Berapa Lama Safar yang Membolehkan Qashar Shalat? Penjelasan Berdasarkan Hadits

Hadits-hadits yang dibahas berikut ini memberikan panduan tentang durasi safar yang masih diperbolehkan untuk mengqashar shalat, serta batasan waktu yang dianggap sebagai mukim.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #434 2. Hadits #435 3. Hadits #436 4. Hadits #437 4.1. Faedah hadits 4.2. Kesimpulan 4.3. Referensi:   Hadits #434 عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم مِنَ المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ؛ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى المَدِينَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Mekkah. Beliau senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat-dua rakaat, hingga kami kembali ke Madinah.” (Muttafaq ‘Alaih, dan lafaz hadits ini menurut Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1081 dan Muslim, no. 693]   Hadits #435 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: أَقَامَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْماً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَفِي رِوَايَةٍ لأَبِي دَاوُدَ: سَبْعَ عَشْرَةَ. وَفِي أُخْرَى: خَمْسَ عَشْرَةَ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim selama sembilan belas hari dan mengqashar shalatnya.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Sembilan belas hari di Makkah mengqashar shalat.” Dalam lafaz lain disebutkan, “Di Makkah sembilan belas hari.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 1080, 4698] Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Tujuh belas hari.” Dalam riwayat yang lain, “Lima belas hari.”   Hadits #436 وَلَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه ثَمَانِيَ عَشْرَةَ. Dalam riwayat Abu Daud dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Delapan belas hari.” [HR. Abu Daud, no. 1229]   Hadits #437 وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه: «أَقَامَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْماً يقْصُرُ الصَّلَاةَ». وَرُوَاتُهُ ثِقاتٌ؛ إِلاَّ أَنَّهُ اختُلِفَ فِي وَصْلِهِ. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat.” Para rawinya tsiqah (terpercaya), hanya saja terdapat perbedaan pendapat dalam penyambungannya. [HR. Abu Daud, no. 1235]   Faedah hadits Pertama: Hadits Anas menyebutkan kata “ilal Madinah,” yang menunjukkan bahwa perjalanan ini terjadi pada tahun penaklukan Makkah (Fathul Makkah, 8 H). Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa perjalanan ini terjadi saat Haji Wada’, dan pendapat ini dianggap lebih kuat. Kedua: Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam kitab Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram menyimpulkan bahwa standar durasi seseorang dianggap mukim tidak dibatasi dengan jumlah hari tertentu. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seseorang menetap sehingga ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Namun, mayoritas ulama menetapkan bahwa jika seseorang berniat tinggal selama empat hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa Nabi itu tinggal di Makkah dan sekitarnya saat Haji Wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya tinggal di satu tempat, yaitu di Makkah saja, tetapi juga di sekitarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat selama sepuluh hari, mulai dari kedatangan di Makkah, menetap di Mina, hingga kembali ke Madinah. Imam Nawawi rahimahullah secara lebih lengkap menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Makkah pada hari keempat Dzulhijjah. Lalu beliau mukim di Makkah pada hari kelima, keenam, dan ketujuh Dzulhijjah. Pada hari kedelapan Dzulhijjah, Nabi keluar dari Makkah menuju Mina. Beliau pergi ke Arafah pada hari kesembilan dan kembali ke Mina pada hari kesepuluh, lalu menetap di sana sampai hari kesebelas dan kedua belas. Beliau keluar (nafr tsani) menuju Makkah pada hari ketiga belas, dan kemudian kembali ke Madinah pada hari keempat belas. Maka, durasi tinggalnya Nabi di Makkah dan sekitarnya selama sepuluh hari. Pada durasi waktu tersebut, beliau mengqashar shalat semuanya. Keempat: Dalam hadis Anas, terdapat dalil bahwa jika seorang musafir berniat menetap kurang dari empat hari, selain hari masuk dan keluar, maka dia masih boleh mengqashar shalat. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama tiga hari bersama kaum Muhajirin, menunjukkan bahwa tiga hari tidak dianggap mukim, di mana hari masuk dan keluarnya tidak dihitung. Dalam hal ini, menurut pendapat Imam Syafi’i rahimahullah dan mayoritas ulama (walaupun ikhtilaf pendapat tentang hal ini sudah ada sejak dulu) bahwa jika seorang musafir berniat tinggal empat hari, maka dia menyempurnakan shalatnya atau tidak mengqashar shalatnya. Hal ini berbeda jika durasi menetapnya kurang dari empat hari. Demikian penjelasan dari Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.  Kelima: Hadits Imran bin Hushain menunjukkan bahwa selama delapan belas hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat mukim. Begitu pula hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari, semuanya maksudnya adalah Nabi tidak berniat untuk menetap secara permanen. Hadits Ibnu ‘Abbas berhubungan dengan Fathul Makkah, sedangkan hadis Anas berhubungan dengan Haji Wada’. Keenam: Hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan perjalanan Nabi selama sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari menunjukkan bahwa Nabi tidak berniat untuk menetap karena masih masih ada kebutuhan. Hadits Anas menunjukkan bahwa seseorang dianggap mukim jika sudah menetap selama empat hari atau lebih. Ketujuh: Tabuk, sebuah kota di Arab Saudi yang berjarak sekitar 788 km dari Madinah ke arah utara, menjadi lokasi Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. Hadits Jabir menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat, menunjukkan bahwa selama seseorang masih bimbang atau belum memutuskan kapan akan pergi, ia tetap boleh mengqashar shalat. Oleh karena itu, Imam Tirmidzi berkata, “Para ulama sepakat bahwa musafir boleh mengqashar shalat selama ia belum memutuskan untuk menetap, meski tinggal dalam jangka waktu lama.” Kedelapan: Hadits Jabir juga menunjukkan bahwa tinggal di wilayah musuh tidak dianggap sebagai niat menetap, meskipun seseorang menetap di sana dalam waktu lama. Hal ini karena wilayah musuh bukan tempat yang aman, sehingga orang yang tinggal di sana tetap dianggap sebagai musafir dan boleh mengqashar shalat.   Kesimpulan Orang yang dikategorikan sebagai mukim adalah mereka yang singgah di suatu negeri dengan niat tinggal selama empat hari penuh atau lebih, di luar hari kedatangan dan keberangkatan. Selain itu, seseorang juga dianggap mukim jika ia singgah di suatu tempat untuk jangka waktu kurang dari empat hari, tetapi dengan niat untuk menetap. Sebaliknya, seorang musafir adalah orang yang melakukan perjalanan atau safar. Jika seseorang singgah di suatu negeri untuk jangka waktu kurang dari empat hari tanpa ada niatan untuk menetap, maka ia tetap dianggap sebagai musafir. Catatan: Jika seseorang berniat untuk menetap selama empat hari atau lebih, maka sejak awal menetap ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tidak perlu menunggu sampai empat hari berlalu untuk berhenti mengqashar shalat. Baca juga: Pengertian Safar dan Lama Safar yang Boleh Mengqashar Shalat   Referensi: Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:69-74. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Jumat pagi sebelum Shubuh @ Makkah Al-Mukarramah, 9 Rabiul Awal 1446 H, 13 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar

Berapa Lama Safar yang Membolehkan Qashar Shalat? Penjelasan Berdasarkan Hadits

Hadits-hadits yang dibahas berikut ini memberikan panduan tentang durasi safar yang masih diperbolehkan untuk mengqashar shalat, serta batasan waktu yang dianggap sebagai mukim.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #434 2. Hadits #435 3. Hadits #436 4. Hadits #437 4.1. Faedah hadits 4.2. Kesimpulan 4.3. Referensi:   Hadits #434 عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم مِنَ المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ؛ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى المَدِينَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Mekkah. Beliau senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat-dua rakaat, hingga kami kembali ke Madinah.” (Muttafaq ‘Alaih, dan lafaz hadits ini menurut Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1081 dan Muslim, no. 693]   Hadits #435 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: أَقَامَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْماً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَفِي رِوَايَةٍ لأَبِي دَاوُدَ: سَبْعَ عَشْرَةَ. وَفِي أُخْرَى: خَمْسَ عَشْرَةَ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim selama sembilan belas hari dan mengqashar shalatnya.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Sembilan belas hari di Makkah mengqashar shalat.” Dalam lafaz lain disebutkan, “Di Makkah sembilan belas hari.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 1080, 4698] Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Tujuh belas hari.” Dalam riwayat yang lain, “Lima belas hari.”   Hadits #436 وَلَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه ثَمَانِيَ عَشْرَةَ. Dalam riwayat Abu Daud dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Delapan belas hari.” [HR. Abu Daud, no. 1229]   Hadits #437 وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه: «أَقَامَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْماً يقْصُرُ الصَّلَاةَ». وَرُوَاتُهُ ثِقاتٌ؛ إِلاَّ أَنَّهُ اختُلِفَ فِي وَصْلِهِ. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat.” Para rawinya tsiqah (terpercaya), hanya saja terdapat perbedaan pendapat dalam penyambungannya. [HR. Abu Daud, no. 1235]   Faedah hadits Pertama: Hadits Anas menyebutkan kata “ilal Madinah,” yang menunjukkan bahwa perjalanan ini terjadi pada tahun penaklukan Makkah (Fathul Makkah, 8 H). Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa perjalanan ini terjadi saat Haji Wada’, dan pendapat ini dianggap lebih kuat. Kedua: Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam kitab Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram menyimpulkan bahwa standar durasi seseorang dianggap mukim tidak dibatasi dengan jumlah hari tertentu. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seseorang menetap sehingga ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Namun, mayoritas ulama menetapkan bahwa jika seseorang berniat tinggal selama empat hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa Nabi itu tinggal di Makkah dan sekitarnya saat Haji Wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya tinggal di satu tempat, yaitu di Makkah saja, tetapi juga di sekitarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat selama sepuluh hari, mulai dari kedatangan di Makkah, menetap di Mina, hingga kembali ke Madinah. Imam Nawawi rahimahullah secara lebih lengkap menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Makkah pada hari keempat Dzulhijjah. Lalu beliau mukim di Makkah pada hari kelima, keenam, dan ketujuh Dzulhijjah. Pada hari kedelapan Dzulhijjah, Nabi keluar dari Makkah menuju Mina. Beliau pergi ke Arafah pada hari kesembilan dan kembali ke Mina pada hari kesepuluh, lalu menetap di sana sampai hari kesebelas dan kedua belas. Beliau keluar (nafr tsani) menuju Makkah pada hari ketiga belas, dan kemudian kembali ke Madinah pada hari keempat belas. Maka, durasi tinggalnya Nabi di Makkah dan sekitarnya selama sepuluh hari. Pada durasi waktu tersebut, beliau mengqashar shalat semuanya. Keempat: Dalam hadis Anas, terdapat dalil bahwa jika seorang musafir berniat menetap kurang dari empat hari, selain hari masuk dan keluar, maka dia masih boleh mengqashar shalat. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama tiga hari bersama kaum Muhajirin, menunjukkan bahwa tiga hari tidak dianggap mukim, di mana hari masuk dan keluarnya tidak dihitung. Dalam hal ini, menurut pendapat Imam Syafi’i rahimahullah dan mayoritas ulama (walaupun ikhtilaf pendapat tentang hal ini sudah ada sejak dulu) bahwa jika seorang musafir berniat tinggal empat hari, maka dia menyempurnakan shalatnya atau tidak mengqashar shalatnya. Hal ini berbeda jika durasi menetapnya kurang dari empat hari. Demikian penjelasan dari Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.  Kelima: Hadits Imran bin Hushain menunjukkan bahwa selama delapan belas hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat mukim. Begitu pula hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari, semuanya maksudnya adalah Nabi tidak berniat untuk menetap secara permanen. Hadits Ibnu ‘Abbas berhubungan dengan Fathul Makkah, sedangkan hadis Anas berhubungan dengan Haji Wada’. Keenam: Hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan perjalanan Nabi selama sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari menunjukkan bahwa Nabi tidak berniat untuk menetap karena masih masih ada kebutuhan. Hadits Anas menunjukkan bahwa seseorang dianggap mukim jika sudah menetap selama empat hari atau lebih. Ketujuh: Tabuk, sebuah kota di Arab Saudi yang berjarak sekitar 788 km dari Madinah ke arah utara, menjadi lokasi Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. Hadits Jabir menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat, menunjukkan bahwa selama seseorang masih bimbang atau belum memutuskan kapan akan pergi, ia tetap boleh mengqashar shalat. Oleh karena itu, Imam Tirmidzi berkata, “Para ulama sepakat bahwa musafir boleh mengqashar shalat selama ia belum memutuskan untuk menetap, meski tinggal dalam jangka waktu lama.” Kedelapan: Hadits Jabir juga menunjukkan bahwa tinggal di wilayah musuh tidak dianggap sebagai niat menetap, meskipun seseorang menetap di sana dalam waktu lama. Hal ini karena wilayah musuh bukan tempat yang aman, sehingga orang yang tinggal di sana tetap dianggap sebagai musafir dan boleh mengqashar shalat.   Kesimpulan Orang yang dikategorikan sebagai mukim adalah mereka yang singgah di suatu negeri dengan niat tinggal selama empat hari penuh atau lebih, di luar hari kedatangan dan keberangkatan. Selain itu, seseorang juga dianggap mukim jika ia singgah di suatu tempat untuk jangka waktu kurang dari empat hari, tetapi dengan niat untuk menetap. Sebaliknya, seorang musafir adalah orang yang melakukan perjalanan atau safar. Jika seseorang singgah di suatu negeri untuk jangka waktu kurang dari empat hari tanpa ada niatan untuk menetap, maka ia tetap dianggap sebagai musafir. Catatan: Jika seseorang berniat untuk menetap selama empat hari atau lebih, maka sejak awal menetap ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tidak perlu menunggu sampai empat hari berlalu untuk berhenti mengqashar shalat. Baca juga: Pengertian Safar dan Lama Safar yang Boleh Mengqashar Shalat   Referensi: Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:69-74. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Jumat pagi sebelum Shubuh @ Makkah Al-Mukarramah, 9 Rabiul Awal 1446 H, 13 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar
Hadits-hadits yang dibahas berikut ini memberikan panduan tentang durasi safar yang masih diperbolehkan untuk mengqashar shalat, serta batasan waktu yang dianggap sebagai mukim.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #434 2. Hadits #435 3. Hadits #436 4. Hadits #437 4.1. Faedah hadits 4.2. Kesimpulan 4.3. Referensi:   Hadits #434 عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم مِنَ المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ؛ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى المَدِينَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Mekkah. Beliau senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat-dua rakaat, hingga kami kembali ke Madinah.” (Muttafaq ‘Alaih, dan lafaz hadits ini menurut Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1081 dan Muslim, no. 693]   Hadits #435 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: أَقَامَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْماً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَفِي رِوَايَةٍ لأَبِي دَاوُدَ: سَبْعَ عَشْرَةَ. وَفِي أُخْرَى: خَمْسَ عَشْرَةَ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim selama sembilan belas hari dan mengqashar shalatnya.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Sembilan belas hari di Makkah mengqashar shalat.” Dalam lafaz lain disebutkan, “Di Makkah sembilan belas hari.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 1080, 4698] Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Tujuh belas hari.” Dalam riwayat yang lain, “Lima belas hari.”   Hadits #436 وَلَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه ثَمَانِيَ عَشْرَةَ. Dalam riwayat Abu Daud dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Delapan belas hari.” [HR. Abu Daud, no. 1229]   Hadits #437 وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه: «أَقَامَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْماً يقْصُرُ الصَّلَاةَ». وَرُوَاتُهُ ثِقاتٌ؛ إِلاَّ أَنَّهُ اختُلِفَ فِي وَصْلِهِ. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat.” Para rawinya tsiqah (terpercaya), hanya saja terdapat perbedaan pendapat dalam penyambungannya. [HR. Abu Daud, no. 1235]   Faedah hadits Pertama: Hadits Anas menyebutkan kata “ilal Madinah,” yang menunjukkan bahwa perjalanan ini terjadi pada tahun penaklukan Makkah (Fathul Makkah, 8 H). Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa perjalanan ini terjadi saat Haji Wada’, dan pendapat ini dianggap lebih kuat. Kedua: Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam kitab Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram menyimpulkan bahwa standar durasi seseorang dianggap mukim tidak dibatasi dengan jumlah hari tertentu. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seseorang menetap sehingga ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Namun, mayoritas ulama menetapkan bahwa jika seseorang berniat tinggal selama empat hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa Nabi itu tinggal di Makkah dan sekitarnya saat Haji Wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya tinggal di satu tempat, yaitu di Makkah saja, tetapi juga di sekitarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat selama sepuluh hari, mulai dari kedatangan di Makkah, menetap di Mina, hingga kembali ke Madinah. Imam Nawawi rahimahullah secara lebih lengkap menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Makkah pada hari keempat Dzulhijjah. Lalu beliau mukim di Makkah pada hari kelima, keenam, dan ketujuh Dzulhijjah. Pada hari kedelapan Dzulhijjah, Nabi keluar dari Makkah menuju Mina. Beliau pergi ke Arafah pada hari kesembilan dan kembali ke Mina pada hari kesepuluh, lalu menetap di sana sampai hari kesebelas dan kedua belas. Beliau keluar (nafr tsani) menuju Makkah pada hari ketiga belas, dan kemudian kembali ke Madinah pada hari keempat belas. Maka, durasi tinggalnya Nabi di Makkah dan sekitarnya selama sepuluh hari. Pada durasi waktu tersebut, beliau mengqashar shalat semuanya. Keempat: Dalam hadis Anas, terdapat dalil bahwa jika seorang musafir berniat menetap kurang dari empat hari, selain hari masuk dan keluar, maka dia masih boleh mengqashar shalat. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama tiga hari bersama kaum Muhajirin, menunjukkan bahwa tiga hari tidak dianggap mukim, di mana hari masuk dan keluarnya tidak dihitung. Dalam hal ini, menurut pendapat Imam Syafi’i rahimahullah dan mayoritas ulama (walaupun ikhtilaf pendapat tentang hal ini sudah ada sejak dulu) bahwa jika seorang musafir berniat tinggal empat hari, maka dia menyempurnakan shalatnya atau tidak mengqashar shalatnya. Hal ini berbeda jika durasi menetapnya kurang dari empat hari. Demikian penjelasan dari Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.  Kelima: Hadits Imran bin Hushain menunjukkan bahwa selama delapan belas hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat mukim. Begitu pula hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari, semuanya maksudnya adalah Nabi tidak berniat untuk menetap secara permanen. Hadits Ibnu ‘Abbas berhubungan dengan Fathul Makkah, sedangkan hadis Anas berhubungan dengan Haji Wada’. Keenam: Hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan perjalanan Nabi selama sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari menunjukkan bahwa Nabi tidak berniat untuk menetap karena masih masih ada kebutuhan. Hadits Anas menunjukkan bahwa seseorang dianggap mukim jika sudah menetap selama empat hari atau lebih. Ketujuh: Tabuk, sebuah kota di Arab Saudi yang berjarak sekitar 788 km dari Madinah ke arah utara, menjadi lokasi Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. Hadits Jabir menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat, menunjukkan bahwa selama seseorang masih bimbang atau belum memutuskan kapan akan pergi, ia tetap boleh mengqashar shalat. Oleh karena itu, Imam Tirmidzi berkata, “Para ulama sepakat bahwa musafir boleh mengqashar shalat selama ia belum memutuskan untuk menetap, meski tinggal dalam jangka waktu lama.” Kedelapan: Hadits Jabir juga menunjukkan bahwa tinggal di wilayah musuh tidak dianggap sebagai niat menetap, meskipun seseorang menetap di sana dalam waktu lama. Hal ini karena wilayah musuh bukan tempat yang aman, sehingga orang yang tinggal di sana tetap dianggap sebagai musafir dan boleh mengqashar shalat.   Kesimpulan Orang yang dikategorikan sebagai mukim adalah mereka yang singgah di suatu negeri dengan niat tinggal selama empat hari penuh atau lebih, di luar hari kedatangan dan keberangkatan. Selain itu, seseorang juga dianggap mukim jika ia singgah di suatu tempat untuk jangka waktu kurang dari empat hari, tetapi dengan niat untuk menetap. Sebaliknya, seorang musafir adalah orang yang melakukan perjalanan atau safar. Jika seseorang singgah di suatu negeri untuk jangka waktu kurang dari empat hari tanpa ada niatan untuk menetap, maka ia tetap dianggap sebagai musafir. Catatan: Jika seseorang berniat untuk menetap selama empat hari atau lebih, maka sejak awal menetap ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tidak perlu menunggu sampai empat hari berlalu untuk berhenti mengqashar shalat. Baca juga: Pengertian Safar dan Lama Safar yang Boleh Mengqashar Shalat   Referensi: Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:69-74. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Jumat pagi sebelum Shubuh @ Makkah Al-Mukarramah, 9 Rabiul Awal 1446 H, 13 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar


Hadits-hadits yang dibahas berikut ini memberikan panduan tentang durasi safar yang masih diperbolehkan untuk mengqashar shalat, serta batasan waktu yang dianggap sebagai mukim.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #434 2. Hadits #435 3. Hadits #436 4. Hadits #437 4.1. Faedah hadits 4.2. Kesimpulan 4.3. Referensi:   Hadits #434 عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم مِنَ المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ؛ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى المَدِينَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Mekkah. Beliau senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat-dua rakaat, hingga kami kembali ke Madinah.” (Muttafaq ‘Alaih, dan lafaz hadits ini menurut Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1081 dan Muslim, no. 693]   Hadits #435 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: أَقَامَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ. وَفِي لَفْظٍ: بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْماً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَفِي رِوَايَةٍ لأَبِي دَاوُدَ: سَبْعَ عَشْرَةَ. وَفِي أُخْرَى: خَمْسَ عَشْرَةَ. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim selama sembilan belas hari dan mengqashar shalatnya.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Sembilan belas hari di Makkah mengqashar shalat.” Dalam lafaz lain disebutkan, “Di Makkah sembilan belas hari.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 1080, 4698] Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Tujuh belas hari.” Dalam riwayat yang lain, “Lima belas hari.”   Hadits #436 وَلَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه ثَمَانِيَ عَشْرَةَ. Dalam riwayat Abu Daud dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Delapan belas hari.” [HR. Abu Daud, no. 1229]   Hadits #437 وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه: «أَقَامَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْماً يقْصُرُ الصَّلَاةَ». وَرُوَاتُهُ ثِقاتٌ؛ إِلاَّ أَنَّهُ اختُلِفَ فِي وَصْلِهِ. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat.” Para rawinya tsiqah (terpercaya), hanya saja terdapat perbedaan pendapat dalam penyambungannya. [HR. Abu Daud, no. 1235]   Faedah hadits Pertama: Hadits Anas menyebutkan kata “ilal Madinah,” yang menunjukkan bahwa perjalanan ini terjadi pada tahun penaklukan Makkah (Fathul Makkah, 8 H). Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa perjalanan ini terjadi saat Haji Wada’, dan pendapat ini dianggap lebih kuat. Kedua: Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam kitab Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram menyimpulkan bahwa standar durasi seseorang dianggap mukim tidak dibatasi dengan jumlah hari tertentu. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seseorang menetap sehingga ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Namun, mayoritas ulama menetapkan bahwa jika seseorang berniat tinggal selama empat hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya (tidak boleh qashar). Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa Nabi itu tinggal di Makkah dan sekitarnya saat Haji Wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya tinggal di satu tempat, yaitu di Makkah saja, tetapi juga di sekitarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat selama sepuluh hari, mulai dari kedatangan di Makkah, menetap di Mina, hingga kembali ke Madinah. Imam Nawawi rahimahullah secara lebih lengkap menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Makkah pada hari keempat Dzulhijjah. Lalu beliau mukim di Makkah pada hari kelima, keenam, dan ketujuh Dzulhijjah. Pada hari kedelapan Dzulhijjah, Nabi keluar dari Makkah menuju Mina. Beliau pergi ke Arafah pada hari kesembilan dan kembali ke Mina pada hari kesepuluh, lalu menetap di sana sampai hari kesebelas dan kedua belas. Beliau keluar (nafr tsani) menuju Makkah pada hari ketiga belas, dan kemudian kembali ke Madinah pada hari keempat belas. Maka, durasi tinggalnya Nabi di Makkah dan sekitarnya selama sepuluh hari. Pada durasi waktu tersebut, beliau mengqashar shalat semuanya. Keempat: Dalam hadis Anas, terdapat dalil bahwa jika seorang musafir berniat menetap kurang dari empat hari, selain hari masuk dan keluar, maka dia masih boleh mengqashar shalat. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama tiga hari bersama kaum Muhajirin, menunjukkan bahwa tiga hari tidak dianggap mukim, di mana hari masuk dan keluarnya tidak dihitung. Dalam hal ini, menurut pendapat Imam Syafi’i rahimahullah dan mayoritas ulama (walaupun ikhtilaf pendapat tentang hal ini sudah ada sejak dulu) bahwa jika seorang musafir berniat tinggal empat hari, maka dia menyempurnakan shalatnya atau tidak mengqashar shalatnya. Hal ini berbeda jika durasi menetapnya kurang dari empat hari. Demikian penjelasan dari Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.  Kelima: Hadits Imran bin Hushain menunjukkan bahwa selama delapan belas hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat mukim. Begitu pula hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari, semuanya maksudnya adalah Nabi tidak berniat untuk menetap secara permanen. Hadits Ibnu ‘Abbas berhubungan dengan Fathul Makkah, sedangkan hadis Anas berhubungan dengan Haji Wada’. Keenam: Hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan perjalanan Nabi selama sembilan belas, tujuh belas, atau lima belas hari menunjukkan bahwa Nabi tidak berniat untuk menetap karena masih masih ada kebutuhan. Hadits Anas menunjukkan bahwa seseorang dianggap mukim jika sudah menetap selama empat hari atau lebih. Ketujuh: Tabuk, sebuah kota di Arab Saudi yang berjarak sekitar 788 km dari Madinah ke arah utara, menjadi lokasi Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. Hadits Jabir menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat, menunjukkan bahwa selama seseorang masih bimbang atau belum memutuskan kapan akan pergi, ia tetap boleh mengqashar shalat. Oleh karena itu, Imam Tirmidzi berkata, “Para ulama sepakat bahwa musafir boleh mengqashar shalat selama ia belum memutuskan untuk menetap, meski tinggal dalam jangka waktu lama.” Kedelapan: Hadits Jabir juga menunjukkan bahwa tinggal di wilayah musuh tidak dianggap sebagai niat menetap, meskipun seseorang menetap di sana dalam waktu lama. Hal ini karena wilayah musuh bukan tempat yang aman, sehingga orang yang tinggal di sana tetap dianggap sebagai musafir dan boleh mengqashar shalat.   Kesimpulan Orang yang dikategorikan sebagai mukim adalah mereka yang singgah di suatu negeri dengan niat tinggal selama empat hari penuh atau lebih, di luar hari kedatangan dan keberangkatan. Selain itu, seseorang juga dianggap mukim jika ia singgah di suatu tempat untuk jangka waktu kurang dari empat hari, tetapi dengan niat untuk menetap. Sebaliknya, seorang musafir adalah orang yang melakukan perjalanan atau safar. Jika seseorang singgah di suatu negeri untuk jangka waktu kurang dari empat hari tanpa ada niatan untuk menetap, maka ia tetap dianggap sebagai musafir. Catatan: Jika seseorang berniat untuk menetap selama empat hari atau lebih, maka sejak awal menetap ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tidak perlu menunggu sampai empat hari berlalu untuk berhenti mengqashar shalat. Baca juga: Pengertian Safar dan Lama Safar yang Boleh Mengqashar Shalat   Referensi: Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:69-74. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Jumat pagi sebelum Shubuh @ Makkah Al-Mukarramah, 9 Rabiul Awal 1446 H, 13 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar

Hadis: Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akadKandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akadKandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahanKandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahanKandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Teks Hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (yaitu, syarat-syarat dalam pernikahan).” (HR. Bukhari no. 2721 dan Muslim no. 1418) Kandungan Hadis Kandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akad Yang dimaksud dengan “syarat” adalah kewajiban yang ditetapkan oleh salah satu pihak yang melakukan suatu akad atau perjanjian dengan pihak lain. Syarat tersebut hendaknya memiliki manfaat dan tujuan yang bisa dibenarkan. Syarat-syarat tersebut wajib untuk dipenuhi sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, المسلمون على شروطهم “Kaum muslimin itu terikat dengan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594, Ad-Daruquthni no. 2890. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, الأصل في العقود والشروط الجواز والصحة، ولا يحرم منها ويبطل، إلاَّ ما دلَّ الشرع على تحريمه وإبطاله، وأصول أحمد أكثرها تجري على هذا القول، ومالك قريب منه. “Pada dasarnya, semua akad dan syarat adalah sah dan diperbolehkan, tidak dilarang atau batal, kecuali yang dilarang dan dibatalkan oleh syariat. Sebagian besar kaidah (pendapat) Imam Ahmad didasarkan pada prinsip ini, dan pendapat Imam Malik pun hampir sama.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 76) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الضَّابِطُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ النَّصُّ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ خَالَفَ حُكْمَ اللَّهِ وَكِتَابَهُ، فَهُوَ بَاطِلٌ، مَا لَمْ يُخَالِفْهُ حُكْمُهُ فَهُوَ لَازِمٌ “Prinsip (kaidah) syar’i yang ditunjukkan oleh nash syariat adalah bahwa setiap syarat yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala dan kitab-Nya, maka syarat tersebut batal. Adapun syarat yang tidak bertentangan (dengan hukum Allah) adalah wajib (ditunaikan).” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 302) Kandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akad Para ulama fikih rahimamulllah mengatakan, والمعتبر من الشروط ما كان في صلب العقد “Syarat yang dianggap sah adalah yang termasuk (diucapkan atau ditetapkan) ketika akad.” Demikian pula syarat yang ditetapkan dan disepakati sebelum akad itu dianggap sama dengan syarat yang dikemukakan pada saat akad. Hal ini disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, إنه ظاهر المذهب، ومنصوص الإمام -رَحِمَهُ اللهُ-، وقول قدماء أصحابه ومحققي المتأخرين؛ لأن الأمر بالوفاء بالشروط والعقود والعهود يتناول ذلك تناولًا واحدًا “Ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhab (Hambali), dan merupakan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dan juga pendapat dari ulama terdahulu serta ulama kontemporer yang terkenal (dari madzhab Hambali). Sebab perintah untuk memenuhi syarat, akad, dan janji mencakup hal tersebut dengan cara yang sama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 32: 108-166) Dalam kitab Al-Inshaf disebutkan, وهو الصواب الذي لا شكَّ فيه “Ini adalah pendapat yang benar yang tidak diragukan lagi.” Syekh Abdullah Alu Bassam hafizhahullah berkata, وقطع به في الإقناع والمنتهى، فيكون هو المذهب “Dan ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Iqna’ dan Al-Muntaha, maka ini adalah pendapat yang dipegang.” (Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Jika syarat tersebut ditetapkan setelah akad dan akad tersebut sudah sah (terlaksana), maka menurut pendapat Imam Ahmad, syarat tersebut tidak wajib dipenuhi. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ويتوجه صحة الشرط فيه، بناءً على صحة الاستثناء منفصلًا بنيةٍ بعد اليمين “Ada kemungkinan bahwa syarat tersebut sah, berdasarkan pendapat bahwa pengecualian yang terpisah dengan niat setelah sumpah adalah sah.” (Al-Inshaf, 8: 154) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lemah. Karena jika suatu akad itu sudah sempurna, maka konsekuensinya adalah halalnya kemaluan, jadilah wanita tersebut sebagai istrinya. Sehingga suami tidak lagi terikat dengan syarat apapun setelah itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257. Lihat Asy-Syuruth fin Nikaah, hal. 33 dan Asy-Syarh Al-Mumti’, 12: 163) Kandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahan Hadis ini menunjukkan wajibnya memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma’idah: 1) Jika syarat-syarat itu tidak dianggap, tentu kita tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya. Hadis ini merupakan bukti bahwa syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah yang dengannya seorang pria menghalalkan hubungan intim dengan seorang wanita. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan syarat-syarat dalam pernikahan, menjaga untuk memenuhinya, dan tidak mengabaikan atau meremehkan syarat-syarat tersebut. Diketahui bahwa kaum muslimin harus mematuhi syarat-syarat dalam jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Namun, yang paling utama dan wajib dipenuhi adalah pernikahan, karena syarat-syarat ini berkaitan dengan halalnya hubungan suami istri. Allah Ta’ala mengagungkan perjanjian nikah, dan Dia memerintahkan untuk menjaga ikatan pernikahan ini, karena menghalalkan kemaluan bukanlah perkara yang mudah. Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa’: 19) Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 228) Dan Allah Ta’ala juga menyebut akad nikah sebagai “perjanjian yang kuat”, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bercampur satu sama lain dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?” (QS. An-Nisa’: 21) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khotbahnya di haji Wada’ menasihati umatnya, اتَّقوا الله في النساء، فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحللتم فروجهنَّ بكلمة الله، فاستوصوا فيهنَّ خيرًا “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka perlakukanlah mereka dengan baik.” (HR. Abu Dawud no. 1905, dinilai sahih oleh Al-Albani) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, هُوَ أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَى بِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى الشَّرْعِ وَالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ الصَّحِيحِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَمْ تَرْضَ بِبَذْلِ بِضْعِهَا لِلزَّوْجِ إلَّا عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، وَلَوْ لَمْ يَجِبْ الْوَفَاءُ بِهِ لَمْ يَكُنْ الْعَقْدُ عَنْ تَرَاضٍ “(Memenuhi syarat-syarat nikah yang sah) adalah kewajiban yang lebih utama untuk dipenuhi, dan ini sesuai dengan tuntutan syariat, akal, dan qiyas yang sahih. Karena seorang wanita tidak akan rela memberikan dirinya kepada suaminya kecuali dengan syarat tersebut. Jika syarat itu tidak wajib dipenuhi, maka akad itu tidak akan dilakukan dengan kerelaan.” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 266) Baca juga: Kewajiban Mengumumkan Pernikahan Kandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Jika bertentangan, maka diharamkan dan tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Mengapa ada orang yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal, meskipun seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2168, 2729) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Jika seorang wanita menetapkan syarat kepada suaminya yang memiliki tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala, dan suami tersebut setuju untuk memenuhi syarat tersebut, maka ia wajib memenuhinya. Misalnya, jika ia mensyaratkan tambahan mahar, atau mensyaratkan agar tidak dibawa keluar dari rumah atau negaranya, atau agar tinggal bersama keluarganya, atau (agar tinggal) bersama anak-anaknya, atau tinggal sendiri tanpa ada madunya di rumah tersebut, dan hal-hal semacam itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 256) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, أكثر العلماء حملوه على شرطٍ لا ينافي مقتضى النكاح، ويكون من مقاصده، كاشتراط العشرة بالمعروف، والإنفاق عليها وكسوتها، هذا؛ ومن جانب المرأة أن لا تخرج من بيته إلاَّ بإذنه. “Sebagian besar ulama menafsirkan hadis ini tentang syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan nikah, seperti kewajiban memperlakukan istri dengan baik, memberi nafkah, dan memberinya pakaian. Adapun dari pihak wanita, misalnya, dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa syarat-syarat yang sah dalam masalah ini terbagi menjadi dua: Pertama: Syarat yang terkandung dalam akad dan menjadi konsekuensi akad. Syarat seperti ini tidak perlu disebutkan secara khusus dalam akad, karena menyebutkannya dalam akad tidak akan mempengaruhi keabsahannya, dan mengabaikannya tidak akan menghilangkannya. Contohnya adalah syarat penyerahan wanita kepada suaminya dan memungkinkannya untuk menikmati hubungan suami-istri, atau syarat nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang merupakan kewajiban suami, dan hal-hal yang serupa. Kedua: Syarat yang ditetapkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya, yang memberikan manfaat baginya dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala. Syarat seperti ini adalah syarat yang sah dan harus dipenuhi. Jika suami memenuhi syarat tersebut, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, maka istri berhak untuk membatalkan pernikahan. Contoh-contohnya telah disebutkan sebelumnya. Contoh syarat yang sah adalah jika suami menyetujui untuk memberikan mahar tertentu, atau tidak membawa istri keluar dari negerinya (kampung halamannya), atau tidak memisahkan dia dari orang tuanya atau anak-anaknya. Syarat-syarat seperti ini adalah sah dan harus dipenuhi oleh suami. Adapun syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah, seperti syarat untuk tidak memberi giliran kepadanya, tidak wajib dipenuhi dan dianggap batal. Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun syarat-syarat yang batil, tidak ada pengaruhnya, seperti jika disyaratkan bahwa tidak ada mahar untuknya, atau suami tidak perlu menafkahinya, atau disyaratkan tidak adanya hubungan suami-istri, atau jika istri mensyaratkan untuk diperlakukan lebih baik daripada madunya, atau jika suami mensyaratkan agar istri tidak boleh mengunjungi kedua orang tuanya atau salah satu kerabatnya, atau istri mensyaratkan agar suami menceraikan madunya.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257) Kandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, contoh syarat yang batal adalah jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain (menceraikan madunya). Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa di antara yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang adalah, وَلاَ تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا “Seorang wanita meminta suaminya menceraikan istri lain agar dia bisa mengambil apa yang ada dalam bejana itu (agar semua kebutuhannya terpenuhi, pent.).”  (HR. Bukhari no. 2140, 2723, dan Muslim no. 1413) Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh rahimahullah berkata, “Jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain, maka ini sah menurut Abu Khattab dan sebagian besar pengikutnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Pendapat kedua mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak sah; dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, karena tidak boleh mensyaratkan hal itu, dan jika disyaratkan, maka batal berdasarkan hadis, كلُّ شرطٍ ليس في كتاب الله فهو باطل “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal.” Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Syarat-syarat dalam nikah terbagi menjadi beberapa jenis: Pertama, sebagian harus dipenuhi, yaitu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, seperti memperlakukan istri dengan baik atau menceraikannya dengan baik. Kedua, sebagian lagi tidak boleh dipenuhi, seperti meminta suaminya menceraikan istri lain, karena ada larangan dalam hal ini. Ketiga, sebagian lagi diperselisihkan, seperti syarat bahwa suami tidak boleh menikah lagi, atau tidak boleh memindahkannya dari rumahnya ke rumah suaminya, dan syarat yang ditetapkan oleh salah satu pihak di luar dari mahar. Dan syarat-syarat ini serta sejenisnya dianggap sah oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Hukum Pernikahan Beda Agama *** @23 Shafar 1446/ 29 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 256-257) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 289-292). Tags: pernikahan

Hadis: Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akadKandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akadKandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahanKandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahanKandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Teks Hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (yaitu, syarat-syarat dalam pernikahan).” (HR. Bukhari no. 2721 dan Muslim no. 1418) Kandungan Hadis Kandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akad Yang dimaksud dengan “syarat” adalah kewajiban yang ditetapkan oleh salah satu pihak yang melakukan suatu akad atau perjanjian dengan pihak lain. Syarat tersebut hendaknya memiliki manfaat dan tujuan yang bisa dibenarkan. Syarat-syarat tersebut wajib untuk dipenuhi sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, المسلمون على شروطهم “Kaum muslimin itu terikat dengan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594, Ad-Daruquthni no. 2890. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, الأصل في العقود والشروط الجواز والصحة، ولا يحرم منها ويبطل، إلاَّ ما دلَّ الشرع على تحريمه وإبطاله، وأصول أحمد أكثرها تجري على هذا القول، ومالك قريب منه. “Pada dasarnya, semua akad dan syarat adalah sah dan diperbolehkan, tidak dilarang atau batal, kecuali yang dilarang dan dibatalkan oleh syariat. Sebagian besar kaidah (pendapat) Imam Ahmad didasarkan pada prinsip ini, dan pendapat Imam Malik pun hampir sama.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 76) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الضَّابِطُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ النَّصُّ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ خَالَفَ حُكْمَ اللَّهِ وَكِتَابَهُ، فَهُوَ بَاطِلٌ، مَا لَمْ يُخَالِفْهُ حُكْمُهُ فَهُوَ لَازِمٌ “Prinsip (kaidah) syar’i yang ditunjukkan oleh nash syariat adalah bahwa setiap syarat yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala dan kitab-Nya, maka syarat tersebut batal. Adapun syarat yang tidak bertentangan (dengan hukum Allah) adalah wajib (ditunaikan).” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 302) Kandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akad Para ulama fikih rahimamulllah mengatakan, والمعتبر من الشروط ما كان في صلب العقد “Syarat yang dianggap sah adalah yang termasuk (diucapkan atau ditetapkan) ketika akad.” Demikian pula syarat yang ditetapkan dan disepakati sebelum akad itu dianggap sama dengan syarat yang dikemukakan pada saat akad. Hal ini disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, إنه ظاهر المذهب، ومنصوص الإمام -رَحِمَهُ اللهُ-، وقول قدماء أصحابه ومحققي المتأخرين؛ لأن الأمر بالوفاء بالشروط والعقود والعهود يتناول ذلك تناولًا واحدًا “Ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhab (Hambali), dan merupakan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dan juga pendapat dari ulama terdahulu serta ulama kontemporer yang terkenal (dari madzhab Hambali). Sebab perintah untuk memenuhi syarat, akad, dan janji mencakup hal tersebut dengan cara yang sama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 32: 108-166) Dalam kitab Al-Inshaf disebutkan, وهو الصواب الذي لا شكَّ فيه “Ini adalah pendapat yang benar yang tidak diragukan lagi.” Syekh Abdullah Alu Bassam hafizhahullah berkata, وقطع به في الإقناع والمنتهى، فيكون هو المذهب “Dan ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Iqna’ dan Al-Muntaha, maka ini adalah pendapat yang dipegang.” (Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Jika syarat tersebut ditetapkan setelah akad dan akad tersebut sudah sah (terlaksana), maka menurut pendapat Imam Ahmad, syarat tersebut tidak wajib dipenuhi. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ويتوجه صحة الشرط فيه، بناءً على صحة الاستثناء منفصلًا بنيةٍ بعد اليمين “Ada kemungkinan bahwa syarat tersebut sah, berdasarkan pendapat bahwa pengecualian yang terpisah dengan niat setelah sumpah adalah sah.” (Al-Inshaf, 8: 154) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lemah. Karena jika suatu akad itu sudah sempurna, maka konsekuensinya adalah halalnya kemaluan, jadilah wanita tersebut sebagai istrinya. Sehingga suami tidak lagi terikat dengan syarat apapun setelah itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257. Lihat Asy-Syuruth fin Nikaah, hal. 33 dan Asy-Syarh Al-Mumti’, 12: 163) Kandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahan Hadis ini menunjukkan wajibnya memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma’idah: 1) Jika syarat-syarat itu tidak dianggap, tentu kita tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya. Hadis ini merupakan bukti bahwa syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah yang dengannya seorang pria menghalalkan hubungan intim dengan seorang wanita. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan syarat-syarat dalam pernikahan, menjaga untuk memenuhinya, dan tidak mengabaikan atau meremehkan syarat-syarat tersebut. Diketahui bahwa kaum muslimin harus mematuhi syarat-syarat dalam jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Namun, yang paling utama dan wajib dipenuhi adalah pernikahan, karena syarat-syarat ini berkaitan dengan halalnya hubungan suami istri. Allah Ta’ala mengagungkan perjanjian nikah, dan Dia memerintahkan untuk menjaga ikatan pernikahan ini, karena menghalalkan kemaluan bukanlah perkara yang mudah. Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa’: 19) Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 228) Dan Allah Ta’ala juga menyebut akad nikah sebagai “perjanjian yang kuat”, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bercampur satu sama lain dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?” (QS. An-Nisa’: 21) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khotbahnya di haji Wada’ menasihati umatnya, اتَّقوا الله في النساء، فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحللتم فروجهنَّ بكلمة الله، فاستوصوا فيهنَّ خيرًا “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka perlakukanlah mereka dengan baik.” (HR. Abu Dawud no. 1905, dinilai sahih oleh Al-Albani) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, هُوَ أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَى بِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى الشَّرْعِ وَالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ الصَّحِيحِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَمْ تَرْضَ بِبَذْلِ بِضْعِهَا لِلزَّوْجِ إلَّا عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، وَلَوْ لَمْ يَجِبْ الْوَفَاءُ بِهِ لَمْ يَكُنْ الْعَقْدُ عَنْ تَرَاضٍ “(Memenuhi syarat-syarat nikah yang sah) adalah kewajiban yang lebih utama untuk dipenuhi, dan ini sesuai dengan tuntutan syariat, akal, dan qiyas yang sahih. Karena seorang wanita tidak akan rela memberikan dirinya kepada suaminya kecuali dengan syarat tersebut. Jika syarat itu tidak wajib dipenuhi, maka akad itu tidak akan dilakukan dengan kerelaan.” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 266) Baca juga: Kewajiban Mengumumkan Pernikahan Kandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Jika bertentangan, maka diharamkan dan tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Mengapa ada orang yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal, meskipun seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2168, 2729) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Jika seorang wanita menetapkan syarat kepada suaminya yang memiliki tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala, dan suami tersebut setuju untuk memenuhi syarat tersebut, maka ia wajib memenuhinya. Misalnya, jika ia mensyaratkan tambahan mahar, atau mensyaratkan agar tidak dibawa keluar dari rumah atau negaranya, atau agar tinggal bersama keluarganya, atau (agar tinggal) bersama anak-anaknya, atau tinggal sendiri tanpa ada madunya di rumah tersebut, dan hal-hal semacam itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 256) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, أكثر العلماء حملوه على شرطٍ لا ينافي مقتضى النكاح، ويكون من مقاصده، كاشتراط العشرة بالمعروف، والإنفاق عليها وكسوتها، هذا؛ ومن جانب المرأة أن لا تخرج من بيته إلاَّ بإذنه. “Sebagian besar ulama menafsirkan hadis ini tentang syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan nikah, seperti kewajiban memperlakukan istri dengan baik, memberi nafkah, dan memberinya pakaian. Adapun dari pihak wanita, misalnya, dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa syarat-syarat yang sah dalam masalah ini terbagi menjadi dua: Pertama: Syarat yang terkandung dalam akad dan menjadi konsekuensi akad. Syarat seperti ini tidak perlu disebutkan secara khusus dalam akad, karena menyebutkannya dalam akad tidak akan mempengaruhi keabsahannya, dan mengabaikannya tidak akan menghilangkannya. Contohnya adalah syarat penyerahan wanita kepada suaminya dan memungkinkannya untuk menikmati hubungan suami-istri, atau syarat nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang merupakan kewajiban suami, dan hal-hal yang serupa. Kedua: Syarat yang ditetapkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya, yang memberikan manfaat baginya dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala. Syarat seperti ini adalah syarat yang sah dan harus dipenuhi. Jika suami memenuhi syarat tersebut, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, maka istri berhak untuk membatalkan pernikahan. Contoh-contohnya telah disebutkan sebelumnya. Contoh syarat yang sah adalah jika suami menyetujui untuk memberikan mahar tertentu, atau tidak membawa istri keluar dari negerinya (kampung halamannya), atau tidak memisahkan dia dari orang tuanya atau anak-anaknya. Syarat-syarat seperti ini adalah sah dan harus dipenuhi oleh suami. Adapun syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah, seperti syarat untuk tidak memberi giliran kepadanya, tidak wajib dipenuhi dan dianggap batal. Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun syarat-syarat yang batil, tidak ada pengaruhnya, seperti jika disyaratkan bahwa tidak ada mahar untuknya, atau suami tidak perlu menafkahinya, atau disyaratkan tidak adanya hubungan suami-istri, atau jika istri mensyaratkan untuk diperlakukan lebih baik daripada madunya, atau jika suami mensyaratkan agar istri tidak boleh mengunjungi kedua orang tuanya atau salah satu kerabatnya, atau istri mensyaratkan agar suami menceraikan madunya.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257) Kandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, contoh syarat yang batal adalah jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain (menceraikan madunya). Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa di antara yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang adalah, وَلاَ تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا “Seorang wanita meminta suaminya menceraikan istri lain agar dia bisa mengambil apa yang ada dalam bejana itu (agar semua kebutuhannya terpenuhi, pent.).”  (HR. Bukhari no. 2140, 2723, dan Muslim no. 1413) Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh rahimahullah berkata, “Jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain, maka ini sah menurut Abu Khattab dan sebagian besar pengikutnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Pendapat kedua mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak sah; dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, karena tidak boleh mensyaratkan hal itu, dan jika disyaratkan, maka batal berdasarkan hadis, كلُّ شرطٍ ليس في كتاب الله فهو باطل “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal.” Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Syarat-syarat dalam nikah terbagi menjadi beberapa jenis: Pertama, sebagian harus dipenuhi, yaitu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, seperti memperlakukan istri dengan baik atau menceraikannya dengan baik. Kedua, sebagian lagi tidak boleh dipenuhi, seperti meminta suaminya menceraikan istri lain, karena ada larangan dalam hal ini. Ketiga, sebagian lagi diperselisihkan, seperti syarat bahwa suami tidak boleh menikah lagi, atau tidak boleh memindahkannya dari rumahnya ke rumah suaminya, dan syarat yang ditetapkan oleh salah satu pihak di luar dari mahar. Dan syarat-syarat ini serta sejenisnya dianggap sah oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Hukum Pernikahan Beda Agama *** @23 Shafar 1446/ 29 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 256-257) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 289-292). Tags: pernikahan
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akadKandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akadKandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahanKandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahanKandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Teks Hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (yaitu, syarat-syarat dalam pernikahan).” (HR. Bukhari no. 2721 dan Muslim no. 1418) Kandungan Hadis Kandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akad Yang dimaksud dengan “syarat” adalah kewajiban yang ditetapkan oleh salah satu pihak yang melakukan suatu akad atau perjanjian dengan pihak lain. Syarat tersebut hendaknya memiliki manfaat dan tujuan yang bisa dibenarkan. Syarat-syarat tersebut wajib untuk dipenuhi sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, المسلمون على شروطهم “Kaum muslimin itu terikat dengan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594, Ad-Daruquthni no. 2890. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, الأصل في العقود والشروط الجواز والصحة، ولا يحرم منها ويبطل، إلاَّ ما دلَّ الشرع على تحريمه وإبطاله، وأصول أحمد أكثرها تجري على هذا القول، ومالك قريب منه. “Pada dasarnya, semua akad dan syarat adalah sah dan diperbolehkan, tidak dilarang atau batal, kecuali yang dilarang dan dibatalkan oleh syariat. Sebagian besar kaidah (pendapat) Imam Ahmad didasarkan pada prinsip ini, dan pendapat Imam Malik pun hampir sama.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 76) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الضَّابِطُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ النَّصُّ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ خَالَفَ حُكْمَ اللَّهِ وَكِتَابَهُ، فَهُوَ بَاطِلٌ، مَا لَمْ يُخَالِفْهُ حُكْمُهُ فَهُوَ لَازِمٌ “Prinsip (kaidah) syar’i yang ditunjukkan oleh nash syariat adalah bahwa setiap syarat yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala dan kitab-Nya, maka syarat tersebut batal. Adapun syarat yang tidak bertentangan (dengan hukum Allah) adalah wajib (ditunaikan).” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 302) Kandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akad Para ulama fikih rahimamulllah mengatakan, والمعتبر من الشروط ما كان في صلب العقد “Syarat yang dianggap sah adalah yang termasuk (diucapkan atau ditetapkan) ketika akad.” Demikian pula syarat yang ditetapkan dan disepakati sebelum akad itu dianggap sama dengan syarat yang dikemukakan pada saat akad. Hal ini disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, إنه ظاهر المذهب، ومنصوص الإمام -رَحِمَهُ اللهُ-، وقول قدماء أصحابه ومحققي المتأخرين؛ لأن الأمر بالوفاء بالشروط والعقود والعهود يتناول ذلك تناولًا واحدًا “Ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhab (Hambali), dan merupakan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dan juga pendapat dari ulama terdahulu serta ulama kontemporer yang terkenal (dari madzhab Hambali). Sebab perintah untuk memenuhi syarat, akad, dan janji mencakup hal tersebut dengan cara yang sama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 32: 108-166) Dalam kitab Al-Inshaf disebutkan, وهو الصواب الذي لا شكَّ فيه “Ini adalah pendapat yang benar yang tidak diragukan lagi.” Syekh Abdullah Alu Bassam hafizhahullah berkata, وقطع به في الإقناع والمنتهى، فيكون هو المذهب “Dan ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Iqna’ dan Al-Muntaha, maka ini adalah pendapat yang dipegang.” (Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Jika syarat tersebut ditetapkan setelah akad dan akad tersebut sudah sah (terlaksana), maka menurut pendapat Imam Ahmad, syarat tersebut tidak wajib dipenuhi. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ويتوجه صحة الشرط فيه، بناءً على صحة الاستثناء منفصلًا بنيةٍ بعد اليمين “Ada kemungkinan bahwa syarat tersebut sah, berdasarkan pendapat bahwa pengecualian yang terpisah dengan niat setelah sumpah adalah sah.” (Al-Inshaf, 8: 154) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lemah. Karena jika suatu akad itu sudah sempurna, maka konsekuensinya adalah halalnya kemaluan, jadilah wanita tersebut sebagai istrinya. Sehingga suami tidak lagi terikat dengan syarat apapun setelah itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257. Lihat Asy-Syuruth fin Nikaah, hal. 33 dan Asy-Syarh Al-Mumti’, 12: 163) Kandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahan Hadis ini menunjukkan wajibnya memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma’idah: 1) Jika syarat-syarat itu tidak dianggap, tentu kita tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya. Hadis ini merupakan bukti bahwa syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah yang dengannya seorang pria menghalalkan hubungan intim dengan seorang wanita. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan syarat-syarat dalam pernikahan, menjaga untuk memenuhinya, dan tidak mengabaikan atau meremehkan syarat-syarat tersebut. Diketahui bahwa kaum muslimin harus mematuhi syarat-syarat dalam jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Namun, yang paling utama dan wajib dipenuhi adalah pernikahan, karena syarat-syarat ini berkaitan dengan halalnya hubungan suami istri. Allah Ta’ala mengagungkan perjanjian nikah, dan Dia memerintahkan untuk menjaga ikatan pernikahan ini, karena menghalalkan kemaluan bukanlah perkara yang mudah. Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa’: 19) Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 228) Dan Allah Ta’ala juga menyebut akad nikah sebagai “perjanjian yang kuat”, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bercampur satu sama lain dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?” (QS. An-Nisa’: 21) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khotbahnya di haji Wada’ menasihati umatnya, اتَّقوا الله في النساء، فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحللتم فروجهنَّ بكلمة الله، فاستوصوا فيهنَّ خيرًا “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka perlakukanlah mereka dengan baik.” (HR. Abu Dawud no. 1905, dinilai sahih oleh Al-Albani) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, هُوَ أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَى بِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى الشَّرْعِ وَالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ الصَّحِيحِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَمْ تَرْضَ بِبَذْلِ بِضْعِهَا لِلزَّوْجِ إلَّا عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، وَلَوْ لَمْ يَجِبْ الْوَفَاءُ بِهِ لَمْ يَكُنْ الْعَقْدُ عَنْ تَرَاضٍ “(Memenuhi syarat-syarat nikah yang sah) adalah kewajiban yang lebih utama untuk dipenuhi, dan ini sesuai dengan tuntutan syariat, akal, dan qiyas yang sahih. Karena seorang wanita tidak akan rela memberikan dirinya kepada suaminya kecuali dengan syarat tersebut. Jika syarat itu tidak wajib dipenuhi, maka akad itu tidak akan dilakukan dengan kerelaan.” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 266) Baca juga: Kewajiban Mengumumkan Pernikahan Kandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Jika bertentangan, maka diharamkan dan tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Mengapa ada orang yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal, meskipun seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2168, 2729) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Jika seorang wanita menetapkan syarat kepada suaminya yang memiliki tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala, dan suami tersebut setuju untuk memenuhi syarat tersebut, maka ia wajib memenuhinya. Misalnya, jika ia mensyaratkan tambahan mahar, atau mensyaratkan agar tidak dibawa keluar dari rumah atau negaranya, atau agar tinggal bersama keluarganya, atau (agar tinggal) bersama anak-anaknya, atau tinggal sendiri tanpa ada madunya di rumah tersebut, dan hal-hal semacam itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 256) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, أكثر العلماء حملوه على شرطٍ لا ينافي مقتضى النكاح، ويكون من مقاصده، كاشتراط العشرة بالمعروف، والإنفاق عليها وكسوتها، هذا؛ ومن جانب المرأة أن لا تخرج من بيته إلاَّ بإذنه. “Sebagian besar ulama menafsirkan hadis ini tentang syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan nikah, seperti kewajiban memperlakukan istri dengan baik, memberi nafkah, dan memberinya pakaian. Adapun dari pihak wanita, misalnya, dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa syarat-syarat yang sah dalam masalah ini terbagi menjadi dua: Pertama: Syarat yang terkandung dalam akad dan menjadi konsekuensi akad. Syarat seperti ini tidak perlu disebutkan secara khusus dalam akad, karena menyebutkannya dalam akad tidak akan mempengaruhi keabsahannya, dan mengabaikannya tidak akan menghilangkannya. Contohnya adalah syarat penyerahan wanita kepada suaminya dan memungkinkannya untuk menikmati hubungan suami-istri, atau syarat nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang merupakan kewajiban suami, dan hal-hal yang serupa. Kedua: Syarat yang ditetapkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya, yang memberikan manfaat baginya dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala. Syarat seperti ini adalah syarat yang sah dan harus dipenuhi. Jika suami memenuhi syarat tersebut, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, maka istri berhak untuk membatalkan pernikahan. Contoh-contohnya telah disebutkan sebelumnya. Contoh syarat yang sah adalah jika suami menyetujui untuk memberikan mahar tertentu, atau tidak membawa istri keluar dari negerinya (kampung halamannya), atau tidak memisahkan dia dari orang tuanya atau anak-anaknya. Syarat-syarat seperti ini adalah sah dan harus dipenuhi oleh suami. Adapun syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah, seperti syarat untuk tidak memberi giliran kepadanya, tidak wajib dipenuhi dan dianggap batal. Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun syarat-syarat yang batil, tidak ada pengaruhnya, seperti jika disyaratkan bahwa tidak ada mahar untuknya, atau suami tidak perlu menafkahinya, atau disyaratkan tidak adanya hubungan suami-istri, atau jika istri mensyaratkan untuk diperlakukan lebih baik daripada madunya, atau jika suami mensyaratkan agar istri tidak boleh mengunjungi kedua orang tuanya atau salah satu kerabatnya, atau istri mensyaratkan agar suami menceraikan madunya.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257) Kandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, contoh syarat yang batal adalah jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain (menceraikan madunya). Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa di antara yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang adalah, وَلاَ تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا “Seorang wanita meminta suaminya menceraikan istri lain agar dia bisa mengambil apa yang ada dalam bejana itu (agar semua kebutuhannya terpenuhi, pent.).”  (HR. Bukhari no. 2140, 2723, dan Muslim no. 1413) Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh rahimahullah berkata, “Jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain, maka ini sah menurut Abu Khattab dan sebagian besar pengikutnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Pendapat kedua mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak sah; dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, karena tidak boleh mensyaratkan hal itu, dan jika disyaratkan, maka batal berdasarkan hadis, كلُّ شرطٍ ليس في كتاب الله فهو باطل “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal.” Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Syarat-syarat dalam nikah terbagi menjadi beberapa jenis: Pertama, sebagian harus dipenuhi, yaitu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, seperti memperlakukan istri dengan baik atau menceraikannya dengan baik. Kedua, sebagian lagi tidak boleh dipenuhi, seperti meminta suaminya menceraikan istri lain, karena ada larangan dalam hal ini. Ketiga, sebagian lagi diperselisihkan, seperti syarat bahwa suami tidak boleh menikah lagi, atau tidak boleh memindahkannya dari rumahnya ke rumah suaminya, dan syarat yang ditetapkan oleh salah satu pihak di luar dari mahar. Dan syarat-syarat ini serta sejenisnya dianggap sah oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Hukum Pernikahan Beda Agama *** @23 Shafar 1446/ 29 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 256-257) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 289-292). Tags: pernikahan


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akadKandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akadKandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahanKandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahanKandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Teks Hadis Diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (yaitu, syarat-syarat dalam pernikahan).” (HR. Bukhari no. 2721 dan Muslim no. 1418) Kandungan Hadis Kandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akad Yang dimaksud dengan “syarat” adalah kewajiban yang ditetapkan oleh salah satu pihak yang melakukan suatu akad atau perjanjian dengan pihak lain. Syarat tersebut hendaknya memiliki manfaat dan tujuan yang bisa dibenarkan. Syarat-syarat tersebut wajib untuk dipenuhi sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, المسلمون على شروطهم “Kaum muslimin itu terikat dengan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594, Ad-Daruquthni no. 2890. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, الأصل في العقود والشروط الجواز والصحة، ولا يحرم منها ويبطل، إلاَّ ما دلَّ الشرع على تحريمه وإبطاله، وأصول أحمد أكثرها تجري على هذا القول، ومالك قريب منه. “Pada dasarnya, semua akad dan syarat adalah sah dan diperbolehkan, tidak dilarang atau batal, kecuali yang dilarang dan dibatalkan oleh syariat. Sebagian besar kaidah (pendapat) Imam Ahmad didasarkan pada prinsip ini, dan pendapat Imam Malik pun hampir sama.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 76) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الضَّابِطُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ النَّصُّ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ خَالَفَ حُكْمَ اللَّهِ وَكِتَابَهُ، فَهُوَ بَاطِلٌ، مَا لَمْ يُخَالِفْهُ حُكْمُهُ فَهُوَ لَازِمٌ “Prinsip (kaidah) syar’i yang ditunjukkan oleh nash syariat adalah bahwa setiap syarat yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala dan kitab-Nya, maka syarat tersebut batal. Adapun syarat yang tidak bertentangan (dengan hukum Allah) adalah wajib (ditunaikan).” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 302) Kandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akad Para ulama fikih rahimamulllah mengatakan, والمعتبر من الشروط ما كان في صلب العقد “Syarat yang dianggap sah adalah yang termasuk (diucapkan atau ditetapkan) ketika akad.” Demikian pula syarat yang ditetapkan dan disepakati sebelum akad itu dianggap sama dengan syarat yang dikemukakan pada saat akad. Hal ini disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, إنه ظاهر المذهب، ومنصوص الإمام -رَحِمَهُ اللهُ-، وقول قدماء أصحابه ومحققي المتأخرين؛ لأن الأمر بالوفاء بالشروط والعقود والعهود يتناول ذلك تناولًا واحدًا “Ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhab (Hambali), dan merupakan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dan juga pendapat dari ulama terdahulu serta ulama kontemporer yang terkenal (dari madzhab Hambali). Sebab perintah untuk memenuhi syarat, akad, dan janji mencakup hal tersebut dengan cara yang sama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 32: 108-166) Dalam kitab Al-Inshaf disebutkan, وهو الصواب الذي لا شكَّ فيه “Ini adalah pendapat yang benar yang tidak diragukan lagi.” Syekh Abdullah Alu Bassam hafizhahullah berkata, وقطع به في الإقناع والمنتهى، فيكون هو المذهب “Dan ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Iqna’ dan Al-Muntaha, maka ini adalah pendapat yang dipegang.” (Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Jika syarat tersebut ditetapkan setelah akad dan akad tersebut sudah sah (terlaksana), maka menurut pendapat Imam Ahmad, syarat tersebut tidak wajib dipenuhi. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ويتوجه صحة الشرط فيه، بناءً على صحة الاستثناء منفصلًا بنيةٍ بعد اليمين “Ada kemungkinan bahwa syarat tersebut sah, berdasarkan pendapat bahwa pengecualian yang terpisah dengan niat setelah sumpah adalah sah.” (Al-Inshaf, 8: 154) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lemah. Karena jika suatu akad itu sudah sempurna, maka konsekuensinya adalah halalnya kemaluan, jadilah wanita tersebut sebagai istrinya. Sehingga suami tidak lagi terikat dengan syarat apapun setelah itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257. Lihat Asy-Syuruth fin Nikaah, hal. 33 dan Asy-Syarh Al-Mumti’, 12: 163) Kandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahan Hadis ini menunjukkan wajibnya memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma’idah: 1) Jika syarat-syarat itu tidak dianggap, tentu kita tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya. Hadis ini merupakan bukti bahwa syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah yang dengannya seorang pria menghalalkan hubungan intim dengan seorang wanita. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan syarat-syarat dalam pernikahan, menjaga untuk memenuhinya, dan tidak mengabaikan atau meremehkan syarat-syarat tersebut. Diketahui bahwa kaum muslimin harus mematuhi syarat-syarat dalam jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Namun, yang paling utama dan wajib dipenuhi adalah pernikahan, karena syarat-syarat ini berkaitan dengan halalnya hubungan suami istri. Allah Ta’ala mengagungkan perjanjian nikah, dan Dia memerintahkan untuk menjaga ikatan pernikahan ini, karena menghalalkan kemaluan bukanlah perkara yang mudah. Allah Ta’ala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa’: 19) Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 228) Dan Allah Ta’ala juga menyebut akad nikah sebagai “perjanjian yang kuat”, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bercampur satu sama lain dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?” (QS. An-Nisa’: 21) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khotbahnya di haji Wada’ menasihati umatnya, اتَّقوا الله في النساء، فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحللتم فروجهنَّ بكلمة الله، فاستوصوا فيهنَّ خيرًا “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka perlakukanlah mereka dengan baik.” (HR. Abu Dawud no. 1905, dinilai sahih oleh Al-Albani) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, هُوَ أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَى بِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى الشَّرْعِ وَالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ الصَّحِيحِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَمْ تَرْضَ بِبَذْلِ بِضْعِهَا لِلزَّوْجِ إلَّا عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، وَلَوْ لَمْ يَجِبْ الْوَفَاءُ بِهِ لَمْ يَكُنْ الْعَقْدُ عَنْ تَرَاضٍ “(Memenuhi syarat-syarat nikah yang sah) adalah kewajiban yang lebih utama untuk dipenuhi, dan ini sesuai dengan tuntutan syariat, akal, dan qiyas yang sahih. Karena seorang wanita tidak akan rela memberikan dirinya kepada suaminya kecuali dengan syarat tersebut. Jika syarat itu tidak wajib dipenuhi, maka akad itu tidak akan dilakukan dengan kerelaan.” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 266) Baca juga: Kewajiban Mengumumkan Pernikahan Kandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Jika bertentangan, maka diharamkan dan tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Mengapa ada orang yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal, meskipun seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2168, 2729) Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Jika seorang wanita menetapkan syarat kepada suaminya yang memiliki tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala, dan suami tersebut setuju untuk memenuhi syarat tersebut, maka ia wajib memenuhinya. Misalnya, jika ia mensyaratkan tambahan mahar, atau mensyaratkan agar tidak dibawa keluar dari rumah atau negaranya, atau agar tinggal bersama keluarganya, atau (agar tinggal) bersama anak-anaknya, atau tinggal sendiri tanpa ada madunya di rumah tersebut, dan hal-hal semacam itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 256) Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, أكثر العلماء حملوه على شرطٍ لا ينافي مقتضى النكاح، ويكون من مقاصده، كاشتراط العشرة بالمعروف، والإنفاق عليها وكسوتها، هذا؛ ومن جانب المرأة أن لا تخرج من بيته إلاَّ بإذنه. “Sebagian besar ulama menafsirkan hadis ini tentang syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan nikah, seperti kewajiban memperlakukan istri dengan baik, memberi nafkah, dan memberinya pakaian. Adapun dari pihak wanita, misalnya, dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 290) Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa syarat-syarat yang sah dalam masalah ini terbagi menjadi dua: Pertama: Syarat yang terkandung dalam akad dan menjadi konsekuensi akad. Syarat seperti ini tidak perlu disebutkan secara khusus dalam akad, karena menyebutkannya dalam akad tidak akan mempengaruhi keabsahannya, dan mengabaikannya tidak akan menghilangkannya. Contohnya adalah syarat penyerahan wanita kepada suaminya dan memungkinkannya untuk menikmati hubungan suami-istri, atau syarat nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang merupakan kewajiban suami, dan hal-hal yang serupa. Kedua: Syarat yang ditetapkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya, yang memberikan manfaat baginya dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala. Syarat seperti ini adalah syarat yang sah dan harus dipenuhi. Jika suami memenuhi syarat tersebut, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, maka istri berhak untuk membatalkan pernikahan. Contoh-contohnya telah disebutkan sebelumnya. Contoh syarat yang sah adalah jika suami menyetujui untuk memberikan mahar tertentu, atau tidak membawa istri keluar dari negerinya (kampung halamannya), atau tidak memisahkan dia dari orang tuanya atau anak-anaknya. Syarat-syarat seperti ini adalah sah dan harus dipenuhi oleh suami. Adapun syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah, seperti syarat untuk tidak memberi giliran kepadanya, tidak wajib dipenuhi dan dianggap batal. Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun syarat-syarat yang batil, tidak ada pengaruhnya, seperti jika disyaratkan bahwa tidak ada mahar untuknya, atau suami tidak perlu menafkahinya, atau disyaratkan tidak adanya hubungan suami-istri, atau jika istri mensyaratkan untuk diperlakukan lebih baik daripada madunya, atau jika suami mensyaratkan agar istri tidak boleh mengunjungi kedua orang tuanya atau salah satu kerabatnya, atau istri mensyaratkan agar suami menceraikan madunya.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257) Kandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, contoh syarat yang batal adalah jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain (menceraikan madunya). Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa di antara yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang adalah, وَلاَ تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا “Seorang wanita meminta suaminya menceraikan istri lain agar dia bisa mengambil apa yang ada dalam bejana itu (agar semua kebutuhannya terpenuhi, pent.).”  (HR. Bukhari no. 2140, 2723, dan Muslim no. 1413) Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh rahimahullah berkata, “Jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain, maka ini sah menurut Abu Khattab dan sebagian besar pengikutnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Pendapat kedua mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak sah; dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, karena tidak boleh mensyaratkan hal itu, dan jika disyaratkan, maka batal berdasarkan hadis, كلُّ شرطٍ ليس في كتاب الله فهو باطل “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal.” Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Syarat-syarat dalam nikah terbagi menjadi beberapa jenis: Pertama, sebagian harus dipenuhi, yaitu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, seperti memperlakukan istri dengan baik atau menceraikannya dengan baik. Kedua, sebagian lagi tidak boleh dipenuhi, seperti meminta suaminya menceraikan istri lain, karena ada larangan dalam hal ini. Ketiga, sebagian lagi diperselisihkan, seperti syarat bahwa suami tidak boleh menikah lagi, atau tidak boleh memindahkannya dari rumahnya ke rumah suaminya, dan syarat yang ditetapkan oleh salah satu pihak di luar dari mahar. Dan syarat-syarat ini serta sejenisnya dianggap sah oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Hukum Pernikahan Beda Agama *** @23 Shafar 1446/ 29 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 256-257) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 289-292). Tags: pernikahan

Berapa Jarak Safar yang Membolehkan Qashar Shalat Menurut Hadits?

Ketika seseorang bepergian, Islam memberikan keringanan dalam melaksanakan ibadah, salah satunya adalah qashar shalat. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut tentang jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, serta ketentuan lain yang berhubungan dengan pelaksanaannya.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #433 2. Hadits #440 2.1. Faedah hadits 2.2. Referensi: Hadits #433  عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ، أَوْ فَرَاسِخَ، صَلّى رَكْعَتَيْنِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar untuk bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 691]   Hadits #440   عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ؛ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفانَ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، كَذَا أَخْرَجَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.  Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mengqashar shalat kurang dari empat burud, yaitu dari Mekkah ke Usfan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang lemah. Menurut pendapat yang benar, hadits ini mauquf sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ad-Daruquthni, 1:387 dan Al-Baihaqi, 3:137-138. Syaikh ‘Abullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan].   Faedah hadits Pertama: Boleh mengqashar shalat saat safar. Allah Ta’ala berfirman, ﴿وَإِذا ضَرَبتُم فِي الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلاةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا إِنَّ الكافِرينَ كانوا لَكُم عَدُوًّا مُبينًا﴾ [النساء: ١٠١] “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaṣar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa: 101). Berdasarkan ijmak para ulama, qashar shalat ini berlaku pada shalat Zhuhur, Ashar, dan Isyak. Safar yang dibolehkan qashar shalat adalah untuk perjalanan darat, air, dan udara. Kedua: Hadis yang menyebutkan jarak tiga mil tidaklah dimaksudkan sebagai batasan pasti untuk melakukan qashar shalat. Sebaliknya, penerapan qashar shalat bergantung pada kebutuhan (hajat) individu. Jika memang bersafar menempuh jarak yang dibolehkan qashar pada jarak tiga mil, maka silakan melakukannya dengan qashar. Jarak minimal yang umumnya disebutkan oleh para ulama untuk melakukan qashar shalat adalah 85 kilometer, baik dalam perjalanan darat, laut, maupun udara. Jarak ini diukur dari tempat bermukim seseorang hingga ke tempat tujuan perjalanannya. Pelaksanaan qashar shalat dapat dimulai setelah melewati batas wilayah tempat tinggal. Surah An-Nisaa’ ayat 101 menyebutkan, “dhorobtum fil ardh,” yang mengindikasikan bahwa qashar shalat dilakukan setelah seseorang meninggalkan batas kota atau perkampungannya. Dalam konteks masa kini, mencapai bandara umumnya dianggap sebagai telah berada di luar batas kota. Bandara modern seringkali terletak di pinggiran kota dan dianggap sebagai wilayah yang terpisah, di mana keberadaan seseorang di sana umumnya memerlukan izin tertentu seperti visa. Oleh karena itu, saat seseorang sudah berada di bandara (walaupun bandara tersebut berada di tengah kota), ia dianggap telah memenuhi syarat untuk melakukan qashar shalat. Lihat penjelasan dari Syaikh Prof. Muhammad Az-Zuhaily dalam Fiqh Bulugh Al-Maram, 2:67. Ketiga: Dalil yang mendasari penentuan jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, yaitu sekitar 84 atau 85 kilometer, berasal dari hadis berikut: وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al-Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Keempat: Menurut ijmak (konsensus para ulama), tidak diperbolehkan mengqashar shalat Shubuh dan Maghrib. Selain itu, shalat nadzar yang jumlah rakaatnya empat juga tidak dapat diqashar. Hal yang sama berlaku untuk shalat sunnah yang empat rakaat tidak bisa diqashar, seperti shalat qabliyah Zhuhur dan qabliyah Ashar. Shalat yang tertinggal saat mukim (misalnya, shalat Zhuhur yang terlewat saat berada di tempat tinggal) tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat saat dalam safar, karena shalat tersebut tetap menjadi tanggungan (dzimmah) yang harus dilaksanakan secara sempurna. Sebaliknya, shalat yang terlewat saat safar dapat tetap diqashar jika shalat tersebut dilaksanakan saat masih dalam perjalanan. Namun, jika shalat tersebut dikerjakan saat mukim, maka tidak boleh diqashar, karena tidak ada alasan untuk qashar ketika shalat dilakukan pada waktunya (ada-an) di tempat tinggal. Baca juga: Pengertian Safar dan Jarak Safar Kelima: Hadits #440 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang tepat adalah hanyalah perkataan sahabat (hadits mawquf). Imam Bukhari memiliki riwayat yang mawquf tetapi tanpa sanad (mu’allaq). Imam Bukhari menyebutkan dalam Bab “Berapa jarak boleh qashar shalat?” Imam Bukhari menyatakan, “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan ifthar (memutuskan tidak berpuasa) pada jarak safar empat burud yang sama dengan 16 farsakh.” Imam Al-Baihaqi telah menyatakan washal (bersambungnya hadits ini) dalam kitab beliau (3:137) dengan sanad yang sahih. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq, 2:514; Ibnu Abi Syaibah, 2:445; dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa shalat tidaklah diqashar menuju Arafah, lembah kurma; qashar shalat baru dilakukan jika bersafar ke ‘Usfan, Thaif, dan Jeddah.” Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh. Keenam: Hadits #440 adalah hadits yang menunjukkan bahwa minimal jarak safar adalah empat burud, yang sama dengan 85 KM. Karena ‘Usfan adalah daerah dengan jarak 80-an KM dari Makkah ke utara menuju Madinah. Hadits ini dianggap lemah sehingga yang tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, jarak safar itu kembali kepada urf manusia. Jarak safar yang dianggap sudah boleh mengqashar shalat oleh masyarakat itulah yang dijadikan patokan. Namun, jarak safar yang 85 KM lebih jelas sebagai patokan berdasarkan pendapat jumhur ulama. Ketujuh: Safar yang dibolehkan mengqashar shalat adalah safar yang bukan maksiat. Qashar shalat barulah dimulai setelah berpisah dari batas mukim (batas kota). Qashar shalat dilakukan selama safar dan sebelum sampai di tempat mukim.   Referensi: Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:67-68. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Kamis sore @ Makkah Al-Mukarramah, 8 Rabiul Awal 1446 H, 12 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar

Berapa Jarak Safar yang Membolehkan Qashar Shalat Menurut Hadits?

Ketika seseorang bepergian, Islam memberikan keringanan dalam melaksanakan ibadah, salah satunya adalah qashar shalat. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut tentang jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, serta ketentuan lain yang berhubungan dengan pelaksanaannya.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #433 2. Hadits #440 2.1. Faedah hadits 2.2. Referensi: Hadits #433  عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ، أَوْ فَرَاسِخَ، صَلّى رَكْعَتَيْنِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar untuk bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 691]   Hadits #440   عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ؛ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفانَ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، كَذَا أَخْرَجَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.  Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mengqashar shalat kurang dari empat burud, yaitu dari Mekkah ke Usfan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang lemah. Menurut pendapat yang benar, hadits ini mauquf sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ad-Daruquthni, 1:387 dan Al-Baihaqi, 3:137-138. Syaikh ‘Abullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan].   Faedah hadits Pertama: Boleh mengqashar shalat saat safar. Allah Ta’ala berfirman, ﴿وَإِذا ضَرَبتُم فِي الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلاةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا إِنَّ الكافِرينَ كانوا لَكُم عَدُوًّا مُبينًا﴾ [النساء: ١٠١] “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaṣar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa: 101). Berdasarkan ijmak para ulama, qashar shalat ini berlaku pada shalat Zhuhur, Ashar, dan Isyak. Safar yang dibolehkan qashar shalat adalah untuk perjalanan darat, air, dan udara. Kedua: Hadis yang menyebutkan jarak tiga mil tidaklah dimaksudkan sebagai batasan pasti untuk melakukan qashar shalat. Sebaliknya, penerapan qashar shalat bergantung pada kebutuhan (hajat) individu. Jika memang bersafar menempuh jarak yang dibolehkan qashar pada jarak tiga mil, maka silakan melakukannya dengan qashar. Jarak minimal yang umumnya disebutkan oleh para ulama untuk melakukan qashar shalat adalah 85 kilometer, baik dalam perjalanan darat, laut, maupun udara. Jarak ini diukur dari tempat bermukim seseorang hingga ke tempat tujuan perjalanannya. Pelaksanaan qashar shalat dapat dimulai setelah melewati batas wilayah tempat tinggal. Surah An-Nisaa’ ayat 101 menyebutkan, “dhorobtum fil ardh,” yang mengindikasikan bahwa qashar shalat dilakukan setelah seseorang meninggalkan batas kota atau perkampungannya. Dalam konteks masa kini, mencapai bandara umumnya dianggap sebagai telah berada di luar batas kota. Bandara modern seringkali terletak di pinggiran kota dan dianggap sebagai wilayah yang terpisah, di mana keberadaan seseorang di sana umumnya memerlukan izin tertentu seperti visa. Oleh karena itu, saat seseorang sudah berada di bandara (walaupun bandara tersebut berada di tengah kota), ia dianggap telah memenuhi syarat untuk melakukan qashar shalat. Lihat penjelasan dari Syaikh Prof. Muhammad Az-Zuhaily dalam Fiqh Bulugh Al-Maram, 2:67. Ketiga: Dalil yang mendasari penentuan jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, yaitu sekitar 84 atau 85 kilometer, berasal dari hadis berikut: وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al-Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Keempat: Menurut ijmak (konsensus para ulama), tidak diperbolehkan mengqashar shalat Shubuh dan Maghrib. Selain itu, shalat nadzar yang jumlah rakaatnya empat juga tidak dapat diqashar. Hal yang sama berlaku untuk shalat sunnah yang empat rakaat tidak bisa diqashar, seperti shalat qabliyah Zhuhur dan qabliyah Ashar. Shalat yang tertinggal saat mukim (misalnya, shalat Zhuhur yang terlewat saat berada di tempat tinggal) tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat saat dalam safar, karena shalat tersebut tetap menjadi tanggungan (dzimmah) yang harus dilaksanakan secara sempurna. Sebaliknya, shalat yang terlewat saat safar dapat tetap diqashar jika shalat tersebut dilaksanakan saat masih dalam perjalanan. Namun, jika shalat tersebut dikerjakan saat mukim, maka tidak boleh diqashar, karena tidak ada alasan untuk qashar ketika shalat dilakukan pada waktunya (ada-an) di tempat tinggal. Baca juga: Pengertian Safar dan Jarak Safar Kelima: Hadits #440 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang tepat adalah hanyalah perkataan sahabat (hadits mawquf). Imam Bukhari memiliki riwayat yang mawquf tetapi tanpa sanad (mu’allaq). Imam Bukhari menyebutkan dalam Bab “Berapa jarak boleh qashar shalat?” Imam Bukhari menyatakan, “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan ifthar (memutuskan tidak berpuasa) pada jarak safar empat burud yang sama dengan 16 farsakh.” Imam Al-Baihaqi telah menyatakan washal (bersambungnya hadits ini) dalam kitab beliau (3:137) dengan sanad yang sahih. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq, 2:514; Ibnu Abi Syaibah, 2:445; dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa shalat tidaklah diqashar menuju Arafah, lembah kurma; qashar shalat baru dilakukan jika bersafar ke ‘Usfan, Thaif, dan Jeddah.” Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh. Keenam: Hadits #440 adalah hadits yang menunjukkan bahwa minimal jarak safar adalah empat burud, yang sama dengan 85 KM. Karena ‘Usfan adalah daerah dengan jarak 80-an KM dari Makkah ke utara menuju Madinah. Hadits ini dianggap lemah sehingga yang tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, jarak safar itu kembali kepada urf manusia. Jarak safar yang dianggap sudah boleh mengqashar shalat oleh masyarakat itulah yang dijadikan patokan. Namun, jarak safar yang 85 KM lebih jelas sebagai patokan berdasarkan pendapat jumhur ulama. Ketujuh: Safar yang dibolehkan mengqashar shalat adalah safar yang bukan maksiat. Qashar shalat barulah dimulai setelah berpisah dari batas mukim (batas kota). Qashar shalat dilakukan selama safar dan sebelum sampai di tempat mukim.   Referensi: Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:67-68. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Kamis sore @ Makkah Al-Mukarramah, 8 Rabiul Awal 1446 H, 12 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar
Ketika seseorang bepergian, Islam memberikan keringanan dalam melaksanakan ibadah, salah satunya adalah qashar shalat. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut tentang jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, serta ketentuan lain yang berhubungan dengan pelaksanaannya.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #433 2. Hadits #440 2.1. Faedah hadits 2.2. Referensi: Hadits #433  عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ، أَوْ فَرَاسِخَ، صَلّى رَكْعَتَيْنِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar untuk bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 691]   Hadits #440   عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ؛ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفانَ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، كَذَا أَخْرَجَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.  Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mengqashar shalat kurang dari empat burud, yaitu dari Mekkah ke Usfan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang lemah. Menurut pendapat yang benar, hadits ini mauquf sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ad-Daruquthni, 1:387 dan Al-Baihaqi, 3:137-138. Syaikh ‘Abullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan].   Faedah hadits Pertama: Boleh mengqashar shalat saat safar. Allah Ta’ala berfirman, ﴿وَإِذا ضَرَبتُم فِي الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلاةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا إِنَّ الكافِرينَ كانوا لَكُم عَدُوًّا مُبينًا﴾ [النساء: ١٠١] “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaṣar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa: 101). Berdasarkan ijmak para ulama, qashar shalat ini berlaku pada shalat Zhuhur, Ashar, dan Isyak. Safar yang dibolehkan qashar shalat adalah untuk perjalanan darat, air, dan udara. Kedua: Hadis yang menyebutkan jarak tiga mil tidaklah dimaksudkan sebagai batasan pasti untuk melakukan qashar shalat. Sebaliknya, penerapan qashar shalat bergantung pada kebutuhan (hajat) individu. Jika memang bersafar menempuh jarak yang dibolehkan qashar pada jarak tiga mil, maka silakan melakukannya dengan qashar. Jarak minimal yang umumnya disebutkan oleh para ulama untuk melakukan qashar shalat adalah 85 kilometer, baik dalam perjalanan darat, laut, maupun udara. Jarak ini diukur dari tempat bermukim seseorang hingga ke tempat tujuan perjalanannya. Pelaksanaan qashar shalat dapat dimulai setelah melewati batas wilayah tempat tinggal. Surah An-Nisaa’ ayat 101 menyebutkan, “dhorobtum fil ardh,” yang mengindikasikan bahwa qashar shalat dilakukan setelah seseorang meninggalkan batas kota atau perkampungannya. Dalam konteks masa kini, mencapai bandara umumnya dianggap sebagai telah berada di luar batas kota. Bandara modern seringkali terletak di pinggiran kota dan dianggap sebagai wilayah yang terpisah, di mana keberadaan seseorang di sana umumnya memerlukan izin tertentu seperti visa. Oleh karena itu, saat seseorang sudah berada di bandara (walaupun bandara tersebut berada di tengah kota), ia dianggap telah memenuhi syarat untuk melakukan qashar shalat. Lihat penjelasan dari Syaikh Prof. Muhammad Az-Zuhaily dalam Fiqh Bulugh Al-Maram, 2:67. Ketiga: Dalil yang mendasari penentuan jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, yaitu sekitar 84 atau 85 kilometer, berasal dari hadis berikut: وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al-Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Keempat: Menurut ijmak (konsensus para ulama), tidak diperbolehkan mengqashar shalat Shubuh dan Maghrib. Selain itu, shalat nadzar yang jumlah rakaatnya empat juga tidak dapat diqashar. Hal yang sama berlaku untuk shalat sunnah yang empat rakaat tidak bisa diqashar, seperti shalat qabliyah Zhuhur dan qabliyah Ashar. Shalat yang tertinggal saat mukim (misalnya, shalat Zhuhur yang terlewat saat berada di tempat tinggal) tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat saat dalam safar, karena shalat tersebut tetap menjadi tanggungan (dzimmah) yang harus dilaksanakan secara sempurna. Sebaliknya, shalat yang terlewat saat safar dapat tetap diqashar jika shalat tersebut dilaksanakan saat masih dalam perjalanan. Namun, jika shalat tersebut dikerjakan saat mukim, maka tidak boleh diqashar, karena tidak ada alasan untuk qashar ketika shalat dilakukan pada waktunya (ada-an) di tempat tinggal. Baca juga: Pengertian Safar dan Jarak Safar Kelima: Hadits #440 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang tepat adalah hanyalah perkataan sahabat (hadits mawquf). Imam Bukhari memiliki riwayat yang mawquf tetapi tanpa sanad (mu’allaq). Imam Bukhari menyebutkan dalam Bab “Berapa jarak boleh qashar shalat?” Imam Bukhari menyatakan, “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan ifthar (memutuskan tidak berpuasa) pada jarak safar empat burud yang sama dengan 16 farsakh.” Imam Al-Baihaqi telah menyatakan washal (bersambungnya hadits ini) dalam kitab beliau (3:137) dengan sanad yang sahih. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq, 2:514; Ibnu Abi Syaibah, 2:445; dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa shalat tidaklah diqashar menuju Arafah, lembah kurma; qashar shalat baru dilakukan jika bersafar ke ‘Usfan, Thaif, dan Jeddah.” Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh. Keenam: Hadits #440 adalah hadits yang menunjukkan bahwa minimal jarak safar adalah empat burud, yang sama dengan 85 KM. Karena ‘Usfan adalah daerah dengan jarak 80-an KM dari Makkah ke utara menuju Madinah. Hadits ini dianggap lemah sehingga yang tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, jarak safar itu kembali kepada urf manusia. Jarak safar yang dianggap sudah boleh mengqashar shalat oleh masyarakat itulah yang dijadikan patokan. Namun, jarak safar yang 85 KM lebih jelas sebagai patokan berdasarkan pendapat jumhur ulama. Ketujuh: Safar yang dibolehkan mengqashar shalat adalah safar yang bukan maksiat. Qashar shalat barulah dimulai setelah berpisah dari batas mukim (batas kota). Qashar shalat dilakukan selama safar dan sebelum sampai di tempat mukim.   Referensi: Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:67-68. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Kamis sore @ Makkah Al-Mukarramah, 8 Rabiul Awal 1446 H, 12 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar


Ketika seseorang bepergian, Islam memberikan keringanan dalam melaksanakan ibadah, salah satunya adalah qashar shalat. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut tentang jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, serta ketentuan lain yang berhubungan dengan pelaksanaannya.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Daftar Isi tutup 1. Hadits #433 2. Hadits #440 2.1. Faedah hadits 2.2. Referensi: Hadits #433  عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ، أَوْ فَرَاسِخَ، صَلّى رَكْعَتَيْنِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar untuk bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 691]   Hadits #440   عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ؛ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفانَ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، كَذَا أَخْرَجَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.  Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mengqashar shalat kurang dari empat burud, yaitu dari Mekkah ke Usfan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang lemah. Menurut pendapat yang benar, hadits ini mauquf sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ad-Daruquthni, 1:387 dan Al-Baihaqi, 3:137-138. Syaikh ‘Abullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan].   Faedah hadits Pertama: Boleh mengqashar shalat saat safar. Allah Ta’ala berfirman, ﴿وَإِذا ضَرَبتُم فِي الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلاةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا إِنَّ الكافِرينَ كانوا لَكُم عَدُوًّا مُبينًا﴾ [النساء: ١٠١] “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaṣar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa: 101). Berdasarkan ijmak para ulama, qashar shalat ini berlaku pada shalat Zhuhur, Ashar, dan Isyak. Safar yang dibolehkan qashar shalat adalah untuk perjalanan darat, air, dan udara. Kedua: Hadis yang menyebutkan jarak tiga mil tidaklah dimaksudkan sebagai batasan pasti untuk melakukan qashar shalat. Sebaliknya, penerapan qashar shalat bergantung pada kebutuhan (hajat) individu. Jika memang bersafar menempuh jarak yang dibolehkan qashar pada jarak tiga mil, maka silakan melakukannya dengan qashar. Jarak minimal yang umumnya disebutkan oleh para ulama untuk melakukan qashar shalat adalah 85 kilometer, baik dalam perjalanan darat, laut, maupun udara. Jarak ini diukur dari tempat bermukim seseorang hingga ke tempat tujuan perjalanannya. Pelaksanaan qashar shalat dapat dimulai setelah melewati batas wilayah tempat tinggal. Surah An-Nisaa’ ayat 101 menyebutkan, “dhorobtum fil ardh,” yang mengindikasikan bahwa qashar shalat dilakukan setelah seseorang meninggalkan batas kota atau perkampungannya. Dalam konteks masa kini, mencapai bandara umumnya dianggap sebagai telah berada di luar batas kota. Bandara modern seringkali terletak di pinggiran kota dan dianggap sebagai wilayah yang terpisah, di mana keberadaan seseorang di sana umumnya memerlukan izin tertentu seperti visa. Oleh karena itu, saat seseorang sudah berada di bandara (walaupun bandara tersebut berada di tengah kota), ia dianggap telah memenuhi syarat untuk melakukan qashar shalat. Lihat penjelasan dari Syaikh Prof. Muhammad Az-Zuhaily dalam Fiqh Bulugh Al-Maram, 2:67. Ketiga: Dalil yang mendasari penentuan jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, yaitu sekitar 84 atau 85 kilometer, berasal dari hadis berikut: وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al-Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Keempat: Menurut ijmak (konsensus para ulama), tidak diperbolehkan mengqashar shalat Shubuh dan Maghrib. Selain itu, shalat nadzar yang jumlah rakaatnya empat juga tidak dapat diqashar. Hal yang sama berlaku untuk shalat sunnah yang empat rakaat tidak bisa diqashar, seperti shalat qabliyah Zhuhur dan qabliyah Ashar. Shalat yang tertinggal saat mukim (misalnya, shalat Zhuhur yang terlewat saat berada di tempat tinggal) tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat saat dalam safar, karena shalat tersebut tetap menjadi tanggungan (dzimmah) yang harus dilaksanakan secara sempurna. Sebaliknya, shalat yang terlewat saat safar dapat tetap diqashar jika shalat tersebut dilaksanakan saat masih dalam perjalanan. Namun, jika shalat tersebut dikerjakan saat mukim, maka tidak boleh diqashar, karena tidak ada alasan untuk qashar ketika shalat dilakukan pada waktunya (ada-an) di tempat tinggal. Baca juga: Pengertian Safar dan Jarak Safar Kelima: Hadits #440 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang tepat adalah hanyalah perkataan sahabat (hadits mawquf). Imam Bukhari memiliki riwayat yang mawquf tetapi tanpa sanad (mu’allaq). Imam Bukhari menyebutkan dalam Bab “Berapa jarak boleh qashar shalat?” Imam Bukhari menyatakan, “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan ifthar (memutuskan tidak berpuasa) pada jarak safar empat burud yang sama dengan 16 farsakh.” Imam Al-Baihaqi telah menyatakan washal (bersambungnya hadits ini) dalam kitab beliau (3:137) dengan sanad yang sahih. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq, 2:514; Ibnu Abi Syaibah, 2:445; dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa shalat tidaklah diqashar menuju Arafah, lembah kurma; qashar shalat baru dilakukan jika bersafar ke ‘Usfan, Thaif, dan Jeddah.” Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh. Keenam: Hadits #440 adalah hadits yang menunjukkan bahwa minimal jarak safar adalah empat burud, yang sama dengan 85 KM. Karena ‘Usfan adalah daerah dengan jarak 80-an KM dari Makkah ke utara menuju Madinah. Hadits ini dianggap lemah sehingga yang tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, jarak safar itu kembali kepada urf manusia. Jarak safar yang dianggap sudah boleh mengqashar shalat oleh masyarakat itulah yang dijadikan patokan. Namun, jarak safar yang 85 KM lebih jelas sebagai patokan berdasarkan pendapat jumhur ulama. Ketujuh: Safar yang dibolehkan mengqashar shalat adalah safar yang bukan maksiat. Qashar shalat barulah dimulai setelah berpisah dari batas mukim (batas kota). Qashar shalat dilakukan selama safar dan sebelum sampai di tempat mukim.   Referensi: Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:67-68. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.   –   Diselesaikan pada Kamis sore @ Makkah Al-Mukarramah, 8 Rabiul Awal 1446 H, 12 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar jamak shalat keringanan saat safar panduan safar qashar shalat Safar shalat saat safar

Belum Pernah Akikah, Apakah Boleh Mengakikahkan Diri Sendiri?

Sesungguhnya akikah adalah sunah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, para ahli fikih dari kalangan tabi’in, dan para imam di berbagai negeri. Tidak ada yang menyelisihi tentang disyariatkannya akikah, kecuali para penganut pemahaman rasionalis (ahlurra’yi), yang mengatakan bahwa akikah adalah amalan jahiliah. Hujah (dalil) yang digunakan oleh mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa‘, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من وُلِدَ لهُ ولدٌ فأحبَّ أن يَنسُكَ عنهُ فلينسُكْ “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, dan ia ingin menyembelih akikah untuknya, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Perintah dalam hadis ini menunjukkan anjuran (bukan kewajiban). Para sahabat dan tabi’in telah melaksanakan akikah secara terus-menerus. Abu Zinad berkata, “Akikah adalah sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang, mereka tidak suka meninggalkannya.” Beberapa ulama menganjurkan agar akikah disembelih pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas, dan jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Dasar dari anjuran ini adalah hadis dari Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, diberi nama pada hari itu.” (HR. Abu Dawud no. 2838) Al-Khattabi berkata, “Orang-orang berbeda pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap anak tergadai dengan akikahnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa maknanya adalah jika anak tersebut meninggal saat masih kecil dan belum diakikahi, maka ia tidak akan memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya adalah akikah itu suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga disamakan dengan kewajiban menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai. Dan berdasarkan pendapat ini, para ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa akikah adalah wajib.” Jika akikah disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka akikah tersebut tetap sah karena tujuannya telah tercapai. Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Kurz, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عن الغلامِ شاتان متكافئتان وعن الجاريةِ شاةٌ ‘’Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing yang sepadan; dan untuk anak perempuan, akikahnya satu ekor kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Akikah tidak disyariatkan untuk orang tua yang telah meninggal dunia, karena seseorang yang telah mencapai usia dewasa tidak boleh diakikahi oleh orang lain. Namun, menurut beberapa ulama, ia boleh mengakikahi dirinya sendiri. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Tentang seorang pria yang diberitahu oleh ayahnya bahwa ayahnya tersebut belum mengakikahi dirinya, apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri?” Beliau menjawab, “Itu adalah tanggungan ayah.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri setelah dewasa?” Beliau menjawab, “Saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Penanya bertanya lagi, “Ayahnya dulu miskin, kemudian menjadi kaya, lalu ia ingin mengakikahi anaknya yang sudah dewasa?” Beliau menjawab: “Saya tidak tahu, dan saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Kemudian beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dan barangsiapa yang melakukannya (akikah untuk dirinya sendiri setelah dewasa), maka itu baik. Dan sebagian ulama mewajibkannya.” (Selesai kutipan dari Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 87) Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ar-Rafi’i, “Pendapat yang dipilih adalah jangan menunda akikah hingga anak mencapai usia balig. Jika ditunda hingga anak balig, maka gugurlah tanggungan akikah dari orang yang hendak mengakikahi anak tersebut. Namun, jika anak tersebut ingin mengakikahi dirinya sendiri, maka ia boleh melakukannya.” Beliau (Ibnu Hajar) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, beliau berkata, ‘Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.’ Dan Al-Qaffal memilih pendapat ini.” Sedangkan diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Buwaithi, “Tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa.” Ini bukanlah pernyataan yang melarang seseorang mengakikahi dirinya sendiri, tetapi bisa jadi maksudnya adalah tidak boleh mengakikahi orang lain jika ia sudah dewasa.” (Selesai kutipan dari Fathul Bari, 9: 595) Seseorang bertanya kepada Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Ibu saya sudah meninggal dan saya ingin melaksanakan akikah untuknya. Tapi, seorang imam di Baghdad mengatakan bahwa akikah hanya untuk orang yang masih hidup. Bagaimana hukumnya menurut Islam?” Syekh Ibnu Utsaimin menjawab, “Akikah tidak dilakukan untuk orang yang sudah meninggal. Akikah dilakukan saat bayi lahir, pada hari ketujuh. Sangat dianjurkan bagi ayah untuk mengakikahi anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan, satu ekor kambing. Akikah disembelih pada hari ketujuh, lalu sebagian dagingnya dimakan, disedekahkan, dan dihadiahkan. Boleh saja mengundang keluarga dan tetangga saat akikah, dan juga bersedekah sebagian dagingnya. Jika seseorang tidak mampu, dan hanya bisa menyembelih satu ekor kambing untuk akikah anak laki-lakinya, maka itu sudah cukup. Para ulama berkata, ‘Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan akikah pada hari ketujuh, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas. Jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Jika masih tidak memungkinkan juga, maka boleh dilakukan pada hari apa pun yang diinginkan. Inilah akikah.’ Adapun bagi orang yang telah meninggal, akikah tidak dapat dilakukan untuknya. Namun, kita dapat mendoakannya agar mendapatkan rahmat dan ampunan. Doa untuknya lebih baik daripada amalan lainnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له. ‘Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah (yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.‘ (HR. Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘anak saleh yang mendoakannya’, bukan ‘anak saleh yang berpuasa untuknya, salat untuknya, bersedekah untuknya, atau yang semisalnya’. Ini menunjukkan bahwa doa lebih baik daripada amalan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Meskipun demikian, jika seseorang menghadiahkan amalan saleh kepada orang yang telah meninggal, seperti bersedekah dengan niat untuk orang yang meninggal, salat dua rakaat dengan niat untuk orang yang meninggal, atau membaca Al-Qur’an dengan niat untuk orang yang meninggal, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Namun, doa tetap lebih baik dari semua itu, karena itulah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Selesai kutipan dari Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 14: 2) Dan Anda boleh bersedekah untuknya (ayah Anda) dengan menyembelih hewan atau memberikan sedekah lainnya, karena sedekah untuk orang yang telah meninggal akan sampai pahalanya kepadanya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sehingga kesimpulan untuk permasalahan bagi orang dewasa, namun belum akikah adalah akikah tersebut bukan tanggungan orang tuanya lagi, dan ia boleh mengakikahkan dirinya sendiri. Adapun bagi yang telah meninggal dunia, maka tidak perlu mengakikahkannya. Baca juga: Akikah, Ibadah Sekali Seumur Hidup *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa islamweb.net dan islamqa.info Tags: akikah

Belum Pernah Akikah, Apakah Boleh Mengakikahkan Diri Sendiri?

Sesungguhnya akikah adalah sunah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, para ahli fikih dari kalangan tabi’in, dan para imam di berbagai negeri. Tidak ada yang menyelisihi tentang disyariatkannya akikah, kecuali para penganut pemahaman rasionalis (ahlurra’yi), yang mengatakan bahwa akikah adalah amalan jahiliah. Hujah (dalil) yang digunakan oleh mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa‘, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من وُلِدَ لهُ ولدٌ فأحبَّ أن يَنسُكَ عنهُ فلينسُكْ “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, dan ia ingin menyembelih akikah untuknya, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Perintah dalam hadis ini menunjukkan anjuran (bukan kewajiban). Para sahabat dan tabi’in telah melaksanakan akikah secara terus-menerus. Abu Zinad berkata, “Akikah adalah sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang, mereka tidak suka meninggalkannya.” Beberapa ulama menganjurkan agar akikah disembelih pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas, dan jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Dasar dari anjuran ini adalah hadis dari Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, diberi nama pada hari itu.” (HR. Abu Dawud no. 2838) Al-Khattabi berkata, “Orang-orang berbeda pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap anak tergadai dengan akikahnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa maknanya adalah jika anak tersebut meninggal saat masih kecil dan belum diakikahi, maka ia tidak akan memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya adalah akikah itu suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga disamakan dengan kewajiban menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai. Dan berdasarkan pendapat ini, para ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa akikah adalah wajib.” Jika akikah disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka akikah tersebut tetap sah karena tujuannya telah tercapai. Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Kurz, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عن الغلامِ شاتان متكافئتان وعن الجاريةِ شاةٌ ‘’Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing yang sepadan; dan untuk anak perempuan, akikahnya satu ekor kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Akikah tidak disyariatkan untuk orang tua yang telah meninggal dunia, karena seseorang yang telah mencapai usia dewasa tidak boleh diakikahi oleh orang lain. Namun, menurut beberapa ulama, ia boleh mengakikahi dirinya sendiri. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Tentang seorang pria yang diberitahu oleh ayahnya bahwa ayahnya tersebut belum mengakikahi dirinya, apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri?” Beliau menjawab, “Itu adalah tanggungan ayah.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri setelah dewasa?” Beliau menjawab, “Saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Penanya bertanya lagi, “Ayahnya dulu miskin, kemudian menjadi kaya, lalu ia ingin mengakikahi anaknya yang sudah dewasa?” Beliau menjawab: “Saya tidak tahu, dan saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Kemudian beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dan barangsiapa yang melakukannya (akikah untuk dirinya sendiri setelah dewasa), maka itu baik. Dan sebagian ulama mewajibkannya.” (Selesai kutipan dari Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 87) Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ar-Rafi’i, “Pendapat yang dipilih adalah jangan menunda akikah hingga anak mencapai usia balig. Jika ditunda hingga anak balig, maka gugurlah tanggungan akikah dari orang yang hendak mengakikahi anak tersebut. Namun, jika anak tersebut ingin mengakikahi dirinya sendiri, maka ia boleh melakukannya.” Beliau (Ibnu Hajar) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, beliau berkata, ‘Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.’ Dan Al-Qaffal memilih pendapat ini.” Sedangkan diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Buwaithi, “Tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa.” Ini bukanlah pernyataan yang melarang seseorang mengakikahi dirinya sendiri, tetapi bisa jadi maksudnya adalah tidak boleh mengakikahi orang lain jika ia sudah dewasa.” (Selesai kutipan dari Fathul Bari, 9: 595) Seseorang bertanya kepada Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Ibu saya sudah meninggal dan saya ingin melaksanakan akikah untuknya. Tapi, seorang imam di Baghdad mengatakan bahwa akikah hanya untuk orang yang masih hidup. Bagaimana hukumnya menurut Islam?” Syekh Ibnu Utsaimin menjawab, “Akikah tidak dilakukan untuk orang yang sudah meninggal. Akikah dilakukan saat bayi lahir, pada hari ketujuh. Sangat dianjurkan bagi ayah untuk mengakikahi anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan, satu ekor kambing. Akikah disembelih pada hari ketujuh, lalu sebagian dagingnya dimakan, disedekahkan, dan dihadiahkan. Boleh saja mengundang keluarga dan tetangga saat akikah, dan juga bersedekah sebagian dagingnya. Jika seseorang tidak mampu, dan hanya bisa menyembelih satu ekor kambing untuk akikah anak laki-lakinya, maka itu sudah cukup. Para ulama berkata, ‘Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan akikah pada hari ketujuh, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas. Jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Jika masih tidak memungkinkan juga, maka boleh dilakukan pada hari apa pun yang diinginkan. Inilah akikah.’ Adapun bagi orang yang telah meninggal, akikah tidak dapat dilakukan untuknya. Namun, kita dapat mendoakannya agar mendapatkan rahmat dan ampunan. Doa untuknya lebih baik daripada amalan lainnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له. ‘Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah (yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.‘ (HR. Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘anak saleh yang mendoakannya’, bukan ‘anak saleh yang berpuasa untuknya, salat untuknya, bersedekah untuknya, atau yang semisalnya’. Ini menunjukkan bahwa doa lebih baik daripada amalan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Meskipun demikian, jika seseorang menghadiahkan amalan saleh kepada orang yang telah meninggal, seperti bersedekah dengan niat untuk orang yang meninggal, salat dua rakaat dengan niat untuk orang yang meninggal, atau membaca Al-Qur’an dengan niat untuk orang yang meninggal, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Namun, doa tetap lebih baik dari semua itu, karena itulah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Selesai kutipan dari Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 14: 2) Dan Anda boleh bersedekah untuknya (ayah Anda) dengan menyembelih hewan atau memberikan sedekah lainnya, karena sedekah untuk orang yang telah meninggal akan sampai pahalanya kepadanya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sehingga kesimpulan untuk permasalahan bagi orang dewasa, namun belum akikah adalah akikah tersebut bukan tanggungan orang tuanya lagi, dan ia boleh mengakikahkan dirinya sendiri. Adapun bagi yang telah meninggal dunia, maka tidak perlu mengakikahkannya. Baca juga: Akikah, Ibadah Sekali Seumur Hidup *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa islamweb.net dan islamqa.info Tags: akikah
Sesungguhnya akikah adalah sunah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, para ahli fikih dari kalangan tabi’in, dan para imam di berbagai negeri. Tidak ada yang menyelisihi tentang disyariatkannya akikah, kecuali para penganut pemahaman rasionalis (ahlurra’yi), yang mengatakan bahwa akikah adalah amalan jahiliah. Hujah (dalil) yang digunakan oleh mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa‘, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من وُلِدَ لهُ ولدٌ فأحبَّ أن يَنسُكَ عنهُ فلينسُكْ “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, dan ia ingin menyembelih akikah untuknya, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Perintah dalam hadis ini menunjukkan anjuran (bukan kewajiban). Para sahabat dan tabi’in telah melaksanakan akikah secara terus-menerus. Abu Zinad berkata, “Akikah adalah sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang, mereka tidak suka meninggalkannya.” Beberapa ulama menganjurkan agar akikah disembelih pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas, dan jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Dasar dari anjuran ini adalah hadis dari Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, diberi nama pada hari itu.” (HR. Abu Dawud no. 2838) Al-Khattabi berkata, “Orang-orang berbeda pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap anak tergadai dengan akikahnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa maknanya adalah jika anak tersebut meninggal saat masih kecil dan belum diakikahi, maka ia tidak akan memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya adalah akikah itu suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga disamakan dengan kewajiban menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai. Dan berdasarkan pendapat ini, para ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa akikah adalah wajib.” Jika akikah disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka akikah tersebut tetap sah karena tujuannya telah tercapai. Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Kurz, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عن الغلامِ شاتان متكافئتان وعن الجاريةِ شاةٌ ‘’Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing yang sepadan; dan untuk anak perempuan, akikahnya satu ekor kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Akikah tidak disyariatkan untuk orang tua yang telah meninggal dunia, karena seseorang yang telah mencapai usia dewasa tidak boleh diakikahi oleh orang lain. Namun, menurut beberapa ulama, ia boleh mengakikahi dirinya sendiri. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Tentang seorang pria yang diberitahu oleh ayahnya bahwa ayahnya tersebut belum mengakikahi dirinya, apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri?” Beliau menjawab, “Itu adalah tanggungan ayah.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri setelah dewasa?” Beliau menjawab, “Saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Penanya bertanya lagi, “Ayahnya dulu miskin, kemudian menjadi kaya, lalu ia ingin mengakikahi anaknya yang sudah dewasa?” Beliau menjawab: “Saya tidak tahu, dan saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Kemudian beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dan barangsiapa yang melakukannya (akikah untuk dirinya sendiri setelah dewasa), maka itu baik. Dan sebagian ulama mewajibkannya.” (Selesai kutipan dari Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 87) Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ar-Rafi’i, “Pendapat yang dipilih adalah jangan menunda akikah hingga anak mencapai usia balig. Jika ditunda hingga anak balig, maka gugurlah tanggungan akikah dari orang yang hendak mengakikahi anak tersebut. Namun, jika anak tersebut ingin mengakikahi dirinya sendiri, maka ia boleh melakukannya.” Beliau (Ibnu Hajar) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, beliau berkata, ‘Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.’ Dan Al-Qaffal memilih pendapat ini.” Sedangkan diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Buwaithi, “Tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa.” Ini bukanlah pernyataan yang melarang seseorang mengakikahi dirinya sendiri, tetapi bisa jadi maksudnya adalah tidak boleh mengakikahi orang lain jika ia sudah dewasa.” (Selesai kutipan dari Fathul Bari, 9: 595) Seseorang bertanya kepada Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Ibu saya sudah meninggal dan saya ingin melaksanakan akikah untuknya. Tapi, seorang imam di Baghdad mengatakan bahwa akikah hanya untuk orang yang masih hidup. Bagaimana hukumnya menurut Islam?” Syekh Ibnu Utsaimin menjawab, “Akikah tidak dilakukan untuk orang yang sudah meninggal. Akikah dilakukan saat bayi lahir, pada hari ketujuh. Sangat dianjurkan bagi ayah untuk mengakikahi anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan, satu ekor kambing. Akikah disembelih pada hari ketujuh, lalu sebagian dagingnya dimakan, disedekahkan, dan dihadiahkan. Boleh saja mengundang keluarga dan tetangga saat akikah, dan juga bersedekah sebagian dagingnya. Jika seseorang tidak mampu, dan hanya bisa menyembelih satu ekor kambing untuk akikah anak laki-lakinya, maka itu sudah cukup. Para ulama berkata, ‘Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan akikah pada hari ketujuh, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas. Jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Jika masih tidak memungkinkan juga, maka boleh dilakukan pada hari apa pun yang diinginkan. Inilah akikah.’ Adapun bagi orang yang telah meninggal, akikah tidak dapat dilakukan untuknya. Namun, kita dapat mendoakannya agar mendapatkan rahmat dan ampunan. Doa untuknya lebih baik daripada amalan lainnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له. ‘Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah (yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.‘ (HR. Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘anak saleh yang mendoakannya’, bukan ‘anak saleh yang berpuasa untuknya, salat untuknya, bersedekah untuknya, atau yang semisalnya’. Ini menunjukkan bahwa doa lebih baik daripada amalan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Meskipun demikian, jika seseorang menghadiahkan amalan saleh kepada orang yang telah meninggal, seperti bersedekah dengan niat untuk orang yang meninggal, salat dua rakaat dengan niat untuk orang yang meninggal, atau membaca Al-Qur’an dengan niat untuk orang yang meninggal, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Namun, doa tetap lebih baik dari semua itu, karena itulah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Selesai kutipan dari Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 14: 2) Dan Anda boleh bersedekah untuknya (ayah Anda) dengan menyembelih hewan atau memberikan sedekah lainnya, karena sedekah untuk orang yang telah meninggal akan sampai pahalanya kepadanya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sehingga kesimpulan untuk permasalahan bagi orang dewasa, namun belum akikah adalah akikah tersebut bukan tanggungan orang tuanya lagi, dan ia boleh mengakikahkan dirinya sendiri. Adapun bagi yang telah meninggal dunia, maka tidak perlu mengakikahkannya. Baca juga: Akikah, Ibadah Sekali Seumur Hidup *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa islamweb.net dan islamqa.info Tags: akikah


Sesungguhnya akikah adalah sunah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, para ahli fikih dari kalangan tabi’in, dan para imam di berbagai negeri. Tidak ada yang menyelisihi tentang disyariatkannya akikah, kecuali para penganut pemahaman rasionalis (ahlurra’yi), yang mengatakan bahwa akikah adalah amalan jahiliah. Hujah (dalil) yang digunakan oleh mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa‘, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من وُلِدَ لهُ ولدٌ فأحبَّ أن يَنسُكَ عنهُ فلينسُكْ “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, dan ia ingin menyembelih akikah untuknya, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Perintah dalam hadis ini menunjukkan anjuran (bukan kewajiban). Para sahabat dan tabi’in telah melaksanakan akikah secara terus-menerus. Abu Zinad berkata, “Akikah adalah sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang, mereka tidak suka meninggalkannya.” Beberapa ulama menganjurkan agar akikah disembelih pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas, dan jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Dasar dari anjuran ini adalah hadis dari Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, diberi nama pada hari itu.” (HR. Abu Dawud no. 2838) Al-Khattabi berkata, “Orang-orang berbeda pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap anak tergadai dengan akikahnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa maknanya adalah jika anak tersebut meninggal saat masih kecil dan belum diakikahi, maka ia tidak akan memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya adalah akikah itu suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga disamakan dengan kewajiban menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai. Dan berdasarkan pendapat ini, para ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa akikah adalah wajib.” Jika akikah disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka akikah tersebut tetap sah karena tujuannya telah tercapai. Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Kurz, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عن الغلامِ شاتان متكافئتان وعن الجاريةِ شاةٌ ‘’Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing yang sepadan; dan untuk anak perempuan, akikahnya satu ekor kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2842) Akikah tidak disyariatkan untuk orang tua yang telah meninggal dunia, karena seseorang yang telah mencapai usia dewasa tidak boleh diakikahi oleh orang lain. Namun, menurut beberapa ulama, ia boleh mengakikahi dirinya sendiri. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Tentang seorang pria yang diberitahu oleh ayahnya bahwa ayahnya tersebut belum mengakikahi dirinya, apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri?” Beliau menjawab, “Itu adalah tanggungan ayah.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri setelah dewasa?” Beliau menjawab, “Saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Penanya bertanya lagi, “Ayahnya dulu miskin, kemudian menjadi kaya, lalu ia ingin mengakikahi anaknya yang sudah dewasa?” Beliau menjawab: “Saya tidak tahu, dan saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.” Kemudian beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dan barangsiapa yang melakukannya (akikah untuk dirinya sendiri setelah dewasa), maka itu baik. Dan sebagian ulama mewajibkannya.” (Selesai kutipan dari Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 87) Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ar-Rafi’i, “Pendapat yang dipilih adalah jangan menunda akikah hingga anak mencapai usia balig. Jika ditunda hingga anak balig, maka gugurlah tanggungan akikah dari orang yang hendak mengakikahi anak tersebut. Namun, jika anak tersebut ingin mengakikahi dirinya sendiri, maka ia boleh melakukannya.” Beliau (Ibnu Hajar) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, beliau berkata, ‘Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.’ Dan Al-Qaffal memilih pendapat ini.” Sedangkan diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Buwaithi, “Tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa.” Ini bukanlah pernyataan yang melarang seseorang mengakikahi dirinya sendiri, tetapi bisa jadi maksudnya adalah tidak boleh mengakikahi orang lain jika ia sudah dewasa.” (Selesai kutipan dari Fathul Bari, 9: 595) Seseorang bertanya kepada Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Ibu saya sudah meninggal dan saya ingin melaksanakan akikah untuknya. Tapi, seorang imam di Baghdad mengatakan bahwa akikah hanya untuk orang yang masih hidup. Bagaimana hukumnya menurut Islam?” Syekh Ibnu Utsaimin menjawab, “Akikah tidak dilakukan untuk orang yang sudah meninggal. Akikah dilakukan saat bayi lahir, pada hari ketujuh. Sangat dianjurkan bagi ayah untuk mengakikahi anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan, satu ekor kambing. Akikah disembelih pada hari ketujuh, lalu sebagian dagingnya dimakan, disedekahkan, dan dihadiahkan. Boleh saja mengundang keluarga dan tetangga saat akikah, dan juga bersedekah sebagian dagingnya. Jika seseorang tidak mampu, dan hanya bisa menyembelih satu ekor kambing untuk akikah anak laki-lakinya, maka itu sudah cukup. Para ulama berkata, ‘Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan akikah pada hari ketujuh, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas. Jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Jika masih tidak memungkinkan juga, maka boleh dilakukan pada hari apa pun yang diinginkan. Inilah akikah.’ Adapun bagi orang yang telah meninggal, akikah tidak dapat dilakukan untuknya. Namun, kita dapat mendoakannya agar mendapatkan rahmat dan ampunan. Doa untuknya lebih baik daripada amalan lainnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له. ‘Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah (yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.‘ (HR. Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘anak saleh yang mendoakannya’, bukan ‘anak saleh yang berpuasa untuknya, salat untuknya, bersedekah untuknya, atau yang semisalnya’. Ini menunjukkan bahwa doa lebih baik daripada amalan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Meskipun demikian, jika seseorang menghadiahkan amalan saleh kepada orang yang telah meninggal, seperti bersedekah dengan niat untuk orang yang meninggal, salat dua rakaat dengan niat untuk orang yang meninggal, atau membaca Al-Qur’an dengan niat untuk orang yang meninggal, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Namun, doa tetap lebih baik dari semua itu, karena itulah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Selesai kutipan dari Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 14: 2) Dan Anda boleh bersedekah untuknya (ayah Anda) dengan menyembelih hewan atau memberikan sedekah lainnya, karena sedekah untuk orang yang telah meninggal akan sampai pahalanya kepadanya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sehingga kesimpulan untuk permasalahan bagi orang dewasa, namun belum akikah adalah akikah tersebut bukan tanggungan orang tuanya lagi, dan ia boleh mengakikahkan dirinya sendiri. Adapun bagi yang telah meninggal dunia, maka tidak perlu mengakikahkannya. Baca juga: Akikah, Ibadah Sekali Seumur Hidup *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa islamweb.net dan islamqa.info Tags: akikah

Doa Memohon Petunjuk Ibadah Terbaik

Daftar Isi Toggle Kandungan doaKasih sayang RasulullahUrgensi zikirSyukur sebagai bentuk ibadahIbadah yang baikWaktu dan tempat pembacaan doa Saudaraku, bayangkan jika seluruh ibadah dan ketaatan yang kita lakukan setiap hari ternyata tidak diterima oleh Allah Ta’ala karena kurangnya kualitas dan kekhusyukan. Apakah kita biarkan jika ibadah yang selama ini kita lakukan hanya sekedar melaksanakan ritual tanpa kekhusyukan? Hal yang patut kita renungkan dalam kehidupan beragama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita sebuah petunjuk agar kita bisa meningkatkan kualitas ibadah kita melalui sebuah doa yang sederhana, namun sarat makna. Sebuah doa yang dirangkaikan dengan zikir setelah salat, yaitu: “اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك” ALLAHUMMA A’INNI ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI IBADATIKA. (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Hadis tentang doa ini diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “يَا مُعَاذ، واللهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ، ثُمَّ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ، لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَة تَقُول: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”. “Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku wasiatkan (perintahkan) kepadamu, wahai Mu’adz, agar engkau jangan sekali-kali meninggalkan pada setiap dubur (akhir) salat, sebuah doa: ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (artinya: Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu).” Kandungan doa Kasih sayang Rasulullah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dengan ungkapan cinta kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dengan kalimat, “وَاللَّهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ” (Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu) Yang menunjukkan betapa pentingnya doa ini, sehingga Rasulullah menyampaikannya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Artinya, doa dan zikir ini sangat penting untuk dirutinkan setiap selesai salat. Ungkapan cinta yang tulus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut memastikan bahwa Mu’adz memahami pentingnya doa dan zikir dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga menggambarkan bahwa Rasulullah berperan bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai sahabat yang penuh kasih sayang. Selain itu, pengajaran yang disampaikan dengan penuh kasih sayang ini menunjukkan bahwa amalan zikir dan doa bukanlah sekadar rutinitas, melainkan ibadah yang memiliki dampak besar pada hati dan jiwa. Doa yang diajarkan oleh Nabi kepada Mu’adz memiliki makna yang dalam dan diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual yang terus mengingatkan kita akan kehadiran dan kebesaran Allah Ta’ala. Dengan demikian, setiap kali kita mengamalkan doa dan zikir tersebut, kita sebenarnya sedang meneladani contoh terbaik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunjukkan kecintaan kita kepada Allah dan memperkuat taqarrub kita dengan-Nya. Urgensi zikir Memohon pertolongan Allah dalam mengingat-Nya sebagaimana tercermin dalam kalimat, “أعِنِّي على ذكرك” Kalimat mulia yang menegaskan bahwa manusia memerlukan bantuan dan kekuatan dari Allah untuk selalu bisa mengingat-Nya. Mengingat Allah atau zikir adalah aktivitas yang harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan keikhlasan hati, serta ittiba’. Karena, zikir tidak hanya berdampak pada peningkatan ketakwaan individu, tetapi juga memberikan ketenangan batin dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Zikir menjadi sarana bagi kita untuk senantiasa merasakan kehadiran Allah dan memotivasi kita untuk selalu berada di jalan yang benar. Lebih jauh lagi, zikir berfungsi sebagai perisai dari godaan duniawi dan bisikan setan. Karena, apabila kita mengingat Allah secara terus menerus, kita akan lebih mudah menahan diri dari perbuatan yang dilarang dan selalu berusaha untuk melaksanakan kebaikan karena selalu merasa dalam pengawasan Allah Ta’ala. Zikir ini menjadi penting untuk menjaga dan menguatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala, membangun kesadaran akan keagungan-Nya, serta menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan. Syukur sebagai bentuk ibadah Kalimat “شُكْرِكَ” mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Syukur tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan dan perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap nikmat Allah. Ini termasuk menggunakan nikmat tersebut dalam kebaikan dan ketaatan. Ketika kita bersyukur, kita sebenarnya sedang menjalankan perintah Allah dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Syukur merupakan cara untuk mengingat dan mengakui bahwa segala nikmat yang kita terima berasal dari Allah semata. Maka, syukur juga menjadi bentuk penjagaan diri dari sifat sombong dan angkuh yang dapat merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sikap syukur juga mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dan menyadari keterbatasan kita sebagai makhluk yang sangat bergantung pada rahmat dan kasih sayang Allah. Oleh karenanya, maksimalkan wujud syukur kita dalam bentuk ibadah. Ketika kita menggunakan nikmat Allah untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, kita secara tidak langsung telah memperkuat keimanan dan ketakwaan kita. Misalnya, dengan mendermakan sebagian harta yang kita miliki untuk membantu orang yang membutuhkan, kita tidak hanya menunjukkan rasa syukur, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan dalam umat. Tindakan ini mendatangkan keberkahan yang lebih besar dan memperlihatkan bahwa kita benar-benar memahami dan menghargai nikmat yang Allah berikan. Syukur yang ikhlas dan istikamah akan membuka pintu rahmat dan rezeki yang lebih luas dari Allah, sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an. Ibadah yang baik Ibadah yang baik, sebagaimana dimaksud dalam permohonan “حُسْنِ عِبَادَتِكَ” Zikir ini mengharuskan kita untuk memperhatikan kualitas dari setiap tindakan ibadah yang kita lakukan. Kualitas ibadah ini mencakup aspek keikhlasan, di mana setiap ibadah harus dilakukan semata-mata untuk mencari rida Allah, bukan untuk memperoleh pujian dari manusia atau keuntungan duniawi. Keikhlasan dalam ibadah memastikan bahwa hati kita tetap fokus pada tujuan utama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian integral dari ibadah yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan contoh sempurna bagaimana melaksanakan berbagai bentuk ibadah dengan cara yang benar, sehingga mengikuti sunahnya menjamin bahwa ibadah kita sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Kualitas ibadah juga ditentukan oleh pemahaman yang mendalam dan kekhusyukan. Pemahaman yang baik tentang makna dan tujuan dari setiap ibadah akan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya ibadah tersebut dan bagaimana seharusnya dilakukan. Karena itu, berikhtiarlah untuk benar-benar memahami makna di balik setiap ibadah, lakukanlah dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Kekhusyukan dalam ibadah mencerminkan perhatian penuh dan fokus kita kepada Allah selama menjalankan ibadah. Ketika hati dan pikiran kita sepenuhnya tertuju kepada Allah Ta’ala, insyaAllah ibadah kita menjadi lebih bermakna dan mampu memberikan dampak positif yang lebih besar pada kehidupan kita. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa Waktu dan tempat pembacaan doa Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah setiap salat wajib, sebelum salam. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya doa ini sebagai bagian dari rutinitas harian seorang muslim, menjadikannya sebagai penutup dari ibadah yang baru saja dilakukan, dan mempersiapkan diri untuk ibadah berikutnya. Pembacaan doa setelah setiap salat wajib, sebelum salam, menunjukkan pentingnya waktu tersebut sebagai momen yang sangat mustajab untuk berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع “Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات “Di pertengahan malam yang terakhir dan setelah salat-salat wajib.” (HR. Tirmidzi no. 3499) Hadis ini menegaskan bahwa waktu setelah salat wajib adalah salah satu waktu yang sangat dianjurkan untuk berdoa karena doa pada waktu tersebut memiliki peluang besar untuk dikabulkan oleh Allah. Selain itu, mengucapkan doa setelah salat wajib juga sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring …” (QS. An-Nisa: 103) Tempat pembacaan doa ini pun memiliki keutamaan. Mengucapkan doa di tempat kita melakukan salat, di mana kita telah bersujud dan merendahkan diri di hadapan Allah, menambah kekhusyukan, dan keikhlasan dalam berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا. “Tempat yang paling disukai oleh Allah adalah masjid-masjid-Nya, dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Hadis ini menunjukkan bahwa tempat ibadah, seperti masjid atau tempat salat lainnya, memiliki keutamaan khusus, sehingga berdoa di tempat tersebut menambah keberkahan doa yang kita panjatkan. Mengakhiri setiap salat dengan doa juga membantu mempersiapkan diri kita untuk ibadah berikutnya. Hal ini sebagaimana dianjurkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ. “Seorang hamba tetap berada dalam keadaan salat selama dia menunggu salat berikutnya.” [1] Doa setelah salat membuat kita selalu berada dalam keadaan mengingat Allah dan memelihara semangat ibadah hingga waktu salat berikutnya tiba. Dengan demikian, doa ini bukan hanya sebagai penutup salat yang baru saja dilakukan, tetapi juga sebagai persiapan mental dan spiritual untuk salat dan ibadah berikutnya, menjaga kesinambungan hubungan kita dengan Allah sepanjang hari. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitab Az-Zuhd, bab Fadhlul Masyi’ ilash Shalah wal Julus fil Masjid Dzalika, no. 420, hal. 141-142. Tags: doa

Doa Memohon Petunjuk Ibadah Terbaik

Daftar Isi Toggle Kandungan doaKasih sayang RasulullahUrgensi zikirSyukur sebagai bentuk ibadahIbadah yang baikWaktu dan tempat pembacaan doa Saudaraku, bayangkan jika seluruh ibadah dan ketaatan yang kita lakukan setiap hari ternyata tidak diterima oleh Allah Ta’ala karena kurangnya kualitas dan kekhusyukan. Apakah kita biarkan jika ibadah yang selama ini kita lakukan hanya sekedar melaksanakan ritual tanpa kekhusyukan? Hal yang patut kita renungkan dalam kehidupan beragama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita sebuah petunjuk agar kita bisa meningkatkan kualitas ibadah kita melalui sebuah doa yang sederhana, namun sarat makna. Sebuah doa yang dirangkaikan dengan zikir setelah salat, yaitu: “اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك” ALLAHUMMA A’INNI ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI IBADATIKA. (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Hadis tentang doa ini diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “يَا مُعَاذ، واللهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ، ثُمَّ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ، لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَة تَقُول: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”. “Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku wasiatkan (perintahkan) kepadamu, wahai Mu’adz, agar engkau jangan sekali-kali meninggalkan pada setiap dubur (akhir) salat, sebuah doa: ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (artinya: Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu).” Kandungan doa Kasih sayang Rasulullah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dengan ungkapan cinta kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dengan kalimat, “وَاللَّهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ” (Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu) Yang menunjukkan betapa pentingnya doa ini, sehingga Rasulullah menyampaikannya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Artinya, doa dan zikir ini sangat penting untuk dirutinkan setiap selesai salat. Ungkapan cinta yang tulus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut memastikan bahwa Mu’adz memahami pentingnya doa dan zikir dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga menggambarkan bahwa Rasulullah berperan bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai sahabat yang penuh kasih sayang. Selain itu, pengajaran yang disampaikan dengan penuh kasih sayang ini menunjukkan bahwa amalan zikir dan doa bukanlah sekadar rutinitas, melainkan ibadah yang memiliki dampak besar pada hati dan jiwa. Doa yang diajarkan oleh Nabi kepada Mu’adz memiliki makna yang dalam dan diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual yang terus mengingatkan kita akan kehadiran dan kebesaran Allah Ta’ala. Dengan demikian, setiap kali kita mengamalkan doa dan zikir tersebut, kita sebenarnya sedang meneladani contoh terbaik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunjukkan kecintaan kita kepada Allah dan memperkuat taqarrub kita dengan-Nya. Urgensi zikir Memohon pertolongan Allah dalam mengingat-Nya sebagaimana tercermin dalam kalimat, “أعِنِّي على ذكرك” Kalimat mulia yang menegaskan bahwa manusia memerlukan bantuan dan kekuatan dari Allah untuk selalu bisa mengingat-Nya. Mengingat Allah atau zikir adalah aktivitas yang harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan keikhlasan hati, serta ittiba’. Karena, zikir tidak hanya berdampak pada peningkatan ketakwaan individu, tetapi juga memberikan ketenangan batin dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Zikir menjadi sarana bagi kita untuk senantiasa merasakan kehadiran Allah dan memotivasi kita untuk selalu berada di jalan yang benar. Lebih jauh lagi, zikir berfungsi sebagai perisai dari godaan duniawi dan bisikan setan. Karena, apabila kita mengingat Allah secara terus menerus, kita akan lebih mudah menahan diri dari perbuatan yang dilarang dan selalu berusaha untuk melaksanakan kebaikan karena selalu merasa dalam pengawasan Allah Ta’ala. Zikir ini menjadi penting untuk menjaga dan menguatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala, membangun kesadaran akan keagungan-Nya, serta menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan. Syukur sebagai bentuk ibadah Kalimat “شُكْرِكَ” mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Syukur tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan dan perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap nikmat Allah. Ini termasuk menggunakan nikmat tersebut dalam kebaikan dan ketaatan. Ketika kita bersyukur, kita sebenarnya sedang menjalankan perintah Allah dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Syukur merupakan cara untuk mengingat dan mengakui bahwa segala nikmat yang kita terima berasal dari Allah semata. Maka, syukur juga menjadi bentuk penjagaan diri dari sifat sombong dan angkuh yang dapat merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sikap syukur juga mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dan menyadari keterbatasan kita sebagai makhluk yang sangat bergantung pada rahmat dan kasih sayang Allah. Oleh karenanya, maksimalkan wujud syukur kita dalam bentuk ibadah. Ketika kita menggunakan nikmat Allah untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, kita secara tidak langsung telah memperkuat keimanan dan ketakwaan kita. Misalnya, dengan mendermakan sebagian harta yang kita miliki untuk membantu orang yang membutuhkan, kita tidak hanya menunjukkan rasa syukur, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan dalam umat. Tindakan ini mendatangkan keberkahan yang lebih besar dan memperlihatkan bahwa kita benar-benar memahami dan menghargai nikmat yang Allah berikan. Syukur yang ikhlas dan istikamah akan membuka pintu rahmat dan rezeki yang lebih luas dari Allah, sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an. Ibadah yang baik Ibadah yang baik, sebagaimana dimaksud dalam permohonan “حُسْنِ عِبَادَتِكَ” Zikir ini mengharuskan kita untuk memperhatikan kualitas dari setiap tindakan ibadah yang kita lakukan. Kualitas ibadah ini mencakup aspek keikhlasan, di mana setiap ibadah harus dilakukan semata-mata untuk mencari rida Allah, bukan untuk memperoleh pujian dari manusia atau keuntungan duniawi. Keikhlasan dalam ibadah memastikan bahwa hati kita tetap fokus pada tujuan utama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian integral dari ibadah yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan contoh sempurna bagaimana melaksanakan berbagai bentuk ibadah dengan cara yang benar, sehingga mengikuti sunahnya menjamin bahwa ibadah kita sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Kualitas ibadah juga ditentukan oleh pemahaman yang mendalam dan kekhusyukan. Pemahaman yang baik tentang makna dan tujuan dari setiap ibadah akan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya ibadah tersebut dan bagaimana seharusnya dilakukan. Karena itu, berikhtiarlah untuk benar-benar memahami makna di balik setiap ibadah, lakukanlah dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Kekhusyukan dalam ibadah mencerminkan perhatian penuh dan fokus kita kepada Allah selama menjalankan ibadah. Ketika hati dan pikiran kita sepenuhnya tertuju kepada Allah Ta’ala, insyaAllah ibadah kita menjadi lebih bermakna dan mampu memberikan dampak positif yang lebih besar pada kehidupan kita. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa Waktu dan tempat pembacaan doa Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah setiap salat wajib, sebelum salam. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya doa ini sebagai bagian dari rutinitas harian seorang muslim, menjadikannya sebagai penutup dari ibadah yang baru saja dilakukan, dan mempersiapkan diri untuk ibadah berikutnya. Pembacaan doa setelah setiap salat wajib, sebelum salam, menunjukkan pentingnya waktu tersebut sebagai momen yang sangat mustajab untuk berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع “Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات “Di pertengahan malam yang terakhir dan setelah salat-salat wajib.” (HR. Tirmidzi no. 3499) Hadis ini menegaskan bahwa waktu setelah salat wajib adalah salah satu waktu yang sangat dianjurkan untuk berdoa karena doa pada waktu tersebut memiliki peluang besar untuk dikabulkan oleh Allah. Selain itu, mengucapkan doa setelah salat wajib juga sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring …” (QS. An-Nisa: 103) Tempat pembacaan doa ini pun memiliki keutamaan. Mengucapkan doa di tempat kita melakukan salat, di mana kita telah bersujud dan merendahkan diri di hadapan Allah, menambah kekhusyukan, dan keikhlasan dalam berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا. “Tempat yang paling disukai oleh Allah adalah masjid-masjid-Nya, dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Hadis ini menunjukkan bahwa tempat ibadah, seperti masjid atau tempat salat lainnya, memiliki keutamaan khusus, sehingga berdoa di tempat tersebut menambah keberkahan doa yang kita panjatkan. Mengakhiri setiap salat dengan doa juga membantu mempersiapkan diri kita untuk ibadah berikutnya. Hal ini sebagaimana dianjurkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ. “Seorang hamba tetap berada dalam keadaan salat selama dia menunggu salat berikutnya.” [1] Doa setelah salat membuat kita selalu berada dalam keadaan mengingat Allah dan memelihara semangat ibadah hingga waktu salat berikutnya tiba. Dengan demikian, doa ini bukan hanya sebagai penutup salat yang baru saja dilakukan, tetapi juga sebagai persiapan mental dan spiritual untuk salat dan ibadah berikutnya, menjaga kesinambungan hubungan kita dengan Allah sepanjang hari. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitab Az-Zuhd, bab Fadhlul Masyi’ ilash Shalah wal Julus fil Masjid Dzalika, no. 420, hal. 141-142. Tags: doa
Daftar Isi Toggle Kandungan doaKasih sayang RasulullahUrgensi zikirSyukur sebagai bentuk ibadahIbadah yang baikWaktu dan tempat pembacaan doa Saudaraku, bayangkan jika seluruh ibadah dan ketaatan yang kita lakukan setiap hari ternyata tidak diterima oleh Allah Ta’ala karena kurangnya kualitas dan kekhusyukan. Apakah kita biarkan jika ibadah yang selama ini kita lakukan hanya sekedar melaksanakan ritual tanpa kekhusyukan? Hal yang patut kita renungkan dalam kehidupan beragama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita sebuah petunjuk agar kita bisa meningkatkan kualitas ibadah kita melalui sebuah doa yang sederhana, namun sarat makna. Sebuah doa yang dirangkaikan dengan zikir setelah salat, yaitu: “اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك” ALLAHUMMA A’INNI ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI IBADATIKA. (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Hadis tentang doa ini diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “يَا مُعَاذ، واللهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ، ثُمَّ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ، لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَة تَقُول: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”. “Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku wasiatkan (perintahkan) kepadamu, wahai Mu’adz, agar engkau jangan sekali-kali meninggalkan pada setiap dubur (akhir) salat, sebuah doa: ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (artinya: Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu).” Kandungan doa Kasih sayang Rasulullah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dengan ungkapan cinta kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dengan kalimat, “وَاللَّهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ” (Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu) Yang menunjukkan betapa pentingnya doa ini, sehingga Rasulullah menyampaikannya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Artinya, doa dan zikir ini sangat penting untuk dirutinkan setiap selesai salat. Ungkapan cinta yang tulus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut memastikan bahwa Mu’adz memahami pentingnya doa dan zikir dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga menggambarkan bahwa Rasulullah berperan bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai sahabat yang penuh kasih sayang. Selain itu, pengajaran yang disampaikan dengan penuh kasih sayang ini menunjukkan bahwa amalan zikir dan doa bukanlah sekadar rutinitas, melainkan ibadah yang memiliki dampak besar pada hati dan jiwa. Doa yang diajarkan oleh Nabi kepada Mu’adz memiliki makna yang dalam dan diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual yang terus mengingatkan kita akan kehadiran dan kebesaran Allah Ta’ala. Dengan demikian, setiap kali kita mengamalkan doa dan zikir tersebut, kita sebenarnya sedang meneladani contoh terbaik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunjukkan kecintaan kita kepada Allah dan memperkuat taqarrub kita dengan-Nya. Urgensi zikir Memohon pertolongan Allah dalam mengingat-Nya sebagaimana tercermin dalam kalimat, “أعِنِّي على ذكرك” Kalimat mulia yang menegaskan bahwa manusia memerlukan bantuan dan kekuatan dari Allah untuk selalu bisa mengingat-Nya. Mengingat Allah atau zikir adalah aktivitas yang harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan keikhlasan hati, serta ittiba’. Karena, zikir tidak hanya berdampak pada peningkatan ketakwaan individu, tetapi juga memberikan ketenangan batin dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Zikir menjadi sarana bagi kita untuk senantiasa merasakan kehadiran Allah dan memotivasi kita untuk selalu berada di jalan yang benar. Lebih jauh lagi, zikir berfungsi sebagai perisai dari godaan duniawi dan bisikan setan. Karena, apabila kita mengingat Allah secara terus menerus, kita akan lebih mudah menahan diri dari perbuatan yang dilarang dan selalu berusaha untuk melaksanakan kebaikan karena selalu merasa dalam pengawasan Allah Ta’ala. Zikir ini menjadi penting untuk menjaga dan menguatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala, membangun kesadaran akan keagungan-Nya, serta menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan. Syukur sebagai bentuk ibadah Kalimat “شُكْرِكَ” mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Syukur tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan dan perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap nikmat Allah. Ini termasuk menggunakan nikmat tersebut dalam kebaikan dan ketaatan. Ketika kita bersyukur, kita sebenarnya sedang menjalankan perintah Allah dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Syukur merupakan cara untuk mengingat dan mengakui bahwa segala nikmat yang kita terima berasal dari Allah semata. Maka, syukur juga menjadi bentuk penjagaan diri dari sifat sombong dan angkuh yang dapat merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sikap syukur juga mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dan menyadari keterbatasan kita sebagai makhluk yang sangat bergantung pada rahmat dan kasih sayang Allah. Oleh karenanya, maksimalkan wujud syukur kita dalam bentuk ibadah. Ketika kita menggunakan nikmat Allah untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, kita secara tidak langsung telah memperkuat keimanan dan ketakwaan kita. Misalnya, dengan mendermakan sebagian harta yang kita miliki untuk membantu orang yang membutuhkan, kita tidak hanya menunjukkan rasa syukur, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan dalam umat. Tindakan ini mendatangkan keberkahan yang lebih besar dan memperlihatkan bahwa kita benar-benar memahami dan menghargai nikmat yang Allah berikan. Syukur yang ikhlas dan istikamah akan membuka pintu rahmat dan rezeki yang lebih luas dari Allah, sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an. Ibadah yang baik Ibadah yang baik, sebagaimana dimaksud dalam permohonan “حُسْنِ عِبَادَتِكَ” Zikir ini mengharuskan kita untuk memperhatikan kualitas dari setiap tindakan ibadah yang kita lakukan. Kualitas ibadah ini mencakup aspek keikhlasan, di mana setiap ibadah harus dilakukan semata-mata untuk mencari rida Allah, bukan untuk memperoleh pujian dari manusia atau keuntungan duniawi. Keikhlasan dalam ibadah memastikan bahwa hati kita tetap fokus pada tujuan utama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian integral dari ibadah yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan contoh sempurna bagaimana melaksanakan berbagai bentuk ibadah dengan cara yang benar, sehingga mengikuti sunahnya menjamin bahwa ibadah kita sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Kualitas ibadah juga ditentukan oleh pemahaman yang mendalam dan kekhusyukan. Pemahaman yang baik tentang makna dan tujuan dari setiap ibadah akan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya ibadah tersebut dan bagaimana seharusnya dilakukan. Karena itu, berikhtiarlah untuk benar-benar memahami makna di balik setiap ibadah, lakukanlah dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Kekhusyukan dalam ibadah mencerminkan perhatian penuh dan fokus kita kepada Allah selama menjalankan ibadah. Ketika hati dan pikiran kita sepenuhnya tertuju kepada Allah Ta’ala, insyaAllah ibadah kita menjadi lebih bermakna dan mampu memberikan dampak positif yang lebih besar pada kehidupan kita. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa Waktu dan tempat pembacaan doa Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah setiap salat wajib, sebelum salam. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya doa ini sebagai bagian dari rutinitas harian seorang muslim, menjadikannya sebagai penutup dari ibadah yang baru saja dilakukan, dan mempersiapkan diri untuk ibadah berikutnya. Pembacaan doa setelah setiap salat wajib, sebelum salam, menunjukkan pentingnya waktu tersebut sebagai momen yang sangat mustajab untuk berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع “Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات “Di pertengahan malam yang terakhir dan setelah salat-salat wajib.” (HR. Tirmidzi no. 3499) Hadis ini menegaskan bahwa waktu setelah salat wajib adalah salah satu waktu yang sangat dianjurkan untuk berdoa karena doa pada waktu tersebut memiliki peluang besar untuk dikabulkan oleh Allah. Selain itu, mengucapkan doa setelah salat wajib juga sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring …” (QS. An-Nisa: 103) Tempat pembacaan doa ini pun memiliki keutamaan. Mengucapkan doa di tempat kita melakukan salat, di mana kita telah bersujud dan merendahkan diri di hadapan Allah, menambah kekhusyukan, dan keikhlasan dalam berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا. “Tempat yang paling disukai oleh Allah adalah masjid-masjid-Nya, dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Hadis ini menunjukkan bahwa tempat ibadah, seperti masjid atau tempat salat lainnya, memiliki keutamaan khusus, sehingga berdoa di tempat tersebut menambah keberkahan doa yang kita panjatkan. Mengakhiri setiap salat dengan doa juga membantu mempersiapkan diri kita untuk ibadah berikutnya. Hal ini sebagaimana dianjurkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ. “Seorang hamba tetap berada dalam keadaan salat selama dia menunggu salat berikutnya.” [1] Doa setelah salat membuat kita selalu berada dalam keadaan mengingat Allah dan memelihara semangat ibadah hingga waktu salat berikutnya tiba. Dengan demikian, doa ini bukan hanya sebagai penutup salat yang baru saja dilakukan, tetapi juga sebagai persiapan mental dan spiritual untuk salat dan ibadah berikutnya, menjaga kesinambungan hubungan kita dengan Allah sepanjang hari. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitab Az-Zuhd, bab Fadhlul Masyi’ ilash Shalah wal Julus fil Masjid Dzalika, no. 420, hal. 141-142. Tags: doa


Daftar Isi Toggle Kandungan doaKasih sayang RasulullahUrgensi zikirSyukur sebagai bentuk ibadahIbadah yang baikWaktu dan tempat pembacaan doa Saudaraku, bayangkan jika seluruh ibadah dan ketaatan yang kita lakukan setiap hari ternyata tidak diterima oleh Allah Ta’ala karena kurangnya kualitas dan kekhusyukan. Apakah kita biarkan jika ibadah yang selama ini kita lakukan hanya sekedar melaksanakan ritual tanpa kekhusyukan? Hal yang patut kita renungkan dalam kehidupan beragama kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita sebuah petunjuk agar kita bisa meningkatkan kualitas ibadah kita melalui sebuah doa yang sederhana, namun sarat makna. Sebuah doa yang dirangkaikan dengan zikir setelah salat, yaitu: “اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك” ALLAHUMMA A’INNI ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI IBADATIKA. (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu). Hadis tentang doa ini diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “يَا مُعَاذ، واللهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ، ثُمَّ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ، لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَة تَقُول: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”. “Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku wasiatkan (perintahkan) kepadamu, wahai Mu’adz, agar engkau jangan sekali-kali meninggalkan pada setiap dubur (akhir) salat, sebuah doa: ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (artinya: Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu).” Kandungan doa Kasih sayang Rasulullah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dengan ungkapan cinta kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dengan kalimat, “وَاللَّهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ” (Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu) Yang menunjukkan betapa pentingnya doa ini, sehingga Rasulullah menyampaikannya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Artinya, doa dan zikir ini sangat penting untuk dirutinkan setiap selesai salat. Ungkapan cinta yang tulus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut memastikan bahwa Mu’adz memahami pentingnya doa dan zikir dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga menggambarkan bahwa Rasulullah berperan bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai sahabat yang penuh kasih sayang. Selain itu, pengajaran yang disampaikan dengan penuh kasih sayang ini menunjukkan bahwa amalan zikir dan doa bukanlah sekadar rutinitas, melainkan ibadah yang memiliki dampak besar pada hati dan jiwa. Doa yang diajarkan oleh Nabi kepada Mu’adz memiliki makna yang dalam dan diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual yang terus mengingatkan kita akan kehadiran dan kebesaran Allah Ta’ala. Dengan demikian, setiap kali kita mengamalkan doa dan zikir tersebut, kita sebenarnya sedang meneladani contoh terbaik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunjukkan kecintaan kita kepada Allah dan memperkuat taqarrub kita dengan-Nya. Urgensi zikir Memohon pertolongan Allah dalam mengingat-Nya sebagaimana tercermin dalam kalimat, “أعِنِّي على ذكرك” Kalimat mulia yang menegaskan bahwa manusia memerlukan bantuan dan kekuatan dari Allah untuk selalu bisa mengingat-Nya. Mengingat Allah atau zikir adalah aktivitas yang harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan keikhlasan hati, serta ittiba’. Karena, zikir tidak hanya berdampak pada peningkatan ketakwaan individu, tetapi juga memberikan ketenangan batin dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Zikir menjadi sarana bagi kita untuk senantiasa merasakan kehadiran Allah dan memotivasi kita untuk selalu berada di jalan yang benar. Lebih jauh lagi, zikir berfungsi sebagai perisai dari godaan duniawi dan bisikan setan. Karena, apabila kita mengingat Allah secara terus menerus, kita akan lebih mudah menahan diri dari perbuatan yang dilarang dan selalu berusaha untuk melaksanakan kebaikan karena selalu merasa dalam pengawasan Allah Ta’ala. Zikir ini menjadi penting untuk menjaga dan menguatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala, membangun kesadaran akan keagungan-Nya, serta menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan. Syukur sebagai bentuk ibadah Kalimat “شُكْرِكَ” mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah. Syukur tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan dan perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap nikmat Allah. Ini termasuk menggunakan nikmat tersebut dalam kebaikan dan ketaatan. Ketika kita bersyukur, kita sebenarnya sedang menjalankan perintah Allah dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Syukur merupakan cara untuk mengingat dan mengakui bahwa segala nikmat yang kita terima berasal dari Allah semata. Maka, syukur juga menjadi bentuk penjagaan diri dari sifat sombong dan angkuh yang dapat merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sikap syukur juga mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dan menyadari keterbatasan kita sebagai makhluk yang sangat bergantung pada rahmat dan kasih sayang Allah. Oleh karenanya, maksimalkan wujud syukur kita dalam bentuk ibadah. Ketika kita menggunakan nikmat Allah untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, kita secara tidak langsung telah memperkuat keimanan dan ketakwaan kita. Misalnya, dengan mendermakan sebagian harta yang kita miliki untuk membantu orang yang membutuhkan, kita tidak hanya menunjukkan rasa syukur, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan dalam umat. Tindakan ini mendatangkan keberkahan yang lebih besar dan memperlihatkan bahwa kita benar-benar memahami dan menghargai nikmat yang Allah berikan. Syukur yang ikhlas dan istikamah akan membuka pintu rahmat dan rezeki yang lebih luas dari Allah, sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an. Ibadah yang baik Ibadah yang baik, sebagaimana dimaksud dalam permohonan “حُسْنِ عِبَادَتِكَ” Zikir ini mengharuskan kita untuk memperhatikan kualitas dari setiap tindakan ibadah yang kita lakukan. Kualitas ibadah ini mencakup aspek keikhlasan, di mana setiap ibadah harus dilakukan semata-mata untuk mencari rida Allah, bukan untuk memperoleh pujian dari manusia atau keuntungan duniawi. Keikhlasan dalam ibadah memastikan bahwa hati kita tetap fokus pada tujuan utama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian integral dari ibadah yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan contoh sempurna bagaimana melaksanakan berbagai bentuk ibadah dengan cara yang benar, sehingga mengikuti sunahnya menjamin bahwa ibadah kita sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Kualitas ibadah juga ditentukan oleh pemahaman yang mendalam dan kekhusyukan. Pemahaman yang baik tentang makna dan tujuan dari setiap ibadah akan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya ibadah tersebut dan bagaimana seharusnya dilakukan. Karena itu, berikhtiarlah untuk benar-benar memahami makna di balik setiap ibadah, lakukanlah dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Kekhusyukan dalam ibadah mencerminkan perhatian penuh dan fokus kita kepada Allah selama menjalankan ibadah. Ketika hati dan pikiran kita sepenuhnya tertuju kepada Allah Ta’ala, insyaAllah ibadah kita menjadi lebih bermakna dan mampu memberikan dampak positif yang lebih besar pada kehidupan kita. Baca juga: Doa untuk Menjaga Tubuh, Pendengaran, dan Penglihatan dari Perbuatan Dosa Waktu dan tempat pembacaan doa Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah setiap salat wajib, sebelum salam. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya doa ini sebagai bagian dari rutinitas harian seorang muslim, menjadikannya sebagai penutup dari ibadah yang baru saja dilakukan, dan mempersiapkan diri untuk ibadah berikutnya. Pembacaan doa setelah setiap salat wajib, sebelum salam, menunjukkan pentingnya waktu tersebut sebagai momen yang sangat mustajab untuk berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع “Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling didengar?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات “Di pertengahan malam yang terakhir dan setelah salat-salat wajib.” (HR. Tirmidzi no. 3499) Hadis ini menegaskan bahwa waktu setelah salat wajib adalah salah satu waktu yang sangat dianjurkan untuk berdoa karena doa pada waktu tersebut memiliki peluang besar untuk dikabulkan oleh Allah. Selain itu, mengucapkan doa setelah salat wajib juga sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring …” (QS. An-Nisa: 103) Tempat pembacaan doa ini pun memiliki keutamaan. Mengucapkan doa di tempat kita melakukan salat, di mana kita telah bersujud dan merendahkan diri di hadapan Allah, menambah kekhusyukan, dan keikhlasan dalam berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا. “Tempat yang paling disukai oleh Allah adalah masjid-masjid-Nya, dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671) Hadis ini menunjukkan bahwa tempat ibadah, seperti masjid atau tempat salat lainnya, memiliki keutamaan khusus, sehingga berdoa di tempat tersebut menambah keberkahan doa yang kita panjatkan. Mengakhiri setiap salat dengan doa juga membantu mempersiapkan diri kita untuk ibadah berikutnya. Hal ini sebagaimana dianjurkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ. “Seorang hamba tetap berada dalam keadaan salat selama dia menunggu salat berikutnya.” [1] Doa setelah salat membuat kita selalu berada dalam keadaan mengingat Allah dan memelihara semangat ibadah hingga waktu salat berikutnya tiba. Dengan demikian, doa ini bukan hanya sebagai penutup salat yang baru saja dilakukan, tetapi juga sebagai persiapan mental dan spiritual untuk salat dan ibadah berikutnya, menjaga kesinambungan hubungan kita dengan Allah sepanjang hari. Baca juga: Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa? *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitab Az-Zuhd, bab Fadhlul Masyi’ ilash Shalah wal Julus fil Masjid Dzalika, no. 420, hal. 141-142. Tags: doa

Hidup Tenteram Tanpa Miras

Bismillah … Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita cermati fenomena di tengah masyarakat, maka tidak sedikit kenyataan pahit yang perlu untuk kita waspadai. Di antaranya adalah maraknya judi online dan minum-minuman keras (miras) yang dengan mudah diakses oleh publik. Indonesia adalah negeri yang diberi taufik oleh Allah untuk lepas dari penjajahan fisik Belanda dan Jepang. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Di antara nikmat agung yang harus dijaga adalah nikmat akal sehat. Oleh sebab itu, di dalam agama Islam disyariatkan segala bentuk usaha untuk menjaga akal manusia; dan itu tercakup perkara yang bersifat dharuri (mendesak) dan sangat penting. Karena itulah, Allah mengharamkan berbagai bentuk perbuatan keji, di antaranya adalah khomr (minuman keras). Tidak samar bagi kita pentingnya menjaga akal, terlebih lagi bagi generasi muda dan kalangan anak sekolah maupun remaja. Kita tidak ingin generasi muda ini dirusak dengan budaya tawuran, seks bebas, narkoba, begitu pula khomr dengan segala bentuk dan variannya. Kita berharap Indonesia menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofuur. Sebuah negeri yang sejahtera dan diberi ampunan dan rahmat dari Allah Ta’ala. Gemah ripah loh jinawi, kata orang Jawa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ “Dan seandainya para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi …” (QS. al-A’raaf: 96) Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa keberkahan dari langit dan bumi diberikan kepada orang yang beriman dan bertakwa. Perlu kita ingat bahwa keberkahan tidak identik dengan kekayaan dan kemewahan. Betapa banyak negeri yang kaya secara materi, tetapi hancur secara ukhrawi. Adalah iman dan takwa yang mengangkat generasi para sahabat menjadi panglima peradaban dan pemimpin dunia di masanya. Ingatlah ucapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan selain dengan Islam, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) Kemudian lihatlah generasi-generasi setelah mereka yang lambat laun meninggalkan rambu-rambu ajaran Islam dan tenggelam dalam fitnah syubhat dan syahwat. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا “Bersegeralah kalian dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang masih beriman, lalu di sore hari menjadi kafir; atau pada sore hari beriman, lantas keesokan paginya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mengejar serpihan kesenangan (kemewahan) dunia.” (HR. Muslim no. 118) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا “Sesungguhnya di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah ketika ilmu diangkat, kebodohan -terhadap agama- merajalela, (maraknya) perilaku minum khomr, dan merebaknya perzinaan.” (HR. Bukhari no. 80 dan Muslim no. 2671) Belumkah tiba saatnya bagi para cerdik cendekia pemerhati dunia pendidikan di negeri ini untuk bangkit memerangi maraknya peredaran miras di tengah masyarakat? Bagaimana kita hendak mencerdaskan kehidupan bangsa kalau setiap hari iklan miras tersebar bahkan melayani jasa antar gratis ke segala penjuru kota?! Ketakwaan adalah asas keberkahan sebuah negeri. Takwa terwujud dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala hal yang diharamkan. Kebahagiaan sejati akan diperoleh orang-orang yang bertakwa dan mengikuti petunjuk wahyu. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Ketenangan hati akan dirasakan oleh orang beriman dengan ketaatan dan zikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan merasa tenteram hati mereka dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28) Sungguh berbeda dengan sebagian kaum yang tidak merasakan kelezatan bersama kalam ilahi. Mereka hanyut dalam buaian musik nan melalaikan dan terombang-ambing dalam genangan khomr yang merusak akal dan nurani … Miras alias khomr jelas merusak akal dan mengganggu kesehatan tubuh manusia. Banyak orang yang diberikan nikmat kesehatan, tetapi justru melalaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Dua nikmat yang banyak orang merugi pada keduanya; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412) Apabila merokok saja merusak kesehatan dan mencemari lingkungan, maka bagaimana lagi dengan minuman keras (khomr)? Jika peredaran miras di tengah masyarakat tidak segera ditanggulangi, maka jangan salahkan siapa-siapa jika kezaliman semakin merajalela dan kerusakan semakin membara. Apakah anda merindukan para mahasiswa dari daerah terpencil nun jauh di sana yang dikirim untuk belajar di kota Jogja, lalu datang ke ruang kuliah sembari menentang sebotol khomr, lalu berkata kepada dosennya, “Monggo Pak Dosen, kita ngombe-ngombe dulu… biar segerrr, karena urip itu mampir ngombe…” Semoga sedikit tulisan ini berguna bagi kami dan segenap pembaca. Baca juga: Miras: Biang Segala Kerusakan dan Kejahatan *** Markas YPIA, Pogungrejo, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta Tidak jauh dari Kampus UGM -semoga Allah menjaganya dari segala keburukan- Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: miras

Hidup Tenteram Tanpa Miras

Bismillah … Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita cermati fenomena di tengah masyarakat, maka tidak sedikit kenyataan pahit yang perlu untuk kita waspadai. Di antaranya adalah maraknya judi online dan minum-minuman keras (miras) yang dengan mudah diakses oleh publik. Indonesia adalah negeri yang diberi taufik oleh Allah untuk lepas dari penjajahan fisik Belanda dan Jepang. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Di antara nikmat agung yang harus dijaga adalah nikmat akal sehat. Oleh sebab itu, di dalam agama Islam disyariatkan segala bentuk usaha untuk menjaga akal manusia; dan itu tercakup perkara yang bersifat dharuri (mendesak) dan sangat penting. Karena itulah, Allah mengharamkan berbagai bentuk perbuatan keji, di antaranya adalah khomr (minuman keras). Tidak samar bagi kita pentingnya menjaga akal, terlebih lagi bagi generasi muda dan kalangan anak sekolah maupun remaja. Kita tidak ingin generasi muda ini dirusak dengan budaya tawuran, seks bebas, narkoba, begitu pula khomr dengan segala bentuk dan variannya. Kita berharap Indonesia menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofuur. Sebuah negeri yang sejahtera dan diberi ampunan dan rahmat dari Allah Ta’ala. Gemah ripah loh jinawi, kata orang Jawa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ “Dan seandainya para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi …” (QS. al-A’raaf: 96) Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa keberkahan dari langit dan bumi diberikan kepada orang yang beriman dan bertakwa. Perlu kita ingat bahwa keberkahan tidak identik dengan kekayaan dan kemewahan. Betapa banyak negeri yang kaya secara materi, tetapi hancur secara ukhrawi. Adalah iman dan takwa yang mengangkat generasi para sahabat menjadi panglima peradaban dan pemimpin dunia di masanya. Ingatlah ucapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan selain dengan Islam, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) Kemudian lihatlah generasi-generasi setelah mereka yang lambat laun meninggalkan rambu-rambu ajaran Islam dan tenggelam dalam fitnah syubhat dan syahwat. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا “Bersegeralah kalian dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang masih beriman, lalu di sore hari menjadi kafir; atau pada sore hari beriman, lantas keesokan paginya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mengejar serpihan kesenangan (kemewahan) dunia.” (HR. Muslim no. 118) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا “Sesungguhnya di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah ketika ilmu diangkat, kebodohan -terhadap agama- merajalela, (maraknya) perilaku minum khomr, dan merebaknya perzinaan.” (HR. Bukhari no. 80 dan Muslim no. 2671) Belumkah tiba saatnya bagi para cerdik cendekia pemerhati dunia pendidikan di negeri ini untuk bangkit memerangi maraknya peredaran miras di tengah masyarakat? Bagaimana kita hendak mencerdaskan kehidupan bangsa kalau setiap hari iklan miras tersebar bahkan melayani jasa antar gratis ke segala penjuru kota?! Ketakwaan adalah asas keberkahan sebuah negeri. Takwa terwujud dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala hal yang diharamkan. Kebahagiaan sejati akan diperoleh orang-orang yang bertakwa dan mengikuti petunjuk wahyu. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Ketenangan hati akan dirasakan oleh orang beriman dengan ketaatan dan zikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan merasa tenteram hati mereka dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28) Sungguh berbeda dengan sebagian kaum yang tidak merasakan kelezatan bersama kalam ilahi. Mereka hanyut dalam buaian musik nan melalaikan dan terombang-ambing dalam genangan khomr yang merusak akal dan nurani … Miras alias khomr jelas merusak akal dan mengganggu kesehatan tubuh manusia. Banyak orang yang diberikan nikmat kesehatan, tetapi justru melalaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Dua nikmat yang banyak orang merugi pada keduanya; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412) Apabila merokok saja merusak kesehatan dan mencemari lingkungan, maka bagaimana lagi dengan minuman keras (khomr)? Jika peredaran miras di tengah masyarakat tidak segera ditanggulangi, maka jangan salahkan siapa-siapa jika kezaliman semakin merajalela dan kerusakan semakin membara. Apakah anda merindukan para mahasiswa dari daerah terpencil nun jauh di sana yang dikirim untuk belajar di kota Jogja, lalu datang ke ruang kuliah sembari menentang sebotol khomr, lalu berkata kepada dosennya, “Monggo Pak Dosen, kita ngombe-ngombe dulu… biar segerrr, karena urip itu mampir ngombe…” Semoga sedikit tulisan ini berguna bagi kami dan segenap pembaca. Baca juga: Miras: Biang Segala Kerusakan dan Kejahatan *** Markas YPIA, Pogungrejo, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta Tidak jauh dari Kampus UGM -semoga Allah menjaganya dari segala keburukan- Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: miras
Bismillah … Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita cermati fenomena di tengah masyarakat, maka tidak sedikit kenyataan pahit yang perlu untuk kita waspadai. Di antaranya adalah maraknya judi online dan minum-minuman keras (miras) yang dengan mudah diakses oleh publik. Indonesia adalah negeri yang diberi taufik oleh Allah untuk lepas dari penjajahan fisik Belanda dan Jepang. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Di antara nikmat agung yang harus dijaga adalah nikmat akal sehat. Oleh sebab itu, di dalam agama Islam disyariatkan segala bentuk usaha untuk menjaga akal manusia; dan itu tercakup perkara yang bersifat dharuri (mendesak) dan sangat penting. Karena itulah, Allah mengharamkan berbagai bentuk perbuatan keji, di antaranya adalah khomr (minuman keras). Tidak samar bagi kita pentingnya menjaga akal, terlebih lagi bagi generasi muda dan kalangan anak sekolah maupun remaja. Kita tidak ingin generasi muda ini dirusak dengan budaya tawuran, seks bebas, narkoba, begitu pula khomr dengan segala bentuk dan variannya. Kita berharap Indonesia menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofuur. Sebuah negeri yang sejahtera dan diberi ampunan dan rahmat dari Allah Ta’ala. Gemah ripah loh jinawi, kata orang Jawa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ “Dan seandainya para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi …” (QS. al-A’raaf: 96) Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa keberkahan dari langit dan bumi diberikan kepada orang yang beriman dan bertakwa. Perlu kita ingat bahwa keberkahan tidak identik dengan kekayaan dan kemewahan. Betapa banyak negeri yang kaya secara materi, tetapi hancur secara ukhrawi. Adalah iman dan takwa yang mengangkat generasi para sahabat menjadi panglima peradaban dan pemimpin dunia di masanya. Ingatlah ucapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan selain dengan Islam, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) Kemudian lihatlah generasi-generasi setelah mereka yang lambat laun meninggalkan rambu-rambu ajaran Islam dan tenggelam dalam fitnah syubhat dan syahwat. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا “Bersegeralah kalian dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang masih beriman, lalu di sore hari menjadi kafir; atau pada sore hari beriman, lantas keesokan paginya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mengejar serpihan kesenangan (kemewahan) dunia.” (HR. Muslim no. 118) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا “Sesungguhnya di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah ketika ilmu diangkat, kebodohan -terhadap agama- merajalela, (maraknya) perilaku minum khomr, dan merebaknya perzinaan.” (HR. Bukhari no. 80 dan Muslim no. 2671) Belumkah tiba saatnya bagi para cerdik cendekia pemerhati dunia pendidikan di negeri ini untuk bangkit memerangi maraknya peredaran miras di tengah masyarakat? Bagaimana kita hendak mencerdaskan kehidupan bangsa kalau setiap hari iklan miras tersebar bahkan melayani jasa antar gratis ke segala penjuru kota?! Ketakwaan adalah asas keberkahan sebuah negeri. Takwa terwujud dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala hal yang diharamkan. Kebahagiaan sejati akan diperoleh orang-orang yang bertakwa dan mengikuti petunjuk wahyu. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Ketenangan hati akan dirasakan oleh orang beriman dengan ketaatan dan zikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan merasa tenteram hati mereka dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28) Sungguh berbeda dengan sebagian kaum yang tidak merasakan kelezatan bersama kalam ilahi. Mereka hanyut dalam buaian musik nan melalaikan dan terombang-ambing dalam genangan khomr yang merusak akal dan nurani … Miras alias khomr jelas merusak akal dan mengganggu kesehatan tubuh manusia. Banyak orang yang diberikan nikmat kesehatan, tetapi justru melalaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Dua nikmat yang banyak orang merugi pada keduanya; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412) Apabila merokok saja merusak kesehatan dan mencemari lingkungan, maka bagaimana lagi dengan minuman keras (khomr)? Jika peredaran miras di tengah masyarakat tidak segera ditanggulangi, maka jangan salahkan siapa-siapa jika kezaliman semakin merajalela dan kerusakan semakin membara. Apakah anda merindukan para mahasiswa dari daerah terpencil nun jauh di sana yang dikirim untuk belajar di kota Jogja, lalu datang ke ruang kuliah sembari menentang sebotol khomr, lalu berkata kepada dosennya, “Monggo Pak Dosen, kita ngombe-ngombe dulu… biar segerrr, karena urip itu mampir ngombe…” Semoga sedikit tulisan ini berguna bagi kami dan segenap pembaca. Baca juga: Miras: Biang Segala Kerusakan dan Kejahatan *** Markas YPIA, Pogungrejo, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta Tidak jauh dari Kampus UGM -semoga Allah menjaganya dari segala keburukan- Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: miras


Bismillah … Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita cermati fenomena di tengah masyarakat, maka tidak sedikit kenyataan pahit yang perlu untuk kita waspadai. Di antaranya adalah maraknya judi online dan minum-minuman keras (miras) yang dengan mudah diakses oleh publik. Indonesia adalah negeri yang diberi taufik oleh Allah untuk lepas dari penjajahan fisik Belanda dan Jepang. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Di antara nikmat agung yang harus dijaga adalah nikmat akal sehat. Oleh sebab itu, di dalam agama Islam disyariatkan segala bentuk usaha untuk menjaga akal manusia; dan itu tercakup perkara yang bersifat dharuri (mendesak) dan sangat penting. Karena itulah, Allah mengharamkan berbagai bentuk perbuatan keji, di antaranya adalah khomr (minuman keras). Tidak samar bagi kita pentingnya menjaga akal, terlebih lagi bagi generasi muda dan kalangan anak sekolah maupun remaja. Kita tidak ingin generasi muda ini dirusak dengan budaya tawuran, seks bebas, narkoba, begitu pula khomr dengan segala bentuk dan variannya. Kita berharap Indonesia menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofuur. Sebuah negeri yang sejahtera dan diberi ampunan dan rahmat dari Allah Ta’ala. Gemah ripah loh jinawi, kata orang Jawa. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ “Dan seandainya para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi …” (QS. al-A’raaf: 96) Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa keberkahan dari langit dan bumi diberikan kepada orang yang beriman dan bertakwa. Perlu kita ingat bahwa keberkahan tidak identik dengan kekayaan dan kemewahan. Betapa banyak negeri yang kaya secara materi, tetapi hancur secara ukhrawi. Adalah iman dan takwa yang mengangkat generasi para sahabat menjadi panglima peradaban dan pemimpin dunia di masanya. Ingatlah ucapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan selain dengan Islam, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) Kemudian lihatlah generasi-generasi setelah mereka yang lambat laun meninggalkan rambu-rambu ajaran Islam dan tenggelam dalam fitnah syubhat dan syahwat. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا “Bersegeralah kalian dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang masih beriman, lalu di sore hari menjadi kafir; atau pada sore hari beriman, lantas keesokan paginya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mengejar serpihan kesenangan (kemewahan) dunia.” (HR. Muslim no. 118) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا “Sesungguhnya di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah ketika ilmu diangkat, kebodohan -terhadap agama- merajalela, (maraknya) perilaku minum khomr, dan merebaknya perzinaan.” (HR. Bukhari no. 80 dan Muslim no. 2671) Belumkah tiba saatnya bagi para cerdik cendekia pemerhati dunia pendidikan di negeri ini untuk bangkit memerangi maraknya peredaran miras di tengah masyarakat? Bagaimana kita hendak mencerdaskan kehidupan bangsa kalau setiap hari iklan miras tersebar bahkan melayani jasa antar gratis ke segala penjuru kota?! Ketakwaan adalah asas keberkahan sebuah negeri. Takwa terwujud dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala hal yang diharamkan. Kebahagiaan sejati akan diperoleh orang-orang yang bertakwa dan mengikuti petunjuk wahyu. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Ketenangan hati akan dirasakan oleh orang beriman dengan ketaatan dan zikir kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan merasa tenteram hati mereka dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28) Sungguh berbeda dengan sebagian kaum yang tidak merasakan kelezatan bersama kalam ilahi. Mereka hanyut dalam buaian musik nan melalaikan dan terombang-ambing dalam genangan khomr yang merusak akal dan nurani … Miras alias khomr jelas merusak akal dan mengganggu kesehatan tubuh manusia. Banyak orang yang diberikan nikmat kesehatan, tetapi justru melalaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Dua nikmat yang banyak orang merugi pada keduanya; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412) Apabila merokok saja merusak kesehatan dan mencemari lingkungan, maka bagaimana lagi dengan minuman keras (khomr)? Jika peredaran miras di tengah masyarakat tidak segera ditanggulangi, maka jangan salahkan siapa-siapa jika kezaliman semakin merajalela dan kerusakan semakin membara. Apakah anda merindukan para mahasiswa dari daerah terpencil nun jauh di sana yang dikirim untuk belajar di kota Jogja, lalu datang ke ruang kuliah sembari menentang sebotol khomr, lalu berkata kepada dosennya, “Monggo Pak Dosen, kita ngombe-ngombe dulu… biar segerrr, karena urip itu mampir ngombe…” Semoga sedikit tulisan ini berguna bagi kami dan segenap pembaca. Baca juga: Miras: Biang Segala Kerusakan dan Kejahatan *** Markas YPIA, Pogungrejo, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta Tidak jauh dari Kampus UGM -semoga Allah menjaganya dari segala keburukan- Penulis: Ari Wahyudi Artikel: Muslim.or.id Tags: miras

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 12): Definisi Kalam atau Jumlah Mufidah

Ibnu Hisyam mengatakan,  وَالْكَلاَمُ لَفْظٌ مُفِيْدٌ  “Kalam (kalimat) adalah lafaz yang mempunyai makna atau faedah.” Ketika penulis telah menyelesaikan pembahasan tentang kata, huruf, dan berbagai macamnya, penulis memulai pembahasan mengenai jumlah mufidah atau kalam. Penulis memulai pembahasan kata karena kata merupakan bagian parsial yang didahulukan sebelum pembahasan yang lebih komprehensif. Adapun sebagian ulama nahwu memulai pembahasan ilmu nahwu dari kalam karena kalam adalah inti yang dibahas dalam ilmu nahwu. Kalam merupakan tempat terwujudnya saling memahami dan terjadinya pembicaraan. Oleh karena itu, kalam berbeda dengan kata. Syarat-syarat kalam menurut Ibnu Hisyam adalah: Pertama, lafaz yang memiliki makna atau faedah. Lafaz adalah suara yang mencakup sebagian huruf hijaiyah yang tertulis dan tersirat. Contohnya adalah: زَيْدٌ Kata “Zaid” tersebut adalah lafaz karena mencakup sebagian huruf, yaitu huruf zai, ya’, dan dal. Kata tersebut konkret tertulis dan diucapkan. Adapun kata yang tersirat, seperti dhamir mustatir (kata ganti abstrak), juga termasuk dalam kategori lafaz. Contohnya di dalam kalimat adalah: أُكْتُبْ Pada kata di atas, sebenarnya terdapat kata أَنْتَ, namun kata tersebut tidak tertulis, melainkan tersirat. Menurut ulama nahwu, yang tidak termasuk kategori lafaz adalah kitabah, isyarat, dan hal-hal semisalnya. Kedua, bermakna atau berfaedah (memberikan informasi yang sempurna). Contohnya di dalam kalimat adalah: الْقِرَاءَةُ مُفِيْدَةٌ “Membaca adalah perkara yang berfaedah.” Contoh dari kalimat di atas dikatakan kalam karena diucapkan dan informasi dari kalimat tersebut telah sempurna. Pendengar merasa cukup setelah pembicaraan tersebut usai. Pendengar tidak menunggu ucapan lainnya, karena ucapan yang disampaikan sudah sempurna dan tidak memerlukan tambahan. Syarat jumlah mufidah adalah bahwa jumlah mufidah haruslah mufid atau sempurna, serta berupa tarkib atau susunan kata. Yang dimaksud dengan susunan kata adalah tersusun dari beberapa kata, minimal dua kata. Tidak termasuk jumlah mufidah apabila ada kalimat yang tidak memberikan informasi sempurna. Contohnya adalah: كِتَابُ خَالِدٍ “Kitabnya Khalid.“ Kalimat tersebut tidak ada penjelasan terkait kitabnya Khalid. Sempurnanya informasi tersebut jika adanya khabar atau informasi dari kitab Khalid tersebut. Contoh lainnya adalah: إِنْ حَضَرَ زَيْدٌ “Jika Zaid hadir.” Maka, kata di atas tidak sempurna, dikarenakan tidak ada penjelasan terkait jika Zaid hadir. Sempurnanya informasi kalimat tersebut adalah jika ada jawab syarat. Kedua contoh di atas tidak dikatakan kalimat sempurna oleh ulama nahwu. Ibnu Hisyam mengatakan,  وَأَقَلُّ ائْتِلَافِهِ مِنَ اسْمَيْنِ, كَ (زَيْدٌ قَائِمٌ), أَوْ فِعْلٍ وَاسْمٍ قَامَ زَيْدٌ “Persyaratan minimal dikatakan kalimat sempurna adalah tersusun dari 2 isim. Contohnya: زَيْدٌ قَائِمٌ ‘Zaid telah berdiri.’ Atau dikatakan kalimat sempurna apabila tersusun dari 1 fi’il dan 1 isim. قَامَ زَيْدٌ ‘Zaid telah berdiri.’ “ Ibnu Hisyam menyatakan bahwa susunan kata yang memberikan informasi sempurna juga dapat disebut kalam. Pensyarah mengatakan bahwa kadar minimal kalimat sempurna terdiri dari dua kata, yaitu isim dengan isim atau fi’il dengan isim. Contoh kalimat yang terdiri dari dua kata isim adalah:  الْحَيَاةُ مَتَاعٌ ”Kehidupan adalah kesenangan.” Susunan kalimat tersebut terdiri dari dua isim, yaitu الْحَيَاةُ (kehidupan) dan مَتَاعٌ (kesenangan). Jika kata tersebut berdiri sendiri-sendiri, maka makna kalimat tersebut tidak dapat dipahami, kecuali makna dari masing-masing kata tersebut. Contoh kalimat yang tersusun dari fi’il dan isim adalah: اسْتَفَادَ الطالبٌ “Siswa tersebut sedang belajar.” Susunan kata tersebut tersusun dari fi’il, yaitu اسْتَفَاد (sedang belajar) dan isim yaitu الطالبٌ (siswa). Adapun kalam terkadang lebih dari dua kata. Kembali ke bagian 11 Lanjut ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 12): Definisi Kalam atau Jumlah Mufidah

Ibnu Hisyam mengatakan,  وَالْكَلاَمُ لَفْظٌ مُفِيْدٌ  “Kalam (kalimat) adalah lafaz yang mempunyai makna atau faedah.” Ketika penulis telah menyelesaikan pembahasan tentang kata, huruf, dan berbagai macamnya, penulis memulai pembahasan mengenai jumlah mufidah atau kalam. Penulis memulai pembahasan kata karena kata merupakan bagian parsial yang didahulukan sebelum pembahasan yang lebih komprehensif. Adapun sebagian ulama nahwu memulai pembahasan ilmu nahwu dari kalam karena kalam adalah inti yang dibahas dalam ilmu nahwu. Kalam merupakan tempat terwujudnya saling memahami dan terjadinya pembicaraan. Oleh karena itu, kalam berbeda dengan kata. Syarat-syarat kalam menurut Ibnu Hisyam adalah: Pertama, lafaz yang memiliki makna atau faedah. Lafaz adalah suara yang mencakup sebagian huruf hijaiyah yang tertulis dan tersirat. Contohnya adalah: زَيْدٌ Kata “Zaid” tersebut adalah lafaz karena mencakup sebagian huruf, yaitu huruf zai, ya’, dan dal. Kata tersebut konkret tertulis dan diucapkan. Adapun kata yang tersirat, seperti dhamir mustatir (kata ganti abstrak), juga termasuk dalam kategori lafaz. Contohnya di dalam kalimat adalah: أُكْتُبْ Pada kata di atas, sebenarnya terdapat kata أَنْتَ, namun kata tersebut tidak tertulis, melainkan tersirat. Menurut ulama nahwu, yang tidak termasuk kategori lafaz adalah kitabah, isyarat, dan hal-hal semisalnya. Kedua, bermakna atau berfaedah (memberikan informasi yang sempurna). Contohnya di dalam kalimat adalah: الْقِرَاءَةُ مُفِيْدَةٌ “Membaca adalah perkara yang berfaedah.” Contoh dari kalimat di atas dikatakan kalam karena diucapkan dan informasi dari kalimat tersebut telah sempurna. Pendengar merasa cukup setelah pembicaraan tersebut usai. Pendengar tidak menunggu ucapan lainnya, karena ucapan yang disampaikan sudah sempurna dan tidak memerlukan tambahan. Syarat jumlah mufidah adalah bahwa jumlah mufidah haruslah mufid atau sempurna, serta berupa tarkib atau susunan kata. Yang dimaksud dengan susunan kata adalah tersusun dari beberapa kata, minimal dua kata. Tidak termasuk jumlah mufidah apabila ada kalimat yang tidak memberikan informasi sempurna. Contohnya adalah: كِتَابُ خَالِدٍ “Kitabnya Khalid.“ Kalimat tersebut tidak ada penjelasan terkait kitabnya Khalid. Sempurnanya informasi tersebut jika adanya khabar atau informasi dari kitab Khalid tersebut. Contoh lainnya adalah: إِنْ حَضَرَ زَيْدٌ “Jika Zaid hadir.” Maka, kata di atas tidak sempurna, dikarenakan tidak ada penjelasan terkait jika Zaid hadir. Sempurnanya informasi kalimat tersebut adalah jika ada jawab syarat. Kedua contoh di atas tidak dikatakan kalimat sempurna oleh ulama nahwu. Ibnu Hisyam mengatakan,  وَأَقَلُّ ائْتِلَافِهِ مِنَ اسْمَيْنِ, كَ (زَيْدٌ قَائِمٌ), أَوْ فِعْلٍ وَاسْمٍ قَامَ زَيْدٌ “Persyaratan minimal dikatakan kalimat sempurna adalah tersusun dari 2 isim. Contohnya: زَيْدٌ قَائِمٌ ‘Zaid telah berdiri.’ Atau dikatakan kalimat sempurna apabila tersusun dari 1 fi’il dan 1 isim. قَامَ زَيْدٌ ‘Zaid telah berdiri.’ “ Ibnu Hisyam menyatakan bahwa susunan kata yang memberikan informasi sempurna juga dapat disebut kalam. Pensyarah mengatakan bahwa kadar minimal kalimat sempurna terdiri dari dua kata, yaitu isim dengan isim atau fi’il dengan isim. Contoh kalimat yang terdiri dari dua kata isim adalah:  الْحَيَاةُ مَتَاعٌ ”Kehidupan adalah kesenangan.” Susunan kalimat tersebut terdiri dari dua isim, yaitu الْحَيَاةُ (kehidupan) dan مَتَاعٌ (kesenangan). Jika kata tersebut berdiri sendiri-sendiri, maka makna kalimat tersebut tidak dapat dipahami, kecuali makna dari masing-masing kata tersebut. Contoh kalimat yang tersusun dari fi’il dan isim adalah: اسْتَفَادَ الطالبٌ “Siswa tersebut sedang belajar.” Susunan kata tersebut tersusun dari fi’il, yaitu اسْتَفَاد (sedang belajar) dan isim yaitu الطالبٌ (siswa). Adapun kalam terkadang lebih dari dua kata. Kembali ke bagian 11 Lanjut ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Ibnu Hisyam mengatakan,  وَالْكَلاَمُ لَفْظٌ مُفِيْدٌ  “Kalam (kalimat) adalah lafaz yang mempunyai makna atau faedah.” Ketika penulis telah menyelesaikan pembahasan tentang kata, huruf, dan berbagai macamnya, penulis memulai pembahasan mengenai jumlah mufidah atau kalam. Penulis memulai pembahasan kata karena kata merupakan bagian parsial yang didahulukan sebelum pembahasan yang lebih komprehensif. Adapun sebagian ulama nahwu memulai pembahasan ilmu nahwu dari kalam karena kalam adalah inti yang dibahas dalam ilmu nahwu. Kalam merupakan tempat terwujudnya saling memahami dan terjadinya pembicaraan. Oleh karena itu, kalam berbeda dengan kata. Syarat-syarat kalam menurut Ibnu Hisyam adalah: Pertama, lafaz yang memiliki makna atau faedah. Lafaz adalah suara yang mencakup sebagian huruf hijaiyah yang tertulis dan tersirat. Contohnya adalah: زَيْدٌ Kata “Zaid” tersebut adalah lafaz karena mencakup sebagian huruf, yaitu huruf zai, ya’, dan dal. Kata tersebut konkret tertulis dan diucapkan. Adapun kata yang tersirat, seperti dhamir mustatir (kata ganti abstrak), juga termasuk dalam kategori lafaz. Contohnya di dalam kalimat adalah: أُكْتُبْ Pada kata di atas, sebenarnya terdapat kata أَنْتَ, namun kata tersebut tidak tertulis, melainkan tersirat. Menurut ulama nahwu, yang tidak termasuk kategori lafaz adalah kitabah, isyarat, dan hal-hal semisalnya. Kedua, bermakna atau berfaedah (memberikan informasi yang sempurna). Contohnya di dalam kalimat adalah: الْقِرَاءَةُ مُفِيْدَةٌ “Membaca adalah perkara yang berfaedah.” Contoh dari kalimat di atas dikatakan kalam karena diucapkan dan informasi dari kalimat tersebut telah sempurna. Pendengar merasa cukup setelah pembicaraan tersebut usai. Pendengar tidak menunggu ucapan lainnya, karena ucapan yang disampaikan sudah sempurna dan tidak memerlukan tambahan. Syarat jumlah mufidah adalah bahwa jumlah mufidah haruslah mufid atau sempurna, serta berupa tarkib atau susunan kata. Yang dimaksud dengan susunan kata adalah tersusun dari beberapa kata, minimal dua kata. Tidak termasuk jumlah mufidah apabila ada kalimat yang tidak memberikan informasi sempurna. Contohnya adalah: كِتَابُ خَالِدٍ “Kitabnya Khalid.“ Kalimat tersebut tidak ada penjelasan terkait kitabnya Khalid. Sempurnanya informasi tersebut jika adanya khabar atau informasi dari kitab Khalid tersebut. Contoh lainnya adalah: إِنْ حَضَرَ زَيْدٌ “Jika Zaid hadir.” Maka, kata di atas tidak sempurna, dikarenakan tidak ada penjelasan terkait jika Zaid hadir. Sempurnanya informasi kalimat tersebut adalah jika ada jawab syarat. Kedua contoh di atas tidak dikatakan kalimat sempurna oleh ulama nahwu. Ibnu Hisyam mengatakan,  وَأَقَلُّ ائْتِلَافِهِ مِنَ اسْمَيْنِ, كَ (زَيْدٌ قَائِمٌ), أَوْ فِعْلٍ وَاسْمٍ قَامَ زَيْدٌ “Persyaratan minimal dikatakan kalimat sempurna adalah tersusun dari 2 isim. Contohnya: زَيْدٌ قَائِمٌ ‘Zaid telah berdiri.’ Atau dikatakan kalimat sempurna apabila tersusun dari 1 fi’il dan 1 isim. قَامَ زَيْدٌ ‘Zaid telah berdiri.’ “ Ibnu Hisyam menyatakan bahwa susunan kata yang memberikan informasi sempurna juga dapat disebut kalam. Pensyarah mengatakan bahwa kadar minimal kalimat sempurna terdiri dari dua kata, yaitu isim dengan isim atau fi’il dengan isim. Contoh kalimat yang terdiri dari dua kata isim adalah:  الْحَيَاةُ مَتَاعٌ ”Kehidupan adalah kesenangan.” Susunan kalimat tersebut terdiri dari dua isim, yaitu الْحَيَاةُ (kehidupan) dan مَتَاعٌ (kesenangan). Jika kata tersebut berdiri sendiri-sendiri, maka makna kalimat tersebut tidak dapat dipahami, kecuali makna dari masing-masing kata tersebut. Contoh kalimat yang tersusun dari fi’il dan isim adalah: اسْتَفَادَ الطالبٌ “Siswa tersebut sedang belajar.” Susunan kata tersebut tersusun dari fi’il, yaitu اسْتَفَاد (sedang belajar) dan isim yaitu الطالبٌ (siswa). Adapun kalam terkadang lebih dari dua kata. Kembali ke bagian 11 Lanjut ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Ibnu Hisyam mengatakan,  وَالْكَلاَمُ لَفْظٌ مُفِيْدٌ  “Kalam (kalimat) adalah lafaz yang mempunyai makna atau faedah.” Ketika penulis telah menyelesaikan pembahasan tentang kata, huruf, dan berbagai macamnya, penulis memulai pembahasan mengenai jumlah mufidah atau kalam. Penulis memulai pembahasan kata karena kata merupakan bagian parsial yang didahulukan sebelum pembahasan yang lebih komprehensif. Adapun sebagian ulama nahwu memulai pembahasan ilmu nahwu dari kalam karena kalam adalah inti yang dibahas dalam ilmu nahwu. Kalam merupakan tempat terwujudnya saling memahami dan terjadinya pembicaraan. Oleh karena itu, kalam berbeda dengan kata. Syarat-syarat kalam menurut Ibnu Hisyam adalah: Pertama, lafaz yang memiliki makna atau faedah. Lafaz adalah suara yang mencakup sebagian huruf hijaiyah yang tertulis dan tersirat. Contohnya adalah: زَيْدٌ Kata “Zaid” tersebut adalah lafaz karena mencakup sebagian huruf, yaitu huruf zai, ya’, dan dal. Kata tersebut konkret tertulis dan diucapkan. Adapun kata yang tersirat, seperti dhamir mustatir (kata ganti abstrak), juga termasuk dalam kategori lafaz. Contohnya di dalam kalimat adalah: أُكْتُبْ Pada kata di atas, sebenarnya terdapat kata أَنْتَ, namun kata tersebut tidak tertulis, melainkan tersirat. Menurut ulama nahwu, yang tidak termasuk kategori lafaz adalah kitabah, isyarat, dan hal-hal semisalnya. Kedua, bermakna atau berfaedah (memberikan informasi yang sempurna). Contohnya di dalam kalimat adalah: الْقِرَاءَةُ مُفِيْدَةٌ “Membaca adalah perkara yang berfaedah.” Contoh dari kalimat di atas dikatakan kalam karena diucapkan dan informasi dari kalimat tersebut telah sempurna. Pendengar merasa cukup setelah pembicaraan tersebut usai. Pendengar tidak menunggu ucapan lainnya, karena ucapan yang disampaikan sudah sempurna dan tidak memerlukan tambahan. Syarat jumlah mufidah adalah bahwa jumlah mufidah haruslah mufid atau sempurna, serta berupa tarkib atau susunan kata. Yang dimaksud dengan susunan kata adalah tersusun dari beberapa kata, minimal dua kata. Tidak termasuk jumlah mufidah apabila ada kalimat yang tidak memberikan informasi sempurna. Contohnya adalah: كِتَابُ خَالِدٍ “Kitabnya Khalid.“ Kalimat tersebut tidak ada penjelasan terkait kitabnya Khalid. Sempurnanya informasi tersebut jika adanya khabar atau informasi dari kitab Khalid tersebut. Contoh lainnya adalah: إِنْ حَضَرَ زَيْدٌ “Jika Zaid hadir.” Maka, kata di atas tidak sempurna, dikarenakan tidak ada penjelasan terkait jika Zaid hadir. Sempurnanya informasi kalimat tersebut adalah jika ada jawab syarat. Kedua contoh di atas tidak dikatakan kalimat sempurna oleh ulama nahwu. Ibnu Hisyam mengatakan,  وَأَقَلُّ ائْتِلَافِهِ مِنَ اسْمَيْنِ, كَ (زَيْدٌ قَائِمٌ), أَوْ فِعْلٍ وَاسْمٍ قَامَ زَيْدٌ “Persyaratan minimal dikatakan kalimat sempurna adalah tersusun dari 2 isim. Contohnya: زَيْدٌ قَائِمٌ ‘Zaid telah berdiri.’ Atau dikatakan kalimat sempurna apabila tersusun dari 1 fi’il dan 1 isim. قَامَ زَيْدٌ ‘Zaid telah berdiri.’ “ Ibnu Hisyam menyatakan bahwa susunan kata yang memberikan informasi sempurna juga dapat disebut kalam. Pensyarah mengatakan bahwa kadar minimal kalimat sempurna terdiri dari dua kata, yaitu isim dengan isim atau fi’il dengan isim. Contoh kalimat yang terdiri dari dua kata isim adalah:  الْحَيَاةُ مَتَاعٌ ”Kehidupan adalah kesenangan.” Susunan kalimat tersebut terdiri dari dua isim, yaitu الْحَيَاةُ (kehidupan) dan مَتَاعٌ (kesenangan). Jika kata tersebut berdiri sendiri-sendiri, maka makna kalimat tersebut tidak dapat dipahami, kecuali makna dari masing-masing kata tersebut. Contoh kalimat yang tersusun dari fi’il dan isim adalah: اسْتَفَادَ الطالبٌ “Siswa tersebut sedang belajar.” Susunan kata tersebut tersusun dari fi’il, yaitu اسْتَفَاد (sedang belajar) dan isim yaitu الطالبٌ (siswa). Adapun kalam terkadang lebih dari dua kata. Kembali ke bagian 11 Lanjut ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami?

Daftar Isi Toggle Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannyaKapan istri boleh menggugat cerai suami?Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Islam adalah agama yang sempurna. Semua ranah kehidupan yang kita miliki pastilah ada ketentuan dan aturannya. Terlebih lagi, apabila hal tersebut berhubungan dengan ibadah seorang muslim. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sekedar ijab dan kabul yang menghalalkan hubungan suami istri. Lebih jauh dari itu, pernikahan adalah ibadah yang dijalani seseorang dengan pasangannya. Nikah adalah perintah Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena pernikahan adalah ibadah, maka dalam setiap langkah, keputusan, dan tindak tanduk yang berhubungan dengannya, haruslah taat dan patuh pada aturan dan ketentuan yang telah diajarkan oleh syariat Islam. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-Nya untuk menikah, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”  (QS. An-Nur: 32) Dalam pernikahan, perseteruan dan ketidakcocokan antara kedua pasangan sangatlah mungkin terjadi. Islam memberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan perseteruan tersebut. Baik itu dengan islah (perdamaian melalui pihak ketiga), menasihati, saling memaafkan, dan opsi terakhir adalah perceraian. Saat sebuah hubungan pernikahan mengharuskan adanya perceraian, Islam menjadikan suami sebagai pemegang hak untuk melakukan dan mengambil keputusannya. Tidaklah kata, “Aku talak kamu”, atau “Aku cerai dirimu” muncul, kecuali dari pihak suami. Hanya saja, Islam mengizinkan beberapa keadaan di mana seorang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim atau pihak berwenang agar terjadi perpisahan dan perceraian yang dibutuhkannya. Inilah yang di dalam syariat Islam disebut dengan khulu’ (gugat cerai). Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannya Secara bahasa, khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya dan dengan adanya timbal balik (kompensasi) yang diserahkan pihak istri kepada suami. Sehingga, maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri kepada suami dengan adanya kompensasi. Gugat cerai diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Di dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa maksud “bayaran” di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan bolehnya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan. Kapan istri boleh menggugat cerai suami? Pada dasarnya, seorang wanita dilarang meminta cerai tanpa alasan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أيُّمَا امرأةٍ سألت زوجَها طلاقًا في غيرِ ما بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنة “Wanita mana saja yang meminta talak/cerai kepada suaminya tanpa sebab yang penting, haram baginya wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226) Hanya saja, ada beberapa kondisi yang dikecualikan, yang membolehkan seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Berikut adalah beberapa sebab dan kondisi yang disebutkan dalam jawaban Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah tatkala ada yang bertanya kepadanya perihal gugat cerai ini. Pertama: Ketika seorang wanita tidak menyukai akhlak suaminya, seperti sikapnya yang kasar, lisannya yang tajam, mudah tersinggung, sering marah, mengkritik tindakan sekecil apa pun yang dilakukan istrinya, dan mencelanya. Pada kondisi-kondisi tersebut, maka dia berhak untuk meminta khulu’. Karena di antara hikmah menikah adalah mencari ketenangan dan kasih sayang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang disebutkan di atas, maka akan menghilangkan hikmah-hikmah pernikahan tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21) Kedua: Jika tidak menyukai penampilannya, seperti adanya kecacatan, atau kekurangan pada panca indranya, maka dia berhak meminta khulu’. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini, جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بنِ قَيْسِ بنِ شَمَّاسٍ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ، ما أنْقِمُ علَى ثَابِتٍ في دِينٍ ولَا خُلُقٍ، إلَّا أنِّي أخَافُ الكُفْرَ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فَتَرُدِّينَ عليه حَدِيقَتَهُ؟ فَقالَتْ: نَعَمْ، فَرَدَّتْ عليه، وأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا. “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja, aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276) Ketiga: Istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala, إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Keempat: Jika suami sangat kurang dan tidak perhatian dengan agamanya, baik itu dengan meninggalkan salat, lalai dengan salat jemaah, tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa alasan, atau melakukan hal-hal yang Allah haramkan seperti zina, mabuk-mabukan, suka mendengar musik atau bahkan bermain dengan alat musik, atau hal-hal haram lainnya. Dalam kondisi-kondisi tersebut, sang istri berhak meminta khulu‘. Hal ini karena agama suami merupakan dasar dan tolok ukur kesuksesan pernikahan. Kelima: Jika suami tidak memberikan hak istri berupa nafkah, sandang, atau keperluan-keperluan yang diperlukannya, padahal seharusnya ia mampu memenuhinya dan memberikannya. Dalam kondisi semacam ini, seorang istri berhak meminta khulu’. Keenam:  Jika suami tidak memberikan hak istri dalam hal kasih sayang dan pergaulan yang baik dan lumrah layaknya seorang suami dan istri pada umumnya. Entah itu karena suaminya mengidap impotensi, atau kurang dalam memberikan porsi kasih sayang dan pergaulannya, atau karena suami memiliki kecenderungan kepada seseorang selain dirinya, atau juga apabila seseorang tidak adil dalam bermalam (jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu), maka dia berhak meminta khulu’. Dalam kondisi-kondisi yang kita sebutkan di atas, seorang istri diperbolehkan untuk menggugat cerai suaminya dengan syarat membayar sejumlah kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan. Namun, jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, tentu inilah yang lebih baik. Wallahu a’lam Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Pertama: Istri yang menggugat cerai suaminya, maka tidak berhak mendapat tunjangan atau nafkah dari suaminya untuk dirinya sendiri. Adapun nafkah untuk anak-anaknya dari suaminya tersebut atau nafkah bagi janinnya apabila ia hamil, maka masih menjadi kewajiban suami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak, termasuk di dalamnya adalah istri yang meminta cerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”  (QS. At-Talaq: 6) Kedua: Talak hasil dari gugat cerai adalah talak ba’in (yang tidak dapat dibatalkan) atau diajukan banding dengan cara apa pun. Jika suaminya telah benar-benar menceraikannya, maka terjadilah ba’inunah kubro (perpisahan besar). Seorang istri tidak boleh kembali kepada suaminya, kecuali setelah menikah dengan orang lain dengan disertai adanya hubungan suami istri di antara keduanya, kemudian ia berpisah dengan suami keduanya tersebut, baik karena kematian atau perceraian. Setelah selesai masa iddah-nya, barulah dirinya diperbolehkan untuk kembali kepada suami pertamanya dan harus dengan akad nikah yang baru. Ketiga: Istri wajib memberikan kompensasi dalam proses khulu’, tidak harus menyerahkan atau mengembalikan seluruh mahar, melainkan sesuai dengan apa yang telah disepakati antara keduanya atau berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama yang berwenang mengambil keputusan Keempat: Wanita yang telah diceraikan dengan cara khulu’ tidak mendapat warisan dari orang yang menceraikannya, karena alasan pewarisannya telah hilang seperti halnya dalam talak ba’in. Ibnu Abidin rahimahullah menyebutkan hal ini dan berkata, لَا تَرِثُ الْمُخْتَلِعَةُ وَالْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا “Wanita yang diceraikan dengan gugat cerai dan wanita yang sudah diceraikan tiga kali tidaklah mendapat warisan.”  (Hasyiyat Ibnu Abidin/Radd Al-Muhtar, 3: 388) Itulah sedikit pembahasan kita mengenai gugat cerai dalam kaca mata Islam. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dan keluarga kaum muslimin lainnya dari hal-hal yang dapat merusak hubungan pernikahan, menjaga setiap keluarga di dalam keharmonisan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Bolehkah Istri Minta Cerai Karena Suami Poligami? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: cerai

Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami?

Daftar Isi Toggle Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannyaKapan istri boleh menggugat cerai suami?Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Islam adalah agama yang sempurna. Semua ranah kehidupan yang kita miliki pastilah ada ketentuan dan aturannya. Terlebih lagi, apabila hal tersebut berhubungan dengan ibadah seorang muslim. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sekedar ijab dan kabul yang menghalalkan hubungan suami istri. Lebih jauh dari itu, pernikahan adalah ibadah yang dijalani seseorang dengan pasangannya. Nikah adalah perintah Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena pernikahan adalah ibadah, maka dalam setiap langkah, keputusan, dan tindak tanduk yang berhubungan dengannya, haruslah taat dan patuh pada aturan dan ketentuan yang telah diajarkan oleh syariat Islam. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-Nya untuk menikah, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”  (QS. An-Nur: 32) Dalam pernikahan, perseteruan dan ketidakcocokan antara kedua pasangan sangatlah mungkin terjadi. Islam memberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan perseteruan tersebut. Baik itu dengan islah (perdamaian melalui pihak ketiga), menasihati, saling memaafkan, dan opsi terakhir adalah perceraian. Saat sebuah hubungan pernikahan mengharuskan adanya perceraian, Islam menjadikan suami sebagai pemegang hak untuk melakukan dan mengambil keputusannya. Tidaklah kata, “Aku talak kamu”, atau “Aku cerai dirimu” muncul, kecuali dari pihak suami. Hanya saja, Islam mengizinkan beberapa keadaan di mana seorang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim atau pihak berwenang agar terjadi perpisahan dan perceraian yang dibutuhkannya. Inilah yang di dalam syariat Islam disebut dengan khulu’ (gugat cerai). Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannya Secara bahasa, khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya dan dengan adanya timbal balik (kompensasi) yang diserahkan pihak istri kepada suami. Sehingga, maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri kepada suami dengan adanya kompensasi. Gugat cerai diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Di dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa maksud “bayaran” di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan bolehnya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan. Kapan istri boleh menggugat cerai suami? Pada dasarnya, seorang wanita dilarang meminta cerai tanpa alasan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أيُّمَا امرأةٍ سألت زوجَها طلاقًا في غيرِ ما بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنة “Wanita mana saja yang meminta talak/cerai kepada suaminya tanpa sebab yang penting, haram baginya wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226) Hanya saja, ada beberapa kondisi yang dikecualikan, yang membolehkan seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Berikut adalah beberapa sebab dan kondisi yang disebutkan dalam jawaban Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah tatkala ada yang bertanya kepadanya perihal gugat cerai ini. Pertama: Ketika seorang wanita tidak menyukai akhlak suaminya, seperti sikapnya yang kasar, lisannya yang tajam, mudah tersinggung, sering marah, mengkritik tindakan sekecil apa pun yang dilakukan istrinya, dan mencelanya. Pada kondisi-kondisi tersebut, maka dia berhak untuk meminta khulu’. Karena di antara hikmah menikah adalah mencari ketenangan dan kasih sayang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang disebutkan di atas, maka akan menghilangkan hikmah-hikmah pernikahan tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21) Kedua: Jika tidak menyukai penampilannya, seperti adanya kecacatan, atau kekurangan pada panca indranya, maka dia berhak meminta khulu’. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini, جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بنِ قَيْسِ بنِ شَمَّاسٍ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ، ما أنْقِمُ علَى ثَابِتٍ في دِينٍ ولَا خُلُقٍ، إلَّا أنِّي أخَافُ الكُفْرَ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فَتَرُدِّينَ عليه حَدِيقَتَهُ؟ فَقالَتْ: نَعَمْ، فَرَدَّتْ عليه، وأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا. “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja, aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276) Ketiga: Istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala, إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Keempat: Jika suami sangat kurang dan tidak perhatian dengan agamanya, baik itu dengan meninggalkan salat, lalai dengan salat jemaah, tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa alasan, atau melakukan hal-hal yang Allah haramkan seperti zina, mabuk-mabukan, suka mendengar musik atau bahkan bermain dengan alat musik, atau hal-hal haram lainnya. Dalam kondisi-kondisi tersebut, sang istri berhak meminta khulu‘. Hal ini karena agama suami merupakan dasar dan tolok ukur kesuksesan pernikahan. Kelima: Jika suami tidak memberikan hak istri berupa nafkah, sandang, atau keperluan-keperluan yang diperlukannya, padahal seharusnya ia mampu memenuhinya dan memberikannya. Dalam kondisi semacam ini, seorang istri berhak meminta khulu’. Keenam:  Jika suami tidak memberikan hak istri dalam hal kasih sayang dan pergaulan yang baik dan lumrah layaknya seorang suami dan istri pada umumnya. Entah itu karena suaminya mengidap impotensi, atau kurang dalam memberikan porsi kasih sayang dan pergaulannya, atau karena suami memiliki kecenderungan kepada seseorang selain dirinya, atau juga apabila seseorang tidak adil dalam bermalam (jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu), maka dia berhak meminta khulu’. Dalam kondisi-kondisi yang kita sebutkan di atas, seorang istri diperbolehkan untuk menggugat cerai suaminya dengan syarat membayar sejumlah kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan. Namun, jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, tentu inilah yang lebih baik. Wallahu a’lam Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Pertama: Istri yang menggugat cerai suaminya, maka tidak berhak mendapat tunjangan atau nafkah dari suaminya untuk dirinya sendiri. Adapun nafkah untuk anak-anaknya dari suaminya tersebut atau nafkah bagi janinnya apabila ia hamil, maka masih menjadi kewajiban suami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak, termasuk di dalamnya adalah istri yang meminta cerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”  (QS. At-Talaq: 6) Kedua: Talak hasil dari gugat cerai adalah talak ba’in (yang tidak dapat dibatalkan) atau diajukan banding dengan cara apa pun. Jika suaminya telah benar-benar menceraikannya, maka terjadilah ba’inunah kubro (perpisahan besar). Seorang istri tidak boleh kembali kepada suaminya, kecuali setelah menikah dengan orang lain dengan disertai adanya hubungan suami istri di antara keduanya, kemudian ia berpisah dengan suami keduanya tersebut, baik karena kematian atau perceraian. Setelah selesai masa iddah-nya, barulah dirinya diperbolehkan untuk kembali kepada suami pertamanya dan harus dengan akad nikah yang baru. Ketiga: Istri wajib memberikan kompensasi dalam proses khulu’, tidak harus menyerahkan atau mengembalikan seluruh mahar, melainkan sesuai dengan apa yang telah disepakati antara keduanya atau berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama yang berwenang mengambil keputusan Keempat: Wanita yang telah diceraikan dengan cara khulu’ tidak mendapat warisan dari orang yang menceraikannya, karena alasan pewarisannya telah hilang seperti halnya dalam talak ba’in. Ibnu Abidin rahimahullah menyebutkan hal ini dan berkata, لَا تَرِثُ الْمُخْتَلِعَةُ وَالْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا “Wanita yang diceraikan dengan gugat cerai dan wanita yang sudah diceraikan tiga kali tidaklah mendapat warisan.”  (Hasyiyat Ibnu Abidin/Radd Al-Muhtar, 3: 388) Itulah sedikit pembahasan kita mengenai gugat cerai dalam kaca mata Islam. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dan keluarga kaum muslimin lainnya dari hal-hal yang dapat merusak hubungan pernikahan, menjaga setiap keluarga di dalam keharmonisan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Bolehkah Istri Minta Cerai Karena Suami Poligami? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: cerai
Daftar Isi Toggle Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannyaKapan istri boleh menggugat cerai suami?Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Islam adalah agama yang sempurna. Semua ranah kehidupan yang kita miliki pastilah ada ketentuan dan aturannya. Terlebih lagi, apabila hal tersebut berhubungan dengan ibadah seorang muslim. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sekedar ijab dan kabul yang menghalalkan hubungan suami istri. Lebih jauh dari itu, pernikahan adalah ibadah yang dijalani seseorang dengan pasangannya. Nikah adalah perintah Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena pernikahan adalah ibadah, maka dalam setiap langkah, keputusan, dan tindak tanduk yang berhubungan dengannya, haruslah taat dan patuh pada aturan dan ketentuan yang telah diajarkan oleh syariat Islam. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-Nya untuk menikah, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”  (QS. An-Nur: 32) Dalam pernikahan, perseteruan dan ketidakcocokan antara kedua pasangan sangatlah mungkin terjadi. Islam memberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan perseteruan tersebut. Baik itu dengan islah (perdamaian melalui pihak ketiga), menasihati, saling memaafkan, dan opsi terakhir adalah perceraian. Saat sebuah hubungan pernikahan mengharuskan adanya perceraian, Islam menjadikan suami sebagai pemegang hak untuk melakukan dan mengambil keputusannya. Tidaklah kata, “Aku talak kamu”, atau “Aku cerai dirimu” muncul, kecuali dari pihak suami. Hanya saja, Islam mengizinkan beberapa keadaan di mana seorang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim atau pihak berwenang agar terjadi perpisahan dan perceraian yang dibutuhkannya. Inilah yang di dalam syariat Islam disebut dengan khulu’ (gugat cerai). Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannya Secara bahasa, khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya dan dengan adanya timbal balik (kompensasi) yang diserahkan pihak istri kepada suami. Sehingga, maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri kepada suami dengan adanya kompensasi. Gugat cerai diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Di dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa maksud “bayaran” di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan bolehnya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan. Kapan istri boleh menggugat cerai suami? Pada dasarnya, seorang wanita dilarang meminta cerai tanpa alasan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أيُّمَا امرأةٍ سألت زوجَها طلاقًا في غيرِ ما بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنة “Wanita mana saja yang meminta talak/cerai kepada suaminya tanpa sebab yang penting, haram baginya wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226) Hanya saja, ada beberapa kondisi yang dikecualikan, yang membolehkan seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Berikut adalah beberapa sebab dan kondisi yang disebutkan dalam jawaban Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah tatkala ada yang bertanya kepadanya perihal gugat cerai ini. Pertama: Ketika seorang wanita tidak menyukai akhlak suaminya, seperti sikapnya yang kasar, lisannya yang tajam, mudah tersinggung, sering marah, mengkritik tindakan sekecil apa pun yang dilakukan istrinya, dan mencelanya. Pada kondisi-kondisi tersebut, maka dia berhak untuk meminta khulu’. Karena di antara hikmah menikah adalah mencari ketenangan dan kasih sayang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang disebutkan di atas, maka akan menghilangkan hikmah-hikmah pernikahan tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21) Kedua: Jika tidak menyukai penampilannya, seperti adanya kecacatan, atau kekurangan pada panca indranya, maka dia berhak meminta khulu’. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini, جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بنِ قَيْسِ بنِ شَمَّاسٍ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ، ما أنْقِمُ علَى ثَابِتٍ في دِينٍ ولَا خُلُقٍ، إلَّا أنِّي أخَافُ الكُفْرَ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فَتَرُدِّينَ عليه حَدِيقَتَهُ؟ فَقالَتْ: نَعَمْ، فَرَدَّتْ عليه، وأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا. “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja, aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276) Ketiga: Istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala, إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Keempat: Jika suami sangat kurang dan tidak perhatian dengan agamanya, baik itu dengan meninggalkan salat, lalai dengan salat jemaah, tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa alasan, atau melakukan hal-hal yang Allah haramkan seperti zina, mabuk-mabukan, suka mendengar musik atau bahkan bermain dengan alat musik, atau hal-hal haram lainnya. Dalam kondisi-kondisi tersebut, sang istri berhak meminta khulu‘. Hal ini karena agama suami merupakan dasar dan tolok ukur kesuksesan pernikahan. Kelima: Jika suami tidak memberikan hak istri berupa nafkah, sandang, atau keperluan-keperluan yang diperlukannya, padahal seharusnya ia mampu memenuhinya dan memberikannya. Dalam kondisi semacam ini, seorang istri berhak meminta khulu’. Keenam:  Jika suami tidak memberikan hak istri dalam hal kasih sayang dan pergaulan yang baik dan lumrah layaknya seorang suami dan istri pada umumnya. Entah itu karena suaminya mengidap impotensi, atau kurang dalam memberikan porsi kasih sayang dan pergaulannya, atau karena suami memiliki kecenderungan kepada seseorang selain dirinya, atau juga apabila seseorang tidak adil dalam bermalam (jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu), maka dia berhak meminta khulu’. Dalam kondisi-kondisi yang kita sebutkan di atas, seorang istri diperbolehkan untuk menggugat cerai suaminya dengan syarat membayar sejumlah kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan. Namun, jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, tentu inilah yang lebih baik. Wallahu a’lam Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Pertama: Istri yang menggugat cerai suaminya, maka tidak berhak mendapat tunjangan atau nafkah dari suaminya untuk dirinya sendiri. Adapun nafkah untuk anak-anaknya dari suaminya tersebut atau nafkah bagi janinnya apabila ia hamil, maka masih menjadi kewajiban suami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak, termasuk di dalamnya adalah istri yang meminta cerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”  (QS. At-Talaq: 6) Kedua: Talak hasil dari gugat cerai adalah talak ba’in (yang tidak dapat dibatalkan) atau diajukan banding dengan cara apa pun. Jika suaminya telah benar-benar menceraikannya, maka terjadilah ba’inunah kubro (perpisahan besar). Seorang istri tidak boleh kembali kepada suaminya, kecuali setelah menikah dengan orang lain dengan disertai adanya hubungan suami istri di antara keduanya, kemudian ia berpisah dengan suami keduanya tersebut, baik karena kematian atau perceraian. Setelah selesai masa iddah-nya, barulah dirinya diperbolehkan untuk kembali kepada suami pertamanya dan harus dengan akad nikah yang baru. Ketiga: Istri wajib memberikan kompensasi dalam proses khulu’, tidak harus menyerahkan atau mengembalikan seluruh mahar, melainkan sesuai dengan apa yang telah disepakati antara keduanya atau berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama yang berwenang mengambil keputusan Keempat: Wanita yang telah diceraikan dengan cara khulu’ tidak mendapat warisan dari orang yang menceraikannya, karena alasan pewarisannya telah hilang seperti halnya dalam talak ba’in. Ibnu Abidin rahimahullah menyebutkan hal ini dan berkata, لَا تَرِثُ الْمُخْتَلِعَةُ وَالْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا “Wanita yang diceraikan dengan gugat cerai dan wanita yang sudah diceraikan tiga kali tidaklah mendapat warisan.”  (Hasyiyat Ibnu Abidin/Radd Al-Muhtar, 3: 388) Itulah sedikit pembahasan kita mengenai gugat cerai dalam kaca mata Islam. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dan keluarga kaum muslimin lainnya dari hal-hal yang dapat merusak hubungan pernikahan, menjaga setiap keluarga di dalam keharmonisan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Bolehkah Istri Minta Cerai Karena Suami Poligami? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: cerai


Daftar Isi Toggle Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannyaKapan istri boleh menggugat cerai suami?Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Islam adalah agama yang sempurna. Semua ranah kehidupan yang kita miliki pastilah ada ketentuan dan aturannya. Terlebih lagi, apabila hal tersebut berhubungan dengan ibadah seorang muslim. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sekedar ijab dan kabul yang menghalalkan hubungan suami istri. Lebih jauh dari itu, pernikahan adalah ibadah yang dijalani seseorang dengan pasangannya. Nikah adalah perintah Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena pernikahan adalah ibadah, maka dalam setiap langkah, keputusan, dan tindak tanduk yang berhubungan dengannya, haruslah taat dan patuh pada aturan dan ketentuan yang telah diajarkan oleh syariat Islam. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-Nya untuk menikah, وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”  (QS. An-Nur: 32) Dalam pernikahan, perseteruan dan ketidakcocokan antara kedua pasangan sangatlah mungkin terjadi. Islam memberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan perseteruan tersebut. Baik itu dengan islah (perdamaian melalui pihak ketiga), menasihati, saling memaafkan, dan opsi terakhir adalah perceraian. Saat sebuah hubungan pernikahan mengharuskan adanya perceraian, Islam menjadikan suami sebagai pemegang hak untuk melakukan dan mengambil keputusannya. Tidaklah kata, “Aku talak kamu”, atau “Aku cerai dirimu” muncul, kecuali dari pihak suami. Hanya saja, Islam mengizinkan beberapa keadaan di mana seorang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada hakim atau pihak berwenang agar terjadi perpisahan dan perceraian yang dibutuhkannya. Inilah yang di dalam syariat Islam disebut dengan khulu’ (gugat cerai). Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannya Secara bahasa, khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya dan dengan adanya timbal balik (kompensasi) yang diserahkan pihak istri kepada suami. Sehingga, maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri kepada suami dengan adanya kompensasi. Gugat cerai diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Di dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa maksud “bayaran” di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan bolehnya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan. Kapan istri boleh menggugat cerai suami? Pada dasarnya, seorang wanita dilarang meminta cerai tanpa alasan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أيُّمَا امرأةٍ سألت زوجَها طلاقًا في غيرِ ما بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنة “Wanita mana saja yang meminta talak/cerai kepada suaminya tanpa sebab yang penting, haram baginya wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226) Hanya saja, ada beberapa kondisi yang dikecualikan, yang membolehkan seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Berikut adalah beberapa sebab dan kondisi yang disebutkan dalam jawaban Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah tatkala ada yang bertanya kepadanya perihal gugat cerai ini. Pertama: Ketika seorang wanita tidak menyukai akhlak suaminya, seperti sikapnya yang kasar, lisannya yang tajam, mudah tersinggung, sering marah, mengkritik tindakan sekecil apa pun yang dilakukan istrinya, dan mencelanya. Pada kondisi-kondisi tersebut, maka dia berhak untuk meminta khulu’. Karena di antara hikmah menikah adalah mencari ketenangan dan kasih sayang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang disebutkan di atas, maka akan menghilangkan hikmah-hikmah pernikahan tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21) Kedua: Jika tidak menyukai penampilannya, seperti adanya kecacatan, atau kekurangan pada panca indranya, maka dia berhak meminta khulu’. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini, جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بنِ قَيْسِ بنِ شَمَّاسٍ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ، ما أنْقِمُ علَى ثَابِتٍ في دِينٍ ولَا خُلُقٍ، إلَّا أنِّي أخَافُ الكُفْرَ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فَتَرُدِّينَ عليه حَدِيقَتَهُ؟ فَقالَتْ: نَعَمْ، فَرَدَّتْ عليه، وأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا. “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja, aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276) Ketiga: Istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala, إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229) Keempat: Jika suami sangat kurang dan tidak perhatian dengan agamanya, baik itu dengan meninggalkan salat, lalai dengan salat jemaah, tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa alasan, atau melakukan hal-hal yang Allah haramkan seperti zina, mabuk-mabukan, suka mendengar musik atau bahkan bermain dengan alat musik, atau hal-hal haram lainnya. Dalam kondisi-kondisi tersebut, sang istri berhak meminta khulu‘. Hal ini karena agama suami merupakan dasar dan tolok ukur kesuksesan pernikahan. Kelima: Jika suami tidak memberikan hak istri berupa nafkah, sandang, atau keperluan-keperluan yang diperlukannya, padahal seharusnya ia mampu memenuhinya dan memberikannya. Dalam kondisi semacam ini, seorang istri berhak meminta khulu’. Keenam:  Jika suami tidak memberikan hak istri dalam hal kasih sayang dan pergaulan yang baik dan lumrah layaknya seorang suami dan istri pada umumnya. Entah itu karena suaminya mengidap impotensi, atau kurang dalam memberikan porsi kasih sayang dan pergaulannya, atau karena suami memiliki kecenderungan kepada seseorang selain dirinya, atau juga apabila seseorang tidak adil dalam bermalam (jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu), maka dia berhak meminta khulu’. Dalam kondisi-kondisi yang kita sebutkan di atas, seorang istri diperbolehkan untuk menggugat cerai suaminya dengan syarat membayar sejumlah kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan. Namun, jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, tentu inilah yang lebih baik. Wallahu a’lam Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Beberapa konsekuensi akibat khulu’ Pertama: Istri yang menggugat cerai suaminya, maka tidak berhak mendapat tunjangan atau nafkah dari suaminya untuk dirinya sendiri. Adapun nafkah untuk anak-anaknya dari suaminya tersebut atau nafkah bagi janinnya apabila ia hamil, maka masih menjadi kewajiban suami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak, termasuk di dalamnya adalah istri yang meminta cerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”  (QS. At-Talaq: 6) Kedua: Talak hasil dari gugat cerai adalah talak ba’in (yang tidak dapat dibatalkan) atau diajukan banding dengan cara apa pun. Jika suaminya telah benar-benar menceraikannya, maka terjadilah ba’inunah kubro (perpisahan besar). Seorang istri tidak boleh kembali kepada suaminya, kecuali setelah menikah dengan orang lain dengan disertai adanya hubungan suami istri di antara keduanya, kemudian ia berpisah dengan suami keduanya tersebut, baik karena kematian atau perceraian. Setelah selesai masa iddah-nya, barulah dirinya diperbolehkan untuk kembali kepada suami pertamanya dan harus dengan akad nikah yang baru. Ketiga: Istri wajib memberikan kompensasi dalam proses khulu’, tidak harus menyerahkan atau mengembalikan seluruh mahar, melainkan sesuai dengan apa yang telah disepakati antara keduanya atau berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama yang berwenang mengambil keputusan Keempat: Wanita yang telah diceraikan dengan cara khulu’ tidak mendapat warisan dari orang yang menceraikannya, karena alasan pewarisannya telah hilang seperti halnya dalam talak ba’in. Ibnu Abidin rahimahullah menyebutkan hal ini dan berkata, لَا تَرِثُ الْمُخْتَلِعَةُ وَالْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا “Wanita yang diceraikan dengan gugat cerai dan wanita yang sudah diceraikan tiga kali tidaklah mendapat warisan.”  (Hasyiyat Ibnu Abidin/Radd Al-Muhtar, 3: 388) Itulah sedikit pembahasan kita mengenai gugat cerai dalam kaca mata Islam. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dan keluarga kaum muslimin lainnya dari hal-hal yang dapat merusak hubungan pernikahan, menjaga setiap keluarga di dalam keharmonisan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Bolehkah Istri Minta Cerai Karena Suami Poligami? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: cerai

Fikih Akad Ju’alah (Sayembara)

Daftar Isi Toggle Definisi akad ju’alah Dalil akad ju’alah (sayembara)Hukum akad ju’alah (sayembara)Syarat sah akad ju’alahPerbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Sayembara secara bahasa Indonesia dikenal dengan perlombaan (karang-mengarang dan sebagainya) untuk memperebutkan hadiah. Disebutkan dalam KBBI “Menyayembarakan” artinya memperlombakan [1]. Hal ini seringkali terjadi di masyarakat Indonesia, tak terlepas dari kaum muslimin. Tentunya hukum-hukum yang berkaitan dengan akad ini mesti diketahui. Definisi akad ju’alah  Sayembara dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah ju’alah. Secara bahasa Arab, ju’alah didefinisikan dengan “sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas perintah yang dikerjakan olehnya.” Adapun secara istilah syar’i, ju’alah didefinisikan dengan “seseorang yang sudah layak bertransaksi memberikan hartanya bagi orang lain yang melakukan pekerjaan untuknya, baik pekerjaan tersebut tidak jelas atau pekerjaan yang sudah jelas.” [2] Gambaran sederhananya, seseorang berkata, “Siapa yang membersihkan masjid ini, ia akan mendapatkan seratus.” Atau, “Siapa yang menemukan barang saya yang hilang, saya akan berikan ia uang dua ratus ribu.” Demikianlah yang dinamakan dengan ju’alah atau biasa dinamakan di tengah masyarakat dengan sayembara. Dalil akad ju’alah (sayembara) Allah Ta’ala berfirman, وَلِمَنْ جَآءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَاۡ بِهٖ زَعِيْمٌ “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf: 72) Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ الْقِرَى، فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ، فَأَتَوْنَا، فَقَالُوا : هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ. أَنَا، وَلَكِنْ لَا أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا : فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلَاثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا، فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ ؛ فَبَرَأَ، وَقَبَضْنَا الْغَنَمَ، قَالَ : فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ، فَقُلْنَا : لَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ : ” وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ؟ اقْبِضُوا الْغَنَمَ، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami pada suatu peperangan. Kami pun sampai pada wilayah suatu kaum. Kami meminta kepada mereka untuk menjamu kami, namun mereka tidak ingin untuk menjamu kami. Lalu, pemimpin kaum mereka disengat (kalajengking). Mereka (kaum itu) berkata, adakah di antara kalian yang bisa meruqyah dari sengatan kalajengking? Aku (Abu Sa’id) berkata, Iya. Saya bisa, namun saya tidak ingin meruqyah sampai kalian memberikan kepada kami seekor kambing. Mereka berkata, baik kalau begitu kami akan berikan kepada kalian tiga puluh ekor kambing. (Abu Sa’id), kami pun menerimanya. Kemudian aku bacakan kepada yang disengat itu Alhamdulillah (surah Al-Fatihah) sebanyak tujuh kali. Ia pun sembuh, dan kami terima kambing pemberian mereka. (Setelah kami menerima-pent), timbullah pada diri-diri kami keraguan. Kami pun berkata, ‘Jangan kalian terburu-buru dalam menerimanya, sampai kalian datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Abu Sa’id berkata, tatkala aku datang kepada Rasulullah, aku pun bercerita tetang apa yang aku alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidakkah engkau tau bahwa Al-Fatihah adalah ayat ruqyah? Terimalah oleh kalian kambingnya, dan berikan satu jatah untukku.’ ” (HR. At-Tirmidzi no. 2063, At-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Sisi pendalilan dari hadis di atas, para sahabat mensyaratkan bacaan Al-Qur’an sebagai sayembara dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujui hal tersebut. Bahkan, sampai beliau bersabda, “dan berikan satu jatah untukku.” [3]   Hukum akad ju’alah (sayembara) Hukum dari ju’alah adalah mubah. Karena hukum asal dari muamalah adalah halal dan mubah. Terlebih jika ada dalil yang menganjurkan hal tersebut. Telah disebutkan dalil di atas sebagai bolehnya ju’alah. Syarat sah akad ju’alah Pertama, hendaknya orang yang mengadakan sayembara adalah orang yang masuk dalam kategori layak bertransaksi. Tidaklah dikatakan layak bertransaksi, kecuali terkumpul padanya beberapa hal. Yaitu, baligh, merdeka, berakal, dan rusyd (pandai atau bijak dalam bertransaksi). Berdasarkan persyaratan ini, tentunya ju’alah tidak boleh diadakan oleh anak kecil, budak, orang gila, dan orang yang tidak pandai dalam bertransaksi. Kedua, hendaknya ju’alah yang diselenggarakan pada koridor perkara yang mubah, tidak pada perkara-perkara yang haram. Contoh di antara perkara yang haram, seseorang mengadakan sayembara, “Barangsiapa yang bisa mencarikan saya khamr yang bermerk ini dan itu, maka saya akan berikan kepadanya satu juta rupiah.” Maka, hal ini tidak diperbolehkan, baik bagi yang menyelenggarakan dan yang ikut serta dalam hal tersebut. Karena ini sama saja dengan tolong menolong dalam keburukan dan dosa. Ketiga, hendaknya pekerjaan yang disayembarakan adalah pekerjaan yang dapat menghasilkan upah. Pekerjaan yang dibutuhkan tenaga dan fikiran. Keempat, hendaknya upah atau ganjaran yang diberikan adalah hal yang jelas, bukan yang masih ganjaran atau upah yang sifatnya samar-samar. Jelas secara nilai dan kadarnya. Karena jika masih samar-samar dan tidak jelas dalam upah atau ganjaran, tidak termasuk dari ju’alah. Perbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Pertama: Akad ijarah termasuk di antara akad yang mengikat. Tidak berhak bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad tersebut secara sepihak, kecuali dengan keridaan dari salah satu pihak. Adapun akad ju’alah adalah akad yang tidak mengikat, bagi kedua belah pihak bebas untuk membatalkannya. Kedua: Pada akad ijarah bisa dilakukan khiyar majlis (hak bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih berada di satu majelis). Mengingat ijarah termasuk dari jual beli manfaat. Adapun ju’alah tidak terdapat padanya khiyar majlis, karena tidak ada keperluan untuk melakukan khiyar majlis pada akad ju’alah. Ketiga: Pada akad ijarah disyaratkan jenis pekerjaannya adalah pekerjaan yang jelas. Adapun ju’alah pekerjaannya tidak harus pekerjaan yang telah diketahui secara jelas, artinya boleh pekerjaan yang sifatnya majhul (tidak diketahui jenisnya). Keempat: Pada akad ju’alah diperbolehkan pada hal yang sifatnya ibadah. Adapun ijarah, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Kelima: Pada akad ijarah diharuskan orang yang bekerja adalah orang yang telah diketahui. Adapun ju’alah boleh dari orang yang tidak diketahui sebelumnya. Artinya, siapa saja boleh ikut serta dalam ju’alah tersebut. Demikianlah hal yang berkaitan dengan ju’alah atau sayembara. Ringkasnya, hal ini diperbolehkan dalam syariat, tentunya dalam koridor yang mubah atau hal yang dihalalkan. Adapun perkara yang haram, maka ju’alah yang diselenggarakan pada hal tersebut juga terlarang hukumnya. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Safar 1446H / 23 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). [2] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. [3] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. Tags: akad jual beli

Fikih Akad Ju’alah (Sayembara)

Daftar Isi Toggle Definisi akad ju’alah Dalil akad ju’alah (sayembara)Hukum akad ju’alah (sayembara)Syarat sah akad ju’alahPerbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Sayembara secara bahasa Indonesia dikenal dengan perlombaan (karang-mengarang dan sebagainya) untuk memperebutkan hadiah. Disebutkan dalam KBBI “Menyayembarakan” artinya memperlombakan [1]. Hal ini seringkali terjadi di masyarakat Indonesia, tak terlepas dari kaum muslimin. Tentunya hukum-hukum yang berkaitan dengan akad ini mesti diketahui. Definisi akad ju’alah  Sayembara dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah ju’alah. Secara bahasa Arab, ju’alah didefinisikan dengan “sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas perintah yang dikerjakan olehnya.” Adapun secara istilah syar’i, ju’alah didefinisikan dengan “seseorang yang sudah layak bertransaksi memberikan hartanya bagi orang lain yang melakukan pekerjaan untuknya, baik pekerjaan tersebut tidak jelas atau pekerjaan yang sudah jelas.” [2] Gambaran sederhananya, seseorang berkata, “Siapa yang membersihkan masjid ini, ia akan mendapatkan seratus.” Atau, “Siapa yang menemukan barang saya yang hilang, saya akan berikan ia uang dua ratus ribu.” Demikianlah yang dinamakan dengan ju’alah atau biasa dinamakan di tengah masyarakat dengan sayembara. Dalil akad ju’alah (sayembara) Allah Ta’ala berfirman, وَلِمَنْ جَآءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَاۡ بِهٖ زَعِيْمٌ “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf: 72) Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ الْقِرَى، فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ، فَأَتَوْنَا، فَقَالُوا : هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ. أَنَا، وَلَكِنْ لَا أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا : فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلَاثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا، فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ ؛ فَبَرَأَ، وَقَبَضْنَا الْغَنَمَ، قَالَ : فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ، فَقُلْنَا : لَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ : ” وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ؟ اقْبِضُوا الْغَنَمَ، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami pada suatu peperangan. Kami pun sampai pada wilayah suatu kaum. Kami meminta kepada mereka untuk menjamu kami, namun mereka tidak ingin untuk menjamu kami. Lalu, pemimpin kaum mereka disengat (kalajengking). Mereka (kaum itu) berkata, adakah di antara kalian yang bisa meruqyah dari sengatan kalajengking? Aku (Abu Sa’id) berkata, Iya. Saya bisa, namun saya tidak ingin meruqyah sampai kalian memberikan kepada kami seekor kambing. Mereka berkata, baik kalau begitu kami akan berikan kepada kalian tiga puluh ekor kambing. (Abu Sa’id), kami pun menerimanya. Kemudian aku bacakan kepada yang disengat itu Alhamdulillah (surah Al-Fatihah) sebanyak tujuh kali. Ia pun sembuh, dan kami terima kambing pemberian mereka. (Setelah kami menerima-pent), timbullah pada diri-diri kami keraguan. Kami pun berkata, ‘Jangan kalian terburu-buru dalam menerimanya, sampai kalian datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Abu Sa’id berkata, tatkala aku datang kepada Rasulullah, aku pun bercerita tetang apa yang aku alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidakkah engkau tau bahwa Al-Fatihah adalah ayat ruqyah? Terimalah oleh kalian kambingnya, dan berikan satu jatah untukku.’ ” (HR. At-Tirmidzi no. 2063, At-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Sisi pendalilan dari hadis di atas, para sahabat mensyaratkan bacaan Al-Qur’an sebagai sayembara dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujui hal tersebut. Bahkan, sampai beliau bersabda, “dan berikan satu jatah untukku.” [3]   Hukum akad ju’alah (sayembara) Hukum dari ju’alah adalah mubah. Karena hukum asal dari muamalah adalah halal dan mubah. Terlebih jika ada dalil yang menganjurkan hal tersebut. Telah disebutkan dalil di atas sebagai bolehnya ju’alah. Syarat sah akad ju’alah Pertama, hendaknya orang yang mengadakan sayembara adalah orang yang masuk dalam kategori layak bertransaksi. Tidaklah dikatakan layak bertransaksi, kecuali terkumpul padanya beberapa hal. Yaitu, baligh, merdeka, berakal, dan rusyd (pandai atau bijak dalam bertransaksi). Berdasarkan persyaratan ini, tentunya ju’alah tidak boleh diadakan oleh anak kecil, budak, orang gila, dan orang yang tidak pandai dalam bertransaksi. Kedua, hendaknya ju’alah yang diselenggarakan pada koridor perkara yang mubah, tidak pada perkara-perkara yang haram. Contoh di antara perkara yang haram, seseorang mengadakan sayembara, “Barangsiapa yang bisa mencarikan saya khamr yang bermerk ini dan itu, maka saya akan berikan kepadanya satu juta rupiah.” Maka, hal ini tidak diperbolehkan, baik bagi yang menyelenggarakan dan yang ikut serta dalam hal tersebut. Karena ini sama saja dengan tolong menolong dalam keburukan dan dosa. Ketiga, hendaknya pekerjaan yang disayembarakan adalah pekerjaan yang dapat menghasilkan upah. Pekerjaan yang dibutuhkan tenaga dan fikiran. Keempat, hendaknya upah atau ganjaran yang diberikan adalah hal yang jelas, bukan yang masih ganjaran atau upah yang sifatnya samar-samar. Jelas secara nilai dan kadarnya. Karena jika masih samar-samar dan tidak jelas dalam upah atau ganjaran, tidak termasuk dari ju’alah. Perbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Pertama: Akad ijarah termasuk di antara akad yang mengikat. Tidak berhak bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad tersebut secara sepihak, kecuali dengan keridaan dari salah satu pihak. Adapun akad ju’alah adalah akad yang tidak mengikat, bagi kedua belah pihak bebas untuk membatalkannya. Kedua: Pada akad ijarah bisa dilakukan khiyar majlis (hak bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih berada di satu majelis). Mengingat ijarah termasuk dari jual beli manfaat. Adapun ju’alah tidak terdapat padanya khiyar majlis, karena tidak ada keperluan untuk melakukan khiyar majlis pada akad ju’alah. Ketiga: Pada akad ijarah disyaratkan jenis pekerjaannya adalah pekerjaan yang jelas. Adapun ju’alah pekerjaannya tidak harus pekerjaan yang telah diketahui secara jelas, artinya boleh pekerjaan yang sifatnya majhul (tidak diketahui jenisnya). Keempat: Pada akad ju’alah diperbolehkan pada hal yang sifatnya ibadah. Adapun ijarah, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Kelima: Pada akad ijarah diharuskan orang yang bekerja adalah orang yang telah diketahui. Adapun ju’alah boleh dari orang yang tidak diketahui sebelumnya. Artinya, siapa saja boleh ikut serta dalam ju’alah tersebut. Demikianlah hal yang berkaitan dengan ju’alah atau sayembara. Ringkasnya, hal ini diperbolehkan dalam syariat, tentunya dalam koridor yang mubah atau hal yang dihalalkan. Adapun perkara yang haram, maka ju’alah yang diselenggarakan pada hal tersebut juga terlarang hukumnya. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Safar 1446H / 23 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). [2] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. [3] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. Tags: akad jual beli
Daftar Isi Toggle Definisi akad ju’alah Dalil akad ju’alah (sayembara)Hukum akad ju’alah (sayembara)Syarat sah akad ju’alahPerbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Sayembara secara bahasa Indonesia dikenal dengan perlombaan (karang-mengarang dan sebagainya) untuk memperebutkan hadiah. Disebutkan dalam KBBI “Menyayembarakan” artinya memperlombakan [1]. Hal ini seringkali terjadi di masyarakat Indonesia, tak terlepas dari kaum muslimin. Tentunya hukum-hukum yang berkaitan dengan akad ini mesti diketahui. Definisi akad ju’alah  Sayembara dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah ju’alah. Secara bahasa Arab, ju’alah didefinisikan dengan “sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas perintah yang dikerjakan olehnya.” Adapun secara istilah syar’i, ju’alah didefinisikan dengan “seseorang yang sudah layak bertransaksi memberikan hartanya bagi orang lain yang melakukan pekerjaan untuknya, baik pekerjaan tersebut tidak jelas atau pekerjaan yang sudah jelas.” [2] Gambaran sederhananya, seseorang berkata, “Siapa yang membersihkan masjid ini, ia akan mendapatkan seratus.” Atau, “Siapa yang menemukan barang saya yang hilang, saya akan berikan ia uang dua ratus ribu.” Demikianlah yang dinamakan dengan ju’alah atau biasa dinamakan di tengah masyarakat dengan sayembara. Dalil akad ju’alah (sayembara) Allah Ta’ala berfirman, وَلِمَنْ جَآءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَاۡ بِهٖ زَعِيْمٌ “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf: 72) Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ الْقِرَى، فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ، فَأَتَوْنَا، فَقَالُوا : هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ. أَنَا، وَلَكِنْ لَا أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا : فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلَاثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا، فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ ؛ فَبَرَأَ، وَقَبَضْنَا الْغَنَمَ، قَالَ : فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ، فَقُلْنَا : لَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ : ” وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ؟ اقْبِضُوا الْغَنَمَ، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami pada suatu peperangan. Kami pun sampai pada wilayah suatu kaum. Kami meminta kepada mereka untuk menjamu kami, namun mereka tidak ingin untuk menjamu kami. Lalu, pemimpin kaum mereka disengat (kalajengking). Mereka (kaum itu) berkata, adakah di antara kalian yang bisa meruqyah dari sengatan kalajengking? Aku (Abu Sa’id) berkata, Iya. Saya bisa, namun saya tidak ingin meruqyah sampai kalian memberikan kepada kami seekor kambing. Mereka berkata, baik kalau begitu kami akan berikan kepada kalian tiga puluh ekor kambing. (Abu Sa’id), kami pun menerimanya. Kemudian aku bacakan kepada yang disengat itu Alhamdulillah (surah Al-Fatihah) sebanyak tujuh kali. Ia pun sembuh, dan kami terima kambing pemberian mereka. (Setelah kami menerima-pent), timbullah pada diri-diri kami keraguan. Kami pun berkata, ‘Jangan kalian terburu-buru dalam menerimanya, sampai kalian datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Abu Sa’id berkata, tatkala aku datang kepada Rasulullah, aku pun bercerita tetang apa yang aku alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidakkah engkau tau bahwa Al-Fatihah adalah ayat ruqyah? Terimalah oleh kalian kambingnya, dan berikan satu jatah untukku.’ ” (HR. At-Tirmidzi no. 2063, At-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Sisi pendalilan dari hadis di atas, para sahabat mensyaratkan bacaan Al-Qur’an sebagai sayembara dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujui hal tersebut. Bahkan, sampai beliau bersabda, “dan berikan satu jatah untukku.” [3]   Hukum akad ju’alah (sayembara) Hukum dari ju’alah adalah mubah. Karena hukum asal dari muamalah adalah halal dan mubah. Terlebih jika ada dalil yang menganjurkan hal tersebut. Telah disebutkan dalil di atas sebagai bolehnya ju’alah. Syarat sah akad ju’alah Pertama, hendaknya orang yang mengadakan sayembara adalah orang yang masuk dalam kategori layak bertransaksi. Tidaklah dikatakan layak bertransaksi, kecuali terkumpul padanya beberapa hal. Yaitu, baligh, merdeka, berakal, dan rusyd (pandai atau bijak dalam bertransaksi). Berdasarkan persyaratan ini, tentunya ju’alah tidak boleh diadakan oleh anak kecil, budak, orang gila, dan orang yang tidak pandai dalam bertransaksi. Kedua, hendaknya ju’alah yang diselenggarakan pada koridor perkara yang mubah, tidak pada perkara-perkara yang haram. Contoh di antara perkara yang haram, seseorang mengadakan sayembara, “Barangsiapa yang bisa mencarikan saya khamr yang bermerk ini dan itu, maka saya akan berikan kepadanya satu juta rupiah.” Maka, hal ini tidak diperbolehkan, baik bagi yang menyelenggarakan dan yang ikut serta dalam hal tersebut. Karena ini sama saja dengan tolong menolong dalam keburukan dan dosa. Ketiga, hendaknya pekerjaan yang disayembarakan adalah pekerjaan yang dapat menghasilkan upah. Pekerjaan yang dibutuhkan tenaga dan fikiran. Keempat, hendaknya upah atau ganjaran yang diberikan adalah hal yang jelas, bukan yang masih ganjaran atau upah yang sifatnya samar-samar. Jelas secara nilai dan kadarnya. Karena jika masih samar-samar dan tidak jelas dalam upah atau ganjaran, tidak termasuk dari ju’alah. Perbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Pertama: Akad ijarah termasuk di antara akad yang mengikat. Tidak berhak bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad tersebut secara sepihak, kecuali dengan keridaan dari salah satu pihak. Adapun akad ju’alah adalah akad yang tidak mengikat, bagi kedua belah pihak bebas untuk membatalkannya. Kedua: Pada akad ijarah bisa dilakukan khiyar majlis (hak bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih berada di satu majelis). Mengingat ijarah termasuk dari jual beli manfaat. Adapun ju’alah tidak terdapat padanya khiyar majlis, karena tidak ada keperluan untuk melakukan khiyar majlis pada akad ju’alah. Ketiga: Pada akad ijarah disyaratkan jenis pekerjaannya adalah pekerjaan yang jelas. Adapun ju’alah pekerjaannya tidak harus pekerjaan yang telah diketahui secara jelas, artinya boleh pekerjaan yang sifatnya majhul (tidak diketahui jenisnya). Keempat: Pada akad ju’alah diperbolehkan pada hal yang sifatnya ibadah. Adapun ijarah, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Kelima: Pada akad ijarah diharuskan orang yang bekerja adalah orang yang telah diketahui. Adapun ju’alah boleh dari orang yang tidak diketahui sebelumnya. Artinya, siapa saja boleh ikut serta dalam ju’alah tersebut. Demikianlah hal yang berkaitan dengan ju’alah atau sayembara. Ringkasnya, hal ini diperbolehkan dalam syariat, tentunya dalam koridor yang mubah atau hal yang dihalalkan. Adapun perkara yang haram, maka ju’alah yang diselenggarakan pada hal tersebut juga terlarang hukumnya. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Safar 1446H / 23 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). [2] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. [3] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. Tags: akad jual beli


Daftar Isi Toggle Definisi akad ju’alah Dalil akad ju’alah (sayembara)Hukum akad ju’alah (sayembara)Syarat sah akad ju’alahPerbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Sayembara secara bahasa Indonesia dikenal dengan perlombaan (karang-mengarang dan sebagainya) untuk memperebutkan hadiah. Disebutkan dalam KBBI “Menyayembarakan” artinya memperlombakan [1]. Hal ini seringkali terjadi di masyarakat Indonesia, tak terlepas dari kaum muslimin. Tentunya hukum-hukum yang berkaitan dengan akad ini mesti diketahui. Definisi akad ju’alah  Sayembara dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah ju’alah. Secara bahasa Arab, ju’alah didefinisikan dengan “sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas perintah yang dikerjakan olehnya.” Adapun secara istilah syar’i, ju’alah didefinisikan dengan “seseorang yang sudah layak bertransaksi memberikan hartanya bagi orang lain yang melakukan pekerjaan untuknya, baik pekerjaan tersebut tidak jelas atau pekerjaan yang sudah jelas.” [2] Gambaran sederhananya, seseorang berkata, “Siapa yang membersihkan masjid ini, ia akan mendapatkan seratus.” Atau, “Siapa yang menemukan barang saya yang hilang, saya akan berikan ia uang dua ratus ribu.” Demikianlah yang dinamakan dengan ju’alah atau biasa dinamakan di tengah masyarakat dengan sayembara. Dalil akad ju’alah (sayembara) Allah Ta’ala berfirman, وَلِمَنْ جَآءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَاۡ بِهٖ زَعِيْمٌ “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf: 72) Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ الْقِرَى، فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ، فَأَتَوْنَا، فَقَالُوا : هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ. أَنَا، وَلَكِنْ لَا أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا : فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلَاثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا، فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ ؛ فَبَرَأَ، وَقَبَضْنَا الْغَنَمَ، قَالَ : فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ، فَقُلْنَا : لَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ : ” وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ؟ اقْبِضُوا الْغَنَمَ، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami pada suatu peperangan. Kami pun sampai pada wilayah suatu kaum. Kami meminta kepada mereka untuk menjamu kami, namun mereka tidak ingin untuk menjamu kami. Lalu, pemimpin kaum mereka disengat (kalajengking). Mereka (kaum itu) berkata, adakah di antara kalian yang bisa meruqyah dari sengatan kalajengking? Aku (Abu Sa’id) berkata, Iya. Saya bisa, namun saya tidak ingin meruqyah sampai kalian memberikan kepada kami seekor kambing. Mereka berkata, baik kalau begitu kami akan berikan kepada kalian tiga puluh ekor kambing. (Abu Sa’id), kami pun menerimanya. Kemudian aku bacakan kepada yang disengat itu Alhamdulillah (surah Al-Fatihah) sebanyak tujuh kali. Ia pun sembuh, dan kami terima kambing pemberian mereka. (Setelah kami menerima-pent), timbullah pada diri-diri kami keraguan. Kami pun berkata, ‘Jangan kalian terburu-buru dalam menerimanya, sampai kalian datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Abu Sa’id berkata, tatkala aku datang kepada Rasulullah, aku pun bercerita tetang apa yang aku alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidakkah engkau tau bahwa Al-Fatihah adalah ayat ruqyah? Terimalah oleh kalian kambingnya, dan berikan satu jatah untukku.’ ” (HR. At-Tirmidzi no. 2063, At-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”) Sisi pendalilan dari hadis di atas, para sahabat mensyaratkan bacaan Al-Qur’an sebagai sayembara dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujui hal tersebut. Bahkan, sampai beliau bersabda, “dan berikan satu jatah untukku.” [3]   Hukum akad ju’alah (sayembara) Hukum dari ju’alah adalah mubah. Karena hukum asal dari muamalah adalah halal dan mubah. Terlebih jika ada dalil yang menganjurkan hal tersebut. Telah disebutkan dalil di atas sebagai bolehnya ju’alah. Syarat sah akad ju’alah Pertama, hendaknya orang yang mengadakan sayembara adalah orang yang masuk dalam kategori layak bertransaksi. Tidaklah dikatakan layak bertransaksi, kecuali terkumpul padanya beberapa hal. Yaitu, baligh, merdeka, berakal, dan rusyd (pandai atau bijak dalam bertransaksi). Berdasarkan persyaratan ini, tentunya ju’alah tidak boleh diadakan oleh anak kecil, budak, orang gila, dan orang yang tidak pandai dalam bertransaksi. Kedua, hendaknya ju’alah yang diselenggarakan pada koridor perkara yang mubah, tidak pada perkara-perkara yang haram. Contoh di antara perkara yang haram, seseorang mengadakan sayembara, “Barangsiapa yang bisa mencarikan saya khamr yang bermerk ini dan itu, maka saya akan berikan kepadanya satu juta rupiah.” Maka, hal ini tidak diperbolehkan, baik bagi yang menyelenggarakan dan yang ikut serta dalam hal tersebut. Karena ini sama saja dengan tolong menolong dalam keburukan dan dosa. Ketiga, hendaknya pekerjaan yang disayembarakan adalah pekerjaan yang dapat menghasilkan upah. Pekerjaan yang dibutuhkan tenaga dan fikiran. Keempat, hendaknya upah atau ganjaran yang diberikan adalah hal yang jelas, bukan yang masih ganjaran atau upah yang sifatnya samar-samar. Jelas secara nilai dan kadarnya. Karena jika masih samar-samar dan tidak jelas dalam upah atau ganjaran, tidak termasuk dari ju’alah. Perbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara) Pertama: Akad ijarah termasuk di antara akad yang mengikat. Tidak berhak bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad tersebut secara sepihak, kecuali dengan keridaan dari salah satu pihak. Adapun akad ju’alah adalah akad yang tidak mengikat, bagi kedua belah pihak bebas untuk membatalkannya. Kedua: Pada akad ijarah bisa dilakukan khiyar majlis (hak bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih berada di satu majelis). Mengingat ijarah termasuk dari jual beli manfaat. Adapun ju’alah tidak terdapat padanya khiyar majlis, karena tidak ada keperluan untuk melakukan khiyar majlis pada akad ju’alah. Ketiga: Pada akad ijarah disyaratkan jenis pekerjaannya adalah pekerjaan yang jelas. Adapun ju’alah pekerjaannya tidak harus pekerjaan yang telah diketahui secara jelas, artinya boleh pekerjaan yang sifatnya majhul (tidak diketahui jenisnya). Keempat: Pada akad ju’alah diperbolehkan pada hal yang sifatnya ibadah. Adapun ijarah, maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Kelima: Pada akad ijarah diharuskan orang yang bekerja adalah orang yang telah diketahui. Adapun ju’alah boleh dari orang yang tidak diketahui sebelumnya. Artinya, siapa saja boleh ikut serta dalam ju’alah tersebut. Demikianlah hal yang berkaitan dengan ju’alah atau sayembara. Ringkasnya, hal ini diperbolehkan dalam syariat, tentunya dalam koridor yang mubah atau hal yang dihalalkan. Adapun perkara yang haram, maka ju’alah yang diselenggarakan pada hal tersebut juga terlarang hukumnya. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Depok, 19 Safar 1446H / 23 Agustus 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diringkas dari kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat. Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). [2] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. [3] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 228. Tags: akad jual beli

Hadis: Larangan bagi Orang yang Ihram untuk Menikah atau Menikahkan

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan kedua Teks Hadis Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, atau menikahkan, dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409) Dalam riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ، وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, meminang, atau meminang untuk orang lain.” (HR. Ibnu Hibban, 9: 4124. Dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika sedang ihram.” (HR. Bukhari no. 5114 dan Muslim no. 1410) Sedangkan dalam riwayat Muslim yang lain, dari Yazid bin Al-Asham, dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha. Yazid berkata, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya (Maimunah) ketika selesai ihram.” (HR. Muslim no. 1411) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil bahwa muhrim (orang yang sedang berihram) itu dilarang untuk menikah (يَنْكِحُ) atau menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya (يُنْكِحُ). Orang yang sedang berihram juga dilarang untuk meminang wanita (يَخْطُبُ), baik untuk dirinya sendiri atau mewakili keluarganya, atau menerima pinangan dari orang lain (يُخْطَبُ عَلَيْهِ). Hadis tersebut terdapat dalam lafal penafian (لَا) yang bermakna larangan, sehingga konsekuensinya adalah cacatnya akad. Hikmah dari larangan ini adalah untuk menjauhkan orang yang sedang ihram dari syahwat keduniawian, karena khitbah (meminang) adalah sarana/jalan (wasilah) menuju akad nikah. Sedangkan akad nikah adalah wasilah menuju jimak (hubungan badan) yang diharamkan ketika sedang ihram. Ketentuan ini adalah penguat adanya kaidah saddu adz-dzari’ah (menutup sarana atau jalan) menuju perkara yang haram. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan wajibnya saddu adz-dzari’ah dari 99 sisi pendalilan, dan beliau menyebutkan masalah ini sebagai salah satu contoh. [1] Kandungan kedua Jumhur ulama mengambil kesimpulan dari hadis riwayat Maimunah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, yaitu selesai dari ihram. Kesimpulan ini selaras dengan hadis dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang mengandung larangan untuk menikah dalam kondisi ihram. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sesuatu, namun justru menerjang larangan tersebut. Apabila kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perkara yang dilarang, maka ada dua kemungkinan, bisa jadi hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau untuk menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak sampai derajat haram. Akan tetapi, karena terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, maka inilah yang benar, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun sahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam kondisi ihram, kecuali riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma [2]. Riwayat yang kami sebutkan itu bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas. Berkebalikan (bertentangan) dengan riwayat jamaah (sejumlah orang) itu perlu diwaspadai. Hal ini karena satu orang itu lebih dekat dengan kesalahan. Mayoritas dari hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma itu bertentangan dengan riwayat yang kami sebutkan. Jika demikian kondisinya, maka riwayat-riwayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil. Wajib mencari dalil dalam masalah ini dari riwayat yang lain. Maka kita dapatkan riwayat dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menikah dalam kondisi ihram. Wajib bagi kita kita untuk mengembalikan masalah ini ke riwayat tersebut yang tidak ada pertentangan dengan dalil lainnya. Karena mustahil beliau melarang sesuatu kemudian melakukannya, apalagi dikuatkan dengan praktik khulafaur rasyidin terhadap hadis tersebut … “ [3] Di antara yang menguatkan kesimpulan jumhur ulama adalah poin-poin berikut ini. Pertama, Maimunah radhiyallahu ‘anha adalah pelaku langsung dalam peristiwa ini (shahibul qishshah). Tidak diragukan lagi bahwa pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih mengetahui realita senyatanya tentang kondisi dirinya sendiri daripada orang lain. Termasuk di antara kaidah ushuliyyah dalam menguatkan (tarjih) satu dalil adalah bahwa riwayat dari pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih didahulukan dari riwayat yang lainnya, karena dia dinilai lebih mengetahui keadaan senyatanya. Kedua, Yazid bin Al-Asham rahimahullah [4] meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha tentang hal tersebut, kemudian Yazid berkata, وَكَانَتْ خَالَتِي، وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ “Maimunah adalah bibiku dan juga bibi dari Ibnu ‘Abbas.” (HR. Muslim no. 1411) Ketiga, riwayat dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata, تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ حَلَالٌ، وَبَنَى بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dan membangun (rumah tangga) dengan Maimunah ketika sudah tahallul, dan aku adalah utusan (mediator) di antara keduanya.” [5] Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu adalah mediator di antara keduanya, sehingga beliau adalah saksi langsung peristiwa akad nikah tersebut. Maka Abu Rafi’ dinilai lebih mengetahui kondisi senyatanya dibandingkan dengan orang lain. Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma masih kecil ketika peristiwa tersebut, sehingga beliau tidak mengetahui realita senyatanya. [6] Oleh karena itu, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, وهم ابن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم “Ibnu ‘Abbas salah paham dengan peristiwa menikahnya Maimunah dalam kondisi ihram.” [7] Imam Ahmad rahimahullah membawakan riwayat tersebut dan beliau berhujah dengannya. [8] Adapun Ibnu Hibban rahimahullah berpendapat bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah “ketika mau masuk ihram” (sehingga belum ihram). [9] Namun, pendapat Ibnu Hibban ini dibantah oleh Ash-Shan’ani rahimahumallah, وهو تأ ويل بعيد، لا تساعد عليه ألفاظ الحديث “Ini adalah takwil yang jauh, tidak didukung oleh lafal hadis.” [10] Demikian pembahasan hadis ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [11] [Selesai] Baca juga: Ketika Seseorang Meninggal dalam Kondisi Ihram *** @30 Muharram 1446/ 5 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] I’lamul Muwaqi’in, 3: 147. [2] Ibnu Hajar rahimahullah membantah pernyataan tersebut dengan adanya riwayat dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, namun dalam riwayat keduanya terdapat kelemahan. Lihat Fathul Baari, 9: 166. [3] At-Tamhid, 3: 153. [4] Beliau adalah seorang tabi’in, dinilai tsiqah oleh Al-‘Ajli, Abu Zur’ah, dan An-Nasa’i rahimahumullah. Beliau wafat pada tahun 103 H. [5] HR. Tirmidzi no. 841; Ahmad, 45: 173-174; dan dinilai hasan oleh Tirmidzi. Riwayat ini diperselisihkan status mursal atau maushul-nya. Lihat Al-‘Ilal (7: 13) karya Ad-Daruquthni dan Tanqih At-Tahqiq (3: 475). [6] Syarh Al-‘Umdah, 2: 195; karya Ibnu Taimiyah rahimahullah. [7] HR. Abu Dawud no. 1845 dan Al-Baihaqi, 7: 212, dan di sanadnya terdapat perawi yang majhul. [8] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpanjang lebar menjawab hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di Syarh Al-‘Umdah, kitab Haji (2: 192-207). Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 112. [9] Shahih Ibnu Hibban, 9: 446-447. [10] Subulus Salam, 6: 58. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 252-255). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: ihrammenikah

Hadis: Larangan bagi Orang yang Ihram untuk Menikah atau Menikahkan

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan kedua Teks Hadis Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, atau menikahkan, dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409) Dalam riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ، وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, meminang, atau meminang untuk orang lain.” (HR. Ibnu Hibban, 9: 4124. Dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika sedang ihram.” (HR. Bukhari no. 5114 dan Muslim no. 1410) Sedangkan dalam riwayat Muslim yang lain, dari Yazid bin Al-Asham, dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha. Yazid berkata, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya (Maimunah) ketika selesai ihram.” (HR. Muslim no. 1411) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil bahwa muhrim (orang yang sedang berihram) itu dilarang untuk menikah (يَنْكِحُ) atau menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya (يُنْكِحُ). Orang yang sedang berihram juga dilarang untuk meminang wanita (يَخْطُبُ), baik untuk dirinya sendiri atau mewakili keluarganya, atau menerima pinangan dari orang lain (يُخْطَبُ عَلَيْهِ). Hadis tersebut terdapat dalam lafal penafian (لَا) yang bermakna larangan, sehingga konsekuensinya adalah cacatnya akad. Hikmah dari larangan ini adalah untuk menjauhkan orang yang sedang ihram dari syahwat keduniawian, karena khitbah (meminang) adalah sarana/jalan (wasilah) menuju akad nikah. Sedangkan akad nikah adalah wasilah menuju jimak (hubungan badan) yang diharamkan ketika sedang ihram. Ketentuan ini adalah penguat adanya kaidah saddu adz-dzari’ah (menutup sarana atau jalan) menuju perkara yang haram. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan wajibnya saddu adz-dzari’ah dari 99 sisi pendalilan, dan beliau menyebutkan masalah ini sebagai salah satu contoh. [1] Kandungan kedua Jumhur ulama mengambil kesimpulan dari hadis riwayat Maimunah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, yaitu selesai dari ihram. Kesimpulan ini selaras dengan hadis dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang mengandung larangan untuk menikah dalam kondisi ihram. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sesuatu, namun justru menerjang larangan tersebut. Apabila kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perkara yang dilarang, maka ada dua kemungkinan, bisa jadi hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau untuk menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak sampai derajat haram. Akan tetapi, karena terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, maka inilah yang benar, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun sahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam kondisi ihram, kecuali riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma [2]. Riwayat yang kami sebutkan itu bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas. Berkebalikan (bertentangan) dengan riwayat jamaah (sejumlah orang) itu perlu diwaspadai. Hal ini karena satu orang itu lebih dekat dengan kesalahan. Mayoritas dari hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma itu bertentangan dengan riwayat yang kami sebutkan. Jika demikian kondisinya, maka riwayat-riwayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil. Wajib mencari dalil dalam masalah ini dari riwayat yang lain. Maka kita dapatkan riwayat dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menikah dalam kondisi ihram. Wajib bagi kita kita untuk mengembalikan masalah ini ke riwayat tersebut yang tidak ada pertentangan dengan dalil lainnya. Karena mustahil beliau melarang sesuatu kemudian melakukannya, apalagi dikuatkan dengan praktik khulafaur rasyidin terhadap hadis tersebut … “ [3] Di antara yang menguatkan kesimpulan jumhur ulama adalah poin-poin berikut ini. Pertama, Maimunah radhiyallahu ‘anha adalah pelaku langsung dalam peristiwa ini (shahibul qishshah). Tidak diragukan lagi bahwa pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih mengetahui realita senyatanya tentang kondisi dirinya sendiri daripada orang lain. Termasuk di antara kaidah ushuliyyah dalam menguatkan (tarjih) satu dalil adalah bahwa riwayat dari pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih didahulukan dari riwayat yang lainnya, karena dia dinilai lebih mengetahui keadaan senyatanya. Kedua, Yazid bin Al-Asham rahimahullah [4] meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha tentang hal tersebut, kemudian Yazid berkata, وَكَانَتْ خَالَتِي، وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ “Maimunah adalah bibiku dan juga bibi dari Ibnu ‘Abbas.” (HR. Muslim no. 1411) Ketiga, riwayat dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata, تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ حَلَالٌ، وَبَنَى بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dan membangun (rumah tangga) dengan Maimunah ketika sudah tahallul, dan aku adalah utusan (mediator) di antara keduanya.” [5] Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu adalah mediator di antara keduanya, sehingga beliau adalah saksi langsung peristiwa akad nikah tersebut. Maka Abu Rafi’ dinilai lebih mengetahui kondisi senyatanya dibandingkan dengan orang lain. Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma masih kecil ketika peristiwa tersebut, sehingga beliau tidak mengetahui realita senyatanya. [6] Oleh karena itu, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, وهم ابن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم “Ibnu ‘Abbas salah paham dengan peristiwa menikahnya Maimunah dalam kondisi ihram.” [7] Imam Ahmad rahimahullah membawakan riwayat tersebut dan beliau berhujah dengannya. [8] Adapun Ibnu Hibban rahimahullah berpendapat bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah “ketika mau masuk ihram” (sehingga belum ihram). [9] Namun, pendapat Ibnu Hibban ini dibantah oleh Ash-Shan’ani rahimahumallah, وهو تأ ويل بعيد، لا تساعد عليه ألفاظ الحديث “Ini adalah takwil yang jauh, tidak didukung oleh lafal hadis.” [10] Demikian pembahasan hadis ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [11] [Selesai] Baca juga: Ketika Seseorang Meninggal dalam Kondisi Ihram *** @30 Muharram 1446/ 5 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] I’lamul Muwaqi’in, 3: 147. [2] Ibnu Hajar rahimahullah membantah pernyataan tersebut dengan adanya riwayat dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, namun dalam riwayat keduanya terdapat kelemahan. Lihat Fathul Baari, 9: 166. [3] At-Tamhid, 3: 153. [4] Beliau adalah seorang tabi’in, dinilai tsiqah oleh Al-‘Ajli, Abu Zur’ah, dan An-Nasa’i rahimahumullah. Beliau wafat pada tahun 103 H. [5] HR. Tirmidzi no. 841; Ahmad, 45: 173-174; dan dinilai hasan oleh Tirmidzi. Riwayat ini diperselisihkan status mursal atau maushul-nya. Lihat Al-‘Ilal (7: 13) karya Ad-Daruquthni dan Tanqih At-Tahqiq (3: 475). [6] Syarh Al-‘Umdah, 2: 195; karya Ibnu Taimiyah rahimahullah. [7] HR. Abu Dawud no. 1845 dan Al-Baihaqi, 7: 212, dan di sanadnya terdapat perawi yang majhul. [8] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpanjang lebar menjawab hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di Syarh Al-‘Umdah, kitab Haji (2: 192-207). Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 112. [9] Shahih Ibnu Hibban, 9: 446-447. [10] Subulus Salam, 6: 58. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 252-255). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: ihrammenikah
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan kedua Teks Hadis Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, atau menikahkan, dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409) Dalam riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ، وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, meminang, atau meminang untuk orang lain.” (HR. Ibnu Hibban, 9: 4124. Dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika sedang ihram.” (HR. Bukhari no. 5114 dan Muslim no. 1410) Sedangkan dalam riwayat Muslim yang lain, dari Yazid bin Al-Asham, dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha. Yazid berkata, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya (Maimunah) ketika selesai ihram.” (HR. Muslim no. 1411) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil bahwa muhrim (orang yang sedang berihram) itu dilarang untuk menikah (يَنْكِحُ) atau menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya (يُنْكِحُ). Orang yang sedang berihram juga dilarang untuk meminang wanita (يَخْطُبُ), baik untuk dirinya sendiri atau mewakili keluarganya, atau menerima pinangan dari orang lain (يُخْطَبُ عَلَيْهِ). Hadis tersebut terdapat dalam lafal penafian (لَا) yang bermakna larangan, sehingga konsekuensinya adalah cacatnya akad. Hikmah dari larangan ini adalah untuk menjauhkan orang yang sedang ihram dari syahwat keduniawian, karena khitbah (meminang) adalah sarana/jalan (wasilah) menuju akad nikah. Sedangkan akad nikah adalah wasilah menuju jimak (hubungan badan) yang diharamkan ketika sedang ihram. Ketentuan ini adalah penguat adanya kaidah saddu adz-dzari’ah (menutup sarana atau jalan) menuju perkara yang haram. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan wajibnya saddu adz-dzari’ah dari 99 sisi pendalilan, dan beliau menyebutkan masalah ini sebagai salah satu contoh. [1] Kandungan kedua Jumhur ulama mengambil kesimpulan dari hadis riwayat Maimunah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, yaitu selesai dari ihram. Kesimpulan ini selaras dengan hadis dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang mengandung larangan untuk menikah dalam kondisi ihram. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sesuatu, namun justru menerjang larangan tersebut. Apabila kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perkara yang dilarang, maka ada dua kemungkinan, bisa jadi hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau untuk menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak sampai derajat haram. Akan tetapi, karena terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, maka inilah yang benar, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun sahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam kondisi ihram, kecuali riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma [2]. Riwayat yang kami sebutkan itu bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas. Berkebalikan (bertentangan) dengan riwayat jamaah (sejumlah orang) itu perlu diwaspadai. Hal ini karena satu orang itu lebih dekat dengan kesalahan. Mayoritas dari hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma itu bertentangan dengan riwayat yang kami sebutkan. Jika demikian kondisinya, maka riwayat-riwayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil. Wajib mencari dalil dalam masalah ini dari riwayat yang lain. Maka kita dapatkan riwayat dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menikah dalam kondisi ihram. Wajib bagi kita kita untuk mengembalikan masalah ini ke riwayat tersebut yang tidak ada pertentangan dengan dalil lainnya. Karena mustahil beliau melarang sesuatu kemudian melakukannya, apalagi dikuatkan dengan praktik khulafaur rasyidin terhadap hadis tersebut … “ [3] Di antara yang menguatkan kesimpulan jumhur ulama adalah poin-poin berikut ini. Pertama, Maimunah radhiyallahu ‘anha adalah pelaku langsung dalam peristiwa ini (shahibul qishshah). Tidak diragukan lagi bahwa pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih mengetahui realita senyatanya tentang kondisi dirinya sendiri daripada orang lain. Termasuk di antara kaidah ushuliyyah dalam menguatkan (tarjih) satu dalil adalah bahwa riwayat dari pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih didahulukan dari riwayat yang lainnya, karena dia dinilai lebih mengetahui keadaan senyatanya. Kedua, Yazid bin Al-Asham rahimahullah [4] meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha tentang hal tersebut, kemudian Yazid berkata, وَكَانَتْ خَالَتِي، وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ “Maimunah adalah bibiku dan juga bibi dari Ibnu ‘Abbas.” (HR. Muslim no. 1411) Ketiga, riwayat dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata, تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ حَلَالٌ، وَبَنَى بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dan membangun (rumah tangga) dengan Maimunah ketika sudah tahallul, dan aku adalah utusan (mediator) di antara keduanya.” [5] Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu adalah mediator di antara keduanya, sehingga beliau adalah saksi langsung peristiwa akad nikah tersebut. Maka Abu Rafi’ dinilai lebih mengetahui kondisi senyatanya dibandingkan dengan orang lain. Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma masih kecil ketika peristiwa tersebut, sehingga beliau tidak mengetahui realita senyatanya. [6] Oleh karena itu, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, وهم ابن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم “Ibnu ‘Abbas salah paham dengan peristiwa menikahnya Maimunah dalam kondisi ihram.” [7] Imam Ahmad rahimahullah membawakan riwayat tersebut dan beliau berhujah dengannya. [8] Adapun Ibnu Hibban rahimahullah berpendapat bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah “ketika mau masuk ihram” (sehingga belum ihram). [9] Namun, pendapat Ibnu Hibban ini dibantah oleh Ash-Shan’ani rahimahumallah, وهو تأ ويل بعيد، لا تساعد عليه ألفاظ الحديث “Ini adalah takwil yang jauh, tidak didukung oleh lafal hadis.” [10] Demikian pembahasan hadis ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [11] [Selesai] Baca juga: Ketika Seseorang Meninggal dalam Kondisi Ihram *** @30 Muharram 1446/ 5 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] I’lamul Muwaqi’in, 3: 147. [2] Ibnu Hajar rahimahullah membantah pernyataan tersebut dengan adanya riwayat dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, namun dalam riwayat keduanya terdapat kelemahan. Lihat Fathul Baari, 9: 166. [3] At-Tamhid, 3: 153. [4] Beliau adalah seorang tabi’in, dinilai tsiqah oleh Al-‘Ajli, Abu Zur’ah, dan An-Nasa’i rahimahumullah. Beliau wafat pada tahun 103 H. [5] HR. Tirmidzi no. 841; Ahmad, 45: 173-174; dan dinilai hasan oleh Tirmidzi. Riwayat ini diperselisihkan status mursal atau maushul-nya. Lihat Al-‘Ilal (7: 13) karya Ad-Daruquthni dan Tanqih At-Tahqiq (3: 475). [6] Syarh Al-‘Umdah, 2: 195; karya Ibnu Taimiyah rahimahullah. [7] HR. Abu Dawud no. 1845 dan Al-Baihaqi, 7: 212, dan di sanadnya terdapat perawi yang majhul. [8] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpanjang lebar menjawab hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di Syarh Al-‘Umdah, kitab Haji (2: 192-207). Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 112. [9] Shahih Ibnu Hibban, 9: 446-447. [10] Subulus Salam, 6: 58. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 252-255). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: ihrammenikah


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan kedua Teks Hadis Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, atau menikahkan, dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409) Dalam riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ، وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, meminang, atau meminang untuk orang lain.” (HR. Ibnu Hibban, 9: 4124. Dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika sedang ihram.” (HR. Bukhari no. 5114 dan Muslim no. 1410) Sedangkan dalam riwayat Muslim yang lain, dari Yazid bin Al-Asham, dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha. Yazid berkata, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya (Maimunah) ketika selesai ihram.” (HR. Muslim no. 1411) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini adalah dalil bahwa muhrim (orang yang sedang berihram) itu dilarang untuk menikah (يَنْكِحُ) atau menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya (يُنْكِحُ). Orang yang sedang berihram juga dilarang untuk meminang wanita (يَخْطُبُ), baik untuk dirinya sendiri atau mewakili keluarganya, atau menerima pinangan dari orang lain (يُخْطَبُ عَلَيْهِ). Hadis tersebut terdapat dalam lafal penafian (لَا) yang bermakna larangan, sehingga konsekuensinya adalah cacatnya akad. Hikmah dari larangan ini adalah untuk menjauhkan orang yang sedang ihram dari syahwat keduniawian, karena khitbah (meminang) adalah sarana/jalan (wasilah) menuju akad nikah. Sedangkan akad nikah adalah wasilah menuju jimak (hubungan badan) yang diharamkan ketika sedang ihram. Ketentuan ini adalah penguat adanya kaidah saddu adz-dzari’ah (menutup sarana atau jalan) menuju perkara yang haram. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan wajibnya saddu adz-dzari’ah dari 99 sisi pendalilan, dan beliau menyebutkan masalah ini sebagai salah satu contoh. [1] Kandungan kedua Jumhur ulama mengambil kesimpulan dari hadis riwayat Maimunah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, yaitu selesai dari ihram. Kesimpulan ini selaras dengan hadis dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang mengandung larangan untuk menikah dalam kondisi ihram. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sesuatu, namun justru menerjang larangan tersebut. Apabila kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perkara yang dilarang, maka ada dua kemungkinan, bisa jadi hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau untuk menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak sampai derajat haram. Akan tetapi, karena terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, maka inilah yang benar, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun sahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam kondisi ihram, kecuali riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma [2]. Riwayat yang kami sebutkan itu bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas. Berkebalikan (bertentangan) dengan riwayat jamaah (sejumlah orang) itu perlu diwaspadai. Hal ini karena satu orang itu lebih dekat dengan kesalahan. Mayoritas dari hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma itu bertentangan dengan riwayat yang kami sebutkan. Jika demikian kondisinya, maka riwayat-riwayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil. Wajib mencari dalil dalam masalah ini dari riwayat yang lain. Maka kita dapatkan riwayat dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menikah dalam kondisi ihram. Wajib bagi kita kita untuk mengembalikan masalah ini ke riwayat tersebut yang tidak ada pertentangan dengan dalil lainnya. Karena mustahil beliau melarang sesuatu kemudian melakukannya, apalagi dikuatkan dengan praktik khulafaur rasyidin terhadap hadis tersebut … “ [3] Di antara yang menguatkan kesimpulan jumhur ulama adalah poin-poin berikut ini. Pertama, Maimunah radhiyallahu ‘anha adalah pelaku langsung dalam peristiwa ini (shahibul qishshah). Tidak diragukan lagi bahwa pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih mengetahui realita senyatanya tentang kondisi dirinya sendiri daripada orang lain. Termasuk di antara kaidah ushuliyyah dalam menguatkan (tarjih) satu dalil adalah bahwa riwayat dari pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih didahulukan dari riwayat yang lainnya, karena dia dinilai lebih mengetahui keadaan senyatanya. Kedua, Yazid bin Al-Asham rahimahullah [4] meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha tentang hal tersebut, kemudian Yazid berkata, وَكَانَتْ خَالَتِي، وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ “Maimunah adalah bibiku dan juga bibi dari Ibnu ‘Abbas.” (HR. Muslim no. 1411) Ketiga, riwayat dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata, تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ حَلَالٌ، وَبَنَى بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dan membangun (rumah tangga) dengan Maimunah ketika sudah tahallul, dan aku adalah utusan (mediator) di antara keduanya.” [5] Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu adalah mediator di antara keduanya, sehingga beliau adalah saksi langsung peristiwa akad nikah tersebut. Maka Abu Rafi’ dinilai lebih mengetahui kondisi senyatanya dibandingkan dengan orang lain. Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma masih kecil ketika peristiwa tersebut, sehingga beliau tidak mengetahui realita senyatanya. [6] Oleh karena itu, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, وهم ابن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم “Ibnu ‘Abbas salah paham dengan peristiwa menikahnya Maimunah dalam kondisi ihram.” [7] Imam Ahmad rahimahullah membawakan riwayat tersebut dan beliau berhujah dengannya. [8] Adapun Ibnu Hibban rahimahullah berpendapat bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah “ketika mau masuk ihram” (sehingga belum ihram). [9] Namun, pendapat Ibnu Hibban ini dibantah oleh Ash-Shan’ani rahimahumallah, وهو تأ ويل بعيد، لا تساعد عليه ألفاظ الحديث “Ini adalah takwil yang jauh, tidak didukung oleh lafal hadis.” [10] Demikian pembahasan hadis ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [11] [Selesai] Baca juga: Ketika Seseorang Meninggal dalam Kondisi Ihram *** @30 Muharram 1446/ 5 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] I’lamul Muwaqi’in, 3: 147. [2] Ibnu Hajar rahimahullah membantah pernyataan tersebut dengan adanya riwayat dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, namun dalam riwayat keduanya terdapat kelemahan. Lihat Fathul Baari, 9: 166. [3] At-Tamhid, 3: 153. [4] Beliau adalah seorang tabi’in, dinilai tsiqah oleh Al-‘Ajli, Abu Zur’ah, dan An-Nasa’i rahimahumullah. Beliau wafat pada tahun 103 H. [5] HR. Tirmidzi no. 841; Ahmad, 45: 173-174; dan dinilai hasan oleh Tirmidzi. Riwayat ini diperselisihkan status mursal atau maushul-nya. Lihat Al-‘Ilal (7: 13) karya Ad-Daruquthni dan Tanqih At-Tahqiq (3: 475). [6] Syarh Al-‘Umdah, 2: 195; karya Ibnu Taimiyah rahimahullah. [7] HR. Abu Dawud no. 1845 dan Al-Baihaqi, 7: 212, dan di sanadnya terdapat perawi yang majhul. [8] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpanjang lebar menjawab hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di Syarh Al-‘Umdah, kitab Haji (2: 192-207). Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 112. [9] Shahih Ibnu Hibban, 9: 446-447. [10] Subulus Salam, 6: 58. [11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 252-255). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: ihrammenikah

Jahil Basit dan Jahil Murakkab

Jahil artinya bodoh, yaitu tidak tahu atau tidak mengetahui. Jahil adalah lawan dari ilmu, yaitu berilmu atau mengetahui. Jahil ada dua macam: jahil basit dan jahil murakkab. Jahil basit yaitu tidak ada pengetahuan sama sekali. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil basit yaitu orang yang mengetahui bahwa dirinya bodoh (tidak tahu), dan tidak mengklaim atau menganggap dirinya berilmu (mengetahui). Adapun jahil murakkab yaitu keyakinan teguh yang tidak sesuai dengan kenyataan [1], yaitu membayangkan sesuatu yang diketahui dan mempercayainya, padahal tidak sebagaimana adanya atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil murakkab, yaitu orang yang bodoh (tidak tahu), tetapi berperilaku dan menganggap dirinya orang yang berilmu (mengetahui). [2] Contoh orang yang jahil basit adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Kemudian dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka ini dinamakan jahil basit. Adapun contoh orang yang jahil murakkab adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Dia menjawab, “Ada 4, yaitu syahadat, salat, zakat, dan puasa.” Maka ini dinamakan jahil murakkab. Sehingga di dalam jahil murakkab ini terkandung 2 unsur sekaligus, yaitu bodoh (tidak tahu) atas sesuatu dan bodoh (tidak tahu) bahwa dirinya bodoh. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam syarah Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul membawakan kisah Al-Hakim Tauma dan keledainya untuk menggambarkan dua jenis kejahilan ini. Al-Hakim Tauma adalah orang jahil yang tidak merasa bahwa dia jahil. Sehingga ia sering kali berfatwa dan berbicara masalah agama tanpa ilmu. Di antara kejahilan Al-Hakim Tauma adalah ia memfatwakan bolehnya para orang tua bersedekah dengan anak perempuannya kepada para lelaki jomblo. Ia menganalogikan (menyamakan) sedekah anak perempuan ini seperti sedekah uang kepada orang fakir. Disebutkan bahwa ia berkata, تصدق بالبنات على البنين يريد بذاك جنات النعيم “Bersedekahlah dengan anak-anak perempuan kalian, untuk para pemuda, niatkan itu untuk mengharap surga yang penuh nikmat.” Lihatlah ia berfatwa tanpa ilmu, namun merasa telah mengajarkan kebaikan. Karena kejahilannya ini, seorang penyair membuat syair tentangnya, قال حمار الحكيم توما لو أنصف الدهر كنت أركب لأنني جاهل بسيط و صاحبي جاهل مركب “Keledainya Al-Hakim Tauma berkata, ‘Andaikan zaman itu adil, tentu aku yang menungganginya karena aku jahil basit, sedangkan pemilikku jahil murakkab.’ ” Maka, baik jahil basit maupun jahil murakkab keduanya sama-sama tercela. Akan tetapi, lebih tercela lagi dan sesat menyesatkan adalah para pelaku jahil murakkab, yaitu ketika berbicara dalam perkara agama. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari ke-jahil-an dan berbicara tanpa ilmu. Amin. Baca juga: Ciri Khas Orang Bodoh *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitabut Ta’rifat, oleh Al-Jurjani, hal. 80. [2] Syarhu Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 71. Tags: jahil

Jahil Basit dan Jahil Murakkab

Jahil artinya bodoh, yaitu tidak tahu atau tidak mengetahui. Jahil adalah lawan dari ilmu, yaitu berilmu atau mengetahui. Jahil ada dua macam: jahil basit dan jahil murakkab. Jahil basit yaitu tidak ada pengetahuan sama sekali. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil basit yaitu orang yang mengetahui bahwa dirinya bodoh (tidak tahu), dan tidak mengklaim atau menganggap dirinya berilmu (mengetahui). Adapun jahil murakkab yaitu keyakinan teguh yang tidak sesuai dengan kenyataan [1], yaitu membayangkan sesuatu yang diketahui dan mempercayainya, padahal tidak sebagaimana adanya atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil murakkab, yaitu orang yang bodoh (tidak tahu), tetapi berperilaku dan menganggap dirinya orang yang berilmu (mengetahui). [2] Contoh orang yang jahil basit adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Kemudian dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka ini dinamakan jahil basit. Adapun contoh orang yang jahil murakkab adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Dia menjawab, “Ada 4, yaitu syahadat, salat, zakat, dan puasa.” Maka ini dinamakan jahil murakkab. Sehingga di dalam jahil murakkab ini terkandung 2 unsur sekaligus, yaitu bodoh (tidak tahu) atas sesuatu dan bodoh (tidak tahu) bahwa dirinya bodoh. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam syarah Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul membawakan kisah Al-Hakim Tauma dan keledainya untuk menggambarkan dua jenis kejahilan ini. Al-Hakim Tauma adalah orang jahil yang tidak merasa bahwa dia jahil. Sehingga ia sering kali berfatwa dan berbicara masalah agama tanpa ilmu. Di antara kejahilan Al-Hakim Tauma adalah ia memfatwakan bolehnya para orang tua bersedekah dengan anak perempuannya kepada para lelaki jomblo. Ia menganalogikan (menyamakan) sedekah anak perempuan ini seperti sedekah uang kepada orang fakir. Disebutkan bahwa ia berkata, تصدق بالبنات على البنين يريد بذاك جنات النعيم “Bersedekahlah dengan anak-anak perempuan kalian, untuk para pemuda, niatkan itu untuk mengharap surga yang penuh nikmat.” Lihatlah ia berfatwa tanpa ilmu, namun merasa telah mengajarkan kebaikan. Karena kejahilannya ini, seorang penyair membuat syair tentangnya, قال حمار الحكيم توما لو أنصف الدهر كنت أركب لأنني جاهل بسيط و صاحبي جاهل مركب “Keledainya Al-Hakim Tauma berkata, ‘Andaikan zaman itu adil, tentu aku yang menungganginya karena aku jahil basit, sedangkan pemilikku jahil murakkab.’ ” Maka, baik jahil basit maupun jahil murakkab keduanya sama-sama tercela. Akan tetapi, lebih tercela lagi dan sesat menyesatkan adalah para pelaku jahil murakkab, yaitu ketika berbicara dalam perkara agama. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari ke-jahil-an dan berbicara tanpa ilmu. Amin. Baca juga: Ciri Khas Orang Bodoh *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitabut Ta’rifat, oleh Al-Jurjani, hal. 80. [2] Syarhu Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 71. Tags: jahil
Jahil artinya bodoh, yaitu tidak tahu atau tidak mengetahui. Jahil adalah lawan dari ilmu, yaitu berilmu atau mengetahui. Jahil ada dua macam: jahil basit dan jahil murakkab. Jahil basit yaitu tidak ada pengetahuan sama sekali. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil basit yaitu orang yang mengetahui bahwa dirinya bodoh (tidak tahu), dan tidak mengklaim atau menganggap dirinya berilmu (mengetahui). Adapun jahil murakkab yaitu keyakinan teguh yang tidak sesuai dengan kenyataan [1], yaitu membayangkan sesuatu yang diketahui dan mempercayainya, padahal tidak sebagaimana adanya atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil murakkab, yaitu orang yang bodoh (tidak tahu), tetapi berperilaku dan menganggap dirinya orang yang berilmu (mengetahui). [2] Contoh orang yang jahil basit adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Kemudian dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka ini dinamakan jahil basit. Adapun contoh orang yang jahil murakkab adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Dia menjawab, “Ada 4, yaitu syahadat, salat, zakat, dan puasa.” Maka ini dinamakan jahil murakkab. Sehingga di dalam jahil murakkab ini terkandung 2 unsur sekaligus, yaitu bodoh (tidak tahu) atas sesuatu dan bodoh (tidak tahu) bahwa dirinya bodoh. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam syarah Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul membawakan kisah Al-Hakim Tauma dan keledainya untuk menggambarkan dua jenis kejahilan ini. Al-Hakim Tauma adalah orang jahil yang tidak merasa bahwa dia jahil. Sehingga ia sering kali berfatwa dan berbicara masalah agama tanpa ilmu. Di antara kejahilan Al-Hakim Tauma adalah ia memfatwakan bolehnya para orang tua bersedekah dengan anak perempuannya kepada para lelaki jomblo. Ia menganalogikan (menyamakan) sedekah anak perempuan ini seperti sedekah uang kepada orang fakir. Disebutkan bahwa ia berkata, تصدق بالبنات على البنين يريد بذاك جنات النعيم “Bersedekahlah dengan anak-anak perempuan kalian, untuk para pemuda, niatkan itu untuk mengharap surga yang penuh nikmat.” Lihatlah ia berfatwa tanpa ilmu, namun merasa telah mengajarkan kebaikan. Karena kejahilannya ini, seorang penyair membuat syair tentangnya, قال حمار الحكيم توما لو أنصف الدهر كنت أركب لأنني جاهل بسيط و صاحبي جاهل مركب “Keledainya Al-Hakim Tauma berkata, ‘Andaikan zaman itu adil, tentu aku yang menungganginya karena aku jahil basit, sedangkan pemilikku jahil murakkab.’ ” Maka, baik jahil basit maupun jahil murakkab keduanya sama-sama tercela. Akan tetapi, lebih tercela lagi dan sesat menyesatkan adalah para pelaku jahil murakkab, yaitu ketika berbicara dalam perkara agama. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari ke-jahil-an dan berbicara tanpa ilmu. Amin. Baca juga: Ciri Khas Orang Bodoh *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitabut Ta’rifat, oleh Al-Jurjani, hal. 80. [2] Syarhu Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 71. Tags: jahil


Jahil artinya bodoh, yaitu tidak tahu atau tidak mengetahui. Jahil adalah lawan dari ilmu, yaitu berilmu atau mengetahui. Jahil ada dua macam: jahil basit dan jahil murakkab. Jahil basit yaitu tidak ada pengetahuan sama sekali. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil basit yaitu orang yang mengetahui bahwa dirinya bodoh (tidak tahu), dan tidak mengklaim atau menganggap dirinya berilmu (mengetahui). Adapun jahil murakkab yaitu keyakinan teguh yang tidak sesuai dengan kenyataan [1], yaitu membayangkan sesuatu yang diketahui dan mempercayainya, padahal tidak sebagaimana adanya atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dan apabila dinisbatkan kepada orangnya, orang yang jahil murakkab, yaitu orang yang bodoh (tidak tahu), tetapi berperilaku dan menganggap dirinya orang yang berilmu (mengetahui). [2] Contoh orang yang jahil basit adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Kemudian dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka ini dinamakan jahil basit. Adapun contoh orang yang jahil murakkab adalah apabila ada orang bertanya kepadanya, “Ada berapa rukun iman?” Dia menjawab, “Ada 4, yaitu syahadat, salat, zakat, dan puasa.” Maka ini dinamakan jahil murakkab. Sehingga di dalam jahil murakkab ini terkandung 2 unsur sekaligus, yaitu bodoh (tidak tahu) atas sesuatu dan bodoh (tidak tahu) bahwa dirinya bodoh. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam syarah Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul membawakan kisah Al-Hakim Tauma dan keledainya untuk menggambarkan dua jenis kejahilan ini. Al-Hakim Tauma adalah orang jahil yang tidak merasa bahwa dia jahil. Sehingga ia sering kali berfatwa dan berbicara masalah agama tanpa ilmu. Di antara kejahilan Al-Hakim Tauma adalah ia memfatwakan bolehnya para orang tua bersedekah dengan anak perempuannya kepada para lelaki jomblo. Ia menganalogikan (menyamakan) sedekah anak perempuan ini seperti sedekah uang kepada orang fakir. Disebutkan bahwa ia berkata, تصدق بالبنات على البنين يريد بذاك جنات النعيم “Bersedekahlah dengan anak-anak perempuan kalian, untuk para pemuda, niatkan itu untuk mengharap surga yang penuh nikmat.” Lihatlah ia berfatwa tanpa ilmu, namun merasa telah mengajarkan kebaikan. Karena kejahilannya ini, seorang penyair membuat syair tentangnya, قال حمار الحكيم توما لو أنصف الدهر كنت أركب لأنني جاهل بسيط و صاحبي جاهل مركب “Keledainya Al-Hakim Tauma berkata, ‘Andaikan zaman itu adil, tentu aku yang menungganginya karena aku jahil basit, sedangkan pemilikku jahil murakkab.’ ” Maka, baik jahil basit maupun jahil murakkab keduanya sama-sama tercela. Akan tetapi, lebih tercela lagi dan sesat menyesatkan adalah para pelaku jahil murakkab, yaitu ketika berbicara dalam perkara agama. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari ke-jahil-an dan berbicara tanpa ilmu. Amin. Baca juga: Ciri Khas Orang Bodoh *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Kitabut Ta’rifat, oleh Al-Jurjani, hal. 80. [2] Syarhu Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 71. Tags: jahil

Kisah Jabir bin Abdillah (Bag. 3): Kisah Unta Jabir

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam segala keadaan mereka. Baik itu ketika lapang (ada kemudahan), ketika dalam keadaan sulit, atau dalam keadaan suka maupun duka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menghibur sahabat yang sedih, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, turut merasa bahagia ketika sahabat tersebut bahagia dan akan memberikan nasihat kepada setiap sahabat sesuai dengan keadaan sahabat ketika itu. Dalam artikel ini, akan disampaikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kebaikan kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya disebutkan, غَزَوْتُ مع رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قالَ: فَتَلَاحَقَ بيَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَنَا علَى نَاضِحٍ لَنَا قدْ أعْيَا فلا يَكَادُ يَسِيرُ، فَقالَ لِي: ما لِبَعِيرِكَ؟ قالَ: قُلتُ: عَيِيَ. قالَ: فَتَخَلَّفَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَزَجَرَهُ، ودَعَا له، فَما زَالَ بيْنَ يَدَيِ الإبِلِ قُدَّامَهَا يَسِيرُ، فَقالَ لِي: كيفَ تَرَى بَعِيرَكَ؟ قالَ: قُلتُ: بخَيْرٍ، قدْ أصَابَتْهُ بَرَكَتُكَ. قالَ: أفَتَبِيعُنِيهِ؟ قالَ: فَاسْتَحْيَيْتُ، ولَمْ يَكُنْ لَنَا نَاضِحٌ غَيْرُهُ، قالَ: فَقُلتُ: نَعَمْ. قالَ: فَبِعْنِيهِ. فَبِعْتُهُ إيَّاهُ علَى أنَّ لي فَقَارَ ظَهْرهِ حتَّى أبْلُغَ المَدِينَةَ، قالَ: فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي عَرُوسٌ. فَاسْتَأْذَنْتُهُ، فأذِنَ لِي، فَتَقَدَّمْتُ النَّاسَ إلى المَدِينَةِ حتَّى أتَيْتُ المَدِينَةَ، فَلَقِيَنِي خَالِي، فَسَأَلَنِي عَنِ البَعِيرِ، فأخْبَرْتُهُ بما صَنَعْتُ فِيهِ، فلامَنِي، قالَ: وقدْ كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ لي حِينَ اسْتَأْذَنْتُهُ: هلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أمْ ثَيِّبًا؟ فَقُلتُ: تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا. فَقالَ: هَلَّا تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وتُلَاعِبُكَ؟ قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، تُوُفِّيَ والِدِي -أوِ اسْتُشْهِدَ- ولِي أخَوَاتٌ صِغَارٌ، فَكَرِهْتُ أنْ أتَزَوَّجَ مِثْلَهُنَّ، فلا تُؤَدِّبُهُنَّ، ولَا تَقُومُ عليهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا لِتَقُومَ عليهِنَّ وتُؤَدِّبَهُنَّ. قالَ: فَلَمَّا قَدِمَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدِينَةَ غَدَوْتُ عليه بالبَعِيرِ، فأعْطَانِي ثَمَنَهُ ورَدَّهُ عَلَيَّ. أخرجه البخاري، ومسلم. “Aku berperang bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian, Jabir mengatakan, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengikutiku, sedangkan aku mengendarai unta milikku. Ternyata, hewan tunggangannya (tunggangan Jabir) kelelahan dan hampir tidak bisa jalan. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam bertanya kepada Jabir, ’Ada apa dengan untamu itu?’ Jabir menjawab, ’Mengalami keletihan’. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (menuju) ke belakang kami, memukul untaku, dan mendoakannya. Sehingga, untaku berjalan dengan cepat seperti biasa. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Jabir, ’Bagaimana untamu?’ Jabir menjawab, ’Menjadi baik, sesungguhnya unta ini telah mendapatkan keberkahan.’ Kemudian Nabi Muhammad bertanya kembali, ‘Apakah engkau akan menjualnya kepadaku?’ Aku merasa malu, dan aku pun tidak memiliki unta, selain unta ini. Jabir berkata, ’Tidak.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Juallah unta ini kepadaku.’ Maka, aku menjual untaku kepada beliau dengan syarat aku bisa menungganginya sampai ke Madinah. Aku (Jabir) berkata kepada Rasulullah, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki pengantin perempuan. Maka, aku meminta izin kepada beliau, dan Rasulullah memberikan izin padaku. Aku pun mendahului para sahabat untuk sampai Madinah. Sesampainya di Madinah, pamanku menemuiku, dan menanyakan tentang untaku. Aku menceritakan tentang apa yang telah aku perbuat atas untaku, kemudian ia mencelaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala aku meminta izin, ’Apakah kamu menikahi gadis atau janda?’ Aku menjawab, ’Aku menikahi janda.’ Rasulullah bersabda, ’Apakah kamu tidak menikahi gadis? Engkau bisa bermain (bercanda) dengannya dan dia bisa bermain (bercanda) bersamamu.’ Aku mengatakan, ’Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal (syahid) dan meninggalkan amanah kepadaku saudari-saudariku yang masih kecil. Maka, aku tidak menyukai untuk menikah dengan yang seumuran dengan mereka, karena tidak bisa mendidik mereka, tidak bisa pula mengurus mereka. Aku menikahi seorang janda agar bisa mengurus dan mendidik mereka.’” Kemudian Jabir berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di Madinah, aku segera bergegas membawa untaku kepadanya, kemudian Rasulullah memberikan uangnya, dan setelah itu mengembalikan untanya kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga, Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa saat itu dia sedang dalam perjalanan dengan mengendarai unta miliknya, ternyata hewan tunggangannya telah melemah dan hampir tidak bisa berjalan.” Jabir melanjutkan, “Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya, beliau mendoakan dan memukul untaku, sehingga dapat berjalan dengan cepat seperti biasa. Beliau bersabda, ‘Juallah untamu kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Saya menjawab, ‘Tidak’. Beliau bersabda lagi, ‘Juallah kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Kemudian saya menjualnya dengan beberapa uqiyah dan saya mengecualikan muatannya untuk keluargaku. Setelah saya tiba, lalu saya menemui beliau dengan membawa unta. Kemudian, beliau membayarnya dengan tunai. Setelah menerima uangnya, saya kembali pulang. Kemudian beliau mengutus seseorang untuk mengikuti jejakku. Utusan itu berkata, ‘Apakah kamu mengira kedatanganku ini untuk menawarkan harga yang lebih rendah dari itu untuk mengambil untamu? Ambillah unta dan uang dirhammu, ia telah menjadi hakmu.’” Di dalam hadis ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil. Di antaranya adalah: Pertama: Kedermawanan yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga ketawadukan beliau, kepedulian terhadap para sahabat, dan membantu menunaikan kebutuhan para sahabat. Dalam hadis ini pula, menunjukkan keberkahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan keberkahan doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua: Menunjukkan keutamaan Jabir bin Abdillah, kepeduliannya terhadap keluarganya, dan mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan dirinya. Ketiga: Menunjukkan bahwasanya istri memiliki kewajiban untuk taat kepada suami. Dan bisa direalisasikan salah satu contohnya adalah berbuat baik kepada keluarga suaminya. Keempat: Diperbolehkannya mengendarai unta dan menjadikannya sebagai alat transportasi ataupun membawa barang bawaan dengan syarat unta tersebut mampu. Kelima: Dalam hadis ini menunjukkan kepada kita untuk saling peduli terhadap sesama kaum muslimin, terutama ketika saudara muslim kita sedang tertimba musibah atau kesulitan. Kembali ke bagian 2 *** Penerjemah: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari website: https://dorar.net/hadith/sharh/2606 Tags: Jabir bin Abdillah

Kisah Jabir bin Abdillah (Bag. 3): Kisah Unta Jabir

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam segala keadaan mereka. Baik itu ketika lapang (ada kemudahan), ketika dalam keadaan sulit, atau dalam keadaan suka maupun duka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menghibur sahabat yang sedih, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, turut merasa bahagia ketika sahabat tersebut bahagia dan akan memberikan nasihat kepada setiap sahabat sesuai dengan keadaan sahabat ketika itu. Dalam artikel ini, akan disampaikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kebaikan kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya disebutkan, غَزَوْتُ مع رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قالَ: فَتَلَاحَقَ بيَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَنَا علَى نَاضِحٍ لَنَا قدْ أعْيَا فلا يَكَادُ يَسِيرُ، فَقالَ لِي: ما لِبَعِيرِكَ؟ قالَ: قُلتُ: عَيِيَ. قالَ: فَتَخَلَّفَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَزَجَرَهُ، ودَعَا له، فَما زَالَ بيْنَ يَدَيِ الإبِلِ قُدَّامَهَا يَسِيرُ، فَقالَ لِي: كيفَ تَرَى بَعِيرَكَ؟ قالَ: قُلتُ: بخَيْرٍ، قدْ أصَابَتْهُ بَرَكَتُكَ. قالَ: أفَتَبِيعُنِيهِ؟ قالَ: فَاسْتَحْيَيْتُ، ولَمْ يَكُنْ لَنَا نَاضِحٌ غَيْرُهُ، قالَ: فَقُلتُ: نَعَمْ. قالَ: فَبِعْنِيهِ. فَبِعْتُهُ إيَّاهُ علَى أنَّ لي فَقَارَ ظَهْرهِ حتَّى أبْلُغَ المَدِينَةَ، قالَ: فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي عَرُوسٌ. فَاسْتَأْذَنْتُهُ، فأذِنَ لِي، فَتَقَدَّمْتُ النَّاسَ إلى المَدِينَةِ حتَّى أتَيْتُ المَدِينَةَ، فَلَقِيَنِي خَالِي، فَسَأَلَنِي عَنِ البَعِيرِ، فأخْبَرْتُهُ بما صَنَعْتُ فِيهِ، فلامَنِي، قالَ: وقدْ كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ لي حِينَ اسْتَأْذَنْتُهُ: هلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أمْ ثَيِّبًا؟ فَقُلتُ: تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا. فَقالَ: هَلَّا تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وتُلَاعِبُكَ؟ قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، تُوُفِّيَ والِدِي -أوِ اسْتُشْهِدَ- ولِي أخَوَاتٌ صِغَارٌ، فَكَرِهْتُ أنْ أتَزَوَّجَ مِثْلَهُنَّ، فلا تُؤَدِّبُهُنَّ، ولَا تَقُومُ عليهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا لِتَقُومَ عليهِنَّ وتُؤَدِّبَهُنَّ. قالَ: فَلَمَّا قَدِمَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدِينَةَ غَدَوْتُ عليه بالبَعِيرِ، فأعْطَانِي ثَمَنَهُ ورَدَّهُ عَلَيَّ. أخرجه البخاري، ومسلم. “Aku berperang bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian, Jabir mengatakan, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengikutiku, sedangkan aku mengendarai unta milikku. Ternyata, hewan tunggangannya (tunggangan Jabir) kelelahan dan hampir tidak bisa jalan. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam bertanya kepada Jabir, ’Ada apa dengan untamu itu?’ Jabir menjawab, ’Mengalami keletihan’. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (menuju) ke belakang kami, memukul untaku, dan mendoakannya. Sehingga, untaku berjalan dengan cepat seperti biasa. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Jabir, ’Bagaimana untamu?’ Jabir menjawab, ’Menjadi baik, sesungguhnya unta ini telah mendapatkan keberkahan.’ Kemudian Nabi Muhammad bertanya kembali, ‘Apakah engkau akan menjualnya kepadaku?’ Aku merasa malu, dan aku pun tidak memiliki unta, selain unta ini. Jabir berkata, ’Tidak.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Juallah unta ini kepadaku.’ Maka, aku menjual untaku kepada beliau dengan syarat aku bisa menungganginya sampai ke Madinah. Aku (Jabir) berkata kepada Rasulullah, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki pengantin perempuan. Maka, aku meminta izin kepada beliau, dan Rasulullah memberikan izin padaku. Aku pun mendahului para sahabat untuk sampai Madinah. Sesampainya di Madinah, pamanku menemuiku, dan menanyakan tentang untaku. Aku menceritakan tentang apa yang telah aku perbuat atas untaku, kemudian ia mencelaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala aku meminta izin, ’Apakah kamu menikahi gadis atau janda?’ Aku menjawab, ’Aku menikahi janda.’ Rasulullah bersabda, ’Apakah kamu tidak menikahi gadis? Engkau bisa bermain (bercanda) dengannya dan dia bisa bermain (bercanda) bersamamu.’ Aku mengatakan, ’Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal (syahid) dan meninggalkan amanah kepadaku saudari-saudariku yang masih kecil. Maka, aku tidak menyukai untuk menikah dengan yang seumuran dengan mereka, karena tidak bisa mendidik mereka, tidak bisa pula mengurus mereka. Aku menikahi seorang janda agar bisa mengurus dan mendidik mereka.’” Kemudian Jabir berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di Madinah, aku segera bergegas membawa untaku kepadanya, kemudian Rasulullah memberikan uangnya, dan setelah itu mengembalikan untanya kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga, Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa saat itu dia sedang dalam perjalanan dengan mengendarai unta miliknya, ternyata hewan tunggangannya telah melemah dan hampir tidak bisa berjalan.” Jabir melanjutkan, “Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya, beliau mendoakan dan memukul untaku, sehingga dapat berjalan dengan cepat seperti biasa. Beliau bersabda, ‘Juallah untamu kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Saya menjawab, ‘Tidak’. Beliau bersabda lagi, ‘Juallah kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Kemudian saya menjualnya dengan beberapa uqiyah dan saya mengecualikan muatannya untuk keluargaku. Setelah saya tiba, lalu saya menemui beliau dengan membawa unta. Kemudian, beliau membayarnya dengan tunai. Setelah menerima uangnya, saya kembali pulang. Kemudian beliau mengutus seseorang untuk mengikuti jejakku. Utusan itu berkata, ‘Apakah kamu mengira kedatanganku ini untuk menawarkan harga yang lebih rendah dari itu untuk mengambil untamu? Ambillah unta dan uang dirhammu, ia telah menjadi hakmu.’” Di dalam hadis ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil. Di antaranya adalah: Pertama: Kedermawanan yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga ketawadukan beliau, kepedulian terhadap para sahabat, dan membantu menunaikan kebutuhan para sahabat. Dalam hadis ini pula, menunjukkan keberkahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan keberkahan doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua: Menunjukkan keutamaan Jabir bin Abdillah, kepeduliannya terhadap keluarganya, dan mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan dirinya. Ketiga: Menunjukkan bahwasanya istri memiliki kewajiban untuk taat kepada suami. Dan bisa direalisasikan salah satu contohnya adalah berbuat baik kepada keluarga suaminya. Keempat: Diperbolehkannya mengendarai unta dan menjadikannya sebagai alat transportasi ataupun membawa barang bawaan dengan syarat unta tersebut mampu. Kelima: Dalam hadis ini menunjukkan kepada kita untuk saling peduli terhadap sesama kaum muslimin, terutama ketika saudara muslim kita sedang tertimba musibah atau kesulitan. Kembali ke bagian 2 *** Penerjemah: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari website: https://dorar.net/hadith/sharh/2606 Tags: Jabir bin Abdillah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam segala keadaan mereka. Baik itu ketika lapang (ada kemudahan), ketika dalam keadaan sulit, atau dalam keadaan suka maupun duka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menghibur sahabat yang sedih, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, turut merasa bahagia ketika sahabat tersebut bahagia dan akan memberikan nasihat kepada setiap sahabat sesuai dengan keadaan sahabat ketika itu. Dalam artikel ini, akan disampaikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kebaikan kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya disebutkan, غَزَوْتُ مع رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قالَ: فَتَلَاحَقَ بيَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَنَا علَى نَاضِحٍ لَنَا قدْ أعْيَا فلا يَكَادُ يَسِيرُ، فَقالَ لِي: ما لِبَعِيرِكَ؟ قالَ: قُلتُ: عَيِيَ. قالَ: فَتَخَلَّفَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَزَجَرَهُ، ودَعَا له، فَما زَالَ بيْنَ يَدَيِ الإبِلِ قُدَّامَهَا يَسِيرُ، فَقالَ لِي: كيفَ تَرَى بَعِيرَكَ؟ قالَ: قُلتُ: بخَيْرٍ، قدْ أصَابَتْهُ بَرَكَتُكَ. قالَ: أفَتَبِيعُنِيهِ؟ قالَ: فَاسْتَحْيَيْتُ، ولَمْ يَكُنْ لَنَا نَاضِحٌ غَيْرُهُ، قالَ: فَقُلتُ: نَعَمْ. قالَ: فَبِعْنِيهِ. فَبِعْتُهُ إيَّاهُ علَى أنَّ لي فَقَارَ ظَهْرهِ حتَّى أبْلُغَ المَدِينَةَ، قالَ: فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي عَرُوسٌ. فَاسْتَأْذَنْتُهُ، فأذِنَ لِي، فَتَقَدَّمْتُ النَّاسَ إلى المَدِينَةِ حتَّى أتَيْتُ المَدِينَةَ، فَلَقِيَنِي خَالِي، فَسَأَلَنِي عَنِ البَعِيرِ، فأخْبَرْتُهُ بما صَنَعْتُ فِيهِ، فلامَنِي، قالَ: وقدْ كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ لي حِينَ اسْتَأْذَنْتُهُ: هلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أمْ ثَيِّبًا؟ فَقُلتُ: تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا. فَقالَ: هَلَّا تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وتُلَاعِبُكَ؟ قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، تُوُفِّيَ والِدِي -أوِ اسْتُشْهِدَ- ولِي أخَوَاتٌ صِغَارٌ، فَكَرِهْتُ أنْ أتَزَوَّجَ مِثْلَهُنَّ، فلا تُؤَدِّبُهُنَّ، ولَا تَقُومُ عليهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا لِتَقُومَ عليهِنَّ وتُؤَدِّبَهُنَّ. قالَ: فَلَمَّا قَدِمَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدِينَةَ غَدَوْتُ عليه بالبَعِيرِ، فأعْطَانِي ثَمَنَهُ ورَدَّهُ عَلَيَّ. أخرجه البخاري، ومسلم. “Aku berperang bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian, Jabir mengatakan, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengikutiku, sedangkan aku mengendarai unta milikku. Ternyata, hewan tunggangannya (tunggangan Jabir) kelelahan dan hampir tidak bisa jalan. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam bertanya kepada Jabir, ’Ada apa dengan untamu itu?’ Jabir menjawab, ’Mengalami keletihan’. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (menuju) ke belakang kami, memukul untaku, dan mendoakannya. Sehingga, untaku berjalan dengan cepat seperti biasa. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Jabir, ’Bagaimana untamu?’ Jabir menjawab, ’Menjadi baik, sesungguhnya unta ini telah mendapatkan keberkahan.’ Kemudian Nabi Muhammad bertanya kembali, ‘Apakah engkau akan menjualnya kepadaku?’ Aku merasa malu, dan aku pun tidak memiliki unta, selain unta ini. Jabir berkata, ’Tidak.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Juallah unta ini kepadaku.’ Maka, aku menjual untaku kepada beliau dengan syarat aku bisa menungganginya sampai ke Madinah. Aku (Jabir) berkata kepada Rasulullah, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki pengantin perempuan. Maka, aku meminta izin kepada beliau, dan Rasulullah memberikan izin padaku. Aku pun mendahului para sahabat untuk sampai Madinah. Sesampainya di Madinah, pamanku menemuiku, dan menanyakan tentang untaku. Aku menceritakan tentang apa yang telah aku perbuat atas untaku, kemudian ia mencelaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala aku meminta izin, ’Apakah kamu menikahi gadis atau janda?’ Aku menjawab, ’Aku menikahi janda.’ Rasulullah bersabda, ’Apakah kamu tidak menikahi gadis? Engkau bisa bermain (bercanda) dengannya dan dia bisa bermain (bercanda) bersamamu.’ Aku mengatakan, ’Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal (syahid) dan meninggalkan amanah kepadaku saudari-saudariku yang masih kecil. Maka, aku tidak menyukai untuk menikah dengan yang seumuran dengan mereka, karena tidak bisa mendidik mereka, tidak bisa pula mengurus mereka. Aku menikahi seorang janda agar bisa mengurus dan mendidik mereka.’” Kemudian Jabir berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di Madinah, aku segera bergegas membawa untaku kepadanya, kemudian Rasulullah memberikan uangnya, dan setelah itu mengembalikan untanya kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga, Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa saat itu dia sedang dalam perjalanan dengan mengendarai unta miliknya, ternyata hewan tunggangannya telah melemah dan hampir tidak bisa berjalan.” Jabir melanjutkan, “Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya, beliau mendoakan dan memukul untaku, sehingga dapat berjalan dengan cepat seperti biasa. Beliau bersabda, ‘Juallah untamu kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Saya menjawab, ‘Tidak’. Beliau bersabda lagi, ‘Juallah kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Kemudian saya menjualnya dengan beberapa uqiyah dan saya mengecualikan muatannya untuk keluargaku. Setelah saya tiba, lalu saya menemui beliau dengan membawa unta. Kemudian, beliau membayarnya dengan tunai. Setelah menerima uangnya, saya kembali pulang. Kemudian beliau mengutus seseorang untuk mengikuti jejakku. Utusan itu berkata, ‘Apakah kamu mengira kedatanganku ini untuk menawarkan harga yang lebih rendah dari itu untuk mengambil untamu? Ambillah unta dan uang dirhammu, ia telah menjadi hakmu.’” Di dalam hadis ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil. Di antaranya adalah: Pertama: Kedermawanan yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga ketawadukan beliau, kepedulian terhadap para sahabat, dan membantu menunaikan kebutuhan para sahabat. Dalam hadis ini pula, menunjukkan keberkahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan keberkahan doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua: Menunjukkan keutamaan Jabir bin Abdillah, kepeduliannya terhadap keluarganya, dan mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan dirinya. Ketiga: Menunjukkan bahwasanya istri memiliki kewajiban untuk taat kepada suami. Dan bisa direalisasikan salah satu contohnya adalah berbuat baik kepada keluarga suaminya. Keempat: Diperbolehkannya mengendarai unta dan menjadikannya sebagai alat transportasi ataupun membawa barang bawaan dengan syarat unta tersebut mampu. Kelima: Dalam hadis ini menunjukkan kepada kita untuk saling peduli terhadap sesama kaum muslimin, terutama ketika saudara muslim kita sedang tertimba musibah atau kesulitan. Kembali ke bagian 2 *** Penerjemah: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari website: https://dorar.net/hadith/sharh/2606 Tags: Jabir bin Abdillah


Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam segala keadaan mereka. Baik itu ketika lapang (ada kemudahan), ketika dalam keadaan sulit, atau dalam keadaan suka maupun duka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menghibur sahabat yang sedih, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, turut merasa bahagia ketika sahabat tersebut bahagia dan akan memberikan nasihat kepada setiap sahabat sesuai dengan keadaan sahabat ketika itu. Dalam artikel ini, akan disampaikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kebaikan kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya disebutkan, غَزَوْتُ مع رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قالَ: فَتَلَاحَقَ بيَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَنَا علَى نَاضِحٍ لَنَا قدْ أعْيَا فلا يَكَادُ يَسِيرُ، فَقالَ لِي: ما لِبَعِيرِكَ؟ قالَ: قُلتُ: عَيِيَ. قالَ: فَتَخَلَّفَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَزَجَرَهُ، ودَعَا له، فَما زَالَ بيْنَ يَدَيِ الإبِلِ قُدَّامَهَا يَسِيرُ، فَقالَ لِي: كيفَ تَرَى بَعِيرَكَ؟ قالَ: قُلتُ: بخَيْرٍ، قدْ أصَابَتْهُ بَرَكَتُكَ. قالَ: أفَتَبِيعُنِيهِ؟ قالَ: فَاسْتَحْيَيْتُ، ولَمْ يَكُنْ لَنَا نَاضِحٌ غَيْرُهُ، قالَ: فَقُلتُ: نَعَمْ. قالَ: فَبِعْنِيهِ. فَبِعْتُهُ إيَّاهُ علَى أنَّ لي فَقَارَ ظَهْرهِ حتَّى أبْلُغَ المَدِينَةَ، قالَ: فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي عَرُوسٌ. فَاسْتَأْذَنْتُهُ، فأذِنَ لِي، فَتَقَدَّمْتُ النَّاسَ إلى المَدِينَةِ حتَّى أتَيْتُ المَدِينَةَ، فَلَقِيَنِي خَالِي، فَسَأَلَنِي عَنِ البَعِيرِ، فأخْبَرْتُهُ بما صَنَعْتُ فِيهِ، فلامَنِي، قالَ: وقدْ كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ لي حِينَ اسْتَأْذَنْتُهُ: هلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أمْ ثَيِّبًا؟ فَقُلتُ: تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا. فَقالَ: هَلَّا تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وتُلَاعِبُكَ؟ قُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، تُوُفِّيَ والِدِي -أوِ اسْتُشْهِدَ- ولِي أخَوَاتٌ صِغَارٌ، فَكَرِهْتُ أنْ أتَزَوَّجَ مِثْلَهُنَّ، فلا تُؤَدِّبُهُنَّ، ولَا تَقُومُ عليهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا لِتَقُومَ عليهِنَّ وتُؤَدِّبَهُنَّ. قالَ: فَلَمَّا قَدِمَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ المَدِينَةَ غَدَوْتُ عليه بالبَعِيرِ، فأعْطَانِي ثَمَنَهُ ورَدَّهُ عَلَيَّ. أخرجه البخاري، ومسلم. “Aku berperang bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian, Jabir mengatakan, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengikutiku, sedangkan aku mengendarai unta milikku. Ternyata, hewan tunggangannya (tunggangan Jabir) kelelahan dan hampir tidak bisa jalan. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam bertanya kepada Jabir, ’Ada apa dengan untamu itu?’ Jabir menjawab, ’Mengalami keletihan’. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (menuju) ke belakang kami, memukul untaku, dan mendoakannya. Sehingga, untaku berjalan dengan cepat seperti biasa. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Jabir, ’Bagaimana untamu?’ Jabir menjawab, ’Menjadi baik, sesungguhnya unta ini telah mendapatkan keberkahan.’ Kemudian Nabi Muhammad bertanya kembali, ‘Apakah engkau akan menjualnya kepadaku?’ Aku merasa malu, dan aku pun tidak memiliki unta, selain unta ini. Jabir berkata, ’Tidak.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Juallah unta ini kepadaku.’ Maka, aku menjual untaku kepada beliau dengan syarat aku bisa menungganginya sampai ke Madinah. Aku (Jabir) berkata kepada Rasulullah, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki pengantin perempuan. Maka, aku meminta izin kepada beliau, dan Rasulullah memberikan izin padaku. Aku pun mendahului para sahabat untuk sampai Madinah. Sesampainya di Madinah, pamanku menemuiku, dan menanyakan tentang untaku. Aku menceritakan tentang apa yang telah aku perbuat atas untaku, kemudian ia mencelaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala aku meminta izin, ’Apakah kamu menikahi gadis atau janda?’ Aku menjawab, ’Aku menikahi janda.’ Rasulullah bersabda, ’Apakah kamu tidak menikahi gadis? Engkau bisa bermain (bercanda) dengannya dan dia bisa bermain (bercanda) bersamamu.’ Aku mengatakan, ’Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal (syahid) dan meninggalkan amanah kepadaku saudari-saudariku yang masih kecil. Maka, aku tidak menyukai untuk menikah dengan yang seumuran dengan mereka, karena tidak bisa mendidik mereka, tidak bisa pula mengurus mereka. Aku menikahi seorang janda agar bisa mengurus dan mendidik mereka.’” Kemudian Jabir berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di Madinah, aku segera bergegas membawa untaku kepadanya, kemudian Rasulullah memberikan uangnya, dan setelah itu mengembalikan untanya kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga, Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa saat itu dia sedang dalam perjalanan dengan mengendarai unta miliknya, ternyata hewan tunggangannya telah melemah dan hampir tidak bisa berjalan.” Jabir melanjutkan, “Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya, beliau mendoakan dan memukul untaku, sehingga dapat berjalan dengan cepat seperti biasa. Beliau bersabda, ‘Juallah untamu kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Saya menjawab, ‘Tidak’. Beliau bersabda lagi, ‘Juallah kepadaku dengan beberapa uqiyah.’ Kemudian saya menjualnya dengan beberapa uqiyah dan saya mengecualikan muatannya untuk keluargaku. Setelah saya tiba, lalu saya menemui beliau dengan membawa unta. Kemudian, beliau membayarnya dengan tunai. Setelah menerima uangnya, saya kembali pulang. Kemudian beliau mengutus seseorang untuk mengikuti jejakku. Utusan itu berkata, ‘Apakah kamu mengira kedatanganku ini untuk menawarkan harga yang lebih rendah dari itu untuk mengambil untamu? Ambillah unta dan uang dirhammu, ia telah menjadi hakmu.’” Di dalam hadis ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil. Di antaranya adalah: Pertama: Kedermawanan yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga ketawadukan beliau, kepedulian terhadap para sahabat, dan membantu menunaikan kebutuhan para sahabat. Dalam hadis ini pula, menunjukkan keberkahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan keberkahan doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua: Menunjukkan keutamaan Jabir bin Abdillah, kepeduliannya terhadap keluarganya, dan mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan dirinya. Ketiga: Menunjukkan bahwasanya istri memiliki kewajiban untuk taat kepada suami. Dan bisa direalisasikan salah satu contohnya adalah berbuat baik kepada keluarga suaminya. Keempat: Diperbolehkannya mengendarai unta dan menjadikannya sebagai alat transportasi ataupun membawa barang bawaan dengan syarat unta tersebut mampu. Kelima: Dalam hadis ini menunjukkan kepada kita untuk saling peduli terhadap sesama kaum muslimin, terutama ketika saudara muslim kita sedang tertimba musibah atau kesulitan. Kembali ke bagian 2 *** Penerjemah: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari website: https://dorar.net/hadith/sharh/2606 Tags: Jabir bin Abdillah

Kisah Jabir bin Abdillah (Bag. 2): Menempuh Perjalanan Satu Bulan untuk Satu Hadis

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan yang paling tepat untuk kita jadikan contoh di dalam bersemangat menuntut ilmu. Bagaimana tidak, walaupun mereka disibukkan dengan urusan perdagangan, peperangan, keluarga, atau urusan dunia lainnya, tidak menghalangi mereka untuk tetap menuntut ilmu dan memahami agama Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang menakjubkan adalah seluruh sahabat seperti ini, tidak memandang itu dari kalangan sahabat ataupun shahabiyyah, mereka semua bersemangat mendalami ilmu agama. Salah satu di antara para sahabat yang bersemangat dalam menuntut ilmu adalah Jabir bin Abdillah. Kesibukannya tentang urusan dunianya tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu dan bahkan menjadi salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Jabir merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dan menempati posisi ke enam dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu berjumlah 1540 hadis. Jabir bin Abdilah belajar langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak hanya kepada Rasulullah, Jabir juga meriwayatkan hadis dari para sahabat yang lainnya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Muadz bin Jabal, Abu Sa’id Al-Khudriy, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, dan kepada para sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jabir bin Abdillah menjadi salah satu sahabat yang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Jabir memiliki halaqah-halaqah ilmu, di mana Jabir sendiri yang mengajar. Dari beliau, lahirlah murid-murid dari kalangan tabi’in yang begitu banyak. Di antara yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya. [1] Salah satu kisah Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu adalah kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan untuk mendengarkan satu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan. Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadis. Hal ini demi mendengarkan hadis tersebut secara lengkap melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panasnya gurun, kemudian meninggalkan kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, sang pemilik hadis. Kisah perjalanan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Madinah menuju Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu di negeri Syam, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Al-Musnad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dia mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ “Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sedangkan aku tidak mendengar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, –pen).” Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.” Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.” Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?” Aku menjawab, “Ya, benar!” (Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.” Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat, –pen.). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.” Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’ Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.’ Kemudian Allah ‘Azza Wajalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah Al-Malik (Maharaja)! Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka, sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni, diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga, sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.’” Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka, sedangkan kita menemui Allah ‘Azza Wajalla dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?” Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” [2] Dalam kisah ini, kita dapat mengetahui bagaimana semangat Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu. Tidak hanya itu, kedudukan Jabir bin Abdillah yang berada di atas Abdullah bin Unais tidak menghalanginya untuk mendatangi langsung hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan rela merendahkan dirinya di hadapan seseorang yang memiliki ilmu agama. Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu inilah yang seharusnya menjadi contoh dan teladan yang bisa kita terapkan di dalam keseharian kita. Wallahu a’lam. Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diringkas dari kitab Jabir bin Abdillah wa Fiqhuhu, ditulis oleh Musa bin Ali bin Muhammad Al-Amiir, Bab Masyayikh Jabir bin Abdillah dan Bab Asyharu Talamidz Jabir bin Abdillah [2] Imam Ahmad dalam Al-Musnad, 3: 495; Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 970; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 574. Tags: Jabir bin Abdillah

Kisah Jabir bin Abdillah (Bag. 2): Menempuh Perjalanan Satu Bulan untuk Satu Hadis

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan yang paling tepat untuk kita jadikan contoh di dalam bersemangat menuntut ilmu. Bagaimana tidak, walaupun mereka disibukkan dengan urusan perdagangan, peperangan, keluarga, atau urusan dunia lainnya, tidak menghalangi mereka untuk tetap menuntut ilmu dan memahami agama Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang menakjubkan adalah seluruh sahabat seperti ini, tidak memandang itu dari kalangan sahabat ataupun shahabiyyah, mereka semua bersemangat mendalami ilmu agama. Salah satu di antara para sahabat yang bersemangat dalam menuntut ilmu adalah Jabir bin Abdillah. Kesibukannya tentang urusan dunianya tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu dan bahkan menjadi salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Jabir merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dan menempati posisi ke enam dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu berjumlah 1540 hadis. Jabir bin Abdilah belajar langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak hanya kepada Rasulullah, Jabir juga meriwayatkan hadis dari para sahabat yang lainnya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Muadz bin Jabal, Abu Sa’id Al-Khudriy, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, dan kepada para sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jabir bin Abdillah menjadi salah satu sahabat yang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Jabir memiliki halaqah-halaqah ilmu, di mana Jabir sendiri yang mengajar. Dari beliau, lahirlah murid-murid dari kalangan tabi’in yang begitu banyak. Di antara yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya. [1] Salah satu kisah Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu adalah kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan untuk mendengarkan satu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan. Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadis. Hal ini demi mendengarkan hadis tersebut secara lengkap melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panasnya gurun, kemudian meninggalkan kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, sang pemilik hadis. Kisah perjalanan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Madinah menuju Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu di negeri Syam, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Al-Musnad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dia mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ “Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sedangkan aku tidak mendengar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, –pen).” Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.” Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.” Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?” Aku menjawab, “Ya, benar!” (Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.” Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat, –pen.). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.” Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’ Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.’ Kemudian Allah ‘Azza Wajalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah Al-Malik (Maharaja)! Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka, sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni, diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga, sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.’” Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka, sedangkan kita menemui Allah ‘Azza Wajalla dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?” Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” [2] Dalam kisah ini, kita dapat mengetahui bagaimana semangat Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu. Tidak hanya itu, kedudukan Jabir bin Abdillah yang berada di atas Abdullah bin Unais tidak menghalanginya untuk mendatangi langsung hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan rela merendahkan dirinya di hadapan seseorang yang memiliki ilmu agama. Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu inilah yang seharusnya menjadi contoh dan teladan yang bisa kita terapkan di dalam keseharian kita. Wallahu a’lam. Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diringkas dari kitab Jabir bin Abdillah wa Fiqhuhu, ditulis oleh Musa bin Ali bin Muhammad Al-Amiir, Bab Masyayikh Jabir bin Abdillah dan Bab Asyharu Talamidz Jabir bin Abdillah [2] Imam Ahmad dalam Al-Musnad, 3: 495; Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 970; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 574. Tags: Jabir bin Abdillah
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan yang paling tepat untuk kita jadikan contoh di dalam bersemangat menuntut ilmu. Bagaimana tidak, walaupun mereka disibukkan dengan urusan perdagangan, peperangan, keluarga, atau urusan dunia lainnya, tidak menghalangi mereka untuk tetap menuntut ilmu dan memahami agama Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang menakjubkan adalah seluruh sahabat seperti ini, tidak memandang itu dari kalangan sahabat ataupun shahabiyyah, mereka semua bersemangat mendalami ilmu agama. Salah satu di antara para sahabat yang bersemangat dalam menuntut ilmu adalah Jabir bin Abdillah. Kesibukannya tentang urusan dunianya tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu dan bahkan menjadi salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Jabir merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dan menempati posisi ke enam dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu berjumlah 1540 hadis. Jabir bin Abdilah belajar langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak hanya kepada Rasulullah, Jabir juga meriwayatkan hadis dari para sahabat yang lainnya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Muadz bin Jabal, Abu Sa’id Al-Khudriy, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, dan kepada para sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jabir bin Abdillah menjadi salah satu sahabat yang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Jabir memiliki halaqah-halaqah ilmu, di mana Jabir sendiri yang mengajar. Dari beliau, lahirlah murid-murid dari kalangan tabi’in yang begitu banyak. Di antara yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya. [1] Salah satu kisah Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu adalah kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan untuk mendengarkan satu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan. Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadis. Hal ini demi mendengarkan hadis tersebut secara lengkap melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panasnya gurun, kemudian meninggalkan kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, sang pemilik hadis. Kisah perjalanan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Madinah menuju Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu di negeri Syam, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Al-Musnad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dia mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ “Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sedangkan aku tidak mendengar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, –pen).” Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.” Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.” Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?” Aku menjawab, “Ya, benar!” (Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.” Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat, –pen.). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.” Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’ Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.’ Kemudian Allah ‘Azza Wajalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah Al-Malik (Maharaja)! Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka, sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni, diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga, sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.’” Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka, sedangkan kita menemui Allah ‘Azza Wajalla dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?” Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” [2] Dalam kisah ini, kita dapat mengetahui bagaimana semangat Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu. Tidak hanya itu, kedudukan Jabir bin Abdillah yang berada di atas Abdullah bin Unais tidak menghalanginya untuk mendatangi langsung hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan rela merendahkan dirinya di hadapan seseorang yang memiliki ilmu agama. Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu inilah yang seharusnya menjadi contoh dan teladan yang bisa kita terapkan di dalam keseharian kita. Wallahu a’lam. Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diringkas dari kitab Jabir bin Abdillah wa Fiqhuhu, ditulis oleh Musa bin Ali bin Muhammad Al-Amiir, Bab Masyayikh Jabir bin Abdillah dan Bab Asyharu Talamidz Jabir bin Abdillah [2] Imam Ahmad dalam Al-Musnad, 3: 495; Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 970; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 574. Tags: Jabir bin Abdillah


Para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan yang paling tepat untuk kita jadikan contoh di dalam bersemangat menuntut ilmu. Bagaimana tidak, walaupun mereka disibukkan dengan urusan perdagangan, peperangan, keluarga, atau urusan dunia lainnya, tidak menghalangi mereka untuk tetap menuntut ilmu dan memahami agama Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang menakjubkan adalah seluruh sahabat seperti ini, tidak memandang itu dari kalangan sahabat ataupun shahabiyyah, mereka semua bersemangat mendalami ilmu agama. Salah satu di antara para sahabat yang bersemangat dalam menuntut ilmu adalah Jabir bin Abdillah. Kesibukannya tentang urusan dunianya tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu dan bahkan menjadi salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Jabir merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dan menempati posisi ke enam dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu berjumlah 1540 hadis. Jabir bin Abdilah belajar langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak hanya kepada Rasulullah, Jabir juga meriwayatkan hadis dari para sahabat yang lainnya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Muadz bin Jabal, Abu Sa’id Al-Khudriy, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, dan kepada para sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jabir bin Abdillah menjadi salah satu sahabat yang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Jabir memiliki halaqah-halaqah ilmu, di mana Jabir sendiri yang mengajar. Dari beliau, lahirlah murid-murid dari kalangan tabi’in yang begitu banyak. Di antara yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya. [1] Salah satu kisah Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu adalah kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan untuk mendengarkan satu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan. Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadis. Hal ini demi mendengarkan hadis tersebut secara lengkap melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panasnya gurun, kemudian meninggalkan kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, sang pemilik hadis. Kisah perjalanan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Madinah menuju Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu di negeri Syam, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam Al-Musnad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dia mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ “Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sedangkan aku tidak mendengar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, –pen).” Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.” Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.” Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?” Aku menjawab, “Ya, benar!” (Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.” Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat, –pen.). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.” Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’ Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.’ Kemudian Allah ‘Azza Wajalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah Al-Malik (Maharaja)! Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka, sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni, diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga, sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.’” Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka, sedangkan kita menemui Allah ‘Azza Wajalla dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?” Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” [2] Dalam kisah ini, kita dapat mengetahui bagaimana semangat Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu. Tidak hanya itu, kedudukan Jabir bin Abdillah yang berada di atas Abdullah bin Unais tidak menghalanginya untuk mendatangi langsung hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan rela merendahkan dirinya di hadapan seseorang yang memiliki ilmu agama. Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu inilah yang seharusnya menjadi contoh dan teladan yang bisa kita terapkan di dalam keseharian kita. Wallahu a’lam. Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diringkas dari kitab Jabir bin Abdillah wa Fiqhuhu, ditulis oleh Musa bin Ali bin Muhammad Al-Amiir, Bab Masyayikh Jabir bin Abdillah dan Bab Asyharu Talamidz Jabir bin Abdillah [2] Imam Ahmad dalam Al-Musnad, 3: 495; Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 970; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4: 574. Tags: Jabir bin Abdillah

Fikih Salat Hajat

Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah

Fikih Salat Hajat

Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah
Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah


Daftar Isi Toggle Pengertian salat hajatDalil disyariatkannya salat hajatWaktu pelaksanaan salat hajatCara melaksanakan salat hajatPerbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannyaYang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajabKesimpulan Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat. Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Pengertian salat hajat Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيْهِمْ “Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka. Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431) Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ “Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1] Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan. Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat, صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة “Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).” [2] Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, (حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ “(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3] Dalil disyariatkannya salat hajat Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan, LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4] Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan, ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ “Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ “Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.” [6] Waktu pelaksanaan salat hajat Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7] Cara melaksanakan salat hajat Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan: Pertama: dua rakaat. Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya. Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah, لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ، الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN. LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN “Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8] Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis. Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan: Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya. Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9] Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa. Allah Ta’ala telah berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60) Dia juga berfirman, وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186) Dan Dia juga berfirman, وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10] Kesimpulan Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: “Sunan At-Tirmidzi” oleh Imam At-Tirmidziy, cet. Maktabatul Ma’arif “Tuhfat Al-Dhakirin bi ‘Uddah Al-Hisn Al-Hasin“, oleh Asy-Syaukani “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah“, Ensiklopedia Fiqh Kuwait   Catatan kaki: [1] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 51. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 130. [3] Maqayis Al-Lughah, 2: 114; Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211-212. [4] Sunan Tirmidzi no. 126, Bab ما جاء في صلاة الحاجة [5] Lihat Al-Mughni, 2: 553; Al-Majmu‘, 4: 55. Bahkan, Ibnul Jazari juga menyebutkanya di kitab beliau Al-Hisn Al-Hasin. [6] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27: 211. [7] https://fiqh.islamonline.net/ما-هي-صلاة-الحاجة-ومتى-تصلى/ [8] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/130740/ [9] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1390/ ; Tuhfatul Ahwadzi, 2: 482; As-Sunan wal-Mubtadi’at Al-Muta’alliqah bil-Adzkar wal-Shalawat, hal. 124-126; dan Tuhfat Al-Dzakirin, hal. 211-215. [10] Lihat As-Sunan wal-Mubtadi’at, hal. 126. Tags: salat hajatsalat sunah
Prev     Next