan pandangan kita, namun tiba-tiba dia kering lagi diterbangkan oleh angin. Lenyap seketika, kering kerontang. Itulah permisalan kenikmatan dunia, yang mencakup kekuasaan di dalamnya. Rumah yang kita miliki, tidak akan kita tinggali selamanya. Jabatan dan kekuasaan yang kita genggam, sebentar lagi kita akan lepaskan. Dan itu pasti. Inilah hakikat kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Yang kemarin memiliki kekuasaan, bisa jadi hari ini dipenjara. Lalu, kenapa kita berlomba-lomba meraih sesuatu yang dia yakin akan dia tinggalkan? Di ayat lanjutannya, Allah Ta’ala berfirman, الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia … “ Ya, karena kekuasaan itu adalah bagian dari perhiasaan dunia … tampak indah di pandangan mata. Namun ingat, kekuasaan itu juga seperti harta dan anak-anak, yang suatu saat akan kita tinggalkan, sedangkan yang kekal adalah amal saleh seseorang, inilah yang abadi sampai di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman, وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً “ … akan tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Jangankan kekuasaan, pakaian yang kita miliki pun akan hilang, karena kita akan menghadap Allah Ta’ala dalam kondisi tidak berpakaian menunggu hisab. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi renungan untuk kita semuanya. Baca juga: Mereka Yang Mabuk Kekuasaan *** @21 Shafar 1446/ 27 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustad Dr. Syafiq Riza Basalamah hafizhahullah di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=eR-7GhZ1HYs dan https://www.youtube.com/watch?v=p6GG-Cmm7gI Tags: jabatankekuasaan

Terlena dengan Jabatan dan Kekuasaan

Daftar Isi Toggle Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorangPada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan para sahabat beliau, tentang berbahayanya perkara ini, dan bahwa terlena dengan kekuasaan itu bisa menghancurkan seorang hamba. Ketika ada seorang sahabat yang minta jabatan, atau minta diberi suatu kedudukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا “Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825) Cinta kepada jabatan dan kekuasaan ini akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kapankah itu? Yaitu, ketika amanah kepemimpinan itu dikhianati dan ketika hak-hak rakyat disia-siakan oleh penguasa. Pada saat itu, kekuasaan di dunia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Demikian pula, dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kerusakan akibat kekuasaan pada agama seseorang, مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kemuliaan.” (HR. Tirmidzi no. 2376; Ahmad, 25: 82; dinilai sahih oleh Al-Albani) Apabila ada serigala lapar yang dilepas menuju seekor kambing, tentu kambing tersebut akan tercabik-cabik. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam gambarkan bahwa kerusakan pada kambing itu masih jauh lebih ringan dibandingkan rusaknya agama seseorang karena ambisi kekuasaan. Meskipun demikian, jabatan dan kepemimpinan adalah sesuatu yang menggiurkan di mata manusia, sehingga tidak sedikit yang memintanya ketika hidup di dunia. Padahal, kerusakan pada agama seseorang akibat ambisi kekuasaan itu lebih parah daripada kerusakan dua ekor serigala lapar yang dilepas ke kawanan kambing. Ini memang suatu hal yang wajar, karena fitrah manusia memang memiliki karakter ingin dihormati, ingin dimuliakan, ingin mendapatkan fasilitas kemudahan, kemewahan, pengawalan, pelayanan, yang semua itu didapatkan ketika seseorang memiliki kekuasaan. Sehingga wajarlah jika banyak yang memperebutkannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ “Kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal ia akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat. (Kekuasaan) adalah sebaik-baiknya ibu saat menyusu, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih.” (HR. An-Nasa’i no. 5385, dinilai sahih oleh Al-Albani) Renungkanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat perumpamaan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu bagaikan sebaik-baik ibu ketika menyusui, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih. Seseorang ketika sedang berkuasa, seakan-akan anak bayi yang disusui oleh ibu yang paling baik ketika menyusui. Anak bayi itu tentu akan merasa senang, nikmat, kenyang, dan bisa tidur pulas. Namun, ketika kekuasaan itu berahir, kekuasaan itu bagaikan sejahat-jahat ibu ketika menyapih, sang bayi tidak siap, lalu bayi itu pun menangis, menjerit, dan tampak menderita karena tiba-tiba tidak mendapatkan ASI dari ibunya dengan cara menyapih yang paling buruk. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang zuhud dalam sesuatu, yang paling sedikit orang melakukan ini seperti zuhud dalam kepemimpinan.” Benarlah kata Sufyan Ats-Tsauri, kadang kita melihat orang mudah untuk zuhud dalam masalah makanan, minuman, atau pakaian, namun untuk urusan kekuasaan, dia siap perang untuk mendapatkannya. Sampai-sampai ada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Yaitu seseorang yang terguncang ketika suatu saat dia harus turun dari jabatan, pekerjaan, dan kekuasaannya, melepaskan segala fasilitas kemudahan yang selama ini dia peroleh. Baca juga: Kampanye Demi Jabatan, Ujung-Ujungnya? Pada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Ketika mendapatkan kekuasaan, seseorang akan bergembira, sebagaimana dia gembira ketika mendapatkan harta, membeli rumah, mendapatkan untung dari perdagangan. Namun, jangan lupa, kekuasaan itu tidak akan selamanya, pasti suatu saat akan berakhir. Itu adalah pasti. Allah telah membuat suatu permisalan tentang nikmat dunia, وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِراً “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45) Permisalan kehidupan dunia itu seperti air hujan yang kita tunggu turunnya dari langit, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan menjadi hijau, membuat hati gembira, menyenangkan pandangan kita, namun tiba-tiba dia kering lagi diterbangkan oleh angin. Lenyap seketika, kering kerontang. Itulah permisalan kenikmatan dunia, yang mencakup kekuasaan di dalamnya. Rumah yang kita miliki, tidak akan kita tinggali selamanya. Jabatan dan kekuasaan yang kita genggam, sebentar lagi kita akan lepaskan. Dan itu pasti. Inilah hakikat kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Yang kemarin memiliki kekuasaan, bisa jadi hari ini dipenjara. Lalu, kenapa kita berlomba-lomba meraih sesuatu yang dia yakin akan dia tinggalkan? Di ayat lanjutannya, Allah Ta’ala berfirman, الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia … “ Ya, karena kekuasaan itu adalah bagian dari perhiasaan dunia … tampak indah di pandangan mata. Namun ingat, kekuasaan itu juga seperti harta dan anak-anak, yang suatu saat akan kita tinggalkan, sedangkan yang kekal adalah amal saleh seseorang, inilah yang abadi sampai di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman, وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً “ … akan tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Jangankan kekuasaan, pakaian yang kita miliki pun akan hilang, karena kita akan menghadap Allah Ta’ala dalam kondisi tidak berpakaian menunggu hisab. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi renungan untuk kita semuanya. Baca juga: Mereka Yang Mabuk Kekuasaan *** @21 Shafar 1446/ 27 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustad Dr. Syafiq Riza Basalamah hafizhahullah di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=eR-7GhZ1HYs dan https://www.youtube.com/watch?v=p6GG-Cmm7gI Tags: jabatankekuasaan
Daftar Isi Toggle Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorangPada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan para sahabat beliau, tentang berbahayanya perkara ini, dan bahwa terlena dengan kekuasaan itu bisa menghancurkan seorang hamba. Ketika ada seorang sahabat yang minta jabatan, atau minta diberi suatu kedudukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا “Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825) Cinta kepada jabatan dan kekuasaan ini akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kapankah itu? Yaitu, ketika amanah kepemimpinan itu dikhianati dan ketika hak-hak rakyat disia-siakan oleh penguasa. Pada saat itu, kekuasaan di dunia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Demikian pula, dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kerusakan akibat kekuasaan pada agama seseorang, مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kemuliaan.” (HR. Tirmidzi no. 2376; Ahmad, 25: 82; dinilai sahih oleh Al-Albani) Apabila ada serigala lapar yang dilepas menuju seekor kambing, tentu kambing tersebut akan tercabik-cabik. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam gambarkan bahwa kerusakan pada kambing itu masih jauh lebih ringan dibandingkan rusaknya agama seseorang karena ambisi kekuasaan. Meskipun demikian, jabatan dan kepemimpinan adalah sesuatu yang menggiurkan di mata manusia, sehingga tidak sedikit yang memintanya ketika hidup di dunia. Padahal, kerusakan pada agama seseorang akibat ambisi kekuasaan itu lebih parah daripada kerusakan dua ekor serigala lapar yang dilepas ke kawanan kambing. Ini memang suatu hal yang wajar, karena fitrah manusia memang memiliki karakter ingin dihormati, ingin dimuliakan, ingin mendapatkan fasilitas kemudahan, kemewahan, pengawalan, pelayanan, yang semua itu didapatkan ketika seseorang memiliki kekuasaan. Sehingga wajarlah jika banyak yang memperebutkannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ “Kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal ia akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat. (Kekuasaan) adalah sebaik-baiknya ibu saat menyusu, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih.” (HR. An-Nasa’i no. 5385, dinilai sahih oleh Al-Albani) Renungkanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat perumpamaan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu bagaikan sebaik-baik ibu ketika menyusui, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih. Seseorang ketika sedang berkuasa, seakan-akan anak bayi yang disusui oleh ibu yang paling baik ketika menyusui. Anak bayi itu tentu akan merasa senang, nikmat, kenyang, dan bisa tidur pulas. Namun, ketika kekuasaan itu berahir, kekuasaan itu bagaikan sejahat-jahat ibu ketika menyapih, sang bayi tidak siap, lalu bayi itu pun menangis, menjerit, dan tampak menderita karena tiba-tiba tidak mendapatkan ASI dari ibunya dengan cara menyapih yang paling buruk. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang zuhud dalam sesuatu, yang paling sedikit orang melakukan ini seperti zuhud dalam kepemimpinan.” Benarlah kata Sufyan Ats-Tsauri, kadang kita melihat orang mudah untuk zuhud dalam masalah makanan, minuman, atau pakaian, namun untuk urusan kekuasaan, dia siap perang untuk mendapatkannya. Sampai-sampai ada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Yaitu seseorang yang terguncang ketika suatu saat dia harus turun dari jabatan, pekerjaan, dan kekuasaannya, melepaskan segala fasilitas kemudahan yang selama ini dia peroleh. Baca juga: Kampanye Demi Jabatan, Ujung-Ujungnya? Pada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Ketika mendapatkan kekuasaan, seseorang akan bergembira, sebagaimana dia gembira ketika mendapatkan harta, membeli rumah, mendapatkan untung dari perdagangan. Namun, jangan lupa, kekuasaan itu tidak akan selamanya, pasti suatu saat akan berakhir. Itu adalah pasti. Allah telah membuat suatu permisalan tentang nikmat dunia, وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِراً “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45) Permisalan kehidupan dunia itu seperti air hujan yang kita tunggu turunnya dari langit, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan menjadi hijau, membuat hati gembira, menyenangkan pandangan kita, namun tiba-tiba dia kering lagi diterbangkan oleh angin. Lenyap seketika, kering kerontang. Itulah permisalan kenikmatan dunia, yang mencakup kekuasaan di dalamnya. Rumah yang kita miliki, tidak akan kita tinggali selamanya. Jabatan dan kekuasaan yang kita genggam, sebentar lagi kita akan lepaskan. Dan itu pasti. Inilah hakikat kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Yang kemarin memiliki kekuasaan, bisa jadi hari ini dipenjara. Lalu, kenapa kita berlomba-lomba meraih sesuatu yang dia yakin akan dia tinggalkan? Di ayat lanjutannya, Allah Ta’ala berfirman, الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia … “ Ya, karena kekuasaan itu adalah bagian dari perhiasaan dunia … tampak indah di pandangan mata. Namun ingat, kekuasaan itu juga seperti harta dan anak-anak, yang suatu saat akan kita tinggalkan, sedangkan yang kekal adalah amal saleh seseorang, inilah yang abadi sampai di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman, وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً “ … akan tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Jangankan kekuasaan, pakaian yang kita miliki pun akan hilang, karena kita akan menghadap Allah Ta’ala dalam kondisi tidak berpakaian menunggu hisab. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi renungan untuk kita semuanya. Baca juga: Mereka Yang Mabuk Kekuasaan *** @21 Shafar 1446/ 27 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustad Dr. Syafiq Riza Basalamah hafizhahullah di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=eR-7GhZ1HYs dan https://www.youtube.com/watch?v=p6GG-Cmm7gI Tags: jabatankekuasaan


Daftar Isi Toggle Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorangPada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan para sahabat beliau, tentang berbahayanya perkara ini, dan bahwa terlena dengan kekuasaan itu bisa menghancurkan seorang hamba. Ketika ada seorang sahabat yang minta jabatan, atau minta diberi suatu kedudukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا “Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825) Cinta kepada jabatan dan kekuasaan ini akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kapankah itu? Yaitu, ketika amanah kepemimpinan itu dikhianati dan ketika hak-hak rakyat disia-siakan oleh penguasa. Pada saat itu, kekuasaan di dunia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Demikian pula, dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kerusakan akibat kekuasaan pada agama seseorang, مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kemuliaan.” (HR. Tirmidzi no. 2376; Ahmad, 25: 82; dinilai sahih oleh Al-Albani) Apabila ada serigala lapar yang dilepas menuju seekor kambing, tentu kambing tersebut akan tercabik-cabik. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam gambarkan bahwa kerusakan pada kambing itu masih jauh lebih ringan dibandingkan rusaknya agama seseorang karena ambisi kekuasaan. Meskipun demikian, jabatan dan kepemimpinan adalah sesuatu yang menggiurkan di mata manusia, sehingga tidak sedikit yang memintanya ketika hidup di dunia. Padahal, kerusakan pada agama seseorang akibat ambisi kekuasaan itu lebih parah daripada kerusakan dua ekor serigala lapar yang dilepas ke kawanan kambing. Ini memang suatu hal yang wajar, karena fitrah manusia memang memiliki karakter ingin dihormati, ingin dimuliakan, ingin mendapatkan fasilitas kemudahan, kemewahan, pengawalan, pelayanan, yang semua itu didapatkan ketika seseorang memiliki kekuasaan. Sehingga wajarlah jika banyak yang memperebutkannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ “Kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal ia akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat. (Kekuasaan) adalah sebaik-baiknya ibu saat menyusu, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih.” (HR. An-Nasa’i no. 5385, dinilai sahih oleh Al-Albani) Renungkanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat perumpamaan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu bagaikan sebaik-baik ibu ketika menyusui, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih. Seseorang ketika sedang berkuasa, seakan-akan anak bayi yang disusui oleh ibu yang paling baik ketika menyusui. Anak bayi itu tentu akan merasa senang, nikmat, kenyang, dan bisa tidur pulas. Namun, ketika kekuasaan itu berahir, kekuasaan itu bagaikan sejahat-jahat ibu ketika menyapih, sang bayi tidak siap, lalu bayi itu pun menangis, menjerit, dan tampak menderita karena tiba-tiba tidak mendapatkan ASI dari ibunya dengan cara menyapih yang paling buruk. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang zuhud dalam sesuatu, yang paling sedikit orang melakukan ini seperti zuhud dalam kepemimpinan.” Benarlah kata Sufyan Ats-Tsauri, kadang kita melihat orang mudah untuk zuhud dalam masalah makanan, minuman, atau pakaian, namun untuk urusan kekuasaan, dia siap perang untuk mendapatkannya. Sampai-sampai ada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Yaitu seseorang yang terguncang ketika suatu saat dia harus turun dari jabatan, pekerjaan, dan kekuasaannya, melepaskan segala fasilitas kemudahan yang selama ini dia peroleh. Baca juga: Kampanye Demi Jabatan, Ujung-Ujungnya? Pada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir Ketika mendapatkan kekuasaan, seseorang akan bergembira, sebagaimana dia gembira ketika mendapatkan harta, membeli rumah, mendapatkan untung dari perdagangan. Namun, jangan lupa, kekuasaan itu tidak akan selamanya, pasti suatu saat akan berakhir. Itu adalah pasti. Allah telah membuat suatu permisalan tentang nikmat dunia, وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِراً “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45) Permisalan kehidupan dunia itu seperti air hujan yang kita tunggu turunnya dari langit, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan menjadi hijau, membuat hati gembira, menyenangkan pandangan kita, namun tiba-tiba dia kering lagi diterbangkan oleh angin. Lenyap seketika, kering kerontang. Itulah permisalan kenikmatan dunia, yang mencakup kekuasaan di dalamnya. Rumah yang kita miliki, tidak akan kita tinggali selamanya. Jabatan dan kekuasaan yang kita genggam, sebentar lagi kita akan lepaskan. Dan itu pasti. Inilah hakikat kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Yang kemarin memiliki kekuasaan, bisa jadi hari ini dipenjara. Lalu, kenapa kita berlomba-lomba meraih sesuatu yang dia yakin akan dia tinggalkan? Di ayat lanjutannya, Allah Ta’ala berfirman, الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia … “ Ya, karena kekuasaan itu adalah bagian dari perhiasaan dunia … tampak indah di pandangan mata. Namun ingat, kekuasaan itu juga seperti harta dan anak-anak, yang suatu saat akan kita tinggalkan, sedangkan yang kekal adalah amal saleh seseorang, inilah yang abadi sampai di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman, وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً “ … akan tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Jangankan kekuasaan, pakaian yang kita miliki pun akan hilang, karena kita akan menghadap Allah Ta’ala dalam kondisi tidak berpakaian menunggu hisab. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi renungan untuk kita semuanya. Baca juga: Mereka Yang Mabuk Kekuasaan *** @21 Shafar 1446/ 27 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari ceramah Ustad Dr. Syafiq Riza Basalamah hafizhahullah di tautan berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=eR-7GhZ1HYs dan https://www.youtube.com/watch?v=p6GG-Cmm7gI Tags: jabatankekuasaan

Hukum Seputar Zakat untuk Barang Dagangan

Daftar Isi Toggle Kedudukan zakatHukum zakatWajibnya zakat barang daganganSyarat wajib zakat barang daganganTata cara zakat barang dagangan Kedudukan zakat Zakat merupakan ibadah agung dan salah satu dari lima rukun Islam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwasanya Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إلـــه إلا الله وأن محمدا رسولُ الله ، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; …” (HR. Bukhari dan Muslim) Zakat juga merupakan ibadah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan sering Allah sebutkan bersamaan dengan ibadah salat yang merupakan salah satu ibadah badan yang paling mulia. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat ke-43, وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” Allah juga berfirman dalam surah At-Taubah ayat ke-5, فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Hukum zakat Hukum zakat bagi orang Islam tentunya adalah wajib dan merupakan sebuah ijma‘ kaum muslimin bahwa membayar zakat merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Mulakhas Fiqhy mengatakan, أجمع المسلمونَ على فَرْضِيَّتِها، وأَنَّها الركن الثالثُ الإسلام، وعلى كُفْرِ مَنْ جَحَدَ وجوبها، وقتالِ مَنْ مَنَع إخراجها “Kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya membayar zakat, dan bahwa zakat adalah rukun Islam yang ketiga, dan kafirnya orang yang menolak wajibnya zakat dan memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat.” Dengan menimbang bahwa zakat merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim dan rukun ketiga dari rukun Islam, maka dari itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui hukum seputar zakat. Agar kita bisa menunaikan ibadah yang merupakan salah satu dari rukun Islam ini dengan benar. Zakat dalam Islam terbagi menjadi beberapa jenis. Pada tulisan ini, kita akan membahas salah satu jenis zakat, yaitu zakat barang dagangan. Zakat barang dagangan merupakan zakat yang dikeluarkan dari barang dagangan yang dimiliki. Yang dimaksud dengan barang dagangan di sini adalah setiap harta atau aset yang diperjualbelikan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Baca juga: Solusi Bagi yang Belum Membayar Zakat Mal Bertahun-Tahun Wajibnya zakat barang dagangan Dalil wajibnya zakat barang dagangan ini adalah surah Al-Baqarah ayat 267, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” Lalu, Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103, خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka.” Lalu, firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Ma’arij ayat 24 dan 25. وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌۖ  لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِۖ “Dan orang-orang yang di dalam harta mereka disiapkan bagian tertentu, untuk orang yang meminta-minta dan yang menahan diri dari meminta-minta.” Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga mengutip adanya ijma‘ dalam wajibnya mengeluarkan zakat barang dagangan beliau dalam kitab Mulakhas Fiqhy. Beliau menyatakan, وقد حكى غيرُ واحدٍ إجماع أهل العلم على أنَّ في العروض التي يُراد بها التجارة الزكاةَ إذا حالَ عليها الحولُ .قال شيخ الإسلام ابن تيمية : الأئمة الأربعة وسائِرُ الأُمَّةِ – إلا من شذ متفقون على وجوبها في عروض التَّجَارَةِ. “Lebih dari satu orang telah melaporkan adanya ijma’ ahli ilmu tentang adanya zakat untuk barang-barang yang dimaksudkan untuk jual-beli jika telah sampai haul. Syekh Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Imam-imam yang empat dan imam-iman lainnya, kecuali pendapat yang aneh (ganjil), mereka bersepakat atas wajibnya zakat pada barang-barang dagangan.” Syarat wajib zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan, lalu bagaimanakah syarat-syarat barang dagangan tersebut untuk wajib dikeluarkan zakatnya? Apakah semua barang dagangan wajib dizakati? Berikut ini ada beberapa syarat barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya: Pertama: Barang tersebut dimiliki dengan pilihannya sendiri secara mubah, bisa dengan cara jual beli maupun dengan mendapatkan hibah ataupun wasiat. Kedua: Barang tersebut dimiliki dengan tujuan untuk jual beli. Sehingga barang yang wajib dizakati adalah barang yang dimiliki memang tujuannya untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, barang yang dimiliki untuk tujuan lain, seperti mobil yang dibeli untuk keperluan transportasi lalu dijual, tidak termasuk dari barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ketiga: Barang dagangan tersebut bukanlah barang yang asalnya wajib dizakati, seperti hewan ternak, emas, dan perak. Keempat: Barang tersebut sudah mencapai nishab. Nishab yang digunakan untuk zakat barang dagangan bisa menggunakan salah satu dari nisab emas, yaitu 85 gram emas, atau nisab perak, yaitu sebesar 595 gram perak. Kelima: Telah mencapai haul (genap satu tahun hijriah). Barang dagangan wajib untuk dikeluarkan zakat jika sudah mencapai haul selama satu tahun hijriah yang awalnya terhitung sejak nominal barang dagangan tersebut mencapai nishab yang sudah ditentukan. Tata cara zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan dan syarat-syarat wajibnya barang dagangan tersebut untuk dizakati, lalu bagaimana cara untuk membayar zakat barang dagangan? Zakat barang dagangan dibayarkan setelah mencapai nishab dan terpenuhi haul selama satu tahun hijriah. Besaran zakat yang dibayarkan adalah 2,5% atau 1/40 dari nilai barang dagangan tersebut. Zakat tersebut dibayarkan kepada orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin atau disalurkan ke lembaga Amil Zakat. Zakat yang dibayarkan tentunya merupakan nilai dari barang tersebut, bukan barangnya tersebut. Sehingga jika memiliki barang dagangan berupa mobil seharga 200 juta rupiah misalnya, maka yang dibayarkan adalah uang senilai 1/40 dari barang tersebut, yaitu 5 juta rupiah. Mari kita tunaikan zakat yang wajib bagi diri kita sendiri. Jangan sampai kita menganggap harta yang kita keluarkan untuk zakat adalah kerugian, padahal sejatinya harta zakat yang kita keluarkan adalah suatu bentuk bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 98-99, وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يَّتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَّيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَاۤىِٕرَۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبٰتٍ عِنْدَ اللّٰهِ وَصَلَوٰتِ الرَّسُوْلِۗ اَلَآ اِنَّهَا قُرْبَةٌ لَّهُمْۗ سَيُدْخِلُهُمُ اللّٰهُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian. Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu. Merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan masukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Baca juga: Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah. Tags: zakat

Hukum Seputar Zakat untuk Barang Dagangan

Daftar Isi Toggle Kedudukan zakatHukum zakatWajibnya zakat barang daganganSyarat wajib zakat barang daganganTata cara zakat barang dagangan Kedudukan zakat Zakat merupakan ibadah agung dan salah satu dari lima rukun Islam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwasanya Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إلـــه إلا الله وأن محمدا رسولُ الله ، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; …” (HR. Bukhari dan Muslim) Zakat juga merupakan ibadah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan sering Allah sebutkan bersamaan dengan ibadah salat yang merupakan salah satu ibadah badan yang paling mulia. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat ke-43, وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” Allah juga berfirman dalam surah At-Taubah ayat ke-5, فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Hukum zakat Hukum zakat bagi orang Islam tentunya adalah wajib dan merupakan sebuah ijma‘ kaum muslimin bahwa membayar zakat merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Mulakhas Fiqhy mengatakan, أجمع المسلمونَ على فَرْضِيَّتِها، وأَنَّها الركن الثالثُ الإسلام، وعلى كُفْرِ مَنْ جَحَدَ وجوبها، وقتالِ مَنْ مَنَع إخراجها “Kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya membayar zakat, dan bahwa zakat adalah rukun Islam yang ketiga, dan kafirnya orang yang menolak wajibnya zakat dan memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat.” Dengan menimbang bahwa zakat merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim dan rukun ketiga dari rukun Islam, maka dari itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui hukum seputar zakat. Agar kita bisa menunaikan ibadah yang merupakan salah satu dari rukun Islam ini dengan benar. Zakat dalam Islam terbagi menjadi beberapa jenis. Pada tulisan ini, kita akan membahas salah satu jenis zakat, yaitu zakat barang dagangan. Zakat barang dagangan merupakan zakat yang dikeluarkan dari barang dagangan yang dimiliki. Yang dimaksud dengan barang dagangan di sini adalah setiap harta atau aset yang diperjualbelikan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Baca juga: Solusi Bagi yang Belum Membayar Zakat Mal Bertahun-Tahun Wajibnya zakat barang dagangan Dalil wajibnya zakat barang dagangan ini adalah surah Al-Baqarah ayat 267, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” Lalu, Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103, خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka.” Lalu, firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Ma’arij ayat 24 dan 25. وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌۖ  لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِۖ “Dan orang-orang yang di dalam harta mereka disiapkan bagian tertentu, untuk orang yang meminta-minta dan yang menahan diri dari meminta-minta.” Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga mengutip adanya ijma‘ dalam wajibnya mengeluarkan zakat barang dagangan beliau dalam kitab Mulakhas Fiqhy. Beliau menyatakan, وقد حكى غيرُ واحدٍ إجماع أهل العلم على أنَّ في العروض التي يُراد بها التجارة الزكاةَ إذا حالَ عليها الحولُ .قال شيخ الإسلام ابن تيمية : الأئمة الأربعة وسائِرُ الأُمَّةِ – إلا من شذ متفقون على وجوبها في عروض التَّجَارَةِ. “Lebih dari satu orang telah melaporkan adanya ijma’ ahli ilmu tentang adanya zakat untuk barang-barang yang dimaksudkan untuk jual-beli jika telah sampai haul. Syekh Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Imam-imam yang empat dan imam-iman lainnya, kecuali pendapat yang aneh (ganjil), mereka bersepakat atas wajibnya zakat pada barang-barang dagangan.” Syarat wajib zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan, lalu bagaimanakah syarat-syarat barang dagangan tersebut untuk wajib dikeluarkan zakatnya? Apakah semua barang dagangan wajib dizakati? Berikut ini ada beberapa syarat barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya: Pertama: Barang tersebut dimiliki dengan pilihannya sendiri secara mubah, bisa dengan cara jual beli maupun dengan mendapatkan hibah ataupun wasiat. Kedua: Barang tersebut dimiliki dengan tujuan untuk jual beli. Sehingga barang yang wajib dizakati adalah barang yang dimiliki memang tujuannya untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, barang yang dimiliki untuk tujuan lain, seperti mobil yang dibeli untuk keperluan transportasi lalu dijual, tidak termasuk dari barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ketiga: Barang dagangan tersebut bukanlah barang yang asalnya wajib dizakati, seperti hewan ternak, emas, dan perak. Keempat: Barang tersebut sudah mencapai nishab. Nishab yang digunakan untuk zakat barang dagangan bisa menggunakan salah satu dari nisab emas, yaitu 85 gram emas, atau nisab perak, yaitu sebesar 595 gram perak. Kelima: Telah mencapai haul (genap satu tahun hijriah). Barang dagangan wajib untuk dikeluarkan zakat jika sudah mencapai haul selama satu tahun hijriah yang awalnya terhitung sejak nominal barang dagangan tersebut mencapai nishab yang sudah ditentukan. Tata cara zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan dan syarat-syarat wajibnya barang dagangan tersebut untuk dizakati, lalu bagaimana cara untuk membayar zakat barang dagangan? Zakat barang dagangan dibayarkan setelah mencapai nishab dan terpenuhi haul selama satu tahun hijriah. Besaran zakat yang dibayarkan adalah 2,5% atau 1/40 dari nilai barang dagangan tersebut. Zakat tersebut dibayarkan kepada orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin atau disalurkan ke lembaga Amil Zakat. Zakat yang dibayarkan tentunya merupakan nilai dari barang tersebut, bukan barangnya tersebut. Sehingga jika memiliki barang dagangan berupa mobil seharga 200 juta rupiah misalnya, maka yang dibayarkan adalah uang senilai 1/40 dari barang tersebut, yaitu 5 juta rupiah. Mari kita tunaikan zakat yang wajib bagi diri kita sendiri. Jangan sampai kita menganggap harta yang kita keluarkan untuk zakat adalah kerugian, padahal sejatinya harta zakat yang kita keluarkan adalah suatu bentuk bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 98-99, وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يَّتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَّيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَاۤىِٕرَۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبٰتٍ عِنْدَ اللّٰهِ وَصَلَوٰتِ الرَّسُوْلِۗ اَلَآ اِنَّهَا قُرْبَةٌ لَّهُمْۗ سَيُدْخِلُهُمُ اللّٰهُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian. Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu. Merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan masukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Baca juga: Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah. Tags: zakat
Daftar Isi Toggle Kedudukan zakatHukum zakatWajibnya zakat barang daganganSyarat wajib zakat barang daganganTata cara zakat barang dagangan Kedudukan zakat Zakat merupakan ibadah agung dan salah satu dari lima rukun Islam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwasanya Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إلـــه إلا الله وأن محمدا رسولُ الله ، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; …” (HR. Bukhari dan Muslim) Zakat juga merupakan ibadah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan sering Allah sebutkan bersamaan dengan ibadah salat yang merupakan salah satu ibadah badan yang paling mulia. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat ke-43, وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” Allah juga berfirman dalam surah At-Taubah ayat ke-5, فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Hukum zakat Hukum zakat bagi orang Islam tentunya adalah wajib dan merupakan sebuah ijma‘ kaum muslimin bahwa membayar zakat merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Mulakhas Fiqhy mengatakan, أجمع المسلمونَ على فَرْضِيَّتِها، وأَنَّها الركن الثالثُ الإسلام، وعلى كُفْرِ مَنْ جَحَدَ وجوبها، وقتالِ مَنْ مَنَع إخراجها “Kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya membayar zakat, dan bahwa zakat adalah rukun Islam yang ketiga, dan kafirnya orang yang menolak wajibnya zakat dan memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat.” Dengan menimbang bahwa zakat merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim dan rukun ketiga dari rukun Islam, maka dari itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui hukum seputar zakat. Agar kita bisa menunaikan ibadah yang merupakan salah satu dari rukun Islam ini dengan benar. Zakat dalam Islam terbagi menjadi beberapa jenis. Pada tulisan ini, kita akan membahas salah satu jenis zakat, yaitu zakat barang dagangan. Zakat barang dagangan merupakan zakat yang dikeluarkan dari barang dagangan yang dimiliki. Yang dimaksud dengan barang dagangan di sini adalah setiap harta atau aset yang diperjualbelikan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Baca juga: Solusi Bagi yang Belum Membayar Zakat Mal Bertahun-Tahun Wajibnya zakat barang dagangan Dalil wajibnya zakat barang dagangan ini adalah surah Al-Baqarah ayat 267, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” Lalu, Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103, خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka.” Lalu, firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Ma’arij ayat 24 dan 25. وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌۖ  لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِۖ “Dan orang-orang yang di dalam harta mereka disiapkan bagian tertentu, untuk orang yang meminta-minta dan yang menahan diri dari meminta-minta.” Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga mengutip adanya ijma‘ dalam wajibnya mengeluarkan zakat barang dagangan beliau dalam kitab Mulakhas Fiqhy. Beliau menyatakan, وقد حكى غيرُ واحدٍ إجماع أهل العلم على أنَّ في العروض التي يُراد بها التجارة الزكاةَ إذا حالَ عليها الحولُ .قال شيخ الإسلام ابن تيمية : الأئمة الأربعة وسائِرُ الأُمَّةِ – إلا من شذ متفقون على وجوبها في عروض التَّجَارَةِ. “Lebih dari satu orang telah melaporkan adanya ijma’ ahli ilmu tentang adanya zakat untuk barang-barang yang dimaksudkan untuk jual-beli jika telah sampai haul. Syekh Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Imam-imam yang empat dan imam-iman lainnya, kecuali pendapat yang aneh (ganjil), mereka bersepakat atas wajibnya zakat pada barang-barang dagangan.” Syarat wajib zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan, lalu bagaimanakah syarat-syarat barang dagangan tersebut untuk wajib dikeluarkan zakatnya? Apakah semua barang dagangan wajib dizakati? Berikut ini ada beberapa syarat barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya: Pertama: Barang tersebut dimiliki dengan pilihannya sendiri secara mubah, bisa dengan cara jual beli maupun dengan mendapatkan hibah ataupun wasiat. Kedua: Barang tersebut dimiliki dengan tujuan untuk jual beli. Sehingga barang yang wajib dizakati adalah barang yang dimiliki memang tujuannya untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, barang yang dimiliki untuk tujuan lain, seperti mobil yang dibeli untuk keperluan transportasi lalu dijual, tidak termasuk dari barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ketiga: Barang dagangan tersebut bukanlah barang yang asalnya wajib dizakati, seperti hewan ternak, emas, dan perak. Keempat: Barang tersebut sudah mencapai nishab. Nishab yang digunakan untuk zakat barang dagangan bisa menggunakan salah satu dari nisab emas, yaitu 85 gram emas, atau nisab perak, yaitu sebesar 595 gram perak. Kelima: Telah mencapai haul (genap satu tahun hijriah). Barang dagangan wajib untuk dikeluarkan zakat jika sudah mencapai haul selama satu tahun hijriah yang awalnya terhitung sejak nominal barang dagangan tersebut mencapai nishab yang sudah ditentukan. Tata cara zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan dan syarat-syarat wajibnya barang dagangan tersebut untuk dizakati, lalu bagaimana cara untuk membayar zakat barang dagangan? Zakat barang dagangan dibayarkan setelah mencapai nishab dan terpenuhi haul selama satu tahun hijriah. Besaran zakat yang dibayarkan adalah 2,5% atau 1/40 dari nilai barang dagangan tersebut. Zakat tersebut dibayarkan kepada orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin atau disalurkan ke lembaga Amil Zakat. Zakat yang dibayarkan tentunya merupakan nilai dari barang tersebut, bukan barangnya tersebut. Sehingga jika memiliki barang dagangan berupa mobil seharga 200 juta rupiah misalnya, maka yang dibayarkan adalah uang senilai 1/40 dari barang tersebut, yaitu 5 juta rupiah. Mari kita tunaikan zakat yang wajib bagi diri kita sendiri. Jangan sampai kita menganggap harta yang kita keluarkan untuk zakat adalah kerugian, padahal sejatinya harta zakat yang kita keluarkan adalah suatu bentuk bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 98-99, وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يَّتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَّيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَاۤىِٕرَۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبٰتٍ عِنْدَ اللّٰهِ وَصَلَوٰتِ الرَّسُوْلِۗ اَلَآ اِنَّهَا قُرْبَةٌ لَّهُمْۗ سَيُدْخِلُهُمُ اللّٰهُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian. Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu. Merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan masukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Baca juga: Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah. Tags: zakat


Daftar Isi Toggle Kedudukan zakatHukum zakatWajibnya zakat barang daganganSyarat wajib zakat barang daganganTata cara zakat barang dagangan Kedudukan zakat Zakat merupakan ibadah agung dan salah satu dari lima rukun Islam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwasanya Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إلـــه إلا الله وأن محمدا رسولُ الله ، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; …” (HR. Bukhari dan Muslim) Zakat juga merupakan ibadah yang memiliki kedudukan yang tinggi dan sering Allah sebutkan bersamaan dengan ibadah salat yang merupakan salah satu ibadah badan yang paling mulia. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat ke-43, وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” Allah juga berfirman dalam surah At-Taubah ayat ke-5, فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Hukum zakat Hukum zakat bagi orang Islam tentunya adalah wajib dan merupakan sebuah ijma‘ kaum muslimin bahwa membayar zakat merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam kitab Mulakhas Fiqhy mengatakan, أجمع المسلمونَ على فَرْضِيَّتِها، وأَنَّها الركن الثالثُ الإسلام، وعلى كُفْرِ مَنْ جَحَدَ وجوبها، وقتالِ مَنْ مَنَع إخراجها “Kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya membayar zakat, dan bahwa zakat adalah rukun Islam yang ketiga, dan kafirnya orang yang menolak wajibnya zakat dan memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat.” Dengan menimbang bahwa zakat merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim dan rukun ketiga dari rukun Islam, maka dari itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui hukum seputar zakat. Agar kita bisa menunaikan ibadah yang merupakan salah satu dari rukun Islam ini dengan benar. Zakat dalam Islam terbagi menjadi beberapa jenis. Pada tulisan ini, kita akan membahas salah satu jenis zakat, yaitu zakat barang dagangan. Zakat barang dagangan merupakan zakat yang dikeluarkan dari barang dagangan yang dimiliki. Yang dimaksud dengan barang dagangan di sini adalah setiap harta atau aset yang diperjualbelikan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Baca juga: Solusi Bagi yang Belum Membayar Zakat Mal Bertahun-Tahun Wajibnya zakat barang dagangan Dalil wajibnya zakat barang dagangan ini adalah surah Al-Baqarah ayat 267, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” Lalu, Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103, خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka.” Lalu, firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Ma’arij ayat 24 dan 25. وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌۖ  لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِۖ “Dan orang-orang yang di dalam harta mereka disiapkan bagian tertentu, untuk orang yang meminta-minta dan yang menahan diri dari meminta-minta.” Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga mengutip adanya ijma‘ dalam wajibnya mengeluarkan zakat barang dagangan beliau dalam kitab Mulakhas Fiqhy. Beliau menyatakan, وقد حكى غيرُ واحدٍ إجماع أهل العلم على أنَّ في العروض التي يُراد بها التجارة الزكاةَ إذا حالَ عليها الحولُ .قال شيخ الإسلام ابن تيمية : الأئمة الأربعة وسائِرُ الأُمَّةِ – إلا من شذ متفقون على وجوبها في عروض التَّجَارَةِ. “Lebih dari satu orang telah melaporkan adanya ijma’ ahli ilmu tentang adanya zakat untuk barang-barang yang dimaksudkan untuk jual-beli jika telah sampai haul. Syekh Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Imam-imam yang empat dan imam-iman lainnya, kecuali pendapat yang aneh (ganjil), mereka bersepakat atas wajibnya zakat pada barang-barang dagangan.” Syarat wajib zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan, lalu bagaimanakah syarat-syarat barang dagangan tersebut untuk wajib dikeluarkan zakatnya? Apakah semua barang dagangan wajib dizakati? Berikut ini ada beberapa syarat barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya: Pertama: Barang tersebut dimiliki dengan pilihannya sendiri secara mubah, bisa dengan cara jual beli maupun dengan mendapatkan hibah ataupun wasiat. Kedua: Barang tersebut dimiliki dengan tujuan untuk jual beli. Sehingga barang yang wajib dizakati adalah barang yang dimiliki memang tujuannya untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, barang yang dimiliki untuk tujuan lain, seperti mobil yang dibeli untuk keperluan transportasi lalu dijual, tidak termasuk dari barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ketiga: Barang dagangan tersebut bukanlah barang yang asalnya wajib dizakati, seperti hewan ternak, emas, dan perak. Keempat: Barang tersebut sudah mencapai nishab. Nishab yang digunakan untuk zakat barang dagangan bisa menggunakan salah satu dari nisab emas, yaitu 85 gram emas, atau nisab perak, yaitu sebesar 595 gram perak. Kelima: Telah mencapai haul (genap satu tahun hijriah). Barang dagangan wajib untuk dikeluarkan zakat jika sudah mencapai haul selama satu tahun hijriah yang awalnya terhitung sejak nominal barang dagangan tersebut mencapai nishab yang sudah ditentukan. Tata cara zakat barang dagangan Setelah mengetahui wajibnya zakat barang dagangan dan syarat-syarat wajibnya barang dagangan tersebut untuk dizakati, lalu bagaimana cara untuk membayar zakat barang dagangan? Zakat barang dagangan dibayarkan setelah mencapai nishab dan terpenuhi haul selama satu tahun hijriah. Besaran zakat yang dibayarkan adalah 2,5% atau 1/40 dari nilai barang dagangan tersebut. Zakat tersebut dibayarkan kepada orang yang berhak menerima zakat, seperti fakir miskin atau disalurkan ke lembaga Amil Zakat. Zakat yang dibayarkan tentunya merupakan nilai dari barang tersebut, bukan barangnya tersebut. Sehingga jika memiliki barang dagangan berupa mobil seharga 200 juta rupiah misalnya, maka yang dibayarkan adalah uang senilai 1/40 dari barang tersebut, yaitu 5 juta rupiah. Mari kita tunaikan zakat yang wajib bagi diri kita sendiri. Jangan sampai kita menganggap harta yang kita keluarkan untuk zakat adalah kerugian, padahal sejatinya harta zakat yang kita keluarkan adalah suatu bentuk bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 98-99, وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يَّتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَّيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَاۤىِٕرَۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَمِنَ الْاَعْرَابِ مَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبٰتٍ عِنْدَ اللّٰهِ وَصَلَوٰتِ الرَّسُوْلِۗ اَلَآ اِنَّهَا قُرْبَةٌ لَّهُمْۗ سَيُدْخِلُهُمُ اللّٰهُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian. Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu. Merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan masukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Baca juga: Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah. Tags: zakat

Fatwa Ulama: Takaran Adil dalam Nafkah dan Pemberian Tambahan kepada Anak

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah   Pertanyaan: Diketahui bahwa bersikap adil pada semua anak dalam menyampaikan pemberian adalah wajib. Tetapi, terkadang kebutuhan salah seorang anak dengan anak yang lain berbeda. Anak yang lebih tua memiliki beberapa pengeluaran yang lebih besar dari adiknya, dan anak perempuan terkadang menginginkan emas (sedangkan anak laki-laki dilarang memakai emas, pen). Lantas, bagaimana cara bersikap adil terhadap mereka? Jawaban: Pemberian yang dituntut untuk adil itu adalah pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتقوا الله، واعدلوا بين أولادكم … إلخ “Bertakwalah kalian kepada Allah, dan bersikap adillah di antara anak-anak kalian…” [1] Yakni, dalam pemberian tambahan. Adapun nafkah terhadap mereka, seluruhnya sesuai dengan kadar kebutuhan mereka. Anak yang besar ada nafkahnya sendiri, sebagaimana anak yang masih menyusu juga punya kadar nafkahnya sendiri. Antar keduanya punya kadar nafkah masing-masing yang tidak sama. Nafkah yang wajib ini diberikan kepada anak-anak sesuai kadar kebutuhan mereka. Anak yang lebih tua membutuhkan pakaian yang berbeda dengan pakaian anak kecil. Ia juga butuh menikah, dan jika ia tak punya harta, orang tua membantu menikahkannya. Ia mungkin butuh tempat tinggal, sedangkan anak kecil kebutuhannya tidak sampai setingkat itu. Alhasil, kebutuhan setiap anak dipenuhi sesuai dengan keadaannya. Takaran adil dalam pemberian nafkah yang wajib adalah sesuai kadar kebutuhannya. Adapun pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib, inilah tempatnya bersikap adil dengan tidak mengkhususkan salah seorang anak dengan hal tertentu (yang tidak didapat saudara-saudaranya, pen). Memberi si A, sedangkan si B tidak diberi; si C diberi mobil, sedangkan si D tidak diberi; tidak benar yang demikian. Berikanlah yang setara di antara mereka. Tetapi, dalam hal nafkah yang wajib dalam hal berbagai pakaian, makanan, minuman, transportasi, dan yang semacamnya, semua itu diberi sesuai kadar kebutuhannya. [2] – Fatwa Selesai –   Catatan penerjemah: Pada kesempatan yang lain, Syekh Ibnu Baz rahimahullah menyatakan bahwa menurut pendapat yang lebih kuat, kadar adil dalam pemberian tambahan di luar nafkah wajib antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dengan ketentuan pembagian waris. Beliau menjelaskan, اختلف العلماءُ رحمة الله عليهم: هل يُسَوَّى بينهم، ويكونُ الذكرُ كالأنثى، أم يُفَضَّلُ الذكَرُ على الأنثى كالميراثِ؛ على قولينِ لأهلِ العِلمِ، والأرجَحُ أن تكونَ العطيَّةُ كالميراثِ، وأنَّ التسويةَ تكونُ بجَعلِ الذكَرِ كالأُنثَيينِ؛ فإن هذا هو الذي جعله اللهُ لهم في الميراثِ، وهو سبحانَه الحَكَمُ العَدلُ، فيكون المؤمِنُ في عطيَّتِه لأولادِه كذلك، كما لو خَلَّفَه لهم بعد موتِه؛ للذكَرِ مِثلُ حَظِّ الأُنثَيين “Para ulama, semoga Allah merahmati mereka, berbeda pendapat perihal apakah pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan itu disamakan kadarnya di antara mereka, ataukah anak laki-laki diberi lebih banyak daripada anak perempuan seperti kadar pembagian harta waris. Terdapat dua pendapat di kalangan ulama, dan pendapat yang lebih kuat adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan sama seperti kadar pembagian harta waris, yaitu bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan. Dan Allah adalah Zat Yang Maha Menetapkan hukum lagi Mahaadil, maka hendaknya seorang mukmin menerapkan ketentuan tersebut ketika menyampaikan pemberian tambahan kepada anak-anaknya, seperti orang tua meninggalkan harta waris untuk anak-anaknya setelah kematiannya, yakni bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan.” [3] Pendapat ini juga menjadi pendapat sebagian salaf, pendapat mazhab Hanbali, salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Maliki, serta dipilih oleh Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. [4] Dengan demikian, perkataan beliau dalam fatwa pertama bahwa setiap anak mendapat pemberian tambahan dengan kadar yang setara, dapat dimaknai terjadi ketika semua anak memiliki jenis kelamin yang sama, baik laki-laki maupun perempuan seluruhnya. Adapun jika orang tua memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka pendapat terkuat yang beliau sampaikan adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib sama seperti hukum pembagian harta waris. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi teladan bagi anak dari berbagai sisi, serta menjadi role model pertama yang ingin ia tiru ketika datang gilirannya untuk turut menjadi orang tua. Baca juga: Memberi Nafkah kepada Anak-Istri adalah Ibadah yang Agung *** Masjid Pogung Raya, 12 Safar 1446 H. Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] HR. Bukhari no. 2587. [2] https://binbaz.org.sa/fatwas/2607/ [3] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 6: 337. [4] Mausu’ah Fiqhiyyah Ad-Durar As-Saniyyah, https://dorar.net/feqhia/5456/ Tags: adilnafkah

Fatwa Ulama: Takaran Adil dalam Nafkah dan Pemberian Tambahan kepada Anak

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah   Pertanyaan: Diketahui bahwa bersikap adil pada semua anak dalam menyampaikan pemberian adalah wajib. Tetapi, terkadang kebutuhan salah seorang anak dengan anak yang lain berbeda. Anak yang lebih tua memiliki beberapa pengeluaran yang lebih besar dari adiknya, dan anak perempuan terkadang menginginkan emas (sedangkan anak laki-laki dilarang memakai emas, pen). Lantas, bagaimana cara bersikap adil terhadap mereka? Jawaban: Pemberian yang dituntut untuk adil itu adalah pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتقوا الله، واعدلوا بين أولادكم … إلخ “Bertakwalah kalian kepada Allah, dan bersikap adillah di antara anak-anak kalian…” [1] Yakni, dalam pemberian tambahan. Adapun nafkah terhadap mereka, seluruhnya sesuai dengan kadar kebutuhan mereka. Anak yang besar ada nafkahnya sendiri, sebagaimana anak yang masih menyusu juga punya kadar nafkahnya sendiri. Antar keduanya punya kadar nafkah masing-masing yang tidak sama. Nafkah yang wajib ini diberikan kepada anak-anak sesuai kadar kebutuhan mereka. Anak yang lebih tua membutuhkan pakaian yang berbeda dengan pakaian anak kecil. Ia juga butuh menikah, dan jika ia tak punya harta, orang tua membantu menikahkannya. Ia mungkin butuh tempat tinggal, sedangkan anak kecil kebutuhannya tidak sampai setingkat itu. Alhasil, kebutuhan setiap anak dipenuhi sesuai dengan keadaannya. Takaran adil dalam pemberian nafkah yang wajib adalah sesuai kadar kebutuhannya. Adapun pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib, inilah tempatnya bersikap adil dengan tidak mengkhususkan salah seorang anak dengan hal tertentu (yang tidak didapat saudara-saudaranya, pen). Memberi si A, sedangkan si B tidak diberi; si C diberi mobil, sedangkan si D tidak diberi; tidak benar yang demikian. Berikanlah yang setara di antara mereka. Tetapi, dalam hal nafkah yang wajib dalam hal berbagai pakaian, makanan, minuman, transportasi, dan yang semacamnya, semua itu diberi sesuai kadar kebutuhannya. [2] – Fatwa Selesai –   Catatan penerjemah: Pada kesempatan yang lain, Syekh Ibnu Baz rahimahullah menyatakan bahwa menurut pendapat yang lebih kuat, kadar adil dalam pemberian tambahan di luar nafkah wajib antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dengan ketentuan pembagian waris. Beliau menjelaskan, اختلف العلماءُ رحمة الله عليهم: هل يُسَوَّى بينهم، ويكونُ الذكرُ كالأنثى، أم يُفَضَّلُ الذكَرُ على الأنثى كالميراثِ؛ على قولينِ لأهلِ العِلمِ، والأرجَحُ أن تكونَ العطيَّةُ كالميراثِ، وأنَّ التسويةَ تكونُ بجَعلِ الذكَرِ كالأُنثَيينِ؛ فإن هذا هو الذي جعله اللهُ لهم في الميراثِ، وهو سبحانَه الحَكَمُ العَدلُ، فيكون المؤمِنُ في عطيَّتِه لأولادِه كذلك، كما لو خَلَّفَه لهم بعد موتِه؛ للذكَرِ مِثلُ حَظِّ الأُنثَيين “Para ulama, semoga Allah merahmati mereka, berbeda pendapat perihal apakah pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan itu disamakan kadarnya di antara mereka, ataukah anak laki-laki diberi lebih banyak daripada anak perempuan seperti kadar pembagian harta waris. Terdapat dua pendapat di kalangan ulama, dan pendapat yang lebih kuat adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan sama seperti kadar pembagian harta waris, yaitu bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan. Dan Allah adalah Zat Yang Maha Menetapkan hukum lagi Mahaadil, maka hendaknya seorang mukmin menerapkan ketentuan tersebut ketika menyampaikan pemberian tambahan kepada anak-anaknya, seperti orang tua meninggalkan harta waris untuk anak-anaknya setelah kematiannya, yakni bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan.” [3] Pendapat ini juga menjadi pendapat sebagian salaf, pendapat mazhab Hanbali, salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Maliki, serta dipilih oleh Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. [4] Dengan demikian, perkataan beliau dalam fatwa pertama bahwa setiap anak mendapat pemberian tambahan dengan kadar yang setara, dapat dimaknai terjadi ketika semua anak memiliki jenis kelamin yang sama, baik laki-laki maupun perempuan seluruhnya. Adapun jika orang tua memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka pendapat terkuat yang beliau sampaikan adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib sama seperti hukum pembagian harta waris. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi teladan bagi anak dari berbagai sisi, serta menjadi role model pertama yang ingin ia tiru ketika datang gilirannya untuk turut menjadi orang tua. Baca juga: Memberi Nafkah kepada Anak-Istri adalah Ibadah yang Agung *** Masjid Pogung Raya, 12 Safar 1446 H. Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] HR. Bukhari no. 2587. [2] https://binbaz.org.sa/fatwas/2607/ [3] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 6: 337. [4] Mausu’ah Fiqhiyyah Ad-Durar As-Saniyyah, https://dorar.net/feqhia/5456/ Tags: adilnafkah
Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah   Pertanyaan: Diketahui bahwa bersikap adil pada semua anak dalam menyampaikan pemberian adalah wajib. Tetapi, terkadang kebutuhan salah seorang anak dengan anak yang lain berbeda. Anak yang lebih tua memiliki beberapa pengeluaran yang lebih besar dari adiknya, dan anak perempuan terkadang menginginkan emas (sedangkan anak laki-laki dilarang memakai emas, pen). Lantas, bagaimana cara bersikap adil terhadap mereka? Jawaban: Pemberian yang dituntut untuk adil itu adalah pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتقوا الله، واعدلوا بين أولادكم … إلخ “Bertakwalah kalian kepada Allah, dan bersikap adillah di antara anak-anak kalian…” [1] Yakni, dalam pemberian tambahan. Adapun nafkah terhadap mereka, seluruhnya sesuai dengan kadar kebutuhan mereka. Anak yang besar ada nafkahnya sendiri, sebagaimana anak yang masih menyusu juga punya kadar nafkahnya sendiri. Antar keduanya punya kadar nafkah masing-masing yang tidak sama. Nafkah yang wajib ini diberikan kepada anak-anak sesuai kadar kebutuhan mereka. Anak yang lebih tua membutuhkan pakaian yang berbeda dengan pakaian anak kecil. Ia juga butuh menikah, dan jika ia tak punya harta, orang tua membantu menikahkannya. Ia mungkin butuh tempat tinggal, sedangkan anak kecil kebutuhannya tidak sampai setingkat itu. Alhasil, kebutuhan setiap anak dipenuhi sesuai dengan keadaannya. Takaran adil dalam pemberian nafkah yang wajib adalah sesuai kadar kebutuhannya. Adapun pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib, inilah tempatnya bersikap adil dengan tidak mengkhususkan salah seorang anak dengan hal tertentu (yang tidak didapat saudara-saudaranya, pen). Memberi si A, sedangkan si B tidak diberi; si C diberi mobil, sedangkan si D tidak diberi; tidak benar yang demikian. Berikanlah yang setara di antara mereka. Tetapi, dalam hal nafkah yang wajib dalam hal berbagai pakaian, makanan, minuman, transportasi, dan yang semacamnya, semua itu diberi sesuai kadar kebutuhannya. [2] – Fatwa Selesai –   Catatan penerjemah: Pada kesempatan yang lain, Syekh Ibnu Baz rahimahullah menyatakan bahwa menurut pendapat yang lebih kuat, kadar adil dalam pemberian tambahan di luar nafkah wajib antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dengan ketentuan pembagian waris. Beliau menjelaskan, اختلف العلماءُ رحمة الله عليهم: هل يُسَوَّى بينهم، ويكونُ الذكرُ كالأنثى، أم يُفَضَّلُ الذكَرُ على الأنثى كالميراثِ؛ على قولينِ لأهلِ العِلمِ، والأرجَحُ أن تكونَ العطيَّةُ كالميراثِ، وأنَّ التسويةَ تكونُ بجَعلِ الذكَرِ كالأُنثَيينِ؛ فإن هذا هو الذي جعله اللهُ لهم في الميراثِ، وهو سبحانَه الحَكَمُ العَدلُ، فيكون المؤمِنُ في عطيَّتِه لأولادِه كذلك، كما لو خَلَّفَه لهم بعد موتِه؛ للذكَرِ مِثلُ حَظِّ الأُنثَيين “Para ulama, semoga Allah merahmati mereka, berbeda pendapat perihal apakah pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan itu disamakan kadarnya di antara mereka, ataukah anak laki-laki diberi lebih banyak daripada anak perempuan seperti kadar pembagian harta waris. Terdapat dua pendapat di kalangan ulama, dan pendapat yang lebih kuat adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan sama seperti kadar pembagian harta waris, yaitu bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan. Dan Allah adalah Zat Yang Maha Menetapkan hukum lagi Mahaadil, maka hendaknya seorang mukmin menerapkan ketentuan tersebut ketika menyampaikan pemberian tambahan kepada anak-anaknya, seperti orang tua meninggalkan harta waris untuk anak-anaknya setelah kematiannya, yakni bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan.” [3] Pendapat ini juga menjadi pendapat sebagian salaf, pendapat mazhab Hanbali, salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Maliki, serta dipilih oleh Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. [4] Dengan demikian, perkataan beliau dalam fatwa pertama bahwa setiap anak mendapat pemberian tambahan dengan kadar yang setara, dapat dimaknai terjadi ketika semua anak memiliki jenis kelamin yang sama, baik laki-laki maupun perempuan seluruhnya. Adapun jika orang tua memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka pendapat terkuat yang beliau sampaikan adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib sama seperti hukum pembagian harta waris. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi teladan bagi anak dari berbagai sisi, serta menjadi role model pertama yang ingin ia tiru ketika datang gilirannya untuk turut menjadi orang tua. Baca juga: Memberi Nafkah kepada Anak-Istri adalah Ibadah yang Agung *** Masjid Pogung Raya, 12 Safar 1446 H. Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] HR. Bukhari no. 2587. [2] https://binbaz.org.sa/fatwas/2607/ [3] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 6: 337. [4] Mausu’ah Fiqhiyyah Ad-Durar As-Saniyyah, https://dorar.net/feqhia/5456/ Tags: adilnafkah


Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah   Pertanyaan: Diketahui bahwa bersikap adil pada semua anak dalam menyampaikan pemberian adalah wajib. Tetapi, terkadang kebutuhan salah seorang anak dengan anak yang lain berbeda. Anak yang lebih tua memiliki beberapa pengeluaran yang lebih besar dari adiknya, dan anak perempuan terkadang menginginkan emas (sedangkan anak laki-laki dilarang memakai emas, pen). Lantas, bagaimana cara bersikap adil terhadap mereka? Jawaban: Pemberian yang dituntut untuk adil itu adalah pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتقوا الله، واعدلوا بين أولادكم … إلخ “Bertakwalah kalian kepada Allah, dan bersikap adillah di antara anak-anak kalian…” [1] Yakni, dalam pemberian tambahan. Adapun nafkah terhadap mereka, seluruhnya sesuai dengan kadar kebutuhan mereka. Anak yang besar ada nafkahnya sendiri, sebagaimana anak yang masih menyusu juga punya kadar nafkahnya sendiri. Antar keduanya punya kadar nafkah masing-masing yang tidak sama. Nafkah yang wajib ini diberikan kepada anak-anak sesuai kadar kebutuhan mereka. Anak yang lebih tua membutuhkan pakaian yang berbeda dengan pakaian anak kecil. Ia juga butuh menikah, dan jika ia tak punya harta, orang tua membantu menikahkannya. Ia mungkin butuh tempat tinggal, sedangkan anak kecil kebutuhannya tidak sampai setingkat itu. Alhasil, kebutuhan setiap anak dipenuhi sesuai dengan keadaannya. Takaran adil dalam pemberian nafkah yang wajib adalah sesuai kadar kebutuhannya. Adapun pemberian tambahan di luar nafkah yang wajib, inilah tempatnya bersikap adil dengan tidak mengkhususkan salah seorang anak dengan hal tertentu (yang tidak didapat saudara-saudaranya, pen). Memberi si A, sedangkan si B tidak diberi; si C diberi mobil, sedangkan si D tidak diberi; tidak benar yang demikian. Berikanlah yang setara di antara mereka. Tetapi, dalam hal nafkah yang wajib dalam hal berbagai pakaian, makanan, minuman, transportasi, dan yang semacamnya, semua itu diberi sesuai kadar kebutuhannya. [2] – Fatwa Selesai –   Catatan penerjemah: Pada kesempatan yang lain, Syekh Ibnu Baz rahimahullah menyatakan bahwa menurut pendapat yang lebih kuat, kadar adil dalam pemberian tambahan di luar nafkah wajib antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dengan ketentuan pembagian waris. Beliau menjelaskan, اختلف العلماءُ رحمة الله عليهم: هل يُسَوَّى بينهم، ويكونُ الذكرُ كالأنثى، أم يُفَضَّلُ الذكَرُ على الأنثى كالميراثِ؛ على قولينِ لأهلِ العِلمِ، والأرجَحُ أن تكونَ العطيَّةُ كالميراثِ، وأنَّ التسويةَ تكونُ بجَعلِ الذكَرِ كالأُنثَيينِ؛ فإن هذا هو الذي جعله اللهُ لهم في الميراثِ، وهو سبحانَه الحَكَمُ العَدلُ، فيكون المؤمِنُ في عطيَّتِه لأولادِه كذلك، كما لو خَلَّفَه لهم بعد موتِه؛ للذكَرِ مِثلُ حَظِّ الأُنثَيين “Para ulama, semoga Allah merahmati mereka, berbeda pendapat perihal apakah pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan itu disamakan kadarnya di antara mereka, ataukah anak laki-laki diberi lebih banyak daripada anak perempuan seperti kadar pembagian harta waris. Terdapat dua pendapat di kalangan ulama, dan pendapat yang lebih kuat adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib pada anak laki-laki dan perempuan sama seperti kadar pembagian harta waris, yaitu bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan. Dan Allah adalah Zat Yang Maha Menetapkan hukum lagi Mahaadil, maka hendaknya seorang mukmin menerapkan ketentuan tersebut ketika menyampaikan pemberian tambahan kepada anak-anaknya, seperti orang tua meninggalkan harta waris untuk anak-anaknya setelah kematiannya, yakni bagian anak laki-laki sama seperti bagian untuk dua anak perempuan.” [3] Pendapat ini juga menjadi pendapat sebagian salaf, pendapat mazhab Hanbali, salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Maliki, serta dipilih oleh Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. [4] Dengan demikian, perkataan beliau dalam fatwa pertama bahwa setiap anak mendapat pemberian tambahan dengan kadar yang setara, dapat dimaknai terjadi ketika semua anak memiliki jenis kelamin yang sama, baik laki-laki maupun perempuan seluruhnya. Adapun jika orang tua memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka pendapat terkuat yang beliau sampaikan adalah kadar pemberian tambahan di luar nafkah wajib sama seperti hukum pembagian harta waris. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi teladan bagi anak dari berbagai sisi, serta menjadi role model pertama yang ingin ia tiru ketika datang gilirannya untuk turut menjadi orang tua. Baca juga: Memberi Nafkah kepada Anak-Istri adalah Ibadah yang Agung *** Masjid Pogung Raya, 12 Safar 1446 H. Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] HR. Bukhari no. 2587. [2] https://binbaz.org.sa/fatwas/2607/ [3] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 6: 337. [4] Mausu’ah Fiqhiyyah Ad-Durar As-Saniyyah, https://dorar.net/feqhia/5456/ Tags: adilnafkah

Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa

Daftar Isi Toggle Urgensi menjaga anggota tubuhDosa yang bersumber dari pendengaranDosa yang bersumber dari penglihatanBentuk ikhtiarMemperbanyak ibadah dan zikirMenghindari lingkungan yang burukMengisi waktu dengan kegiatan positifMenjaga niat dan hati Dosa dan kesalahan adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbuat dosa menjadi hal yang niscaya bagi setiap insan. Namun, tidak berhenti di situ, meski manusia tak luput dari kesalahan, ia tetap memiliki kewajiban untuk terus memperbaiki diri dengan tobat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ. “Setiap anak Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” [1] Setiap tindakan yang kita lakukan dapat membawa dampak baik atau buruk, tergantung pada niat dan bagaimana kita melakukannya. Tindakan tersebut didorong oleh keinginan hati dan dorongan nafsu. Tetapi, ia tidak akan menjadi nyata, kecuali dibenarkan oleh sedikitnya 3 (tiga) hal, yaitu: tubuh, pendengaran, dan penglihatan. Maka, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah salah satu ikhtiar penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan menjaga keimanan kita, juga menjaga agar ketiganya tidak rusak karena menanggung konsekuensi dari dosa-dosa yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kita doa yang sangat agung berkaitan dengan ini, yaitu: اللَّهمَّ عافِني في بَدَني، اللَّهمَّ عافِني في سَمْعي، اللَّهمَّ عافِني في بَصَري، لا إلهَ إلَّا أنتَ “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI, ALLAHUMMA ‘AFINI FI SAM’I, ALLAHUMMA ‘AFINI FI BASHARI, LAILAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.) [2] Urgensi menjaga anggota tubuh Islam mengajarkan bahwa setiap amalan kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karenanya, penting bagi setiap muslim untuk menyadari dan menghindari dosa-dosa yang bersumber dari anggota tubuh yang digerakkan oleh hati. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hati yang bersih akan mempengaruhi tindakan kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan dosa. Maka dari itu, membersihkan hati dari niat-niat buruk adalah langkah awal yang sangat penting dalam menjaga tubuh kita dari dosa. Di antara ikhtiar dalam menjaga tubuh tersebut adalah doa dalam kalimat, اللَّهمَّ عافِني في بَدَني “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI.” (“Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku.”) Dosa yang bersumber dari pendengaran Pendengaran adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada manusia. Namun, pendengaran juga bisa menjadi sumber dosa jika tidak dijaga dengan baik. Mendengarkan gibah (gosip), fitnah, dan pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah contoh dosa yang bersumber dari pendengaran. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Untuk menghindari dosa dari pendengaran, kita mesti selektif dalam mendengarkan. Memilih untuk mendengarkan hal-hal yang bermanfaat, seperti ceramah agama, tilawah Al-Qur’an, dan bacaan hadis, serta nasihat baik akan membantu kita menjaga pendengaran dari hal-hal yang diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan kita untuk menjaga pendengaran dengan bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Dosa yang bersumber dari penglihatan Penglihatan adalah pintu masuk utama ke dalam hati dan pikiran kita. Melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti aurat wanita yang bukan mahram (begitu pula sebaliknya), tontonan yang tidak mendidik, atau hal-hal yang bisa menimbulkan syahwat adalah sumber dosa yang seringkali tidak disadari. Allah Ta’ala berfirman, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Sungguh, menjaga penglihatan, di zaman yang penuh fitnah ini, menjadi semakin berat dan butuh pertolongan Allah Ta’ala. Media sosial, televisi, dan internet penuh dengan konten yang tidak selalu baik untuk dilihat. Oleh karenanya, telah menjadi kewajiban pula bagi kita untuk selalu berusaha menjaga pandangan kita dan menghindari hal-hal yang bisa merusak hati dan keimanan kita. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? Bentuk ikhtiar Menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. InsyaAllah, dengan senantiasa memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala, kita menjadi hamba-Nya yang istikamah dalam ketakwaan. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan: Memperbanyak ibadah dan zikir Ibadah dan zikir dapat menenangkan hati dan menjauhkan kita dari godaan untuk melakukan dosa. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, kita akan lebih mudah mengendalikan diri dan menjaga anggota tubuh kita dari hal-hal yang diharamkan. Ingat pula bahwa ketika kita menyibukkan diri dengan zikrullah, celah setan untuk menggoda kita akan tertutup dengan izin Allah Ta’ala sehingga segala tindak laku, sikap, perkataan dan perbuatan kita pun senantiasa sejalan dengan ketentuan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّهُۥ لَيْسَ لَهُۥ سُلْطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَٰنُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُۥ وَٱلَّذِينَ هُم بِهِۦ مُشْرِكُونَ “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”​​ (QS. An-Nahl: 99-100) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ، إِذَا هُوَ نَامَ ، ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ عَلَى كُلِّ عُقْدَةٍ : عَلَيْكَ لَيْلٌ طَويلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيقَظَ ، فَذَكَرَ اللهَ تَعَالَى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ ، اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى ، اِنْحَلَّتْ عُقَدُهُ كُلُّهَا ، فَأصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاََّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ “Setan membuat ikatan pada ujung kepala salah seorang di antara kalian ketika ia tidur sebanyak tiga ikatan, yang ia pukul setiap ikatan dengan mengatakan, ‘Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah.’ Jika orang tersebut bangun, lalu berzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Lalu, jika ia berwudu, terlepaslah satu ikatan. Kemudian jika ia salat, terlepaslah seluruh ikatannya. Maka, ia memasuki waktu pagi dengan semangat dan jiwa yang baik. Dan jika tidak demikian, maka ia memasuki waktu pagi dengan jiwa yang jelek dan malas.” (Muttafaqun ‘alaihi)​​ Menghindari lingkungan yang buruk Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa karena lingkungan dapat menentukan baik buruknya agama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل “Seseorang itu berada atas agama sahabat dekatnya, maka hendaklah kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman.” [3] Sahabat dekat atau lingkungan kita memiliki pengaruh besar terhadap cara kita menjalani kehidupan beragama. Maka, bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa. Mengisi waktu dengan kegiatan positif Waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi celah bagi setan untuk menggoda kita. Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Dua nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terpedaya).” [4] Menjaga niat dan hati Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Bersihkan hati dari niat buruk dan selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat apa yang kita lakukan. Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Niat merupakan dasar dari semua amal perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang (ingin) dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu) InsyaAllah, dengan niat yang benar, bahkan amal yang kecil bisa menjadi besar di sisi Allah. Sebaliknya, amal yang besar bisa menjadi sia-sia jika niatnya tidak ikhlas. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan bahwa niat adalah rahasia suatu ibadah dan rohnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu memperbaiki niat sebelum melakukan setiap perbuatan baik agar mendapatkan rida Allah Ta’ala. Saudaraku, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah bagian penting dari ikhtiar kita untuk menjaga keimanan kita. Mudah-mudahan, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, insyaAllah kita dapat menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dan meraih rida Allah Ta’ala. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa, serta membimbing kita di jalan yang benar. Amin. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah no. 4251; Ahmad, 3: 198; Al-Hakim, 4: 244 dari Anas, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391. [2] Abdurrahman bin Abu Bakrah berkata, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau berdoa setiap pagi, ‘Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang.” Lalu, ayahnya menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ berdoa dengan doa-doa tersebut, maka aku senang mengikuti sunahnya.” Abbas berkata mengenai hal ini, “Dan engkau juga berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur. Tidak ada tuhan selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang, maka aku senang mengikuti sunahnya.” (HR. Abu Bakrah Nafi’ bin Al-Harith. Lihat Shahih Abi Dawud no. 5090, sanadnya dinilai hasan oleh Al-Albani) Selengkapnya dapat diakses di: https://dorar.net/hadith/sharh/28806 [3] HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 927. [4] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 18: 219, Mawqi’ Al-Islam. Tags: doadosa

Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa

Daftar Isi Toggle Urgensi menjaga anggota tubuhDosa yang bersumber dari pendengaranDosa yang bersumber dari penglihatanBentuk ikhtiarMemperbanyak ibadah dan zikirMenghindari lingkungan yang burukMengisi waktu dengan kegiatan positifMenjaga niat dan hati Dosa dan kesalahan adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbuat dosa menjadi hal yang niscaya bagi setiap insan. Namun, tidak berhenti di situ, meski manusia tak luput dari kesalahan, ia tetap memiliki kewajiban untuk terus memperbaiki diri dengan tobat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ. “Setiap anak Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” [1] Setiap tindakan yang kita lakukan dapat membawa dampak baik atau buruk, tergantung pada niat dan bagaimana kita melakukannya. Tindakan tersebut didorong oleh keinginan hati dan dorongan nafsu. Tetapi, ia tidak akan menjadi nyata, kecuali dibenarkan oleh sedikitnya 3 (tiga) hal, yaitu: tubuh, pendengaran, dan penglihatan. Maka, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah salah satu ikhtiar penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan menjaga keimanan kita, juga menjaga agar ketiganya tidak rusak karena menanggung konsekuensi dari dosa-dosa yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kita doa yang sangat agung berkaitan dengan ini, yaitu: اللَّهمَّ عافِني في بَدَني، اللَّهمَّ عافِني في سَمْعي، اللَّهمَّ عافِني في بَصَري، لا إلهَ إلَّا أنتَ “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI, ALLAHUMMA ‘AFINI FI SAM’I, ALLAHUMMA ‘AFINI FI BASHARI, LAILAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.) [2] Urgensi menjaga anggota tubuh Islam mengajarkan bahwa setiap amalan kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karenanya, penting bagi setiap muslim untuk menyadari dan menghindari dosa-dosa yang bersumber dari anggota tubuh yang digerakkan oleh hati. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hati yang bersih akan mempengaruhi tindakan kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan dosa. Maka dari itu, membersihkan hati dari niat-niat buruk adalah langkah awal yang sangat penting dalam menjaga tubuh kita dari dosa. Di antara ikhtiar dalam menjaga tubuh tersebut adalah doa dalam kalimat, اللَّهمَّ عافِني في بَدَني “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI.” (“Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku.”) Dosa yang bersumber dari pendengaran Pendengaran adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada manusia. Namun, pendengaran juga bisa menjadi sumber dosa jika tidak dijaga dengan baik. Mendengarkan gibah (gosip), fitnah, dan pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah contoh dosa yang bersumber dari pendengaran. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Untuk menghindari dosa dari pendengaran, kita mesti selektif dalam mendengarkan. Memilih untuk mendengarkan hal-hal yang bermanfaat, seperti ceramah agama, tilawah Al-Qur’an, dan bacaan hadis, serta nasihat baik akan membantu kita menjaga pendengaran dari hal-hal yang diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan kita untuk menjaga pendengaran dengan bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Dosa yang bersumber dari penglihatan Penglihatan adalah pintu masuk utama ke dalam hati dan pikiran kita. Melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti aurat wanita yang bukan mahram (begitu pula sebaliknya), tontonan yang tidak mendidik, atau hal-hal yang bisa menimbulkan syahwat adalah sumber dosa yang seringkali tidak disadari. Allah Ta’ala berfirman, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Sungguh, menjaga penglihatan, di zaman yang penuh fitnah ini, menjadi semakin berat dan butuh pertolongan Allah Ta’ala. Media sosial, televisi, dan internet penuh dengan konten yang tidak selalu baik untuk dilihat. Oleh karenanya, telah menjadi kewajiban pula bagi kita untuk selalu berusaha menjaga pandangan kita dan menghindari hal-hal yang bisa merusak hati dan keimanan kita. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? Bentuk ikhtiar Menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. InsyaAllah, dengan senantiasa memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala, kita menjadi hamba-Nya yang istikamah dalam ketakwaan. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan: Memperbanyak ibadah dan zikir Ibadah dan zikir dapat menenangkan hati dan menjauhkan kita dari godaan untuk melakukan dosa. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, kita akan lebih mudah mengendalikan diri dan menjaga anggota tubuh kita dari hal-hal yang diharamkan. Ingat pula bahwa ketika kita menyibukkan diri dengan zikrullah, celah setan untuk menggoda kita akan tertutup dengan izin Allah Ta’ala sehingga segala tindak laku, sikap, perkataan dan perbuatan kita pun senantiasa sejalan dengan ketentuan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّهُۥ لَيْسَ لَهُۥ سُلْطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَٰنُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُۥ وَٱلَّذِينَ هُم بِهِۦ مُشْرِكُونَ “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”​​ (QS. An-Nahl: 99-100) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ، إِذَا هُوَ نَامَ ، ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ عَلَى كُلِّ عُقْدَةٍ : عَلَيْكَ لَيْلٌ طَويلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيقَظَ ، فَذَكَرَ اللهَ تَعَالَى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ ، اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى ، اِنْحَلَّتْ عُقَدُهُ كُلُّهَا ، فَأصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاََّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ “Setan membuat ikatan pada ujung kepala salah seorang di antara kalian ketika ia tidur sebanyak tiga ikatan, yang ia pukul setiap ikatan dengan mengatakan, ‘Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah.’ Jika orang tersebut bangun, lalu berzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Lalu, jika ia berwudu, terlepaslah satu ikatan. Kemudian jika ia salat, terlepaslah seluruh ikatannya. Maka, ia memasuki waktu pagi dengan semangat dan jiwa yang baik. Dan jika tidak demikian, maka ia memasuki waktu pagi dengan jiwa yang jelek dan malas.” (Muttafaqun ‘alaihi)​​ Menghindari lingkungan yang buruk Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa karena lingkungan dapat menentukan baik buruknya agama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل “Seseorang itu berada atas agama sahabat dekatnya, maka hendaklah kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman.” [3] Sahabat dekat atau lingkungan kita memiliki pengaruh besar terhadap cara kita menjalani kehidupan beragama. Maka, bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa. Mengisi waktu dengan kegiatan positif Waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi celah bagi setan untuk menggoda kita. Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Dua nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terpedaya).” [4] Menjaga niat dan hati Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Bersihkan hati dari niat buruk dan selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat apa yang kita lakukan. Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Niat merupakan dasar dari semua amal perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang (ingin) dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu) InsyaAllah, dengan niat yang benar, bahkan amal yang kecil bisa menjadi besar di sisi Allah. Sebaliknya, amal yang besar bisa menjadi sia-sia jika niatnya tidak ikhlas. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan bahwa niat adalah rahasia suatu ibadah dan rohnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu memperbaiki niat sebelum melakukan setiap perbuatan baik agar mendapatkan rida Allah Ta’ala. Saudaraku, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah bagian penting dari ikhtiar kita untuk menjaga keimanan kita. Mudah-mudahan, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, insyaAllah kita dapat menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dan meraih rida Allah Ta’ala. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa, serta membimbing kita di jalan yang benar. Amin. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah no. 4251; Ahmad, 3: 198; Al-Hakim, 4: 244 dari Anas, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391. [2] Abdurrahman bin Abu Bakrah berkata, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau berdoa setiap pagi, ‘Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang.” Lalu, ayahnya menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ berdoa dengan doa-doa tersebut, maka aku senang mengikuti sunahnya.” Abbas berkata mengenai hal ini, “Dan engkau juga berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur. Tidak ada tuhan selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang, maka aku senang mengikuti sunahnya.” (HR. Abu Bakrah Nafi’ bin Al-Harith. Lihat Shahih Abi Dawud no. 5090, sanadnya dinilai hasan oleh Al-Albani) Selengkapnya dapat diakses di: https://dorar.net/hadith/sharh/28806 [3] HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 927. [4] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 18: 219, Mawqi’ Al-Islam. Tags: doadosa
Daftar Isi Toggle Urgensi menjaga anggota tubuhDosa yang bersumber dari pendengaranDosa yang bersumber dari penglihatanBentuk ikhtiarMemperbanyak ibadah dan zikirMenghindari lingkungan yang burukMengisi waktu dengan kegiatan positifMenjaga niat dan hati Dosa dan kesalahan adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbuat dosa menjadi hal yang niscaya bagi setiap insan. Namun, tidak berhenti di situ, meski manusia tak luput dari kesalahan, ia tetap memiliki kewajiban untuk terus memperbaiki diri dengan tobat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ. “Setiap anak Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” [1] Setiap tindakan yang kita lakukan dapat membawa dampak baik atau buruk, tergantung pada niat dan bagaimana kita melakukannya. Tindakan tersebut didorong oleh keinginan hati dan dorongan nafsu. Tetapi, ia tidak akan menjadi nyata, kecuali dibenarkan oleh sedikitnya 3 (tiga) hal, yaitu: tubuh, pendengaran, dan penglihatan. Maka, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah salah satu ikhtiar penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan menjaga keimanan kita, juga menjaga agar ketiganya tidak rusak karena menanggung konsekuensi dari dosa-dosa yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kita doa yang sangat agung berkaitan dengan ini, yaitu: اللَّهمَّ عافِني في بَدَني، اللَّهمَّ عافِني في سَمْعي، اللَّهمَّ عافِني في بَصَري، لا إلهَ إلَّا أنتَ “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI, ALLAHUMMA ‘AFINI FI SAM’I, ALLAHUMMA ‘AFINI FI BASHARI, LAILAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.) [2] Urgensi menjaga anggota tubuh Islam mengajarkan bahwa setiap amalan kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karenanya, penting bagi setiap muslim untuk menyadari dan menghindari dosa-dosa yang bersumber dari anggota tubuh yang digerakkan oleh hati. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hati yang bersih akan mempengaruhi tindakan kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan dosa. Maka dari itu, membersihkan hati dari niat-niat buruk adalah langkah awal yang sangat penting dalam menjaga tubuh kita dari dosa. Di antara ikhtiar dalam menjaga tubuh tersebut adalah doa dalam kalimat, اللَّهمَّ عافِني في بَدَني “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI.” (“Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku.”) Dosa yang bersumber dari pendengaran Pendengaran adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada manusia. Namun, pendengaran juga bisa menjadi sumber dosa jika tidak dijaga dengan baik. Mendengarkan gibah (gosip), fitnah, dan pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah contoh dosa yang bersumber dari pendengaran. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Untuk menghindari dosa dari pendengaran, kita mesti selektif dalam mendengarkan. Memilih untuk mendengarkan hal-hal yang bermanfaat, seperti ceramah agama, tilawah Al-Qur’an, dan bacaan hadis, serta nasihat baik akan membantu kita menjaga pendengaran dari hal-hal yang diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan kita untuk menjaga pendengaran dengan bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Dosa yang bersumber dari penglihatan Penglihatan adalah pintu masuk utama ke dalam hati dan pikiran kita. Melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti aurat wanita yang bukan mahram (begitu pula sebaliknya), tontonan yang tidak mendidik, atau hal-hal yang bisa menimbulkan syahwat adalah sumber dosa yang seringkali tidak disadari. Allah Ta’ala berfirman, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Sungguh, menjaga penglihatan, di zaman yang penuh fitnah ini, menjadi semakin berat dan butuh pertolongan Allah Ta’ala. Media sosial, televisi, dan internet penuh dengan konten yang tidak selalu baik untuk dilihat. Oleh karenanya, telah menjadi kewajiban pula bagi kita untuk selalu berusaha menjaga pandangan kita dan menghindari hal-hal yang bisa merusak hati dan keimanan kita. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? Bentuk ikhtiar Menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. InsyaAllah, dengan senantiasa memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala, kita menjadi hamba-Nya yang istikamah dalam ketakwaan. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan: Memperbanyak ibadah dan zikir Ibadah dan zikir dapat menenangkan hati dan menjauhkan kita dari godaan untuk melakukan dosa. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, kita akan lebih mudah mengendalikan diri dan menjaga anggota tubuh kita dari hal-hal yang diharamkan. Ingat pula bahwa ketika kita menyibukkan diri dengan zikrullah, celah setan untuk menggoda kita akan tertutup dengan izin Allah Ta’ala sehingga segala tindak laku, sikap, perkataan dan perbuatan kita pun senantiasa sejalan dengan ketentuan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّهُۥ لَيْسَ لَهُۥ سُلْطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَٰنُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُۥ وَٱلَّذِينَ هُم بِهِۦ مُشْرِكُونَ “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”​​ (QS. An-Nahl: 99-100) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ، إِذَا هُوَ نَامَ ، ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ عَلَى كُلِّ عُقْدَةٍ : عَلَيْكَ لَيْلٌ طَويلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيقَظَ ، فَذَكَرَ اللهَ تَعَالَى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ ، اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى ، اِنْحَلَّتْ عُقَدُهُ كُلُّهَا ، فَأصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاََّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ “Setan membuat ikatan pada ujung kepala salah seorang di antara kalian ketika ia tidur sebanyak tiga ikatan, yang ia pukul setiap ikatan dengan mengatakan, ‘Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah.’ Jika orang tersebut bangun, lalu berzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Lalu, jika ia berwudu, terlepaslah satu ikatan. Kemudian jika ia salat, terlepaslah seluruh ikatannya. Maka, ia memasuki waktu pagi dengan semangat dan jiwa yang baik. Dan jika tidak demikian, maka ia memasuki waktu pagi dengan jiwa yang jelek dan malas.” (Muttafaqun ‘alaihi)​​ Menghindari lingkungan yang buruk Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa karena lingkungan dapat menentukan baik buruknya agama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل “Seseorang itu berada atas agama sahabat dekatnya, maka hendaklah kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman.” [3] Sahabat dekat atau lingkungan kita memiliki pengaruh besar terhadap cara kita menjalani kehidupan beragama. Maka, bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa. Mengisi waktu dengan kegiatan positif Waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi celah bagi setan untuk menggoda kita. Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Dua nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terpedaya).” [4] Menjaga niat dan hati Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Bersihkan hati dari niat buruk dan selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat apa yang kita lakukan. Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Niat merupakan dasar dari semua amal perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang (ingin) dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu) InsyaAllah, dengan niat yang benar, bahkan amal yang kecil bisa menjadi besar di sisi Allah. Sebaliknya, amal yang besar bisa menjadi sia-sia jika niatnya tidak ikhlas. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan bahwa niat adalah rahasia suatu ibadah dan rohnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu memperbaiki niat sebelum melakukan setiap perbuatan baik agar mendapatkan rida Allah Ta’ala. Saudaraku, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah bagian penting dari ikhtiar kita untuk menjaga keimanan kita. Mudah-mudahan, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, insyaAllah kita dapat menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dan meraih rida Allah Ta’ala. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa, serta membimbing kita di jalan yang benar. Amin. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah no. 4251; Ahmad, 3: 198; Al-Hakim, 4: 244 dari Anas, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391. [2] Abdurrahman bin Abu Bakrah berkata, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau berdoa setiap pagi, ‘Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang.” Lalu, ayahnya menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ berdoa dengan doa-doa tersebut, maka aku senang mengikuti sunahnya.” Abbas berkata mengenai hal ini, “Dan engkau juga berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur. Tidak ada tuhan selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang, maka aku senang mengikuti sunahnya.” (HR. Abu Bakrah Nafi’ bin Al-Harith. Lihat Shahih Abi Dawud no. 5090, sanadnya dinilai hasan oleh Al-Albani) Selengkapnya dapat diakses di: https://dorar.net/hadith/sharh/28806 [3] HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 927. [4] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 18: 219, Mawqi’ Al-Islam. Tags: doadosa


Daftar Isi Toggle Urgensi menjaga anggota tubuhDosa yang bersumber dari pendengaranDosa yang bersumber dari penglihatanBentuk ikhtiarMemperbanyak ibadah dan zikirMenghindari lingkungan yang burukMengisi waktu dengan kegiatan positifMenjaga niat dan hati Dosa dan kesalahan adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbuat dosa menjadi hal yang niscaya bagi setiap insan. Namun, tidak berhenti di situ, meski manusia tak luput dari kesalahan, ia tetap memiliki kewajiban untuk terus memperbaiki diri dengan tobat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ. “Setiap anak Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” [1] Setiap tindakan yang kita lakukan dapat membawa dampak baik atau buruk, tergantung pada niat dan bagaimana kita melakukannya. Tindakan tersebut didorong oleh keinginan hati dan dorongan nafsu. Tetapi, ia tidak akan menjadi nyata, kecuali dibenarkan oleh sedikitnya 3 (tiga) hal, yaitu: tubuh, pendengaran, dan penglihatan. Maka, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah salah satu ikhtiar penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan menjaga keimanan kita, juga menjaga agar ketiganya tidak rusak karena menanggung konsekuensi dari dosa-dosa yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kita doa yang sangat agung berkaitan dengan ini, yaitu: اللَّهمَّ عافِني في بَدَني، اللَّهمَّ عافِني في سَمْعي، اللَّهمَّ عافِني في بَصَري، لا إلهَ إلَّا أنتَ “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI, ALLAHUMMA ‘AFINI FI SAM’I, ALLAHUMMA ‘AFINI FI BASHARI, LAILAHA ILLA ANTA.” (Artinya: Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.) [2] Urgensi menjaga anggota tubuh Islam mengajarkan bahwa setiap amalan kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Oleh karenanya, penting bagi setiap muslim untuk menyadari dan menghindari dosa-dosa yang bersumber dari anggota tubuh yang digerakkan oleh hati. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hati yang bersih akan mempengaruhi tindakan kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan dosa. Maka dari itu, membersihkan hati dari niat-niat buruk adalah langkah awal yang sangat penting dalam menjaga tubuh kita dari dosa. Di antara ikhtiar dalam menjaga tubuh tersebut adalah doa dalam kalimat, اللَّهمَّ عافِني في بَدَني “ALLAHUMMA ‘AFINI FI BADANI.” (“Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku.”) Dosa yang bersumber dari pendengaran Pendengaran adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada manusia. Namun, pendengaran juga bisa menjadi sumber dosa jika tidak dijaga dengan baik. Mendengarkan gibah (gosip), fitnah, dan pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah contoh dosa yang bersumber dari pendengaran. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Untuk menghindari dosa dari pendengaran, kita mesti selektif dalam mendengarkan. Memilih untuk mendengarkan hal-hal yang bermanfaat, seperti ceramah agama, tilawah Al-Qur’an, dan bacaan hadis, serta nasihat baik akan membantu kita menjaga pendengaran dari hal-hal yang diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan kita untuk menjaga pendengaran dengan bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Dosa yang bersumber dari penglihatan Penglihatan adalah pintu masuk utama ke dalam hati dan pikiran kita. Melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti aurat wanita yang bukan mahram (begitu pula sebaliknya), tontonan yang tidak mendidik, atau hal-hal yang bisa menimbulkan syahwat adalah sumber dosa yang seringkali tidak disadari. Allah Ta’ala berfirman, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30) Sungguh, menjaga penglihatan, di zaman yang penuh fitnah ini, menjadi semakin berat dan butuh pertolongan Allah Ta’ala. Media sosial, televisi, dan internet penuh dengan konten yang tidak selalu baik untuk dilihat. Oleh karenanya, telah menjadi kewajiban pula bagi kita untuk selalu berusaha menjaga pandangan kita dan menghindari hal-hal yang bisa merusak hati dan keimanan kita. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? Bentuk ikhtiar Menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. InsyaAllah, dengan senantiasa memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala, kita menjadi hamba-Nya yang istikamah dalam ketakwaan. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan: Memperbanyak ibadah dan zikir Ibadah dan zikir dapat menenangkan hati dan menjauhkan kita dari godaan untuk melakukan dosa. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, kita akan lebih mudah mengendalikan diri dan menjaga anggota tubuh kita dari hal-hal yang diharamkan. Ingat pula bahwa ketika kita menyibukkan diri dengan zikrullah, celah setan untuk menggoda kita akan tertutup dengan izin Allah Ta’ala sehingga segala tindak laku, sikap, perkataan dan perbuatan kita pun senantiasa sejalan dengan ketentuan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّهُۥ لَيْسَ لَهُۥ سُلْطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَٰنُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُۥ وَٱلَّذِينَ هُم بِهِۦ مُشْرِكُونَ “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”​​ (QS. An-Nahl: 99-100) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ، إِذَا هُوَ نَامَ ، ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ عَلَى كُلِّ عُقْدَةٍ : عَلَيْكَ لَيْلٌ طَويلٌ فَارْقُدْ، فَإِنِ اسْتَيقَظَ ، فَذَكَرَ اللهَ تَعَالَى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ ، اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى ، اِنْحَلَّتْ عُقَدُهُ كُلُّهَا ، فَأصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاََّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ “Setan membuat ikatan pada ujung kepala salah seorang di antara kalian ketika ia tidur sebanyak tiga ikatan, yang ia pukul setiap ikatan dengan mengatakan, ‘Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah.’ Jika orang tersebut bangun, lalu berzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Lalu, jika ia berwudu, terlepaslah satu ikatan. Kemudian jika ia salat, terlepaslah seluruh ikatannya. Maka, ia memasuki waktu pagi dengan semangat dan jiwa yang baik. Dan jika tidak demikian, maka ia memasuki waktu pagi dengan jiwa yang jelek dan malas.” (Muttafaqun ‘alaihi)​​ Menghindari lingkungan yang buruk Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa karena lingkungan dapat menentukan baik buruknya agama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل “Seseorang itu berada atas agama sahabat dekatnya, maka hendaklah kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman.” [3] Sahabat dekat atau lingkungan kita memiliki pengaruh besar terhadap cara kita menjalani kehidupan beragama. Maka, bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan hindari lingkungan yang bisa mendorong kita untuk melakukan dosa. Mengisi waktu dengan kegiatan positif Waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi celah bagi setan untuk menggoda kita. Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصحةُ، والفراغُ “Dua nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terpedaya).” [4] Menjaga niat dan hati Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Bersihkan hati dari niat buruk dan selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat apa yang kita lakukan. Segala perbuatan baik akan bermula dari niat yang baik. Niat merupakan dasar dari semua amal perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang (ingin) dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu) InsyaAllah, dengan niat yang benar, bahkan amal yang kecil bisa menjadi besar di sisi Allah. Sebaliknya, amal yang besar bisa menjadi sia-sia jika niatnya tidak ikhlas. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan bahwa niat adalah rahasia suatu ibadah dan rohnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu memperbaiki niat sebelum melakukan setiap perbuatan baik agar mendapatkan rida Allah Ta’ala. Saudaraku, menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa adalah bagian penting dari ikhtiar kita untuk menjaga keimanan kita. Mudah-mudahan, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, insyaAllah kita dapat menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dan meraih rida Allah Ta’ala. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk menjaga tubuh, pendengaran, dan penglihatan dari dosa, serta membimbing kita di jalan yang benar. Amin. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah no. 4251; Ahmad, 3: 198; Al-Hakim, 4: 244 dari Anas, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391. [2] Abdurrahman bin Abu Bakrah berkata, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau berdoa setiap pagi, ‘Ya Allah, sehatkanlah aku dalam tubuhku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah aku dalam penglihatanku. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang.” Lalu, ayahnya menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ berdoa dengan doa-doa tersebut, maka aku senang mengikuti sunahnya.” Abbas berkata mengenai hal ini, “Dan engkau juga berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur. Tidak ada tuhan selain Engkau.’ Engkau mengulangi doa ini tiga kali saat pagi dan tiga kali saat petang, maka aku senang mengikuti sunahnya.” (HR. Abu Bakrah Nafi’ bin Al-Harith. Lihat Shahih Abi Dawud no. 5090, sanadnya dinilai hasan oleh Al-Albani) Selengkapnya dapat diakses di: https://dorar.net/hadith/sharh/28806 [3] HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 927. [4] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 18: 219, Mawqi’ Al-Islam. Tags: doadosa

Siapa yang Mau Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Meminta diruqyah. Apakah orang yang meminta diruqyah akan keluar dari keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab? Pertama-tama, meminta diruqyah hukumnya boleh. Namun dari sisi keutamaannya, seseorang lebih utama meruqyah dirinya sendiri, tanpa meminta orang lain untuk meruqyah dirinya. Agar dia dapat meraih keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan empat sifat yang dimiliki golongan ini. Yaitu, beliau bersabda, “Mereka yang tidak meminta diruqyah tidak meminta di-kai, tidak ber-tatayyur, dan hanya bertawakal kepada Allah. [PERTAMA]Tidak meminta diruqyah. Apa makna tidak meminta diruqyah? Yakni tidak meminta seorang pun untuk meruqyah dirinya. Meskipun meminta diruqyah itu dibolehkan. Namun karena tawakal mereka kepada Allah begitu sempurna mereka tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, mengapa? Karena takut ruqyah itu menjadi sebab kesembuhan sedangkan biasanya dan sering kali jika ruqyah menjadi sebab kesembuhan maka hatinya akan terpaut dengan tukang ruqyah itu. Oleh sebab itu, jika tukang ruqyah meruqyah seseorang, lalu sembuh karena ruqyah itu maka berita tentangnya begitu cepat tersebar dan tukang ruqyah itu cepat sekali terkenal. Sehingga hati orang-orang terpaut dengan tukang ruqyah, jika tercapai kesembuhan. Jadi, karena tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla sempurna, mereka tidak meminta ruqyah dari orang lain. Meskipun hukum asal meminta ruqyah itu boleh. [KEDUA]Tidak meminta di-kai (pengobatan dengan besi panas). Yakni mereka juga tidak meminta orang lain untuk melakukan kai kepada mereka. Dengan alasan yang sama, yaitu karena jika dia meminta orang lain melakukan kai kepadanya, lalu sembuh, khawatir hatinya terpaut dengannya. [KETIGA]Tidak ber-tatayyur. Yakni tidak menganggap sial karena sesuatu. Tidak menganggap sial karena waktu, tempat, atau burung tertentu, atau apa pun itu. Hati mereka terpaut kepada Allah dan mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah. [KEEMPAT]Sifat keempat, yang tiga sifat sebelumnya merujuk pada sifat ini, yaitu mereka hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Yakni mereka tidak meminta diruqyah karena hanya bertawakal kepada Allah, tidak meminta di-kai juga karena hanya bertawakal kepada Allah, dan tidak menganggap sial oleh sesuatu karena hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Jadi, sifat yang menghimpun empat sifat ini adalah tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kuatnya keterpautan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, sebagian sifat ini pada dasarnya dibolehkan dan sebagian lainnya haram. Menganggap sial karena sesuatu itu haram. Namun, meminta diruqyah itu boleh, meminta di-kai juga boleh. Namun, karena kuatnya tawakal mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak meminta diruqyah dan kai, dan sama sekali tidak menganggap sial karena sesuatu. Tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla kuat. Oleh sebab itu, mereka dijanjikan akan termasuk orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diazab terlebih dahulu. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita termasuk dari mereka. ==== طَلَبُ الرُّقْيَةِ مَنْ طَلَبَ الرُّقْيَةَ هَلْ يَخْرُجُ مِنَ الْفَضْلِ الْمَذْكُورِ فِي حَدِيثِ سَبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِدُونِ حِسَابٍ؟ أَوَّلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْأَفْضَلِيَّةُ الأَفْضَلُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَرْقِي نَفْسَهُ بِنَفْسِهِ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُ حَتَّى يَنَالَ الْفَضْلَ الْوَارِدَ فِي حَدِيثِ السَّبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ وَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ أَرْبَعَ صِفَاتٍ هُوَ قَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ لَا يَسْتَرْقُونَ مَا مَعْنَى لَا يَسْتَرْقُونَ؟ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزًا لَكِنْ هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ لِمَاذَا؟ مَخَافَةَ أَنَّ الرُّقْيَةَ يَكُونُ مَعَهَا شِفَاءٌ تَكُونُ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ وَالْعَادَةُ أَنَّ الرُّقْيَةَ إِذَا كَانَتْ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ فَمِنَ الْعَادَةِ وَالْغَالِبِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِالرَّاقِي وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الرَّاقِيَ إِذَا رَقَى أَحَدًا وَشُفِيَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ سُرْعَانَ مَا يَنْتَشِرُ الْخَبَرُ وَسُرْعَانَ مَا يَشْتَهِرُ هَذَا الْإِنْسَانُ فَتَتَعَلَّقُ الْقُلُوبُ بِالرُّقَاةِ إِذَا حَصَلَ الشِّفَاءُ فَهَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ فِي أَصْلِهِ جَائِزًا الصِّفَةُ الثَّانِيَةُ لَا يَكْتَوُونَ أَيْ لَا يَطْلُبُونَ أَيْضًا مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ لِلسَّبَبِ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا لَوْ طَلَبَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ ثُمَّ شُفِيَ بِسَبَبِ ذَلِكَ الْكَيِّ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهِ وَالصِّفَةُ الثَّالِثَةُ لَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُونَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِطَيْرٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ قُلُوبُهُمْ مُتَعَلِّقَةٌ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَعِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ وَالَّتِي تَرْجِعُ لَهَا الصِّفَاتُ السَّابِقَةُ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ يَعْنِي لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَالصِّفَةُ الْجَامِعَةُ لِهَذِهِ الصِّفَاتِ الْأَرْبَعِ هِيَ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقُوَّةُ تَعَلُّقِهِمْ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ بَعْضُ هَذِهِ الصِّفَاتِ فِي أَصْلِهِ جَازَ وَبَعْضُهُ مُحَرَّمٌ التَّطَيُّرُ مُحَرَّمٌ لَكِنْ مَثَلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ طَلَبُ الْكَيِّ جَائِزٌ لَكِنْ هَؤُلَاءِ مِنْ قُوَّةِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى تَرَكُوا طَلَبَ الرُّقْيَةِ وَتَرَكُوا الْكَيَّ وَلَا يَتَشَاءَمُونَ مُطْلَقًا عِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فَإِنَّهُمْ قَدْ وُعِدُوا بِأَنْ يَكُونُوا مِنَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ نَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَجْعَلَنَا جَمِيعًا مِنْهُمْ

Siapa yang Mau Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Meminta diruqyah. Apakah orang yang meminta diruqyah akan keluar dari keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab? Pertama-tama, meminta diruqyah hukumnya boleh. Namun dari sisi keutamaannya, seseorang lebih utama meruqyah dirinya sendiri, tanpa meminta orang lain untuk meruqyah dirinya. Agar dia dapat meraih keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan empat sifat yang dimiliki golongan ini. Yaitu, beliau bersabda, “Mereka yang tidak meminta diruqyah tidak meminta di-kai, tidak ber-tatayyur, dan hanya bertawakal kepada Allah. [PERTAMA]Tidak meminta diruqyah. Apa makna tidak meminta diruqyah? Yakni tidak meminta seorang pun untuk meruqyah dirinya. Meskipun meminta diruqyah itu dibolehkan. Namun karena tawakal mereka kepada Allah begitu sempurna mereka tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, mengapa? Karena takut ruqyah itu menjadi sebab kesembuhan sedangkan biasanya dan sering kali jika ruqyah menjadi sebab kesembuhan maka hatinya akan terpaut dengan tukang ruqyah itu. Oleh sebab itu, jika tukang ruqyah meruqyah seseorang, lalu sembuh karena ruqyah itu maka berita tentangnya begitu cepat tersebar dan tukang ruqyah itu cepat sekali terkenal. Sehingga hati orang-orang terpaut dengan tukang ruqyah, jika tercapai kesembuhan. Jadi, karena tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla sempurna, mereka tidak meminta ruqyah dari orang lain. Meskipun hukum asal meminta ruqyah itu boleh. [KEDUA]Tidak meminta di-kai (pengobatan dengan besi panas). Yakni mereka juga tidak meminta orang lain untuk melakukan kai kepada mereka. Dengan alasan yang sama, yaitu karena jika dia meminta orang lain melakukan kai kepadanya, lalu sembuh, khawatir hatinya terpaut dengannya. [KETIGA]Tidak ber-tatayyur. Yakni tidak menganggap sial karena sesuatu. Tidak menganggap sial karena waktu, tempat, atau burung tertentu, atau apa pun itu. Hati mereka terpaut kepada Allah dan mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah. [KEEMPAT]Sifat keempat, yang tiga sifat sebelumnya merujuk pada sifat ini, yaitu mereka hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Yakni mereka tidak meminta diruqyah karena hanya bertawakal kepada Allah, tidak meminta di-kai juga karena hanya bertawakal kepada Allah, dan tidak menganggap sial oleh sesuatu karena hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Jadi, sifat yang menghimpun empat sifat ini adalah tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kuatnya keterpautan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, sebagian sifat ini pada dasarnya dibolehkan dan sebagian lainnya haram. Menganggap sial karena sesuatu itu haram. Namun, meminta diruqyah itu boleh, meminta di-kai juga boleh. Namun, karena kuatnya tawakal mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak meminta diruqyah dan kai, dan sama sekali tidak menganggap sial karena sesuatu. Tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla kuat. Oleh sebab itu, mereka dijanjikan akan termasuk orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diazab terlebih dahulu. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita termasuk dari mereka. ==== طَلَبُ الرُّقْيَةِ مَنْ طَلَبَ الرُّقْيَةَ هَلْ يَخْرُجُ مِنَ الْفَضْلِ الْمَذْكُورِ فِي حَدِيثِ سَبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِدُونِ حِسَابٍ؟ أَوَّلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْأَفْضَلِيَّةُ الأَفْضَلُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَرْقِي نَفْسَهُ بِنَفْسِهِ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُ حَتَّى يَنَالَ الْفَضْلَ الْوَارِدَ فِي حَدِيثِ السَّبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ وَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ أَرْبَعَ صِفَاتٍ هُوَ قَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ لَا يَسْتَرْقُونَ مَا مَعْنَى لَا يَسْتَرْقُونَ؟ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزًا لَكِنْ هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ لِمَاذَا؟ مَخَافَةَ أَنَّ الرُّقْيَةَ يَكُونُ مَعَهَا شِفَاءٌ تَكُونُ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ وَالْعَادَةُ أَنَّ الرُّقْيَةَ إِذَا كَانَتْ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ فَمِنَ الْعَادَةِ وَالْغَالِبِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِالرَّاقِي وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الرَّاقِيَ إِذَا رَقَى أَحَدًا وَشُفِيَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ سُرْعَانَ مَا يَنْتَشِرُ الْخَبَرُ وَسُرْعَانَ مَا يَشْتَهِرُ هَذَا الْإِنْسَانُ فَتَتَعَلَّقُ الْقُلُوبُ بِالرُّقَاةِ إِذَا حَصَلَ الشِّفَاءُ فَهَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ فِي أَصْلِهِ جَائِزًا الصِّفَةُ الثَّانِيَةُ لَا يَكْتَوُونَ أَيْ لَا يَطْلُبُونَ أَيْضًا مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ لِلسَّبَبِ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا لَوْ طَلَبَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ ثُمَّ شُفِيَ بِسَبَبِ ذَلِكَ الْكَيِّ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهِ وَالصِّفَةُ الثَّالِثَةُ لَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُونَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِطَيْرٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ قُلُوبُهُمْ مُتَعَلِّقَةٌ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَعِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ وَالَّتِي تَرْجِعُ لَهَا الصِّفَاتُ السَّابِقَةُ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ يَعْنِي لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَالصِّفَةُ الْجَامِعَةُ لِهَذِهِ الصِّفَاتِ الْأَرْبَعِ هِيَ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقُوَّةُ تَعَلُّقِهِمْ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ بَعْضُ هَذِهِ الصِّفَاتِ فِي أَصْلِهِ جَازَ وَبَعْضُهُ مُحَرَّمٌ التَّطَيُّرُ مُحَرَّمٌ لَكِنْ مَثَلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ طَلَبُ الْكَيِّ جَائِزٌ لَكِنْ هَؤُلَاءِ مِنْ قُوَّةِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى تَرَكُوا طَلَبَ الرُّقْيَةِ وَتَرَكُوا الْكَيَّ وَلَا يَتَشَاءَمُونَ مُطْلَقًا عِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فَإِنَّهُمْ قَدْ وُعِدُوا بِأَنْ يَكُونُوا مِنَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ نَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَجْعَلَنَا جَمِيعًا مِنْهُمْ
Meminta diruqyah. Apakah orang yang meminta diruqyah akan keluar dari keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab? Pertama-tama, meminta diruqyah hukumnya boleh. Namun dari sisi keutamaannya, seseorang lebih utama meruqyah dirinya sendiri, tanpa meminta orang lain untuk meruqyah dirinya. Agar dia dapat meraih keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan empat sifat yang dimiliki golongan ini. Yaitu, beliau bersabda, “Mereka yang tidak meminta diruqyah tidak meminta di-kai, tidak ber-tatayyur, dan hanya bertawakal kepada Allah. [PERTAMA]Tidak meminta diruqyah. Apa makna tidak meminta diruqyah? Yakni tidak meminta seorang pun untuk meruqyah dirinya. Meskipun meminta diruqyah itu dibolehkan. Namun karena tawakal mereka kepada Allah begitu sempurna mereka tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, mengapa? Karena takut ruqyah itu menjadi sebab kesembuhan sedangkan biasanya dan sering kali jika ruqyah menjadi sebab kesembuhan maka hatinya akan terpaut dengan tukang ruqyah itu. Oleh sebab itu, jika tukang ruqyah meruqyah seseorang, lalu sembuh karena ruqyah itu maka berita tentangnya begitu cepat tersebar dan tukang ruqyah itu cepat sekali terkenal. Sehingga hati orang-orang terpaut dengan tukang ruqyah, jika tercapai kesembuhan. Jadi, karena tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla sempurna, mereka tidak meminta ruqyah dari orang lain. Meskipun hukum asal meminta ruqyah itu boleh. [KEDUA]Tidak meminta di-kai (pengobatan dengan besi panas). Yakni mereka juga tidak meminta orang lain untuk melakukan kai kepada mereka. Dengan alasan yang sama, yaitu karena jika dia meminta orang lain melakukan kai kepadanya, lalu sembuh, khawatir hatinya terpaut dengannya. [KETIGA]Tidak ber-tatayyur. Yakni tidak menganggap sial karena sesuatu. Tidak menganggap sial karena waktu, tempat, atau burung tertentu, atau apa pun itu. Hati mereka terpaut kepada Allah dan mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah. [KEEMPAT]Sifat keempat, yang tiga sifat sebelumnya merujuk pada sifat ini, yaitu mereka hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Yakni mereka tidak meminta diruqyah karena hanya bertawakal kepada Allah, tidak meminta di-kai juga karena hanya bertawakal kepada Allah, dan tidak menganggap sial oleh sesuatu karena hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Jadi, sifat yang menghimpun empat sifat ini adalah tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kuatnya keterpautan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, sebagian sifat ini pada dasarnya dibolehkan dan sebagian lainnya haram. Menganggap sial karena sesuatu itu haram. Namun, meminta diruqyah itu boleh, meminta di-kai juga boleh. Namun, karena kuatnya tawakal mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak meminta diruqyah dan kai, dan sama sekali tidak menganggap sial karena sesuatu. Tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla kuat. Oleh sebab itu, mereka dijanjikan akan termasuk orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diazab terlebih dahulu. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita termasuk dari mereka. ==== طَلَبُ الرُّقْيَةِ مَنْ طَلَبَ الرُّقْيَةَ هَلْ يَخْرُجُ مِنَ الْفَضْلِ الْمَذْكُورِ فِي حَدِيثِ سَبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِدُونِ حِسَابٍ؟ أَوَّلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْأَفْضَلِيَّةُ الأَفْضَلُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَرْقِي نَفْسَهُ بِنَفْسِهِ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُ حَتَّى يَنَالَ الْفَضْلَ الْوَارِدَ فِي حَدِيثِ السَّبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ وَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ أَرْبَعَ صِفَاتٍ هُوَ قَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ لَا يَسْتَرْقُونَ مَا مَعْنَى لَا يَسْتَرْقُونَ؟ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزًا لَكِنْ هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ لِمَاذَا؟ مَخَافَةَ أَنَّ الرُّقْيَةَ يَكُونُ مَعَهَا شِفَاءٌ تَكُونُ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ وَالْعَادَةُ أَنَّ الرُّقْيَةَ إِذَا كَانَتْ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ فَمِنَ الْعَادَةِ وَالْغَالِبِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِالرَّاقِي وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الرَّاقِيَ إِذَا رَقَى أَحَدًا وَشُفِيَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ سُرْعَانَ مَا يَنْتَشِرُ الْخَبَرُ وَسُرْعَانَ مَا يَشْتَهِرُ هَذَا الْإِنْسَانُ فَتَتَعَلَّقُ الْقُلُوبُ بِالرُّقَاةِ إِذَا حَصَلَ الشِّفَاءُ فَهَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ فِي أَصْلِهِ جَائِزًا الصِّفَةُ الثَّانِيَةُ لَا يَكْتَوُونَ أَيْ لَا يَطْلُبُونَ أَيْضًا مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ لِلسَّبَبِ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا لَوْ طَلَبَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ ثُمَّ شُفِيَ بِسَبَبِ ذَلِكَ الْكَيِّ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهِ وَالصِّفَةُ الثَّالِثَةُ لَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُونَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِطَيْرٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ قُلُوبُهُمْ مُتَعَلِّقَةٌ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَعِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ وَالَّتِي تَرْجِعُ لَهَا الصِّفَاتُ السَّابِقَةُ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ يَعْنِي لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَالصِّفَةُ الْجَامِعَةُ لِهَذِهِ الصِّفَاتِ الْأَرْبَعِ هِيَ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقُوَّةُ تَعَلُّقِهِمْ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ بَعْضُ هَذِهِ الصِّفَاتِ فِي أَصْلِهِ جَازَ وَبَعْضُهُ مُحَرَّمٌ التَّطَيُّرُ مُحَرَّمٌ لَكِنْ مَثَلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ طَلَبُ الْكَيِّ جَائِزٌ لَكِنْ هَؤُلَاءِ مِنْ قُوَّةِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى تَرَكُوا طَلَبَ الرُّقْيَةِ وَتَرَكُوا الْكَيَّ وَلَا يَتَشَاءَمُونَ مُطْلَقًا عِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فَإِنَّهُمْ قَدْ وُعِدُوا بِأَنْ يَكُونُوا مِنَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ نَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَجْعَلَنَا جَمِيعًا مِنْهُمْ


Meminta diruqyah. Apakah orang yang meminta diruqyah akan keluar dari keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab? Pertama-tama, meminta diruqyah hukumnya boleh. Namun dari sisi keutamaannya, seseorang lebih utama meruqyah dirinya sendiri, tanpa meminta orang lain untuk meruqyah dirinya. Agar dia dapat meraih keutamaan yang disebutkan dalam hadis tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan empat sifat yang dimiliki golongan ini. Yaitu, beliau bersabda, “Mereka yang tidak meminta diruqyah tidak meminta di-kai, tidak ber-tatayyur, dan hanya bertawakal kepada Allah. [PERTAMA]Tidak meminta diruqyah. Apa makna tidak meminta diruqyah? Yakni tidak meminta seorang pun untuk meruqyah dirinya. Meskipun meminta diruqyah itu dibolehkan. Namun karena tawakal mereka kepada Allah begitu sempurna mereka tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, mengapa? Karena takut ruqyah itu menjadi sebab kesembuhan sedangkan biasanya dan sering kali jika ruqyah menjadi sebab kesembuhan maka hatinya akan terpaut dengan tukang ruqyah itu. Oleh sebab itu, jika tukang ruqyah meruqyah seseorang, lalu sembuh karena ruqyah itu maka berita tentangnya begitu cepat tersebar dan tukang ruqyah itu cepat sekali terkenal. Sehingga hati orang-orang terpaut dengan tukang ruqyah, jika tercapai kesembuhan. Jadi, karena tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla sempurna, mereka tidak meminta ruqyah dari orang lain. Meskipun hukum asal meminta ruqyah itu boleh. [KEDUA]Tidak meminta di-kai (pengobatan dengan besi panas). Yakni mereka juga tidak meminta orang lain untuk melakukan kai kepada mereka. Dengan alasan yang sama, yaitu karena jika dia meminta orang lain melakukan kai kepadanya, lalu sembuh, khawatir hatinya terpaut dengannya. [KETIGA]Tidak ber-tatayyur. Yakni tidak menganggap sial karena sesuatu. Tidak menganggap sial karena waktu, tempat, atau burung tertentu, atau apa pun itu. Hati mereka terpaut kepada Allah dan mereka punya tawakal yang kuat kepada Allah. [KEEMPAT]Sifat keempat, yang tiga sifat sebelumnya merujuk pada sifat ini, yaitu mereka hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Yakni mereka tidak meminta diruqyah karena hanya bertawakal kepada Allah, tidak meminta di-kai juga karena hanya bertawakal kepada Allah, dan tidak menganggap sial oleh sesuatu karena hanya bertawakal kepada Tuhan mereka. Jadi, sifat yang menghimpun empat sifat ini adalah tawakal yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kuatnya keterpautan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, sebagian sifat ini pada dasarnya dibolehkan dan sebagian lainnya haram. Menganggap sial karena sesuatu itu haram. Namun, meminta diruqyah itu boleh, meminta di-kai juga boleh. Namun, karena kuatnya tawakal mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak meminta diruqyah dan kai, dan sama sekali tidak menganggap sial karena sesuatu. Tawakal mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla kuat. Oleh sebab itu, mereka dijanjikan akan termasuk orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diazab terlebih dahulu. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita termasuk dari mereka. ==== طَلَبُ الرُّقْيَةِ مَنْ طَلَبَ الرُّقْيَةَ هَلْ يَخْرُجُ مِنَ الْفَضْلِ الْمَذْكُورِ فِي حَدِيثِ سَبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِدُونِ حِسَابٍ؟ أَوَّلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْأَفْضَلِيَّةُ الأَفْضَلُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَرْقِي نَفْسَهُ بِنَفْسِهِ وَلَا يَطْلُبُ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُ حَتَّى يَنَالَ الْفَضْلَ الْوَارِدَ فِي حَدِيثِ السَّبْعِينَ أَلْفًا الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ وَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ أَرْبَعَ صِفَاتٍ هُوَ قَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ لَا يَسْتَرْقُونَ مَا مَعْنَى لَا يَسْتَرْقُونَ؟ يَعْنِي لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزًا لَكِنْ هَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ لِمَاذَا؟ مَخَافَةَ أَنَّ الرُّقْيَةَ يَكُونُ مَعَهَا شِفَاءٌ تَكُونُ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ وَالْعَادَةُ أَنَّ الرُّقْيَةَ إِذَا كَانَتْ سَبَبًا لِلشِّفَاءِ فَمِنَ الْعَادَةِ وَالْغَالِبِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِالرَّاقِي وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الرَّاقِيَ إِذَا رَقَى أَحَدًا وَشُفِيَ بِسَبَبِ الرُّقْيَةِ سُرْعَانَ مَا يَنْتَشِرُ الْخَبَرُ وَسُرْعَانَ مَا يَشْتَهِرُ هَذَا الْإِنْسَانُ فَتَتَعَلَّقُ الْقُلُوبُ بِالرُّقَاةِ إِذَا حَصَلَ الشِّفَاءُ فَهَؤُلَاءِ لِكَمَالِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَطْلُبُونَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَرْقِيَهُمْ وَإِنْ كَانَ طَلَبُ الرُّقْيَةِ فِي أَصْلِهِ جَائِزًا الصِّفَةُ الثَّانِيَةُ لَا يَكْتَوُونَ أَيْ لَا يَطْلُبُونَ أَيْضًا مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ لِلسَّبَبِ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا لَوْ طَلَبَ مِنْ أَحَدٍ أَنْ يَكْوِيَهُ ثُمَّ شُفِيَ بِسَبَبِ ذَلِكَ الْكَيِّ يَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهِ وَالصِّفَةُ الثَّالِثَةُ لَا يَتَطَيَّرُوْنَ يَعْنِي لَا يَتَشَاءَمُونَ لَا بِزَمَانٍ وَلَا بِمَكَانٍ وَلَا بِطَيْرٍ وَلَا بِأَيِّ شَيْءٍ قُلُوبُهُمْ مُتَعَلِّقَةٌ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَعِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ وَالَّتِي تَرْجِعُ لَهَا الصِّفَاتُ السَّابِقَةُ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ يَعْنِي لَا يَسْتَرْقُونَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَكْتَوُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ وَلَا يَتَطَيَّرُوْنَ لِأَنَّهُمْ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَالصِّفَةُ الْجَامِعَةُ لِهَذِهِ الصِّفَاتِ الْأَرْبَعِ هِيَ قُوَّةُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقُوَّةُ تَعَلُّقِهِمْ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَكِنْ بَعْضُ هَذِهِ الصِّفَاتِ فِي أَصْلِهِ جَازَ وَبَعْضُهُ مُحَرَّمٌ التَّطَيُّرُ مُحَرَّمٌ لَكِنْ مَثَلًا طَلَبُ الرُّقْيَةِ جَائِزٌ طَلَبُ الْكَيِّ جَائِزٌ لَكِنْ هَؤُلَاءِ مِنْ قُوَّةِ تَوَكُّلِهِمْ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى تَرَكُوا طَلَبَ الرُّقْيَةِ وَتَرَكُوا الْكَيَّ وَلَا يَتَشَاءَمُونَ مُطْلَقًا عِنْدَهُمْ قُوَّةُ تَوَكُّلٍ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فَإِنَّهُمْ قَدْ وُعِدُوا بِأَنْ يَكُونُوا مِنَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ نَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَجْعَلَنَا جَمِيعًا مِنْهُمْ

Mengenal Nama Allah “Al-Ghaffar”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaffar”Surah Thaha ayat 82Surah Sad ayat 66Surah Az-Zumar ayat 5Surah Ghafir ayat 42Surah Nuh ayat 10Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar”Makna bahasa dari “Al-Ghaffar”Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hambaSeorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’alaTidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguhHubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar”Ringkasan Memahami nama-nama Allah yang indah adalah cabang ilmu yang mulia, bahkan merupakan ilmu terbesar. Ini termasuk hal pertama dan utama dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين “Siapa saja yang Allah menghendaki untuknya kebaikan, maka Dia akan memahamkannya dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaih) Ilmu ini merupakan pondasi perjalanan menuju Allah, dan jalan yang benar untuk meraih keridaan dan cinta-Nya. [1] Sebagai bentuk ikut andil dalam kebaikan penyebaran ilmu tersebut, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang salah satu nama dari nama-nama Allah, yaitu “Al-Ghaffar” ( الغفار ). Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Dalil nama Allah “Al-Ghaffar” Allah menyebutkan nama-Nya “Al-Ghaffar” dalam lima ayat Al-Qur’an, yang ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya nama tersebut merupakan nama-Nya Ta’ala. Kelima ayat tersebut adalah sebagai berikut: Surah Thaha ayat 82 وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” Surah Sad ayat 66 رَبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Az-Zumar ayat 5 خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّۖ یُكَوِّرُ ٱلَّیۡلَ عَلَى ٱلنَّهَارِ وَیُكَوِّرُ ٱلنَّهَارَ عَلَى ٱلَّیۡلِۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلࣱّ یَجۡرِی لِأَجَلࣲ مُّسَمًّىۗ أَلَا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Dia menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Surah Ghafir ayat 42 تَدۡعُونَنِی لِأَكۡفُرَ بِٱللَّهِ وَأُشۡرِكَ بِهِۦ مَا لَیۡسَ لِی بِهِۦ عِلۡمࣱ وَأَنَا۠ أَدۡعُوكُمۡ إِلَى ٱلۡعَزِیزِ ٱلۡغَفَّـٰرِ “Kamu mengajakku untuk kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang tidak aku ketahui, sedang aku mengajakmu kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Nuh ayat 10 فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُوا۟ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارࣰا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaffar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaffar” “Al-Ghaffar” ( الغفار ) adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari “al-ghafr” ( الغفر ) yang berarti penutupan dan pelindungan. Az-Zajjaj rahimahullah (w. 311) mengatakan, أصل الغفر فِي الْكَلَام السّتْر والتغطية “Asal kata ‘ghafr’ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan.” [2] Al-Khattabi (w. 388) rahimahullah mengatakan [3], أصْلُ الغَفْرِ في اللغَةِ: السِّتْرُ وَالتغْطِيَةُ، وَمنْهُ قِيْلَ لِجُنَّةِ الرأسِ: المِغْفَرُ “Asal kata ‘الغفر‘ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan. Dari kata ini, disebutkan bahwa pelindung kepala (helm) disebut ‘المِغْفَر‘.” Ibn Faris (w. 395) rahimahullah mengatakan, (غَفَرَ) الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا. “(غَفَرَ) huruf غ, ف, dan ر adalah inti dari makna penutupan. Kemudian ada beberapa pengecualian yang akan disebutkan. Jadi, ‘الغَفْر‘ berarti penutupan. ‘الغُفْرَان‘ dan ‘الغَفْر‘ memiliki makna yang sama. Dikatakan, ‘Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dengan pengampunan dan maghfirah (ampunan).’ ” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ash-Shamad” Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama Allah ‘Al-Ghafr’ sebagai salah satu sifat Allah yang bermakna, Dialah yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya, dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya. Az-Zajjaj rahimahullaah mengatakan: وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره “Dan makna ‘الغفر‘ dalam konteks Allah Subhanahu adalah Dia yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya.” [5] Sedangkan untuk makna ‘Al-Ghaffar’, Al-Khattabi rahimahullah mengatakan, الغَفارُ: هُوَ الذي يَغْفِرُ ذُنُوْبَ عِبَادهِ مَرة بَعْدَ أخْرَى. كُلَّماْ تَكَررَتِ التوْبَةُ فِيَ الذنْب مِنَ العَبْد تَكَررَتِ المَغْفِرَةُ. كَقوْلهِ -سُبْحَانَهُ-: (وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ) [طه/82] “Al-Ghaffar adalah Dia yang senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya secara berulang kali. Setiap kali hamba tersebut bertobat dari dosa, maka pengampunan pun diberikan secara berulang. Seperti firman-Nya -Subhanahu- (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, العفو، الغفور، الغفار: الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ} “Al-’Afwu, Al-Ghafur, Al-Ghaffar adalah Zat yang senantiasa dikenal dengan sifat pengampunan-Nya, dan selalu disifati dengan pengampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan pengampunan dan ampunan-Nya, seperti halnya mereka membutuhkan rahmat dan kemurahan-Nya. Allah telah menjanjikan pengampunan dan ampunan bagi siapa saja yang memenuhi syarat-syaratnya. Allah berfirman (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaffar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba [8]: Seorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’ala Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan diri-Nya sebagai Al-Ghaffar dan Al-Ghafur dalam mengampuni dosa-dosa, kesalahan, dan pelanggaran, baik yang kecil maupun besar, bahkan syirik sekalipun jika seseorang bertobat dan memohon ampun kepada-Nya. Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman, قُلۡ یَـٰعِبَادِیَ ٱلَّذِینَ أَسۡرَفُوا۟ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوا۟ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِیعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِیمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (QS. Az-Zumar: 53) Betapa pun besar dosa seseorang, pengampunan dan rahmat Allah jauh lebih besar dari dosa yang telah dilakukan. Allah berfirman, إِنَّ رَبَّكَ وَ ٰ⁠سِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) Tidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguh Allah berfirman, إِن تَكُونُوا۟ صَـٰلِحِینَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّ ٰ⁠بِینَ غَفُورࣰا “Sesungguhnya jika kalian bertobat, maka sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun kepada orang-orang yang bertobat.” (QS. Al-Isra: 25) Dan Allah berfirman, إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسۡنَۢا بَعۡدَ سُوۤءࣲ فَإِنِّی غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ “Kecuali orang yang zalim, kemudian dia (bertobat dan) mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11) Allah mensyaratkan bahwa perubahan harus terjadi dari perbuatan dosa dan kesalahan ke perbuatan baik dan amal saleh agar pengampunan dan rahmat dapat terwujud. Allah juga berfirman, إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَٱعۡتَصَمُوا۟ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُوا۟ دِینَهُمۡ لِلَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۖ وَسَوۡفَ یُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ أَجۡرًا عَظِیمࣰا “Kecuali orang-orang yang bertobat, memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah, dan memurnikan agama mereka untuk Allah, mereka itu bersama orang-orang yang beriman. Dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 146) Oleh karena itu, seseorang harus mengambil langkah-langkah yang dapat menyebabkan pengampunan. Jika seorang mukmin meninggal dunia dalam keadaan masih melakukan dosa besar tanpa bertobat, maka menurut pandangan ahli sunah waljamaah, dia tidak memiliki jaminan pengampunan dan rahmat dari Allah. Namun, jika Allah berkehendak, Dia dapat mengampuni dan memaafkan dengan karunia-Nya, seperti yang dikatakan, وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Dan Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48, 116) Namun, jika Allah berkehendak, Dia akan menghukum di neraka dengan keadilan-Nya, lalu mengeluarkan dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat para pemberi syafaat dari orang-orang yang taat, kemudian memasukkannya ke dalam surga, khusus untuk orang-orang yang mentauhidkan-Nya Ta’ala. Hubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar” Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, perlu kita ketahui tentang hubungan ketiga nama Allah tersebut. Ketiga nama ini adalah bagian dari asma’ul husna. Para ulama memiliki berbagai pandangan tentang hubungan di antara ketiganya. Pendapat yang paling benar (seperti yang disebutkan oleh Ibn Al-Arabi dalam ” الأمد “) adalah, أن غافراً فاعل من غَفَر ، وإن قولنا : (غفور) للمبالغة إذا تكرر، وإن (الغفار) أشد مبالغة منه. “Bahwa “Ghafir” adalah bentuk fa’il (pelaku) dari kata “ghafara” (mengampuni), sedangkan “Ghafur” digunakan untuk menunjukkan mubalaghah (hiperbolis) ketika kata tersebut diulang-ulang, dan “Al-Ghaffar” memiliki tingkat mubalaghah yang lebih kuat darinya.” [9] Ringkasan Ringkasnya, nama Allah “Al-Ghaffar” mengingatkan kita pada besarnya rahmat dan pengampunan-Nya. Allah menutupi dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang bertobat dan beriman. Namun, penting bagi kita untuk selalu berusaha menjauhi dosa dan bertobat dengan tulus, agar kita senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy” *** 1 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M. Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha – Damaskus, cet. ke-1, 2016 M.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asmaail Husna, oleh Syekh Abdur Razzaq Al-Badr, hal. 10. [2] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, oleh Az-Zajjaj, hal. 37; lihat juga Al-Mishbahul Munir, 2: 449. [3] Sya’nud Du’a oleh Al-Khattabi, hal. 52. [4] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibn Faris, 4: 385. [5] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, hal. 38. [6] Sya’nud Du’a, hal. 52. [7] Taisir Karimir Rahman, oleh Syekh As-Sa’diy, hal. 946. [8] An-Nahj Al-Asma, hal. 126-127. [9] Dikutip dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 125. Tags: asmaul husnanama Allah

Mengenal Nama Allah “Al-Ghaffar”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaffar”Surah Thaha ayat 82Surah Sad ayat 66Surah Az-Zumar ayat 5Surah Ghafir ayat 42Surah Nuh ayat 10Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar”Makna bahasa dari “Al-Ghaffar”Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hambaSeorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’alaTidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguhHubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar”Ringkasan Memahami nama-nama Allah yang indah adalah cabang ilmu yang mulia, bahkan merupakan ilmu terbesar. Ini termasuk hal pertama dan utama dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين “Siapa saja yang Allah menghendaki untuknya kebaikan, maka Dia akan memahamkannya dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaih) Ilmu ini merupakan pondasi perjalanan menuju Allah, dan jalan yang benar untuk meraih keridaan dan cinta-Nya. [1] Sebagai bentuk ikut andil dalam kebaikan penyebaran ilmu tersebut, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang salah satu nama dari nama-nama Allah, yaitu “Al-Ghaffar” ( الغفار ). Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Dalil nama Allah “Al-Ghaffar” Allah menyebutkan nama-Nya “Al-Ghaffar” dalam lima ayat Al-Qur’an, yang ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya nama tersebut merupakan nama-Nya Ta’ala. Kelima ayat tersebut adalah sebagai berikut: Surah Thaha ayat 82 وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” Surah Sad ayat 66 رَبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Az-Zumar ayat 5 خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّۖ یُكَوِّرُ ٱلَّیۡلَ عَلَى ٱلنَّهَارِ وَیُكَوِّرُ ٱلنَّهَارَ عَلَى ٱلَّیۡلِۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلࣱّ یَجۡرِی لِأَجَلࣲ مُّسَمًّىۗ أَلَا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Dia menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Surah Ghafir ayat 42 تَدۡعُونَنِی لِأَكۡفُرَ بِٱللَّهِ وَأُشۡرِكَ بِهِۦ مَا لَیۡسَ لِی بِهِۦ عِلۡمࣱ وَأَنَا۠ أَدۡعُوكُمۡ إِلَى ٱلۡعَزِیزِ ٱلۡغَفَّـٰرِ “Kamu mengajakku untuk kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang tidak aku ketahui, sedang aku mengajakmu kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Nuh ayat 10 فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُوا۟ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارࣰا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaffar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaffar” “Al-Ghaffar” ( الغفار ) adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari “al-ghafr” ( الغفر ) yang berarti penutupan dan pelindungan. Az-Zajjaj rahimahullah (w. 311) mengatakan, أصل الغفر فِي الْكَلَام السّتْر والتغطية “Asal kata ‘ghafr’ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan.” [2] Al-Khattabi (w. 388) rahimahullah mengatakan [3], أصْلُ الغَفْرِ في اللغَةِ: السِّتْرُ وَالتغْطِيَةُ، وَمنْهُ قِيْلَ لِجُنَّةِ الرأسِ: المِغْفَرُ “Asal kata ‘الغفر‘ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan. Dari kata ini, disebutkan bahwa pelindung kepala (helm) disebut ‘المِغْفَر‘.” Ibn Faris (w. 395) rahimahullah mengatakan, (غَفَرَ) الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا. “(غَفَرَ) huruf غ, ف, dan ر adalah inti dari makna penutupan. Kemudian ada beberapa pengecualian yang akan disebutkan. Jadi, ‘الغَفْر‘ berarti penutupan. ‘الغُفْرَان‘ dan ‘الغَفْر‘ memiliki makna yang sama. Dikatakan, ‘Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dengan pengampunan dan maghfirah (ampunan).’ ” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ash-Shamad” Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama Allah ‘Al-Ghafr’ sebagai salah satu sifat Allah yang bermakna, Dialah yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya, dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya. Az-Zajjaj rahimahullaah mengatakan: وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره “Dan makna ‘الغفر‘ dalam konteks Allah Subhanahu adalah Dia yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya.” [5] Sedangkan untuk makna ‘Al-Ghaffar’, Al-Khattabi rahimahullah mengatakan, الغَفارُ: هُوَ الذي يَغْفِرُ ذُنُوْبَ عِبَادهِ مَرة بَعْدَ أخْرَى. كُلَّماْ تَكَررَتِ التوْبَةُ فِيَ الذنْب مِنَ العَبْد تَكَررَتِ المَغْفِرَةُ. كَقوْلهِ -سُبْحَانَهُ-: (وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ) [طه/82] “Al-Ghaffar adalah Dia yang senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya secara berulang kali. Setiap kali hamba tersebut bertobat dari dosa, maka pengampunan pun diberikan secara berulang. Seperti firman-Nya -Subhanahu- (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, العفو، الغفور، الغفار: الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ} “Al-’Afwu, Al-Ghafur, Al-Ghaffar adalah Zat yang senantiasa dikenal dengan sifat pengampunan-Nya, dan selalu disifati dengan pengampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan pengampunan dan ampunan-Nya, seperti halnya mereka membutuhkan rahmat dan kemurahan-Nya. Allah telah menjanjikan pengampunan dan ampunan bagi siapa saja yang memenuhi syarat-syaratnya. Allah berfirman (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaffar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba [8]: Seorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’ala Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan diri-Nya sebagai Al-Ghaffar dan Al-Ghafur dalam mengampuni dosa-dosa, kesalahan, dan pelanggaran, baik yang kecil maupun besar, bahkan syirik sekalipun jika seseorang bertobat dan memohon ampun kepada-Nya. Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman, قُلۡ یَـٰعِبَادِیَ ٱلَّذِینَ أَسۡرَفُوا۟ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوا۟ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِیعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِیمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (QS. Az-Zumar: 53) Betapa pun besar dosa seseorang, pengampunan dan rahmat Allah jauh lebih besar dari dosa yang telah dilakukan. Allah berfirman, إِنَّ رَبَّكَ وَ ٰ⁠سِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) Tidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguh Allah berfirman, إِن تَكُونُوا۟ صَـٰلِحِینَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّ ٰ⁠بِینَ غَفُورࣰا “Sesungguhnya jika kalian bertobat, maka sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun kepada orang-orang yang bertobat.” (QS. Al-Isra: 25) Dan Allah berfirman, إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسۡنَۢا بَعۡدَ سُوۤءࣲ فَإِنِّی غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ “Kecuali orang yang zalim, kemudian dia (bertobat dan) mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11) Allah mensyaratkan bahwa perubahan harus terjadi dari perbuatan dosa dan kesalahan ke perbuatan baik dan amal saleh agar pengampunan dan rahmat dapat terwujud. Allah juga berfirman, إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَٱعۡتَصَمُوا۟ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُوا۟ دِینَهُمۡ لِلَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۖ وَسَوۡفَ یُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ أَجۡرًا عَظِیمࣰا “Kecuali orang-orang yang bertobat, memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah, dan memurnikan agama mereka untuk Allah, mereka itu bersama orang-orang yang beriman. Dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 146) Oleh karena itu, seseorang harus mengambil langkah-langkah yang dapat menyebabkan pengampunan. Jika seorang mukmin meninggal dunia dalam keadaan masih melakukan dosa besar tanpa bertobat, maka menurut pandangan ahli sunah waljamaah, dia tidak memiliki jaminan pengampunan dan rahmat dari Allah. Namun, jika Allah berkehendak, Dia dapat mengampuni dan memaafkan dengan karunia-Nya, seperti yang dikatakan, وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Dan Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48, 116) Namun, jika Allah berkehendak, Dia akan menghukum di neraka dengan keadilan-Nya, lalu mengeluarkan dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat para pemberi syafaat dari orang-orang yang taat, kemudian memasukkannya ke dalam surga, khusus untuk orang-orang yang mentauhidkan-Nya Ta’ala. Hubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar” Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, perlu kita ketahui tentang hubungan ketiga nama Allah tersebut. Ketiga nama ini adalah bagian dari asma’ul husna. Para ulama memiliki berbagai pandangan tentang hubungan di antara ketiganya. Pendapat yang paling benar (seperti yang disebutkan oleh Ibn Al-Arabi dalam ” الأمد “) adalah, أن غافراً فاعل من غَفَر ، وإن قولنا : (غفور) للمبالغة إذا تكرر، وإن (الغفار) أشد مبالغة منه. “Bahwa “Ghafir” adalah bentuk fa’il (pelaku) dari kata “ghafara” (mengampuni), sedangkan “Ghafur” digunakan untuk menunjukkan mubalaghah (hiperbolis) ketika kata tersebut diulang-ulang, dan “Al-Ghaffar” memiliki tingkat mubalaghah yang lebih kuat darinya.” [9] Ringkasan Ringkasnya, nama Allah “Al-Ghaffar” mengingatkan kita pada besarnya rahmat dan pengampunan-Nya. Allah menutupi dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang bertobat dan beriman. Namun, penting bagi kita untuk selalu berusaha menjauhi dosa dan bertobat dengan tulus, agar kita senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy” *** 1 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M. Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha – Damaskus, cet. ke-1, 2016 M.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asmaail Husna, oleh Syekh Abdur Razzaq Al-Badr, hal. 10. [2] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, oleh Az-Zajjaj, hal. 37; lihat juga Al-Mishbahul Munir, 2: 449. [3] Sya’nud Du’a oleh Al-Khattabi, hal. 52. [4] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibn Faris, 4: 385. [5] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, hal. 38. [6] Sya’nud Du’a, hal. 52. [7] Taisir Karimir Rahman, oleh Syekh As-Sa’diy, hal. 946. [8] An-Nahj Al-Asma, hal. 126-127. [9] Dikutip dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 125. Tags: asmaul husnanama Allah
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaffar”Surah Thaha ayat 82Surah Sad ayat 66Surah Az-Zumar ayat 5Surah Ghafir ayat 42Surah Nuh ayat 10Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar”Makna bahasa dari “Al-Ghaffar”Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hambaSeorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’alaTidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguhHubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar”Ringkasan Memahami nama-nama Allah yang indah adalah cabang ilmu yang mulia, bahkan merupakan ilmu terbesar. Ini termasuk hal pertama dan utama dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين “Siapa saja yang Allah menghendaki untuknya kebaikan, maka Dia akan memahamkannya dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaih) Ilmu ini merupakan pondasi perjalanan menuju Allah, dan jalan yang benar untuk meraih keridaan dan cinta-Nya. [1] Sebagai bentuk ikut andil dalam kebaikan penyebaran ilmu tersebut, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang salah satu nama dari nama-nama Allah, yaitu “Al-Ghaffar” ( الغفار ). Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Dalil nama Allah “Al-Ghaffar” Allah menyebutkan nama-Nya “Al-Ghaffar” dalam lima ayat Al-Qur’an, yang ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya nama tersebut merupakan nama-Nya Ta’ala. Kelima ayat tersebut adalah sebagai berikut: Surah Thaha ayat 82 وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” Surah Sad ayat 66 رَبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Az-Zumar ayat 5 خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّۖ یُكَوِّرُ ٱلَّیۡلَ عَلَى ٱلنَّهَارِ وَیُكَوِّرُ ٱلنَّهَارَ عَلَى ٱلَّیۡلِۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلࣱّ یَجۡرِی لِأَجَلࣲ مُّسَمًّىۗ أَلَا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Dia menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Surah Ghafir ayat 42 تَدۡعُونَنِی لِأَكۡفُرَ بِٱللَّهِ وَأُشۡرِكَ بِهِۦ مَا لَیۡسَ لِی بِهِۦ عِلۡمࣱ وَأَنَا۠ أَدۡعُوكُمۡ إِلَى ٱلۡعَزِیزِ ٱلۡغَفَّـٰرِ “Kamu mengajakku untuk kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang tidak aku ketahui, sedang aku mengajakmu kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Nuh ayat 10 فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُوا۟ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارࣰا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaffar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaffar” “Al-Ghaffar” ( الغفار ) adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari “al-ghafr” ( الغفر ) yang berarti penutupan dan pelindungan. Az-Zajjaj rahimahullah (w. 311) mengatakan, أصل الغفر فِي الْكَلَام السّتْر والتغطية “Asal kata ‘ghafr’ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan.” [2] Al-Khattabi (w. 388) rahimahullah mengatakan [3], أصْلُ الغَفْرِ في اللغَةِ: السِّتْرُ وَالتغْطِيَةُ، وَمنْهُ قِيْلَ لِجُنَّةِ الرأسِ: المِغْفَرُ “Asal kata ‘الغفر‘ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan. Dari kata ini, disebutkan bahwa pelindung kepala (helm) disebut ‘المِغْفَر‘.” Ibn Faris (w. 395) rahimahullah mengatakan, (غَفَرَ) الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا. “(غَفَرَ) huruf غ, ف, dan ر adalah inti dari makna penutupan. Kemudian ada beberapa pengecualian yang akan disebutkan. Jadi, ‘الغَفْر‘ berarti penutupan. ‘الغُفْرَان‘ dan ‘الغَفْر‘ memiliki makna yang sama. Dikatakan, ‘Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dengan pengampunan dan maghfirah (ampunan).’ ” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ash-Shamad” Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama Allah ‘Al-Ghafr’ sebagai salah satu sifat Allah yang bermakna, Dialah yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya, dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya. Az-Zajjaj rahimahullaah mengatakan: وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره “Dan makna ‘الغفر‘ dalam konteks Allah Subhanahu adalah Dia yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya.” [5] Sedangkan untuk makna ‘Al-Ghaffar’, Al-Khattabi rahimahullah mengatakan, الغَفارُ: هُوَ الذي يَغْفِرُ ذُنُوْبَ عِبَادهِ مَرة بَعْدَ أخْرَى. كُلَّماْ تَكَررَتِ التوْبَةُ فِيَ الذنْب مِنَ العَبْد تَكَررَتِ المَغْفِرَةُ. كَقوْلهِ -سُبْحَانَهُ-: (وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ) [طه/82] “Al-Ghaffar adalah Dia yang senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya secara berulang kali. Setiap kali hamba tersebut bertobat dari dosa, maka pengampunan pun diberikan secara berulang. Seperti firman-Nya -Subhanahu- (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, العفو، الغفور، الغفار: الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ} “Al-’Afwu, Al-Ghafur, Al-Ghaffar adalah Zat yang senantiasa dikenal dengan sifat pengampunan-Nya, dan selalu disifati dengan pengampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan pengampunan dan ampunan-Nya, seperti halnya mereka membutuhkan rahmat dan kemurahan-Nya. Allah telah menjanjikan pengampunan dan ampunan bagi siapa saja yang memenuhi syarat-syaratnya. Allah berfirman (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaffar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba [8]: Seorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’ala Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan diri-Nya sebagai Al-Ghaffar dan Al-Ghafur dalam mengampuni dosa-dosa, kesalahan, dan pelanggaran, baik yang kecil maupun besar, bahkan syirik sekalipun jika seseorang bertobat dan memohon ampun kepada-Nya. Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman, قُلۡ یَـٰعِبَادِیَ ٱلَّذِینَ أَسۡرَفُوا۟ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوا۟ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِیعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِیمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (QS. Az-Zumar: 53) Betapa pun besar dosa seseorang, pengampunan dan rahmat Allah jauh lebih besar dari dosa yang telah dilakukan. Allah berfirman, إِنَّ رَبَّكَ وَ ٰ⁠سِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) Tidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguh Allah berfirman, إِن تَكُونُوا۟ صَـٰلِحِینَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّ ٰ⁠بِینَ غَفُورࣰا “Sesungguhnya jika kalian bertobat, maka sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun kepada orang-orang yang bertobat.” (QS. Al-Isra: 25) Dan Allah berfirman, إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسۡنَۢا بَعۡدَ سُوۤءࣲ فَإِنِّی غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ “Kecuali orang yang zalim, kemudian dia (bertobat dan) mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11) Allah mensyaratkan bahwa perubahan harus terjadi dari perbuatan dosa dan kesalahan ke perbuatan baik dan amal saleh agar pengampunan dan rahmat dapat terwujud. Allah juga berfirman, إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَٱعۡتَصَمُوا۟ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُوا۟ دِینَهُمۡ لِلَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۖ وَسَوۡفَ یُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ أَجۡرًا عَظِیمࣰا “Kecuali orang-orang yang bertobat, memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah, dan memurnikan agama mereka untuk Allah, mereka itu bersama orang-orang yang beriman. Dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 146) Oleh karena itu, seseorang harus mengambil langkah-langkah yang dapat menyebabkan pengampunan. Jika seorang mukmin meninggal dunia dalam keadaan masih melakukan dosa besar tanpa bertobat, maka menurut pandangan ahli sunah waljamaah, dia tidak memiliki jaminan pengampunan dan rahmat dari Allah. Namun, jika Allah berkehendak, Dia dapat mengampuni dan memaafkan dengan karunia-Nya, seperti yang dikatakan, وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Dan Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48, 116) Namun, jika Allah berkehendak, Dia akan menghukum di neraka dengan keadilan-Nya, lalu mengeluarkan dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat para pemberi syafaat dari orang-orang yang taat, kemudian memasukkannya ke dalam surga, khusus untuk orang-orang yang mentauhidkan-Nya Ta’ala. Hubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar” Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, perlu kita ketahui tentang hubungan ketiga nama Allah tersebut. Ketiga nama ini adalah bagian dari asma’ul husna. Para ulama memiliki berbagai pandangan tentang hubungan di antara ketiganya. Pendapat yang paling benar (seperti yang disebutkan oleh Ibn Al-Arabi dalam ” الأمد “) adalah, أن غافراً فاعل من غَفَر ، وإن قولنا : (غفور) للمبالغة إذا تكرر، وإن (الغفار) أشد مبالغة منه. “Bahwa “Ghafir” adalah bentuk fa’il (pelaku) dari kata “ghafara” (mengampuni), sedangkan “Ghafur” digunakan untuk menunjukkan mubalaghah (hiperbolis) ketika kata tersebut diulang-ulang, dan “Al-Ghaffar” memiliki tingkat mubalaghah yang lebih kuat darinya.” [9] Ringkasan Ringkasnya, nama Allah “Al-Ghaffar” mengingatkan kita pada besarnya rahmat dan pengampunan-Nya. Allah menutupi dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang bertobat dan beriman. Namun, penting bagi kita untuk selalu berusaha menjauhi dosa dan bertobat dengan tulus, agar kita senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy” *** 1 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M. Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha – Damaskus, cet. ke-1, 2016 M.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asmaail Husna, oleh Syekh Abdur Razzaq Al-Badr, hal. 10. [2] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, oleh Az-Zajjaj, hal. 37; lihat juga Al-Mishbahul Munir, 2: 449. [3] Sya’nud Du’a oleh Al-Khattabi, hal. 52. [4] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibn Faris, 4: 385. [5] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, hal. 38. [6] Sya’nud Du’a, hal. 52. [7] Taisir Karimir Rahman, oleh Syekh As-Sa’diy, hal. 946. [8] An-Nahj Al-Asma, hal. 126-127. [9] Dikutip dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 125. Tags: asmaul husnanama Allah


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Ghaffar”Surah Thaha ayat 82Surah Sad ayat 66Surah Az-Zumar ayat 5Surah Ghafir ayat 42Surah Nuh ayat 10Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar”Makna bahasa dari “Al-Ghaffar”Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hambaSeorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’alaTidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguhHubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar”Ringkasan Memahami nama-nama Allah yang indah adalah cabang ilmu yang mulia, bahkan merupakan ilmu terbesar. Ini termasuk hal pertama dan utama dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين “Siapa saja yang Allah menghendaki untuknya kebaikan, maka Dia akan memahamkannya dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaih) Ilmu ini merupakan pondasi perjalanan menuju Allah, dan jalan yang benar untuk meraih keridaan dan cinta-Nya. [1] Sebagai bentuk ikut andil dalam kebaikan penyebaran ilmu tersebut, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang salah satu nama dari nama-nama Allah, yaitu “Al-Ghaffar” ( الغفار ). Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Dalil nama Allah “Al-Ghaffar” Allah menyebutkan nama-Nya “Al-Ghaffar” dalam lima ayat Al-Qur’an, yang ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya nama tersebut merupakan nama-Nya Ta’ala. Kelima ayat tersebut adalah sebagai berikut: Surah Thaha ayat 82 وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” Surah Sad ayat 66 رَبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَیۡنَهُمَا ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Az-Zumar ayat 5 خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّۖ یُكَوِّرُ ٱلَّیۡلَ عَلَى ٱلنَّهَارِ وَیُكَوِّرُ ٱلنَّهَارَ عَلَى ٱلَّیۡلِۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلࣱّ یَجۡرِی لِأَجَلࣲ مُّسَمًّىۗ أَلَا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفَّـٰرُ “Dia menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah, Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Surah Ghafir ayat 42 تَدۡعُونَنِی لِأَكۡفُرَ بِٱللَّهِ وَأُشۡرِكَ بِهِۦ مَا لَیۡسَ لِی بِهِۦ عِلۡمࣱ وَأَنَا۠ أَدۡعُوكُمۡ إِلَى ٱلۡعَزِیزِ ٱلۡغَفَّـٰرِ “Kamu mengajakku untuk kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang tidak aku ketahui, sedang aku mengajakmu kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Surah Nuh ayat 10 فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُوا۟ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارࣰا “Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’” Kandungan makna nama Allah “Al-Ghaffar” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Ghaffar” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Ghaffar” “Al-Ghaffar” ( الغفار ) adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari “al-ghafr” ( الغفر ) yang berarti penutupan dan pelindungan. Az-Zajjaj rahimahullah (w. 311) mengatakan, أصل الغفر فِي الْكَلَام السّتْر والتغطية “Asal kata ‘ghafr’ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan.” [2] Al-Khattabi (w. 388) rahimahullah mengatakan [3], أصْلُ الغَفْرِ في اللغَةِ: السِّتْرُ وَالتغْطِيَةُ، وَمنْهُ قِيْلَ لِجُنَّةِ الرأسِ: المِغْفَرُ “Asal kata ‘الغفر‘ dalam bahasa adalah penutupan dan pelindungan. Dari kata ini, disebutkan bahwa pelindung kepala (helm) disebut ‘المِغْفَر‘.” Ibn Faris (w. 395) rahimahullah mengatakan, (غَفَرَ) الْغَيْنُ وَالْفَاءُ وَالرَّاءُ عُظْمُ بَابِهِ السَّتْرُ، ثُمَّ يَشِذُّ عَنْهُ مَا يُذْكَرُ. فَالْغَفْرُ: السَّتْرُ. وَالْغُفْرَانُ وَالْغَفْرُ بِمَعْنًى. يُقَالُ: غَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ غَفْرًا وَمَغْفِرَةً وَغُفْرَانًا. “(غَفَرَ) huruf غ, ف, dan ر adalah inti dari makna penutupan. Kemudian ada beberapa pengecualian yang akan disebutkan. Jadi, ‘الغَفْر‘ berarti penutupan. ‘الغُفْرَان‘ dan ‘الغَفْر‘ memiliki makna yang sama. Dikatakan, ‘Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dengan pengampunan dan maghfirah (ampunan).’ ” [4] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ash-Shamad” Makna “Al-Ghaffar” dalam konteks nama Allah ‘Al-Ghafr’ sebagai salah satu sifat Allah yang bermakna, Dialah yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya, dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya. Az-Zajjaj rahimahullaah mengatakan: وَمعنى الغفر فِي الله سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يستر ذنُوب عباده ويغطيهم بستره “Dan makna ‘الغفر‘ dalam konteks Allah Subhanahu adalah Dia yang menutupi dosa-dosa para hamba-Nya dan melindungi mereka dengan penutupan-Nya.” [5] Sedangkan untuk makna ‘Al-Ghaffar’, Al-Khattabi rahimahullah mengatakan, الغَفارُ: هُوَ الذي يَغْفِرُ ذُنُوْبَ عِبَادهِ مَرة بَعْدَ أخْرَى. كُلَّماْ تَكَررَتِ التوْبَةُ فِيَ الذنْب مِنَ العَبْد تَكَررَتِ المَغْفِرَةُ. كَقوْلهِ -سُبْحَانَهُ-: (وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ) [طه/82] “Al-Ghaffar adalah Dia yang senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya secara berulang kali. Setiap kali hamba tersebut bertobat dari dosa, maka pengampunan pun diberikan secara berulang. Seperti firman-Nya -Subhanahu- (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan, العفو، الغفور، الغفار: الذي لم يزل، ولا يزال بالعفو معروفا، ‌وبالغفران ‌والصفح عن عباده موصوفا، كل أحد مضطر إلى عفوه ومغفرته، كما هو مضطر إلى رحمته وكرمه، وقد وعد بالمغفرة والعفو لمن أتى بأسبابها، قال تعالى: {وَإِنِّی لَغَفَّارࣱ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ} “Al-’Afwu, Al-Ghafur, Al-Ghaffar adalah Zat yang senantiasa dikenal dengan sifat pengampunan-Nya, dan selalu disifati dengan pengampunan dan pemaafan terhadap hamba-hamba-Nya. Setiap orang sangat membutuhkan pengampunan dan ampunan-Nya, seperti halnya mereka membutuhkan rahmat dan kemurahan-Nya. Allah telah menjanjikan pengampunan dan ampunan bagi siapa saja yang memenuhi syarat-syaratnya. Allah berfirman (yang artinya), ‘Dan sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan melakukan amal saleh, kemudian mendapatkan petunjuk.’ (QS. Taha: 82).” [7] Konsekuensi dari nama Allah “Al-Ghaffar” bagi hamba Penetapan nama “Al-Ghaffar” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba [8]: Seorang hamba hendaknya senantiasa bertobat dan memohon ampun kepada Ta’ala Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan diri-Nya sebagai Al-Ghaffar dan Al-Ghafur dalam mengampuni dosa-dosa, kesalahan, dan pelanggaran, baik yang kecil maupun besar, bahkan syirik sekalipun jika seseorang bertobat dan memohon ampun kepada-Nya. Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya. Allah berfirman, قُلۡ یَـٰعِبَادِیَ ٱلَّذِینَ أَسۡرَفُوا۟ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوا۟ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِیعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِیمُ “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (QS. Az-Zumar: 53) Betapa pun besar dosa seseorang, pengampunan dan rahmat Allah jauh lebih besar dari dosa yang telah dilakukan. Allah berfirman, إِنَّ رَبَّكَ وَ ٰ⁠سِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Mahaluas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32) Tidak boleh berbuat banyak dosa dengan alasan bahwa Allah adalah Al-Ghaffar, pengampunan hanya diberikan kepada orang-orang yang bertobat dengan sungguh-sungguh Allah berfirman, إِن تَكُونُوا۟ صَـٰلِحِینَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّ ٰ⁠بِینَ غَفُورࣰا “Sesungguhnya jika kalian bertobat, maka sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun kepada orang-orang yang bertobat.” (QS. Al-Isra: 25) Dan Allah berfirman, إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسۡنَۢا بَعۡدَ سُوۤءࣲ فَإِنِّی غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ “Kecuali orang yang zalim, kemudian dia (bertobat dan) mengganti keburukan dengan kebaikan, maka sesungguhnya Aku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 11) Allah mensyaratkan bahwa perubahan harus terjadi dari perbuatan dosa dan kesalahan ke perbuatan baik dan amal saleh agar pengampunan dan rahmat dapat terwujud. Allah juga berfirman, إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَٱعۡتَصَمُوا۟ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُوا۟ دِینَهُمۡ لِلَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۖ وَسَوۡفَ یُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ أَجۡرًا عَظِیمࣰا “Kecuali orang-orang yang bertobat, memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah, dan memurnikan agama mereka untuk Allah, mereka itu bersama orang-orang yang beriman. Dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 146) Oleh karena itu, seseorang harus mengambil langkah-langkah yang dapat menyebabkan pengampunan. Jika seorang mukmin meninggal dunia dalam keadaan masih melakukan dosa besar tanpa bertobat, maka menurut pandangan ahli sunah waljamaah, dia tidak memiliki jaminan pengampunan dan rahmat dari Allah. Namun, jika Allah berkehendak, Dia dapat mengampuni dan memaafkan dengan karunia-Nya, seperti yang dikatakan, وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ “Dan Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48, 116) Namun, jika Allah berkehendak, Dia akan menghukum di neraka dengan keadilan-Nya, lalu mengeluarkan dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat para pemberi syafaat dari orang-orang yang taat, kemudian memasukkannya ke dalam surga, khusus untuk orang-orang yang mentauhidkan-Nya Ta’ala. Hubungan antara “Al-Ghafir”, “Al-Ghafur”, dan “Al-Ghaffar” Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, perlu kita ketahui tentang hubungan ketiga nama Allah tersebut. Ketiga nama ini adalah bagian dari asma’ul husna. Para ulama memiliki berbagai pandangan tentang hubungan di antara ketiganya. Pendapat yang paling benar (seperti yang disebutkan oleh Ibn Al-Arabi dalam ” الأمد “) adalah, أن غافراً فاعل من غَفَر ، وإن قولنا : (غفور) للمبالغة إذا تكرر، وإن (الغفار) أشد مبالغة منه. “Bahwa “Ghafir” adalah bentuk fa’il (pelaku) dari kata “ghafara” (mengampuni), sedangkan “Ghafur” digunakan untuk menunjukkan mubalaghah (hiperbolis) ketika kata tersebut diulang-ulang, dan “Al-Ghaffar” memiliki tingkat mubalaghah yang lebih kuat darinya.” [9] Ringkasan Ringkasnya, nama Allah “Al-Ghaffar” mengingatkan kita pada besarnya rahmat dan pengampunan-Nya. Allah menutupi dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang bertobat dan beriman. Namun, penting bagi kita untuk selalu berusaha menjauhi dosa dan bertobat dengan tulus, agar kita senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy” *** 1 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Kaab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: An-Nahjul Asma’ fi Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M. Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha – Damaskus, cet. ke-1, 2016 M.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asmaail Husna, oleh Syekh Abdur Razzaq Al-Badr, hal. 10. [2] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, oleh Az-Zajjaj, hal. 37; lihat juga Al-Mishbahul Munir, 2: 449. [3] Sya’nud Du’a oleh Al-Khattabi, hal. 52. [4] Maqayis Al-Lughah, oleh Ibn Faris, 4: 385. [5] Tafsir Asma’ Allah Al-Husna, hal. 38. [6] Sya’nud Du’a, hal. 52. [7] Taisir Karimir Rahman, oleh Syekh As-Sa’diy, hal. 946. [8] An-Nahj Al-Asma, hal. 126-127. [9] Dikutip dari An-Nahju Al-Asma’, hal. 125. Tags: asmaul husnanama Allah

Hukum-Hukum terkait Persusuan yang Menyebabkan Mahram

Daftar Isi Toggle Pengertian saudara sepersusuanRukun dan syarat penyusuan yang mengharamkanPertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah)Kedua: SusuKetiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’)Konsekuensi saudara persusuanPertama: Pengharaman pernikahanKedua: Keabsahan mahramKonsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa hubungan kemahraman yang terbentuk melalui ikatan persusuan. Hukum mahram ini memiliki implikasi penting dalam kehidupan seorang muslim, terutama dalam hal pernikahan dan pergaulan sehari-hari. Berikut ini artikel tentang hukum-hukum terkait dengan persusuan yang menyebabkan mahram dan hal-hal penting tentang saudara sepersusuan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian saudara sepersusuan Secara ringkas, saudara sepersusuan adalah orang yang menyusu dari ibu yang sama. Syekh Muhammad Thanthawiy rahimahullah menyebutkan dalam kitab At-Tafsirul Wasith, والأخت من الرضاع: هي التي التقيت أنت وهي على ثدي واحد “Saudara perempuan sepersusuan adalah perempuan yang menyusu dari ibu yang sama denganmu.” [1] Secara lebih rinci lagi, Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan ketika menafsirkan potongan ayat, وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ “Dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan“; beliau mengatakan, “Mereka adalah: (1) saudara perempuan seayah dan seibu (kandung), yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) ayahmu, baik dia disusui bersamamu, lahir sebelum, atau setelahmu; (2) saudara perempuan seayah, namun tidak seibu, yaitu perempuan yang disusui oleh istri ayahmu (yaitu, susunya merupakan hasil jima’ dengan ayahmu); dan (3) saudara perempuan seibu, namun tidak seayah, yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) pria lain.” [2] Rukun dan syarat penyusuan yang mengharamkan Persusuan yang menjadikan kemahraman memiliki tiga rukun, di mana masing-masing rukun memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Apabila ada salah satu saja dari syarat, apalagi rukun itu tidak terpenuhi, maka hukum kemahraman tidak terjadi. Rukun dan syarat tersebut adalah sebagai berikut [3]: Pertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah) Syarat bagi orang yang menyusui, di mana susunya menyebabkan kemahraman, adalah sebagai berikut: Pertama: Orang tersebut haruslah seorang perempuan, karena pengharaman tidak berlaku dengan susu seorang pria karena kelangkaannya dan ketidakcocokannya sebagai nutrisi untuk anak, serta tidak berlaku juga dengan susu hewan. Kedua: Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus berpotensi melahirkan, yaitu dengan mencapai usia haid, yang umumnya adalah sembilan tahun. Jadi, jika muncul susu pada perempuan yang belum mencapai sembilan tahun, maka susu tersebut tidak menyebabkan pengharaman, berbeda dengan wanita yang telah mencapai usia tersebut. Kedua: Susu Syarat yang berkaitan susu, adalah sebagai berikut: Pertama: Susu tersebut harus masuk ke dalam perut anak melalui isapan dari payudara, atau melalui tenggorokan, atau dengan cara memasukkan melalui hidung, baik susu tersebut murni atau dicampur dengan cairan lain yang tidak menghilangkan karakteristik susu (yakni, jika susu masih dominan). Jika susu tersebut kalah dominan, maka ulama berbeda pendapat mengenai apakah pengharaman tetap berlaku. Kedua: Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lima kali penyusuan atau lebih dapat menyebabkan pengharaman. Mereka berbeda pendapat tentang jumlah yang kurang dari itu. Syafi’iyah dan Hanabilah (dalam pendapat yang sahih menurut mereka), menyatakan bahwa jumlah penyusuan kurang dari lima kali tidak mempengaruhi pengharaman. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta dipegang oleh Atha’ dan Thawus rahimahumallah. Mereka mendasarkan pendapat ini pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata, كانَ فِيما أُنْزِلَ مِنَ القُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَهُنَّ فِيما يُقْرَأُ مِنَ القُرْآنِ “Di antara apa yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: sepuluh kali menyusui yang diketahui dapat mengharamkan (pernikahan), kemudian di-nasakh (dihapus) dengan lima kali menyusui yang diketahui, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ayat-ayat tersebut masih dibaca dari Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 1452) Ketiga: Disyaratkan pula bahwa penyusuan tersebut harus terpisah, menurut mereka yang mensyaratkan jumlah penyusuan. Adapun standar jumlah dan pemisahan didasarkan pada kebiasaan (adat kebiasaan setempat) karena tidak ada ketentuan pasti dalam bahasa maupun syariat. Ketiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’) Terkait dengan anak yang disusui, maka para ulama mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: Pertama: Susu harus sampai ke lambungnya (seperti yang dijelaskan dalam syarat susu di atas). Kedua: Bayi tidak boleh mencapai usia dua tahun. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa menyusui anak yang masih di bawah dua tahun mempengaruhi hukum pengharaman (pernikahan). Jumhur ulama berpendapat bahwasanya masa menyusui yang mempengaruhi pengharaman hanyalah yang kurang dari dua tahun, sehingga tidak mengharamkan setelah dua tahun. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ “Para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan masa menyusui.” Mereka berkata, “Allah telah menetapkan dua tahun penuh sebagai masa menyusui yang lengkap, dan tidak ada yang melebihi masa tersebut.” Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadis dari Ummu Salamah yang diriwayatkan secara marfu‘ (dari Rasulullah), لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلَّا ‌مَا ‌فَتَقَ ‌الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الفِطَامِ “Tidak ada pengharaman dari menyusui kecuali apa yang mempengaruhi perut (menjadi daging), di payudara (yaitu, selama masa menyusui) dan dilakukan sebelum penyapihan.” (HR. Tirmidzi no. 1152, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [4] Baca juga: Larangan Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahram Konsekuensi saudara persusuan Menyusui menimbulkan beberapa hukum terkait nasab, yaitu: Pertama: Pengharaman pernikahan Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Pengharaman karena menyusui adalah sebagaimana pengharaman karena nasab.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kedua: Keabsahan mahram Keabsahan mahram, yaitu yang memungkinkan untuk: 1) melihat (aurat yang biasa terlihat oleh mahram, seperti kepala, kedua tangan, dan kedua kaki), 2) berdua-duaan (khalwah), dan 3) tidak batalnya wudu dengan bersentuhan (bagi sebagian ulama yang berpendapat batalnya wudu karena bersentuhan dengan wanita asing atau yang bukan mahram). Sedangkan untuk hukum-hukum nasab lainnya seperti warisan, nafkah, pembebasan budak, penghapusan hukuman qisas, tidak adanya hukuman potong tangan untuk pencurian, tidak adanya penahanan untuk utang anak, dan hak penguasaan atas harta atau jiwa, tidak berlaku untuk persusuan, dan ini merupakan kesepakatan di antara para ulama. [5] Konsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Sebagai penutup pembahasan terkait dengan persusuan, terdapat pekara yang hendaknya diperhatikan, yaitu bahwasanya persusuan memiliki dampak terhadap penularan sifat dari yang menyusui ke yang disusui. Menyusui dapat menularkan sifat kepada bayi. Misalnya, menyusui dari wanita yang baik bisa menularkan kebaikan tersebut kepada anak, sedangkan sebaliknya, menyusui dari wanita yang buruk bisa menularkan keburukan. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallah ‘anhuma mengatakan, اللَّبَنُ يُشْبِهُ ، فلا تَسْقِ من يَهُودِيّةٍ ولا نَصْرانِيَّةٍ ولا زَانِيَةٍ … ‘Susu itu menyerupai (sifat), jadi jangan menyusui dari wanita Yahudi, Nasrani, atau pezina …’ ” Hal ini karena susu dari wanita yang tidak baik bisa membuat anak mirip dengan ibu (persusuan) dalam hal keburukan, dan menjadikannya sebagai ibu yang membawa stigma dan kerugian baik secara alami maupun sosial. Menyusui dari wanita musyrik menjadikannya sebagai ibu yang memiliki status mahram, meskipun dia musyrik, dan bisa menyebabkan anak tersebut condong kepada agama ibu tersebut. Menyusui dari wanita yang bodoh juga tidak dianjurkan agar anak tidak mirip dengan ibu dalam kebodohan. Dikatakan bahwa menyusui dapat mengubah sifat-sifat. Wallahu ‘alam. [6] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Siapakah Mahram Anda? *** 10 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, oleh Al-Qurthubi At-Tafsir Al-Wasith, oleh Muhammad Sayyid Thanthawi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait)   Catatan kaki: [1] At-Tafsir Al-Wasith, 3: 104. [2] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 5: 112. [3] Diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241-247. [4] https://dorar.net/hadith/sharh/81673 [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241. [6] Al-Mughni, 11: 346. Tags: mahrampersusuan

Hukum-Hukum terkait Persusuan yang Menyebabkan Mahram

Daftar Isi Toggle Pengertian saudara sepersusuanRukun dan syarat penyusuan yang mengharamkanPertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah)Kedua: SusuKetiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’)Konsekuensi saudara persusuanPertama: Pengharaman pernikahanKedua: Keabsahan mahramKonsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa hubungan kemahraman yang terbentuk melalui ikatan persusuan. Hukum mahram ini memiliki implikasi penting dalam kehidupan seorang muslim, terutama dalam hal pernikahan dan pergaulan sehari-hari. Berikut ini artikel tentang hukum-hukum terkait dengan persusuan yang menyebabkan mahram dan hal-hal penting tentang saudara sepersusuan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian saudara sepersusuan Secara ringkas, saudara sepersusuan adalah orang yang menyusu dari ibu yang sama. Syekh Muhammad Thanthawiy rahimahullah menyebutkan dalam kitab At-Tafsirul Wasith, والأخت من الرضاع: هي التي التقيت أنت وهي على ثدي واحد “Saudara perempuan sepersusuan adalah perempuan yang menyusu dari ibu yang sama denganmu.” [1] Secara lebih rinci lagi, Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan ketika menafsirkan potongan ayat, وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ “Dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan“; beliau mengatakan, “Mereka adalah: (1) saudara perempuan seayah dan seibu (kandung), yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) ayahmu, baik dia disusui bersamamu, lahir sebelum, atau setelahmu; (2) saudara perempuan seayah, namun tidak seibu, yaitu perempuan yang disusui oleh istri ayahmu (yaitu, susunya merupakan hasil jima’ dengan ayahmu); dan (3) saudara perempuan seibu, namun tidak seayah, yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) pria lain.” [2] Rukun dan syarat penyusuan yang mengharamkan Persusuan yang menjadikan kemahraman memiliki tiga rukun, di mana masing-masing rukun memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Apabila ada salah satu saja dari syarat, apalagi rukun itu tidak terpenuhi, maka hukum kemahraman tidak terjadi. Rukun dan syarat tersebut adalah sebagai berikut [3]: Pertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah) Syarat bagi orang yang menyusui, di mana susunya menyebabkan kemahraman, adalah sebagai berikut: Pertama: Orang tersebut haruslah seorang perempuan, karena pengharaman tidak berlaku dengan susu seorang pria karena kelangkaannya dan ketidakcocokannya sebagai nutrisi untuk anak, serta tidak berlaku juga dengan susu hewan. Kedua: Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus berpotensi melahirkan, yaitu dengan mencapai usia haid, yang umumnya adalah sembilan tahun. Jadi, jika muncul susu pada perempuan yang belum mencapai sembilan tahun, maka susu tersebut tidak menyebabkan pengharaman, berbeda dengan wanita yang telah mencapai usia tersebut. Kedua: Susu Syarat yang berkaitan susu, adalah sebagai berikut: Pertama: Susu tersebut harus masuk ke dalam perut anak melalui isapan dari payudara, atau melalui tenggorokan, atau dengan cara memasukkan melalui hidung, baik susu tersebut murni atau dicampur dengan cairan lain yang tidak menghilangkan karakteristik susu (yakni, jika susu masih dominan). Jika susu tersebut kalah dominan, maka ulama berbeda pendapat mengenai apakah pengharaman tetap berlaku. Kedua: Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lima kali penyusuan atau lebih dapat menyebabkan pengharaman. Mereka berbeda pendapat tentang jumlah yang kurang dari itu. Syafi’iyah dan Hanabilah (dalam pendapat yang sahih menurut mereka), menyatakan bahwa jumlah penyusuan kurang dari lima kali tidak mempengaruhi pengharaman. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta dipegang oleh Atha’ dan Thawus rahimahumallah. Mereka mendasarkan pendapat ini pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata, كانَ فِيما أُنْزِلَ مِنَ القُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَهُنَّ فِيما يُقْرَأُ مِنَ القُرْآنِ “Di antara apa yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: sepuluh kali menyusui yang diketahui dapat mengharamkan (pernikahan), kemudian di-nasakh (dihapus) dengan lima kali menyusui yang diketahui, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ayat-ayat tersebut masih dibaca dari Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 1452) Ketiga: Disyaratkan pula bahwa penyusuan tersebut harus terpisah, menurut mereka yang mensyaratkan jumlah penyusuan. Adapun standar jumlah dan pemisahan didasarkan pada kebiasaan (adat kebiasaan setempat) karena tidak ada ketentuan pasti dalam bahasa maupun syariat. Ketiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’) Terkait dengan anak yang disusui, maka para ulama mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: Pertama: Susu harus sampai ke lambungnya (seperti yang dijelaskan dalam syarat susu di atas). Kedua: Bayi tidak boleh mencapai usia dua tahun. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa menyusui anak yang masih di bawah dua tahun mempengaruhi hukum pengharaman (pernikahan). Jumhur ulama berpendapat bahwasanya masa menyusui yang mempengaruhi pengharaman hanyalah yang kurang dari dua tahun, sehingga tidak mengharamkan setelah dua tahun. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ “Para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan masa menyusui.” Mereka berkata, “Allah telah menetapkan dua tahun penuh sebagai masa menyusui yang lengkap, dan tidak ada yang melebihi masa tersebut.” Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadis dari Ummu Salamah yang diriwayatkan secara marfu‘ (dari Rasulullah), لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلَّا ‌مَا ‌فَتَقَ ‌الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الفِطَامِ “Tidak ada pengharaman dari menyusui kecuali apa yang mempengaruhi perut (menjadi daging), di payudara (yaitu, selama masa menyusui) dan dilakukan sebelum penyapihan.” (HR. Tirmidzi no. 1152, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [4] Baca juga: Larangan Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahram Konsekuensi saudara persusuan Menyusui menimbulkan beberapa hukum terkait nasab, yaitu: Pertama: Pengharaman pernikahan Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Pengharaman karena menyusui adalah sebagaimana pengharaman karena nasab.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kedua: Keabsahan mahram Keabsahan mahram, yaitu yang memungkinkan untuk: 1) melihat (aurat yang biasa terlihat oleh mahram, seperti kepala, kedua tangan, dan kedua kaki), 2) berdua-duaan (khalwah), dan 3) tidak batalnya wudu dengan bersentuhan (bagi sebagian ulama yang berpendapat batalnya wudu karena bersentuhan dengan wanita asing atau yang bukan mahram). Sedangkan untuk hukum-hukum nasab lainnya seperti warisan, nafkah, pembebasan budak, penghapusan hukuman qisas, tidak adanya hukuman potong tangan untuk pencurian, tidak adanya penahanan untuk utang anak, dan hak penguasaan atas harta atau jiwa, tidak berlaku untuk persusuan, dan ini merupakan kesepakatan di antara para ulama. [5] Konsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Sebagai penutup pembahasan terkait dengan persusuan, terdapat pekara yang hendaknya diperhatikan, yaitu bahwasanya persusuan memiliki dampak terhadap penularan sifat dari yang menyusui ke yang disusui. Menyusui dapat menularkan sifat kepada bayi. Misalnya, menyusui dari wanita yang baik bisa menularkan kebaikan tersebut kepada anak, sedangkan sebaliknya, menyusui dari wanita yang buruk bisa menularkan keburukan. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallah ‘anhuma mengatakan, اللَّبَنُ يُشْبِهُ ، فلا تَسْقِ من يَهُودِيّةٍ ولا نَصْرانِيَّةٍ ولا زَانِيَةٍ … ‘Susu itu menyerupai (sifat), jadi jangan menyusui dari wanita Yahudi, Nasrani, atau pezina …’ ” Hal ini karena susu dari wanita yang tidak baik bisa membuat anak mirip dengan ibu (persusuan) dalam hal keburukan, dan menjadikannya sebagai ibu yang membawa stigma dan kerugian baik secara alami maupun sosial. Menyusui dari wanita musyrik menjadikannya sebagai ibu yang memiliki status mahram, meskipun dia musyrik, dan bisa menyebabkan anak tersebut condong kepada agama ibu tersebut. Menyusui dari wanita yang bodoh juga tidak dianjurkan agar anak tidak mirip dengan ibu dalam kebodohan. Dikatakan bahwa menyusui dapat mengubah sifat-sifat. Wallahu ‘alam. [6] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Siapakah Mahram Anda? *** 10 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, oleh Al-Qurthubi At-Tafsir Al-Wasith, oleh Muhammad Sayyid Thanthawi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait)   Catatan kaki: [1] At-Tafsir Al-Wasith, 3: 104. [2] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 5: 112. [3] Diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241-247. [4] https://dorar.net/hadith/sharh/81673 [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241. [6] Al-Mughni, 11: 346. Tags: mahrampersusuan
Daftar Isi Toggle Pengertian saudara sepersusuanRukun dan syarat penyusuan yang mengharamkanPertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah)Kedua: SusuKetiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’)Konsekuensi saudara persusuanPertama: Pengharaman pernikahanKedua: Keabsahan mahramKonsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa hubungan kemahraman yang terbentuk melalui ikatan persusuan. Hukum mahram ini memiliki implikasi penting dalam kehidupan seorang muslim, terutama dalam hal pernikahan dan pergaulan sehari-hari. Berikut ini artikel tentang hukum-hukum terkait dengan persusuan yang menyebabkan mahram dan hal-hal penting tentang saudara sepersusuan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian saudara sepersusuan Secara ringkas, saudara sepersusuan adalah orang yang menyusu dari ibu yang sama. Syekh Muhammad Thanthawiy rahimahullah menyebutkan dalam kitab At-Tafsirul Wasith, والأخت من الرضاع: هي التي التقيت أنت وهي على ثدي واحد “Saudara perempuan sepersusuan adalah perempuan yang menyusu dari ibu yang sama denganmu.” [1] Secara lebih rinci lagi, Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan ketika menafsirkan potongan ayat, وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ “Dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan“; beliau mengatakan, “Mereka adalah: (1) saudara perempuan seayah dan seibu (kandung), yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) ayahmu, baik dia disusui bersamamu, lahir sebelum, atau setelahmu; (2) saudara perempuan seayah, namun tidak seibu, yaitu perempuan yang disusui oleh istri ayahmu (yaitu, susunya merupakan hasil jima’ dengan ayahmu); dan (3) saudara perempuan seibu, namun tidak seayah, yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) pria lain.” [2] Rukun dan syarat penyusuan yang mengharamkan Persusuan yang menjadikan kemahraman memiliki tiga rukun, di mana masing-masing rukun memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Apabila ada salah satu saja dari syarat, apalagi rukun itu tidak terpenuhi, maka hukum kemahraman tidak terjadi. Rukun dan syarat tersebut adalah sebagai berikut [3]: Pertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah) Syarat bagi orang yang menyusui, di mana susunya menyebabkan kemahraman, adalah sebagai berikut: Pertama: Orang tersebut haruslah seorang perempuan, karena pengharaman tidak berlaku dengan susu seorang pria karena kelangkaannya dan ketidakcocokannya sebagai nutrisi untuk anak, serta tidak berlaku juga dengan susu hewan. Kedua: Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus berpotensi melahirkan, yaitu dengan mencapai usia haid, yang umumnya adalah sembilan tahun. Jadi, jika muncul susu pada perempuan yang belum mencapai sembilan tahun, maka susu tersebut tidak menyebabkan pengharaman, berbeda dengan wanita yang telah mencapai usia tersebut. Kedua: Susu Syarat yang berkaitan susu, adalah sebagai berikut: Pertama: Susu tersebut harus masuk ke dalam perut anak melalui isapan dari payudara, atau melalui tenggorokan, atau dengan cara memasukkan melalui hidung, baik susu tersebut murni atau dicampur dengan cairan lain yang tidak menghilangkan karakteristik susu (yakni, jika susu masih dominan). Jika susu tersebut kalah dominan, maka ulama berbeda pendapat mengenai apakah pengharaman tetap berlaku. Kedua: Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lima kali penyusuan atau lebih dapat menyebabkan pengharaman. Mereka berbeda pendapat tentang jumlah yang kurang dari itu. Syafi’iyah dan Hanabilah (dalam pendapat yang sahih menurut mereka), menyatakan bahwa jumlah penyusuan kurang dari lima kali tidak mempengaruhi pengharaman. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta dipegang oleh Atha’ dan Thawus rahimahumallah. Mereka mendasarkan pendapat ini pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata, كانَ فِيما أُنْزِلَ مِنَ القُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَهُنَّ فِيما يُقْرَأُ مِنَ القُرْآنِ “Di antara apa yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: sepuluh kali menyusui yang diketahui dapat mengharamkan (pernikahan), kemudian di-nasakh (dihapus) dengan lima kali menyusui yang diketahui, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ayat-ayat tersebut masih dibaca dari Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 1452) Ketiga: Disyaratkan pula bahwa penyusuan tersebut harus terpisah, menurut mereka yang mensyaratkan jumlah penyusuan. Adapun standar jumlah dan pemisahan didasarkan pada kebiasaan (adat kebiasaan setempat) karena tidak ada ketentuan pasti dalam bahasa maupun syariat. Ketiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’) Terkait dengan anak yang disusui, maka para ulama mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: Pertama: Susu harus sampai ke lambungnya (seperti yang dijelaskan dalam syarat susu di atas). Kedua: Bayi tidak boleh mencapai usia dua tahun. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa menyusui anak yang masih di bawah dua tahun mempengaruhi hukum pengharaman (pernikahan). Jumhur ulama berpendapat bahwasanya masa menyusui yang mempengaruhi pengharaman hanyalah yang kurang dari dua tahun, sehingga tidak mengharamkan setelah dua tahun. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ “Para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan masa menyusui.” Mereka berkata, “Allah telah menetapkan dua tahun penuh sebagai masa menyusui yang lengkap, dan tidak ada yang melebihi masa tersebut.” Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadis dari Ummu Salamah yang diriwayatkan secara marfu‘ (dari Rasulullah), لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلَّا ‌مَا ‌فَتَقَ ‌الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الفِطَامِ “Tidak ada pengharaman dari menyusui kecuali apa yang mempengaruhi perut (menjadi daging), di payudara (yaitu, selama masa menyusui) dan dilakukan sebelum penyapihan.” (HR. Tirmidzi no. 1152, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [4] Baca juga: Larangan Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahram Konsekuensi saudara persusuan Menyusui menimbulkan beberapa hukum terkait nasab, yaitu: Pertama: Pengharaman pernikahan Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Pengharaman karena menyusui adalah sebagaimana pengharaman karena nasab.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kedua: Keabsahan mahram Keabsahan mahram, yaitu yang memungkinkan untuk: 1) melihat (aurat yang biasa terlihat oleh mahram, seperti kepala, kedua tangan, dan kedua kaki), 2) berdua-duaan (khalwah), dan 3) tidak batalnya wudu dengan bersentuhan (bagi sebagian ulama yang berpendapat batalnya wudu karena bersentuhan dengan wanita asing atau yang bukan mahram). Sedangkan untuk hukum-hukum nasab lainnya seperti warisan, nafkah, pembebasan budak, penghapusan hukuman qisas, tidak adanya hukuman potong tangan untuk pencurian, tidak adanya penahanan untuk utang anak, dan hak penguasaan atas harta atau jiwa, tidak berlaku untuk persusuan, dan ini merupakan kesepakatan di antara para ulama. [5] Konsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Sebagai penutup pembahasan terkait dengan persusuan, terdapat pekara yang hendaknya diperhatikan, yaitu bahwasanya persusuan memiliki dampak terhadap penularan sifat dari yang menyusui ke yang disusui. Menyusui dapat menularkan sifat kepada bayi. Misalnya, menyusui dari wanita yang baik bisa menularkan kebaikan tersebut kepada anak, sedangkan sebaliknya, menyusui dari wanita yang buruk bisa menularkan keburukan. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallah ‘anhuma mengatakan, اللَّبَنُ يُشْبِهُ ، فلا تَسْقِ من يَهُودِيّةٍ ولا نَصْرانِيَّةٍ ولا زَانِيَةٍ … ‘Susu itu menyerupai (sifat), jadi jangan menyusui dari wanita Yahudi, Nasrani, atau pezina …’ ” Hal ini karena susu dari wanita yang tidak baik bisa membuat anak mirip dengan ibu (persusuan) dalam hal keburukan, dan menjadikannya sebagai ibu yang membawa stigma dan kerugian baik secara alami maupun sosial. Menyusui dari wanita musyrik menjadikannya sebagai ibu yang memiliki status mahram, meskipun dia musyrik, dan bisa menyebabkan anak tersebut condong kepada agama ibu tersebut. Menyusui dari wanita yang bodoh juga tidak dianjurkan agar anak tidak mirip dengan ibu dalam kebodohan. Dikatakan bahwa menyusui dapat mengubah sifat-sifat. Wallahu ‘alam. [6] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Siapakah Mahram Anda? *** 10 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, oleh Al-Qurthubi At-Tafsir Al-Wasith, oleh Muhammad Sayyid Thanthawi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait)   Catatan kaki: [1] At-Tafsir Al-Wasith, 3: 104. [2] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 5: 112. [3] Diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241-247. [4] https://dorar.net/hadith/sharh/81673 [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241. [6] Al-Mughni, 11: 346. Tags: mahrampersusuan


Daftar Isi Toggle Pengertian saudara sepersusuanRukun dan syarat penyusuan yang mengharamkanPertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah)Kedua: SusuKetiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’)Konsekuensi saudara persusuanPertama: Pengharaman pernikahanKedua: Keabsahan mahramKonsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa hubungan kemahraman yang terbentuk melalui ikatan persusuan. Hukum mahram ini memiliki implikasi penting dalam kehidupan seorang muslim, terutama dalam hal pernikahan dan pergaulan sehari-hari. Berikut ini artikel tentang hukum-hukum terkait dengan persusuan yang menyebabkan mahram dan hal-hal penting tentang saudara sepersusuan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian saudara sepersusuan Secara ringkas, saudara sepersusuan adalah orang yang menyusu dari ibu yang sama. Syekh Muhammad Thanthawiy rahimahullah menyebutkan dalam kitab At-Tafsirul Wasith, والأخت من الرضاع: هي التي التقيت أنت وهي على ثدي واحد “Saudara perempuan sepersusuan adalah perempuan yang menyusu dari ibu yang sama denganmu.” [1] Secara lebih rinci lagi, Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan ketika menafsirkan potongan ayat, وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ “Dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan“; beliau mengatakan, “Mereka adalah: (1) saudara perempuan seayah dan seibu (kandung), yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) ayahmu, baik dia disusui bersamamu, lahir sebelum, atau setelahmu; (2) saudara perempuan seayah, namun tidak seibu, yaitu perempuan yang disusui oleh istri ayahmu (yaitu, susunya merupakan hasil jima’ dengan ayahmu); dan (3) saudara perempuan seibu, namun tidak seayah, yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) pria lain.” [2] Rukun dan syarat penyusuan yang mengharamkan Persusuan yang menjadikan kemahraman memiliki tiga rukun, di mana masing-masing rukun memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Apabila ada salah satu saja dari syarat, apalagi rukun itu tidak terpenuhi, maka hukum kemahraman tidak terjadi. Rukun dan syarat tersebut adalah sebagai berikut [3]: Pertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah) Syarat bagi orang yang menyusui, di mana susunya menyebabkan kemahraman, adalah sebagai berikut: Pertama: Orang tersebut haruslah seorang perempuan, karena pengharaman tidak berlaku dengan susu seorang pria karena kelangkaannya dan ketidakcocokannya sebagai nutrisi untuk anak, serta tidak berlaku juga dengan susu hewan. Kedua: Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus berpotensi melahirkan, yaitu dengan mencapai usia haid, yang umumnya adalah sembilan tahun. Jadi, jika muncul susu pada perempuan yang belum mencapai sembilan tahun, maka susu tersebut tidak menyebabkan pengharaman, berbeda dengan wanita yang telah mencapai usia tersebut. Kedua: Susu Syarat yang berkaitan susu, adalah sebagai berikut: Pertama: Susu tersebut harus masuk ke dalam perut anak melalui isapan dari payudara, atau melalui tenggorokan, atau dengan cara memasukkan melalui hidung, baik susu tersebut murni atau dicampur dengan cairan lain yang tidak menghilangkan karakteristik susu (yakni, jika susu masih dominan). Jika susu tersebut kalah dominan, maka ulama berbeda pendapat mengenai apakah pengharaman tetap berlaku. Kedua: Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lima kali penyusuan atau lebih dapat menyebabkan pengharaman. Mereka berbeda pendapat tentang jumlah yang kurang dari itu. Syafi’iyah dan Hanabilah (dalam pendapat yang sahih menurut mereka), menyatakan bahwa jumlah penyusuan kurang dari lima kali tidak mempengaruhi pengharaman. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta dipegang oleh Atha’ dan Thawus rahimahumallah. Mereka mendasarkan pendapat ini pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata, كانَ فِيما أُنْزِلَ مِنَ القُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَهُنَّ فِيما يُقْرَأُ مِنَ القُرْآنِ “Di antara apa yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: sepuluh kali menyusui yang diketahui dapat mengharamkan (pernikahan), kemudian di-nasakh (dihapus) dengan lima kali menyusui yang diketahui, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ayat-ayat tersebut masih dibaca dari Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 1452) Ketiga: Disyaratkan pula bahwa penyusuan tersebut harus terpisah, menurut mereka yang mensyaratkan jumlah penyusuan. Adapun standar jumlah dan pemisahan didasarkan pada kebiasaan (adat kebiasaan setempat) karena tidak ada ketentuan pasti dalam bahasa maupun syariat. Ketiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’) Terkait dengan anak yang disusui, maka para ulama mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: Pertama: Susu harus sampai ke lambungnya (seperti yang dijelaskan dalam syarat susu di atas). Kedua: Bayi tidak boleh mencapai usia dua tahun. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa menyusui anak yang masih di bawah dua tahun mempengaruhi hukum pengharaman (pernikahan). Jumhur ulama berpendapat bahwasanya masa menyusui yang mempengaruhi pengharaman hanyalah yang kurang dari dua tahun, sehingga tidak mengharamkan setelah dua tahun. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ “Para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan masa menyusui.” Mereka berkata, “Allah telah menetapkan dua tahun penuh sebagai masa menyusui yang lengkap, dan tidak ada yang melebihi masa tersebut.” Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadis dari Ummu Salamah yang diriwayatkan secara marfu‘ (dari Rasulullah), لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلَّا ‌مَا ‌فَتَقَ ‌الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الفِطَامِ “Tidak ada pengharaman dari menyusui kecuali apa yang mempengaruhi perut (menjadi daging), di payudara (yaitu, selama masa menyusui) dan dilakukan sebelum penyapihan.” (HR. Tirmidzi no. 1152, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [4] Baca juga: Larangan Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahram Konsekuensi saudara persusuan Menyusui menimbulkan beberapa hukum terkait nasab, yaitu: Pertama: Pengharaman pernikahan Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ “Pengharaman karena menyusui adalah sebagaimana pengharaman karena nasab.” (Muttafaqun ‘alaihi) Kedua: Keabsahan mahram Keabsahan mahram, yaitu yang memungkinkan untuk: 1) melihat (aurat yang biasa terlihat oleh mahram, seperti kepala, kedua tangan, dan kedua kaki), 2) berdua-duaan (khalwah), dan 3) tidak batalnya wudu dengan bersentuhan (bagi sebagian ulama yang berpendapat batalnya wudu karena bersentuhan dengan wanita asing atau yang bukan mahram). Sedangkan untuk hukum-hukum nasab lainnya seperti warisan, nafkah, pembebasan budak, penghapusan hukuman qisas, tidak adanya hukuman potong tangan untuk pencurian, tidak adanya penahanan untuk utang anak, dan hak penguasaan atas harta atau jiwa, tidak berlaku untuk persusuan, dan ini merupakan kesepakatan di antara para ulama. [5] Konsekuensi persusuan terhadap penularan sifat Sebagai penutup pembahasan terkait dengan persusuan, terdapat pekara yang hendaknya diperhatikan, yaitu bahwasanya persusuan memiliki dampak terhadap penularan sifat dari yang menyusui ke yang disusui. Menyusui dapat menularkan sifat kepada bayi. Misalnya, menyusui dari wanita yang baik bisa menularkan kebaikan tersebut kepada anak, sedangkan sebaliknya, menyusui dari wanita yang buruk bisa menularkan keburukan. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallah ‘anhuma mengatakan, اللَّبَنُ يُشْبِهُ ، فلا تَسْقِ من يَهُودِيّةٍ ولا نَصْرانِيَّةٍ ولا زَانِيَةٍ … ‘Susu itu menyerupai (sifat), jadi jangan menyusui dari wanita Yahudi, Nasrani, atau pezina …’ ” Hal ini karena susu dari wanita yang tidak baik bisa membuat anak mirip dengan ibu (persusuan) dalam hal keburukan, dan menjadikannya sebagai ibu yang membawa stigma dan kerugian baik secara alami maupun sosial. Menyusui dari wanita musyrik menjadikannya sebagai ibu yang memiliki status mahram, meskipun dia musyrik, dan bisa menyebabkan anak tersebut condong kepada agama ibu tersebut. Menyusui dari wanita yang bodoh juga tidak dianjurkan agar anak tidak mirip dengan ibu dalam kebodohan. Dikatakan bahwa menyusui dapat mengubah sifat-sifat. Wallahu ‘alam. [6] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Siapakah Mahram Anda? *** 10 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, oleh Al-Qurthubi At-Tafsir Al-Wasith, oleh Muhammad Sayyid Thanthawi Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait)   Catatan kaki: [1] At-Tafsir Al-Wasith, 3: 104. [2] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 5: 112. [3] Diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241-247. [4] https://dorar.net/hadith/sharh/81673 [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241. [6] Al-Mughni, 11: 346. Tags: mahrampersusuan

Mengapa Harus Berdoa Meski Takdir Sudah Tertulis?

Tulisan ini menguraikan pentingnya doa sebagai salah satu faktor penyebab utama dalam terjadinya takdir, serta menjelaskan bagaimana pemahaman yang salah tentang hubungan antara doa dan takdir dapat menyesatkan seseorang. Dengan merujuk pada pandangan Ibnul Qayyim rahimahullah, tulisan ini menegaskan bahwa doa bukan sekadar permohonan, tetapi merupakan sarana yang efektif dan tak terpisahkan dari upaya seorang hamba dalam mewujudkan kehendak Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 26-29) sebagai berikut: Ada sebuah pertanyaan yang cukup populer dalam bahasan ini: “Jika sesuatu yang diminta oleh seorang hamba memang telah ditakdirkan, niscaya hal itu akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Sebaliknya, jika tidak ditakdirkan, hal itu tidak akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Bukankah demikian?” Sebagian orang menyangka bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Mereka pun kemudian meninggalkan doa dengan alasan, “Doa itu sama sekali tidak ada manfaatnya!” Sikap seperti ini menunjukkan ketidakpahaman dan kesesatan mereka, serta sangat kontradiktif. Sebab, konsekuensi dari pemikiran ini justru akan meniadakan atau menafikan salah satu bentuk atau keberadaan faktor-faktor penyebab dari sebuah kejadian. Apa yang telah ditakdirkan terjadi karena adanya sejumlah sebab, salah satunya adalah doa. Tidak mungkin sesuatu terjadi begitu saja tanpa adanya sebab. Setiap kejadian selalu terkait dengan sebab tertentu. Jika seorang hamba melaksanakan sebab tersebut, maka terjadilah apa yang telah ditakdirkan. Sebaliknya, jika hamba tidak melaksanakannya, maka apa yang telah ditakdirkan itu tidak terjadi. Hal ini seperti kenyang yang ditakdirkan terjadi karena makan dan minum, keberadaan anak karena hubungan suami istri, panen hasil pertanian karena menanam benih, kematian karena terluka atau disembelih, dan masuknya seseorang ke Surga atau Neraka karena amal perbuatan mereka. Inilah pendapat yang benar, meskipun tidak disinggung oleh penanya. Tampaknya, ia belum mendapatkan taufik untuk memahami hal ini. Dengan demikian, doa adalah salah satu faktor penyebab yang paling kuat. Jika sesuatu yang diminta dalam doa ditakdirkan terjadi karena sebab doa tersebut, maka tidak benar jika dikatakan bahwa doa tidak ada manfaatnya. Sama halnya seperti mengatakan bahwa makan, minum, dan segala bentuk aktivitas atau perbuatan tidak ada manfaatnya. Tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada doa, dan tidak ada cara yang lebih cepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan selain doa. Para Sahabat adalah mereka yang paling mengenal Allah dan Rasul-Nya serta paling memahami ajaran agama di kalangan umat ini. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling baik dalam berdoa dan dalam melaksanakan syarat-syarat serta adab-adabnya dibandingkan dengan selain mereka. Dahulu, Umar bin Al-Khaththab memohon pertolongan atas musuhnya melalui doa, bahkan ia menganggap doa sebagai tentara yang terkuat. Beliau berkata kepada para Sahabatnya, “Kalian tidak mendapatkan pertolongan dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kalian mendapatkan pertolongan dari langit.” Umar juga berkata, “Sesungguhnya yang aku pentingkan bukanlah pengabulan, tetapi doa atau permohonan itu sendiri. Apabila kalian berdoa, maka pengabulan akan datang bersamanya.” Kesimpulannya, doa adalah salah satu cara utama untuk mewujudkan takdir, dan meninggalkannya karena salah paham akan hubungan antara doa dan takdir adalah sebuah kesalahan. Doa berperan penting dalam mencapai apa yang telah ditetapkan, sehingga tidak boleh dianggap sepele. – Tulisan kali ini adalah ringkasan dari bahasan kami dalam buku terbaru “MENGADU KEPADA ALLAH” terbitan Penerbit Rumaysho & Brilliant. Dapatkan buku ini yang memberikan panduan spiritual mendalam untuk menguatkan iman dan tawakal. Pesan sekarang di Rumaysho Store melalui WhatsApp di wa.me/6285200171222atau wa.me/6282136267701, atau temukan di Shopee dan Tokopedia dengan akun Rumayshostore. Segera lengkapi koleksi buku Islami Anda dan terus semangat menambah pengetahuan agama yang bermanfaat! – Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton, 23 Safar 1446 H, 28 Agustus 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa adab doa al jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim nasihat ibnul qayyim takdir Allah

Mengapa Harus Berdoa Meski Takdir Sudah Tertulis?

Tulisan ini menguraikan pentingnya doa sebagai salah satu faktor penyebab utama dalam terjadinya takdir, serta menjelaskan bagaimana pemahaman yang salah tentang hubungan antara doa dan takdir dapat menyesatkan seseorang. Dengan merujuk pada pandangan Ibnul Qayyim rahimahullah, tulisan ini menegaskan bahwa doa bukan sekadar permohonan, tetapi merupakan sarana yang efektif dan tak terpisahkan dari upaya seorang hamba dalam mewujudkan kehendak Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 26-29) sebagai berikut: Ada sebuah pertanyaan yang cukup populer dalam bahasan ini: “Jika sesuatu yang diminta oleh seorang hamba memang telah ditakdirkan, niscaya hal itu akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Sebaliknya, jika tidak ditakdirkan, hal itu tidak akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Bukankah demikian?” Sebagian orang menyangka bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Mereka pun kemudian meninggalkan doa dengan alasan, “Doa itu sama sekali tidak ada manfaatnya!” Sikap seperti ini menunjukkan ketidakpahaman dan kesesatan mereka, serta sangat kontradiktif. Sebab, konsekuensi dari pemikiran ini justru akan meniadakan atau menafikan salah satu bentuk atau keberadaan faktor-faktor penyebab dari sebuah kejadian. Apa yang telah ditakdirkan terjadi karena adanya sejumlah sebab, salah satunya adalah doa. Tidak mungkin sesuatu terjadi begitu saja tanpa adanya sebab. Setiap kejadian selalu terkait dengan sebab tertentu. Jika seorang hamba melaksanakan sebab tersebut, maka terjadilah apa yang telah ditakdirkan. Sebaliknya, jika hamba tidak melaksanakannya, maka apa yang telah ditakdirkan itu tidak terjadi. Hal ini seperti kenyang yang ditakdirkan terjadi karena makan dan minum, keberadaan anak karena hubungan suami istri, panen hasil pertanian karena menanam benih, kematian karena terluka atau disembelih, dan masuknya seseorang ke Surga atau Neraka karena amal perbuatan mereka. Inilah pendapat yang benar, meskipun tidak disinggung oleh penanya. Tampaknya, ia belum mendapatkan taufik untuk memahami hal ini. Dengan demikian, doa adalah salah satu faktor penyebab yang paling kuat. Jika sesuatu yang diminta dalam doa ditakdirkan terjadi karena sebab doa tersebut, maka tidak benar jika dikatakan bahwa doa tidak ada manfaatnya. Sama halnya seperti mengatakan bahwa makan, minum, dan segala bentuk aktivitas atau perbuatan tidak ada manfaatnya. Tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada doa, dan tidak ada cara yang lebih cepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan selain doa. Para Sahabat adalah mereka yang paling mengenal Allah dan Rasul-Nya serta paling memahami ajaran agama di kalangan umat ini. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling baik dalam berdoa dan dalam melaksanakan syarat-syarat serta adab-adabnya dibandingkan dengan selain mereka. Dahulu, Umar bin Al-Khaththab memohon pertolongan atas musuhnya melalui doa, bahkan ia menganggap doa sebagai tentara yang terkuat. Beliau berkata kepada para Sahabatnya, “Kalian tidak mendapatkan pertolongan dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kalian mendapatkan pertolongan dari langit.” Umar juga berkata, “Sesungguhnya yang aku pentingkan bukanlah pengabulan, tetapi doa atau permohonan itu sendiri. Apabila kalian berdoa, maka pengabulan akan datang bersamanya.” Kesimpulannya, doa adalah salah satu cara utama untuk mewujudkan takdir, dan meninggalkannya karena salah paham akan hubungan antara doa dan takdir adalah sebuah kesalahan. Doa berperan penting dalam mencapai apa yang telah ditetapkan, sehingga tidak boleh dianggap sepele. – Tulisan kali ini adalah ringkasan dari bahasan kami dalam buku terbaru “MENGADU KEPADA ALLAH” terbitan Penerbit Rumaysho & Brilliant. Dapatkan buku ini yang memberikan panduan spiritual mendalam untuk menguatkan iman dan tawakal. Pesan sekarang di Rumaysho Store melalui WhatsApp di wa.me/6285200171222atau wa.me/6282136267701, atau temukan di Shopee dan Tokopedia dengan akun Rumayshostore. Segera lengkapi koleksi buku Islami Anda dan terus semangat menambah pengetahuan agama yang bermanfaat! – Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton, 23 Safar 1446 H, 28 Agustus 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa adab doa al jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim nasihat ibnul qayyim takdir Allah
Tulisan ini menguraikan pentingnya doa sebagai salah satu faktor penyebab utama dalam terjadinya takdir, serta menjelaskan bagaimana pemahaman yang salah tentang hubungan antara doa dan takdir dapat menyesatkan seseorang. Dengan merujuk pada pandangan Ibnul Qayyim rahimahullah, tulisan ini menegaskan bahwa doa bukan sekadar permohonan, tetapi merupakan sarana yang efektif dan tak terpisahkan dari upaya seorang hamba dalam mewujudkan kehendak Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 26-29) sebagai berikut: Ada sebuah pertanyaan yang cukup populer dalam bahasan ini: “Jika sesuatu yang diminta oleh seorang hamba memang telah ditakdirkan, niscaya hal itu akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Sebaliknya, jika tidak ditakdirkan, hal itu tidak akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Bukankah demikian?” Sebagian orang menyangka bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Mereka pun kemudian meninggalkan doa dengan alasan, “Doa itu sama sekali tidak ada manfaatnya!” Sikap seperti ini menunjukkan ketidakpahaman dan kesesatan mereka, serta sangat kontradiktif. Sebab, konsekuensi dari pemikiran ini justru akan meniadakan atau menafikan salah satu bentuk atau keberadaan faktor-faktor penyebab dari sebuah kejadian. Apa yang telah ditakdirkan terjadi karena adanya sejumlah sebab, salah satunya adalah doa. Tidak mungkin sesuatu terjadi begitu saja tanpa adanya sebab. Setiap kejadian selalu terkait dengan sebab tertentu. Jika seorang hamba melaksanakan sebab tersebut, maka terjadilah apa yang telah ditakdirkan. Sebaliknya, jika hamba tidak melaksanakannya, maka apa yang telah ditakdirkan itu tidak terjadi. Hal ini seperti kenyang yang ditakdirkan terjadi karena makan dan minum, keberadaan anak karena hubungan suami istri, panen hasil pertanian karena menanam benih, kematian karena terluka atau disembelih, dan masuknya seseorang ke Surga atau Neraka karena amal perbuatan mereka. Inilah pendapat yang benar, meskipun tidak disinggung oleh penanya. Tampaknya, ia belum mendapatkan taufik untuk memahami hal ini. Dengan demikian, doa adalah salah satu faktor penyebab yang paling kuat. Jika sesuatu yang diminta dalam doa ditakdirkan terjadi karena sebab doa tersebut, maka tidak benar jika dikatakan bahwa doa tidak ada manfaatnya. Sama halnya seperti mengatakan bahwa makan, minum, dan segala bentuk aktivitas atau perbuatan tidak ada manfaatnya. Tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada doa, dan tidak ada cara yang lebih cepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan selain doa. Para Sahabat adalah mereka yang paling mengenal Allah dan Rasul-Nya serta paling memahami ajaran agama di kalangan umat ini. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling baik dalam berdoa dan dalam melaksanakan syarat-syarat serta adab-adabnya dibandingkan dengan selain mereka. Dahulu, Umar bin Al-Khaththab memohon pertolongan atas musuhnya melalui doa, bahkan ia menganggap doa sebagai tentara yang terkuat. Beliau berkata kepada para Sahabatnya, “Kalian tidak mendapatkan pertolongan dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kalian mendapatkan pertolongan dari langit.” Umar juga berkata, “Sesungguhnya yang aku pentingkan bukanlah pengabulan, tetapi doa atau permohonan itu sendiri. Apabila kalian berdoa, maka pengabulan akan datang bersamanya.” Kesimpulannya, doa adalah salah satu cara utama untuk mewujudkan takdir, dan meninggalkannya karena salah paham akan hubungan antara doa dan takdir adalah sebuah kesalahan. Doa berperan penting dalam mencapai apa yang telah ditetapkan, sehingga tidak boleh dianggap sepele. – Tulisan kali ini adalah ringkasan dari bahasan kami dalam buku terbaru “MENGADU KEPADA ALLAH” terbitan Penerbit Rumaysho & Brilliant. Dapatkan buku ini yang memberikan panduan spiritual mendalam untuk menguatkan iman dan tawakal. Pesan sekarang di Rumaysho Store melalui WhatsApp di wa.me/6285200171222atau wa.me/6282136267701, atau temukan di Shopee dan Tokopedia dengan akun Rumayshostore. Segera lengkapi koleksi buku Islami Anda dan terus semangat menambah pengetahuan agama yang bermanfaat! – Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton, 23 Safar 1446 H, 28 Agustus 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa adab doa al jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim nasihat ibnul qayyim takdir Allah


Tulisan ini menguraikan pentingnya doa sebagai salah satu faktor penyebab utama dalam terjadinya takdir, serta menjelaskan bagaimana pemahaman yang salah tentang hubungan antara doa dan takdir dapat menyesatkan seseorang. Dengan merujuk pada pandangan Ibnul Qayyim rahimahullah, tulisan ini menegaskan bahwa doa bukan sekadar permohonan, tetapi merupakan sarana yang efektif dan tak terpisahkan dari upaya seorang hamba dalam mewujudkan kehendak Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 26-29) sebagai berikut: Ada sebuah pertanyaan yang cukup populer dalam bahasan ini: “Jika sesuatu yang diminta oleh seorang hamba memang telah ditakdirkan, niscaya hal itu akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Sebaliknya, jika tidak ditakdirkan, hal itu tidak akan terjadi, baik ia berdoa ataupun tidak. Bukankah demikian?” Sebagian orang menyangka bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Mereka pun kemudian meninggalkan doa dengan alasan, “Doa itu sama sekali tidak ada manfaatnya!” Sikap seperti ini menunjukkan ketidakpahaman dan kesesatan mereka, serta sangat kontradiktif. Sebab, konsekuensi dari pemikiran ini justru akan meniadakan atau menafikan salah satu bentuk atau keberadaan faktor-faktor penyebab dari sebuah kejadian. Apa yang telah ditakdirkan terjadi karena adanya sejumlah sebab, salah satunya adalah doa. Tidak mungkin sesuatu terjadi begitu saja tanpa adanya sebab. Setiap kejadian selalu terkait dengan sebab tertentu. Jika seorang hamba melaksanakan sebab tersebut, maka terjadilah apa yang telah ditakdirkan. Sebaliknya, jika hamba tidak melaksanakannya, maka apa yang telah ditakdirkan itu tidak terjadi. Hal ini seperti kenyang yang ditakdirkan terjadi karena makan dan minum, keberadaan anak karena hubungan suami istri, panen hasil pertanian karena menanam benih, kematian karena terluka atau disembelih, dan masuknya seseorang ke Surga atau Neraka karena amal perbuatan mereka. Inilah pendapat yang benar, meskipun tidak disinggung oleh penanya. Tampaknya, ia belum mendapatkan taufik untuk memahami hal ini. Dengan demikian, doa adalah salah satu faktor penyebab yang paling kuat. Jika sesuatu yang diminta dalam doa ditakdirkan terjadi karena sebab doa tersebut, maka tidak benar jika dikatakan bahwa doa tidak ada manfaatnya. Sama halnya seperti mengatakan bahwa makan, minum, dan segala bentuk aktivitas atau perbuatan tidak ada manfaatnya. Tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada doa, dan tidak ada cara yang lebih cepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan selain doa. Para Sahabat adalah mereka yang paling mengenal Allah dan Rasul-Nya serta paling memahami ajaran agama di kalangan umat ini. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang paling baik dalam berdoa dan dalam melaksanakan syarat-syarat serta adab-adabnya dibandingkan dengan selain mereka. Dahulu, Umar bin Al-Khaththab memohon pertolongan atas musuhnya melalui doa, bahkan ia menganggap doa sebagai tentara yang terkuat. Beliau berkata kepada para Sahabatnya, “Kalian tidak mendapatkan pertolongan dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kalian mendapatkan pertolongan dari langit.” Umar juga berkata, “Sesungguhnya yang aku pentingkan bukanlah pengabulan, tetapi doa atau permohonan itu sendiri. Apabila kalian berdoa, maka pengabulan akan datang bersamanya.” Kesimpulannya, doa adalah salah satu cara utama untuk mewujudkan takdir, dan meninggalkannya karena salah paham akan hubungan antara doa dan takdir adalah sebuah kesalahan. Doa berperan penting dalam mencapai apa yang telah ditetapkan, sehingga tidak boleh dianggap sepele. – Tulisan kali ini adalah ringkasan dari bahasan kami dalam buku terbaru “MENGADU KEPADA ALLAH” terbitan Penerbit Rumaysho & Brilliant. Dapatkan buku ini yang memberikan panduan spiritual mendalam untuk menguatkan iman dan tawakal. Pesan sekarang di Rumaysho Store melalui WhatsApp di wa.me/6285200171222atau wa.me/6282136267701, atau temukan di Shopee dan Tokopedia dengan akun Rumayshostore. Segera lengkapi koleksi buku Islami Anda dan terus semangat menambah pengetahuan agama yang bermanfaat! – Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton, 23 Safar 1446 H, 28 Agustus 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa adab doa al jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim nasihat ibnul qayyim takdir Allah

Jangan Sedih atas Perkara Dunia – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 277) Telah dijelaskan perbedaan antara takut dan sedih. Apa bedanya, saudara-saudara? Takut terhadap masa depan, dan sedih terhadap masa lalu. Mereka tidak bersedih terhadap masa lalu karena kenikmatan-kenikmatan yang kini (di surga) mereka rasakan membuat mereka lupa apa, saudara-saudara? Segala hal yang mereka lalui pada masa lalu di dunia. Didatangkan orang paling menderita (di dunia) dari penghuni surga, lalu dia dicelup satu kali celupan di surga. Kemudian dia ditanya, “Hai Fulan…Apakah kamu pernah merasakan penderitaan sebelumnya? Apakah kamu pernah merasakan kesengsaraan sebelumnya?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku!” Dia melupakan itu semua, sehingga dia tidak sedih atas perkara duniawi yang dia lewatkan. Allahul Musta’an. ==== لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَسَبَقَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالْحُزْنِ مَا الْفَرْقُ يَا إِخْوَانُ؟ الْخَوْفُ مِنَ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحُزْنُ مِنَ الْمَاضِي وَإِنَّمَا لَا يَحْزَنُونَ عَلَى الْمَاضِي لِأَنَّ مَا هُمْ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ أَنَسَاهُمْ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ كُلَّ مَا مَرَّ عَلَيْهِمْ فِي مَاضِيهِم فِي دُنْيَاهُمْ يُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ بِالْجَنَّةِ صَبْغَةً فَيُقَالُ يَا فُلَانُ هَلْ مَرَّ بِكَ شَقَاءٌ قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ بُؤْسٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّي يَنْسَاهُ فَلَا يَحْزَنُ عَلَى شَيْءٍ فَاتَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ

Jangan Sedih atas Perkara Dunia – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“…mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 277) Telah dijelaskan perbedaan antara takut dan sedih. Apa bedanya, saudara-saudara? Takut terhadap masa depan, dan sedih terhadap masa lalu. Mereka tidak bersedih terhadap masa lalu karena kenikmatan-kenikmatan yang kini (di surga) mereka rasakan membuat mereka lupa apa, saudara-saudara? Segala hal yang mereka lalui pada masa lalu di dunia. Didatangkan orang paling menderita (di dunia) dari penghuni surga, lalu dia dicelup satu kali celupan di surga. Kemudian dia ditanya, “Hai Fulan…Apakah kamu pernah merasakan penderitaan sebelumnya? Apakah kamu pernah merasakan kesengsaraan sebelumnya?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku!” Dia melupakan itu semua, sehingga dia tidak sedih atas perkara duniawi yang dia lewatkan. Allahul Musta’an. ==== لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَسَبَقَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالْحُزْنِ مَا الْفَرْقُ يَا إِخْوَانُ؟ الْخَوْفُ مِنَ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحُزْنُ مِنَ الْمَاضِي وَإِنَّمَا لَا يَحْزَنُونَ عَلَى الْمَاضِي لِأَنَّ مَا هُمْ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ أَنَسَاهُمْ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ كُلَّ مَا مَرَّ عَلَيْهِمْ فِي مَاضِيهِم فِي دُنْيَاهُمْ يُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ بِالْجَنَّةِ صَبْغَةً فَيُقَالُ يَا فُلَانُ هَلْ مَرَّ بِكَ شَقَاءٌ قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ بُؤْسٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّي يَنْسَاهُ فَلَا يَحْزَنُ عَلَى شَيْءٍ فَاتَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
“…mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 277) Telah dijelaskan perbedaan antara takut dan sedih. Apa bedanya, saudara-saudara? Takut terhadap masa depan, dan sedih terhadap masa lalu. Mereka tidak bersedih terhadap masa lalu karena kenikmatan-kenikmatan yang kini (di surga) mereka rasakan membuat mereka lupa apa, saudara-saudara? Segala hal yang mereka lalui pada masa lalu di dunia. Didatangkan orang paling menderita (di dunia) dari penghuni surga, lalu dia dicelup satu kali celupan di surga. Kemudian dia ditanya, “Hai Fulan…Apakah kamu pernah merasakan penderitaan sebelumnya? Apakah kamu pernah merasakan kesengsaraan sebelumnya?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku!” Dia melupakan itu semua, sehingga dia tidak sedih atas perkara duniawi yang dia lewatkan. Allahul Musta’an. ==== لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَسَبَقَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالْحُزْنِ مَا الْفَرْقُ يَا إِخْوَانُ؟ الْخَوْفُ مِنَ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحُزْنُ مِنَ الْمَاضِي وَإِنَّمَا لَا يَحْزَنُونَ عَلَى الْمَاضِي لِأَنَّ مَا هُمْ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ أَنَسَاهُمْ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ كُلَّ مَا مَرَّ عَلَيْهِمْ فِي مَاضِيهِم فِي دُنْيَاهُمْ يُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ بِالْجَنَّةِ صَبْغَةً فَيُقَالُ يَا فُلَانُ هَلْ مَرَّ بِكَ شَقَاءٌ قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ بُؤْسٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّي يَنْسَاهُ فَلَا يَحْزَنُ عَلَى شَيْءٍ فَاتَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ


“…mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 277) Telah dijelaskan perbedaan antara takut dan sedih. Apa bedanya, saudara-saudara? Takut terhadap masa depan, dan sedih terhadap masa lalu. Mereka tidak bersedih terhadap masa lalu karena kenikmatan-kenikmatan yang kini (di surga) mereka rasakan membuat mereka lupa apa, saudara-saudara? Segala hal yang mereka lalui pada masa lalu di dunia. Didatangkan orang paling menderita (di dunia) dari penghuni surga, lalu dia dicelup satu kali celupan di surga. Kemudian dia ditanya, “Hai Fulan…Apakah kamu pernah merasakan penderitaan sebelumnya? Apakah kamu pernah merasakan kesengsaraan sebelumnya?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku!” Dia melupakan itu semua, sehingga dia tidak sedih atas perkara duniawi yang dia lewatkan. Allahul Musta’an. ==== لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ وَسَبَقَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْخَوْفِ وَالْحُزْنِ مَا الْفَرْقُ يَا إِخْوَانُ؟ الْخَوْفُ مِنَ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحُزْنُ مِنَ الْمَاضِي وَإِنَّمَا لَا يَحْزَنُونَ عَلَى الْمَاضِي لِأَنَّ مَا هُمْ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ أَنَسَاهُمْ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ كُلَّ مَا مَرَّ عَلَيْهِمْ فِي مَاضِيهِم فِي دُنْيَاهُمْ يُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ بِالْجَنَّةِ صَبْغَةً فَيُقَالُ يَا فُلَانُ هَلْ مَرَّ بِكَ شَقَاءٌ قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ بُؤْسٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّي يَنْسَاهُ فَلَا يَحْزَنُ عَلَى شَيْءٍ فَاتَ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
Prev     Next