Cara Berdoa dengan Asmaul Husna yang Banyak Orang Belum Tahu – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ

Cara Berdoa dengan Asmaul Husna yang Banyak Orang Belum Tahu – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ
Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ


Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di
Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di


Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat
Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat


Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

‌‌Hikmah Pensyariatan Haji

Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: ﵟوَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27) Perintah Allah ini memiliki banyak kemaslahatan besar bagi manusia, di antaranya saling mengenal, bekerja sama, menasihati dalam kebenaran, belajar memahami agama, meninggikan kalimat Allah, menegakkan tauhid, dan sebagainya. Sehingga pensyariatan haji kepada setiap muslim di seluruh dunia termasuk rahmat Allah yang sangat besar. Apalagi ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan disyaratkan kemampuan padanya. Ini semua termasuk kemudahan dan nikmat yang besar. Sebab, bila diwajibkan setiap tahun atau tidak disyaratkan adanya kemampuan maka akan menimbulkan kesulitan besar bagi umat ini. Pensyariatan haji memiliki hikmah yang dapat memotivasi setiap muslim untuk menunaikannya, di antaranya:  PERTAMA: Mewujudkan tauhid dan menanamkan keikhlasan kepada Allah. Allah tidak memerintahkan pembangunan Ka’bah kecuali untuk hal tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 26-27) Menyucikan Ka’bah dilakukan dengan menyucikannya dari kesyirikan, berhala, kotoran, dan noda. Ibnu Katsir menjelaskan pengertian ayat ini dengan menyatakan, “Laksanakanlah di atas nama-Ku saja dan sucikanlah rumah-Ku dari kesyirikan bagi orang-orang yang tawaf, beribadah, rukuk dan sujud, serta menjadikannya hanya untuk mereka yang beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/413). Hubungan antara tauhid dengan haji sangat jelas. Karena seluruh amalan manasik dibangun di atas dasar tauhid. Banyak sekali alasan yang menjelaskan eratnya hubungan tauhid dan haji ini, di antaranya: Nabi tidak berhaji pada tahun kesembilan ketika diwajibkan haji. Hal tersebut dikarenakan kesyirikan masih tampak pengaruhnya di Masjid al-Haram. Saat itu, kaum musyrikin masih bertawaf dengan telanjang. Mereka juga memindahkan haji ke musim atau hari perayaan berhala. Kemudian Nabi ﷺ mengutus Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amir haji dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepada orang-orang dua perkara: لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ Tidak boleh berhaji setelah tahun itu seorang musyrik pun dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan telanjang. (HR al-Bukhari no. 369 dan 1622 dan Muslim no. 1347).  Syiar orang berhaji sejak awal adalah talbiah. Talbiah tidak keluar dari mengucapkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya. Jabir bin Abdillah menjelaskan tata cara haji Nabi ﷺ: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ “‌لَبَّيْكَ ‌اللَّهُمَّ! ‌لَبَّيْكَ. ‌لَبَّيْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ ‌لَبَّيْكَ. ‌إِنَّ ‌الْحَمْدَ ‌وَالنِّعْمَةَ ‌لَكَ. ‌وَالْمُلْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ”. “Beliau bertalbiah dengan tauhid, mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Inna al-Hamda wa an-Nikmata Laka wa al-Mulka Laa Syarikalaka.” (HR Muslim no. 1218). Allah telah menghendaki talbiah dengan syiar ini untuk mengajarkan orang yang berhaji supaya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan meninggalkan berhala serta kesyirikan. An-Nawawi menyatakan, “Berisikan isyarat menyelisihi keadaan jahiliah yang di dalam talbiahnya terdapat lafaz kesyirikan. (Syarh Shahih Muslim 8/174). Syaikh bin Baz berkata, “Haji seluruhnya adalah ajakan bertauhid, istikamah di atas agama Islam, dan konsisten berada di atas ajaran Rasulullah ﷺ. Tujuan terbesarnya adalah membimbing manusia untuk bertauhid, ikhlas, serta mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ berupa kebenaran, petunjuk dalam haji, dan selainnya. Talbiah adalah amalan pertama yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji dan umrah. Ia  menyatakan Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik. Ia menyampaikan ketauhidan, keikhlasan kepada Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya sama sekali.” (Majmu’ Fataawa Syaikh bin Baaz 16/186).  Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ salat dua rakaat setelah tawaf dengan membaca dua surat: al-Kafirun dan al-Ikhlas. Surat al-Kafirun menjelaskan sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, sedangkan surat al-Ikhlas menjelaskan ketetapan tauhid.  Nabi memulai dengan menauhidkan Allah ketika naik ke bukit Shafa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir: حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ … ». “Hingga beliau melihat Ka’bah lalu menghadap kiblat, dan menauhidkan Allah dan bertakbir, dan berkata, ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir, laa ilaha illallahu wahdah anjaza wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaba wahdah…’” Tidak hanya di putaran pertama saja, bahkan beliau mengucapkannya pada setiap putaran sai. Pada hari Arafah, Nabi ﷺ pernah menjelaskan dalam sabda beliau, «الحَجُّ عَرَفَةُ» (haji itu adalah Arafah). Allah Ta’ala berbangga-bangga kepada para malaikat dengan orang yang berada di Arafah karena tauhid mereka. Rasulullah ﷺ bersabda: «مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ- مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟». “Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Dia mendekat kemudian berbangga-bangga kepada malaikat dan berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan?’” Allah Ta’ala memerintahkan orang yang berhaji dan berumrah supaya melaksanakannya dengan penuh ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ  “Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah:196).  Semua ini menunjukkan bahwa mewujudkan tauhid menjadi maksud dan hikmah terpenting.  KEDUA: Menampakkan kefakiran hamba kepada Allah.  Orang yang berhaji berarti menjauhkan diri dari kemewahan dan perhiasan. Ia hanya mengenakan pakaian ihram yang terbebas dari perhiasannya, sehingga menampakkan ketidakmampuan dan kemiskinannya. Di tengah manasik, ia merendahkan diri dengan berdoa kepada Allah, merasa butuh kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, dan mematuhi semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang diketahui hikmahnya atau tidak. As-Sa’di berkata, “Maksud dari haji adalah merendahkan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan semua ibadah yang dilakukan serta meninggalkan keburukan. Dengan demikian, ia akan meraih haji mabrur. Dan haji mabrur tidak dibalas kecuali dengan surga. Setiap keburukan itu terlarang pada semua tempat dan waktu, dan larangannya menjadi lebih berat pada saat haji.” (Tafsir as-Sa’di 1/92). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Melempar jamrah pada hakikatnya menjadi puncak ta’abbud dan menghinakan diri kepada Allah Ta’ala. Seseorang tidak mengetahui hikmah dari melempar jamrah di tempat tersebut, sehingga hal itu murni ibadah kepada Allah Ta’ala. Seseorang yang tetap berada pada ketaatan meski dalam keadaan tidak mengetahui hikmahnya maka lebih tegas dalam menghinakan diri dan ibadah. Karena ibadah itu, ada yang hikmahnya telah nampak sehingga seseorang beribadah kepada Allah dan menaati-Nya kemudian mengikuti yang diketahuinya dari maslahat-maslahat yang ada. Selain itu, ada pula ibadah yang tidak diketahui hikmahnya. Namun, karena Allah Ta’ala memerintahkannya maka ia melaksanakannya. Maka ini adalah puncak perendahan diri dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya.” (Fataawa Nuur ‘Ala ad-Darb 12/2).  KETIGA: Mewujudkan ketakwaan kepada Allah.   Di antara hikmah dan maksud haji adalah mewujudkan ketakwaan sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah:197). Setelah melarang berbuat buruk dalam perkataan dan perbuatan, seperti ucapan buruk, kefasikan, dan berbantah-bantahan, Allah menganjurkan mereka untuk berbuat kebaikan. Dan Allah menyatakan dalam firman-Nya: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Lalu Allah berfirman:  وَتَزَوَّدُوا “Berbekallah,” (QS. Al-Baqarah: 197) Berbekallah kalian dalam perjalanan haji berupa makanan dan semua yang dibutuhkan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} “Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal.’ Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah turunkan firmanNya: وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197). Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah kalian berupa makanan pokok supaya mampu melaksanakan kewajiban dalam haji dan manasik. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah yaitu tidak berbekal untuk diri kalian, meminta-minta kepada manusia, serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok. Namun, kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161). Berbekal yang banyak dalam safar termasuk akhlak mulia. Sebab, dapat membantu saudaranya dengan bekal tersebut dan memberi makan mereka. Memberi makan termasuk perbuatan baik, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).  Apabila Allah memerintahkan untuk berbekal berupa makanan dan minuman dalam safar di dunia, Allah juga membimbing kita supaya berbekal dalam safar akhirat dengan takwa. Takwa adalah sebaik-baik perbekalan. Inilah bekal yang akan mengantarkan kepada keridaan Allah dan kenikmatan abadi di surga pada hari kiamat nanti. Ayat di atas juga memperingatkan kita agar memperhatikan bekal akhirat, yaitu takwa sebagai poros keselamatan dan satu-satunya jalan untuk meraih anugerah Allah. Ketakwaan akan melindungi pemiliknya dari penyesalan di hari kiamat. Lalu Allah mengakhiri ayat ini dengan perintah takwa; وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “Bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Lalu Allah mengkhususkan orang-orang yang berakal, karena merekalah yang dapat mengambil manfaat dari firman-Nya. Allah banyak mengulang kalimat takwa dalam ayat-ayat haji, seperti firman-Nya: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah:196). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196). Demikian juga firman-Nya: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى  “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 203). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203). Semua itu karena takwa adalah perkara yang dituntut dari ibadah haji. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia tidak meridai satu amalan pun pada ibadah haji kecuali yang disertai dengan ketakwaan dalam firman-Nya: لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Daging dan darah yang ditumpahkan dalam ibadah kurban tidak diterima kecuali yang didasari oleh ketakwaan hati yang menimbulkan pengagungan terhadap perintah Allah, dan mendekatkan diri, serta ikhlas kepada-Nya. As-Sa’di berkata, “Bukan yang dimaksud darinya adalah semata penyembelihan saja. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah sedikit pun, karena Allah Maha Kaya dan Terpuji. Akan tetapi, keikhlasan, mencari pahala, dan niat yang benar dari kamulah yang dapat mencapainya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Ayat ini berisi anjuran dan motivasi untuk ikhlas dalam penyembelihan, sehingga tujuannya hanya mengharap wajah Allah saja tanpa ada kebanggaan, riya’, sum’ah, dan bukan sekadar kebiasaan. Demikianlah seluruh ibadah, apabila tidak disertai keikhlasan dan ketakwaan maka ia seperti kulit yang tidak ada isinya, dan jasad tanpa ruh. (Tafsir as-Sa’di halaman 538).  KEEMPAT: Memperbanyak berzikir dan berdoa kepada Allah termasuk hikmah dan maksud syariat yang terbesar. Zikir dan doa selalu ada dalam ibadah haji, baik sebelum, ketika pelaksanaan, ataupun paska pelaksanaan manasik haji. Oleh karena itu, tidak ada amalan haji kecuali ada zikir dan doa di dalamnya. Ihram yang merupakan niat masuk ibadah haji juga berisi zikir dengan hati. Talbiah setelah berihram adalah zikir dengan lisan dan hati yang disunahkan dilakukan terus-menerus secara konsisten dan tidak terputus kecuali ketika melempar jamrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian, tawaf dimulai dengan bertakbir, dan setiap sejajar dengan Hajar Aswad juga bertakbir. Setelah tawaf, orang yang berhaji berjalan menuju Maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Selesai tawaf, orang yang berhaji menuju bukit Shafa untuk menaikinya. Ia berzikir dan berdoa di sana, yakni dari sebelum menaikinya, saat berada di atasnya, dan setelah turunnya menuju Marwa. Jabir bin Abdillah menceritakan, فَلَمَّا دَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الصَّفَا قَرَأَ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} [البقرة: 158] «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». فَبَدَأَ بِالصَّفَا فَرَقِيَ عَلَيْهِ، حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ» ثُمَّ دَعَا بَيْنَ ذَلِكَ. قَالَ مِثْلَ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، “Ketika Rasulullah mendekat dari Shafa, beliau membaca: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ lalu memulai menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah. Kemudian beliau menghadap kiblat, mentauhidkan Allah, dan bertakbir, serta berkata,  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ Kemudian berdoa di antaranya. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Muslim no. 1218).  Pada hari Arafah, dianjurkan untuk memperbanyak zikir, talbiah, takbir, dan doa. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jabir: ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ، فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ، إِلَى الصَّخَرَاتِ، وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ، ‌وَاسْتَقْبَلَ ‌الْقِبْلَةَ، ‌فَلَمْ ‌يَزَلْ ‌وَاقِفًا، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا، حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ،  “Kemudian Rasulullah menaiki kendaraannya hingga sampai tempat wukuf. Beliau jadikan perut untanya menghadap ke bukit batu (ash-Shakhra`) dan menjadikan jalan pejalan kaki di hadapannya, kemudian menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam dan warna kuningnya hilang sedikit hingga bulatannya tenggelam.” (HR. Muslim no. 3074). Di Muzdalifah, disunahkan wukuf di al-Masy’ar al-Haram. Beliau menghadap kiblat, berzikir, dan berdoa. Allah berfirman: فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafat) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 198-200). Apabila kalian berangkat dari Arafah (setelah wukuf) dan sampai di Muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di al-Masy’ar al-Haram dengan talbiah, takbir, salat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Lalu, berzikir dan berdoalah setelah salat Shubuh. Jaabir bercerita: ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ، حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ، فَرَقِيَ عَلَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ، وَكَبَّرَهُ، وَهَلَّلَهُ، فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا، حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا، ثُمَّ دَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ “Kemudian mengendarai Qashwa (unta beliau) hingga mendatangi al-Masy’ari al-Haram lalu menghadap kiblat dan berdoa, berzikir, bertahlil, mentauhidkan Allah, dan terus wukuf hingga langit menguning sekali lalu berangkat sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no. 3074). Kemudian berangkat ke Mina untuk melempar jamrah aqabah dengan tujuh batuan kecil, dan bertakbir pada setiap lemparannya. Dan disunahkan setelah melempar jamrah shughra dan wustho supaya berhenti sebentar, lantas menghadap kiblat seraya berdoa kepada Allah. Kemudian, saat proses penyembelihan kurban, diperitahkan agar berzikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman: وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).” (QS. Al-Hajj: 36). Yang dimaksud dengan zikir di sini adalah mengucapkan bismillah dalam penyembelihan. Sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah: وَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: «بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.  “Rasulullah mengambil kambing lalu merobohkannya dan menyembelihnya dengan berkata, ‘Bismillah, Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad’.” (HR. Muslim no.1967). Jelas, bahwa ini adalah bentuk zikir dan doa. Kemudian, berkaitan dengan hari-hari Tasyrik, Rasulullah bersabda: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ عز وجل “Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan zikir kepada Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih dalam al-Musnad no. 20722). Allah Ta’ala memerintahkan untuk memperbanyak zikir setelah selesai melaksanakan manasik dalam firman-Nya: فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200). Karena orang-orang jahiliah dahulu apabila selesai dari haji, mereka berkumpul lalu berbangga-bangga dengan kehebatan nenek moyangnya. Lalu Allah perintahkan orang-orang Islam apabila selesai manasik haji untuk memperbanyak zikir melebihi mereka. Di akhir ayat ini, Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk berdoa setelah memperbanyak zikir, karena itu lebih pantas untuk diterima. Allah mencela orang yang sedikit berdoa saat haji lantaran sibuk meraih perhiasan dunia dan kelezatan yang fana`. Dan Allah memuji orang yang meminta kepada-Nya kebaikan dunia dan akhirat. Lihatlah firman-Nya: فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Al-Baqarah: 200-201). Zikir selalu menyertai amalan haji. Setelah selesai semua amalan haji, jemaah haji berzikir. Setelah selesai ihram, mereka berzikir. Ketika tawaf dan melempar jamrah, mereka bertakbir. Mereka juga menyebut nama Allah pada penyembelihan di hari Nahr. Setelah selesai dari semua manasik haji, dan bahkan seluruh waktu mereka juga dipenuhi dengan zikir dan doa. (Diadaptasi secara bebas dari at-Tashiil Lita’wil al-Tanziil 3/239). KELIMA: Membina dan menyucikan diri dengan cara bersegera melaksanakan ketaatan serta menjauhi keburukan. Di antara hikmah dan tujuan syariat dalam ibadah haji adalah menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak tercela dan membinanya hingga meraih hakikat takwa. Allah berfirman: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Pengertian rafats adalah berhubungan seksual dengan istri dan hal-hal yang mengarah kepadanya, atau pembicaraan kotor. Adapun al-fusuq adalah semua kemaksiatan. Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan yang dapat membuat emosi, pertengkaran, dan permusuhan. As-Sa’di menafsirkan ayat-ayat ini dengan menyatakan, “Diwajibkan untuk mengagungkan ihram khususnya yang ada di bulan-bulan haji dan menjaganya dari semua perkara yang merusak berupa rafats yaitu hubungan suami istri dan seputarnya baik berupa perbuatan atau perkataan, khususnya ketika ada kaum wanita. Fusuq adalah seluruh kemaksiatan, di antaranya yaitu hal-hal yang terlarang dalam ihram (mahzhuraat al-ihram). Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan, bertengkar, dan ucapan yang dapat menimbulkan keburukan hingga permusuhan. Ketahuilah, bahwa tidak sempurna pendekatan diri kepada Allah hanya dengan meninggalkan kemaksiatan saja hingga ia juga melaksanakan perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  ‘Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.’ (QS. Al-Baqarah: 197). Allah Ta’ala menggunakan kata (من) untuk menegaskan keumumannya. Setiap kebaikan dan ibadah, Allah mengetahuinya. Ayat ini berisi anjuran yang sangat untuk berbuat kebaikan, khususnya di tempat yang mulia dan tanah suci. Dan sudah sepatutnya meraih yang dapat diraih di sana, seperti shalat, puasa, sedekah, tawaf, dan perbuatan serta perkataan baik.” (Tafsir as-Sa’di halaman 91). Haji yang bebas dari rafats, fusuq, dan jidal ini adalah haji mabrur yang menjadi sebab ampunan dosa, berdasarkan sabda Rasulullah: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350).  KEENAM: Dalam haji ada pengingat akhirat dan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat nanti. Di Masya’ir, baik di Mina, Muzdalifah, dan Arafah terhimpun manusia dari beraneka ragam jenis dan ras. Mereka mengenakan pakaian yang sama dan dalam keadaan kepala terbuka seraya bertalbiah, memenuhi panggilan Allah Ta’ala. Ini adalah realitas yang menyerupai berdirinya manusia di hadapan Allah pada hari kiamat, yaitu dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, dan tidak berkhitan. Pada saat itu, manusia merasakan ketakutan, penyesalan, dan kengerian. Hal tersebut menjadi motivasi guna membangkitkan jiwa orang yang berhaji supaya takut kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi (muraqabah), dan mengikhlaskan semua amalan untuk-Nya. (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz 16/246-247). KETUJUH: Pembinaan umat untuk mengetahui pengertian persatuan yang benar.  Perbedaan antara manusia yang kaya, fakir miskin, warna kulit, dan ras tidak tampak jelas dalam pelaksanaan haji. Karena semua mengarah ke satu tujuan yaitu kepada Sang Maha Pencipta. Mereka memakai pakaian yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pada waktu serta tempat yang sama. Selain itu, juga terbentuk kerja sama di antara jemaah haji dalam hal kebaikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini semua tentunya membina umat supaya bersatu di atas ibadah kepada Allah Ta’ala. Haji dapat mendidik jiwa dengan ruh militer dengan semua yang dibutuhkannya berupa kesabaran dan tahan banting. Mereka bekerja sama dengan aturan dan disiplin yang kokoh. Lihatlah para jemaah haji yang bersabar dan bertahan dari kesusahan safar, hingga berkumpul seluruhnya di kota Makkah, tanah suci Allah. Kemudian mereka semua berangkat dalam keadaan demikian dari bulan Dzulhijjah untuk menunaikan manasik dan menetap, serta bergerak secara serentak dengan penuh kegembiraan. Di sanalah hilang perbedaan antar manusia, hilang perbedaan antara kaya dan fakir, ras, warna, serta perbedaan lisan dan bahasa. Manusia bersatu pada muktamar yang semuanya kebaikan, keberkahan, penuh musyawarah, bekerja sama melaksanakan kebaikan, serta saling menguatkan. Muktamar haji menyatukan manusia di atas kebenaran dan takwa, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta kurang tidur untuk kemaslahatan umat. Dalam haji ada kenangan-kenangan indah tak terlupakan. Ruh ibadah sempurna yang tertanam dalam jiwa dan ketundukan yang tak terbatas terhadap perintah Allah dan syariat-Nya. Haji membina setiap muslim untuk mengetahui betapa indah dan urgennya persatuan. Di antara yang memberikan pengetahuan ini adalah: Berkumpulnya orang dari segenap penjuru dunia dan saling bertukar kasih sayang, cinta, dan saling mengenal di antara mereka. Juga nasihat, bimbingan, dan arahan kepada kebaikan yang sampai kepada mereka. Tampilnya kaum muslimin dengan satu penampilan di satu waktu dan tempat, serta amalan dan kondisi mereka. Semuanya berdiri di tempat-tempat Masya’ir di satu waktu, amalannya satu, keadaannya satu: menggunakan dua helai kain ihram serta ketundukan di hadapan Allah Ta’ala. (lihat Majmu’ al-Fataawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 24/241). Banyak hal lain yang mendorong kaum muslimin dapat merasakan persatuan dan keindahannya di waktu haji.  KEDELAPAN: Menunaikan kewajiban haji berisikan rasa syukur pada nikmat dan keselamatan badan.  Orang yang berhaji melaksanakan wukuf di Arafah, berdoa kepada Allah, memuji-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan memohon ampun atas semua dosanya. Dalam ibadah haji, seseorang menunaikan syukur atas dua nikmat, ia bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannya, dan menginfakkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 17/26-27 dan Majmu’ al-fatawaa wa Rasaa`il al-‘Utsaimin 24/239-240). Ibadah haji mengandung dua hikmah sekaligus, yaitu: Ibadah haji adalah manifestasi penghambaan serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang yang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh terhadap pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya. Ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridai oleh Allah ﷻ. KESEMBILAN: Memperoleh banyak kemanfaatan.  Menyaksikan dan memperoleh manfaat termasuk di antara hikmah dan tujuan pensyariatan haji, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. Al-Hajj: 27-28). Manfaat dari ibadah haji meliputi manfaat agama dan duniawi. Di antara manfaat agama yang diperoleh orang yang berhaji adalah: Mendapatkan ampunan dosa, serta penghapusan dosa dan keburukan yang telah lalu, berdasarkan sabda beliau: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350). Masuk surga berdasarkan keumuman sabda beliau: «الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ» “Haji yang mabrur tidak ada baginya balasan kecuali surga.” (HR al-Bukhari no. 1773). Memperoleh ketakwaan, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Adapun manfaat duniawi yang diperoleh orang yang berhaji, di antaranya adalah: Memperoleh daging hadyu dan sembelihan lainnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”. (QS. Al-hajj: 33). Hasil usaha perdagangan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198). Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:   كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا كَانَ الإِسْلَامُ، فَكَأَنَّهُمْ تَأَثَّمُوا فِيهِ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} [البقرة: 198] فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ. “Dahulu, ‘Ukaazh, Mujannah, dan Dzu al-Majaaz adalah pasar-pasar di masa jahiliah. Ketika ada Islam, seakan-akan mereka merasa berdosa. Lalu turunlah firman Allah yang artinya, ‘Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (QS. Al-Baqarah:198) di musim Haji.” (Shahih al-Bukhari no. 2050). Ibnu Qudaamah berkata, “Adapun perniagaan dan usaha industri, maka tidak kami ketahui dalam kebolehannya perbedaan pendapat.” (Al-Mughni 5/174). Terwujudnya solidaritas dan empati kepada orang-orang fakir miskin berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28) Asy-Syinqithy berkata, “Di antara manfaatnya adalah kemudahan berkumpulnya kaum muslimin dari penjuru dunia di waktu-waktu tertentu di tempat tertentu agar merasakan persatuan Islam dan agar memudahkan sebagiannya mendapatkan manfaat dari yang lainnya pada semua kepentingan umum dari perkara dunia dan agama. Maka haji adalah pensyariatan agung dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Adh-wa’ al-Bayaan 5/536). Tentunya, masih banyak lagi manfaat yang dapat diraih oleh orang yang berhaji dan yang terlibat dalam ibadah ini. Wallahu a’lam. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 325 times, 1 visit(s) today Post Views: 436 QRIS donasi Yufid

‌‌Hikmah Pensyariatan Haji

Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: ﵟوَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27) Perintah Allah ini memiliki banyak kemaslahatan besar bagi manusia, di antaranya saling mengenal, bekerja sama, menasihati dalam kebenaran, belajar memahami agama, meninggikan kalimat Allah, menegakkan tauhid, dan sebagainya. Sehingga pensyariatan haji kepada setiap muslim di seluruh dunia termasuk rahmat Allah yang sangat besar. Apalagi ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan disyaratkan kemampuan padanya. Ini semua termasuk kemudahan dan nikmat yang besar. Sebab, bila diwajibkan setiap tahun atau tidak disyaratkan adanya kemampuan maka akan menimbulkan kesulitan besar bagi umat ini. Pensyariatan haji memiliki hikmah yang dapat memotivasi setiap muslim untuk menunaikannya, di antaranya:  PERTAMA: Mewujudkan tauhid dan menanamkan keikhlasan kepada Allah. Allah tidak memerintahkan pembangunan Ka’bah kecuali untuk hal tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 26-27) Menyucikan Ka’bah dilakukan dengan menyucikannya dari kesyirikan, berhala, kotoran, dan noda. Ibnu Katsir menjelaskan pengertian ayat ini dengan menyatakan, “Laksanakanlah di atas nama-Ku saja dan sucikanlah rumah-Ku dari kesyirikan bagi orang-orang yang tawaf, beribadah, rukuk dan sujud, serta menjadikannya hanya untuk mereka yang beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/413). Hubungan antara tauhid dengan haji sangat jelas. Karena seluruh amalan manasik dibangun di atas dasar tauhid. Banyak sekali alasan yang menjelaskan eratnya hubungan tauhid dan haji ini, di antaranya: Nabi tidak berhaji pada tahun kesembilan ketika diwajibkan haji. Hal tersebut dikarenakan kesyirikan masih tampak pengaruhnya di Masjid al-Haram. Saat itu, kaum musyrikin masih bertawaf dengan telanjang. Mereka juga memindahkan haji ke musim atau hari perayaan berhala. Kemudian Nabi ﷺ mengutus Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amir haji dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepada orang-orang dua perkara: لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ Tidak boleh berhaji setelah tahun itu seorang musyrik pun dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan telanjang. (HR al-Bukhari no. 369 dan 1622 dan Muslim no. 1347).  Syiar orang berhaji sejak awal adalah talbiah. Talbiah tidak keluar dari mengucapkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya. Jabir bin Abdillah menjelaskan tata cara haji Nabi ﷺ: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ “‌لَبَّيْكَ ‌اللَّهُمَّ! ‌لَبَّيْكَ. ‌لَبَّيْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ ‌لَبَّيْكَ. ‌إِنَّ ‌الْحَمْدَ ‌وَالنِّعْمَةَ ‌لَكَ. ‌وَالْمُلْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ”. “Beliau bertalbiah dengan tauhid, mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Inna al-Hamda wa an-Nikmata Laka wa al-Mulka Laa Syarikalaka.” (HR Muslim no. 1218). Allah telah menghendaki talbiah dengan syiar ini untuk mengajarkan orang yang berhaji supaya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan meninggalkan berhala serta kesyirikan. An-Nawawi menyatakan, “Berisikan isyarat menyelisihi keadaan jahiliah yang di dalam talbiahnya terdapat lafaz kesyirikan. (Syarh Shahih Muslim 8/174). Syaikh bin Baz berkata, “Haji seluruhnya adalah ajakan bertauhid, istikamah di atas agama Islam, dan konsisten berada di atas ajaran Rasulullah ﷺ. Tujuan terbesarnya adalah membimbing manusia untuk bertauhid, ikhlas, serta mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ berupa kebenaran, petunjuk dalam haji, dan selainnya. Talbiah adalah amalan pertama yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji dan umrah. Ia  menyatakan Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik. Ia menyampaikan ketauhidan, keikhlasan kepada Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya sama sekali.” (Majmu’ Fataawa Syaikh bin Baaz 16/186).  Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ salat dua rakaat setelah tawaf dengan membaca dua surat: al-Kafirun dan al-Ikhlas. Surat al-Kafirun menjelaskan sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, sedangkan surat al-Ikhlas menjelaskan ketetapan tauhid.  Nabi memulai dengan menauhidkan Allah ketika naik ke bukit Shafa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir: حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ … ». “Hingga beliau melihat Ka’bah lalu menghadap kiblat, dan menauhidkan Allah dan bertakbir, dan berkata, ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir, laa ilaha illallahu wahdah anjaza wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaba wahdah…’” Tidak hanya di putaran pertama saja, bahkan beliau mengucapkannya pada setiap putaran sai. Pada hari Arafah, Nabi ﷺ pernah menjelaskan dalam sabda beliau, «الحَجُّ عَرَفَةُ» (haji itu adalah Arafah). Allah Ta’ala berbangga-bangga kepada para malaikat dengan orang yang berada di Arafah karena tauhid mereka. Rasulullah ﷺ bersabda: «مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ- مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟». “Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Dia mendekat kemudian berbangga-bangga kepada malaikat dan berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan?’” Allah Ta’ala memerintahkan orang yang berhaji dan berumrah supaya melaksanakannya dengan penuh ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ  “Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah:196).  Semua ini menunjukkan bahwa mewujudkan tauhid menjadi maksud dan hikmah terpenting.  KEDUA: Menampakkan kefakiran hamba kepada Allah.  Orang yang berhaji berarti menjauhkan diri dari kemewahan dan perhiasan. Ia hanya mengenakan pakaian ihram yang terbebas dari perhiasannya, sehingga menampakkan ketidakmampuan dan kemiskinannya. Di tengah manasik, ia merendahkan diri dengan berdoa kepada Allah, merasa butuh kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, dan mematuhi semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang diketahui hikmahnya atau tidak. As-Sa’di berkata, “Maksud dari haji adalah merendahkan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan semua ibadah yang dilakukan serta meninggalkan keburukan. Dengan demikian, ia akan meraih haji mabrur. Dan haji mabrur tidak dibalas kecuali dengan surga. Setiap keburukan itu terlarang pada semua tempat dan waktu, dan larangannya menjadi lebih berat pada saat haji.” (Tafsir as-Sa’di 1/92). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Melempar jamrah pada hakikatnya menjadi puncak ta’abbud dan menghinakan diri kepada Allah Ta’ala. Seseorang tidak mengetahui hikmah dari melempar jamrah di tempat tersebut, sehingga hal itu murni ibadah kepada Allah Ta’ala. Seseorang yang tetap berada pada ketaatan meski dalam keadaan tidak mengetahui hikmahnya maka lebih tegas dalam menghinakan diri dan ibadah. Karena ibadah itu, ada yang hikmahnya telah nampak sehingga seseorang beribadah kepada Allah dan menaati-Nya kemudian mengikuti yang diketahuinya dari maslahat-maslahat yang ada. Selain itu, ada pula ibadah yang tidak diketahui hikmahnya. Namun, karena Allah Ta’ala memerintahkannya maka ia melaksanakannya. Maka ini adalah puncak perendahan diri dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya.” (Fataawa Nuur ‘Ala ad-Darb 12/2).  KETIGA: Mewujudkan ketakwaan kepada Allah.   Di antara hikmah dan maksud haji adalah mewujudkan ketakwaan sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah:197). Setelah melarang berbuat buruk dalam perkataan dan perbuatan, seperti ucapan buruk, kefasikan, dan berbantah-bantahan, Allah menganjurkan mereka untuk berbuat kebaikan. Dan Allah menyatakan dalam firman-Nya: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Lalu Allah berfirman:  وَتَزَوَّدُوا “Berbekallah,” (QS. Al-Baqarah: 197) Berbekallah kalian dalam perjalanan haji berupa makanan dan semua yang dibutuhkan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} “Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal.’ Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah turunkan firmanNya: وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197). Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah kalian berupa makanan pokok supaya mampu melaksanakan kewajiban dalam haji dan manasik. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah yaitu tidak berbekal untuk diri kalian, meminta-minta kepada manusia, serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok. Namun, kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161). Berbekal yang banyak dalam safar termasuk akhlak mulia. Sebab, dapat membantu saudaranya dengan bekal tersebut dan memberi makan mereka. Memberi makan termasuk perbuatan baik, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).  Apabila Allah memerintahkan untuk berbekal berupa makanan dan minuman dalam safar di dunia, Allah juga membimbing kita supaya berbekal dalam safar akhirat dengan takwa. Takwa adalah sebaik-baik perbekalan. Inilah bekal yang akan mengantarkan kepada keridaan Allah dan kenikmatan abadi di surga pada hari kiamat nanti. Ayat di atas juga memperingatkan kita agar memperhatikan bekal akhirat, yaitu takwa sebagai poros keselamatan dan satu-satunya jalan untuk meraih anugerah Allah. Ketakwaan akan melindungi pemiliknya dari penyesalan di hari kiamat. Lalu Allah mengakhiri ayat ini dengan perintah takwa; وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “Bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Lalu Allah mengkhususkan orang-orang yang berakal, karena merekalah yang dapat mengambil manfaat dari firman-Nya. Allah banyak mengulang kalimat takwa dalam ayat-ayat haji, seperti firman-Nya: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah:196). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196). Demikian juga firman-Nya: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى  “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 203). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203). Semua itu karena takwa adalah perkara yang dituntut dari ibadah haji. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia tidak meridai satu amalan pun pada ibadah haji kecuali yang disertai dengan ketakwaan dalam firman-Nya: لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Daging dan darah yang ditumpahkan dalam ibadah kurban tidak diterima kecuali yang didasari oleh ketakwaan hati yang menimbulkan pengagungan terhadap perintah Allah, dan mendekatkan diri, serta ikhlas kepada-Nya. As-Sa’di berkata, “Bukan yang dimaksud darinya adalah semata penyembelihan saja. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah sedikit pun, karena Allah Maha Kaya dan Terpuji. Akan tetapi, keikhlasan, mencari pahala, dan niat yang benar dari kamulah yang dapat mencapainya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Ayat ini berisi anjuran dan motivasi untuk ikhlas dalam penyembelihan, sehingga tujuannya hanya mengharap wajah Allah saja tanpa ada kebanggaan, riya’, sum’ah, dan bukan sekadar kebiasaan. Demikianlah seluruh ibadah, apabila tidak disertai keikhlasan dan ketakwaan maka ia seperti kulit yang tidak ada isinya, dan jasad tanpa ruh. (Tafsir as-Sa’di halaman 538).  KEEMPAT: Memperbanyak berzikir dan berdoa kepada Allah termasuk hikmah dan maksud syariat yang terbesar. Zikir dan doa selalu ada dalam ibadah haji, baik sebelum, ketika pelaksanaan, ataupun paska pelaksanaan manasik haji. Oleh karena itu, tidak ada amalan haji kecuali ada zikir dan doa di dalamnya. Ihram yang merupakan niat masuk ibadah haji juga berisi zikir dengan hati. Talbiah setelah berihram adalah zikir dengan lisan dan hati yang disunahkan dilakukan terus-menerus secara konsisten dan tidak terputus kecuali ketika melempar jamrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian, tawaf dimulai dengan bertakbir, dan setiap sejajar dengan Hajar Aswad juga bertakbir. Setelah tawaf, orang yang berhaji berjalan menuju Maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Selesai tawaf, orang yang berhaji menuju bukit Shafa untuk menaikinya. Ia berzikir dan berdoa di sana, yakni dari sebelum menaikinya, saat berada di atasnya, dan setelah turunnya menuju Marwa. Jabir bin Abdillah menceritakan, فَلَمَّا دَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الصَّفَا قَرَأَ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} [البقرة: 158] «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». فَبَدَأَ بِالصَّفَا فَرَقِيَ عَلَيْهِ، حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ» ثُمَّ دَعَا بَيْنَ ذَلِكَ. قَالَ مِثْلَ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، “Ketika Rasulullah mendekat dari Shafa, beliau membaca: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ lalu memulai menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah. Kemudian beliau menghadap kiblat, mentauhidkan Allah, dan bertakbir, serta berkata,  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ Kemudian berdoa di antaranya. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Muslim no. 1218).  Pada hari Arafah, dianjurkan untuk memperbanyak zikir, talbiah, takbir, dan doa. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jabir: ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ، فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ، إِلَى الصَّخَرَاتِ، وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ، ‌وَاسْتَقْبَلَ ‌الْقِبْلَةَ، ‌فَلَمْ ‌يَزَلْ ‌وَاقِفًا، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا، حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ،  “Kemudian Rasulullah menaiki kendaraannya hingga sampai tempat wukuf. Beliau jadikan perut untanya menghadap ke bukit batu (ash-Shakhra`) dan menjadikan jalan pejalan kaki di hadapannya, kemudian menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam dan warna kuningnya hilang sedikit hingga bulatannya tenggelam.” (HR. Muslim no. 3074). Di Muzdalifah, disunahkan wukuf di al-Masy’ar al-Haram. Beliau menghadap kiblat, berzikir, dan berdoa. Allah berfirman: فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafat) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 198-200). Apabila kalian berangkat dari Arafah (setelah wukuf) dan sampai di Muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di al-Masy’ar al-Haram dengan talbiah, takbir, salat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Lalu, berzikir dan berdoalah setelah salat Shubuh. Jaabir bercerita: ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ، حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ، فَرَقِيَ عَلَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ، وَكَبَّرَهُ، وَهَلَّلَهُ، فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا، حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا، ثُمَّ دَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ “Kemudian mengendarai Qashwa (unta beliau) hingga mendatangi al-Masy’ari al-Haram lalu menghadap kiblat dan berdoa, berzikir, bertahlil, mentauhidkan Allah, dan terus wukuf hingga langit menguning sekali lalu berangkat sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no. 3074). Kemudian berangkat ke Mina untuk melempar jamrah aqabah dengan tujuh batuan kecil, dan bertakbir pada setiap lemparannya. Dan disunahkan setelah melempar jamrah shughra dan wustho supaya berhenti sebentar, lantas menghadap kiblat seraya berdoa kepada Allah. Kemudian, saat proses penyembelihan kurban, diperitahkan agar berzikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman: وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).” (QS. Al-Hajj: 36). Yang dimaksud dengan zikir di sini adalah mengucapkan bismillah dalam penyembelihan. Sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah: وَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: «بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.  “Rasulullah mengambil kambing lalu merobohkannya dan menyembelihnya dengan berkata, ‘Bismillah, Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad’.” (HR. Muslim no.1967). Jelas, bahwa ini adalah bentuk zikir dan doa. Kemudian, berkaitan dengan hari-hari Tasyrik, Rasulullah bersabda: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ عز وجل “Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan zikir kepada Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih dalam al-Musnad no. 20722). Allah Ta’ala memerintahkan untuk memperbanyak zikir setelah selesai melaksanakan manasik dalam firman-Nya: فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200). Karena orang-orang jahiliah dahulu apabila selesai dari haji, mereka berkumpul lalu berbangga-bangga dengan kehebatan nenek moyangnya. Lalu Allah perintahkan orang-orang Islam apabila selesai manasik haji untuk memperbanyak zikir melebihi mereka. Di akhir ayat ini, Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk berdoa setelah memperbanyak zikir, karena itu lebih pantas untuk diterima. Allah mencela orang yang sedikit berdoa saat haji lantaran sibuk meraih perhiasan dunia dan kelezatan yang fana`. Dan Allah memuji orang yang meminta kepada-Nya kebaikan dunia dan akhirat. Lihatlah firman-Nya: فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Al-Baqarah: 200-201). Zikir selalu menyertai amalan haji. Setelah selesai semua amalan haji, jemaah haji berzikir. Setelah selesai ihram, mereka berzikir. Ketika tawaf dan melempar jamrah, mereka bertakbir. Mereka juga menyebut nama Allah pada penyembelihan di hari Nahr. Setelah selesai dari semua manasik haji, dan bahkan seluruh waktu mereka juga dipenuhi dengan zikir dan doa. (Diadaptasi secara bebas dari at-Tashiil Lita’wil al-Tanziil 3/239). KELIMA: Membina dan menyucikan diri dengan cara bersegera melaksanakan ketaatan serta menjauhi keburukan. Di antara hikmah dan tujuan syariat dalam ibadah haji adalah menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak tercela dan membinanya hingga meraih hakikat takwa. Allah berfirman: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Pengertian rafats adalah berhubungan seksual dengan istri dan hal-hal yang mengarah kepadanya, atau pembicaraan kotor. Adapun al-fusuq adalah semua kemaksiatan. Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan yang dapat membuat emosi, pertengkaran, dan permusuhan. As-Sa’di menafsirkan ayat-ayat ini dengan menyatakan, “Diwajibkan untuk mengagungkan ihram khususnya yang ada di bulan-bulan haji dan menjaganya dari semua perkara yang merusak berupa rafats yaitu hubungan suami istri dan seputarnya baik berupa perbuatan atau perkataan, khususnya ketika ada kaum wanita. Fusuq adalah seluruh kemaksiatan, di antaranya yaitu hal-hal yang terlarang dalam ihram (mahzhuraat al-ihram). Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan, bertengkar, dan ucapan yang dapat menimbulkan keburukan hingga permusuhan. Ketahuilah, bahwa tidak sempurna pendekatan diri kepada Allah hanya dengan meninggalkan kemaksiatan saja hingga ia juga melaksanakan perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  ‘Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.’ (QS. Al-Baqarah: 197). Allah Ta’ala menggunakan kata (من) untuk menegaskan keumumannya. Setiap kebaikan dan ibadah, Allah mengetahuinya. Ayat ini berisi anjuran yang sangat untuk berbuat kebaikan, khususnya di tempat yang mulia dan tanah suci. Dan sudah sepatutnya meraih yang dapat diraih di sana, seperti shalat, puasa, sedekah, tawaf, dan perbuatan serta perkataan baik.” (Tafsir as-Sa’di halaman 91). Haji yang bebas dari rafats, fusuq, dan jidal ini adalah haji mabrur yang menjadi sebab ampunan dosa, berdasarkan sabda Rasulullah: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350).  KEENAM: Dalam haji ada pengingat akhirat dan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat nanti. Di Masya’ir, baik di Mina, Muzdalifah, dan Arafah terhimpun manusia dari beraneka ragam jenis dan ras. Mereka mengenakan pakaian yang sama dan dalam keadaan kepala terbuka seraya bertalbiah, memenuhi panggilan Allah Ta’ala. Ini adalah realitas yang menyerupai berdirinya manusia di hadapan Allah pada hari kiamat, yaitu dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, dan tidak berkhitan. Pada saat itu, manusia merasakan ketakutan, penyesalan, dan kengerian. Hal tersebut menjadi motivasi guna membangkitkan jiwa orang yang berhaji supaya takut kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi (muraqabah), dan mengikhlaskan semua amalan untuk-Nya. (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz 16/246-247). KETUJUH: Pembinaan umat untuk mengetahui pengertian persatuan yang benar.  Perbedaan antara manusia yang kaya, fakir miskin, warna kulit, dan ras tidak tampak jelas dalam pelaksanaan haji. Karena semua mengarah ke satu tujuan yaitu kepada Sang Maha Pencipta. Mereka memakai pakaian yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pada waktu serta tempat yang sama. Selain itu, juga terbentuk kerja sama di antara jemaah haji dalam hal kebaikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini semua tentunya membina umat supaya bersatu di atas ibadah kepada Allah Ta’ala. Haji dapat mendidik jiwa dengan ruh militer dengan semua yang dibutuhkannya berupa kesabaran dan tahan banting. Mereka bekerja sama dengan aturan dan disiplin yang kokoh. Lihatlah para jemaah haji yang bersabar dan bertahan dari kesusahan safar, hingga berkumpul seluruhnya di kota Makkah, tanah suci Allah. Kemudian mereka semua berangkat dalam keadaan demikian dari bulan Dzulhijjah untuk menunaikan manasik dan menetap, serta bergerak secara serentak dengan penuh kegembiraan. Di sanalah hilang perbedaan antar manusia, hilang perbedaan antara kaya dan fakir, ras, warna, serta perbedaan lisan dan bahasa. Manusia bersatu pada muktamar yang semuanya kebaikan, keberkahan, penuh musyawarah, bekerja sama melaksanakan kebaikan, serta saling menguatkan. Muktamar haji menyatukan manusia di atas kebenaran dan takwa, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta kurang tidur untuk kemaslahatan umat. Dalam haji ada kenangan-kenangan indah tak terlupakan. Ruh ibadah sempurna yang tertanam dalam jiwa dan ketundukan yang tak terbatas terhadap perintah Allah dan syariat-Nya. Haji membina setiap muslim untuk mengetahui betapa indah dan urgennya persatuan. Di antara yang memberikan pengetahuan ini adalah: Berkumpulnya orang dari segenap penjuru dunia dan saling bertukar kasih sayang, cinta, dan saling mengenal di antara mereka. Juga nasihat, bimbingan, dan arahan kepada kebaikan yang sampai kepada mereka. Tampilnya kaum muslimin dengan satu penampilan di satu waktu dan tempat, serta amalan dan kondisi mereka. Semuanya berdiri di tempat-tempat Masya’ir di satu waktu, amalannya satu, keadaannya satu: menggunakan dua helai kain ihram serta ketundukan di hadapan Allah Ta’ala. (lihat Majmu’ al-Fataawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 24/241). Banyak hal lain yang mendorong kaum muslimin dapat merasakan persatuan dan keindahannya di waktu haji.  KEDELAPAN: Menunaikan kewajiban haji berisikan rasa syukur pada nikmat dan keselamatan badan.  Orang yang berhaji melaksanakan wukuf di Arafah, berdoa kepada Allah, memuji-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan memohon ampun atas semua dosanya. Dalam ibadah haji, seseorang menunaikan syukur atas dua nikmat, ia bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannya, dan menginfakkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 17/26-27 dan Majmu’ al-fatawaa wa Rasaa`il al-‘Utsaimin 24/239-240). Ibadah haji mengandung dua hikmah sekaligus, yaitu: Ibadah haji adalah manifestasi penghambaan serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang yang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh terhadap pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya. Ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridai oleh Allah ﷻ. KESEMBILAN: Memperoleh banyak kemanfaatan.  Menyaksikan dan memperoleh manfaat termasuk di antara hikmah dan tujuan pensyariatan haji, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. Al-Hajj: 27-28). Manfaat dari ibadah haji meliputi manfaat agama dan duniawi. Di antara manfaat agama yang diperoleh orang yang berhaji adalah: Mendapatkan ampunan dosa, serta penghapusan dosa dan keburukan yang telah lalu, berdasarkan sabda beliau: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350). Masuk surga berdasarkan keumuman sabda beliau: «الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ» “Haji yang mabrur tidak ada baginya balasan kecuali surga.” (HR al-Bukhari no. 1773). Memperoleh ketakwaan, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Adapun manfaat duniawi yang diperoleh orang yang berhaji, di antaranya adalah: Memperoleh daging hadyu dan sembelihan lainnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”. (QS. Al-hajj: 33). Hasil usaha perdagangan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198). Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:   كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا كَانَ الإِسْلَامُ، فَكَأَنَّهُمْ تَأَثَّمُوا فِيهِ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} [البقرة: 198] فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ. “Dahulu, ‘Ukaazh, Mujannah, dan Dzu al-Majaaz adalah pasar-pasar di masa jahiliah. Ketika ada Islam, seakan-akan mereka merasa berdosa. Lalu turunlah firman Allah yang artinya, ‘Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (QS. Al-Baqarah:198) di musim Haji.” (Shahih al-Bukhari no. 2050). Ibnu Qudaamah berkata, “Adapun perniagaan dan usaha industri, maka tidak kami ketahui dalam kebolehannya perbedaan pendapat.” (Al-Mughni 5/174). Terwujudnya solidaritas dan empati kepada orang-orang fakir miskin berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28) Asy-Syinqithy berkata, “Di antara manfaatnya adalah kemudahan berkumpulnya kaum muslimin dari penjuru dunia di waktu-waktu tertentu di tempat tertentu agar merasakan persatuan Islam dan agar memudahkan sebagiannya mendapatkan manfaat dari yang lainnya pada semua kepentingan umum dari perkara dunia dan agama. Maka haji adalah pensyariatan agung dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Adh-wa’ al-Bayaan 5/536). Tentunya, masih banyak lagi manfaat yang dapat diraih oleh orang yang berhaji dan yang terlibat dalam ibadah ini. Wallahu a’lam. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 325 times, 1 visit(s) today Post Views: 436 QRIS donasi Yufid
Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: ﵟوَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27) Perintah Allah ini memiliki banyak kemaslahatan besar bagi manusia, di antaranya saling mengenal, bekerja sama, menasihati dalam kebenaran, belajar memahami agama, meninggikan kalimat Allah, menegakkan tauhid, dan sebagainya. Sehingga pensyariatan haji kepada setiap muslim di seluruh dunia termasuk rahmat Allah yang sangat besar. Apalagi ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan disyaratkan kemampuan padanya. Ini semua termasuk kemudahan dan nikmat yang besar. Sebab, bila diwajibkan setiap tahun atau tidak disyaratkan adanya kemampuan maka akan menimbulkan kesulitan besar bagi umat ini. Pensyariatan haji memiliki hikmah yang dapat memotivasi setiap muslim untuk menunaikannya, di antaranya:  PERTAMA: Mewujudkan tauhid dan menanamkan keikhlasan kepada Allah. Allah tidak memerintahkan pembangunan Ka’bah kecuali untuk hal tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 26-27) Menyucikan Ka’bah dilakukan dengan menyucikannya dari kesyirikan, berhala, kotoran, dan noda. Ibnu Katsir menjelaskan pengertian ayat ini dengan menyatakan, “Laksanakanlah di atas nama-Ku saja dan sucikanlah rumah-Ku dari kesyirikan bagi orang-orang yang tawaf, beribadah, rukuk dan sujud, serta menjadikannya hanya untuk mereka yang beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/413). Hubungan antara tauhid dengan haji sangat jelas. Karena seluruh amalan manasik dibangun di atas dasar tauhid. Banyak sekali alasan yang menjelaskan eratnya hubungan tauhid dan haji ini, di antaranya: Nabi tidak berhaji pada tahun kesembilan ketika diwajibkan haji. Hal tersebut dikarenakan kesyirikan masih tampak pengaruhnya di Masjid al-Haram. Saat itu, kaum musyrikin masih bertawaf dengan telanjang. Mereka juga memindahkan haji ke musim atau hari perayaan berhala. Kemudian Nabi ﷺ mengutus Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amir haji dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepada orang-orang dua perkara: لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ Tidak boleh berhaji setelah tahun itu seorang musyrik pun dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan telanjang. (HR al-Bukhari no. 369 dan 1622 dan Muslim no. 1347).  Syiar orang berhaji sejak awal adalah talbiah. Talbiah tidak keluar dari mengucapkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya. Jabir bin Abdillah menjelaskan tata cara haji Nabi ﷺ: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ “‌لَبَّيْكَ ‌اللَّهُمَّ! ‌لَبَّيْكَ. ‌لَبَّيْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ ‌لَبَّيْكَ. ‌إِنَّ ‌الْحَمْدَ ‌وَالنِّعْمَةَ ‌لَكَ. ‌وَالْمُلْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ”. “Beliau bertalbiah dengan tauhid, mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Inna al-Hamda wa an-Nikmata Laka wa al-Mulka Laa Syarikalaka.” (HR Muslim no. 1218). Allah telah menghendaki talbiah dengan syiar ini untuk mengajarkan orang yang berhaji supaya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan meninggalkan berhala serta kesyirikan. An-Nawawi menyatakan, “Berisikan isyarat menyelisihi keadaan jahiliah yang di dalam talbiahnya terdapat lafaz kesyirikan. (Syarh Shahih Muslim 8/174). Syaikh bin Baz berkata, “Haji seluruhnya adalah ajakan bertauhid, istikamah di atas agama Islam, dan konsisten berada di atas ajaran Rasulullah ﷺ. Tujuan terbesarnya adalah membimbing manusia untuk bertauhid, ikhlas, serta mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ berupa kebenaran, petunjuk dalam haji, dan selainnya. Talbiah adalah amalan pertama yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji dan umrah. Ia  menyatakan Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik. Ia menyampaikan ketauhidan, keikhlasan kepada Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya sama sekali.” (Majmu’ Fataawa Syaikh bin Baaz 16/186).  Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ salat dua rakaat setelah tawaf dengan membaca dua surat: al-Kafirun dan al-Ikhlas. Surat al-Kafirun menjelaskan sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, sedangkan surat al-Ikhlas menjelaskan ketetapan tauhid.  Nabi memulai dengan menauhidkan Allah ketika naik ke bukit Shafa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir: حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ … ». “Hingga beliau melihat Ka’bah lalu menghadap kiblat, dan menauhidkan Allah dan bertakbir, dan berkata, ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir, laa ilaha illallahu wahdah anjaza wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaba wahdah…’” Tidak hanya di putaran pertama saja, bahkan beliau mengucapkannya pada setiap putaran sai. Pada hari Arafah, Nabi ﷺ pernah menjelaskan dalam sabda beliau, «الحَجُّ عَرَفَةُ» (haji itu adalah Arafah). Allah Ta’ala berbangga-bangga kepada para malaikat dengan orang yang berada di Arafah karena tauhid mereka. Rasulullah ﷺ bersabda: «مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ- مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟». “Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Dia mendekat kemudian berbangga-bangga kepada malaikat dan berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan?’” Allah Ta’ala memerintahkan orang yang berhaji dan berumrah supaya melaksanakannya dengan penuh ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ  “Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah:196).  Semua ini menunjukkan bahwa mewujudkan tauhid menjadi maksud dan hikmah terpenting.  KEDUA: Menampakkan kefakiran hamba kepada Allah.  Orang yang berhaji berarti menjauhkan diri dari kemewahan dan perhiasan. Ia hanya mengenakan pakaian ihram yang terbebas dari perhiasannya, sehingga menampakkan ketidakmampuan dan kemiskinannya. Di tengah manasik, ia merendahkan diri dengan berdoa kepada Allah, merasa butuh kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, dan mematuhi semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang diketahui hikmahnya atau tidak. As-Sa’di berkata, “Maksud dari haji adalah merendahkan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan semua ibadah yang dilakukan serta meninggalkan keburukan. Dengan demikian, ia akan meraih haji mabrur. Dan haji mabrur tidak dibalas kecuali dengan surga. Setiap keburukan itu terlarang pada semua tempat dan waktu, dan larangannya menjadi lebih berat pada saat haji.” (Tafsir as-Sa’di 1/92). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Melempar jamrah pada hakikatnya menjadi puncak ta’abbud dan menghinakan diri kepada Allah Ta’ala. Seseorang tidak mengetahui hikmah dari melempar jamrah di tempat tersebut, sehingga hal itu murni ibadah kepada Allah Ta’ala. Seseorang yang tetap berada pada ketaatan meski dalam keadaan tidak mengetahui hikmahnya maka lebih tegas dalam menghinakan diri dan ibadah. Karena ibadah itu, ada yang hikmahnya telah nampak sehingga seseorang beribadah kepada Allah dan menaati-Nya kemudian mengikuti yang diketahuinya dari maslahat-maslahat yang ada. Selain itu, ada pula ibadah yang tidak diketahui hikmahnya. Namun, karena Allah Ta’ala memerintahkannya maka ia melaksanakannya. Maka ini adalah puncak perendahan diri dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya.” (Fataawa Nuur ‘Ala ad-Darb 12/2).  KETIGA: Mewujudkan ketakwaan kepada Allah.   Di antara hikmah dan maksud haji adalah mewujudkan ketakwaan sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah:197). Setelah melarang berbuat buruk dalam perkataan dan perbuatan, seperti ucapan buruk, kefasikan, dan berbantah-bantahan, Allah menganjurkan mereka untuk berbuat kebaikan. Dan Allah menyatakan dalam firman-Nya: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Lalu Allah berfirman:  وَتَزَوَّدُوا “Berbekallah,” (QS. Al-Baqarah: 197) Berbekallah kalian dalam perjalanan haji berupa makanan dan semua yang dibutuhkan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} “Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal.’ Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah turunkan firmanNya: وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197). Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah kalian berupa makanan pokok supaya mampu melaksanakan kewajiban dalam haji dan manasik. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah yaitu tidak berbekal untuk diri kalian, meminta-minta kepada manusia, serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok. Namun, kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161). Berbekal yang banyak dalam safar termasuk akhlak mulia. Sebab, dapat membantu saudaranya dengan bekal tersebut dan memberi makan mereka. Memberi makan termasuk perbuatan baik, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).  Apabila Allah memerintahkan untuk berbekal berupa makanan dan minuman dalam safar di dunia, Allah juga membimbing kita supaya berbekal dalam safar akhirat dengan takwa. Takwa adalah sebaik-baik perbekalan. Inilah bekal yang akan mengantarkan kepada keridaan Allah dan kenikmatan abadi di surga pada hari kiamat nanti. Ayat di atas juga memperingatkan kita agar memperhatikan bekal akhirat, yaitu takwa sebagai poros keselamatan dan satu-satunya jalan untuk meraih anugerah Allah. Ketakwaan akan melindungi pemiliknya dari penyesalan di hari kiamat. Lalu Allah mengakhiri ayat ini dengan perintah takwa; وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “Bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Lalu Allah mengkhususkan orang-orang yang berakal, karena merekalah yang dapat mengambil manfaat dari firman-Nya. Allah banyak mengulang kalimat takwa dalam ayat-ayat haji, seperti firman-Nya: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah:196). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196). Demikian juga firman-Nya: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى  “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 203). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203). Semua itu karena takwa adalah perkara yang dituntut dari ibadah haji. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia tidak meridai satu amalan pun pada ibadah haji kecuali yang disertai dengan ketakwaan dalam firman-Nya: لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Daging dan darah yang ditumpahkan dalam ibadah kurban tidak diterima kecuali yang didasari oleh ketakwaan hati yang menimbulkan pengagungan terhadap perintah Allah, dan mendekatkan diri, serta ikhlas kepada-Nya. As-Sa’di berkata, “Bukan yang dimaksud darinya adalah semata penyembelihan saja. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah sedikit pun, karena Allah Maha Kaya dan Terpuji. Akan tetapi, keikhlasan, mencari pahala, dan niat yang benar dari kamulah yang dapat mencapainya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Ayat ini berisi anjuran dan motivasi untuk ikhlas dalam penyembelihan, sehingga tujuannya hanya mengharap wajah Allah saja tanpa ada kebanggaan, riya’, sum’ah, dan bukan sekadar kebiasaan. Demikianlah seluruh ibadah, apabila tidak disertai keikhlasan dan ketakwaan maka ia seperti kulit yang tidak ada isinya, dan jasad tanpa ruh. (Tafsir as-Sa’di halaman 538).  KEEMPAT: Memperbanyak berzikir dan berdoa kepada Allah termasuk hikmah dan maksud syariat yang terbesar. Zikir dan doa selalu ada dalam ibadah haji, baik sebelum, ketika pelaksanaan, ataupun paska pelaksanaan manasik haji. Oleh karena itu, tidak ada amalan haji kecuali ada zikir dan doa di dalamnya. Ihram yang merupakan niat masuk ibadah haji juga berisi zikir dengan hati. Talbiah setelah berihram adalah zikir dengan lisan dan hati yang disunahkan dilakukan terus-menerus secara konsisten dan tidak terputus kecuali ketika melempar jamrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian, tawaf dimulai dengan bertakbir, dan setiap sejajar dengan Hajar Aswad juga bertakbir. Setelah tawaf, orang yang berhaji berjalan menuju Maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Selesai tawaf, orang yang berhaji menuju bukit Shafa untuk menaikinya. Ia berzikir dan berdoa di sana, yakni dari sebelum menaikinya, saat berada di atasnya, dan setelah turunnya menuju Marwa. Jabir bin Abdillah menceritakan, فَلَمَّا دَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الصَّفَا قَرَأَ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} [البقرة: 158] «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». فَبَدَأَ بِالصَّفَا فَرَقِيَ عَلَيْهِ، حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ» ثُمَّ دَعَا بَيْنَ ذَلِكَ. قَالَ مِثْلَ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، “Ketika Rasulullah mendekat dari Shafa, beliau membaca: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ lalu memulai menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah. Kemudian beliau menghadap kiblat, mentauhidkan Allah, dan bertakbir, serta berkata,  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ Kemudian berdoa di antaranya. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Muslim no. 1218).  Pada hari Arafah, dianjurkan untuk memperbanyak zikir, talbiah, takbir, dan doa. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jabir: ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ، فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ، إِلَى الصَّخَرَاتِ، وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ، ‌وَاسْتَقْبَلَ ‌الْقِبْلَةَ، ‌فَلَمْ ‌يَزَلْ ‌وَاقِفًا، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا، حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ،  “Kemudian Rasulullah menaiki kendaraannya hingga sampai tempat wukuf. Beliau jadikan perut untanya menghadap ke bukit batu (ash-Shakhra`) dan menjadikan jalan pejalan kaki di hadapannya, kemudian menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam dan warna kuningnya hilang sedikit hingga bulatannya tenggelam.” (HR. Muslim no. 3074). Di Muzdalifah, disunahkan wukuf di al-Masy’ar al-Haram. Beliau menghadap kiblat, berzikir, dan berdoa. Allah berfirman: فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafat) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 198-200). Apabila kalian berangkat dari Arafah (setelah wukuf) dan sampai di Muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di al-Masy’ar al-Haram dengan talbiah, takbir, salat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Lalu, berzikir dan berdoalah setelah salat Shubuh. Jaabir bercerita: ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ، حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ، فَرَقِيَ عَلَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ، وَكَبَّرَهُ، وَهَلَّلَهُ، فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا، حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا، ثُمَّ دَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ “Kemudian mengendarai Qashwa (unta beliau) hingga mendatangi al-Masy’ari al-Haram lalu menghadap kiblat dan berdoa, berzikir, bertahlil, mentauhidkan Allah, dan terus wukuf hingga langit menguning sekali lalu berangkat sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no. 3074). Kemudian berangkat ke Mina untuk melempar jamrah aqabah dengan tujuh batuan kecil, dan bertakbir pada setiap lemparannya. Dan disunahkan setelah melempar jamrah shughra dan wustho supaya berhenti sebentar, lantas menghadap kiblat seraya berdoa kepada Allah. Kemudian, saat proses penyembelihan kurban, diperitahkan agar berzikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman: وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).” (QS. Al-Hajj: 36). Yang dimaksud dengan zikir di sini adalah mengucapkan bismillah dalam penyembelihan. Sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah: وَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: «بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.  “Rasulullah mengambil kambing lalu merobohkannya dan menyembelihnya dengan berkata, ‘Bismillah, Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad’.” (HR. Muslim no.1967). Jelas, bahwa ini adalah bentuk zikir dan doa. Kemudian, berkaitan dengan hari-hari Tasyrik, Rasulullah bersabda: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ عز وجل “Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan zikir kepada Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih dalam al-Musnad no. 20722). Allah Ta’ala memerintahkan untuk memperbanyak zikir setelah selesai melaksanakan manasik dalam firman-Nya: فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200). Karena orang-orang jahiliah dahulu apabila selesai dari haji, mereka berkumpul lalu berbangga-bangga dengan kehebatan nenek moyangnya. Lalu Allah perintahkan orang-orang Islam apabila selesai manasik haji untuk memperbanyak zikir melebihi mereka. Di akhir ayat ini, Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk berdoa setelah memperbanyak zikir, karena itu lebih pantas untuk diterima. Allah mencela orang yang sedikit berdoa saat haji lantaran sibuk meraih perhiasan dunia dan kelezatan yang fana`. Dan Allah memuji orang yang meminta kepada-Nya kebaikan dunia dan akhirat. Lihatlah firman-Nya: فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Al-Baqarah: 200-201). Zikir selalu menyertai amalan haji. Setelah selesai semua amalan haji, jemaah haji berzikir. Setelah selesai ihram, mereka berzikir. Ketika tawaf dan melempar jamrah, mereka bertakbir. Mereka juga menyebut nama Allah pada penyembelihan di hari Nahr. Setelah selesai dari semua manasik haji, dan bahkan seluruh waktu mereka juga dipenuhi dengan zikir dan doa. (Diadaptasi secara bebas dari at-Tashiil Lita’wil al-Tanziil 3/239). KELIMA: Membina dan menyucikan diri dengan cara bersegera melaksanakan ketaatan serta menjauhi keburukan. Di antara hikmah dan tujuan syariat dalam ibadah haji adalah menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak tercela dan membinanya hingga meraih hakikat takwa. Allah berfirman: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Pengertian rafats adalah berhubungan seksual dengan istri dan hal-hal yang mengarah kepadanya, atau pembicaraan kotor. Adapun al-fusuq adalah semua kemaksiatan. Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan yang dapat membuat emosi, pertengkaran, dan permusuhan. As-Sa’di menafsirkan ayat-ayat ini dengan menyatakan, “Diwajibkan untuk mengagungkan ihram khususnya yang ada di bulan-bulan haji dan menjaganya dari semua perkara yang merusak berupa rafats yaitu hubungan suami istri dan seputarnya baik berupa perbuatan atau perkataan, khususnya ketika ada kaum wanita. Fusuq adalah seluruh kemaksiatan, di antaranya yaitu hal-hal yang terlarang dalam ihram (mahzhuraat al-ihram). Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan, bertengkar, dan ucapan yang dapat menimbulkan keburukan hingga permusuhan. Ketahuilah, bahwa tidak sempurna pendekatan diri kepada Allah hanya dengan meninggalkan kemaksiatan saja hingga ia juga melaksanakan perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  ‘Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.’ (QS. Al-Baqarah: 197). Allah Ta’ala menggunakan kata (من) untuk menegaskan keumumannya. Setiap kebaikan dan ibadah, Allah mengetahuinya. Ayat ini berisi anjuran yang sangat untuk berbuat kebaikan, khususnya di tempat yang mulia dan tanah suci. Dan sudah sepatutnya meraih yang dapat diraih di sana, seperti shalat, puasa, sedekah, tawaf, dan perbuatan serta perkataan baik.” (Tafsir as-Sa’di halaman 91). Haji yang bebas dari rafats, fusuq, dan jidal ini adalah haji mabrur yang menjadi sebab ampunan dosa, berdasarkan sabda Rasulullah: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350).  KEENAM: Dalam haji ada pengingat akhirat dan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat nanti. Di Masya’ir, baik di Mina, Muzdalifah, dan Arafah terhimpun manusia dari beraneka ragam jenis dan ras. Mereka mengenakan pakaian yang sama dan dalam keadaan kepala terbuka seraya bertalbiah, memenuhi panggilan Allah Ta’ala. Ini adalah realitas yang menyerupai berdirinya manusia di hadapan Allah pada hari kiamat, yaitu dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, dan tidak berkhitan. Pada saat itu, manusia merasakan ketakutan, penyesalan, dan kengerian. Hal tersebut menjadi motivasi guna membangkitkan jiwa orang yang berhaji supaya takut kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi (muraqabah), dan mengikhlaskan semua amalan untuk-Nya. (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz 16/246-247). KETUJUH: Pembinaan umat untuk mengetahui pengertian persatuan yang benar.  Perbedaan antara manusia yang kaya, fakir miskin, warna kulit, dan ras tidak tampak jelas dalam pelaksanaan haji. Karena semua mengarah ke satu tujuan yaitu kepada Sang Maha Pencipta. Mereka memakai pakaian yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pada waktu serta tempat yang sama. Selain itu, juga terbentuk kerja sama di antara jemaah haji dalam hal kebaikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini semua tentunya membina umat supaya bersatu di atas ibadah kepada Allah Ta’ala. Haji dapat mendidik jiwa dengan ruh militer dengan semua yang dibutuhkannya berupa kesabaran dan tahan banting. Mereka bekerja sama dengan aturan dan disiplin yang kokoh. Lihatlah para jemaah haji yang bersabar dan bertahan dari kesusahan safar, hingga berkumpul seluruhnya di kota Makkah, tanah suci Allah. Kemudian mereka semua berangkat dalam keadaan demikian dari bulan Dzulhijjah untuk menunaikan manasik dan menetap, serta bergerak secara serentak dengan penuh kegembiraan. Di sanalah hilang perbedaan antar manusia, hilang perbedaan antara kaya dan fakir, ras, warna, serta perbedaan lisan dan bahasa. Manusia bersatu pada muktamar yang semuanya kebaikan, keberkahan, penuh musyawarah, bekerja sama melaksanakan kebaikan, serta saling menguatkan. Muktamar haji menyatukan manusia di atas kebenaran dan takwa, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta kurang tidur untuk kemaslahatan umat. Dalam haji ada kenangan-kenangan indah tak terlupakan. Ruh ibadah sempurna yang tertanam dalam jiwa dan ketundukan yang tak terbatas terhadap perintah Allah dan syariat-Nya. Haji membina setiap muslim untuk mengetahui betapa indah dan urgennya persatuan. Di antara yang memberikan pengetahuan ini adalah: Berkumpulnya orang dari segenap penjuru dunia dan saling bertukar kasih sayang, cinta, dan saling mengenal di antara mereka. Juga nasihat, bimbingan, dan arahan kepada kebaikan yang sampai kepada mereka. Tampilnya kaum muslimin dengan satu penampilan di satu waktu dan tempat, serta amalan dan kondisi mereka. Semuanya berdiri di tempat-tempat Masya’ir di satu waktu, amalannya satu, keadaannya satu: menggunakan dua helai kain ihram serta ketundukan di hadapan Allah Ta’ala. (lihat Majmu’ al-Fataawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 24/241). Banyak hal lain yang mendorong kaum muslimin dapat merasakan persatuan dan keindahannya di waktu haji.  KEDELAPAN: Menunaikan kewajiban haji berisikan rasa syukur pada nikmat dan keselamatan badan.  Orang yang berhaji melaksanakan wukuf di Arafah, berdoa kepada Allah, memuji-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan memohon ampun atas semua dosanya. Dalam ibadah haji, seseorang menunaikan syukur atas dua nikmat, ia bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannya, dan menginfakkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 17/26-27 dan Majmu’ al-fatawaa wa Rasaa`il al-‘Utsaimin 24/239-240). Ibadah haji mengandung dua hikmah sekaligus, yaitu: Ibadah haji adalah manifestasi penghambaan serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang yang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh terhadap pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya. Ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridai oleh Allah ﷻ. KESEMBILAN: Memperoleh banyak kemanfaatan.  Menyaksikan dan memperoleh manfaat termasuk di antara hikmah dan tujuan pensyariatan haji, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. Al-Hajj: 27-28). Manfaat dari ibadah haji meliputi manfaat agama dan duniawi. Di antara manfaat agama yang diperoleh orang yang berhaji adalah: Mendapatkan ampunan dosa, serta penghapusan dosa dan keburukan yang telah lalu, berdasarkan sabda beliau: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350). Masuk surga berdasarkan keumuman sabda beliau: «الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ» “Haji yang mabrur tidak ada baginya balasan kecuali surga.” (HR al-Bukhari no. 1773). Memperoleh ketakwaan, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Adapun manfaat duniawi yang diperoleh orang yang berhaji, di antaranya adalah: Memperoleh daging hadyu dan sembelihan lainnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”. (QS. Al-hajj: 33). Hasil usaha perdagangan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198). Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:   كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا كَانَ الإِسْلَامُ، فَكَأَنَّهُمْ تَأَثَّمُوا فِيهِ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} [البقرة: 198] فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ. “Dahulu, ‘Ukaazh, Mujannah, dan Dzu al-Majaaz adalah pasar-pasar di masa jahiliah. Ketika ada Islam, seakan-akan mereka merasa berdosa. Lalu turunlah firman Allah yang artinya, ‘Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (QS. Al-Baqarah:198) di musim Haji.” (Shahih al-Bukhari no. 2050). Ibnu Qudaamah berkata, “Adapun perniagaan dan usaha industri, maka tidak kami ketahui dalam kebolehannya perbedaan pendapat.” (Al-Mughni 5/174). Terwujudnya solidaritas dan empati kepada orang-orang fakir miskin berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28) Asy-Syinqithy berkata, “Di antara manfaatnya adalah kemudahan berkumpulnya kaum muslimin dari penjuru dunia di waktu-waktu tertentu di tempat tertentu agar merasakan persatuan Islam dan agar memudahkan sebagiannya mendapatkan manfaat dari yang lainnya pada semua kepentingan umum dari perkara dunia dan agama. Maka haji adalah pensyariatan agung dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Adh-wa’ al-Bayaan 5/536). Tentunya, masih banyak lagi manfaat yang dapat diraih oleh orang yang berhaji dan yang terlibat dalam ibadah ini. Wallahu a’lam. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 325 times, 1 visit(s) today Post Views: 436 QRIS donasi Yufid


Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana mensyariatkan ibadah haji kepada hamba-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: ﵟوَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27) Perintah Allah ini memiliki banyak kemaslahatan besar bagi manusia, di antaranya saling mengenal, bekerja sama, menasihati dalam kebenaran, belajar memahami agama, meninggikan kalimat Allah, menegakkan tauhid, dan sebagainya. Sehingga pensyariatan haji kepada setiap muslim di seluruh dunia termasuk rahmat Allah yang sangat besar. Apalagi ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan disyaratkan kemampuan padanya. Ini semua termasuk kemudahan dan nikmat yang besar. Sebab, bila diwajibkan setiap tahun atau tidak disyaratkan adanya kemampuan maka akan menimbulkan kesulitan besar bagi umat ini. Pensyariatan haji memiliki hikmah yang dapat memotivasi setiap muslim untuk menunaikannya, di antaranya:  PERTAMA: Mewujudkan tauhid dan menanamkan keikhlasan kepada Allah. Allah tidak memerintahkan pembangunan Ka’bah kecuali untuk hal tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 26-27) Menyucikan Ka’bah dilakukan dengan menyucikannya dari kesyirikan, berhala, kotoran, dan noda. Ibnu Katsir menjelaskan pengertian ayat ini dengan menyatakan, “Laksanakanlah di atas nama-Ku saja dan sucikanlah rumah-Ku dari kesyirikan bagi orang-orang yang tawaf, beribadah, rukuk dan sujud, serta menjadikannya hanya untuk mereka yang beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat kesyirikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/413). Hubungan antara tauhid dengan haji sangat jelas. Karena seluruh amalan manasik dibangun di atas dasar tauhid. Banyak sekali alasan yang menjelaskan eratnya hubungan tauhid dan haji ini, di antaranya: Nabi tidak berhaji pada tahun kesembilan ketika diwajibkan haji. Hal tersebut dikarenakan kesyirikan masih tampak pengaruhnya di Masjid al-Haram. Saat itu, kaum musyrikin masih bertawaf dengan telanjang. Mereka juga memindahkan haji ke musim atau hari perayaan berhala. Kemudian Nabi ﷺ mengutus Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amir haji dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepada orang-orang dua perkara: لَا يَحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ، وَلَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ Tidak boleh berhaji setelah tahun itu seorang musyrik pun dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan telanjang. (HR al-Bukhari no. 369 dan 1622 dan Muslim no. 1347).  Syiar orang berhaji sejak awal adalah talbiah. Talbiah tidak keluar dari mengucapkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya. Jabir bin Abdillah menjelaskan tata cara haji Nabi ﷺ: فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ “‌لَبَّيْكَ ‌اللَّهُمَّ! ‌لَبَّيْكَ. ‌لَبَّيْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ ‌لَبَّيْكَ. ‌إِنَّ ‌الْحَمْدَ ‌وَالنِّعْمَةَ ‌لَكَ. ‌وَالْمُلْكَ ‌لَا ‌شَرِيكَ ‌لَكَ”. “Beliau bertalbiah dengan tauhid, mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik Inna al-Hamda wa an-Nikmata Laka wa al-Mulka Laa Syarikalaka.” (HR Muslim no. 1218). Allah telah menghendaki talbiah dengan syiar ini untuk mengajarkan orang yang berhaji supaya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan meninggalkan berhala serta kesyirikan. An-Nawawi menyatakan, “Berisikan isyarat menyelisihi keadaan jahiliah yang di dalam talbiahnya terdapat lafaz kesyirikan. (Syarh Shahih Muslim 8/174). Syaikh bin Baz berkata, “Haji seluruhnya adalah ajakan bertauhid, istikamah di atas agama Islam, dan konsisten berada di atas ajaran Rasulullah ﷺ. Tujuan terbesarnya adalah membimbing manusia untuk bertauhid, ikhlas, serta mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ berupa kebenaran, petunjuk dalam haji, dan selainnya. Talbiah adalah amalan pertama yang dilaksanakan oleh orang yang berhaji dan umrah. Ia  menyatakan Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik. Ia menyampaikan ketauhidan, keikhlasan kepada Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya sama sekali.” (Majmu’ Fataawa Syaikh bin Baaz 16/186).  Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ salat dua rakaat setelah tawaf dengan membaca dua surat: al-Kafirun dan al-Ikhlas. Surat al-Kafirun menjelaskan sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, sedangkan surat al-Ikhlas menjelaskan ketetapan tauhid.  Nabi memulai dengan menauhidkan Allah ketika naik ke bukit Shafa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jabir: حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ … ». “Hingga beliau melihat Ka’bah lalu menghadap kiblat, dan menauhidkan Allah dan bertakbir, dan berkata, ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir, laa ilaha illallahu wahdah anjaza wa’dah wa nashoro ‘abdah wa hazamal ahzaba wahdah…’” Tidak hanya di putaran pertama saja, bahkan beliau mengucapkannya pada setiap putaran sai. Pada hari Arafah, Nabi ﷺ pernah menjelaskan dalam sabda beliau, «الحَجُّ عَرَفَةُ» (haji itu adalah Arafah). Allah Ta’ala berbangga-bangga kepada para malaikat dengan orang yang berada di Arafah karena tauhid mereka. Rasulullah ﷺ bersabda: «مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ- مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟». “Tidak ada hari di mana Allah membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Dia mendekat kemudian berbangga-bangga kepada malaikat dan berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan?’” Allah Ta’ala memerintahkan orang yang berhaji dan berumrah supaya melaksanakannya dengan penuh ikhlas. Allah Ta’ala berfirman: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ  “Sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah:196).  Semua ini menunjukkan bahwa mewujudkan tauhid menjadi maksud dan hikmah terpenting.  KEDUA: Menampakkan kefakiran hamba kepada Allah.  Orang yang berhaji berarti menjauhkan diri dari kemewahan dan perhiasan. Ia hanya mengenakan pakaian ihram yang terbebas dari perhiasannya, sehingga menampakkan ketidakmampuan dan kemiskinannya. Di tengah manasik, ia merendahkan diri dengan berdoa kepada Allah, merasa butuh kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, dan mematuhi semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang diketahui hikmahnya atau tidak. As-Sa’di berkata, “Maksud dari haji adalah merendahkan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan semua ibadah yang dilakukan serta meninggalkan keburukan. Dengan demikian, ia akan meraih haji mabrur. Dan haji mabrur tidak dibalas kecuali dengan surga. Setiap keburukan itu terlarang pada semua tempat dan waktu, dan larangannya menjadi lebih berat pada saat haji.” (Tafsir as-Sa’di 1/92). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Melempar jamrah pada hakikatnya menjadi puncak ta’abbud dan menghinakan diri kepada Allah Ta’ala. Seseorang tidak mengetahui hikmah dari melempar jamrah di tempat tersebut, sehingga hal itu murni ibadah kepada Allah Ta’ala. Seseorang yang tetap berada pada ketaatan meski dalam keadaan tidak mengetahui hikmahnya maka lebih tegas dalam menghinakan diri dan ibadah. Karena ibadah itu, ada yang hikmahnya telah nampak sehingga seseorang beribadah kepada Allah dan menaati-Nya kemudian mengikuti yang diketahuinya dari maslahat-maslahat yang ada. Selain itu, ada pula ibadah yang tidak diketahui hikmahnya. Namun, karena Allah Ta’ala memerintahkannya maka ia melaksanakannya. Maka ini adalah puncak perendahan diri dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya.” (Fataawa Nuur ‘Ala ad-Darb 12/2).  KETIGA: Mewujudkan ketakwaan kepada Allah.   Di antara hikmah dan maksud haji adalah mewujudkan ketakwaan sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah:197). Setelah melarang berbuat buruk dalam perkataan dan perbuatan, seperti ucapan buruk, kefasikan, dan berbantah-bantahan, Allah menganjurkan mereka untuk berbuat kebaikan. Dan Allah menyatakan dalam firman-Nya: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197).  Lalu Allah berfirman:  وَتَزَوَّدُوا “Berbekallah,” (QS. Al-Baqarah: 197) Berbekallah kalian dalam perjalanan haji berupa makanan dan semua yang dibutuhkan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّونَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ المُتَوَكِّلُونَ. فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى} “Dahulu penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal dan mereka menyatakan, ‘Kami bertawakal.’ Apabila sampai Makkah mereka mengemis pada orang-orang. Lalu Allah turunkan firmanNya: وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197). Ibnu Jarir berkata, “Berbekallah kalian berupa makanan pokok supaya mampu melaksanakan kewajiban dalam haji dan manasik. Bukan termasuk berbuat baik kepada Allah yaitu tidak berbekal untuk diri kalian, meminta-minta kepada manusia, serta menyia-nyiakan dan merusak bahan makanan pokok. Namun, kebaikan itu ada pada ketakwaan kepada Rabb kalian dengan meninggalkan semua larangan-Nya dalam safar haji dan melaksanakan semua perintah-Nya. Karena itulah sebaik-baik bekal dan berbekallah darinya!” (Jaami’ al-Bayaan 4/161). Berbekal yang banyak dalam safar termasuk akhlak mulia. Sebab, dapat membantu saudaranya dengan bekal tersebut dan memberi makan mereka. Memberi makan termasuk perbuatan baik, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).  Apabila Allah memerintahkan untuk berbekal berupa makanan dan minuman dalam safar di dunia, Allah juga membimbing kita supaya berbekal dalam safar akhirat dengan takwa. Takwa adalah sebaik-baik perbekalan. Inilah bekal yang akan mengantarkan kepada keridaan Allah dan kenikmatan abadi di surga pada hari kiamat nanti. Ayat di atas juga memperingatkan kita agar memperhatikan bekal akhirat, yaitu takwa sebagai poros keselamatan dan satu-satunya jalan untuk meraih anugerah Allah. Ketakwaan akan melindungi pemiliknya dari penyesalan di hari kiamat. Lalu Allah mengakhiri ayat ini dengan perintah takwa; وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “Bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Lalu Allah mengkhususkan orang-orang yang berakal, karena merekalah yang dapat mengambil manfaat dari firman-Nya. Allah banyak mengulang kalimat takwa dalam ayat-ayat haji, seperti firman-Nya: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah:196). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196). Demikian juga firman-Nya: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى  “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 203). Diakhiri dengan firman-Nya: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203). Semua itu karena takwa adalah perkara yang dituntut dari ibadah haji. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia tidak meridai satu amalan pun pada ibadah haji kecuali yang disertai dengan ketakwaan dalam firman-Nya: لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Daging dan darah yang ditumpahkan dalam ibadah kurban tidak diterima kecuali yang didasari oleh ketakwaan hati yang menimbulkan pengagungan terhadap perintah Allah, dan mendekatkan diri, serta ikhlas kepada-Nya. As-Sa’di berkata, “Bukan yang dimaksud darinya adalah semata penyembelihan saja. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah sedikit pun, karena Allah Maha Kaya dan Terpuji. Akan tetapi, keikhlasan, mencari pahala, dan niat yang benar dari kamulah yang dapat mencapainya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ “Tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Ayat ini berisi anjuran dan motivasi untuk ikhlas dalam penyembelihan, sehingga tujuannya hanya mengharap wajah Allah saja tanpa ada kebanggaan, riya’, sum’ah, dan bukan sekadar kebiasaan. Demikianlah seluruh ibadah, apabila tidak disertai keikhlasan dan ketakwaan maka ia seperti kulit yang tidak ada isinya, dan jasad tanpa ruh. (Tafsir as-Sa’di halaman 538).  KEEMPAT: Memperbanyak berzikir dan berdoa kepada Allah termasuk hikmah dan maksud syariat yang terbesar. Zikir dan doa selalu ada dalam ibadah haji, baik sebelum, ketika pelaksanaan, ataupun paska pelaksanaan manasik haji. Oleh karena itu, tidak ada amalan haji kecuali ada zikir dan doa di dalamnya. Ihram yang merupakan niat masuk ibadah haji juga berisi zikir dengan hati. Talbiah setelah berihram adalah zikir dengan lisan dan hati yang disunahkan dilakukan terus-menerus secara konsisten dan tidak terputus kecuali ketika melempar jamrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian, tawaf dimulai dengan bertakbir, dan setiap sejajar dengan Hajar Aswad juga bertakbir. Setelah tawaf, orang yang berhaji berjalan menuju Maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya, berzikir, dan berdoa kepada Allah. Selesai tawaf, orang yang berhaji menuju bukit Shafa untuk menaikinya. Ia berzikir dan berdoa di sana, yakni dari sebelum menaikinya, saat berada di atasnya, dan setelah turunnya menuju Marwa. Jabir bin Abdillah menceritakan, فَلَمَّا دَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنَ الصَّفَا قَرَأَ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} [البقرة: 158] «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ». فَبَدَأَ بِالصَّفَا فَرَقِيَ عَلَيْهِ، حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَوَحَّدَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ، وَقَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ» ثُمَّ دَعَا بَيْنَ ذَلِكَ. قَالَ مِثْلَ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، “Ketika Rasulullah mendekat dari Shafa, beliau membaca: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ lalu memulai menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah. Kemudian beliau menghadap kiblat, mentauhidkan Allah, dan bertakbir, serta berkata,  لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ Kemudian berdoa di antaranya. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Muslim no. 1218).  Pada hari Arafah, dianjurkan untuk memperbanyak zikir, talbiah, takbir, dan doa. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jabir: ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ، فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ، إِلَى الصَّخَرَاتِ، وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ، ‌وَاسْتَقْبَلَ ‌الْقِبْلَةَ، ‌فَلَمْ ‌يَزَلْ ‌وَاقِفًا، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا، حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ،  “Kemudian Rasulullah menaiki kendaraannya hingga sampai tempat wukuf. Beliau jadikan perut untanya menghadap ke bukit batu (ash-Shakhra`) dan menjadikan jalan pejalan kaki di hadapannya, kemudian menghadap kiblat. Beliau terus wukuf hingga matahari terbenam dan warna kuningnya hilang sedikit hingga bulatannya tenggelam.” (HR. Muslim no. 3074). Di Muzdalifah, disunahkan wukuf di al-Masy’ar al-Haram. Beliau menghadap kiblat, berzikir, dan berdoa. Allah berfirman: فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafat) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 198-200). Apabila kalian berangkat dari Arafah (setelah wukuf) dan sampai di Muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di al-Masy’ar al-Haram dengan talbiah, takbir, salat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Lalu, berzikir dan berdoalah setelah salat Shubuh. Jaabir bercerita: ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ، حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ، فَرَقِيَ عَلَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ، وَكَبَّرَهُ، وَهَلَّلَهُ، فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا، حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا، ثُمَّ دَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ “Kemudian mengendarai Qashwa (unta beliau) hingga mendatangi al-Masy’ari al-Haram lalu menghadap kiblat dan berdoa, berzikir, bertahlil, mentauhidkan Allah, dan terus wukuf hingga langit menguning sekali lalu berangkat sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no. 3074). Kemudian berangkat ke Mina untuk melempar jamrah aqabah dengan tujuh batuan kecil, dan bertakbir pada setiap lemparannya. Dan disunahkan setelah melempar jamrah shughra dan wustho supaya berhenti sebentar, lantas menghadap kiblat seraya berdoa kepada Allah. Kemudian, saat proses penyembelihan kurban, diperitahkan agar berzikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman: وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).” (QS. Al-Hajj: 36). Yang dimaksud dengan zikir di sini adalah mengucapkan bismillah dalam penyembelihan. Sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah: وَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: «بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.  “Rasulullah mengambil kambing lalu merobohkannya dan menyembelihnya dengan berkata, ‘Bismillah, Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad’.” (HR. Muslim no.1967). Jelas, bahwa ini adalah bentuk zikir dan doa. Kemudian, berkaitan dengan hari-hari Tasyrik, Rasulullah bersabda: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ عز وجل “Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan zikir kepada Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih dalam al-Musnad no. 20722). Allah Ta’ala memerintahkan untuk memperbanyak zikir setelah selesai melaksanakan manasik dalam firman-Nya: فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200). Karena orang-orang jahiliah dahulu apabila selesai dari haji, mereka berkumpul lalu berbangga-bangga dengan kehebatan nenek moyangnya. Lalu Allah perintahkan orang-orang Islam apabila selesai manasik haji untuk memperbanyak zikir melebihi mereka. Di akhir ayat ini, Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk berdoa setelah memperbanyak zikir, karena itu lebih pantas untuk diterima. Allah mencela orang yang sedikit berdoa saat haji lantaran sibuk meraih perhiasan dunia dan kelezatan yang fana`. Dan Allah memuji orang yang meminta kepada-Nya kebaikan dunia dan akhirat. Lihatlah firman-Nya: فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Al-Baqarah: 200-201). Zikir selalu menyertai amalan haji. Setelah selesai semua amalan haji, jemaah haji berzikir. Setelah selesai ihram, mereka berzikir. Ketika tawaf dan melempar jamrah, mereka bertakbir. Mereka juga menyebut nama Allah pada penyembelihan di hari Nahr. Setelah selesai dari semua manasik haji, dan bahkan seluruh waktu mereka juga dipenuhi dengan zikir dan doa. (Diadaptasi secara bebas dari at-Tashiil Lita’wil al-Tanziil 3/239). KELIMA: Membina dan menyucikan diri dengan cara bersegera melaksanakan ketaatan serta menjauhi keburukan. Di antara hikmah dan tujuan syariat dalam ibadah haji adalah menyucikan jiwa dari akhlak-akhlak tercela dan membinanya hingga meraih hakikat takwa. Allah berfirman: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ  “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197). Pengertian rafats adalah berhubungan seksual dengan istri dan hal-hal yang mengarah kepadanya, atau pembicaraan kotor. Adapun al-fusuq adalah semua kemaksiatan. Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan yang dapat membuat emosi, pertengkaran, dan permusuhan. As-Sa’di menafsirkan ayat-ayat ini dengan menyatakan, “Diwajibkan untuk mengagungkan ihram khususnya yang ada di bulan-bulan haji dan menjaganya dari semua perkara yang merusak berupa rafats yaitu hubungan suami istri dan seputarnya baik berupa perbuatan atau perkataan, khususnya ketika ada kaum wanita. Fusuq adalah seluruh kemaksiatan, di antaranya yaitu hal-hal yang terlarang dalam ihram (mahzhuraat al-ihram). Sedangkan al-jidal adalah berbantah-bantahan, bertengkar, dan ucapan yang dapat menimbulkan keburukan hingga permusuhan. Ketahuilah, bahwa tidak sempurna pendekatan diri kepada Allah hanya dengan meninggalkan kemaksiatan saja hingga ia juga melaksanakan perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ  ‘Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.’ (QS. Al-Baqarah: 197). Allah Ta’ala menggunakan kata (من) untuk menegaskan keumumannya. Setiap kebaikan dan ibadah, Allah mengetahuinya. Ayat ini berisi anjuran yang sangat untuk berbuat kebaikan, khususnya di tempat yang mulia dan tanah suci. Dan sudah sepatutnya meraih yang dapat diraih di sana, seperti shalat, puasa, sedekah, tawaf, dan perbuatan serta perkataan baik.” (Tafsir as-Sa’di halaman 91). Haji yang bebas dari rafats, fusuq, dan jidal ini adalah haji mabrur yang menjadi sebab ampunan dosa, berdasarkan sabda Rasulullah: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350).  KEENAM: Dalam haji ada pengingat akhirat dan berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat nanti. Di Masya’ir, baik di Mina, Muzdalifah, dan Arafah terhimpun manusia dari beraneka ragam jenis dan ras. Mereka mengenakan pakaian yang sama dan dalam keadaan kepala terbuka seraya bertalbiah, memenuhi panggilan Allah Ta’ala. Ini adalah realitas yang menyerupai berdirinya manusia di hadapan Allah pada hari kiamat, yaitu dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, dan tidak berkhitan. Pada saat itu, manusia merasakan ketakutan, penyesalan, dan kengerian. Hal tersebut menjadi motivasi guna membangkitkan jiwa orang yang berhaji supaya takut kepada Allah Ta’ala, merasa diawasi (muraqabah), dan mengikhlaskan semua amalan untuk-Nya. (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz 16/246-247). KETUJUH: Pembinaan umat untuk mengetahui pengertian persatuan yang benar.  Perbedaan antara manusia yang kaya, fakir miskin, warna kulit, dan ras tidak tampak jelas dalam pelaksanaan haji. Karena semua mengarah ke satu tujuan yaitu kepada Sang Maha Pencipta. Mereka memakai pakaian yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pada waktu serta tempat yang sama. Selain itu, juga terbentuk kerja sama di antara jemaah haji dalam hal kebaikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini semua tentunya membina umat supaya bersatu di atas ibadah kepada Allah Ta’ala. Haji dapat mendidik jiwa dengan ruh militer dengan semua yang dibutuhkannya berupa kesabaran dan tahan banting. Mereka bekerja sama dengan aturan dan disiplin yang kokoh. Lihatlah para jemaah haji yang bersabar dan bertahan dari kesusahan safar, hingga berkumpul seluruhnya di kota Makkah, tanah suci Allah. Kemudian mereka semua berangkat dalam keadaan demikian dari bulan Dzulhijjah untuk menunaikan manasik dan menetap, serta bergerak secara serentak dengan penuh kegembiraan. Di sanalah hilang perbedaan antar manusia, hilang perbedaan antara kaya dan fakir, ras, warna, serta perbedaan lisan dan bahasa. Manusia bersatu pada muktamar yang semuanya kebaikan, keberkahan, penuh musyawarah, bekerja sama melaksanakan kebaikan, serta saling menguatkan. Muktamar haji menyatukan manusia di atas kebenaran dan takwa, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta kurang tidur untuk kemaslahatan umat. Dalam haji ada kenangan-kenangan indah tak terlupakan. Ruh ibadah sempurna yang tertanam dalam jiwa dan ketundukan yang tak terbatas terhadap perintah Allah dan syariat-Nya. Haji membina setiap muslim untuk mengetahui betapa indah dan urgennya persatuan. Di antara yang memberikan pengetahuan ini adalah: Berkumpulnya orang dari segenap penjuru dunia dan saling bertukar kasih sayang, cinta, dan saling mengenal di antara mereka. Juga nasihat, bimbingan, dan arahan kepada kebaikan yang sampai kepada mereka. Tampilnya kaum muslimin dengan satu penampilan di satu waktu dan tempat, serta amalan dan kondisi mereka. Semuanya berdiri di tempat-tempat Masya’ir di satu waktu, amalannya satu, keadaannya satu: menggunakan dua helai kain ihram serta ketundukan di hadapan Allah Ta’ala. (lihat Majmu’ al-Fataawa wa Rasa`il al-‘Utsaimin 24/241). Banyak hal lain yang mendorong kaum muslimin dapat merasakan persatuan dan keindahannya di waktu haji.  KEDELAPAN: Menunaikan kewajiban haji berisikan rasa syukur pada nikmat dan keselamatan badan.  Orang yang berhaji melaksanakan wukuf di Arafah, berdoa kepada Allah, memuji-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan memohon ampun atas semua dosanya. Dalam ibadah haji, seseorang menunaikan syukur atas dua nikmat, ia bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannya, dan menginfakkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 17/26-27 dan Majmu’ al-fatawaa wa Rasaa`il al-‘Utsaimin 24/239-240). Ibadah haji mengandung dua hikmah sekaligus, yaitu: Ibadah haji adalah manifestasi penghambaan serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang yang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh terhadap pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya. Ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridai oleh Allah ﷻ. KESEMBILAN: Memperoleh banyak kemanfaatan.  Menyaksikan dan memperoleh manfaat termasuk di antara hikmah dan tujuan pensyariatan haji, seperti dijelaskan dalam firman-Nya: وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS. Al-Hajj: 27-28). Manfaat dari ibadah haji meliputi manfaat agama dan duniawi. Di antara manfaat agama yang diperoleh orang yang berhaji adalah: Mendapatkan ampunan dosa, serta penghapusan dosa dan keburukan yang telah lalu, berdasarkan sabda beliau: مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barang siapa yang berhaji ke Ka’bah ini lalu tidak berbuat rafats dan fusuq, maka kembali seperti dilahirkan ibunya.” (HR al-Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350). Masuk surga berdasarkan keumuman sabda beliau: «الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ» “Haji yang mabrur tidak ada baginya balasan kecuali surga.” (HR al-Bukhari no. 1773). Memperoleh ketakwaan, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Adapun manfaat duniawi yang diperoleh orang yang berhaji, di antaranya adalah: Memperoleh daging hadyu dan sembelihan lainnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”. (QS. Al-hajj: 33). Hasil usaha perdagangan, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198). Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:   كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا كَانَ الإِسْلَامُ، فَكَأَنَّهُمْ تَأَثَّمُوا فِيهِ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} [البقرة: 198] فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ. “Dahulu, ‘Ukaazh, Mujannah, dan Dzu al-Majaaz adalah pasar-pasar di masa jahiliah. Ketika ada Islam, seakan-akan mereka merasa berdosa. Lalu turunlah firman Allah yang artinya, ‘Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (QS. Al-Baqarah:198) di musim Haji.” (Shahih al-Bukhari no. 2050). Ibnu Qudaamah berkata, “Adapun perniagaan dan usaha industri, maka tidak kami ketahui dalam kebolehannya perbedaan pendapat.” (Al-Mughni 5/174). Terwujudnya solidaritas dan empati kepada orang-orang fakir miskin berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28) Asy-Syinqithy berkata, “Di antara manfaatnya adalah kemudahan berkumpulnya kaum muslimin dari penjuru dunia di waktu-waktu tertentu di tempat tertentu agar merasakan persatuan Islam dan agar memudahkan sebagiannya mendapatkan manfaat dari yang lainnya pada semua kepentingan umum dari perkara dunia dan agama. Maka haji adalah pensyariatan agung dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Adh-wa’ al-Bayaan 5/536). Tentunya, masih banyak lagi manfaat yang dapat diraih oleh orang yang berhaji dan yang terlibat dalam ibadah ini. Wallahu a’lam. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 325 times, 1 visit(s) today Post Views: 436 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fatwa Ulama: Bolehkah Seorang Non-muslim Menjadi Wali Akad Nikah?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.

Fatwa Ulama: Bolehkah Seorang Non-muslim Menjadi Wali Akad Nikah?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.

Diuji dengan Sihir, ‘Ain, Penyakit? Dengarkan Wasiat Penenang Hati Ini Dulu

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ

Diuji dengan Sihir, ‘Ain, Penyakit? Dengarkan Wasiat Penenang Hati Ini Dulu

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ


Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib,وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًاٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ.Ada sebelas hal yang membatalkan shalat:1. Berbicara dengan sengaja,2. Melakukan gerakan yang banyak,3. Berhadats,4. Terkena najis,5. Terbukanya aurat,6. Berubahnya niat,7. Berpaling dari arah kiblat,8. Makan,9. Minum,10. Tertawa terbahak,11. Keluar dari Islam (riddah). Penjelasan1. Berbicara dengan sengajaYaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak.Dalam hadits disebutkan,كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ:حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَDahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini:“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”.Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ“Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi.Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaرُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ“Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat.2. Melakukan gerakan yang banyakYakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa.Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat.Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat:إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ“Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim)Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih.3. BerhadatsJika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ“Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya)4. Terkena najisJika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji.Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup.5. Terbukanya auratAdapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi.6. Berubahnya niatYaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya.Dalam masalah niat, ada beberapa rincian:Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat.Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal.Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya.Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat.7. Berpaling dari arah kiblatJika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi.8. Makan9. Minum10. Tertawa terbahakMakan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah.Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa.Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal.Minum disamakan dengan makan.Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam).11. Keluar dari Islam (riddah)Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman.Contoh riddah dalam shalat:Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari.Ucapan, seperti mencela Allah atau agama.Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal.Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu. Referensi:Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar.________Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib,وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًاٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ.Ada sebelas hal yang membatalkan shalat:1. Berbicara dengan sengaja,2. Melakukan gerakan yang banyak,3. Berhadats,4. Terkena najis,5. Terbukanya aurat,6. Berubahnya niat,7. Berpaling dari arah kiblat,8. Makan,9. Minum,10. Tertawa terbahak,11. Keluar dari Islam (riddah). Penjelasan1. Berbicara dengan sengajaYaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak.Dalam hadits disebutkan,كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ:حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَDahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini:“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”.Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ“Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi.Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaرُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ“Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat.2. Melakukan gerakan yang banyakYakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa.Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat.Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat:إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ“Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim)Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih.3. BerhadatsJika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ“Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya)4. Terkena najisJika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji.Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup.5. Terbukanya auratAdapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi.6. Berubahnya niatYaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya.Dalam masalah niat, ada beberapa rincian:Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat.Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal.Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya.Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat.7. Berpaling dari arah kiblatJika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi.8. Makan9. Minum10. Tertawa terbahakMakan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah.Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa.Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal.Minum disamakan dengan makan.Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam).11. Keluar dari Islam (riddah)Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman.Contoh riddah dalam shalat:Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari.Ucapan, seperti mencela Allah atau agama.Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal.Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu. Referensi:Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar.________Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat
Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib,وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًاٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ.Ada sebelas hal yang membatalkan shalat:1. Berbicara dengan sengaja,2. Melakukan gerakan yang banyak,3. Berhadats,4. Terkena najis,5. Terbukanya aurat,6. Berubahnya niat,7. Berpaling dari arah kiblat,8. Makan,9. Minum,10. Tertawa terbahak,11. Keluar dari Islam (riddah). Penjelasan1. Berbicara dengan sengajaYaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak.Dalam hadits disebutkan,كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ:حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَDahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini:“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”.Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ“Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi.Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaرُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ“Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat.2. Melakukan gerakan yang banyakYakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa.Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat.Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat:إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ“Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim)Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih.3. BerhadatsJika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ“Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya)4. Terkena najisJika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji.Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup.5. Terbukanya auratAdapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi.6. Berubahnya niatYaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya.Dalam masalah niat, ada beberapa rincian:Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat.Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal.Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya.Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat.7. Berpaling dari arah kiblatJika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi.8. Makan9. Minum10. Tertawa terbahakMakan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah.Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa.Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal.Minum disamakan dengan makan.Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam).11. Keluar dari Islam (riddah)Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman.Contoh riddah dalam shalat:Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari.Ucapan, seperti mencela Allah atau agama.Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal.Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu. Referensi:Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar.________Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat


Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib,وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًاٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ.Ada sebelas hal yang membatalkan shalat:1. Berbicara dengan sengaja,2. Melakukan gerakan yang banyak,3. Berhadats,4. Terkena najis,5. Terbukanya aurat,6. Berubahnya niat,7. Berpaling dari arah kiblat,8. Makan,9. Minum,10. Tertawa terbahak,11. Keluar dari Islam (riddah). Penjelasan1. Berbicara dengan sengajaYaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak.Dalam hadits disebutkan,كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ:حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَDahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini:“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”.Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ“Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi.Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaرُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ“Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat.2. Melakukan gerakan yang banyakYakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa.Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat.Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat:إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ“Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim)Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih.3. BerhadatsJika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ“Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya)4. Terkena najisJika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji.Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup.5. Terbukanya auratAdapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi.6. Berubahnya niatYaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya.Dalam masalah niat, ada beberapa rincian:Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat.Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal.Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya.Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat.7. Berpaling dari arah kiblatJika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi.8. Makan9. Minum10. Tertawa terbahakMakan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah.Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa.Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal.Minum disamakan dengan makan.Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam).11. Keluar dari Islam (riddah)Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman.Contoh riddah dalam shalat:Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari.Ucapan, seperti mencela Allah atau agama.Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal.Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu. Referensi:Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj.Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar.________Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Kau Tak Akan Sendiri di Alam Kubur, Sosok Misterius Ini Akan Datang Menemanimu

Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Kau Tak Akan Sendiri di Alam Kubur, Sosok Misterius Ini Akan Datang Menemanimu

Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى


Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.
Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.


Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.

Fatwa Ulama: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.

Fatwa Ulama: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.

Anda Lagi Sakit? Ternyata Shalat Bisa Dijamak, tapi Ada Syaratnya! – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ

Anda Lagi Sakit? Ternyata Shalat Bisa Dijamak, tapi Ada Syaratnya! – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ
Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ


Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ

Umur Terus Berkurang, Hawa Nafsu Semakin Kuat: Begini Cara Para Salaf Menghancurkannya

Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Umur Terus Berkurang, Hawa Nafsu Semakin Kuat: Begini Cara Para Salaf Menghancurkannya

Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى


Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Aku Tak Lagi Mencintaimu! Ketika Cinta Pergi, Masih Perlukah Bertahan? – Syaikh Abdussalam Asy-Syuwai’ar

Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ

Aku Tak Lagi Mencintaimu! Ketika Cinta Pergi, Masih Perlukah Bertahan? – Syaikh Abdussalam Asy-Syuwai’ar

Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ
Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ


Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ

Sedekah Tapi Malah Dapat Dosa? Ini Kesalahan yang Sering tak Disadari – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ

Sedekah Tapi Malah Dapat Dosa? Ini Kesalahan yang Sering tak Disadari – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ
Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ


Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ
Prev     Next