Nasihat untuk Anda yang Shalat Witir di Awal Malam – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ

Nasihat untuk Anda yang Shalat Witir di Awal Malam – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ
Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ


Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ

Tetap Setia: Definisi, Dalil, dan Penerapannya dalam Islam

Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia

Tetap Setia: Definisi, Dalil, dan Penerapannya dalam Islam

Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia
Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia


Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia

Cara Terbaik untuk Melawan Waswas – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Kisah ini juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar. Kisah tentang laki-laki ini, yaitu Ibnu Wahb, ulama terkenal. Beliau pada awal mulanya terpapar oleh waswas. Lalu beliau pergi mengeluhkan hal itu kepada gurunya. Kemudian gurunya menyarankannya untuk menuntut ilmu. Itulah yang menjadi sebab beliau menuntut ilmu, juga sebab hilangnya waswas. Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu hal terbesar yang dapat menghilangkan waswas. Hal itu karena seorang penuntut ilmu adalah orang yang arif terhadap urusannya dan mengetahui hal yang dapat menghalau waswas. Ia mengetahui bahwa waswas itu tidak mendatangkan masalah baginya. Sebagai contoh, jika waswas yang mendatanginya dalam hal bersuci apabila dia arif dalam hal ini dan menerapkan kaidah besar dalam fikih bahwa keyakinan tidak dapat gugur dengan keraguan serta meyakini keadaan sucinya, maka ia tidak akan menghiraukan waswas dan keraguan apakah dia sudah berhadas. Juga menerapkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah dia tidak membatalkan shalatnya, hingga mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Jadi kita dapati bahwa ilmu dapat membantu dalam mengusir rasa waswas. Oleh sebab itu, kamu dapati bahwa waswas tidak mendatangi penuntut ilmu. Kalaupun mendatanginya, itu hanya waswas yang ringan. Karena dia punya kearifan dan ilmu untuk menghalau waswas. Di antara hal lain yang dapat menghalau waswas juga adalah sikap abai; mengabaikan hal yang mendatangkan waswas tersebut. Karena jika dia berhenti memikirkannya, waswas itu akan melemah sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun, sebagian orang ketika didatangi rasa waswas, ia sibuk memikirkannya. Sehingga waswas itu terus bertambah, hingga menjadi waswas yang tidak dapat terkontrol. Sehingga dia tidak lagi dapat menguasai dirinya, dan justru dia dikuasai oleh nafsunya. Lalu sebagaimana ilmu itu dapat menghalau rasa waswas, ia juga dapat menghalau fitnah syubhat-syubhat. Hal terbesar untuk menghalau fitnah syubhat adalah ilmu. Karena fitnah syubhat itu datang karena lemahnya kearifan dan kurangnya ilmu. Oleh sebab itu, kamu temui bahwa mayoritas orang yang terjerumus ke dalam fitnah syubhat adalah orang yang kurang arif. Sedangkan orang yang punya kearifan dan keilmuan yang kuat, kebanyakan tidak akan terjerumus ke dalam fitnah syubhat. Jadi, ilmu itu dapat menghalau fitnah syubhat. Sebagaimana kesabaran dapat menghalau fitnah syahwat. ==== هَذِهِ هِيَ الْقِصَّةُ أَيْضًا ذَكَرَهَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي السِّيَرِ فِي قِصَّةِ هَذَا الرَّجُلِ ابْنُ وَهْبٍ الْعَالِمُ الْمَعْرُوفُ لَمَّا يَعْنِي فِي أَوَّلِ لَمَّا كَانَ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ عَرَضَتْ لَهُ وَسَاوِسُ فَذَهَبَ وَاشْتَكَى إِلَى شَيْخِهِ فَنَصَحَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ فَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِطَلَبِهِ الْعِلْمَ وَسَبَبًا لِزَوَالِ الْوَسَاوِسِ وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ وَذَلِكَ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَكُونُ بَصِيرًا بِأَمْرِهِ وَيَكُونُ عَارِفًا بِمَا يَدْفَعُ بِهِ الْوَسَاوِسَ وَأَنَّ هَذِهِ الْوَسَاوِسَ لَا تَضُرُّهُ فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ إِذَا تَبَصَّرَ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَعْمَلَ الْقَاعِدَةَ الْفِقْهِيَّةَ الْكُبْرَى الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ وَتَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ لَمْ يَلْتَفِتْ لِلْوَسَاوِسِ وَالشُّكُوكِ فِي كَوْنِهِ قَدْ أَحْدَثَ وَأَعْمَلَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا فَنَجِدُ أَنَّ الْعِلْمَ هُنَا مُعِيْنٌ عَلَى طَرْدِ الْوَسْوَاسِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْوَسْوَاسَ لَا يَأْتِيهِ طَالِبَ الْعِلْمِ وَإِذَا أَتَى طَالِبَ الْعِلْمِ يَأْتِي خَفِيفًا لِأَنَّ عِنْدَهُ بَصِيرَةً وَعِنْدَهُ عِلْمًا يَدْفَعُ بِهِ هَذَا الْوَسْوَاسَ وَمِمَّا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ كَذَلِكَ الْإِعْرَاضُ الْإِعْرَاضُ عَنْ هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ إِذَا قَطَعَ التَّفْكِيرُ فِيهِ يَبْدَأُ هَذَا الْوَسْوَاسُ يَضْعُفُ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى يَتَلَاشَى لَكِنْ يَعْنِي بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَأْتِيهِ الْوَسْوَاسُ يَبْدَأُ بِإِشْغَالِ نَفْسِهِ بِهِ فَيَزِيْدُ الْوَسْوَاسُ شَيْئًا فَشَيْئًا إِلَى أَنْ يُصْبِحَ وَسْوَاسًا قَهْرِيًّا فَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ بَلْ تَتَحَكَّمُ بِهِ نَفْسُهُ ثُمَّ أَيْضًا الْعِلْمُ كَمَا أَنَّهُ يَدْفَعُ الْوَسْوَاسَ فَهُوَ أَيْضًا يَدْفَعُ فِتَنَ الشُّبُهَاتِ فَأَعْظَمُ مَا تُدْفَعُ بِهِ فِتَنُ الشُّبُهَاتِ الْعِلْمُ فَفِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ إِنَّمَا تَأْتِي مِنْ ضَعْفِ الْبَصِيرَةِ وَقِلَّةِ عِلْمٍ وَلِهَذَا تَجِدُ أَنَّ عَامَّةَ مَنْ يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ عِنْدَهُ قِلَّةُ بَصِيرَةٍ وَإِلَّا مَنْ عِنْدَهُ قُوَّةُ بَصِيرَةٍ وَقُوَّةُ عِلْمِيَّةٍ لَا يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ فِي الْغَالِبِ فَإِذًا الْعِلْمُ يُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ كَمَا أَنَّ الصَّبْرَ تُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ

Cara Terbaik untuk Melawan Waswas – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Kisah ini juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar. Kisah tentang laki-laki ini, yaitu Ibnu Wahb, ulama terkenal. Beliau pada awal mulanya terpapar oleh waswas. Lalu beliau pergi mengeluhkan hal itu kepada gurunya. Kemudian gurunya menyarankannya untuk menuntut ilmu. Itulah yang menjadi sebab beliau menuntut ilmu, juga sebab hilangnya waswas. Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu hal terbesar yang dapat menghilangkan waswas. Hal itu karena seorang penuntut ilmu adalah orang yang arif terhadap urusannya dan mengetahui hal yang dapat menghalau waswas. Ia mengetahui bahwa waswas itu tidak mendatangkan masalah baginya. Sebagai contoh, jika waswas yang mendatanginya dalam hal bersuci apabila dia arif dalam hal ini dan menerapkan kaidah besar dalam fikih bahwa keyakinan tidak dapat gugur dengan keraguan serta meyakini keadaan sucinya, maka ia tidak akan menghiraukan waswas dan keraguan apakah dia sudah berhadas. Juga menerapkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah dia tidak membatalkan shalatnya, hingga mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Jadi kita dapati bahwa ilmu dapat membantu dalam mengusir rasa waswas. Oleh sebab itu, kamu dapati bahwa waswas tidak mendatangi penuntut ilmu. Kalaupun mendatanginya, itu hanya waswas yang ringan. Karena dia punya kearifan dan ilmu untuk menghalau waswas. Di antara hal lain yang dapat menghalau waswas juga adalah sikap abai; mengabaikan hal yang mendatangkan waswas tersebut. Karena jika dia berhenti memikirkannya, waswas itu akan melemah sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun, sebagian orang ketika didatangi rasa waswas, ia sibuk memikirkannya. Sehingga waswas itu terus bertambah, hingga menjadi waswas yang tidak dapat terkontrol. Sehingga dia tidak lagi dapat menguasai dirinya, dan justru dia dikuasai oleh nafsunya. Lalu sebagaimana ilmu itu dapat menghalau rasa waswas, ia juga dapat menghalau fitnah syubhat-syubhat. Hal terbesar untuk menghalau fitnah syubhat adalah ilmu. Karena fitnah syubhat itu datang karena lemahnya kearifan dan kurangnya ilmu. Oleh sebab itu, kamu temui bahwa mayoritas orang yang terjerumus ke dalam fitnah syubhat adalah orang yang kurang arif. Sedangkan orang yang punya kearifan dan keilmuan yang kuat, kebanyakan tidak akan terjerumus ke dalam fitnah syubhat. Jadi, ilmu itu dapat menghalau fitnah syubhat. Sebagaimana kesabaran dapat menghalau fitnah syahwat. ==== هَذِهِ هِيَ الْقِصَّةُ أَيْضًا ذَكَرَهَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي السِّيَرِ فِي قِصَّةِ هَذَا الرَّجُلِ ابْنُ وَهْبٍ الْعَالِمُ الْمَعْرُوفُ لَمَّا يَعْنِي فِي أَوَّلِ لَمَّا كَانَ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ عَرَضَتْ لَهُ وَسَاوِسُ فَذَهَبَ وَاشْتَكَى إِلَى شَيْخِهِ فَنَصَحَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ فَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِطَلَبِهِ الْعِلْمَ وَسَبَبًا لِزَوَالِ الْوَسَاوِسِ وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ وَذَلِكَ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَكُونُ بَصِيرًا بِأَمْرِهِ وَيَكُونُ عَارِفًا بِمَا يَدْفَعُ بِهِ الْوَسَاوِسَ وَأَنَّ هَذِهِ الْوَسَاوِسَ لَا تَضُرُّهُ فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ إِذَا تَبَصَّرَ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَعْمَلَ الْقَاعِدَةَ الْفِقْهِيَّةَ الْكُبْرَى الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ وَتَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ لَمْ يَلْتَفِتْ لِلْوَسَاوِسِ وَالشُّكُوكِ فِي كَوْنِهِ قَدْ أَحْدَثَ وَأَعْمَلَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا فَنَجِدُ أَنَّ الْعِلْمَ هُنَا مُعِيْنٌ عَلَى طَرْدِ الْوَسْوَاسِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْوَسْوَاسَ لَا يَأْتِيهِ طَالِبَ الْعِلْمِ وَإِذَا أَتَى طَالِبَ الْعِلْمِ يَأْتِي خَفِيفًا لِأَنَّ عِنْدَهُ بَصِيرَةً وَعِنْدَهُ عِلْمًا يَدْفَعُ بِهِ هَذَا الْوَسْوَاسَ وَمِمَّا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ كَذَلِكَ الْإِعْرَاضُ الْإِعْرَاضُ عَنْ هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ إِذَا قَطَعَ التَّفْكِيرُ فِيهِ يَبْدَأُ هَذَا الْوَسْوَاسُ يَضْعُفُ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى يَتَلَاشَى لَكِنْ يَعْنِي بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَأْتِيهِ الْوَسْوَاسُ يَبْدَأُ بِإِشْغَالِ نَفْسِهِ بِهِ فَيَزِيْدُ الْوَسْوَاسُ شَيْئًا فَشَيْئًا إِلَى أَنْ يُصْبِحَ وَسْوَاسًا قَهْرِيًّا فَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ بَلْ تَتَحَكَّمُ بِهِ نَفْسُهُ ثُمَّ أَيْضًا الْعِلْمُ كَمَا أَنَّهُ يَدْفَعُ الْوَسْوَاسَ فَهُوَ أَيْضًا يَدْفَعُ فِتَنَ الشُّبُهَاتِ فَأَعْظَمُ مَا تُدْفَعُ بِهِ فِتَنُ الشُّبُهَاتِ الْعِلْمُ فَفِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ إِنَّمَا تَأْتِي مِنْ ضَعْفِ الْبَصِيرَةِ وَقِلَّةِ عِلْمٍ وَلِهَذَا تَجِدُ أَنَّ عَامَّةَ مَنْ يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ عِنْدَهُ قِلَّةُ بَصِيرَةٍ وَإِلَّا مَنْ عِنْدَهُ قُوَّةُ بَصِيرَةٍ وَقُوَّةُ عِلْمِيَّةٍ لَا يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ فِي الْغَالِبِ فَإِذًا الْعِلْمُ يُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ كَمَا أَنَّ الصَّبْرَ تُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ
Kisah ini juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar. Kisah tentang laki-laki ini, yaitu Ibnu Wahb, ulama terkenal. Beliau pada awal mulanya terpapar oleh waswas. Lalu beliau pergi mengeluhkan hal itu kepada gurunya. Kemudian gurunya menyarankannya untuk menuntut ilmu. Itulah yang menjadi sebab beliau menuntut ilmu, juga sebab hilangnya waswas. Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu hal terbesar yang dapat menghilangkan waswas. Hal itu karena seorang penuntut ilmu adalah orang yang arif terhadap urusannya dan mengetahui hal yang dapat menghalau waswas. Ia mengetahui bahwa waswas itu tidak mendatangkan masalah baginya. Sebagai contoh, jika waswas yang mendatanginya dalam hal bersuci apabila dia arif dalam hal ini dan menerapkan kaidah besar dalam fikih bahwa keyakinan tidak dapat gugur dengan keraguan serta meyakini keadaan sucinya, maka ia tidak akan menghiraukan waswas dan keraguan apakah dia sudah berhadas. Juga menerapkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah dia tidak membatalkan shalatnya, hingga mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Jadi kita dapati bahwa ilmu dapat membantu dalam mengusir rasa waswas. Oleh sebab itu, kamu dapati bahwa waswas tidak mendatangi penuntut ilmu. Kalaupun mendatanginya, itu hanya waswas yang ringan. Karena dia punya kearifan dan ilmu untuk menghalau waswas. Di antara hal lain yang dapat menghalau waswas juga adalah sikap abai; mengabaikan hal yang mendatangkan waswas tersebut. Karena jika dia berhenti memikirkannya, waswas itu akan melemah sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun, sebagian orang ketika didatangi rasa waswas, ia sibuk memikirkannya. Sehingga waswas itu terus bertambah, hingga menjadi waswas yang tidak dapat terkontrol. Sehingga dia tidak lagi dapat menguasai dirinya, dan justru dia dikuasai oleh nafsunya. Lalu sebagaimana ilmu itu dapat menghalau rasa waswas, ia juga dapat menghalau fitnah syubhat-syubhat. Hal terbesar untuk menghalau fitnah syubhat adalah ilmu. Karena fitnah syubhat itu datang karena lemahnya kearifan dan kurangnya ilmu. Oleh sebab itu, kamu temui bahwa mayoritas orang yang terjerumus ke dalam fitnah syubhat adalah orang yang kurang arif. Sedangkan orang yang punya kearifan dan keilmuan yang kuat, kebanyakan tidak akan terjerumus ke dalam fitnah syubhat. Jadi, ilmu itu dapat menghalau fitnah syubhat. Sebagaimana kesabaran dapat menghalau fitnah syahwat. ==== هَذِهِ هِيَ الْقِصَّةُ أَيْضًا ذَكَرَهَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي السِّيَرِ فِي قِصَّةِ هَذَا الرَّجُلِ ابْنُ وَهْبٍ الْعَالِمُ الْمَعْرُوفُ لَمَّا يَعْنِي فِي أَوَّلِ لَمَّا كَانَ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ عَرَضَتْ لَهُ وَسَاوِسُ فَذَهَبَ وَاشْتَكَى إِلَى شَيْخِهِ فَنَصَحَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ فَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِطَلَبِهِ الْعِلْمَ وَسَبَبًا لِزَوَالِ الْوَسَاوِسِ وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ وَذَلِكَ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَكُونُ بَصِيرًا بِأَمْرِهِ وَيَكُونُ عَارِفًا بِمَا يَدْفَعُ بِهِ الْوَسَاوِسَ وَأَنَّ هَذِهِ الْوَسَاوِسَ لَا تَضُرُّهُ فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ إِذَا تَبَصَّرَ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَعْمَلَ الْقَاعِدَةَ الْفِقْهِيَّةَ الْكُبْرَى الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ وَتَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ لَمْ يَلْتَفِتْ لِلْوَسَاوِسِ وَالشُّكُوكِ فِي كَوْنِهِ قَدْ أَحْدَثَ وَأَعْمَلَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا فَنَجِدُ أَنَّ الْعِلْمَ هُنَا مُعِيْنٌ عَلَى طَرْدِ الْوَسْوَاسِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْوَسْوَاسَ لَا يَأْتِيهِ طَالِبَ الْعِلْمِ وَإِذَا أَتَى طَالِبَ الْعِلْمِ يَأْتِي خَفِيفًا لِأَنَّ عِنْدَهُ بَصِيرَةً وَعِنْدَهُ عِلْمًا يَدْفَعُ بِهِ هَذَا الْوَسْوَاسَ وَمِمَّا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ كَذَلِكَ الْإِعْرَاضُ الْإِعْرَاضُ عَنْ هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ إِذَا قَطَعَ التَّفْكِيرُ فِيهِ يَبْدَأُ هَذَا الْوَسْوَاسُ يَضْعُفُ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى يَتَلَاشَى لَكِنْ يَعْنِي بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَأْتِيهِ الْوَسْوَاسُ يَبْدَأُ بِإِشْغَالِ نَفْسِهِ بِهِ فَيَزِيْدُ الْوَسْوَاسُ شَيْئًا فَشَيْئًا إِلَى أَنْ يُصْبِحَ وَسْوَاسًا قَهْرِيًّا فَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ بَلْ تَتَحَكَّمُ بِهِ نَفْسُهُ ثُمَّ أَيْضًا الْعِلْمُ كَمَا أَنَّهُ يَدْفَعُ الْوَسْوَاسَ فَهُوَ أَيْضًا يَدْفَعُ فِتَنَ الشُّبُهَاتِ فَأَعْظَمُ مَا تُدْفَعُ بِهِ فِتَنُ الشُّبُهَاتِ الْعِلْمُ فَفِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ إِنَّمَا تَأْتِي مِنْ ضَعْفِ الْبَصِيرَةِ وَقِلَّةِ عِلْمٍ وَلِهَذَا تَجِدُ أَنَّ عَامَّةَ مَنْ يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ عِنْدَهُ قِلَّةُ بَصِيرَةٍ وَإِلَّا مَنْ عِنْدَهُ قُوَّةُ بَصِيرَةٍ وَقُوَّةُ عِلْمِيَّةٍ لَا يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ فِي الْغَالِبِ فَإِذًا الْعِلْمُ يُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ كَمَا أَنَّ الصَّبْرَ تُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ


Kisah ini juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar. Kisah tentang laki-laki ini, yaitu Ibnu Wahb, ulama terkenal. Beliau pada awal mulanya terpapar oleh waswas. Lalu beliau pergi mengeluhkan hal itu kepada gurunya. Kemudian gurunya menyarankannya untuk menuntut ilmu. Itulah yang menjadi sebab beliau menuntut ilmu, juga sebab hilangnya waswas. Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu hal terbesar yang dapat menghilangkan waswas. Hal itu karena seorang penuntut ilmu adalah orang yang arif terhadap urusannya dan mengetahui hal yang dapat menghalau waswas. Ia mengetahui bahwa waswas itu tidak mendatangkan masalah baginya. Sebagai contoh, jika waswas yang mendatanginya dalam hal bersuci apabila dia arif dalam hal ini dan menerapkan kaidah besar dalam fikih bahwa keyakinan tidak dapat gugur dengan keraguan serta meyakini keadaan sucinya, maka ia tidak akan menghiraukan waswas dan keraguan apakah dia sudah berhadas. Juga menerapkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah dia tidak membatalkan shalatnya, hingga mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Jadi kita dapati bahwa ilmu dapat membantu dalam mengusir rasa waswas. Oleh sebab itu, kamu dapati bahwa waswas tidak mendatangi penuntut ilmu. Kalaupun mendatanginya, itu hanya waswas yang ringan. Karena dia punya kearifan dan ilmu untuk menghalau waswas. Di antara hal lain yang dapat menghalau waswas juga adalah sikap abai; mengabaikan hal yang mendatangkan waswas tersebut. Karena jika dia berhenti memikirkannya, waswas itu akan melemah sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun, sebagian orang ketika didatangi rasa waswas, ia sibuk memikirkannya. Sehingga waswas itu terus bertambah, hingga menjadi waswas yang tidak dapat terkontrol. Sehingga dia tidak lagi dapat menguasai dirinya, dan justru dia dikuasai oleh nafsunya. Lalu sebagaimana ilmu itu dapat menghalau rasa waswas, ia juga dapat menghalau fitnah syubhat-syubhat. Hal terbesar untuk menghalau fitnah syubhat adalah ilmu. Karena fitnah syubhat itu datang karena lemahnya kearifan dan kurangnya ilmu. Oleh sebab itu, kamu temui bahwa mayoritas orang yang terjerumus ke dalam fitnah syubhat adalah orang yang kurang arif. Sedangkan orang yang punya kearifan dan keilmuan yang kuat, kebanyakan tidak akan terjerumus ke dalam fitnah syubhat. Jadi, ilmu itu dapat menghalau fitnah syubhat. Sebagaimana kesabaran dapat menghalau fitnah syahwat. ==== هَذِهِ هِيَ الْقِصَّةُ أَيْضًا ذَكَرَهَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي السِّيَرِ فِي قِصَّةِ هَذَا الرَّجُلِ ابْنُ وَهْبٍ الْعَالِمُ الْمَعْرُوفُ لَمَّا يَعْنِي فِي أَوَّلِ لَمَّا كَانَ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ عَرَضَتْ لَهُ وَسَاوِسُ فَذَهَبَ وَاشْتَكَى إِلَى شَيْخِهِ فَنَصَحَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ فَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِطَلَبِهِ الْعِلْمَ وَسَبَبًا لِزَوَالِ الْوَسَاوِسِ وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ وَذَلِكَ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَكُونُ بَصِيرًا بِأَمْرِهِ وَيَكُونُ عَارِفًا بِمَا يَدْفَعُ بِهِ الْوَسَاوِسَ وَأَنَّ هَذِهِ الْوَسَاوِسَ لَا تَضُرُّهُ فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ إِذَا تَبَصَّرَ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَعْمَلَ الْقَاعِدَةَ الْفِقْهِيَّةَ الْكُبْرَى الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ وَتَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ لَمْ يَلْتَفِتْ لِلْوَسَاوِسِ وَالشُّكُوكِ فِي كَوْنِهِ قَدْ أَحْدَثَ وَأَعْمَلَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا فَنَجِدُ أَنَّ الْعِلْمَ هُنَا مُعِيْنٌ عَلَى طَرْدِ الْوَسْوَاسِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْوَسْوَاسَ لَا يَأْتِيهِ طَالِبَ الْعِلْمِ وَإِذَا أَتَى طَالِبَ الْعِلْمِ يَأْتِي خَفِيفًا لِأَنَّ عِنْدَهُ بَصِيرَةً وَعِنْدَهُ عِلْمًا يَدْفَعُ بِهِ هَذَا الْوَسْوَاسَ وَمِمَّا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ كَذَلِكَ الْإِعْرَاضُ الْإِعْرَاضُ عَنْ هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ إِذَا قَطَعَ التَّفْكِيرُ فِيهِ يَبْدَأُ هَذَا الْوَسْوَاسُ يَضْعُفُ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى يَتَلَاشَى لَكِنْ يَعْنِي بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَأْتِيهِ الْوَسْوَاسُ يَبْدَأُ بِإِشْغَالِ نَفْسِهِ بِهِ فَيَزِيْدُ الْوَسْوَاسُ شَيْئًا فَشَيْئًا إِلَى أَنْ يُصْبِحَ وَسْوَاسًا قَهْرِيًّا فَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ بَلْ تَتَحَكَّمُ بِهِ نَفْسُهُ ثُمَّ أَيْضًا الْعِلْمُ كَمَا أَنَّهُ يَدْفَعُ الْوَسْوَاسَ فَهُوَ أَيْضًا يَدْفَعُ فِتَنَ الشُّبُهَاتِ فَأَعْظَمُ مَا تُدْفَعُ بِهِ فِتَنُ الشُّبُهَاتِ الْعِلْمُ فَفِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ إِنَّمَا تَأْتِي مِنْ ضَعْفِ الْبَصِيرَةِ وَقِلَّةِ عِلْمٍ وَلِهَذَا تَجِدُ أَنَّ عَامَّةَ مَنْ يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ عِنْدَهُ قِلَّةُ بَصِيرَةٍ وَإِلَّا مَنْ عِنْدَهُ قُوَّةُ بَصِيرَةٍ وَقُوَّةُ عِلْمِيَّةٍ لَا يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ فِي الْغَالِبِ فَإِذًا الْعِلْمُ يُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ كَمَا أَنَّ الصَّبْرَ تُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ

Mengenal Nama Allah “As-Salam”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “As-Salam“Kandungan makna nama Allah “As-Salam“Makna bahasa dari “As-Salam“Makna “As-Salam” dalam konteks AllahPertama: Selamat dari segala cacat dan kekuranganKedua: Memberi keselamatan kepada hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacatKedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surgaKetiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surgaKeempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan ilmu syar’i yang paling mulia, tujuan yang paling luhur dan paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia, karena berkaitan dengan Zat yang paling agung, yaitu Allah Azza Wajalla. Mengenal Allah, mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta memahami perbuatan-Nya adalah ilmu agama yang paling utama. Beribadah kepada-Nya dan menyebut-Nya dengan nama-nama yang indah adalah bentuk pujian tertinggi yang menjadi dasar ajaran tauhid dan inti dari agama yang dibawa oleh para nabi sejak Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [1] Di sini, kami akan menjelaskan secara singkat tentang salah satu nama Allah yang indah, yaitu As-Salam ( السلام ). Semoga Allah memudahkan kita untuk memahaminya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalil nama Allah “As-Salam“ Nama “As-Salam” disebutkan dalam Al-Qur’an sekali, yaitu dalam firman Allah Ta’ala, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sempurna (As-Salam), Yang Mengaruniakan keamanan …” (QS. Al-Hasyr: 23) Kandungan makna nama Allah “As-Salam“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “As-Salam” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “As-Salam“ Salam ( السلام ) dan salamah ( السلامة ) berarti ( البراءة ) terbebas/selamat (dari kekurangan dan bahaya), dan ketika seseorang mengatakan ‘salam‘ kepadanya, itu berarti dia terbebas (dari keburukannya). Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan bahwa as-salamah (السلامة) adalah (العافية) keselamatan. Firman Allah Ta’ala, وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَـٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَـٰمࣰا “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63) Maknanya adalah selamat dari keburukan. [2] Makna “As-Salam” dalam konteks Allah Makna nama “As-Salam” terkait dengan Allah Ta’ala mengacu pada dua makna utama: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan. Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, (السلام) أي: ذو السلامة من النقائص  “As-Salam berarti Zat yang memiliki keselamatan dari segala kekurangan.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Dinukil dari Ibnul ‘Arabi, beliau berkata, ‘Para ulama rahimahumullah sepakat bahwa makna “As-Salam” bagi Allah adalah berhubungan dengan keselamatan, namun mereka berbeda pendapat mengenai penjelasannya menjadi tiga pandangan: Pertama: Allah adalah Yang bebas (selamat) dari segala cacat dan bersih dari segala kekurangan. Kedua: Allah adalah Zat yang memberikan keselamatan, yaitu yang memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya di surga, sebagaimana firman Allah, سَلَـٰمࣱ قَوۡلࣰا مِّن رَّبࣲّ رَّحِیمࣲ ‘Salam (keselamatan) sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.‘ (QS. Yunus: 58) Ketiga: Allah adalah Yang makhluk terbebas dari kezaliman-Nya.'” [3] Makna ketiga merujuk pada makna pertama karena kezaliman adalah salah satu bentuk cacat dan kekurangan. Wallahu a’lam. Berikut ini penjelasan dari kedua makna tersebut: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “As-Salam berarti terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [4] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr menjelaskan, “Makna dari nama mulia ini adalah bahwa Allah terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Dia, Mahatinggi dan Mahamulia, adalah As-Salam yang hakiki dalam segala hal. Dia selamat dalam Zat-Nya dari segala cacat dan kekurangan yang dibayangkan oleh akal manusia. Dia selamat dalam sifat-Nya dari segala cacat dan kekurangan. Dia juga selamat dalam perbuatan-Nya dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, atau tindakan yang bertentangan dengan hikmah. Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, juga selamat dari memiliki istri dan anak, selamat dari memiliki tandingan, sepadan, atau setara, serta selamat dari segala partner dan sekutu. Nama ini mencakup seluruh sifat Allah, karena setiap sifat-Nya adalah keselamatan dari segala cacat dan kekurangan.” [5] Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Di antara makna yang ditunjukkan dari nama ini (As-Salam) adalah bahwa Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, merupakan Zat yang memiliki keselamatan, yakni Dia yang memberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberi keselamatan kepada para rasul dan nabi-Nya, selawat dan salam Allah atas mereka, karena keimanan mereka, kesempurnaan pengabdian mereka, dan pelaksanaan mereka terhadap risalah yang jelas. Allah Ta’ala berfirman, قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ وَسَلَـٰمٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ ٱلَّذِینَ ٱصۡطَفَىٰۤۗ ‘Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.’ ‘ (QS. An-Naml: 59) Dia juga berfirman, سَلَـٰمٌ عَلَىٰ نُوحࣲ فِی ٱلۡعَـٰلَمِینَ ‘Keselamatan atas Nuh di seluruh alam.‘ (QS. Ash-Shaffat: 79), dan semisalnya. Allah memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, تَحِیَّتُهُمۡ یَوۡمَ یَلۡقَوۡنَهُۥ سَلَـٰمࣱۚ وَأَعَدَّ لَهُمۡ أَجۡرࣰا كَرِیمࣰا ‘Salam penghormatan mereka pada hari mereka menemui-Nya adalah “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.‘ (QS. Al-Ahzab: 44). ” [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” Konsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hamba Penetapan nama “As-Salam” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacat Allah Ta’ala berfirman, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasempurna, Yang Memberi Keamanan.” (QS. Al-Hasyr: 23) Kedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga Allah Ta’ala berfirman, خَـٰلِدِینَ فِیهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡۖ تَحِیَّتُهُمۡ فِیهَا سَلَـٰمٌ “Mereka kekal di dalamnya dengan izin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka di dalamnya adalah ‘Salam’.” (QS. Ibrahim: 23) Allah Ta’ala menyapa hamba-hamba-Nya di surga dengan salam. Dan surga adalah tempat keselamatan dari kematian, penyakit, dan segala bencana. Allah Ta’ala berfirman, لَهُمۡ دَارُ ٱلسَّلَـٰمِ عِندَ رَبِّهِمۡۖ “Bagi mereka tempat keselamatan di sisi Tuhan mereka.” (QS. Al-An’am: 127) [7] Ketiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surga Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Allah Ta’ala menjadikan penyebaran salam di dunia sebagai sebab masuknya seseorang ke Darus Salam (surga) di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم ؟ أفشوا السلام بينكم ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai? (Yaitu), sebarkanlah salam di antara kalian’.” (HR. Muslim no. 54) [8] Keempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Hal ini disebutkan dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami biasa salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan, ‘As-salam atas Allah.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله هو السلام ولكن قولوا : التَّحيَّات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ‘Sesungguhnya Allah adalah As-Salam. Oleh karena itu, (janganlah kalian mengucapkannya, akan tetapi) ucapkanlah (doa tasyahhud, yang artinya), ‘Segala kehormatan, rahmat, dan kebaikan untuk Allah. Salam, rahmat, dan keberkahan atasmu, wahai Nabi. Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.‘ ” (Muttafaqun ‘Alaih, HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 56) [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaffar” *** 1 Rabiulawal 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah – Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fii Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 15. [2] Lihat Tafsir Asma’ul Husna oleh Az-Zajjaj, hal. 31. [3] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Qurthubi, 18: 46. [4] Tafsir Al-Quran Al-’Adzim oleh Ibnu Katsir, 8: 80. [5] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 219. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 221-222, dengan peringkasan. [7] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 222,  dan Al-Nahj Al-Asma, hal. 85-86. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 87. [9] idem. Tags: asmaul husna

Mengenal Nama Allah “As-Salam”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “As-Salam“Kandungan makna nama Allah “As-Salam“Makna bahasa dari “As-Salam“Makna “As-Salam” dalam konteks AllahPertama: Selamat dari segala cacat dan kekuranganKedua: Memberi keselamatan kepada hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacatKedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surgaKetiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surgaKeempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan ilmu syar’i yang paling mulia, tujuan yang paling luhur dan paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia, karena berkaitan dengan Zat yang paling agung, yaitu Allah Azza Wajalla. Mengenal Allah, mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta memahami perbuatan-Nya adalah ilmu agama yang paling utama. Beribadah kepada-Nya dan menyebut-Nya dengan nama-nama yang indah adalah bentuk pujian tertinggi yang menjadi dasar ajaran tauhid dan inti dari agama yang dibawa oleh para nabi sejak Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [1] Di sini, kami akan menjelaskan secara singkat tentang salah satu nama Allah yang indah, yaitu As-Salam ( السلام ). Semoga Allah memudahkan kita untuk memahaminya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalil nama Allah “As-Salam“ Nama “As-Salam” disebutkan dalam Al-Qur’an sekali, yaitu dalam firman Allah Ta’ala, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sempurna (As-Salam), Yang Mengaruniakan keamanan …” (QS. Al-Hasyr: 23) Kandungan makna nama Allah “As-Salam“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “As-Salam” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “As-Salam“ Salam ( السلام ) dan salamah ( السلامة ) berarti ( البراءة ) terbebas/selamat (dari kekurangan dan bahaya), dan ketika seseorang mengatakan ‘salam‘ kepadanya, itu berarti dia terbebas (dari keburukannya). Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan bahwa as-salamah (السلامة) adalah (العافية) keselamatan. Firman Allah Ta’ala, وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَـٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَـٰمࣰا “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63) Maknanya adalah selamat dari keburukan. [2] Makna “As-Salam” dalam konteks Allah Makna nama “As-Salam” terkait dengan Allah Ta’ala mengacu pada dua makna utama: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan. Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, (السلام) أي: ذو السلامة من النقائص  “As-Salam berarti Zat yang memiliki keselamatan dari segala kekurangan.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Dinukil dari Ibnul ‘Arabi, beliau berkata, ‘Para ulama rahimahumullah sepakat bahwa makna “As-Salam” bagi Allah adalah berhubungan dengan keselamatan, namun mereka berbeda pendapat mengenai penjelasannya menjadi tiga pandangan: Pertama: Allah adalah Yang bebas (selamat) dari segala cacat dan bersih dari segala kekurangan. Kedua: Allah adalah Zat yang memberikan keselamatan, yaitu yang memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya di surga, sebagaimana firman Allah, سَلَـٰمࣱ قَوۡلࣰا مِّن رَّبࣲّ رَّحِیمࣲ ‘Salam (keselamatan) sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.‘ (QS. Yunus: 58) Ketiga: Allah adalah Yang makhluk terbebas dari kezaliman-Nya.'” [3] Makna ketiga merujuk pada makna pertama karena kezaliman adalah salah satu bentuk cacat dan kekurangan. Wallahu a’lam. Berikut ini penjelasan dari kedua makna tersebut: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “As-Salam berarti terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [4] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr menjelaskan, “Makna dari nama mulia ini adalah bahwa Allah terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Dia, Mahatinggi dan Mahamulia, adalah As-Salam yang hakiki dalam segala hal. Dia selamat dalam Zat-Nya dari segala cacat dan kekurangan yang dibayangkan oleh akal manusia. Dia selamat dalam sifat-Nya dari segala cacat dan kekurangan. Dia juga selamat dalam perbuatan-Nya dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, atau tindakan yang bertentangan dengan hikmah. Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, juga selamat dari memiliki istri dan anak, selamat dari memiliki tandingan, sepadan, atau setara, serta selamat dari segala partner dan sekutu. Nama ini mencakup seluruh sifat Allah, karena setiap sifat-Nya adalah keselamatan dari segala cacat dan kekurangan.” [5] Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Di antara makna yang ditunjukkan dari nama ini (As-Salam) adalah bahwa Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, merupakan Zat yang memiliki keselamatan, yakni Dia yang memberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberi keselamatan kepada para rasul dan nabi-Nya, selawat dan salam Allah atas mereka, karena keimanan mereka, kesempurnaan pengabdian mereka, dan pelaksanaan mereka terhadap risalah yang jelas. Allah Ta’ala berfirman, قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ وَسَلَـٰمٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ ٱلَّذِینَ ٱصۡطَفَىٰۤۗ ‘Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.’ ‘ (QS. An-Naml: 59) Dia juga berfirman, سَلَـٰمٌ عَلَىٰ نُوحࣲ فِی ٱلۡعَـٰلَمِینَ ‘Keselamatan atas Nuh di seluruh alam.‘ (QS. Ash-Shaffat: 79), dan semisalnya. Allah memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, تَحِیَّتُهُمۡ یَوۡمَ یَلۡقَوۡنَهُۥ سَلَـٰمࣱۚ وَأَعَدَّ لَهُمۡ أَجۡرࣰا كَرِیمࣰا ‘Salam penghormatan mereka pada hari mereka menemui-Nya adalah “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.‘ (QS. Al-Ahzab: 44). ” [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” Konsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hamba Penetapan nama “As-Salam” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacat Allah Ta’ala berfirman, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasempurna, Yang Memberi Keamanan.” (QS. Al-Hasyr: 23) Kedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga Allah Ta’ala berfirman, خَـٰلِدِینَ فِیهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡۖ تَحِیَّتُهُمۡ فِیهَا سَلَـٰمٌ “Mereka kekal di dalamnya dengan izin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka di dalamnya adalah ‘Salam’.” (QS. Ibrahim: 23) Allah Ta’ala menyapa hamba-hamba-Nya di surga dengan salam. Dan surga adalah tempat keselamatan dari kematian, penyakit, dan segala bencana. Allah Ta’ala berfirman, لَهُمۡ دَارُ ٱلسَّلَـٰمِ عِندَ رَبِّهِمۡۖ “Bagi mereka tempat keselamatan di sisi Tuhan mereka.” (QS. Al-An’am: 127) [7] Ketiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surga Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Allah Ta’ala menjadikan penyebaran salam di dunia sebagai sebab masuknya seseorang ke Darus Salam (surga) di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم ؟ أفشوا السلام بينكم ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai? (Yaitu), sebarkanlah salam di antara kalian’.” (HR. Muslim no. 54) [8] Keempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Hal ini disebutkan dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami biasa salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan, ‘As-salam atas Allah.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله هو السلام ولكن قولوا : التَّحيَّات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ‘Sesungguhnya Allah adalah As-Salam. Oleh karena itu, (janganlah kalian mengucapkannya, akan tetapi) ucapkanlah (doa tasyahhud, yang artinya), ‘Segala kehormatan, rahmat, dan kebaikan untuk Allah. Salam, rahmat, dan keberkahan atasmu, wahai Nabi. Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.‘ ” (Muttafaqun ‘Alaih, HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 56) [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaffar” *** 1 Rabiulawal 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah – Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fii Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 15. [2] Lihat Tafsir Asma’ul Husna oleh Az-Zajjaj, hal. 31. [3] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Qurthubi, 18: 46. [4] Tafsir Al-Quran Al-’Adzim oleh Ibnu Katsir, 8: 80. [5] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 219. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 221-222, dengan peringkasan. [7] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 222,  dan Al-Nahj Al-Asma, hal. 85-86. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 87. [9] idem. Tags: asmaul husna
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “As-Salam“Kandungan makna nama Allah “As-Salam“Makna bahasa dari “As-Salam“Makna “As-Salam” dalam konteks AllahPertama: Selamat dari segala cacat dan kekuranganKedua: Memberi keselamatan kepada hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacatKedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surgaKetiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surgaKeempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan ilmu syar’i yang paling mulia, tujuan yang paling luhur dan paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia, karena berkaitan dengan Zat yang paling agung, yaitu Allah Azza Wajalla. Mengenal Allah, mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta memahami perbuatan-Nya adalah ilmu agama yang paling utama. Beribadah kepada-Nya dan menyebut-Nya dengan nama-nama yang indah adalah bentuk pujian tertinggi yang menjadi dasar ajaran tauhid dan inti dari agama yang dibawa oleh para nabi sejak Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [1] Di sini, kami akan menjelaskan secara singkat tentang salah satu nama Allah yang indah, yaitu As-Salam ( السلام ). Semoga Allah memudahkan kita untuk memahaminya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalil nama Allah “As-Salam“ Nama “As-Salam” disebutkan dalam Al-Qur’an sekali, yaitu dalam firman Allah Ta’ala, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sempurna (As-Salam), Yang Mengaruniakan keamanan …” (QS. Al-Hasyr: 23) Kandungan makna nama Allah “As-Salam“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “As-Salam” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “As-Salam“ Salam ( السلام ) dan salamah ( السلامة ) berarti ( البراءة ) terbebas/selamat (dari kekurangan dan bahaya), dan ketika seseorang mengatakan ‘salam‘ kepadanya, itu berarti dia terbebas (dari keburukannya). Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan bahwa as-salamah (السلامة) adalah (العافية) keselamatan. Firman Allah Ta’ala, وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَـٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَـٰمࣰا “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63) Maknanya adalah selamat dari keburukan. [2] Makna “As-Salam” dalam konteks Allah Makna nama “As-Salam” terkait dengan Allah Ta’ala mengacu pada dua makna utama: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan. Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, (السلام) أي: ذو السلامة من النقائص  “As-Salam berarti Zat yang memiliki keselamatan dari segala kekurangan.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Dinukil dari Ibnul ‘Arabi, beliau berkata, ‘Para ulama rahimahumullah sepakat bahwa makna “As-Salam” bagi Allah adalah berhubungan dengan keselamatan, namun mereka berbeda pendapat mengenai penjelasannya menjadi tiga pandangan: Pertama: Allah adalah Yang bebas (selamat) dari segala cacat dan bersih dari segala kekurangan. Kedua: Allah adalah Zat yang memberikan keselamatan, yaitu yang memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya di surga, sebagaimana firman Allah, سَلَـٰمࣱ قَوۡلࣰا مِّن رَّبࣲّ رَّحِیمࣲ ‘Salam (keselamatan) sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.‘ (QS. Yunus: 58) Ketiga: Allah adalah Yang makhluk terbebas dari kezaliman-Nya.'” [3] Makna ketiga merujuk pada makna pertama karena kezaliman adalah salah satu bentuk cacat dan kekurangan. Wallahu a’lam. Berikut ini penjelasan dari kedua makna tersebut: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “As-Salam berarti terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [4] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr menjelaskan, “Makna dari nama mulia ini adalah bahwa Allah terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Dia, Mahatinggi dan Mahamulia, adalah As-Salam yang hakiki dalam segala hal. Dia selamat dalam Zat-Nya dari segala cacat dan kekurangan yang dibayangkan oleh akal manusia. Dia selamat dalam sifat-Nya dari segala cacat dan kekurangan. Dia juga selamat dalam perbuatan-Nya dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, atau tindakan yang bertentangan dengan hikmah. Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, juga selamat dari memiliki istri dan anak, selamat dari memiliki tandingan, sepadan, atau setara, serta selamat dari segala partner dan sekutu. Nama ini mencakup seluruh sifat Allah, karena setiap sifat-Nya adalah keselamatan dari segala cacat dan kekurangan.” [5] Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Di antara makna yang ditunjukkan dari nama ini (As-Salam) adalah bahwa Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, merupakan Zat yang memiliki keselamatan, yakni Dia yang memberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberi keselamatan kepada para rasul dan nabi-Nya, selawat dan salam Allah atas mereka, karena keimanan mereka, kesempurnaan pengabdian mereka, dan pelaksanaan mereka terhadap risalah yang jelas. Allah Ta’ala berfirman, قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ وَسَلَـٰمٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ ٱلَّذِینَ ٱصۡطَفَىٰۤۗ ‘Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.’ ‘ (QS. An-Naml: 59) Dia juga berfirman, سَلَـٰمٌ عَلَىٰ نُوحࣲ فِی ٱلۡعَـٰلَمِینَ ‘Keselamatan atas Nuh di seluruh alam.‘ (QS. Ash-Shaffat: 79), dan semisalnya. Allah memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, تَحِیَّتُهُمۡ یَوۡمَ یَلۡقَوۡنَهُۥ سَلَـٰمࣱۚ وَأَعَدَّ لَهُمۡ أَجۡرࣰا كَرِیمࣰا ‘Salam penghormatan mereka pada hari mereka menemui-Nya adalah “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.‘ (QS. Al-Ahzab: 44). ” [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” Konsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hamba Penetapan nama “As-Salam” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacat Allah Ta’ala berfirman, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasempurna, Yang Memberi Keamanan.” (QS. Al-Hasyr: 23) Kedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga Allah Ta’ala berfirman, خَـٰلِدِینَ فِیهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡۖ تَحِیَّتُهُمۡ فِیهَا سَلَـٰمٌ “Mereka kekal di dalamnya dengan izin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka di dalamnya adalah ‘Salam’.” (QS. Ibrahim: 23) Allah Ta’ala menyapa hamba-hamba-Nya di surga dengan salam. Dan surga adalah tempat keselamatan dari kematian, penyakit, dan segala bencana. Allah Ta’ala berfirman, لَهُمۡ دَارُ ٱلسَّلَـٰمِ عِندَ رَبِّهِمۡۖ “Bagi mereka tempat keselamatan di sisi Tuhan mereka.” (QS. Al-An’am: 127) [7] Ketiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surga Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Allah Ta’ala menjadikan penyebaran salam di dunia sebagai sebab masuknya seseorang ke Darus Salam (surga) di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم ؟ أفشوا السلام بينكم ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai? (Yaitu), sebarkanlah salam di antara kalian’.” (HR. Muslim no. 54) [8] Keempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Hal ini disebutkan dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami biasa salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan, ‘As-salam atas Allah.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله هو السلام ولكن قولوا : التَّحيَّات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ‘Sesungguhnya Allah adalah As-Salam. Oleh karena itu, (janganlah kalian mengucapkannya, akan tetapi) ucapkanlah (doa tasyahhud, yang artinya), ‘Segala kehormatan, rahmat, dan kebaikan untuk Allah. Salam, rahmat, dan keberkahan atasmu, wahai Nabi. Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.‘ ” (Muttafaqun ‘Alaih, HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 56) [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaffar” *** 1 Rabiulawal 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah – Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fii Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 15. [2] Lihat Tafsir Asma’ul Husna oleh Az-Zajjaj, hal. 31. [3] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Qurthubi, 18: 46. [4] Tafsir Al-Quran Al-’Adzim oleh Ibnu Katsir, 8: 80. [5] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 219. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 221-222, dengan peringkasan. [7] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 222,  dan Al-Nahj Al-Asma, hal. 85-86. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 87. [9] idem. Tags: asmaul husna


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “As-Salam“Kandungan makna nama Allah “As-Salam“Makna bahasa dari “As-Salam“Makna “As-Salam” dalam konteks AllahPertama: Selamat dari segala cacat dan kekuranganKedua: Memberi keselamatan kepada hamba-NyaKonsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacatKedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surgaKetiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surgaKeempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan ilmu syar’i yang paling mulia, tujuan yang paling luhur dan paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia, karena berkaitan dengan Zat yang paling agung, yaitu Allah Azza Wajalla. Mengenal Allah, mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta memahami perbuatan-Nya adalah ilmu agama yang paling utama. Beribadah kepada-Nya dan menyebut-Nya dengan nama-nama yang indah adalah bentuk pujian tertinggi yang menjadi dasar ajaran tauhid dan inti dari agama yang dibawa oleh para nabi sejak Nabi Adam ‘alaihis salam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [1] Di sini, kami akan menjelaskan secara singkat tentang salah satu nama Allah yang indah, yaitu As-Salam ( السلام ). Semoga Allah memudahkan kita untuk memahaminya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalil nama Allah “As-Salam“ Nama “As-Salam” disebutkan dalam Al-Qur’an sekali, yaitu dalam firman Allah Ta’ala, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sempurna (As-Salam), Yang Mengaruniakan keamanan …” (QS. Al-Hasyr: 23) Kandungan makna nama Allah “As-Salam“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “As-Salam” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “As-Salam“ Salam ( السلام ) dan salamah ( السلامة ) berarti ( البراءة ) terbebas/selamat (dari kekurangan dan bahaya), dan ketika seseorang mengatakan ‘salam‘ kepadanya, itu berarti dia terbebas (dari keburukannya). Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan bahwa as-salamah (السلامة) adalah (العافية) keselamatan. Firman Allah Ta’ala, وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَـٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَـٰمࣰا “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63) Maknanya adalah selamat dari keburukan. [2] Makna “As-Salam” dalam konteks Allah Makna nama “As-Salam” terkait dengan Allah Ta’ala mengacu pada dua makna utama: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan. Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, (السلام) أي: ذو السلامة من النقائص  “As-Salam berarti Zat yang memiliki keselamatan dari segala kekurangan.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Dinukil dari Ibnul ‘Arabi, beliau berkata, ‘Para ulama rahimahumullah sepakat bahwa makna “As-Salam” bagi Allah adalah berhubungan dengan keselamatan, namun mereka berbeda pendapat mengenai penjelasannya menjadi tiga pandangan: Pertama: Allah adalah Yang bebas (selamat) dari segala cacat dan bersih dari segala kekurangan. Kedua: Allah adalah Zat yang memberikan keselamatan, yaitu yang memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya di surga, sebagaimana firman Allah, سَلَـٰمࣱ قَوۡلࣰا مِّن رَّبࣲّ رَّحِیمࣲ ‘Salam (keselamatan) sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.‘ (QS. Yunus: 58) Ketiga: Allah adalah Yang makhluk terbebas dari kezaliman-Nya.'” [3] Makna ketiga merujuk pada makna pertama karena kezaliman adalah salah satu bentuk cacat dan kekurangan. Wallahu a’lam. Berikut ini penjelasan dari kedua makna tersebut: Pertama: Selamat dari segala cacat dan kekurangan Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “As-Salam berarti terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [4] Syekh Abdul Razzaq Al-Badr menjelaskan, “Makna dari nama mulia ini adalah bahwa Allah terbebas dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Dia, Mahatinggi dan Mahamulia, adalah As-Salam yang hakiki dalam segala hal. Dia selamat dalam Zat-Nya dari segala cacat dan kekurangan yang dibayangkan oleh akal manusia. Dia selamat dalam sifat-Nya dari segala cacat dan kekurangan. Dia juga selamat dalam perbuatan-Nya dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, atau tindakan yang bertentangan dengan hikmah. Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, juga selamat dari memiliki istri dan anak, selamat dari memiliki tandingan, sepadan, atau setara, serta selamat dari segala partner dan sekutu. Nama ini mencakup seluruh sifat Allah, karena setiap sifat-Nya adalah keselamatan dari segala cacat dan kekurangan.” [5] Kedua: Memberi keselamatan kepada hamba-Nya Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Di antara makna yang ditunjukkan dari nama ini (As-Salam) adalah bahwa Allah, Mahasuci dan Mahatinggi, merupakan Zat yang memiliki keselamatan, yakni Dia yang memberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberi keselamatan kepada para rasul dan nabi-Nya, selawat dan salam Allah atas mereka, karena keimanan mereka, kesempurnaan pengabdian mereka, dan pelaksanaan mereka terhadap risalah yang jelas. Allah Ta’ala berfirman, قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ وَسَلَـٰمٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ ٱلَّذِینَ ٱصۡطَفَىٰۤۗ ‘Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan keselamatan atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.’ ‘ (QS. An-Naml: 59) Dia juga berfirman, سَلَـٰمٌ عَلَىٰ نُوحࣲ فِی ٱلۡعَـٰلَمِینَ ‘Keselamatan atas Nuh di seluruh alam.‘ (QS. Ash-Shaffat: 79), dan semisalnya. Allah memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, تَحِیَّتُهُمۡ یَوۡمَ یَلۡقَوۡنَهُۥ سَلَـٰمࣱۚ وَأَعَدَّ لَهُمۡ أَجۡرࣰا كَرِیمࣰا ‘Salam penghormatan mereka pada hari mereka menemui-Nya adalah “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.‘ (QS. Al-Ahzab: 44). ” [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakim” Konsekuensi dari nama Allah “As-Salam” bagi hamba Penetapan nama “As-Salam” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah Yang Mahasempurna, bebas (selamat) dari segala kekurangan, penyakit, dan cacat Allah Ta’ala berfirman, ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلۡمُؤۡمِنُ “Dialah Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasempurna, Yang Memberi Keamanan.” (QS. Al-Hasyr: 23) Kedua: Seorang hamba harus meyakini bahwa Allah adalah pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan wali-wali-Nya di surga Allah Ta’ala berfirman, خَـٰلِدِینَ فِیهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡۖ تَحِیَّتُهُمۡ فِیهَا سَلَـٰمٌ “Mereka kekal di dalamnya dengan izin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka di dalamnya adalah ‘Salam’.” (QS. Ibrahim: 23) Allah Ta’ala menyapa hamba-hamba-Nya di surga dengan salam. Dan surga adalah tempat keselamatan dari kematian, penyakit, dan segala bencana. Allah Ta’ala berfirman, لَهُمۡ دَارُ ٱلسَّلَـٰمِ عِندَ رَبِّهِمۡۖ “Bagi mereka tempat keselamatan di sisi Tuhan mereka.” (QS. Al-An’am: 127) [7] Ketiga: Seorang hamba hendaknya banyak mengucapkan nama ini (As-Salam), karena hal ini adalah sebab masuk surga Syekh Abdul Razzaq Al-Badr berkata, “Allah Ta’ala menjadikan penyebaran salam di dunia sebagai sebab masuknya seseorang ke Darus Salam (surga) di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم ؟ أفشوا السلام بينكم ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai? (Yaitu), sebarkanlah salam di antara kalian’.” (HR. Muslim no. 54) [8] Keempat: Tidak boleh mengatakan: “As-salam atas Allah.” ( السلام على الله ) Hal ini disebutkan dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami biasa salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan, ‘As-salam atas Allah.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن الله هو السلام ولكن قولوا : التَّحيَّات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته، السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ‘Sesungguhnya Allah adalah As-Salam. Oleh karena itu, (janganlah kalian mengucapkannya, akan tetapi) ucapkanlah (doa tasyahhud, yang artinya), ‘Segala kehormatan, rahmat, dan kebaikan untuk Allah. Salam, rahmat, dan keberkahan atasmu, wahai Nabi. Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.‘ ” (Muttafaqun ‘Alaih, HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 56) [9] Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaffar” *** 1 Rabiulawal 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Fiqhul Asma’il Husna, Abdur Razzaq Al-Badr, Dar ‘Alamiyah – Mesir, cet. ke-1, 2015 M. An-Nahjul Asma’ fii Syarhil Asma’il Husna, Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Imam Dzahabi – Kuwait, cet. ke-8, 2020 M.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna oleh Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 15. [2] Lihat Tafsir Asma’ul Husna oleh Az-Zajjaj, hal. 31. [3] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Qurthubi, 18: 46. [4] Tafsir Al-Quran Al-’Adzim oleh Ibnu Katsir, 8: 80. [5] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 219. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 221-222, dengan peringkasan. [7] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 222,  dan Al-Nahj Al-Asma, hal. 85-86. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 87. [9] idem. Tags: asmaul husna

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 14): I’rab Al-Asma’ As-Sittah

Daftar Isi Toggle I’rab dengan tanda cabangPertama, Al-Asma’ As-SittahContoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshubContoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur I’rab dengan tanda cabang Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Ibnu Hisyam mengatakan,  إِلَّا الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ, وَهِيَ أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ, فَتَرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَتُنْصَبُ بِاْلَأَلِفِ, وَتُجَرُّ بِالْيَاءِ, وَالْأَفْصَاحُ اسْتِعْمَالُ هَنٍ كَغَدٍ  “Kecuali Al-Asma’ As-Sittah. Al-Asma’ As-Sittah adalah: أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ “Al-Asma’ As-Sittah memiliki bentuk marfu’ dengan huruf wau, manshub dengan huruf alif, majrur dengan huruf ya. Namun, kata هَنٌ marfu’ dengan harakat damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah, sama seperti i’rab pada kata غَد yang berarti besok.”   Penulis memulai pembahasan tentang jenis i’rab yang kedua, yaitu i’rab dengan tanda cabang. I’rab dengan tanda cabang berlaku pada tujuh jenis isim, yaitu: Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Kedua, Mutsanna Ketiga, Jama’ Mudzakkar Salim Keempat, Jama’ Muannats Salim Kelima, Ma La Yansharif Keenam, Al-Amtsilah Al-Khamsah Ketujuh, Fi’il Mudhari’ Mu’tal Akhir Kata الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ dalam bait di atas berkedudukan manshub dengan tanda fathah karena sebagai mutsatsna. Hal ini juga berlaku untuk kata-kata yang di-athaf-kan kepada Al-Asma’ As-Sittah, seperti mutsanna, dan seterusnya. Ibnu Hisyam memulai pembahasan dari Al-Asma’ As-Sittah. Menurut pendapat yang masyhur, Al-Asma’ As-Sittah disebut juga Al-Asma’ Al-Khamsah. Tambahan satu isim tersebut adalah kata هَنٌ. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat, tidak memasukan kata هَنٌ dalam Al-Asma’ Al-Khamsah karena  i’rab kata tersebut berbeda dengan kata-kata lainnya. Kata هَنٌ mengalami perubahan i’rab dengan tanda harakat. Yaitu, marfu’ dengan tanda damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah. Sedangkan Al-Asma’ Al-Khamsah mengalami perubahan i’rab dengan tanda huruf, yaitu marfu’ dengan huruf wau sebagai ganti tanda damah, manshub dengan huruf alif sebagai pengganti tanda fathah, dan majrur dengan huruf ya sebagai pengganti dari tanda kasrah. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’ Contoh isim tersebut yang marfu’ dalam firman Allah adalah: وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ “Bapak kami adalah seorang yang sangat tua.” (QS. Al-Qashas: 23) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أَبُو berkedudukan sebagai mubtada’ yang marfu’ karena berada di awal kalimat (ibtida’). Tanda rafa’ pada kata tersebut adalah huruf wau sebagai pengganti tanda utama rafa’ yaitu damah dan kata tersebut juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, dhamir na fa’il yang muncul setelah kata أَبُو berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, kata شَيْخٌ sebagai khabar dari mubtada’ marfu’ karena adanya mubtada’. Keempat, kata كَبِيْرٌ berkedudukan sebagai sifat. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub dalam firman Allah adalah: اَلَمْ تَعْلَمُوْٓا اَنَّ اَبَاكُمْ قَدْ اَخَذَ عَلَيْكُمْ مَّوْثِقًا مِّنَ اللّٰهِ “Apakah kamu tidak tahu bahwa ayahmu telah mengambil sumpah atas nama Allah dari kalian.” (QS. Yusuf: 80) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata اَبَا sebagai isim dari kata اَنَّ berkedudukan manshub dengan tanda alif. Tanda alif ini menggantikan tanda utama isim manshub berupa tanda fathah karena kata tersebut termasuk dalam Al-Asma’ As-Sittah. Kata ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata اَبَا berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf tersebut adalah tanda jama’. Keempat, jumlah قَدْ اَخَذَ berkedudukan sebagai khabar dari kata اَنَّ. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur dalam firman Allah adalah: اِرْجِعُوْٓا اِلٰٓى اَبِيْكُمْ “Kembalilah kepada Ayah kalian.” (QS. Yusuf: 81) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أبِي dalam kutipan ayat di atas majrur karena didahului oleh huruf jer اِلٰٓى. Tanda majrur pada kata أبِي adalah huruf ya yang menggantikan tanda kasrah sebagai tanda utama isim majrur. Kata أبِي  majrur dengan tanda ya karena kata tersebut termasuk pada Al-Asma’ As-Sittah. Kata أبِي ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata أبِي berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf  adalah tanda jama’. [Bersambung] Kembali ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 14): I’rab Al-Asma’ As-Sittah

Daftar Isi Toggle I’rab dengan tanda cabangPertama, Al-Asma’ As-SittahContoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshubContoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur I’rab dengan tanda cabang Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Ibnu Hisyam mengatakan,  إِلَّا الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ, وَهِيَ أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ, فَتَرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَتُنْصَبُ بِاْلَأَلِفِ, وَتُجَرُّ بِالْيَاءِ, وَالْأَفْصَاحُ اسْتِعْمَالُ هَنٍ كَغَدٍ  “Kecuali Al-Asma’ As-Sittah. Al-Asma’ As-Sittah adalah: أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ “Al-Asma’ As-Sittah memiliki bentuk marfu’ dengan huruf wau, manshub dengan huruf alif, majrur dengan huruf ya. Namun, kata هَنٌ marfu’ dengan harakat damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah, sama seperti i’rab pada kata غَد yang berarti besok.”   Penulis memulai pembahasan tentang jenis i’rab yang kedua, yaitu i’rab dengan tanda cabang. I’rab dengan tanda cabang berlaku pada tujuh jenis isim, yaitu: Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Kedua, Mutsanna Ketiga, Jama’ Mudzakkar Salim Keempat, Jama’ Muannats Salim Kelima, Ma La Yansharif Keenam, Al-Amtsilah Al-Khamsah Ketujuh, Fi’il Mudhari’ Mu’tal Akhir Kata الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ dalam bait di atas berkedudukan manshub dengan tanda fathah karena sebagai mutsatsna. Hal ini juga berlaku untuk kata-kata yang di-athaf-kan kepada Al-Asma’ As-Sittah, seperti mutsanna, dan seterusnya. Ibnu Hisyam memulai pembahasan dari Al-Asma’ As-Sittah. Menurut pendapat yang masyhur, Al-Asma’ As-Sittah disebut juga Al-Asma’ Al-Khamsah. Tambahan satu isim tersebut adalah kata هَنٌ. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat, tidak memasukan kata هَنٌ dalam Al-Asma’ Al-Khamsah karena  i’rab kata tersebut berbeda dengan kata-kata lainnya. Kata هَنٌ mengalami perubahan i’rab dengan tanda harakat. Yaitu, marfu’ dengan tanda damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah. Sedangkan Al-Asma’ Al-Khamsah mengalami perubahan i’rab dengan tanda huruf, yaitu marfu’ dengan huruf wau sebagai ganti tanda damah, manshub dengan huruf alif sebagai pengganti tanda fathah, dan majrur dengan huruf ya sebagai pengganti dari tanda kasrah. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’ Contoh isim tersebut yang marfu’ dalam firman Allah adalah: وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ “Bapak kami adalah seorang yang sangat tua.” (QS. Al-Qashas: 23) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أَبُو berkedudukan sebagai mubtada’ yang marfu’ karena berada di awal kalimat (ibtida’). Tanda rafa’ pada kata tersebut adalah huruf wau sebagai pengganti tanda utama rafa’ yaitu damah dan kata tersebut juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, dhamir na fa’il yang muncul setelah kata أَبُو berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, kata شَيْخٌ sebagai khabar dari mubtada’ marfu’ karena adanya mubtada’. Keempat, kata كَبِيْرٌ berkedudukan sebagai sifat. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub dalam firman Allah adalah: اَلَمْ تَعْلَمُوْٓا اَنَّ اَبَاكُمْ قَدْ اَخَذَ عَلَيْكُمْ مَّوْثِقًا مِّنَ اللّٰهِ “Apakah kamu tidak tahu bahwa ayahmu telah mengambil sumpah atas nama Allah dari kalian.” (QS. Yusuf: 80) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata اَبَا sebagai isim dari kata اَنَّ berkedudukan manshub dengan tanda alif. Tanda alif ini menggantikan tanda utama isim manshub berupa tanda fathah karena kata tersebut termasuk dalam Al-Asma’ As-Sittah. Kata ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata اَبَا berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf tersebut adalah tanda jama’. Keempat, jumlah قَدْ اَخَذَ berkedudukan sebagai khabar dari kata اَنَّ. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur dalam firman Allah adalah: اِرْجِعُوْٓا اِلٰٓى اَبِيْكُمْ “Kembalilah kepada Ayah kalian.” (QS. Yusuf: 81) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أبِي dalam kutipan ayat di atas majrur karena didahului oleh huruf jer اِلٰٓى. Tanda majrur pada kata أبِي adalah huruf ya yang menggantikan tanda kasrah sebagai tanda utama isim majrur. Kata أبِي  majrur dengan tanda ya karena kata tersebut termasuk pada Al-Asma’ As-Sittah. Kata أبِي ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata أبِي berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf  adalah tanda jama’. [Bersambung] Kembali ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle I’rab dengan tanda cabangPertama, Al-Asma’ As-SittahContoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshubContoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur I’rab dengan tanda cabang Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Ibnu Hisyam mengatakan,  إِلَّا الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ, وَهِيَ أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ, فَتَرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَتُنْصَبُ بِاْلَأَلِفِ, وَتُجَرُّ بِالْيَاءِ, وَالْأَفْصَاحُ اسْتِعْمَالُ هَنٍ كَغَدٍ  “Kecuali Al-Asma’ As-Sittah. Al-Asma’ As-Sittah adalah: أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ “Al-Asma’ As-Sittah memiliki bentuk marfu’ dengan huruf wau, manshub dengan huruf alif, majrur dengan huruf ya. Namun, kata هَنٌ marfu’ dengan harakat damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah, sama seperti i’rab pada kata غَد yang berarti besok.”   Penulis memulai pembahasan tentang jenis i’rab yang kedua, yaitu i’rab dengan tanda cabang. I’rab dengan tanda cabang berlaku pada tujuh jenis isim, yaitu: Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Kedua, Mutsanna Ketiga, Jama’ Mudzakkar Salim Keempat, Jama’ Muannats Salim Kelima, Ma La Yansharif Keenam, Al-Amtsilah Al-Khamsah Ketujuh, Fi’il Mudhari’ Mu’tal Akhir Kata الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ dalam bait di atas berkedudukan manshub dengan tanda fathah karena sebagai mutsatsna. Hal ini juga berlaku untuk kata-kata yang di-athaf-kan kepada Al-Asma’ As-Sittah, seperti mutsanna, dan seterusnya. Ibnu Hisyam memulai pembahasan dari Al-Asma’ As-Sittah. Menurut pendapat yang masyhur, Al-Asma’ As-Sittah disebut juga Al-Asma’ Al-Khamsah. Tambahan satu isim tersebut adalah kata هَنٌ. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat, tidak memasukan kata هَنٌ dalam Al-Asma’ Al-Khamsah karena  i’rab kata tersebut berbeda dengan kata-kata lainnya. Kata هَنٌ mengalami perubahan i’rab dengan tanda harakat. Yaitu, marfu’ dengan tanda damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah. Sedangkan Al-Asma’ Al-Khamsah mengalami perubahan i’rab dengan tanda huruf, yaitu marfu’ dengan huruf wau sebagai ganti tanda damah, manshub dengan huruf alif sebagai pengganti tanda fathah, dan majrur dengan huruf ya sebagai pengganti dari tanda kasrah. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’ Contoh isim tersebut yang marfu’ dalam firman Allah adalah: وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ “Bapak kami adalah seorang yang sangat tua.” (QS. Al-Qashas: 23) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أَبُو berkedudukan sebagai mubtada’ yang marfu’ karena berada di awal kalimat (ibtida’). Tanda rafa’ pada kata tersebut adalah huruf wau sebagai pengganti tanda utama rafa’ yaitu damah dan kata tersebut juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, dhamir na fa’il yang muncul setelah kata أَبُو berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, kata شَيْخٌ sebagai khabar dari mubtada’ marfu’ karena adanya mubtada’. Keempat, kata كَبِيْرٌ berkedudukan sebagai sifat. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub dalam firman Allah adalah: اَلَمْ تَعْلَمُوْٓا اَنَّ اَبَاكُمْ قَدْ اَخَذَ عَلَيْكُمْ مَّوْثِقًا مِّنَ اللّٰهِ “Apakah kamu tidak tahu bahwa ayahmu telah mengambil sumpah atas nama Allah dari kalian.” (QS. Yusuf: 80) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata اَبَا sebagai isim dari kata اَنَّ berkedudukan manshub dengan tanda alif. Tanda alif ini menggantikan tanda utama isim manshub berupa tanda fathah karena kata tersebut termasuk dalam Al-Asma’ As-Sittah. Kata ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata اَبَا berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf tersebut adalah tanda jama’. Keempat, jumlah قَدْ اَخَذَ berkedudukan sebagai khabar dari kata اَنَّ. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur dalam firman Allah adalah: اِرْجِعُوْٓا اِلٰٓى اَبِيْكُمْ “Kembalilah kepada Ayah kalian.” (QS. Yusuf: 81) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أبِي dalam kutipan ayat di atas majrur karena didahului oleh huruf jer اِلٰٓى. Tanda majrur pada kata أبِي adalah huruf ya yang menggantikan tanda kasrah sebagai tanda utama isim majrur. Kata أبِي  majrur dengan tanda ya karena kata tersebut termasuk pada Al-Asma’ As-Sittah. Kata أبِي ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata أبِي berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf  adalah tanda jama’. [Bersambung] Kembali ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle I’rab dengan tanda cabangPertama, Al-Asma’ As-SittahContoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshubContoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur I’rab dengan tanda cabang Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Ibnu Hisyam mengatakan,  إِلَّا الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ, وَهِيَ أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ, فَتَرْفَعُ بِالْوَاوِ, وَتُنْصَبُ بِاْلَأَلِفِ, وَتُجَرُّ بِالْيَاءِ, وَالْأَفْصَاحُ اسْتِعْمَالُ هَنٍ كَغَدٍ  “Kecuali Al-Asma’ As-Sittah. Al-Asma’ As-Sittah adalah: أَبُوْهُ, وَأَخُوْهُ, وَهَمُوْهَا, وَهَنُوْهُ, وَفُوْهُ, وَذُوْمَالٍ “Al-Asma’ As-Sittah memiliki bentuk marfu’ dengan huruf wau, manshub dengan huruf alif, majrur dengan huruf ya. Namun, kata هَنٌ marfu’ dengan harakat damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah, sama seperti i’rab pada kata غَد yang berarti besok.”   Penulis memulai pembahasan tentang jenis i’rab yang kedua, yaitu i’rab dengan tanda cabang. I’rab dengan tanda cabang berlaku pada tujuh jenis isim, yaitu: Pertama, Al-Asma’ As-Sittah Kedua, Mutsanna Ketiga, Jama’ Mudzakkar Salim Keempat, Jama’ Muannats Salim Kelima, Ma La Yansharif Keenam, Al-Amtsilah Al-Khamsah Ketujuh, Fi’il Mudhari’ Mu’tal Akhir Kata الْأَسْمَاءَ السِّتَّةُ dalam bait di atas berkedudukan manshub dengan tanda fathah karena sebagai mutsatsna. Hal ini juga berlaku untuk kata-kata yang di-athaf-kan kepada Al-Asma’ As-Sittah, seperti mutsanna, dan seterusnya. Ibnu Hisyam memulai pembahasan dari Al-Asma’ As-Sittah. Menurut pendapat yang masyhur, Al-Asma’ As-Sittah disebut juga Al-Asma’ Al-Khamsah. Tambahan satu isim tersebut adalah kata هَنٌ. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat, tidak memasukan kata هَنٌ dalam Al-Asma’ Al-Khamsah karena  i’rab kata tersebut berbeda dengan kata-kata lainnya. Kata هَنٌ mengalami perubahan i’rab dengan tanda harakat. Yaitu, marfu’ dengan tanda damah, manshub dengan tanda fathah, dan majrur dengan tanda kasrah. Sedangkan Al-Asma’ Al-Khamsah mengalami perubahan i’rab dengan tanda huruf, yaitu marfu’ dengan huruf wau sebagai ganti tanda damah, manshub dengan huruf alif sebagai pengganti tanda fathah, dan majrur dengan huruf ya sebagai pengganti dari tanda kasrah. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang marfu’ Contoh isim tersebut yang marfu’ dalam firman Allah adalah: وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ “Bapak kami adalah seorang yang sangat tua.” (QS. Al-Qashas: 23) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أَبُو berkedudukan sebagai mubtada’ yang marfu’ karena berada di awal kalimat (ibtida’). Tanda rafa’ pada kata tersebut adalah huruf wau sebagai pengganti tanda utama rafa’ yaitu damah dan kata tersebut juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, dhamir na fa’il yang muncul setelah kata أَبُو berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, kata شَيْخٌ sebagai khabar dari mubtada’ marfu’ karena adanya mubtada’. Keempat, kata كَبِيْرٌ berkedudukan sebagai sifat. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang manshub dalam firman Allah adalah: اَلَمْ تَعْلَمُوْٓا اَنَّ اَبَاكُمْ قَدْ اَخَذَ عَلَيْكُمْ مَّوْثِقًا مِّنَ اللّٰهِ “Apakah kamu tidak tahu bahwa ayahmu telah mengambil sumpah atas nama Allah dari kalian.” (QS. Yusuf: 80) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata اَبَا sebagai isim dari kata اَنَّ berkedudukan manshub dengan tanda alif. Tanda alif ini menggantikan tanda utama isim manshub berupa tanda fathah karena kata tersebut termasuk dalam Al-Asma’ As-Sittah. Kata ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata اَبَا berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf tersebut adalah tanda jama’. Keempat, jumlah قَدْ اَخَذَ berkedudukan sebagai khabar dari kata اَنَّ. Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur Contoh Al-Asma’ As-Sittah yang majrur dalam firman Allah adalah: اِرْجِعُوْٓا اِلٰٓى اَبِيْكُمْ “Kembalilah kepada Ayah kalian.” (QS. Yusuf: 81) I’rab dari kutipan ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, kata أبِي dalam kutipan ayat di atas majrur karena didahului oleh huruf jer اِلٰٓى. Tanda majrur pada kata أبِي adalah huruf ya yang menggantikan tanda kasrah sebagai tanda utama isim majrur. Kata أبِي  majrur dengan tanda ya karena kata tersebut termasuk pada Al-Asma’ As-Sittah. Kata أبِي ini juga berkedudukan sebagai mudhaf. Kedua, huruf kaf yang terletak setelah kata أبِي berkedudukan sebagai mudhaf ilaih berada dalam kedudukan isim majrur. Ketiga, huruf mim yang terletak setelah huruf kaf  adalah tanda jama’. [Bersambung] Kembali ke bagian 13 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 13): Macam-Macam I’rab dan Tandanya

Daftar Isi Toggle Macam-macam i’rabJenis-jenis i’rabTanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam mengatakan, (فَصْلٌ) أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ: رَفْعٌ وَنَصْبٌ فِي اسْمٍ وَفِعْلٍ. نَحْوُ: زَيْدٌ يَقُوْمُ, وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ, وَجَرُّ فِي اسْمٍ, وَنَحْوُ بِزَيْدٍ, وَجَزْمُ فِي فِعْلٍ, نَحْوُ: لَمْ يَقُمْ, فَيُرْفَعُ بِضَمًّةٍ, وَيُنْصَبُ بِفَتْحَةٍ, وَيُجَرُّ بِكَسْرَةٍ, وَيُجْزَمُ بِحَذْفِ حَرَكَةٍ “Macam-macam i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. I’rab rafa’ dan nashab terdapat pada isim dan fi’il. Contohnya adalah: زَيْدٌ يَقُوْمُ “Zaid sedang berdiri.” وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ “Sungguh Zaid tidak akan berdiri.” Adapun i’rab jer hanya ada pada isim. Contohnya adalah: بِزَيْدٍ “Dengan Zaid” Adapun i’rab jazm hanya ada pada fi’il. Contohnya adalah: لَمْ يَقُمْ “Dia tidak berdiri.” Tanda utama dari masing-masing i’rab tersebut adalah: rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda menghapus harakat (sukun).” Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan فَصْلٌ (faslun). Faslun adalah bagian atau bab yang berdiri sendiri dan terpisah dari bab lainya. Faslun tersebut mencakup berbagai pembahasan. Sedangkan bab mencakup beberapa faslun dan memiliki cakupan yang lebih luas. Istilah bab digunakan untuk merujuk pada bagian yang mencakup berbagai faslun dan masa’il. Adapun perkataan Ibnu Hisyam tentang أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ anwa’ul i’rab (macam-macam i’rab ada empat), maksudnya adalah pengaruh atau efek yang zhahir (konkrit) maupun muqaddar (abstrak) disebabkan karena adanya ‘amil. Perubahan tersebut terlihat pada akhir sebuah kata. Atsar (perubahan) adalah perubahan harakat, yaitu bisa berupa dhammah, fathah, kasrah, atau menghapus harakat (sukun). Selain itu, terdapat perubahan-perubahan lain yang merupakan perubahan cabang yang akan dibahas lebih lanjut. Macam-macam i’rab Pertama, i’rab zhahir (konkrit). I’rab zhahir adalah hukum asal dari i’rab. Contohnya di dalam kalimat adalah: يَفُوْزُ المُؤْمِنُ بِثَوَابِ اللهِ “Orang yang beriman itu sukses mendapatkan pahala dari Allah.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata يَفُوْزُ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Kedua, kata المُؤْمِنُ adalah fa’il marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Ketiga, kata ثَوَاب adalah isim majrur dengan tanda kasrah zhahir (konkrit). Kedua, i’rab taqdiry (abstrak). Contohnya di dalam kalimat adalah: الفَوْضَى مُفْسِدَةٌ لِلْأَعْمَالِ “Keadaan yang tidak teratur akan merusak amal.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata الفَوْضَى mubtada yang marfu’ dengan tanda dhammah muqaddar (abstrak) pada huruf alif yang terletak di akhir kata tersebut. Harakat tidak muncul pada huruf alif tersebut dikarenakan ada faktor yang menghalangi harakat tersebut untuk muncul, yaitu udzur (kemustahilan/ketidakmungkinan). Alif tersebut tidak bisa diberi harakat. Kedua, kata مُفْسِدَةٌ berkedudukan sebagai khabar dan akan disampaikan pembahasannya pada bab tersendiri, insyaAllah. Jenis-jenis i’rab Jenis-jenis i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. Isim dan fi’il masing-masing memiliki tiga dari empat i’rab tersebut. Jenis-jenis i’rab yang dimiliki oleh isim dan fi’il ada tiga, yaitu : Pertama, i’rab yang sama-sama terdapat pada isim dan fi’il (fi’il mudhari’). Yaitu, rafa’ dan nashab. Contohnya di dalam kalimat adalah: إِنَّ المِؤْمِنَ لَنْ يَخُوْنَ  “Sesungguhnya orang mukmin tidak akan berkhianat.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata المِؤْمِنَ  pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai isim inna. Kedua, kata يَخُوْنَ pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah dikarenakan didahului oleh huruf  لَنْ (tidak akan). الْعَاقِلُ يُطِيْعُ أُمَّهُ “Orang yang cerdas akan mentaati ibunya.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata الْعَاقِل marfu’ dengan tanda dhammah berkedudukan sebagai mubtada. Kedua, kata أُمَّ manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai objek. Kedua, i’rab yang hanya terdapat pada isim yaitu jer. Contohnya di dalam kalimat adalah: نَظَرْتُ إِلَى الكَعْبَةِ “Aku melihat ka’bah.” I’rab jer yang terdapat pada kata di atas adalah kata الكَعْبَة. Kata tersebut majrur dengan tanda kasrah. Ketiga, i’rab yang hanya terdapat pada fi’il adalah jazm. Contohnya di dalam kalimat adalah: لَمْ يَحْضُرْ أَحَدٌ “Tidak ada seorang pun yang datang.” I’rab jazm yang terdapat pada kalimat di atas adalah kata يَحْضُر jazm dengan tanda sukun. Tanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan “rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda hazf  harakat (sukun).” Maksud dari kata di atas adalah keempat jenis i’rab tersebut memiliki tanda. Tanda tersebut ada 2 macam: tanda utama dan tanda cabang. Adapun tanda-tanda utama tersebut adalah: Pertama, dhammah untuk rafa’; Kedua, fathah untuk nashab; Ketiga, kasrah untuk jer; Keempat, hazf harakat (menghapus harakat) untuk jazm. Sebagian ulama Nahwu memilih istilah hazf (menghapus) harakat dengan istilah sukun atau wakaf. Kembali ke bagian 12 Lanjut ke bagian 14 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 13): Macam-Macam I’rab dan Tandanya

Daftar Isi Toggle Macam-macam i’rabJenis-jenis i’rabTanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam mengatakan, (فَصْلٌ) أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ: رَفْعٌ وَنَصْبٌ فِي اسْمٍ وَفِعْلٍ. نَحْوُ: زَيْدٌ يَقُوْمُ, وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ, وَجَرُّ فِي اسْمٍ, وَنَحْوُ بِزَيْدٍ, وَجَزْمُ فِي فِعْلٍ, نَحْوُ: لَمْ يَقُمْ, فَيُرْفَعُ بِضَمًّةٍ, وَيُنْصَبُ بِفَتْحَةٍ, وَيُجَرُّ بِكَسْرَةٍ, وَيُجْزَمُ بِحَذْفِ حَرَكَةٍ “Macam-macam i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. I’rab rafa’ dan nashab terdapat pada isim dan fi’il. Contohnya adalah: زَيْدٌ يَقُوْمُ “Zaid sedang berdiri.” وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ “Sungguh Zaid tidak akan berdiri.” Adapun i’rab jer hanya ada pada isim. Contohnya adalah: بِزَيْدٍ “Dengan Zaid” Adapun i’rab jazm hanya ada pada fi’il. Contohnya adalah: لَمْ يَقُمْ “Dia tidak berdiri.” Tanda utama dari masing-masing i’rab tersebut adalah: rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda menghapus harakat (sukun).” Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan فَصْلٌ (faslun). Faslun adalah bagian atau bab yang berdiri sendiri dan terpisah dari bab lainya. Faslun tersebut mencakup berbagai pembahasan. Sedangkan bab mencakup beberapa faslun dan memiliki cakupan yang lebih luas. Istilah bab digunakan untuk merujuk pada bagian yang mencakup berbagai faslun dan masa’il. Adapun perkataan Ibnu Hisyam tentang أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ anwa’ul i’rab (macam-macam i’rab ada empat), maksudnya adalah pengaruh atau efek yang zhahir (konkrit) maupun muqaddar (abstrak) disebabkan karena adanya ‘amil. Perubahan tersebut terlihat pada akhir sebuah kata. Atsar (perubahan) adalah perubahan harakat, yaitu bisa berupa dhammah, fathah, kasrah, atau menghapus harakat (sukun). Selain itu, terdapat perubahan-perubahan lain yang merupakan perubahan cabang yang akan dibahas lebih lanjut. Macam-macam i’rab Pertama, i’rab zhahir (konkrit). I’rab zhahir adalah hukum asal dari i’rab. Contohnya di dalam kalimat adalah: يَفُوْزُ المُؤْمِنُ بِثَوَابِ اللهِ “Orang yang beriman itu sukses mendapatkan pahala dari Allah.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata يَفُوْزُ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Kedua, kata المُؤْمِنُ adalah fa’il marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Ketiga, kata ثَوَاب adalah isim majrur dengan tanda kasrah zhahir (konkrit). Kedua, i’rab taqdiry (abstrak). Contohnya di dalam kalimat adalah: الفَوْضَى مُفْسِدَةٌ لِلْأَعْمَالِ “Keadaan yang tidak teratur akan merusak amal.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata الفَوْضَى mubtada yang marfu’ dengan tanda dhammah muqaddar (abstrak) pada huruf alif yang terletak di akhir kata tersebut. Harakat tidak muncul pada huruf alif tersebut dikarenakan ada faktor yang menghalangi harakat tersebut untuk muncul, yaitu udzur (kemustahilan/ketidakmungkinan). Alif tersebut tidak bisa diberi harakat. Kedua, kata مُفْسِدَةٌ berkedudukan sebagai khabar dan akan disampaikan pembahasannya pada bab tersendiri, insyaAllah. Jenis-jenis i’rab Jenis-jenis i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. Isim dan fi’il masing-masing memiliki tiga dari empat i’rab tersebut. Jenis-jenis i’rab yang dimiliki oleh isim dan fi’il ada tiga, yaitu : Pertama, i’rab yang sama-sama terdapat pada isim dan fi’il (fi’il mudhari’). Yaitu, rafa’ dan nashab. Contohnya di dalam kalimat adalah: إِنَّ المِؤْمِنَ لَنْ يَخُوْنَ  “Sesungguhnya orang mukmin tidak akan berkhianat.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata المِؤْمِنَ  pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai isim inna. Kedua, kata يَخُوْنَ pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah dikarenakan didahului oleh huruf  لَنْ (tidak akan). الْعَاقِلُ يُطِيْعُ أُمَّهُ “Orang yang cerdas akan mentaati ibunya.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata الْعَاقِل marfu’ dengan tanda dhammah berkedudukan sebagai mubtada. Kedua, kata أُمَّ manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai objek. Kedua, i’rab yang hanya terdapat pada isim yaitu jer. Contohnya di dalam kalimat adalah: نَظَرْتُ إِلَى الكَعْبَةِ “Aku melihat ka’bah.” I’rab jer yang terdapat pada kata di atas adalah kata الكَعْبَة. Kata tersebut majrur dengan tanda kasrah. Ketiga, i’rab yang hanya terdapat pada fi’il adalah jazm. Contohnya di dalam kalimat adalah: لَمْ يَحْضُرْ أَحَدٌ “Tidak ada seorang pun yang datang.” I’rab jazm yang terdapat pada kalimat di atas adalah kata يَحْضُر jazm dengan tanda sukun. Tanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan “rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda hazf  harakat (sukun).” Maksud dari kata di atas adalah keempat jenis i’rab tersebut memiliki tanda. Tanda tersebut ada 2 macam: tanda utama dan tanda cabang. Adapun tanda-tanda utama tersebut adalah: Pertama, dhammah untuk rafa’; Kedua, fathah untuk nashab; Ketiga, kasrah untuk jer; Keempat, hazf harakat (menghapus harakat) untuk jazm. Sebagian ulama Nahwu memilih istilah hazf (menghapus) harakat dengan istilah sukun atau wakaf. Kembali ke bagian 12 Lanjut ke bagian 14 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle Macam-macam i’rabJenis-jenis i’rabTanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam mengatakan, (فَصْلٌ) أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ: رَفْعٌ وَنَصْبٌ فِي اسْمٍ وَفِعْلٍ. نَحْوُ: زَيْدٌ يَقُوْمُ, وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ, وَجَرُّ فِي اسْمٍ, وَنَحْوُ بِزَيْدٍ, وَجَزْمُ فِي فِعْلٍ, نَحْوُ: لَمْ يَقُمْ, فَيُرْفَعُ بِضَمًّةٍ, وَيُنْصَبُ بِفَتْحَةٍ, وَيُجَرُّ بِكَسْرَةٍ, وَيُجْزَمُ بِحَذْفِ حَرَكَةٍ “Macam-macam i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. I’rab rafa’ dan nashab terdapat pada isim dan fi’il. Contohnya adalah: زَيْدٌ يَقُوْمُ “Zaid sedang berdiri.” وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ “Sungguh Zaid tidak akan berdiri.” Adapun i’rab jer hanya ada pada isim. Contohnya adalah: بِزَيْدٍ “Dengan Zaid” Adapun i’rab jazm hanya ada pada fi’il. Contohnya adalah: لَمْ يَقُمْ “Dia tidak berdiri.” Tanda utama dari masing-masing i’rab tersebut adalah: rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda menghapus harakat (sukun).” Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan فَصْلٌ (faslun). Faslun adalah bagian atau bab yang berdiri sendiri dan terpisah dari bab lainya. Faslun tersebut mencakup berbagai pembahasan. Sedangkan bab mencakup beberapa faslun dan memiliki cakupan yang lebih luas. Istilah bab digunakan untuk merujuk pada bagian yang mencakup berbagai faslun dan masa’il. Adapun perkataan Ibnu Hisyam tentang أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ anwa’ul i’rab (macam-macam i’rab ada empat), maksudnya adalah pengaruh atau efek yang zhahir (konkrit) maupun muqaddar (abstrak) disebabkan karena adanya ‘amil. Perubahan tersebut terlihat pada akhir sebuah kata. Atsar (perubahan) adalah perubahan harakat, yaitu bisa berupa dhammah, fathah, kasrah, atau menghapus harakat (sukun). Selain itu, terdapat perubahan-perubahan lain yang merupakan perubahan cabang yang akan dibahas lebih lanjut. Macam-macam i’rab Pertama, i’rab zhahir (konkrit). I’rab zhahir adalah hukum asal dari i’rab. Contohnya di dalam kalimat adalah: يَفُوْزُ المُؤْمِنُ بِثَوَابِ اللهِ “Orang yang beriman itu sukses mendapatkan pahala dari Allah.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata يَفُوْزُ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Kedua, kata المُؤْمِنُ adalah fa’il marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Ketiga, kata ثَوَاب adalah isim majrur dengan tanda kasrah zhahir (konkrit). Kedua, i’rab taqdiry (abstrak). Contohnya di dalam kalimat adalah: الفَوْضَى مُفْسِدَةٌ لِلْأَعْمَالِ “Keadaan yang tidak teratur akan merusak amal.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata الفَوْضَى mubtada yang marfu’ dengan tanda dhammah muqaddar (abstrak) pada huruf alif yang terletak di akhir kata tersebut. Harakat tidak muncul pada huruf alif tersebut dikarenakan ada faktor yang menghalangi harakat tersebut untuk muncul, yaitu udzur (kemustahilan/ketidakmungkinan). Alif tersebut tidak bisa diberi harakat. Kedua, kata مُفْسِدَةٌ berkedudukan sebagai khabar dan akan disampaikan pembahasannya pada bab tersendiri, insyaAllah. Jenis-jenis i’rab Jenis-jenis i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. Isim dan fi’il masing-masing memiliki tiga dari empat i’rab tersebut. Jenis-jenis i’rab yang dimiliki oleh isim dan fi’il ada tiga, yaitu : Pertama, i’rab yang sama-sama terdapat pada isim dan fi’il (fi’il mudhari’). Yaitu, rafa’ dan nashab. Contohnya di dalam kalimat adalah: إِنَّ المِؤْمِنَ لَنْ يَخُوْنَ  “Sesungguhnya orang mukmin tidak akan berkhianat.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata المِؤْمِنَ  pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai isim inna. Kedua, kata يَخُوْنَ pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah dikarenakan didahului oleh huruf  لَنْ (tidak akan). الْعَاقِلُ يُطِيْعُ أُمَّهُ “Orang yang cerdas akan mentaati ibunya.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata الْعَاقِل marfu’ dengan tanda dhammah berkedudukan sebagai mubtada. Kedua, kata أُمَّ manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai objek. Kedua, i’rab yang hanya terdapat pada isim yaitu jer. Contohnya di dalam kalimat adalah: نَظَرْتُ إِلَى الكَعْبَةِ “Aku melihat ka’bah.” I’rab jer yang terdapat pada kata di atas adalah kata الكَعْبَة. Kata tersebut majrur dengan tanda kasrah. Ketiga, i’rab yang hanya terdapat pada fi’il adalah jazm. Contohnya di dalam kalimat adalah: لَمْ يَحْضُرْ أَحَدٌ “Tidak ada seorang pun yang datang.” I’rab jazm yang terdapat pada kalimat di atas adalah kata يَحْضُر jazm dengan tanda sukun. Tanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan “rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda hazf  harakat (sukun).” Maksud dari kata di atas adalah keempat jenis i’rab tersebut memiliki tanda. Tanda tersebut ada 2 macam: tanda utama dan tanda cabang. Adapun tanda-tanda utama tersebut adalah: Pertama, dhammah untuk rafa’; Kedua, fathah untuk nashab; Ketiga, kasrah untuk jer; Keempat, hazf harakat (menghapus harakat) untuk jazm. Sebagian ulama Nahwu memilih istilah hazf (menghapus) harakat dengan istilah sukun atau wakaf. Kembali ke bagian 12 Lanjut ke bagian 14 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle Macam-macam i’rabJenis-jenis i’rabTanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam mengatakan, (فَصْلٌ) أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ: رَفْعٌ وَنَصْبٌ فِي اسْمٍ وَفِعْلٍ. نَحْوُ: زَيْدٌ يَقُوْمُ, وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ, وَجَرُّ فِي اسْمٍ, وَنَحْوُ بِزَيْدٍ, وَجَزْمُ فِي فِعْلٍ, نَحْوُ: لَمْ يَقُمْ, فَيُرْفَعُ بِضَمًّةٍ, وَيُنْصَبُ بِفَتْحَةٍ, وَيُجَرُّ بِكَسْرَةٍ, وَيُجْزَمُ بِحَذْفِ حَرَكَةٍ “Macam-macam i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. I’rab rafa’ dan nashab terdapat pada isim dan fi’il. Contohnya adalah: زَيْدٌ يَقُوْمُ “Zaid sedang berdiri.” وَإِنَّ زَيْدًا لَنْ يَقُوْمَ “Sungguh Zaid tidak akan berdiri.” Adapun i’rab jer hanya ada pada isim. Contohnya adalah: بِزَيْدٍ “Dengan Zaid” Adapun i’rab jazm hanya ada pada fi’il. Contohnya adalah: لَمْ يَقُمْ “Dia tidak berdiri.” Tanda utama dari masing-masing i’rab tersebut adalah: rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda menghapus harakat (sukun).” Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan فَصْلٌ (faslun). Faslun adalah bagian atau bab yang berdiri sendiri dan terpisah dari bab lainya. Faslun tersebut mencakup berbagai pembahasan. Sedangkan bab mencakup beberapa faslun dan memiliki cakupan yang lebih luas. Istilah bab digunakan untuk merujuk pada bagian yang mencakup berbagai faslun dan masa’il. Adapun perkataan Ibnu Hisyam tentang أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ أَرْبَعَةٌ anwa’ul i’rab (macam-macam i’rab ada empat), maksudnya adalah pengaruh atau efek yang zhahir (konkrit) maupun muqaddar (abstrak) disebabkan karena adanya ‘amil. Perubahan tersebut terlihat pada akhir sebuah kata. Atsar (perubahan) adalah perubahan harakat, yaitu bisa berupa dhammah, fathah, kasrah, atau menghapus harakat (sukun). Selain itu, terdapat perubahan-perubahan lain yang merupakan perubahan cabang yang akan dibahas lebih lanjut. Macam-macam i’rab Pertama, i’rab zhahir (konkrit). I’rab zhahir adalah hukum asal dari i’rab. Contohnya di dalam kalimat adalah: يَفُوْزُ المُؤْمِنُ بِثَوَابِ اللهِ “Orang yang beriman itu sukses mendapatkan pahala dari Allah.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata يَفُوْزُ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Kedua, kata المُؤْمِنُ adalah fa’il marfu’ dengan tanda dhammah zhahir (konkrit). Ketiga, kata ثَوَاب adalah isim majrur dengan tanda kasrah zhahir (konkrit). Kedua, i’rab taqdiry (abstrak). Contohnya di dalam kalimat adalah: الفَوْضَى مُفْسِدَةٌ لِلْأَعْمَالِ “Keadaan yang tidak teratur akan merusak amal.” I’rab dari masing-masing kata di atas adalah: Pertama, kata الفَوْضَى mubtada yang marfu’ dengan tanda dhammah muqaddar (abstrak) pada huruf alif yang terletak di akhir kata tersebut. Harakat tidak muncul pada huruf alif tersebut dikarenakan ada faktor yang menghalangi harakat tersebut untuk muncul, yaitu udzur (kemustahilan/ketidakmungkinan). Alif tersebut tidak bisa diberi harakat. Kedua, kata مُفْسِدَةٌ berkedudukan sebagai khabar dan akan disampaikan pembahasannya pada bab tersendiri, insyaAllah. Jenis-jenis i’rab Jenis-jenis i’rab ada empat, yaitu: rafa’, nashab, jer, dan jazm. Isim dan fi’il masing-masing memiliki tiga dari empat i’rab tersebut. Jenis-jenis i’rab yang dimiliki oleh isim dan fi’il ada tiga, yaitu : Pertama, i’rab yang sama-sama terdapat pada isim dan fi’il (fi’il mudhari’). Yaitu, rafa’ dan nashab. Contohnya di dalam kalimat adalah: إِنَّ المِؤْمِنَ لَنْ يَخُوْنَ  “Sesungguhnya orang mukmin tidak akan berkhianat.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata المِؤْمِنَ  pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai isim inna. Kedua, kata يَخُوْنَ pada kalimat di atas manshub dengan tanda fathah dikarenakan didahului oleh huruf  لَنْ (tidak akan). الْعَاقِلُ يُطِيْعُ أُمَّهُ “Orang yang cerdas akan mentaati ibunya.” Adapun i’rab dari kata di atas adalah: Pertama, kata الْعَاقِل marfu’ dengan tanda dhammah berkedudukan sebagai mubtada. Kedua, kata أُمَّ manshub dengan tanda fathah berkedudukan sebagai objek. Kedua, i’rab yang hanya terdapat pada isim yaitu jer. Contohnya di dalam kalimat adalah: نَظَرْتُ إِلَى الكَعْبَةِ “Aku melihat ka’bah.” I’rab jer yang terdapat pada kata di atas adalah kata الكَعْبَة. Kata tersebut majrur dengan tanda kasrah. Ketiga, i’rab yang hanya terdapat pada fi’il adalah jazm. Contohnya di dalam kalimat adalah: لَمْ يَحْضُرْ أَحَدٌ “Tidak ada seorang pun yang datang.” I’rab jazm yang terdapat pada kalimat di atas adalah kata يَحْضُر jazm dengan tanda sukun. Tanda-tanda i’rab Ibnu Hisyam pada bait di atas mengatakan “rafa’ dengan tanda dhammah, nashab dengan tanda fathah, jer dengan tanda kasrah, dan jazm dengan tanda hazf  harakat (sukun).” Maksud dari kata di atas adalah keempat jenis i’rab tersebut memiliki tanda. Tanda tersebut ada 2 macam: tanda utama dan tanda cabang. Adapun tanda-tanda utama tersebut adalah: Pertama, dhammah untuk rafa’; Kedua, fathah untuk nashab; Ketiga, kasrah untuk jer; Keempat, hazf harakat (menghapus harakat) untuk jazm. Sebagian ulama Nahwu memilih istilah hazf (menghapus) harakat dengan istilah sukun atau wakaf. Kembali ke bagian 12 Lanjut ke bagian 14 *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Jika seorang suami telah menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka terdapat aturan yang berat jika suami tersebut (suami pertama) ingin menikah lagi dengan mantan istrinya. Suami pertama boleh kembali lagi dengan mantan istrinya jika mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan laki-laki lain (suami kedua), berhubungan intim dengan suami kedua, kemudian diceraikan lagi oleh suami kedua, dan setelah masa iddah karena perceraian kedua telah selesai. Pernikahan dan perceraian dengan suami kedua ini harus berjalan secara alami (betul-betul menikah karena niat tulus ingin membangun rumah tangga yang baik dengan suami kedua), bukan karena rekayasa. Apabila pernikahan kedua ini hanya sekedar akal-akalan (rekayasa) agar wanita tersebut bisa segera kembali lagi dengan suami pertama, maka pernikahan ini disebut dengan nikah tahlil, dan hukumnya haram. Dalam tulisan ini, akan dibahas hadis-hadis yang berkaitan dengan nikah tahlil. Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَأَرَادَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: لَا، حَتَّى يَذُوقَ الْآخِرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ الْأَوَّلُ “Seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lantas istrinya menikah dengan laki-laki lain, kemudian suami kedua menceraikannya sebelum menggaulinya, lantas suami pertama ingin menikahinya lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, sampai suami yang kedua mencicipi madunya sebagaimana suami pertama merasakan madunya.” (HR. Bukhari no. 5261 dan Muslim no. 115, 1433) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang telah diceraikan (ditalak) tiga kali, maka tidak sah untuk kembali kepada suaminya kecuali setelah menikah dengan orang lain (suami kedua) dan suami kedua tersebut telah berhubungan intim dengannya. Jadi, maksud dari firman Allah Ta’ala, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) adalah “berhubungan intim”. Hal ini karena “nikah” dimaksudkan untuk “akad nikah” atau bisa dimaksudkan untuk “hubungan intim.” Sehingga, maksud “nikah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh hadis di atas, bahwa maksudnya adalah “hubungan intim.” Dengan kata lain, apabila wanita tersebut telah menikah dengan suami kedua dengan akad nikah yang sah, namun belum disetubuhi oleh suami kedua, maka wanita tersebut tetap tidak boleh kembali kepada suami pertama jika telah diceraikan oleh suami kedua. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أجمعوا على أن الرجل إذا طلق امرأته ثلاثًا أنَّها لا تحل له إلَّا بعد زوج، على ما جاء به حديث النبي – صلى الله عليه وسلم -، وانفرد سعيد بن المسيب فقال: إن تزوجها تزويجًا صحيحًا لا يريد به إحلالًا، فلا بأس أن يتزوجها الأول “Para ulama telah sepakat bahwa seorang pria yang menceraikan istrinya tiga kali, maka ia tidak akan sah kembali kepadanya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan suami lain (suami kedua), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berpendapat bahwa jika wanita tersebut menikah dengan pernikahan yang sah dan tidak bermaksud untuk nikah tahlil, maka tidak masalah jika suami pertama menikahinya kembali (meskipun suami kedua belum menyetubuhi wanita tersebut, pent.).” (Al-Ijma’, hal. 102) Mungkin Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah tidak mendengar atau mengetahui hadis ini, sehingga ia mengikuti makna zahir (literal) dari Al-Qur’an, yaitu semata-mata akad nikah. Al-Jassas rahimahullah berkata, ولم نعلم أحدًا تابعه عليه، فهو شاذ “Kami tidak mengetahui ada yang mengikuti pendapatnya, maka ini merupakan pendapat yang aneh/ganjil (syadz).” (Ahkamul Qur’an, 2: 89) Oleh karena itu, pernikahan (akad nikah) semata tidak menjadikan wanita tersebut halal (boleh dinikahi kembali) untuk suami pertama. Sebagian ulama menjelaskan hikmah dari pengharaman wanita tersebut untuk suami pertamanya hingga dia menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain (suami kedua), yaitu agar seorang suami tidak terburu-buru dalam menceraikan istrinya. Karena kembali kepada mantan istrinya setelah mantan istrinya tersebut menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain adalah sesuatu yang berat, karena adanya rasa cemburu dan juga gengsi dari laki-laki, terutama jika suami kedua adalah musuh atau pesaing dari suami pertama. (Shafwatul Atsar wal Mafahim, 3: 105) Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Kandungan kedua Hadis ini menunjukkan bahwa wanita tersebut boleh kembali kepada suami pertama jika telah terjadi hubungan intim dengan suami kedua. Hubungan intim yang dilakukan tersebut adalah hubungan intim yang sempurna, sehingga masing-masing pihak merasakan kenikmatan hubungan tersebut. Syaratnya adalah bahwa suami kedua menikahi wanita tersebut dengan tujuan dan niat yang tulus untuk menjaga hubungan pernikahan (membangun rumah tangga) dan bukan dengan niat untuk nikah akal-akalan agar wanita tersebut bisa segera kembali ke suami pertama. Jika pernikahan tersebut hanya akal-akalan saja, maka wanita tersebut tidak akan halal untuk suami pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, pernikahan tersebut haruslah akad nikah yang sah. Al-Wazir bin Hubayrah rahimahullah berkata, اتفقوا على أنَّه إنما يقع الحل بالوطء في النكاح الصحيح “Para ulama sepakat bahwa wanita tersebut menjadi halal (dinikahi lagi oleh suami pertama) hanya jika telah terjadi hubungan intim dalam pernikahan yang sah (dengan suami kedua).” (Al-Ifshah, 2: 159) Jika pernikahan tersebut tidak sah, seperti pernikahan syighar atau pernikahan tanpa wali, maka hal itu tetap tidak bisa menghalalkan wanita tersebut, karena Allah Ta’ala berfirman, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Adapun pernikahan yang fasid (tidak sah secara syariat), itu sama saja tidak ada karena syariat tidak mengaitkan hukum syar’i pada pernikahan yang tidak sah. Dalam ayat ini ada syarat ketiga, yaitu kedua pihak harus dapat menegakkan batasan-batasan Allah dengan memberikan hak masing-masing dan berbuat baik dalam pernikahan, serta tidak melakukan pelanggaran yang sama yang mengakibatkan perceraian tiga kali. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Jika dia menceraikannya (lagi), maka wanita itu tidak halal baginya setelah itu hingga dia menikah dengan suami yang lain. Jika suami yang baru menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya jika mereka (suami pertama dan mantan istri) kembali bersama, jika mereka merasa dapat menegakkan batasan-batasan Allah. Itulah batasan-batasan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230) Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari “العسيلة” dalam hadis ini: Pertama: Yang dimaksud adalah hubungan intim, yaitu (maaf) memasukkan kepala zakar ke dalam farji (kemaluan wanita), meskipun tidak terjadi inzal (ejakulasi). Karena tujuan dari “mencicipi madu” atau “mencicipi kenikmatan” itu bisa dicapai dengan hubungan intim, meskipun tidak sampai inzal. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Kedua: Yang dimaksud adalah inzal, dan penghalalan hanya terjadi dengan adanya inzal. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri rahimahullah, yang sepertinya berpendapat bahwa merasakan kenikmatan tersebut hanya dapat terjadi dengan adanya inzal. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan *** @29 Shafar 1446/ 3 September 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 274-276). Tags: Nikah

Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Jika seorang suami telah menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka terdapat aturan yang berat jika suami tersebut (suami pertama) ingin menikah lagi dengan mantan istrinya. Suami pertama boleh kembali lagi dengan mantan istrinya jika mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan laki-laki lain (suami kedua), berhubungan intim dengan suami kedua, kemudian diceraikan lagi oleh suami kedua, dan setelah masa iddah karena perceraian kedua telah selesai. Pernikahan dan perceraian dengan suami kedua ini harus berjalan secara alami (betul-betul menikah karena niat tulus ingin membangun rumah tangga yang baik dengan suami kedua), bukan karena rekayasa. Apabila pernikahan kedua ini hanya sekedar akal-akalan (rekayasa) agar wanita tersebut bisa segera kembali lagi dengan suami pertama, maka pernikahan ini disebut dengan nikah tahlil, dan hukumnya haram. Dalam tulisan ini, akan dibahas hadis-hadis yang berkaitan dengan nikah tahlil. Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَأَرَادَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: لَا، حَتَّى يَذُوقَ الْآخِرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ الْأَوَّلُ “Seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lantas istrinya menikah dengan laki-laki lain, kemudian suami kedua menceraikannya sebelum menggaulinya, lantas suami pertama ingin menikahinya lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, sampai suami yang kedua mencicipi madunya sebagaimana suami pertama merasakan madunya.” (HR. Bukhari no. 5261 dan Muslim no. 115, 1433) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang telah diceraikan (ditalak) tiga kali, maka tidak sah untuk kembali kepada suaminya kecuali setelah menikah dengan orang lain (suami kedua) dan suami kedua tersebut telah berhubungan intim dengannya. Jadi, maksud dari firman Allah Ta’ala, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) adalah “berhubungan intim”. Hal ini karena “nikah” dimaksudkan untuk “akad nikah” atau bisa dimaksudkan untuk “hubungan intim.” Sehingga, maksud “nikah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh hadis di atas, bahwa maksudnya adalah “hubungan intim.” Dengan kata lain, apabila wanita tersebut telah menikah dengan suami kedua dengan akad nikah yang sah, namun belum disetubuhi oleh suami kedua, maka wanita tersebut tetap tidak boleh kembali kepada suami pertama jika telah diceraikan oleh suami kedua. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أجمعوا على أن الرجل إذا طلق امرأته ثلاثًا أنَّها لا تحل له إلَّا بعد زوج، على ما جاء به حديث النبي – صلى الله عليه وسلم -، وانفرد سعيد بن المسيب فقال: إن تزوجها تزويجًا صحيحًا لا يريد به إحلالًا، فلا بأس أن يتزوجها الأول “Para ulama telah sepakat bahwa seorang pria yang menceraikan istrinya tiga kali, maka ia tidak akan sah kembali kepadanya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan suami lain (suami kedua), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berpendapat bahwa jika wanita tersebut menikah dengan pernikahan yang sah dan tidak bermaksud untuk nikah tahlil, maka tidak masalah jika suami pertama menikahinya kembali (meskipun suami kedua belum menyetubuhi wanita tersebut, pent.).” (Al-Ijma’, hal. 102) Mungkin Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah tidak mendengar atau mengetahui hadis ini, sehingga ia mengikuti makna zahir (literal) dari Al-Qur’an, yaitu semata-mata akad nikah. Al-Jassas rahimahullah berkata, ولم نعلم أحدًا تابعه عليه، فهو شاذ “Kami tidak mengetahui ada yang mengikuti pendapatnya, maka ini merupakan pendapat yang aneh/ganjil (syadz).” (Ahkamul Qur’an, 2: 89) Oleh karena itu, pernikahan (akad nikah) semata tidak menjadikan wanita tersebut halal (boleh dinikahi kembali) untuk suami pertama. Sebagian ulama menjelaskan hikmah dari pengharaman wanita tersebut untuk suami pertamanya hingga dia menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain (suami kedua), yaitu agar seorang suami tidak terburu-buru dalam menceraikan istrinya. Karena kembali kepada mantan istrinya setelah mantan istrinya tersebut menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain adalah sesuatu yang berat, karena adanya rasa cemburu dan juga gengsi dari laki-laki, terutama jika suami kedua adalah musuh atau pesaing dari suami pertama. (Shafwatul Atsar wal Mafahim, 3: 105) Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Kandungan kedua Hadis ini menunjukkan bahwa wanita tersebut boleh kembali kepada suami pertama jika telah terjadi hubungan intim dengan suami kedua. Hubungan intim yang dilakukan tersebut adalah hubungan intim yang sempurna, sehingga masing-masing pihak merasakan kenikmatan hubungan tersebut. Syaratnya adalah bahwa suami kedua menikahi wanita tersebut dengan tujuan dan niat yang tulus untuk menjaga hubungan pernikahan (membangun rumah tangga) dan bukan dengan niat untuk nikah akal-akalan agar wanita tersebut bisa segera kembali ke suami pertama. Jika pernikahan tersebut hanya akal-akalan saja, maka wanita tersebut tidak akan halal untuk suami pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, pernikahan tersebut haruslah akad nikah yang sah. Al-Wazir bin Hubayrah rahimahullah berkata, اتفقوا على أنَّه إنما يقع الحل بالوطء في النكاح الصحيح “Para ulama sepakat bahwa wanita tersebut menjadi halal (dinikahi lagi oleh suami pertama) hanya jika telah terjadi hubungan intim dalam pernikahan yang sah (dengan suami kedua).” (Al-Ifshah, 2: 159) Jika pernikahan tersebut tidak sah, seperti pernikahan syighar atau pernikahan tanpa wali, maka hal itu tetap tidak bisa menghalalkan wanita tersebut, karena Allah Ta’ala berfirman, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Adapun pernikahan yang fasid (tidak sah secara syariat), itu sama saja tidak ada karena syariat tidak mengaitkan hukum syar’i pada pernikahan yang tidak sah. Dalam ayat ini ada syarat ketiga, yaitu kedua pihak harus dapat menegakkan batasan-batasan Allah dengan memberikan hak masing-masing dan berbuat baik dalam pernikahan, serta tidak melakukan pelanggaran yang sama yang mengakibatkan perceraian tiga kali. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Jika dia menceraikannya (lagi), maka wanita itu tidak halal baginya setelah itu hingga dia menikah dengan suami yang lain. Jika suami yang baru menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya jika mereka (suami pertama dan mantan istri) kembali bersama, jika mereka merasa dapat menegakkan batasan-batasan Allah. Itulah batasan-batasan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230) Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari “العسيلة” dalam hadis ini: Pertama: Yang dimaksud adalah hubungan intim, yaitu (maaf) memasukkan kepala zakar ke dalam farji (kemaluan wanita), meskipun tidak terjadi inzal (ejakulasi). Karena tujuan dari “mencicipi madu” atau “mencicipi kenikmatan” itu bisa dicapai dengan hubungan intim, meskipun tidak sampai inzal. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Kedua: Yang dimaksud adalah inzal, dan penghalalan hanya terjadi dengan adanya inzal. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri rahimahullah, yang sepertinya berpendapat bahwa merasakan kenikmatan tersebut hanya dapat terjadi dengan adanya inzal. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan *** @29 Shafar 1446/ 3 September 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 274-276). Tags: Nikah
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Jika seorang suami telah menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka terdapat aturan yang berat jika suami tersebut (suami pertama) ingin menikah lagi dengan mantan istrinya. Suami pertama boleh kembali lagi dengan mantan istrinya jika mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan laki-laki lain (suami kedua), berhubungan intim dengan suami kedua, kemudian diceraikan lagi oleh suami kedua, dan setelah masa iddah karena perceraian kedua telah selesai. Pernikahan dan perceraian dengan suami kedua ini harus berjalan secara alami (betul-betul menikah karena niat tulus ingin membangun rumah tangga yang baik dengan suami kedua), bukan karena rekayasa. Apabila pernikahan kedua ini hanya sekedar akal-akalan (rekayasa) agar wanita tersebut bisa segera kembali lagi dengan suami pertama, maka pernikahan ini disebut dengan nikah tahlil, dan hukumnya haram. Dalam tulisan ini, akan dibahas hadis-hadis yang berkaitan dengan nikah tahlil. Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَأَرَادَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: لَا، حَتَّى يَذُوقَ الْآخِرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ الْأَوَّلُ “Seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lantas istrinya menikah dengan laki-laki lain, kemudian suami kedua menceraikannya sebelum menggaulinya, lantas suami pertama ingin menikahinya lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, sampai suami yang kedua mencicipi madunya sebagaimana suami pertama merasakan madunya.” (HR. Bukhari no. 5261 dan Muslim no. 115, 1433) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang telah diceraikan (ditalak) tiga kali, maka tidak sah untuk kembali kepada suaminya kecuali setelah menikah dengan orang lain (suami kedua) dan suami kedua tersebut telah berhubungan intim dengannya. Jadi, maksud dari firman Allah Ta’ala, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) adalah “berhubungan intim”. Hal ini karena “nikah” dimaksudkan untuk “akad nikah” atau bisa dimaksudkan untuk “hubungan intim.” Sehingga, maksud “nikah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh hadis di atas, bahwa maksudnya adalah “hubungan intim.” Dengan kata lain, apabila wanita tersebut telah menikah dengan suami kedua dengan akad nikah yang sah, namun belum disetubuhi oleh suami kedua, maka wanita tersebut tetap tidak boleh kembali kepada suami pertama jika telah diceraikan oleh suami kedua. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أجمعوا على أن الرجل إذا طلق امرأته ثلاثًا أنَّها لا تحل له إلَّا بعد زوج، على ما جاء به حديث النبي – صلى الله عليه وسلم -، وانفرد سعيد بن المسيب فقال: إن تزوجها تزويجًا صحيحًا لا يريد به إحلالًا، فلا بأس أن يتزوجها الأول “Para ulama telah sepakat bahwa seorang pria yang menceraikan istrinya tiga kali, maka ia tidak akan sah kembali kepadanya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan suami lain (suami kedua), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berpendapat bahwa jika wanita tersebut menikah dengan pernikahan yang sah dan tidak bermaksud untuk nikah tahlil, maka tidak masalah jika suami pertama menikahinya kembali (meskipun suami kedua belum menyetubuhi wanita tersebut, pent.).” (Al-Ijma’, hal. 102) Mungkin Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah tidak mendengar atau mengetahui hadis ini, sehingga ia mengikuti makna zahir (literal) dari Al-Qur’an, yaitu semata-mata akad nikah. Al-Jassas rahimahullah berkata, ولم نعلم أحدًا تابعه عليه، فهو شاذ “Kami tidak mengetahui ada yang mengikuti pendapatnya, maka ini merupakan pendapat yang aneh/ganjil (syadz).” (Ahkamul Qur’an, 2: 89) Oleh karena itu, pernikahan (akad nikah) semata tidak menjadikan wanita tersebut halal (boleh dinikahi kembali) untuk suami pertama. Sebagian ulama menjelaskan hikmah dari pengharaman wanita tersebut untuk suami pertamanya hingga dia menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain (suami kedua), yaitu agar seorang suami tidak terburu-buru dalam menceraikan istrinya. Karena kembali kepada mantan istrinya setelah mantan istrinya tersebut menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain adalah sesuatu yang berat, karena adanya rasa cemburu dan juga gengsi dari laki-laki, terutama jika suami kedua adalah musuh atau pesaing dari suami pertama. (Shafwatul Atsar wal Mafahim, 3: 105) Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Kandungan kedua Hadis ini menunjukkan bahwa wanita tersebut boleh kembali kepada suami pertama jika telah terjadi hubungan intim dengan suami kedua. Hubungan intim yang dilakukan tersebut adalah hubungan intim yang sempurna, sehingga masing-masing pihak merasakan kenikmatan hubungan tersebut. Syaratnya adalah bahwa suami kedua menikahi wanita tersebut dengan tujuan dan niat yang tulus untuk menjaga hubungan pernikahan (membangun rumah tangga) dan bukan dengan niat untuk nikah akal-akalan agar wanita tersebut bisa segera kembali ke suami pertama. Jika pernikahan tersebut hanya akal-akalan saja, maka wanita tersebut tidak akan halal untuk suami pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, pernikahan tersebut haruslah akad nikah yang sah. Al-Wazir bin Hubayrah rahimahullah berkata, اتفقوا على أنَّه إنما يقع الحل بالوطء في النكاح الصحيح “Para ulama sepakat bahwa wanita tersebut menjadi halal (dinikahi lagi oleh suami pertama) hanya jika telah terjadi hubungan intim dalam pernikahan yang sah (dengan suami kedua).” (Al-Ifshah, 2: 159) Jika pernikahan tersebut tidak sah, seperti pernikahan syighar atau pernikahan tanpa wali, maka hal itu tetap tidak bisa menghalalkan wanita tersebut, karena Allah Ta’ala berfirman, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Adapun pernikahan yang fasid (tidak sah secara syariat), itu sama saja tidak ada karena syariat tidak mengaitkan hukum syar’i pada pernikahan yang tidak sah. Dalam ayat ini ada syarat ketiga, yaitu kedua pihak harus dapat menegakkan batasan-batasan Allah dengan memberikan hak masing-masing dan berbuat baik dalam pernikahan, serta tidak melakukan pelanggaran yang sama yang mengakibatkan perceraian tiga kali. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Jika dia menceraikannya (lagi), maka wanita itu tidak halal baginya setelah itu hingga dia menikah dengan suami yang lain. Jika suami yang baru menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya jika mereka (suami pertama dan mantan istri) kembali bersama, jika mereka merasa dapat menegakkan batasan-batasan Allah. Itulah batasan-batasan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230) Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari “العسيلة” dalam hadis ini: Pertama: Yang dimaksud adalah hubungan intim, yaitu (maaf) memasukkan kepala zakar ke dalam farji (kemaluan wanita), meskipun tidak terjadi inzal (ejakulasi). Karena tujuan dari “mencicipi madu” atau “mencicipi kenikmatan” itu bisa dicapai dengan hubungan intim, meskipun tidak sampai inzal. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Kedua: Yang dimaksud adalah inzal, dan penghalalan hanya terjadi dengan adanya inzal. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri rahimahullah, yang sepertinya berpendapat bahwa merasakan kenikmatan tersebut hanya dapat terjadi dengan adanya inzal. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan *** @29 Shafar 1446/ 3 September 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 274-276). Tags: Nikah


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Jika seorang suami telah menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka terdapat aturan yang berat jika suami tersebut (suami pertama) ingin menikah lagi dengan mantan istrinya. Suami pertama boleh kembali lagi dengan mantan istrinya jika mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan laki-laki lain (suami kedua), berhubungan intim dengan suami kedua, kemudian diceraikan lagi oleh suami kedua, dan setelah masa iddah karena perceraian kedua telah selesai. Pernikahan dan perceraian dengan suami kedua ini harus berjalan secara alami (betul-betul menikah karena niat tulus ingin membangun rumah tangga yang baik dengan suami kedua), bukan karena rekayasa. Apabila pernikahan kedua ini hanya sekedar akal-akalan (rekayasa) agar wanita tersebut bisa segera kembali lagi dengan suami pertama, maka pernikahan ini disebut dengan nikah tahlil, dan hukumnya haram. Dalam tulisan ini, akan dibahas hadis-hadis yang berkaitan dengan nikah tahlil. Teks Hadis Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَهَا رَجُلٌ، ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَأَرَادَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: لَا، حَتَّى يَذُوقَ الْآخِرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ الْأَوَّلُ “Seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lantas istrinya menikah dengan laki-laki lain, kemudian suami kedua menceraikannya sebelum menggaulinya, lantas suami pertama ingin menikahinya lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, sampai suami yang kedua mencicipi madunya sebagaimana suami pertama merasakan madunya.” (HR. Bukhari no. 5261 dan Muslim no. 115, 1433) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang telah diceraikan (ditalak) tiga kali, maka tidak sah untuk kembali kepada suaminya kecuali setelah menikah dengan orang lain (suami kedua) dan suami kedua tersebut telah berhubungan intim dengannya. Jadi, maksud dari firman Allah Ta’ala, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) adalah “berhubungan intim”. Hal ini karena “nikah” dimaksudkan untuk “akad nikah” atau bisa dimaksudkan untuk “hubungan intim.” Sehingga, maksud “nikah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh hadis di atas, bahwa maksudnya adalah “hubungan intim.” Dengan kata lain, apabila wanita tersebut telah menikah dengan suami kedua dengan akad nikah yang sah, namun belum disetubuhi oleh suami kedua, maka wanita tersebut tetap tidak boleh kembali kepada suami pertama jika telah diceraikan oleh suami kedua. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أجمعوا على أن الرجل إذا طلق امرأته ثلاثًا أنَّها لا تحل له إلَّا بعد زوج، على ما جاء به حديث النبي – صلى الله عليه وسلم -، وانفرد سعيد بن المسيب فقال: إن تزوجها تزويجًا صحيحًا لا يريد به إحلالًا، فلا بأس أن يتزوجها الأول “Para ulama telah sepakat bahwa seorang pria yang menceraikan istrinya tiga kali, maka ia tidak akan sah kembali kepadanya kecuali setelah wanita tersebut menikah dengan suami lain (suami kedua), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berpendapat bahwa jika wanita tersebut menikah dengan pernikahan yang sah dan tidak bermaksud untuk nikah tahlil, maka tidak masalah jika suami pertama menikahinya kembali (meskipun suami kedua belum menyetubuhi wanita tersebut, pent.).” (Al-Ijma’, hal. 102) Mungkin Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah tidak mendengar atau mengetahui hadis ini, sehingga ia mengikuti makna zahir (literal) dari Al-Qur’an, yaitu semata-mata akad nikah. Al-Jassas rahimahullah berkata, ولم نعلم أحدًا تابعه عليه، فهو شاذ “Kami tidak mengetahui ada yang mengikuti pendapatnya, maka ini merupakan pendapat yang aneh/ganjil (syadz).” (Ahkamul Qur’an, 2: 89) Oleh karena itu, pernikahan (akad nikah) semata tidak menjadikan wanita tersebut halal (boleh dinikahi kembali) untuk suami pertama. Sebagian ulama menjelaskan hikmah dari pengharaman wanita tersebut untuk suami pertamanya hingga dia menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain (suami kedua), yaitu agar seorang suami tidak terburu-buru dalam menceraikan istrinya. Karena kembali kepada mantan istrinya setelah mantan istrinya tersebut menikah dan bersetubuh dengan laki-laki lain adalah sesuatu yang berat, karena adanya rasa cemburu dan juga gengsi dari laki-laki, terutama jika suami kedua adalah musuh atau pesaing dari suami pertama. (Shafwatul Atsar wal Mafahim, 3: 105) Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Kandungan kedua Hadis ini menunjukkan bahwa wanita tersebut boleh kembali kepada suami pertama jika telah terjadi hubungan intim dengan suami kedua. Hubungan intim yang dilakukan tersebut adalah hubungan intim yang sempurna, sehingga masing-masing pihak merasakan kenikmatan hubungan tersebut. Syaratnya adalah bahwa suami kedua menikahi wanita tersebut dengan tujuan dan niat yang tulus untuk menjaga hubungan pernikahan (membangun rumah tangga) dan bukan dengan niat untuk nikah akal-akalan agar wanita tersebut bisa segera kembali ke suami pertama. Jika pernikahan tersebut hanya akal-akalan saja, maka wanita tersebut tidak akan halal untuk suami pertama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, pernikahan tersebut haruslah akad nikah yang sah. Al-Wazir bin Hubayrah rahimahullah berkata, اتفقوا على أنَّه إنما يقع الحل بالوطء في النكاح الصحيح “Para ulama sepakat bahwa wanita tersebut menjadi halal (dinikahi lagi oleh suami pertama) hanya jika telah terjadi hubungan intim dalam pernikahan yang sah (dengan suami kedua).” (Al-Ifshah, 2: 159) Jika pernikahan tersebut tidak sah, seperti pernikahan syighar atau pernikahan tanpa wali, maka hal itu tetap tidak bisa menghalalkan wanita tersebut, karena Allah Ta’ala berfirman, حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230) Adapun pernikahan yang fasid (tidak sah secara syariat), itu sama saja tidak ada karena syariat tidak mengaitkan hukum syar’i pada pernikahan yang tidak sah. Dalam ayat ini ada syarat ketiga, yaitu kedua pihak harus dapat menegakkan batasan-batasan Allah dengan memberikan hak masing-masing dan berbuat baik dalam pernikahan, serta tidak melakukan pelanggaran yang sama yang mengakibatkan perceraian tiga kali. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Jika dia menceraikannya (lagi), maka wanita itu tidak halal baginya setelah itu hingga dia menikah dengan suami yang lain. Jika suami yang baru menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya jika mereka (suami pertama dan mantan istri) kembali bersama, jika mereka merasa dapat menegakkan batasan-batasan Allah. Itulah batasan-batasan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230) Kandungan ketiga Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari “العسيلة” dalam hadis ini: Pertama: Yang dimaksud adalah hubungan intim, yaitu (maaf) memasukkan kepala zakar ke dalam farji (kemaluan wanita), meskipun tidak terjadi inzal (ejakulasi). Karena tujuan dari “mencicipi madu” atau “mencicipi kenikmatan” itu bisa dicapai dengan hubungan intim, meskipun tidak sampai inzal. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Kedua: Yang dimaksud adalah inzal, dan penghalalan hanya terjadi dengan adanya inzal. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri rahimahullah, yang sepertinya berpendapat bahwa merasakan kenikmatan tersebut hanya dapat terjadi dengan adanya inzal. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan *** @29 Shafar 1446/ 3 September 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 274-276). Tags: Nikah

Dosa Kezaliman: Ingatlah dan Mintalah Maaf

Kezaliman adalah dosa besar yang akan mendatangkan siksa pedih di akhirat jika tidak segera disesali. Islam menegaskan pentingnya meminta maaf kepada yang dizalimi, karena di akhirat kebaikan kita bisa berpindah kepada mereka. Sebelum terlambat, segera bertaubat dan mintalah maaf untuk menghindari hukuman di hari kiamat   Daftar Isi tutup 1. Makna Zalim 2. Islam Melarang Kezaliman 3. Akibat Orang Berbuat Zalim 3.1. 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut 3.2. 2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat 3.3. 3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi 4. Jenis-Jenis Kezaliman 5. Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf 6. Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan 7. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan 8. Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami 9. Penutup 9.1. Referensi:   Makna Zalim Secara etimologi, zhulmu (kezaliman) berarti, ِوَضعُ الشَّيءِ في غَيرِ مَوضِعِه، وأخذُ المَرءِ ما ليس له “Azh-zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, hlm. 154; Tahdzib Al-Lughah karya Al-Azhari, 14:276; Bahjah Al-Majalis karya Ibnu ‘Abdil Barr, 1:362) Secara istilah, zhulmu artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al-Asfahani mengatakan mengenai zalim adalah, وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه “Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an, hlm. 537) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ِواعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم “Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu, zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2:486). Zalim secara umum dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, baik dengan mengurangi, menambah, atau melampaui batas. Zalim terjadi saat seseorang melanggar larangan atau mengabaikan kewajiban, mencakup ketidakadilan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun hak Allah.   Islam Melarang Kezaliman Allah Ta’ala berfirman, ِأَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18). ِوَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102). ِنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ “Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40). ِمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18). ِإِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21). Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِيَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR.  Muslim, no. 2577). Beliau juga bersabda, ِاتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ “Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 2447, Muslim, no. 2578). Beliau juga bersabda, ِالمُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ، لا يَظْلِمُهُ ولا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حاجَتِهِ “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Muslim, no. 2564).   Akibat Orang Berbuat Zalim Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya: 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya,  أَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).   2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِالظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2447 dan Muslim no. 2579).   3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فإنَّهَا ليسَ بيْنَهَا وبيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ. “Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doanya langsung sampai kepada Allah tanpa ada penghalang.” (HR. Bukhari, no. 2448, 1496 dan Muslim, no.19).   Jenis-Jenis Kezaliman Kezaliman terbagi menjadi tiga: Kezaliman antara manusia dan Allah Ta’ala: Kezaliman terbesar dalam hal ini adalah kekufuran, syirik, dan nifaq. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Hal ini juga disinggung dalam firman-Nya, “Ingatlah, laknat Allah atas orang-orang yang zalim” (Hud: 18) dan “Allah telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih” (Al-Insan: 31). Ayat lain menegaskan, “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah?” (Az-Zumar: 32) dan “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-An’am: 93). Kezaliman antara manusia dengan sesama manusia: Allah menyebutkan jenis kezaliman ini dalam firman-Nya, “Balasan keburukan adalah keburukan yang setimpal… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (Asy-Syura: 42). Juga dalam ayat, “Sesungguhnya jalan (untuk menuntut keadilan) hanya terhadap orang-orang yang menzalimi manusia” (Asy-Syura: 42) dan “Barang siapa yang dibunuh secara zalim…” (Al-Isra: 33). Kezaliman antara manusia terhadap dirinya sendiri: Ini disebutkan dalam ayat, “Di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri” (Fathir: 32), juga dalam firman-Nya, “Aku telah menzalimi diriku sendiri” (An-Naml: 44), serta “Ketika mereka menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nisa: 64). Keseluruhan jenis kezaliman ini sejatinya adalah kezaliman terhadap diri sendiri, karena seseorang yang memulai perbuatan zalim telah menzalimi dirinya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam banyak ayat, “Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nahl: 33) dan “Tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 57). Ibnu Rajab menyebutkan bahwa kezaliman terbagi menjadi dua jenis: Kezaliman terhadap diri sendiri: Yang terbesar adalah syirik, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Orang yang melakukan syirik menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta dengan menyembah dan mengagungkannya. Hal ini merupakan bentuk penempatan sesuatu tidak pada tempatnya. Kemudian diikuti oleh berbagai bentuk maksiat, baik besar maupun kecil. Kezaliman terhadap orang lain: Ini mencakup segala bentuk ketidakadilan dan penyimpangan dalam interaksi sosial.   Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf Kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi sosial, terlebih ketika kita sering bergaul dengan orang lain, baik itu teman, tetangga, atau bahkan keluarga. Hubungan yang dekat dan intens kerap kali menjadi penyebab timbulnya gesekan dan konflik. Oleh karena itu, memohon maaf dan bertaubat dari kezaliman menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini dalam hadisnya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Hal ini semakin relevan jika kita mengingat bahwa kesalahan dan kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi yang rutin, terutama di antara anggota keluarga. Oleh sebab itu, memohon maaf dan memperbaiki hubungan menjadi sangat penting. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,ِ وَكُلَّمَا طَالَتِ المُخَالَطَةُ اِزْدَادَتْ أَسْبَابُ الشَّرِّ وَالعَدَاوَةُ وَقُوِّيَتْ , وَبِهَذَا السَّبَبُ كَانَ الشَّرُّ الحَاصِلُ مِنَ الأَقَارِبِ وَالعُشَرَاءِ أَضْعَافَ الشّرِّ الحَاصِلِ مِنَ الأَجَانِبِ وَالبُعَدَاءِ “Makin lama bergaul, makin banyak kesalahan dan permusuhan, bahkan semakin kuat. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta berlipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:422)   Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan Jika yang sudah berbuat zalim sudah meminta maaf, tetapi tidak dimaafkan, apa yang mesti dilakukan? Dari Judan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ بِمَعْذِرَةٍ ، فَلَمْ يَقْبَلْهَا كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ خَطِيئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ “Barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan, lalu saudaranya itu tidak menerima maafnya, maka orang yang tidak menerima maaf tersebut akan menanggung dosa seperti dosa pemungut pajak yang zalim.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, no. 521; Ibnu Majah dalam As-Sunan, no. 3718; Ibnu Hibban dalam Raudah Al-‘Uqala’, hlm. 182; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 2:275; Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 6:321. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 1907) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, عَفُوا تَعْفُ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ يَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ مِنْ شَيْءٍ بَلَغَهُ عَنْهُ فَلَمْ يَقْبَلْ عُذْرَهُ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan orang lain), niscaya istri-istri kalian akan memaafkan kalian. Berbuat baiklah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian. Dan barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya sesama muslim atas sesuatu yang pernah ia lakukan, tetapi saudaranya itu tidak menerima permintaan maafnya, maka ia tidak akan mendatangiku di telaga (pada hari kiamat).” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 6:241. Al-Haytsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:81 menyatakan bahwa ada Khalid bin Zaid Al-‘Umari, ia seorang perawi pendusta). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَفُوا عَنْ نِسَاءِ النَّاسِ تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ أَتَاهُ أَخُوهُ مُتَنَصِّلًا فَلْيَقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ، مُحِقًّا كَانَ أَوْ مُبْطِلًا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan) para wanita orang lain, niscaya para wanita kalian juga akan terjaga. Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian. Dan barang siapa yang didatangi oleh saudaranya untuk meminta maaf, hendaklah ia menerima permintaan maaf tersebut, baik saudaranya itu benar maupun salah. Jika ia tidak melakukannya, maka ia tidak akan mendatangiku di Telaga (al-Haudh pada hari kiamat).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4:154. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Namun, Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Suwaid itu dhaif. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 2043 mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Catatan: Tiga hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits yang dhaif. Kelemahan hadits-hadits yang berbicara tentang ancaman bagi mereka yang tidak menerima permintaan maaf saudaranya, tidak berarti bahwa hal tersebut (menerima permintaan maaf) bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan, menerima permintaan maaf dari orang yang meminta maaf adalah bagian dari kemuliaan akhlak dan penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang. Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam kitab “Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala” (1:183), “Wajib bagi orang yang berakal, ketika saudaranya meminta maaf kepadanya atas suatu kesalahan yang terjadi atau kelalaian yang pernah terjadi, hendaklah menerima permintaan maaf tersebut dan menganggapnya seolah-olah tidak pernah berbuat kesalahan. Karena siapa saja yang diminta maaf oleh saudaranya tetapi tidak menerima, aku khawatir dia tidak akan mendatangi Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang pernah melakukan kesalahan dalam urusan apa pun, ia harus meminta maaf atas kelalaiannya kepada saudaranya.” Muhammad bin Abdullah bin Zanji al-Baghdadi pernah membacakan syair kepadaku, “Jika temanmu suatu hari meminta maaf atas kelalaian, terimalah permintaan maafnya dengan penuh keikhlasan. Jaga ia dari perlakuan kerasmu dan maafkan dia, karena pemaafan adalah sifat mulia setiap orang yang terhormat.” Imam Al-Ghazali rahimahullah juga berkata, “Adapun kesalahan saudara terhadap hakmu, yang membuat hatimu terasa terganggu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang utama adalah memaafkan dan bersabar. Bahkan segala sesuatu yang masih bisa ditafsirkan dengan baik dan ada kemungkinan permintaan maaf yang masuk akal, baik dekat atau jauh, wajib bagimu untuk menerimanya atas dasar persaudaraan.” (Ihya ‘Ulumuddin, 2:185-186). Bahasan ini menekankan pentingnya memaafkan dan menerima permintaan maaf sebagai bagian dari akhlak yang mulia dan kewajiban dalam menjaga persaudaraan. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan Jika seseorang enggan memaafkan meski kita telah meminta maaf, tetaplah berbuat baik padanya. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin (1:360) menyatakan bahwa gangguan manusia atau pemutusan hubungan dari mereka tidak seharusnya menghentikan perbuatan baik kita kepada mereka. Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika ia hendak memutuskan hubungannya dengan Misthah bin Utsatsah, yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (tuduhan palsu terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Baca juga: Tetap Balas dengan Kebaikan Ketika Diperlakukan Buruk    Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami Kita semua pernah berbuat salah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kadang, kezaliman yang kita lakukan menjadi beban berat yang mengganggu hati dan jiwa. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka pintu ampunan bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh ingin bertaubat. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah kepadaku doa yang aku baca dalam shalatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah: اللهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ ALLOHUMMA INII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRO, WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA, FAGH-FIR-LII MAGH-FIROTAN MIN ‘INDIK, WARHAM-NII, INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, kasihanilah diriku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 834 dan Muslim, no. 2705) Baca juga: Doa Ampunan yang Diajarkan pada Abu Bakar Dibaca Sebelum Salam   Penutup Sebagai penutup, para ulama seperti Ibnu Katsir memberikan panduan mengenai taubat yang tulus dan ikhlas. Beliau menerangkan bahwa taubat yang benar adalah: التَّوْبَةُ النَّصُوحُ هُوَ أَنْ يَقْلَعَ عَنِ الذَّنْبِ فِي الْحَاضِرِ وَيَنْدَمَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْهُ فِي الْمَاضِي، وَيَعْزِمَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، ثُمَّ إِنْ كَانَ الْحَقُّ لِآدَمِيٍّ رَدَّهُ إِلَيْهِ بِطَرِيقِهِ. “Taubat yang tulus adalah dengan meninggalkan dosa di masa sekarang, menyesali apa yang telah dilakukan di masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa depan. Kemudian, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia, maka ia harus mengembalikannya dengan cara yang benar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:323) Inilah pentingnya taubat dari kezaliman, mengembalikan hak-hak yang pernah kita rampas, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri di masa depan. Baca juga: Syarat Taubat, Bertekad Tidak Mau Mengulangi Dosa   Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/116388/ https://dorar.net/alakhlaq/4384/   – Selesai ditulis pada 21 Rabiul Awwal 1446 H, 25 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmaaf memaafkan memaafkan minta maaf mohon maaf lahir dan batin

Dosa Kezaliman: Ingatlah dan Mintalah Maaf

Kezaliman adalah dosa besar yang akan mendatangkan siksa pedih di akhirat jika tidak segera disesali. Islam menegaskan pentingnya meminta maaf kepada yang dizalimi, karena di akhirat kebaikan kita bisa berpindah kepada mereka. Sebelum terlambat, segera bertaubat dan mintalah maaf untuk menghindari hukuman di hari kiamat   Daftar Isi tutup 1. Makna Zalim 2. Islam Melarang Kezaliman 3. Akibat Orang Berbuat Zalim 3.1. 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut 3.2. 2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat 3.3. 3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi 4. Jenis-Jenis Kezaliman 5. Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf 6. Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan 7. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan 8. Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami 9. Penutup 9.1. Referensi:   Makna Zalim Secara etimologi, zhulmu (kezaliman) berarti, ِوَضعُ الشَّيءِ في غَيرِ مَوضِعِه، وأخذُ المَرءِ ما ليس له “Azh-zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, hlm. 154; Tahdzib Al-Lughah karya Al-Azhari, 14:276; Bahjah Al-Majalis karya Ibnu ‘Abdil Barr, 1:362) Secara istilah, zhulmu artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al-Asfahani mengatakan mengenai zalim adalah, وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه “Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an, hlm. 537) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ِواعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم “Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu, zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2:486). Zalim secara umum dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, baik dengan mengurangi, menambah, atau melampaui batas. Zalim terjadi saat seseorang melanggar larangan atau mengabaikan kewajiban, mencakup ketidakadilan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun hak Allah.   Islam Melarang Kezaliman Allah Ta’ala berfirman, ِأَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18). ِوَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102). ِنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ “Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40). ِمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18). ِإِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21). Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِيَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR.  Muslim, no. 2577). Beliau juga bersabda, ِاتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ “Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 2447, Muslim, no. 2578). Beliau juga bersabda, ِالمُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ، لا يَظْلِمُهُ ولا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حاجَتِهِ “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Muslim, no. 2564).   Akibat Orang Berbuat Zalim Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya: 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya,  أَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).   2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِالظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2447 dan Muslim no. 2579).   3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فإنَّهَا ليسَ بيْنَهَا وبيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ. “Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doanya langsung sampai kepada Allah tanpa ada penghalang.” (HR. Bukhari, no. 2448, 1496 dan Muslim, no.19).   Jenis-Jenis Kezaliman Kezaliman terbagi menjadi tiga: Kezaliman antara manusia dan Allah Ta’ala: Kezaliman terbesar dalam hal ini adalah kekufuran, syirik, dan nifaq. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Hal ini juga disinggung dalam firman-Nya, “Ingatlah, laknat Allah atas orang-orang yang zalim” (Hud: 18) dan “Allah telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih” (Al-Insan: 31). Ayat lain menegaskan, “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah?” (Az-Zumar: 32) dan “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-An’am: 93). Kezaliman antara manusia dengan sesama manusia: Allah menyebutkan jenis kezaliman ini dalam firman-Nya, “Balasan keburukan adalah keburukan yang setimpal… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (Asy-Syura: 42). Juga dalam ayat, “Sesungguhnya jalan (untuk menuntut keadilan) hanya terhadap orang-orang yang menzalimi manusia” (Asy-Syura: 42) dan “Barang siapa yang dibunuh secara zalim…” (Al-Isra: 33). Kezaliman antara manusia terhadap dirinya sendiri: Ini disebutkan dalam ayat, “Di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri” (Fathir: 32), juga dalam firman-Nya, “Aku telah menzalimi diriku sendiri” (An-Naml: 44), serta “Ketika mereka menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nisa: 64). Keseluruhan jenis kezaliman ini sejatinya adalah kezaliman terhadap diri sendiri, karena seseorang yang memulai perbuatan zalim telah menzalimi dirinya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam banyak ayat, “Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nahl: 33) dan “Tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 57). Ibnu Rajab menyebutkan bahwa kezaliman terbagi menjadi dua jenis: Kezaliman terhadap diri sendiri: Yang terbesar adalah syirik, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Orang yang melakukan syirik menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta dengan menyembah dan mengagungkannya. Hal ini merupakan bentuk penempatan sesuatu tidak pada tempatnya. Kemudian diikuti oleh berbagai bentuk maksiat, baik besar maupun kecil. Kezaliman terhadap orang lain: Ini mencakup segala bentuk ketidakadilan dan penyimpangan dalam interaksi sosial.   Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf Kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi sosial, terlebih ketika kita sering bergaul dengan orang lain, baik itu teman, tetangga, atau bahkan keluarga. Hubungan yang dekat dan intens kerap kali menjadi penyebab timbulnya gesekan dan konflik. Oleh karena itu, memohon maaf dan bertaubat dari kezaliman menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini dalam hadisnya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Hal ini semakin relevan jika kita mengingat bahwa kesalahan dan kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi yang rutin, terutama di antara anggota keluarga. Oleh sebab itu, memohon maaf dan memperbaiki hubungan menjadi sangat penting. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,ِ وَكُلَّمَا طَالَتِ المُخَالَطَةُ اِزْدَادَتْ أَسْبَابُ الشَّرِّ وَالعَدَاوَةُ وَقُوِّيَتْ , وَبِهَذَا السَّبَبُ كَانَ الشَّرُّ الحَاصِلُ مِنَ الأَقَارِبِ وَالعُشَرَاءِ أَضْعَافَ الشّرِّ الحَاصِلِ مِنَ الأَجَانِبِ وَالبُعَدَاءِ “Makin lama bergaul, makin banyak kesalahan dan permusuhan, bahkan semakin kuat. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta berlipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:422)   Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan Jika yang sudah berbuat zalim sudah meminta maaf, tetapi tidak dimaafkan, apa yang mesti dilakukan? Dari Judan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ بِمَعْذِرَةٍ ، فَلَمْ يَقْبَلْهَا كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ خَطِيئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ “Barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan, lalu saudaranya itu tidak menerima maafnya, maka orang yang tidak menerima maaf tersebut akan menanggung dosa seperti dosa pemungut pajak yang zalim.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, no. 521; Ibnu Majah dalam As-Sunan, no. 3718; Ibnu Hibban dalam Raudah Al-‘Uqala’, hlm. 182; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 2:275; Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 6:321. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 1907) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, عَفُوا تَعْفُ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ يَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ مِنْ شَيْءٍ بَلَغَهُ عَنْهُ فَلَمْ يَقْبَلْ عُذْرَهُ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan orang lain), niscaya istri-istri kalian akan memaafkan kalian. Berbuat baiklah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian. Dan barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya sesama muslim atas sesuatu yang pernah ia lakukan, tetapi saudaranya itu tidak menerima permintaan maafnya, maka ia tidak akan mendatangiku di telaga (pada hari kiamat).” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 6:241. Al-Haytsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:81 menyatakan bahwa ada Khalid bin Zaid Al-‘Umari, ia seorang perawi pendusta). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَفُوا عَنْ نِسَاءِ النَّاسِ تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ أَتَاهُ أَخُوهُ مُتَنَصِّلًا فَلْيَقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ، مُحِقًّا كَانَ أَوْ مُبْطِلًا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan) para wanita orang lain, niscaya para wanita kalian juga akan terjaga. Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian. Dan barang siapa yang didatangi oleh saudaranya untuk meminta maaf, hendaklah ia menerima permintaan maaf tersebut, baik saudaranya itu benar maupun salah. Jika ia tidak melakukannya, maka ia tidak akan mendatangiku di Telaga (al-Haudh pada hari kiamat).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4:154. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Namun, Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Suwaid itu dhaif. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 2043 mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Catatan: Tiga hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits yang dhaif. Kelemahan hadits-hadits yang berbicara tentang ancaman bagi mereka yang tidak menerima permintaan maaf saudaranya, tidak berarti bahwa hal tersebut (menerima permintaan maaf) bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan, menerima permintaan maaf dari orang yang meminta maaf adalah bagian dari kemuliaan akhlak dan penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang. Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam kitab “Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala” (1:183), “Wajib bagi orang yang berakal, ketika saudaranya meminta maaf kepadanya atas suatu kesalahan yang terjadi atau kelalaian yang pernah terjadi, hendaklah menerima permintaan maaf tersebut dan menganggapnya seolah-olah tidak pernah berbuat kesalahan. Karena siapa saja yang diminta maaf oleh saudaranya tetapi tidak menerima, aku khawatir dia tidak akan mendatangi Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang pernah melakukan kesalahan dalam urusan apa pun, ia harus meminta maaf atas kelalaiannya kepada saudaranya.” Muhammad bin Abdullah bin Zanji al-Baghdadi pernah membacakan syair kepadaku, “Jika temanmu suatu hari meminta maaf atas kelalaian, terimalah permintaan maafnya dengan penuh keikhlasan. Jaga ia dari perlakuan kerasmu dan maafkan dia, karena pemaafan adalah sifat mulia setiap orang yang terhormat.” Imam Al-Ghazali rahimahullah juga berkata, “Adapun kesalahan saudara terhadap hakmu, yang membuat hatimu terasa terganggu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang utama adalah memaafkan dan bersabar. Bahkan segala sesuatu yang masih bisa ditafsirkan dengan baik dan ada kemungkinan permintaan maaf yang masuk akal, baik dekat atau jauh, wajib bagimu untuk menerimanya atas dasar persaudaraan.” (Ihya ‘Ulumuddin, 2:185-186). Bahasan ini menekankan pentingnya memaafkan dan menerima permintaan maaf sebagai bagian dari akhlak yang mulia dan kewajiban dalam menjaga persaudaraan. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan Jika seseorang enggan memaafkan meski kita telah meminta maaf, tetaplah berbuat baik padanya. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin (1:360) menyatakan bahwa gangguan manusia atau pemutusan hubungan dari mereka tidak seharusnya menghentikan perbuatan baik kita kepada mereka. Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika ia hendak memutuskan hubungannya dengan Misthah bin Utsatsah, yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (tuduhan palsu terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Baca juga: Tetap Balas dengan Kebaikan Ketika Diperlakukan Buruk    Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami Kita semua pernah berbuat salah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kadang, kezaliman yang kita lakukan menjadi beban berat yang mengganggu hati dan jiwa. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka pintu ampunan bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh ingin bertaubat. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah kepadaku doa yang aku baca dalam shalatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah: اللهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ ALLOHUMMA INII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRO, WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA, FAGH-FIR-LII MAGH-FIROTAN MIN ‘INDIK, WARHAM-NII, INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, kasihanilah diriku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 834 dan Muslim, no. 2705) Baca juga: Doa Ampunan yang Diajarkan pada Abu Bakar Dibaca Sebelum Salam   Penutup Sebagai penutup, para ulama seperti Ibnu Katsir memberikan panduan mengenai taubat yang tulus dan ikhlas. Beliau menerangkan bahwa taubat yang benar adalah: التَّوْبَةُ النَّصُوحُ هُوَ أَنْ يَقْلَعَ عَنِ الذَّنْبِ فِي الْحَاضِرِ وَيَنْدَمَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْهُ فِي الْمَاضِي، وَيَعْزِمَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، ثُمَّ إِنْ كَانَ الْحَقُّ لِآدَمِيٍّ رَدَّهُ إِلَيْهِ بِطَرِيقِهِ. “Taubat yang tulus adalah dengan meninggalkan dosa di masa sekarang, menyesali apa yang telah dilakukan di masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa depan. Kemudian, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia, maka ia harus mengembalikannya dengan cara yang benar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:323) Inilah pentingnya taubat dari kezaliman, mengembalikan hak-hak yang pernah kita rampas, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri di masa depan. Baca juga: Syarat Taubat, Bertekad Tidak Mau Mengulangi Dosa   Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/116388/ https://dorar.net/alakhlaq/4384/   – Selesai ditulis pada 21 Rabiul Awwal 1446 H, 25 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmaaf memaafkan memaafkan minta maaf mohon maaf lahir dan batin
Kezaliman adalah dosa besar yang akan mendatangkan siksa pedih di akhirat jika tidak segera disesali. Islam menegaskan pentingnya meminta maaf kepada yang dizalimi, karena di akhirat kebaikan kita bisa berpindah kepada mereka. Sebelum terlambat, segera bertaubat dan mintalah maaf untuk menghindari hukuman di hari kiamat   Daftar Isi tutup 1. Makna Zalim 2. Islam Melarang Kezaliman 3. Akibat Orang Berbuat Zalim 3.1. 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut 3.2. 2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat 3.3. 3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi 4. Jenis-Jenis Kezaliman 5. Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf 6. Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan 7. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan 8. Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami 9. Penutup 9.1. Referensi:   Makna Zalim Secara etimologi, zhulmu (kezaliman) berarti, ِوَضعُ الشَّيءِ في غَيرِ مَوضِعِه، وأخذُ المَرءِ ما ليس له “Azh-zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, hlm. 154; Tahdzib Al-Lughah karya Al-Azhari, 14:276; Bahjah Al-Majalis karya Ibnu ‘Abdil Barr, 1:362) Secara istilah, zhulmu artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al-Asfahani mengatakan mengenai zalim adalah, وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه “Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an, hlm. 537) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ِواعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم “Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu, zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2:486). Zalim secara umum dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, baik dengan mengurangi, menambah, atau melampaui batas. Zalim terjadi saat seseorang melanggar larangan atau mengabaikan kewajiban, mencakup ketidakadilan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun hak Allah.   Islam Melarang Kezaliman Allah Ta’ala berfirman, ِأَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18). ِوَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102). ِنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ “Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40). ِمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18). ِإِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21). Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِيَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR.  Muslim, no. 2577). Beliau juga bersabda, ِاتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ “Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 2447, Muslim, no. 2578). Beliau juga bersabda, ِالمُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ، لا يَظْلِمُهُ ولا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حاجَتِهِ “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Muslim, no. 2564).   Akibat Orang Berbuat Zalim Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya: 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya,  أَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).   2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِالظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2447 dan Muslim no. 2579).   3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فإنَّهَا ليسَ بيْنَهَا وبيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ. “Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doanya langsung sampai kepada Allah tanpa ada penghalang.” (HR. Bukhari, no. 2448, 1496 dan Muslim, no.19).   Jenis-Jenis Kezaliman Kezaliman terbagi menjadi tiga: Kezaliman antara manusia dan Allah Ta’ala: Kezaliman terbesar dalam hal ini adalah kekufuran, syirik, dan nifaq. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Hal ini juga disinggung dalam firman-Nya, “Ingatlah, laknat Allah atas orang-orang yang zalim” (Hud: 18) dan “Allah telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih” (Al-Insan: 31). Ayat lain menegaskan, “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah?” (Az-Zumar: 32) dan “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-An’am: 93). Kezaliman antara manusia dengan sesama manusia: Allah menyebutkan jenis kezaliman ini dalam firman-Nya, “Balasan keburukan adalah keburukan yang setimpal… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (Asy-Syura: 42). Juga dalam ayat, “Sesungguhnya jalan (untuk menuntut keadilan) hanya terhadap orang-orang yang menzalimi manusia” (Asy-Syura: 42) dan “Barang siapa yang dibunuh secara zalim…” (Al-Isra: 33). Kezaliman antara manusia terhadap dirinya sendiri: Ini disebutkan dalam ayat, “Di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri” (Fathir: 32), juga dalam firman-Nya, “Aku telah menzalimi diriku sendiri” (An-Naml: 44), serta “Ketika mereka menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nisa: 64). Keseluruhan jenis kezaliman ini sejatinya adalah kezaliman terhadap diri sendiri, karena seseorang yang memulai perbuatan zalim telah menzalimi dirinya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam banyak ayat, “Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nahl: 33) dan “Tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 57). Ibnu Rajab menyebutkan bahwa kezaliman terbagi menjadi dua jenis: Kezaliman terhadap diri sendiri: Yang terbesar adalah syirik, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Orang yang melakukan syirik menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta dengan menyembah dan mengagungkannya. Hal ini merupakan bentuk penempatan sesuatu tidak pada tempatnya. Kemudian diikuti oleh berbagai bentuk maksiat, baik besar maupun kecil. Kezaliman terhadap orang lain: Ini mencakup segala bentuk ketidakadilan dan penyimpangan dalam interaksi sosial.   Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf Kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi sosial, terlebih ketika kita sering bergaul dengan orang lain, baik itu teman, tetangga, atau bahkan keluarga. Hubungan yang dekat dan intens kerap kali menjadi penyebab timbulnya gesekan dan konflik. Oleh karena itu, memohon maaf dan bertaubat dari kezaliman menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini dalam hadisnya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Hal ini semakin relevan jika kita mengingat bahwa kesalahan dan kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi yang rutin, terutama di antara anggota keluarga. Oleh sebab itu, memohon maaf dan memperbaiki hubungan menjadi sangat penting. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,ِ وَكُلَّمَا طَالَتِ المُخَالَطَةُ اِزْدَادَتْ أَسْبَابُ الشَّرِّ وَالعَدَاوَةُ وَقُوِّيَتْ , وَبِهَذَا السَّبَبُ كَانَ الشَّرُّ الحَاصِلُ مِنَ الأَقَارِبِ وَالعُشَرَاءِ أَضْعَافَ الشّرِّ الحَاصِلِ مِنَ الأَجَانِبِ وَالبُعَدَاءِ “Makin lama bergaul, makin banyak kesalahan dan permusuhan, bahkan semakin kuat. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta berlipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:422)   Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan Jika yang sudah berbuat zalim sudah meminta maaf, tetapi tidak dimaafkan, apa yang mesti dilakukan? Dari Judan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ بِمَعْذِرَةٍ ، فَلَمْ يَقْبَلْهَا كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ خَطِيئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ “Barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan, lalu saudaranya itu tidak menerima maafnya, maka orang yang tidak menerima maaf tersebut akan menanggung dosa seperti dosa pemungut pajak yang zalim.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, no. 521; Ibnu Majah dalam As-Sunan, no. 3718; Ibnu Hibban dalam Raudah Al-‘Uqala’, hlm. 182; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 2:275; Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 6:321. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 1907) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, عَفُوا تَعْفُ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ يَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ مِنْ شَيْءٍ بَلَغَهُ عَنْهُ فَلَمْ يَقْبَلْ عُذْرَهُ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan orang lain), niscaya istri-istri kalian akan memaafkan kalian. Berbuat baiklah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian. Dan barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya sesama muslim atas sesuatu yang pernah ia lakukan, tetapi saudaranya itu tidak menerima permintaan maafnya, maka ia tidak akan mendatangiku di telaga (pada hari kiamat).” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 6:241. Al-Haytsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:81 menyatakan bahwa ada Khalid bin Zaid Al-‘Umari, ia seorang perawi pendusta). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَفُوا عَنْ نِسَاءِ النَّاسِ تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ أَتَاهُ أَخُوهُ مُتَنَصِّلًا فَلْيَقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ، مُحِقًّا كَانَ أَوْ مُبْطِلًا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan) para wanita orang lain, niscaya para wanita kalian juga akan terjaga. Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian. Dan barang siapa yang didatangi oleh saudaranya untuk meminta maaf, hendaklah ia menerima permintaan maaf tersebut, baik saudaranya itu benar maupun salah. Jika ia tidak melakukannya, maka ia tidak akan mendatangiku di Telaga (al-Haudh pada hari kiamat).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4:154. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Namun, Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Suwaid itu dhaif. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 2043 mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Catatan: Tiga hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits yang dhaif. Kelemahan hadits-hadits yang berbicara tentang ancaman bagi mereka yang tidak menerima permintaan maaf saudaranya, tidak berarti bahwa hal tersebut (menerima permintaan maaf) bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan, menerima permintaan maaf dari orang yang meminta maaf adalah bagian dari kemuliaan akhlak dan penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang. Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam kitab “Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala” (1:183), “Wajib bagi orang yang berakal, ketika saudaranya meminta maaf kepadanya atas suatu kesalahan yang terjadi atau kelalaian yang pernah terjadi, hendaklah menerima permintaan maaf tersebut dan menganggapnya seolah-olah tidak pernah berbuat kesalahan. Karena siapa saja yang diminta maaf oleh saudaranya tetapi tidak menerima, aku khawatir dia tidak akan mendatangi Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang pernah melakukan kesalahan dalam urusan apa pun, ia harus meminta maaf atas kelalaiannya kepada saudaranya.” Muhammad bin Abdullah bin Zanji al-Baghdadi pernah membacakan syair kepadaku, “Jika temanmu suatu hari meminta maaf atas kelalaian, terimalah permintaan maafnya dengan penuh keikhlasan. Jaga ia dari perlakuan kerasmu dan maafkan dia, karena pemaafan adalah sifat mulia setiap orang yang terhormat.” Imam Al-Ghazali rahimahullah juga berkata, “Adapun kesalahan saudara terhadap hakmu, yang membuat hatimu terasa terganggu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang utama adalah memaafkan dan bersabar. Bahkan segala sesuatu yang masih bisa ditafsirkan dengan baik dan ada kemungkinan permintaan maaf yang masuk akal, baik dekat atau jauh, wajib bagimu untuk menerimanya atas dasar persaudaraan.” (Ihya ‘Ulumuddin, 2:185-186). Bahasan ini menekankan pentingnya memaafkan dan menerima permintaan maaf sebagai bagian dari akhlak yang mulia dan kewajiban dalam menjaga persaudaraan. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan Jika seseorang enggan memaafkan meski kita telah meminta maaf, tetaplah berbuat baik padanya. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin (1:360) menyatakan bahwa gangguan manusia atau pemutusan hubungan dari mereka tidak seharusnya menghentikan perbuatan baik kita kepada mereka. Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika ia hendak memutuskan hubungannya dengan Misthah bin Utsatsah, yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (tuduhan palsu terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Baca juga: Tetap Balas dengan Kebaikan Ketika Diperlakukan Buruk    Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami Kita semua pernah berbuat salah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kadang, kezaliman yang kita lakukan menjadi beban berat yang mengganggu hati dan jiwa. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka pintu ampunan bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh ingin bertaubat. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah kepadaku doa yang aku baca dalam shalatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah: اللهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ ALLOHUMMA INII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRO, WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA, FAGH-FIR-LII MAGH-FIROTAN MIN ‘INDIK, WARHAM-NII, INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, kasihanilah diriku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 834 dan Muslim, no. 2705) Baca juga: Doa Ampunan yang Diajarkan pada Abu Bakar Dibaca Sebelum Salam   Penutup Sebagai penutup, para ulama seperti Ibnu Katsir memberikan panduan mengenai taubat yang tulus dan ikhlas. Beliau menerangkan bahwa taubat yang benar adalah: التَّوْبَةُ النَّصُوحُ هُوَ أَنْ يَقْلَعَ عَنِ الذَّنْبِ فِي الْحَاضِرِ وَيَنْدَمَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْهُ فِي الْمَاضِي، وَيَعْزِمَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، ثُمَّ إِنْ كَانَ الْحَقُّ لِآدَمِيٍّ رَدَّهُ إِلَيْهِ بِطَرِيقِهِ. “Taubat yang tulus adalah dengan meninggalkan dosa di masa sekarang, menyesali apa yang telah dilakukan di masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa depan. Kemudian, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia, maka ia harus mengembalikannya dengan cara yang benar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:323) Inilah pentingnya taubat dari kezaliman, mengembalikan hak-hak yang pernah kita rampas, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri di masa depan. Baca juga: Syarat Taubat, Bertekad Tidak Mau Mengulangi Dosa   Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/116388/ https://dorar.net/alakhlaq/4384/   – Selesai ditulis pada 21 Rabiul Awwal 1446 H, 25 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmaaf memaafkan memaafkan minta maaf mohon maaf lahir dan batin


Kezaliman adalah dosa besar yang akan mendatangkan siksa pedih di akhirat jika tidak segera disesali. Islam menegaskan pentingnya meminta maaf kepada yang dizalimi, karena di akhirat kebaikan kita bisa berpindah kepada mereka. Sebelum terlambat, segera bertaubat dan mintalah maaf untuk menghindari hukuman di hari kiamat   Daftar Isi tutup 1. Makna Zalim 2. Islam Melarang Kezaliman 3. Akibat Orang Berbuat Zalim 3.1. 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut 3.2. 2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat 3.3. 3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi 4. Jenis-Jenis Kezaliman 5. Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf 6. Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan 7. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan 8. Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami 9. Penutup 9.1. Referensi:   Makna Zalim Secara etimologi, zhulmu (kezaliman) berarti, ِوَضعُ الشَّيءِ في غَيرِ مَوضِعِه، وأخذُ المَرءِ ما ليس له “Azh-zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, hlm. 154; Tahdzib Al-Lughah karya Al-Azhari, 14:276; Bahjah Al-Majalis karya Ibnu ‘Abdil Barr, 1:362) Secara istilah, zhulmu artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al-Asfahani mengatakan mengenai zalim adalah, وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه “Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an, hlm. 537) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ِواعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم “Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu, zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2:486). Zalim secara umum dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, baik dengan mengurangi, menambah, atau melampaui batas. Zalim terjadi saat seseorang melanggar larangan atau mengabaikan kewajiban, mencakup ketidakadilan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun hak Allah.   Islam Melarang Kezaliman Allah Ta’ala berfirman, ِأَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18). ِوَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102). ِنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ “Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40). ِمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18). ِإِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21). Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِيَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR.  Muslim, no. 2577). Beliau juga bersabda, ِاتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ “Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 2447, Muslim, no. 2578). Beliau juga bersabda, ِالمُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ، لا يَظْلِمُهُ ولا يُسْلِمُهُ، ومَن كانَ في حاجَةِ أخِيهِ كانَ اللَّهُ في حاجَتِهِ “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Muslim, no. 2564).   Akibat Orang Berbuat Zalim Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya: 1. Orang zalim akan dibalas di akhirat hingga menjadi orang yang bangkrut Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya,  أَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).   2. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِالظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2447 dan Muslim no. 2579).   3. Terancam oleh doa orang yang dizalimi Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فإنَّهَا ليسَ بيْنَهَا وبيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ. “Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, karena doanya langsung sampai kepada Allah tanpa ada penghalang.” (HR. Bukhari, no. 2448, 1496 dan Muslim, no.19).   Jenis-Jenis Kezaliman Kezaliman terbagi menjadi tiga: Kezaliman antara manusia dan Allah Ta’ala: Kezaliman terbesar dalam hal ini adalah kekufuran, syirik, dan nifaq. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Hal ini juga disinggung dalam firman-Nya, “Ingatlah, laknat Allah atas orang-orang yang zalim” (Hud: 18) dan “Allah telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih” (Al-Insan: 31). Ayat lain menegaskan, “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah?” (Az-Zumar: 32) dan “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-An’am: 93). Kezaliman antara manusia dengan sesama manusia: Allah menyebutkan jenis kezaliman ini dalam firman-Nya, “Balasan keburukan adalah keburukan yang setimpal… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (Asy-Syura: 42). Juga dalam ayat, “Sesungguhnya jalan (untuk menuntut keadilan) hanya terhadap orang-orang yang menzalimi manusia” (Asy-Syura: 42) dan “Barang siapa yang dibunuh secara zalim…” (Al-Isra: 33). Kezaliman antara manusia terhadap dirinya sendiri: Ini disebutkan dalam ayat, “Di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri” (Fathir: 32), juga dalam firman-Nya, “Aku telah menzalimi diriku sendiri” (An-Naml: 44), serta “Ketika mereka menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nisa: 64). Keseluruhan jenis kezaliman ini sejatinya adalah kezaliman terhadap diri sendiri, karena seseorang yang memulai perbuatan zalim telah menzalimi dirinya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam banyak ayat, “Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri” (An-Nahl: 33) dan “Tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 57). Ibnu Rajab menyebutkan bahwa kezaliman terbagi menjadi dua jenis: Kezaliman terhadap diri sendiri: Yang terbesar adalah syirik, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” (Luqman: 13). Orang yang melakukan syirik menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta dengan menyembah dan mengagungkannya. Hal ini merupakan bentuk penempatan sesuatu tidak pada tempatnya. Kemudian diikuti oleh berbagai bentuk maksiat, baik besar maupun kecil. Kezaliman terhadap orang lain: Ini mencakup segala bentuk ketidakadilan dan penyimpangan dalam interaksi sosial.   Taubatlah dari Kezaliman: Meminta Maaf Kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi sosial, terlebih ketika kita sering bergaul dengan orang lain, baik itu teman, tetangga, atau bahkan keluarga. Hubungan yang dekat dan intens kerap kali menjadi penyebab timbulnya gesekan dan konflik. Oleh karena itu, memohon maaf dan bertaubat dari kezaliman menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini dalam hadisnya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Hal ini semakin relevan jika kita mengingat bahwa kesalahan dan kezaliman sering kali terjadi dalam interaksi yang rutin, terutama di antara anggota keluarga. Oleh sebab itu, memohon maaf dan memperbaiki hubungan menjadi sangat penting. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,ِ وَكُلَّمَا طَالَتِ المُخَالَطَةُ اِزْدَادَتْ أَسْبَابُ الشَّرِّ وَالعَدَاوَةُ وَقُوِّيَتْ , وَبِهَذَا السَّبَبُ كَانَ الشَّرُّ الحَاصِلُ مِنَ الأَقَارِبِ وَالعُشَرَاءِ أَضْعَافَ الشّرِّ الحَاصِلِ مِنَ الأَجَانِبِ وَالبُعَدَاءِ “Makin lama bergaul, makin banyak kesalahan dan permusuhan, bahkan semakin kuat. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta berlipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:422)   Meminta Maaf, Tetapi Tidak Dimaafkan Jika yang sudah berbuat zalim sudah meminta maaf, tetapi tidak dimaafkan, apa yang mesti dilakukan? Dari Judan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ بِمَعْذِرَةٍ ، فَلَمْ يَقْبَلْهَا كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ خَطِيئَةِ صَاحِبِ مَكْسٍ “Barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan, lalu saudaranya itu tidak menerima maafnya, maka orang yang tidak menerima maaf tersebut akan menanggung dosa seperti dosa pemungut pajak yang zalim.” (HR. Abu Daud dalam Al-Marasil, no. 521; Ibnu Majah dalam As-Sunan, no. 3718; Ibnu Hibban dalam Raudah Al-‘Uqala’, hlm. 182; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 2:275; Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 6:321. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 1907) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, عَفُوا تَعْفُ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ يَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ اعْتَذَرَ إِلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ مِنْ شَيْءٍ بَلَغَهُ عَنْهُ فَلَمْ يَقْبَلْ عُذْرَهُ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan orang lain), niscaya istri-istri kalian akan memaafkan kalian. Berbuat baiklah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat baik kepada kalian. Dan barang siapa yang meminta maaf kepada saudaranya sesama muslim atas sesuatu yang pernah ia lakukan, tetapi saudaranya itu tidak menerima permintaan maafnya, maka ia tidak akan mendatangiku di telaga (pada hari kiamat).” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 6:241. Al-Haytsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:81 menyatakan bahwa ada Khalid bin Zaid Al-‘Umari, ia seorang perawi pendusta). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَفُوا عَنْ نِسَاءِ النَّاسِ تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ، وَبَرُّوا آبَاءَكُمْ تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ، وَمَنْ أَتَاهُ أَخُوهُ مُتَنَصِّلًا فَلْيَقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ، مُحِقًّا كَانَ أَوْ مُبْطِلًا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَيَّ الْحَوْضَ “Maafkanlah (kesalahan) para wanita orang lain, niscaya para wanita kalian juga akan terjaga. Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian. Dan barang siapa yang didatangi oleh saudaranya untuk meminta maaf, hendaklah ia menerima permintaan maaf tersebut, baik saudaranya itu benar maupun salah. Jika ia tidak melakukannya, maka ia tidak akan mendatangiku di Telaga (al-Haudh pada hari kiamat).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 4:154. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Namun, Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Suwaid itu dhaif. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dhaifah, no. 2043 mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Catatan: Tiga hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits yang dhaif. Kelemahan hadits-hadits yang berbicara tentang ancaman bagi mereka yang tidak menerima permintaan maaf saudaranya, tidak berarti bahwa hal tersebut (menerima permintaan maaf) bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan, menerima permintaan maaf dari orang yang meminta maaf adalah bagian dari kemuliaan akhlak dan penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang. Ibnu Hibban rahimahullah berkata dalam kitab “Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala” (1:183), “Wajib bagi orang yang berakal, ketika saudaranya meminta maaf kepadanya atas suatu kesalahan yang terjadi atau kelalaian yang pernah terjadi, hendaklah menerima permintaan maaf tersebut dan menganggapnya seolah-olah tidak pernah berbuat kesalahan. Karena siapa saja yang diminta maaf oleh saudaranya tetapi tidak menerima, aku khawatir dia tidak akan mendatangi Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang pernah melakukan kesalahan dalam urusan apa pun, ia harus meminta maaf atas kelalaiannya kepada saudaranya.” Muhammad bin Abdullah bin Zanji al-Baghdadi pernah membacakan syair kepadaku, “Jika temanmu suatu hari meminta maaf atas kelalaian, terimalah permintaan maafnya dengan penuh keikhlasan. Jaga ia dari perlakuan kerasmu dan maafkan dia, karena pemaafan adalah sifat mulia setiap orang yang terhormat.” Imam Al-Ghazali rahimahullah juga berkata, “Adapun kesalahan saudara terhadap hakmu, yang membuat hatimu terasa terganggu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang utama adalah memaafkan dan bersabar. Bahkan segala sesuatu yang masih bisa ditafsirkan dengan baik dan ada kemungkinan permintaan maaf yang masuk akal, baik dekat atau jauh, wajib bagimu untuk menerimanya atas dasar persaudaraan.” (Ihya ‘Ulumuddin, 2:185-186). Bahasan ini menekankan pentingnya memaafkan dan menerima permintaan maaf sebagai bagian dari akhlak yang mulia dan kewajiban dalam menjaga persaudaraan. Tetaplah Berbuat Baik Meski Tak Dimaafkan Jika seseorang enggan memaafkan meski kita telah meminta maaf, tetaplah berbuat baik padanya. Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin (1:360) menyatakan bahwa gangguan manusia atau pemutusan hubungan dari mereka tidak seharusnya menghentikan perbuatan baik kita kepada mereka. Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika ia hendak memutuskan hubungannya dengan Misthah bin Utsatsah, yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (tuduhan palsu terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Baca juga: Tetap Balas dengan Kebaikan Ketika Diperlakukan Buruk    Ya Allah, Maafkanlah Kezaliman Kami Kita semua pernah berbuat salah, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kadang, kezaliman yang kita lakukan menjadi beban berat yang mengganggu hati dan jiwa. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka pintu ampunan bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh ingin bertaubat. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajarkanlah kepadaku doa yang aku baca dalam shalatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah: اللهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيْمُ ALLOHUMMA INII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRO, WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA, FAGH-FIR-LII MAGH-FIROTAN MIN ‘INDIK, WARHAM-NII, INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIM. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, kasihanilah diriku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 834 dan Muslim, no. 2705) Baca juga: Doa Ampunan yang Diajarkan pada Abu Bakar Dibaca Sebelum Salam   Penutup Sebagai penutup, para ulama seperti Ibnu Katsir memberikan panduan mengenai taubat yang tulus dan ikhlas. Beliau menerangkan bahwa taubat yang benar adalah: التَّوْبَةُ النَّصُوحُ هُوَ أَنْ يَقْلَعَ عَنِ الذَّنْبِ فِي الْحَاضِرِ وَيَنْدَمَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْهُ فِي الْمَاضِي، وَيَعْزِمَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، ثُمَّ إِنْ كَانَ الْحَقُّ لِآدَمِيٍّ رَدَّهُ إِلَيْهِ بِطَرِيقِهِ. “Taubat yang tulus adalah dengan meninggalkan dosa di masa sekarang, menyesali apa yang telah dilakukan di masa lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa depan. Kemudian, jika dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia, maka ia harus mengembalikannya dengan cara yang benar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:323) Inilah pentingnya taubat dari kezaliman, mengembalikan hak-hak yang pernah kita rampas, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri di masa depan. Baca juga: Syarat Taubat, Bertekad Tidak Mau Mengulangi Dosa   Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/116388/ https://dorar.net/alakhlaq/4384/   – Selesai ditulis pada 21 Rabiul Awwal 1446 H, 25 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsmaaf memaafkan memaafkan minta maaf mohon maaf lahir dan batin

Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah?

Daftar Isi Toggle Apa itu gibah?Bertobat dari gibah Apa itu gibah? Gibah merupakan salah satu perbuatan yang terlarang dalam Islam dan merupakan salah satu dari dosa besar. Gibah sendiri adalah membicarakan kejelekan orang lain dalam perkara yang orang tersebut tidak sukai, semisal kejelekannya dan aib-aibnya, walaupun jika nyatanya memang demikian. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apakah gibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggibahinya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” Gibah merupakan hal yang terlarang dalam Islam dan termasuk dosa besar. Bahkan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menyamakan perbuatan gibah ini dengan memakan bangkai saudaranya. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat ke-12, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ “Ketika aku dinaikkan ke langit (di-mi’raj-kan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga. Kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (gibah) dan merusak kehormatan mereka.” (HR. Abu Daud) Dari dalil-dalil yang ada, maka bisa kita ketahui bahwa gibah merupakan perbuatan terlarang yang patut untuk dijauhi. Baca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama Bertobat dari gibah Setelah kita mengetahui buruknya gibah, tentunya kita harus menjauhinya sebagaimana kita tentu tidak akan suka dan bahkan merasa jijik ketika harus memakan bangkai saudara kita sendiri. Akan tetapi, perbuatan gibah ini termasuk perbuatan yang umum dilakukan di masyarakat kita. Bahkan, bisa dikatakan perbuatan gibah ini, walaupun banyak dalil yang menyatakan keharaman dan ancamannya, merupakan perbuatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang tentunya mudah terjerumus ke dalamnya. Lalu, bagaimana cara kita bertobat dari dosa gibah jika terlanjur melakukannya? Pintu tobat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentunya selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur: 31) Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8) Maka dari itu, setiap hamba yang bertobat tentu akan diterima tobatnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala selama ia jujur dan bersungguh-sungguh dalam tobatnya. Akan tetapi, gibah sendiri merupakan suatu dosa yang merugikan orang lain sehingga tidak cukup hanya dengan bertobat kepada Allah semata sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala, لكن من شرط التوبة من حق المسلم أن يعطى حقه، إن كان مالًا؛ يعطى حقه، إن كان دمًا؛ يمكن من القصاص “Akan tetapi, syarat tobat dari perbuatan yang berkaitan dengan hak seorang muslim adalah diberikan haknya. Jika itu harta, maka diberikan hartanya. Jika itu darah, maka mungkin untuk dilakukan qishash.” Hal tersebut sejalan dengan hadis, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apa pun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat),  apabila dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya sebanyak kezalimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi, maka keburukan yang dizaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, ketika seseorang menggibahi saudaranya, maka selain bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia juga perlu untuk meminta maaf pada orang yang telah ia gibahi. Lalu, bagaimana jika tidak bisa meminta maaf, seperti karena sudah meninggalnya orang tersebut atau jika kita meminta maaf, maka kemungkinan orang tersebut akan marah dan memberikan keburukan yang lebih besar. Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala menjelaskan, فإن كان لا يستطيع ذلك؛ لأن الذي اغتيب قد مات، أو بعيد عنه لا يتمكن من مقابلته، أو الكتابة إليه، أو يخشى من إخباره بذلك فتنة وشر، فإنه يكفيه الاستغفار، والندم، والتوبة الصادقة، مع ذكر أخيه الذي اغتابه في المجالس، التي اغتابه فيها يذكره بالخير، يذكره بالشيء الطيب الذي يعرفه عنه بدلًا مما ذكره به من الشر “Jika hal tersebut tidak mampu untuk dilakukan, dikarenakan yang digibahi telah meninggal, atau tinggal di tempat yang jauh sehingga tidak bisa ditemui atau dihubungi, atau takut jika memberitahukannya akan menjadi fitnah dan keburukan, maka cukup baginya untuk beristighfar, menyesal, dan bertobat dengan jujur bersamaan juga dengan menyebutkan saudaranya yang digibahi pada majelis-majelis tersebut untuk disebutkan kebaikannya pada majelis tersebut, menyebutkan hal yang baik yang diketahui padanya sebagai pengganti dari keburukan yang sudah dibicarakan.” Maka dari itu, ketika seseorang tidak mampu untuk meminta maaf pada saudara yang ia gibahi, maka cukup bagi kita untuk bertobat dan membalasnya dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis yang sebelumnya kita sebutkan keburukan dia di situ. Baca juga: Gibah, Penyebab Kebencian dan Permusuhan *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Fatwa Syekh Bin Baaz, islamqa, dan islamweb. Tags: gibah

Bagaimana Bertobat dari Dosa Gibah?

Daftar Isi Toggle Apa itu gibah?Bertobat dari gibah Apa itu gibah? Gibah merupakan salah satu perbuatan yang terlarang dalam Islam dan merupakan salah satu dari dosa besar. Gibah sendiri adalah membicarakan kejelekan orang lain dalam perkara yang orang tersebut tidak sukai, semisal kejelekannya dan aib-aibnya, walaupun jika nyatanya memang demikian. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apakah gibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggibahinya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” Gibah merupakan hal yang terlarang dalam Islam dan termasuk dosa besar. Bahkan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menyamakan perbuatan gibah ini dengan memakan bangkai saudaranya. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat ke-12, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ “Ketika aku dinaikkan ke langit (di-mi’raj-kan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga. Kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (gibah) dan merusak kehormatan mereka.” (HR. Abu Daud) Dari dalil-dalil yang ada, maka bisa kita ketahui bahwa gibah merupakan perbuatan terlarang yang patut untuk dijauhi. Baca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama Bertobat dari gibah Setelah kita mengetahui buruknya gibah, tentunya kita harus menjauhinya sebagaimana kita tentu tidak akan suka dan bahkan merasa jijik ketika harus memakan bangkai saudara kita sendiri. Akan tetapi, perbuatan gibah ini termasuk perbuatan yang umum dilakukan di masyarakat kita. Bahkan, bisa dikatakan perbuatan gibah ini, walaupun banyak dalil yang menyatakan keharaman dan ancamannya, merupakan perbuatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang tentunya mudah terjerumus ke dalamnya. Lalu, bagaimana cara kita bertobat dari dosa gibah jika terlanjur melakukannya? Pintu tobat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentunya selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur: 31) Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8) Maka dari itu, setiap hamba yang bertobat tentu akan diterima tobatnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala selama ia jujur dan bersungguh-sungguh dalam tobatnya. Akan tetapi, gibah sendiri merupakan suatu dosa yang merugikan orang lain sehingga tidak cukup hanya dengan bertobat kepada Allah semata sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala, لكن من شرط التوبة من حق المسلم أن يعطى حقه، إن كان مالًا؛ يعطى حقه، إن كان دمًا؛ يمكن من القصاص “Akan tetapi, syarat tobat dari perbuatan yang berkaitan dengan hak seorang muslim adalah diberikan haknya. Jika itu harta, maka diberikan hartanya. Jika itu darah, maka mungkin untuk dilakukan qishash.” Hal tersebut sejalan dengan hadis, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apa pun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat),  apabila dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya sebanyak kezalimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi, maka keburukan yang dizaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, ketika seseorang menggibahi saudaranya, maka selain bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia juga perlu untuk meminta maaf pada orang yang telah ia gibahi. Lalu, bagaimana jika tidak bisa meminta maaf, seperti karena sudah meninggalnya orang tersebut atau jika kita meminta maaf, maka kemungkinan orang tersebut akan marah dan memberikan keburukan yang lebih besar. Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala menjelaskan, فإن كان لا يستطيع ذلك؛ لأن الذي اغتيب قد مات، أو بعيد عنه لا يتمكن من مقابلته، أو الكتابة إليه، أو يخشى من إخباره بذلك فتنة وشر، فإنه يكفيه الاستغفار، والندم، والتوبة الصادقة، مع ذكر أخيه الذي اغتابه في المجالس، التي اغتابه فيها يذكره بالخير، يذكره بالشيء الطيب الذي يعرفه عنه بدلًا مما ذكره به من الشر “Jika hal tersebut tidak mampu untuk dilakukan, dikarenakan yang digibahi telah meninggal, atau tinggal di tempat yang jauh sehingga tidak bisa ditemui atau dihubungi, atau takut jika memberitahukannya akan menjadi fitnah dan keburukan, maka cukup baginya untuk beristighfar, menyesal, dan bertobat dengan jujur bersamaan juga dengan menyebutkan saudaranya yang digibahi pada majelis-majelis tersebut untuk disebutkan kebaikannya pada majelis tersebut, menyebutkan hal yang baik yang diketahui padanya sebagai pengganti dari keburukan yang sudah dibicarakan.” Maka dari itu, ketika seseorang tidak mampu untuk meminta maaf pada saudara yang ia gibahi, maka cukup bagi kita untuk bertobat dan membalasnya dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis yang sebelumnya kita sebutkan keburukan dia di situ. Baca juga: Gibah, Penyebab Kebencian dan Permusuhan *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Fatwa Syekh Bin Baaz, islamqa, dan islamweb. Tags: gibah
Daftar Isi Toggle Apa itu gibah?Bertobat dari gibah Apa itu gibah? Gibah merupakan salah satu perbuatan yang terlarang dalam Islam dan merupakan salah satu dari dosa besar. Gibah sendiri adalah membicarakan kejelekan orang lain dalam perkara yang orang tersebut tidak sukai, semisal kejelekannya dan aib-aibnya, walaupun jika nyatanya memang demikian. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apakah gibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggibahinya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” Gibah merupakan hal yang terlarang dalam Islam dan termasuk dosa besar. Bahkan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menyamakan perbuatan gibah ini dengan memakan bangkai saudaranya. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat ke-12, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ “Ketika aku dinaikkan ke langit (di-mi’raj-kan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga. Kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (gibah) dan merusak kehormatan mereka.” (HR. Abu Daud) Dari dalil-dalil yang ada, maka bisa kita ketahui bahwa gibah merupakan perbuatan terlarang yang patut untuk dijauhi. Baca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama Bertobat dari gibah Setelah kita mengetahui buruknya gibah, tentunya kita harus menjauhinya sebagaimana kita tentu tidak akan suka dan bahkan merasa jijik ketika harus memakan bangkai saudara kita sendiri. Akan tetapi, perbuatan gibah ini termasuk perbuatan yang umum dilakukan di masyarakat kita. Bahkan, bisa dikatakan perbuatan gibah ini, walaupun banyak dalil yang menyatakan keharaman dan ancamannya, merupakan perbuatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang tentunya mudah terjerumus ke dalamnya. Lalu, bagaimana cara kita bertobat dari dosa gibah jika terlanjur melakukannya? Pintu tobat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentunya selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur: 31) Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8) Maka dari itu, setiap hamba yang bertobat tentu akan diterima tobatnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala selama ia jujur dan bersungguh-sungguh dalam tobatnya. Akan tetapi, gibah sendiri merupakan suatu dosa yang merugikan orang lain sehingga tidak cukup hanya dengan bertobat kepada Allah semata sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala, لكن من شرط التوبة من حق المسلم أن يعطى حقه، إن كان مالًا؛ يعطى حقه، إن كان دمًا؛ يمكن من القصاص “Akan tetapi, syarat tobat dari perbuatan yang berkaitan dengan hak seorang muslim adalah diberikan haknya. Jika itu harta, maka diberikan hartanya. Jika itu darah, maka mungkin untuk dilakukan qishash.” Hal tersebut sejalan dengan hadis, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apa pun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat),  apabila dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya sebanyak kezalimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi, maka keburukan yang dizaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, ketika seseorang menggibahi saudaranya, maka selain bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia juga perlu untuk meminta maaf pada orang yang telah ia gibahi. Lalu, bagaimana jika tidak bisa meminta maaf, seperti karena sudah meninggalnya orang tersebut atau jika kita meminta maaf, maka kemungkinan orang tersebut akan marah dan memberikan keburukan yang lebih besar. Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala menjelaskan, فإن كان لا يستطيع ذلك؛ لأن الذي اغتيب قد مات، أو بعيد عنه لا يتمكن من مقابلته، أو الكتابة إليه، أو يخشى من إخباره بذلك فتنة وشر، فإنه يكفيه الاستغفار، والندم، والتوبة الصادقة، مع ذكر أخيه الذي اغتابه في المجالس، التي اغتابه فيها يذكره بالخير، يذكره بالشيء الطيب الذي يعرفه عنه بدلًا مما ذكره به من الشر “Jika hal tersebut tidak mampu untuk dilakukan, dikarenakan yang digibahi telah meninggal, atau tinggal di tempat yang jauh sehingga tidak bisa ditemui atau dihubungi, atau takut jika memberitahukannya akan menjadi fitnah dan keburukan, maka cukup baginya untuk beristighfar, menyesal, dan bertobat dengan jujur bersamaan juga dengan menyebutkan saudaranya yang digibahi pada majelis-majelis tersebut untuk disebutkan kebaikannya pada majelis tersebut, menyebutkan hal yang baik yang diketahui padanya sebagai pengganti dari keburukan yang sudah dibicarakan.” Maka dari itu, ketika seseorang tidak mampu untuk meminta maaf pada saudara yang ia gibahi, maka cukup bagi kita untuk bertobat dan membalasnya dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis yang sebelumnya kita sebutkan keburukan dia di situ. Baca juga: Gibah, Penyebab Kebencian dan Permusuhan *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Fatwa Syekh Bin Baaz, islamqa, dan islamweb. Tags: gibah


Daftar Isi Toggle Apa itu gibah?Bertobat dari gibah Apa itu gibah? Gibah merupakan salah satu perbuatan yang terlarang dalam Islam dan merupakan salah satu dari dosa besar. Gibah sendiri adalah membicarakan kejelekan orang lain dalam perkara yang orang tersebut tidak sukai, semisal kejelekannya dan aib-aibnya, walaupun jika nyatanya memang demikian. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apakah gibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggibahinya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” Gibah merupakan hal yang terlarang dalam Islam dan termasuk dosa besar. Bahkan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menyamakan perbuatan gibah ini dengan memakan bangkai saudaranya. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat ke-12, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ “Ketika aku dinaikkan ke langit (di-mi’raj-kan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga. Kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (gibah) dan merusak kehormatan mereka.” (HR. Abu Daud) Dari dalil-dalil yang ada, maka bisa kita ketahui bahwa gibah merupakan perbuatan terlarang yang patut untuk dijauhi. Baca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama Bertobat dari gibah Setelah kita mengetahui buruknya gibah, tentunya kita harus menjauhinya sebagaimana kita tentu tidak akan suka dan bahkan merasa jijik ketika harus memakan bangkai saudara kita sendiri. Akan tetapi, perbuatan gibah ini termasuk perbuatan yang umum dilakukan di masyarakat kita. Bahkan, bisa dikatakan perbuatan gibah ini, walaupun banyak dalil yang menyatakan keharaman dan ancamannya, merupakan perbuatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang tentunya mudah terjerumus ke dalamnya. Lalu, bagaimana cara kita bertobat dari dosa gibah jika terlanjur melakukannya? Pintu tobat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentunya selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin bertobat dengan sebenar-benarnya tobat. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur: 31) Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8) Maka dari itu, setiap hamba yang bertobat tentu akan diterima tobatnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala selama ia jujur dan bersungguh-sungguh dalam tobatnya. Akan tetapi, gibah sendiri merupakan suatu dosa yang merugikan orang lain sehingga tidak cukup hanya dengan bertobat kepada Allah semata sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala, لكن من شرط التوبة من حق المسلم أن يعطى حقه، إن كان مالًا؛ يعطى حقه، إن كان دمًا؛ يمكن من القصاص “Akan tetapi, syarat tobat dari perbuatan yang berkaitan dengan hak seorang muslim adalah diberikan haknya. Jika itu harta, maka diberikan hartanya. Jika itu darah, maka mungkin untuk dilakukan qishash.” Hal tersebut sejalan dengan hadis, مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apa pun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat),  apabila dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya sebanyak kezalimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi, maka keburukan yang dizaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya.” (HR. Bukhari) Oleh karena itu, ketika seseorang menggibahi saudaranya, maka selain bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia juga perlu untuk meminta maaf pada orang yang telah ia gibahi. Lalu, bagaimana jika tidak bisa meminta maaf, seperti karena sudah meninggalnya orang tersebut atau jika kita meminta maaf, maka kemungkinan orang tersebut akan marah dan memberikan keburukan yang lebih besar. Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullahu Ta’ala menjelaskan, فإن كان لا يستطيع ذلك؛ لأن الذي اغتيب قد مات، أو بعيد عنه لا يتمكن من مقابلته، أو الكتابة إليه، أو يخشى من إخباره بذلك فتنة وشر، فإنه يكفيه الاستغفار، والندم، والتوبة الصادقة، مع ذكر أخيه الذي اغتابه في المجالس، التي اغتابه فيها يذكره بالخير، يذكره بالشيء الطيب الذي يعرفه عنه بدلًا مما ذكره به من الشر “Jika hal tersebut tidak mampu untuk dilakukan, dikarenakan yang digibahi telah meninggal, atau tinggal di tempat yang jauh sehingga tidak bisa ditemui atau dihubungi, atau takut jika memberitahukannya akan menjadi fitnah dan keburukan, maka cukup baginya untuk beristighfar, menyesal, dan bertobat dengan jujur bersamaan juga dengan menyebutkan saudaranya yang digibahi pada majelis-majelis tersebut untuk disebutkan kebaikannya pada majelis tersebut, menyebutkan hal yang baik yang diketahui padanya sebagai pengganti dari keburukan yang sudah dibicarakan.” Maka dari itu, ketika seseorang tidak mampu untuk meminta maaf pada saudara yang ia gibahi, maka cukup bagi kita untuk bertobat dan membalasnya dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis yang sebelumnya kita sebutkan keburukan dia di situ. Baca juga: Gibah, Penyebab Kebencian dan Permusuhan *** Penulis : Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Fatwa Syekh Bin Baaz, islamqa, dan islamweb. Tags: gibah

Bagaimana Cara Shalat di Pesawat? – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Pertanyaan: “Bagaimana cara Shalat Subuh di pesawat, yang mana, perjalanan dimulai sebelum waktu Shalat Subuh dan selesai setelah matahari terbit?” Apabila seseorang mendapati waktu shalat, sedangkan dia berada di atas pesawat. — dan saya hendak menjawabnya dengan jawaban yang lebih luas daripada yang ditanyakan — Apabila kamu mendapati waktu shalat, sedangkan kamu berada di atas pesawat Jika shalat ini dapat dijamak dengan shalat setelahnya, maka akhirkanlah shalat ini (jamak takhir). Akhirkan shalat ini ke waktu shalat setelahnya, hingga kamu mendarat di bandara, lalu kerjakanlah dua shalat itu secara jamak. Namun, jika shalat itu tidak dapat dijamak dengan shalat setelahnya- — seperti Shalat Subuh yang disebutkan dalam pertanyaan — Maka kamu harus melaksanakan shalat itu di pesawat, sesuai dengan keadaanmu. Adapun shalat sunnahnya, yaitu Shalat Qabliyah Subuh, maka kamu dapat melakukannya sambil duduk di kursi, dan melakukan isyarat (gerakan rukuk dan sujud), meskipun arahmu tidak menghadap kiblat. Sedangkan shalat fardhu, harus kamu kerjakan dengan sempurna rukun-rukunnya, sesuai dengan kemampuan. Anda harus berdiri, dan menghadap ke arah kiblat, serta melakukan isyarat gerakan rukuk dan kamu masih dalam keadaan berdiri. Lalu jika kamu hendak sujud, maka duduklah, lalu lakukan isyarat gerakan sujud.Ini jika kamu tidak dapat rukuk dan sujud (dengan gerakan yang semestinya), karena saya dengar ada beberapa pesawat yang punya tempat yang luas yang bisa dipakai seseorang untuk mendirikan shalat secara sempurna dengan rukuk dan sujudnya. Jika memungkinkan rukuk dan sujud, maka wajib dilakukan; seperti saat di kereta api. Namun, jika tidak memungkinkan, maka seperti yang telah saya jelaskan; kamu shalat dengan berdiri dan melakukan isyarat rukuk, lalu duduk dan melakukan isyarat sujud. Yang penting kamu tidak menunda shalat hingga waktunya habis. Shalatlah sesuai dengan keadaanmu yang memungkinkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqarah: “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (QS. al-Baqarah: 239) “رِجَالًا” artinya berjalan kaki, atau “رُكْبَانًا” artinya di atas hewan tunggangan dan kapal (kendaraan). ==== سُؤَالٌ كَيْفَ نُؤَدِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي الطَّائِرَةِ حَيْثُ أَنَّ الرِّحْلَةَ تَبْدَأُ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَنْتَهِي بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ الْإِنْسَانُ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ وَقْتُ صَلَاةٍ وَهُوَ فِي الطَّائِرَةِ وَأُحِبُّ أَنْ أُجِيبَ بِجَوَابٍ أَوْسَعَ مِنَ السُّؤَالِ إِذَا مَرَّ عَلَيْكَ وَقْتُ صَلَاةٍ وَأَنْتَ فِي الطَّائِرَةِ فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الصَّلَاةُ تُجْمَعُ إِلَى مَا بَعْدَهَا فَأَخِّرْهَا أَخِّرْهَا إِلَى مَا بَعْدَهَا حَتَّى تَهْبِطَ فِي الْمَطَارِ وَتُصَلِّي الصَّلَاتَيْنِ جَمِيعًا وَإِنْ كَانَتْ لَا تُجْمَعُ لِمَا بَعْدَهَا مِثْلُ صَلَاةِ الْفَجْرِ الَّتِي جَاءَتْ فِي السُّؤَالِ فَإِنَّكَ تُصَلِّي فِي الطَّائِرَةِ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ أَمَّا النَّافِلَةُ الَّتِي هِيَ سُنَّةُ الْفَجْرِ تُصَلِّيهَا وَأَنْتَ عَلَى الْكُرْسِيِّ وَتُوْمِئُ إِيْمَاءً وَلَوْ كَانَ اتَّجَاهُكَ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ أَمَّا الْفَرِيضَةُ فَلَا بُدَّ أَنْ تُصَلِّيهَا تَامَّةً بِأَرْكَانِهَا حَسَبَ الْمُسْتَطَاعِ فَتَقِفُ قَائِمًا وَتَتَّجِهُ إِلَى الْقِبْلَةِ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَأَنْتَ قَائِمٌ وَإِذَا أَرَدْتَ السُّجُودَ اجْلِسْ ثُمَّ أَوْمِئْ بِالسُّجُودِ هَذَا إِذَا كَانَ لَا يُمْكِنُكَ أَنْ تَرْكَعَ أَوْ تَسْجُدَ لِأَنَّنِي سَمِعْتُ أَنَّ بَعْضَ الطَّائِرَاتِ يَكُونُ فِيهَا مَكَانٌ فَسِيْحٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ الصَّلَاةَ تَامَّةً بِرُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا فَإِذَا أَمْكَنَ فَهَذَا الْوَاجِبُ كَمَا فِي الْقِطَارِ مَثَلًا وَإِذَا لَمْ يُمْكِن فَإِنَّهُ كَمَا قُلْتُ تُصَلِّي فَتَقِفُ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَتَجْلِسُ وَتُومِئُ بِالسُّجُودِ الْمُهِمُّ أَنْ لَا تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ الْوَقْتُ صَلِّ عَلَى حَسَبَ حَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا رِجَالًا يَعْنِي مَاشِيْنَ عَلَى الْأَرْجُلِ أَوْ رُكْبَانًا عَلَى الْأَنْعَامِ وَالْفُلْكِ

Bagaimana Cara Shalat di Pesawat? – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Pertanyaan: “Bagaimana cara Shalat Subuh di pesawat, yang mana, perjalanan dimulai sebelum waktu Shalat Subuh dan selesai setelah matahari terbit?” Apabila seseorang mendapati waktu shalat, sedangkan dia berada di atas pesawat. — dan saya hendak menjawabnya dengan jawaban yang lebih luas daripada yang ditanyakan — Apabila kamu mendapati waktu shalat, sedangkan kamu berada di atas pesawat Jika shalat ini dapat dijamak dengan shalat setelahnya, maka akhirkanlah shalat ini (jamak takhir). Akhirkan shalat ini ke waktu shalat setelahnya, hingga kamu mendarat di bandara, lalu kerjakanlah dua shalat itu secara jamak. Namun, jika shalat itu tidak dapat dijamak dengan shalat setelahnya- — seperti Shalat Subuh yang disebutkan dalam pertanyaan — Maka kamu harus melaksanakan shalat itu di pesawat, sesuai dengan keadaanmu. Adapun shalat sunnahnya, yaitu Shalat Qabliyah Subuh, maka kamu dapat melakukannya sambil duduk di kursi, dan melakukan isyarat (gerakan rukuk dan sujud), meskipun arahmu tidak menghadap kiblat. Sedangkan shalat fardhu, harus kamu kerjakan dengan sempurna rukun-rukunnya, sesuai dengan kemampuan. Anda harus berdiri, dan menghadap ke arah kiblat, serta melakukan isyarat gerakan rukuk dan kamu masih dalam keadaan berdiri. Lalu jika kamu hendak sujud, maka duduklah, lalu lakukan isyarat gerakan sujud.Ini jika kamu tidak dapat rukuk dan sujud (dengan gerakan yang semestinya), karena saya dengar ada beberapa pesawat yang punya tempat yang luas yang bisa dipakai seseorang untuk mendirikan shalat secara sempurna dengan rukuk dan sujudnya. Jika memungkinkan rukuk dan sujud, maka wajib dilakukan; seperti saat di kereta api. Namun, jika tidak memungkinkan, maka seperti yang telah saya jelaskan; kamu shalat dengan berdiri dan melakukan isyarat rukuk, lalu duduk dan melakukan isyarat sujud. Yang penting kamu tidak menunda shalat hingga waktunya habis. Shalatlah sesuai dengan keadaanmu yang memungkinkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqarah: “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (QS. al-Baqarah: 239) “رِجَالًا” artinya berjalan kaki, atau “رُكْبَانًا” artinya di atas hewan tunggangan dan kapal (kendaraan). ==== سُؤَالٌ كَيْفَ نُؤَدِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي الطَّائِرَةِ حَيْثُ أَنَّ الرِّحْلَةَ تَبْدَأُ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَنْتَهِي بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ الْإِنْسَانُ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ وَقْتُ صَلَاةٍ وَهُوَ فِي الطَّائِرَةِ وَأُحِبُّ أَنْ أُجِيبَ بِجَوَابٍ أَوْسَعَ مِنَ السُّؤَالِ إِذَا مَرَّ عَلَيْكَ وَقْتُ صَلَاةٍ وَأَنْتَ فِي الطَّائِرَةِ فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الصَّلَاةُ تُجْمَعُ إِلَى مَا بَعْدَهَا فَأَخِّرْهَا أَخِّرْهَا إِلَى مَا بَعْدَهَا حَتَّى تَهْبِطَ فِي الْمَطَارِ وَتُصَلِّي الصَّلَاتَيْنِ جَمِيعًا وَإِنْ كَانَتْ لَا تُجْمَعُ لِمَا بَعْدَهَا مِثْلُ صَلَاةِ الْفَجْرِ الَّتِي جَاءَتْ فِي السُّؤَالِ فَإِنَّكَ تُصَلِّي فِي الطَّائِرَةِ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ أَمَّا النَّافِلَةُ الَّتِي هِيَ سُنَّةُ الْفَجْرِ تُصَلِّيهَا وَأَنْتَ عَلَى الْكُرْسِيِّ وَتُوْمِئُ إِيْمَاءً وَلَوْ كَانَ اتَّجَاهُكَ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ أَمَّا الْفَرِيضَةُ فَلَا بُدَّ أَنْ تُصَلِّيهَا تَامَّةً بِأَرْكَانِهَا حَسَبَ الْمُسْتَطَاعِ فَتَقِفُ قَائِمًا وَتَتَّجِهُ إِلَى الْقِبْلَةِ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَأَنْتَ قَائِمٌ وَإِذَا أَرَدْتَ السُّجُودَ اجْلِسْ ثُمَّ أَوْمِئْ بِالسُّجُودِ هَذَا إِذَا كَانَ لَا يُمْكِنُكَ أَنْ تَرْكَعَ أَوْ تَسْجُدَ لِأَنَّنِي سَمِعْتُ أَنَّ بَعْضَ الطَّائِرَاتِ يَكُونُ فِيهَا مَكَانٌ فَسِيْحٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ الصَّلَاةَ تَامَّةً بِرُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا فَإِذَا أَمْكَنَ فَهَذَا الْوَاجِبُ كَمَا فِي الْقِطَارِ مَثَلًا وَإِذَا لَمْ يُمْكِن فَإِنَّهُ كَمَا قُلْتُ تُصَلِّي فَتَقِفُ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَتَجْلِسُ وَتُومِئُ بِالسُّجُودِ الْمُهِمُّ أَنْ لَا تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ الْوَقْتُ صَلِّ عَلَى حَسَبَ حَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا رِجَالًا يَعْنِي مَاشِيْنَ عَلَى الْأَرْجُلِ أَوْ رُكْبَانًا عَلَى الْأَنْعَامِ وَالْفُلْكِ
Pertanyaan: “Bagaimana cara Shalat Subuh di pesawat, yang mana, perjalanan dimulai sebelum waktu Shalat Subuh dan selesai setelah matahari terbit?” Apabila seseorang mendapati waktu shalat, sedangkan dia berada di atas pesawat. — dan saya hendak menjawabnya dengan jawaban yang lebih luas daripada yang ditanyakan — Apabila kamu mendapati waktu shalat, sedangkan kamu berada di atas pesawat Jika shalat ini dapat dijamak dengan shalat setelahnya, maka akhirkanlah shalat ini (jamak takhir). Akhirkan shalat ini ke waktu shalat setelahnya, hingga kamu mendarat di bandara, lalu kerjakanlah dua shalat itu secara jamak. Namun, jika shalat itu tidak dapat dijamak dengan shalat setelahnya- — seperti Shalat Subuh yang disebutkan dalam pertanyaan — Maka kamu harus melaksanakan shalat itu di pesawat, sesuai dengan keadaanmu. Adapun shalat sunnahnya, yaitu Shalat Qabliyah Subuh, maka kamu dapat melakukannya sambil duduk di kursi, dan melakukan isyarat (gerakan rukuk dan sujud), meskipun arahmu tidak menghadap kiblat. Sedangkan shalat fardhu, harus kamu kerjakan dengan sempurna rukun-rukunnya, sesuai dengan kemampuan. Anda harus berdiri, dan menghadap ke arah kiblat, serta melakukan isyarat gerakan rukuk dan kamu masih dalam keadaan berdiri. Lalu jika kamu hendak sujud, maka duduklah, lalu lakukan isyarat gerakan sujud.Ini jika kamu tidak dapat rukuk dan sujud (dengan gerakan yang semestinya), karena saya dengar ada beberapa pesawat yang punya tempat yang luas yang bisa dipakai seseorang untuk mendirikan shalat secara sempurna dengan rukuk dan sujudnya. Jika memungkinkan rukuk dan sujud, maka wajib dilakukan; seperti saat di kereta api. Namun, jika tidak memungkinkan, maka seperti yang telah saya jelaskan; kamu shalat dengan berdiri dan melakukan isyarat rukuk, lalu duduk dan melakukan isyarat sujud. Yang penting kamu tidak menunda shalat hingga waktunya habis. Shalatlah sesuai dengan keadaanmu yang memungkinkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqarah: “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (QS. al-Baqarah: 239) “رِجَالًا” artinya berjalan kaki, atau “رُكْبَانًا” artinya di atas hewan tunggangan dan kapal (kendaraan). ==== سُؤَالٌ كَيْفَ نُؤَدِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي الطَّائِرَةِ حَيْثُ أَنَّ الرِّحْلَةَ تَبْدَأُ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَنْتَهِي بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ الْإِنْسَانُ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ وَقْتُ صَلَاةٍ وَهُوَ فِي الطَّائِرَةِ وَأُحِبُّ أَنْ أُجِيبَ بِجَوَابٍ أَوْسَعَ مِنَ السُّؤَالِ إِذَا مَرَّ عَلَيْكَ وَقْتُ صَلَاةٍ وَأَنْتَ فِي الطَّائِرَةِ فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الصَّلَاةُ تُجْمَعُ إِلَى مَا بَعْدَهَا فَأَخِّرْهَا أَخِّرْهَا إِلَى مَا بَعْدَهَا حَتَّى تَهْبِطَ فِي الْمَطَارِ وَتُصَلِّي الصَّلَاتَيْنِ جَمِيعًا وَإِنْ كَانَتْ لَا تُجْمَعُ لِمَا بَعْدَهَا مِثْلُ صَلَاةِ الْفَجْرِ الَّتِي جَاءَتْ فِي السُّؤَالِ فَإِنَّكَ تُصَلِّي فِي الطَّائِرَةِ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ أَمَّا النَّافِلَةُ الَّتِي هِيَ سُنَّةُ الْفَجْرِ تُصَلِّيهَا وَأَنْتَ عَلَى الْكُرْسِيِّ وَتُوْمِئُ إِيْمَاءً وَلَوْ كَانَ اتَّجَاهُكَ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ أَمَّا الْفَرِيضَةُ فَلَا بُدَّ أَنْ تُصَلِّيهَا تَامَّةً بِأَرْكَانِهَا حَسَبَ الْمُسْتَطَاعِ فَتَقِفُ قَائِمًا وَتَتَّجِهُ إِلَى الْقِبْلَةِ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَأَنْتَ قَائِمٌ وَإِذَا أَرَدْتَ السُّجُودَ اجْلِسْ ثُمَّ أَوْمِئْ بِالسُّجُودِ هَذَا إِذَا كَانَ لَا يُمْكِنُكَ أَنْ تَرْكَعَ أَوْ تَسْجُدَ لِأَنَّنِي سَمِعْتُ أَنَّ بَعْضَ الطَّائِرَاتِ يَكُونُ فِيهَا مَكَانٌ فَسِيْحٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ الصَّلَاةَ تَامَّةً بِرُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا فَإِذَا أَمْكَنَ فَهَذَا الْوَاجِبُ كَمَا فِي الْقِطَارِ مَثَلًا وَإِذَا لَمْ يُمْكِن فَإِنَّهُ كَمَا قُلْتُ تُصَلِّي فَتَقِفُ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَتَجْلِسُ وَتُومِئُ بِالسُّجُودِ الْمُهِمُّ أَنْ لَا تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ الْوَقْتُ صَلِّ عَلَى حَسَبَ حَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا رِجَالًا يَعْنِي مَاشِيْنَ عَلَى الْأَرْجُلِ أَوْ رُكْبَانًا عَلَى الْأَنْعَامِ وَالْفُلْكِ


Pertanyaan: “Bagaimana cara Shalat Subuh di pesawat, yang mana, perjalanan dimulai sebelum waktu Shalat Subuh dan selesai setelah matahari terbit?” Apabila seseorang mendapati waktu shalat, sedangkan dia berada di atas pesawat. — dan saya hendak menjawabnya dengan jawaban yang lebih luas daripada yang ditanyakan — Apabila kamu mendapati waktu shalat, sedangkan kamu berada di atas pesawat Jika shalat ini dapat dijamak dengan shalat setelahnya, maka akhirkanlah shalat ini (jamak takhir). Akhirkan shalat ini ke waktu shalat setelahnya, hingga kamu mendarat di bandara, lalu kerjakanlah dua shalat itu secara jamak. Namun, jika shalat itu tidak dapat dijamak dengan shalat setelahnya- — seperti Shalat Subuh yang disebutkan dalam pertanyaan — Maka kamu harus melaksanakan shalat itu di pesawat, sesuai dengan keadaanmu. Adapun shalat sunnahnya, yaitu Shalat Qabliyah Subuh, maka kamu dapat melakukannya sambil duduk di kursi, dan melakukan isyarat (gerakan rukuk dan sujud), meskipun arahmu tidak menghadap kiblat. Sedangkan shalat fardhu, harus kamu kerjakan dengan sempurna rukun-rukunnya, sesuai dengan kemampuan. Anda harus berdiri, dan menghadap ke arah kiblat, serta melakukan isyarat gerakan rukuk dan kamu masih dalam keadaan berdiri. Lalu jika kamu hendak sujud, maka duduklah, lalu lakukan isyarat gerakan sujud.Ini jika kamu tidak dapat rukuk dan sujud (dengan gerakan yang semestinya), karena saya dengar ada beberapa pesawat yang punya tempat yang luas yang bisa dipakai seseorang untuk mendirikan shalat secara sempurna dengan rukuk dan sujudnya. Jika memungkinkan rukuk dan sujud, maka wajib dilakukan; seperti saat di kereta api. Namun, jika tidak memungkinkan, maka seperti yang telah saya jelaskan; kamu shalat dengan berdiri dan melakukan isyarat rukuk, lalu duduk dan melakukan isyarat sujud. Yang penting kamu tidak menunda shalat hingga waktunya habis. Shalatlah sesuai dengan keadaanmu yang memungkinkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqarah: “Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” (QS. al-Baqarah: 239) “رِجَالًا” artinya berjalan kaki, atau “رُكْبَانًا” artinya di atas hewan tunggangan dan kapal (kendaraan). ==== سُؤَالٌ كَيْفَ نُؤَدِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي الطَّائِرَةِ حَيْثُ أَنَّ الرِّحْلَةَ تَبْدَأُ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَنْتَهِي بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ الْإِنْسَانُ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ وَقْتُ صَلَاةٍ وَهُوَ فِي الطَّائِرَةِ وَأُحِبُّ أَنْ أُجِيبَ بِجَوَابٍ أَوْسَعَ مِنَ السُّؤَالِ إِذَا مَرَّ عَلَيْكَ وَقْتُ صَلَاةٍ وَأَنْتَ فِي الطَّائِرَةِ فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الصَّلَاةُ تُجْمَعُ إِلَى مَا بَعْدَهَا فَأَخِّرْهَا أَخِّرْهَا إِلَى مَا بَعْدَهَا حَتَّى تَهْبِطَ فِي الْمَطَارِ وَتُصَلِّي الصَّلَاتَيْنِ جَمِيعًا وَإِنْ كَانَتْ لَا تُجْمَعُ لِمَا بَعْدَهَا مِثْلُ صَلَاةِ الْفَجْرِ الَّتِي جَاءَتْ فِي السُّؤَالِ فَإِنَّكَ تُصَلِّي فِي الطَّائِرَةِ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ أَمَّا النَّافِلَةُ الَّتِي هِيَ سُنَّةُ الْفَجْرِ تُصَلِّيهَا وَأَنْتَ عَلَى الْكُرْسِيِّ وَتُوْمِئُ إِيْمَاءً وَلَوْ كَانَ اتَّجَاهُكَ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ أَمَّا الْفَرِيضَةُ فَلَا بُدَّ أَنْ تُصَلِّيهَا تَامَّةً بِأَرْكَانِهَا حَسَبَ الْمُسْتَطَاعِ فَتَقِفُ قَائِمًا وَتَتَّجِهُ إِلَى الْقِبْلَةِ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَأَنْتَ قَائِمٌ وَإِذَا أَرَدْتَ السُّجُودَ اجْلِسْ ثُمَّ أَوْمِئْ بِالسُّجُودِ هَذَا إِذَا كَانَ لَا يُمْكِنُكَ أَنْ تَرْكَعَ أَوْ تَسْجُدَ لِأَنَّنِي سَمِعْتُ أَنَّ بَعْضَ الطَّائِرَاتِ يَكُونُ فِيهَا مَكَانٌ فَسِيْحٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ الصَّلَاةَ تَامَّةً بِرُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا فَإِذَا أَمْكَنَ فَهَذَا الْوَاجِبُ كَمَا فِي الْقِطَارِ مَثَلًا وَإِذَا لَمْ يُمْكِن فَإِنَّهُ كَمَا قُلْتُ تُصَلِّي فَتَقِفُ وَتُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَتَجْلِسُ وَتُومِئُ بِالسُّجُودِ الْمُهِمُّ أَنْ لَا تُؤَخِّرَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ الْوَقْتُ صَلِّ عَلَى حَسَبَ حَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا رِجَالًا يَعْنِي مَاشِيْنَ عَلَى الْأَرْجُلِ أَوْ رُكْبَانًا عَلَى الْأَنْعَامِ وَالْفُلْكِ

Hukum Meditasi dalam Islam

Daftar Isi Toggle Meditasi identik dengan ritual Hindu dan BuddhaCara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwaPertama: IktikafKedua: BersyukurKetiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’alaKeempat: Membaca Al-Qur’anBolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meditasi adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi banyak dikenal sebagai cara untuk menenangkan diri, meningkatkan konsentrasi, dan penyembuhan diri. Merunut sejarahnya, meditasi adalah praktik kuno yang berasal dari India dan diadopsi oleh banyak agama di seluruh dunia. Catatan tertulis tertua tentang meditasi berasal dari Weda Hindu sekitar tahun 1500 SM. Taurat juga memuat deskripsi tentang meditasi Yahudi yang kemungkinan besar dipraktikkan sekitar tahun 1000 SM.  Meditasi juga tercatat sebagai sebuah ritual dalam agama Buddha dan Kristen. Semuanya melakukan meditasi demi mewujudkan satu tujuan, yaitu pemusatan pikiran dan perasaan untuk meraih ketenangan diri, meningkatkan konsentrasi, atau bahkan berharap tercapainya kesejahteraan hidup. Di zaman modern ini, meditasi dibungkus dan dilabeli ulang dengan sedemikian rupa sehingga membuat banyak dari kalangan kaum muslimin yang terkecoh dan akhirnya ikut serta melakukannya. Ada yang menamakannya dengan metode mindfullness (perhatian penuh), metode fokus, atau metode-metode lainnya. Bagaimanakah Islam memandang meditasi ini? Apakah hukumnya boleh untuk dilakukan atau justru ini di antara perkara-perkara yang harus dihindari? Meditasi identik dengan ritual Hindu dan Buddha Sebelum menghukumi sesuatu, seorang muslim harus terlebih dahulu mengetahui hakikatnya dan gambaran besarnya. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah, ومن القواعد المعروفة المقررة عند أهل العلم: الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌجدًّا “Di antara kaidah yang sudah dikenal dan sudah ditetapkan di antara para ulama adalah, ‘Menghukumi/menilai sesuatu itu buah dari mengerti esensinya.’ Maka, janganlah menghukumi/menilai sesuatu, kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap, agar hukum yang kita berikan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan yang besar.” (Syarh Ushul Min ‘Ilmi Al-Ushul, hal. 604) Untuk mencari tahu hukum meditasi, maka perlu mengetahui esensi dasarnya, di mana seseorang yang melakukan meditasi, maka di antara yang akan dilakukannya adalah berdiam diri dan bertapa. Kedua hal tersebut adalah identitas ibadah bagi orang-orang Hindu dan Buddha. Tidaklah seseorang melakukan meditasi, kecuali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk ibadah mereka. Dari esensi tersebut, dapat kita pahami bahwa meditasi meskipun memiliki beberapa manfaat yang dapat diambil, dalam praktiknya akan banyak mengandung keserupaan dan kemiripan dengan ibadah Hindu dan Buddha, sedangkan Islam dengan jelas melarang pemeluknya untuk menyerupai orang-orang kafir. Apalagi dalam hal-hal yang menjadi identitas ibadah mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud  no. 4031) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan dari dilarangnya kaum muslimin untuk meniru dan menyerupai orang-orang kafir. Beliau berkata, أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ “Keserupaan dalam perkara lahiriah (sesuatu yang nampak) akan berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 154) Bermeditasi, meskipun awalnya hanya diniatkan sebagai penenang pikiran dan keseimbangan hidup, seiring berjalannya waktu pasti akan mempengaruhi akidah, keyakinan, dan sikap kita. Minimalnya kita akan terbiasa bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran orang-orang yang mendalami meditasi ini, yaitu orang-orang Hindu dan Buddha. Jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mewanti-wanti umatnya dari kebiasaan buruk mudahnya terbawa arus dan ikut-ikutan yang dilakukan oleh kaum muslimin, لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لو سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ؟ “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab pun, kalian pasti kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.”  (HR. Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669) Kekhawatiran Nabi tersebut, bahkan pernah terjadi di saat beliau masih hidup. Sahabat Nabi Abu Waqid Al-Laitsi menceritakan, “Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Hunain, beliau melintasi sebuah pohon kaum musyrikin bernama Dzat Anwath. Mereka biasa menggantungkan persenjataan mereka di pohon itu (untuk mengambil keberkahan darinya). Para sahabat kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan kami Dzat Anwath seperti milik mereka.’ Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Subhanallah, ini seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Musa ‘alaihis salam, ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُون ‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Dan Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ (QS. Al-A’raf: 138) Rasulullah melanjutkan, “Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian akan melakukan perilaku-perilaku orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180) Baca juga: Empat Kiat agar Hidup Tenang Cara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwa Berikut ini adalah amalan-amalan yang diajarkan oleh syariat dan memiliki manfaat untuk meraih ketenangan dan kedamaian jiwa serta dapat mengobati luka-luka yang ada di dalamnya. Pertama: Iktikaf Iktikaf merupakan ibadah yang memiliki kemiripan dengan meditasi. Arti iktikaf itu sendiri adalah, “Berdiam diri di masjid dalam tempo waktu tertentu dengan melakukan amalan-amalan ibadah tertentu untuk mengharapkan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Di antara hikmah dari pensyariatan iktikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah serta menjauhkan diri dari interaksi sosial dan kesibukan duniawi agar terwujud kesucian jiwa dalam hati. Kedua: Bersyukur Bersyukur atas setiap limpahan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan tentu akan mendatangkan ketenangan pada jiwa. Karena sejatinya, tatkala seorang hamba bersyukur, maka ia akan jauh dari rasa iri dengki kepada orang lain. Dengan bersyukur, seorang hamba akan meraih rida Allah serta menjadi sebab ditambahnya kenikmatan dan terhalang dari mendapatkan azab Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memberitahukan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7) Ketiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’ala Dengan berzikir, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman pada jiwa dan pikirannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Keempat: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan sumber terbesar timbulnya ketenangan jiwa, karena Al-Qur’an sejatinya merupakan obat bagi hati dan pikiran yang sakit. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَاۤءࣱ وَرَحۡمَةࣱ لِّلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَا یَزِیدُ ٱلظَّـٰلِمِینَ إِلَّا خَسَارࣰا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Bolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Islam adalah agama yang sangat berhati-hati di dalam menjaga keutuhan dan kemurnian ajarannya, agama yang dibangun di atas asas, “Pencegahan terhadap semua jalan menuju keburukan.” Perihal penamaan dan identitas sekalipun, Islam berusaha untuk tidak meniru dan menjadikan kebiasaan orang kafir sebagai contoh dan acuan. Islam berusaha menjauhkan diri dari istilah-istilah yang identik dengan agama lain. Saat orang-orang nonmuslim percaya bahwa meditasi adalah salah satu cara untuk meraih ketenangan, kedamaian, konsentrasi, dan kesembuhan jiwa, Islam juga memiliki amalan-amalan yang bermanfaat untuk meraih hal-hal tersebut. Sebut saja di antaranya adalah iktikaf, yaitu tatkala seorang muslim berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hanya saja, kita tidak boleh semena-mena mengatakan bahwa iktikaf adalah “meditasi” bagi seorang muslim. Karena ini tidak sejalan dengan konsep dan kaidah-kaidah kehati-hatian yang dibawa oleh syariat kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh terbaik dalam hal kehati-hatian. Lihatlah bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di tanggal 9 dari bulan Muharam, selain berpuasa pada tanggal 10. Tidak lain dan tidak bukan ini berangkat dari keinginan beliau untuk menyelisihi ibadah dan kebiasaan orang-orang Yahudi yang juga merayakan hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di dalam hadis yang sahih, juga disebutkan, نَذَر رجُلٌ على عَهدِ رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يَنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فأتى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: إنِّي نذَرْتُ أن أنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فقال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: هل كان فيها وَثَنٌ مِن أوثانِ الجاهليَّةِ يُعبَدُ؟ قالوا: لا، قال: هل كان فيها عيدٌ مِن أعيادِهم؟ قالوا: لا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وفاءَ لنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدَمَ “Ada seseorang yang bernazar akan menyembelih unta di Buwanah. Dia lantas bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bertanya, ‘Apakah dulunya di tempat itu ada berhala peninggalan orang-orang jahiliah yang disembah?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada.’ Nabi bertanya lagi, ‘Apakah di tempat itu pernah diadakan salah satu perayaan oleh orang-orang jahiliah?’ Para sahabat menjawab, ‘Belum pernah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, ‘Tunaikanlah nazarmu, namun tidak boleh menunaikan nazar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan di luar batas kemampuan seseorang.” (HR. Abu Dawud no. 3313) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu berhati-hati agar jangan sampai niat ibadah yang dilakukan seorang hamba pada akhirnya ternodai dengan hal-hal yang dapat menjatuhkan seseorang kepada perbuatan tasyabbuh dan menyerupai orang-orang kuffar, wal’iyadzu billah. Seorang muslim hendaknya berusaha untuk berlepas dari kebiasaan dan adat istiadat orang-orang kafir, tidak mudah terpengaruh untuk ikut serta hanya karena melihat adanya sebuah manfaat yang akan didapatkan. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: meditasi

Hukum Meditasi dalam Islam

Daftar Isi Toggle Meditasi identik dengan ritual Hindu dan BuddhaCara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwaPertama: IktikafKedua: BersyukurKetiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’alaKeempat: Membaca Al-Qur’anBolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meditasi adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi banyak dikenal sebagai cara untuk menenangkan diri, meningkatkan konsentrasi, dan penyembuhan diri. Merunut sejarahnya, meditasi adalah praktik kuno yang berasal dari India dan diadopsi oleh banyak agama di seluruh dunia. Catatan tertulis tertua tentang meditasi berasal dari Weda Hindu sekitar tahun 1500 SM. Taurat juga memuat deskripsi tentang meditasi Yahudi yang kemungkinan besar dipraktikkan sekitar tahun 1000 SM.  Meditasi juga tercatat sebagai sebuah ritual dalam agama Buddha dan Kristen. Semuanya melakukan meditasi demi mewujudkan satu tujuan, yaitu pemusatan pikiran dan perasaan untuk meraih ketenangan diri, meningkatkan konsentrasi, atau bahkan berharap tercapainya kesejahteraan hidup. Di zaman modern ini, meditasi dibungkus dan dilabeli ulang dengan sedemikian rupa sehingga membuat banyak dari kalangan kaum muslimin yang terkecoh dan akhirnya ikut serta melakukannya. Ada yang menamakannya dengan metode mindfullness (perhatian penuh), metode fokus, atau metode-metode lainnya. Bagaimanakah Islam memandang meditasi ini? Apakah hukumnya boleh untuk dilakukan atau justru ini di antara perkara-perkara yang harus dihindari? Meditasi identik dengan ritual Hindu dan Buddha Sebelum menghukumi sesuatu, seorang muslim harus terlebih dahulu mengetahui hakikatnya dan gambaran besarnya. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah, ومن القواعد المعروفة المقررة عند أهل العلم: الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌجدًّا “Di antara kaidah yang sudah dikenal dan sudah ditetapkan di antara para ulama adalah, ‘Menghukumi/menilai sesuatu itu buah dari mengerti esensinya.’ Maka, janganlah menghukumi/menilai sesuatu, kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap, agar hukum yang kita berikan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan yang besar.” (Syarh Ushul Min ‘Ilmi Al-Ushul, hal. 604) Untuk mencari tahu hukum meditasi, maka perlu mengetahui esensi dasarnya, di mana seseorang yang melakukan meditasi, maka di antara yang akan dilakukannya adalah berdiam diri dan bertapa. Kedua hal tersebut adalah identitas ibadah bagi orang-orang Hindu dan Buddha. Tidaklah seseorang melakukan meditasi, kecuali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk ibadah mereka. Dari esensi tersebut, dapat kita pahami bahwa meditasi meskipun memiliki beberapa manfaat yang dapat diambil, dalam praktiknya akan banyak mengandung keserupaan dan kemiripan dengan ibadah Hindu dan Buddha, sedangkan Islam dengan jelas melarang pemeluknya untuk menyerupai orang-orang kafir. Apalagi dalam hal-hal yang menjadi identitas ibadah mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud  no. 4031) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan dari dilarangnya kaum muslimin untuk meniru dan menyerupai orang-orang kafir. Beliau berkata, أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ “Keserupaan dalam perkara lahiriah (sesuatu yang nampak) akan berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 154) Bermeditasi, meskipun awalnya hanya diniatkan sebagai penenang pikiran dan keseimbangan hidup, seiring berjalannya waktu pasti akan mempengaruhi akidah, keyakinan, dan sikap kita. Minimalnya kita akan terbiasa bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran orang-orang yang mendalami meditasi ini, yaitu orang-orang Hindu dan Buddha. Jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mewanti-wanti umatnya dari kebiasaan buruk mudahnya terbawa arus dan ikut-ikutan yang dilakukan oleh kaum muslimin, لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لو سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ؟ “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab pun, kalian pasti kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.”  (HR. Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669) Kekhawatiran Nabi tersebut, bahkan pernah terjadi di saat beliau masih hidup. Sahabat Nabi Abu Waqid Al-Laitsi menceritakan, “Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Hunain, beliau melintasi sebuah pohon kaum musyrikin bernama Dzat Anwath. Mereka biasa menggantungkan persenjataan mereka di pohon itu (untuk mengambil keberkahan darinya). Para sahabat kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan kami Dzat Anwath seperti milik mereka.’ Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Subhanallah, ini seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Musa ‘alaihis salam, ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُون ‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Dan Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ (QS. Al-A’raf: 138) Rasulullah melanjutkan, “Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian akan melakukan perilaku-perilaku orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180) Baca juga: Empat Kiat agar Hidup Tenang Cara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwa Berikut ini adalah amalan-amalan yang diajarkan oleh syariat dan memiliki manfaat untuk meraih ketenangan dan kedamaian jiwa serta dapat mengobati luka-luka yang ada di dalamnya. Pertama: Iktikaf Iktikaf merupakan ibadah yang memiliki kemiripan dengan meditasi. Arti iktikaf itu sendiri adalah, “Berdiam diri di masjid dalam tempo waktu tertentu dengan melakukan amalan-amalan ibadah tertentu untuk mengharapkan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Di antara hikmah dari pensyariatan iktikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah serta menjauhkan diri dari interaksi sosial dan kesibukan duniawi agar terwujud kesucian jiwa dalam hati. Kedua: Bersyukur Bersyukur atas setiap limpahan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan tentu akan mendatangkan ketenangan pada jiwa. Karena sejatinya, tatkala seorang hamba bersyukur, maka ia akan jauh dari rasa iri dengki kepada orang lain. Dengan bersyukur, seorang hamba akan meraih rida Allah serta menjadi sebab ditambahnya kenikmatan dan terhalang dari mendapatkan azab Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memberitahukan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7) Ketiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’ala Dengan berzikir, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman pada jiwa dan pikirannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Keempat: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan sumber terbesar timbulnya ketenangan jiwa, karena Al-Qur’an sejatinya merupakan obat bagi hati dan pikiran yang sakit. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَاۤءࣱ وَرَحۡمَةࣱ لِّلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَا یَزِیدُ ٱلظَّـٰلِمِینَ إِلَّا خَسَارࣰا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Bolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Islam adalah agama yang sangat berhati-hati di dalam menjaga keutuhan dan kemurnian ajarannya, agama yang dibangun di atas asas, “Pencegahan terhadap semua jalan menuju keburukan.” Perihal penamaan dan identitas sekalipun, Islam berusaha untuk tidak meniru dan menjadikan kebiasaan orang kafir sebagai contoh dan acuan. Islam berusaha menjauhkan diri dari istilah-istilah yang identik dengan agama lain. Saat orang-orang nonmuslim percaya bahwa meditasi adalah salah satu cara untuk meraih ketenangan, kedamaian, konsentrasi, dan kesembuhan jiwa, Islam juga memiliki amalan-amalan yang bermanfaat untuk meraih hal-hal tersebut. Sebut saja di antaranya adalah iktikaf, yaitu tatkala seorang muslim berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hanya saja, kita tidak boleh semena-mena mengatakan bahwa iktikaf adalah “meditasi” bagi seorang muslim. Karena ini tidak sejalan dengan konsep dan kaidah-kaidah kehati-hatian yang dibawa oleh syariat kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh terbaik dalam hal kehati-hatian. Lihatlah bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di tanggal 9 dari bulan Muharam, selain berpuasa pada tanggal 10. Tidak lain dan tidak bukan ini berangkat dari keinginan beliau untuk menyelisihi ibadah dan kebiasaan orang-orang Yahudi yang juga merayakan hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di dalam hadis yang sahih, juga disebutkan, نَذَر رجُلٌ على عَهدِ رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يَنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فأتى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: إنِّي نذَرْتُ أن أنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فقال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: هل كان فيها وَثَنٌ مِن أوثانِ الجاهليَّةِ يُعبَدُ؟ قالوا: لا، قال: هل كان فيها عيدٌ مِن أعيادِهم؟ قالوا: لا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وفاءَ لنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدَمَ “Ada seseorang yang bernazar akan menyembelih unta di Buwanah. Dia lantas bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bertanya, ‘Apakah dulunya di tempat itu ada berhala peninggalan orang-orang jahiliah yang disembah?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada.’ Nabi bertanya lagi, ‘Apakah di tempat itu pernah diadakan salah satu perayaan oleh orang-orang jahiliah?’ Para sahabat menjawab, ‘Belum pernah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, ‘Tunaikanlah nazarmu, namun tidak boleh menunaikan nazar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan di luar batas kemampuan seseorang.” (HR. Abu Dawud no. 3313) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu berhati-hati agar jangan sampai niat ibadah yang dilakukan seorang hamba pada akhirnya ternodai dengan hal-hal yang dapat menjatuhkan seseorang kepada perbuatan tasyabbuh dan menyerupai orang-orang kuffar, wal’iyadzu billah. Seorang muslim hendaknya berusaha untuk berlepas dari kebiasaan dan adat istiadat orang-orang kafir, tidak mudah terpengaruh untuk ikut serta hanya karena melihat adanya sebuah manfaat yang akan didapatkan. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: meditasi
Daftar Isi Toggle Meditasi identik dengan ritual Hindu dan BuddhaCara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwaPertama: IktikafKedua: BersyukurKetiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’alaKeempat: Membaca Al-Qur’anBolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meditasi adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi banyak dikenal sebagai cara untuk menenangkan diri, meningkatkan konsentrasi, dan penyembuhan diri. Merunut sejarahnya, meditasi adalah praktik kuno yang berasal dari India dan diadopsi oleh banyak agama di seluruh dunia. Catatan tertulis tertua tentang meditasi berasal dari Weda Hindu sekitar tahun 1500 SM. Taurat juga memuat deskripsi tentang meditasi Yahudi yang kemungkinan besar dipraktikkan sekitar tahun 1000 SM.  Meditasi juga tercatat sebagai sebuah ritual dalam agama Buddha dan Kristen. Semuanya melakukan meditasi demi mewujudkan satu tujuan, yaitu pemusatan pikiran dan perasaan untuk meraih ketenangan diri, meningkatkan konsentrasi, atau bahkan berharap tercapainya kesejahteraan hidup. Di zaman modern ini, meditasi dibungkus dan dilabeli ulang dengan sedemikian rupa sehingga membuat banyak dari kalangan kaum muslimin yang terkecoh dan akhirnya ikut serta melakukannya. Ada yang menamakannya dengan metode mindfullness (perhatian penuh), metode fokus, atau metode-metode lainnya. Bagaimanakah Islam memandang meditasi ini? Apakah hukumnya boleh untuk dilakukan atau justru ini di antara perkara-perkara yang harus dihindari? Meditasi identik dengan ritual Hindu dan Buddha Sebelum menghukumi sesuatu, seorang muslim harus terlebih dahulu mengetahui hakikatnya dan gambaran besarnya. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah, ومن القواعد المعروفة المقررة عند أهل العلم: الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌجدًّا “Di antara kaidah yang sudah dikenal dan sudah ditetapkan di antara para ulama adalah, ‘Menghukumi/menilai sesuatu itu buah dari mengerti esensinya.’ Maka, janganlah menghukumi/menilai sesuatu, kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap, agar hukum yang kita berikan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan yang besar.” (Syarh Ushul Min ‘Ilmi Al-Ushul, hal. 604) Untuk mencari tahu hukum meditasi, maka perlu mengetahui esensi dasarnya, di mana seseorang yang melakukan meditasi, maka di antara yang akan dilakukannya adalah berdiam diri dan bertapa. Kedua hal tersebut adalah identitas ibadah bagi orang-orang Hindu dan Buddha. Tidaklah seseorang melakukan meditasi, kecuali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk ibadah mereka. Dari esensi tersebut, dapat kita pahami bahwa meditasi meskipun memiliki beberapa manfaat yang dapat diambil, dalam praktiknya akan banyak mengandung keserupaan dan kemiripan dengan ibadah Hindu dan Buddha, sedangkan Islam dengan jelas melarang pemeluknya untuk menyerupai orang-orang kafir. Apalagi dalam hal-hal yang menjadi identitas ibadah mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud  no. 4031) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan dari dilarangnya kaum muslimin untuk meniru dan menyerupai orang-orang kafir. Beliau berkata, أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ “Keserupaan dalam perkara lahiriah (sesuatu yang nampak) akan berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 154) Bermeditasi, meskipun awalnya hanya diniatkan sebagai penenang pikiran dan keseimbangan hidup, seiring berjalannya waktu pasti akan mempengaruhi akidah, keyakinan, dan sikap kita. Minimalnya kita akan terbiasa bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran orang-orang yang mendalami meditasi ini, yaitu orang-orang Hindu dan Buddha. Jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mewanti-wanti umatnya dari kebiasaan buruk mudahnya terbawa arus dan ikut-ikutan yang dilakukan oleh kaum muslimin, لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لو سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ؟ “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab pun, kalian pasti kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.”  (HR. Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669) Kekhawatiran Nabi tersebut, bahkan pernah terjadi di saat beliau masih hidup. Sahabat Nabi Abu Waqid Al-Laitsi menceritakan, “Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Hunain, beliau melintasi sebuah pohon kaum musyrikin bernama Dzat Anwath. Mereka biasa menggantungkan persenjataan mereka di pohon itu (untuk mengambil keberkahan darinya). Para sahabat kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan kami Dzat Anwath seperti milik mereka.’ Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Subhanallah, ini seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Musa ‘alaihis salam, ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُون ‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Dan Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ (QS. Al-A’raf: 138) Rasulullah melanjutkan, “Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian akan melakukan perilaku-perilaku orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180) Baca juga: Empat Kiat agar Hidup Tenang Cara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwa Berikut ini adalah amalan-amalan yang diajarkan oleh syariat dan memiliki manfaat untuk meraih ketenangan dan kedamaian jiwa serta dapat mengobati luka-luka yang ada di dalamnya. Pertama: Iktikaf Iktikaf merupakan ibadah yang memiliki kemiripan dengan meditasi. Arti iktikaf itu sendiri adalah, “Berdiam diri di masjid dalam tempo waktu tertentu dengan melakukan amalan-amalan ibadah tertentu untuk mengharapkan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Di antara hikmah dari pensyariatan iktikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah serta menjauhkan diri dari interaksi sosial dan kesibukan duniawi agar terwujud kesucian jiwa dalam hati. Kedua: Bersyukur Bersyukur atas setiap limpahan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan tentu akan mendatangkan ketenangan pada jiwa. Karena sejatinya, tatkala seorang hamba bersyukur, maka ia akan jauh dari rasa iri dengki kepada orang lain. Dengan bersyukur, seorang hamba akan meraih rida Allah serta menjadi sebab ditambahnya kenikmatan dan terhalang dari mendapatkan azab Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memberitahukan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7) Ketiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’ala Dengan berzikir, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman pada jiwa dan pikirannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Keempat: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan sumber terbesar timbulnya ketenangan jiwa, karena Al-Qur’an sejatinya merupakan obat bagi hati dan pikiran yang sakit. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَاۤءࣱ وَرَحۡمَةࣱ لِّلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَا یَزِیدُ ٱلظَّـٰلِمِینَ إِلَّا خَسَارࣰا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Bolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Islam adalah agama yang sangat berhati-hati di dalam menjaga keutuhan dan kemurnian ajarannya, agama yang dibangun di atas asas, “Pencegahan terhadap semua jalan menuju keburukan.” Perihal penamaan dan identitas sekalipun, Islam berusaha untuk tidak meniru dan menjadikan kebiasaan orang kafir sebagai contoh dan acuan. Islam berusaha menjauhkan diri dari istilah-istilah yang identik dengan agama lain. Saat orang-orang nonmuslim percaya bahwa meditasi adalah salah satu cara untuk meraih ketenangan, kedamaian, konsentrasi, dan kesembuhan jiwa, Islam juga memiliki amalan-amalan yang bermanfaat untuk meraih hal-hal tersebut. Sebut saja di antaranya adalah iktikaf, yaitu tatkala seorang muslim berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hanya saja, kita tidak boleh semena-mena mengatakan bahwa iktikaf adalah “meditasi” bagi seorang muslim. Karena ini tidak sejalan dengan konsep dan kaidah-kaidah kehati-hatian yang dibawa oleh syariat kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh terbaik dalam hal kehati-hatian. Lihatlah bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di tanggal 9 dari bulan Muharam, selain berpuasa pada tanggal 10. Tidak lain dan tidak bukan ini berangkat dari keinginan beliau untuk menyelisihi ibadah dan kebiasaan orang-orang Yahudi yang juga merayakan hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di dalam hadis yang sahih, juga disebutkan, نَذَر رجُلٌ على عَهدِ رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يَنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فأتى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: إنِّي نذَرْتُ أن أنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فقال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: هل كان فيها وَثَنٌ مِن أوثانِ الجاهليَّةِ يُعبَدُ؟ قالوا: لا، قال: هل كان فيها عيدٌ مِن أعيادِهم؟ قالوا: لا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وفاءَ لنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدَمَ “Ada seseorang yang bernazar akan menyembelih unta di Buwanah. Dia lantas bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bertanya, ‘Apakah dulunya di tempat itu ada berhala peninggalan orang-orang jahiliah yang disembah?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada.’ Nabi bertanya lagi, ‘Apakah di tempat itu pernah diadakan salah satu perayaan oleh orang-orang jahiliah?’ Para sahabat menjawab, ‘Belum pernah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, ‘Tunaikanlah nazarmu, namun tidak boleh menunaikan nazar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan di luar batas kemampuan seseorang.” (HR. Abu Dawud no. 3313) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu berhati-hati agar jangan sampai niat ibadah yang dilakukan seorang hamba pada akhirnya ternodai dengan hal-hal yang dapat menjatuhkan seseorang kepada perbuatan tasyabbuh dan menyerupai orang-orang kuffar, wal’iyadzu billah. Seorang muslim hendaknya berusaha untuk berlepas dari kebiasaan dan adat istiadat orang-orang kafir, tidak mudah terpengaruh untuk ikut serta hanya karena melihat adanya sebuah manfaat yang akan didapatkan. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: meditasi


Daftar Isi Toggle Meditasi identik dengan ritual Hindu dan BuddhaCara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwaPertama: IktikafKedua: BersyukurKetiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’alaKeempat: Membaca Al-Qur’anBolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meditasi adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi banyak dikenal sebagai cara untuk menenangkan diri, meningkatkan konsentrasi, dan penyembuhan diri. Merunut sejarahnya, meditasi adalah praktik kuno yang berasal dari India dan diadopsi oleh banyak agama di seluruh dunia. Catatan tertulis tertua tentang meditasi berasal dari Weda Hindu sekitar tahun 1500 SM. Taurat juga memuat deskripsi tentang meditasi Yahudi yang kemungkinan besar dipraktikkan sekitar tahun 1000 SM.  Meditasi juga tercatat sebagai sebuah ritual dalam agama Buddha dan Kristen. Semuanya melakukan meditasi demi mewujudkan satu tujuan, yaitu pemusatan pikiran dan perasaan untuk meraih ketenangan diri, meningkatkan konsentrasi, atau bahkan berharap tercapainya kesejahteraan hidup. Di zaman modern ini, meditasi dibungkus dan dilabeli ulang dengan sedemikian rupa sehingga membuat banyak dari kalangan kaum muslimin yang terkecoh dan akhirnya ikut serta melakukannya. Ada yang menamakannya dengan metode mindfullness (perhatian penuh), metode fokus, atau metode-metode lainnya. Bagaimanakah Islam memandang meditasi ini? Apakah hukumnya boleh untuk dilakukan atau justru ini di antara perkara-perkara yang harus dihindari? Meditasi identik dengan ritual Hindu dan Buddha Sebelum menghukumi sesuatu, seorang muslim harus terlebih dahulu mengetahui hakikatnya dan gambaran besarnya. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah, ومن القواعد المعروفة المقررة عند أهل العلم: الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌجدًّا “Di antara kaidah yang sudah dikenal dan sudah ditetapkan di antara para ulama adalah, ‘Menghukumi/menilai sesuatu itu buah dari mengerti esensinya.’ Maka, janganlah menghukumi/menilai sesuatu, kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap, agar hukum yang kita berikan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan yang besar.” (Syarh Ushul Min ‘Ilmi Al-Ushul, hal. 604) Untuk mencari tahu hukum meditasi, maka perlu mengetahui esensi dasarnya, di mana seseorang yang melakukan meditasi, maka di antara yang akan dilakukannya adalah berdiam diri dan bertapa. Kedua hal tersebut adalah identitas ibadah bagi orang-orang Hindu dan Buddha. Tidaklah seseorang melakukan meditasi, kecuali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk ibadah mereka. Dari esensi tersebut, dapat kita pahami bahwa meditasi meskipun memiliki beberapa manfaat yang dapat diambil, dalam praktiknya akan banyak mengandung keserupaan dan kemiripan dengan ibadah Hindu dan Buddha, sedangkan Islam dengan jelas melarang pemeluknya untuk menyerupai orang-orang kafir. Apalagi dalam hal-hal yang menjadi identitas ibadah mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud  no. 4031) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan dari dilarangnya kaum muslimin untuk meniru dan menyerupai orang-orang kafir. Beliau berkata, أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ “Keserupaan dalam perkara lahiriah (sesuatu yang nampak) akan berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 154) Bermeditasi, meskipun awalnya hanya diniatkan sebagai penenang pikiran dan keseimbangan hidup, seiring berjalannya waktu pasti akan mempengaruhi akidah, keyakinan, dan sikap kita. Minimalnya kita akan terbiasa bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran orang-orang yang mendalami meditasi ini, yaitu orang-orang Hindu dan Buddha. Jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mewanti-wanti umatnya dari kebiasaan buruk mudahnya terbawa arus dan ikut-ikutan yang dilakukan oleh kaum muslimin, لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لو سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ؟ “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab pun, kalian pasti kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.”  (HR. Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669) Kekhawatiran Nabi tersebut, bahkan pernah terjadi di saat beliau masih hidup. Sahabat Nabi Abu Waqid Al-Laitsi menceritakan, “Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Hunain, beliau melintasi sebuah pohon kaum musyrikin bernama Dzat Anwath. Mereka biasa menggantungkan persenjataan mereka di pohon itu (untuk mengambil keberkahan darinya). Para sahabat kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan kami Dzat Anwath seperti milik mereka.’ Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Subhanallah, ini seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Musa ‘alaihis salam, ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُون ‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Dan Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ (QS. Al-A’raf: 138) Rasulullah melanjutkan, “Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian akan melakukan perilaku-perilaku orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180) Baca juga: Empat Kiat agar Hidup Tenang Cara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwa Berikut ini adalah amalan-amalan yang diajarkan oleh syariat dan memiliki manfaat untuk meraih ketenangan dan kedamaian jiwa serta dapat mengobati luka-luka yang ada di dalamnya. Pertama: Iktikaf Iktikaf merupakan ibadah yang memiliki kemiripan dengan meditasi. Arti iktikaf itu sendiri adalah, “Berdiam diri di masjid dalam tempo waktu tertentu dengan melakukan amalan-amalan ibadah tertentu untuk mengharapkan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Di antara hikmah dari pensyariatan iktikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah serta menjauhkan diri dari interaksi sosial dan kesibukan duniawi agar terwujud kesucian jiwa dalam hati. Kedua: Bersyukur Bersyukur atas setiap limpahan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan tentu akan mendatangkan ketenangan pada jiwa. Karena sejatinya, tatkala seorang hamba bersyukur, maka ia akan jauh dari rasa iri dengki kepada orang lain. Dengan bersyukur, seorang hamba akan meraih rida Allah serta menjadi sebab ditambahnya kenikmatan dan terhalang dari mendapatkan azab Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memberitahukan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7) Ketiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’ala Dengan berzikir, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman pada jiwa dan pikirannya. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Keempat: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan sumber terbesar timbulnya ketenangan jiwa, karena Al-Qur’an sejatinya merupakan obat bagi hati dan pikiran yang sakit. Allah Ta’ala berfirman, وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَاۤءࣱ وَرَحۡمَةࣱ لِّلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَا یَزِیدُ ٱلظَّـٰلِمِینَ إِلَّا خَسَارࣰا “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82) Bolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi? Islam adalah agama yang sangat berhati-hati di dalam menjaga keutuhan dan kemurnian ajarannya, agama yang dibangun di atas asas, “Pencegahan terhadap semua jalan menuju keburukan.” Perihal penamaan dan identitas sekalipun, Islam berusaha untuk tidak meniru dan menjadikan kebiasaan orang kafir sebagai contoh dan acuan. Islam berusaha menjauhkan diri dari istilah-istilah yang identik dengan agama lain. Saat orang-orang nonmuslim percaya bahwa meditasi adalah salah satu cara untuk meraih ketenangan, kedamaian, konsentrasi, dan kesembuhan jiwa, Islam juga memiliki amalan-amalan yang bermanfaat untuk meraih hal-hal tersebut. Sebut saja di antaranya adalah iktikaf, yaitu tatkala seorang muslim berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hanya saja, kita tidak boleh semena-mena mengatakan bahwa iktikaf adalah “meditasi” bagi seorang muslim. Karena ini tidak sejalan dengan konsep dan kaidah-kaidah kehati-hatian yang dibawa oleh syariat kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh terbaik dalam hal kehati-hatian. Lihatlah bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di tanggal 9 dari bulan Muharam, selain berpuasa pada tanggal 10. Tidak lain dan tidak bukan ini berangkat dari keinginan beliau untuk menyelisihi ibadah dan kebiasaan orang-orang Yahudi yang juga merayakan hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di dalam hadis yang sahih, juga disebutkan, نَذَر رجُلٌ على عَهدِ رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يَنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فأتى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: إنِّي نذَرْتُ أن أنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فقال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: هل كان فيها وَثَنٌ مِن أوثانِ الجاهليَّةِ يُعبَدُ؟ قالوا: لا، قال: هل كان فيها عيدٌ مِن أعيادِهم؟ قالوا: لا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وفاءَ لنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدَمَ “Ada seseorang yang bernazar akan menyembelih unta di Buwanah. Dia lantas bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bertanya, ‘Apakah dulunya di tempat itu ada berhala peninggalan orang-orang jahiliah yang disembah?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada.’ Nabi bertanya lagi, ‘Apakah di tempat itu pernah diadakan salah satu perayaan oleh orang-orang jahiliah?’ Para sahabat menjawab, ‘Belum pernah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, ‘Tunaikanlah nazarmu, namun tidak boleh menunaikan nazar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan di luar batas kemampuan seseorang.” (HR. Abu Dawud no. 3313) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu berhati-hati agar jangan sampai niat ibadah yang dilakukan seorang hamba pada akhirnya ternodai dengan hal-hal yang dapat menjatuhkan seseorang kepada perbuatan tasyabbuh dan menyerupai orang-orang kuffar, wal’iyadzu billah. Seorang muslim hendaknya berusaha untuk berlepas dari kebiasaan dan adat istiadat orang-orang kafir, tidak mudah terpengaruh untuk ikut serta hanya karena melihat adanya sebuah manfaat yang akan didapatkan. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: meditasi

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 8): Jenis Gadai yang Tidak Diperbolehkan

Daftar Isi Toggle Jenis gadai yang tidak diperbolehkanContoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkanKhamarHewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsiBerhala dan alat-alat musikBarang bukan milik sendiri atau barang milik orang lainBarang yang sudah diwakafkanBarang hasil curian atau maling Setelah sebelumnya membahas tentang jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Tentunya, agar tidak terjatuh kepada larangan tersebut. Terdapat sebuah perkataan yang sangat menarik tentang hal ini, عَرَفتُ الشَرَّ لا لِلشَر لَكِن لِتَوَقّيهِ وَمَن لَم يَعرِفِ الشَرَّ مِنَ الخَيرِ يَقَع فيهِ “Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan tersebut, namun untuk menjauhinya. Sesungguhnya siapa saja yang tidak mengetahui keburukan di antara suatu kebaikan, dikhawatirkan akan terjatuh kepada keburukan itu.” Adakalanya, mengetahui lawan dari kebaikan itu dibutuhkan dalam suatu keadaan. Tujuannya agar tidak terjatuh kepada keburukan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dahulu. Ketika para sahabat lainnya bertanya tentang amalan yang positif, justru Hudzaifah bertanya sebaliknya. Hal ini karena beliau khawatir akan terjerumus ke dalam amalan yang buruk itu. Beliau mengatakan, مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي “Aku khawatir amalan buruk itu menimpaku.” [1] Pada beberapa tulisan sebelumnya, telah jelas kaidah dalam hal gadai. Yaitu, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Adapun pada pembahasan kali ini adalah sebaliknya, yaitu membahas jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Jenis gadai yang tidak diperbolehkan Kaidah kali ini adalah, كُلُّ مَا لاَ يَجُوْزُ بَيْعُهُ لاَ يَصِحُّ رَهْنُهُ “Setiap barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak sah untuk digadaikan.” [2] Kaidah ini adalah kaidah umum dan mencakup segala hal yang tidak diperbolehkan untuk digadaikan. Segala hal yang tidak bisa diperjualbelikan, maka tidak boleh untuk digadaikan. Baik dalam bentuk barang, manfaat, atau yang selainnya. Alasan yang kuat mengapa tidak boleh menggadaikan hal yang tidak boleh diperjualbelikan adalah karena tidak ada manfaatnya. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menuturkan, لأَنَّ رَهْنَ مَا لاَ يَصِحُّ بَيْعُهُ لاَ فَائِدَةَ مِنْهُ، وَالعُقُوْدُ التِي لاَ فَائِدَةَ مِنْهَا كُلُّهَا لَغْوٌ “Karena menggadaikan sesuatu yang tidak sah diperjualbelikan, tidak ada faedahnya; dan akad yang tidak ada faedahnya, maka semuanya sia-sia.” [3] Contoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkan Berikut ini adalah beberapa contoh yang tidak boleh untuk digadaikan. Di antaranya, Khamar Khamar dilarang untuk digadaikan karena dilarang pula untuk diperjualbelikan. Allah telah melarangnya di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi Termasuk dalam hal ini, hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi. Seperti anjing, babi, dan lain sebagainya. Itu semua haram untuk digadaikan karena haram untuk diperjualbelikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِن Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang hasil penjualan anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun.” (HR. Bukhari no. 2237) Berhala dan alat-alat musik Termasuk juga pada kategori ini, menggadaikan berhala, alat-alat musik, seperti: gitar, piano, drum band, seruling, dan lain sebagainya. Karena para ulama mengkategorikan barang-barang tersebut haram hukumnya untuk diperjualbelikan. Barang bukan milik sendiri atau barang milik orang lain Kiranya hal ini sering terjadi di tengah masyarakat. Yaitu, seseorang menggadaikan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Hal ini tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Karena mengandung kezaliman kepada pemilik barang. Ini pun termasuk yang dilarang untuk diperjualbelikan. Tidak boleh bagi seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Menurut pendapat dari kalangan ulama Syafi’iyyah, akad seperti ini batal dan tidak sah. [4] Maka, seseorang tidak boleh menggadaikan barang yang sedang ia pinjam dari orang lain atau barang yang sedang dititipkan kepadanya. Barang yang sudah diwakafkan Menggadaikan barang yang sudah diwakafkan pun juga tidak diperbolehkan. Karena barang yang sudah diwakafkan sudah diperuntukkan untuk kemaslahatan umum dan tentunya barang yang sudah diwakafkan juga tidak boleh diperjualbelikan. Barang hasil curian atau maling Ini pun banyak terjadi di sekitar masyarakat. Istilah kata sebagai “cuci tangan” dari perbuatan buruknya. Ada kalanya, maling setelah ia mencuri atau merampas barang orang lain langsung digadaikan. Maka, ini juga termasuk gadai yang tidak diperbolehkan. Akadnya batil, jika murtahin (penerima gadaian/pemberi utang) mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, maka tidak boleh baginya untuk menerima barang tersebut. Karena akad gadai dari hal yang seperti ini tidak sah hukumnya. Dan masih banyak lagi tentunya jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan, tidak terbatas hanya pada poin-poin yang disebutkan di atas. Poin-poin di atas adalah secara gambaran umum dan yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentunya gadai ini sangat erat kaitannya dengan harta. Sehingga, bermuamalah dengan harta harus betul-betul hati-hati dan dijaga. Jangan sampai ada harta yang masuk ke dalam tubuh kita, namun ternyata harta tersebut adalah harta yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih layak (untuk tempat tinggal baginya).” (Al-Iraqi berkata, ‘Hadis dihasankan oleh At-Tirmidzi.”) Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily rahimahullah Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Shahih Bukhari no. 3411 [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’,  9: 132 [3] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ , 9: 132 [4] Lihat Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 6: 4235 Tags: gadai

Fikih Transaksi Gadai (Bag. 8): Jenis Gadai yang Tidak Diperbolehkan

Daftar Isi Toggle Jenis gadai yang tidak diperbolehkanContoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkanKhamarHewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsiBerhala dan alat-alat musikBarang bukan milik sendiri atau barang milik orang lainBarang yang sudah diwakafkanBarang hasil curian atau maling Setelah sebelumnya membahas tentang jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Tentunya, agar tidak terjatuh kepada larangan tersebut. Terdapat sebuah perkataan yang sangat menarik tentang hal ini, عَرَفتُ الشَرَّ لا لِلشَر لَكِن لِتَوَقّيهِ وَمَن لَم يَعرِفِ الشَرَّ مِنَ الخَيرِ يَقَع فيهِ “Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan tersebut, namun untuk menjauhinya. Sesungguhnya siapa saja yang tidak mengetahui keburukan di antara suatu kebaikan, dikhawatirkan akan terjatuh kepada keburukan itu.” Adakalanya, mengetahui lawan dari kebaikan itu dibutuhkan dalam suatu keadaan. Tujuannya agar tidak terjatuh kepada keburukan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dahulu. Ketika para sahabat lainnya bertanya tentang amalan yang positif, justru Hudzaifah bertanya sebaliknya. Hal ini karena beliau khawatir akan terjerumus ke dalam amalan yang buruk itu. Beliau mengatakan, مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي “Aku khawatir amalan buruk itu menimpaku.” [1] Pada beberapa tulisan sebelumnya, telah jelas kaidah dalam hal gadai. Yaitu, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Adapun pada pembahasan kali ini adalah sebaliknya, yaitu membahas jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Jenis gadai yang tidak diperbolehkan Kaidah kali ini adalah, كُلُّ مَا لاَ يَجُوْزُ بَيْعُهُ لاَ يَصِحُّ رَهْنُهُ “Setiap barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak sah untuk digadaikan.” [2] Kaidah ini adalah kaidah umum dan mencakup segala hal yang tidak diperbolehkan untuk digadaikan. Segala hal yang tidak bisa diperjualbelikan, maka tidak boleh untuk digadaikan. Baik dalam bentuk barang, manfaat, atau yang selainnya. Alasan yang kuat mengapa tidak boleh menggadaikan hal yang tidak boleh diperjualbelikan adalah karena tidak ada manfaatnya. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menuturkan, لأَنَّ رَهْنَ مَا لاَ يَصِحُّ بَيْعُهُ لاَ فَائِدَةَ مِنْهُ، وَالعُقُوْدُ التِي لاَ فَائِدَةَ مِنْهَا كُلُّهَا لَغْوٌ “Karena menggadaikan sesuatu yang tidak sah diperjualbelikan, tidak ada faedahnya; dan akad yang tidak ada faedahnya, maka semuanya sia-sia.” [3] Contoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkan Berikut ini adalah beberapa contoh yang tidak boleh untuk digadaikan. Di antaranya, Khamar Khamar dilarang untuk digadaikan karena dilarang pula untuk diperjualbelikan. Allah telah melarangnya di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi Termasuk dalam hal ini, hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi. Seperti anjing, babi, dan lain sebagainya. Itu semua haram untuk digadaikan karena haram untuk diperjualbelikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِن Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang hasil penjualan anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun.” (HR. Bukhari no. 2237) Berhala dan alat-alat musik Termasuk juga pada kategori ini, menggadaikan berhala, alat-alat musik, seperti: gitar, piano, drum band, seruling, dan lain sebagainya. Karena para ulama mengkategorikan barang-barang tersebut haram hukumnya untuk diperjualbelikan. Barang bukan milik sendiri atau barang milik orang lain Kiranya hal ini sering terjadi di tengah masyarakat. Yaitu, seseorang menggadaikan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Hal ini tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Karena mengandung kezaliman kepada pemilik barang. Ini pun termasuk yang dilarang untuk diperjualbelikan. Tidak boleh bagi seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Menurut pendapat dari kalangan ulama Syafi’iyyah, akad seperti ini batal dan tidak sah. [4] Maka, seseorang tidak boleh menggadaikan barang yang sedang ia pinjam dari orang lain atau barang yang sedang dititipkan kepadanya. Barang yang sudah diwakafkan Menggadaikan barang yang sudah diwakafkan pun juga tidak diperbolehkan. Karena barang yang sudah diwakafkan sudah diperuntukkan untuk kemaslahatan umum dan tentunya barang yang sudah diwakafkan juga tidak boleh diperjualbelikan. Barang hasil curian atau maling Ini pun banyak terjadi di sekitar masyarakat. Istilah kata sebagai “cuci tangan” dari perbuatan buruknya. Ada kalanya, maling setelah ia mencuri atau merampas barang orang lain langsung digadaikan. Maka, ini juga termasuk gadai yang tidak diperbolehkan. Akadnya batil, jika murtahin (penerima gadaian/pemberi utang) mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, maka tidak boleh baginya untuk menerima barang tersebut. Karena akad gadai dari hal yang seperti ini tidak sah hukumnya. Dan masih banyak lagi tentunya jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan, tidak terbatas hanya pada poin-poin yang disebutkan di atas. Poin-poin di atas adalah secara gambaran umum dan yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentunya gadai ini sangat erat kaitannya dengan harta. Sehingga, bermuamalah dengan harta harus betul-betul hati-hati dan dijaga. Jangan sampai ada harta yang masuk ke dalam tubuh kita, namun ternyata harta tersebut adalah harta yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih layak (untuk tempat tinggal baginya).” (Al-Iraqi berkata, ‘Hadis dihasankan oleh At-Tirmidzi.”) Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily rahimahullah Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Shahih Bukhari no. 3411 [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’,  9: 132 [3] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ , 9: 132 [4] Lihat Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 6: 4235 Tags: gadai
Daftar Isi Toggle Jenis gadai yang tidak diperbolehkanContoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkanKhamarHewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsiBerhala dan alat-alat musikBarang bukan milik sendiri atau barang milik orang lainBarang yang sudah diwakafkanBarang hasil curian atau maling Setelah sebelumnya membahas tentang jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Tentunya, agar tidak terjatuh kepada larangan tersebut. Terdapat sebuah perkataan yang sangat menarik tentang hal ini, عَرَفتُ الشَرَّ لا لِلشَر لَكِن لِتَوَقّيهِ وَمَن لَم يَعرِفِ الشَرَّ مِنَ الخَيرِ يَقَع فيهِ “Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan tersebut, namun untuk menjauhinya. Sesungguhnya siapa saja yang tidak mengetahui keburukan di antara suatu kebaikan, dikhawatirkan akan terjatuh kepada keburukan itu.” Adakalanya, mengetahui lawan dari kebaikan itu dibutuhkan dalam suatu keadaan. Tujuannya agar tidak terjatuh kepada keburukan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dahulu. Ketika para sahabat lainnya bertanya tentang amalan yang positif, justru Hudzaifah bertanya sebaliknya. Hal ini karena beliau khawatir akan terjerumus ke dalam amalan yang buruk itu. Beliau mengatakan, مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي “Aku khawatir amalan buruk itu menimpaku.” [1] Pada beberapa tulisan sebelumnya, telah jelas kaidah dalam hal gadai. Yaitu, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Adapun pada pembahasan kali ini adalah sebaliknya, yaitu membahas jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Jenis gadai yang tidak diperbolehkan Kaidah kali ini adalah, كُلُّ مَا لاَ يَجُوْزُ بَيْعُهُ لاَ يَصِحُّ رَهْنُهُ “Setiap barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak sah untuk digadaikan.” [2] Kaidah ini adalah kaidah umum dan mencakup segala hal yang tidak diperbolehkan untuk digadaikan. Segala hal yang tidak bisa diperjualbelikan, maka tidak boleh untuk digadaikan. Baik dalam bentuk barang, manfaat, atau yang selainnya. Alasan yang kuat mengapa tidak boleh menggadaikan hal yang tidak boleh diperjualbelikan adalah karena tidak ada manfaatnya. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menuturkan, لأَنَّ رَهْنَ مَا لاَ يَصِحُّ بَيْعُهُ لاَ فَائِدَةَ مِنْهُ، وَالعُقُوْدُ التِي لاَ فَائِدَةَ مِنْهَا كُلُّهَا لَغْوٌ “Karena menggadaikan sesuatu yang tidak sah diperjualbelikan, tidak ada faedahnya; dan akad yang tidak ada faedahnya, maka semuanya sia-sia.” [3] Contoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkan Berikut ini adalah beberapa contoh yang tidak boleh untuk digadaikan. Di antaranya, Khamar Khamar dilarang untuk digadaikan karena dilarang pula untuk diperjualbelikan. Allah telah melarangnya di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi Termasuk dalam hal ini, hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi. Seperti anjing, babi, dan lain sebagainya. Itu semua haram untuk digadaikan karena haram untuk diperjualbelikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِن Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang hasil penjualan anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun.” (HR. Bukhari no. 2237) Berhala dan alat-alat musik Termasuk juga pada kategori ini, menggadaikan berhala, alat-alat musik, seperti: gitar, piano, drum band, seruling, dan lain sebagainya. Karena para ulama mengkategorikan barang-barang tersebut haram hukumnya untuk diperjualbelikan. Barang bukan milik sendiri atau barang milik orang lain Kiranya hal ini sering terjadi di tengah masyarakat. Yaitu, seseorang menggadaikan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Hal ini tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Karena mengandung kezaliman kepada pemilik barang. Ini pun termasuk yang dilarang untuk diperjualbelikan. Tidak boleh bagi seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Menurut pendapat dari kalangan ulama Syafi’iyyah, akad seperti ini batal dan tidak sah. [4] Maka, seseorang tidak boleh menggadaikan barang yang sedang ia pinjam dari orang lain atau barang yang sedang dititipkan kepadanya. Barang yang sudah diwakafkan Menggadaikan barang yang sudah diwakafkan pun juga tidak diperbolehkan. Karena barang yang sudah diwakafkan sudah diperuntukkan untuk kemaslahatan umum dan tentunya barang yang sudah diwakafkan juga tidak boleh diperjualbelikan. Barang hasil curian atau maling Ini pun banyak terjadi di sekitar masyarakat. Istilah kata sebagai “cuci tangan” dari perbuatan buruknya. Ada kalanya, maling setelah ia mencuri atau merampas barang orang lain langsung digadaikan. Maka, ini juga termasuk gadai yang tidak diperbolehkan. Akadnya batil, jika murtahin (penerima gadaian/pemberi utang) mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, maka tidak boleh baginya untuk menerima barang tersebut. Karena akad gadai dari hal yang seperti ini tidak sah hukumnya. Dan masih banyak lagi tentunya jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan, tidak terbatas hanya pada poin-poin yang disebutkan di atas. Poin-poin di atas adalah secara gambaran umum dan yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentunya gadai ini sangat erat kaitannya dengan harta. Sehingga, bermuamalah dengan harta harus betul-betul hati-hati dan dijaga. Jangan sampai ada harta yang masuk ke dalam tubuh kita, namun ternyata harta tersebut adalah harta yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih layak (untuk tempat tinggal baginya).” (Al-Iraqi berkata, ‘Hadis dihasankan oleh At-Tirmidzi.”) Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily rahimahullah Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Shahih Bukhari no. 3411 [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’,  9: 132 [3] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ , 9: 132 [4] Lihat Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 6: 4235 Tags: gadai


Daftar Isi Toggle Jenis gadai yang tidak diperbolehkanContoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkanKhamarHewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsiBerhala dan alat-alat musikBarang bukan milik sendiri atau barang milik orang lainBarang yang sudah diwakafkanBarang hasil curian atau maling Setelah sebelumnya membahas tentang jenis-jenis gadai yang diperbolehkan, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Tentunya, agar tidak terjatuh kepada larangan tersebut. Terdapat sebuah perkataan yang sangat menarik tentang hal ini, عَرَفتُ الشَرَّ لا لِلشَر لَكِن لِتَوَقّيهِ وَمَن لَم يَعرِفِ الشَرَّ مِنَ الخَيرِ يَقَع فيهِ “Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan tersebut, namun untuk menjauhinya. Sesungguhnya siapa saja yang tidak mengetahui keburukan di antara suatu kebaikan, dikhawatirkan akan terjatuh kepada keburukan itu.” Adakalanya, mengetahui lawan dari kebaikan itu dibutuhkan dalam suatu keadaan. Tujuannya agar tidak terjatuh kepada keburukan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dahulu. Ketika para sahabat lainnya bertanya tentang amalan yang positif, justru Hudzaifah bertanya sebaliknya. Hal ini karena beliau khawatir akan terjerumus ke dalam amalan yang buruk itu. Beliau mengatakan, مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي “Aku khawatir amalan buruk itu menimpaku.” [1] Pada beberapa tulisan sebelumnya, telah jelas kaidah dalam hal gadai. Yaitu, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Adapun pada pembahasan kali ini adalah sebaliknya, yaitu membahas jenis gadai yang tidak diperbolehkan. Jenis gadai yang tidak diperbolehkan Kaidah kali ini adalah, كُلُّ مَا لاَ يَجُوْزُ بَيْعُهُ لاَ يَصِحُّ رَهْنُهُ “Setiap barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak sah untuk digadaikan.” [2] Kaidah ini adalah kaidah umum dan mencakup segala hal yang tidak diperbolehkan untuk digadaikan. Segala hal yang tidak bisa diperjualbelikan, maka tidak boleh untuk digadaikan. Baik dalam bentuk barang, manfaat, atau yang selainnya. Alasan yang kuat mengapa tidak boleh menggadaikan hal yang tidak boleh diperjualbelikan adalah karena tidak ada manfaatnya. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menuturkan, لأَنَّ رَهْنَ مَا لاَ يَصِحُّ بَيْعُهُ لاَ فَائِدَةَ مِنْهُ، وَالعُقُوْدُ التِي لاَ فَائِدَةَ مِنْهَا كُلُّهَا لَغْوٌ “Karena menggadaikan sesuatu yang tidak sah diperjualbelikan, tidak ada faedahnya; dan akad yang tidak ada faedahnya, maka semuanya sia-sia.” [3] Contoh-contoh gadai yang tidak diperbolehkan Berikut ini adalah beberapa contoh yang tidak boleh untuk digadaikan. Di antaranya, Khamar Khamar dilarang untuk digadaikan karena dilarang pula untuk diperjualbelikan. Allah telah melarangnya di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi Termasuk dalam hal ini, hewan-hewan yang haram untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi. Seperti anjing, babi, dan lain sebagainya. Itu semua haram untuk digadaikan karena haram untuk diperjualbelikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِن Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang hasil penjualan anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun.” (HR. Bukhari no. 2237) Berhala dan alat-alat musik Termasuk juga pada kategori ini, menggadaikan berhala, alat-alat musik, seperti: gitar, piano, drum band, seruling, dan lain sebagainya. Karena para ulama mengkategorikan barang-barang tersebut haram hukumnya untuk diperjualbelikan. Barang bukan milik sendiri atau barang milik orang lain Kiranya hal ini sering terjadi di tengah masyarakat. Yaitu, seseorang menggadaikan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Hal ini tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Karena mengandung kezaliman kepada pemilik barang. Ini pun termasuk yang dilarang untuk diperjualbelikan. Tidak boleh bagi seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Menurut pendapat dari kalangan ulama Syafi’iyyah, akad seperti ini batal dan tidak sah. [4] Maka, seseorang tidak boleh menggadaikan barang yang sedang ia pinjam dari orang lain atau barang yang sedang dititipkan kepadanya. Barang yang sudah diwakafkan Menggadaikan barang yang sudah diwakafkan pun juga tidak diperbolehkan. Karena barang yang sudah diwakafkan sudah diperuntukkan untuk kemaslahatan umum dan tentunya barang yang sudah diwakafkan juga tidak boleh diperjualbelikan. Barang hasil curian atau maling Ini pun banyak terjadi di sekitar masyarakat. Istilah kata sebagai “cuci tangan” dari perbuatan buruknya. Ada kalanya, maling setelah ia mencuri atau merampas barang orang lain langsung digadaikan. Maka, ini juga termasuk gadai yang tidak diperbolehkan. Akadnya batil, jika murtahin (penerima gadaian/pemberi utang) mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, maka tidak boleh baginya untuk menerima barang tersebut. Karena akad gadai dari hal yang seperti ini tidak sah hukumnya. Dan masih banyak lagi tentunya jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan, tidak terbatas hanya pada poin-poin yang disebutkan di atas. Poin-poin di atas adalah secara gambaran umum dan yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentunya gadai ini sangat erat kaitannya dengan harta. Sehingga, bermuamalah dengan harta harus betul-betul hati-hati dan dijaga. Jangan sampai ada harta yang masuk ke dalam tubuh kita, namun ternyata harta tersebut adalah harta yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram, maka neraka lebih layak (untuk tempat tinggal baginya).” (Al-Iraqi berkata, ‘Hadis dihasankan oleh At-Tirmidzi.”) Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Kembali ke bagian 7 *** Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily rahimahullah Dan referensi lainnya.   Catatan kaki: [1] Lihat Shahih Bukhari no. 3411 [2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’,  9: 132 [3] Lihat Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ , 9: 132 [4] Lihat Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 6: 4235 Tags: gadai

Hadis: Hukum Menikah dengan Pezina

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisPendapat pertama, hukumnya haramPendapat kedua, hukumnya diperbolehkanPendapat terpilihBoleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الزَّاني الْمَجْلُودُ إلَّا مِثْلَهُ “Seorang pezina yang telah dijilid (dicambuk) tidak boleh menikah kecuali dengan yang serupa dengannya.” (HR. Ahmad, 14: 52; Abu Dawud no. 2052; Al-Hakim, 2: 166, 193; dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Hadis ini menunjukkan bahwa haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang diketahui (jelas-jelas) telah berzina, dan haram bagi seorang wanita untuk dinikahkan dengan laki-laki yang jelas-jelas diketahui telah berzina. Hal ini, wallahu a’lam, karena wanita pezina dapat merugikan suaminya dan merusak kehidupan rumah tangganya. Suami bisa mengalami kesedihan (atas yang sudah berlalu) dan kekhawatiran (atas masa yang akan datang), serta mungkin juga wanita tersebut akan melahirkan anak dari laki-laki lain. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ومن تزوج غير تائبة فقد رضي أن تزني، إذ لا يمكنه منعها من ذلك، فإن كيد النساء عظيم “Barangsiapa yang menikahi wanita (pezina) yang belum bertobat, maka dia telah setuju dengan perbuatan zina yang dilakukan sang wanita tersebut. Karena berarti ia tidak berusaha untuk mencegah sang wanita untuk tetap berzina. Sesungguhnya tipu daya wanita itu besar.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 37) Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan pezina yang belum bertobat. Pendapat pertama, hukumnya haram Pendapat tentang haramnya menikahi wanita pezina dan menikahi laki-laki pezina yang belum bertobat adalah pendapat Qatadah, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ash-San’ani rahimahumullah (Lihat Subulus Salam, 6: 68). Juga pendapat yang dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فأما نكاح الزانية فقد تكلم فيه الفقهاء من أصحاب أحمد وغيرهم، وفيه آثار عن السلف، وإن كان الفقهاء قد تنازعوا فيه، وليس مع من أباحه ما يعتمد عليه “Adapun menikahi wanita pezina, telah dibahas oleh para ulama dari kalangan madzhab Ahmad dan lainnya, serta terdapat atsar dari salaf tentang hal ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentangnya, namun tidak ada dalil yang kuat bagi (pendapat) yang membolehkannya.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 48) Selain berdalil dengan hadis di atas, para ulama yang mengharamkan juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki pezina tidaklah menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina tidaklah dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Penafian (peniadaan) dalam ayat tersebut mengandung larangan, yang diterapkan pada akad nikah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, berdasarkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat ini) [1]. Dan didukung pula oleh firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Pendapat kedua, hukumnya diperbolehkan Adapun mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, memperbolehkan menikah dengan pezina yang belum bertobat, sedangkan Imam Malik membolehkannya meskipun dengan berstatus makruh. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 73; Al-Mughni, 9: 562; dan Adhwa’ul Bayan, 6: 72) Mereka berdalil dengan cakupan makna umum firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu.” (QS. An-Nisa’: 24) Sisi pendalilannya, di ayat sebelumnya, yaitu surah An-Nisa ayat 23 dan awal surah An-Nisa ayat 24, disebutkan beberapa wanita yang termasuk mahram sehingga haram untuk dinikahi. Namun, tidak disebukan wanita pezina sama sekali sebagai wanita yang haram dinikahi. Dan di surah An-Nisa ayat 24 disebutkan, “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu”, sehingga wanita pezina termasuk dalam cakupan yang dihalalkan. Dan mereka menjawab firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً “Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina”; bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” [2] Alasan mereka lainnya adalah bahwa dalam surah An-Nur ayat 3, Allah Ta’ala juga menyebutkan orang musyrik dan musyrikah (musyrik laki-laki dan musyrik perempuan). Sedangkan orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki mukmin, namun pezina, tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Sehingga makna “yankihu” dalam ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” Mereka juga berkata bahwa ayat ini dalam makna dzahirnya adalah untuk mencela keadaan pezina laki-laki dan pezina wanita, serta menegaskan keburukan para pezina (bukan untuk melarang menikah dengan pezina). Dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak pantas menikahi wanita yang menjaga diri dari zina (‘afifah), kecuali wanita pezina seperti dia atau wanita musyrik, begitu juga sebaliknya dengan wanita pezina. Ayat ini tidak berbicara tentang larangan akad nikah. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang ‘afif (menjaga dirinya dari zina) untuk menikahi wanita pezina, dan seorang wanita yang ‘afifah boleh menikahi laki-laki pezina. Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ “Dan diharamkan yang demikian itu” mengacu pada zina (hubungan seksual yang haram), bukan akad nikah. Baca juga: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina Pendapat terpilih Pendapat tentang haramnya menikahi pezina ini adalah pendapat yang kuat, karena dalil dari ayat ini jelas, terutama pada akhir ayatnya, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Yang menurut pendapat yang lebih kuat, isyarat dalam ayat ini kembali pada pembahasan akad pernikahan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yakni “menikahi para pezina diharamkan atas orang-orang mukmin.” Penafsiran ini juga didukung oleh asbabun nuzul dari ayat ini. Ayat ini menjadi permasalahan bagi para mufassir karena penafsiran “nikah” dalam ayat ini sebagai “akad nikah” tidak sesuai dengan penyebutan orang musyrik dan musyrikah [3]. Sementara penafsiran “nikah” sebagai “hubungan seksual” tidak sesuai dengan asbabun nuzul yang menunjukkan bahwa maksudnya adalah “akad nikah”. Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini, dan yang tampak, insya Allah, tidak ada kesulitan (kebingungan) dalam memahami ayat ini. Hal ini karena asbabun nuzul itu menentukan makna ayat ini dan membantu dalam memahami makna ayat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Oleh karena itu, maksudnya adalah “akad nikah”, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir. Dan ayat ini tidak bermaksud menjelaskan siapa yang boleh menikahi pezina dan siapa yang tidak boleh, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa boleh bagi seorang muslim menikahi orang musyrik dan sebaliknya. Akan tetapi, maksudnya adalah menjauhkan diri dari zina dan pelakunya, serta bahwa seorang mukmin tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pezina, sebagaimana yang ditunjukkan oleh asbabun nuzul, dan begitu pula sebaliknya. (Tafsir Surah An-Nur, karya Dr. Nashir Al-Hamid, hal. 102). Syekh Abdullah Alu Basaam rahimahullah berkata, وهذا دليلٌ صريح على تحريم نكاح الزانية حتى تتوب، وكذلك إنكاح الزاني حتى يتوب “Ayat tersebut adalah dalil yang jelas tentang haramnya menikahi seorang wanita pezina hingga dia bertobat, begitu juga menikahi seorang laki-laki pezina hingga dia bertobat.” (Taudhihul Ahkam, 5: 302-303) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, نِكَاحُ الزَّانِيَةِ حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ. هَذَا هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ وَهُوَ مَذْهَبُ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ: مِنْهُمْ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُ “Menikahi seorang wanita pezina adalah haram hingga ia bertobat, baik jika yang berzina dengan wanita tersebut adalah dirinya atau orang lain. Ini adalah pendapat yang benar tanpa keraguan dan merupakan pendapat sebagian ulama dari generasi salaf dan khalaf, di antaranya Ahmad bin Hanbal dan lainnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 109-110) Adapun ayat, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang demikian itu”; adalah ayat umum yang telah dikhususkan (dikecualikan). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ayat ini dikhususkan dengan hadis, لا تنكح المرأة على عمتها “Tidak boleh menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus” (HR. Bukhari no. 5109 dan Muslim no. 1408); begitu juga dalam kasus ini. Boleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Jika seorang pezina bertobat atau seorang laki-laki pezina bertobat, maka diperbolehkan menikahi mereka berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Tobat dapat dicapai dengan istighfar, penyesalan, dan berhenti dari dosa; seperti tobat dari dosa-dosa lainnya. Ini adalah pendapat yang benar. Sedangkan pendapat bahwa tobat seorang wanita adalah dengan menguji dirinya, jika dia menolak, maka dia telah bertobat, dan jika dia setuju, maka dia belum bertobat, adalah pendapat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran karena jelas kebatilannya. (Al-Mughni, 9: 564) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** @24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Asbabun nuzul ayat ini adalah hadis dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berikut ini: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekah. Di Mekah ada seorang perempuan pelacur yang bernama ‘Anaq dan ia adalah teman Martsad. Martsad berkata, “Aku datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikahi ‘Anaq?” Martsad berkata, “Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat yang artinya), “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku, lalu membacakan ayat tadi padaku dan beliau berkata, لَا تَنْكِحْهَا “Jangan engkau menikah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 2051 dan An-Nasa’i no. 3230. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [2] Secara bahasa, kata “an-nikah” (النكاح) memiliki dua makna, yaitu: 1) hubungan seksual atau jimak (الوطء); atau 2) akad nikah (العقد). Jika dimaknai dengan jimak, maka maksudnya, seorang laki-laki pezina tidak akan melakukan hubungan badan yang haram kecuali dengan wanita pezina juga atau wanita musyrik yang tidak peduli haramnya zina. [3] Karena orang musyrik itu tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 271-273) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 301-303). Tags: Nikahzina

Hadis: Hukum Menikah dengan Pezina

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisPendapat pertama, hukumnya haramPendapat kedua, hukumnya diperbolehkanPendapat terpilihBoleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الزَّاني الْمَجْلُودُ إلَّا مِثْلَهُ “Seorang pezina yang telah dijilid (dicambuk) tidak boleh menikah kecuali dengan yang serupa dengannya.” (HR. Ahmad, 14: 52; Abu Dawud no. 2052; Al-Hakim, 2: 166, 193; dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Hadis ini menunjukkan bahwa haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang diketahui (jelas-jelas) telah berzina, dan haram bagi seorang wanita untuk dinikahkan dengan laki-laki yang jelas-jelas diketahui telah berzina. Hal ini, wallahu a’lam, karena wanita pezina dapat merugikan suaminya dan merusak kehidupan rumah tangganya. Suami bisa mengalami kesedihan (atas yang sudah berlalu) dan kekhawatiran (atas masa yang akan datang), serta mungkin juga wanita tersebut akan melahirkan anak dari laki-laki lain. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ومن تزوج غير تائبة فقد رضي أن تزني، إذ لا يمكنه منعها من ذلك، فإن كيد النساء عظيم “Barangsiapa yang menikahi wanita (pezina) yang belum bertobat, maka dia telah setuju dengan perbuatan zina yang dilakukan sang wanita tersebut. Karena berarti ia tidak berusaha untuk mencegah sang wanita untuk tetap berzina. Sesungguhnya tipu daya wanita itu besar.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 37) Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan pezina yang belum bertobat. Pendapat pertama, hukumnya haram Pendapat tentang haramnya menikahi wanita pezina dan menikahi laki-laki pezina yang belum bertobat adalah pendapat Qatadah, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ash-San’ani rahimahumullah (Lihat Subulus Salam, 6: 68). Juga pendapat yang dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فأما نكاح الزانية فقد تكلم فيه الفقهاء من أصحاب أحمد وغيرهم، وفيه آثار عن السلف، وإن كان الفقهاء قد تنازعوا فيه، وليس مع من أباحه ما يعتمد عليه “Adapun menikahi wanita pezina, telah dibahas oleh para ulama dari kalangan madzhab Ahmad dan lainnya, serta terdapat atsar dari salaf tentang hal ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentangnya, namun tidak ada dalil yang kuat bagi (pendapat) yang membolehkannya.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 48) Selain berdalil dengan hadis di atas, para ulama yang mengharamkan juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki pezina tidaklah menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina tidaklah dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Penafian (peniadaan) dalam ayat tersebut mengandung larangan, yang diterapkan pada akad nikah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, berdasarkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat ini) [1]. Dan didukung pula oleh firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Pendapat kedua, hukumnya diperbolehkan Adapun mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, memperbolehkan menikah dengan pezina yang belum bertobat, sedangkan Imam Malik membolehkannya meskipun dengan berstatus makruh. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 73; Al-Mughni, 9: 562; dan Adhwa’ul Bayan, 6: 72) Mereka berdalil dengan cakupan makna umum firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu.” (QS. An-Nisa’: 24) Sisi pendalilannya, di ayat sebelumnya, yaitu surah An-Nisa ayat 23 dan awal surah An-Nisa ayat 24, disebutkan beberapa wanita yang termasuk mahram sehingga haram untuk dinikahi. Namun, tidak disebukan wanita pezina sama sekali sebagai wanita yang haram dinikahi. Dan di surah An-Nisa ayat 24 disebutkan, “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu”, sehingga wanita pezina termasuk dalam cakupan yang dihalalkan. Dan mereka menjawab firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً “Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina”; bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” [2] Alasan mereka lainnya adalah bahwa dalam surah An-Nur ayat 3, Allah Ta’ala juga menyebutkan orang musyrik dan musyrikah (musyrik laki-laki dan musyrik perempuan). Sedangkan orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki mukmin, namun pezina, tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Sehingga makna “yankihu” dalam ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” Mereka juga berkata bahwa ayat ini dalam makna dzahirnya adalah untuk mencela keadaan pezina laki-laki dan pezina wanita, serta menegaskan keburukan para pezina (bukan untuk melarang menikah dengan pezina). Dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak pantas menikahi wanita yang menjaga diri dari zina (‘afifah), kecuali wanita pezina seperti dia atau wanita musyrik, begitu juga sebaliknya dengan wanita pezina. Ayat ini tidak berbicara tentang larangan akad nikah. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang ‘afif (menjaga dirinya dari zina) untuk menikahi wanita pezina, dan seorang wanita yang ‘afifah boleh menikahi laki-laki pezina. Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ “Dan diharamkan yang demikian itu” mengacu pada zina (hubungan seksual yang haram), bukan akad nikah. Baca juga: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina Pendapat terpilih Pendapat tentang haramnya menikahi pezina ini adalah pendapat yang kuat, karena dalil dari ayat ini jelas, terutama pada akhir ayatnya, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Yang menurut pendapat yang lebih kuat, isyarat dalam ayat ini kembali pada pembahasan akad pernikahan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yakni “menikahi para pezina diharamkan atas orang-orang mukmin.” Penafsiran ini juga didukung oleh asbabun nuzul dari ayat ini. Ayat ini menjadi permasalahan bagi para mufassir karena penafsiran “nikah” dalam ayat ini sebagai “akad nikah” tidak sesuai dengan penyebutan orang musyrik dan musyrikah [3]. Sementara penafsiran “nikah” sebagai “hubungan seksual” tidak sesuai dengan asbabun nuzul yang menunjukkan bahwa maksudnya adalah “akad nikah”. Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini, dan yang tampak, insya Allah, tidak ada kesulitan (kebingungan) dalam memahami ayat ini. Hal ini karena asbabun nuzul itu menentukan makna ayat ini dan membantu dalam memahami makna ayat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Oleh karena itu, maksudnya adalah “akad nikah”, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir. Dan ayat ini tidak bermaksud menjelaskan siapa yang boleh menikahi pezina dan siapa yang tidak boleh, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa boleh bagi seorang muslim menikahi orang musyrik dan sebaliknya. Akan tetapi, maksudnya adalah menjauhkan diri dari zina dan pelakunya, serta bahwa seorang mukmin tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pezina, sebagaimana yang ditunjukkan oleh asbabun nuzul, dan begitu pula sebaliknya. (Tafsir Surah An-Nur, karya Dr. Nashir Al-Hamid, hal. 102). Syekh Abdullah Alu Basaam rahimahullah berkata, وهذا دليلٌ صريح على تحريم نكاح الزانية حتى تتوب، وكذلك إنكاح الزاني حتى يتوب “Ayat tersebut adalah dalil yang jelas tentang haramnya menikahi seorang wanita pezina hingga dia bertobat, begitu juga menikahi seorang laki-laki pezina hingga dia bertobat.” (Taudhihul Ahkam, 5: 302-303) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, نِكَاحُ الزَّانِيَةِ حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ. هَذَا هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ وَهُوَ مَذْهَبُ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ: مِنْهُمْ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُ “Menikahi seorang wanita pezina adalah haram hingga ia bertobat, baik jika yang berzina dengan wanita tersebut adalah dirinya atau orang lain. Ini adalah pendapat yang benar tanpa keraguan dan merupakan pendapat sebagian ulama dari generasi salaf dan khalaf, di antaranya Ahmad bin Hanbal dan lainnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 109-110) Adapun ayat, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang demikian itu”; adalah ayat umum yang telah dikhususkan (dikecualikan). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ayat ini dikhususkan dengan hadis, لا تنكح المرأة على عمتها “Tidak boleh menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus” (HR. Bukhari no. 5109 dan Muslim no. 1408); begitu juga dalam kasus ini. Boleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Jika seorang pezina bertobat atau seorang laki-laki pezina bertobat, maka diperbolehkan menikahi mereka berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Tobat dapat dicapai dengan istighfar, penyesalan, dan berhenti dari dosa; seperti tobat dari dosa-dosa lainnya. Ini adalah pendapat yang benar. Sedangkan pendapat bahwa tobat seorang wanita adalah dengan menguji dirinya, jika dia menolak, maka dia telah bertobat, dan jika dia setuju, maka dia belum bertobat, adalah pendapat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran karena jelas kebatilannya. (Al-Mughni, 9: 564) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** @24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Asbabun nuzul ayat ini adalah hadis dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berikut ini: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekah. Di Mekah ada seorang perempuan pelacur yang bernama ‘Anaq dan ia adalah teman Martsad. Martsad berkata, “Aku datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikahi ‘Anaq?” Martsad berkata, “Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat yang artinya), “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku, lalu membacakan ayat tadi padaku dan beliau berkata, لَا تَنْكِحْهَا “Jangan engkau menikah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 2051 dan An-Nasa’i no. 3230. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [2] Secara bahasa, kata “an-nikah” (النكاح) memiliki dua makna, yaitu: 1) hubungan seksual atau jimak (الوطء); atau 2) akad nikah (العقد). Jika dimaknai dengan jimak, maka maksudnya, seorang laki-laki pezina tidak akan melakukan hubungan badan yang haram kecuali dengan wanita pezina juga atau wanita musyrik yang tidak peduli haramnya zina. [3] Karena orang musyrik itu tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 271-273) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 301-303). Tags: Nikahzina
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisPendapat pertama, hukumnya haramPendapat kedua, hukumnya diperbolehkanPendapat terpilihBoleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الزَّاني الْمَجْلُودُ إلَّا مِثْلَهُ “Seorang pezina yang telah dijilid (dicambuk) tidak boleh menikah kecuali dengan yang serupa dengannya.” (HR. Ahmad, 14: 52; Abu Dawud no. 2052; Al-Hakim, 2: 166, 193; dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Hadis ini menunjukkan bahwa haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang diketahui (jelas-jelas) telah berzina, dan haram bagi seorang wanita untuk dinikahkan dengan laki-laki yang jelas-jelas diketahui telah berzina. Hal ini, wallahu a’lam, karena wanita pezina dapat merugikan suaminya dan merusak kehidupan rumah tangganya. Suami bisa mengalami kesedihan (atas yang sudah berlalu) dan kekhawatiran (atas masa yang akan datang), serta mungkin juga wanita tersebut akan melahirkan anak dari laki-laki lain. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ومن تزوج غير تائبة فقد رضي أن تزني، إذ لا يمكنه منعها من ذلك، فإن كيد النساء عظيم “Barangsiapa yang menikahi wanita (pezina) yang belum bertobat, maka dia telah setuju dengan perbuatan zina yang dilakukan sang wanita tersebut. Karena berarti ia tidak berusaha untuk mencegah sang wanita untuk tetap berzina. Sesungguhnya tipu daya wanita itu besar.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 37) Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan pezina yang belum bertobat. Pendapat pertama, hukumnya haram Pendapat tentang haramnya menikahi wanita pezina dan menikahi laki-laki pezina yang belum bertobat adalah pendapat Qatadah, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ash-San’ani rahimahumullah (Lihat Subulus Salam, 6: 68). Juga pendapat yang dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فأما نكاح الزانية فقد تكلم فيه الفقهاء من أصحاب أحمد وغيرهم، وفيه آثار عن السلف، وإن كان الفقهاء قد تنازعوا فيه، وليس مع من أباحه ما يعتمد عليه “Adapun menikahi wanita pezina, telah dibahas oleh para ulama dari kalangan madzhab Ahmad dan lainnya, serta terdapat atsar dari salaf tentang hal ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentangnya, namun tidak ada dalil yang kuat bagi (pendapat) yang membolehkannya.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 48) Selain berdalil dengan hadis di atas, para ulama yang mengharamkan juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki pezina tidaklah menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina tidaklah dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Penafian (peniadaan) dalam ayat tersebut mengandung larangan, yang diterapkan pada akad nikah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, berdasarkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat ini) [1]. Dan didukung pula oleh firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Pendapat kedua, hukumnya diperbolehkan Adapun mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, memperbolehkan menikah dengan pezina yang belum bertobat, sedangkan Imam Malik membolehkannya meskipun dengan berstatus makruh. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 73; Al-Mughni, 9: 562; dan Adhwa’ul Bayan, 6: 72) Mereka berdalil dengan cakupan makna umum firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu.” (QS. An-Nisa’: 24) Sisi pendalilannya, di ayat sebelumnya, yaitu surah An-Nisa ayat 23 dan awal surah An-Nisa ayat 24, disebutkan beberapa wanita yang termasuk mahram sehingga haram untuk dinikahi. Namun, tidak disebukan wanita pezina sama sekali sebagai wanita yang haram dinikahi. Dan di surah An-Nisa ayat 24 disebutkan, “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu”, sehingga wanita pezina termasuk dalam cakupan yang dihalalkan. Dan mereka menjawab firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً “Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina”; bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” [2] Alasan mereka lainnya adalah bahwa dalam surah An-Nur ayat 3, Allah Ta’ala juga menyebutkan orang musyrik dan musyrikah (musyrik laki-laki dan musyrik perempuan). Sedangkan orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki mukmin, namun pezina, tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Sehingga makna “yankihu” dalam ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” Mereka juga berkata bahwa ayat ini dalam makna dzahirnya adalah untuk mencela keadaan pezina laki-laki dan pezina wanita, serta menegaskan keburukan para pezina (bukan untuk melarang menikah dengan pezina). Dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak pantas menikahi wanita yang menjaga diri dari zina (‘afifah), kecuali wanita pezina seperti dia atau wanita musyrik, begitu juga sebaliknya dengan wanita pezina. Ayat ini tidak berbicara tentang larangan akad nikah. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang ‘afif (menjaga dirinya dari zina) untuk menikahi wanita pezina, dan seorang wanita yang ‘afifah boleh menikahi laki-laki pezina. Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ “Dan diharamkan yang demikian itu” mengacu pada zina (hubungan seksual yang haram), bukan akad nikah. Baca juga: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina Pendapat terpilih Pendapat tentang haramnya menikahi pezina ini adalah pendapat yang kuat, karena dalil dari ayat ini jelas, terutama pada akhir ayatnya, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Yang menurut pendapat yang lebih kuat, isyarat dalam ayat ini kembali pada pembahasan akad pernikahan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yakni “menikahi para pezina diharamkan atas orang-orang mukmin.” Penafsiran ini juga didukung oleh asbabun nuzul dari ayat ini. Ayat ini menjadi permasalahan bagi para mufassir karena penafsiran “nikah” dalam ayat ini sebagai “akad nikah” tidak sesuai dengan penyebutan orang musyrik dan musyrikah [3]. Sementara penafsiran “nikah” sebagai “hubungan seksual” tidak sesuai dengan asbabun nuzul yang menunjukkan bahwa maksudnya adalah “akad nikah”. Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini, dan yang tampak, insya Allah, tidak ada kesulitan (kebingungan) dalam memahami ayat ini. Hal ini karena asbabun nuzul itu menentukan makna ayat ini dan membantu dalam memahami makna ayat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Oleh karena itu, maksudnya adalah “akad nikah”, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir. Dan ayat ini tidak bermaksud menjelaskan siapa yang boleh menikahi pezina dan siapa yang tidak boleh, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa boleh bagi seorang muslim menikahi orang musyrik dan sebaliknya. Akan tetapi, maksudnya adalah menjauhkan diri dari zina dan pelakunya, serta bahwa seorang mukmin tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pezina, sebagaimana yang ditunjukkan oleh asbabun nuzul, dan begitu pula sebaliknya. (Tafsir Surah An-Nur, karya Dr. Nashir Al-Hamid, hal. 102). Syekh Abdullah Alu Basaam rahimahullah berkata, وهذا دليلٌ صريح على تحريم نكاح الزانية حتى تتوب، وكذلك إنكاح الزاني حتى يتوب “Ayat tersebut adalah dalil yang jelas tentang haramnya menikahi seorang wanita pezina hingga dia bertobat, begitu juga menikahi seorang laki-laki pezina hingga dia bertobat.” (Taudhihul Ahkam, 5: 302-303) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, نِكَاحُ الزَّانِيَةِ حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ. هَذَا هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ وَهُوَ مَذْهَبُ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ: مِنْهُمْ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُ “Menikahi seorang wanita pezina adalah haram hingga ia bertobat, baik jika yang berzina dengan wanita tersebut adalah dirinya atau orang lain. Ini adalah pendapat yang benar tanpa keraguan dan merupakan pendapat sebagian ulama dari generasi salaf dan khalaf, di antaranya Ahmad bin Hanbal dan lainnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 109-110) Adapun ayat, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang demikian itu”; adalah ayat umum yang telah dikhususkan (dikecualikan). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ayat ini dikhususkan dengan hadis, لا تنكح المرأة على عمتها “Tidak boleh menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus” (HR. Bukhari no. 5109 dan Muslim no. 1408); begitu juga dalam kasus ini. Boleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Jika seorang pezina bertobat atau seorang laki-laki pezina bertobat, maka diperbolehkan menikahi mereka berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Tobat dapat dicapai dengan istighfar, penyesalan, dan berhenti dari dosa; seperti tobat dari dosa-dosa lainnya. Ini adalah pendapat yang benar. Sedangkan pendapat bahwa tobat seorang wanita adalah dengan menguji dirinya, jika dia menolak, maka dia telah bertobat, dan jika dia setuju, maka dia belum bertobat, adalah pendapat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran karena jelas kebatilannya. (Al-Mughni, 9: 564) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** @24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Asbabun nuzul ayat ini adalah hadis dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berikut ini: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekah. Di Mekah ada seorang perempuan pelacur yang bernama ‘Anaq dan ia adalah teman Martsad. Martsad berkata, “Aku datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikahi ‘Anaq?” Martsad berkata, “Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat yang artinya), “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku, lalu membacakan ayat tadi padaku dan beliau berkata, لَا تَنْكِحْهَا “Jangan engkau menikah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 2051 dan An-Nasa’i no. 3230. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [2] Secara bahasa, kata “an-nikah” (النكاح) memiliki dua makna, yaitu: 1) hubungan seksual atau jimak (الوطء); atau 2) akad nikah (العقد). Jika dimaknai dengan jimak, maka maksudnya, seorang laki-laki pezina tidak akan melakukan hubungan badan yang haram kecuali dengan wanita pezina juga atau wanita musyrik yang tidak peduli haramnya zina. [3] Karena orang musyrik itu tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 271-273) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 301-303). Tags: Nikahzina


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisPendapat pertama, hukumnya haramPendapat kedua, hukumnya diperbolehkanPendapat terpilihBoleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَنْكِحُ الزَّاني الْمَجْلُودُ إلَّا مِثْلَهُ “Seorang pezina yang telah dijilid (dicambuk) tidak boleh menikah kecuali dengan yang serupa dengannya.” (HR. Ahmad, 14: 52; Abu Dawud no. 2052; Al-Hakim, 2: 166, 193; dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Hadis ini menunjukkan bahwa haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang diketahui (jelas-jelas) telah berzina, dan haram bagi seorang wanita untuk dinikahkan dengan laki-laki yang jelas-jelas diketahui telah berzina. Hal ini, wallahu a’lam, karena wanita pezina dapat merugikan suaminya dan merusak kehidupan rumah tangganya. Suami bisa mengalami kesedihan (atas yang sudah berlalu) dan kekhawatiran (atas masa yang akan datang), serta mungkin juga wanita tersebut akan melahirkan anak dari laki-laki lain. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ومن تزوج غير تائبة فقد رضي أن تزني، إذ لا يمكنه منعها من ذلك، فإن كيد النساء عظيم “Barangsiapa yang menikahi wanita (pezina) yang belum bertobat, maka dia telah setuju dengan perbuatan zina yang dilakukan sang wanita tersebut. Karena berarti ia tidak berusaha untuk mencegah sang wanita untuk tetap berzina. Sesungguhnya tipu daya wanita itu besar.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 37) Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan pezina yang belum bertobat. Pendapat pertama, hukumnya haram Pendapat tentang haramnya menikahi wanita pezina dan menikahi laki-laki pezina yang belum bertobat adalah pendapat Qatadah, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ash-San’ani rahimahumullah (Lihat Subulus Salam, 6: 68). Juga pendapat yang dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فأما نكاح الزانية فقد تكلم فيه الفقهاء من أصحاب أحمد وغيرهم، وفيه آثار عن السلف، وإن كان الفقهاء قد تنازعوا فيه، وليس مع من أباحه ما يعتمد عليه “Adapun menikahi wanita pezina, telah dibahas oleh para ulama dari kalangan madzhab Ahmad dan lainnya, serta terdapat atsar dari salaf tentang hal ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentangnya, namun tidak ada dalil yang kuat bagi (pendapat) yang membolehkannya.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 48) Selain berdalil dengan hadis di atas, para ulama yang mengharamkan juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Laki-laki pezina tidaklah menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina tidaklah dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Penafian (peniadaan) dalam ayat tersebut mengandung larangan, yang diterapkan pada akad nikah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, berdasarkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat ini) [1]. Dan didukung pula oleh firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Pendapat kedua, hukumnya diperbolehkan Adapun mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, memperbolehkan menikah dengan pezina yang belum bertobat, sedangkan Imam Malik membolehkannya meskipun dengan berstatus makruh. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 73; Al-Mughni, 9: 562; dan Adhwa’ul Bayan, 6: 72) Mereka berdalil dengan cakupan makna umum firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu.” (QS. An-Nisa’: 24) Sisi pendalilannya, di ayat sebelumnya, yaitu surah An-Nisa ayat 23 dan awal surah An-Nisa ayat 24, disebutkan beberapa wanita yang termasuk mahram sehingga haram untuk dinikahi. Namun, tidak disebukan wanita pezina sama sekali sebagai wanita yang haram dinikahi. Dan di surah An-Nisa ayat 24 disebutkan, “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu”, sehingga wanita pezina termasuk dalam cakupan yang dihalalkan. Dan mereka menjawab firman Allah Ta’ala, الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً “Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina”; bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” [2] Alasan mereka lainnya adalah bahwa dalam surah An-Nur ayat 3, Allah Ta’ala juga menyebutkan orang musyrik dan musyrikah (musyrik laki-laki dan musyrik perempuan). Sedangkan orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki mukmin, namun pezina, tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Sehingga makna “yankihu” dalam ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” Mereka juga berkata bahwa ayat ini dalam makna dzahirnya adalah untuk mencela keadaan pezina laki-laki dan pezina wanita, serta menegaskan keburukan para pezina (bukan untuk melarang menikah dengan pezina). Dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak pantas menikahi wanita yang menjaga diri dari zina (‘afifah), kecuali wanita pezina seperti dia atau wanita musyrik, begitu juga sebaliknya dengan wanita pezina. Ayat ini tidak berbicara tentang larangan akad nikah. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang ‘afif (menjaga dirinya dari zina) untuk menikahi wanita pezina, dan seorang wanita yang ‘afifah boleh menikahi laki-laki pezina. Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, وَحُرِّمَ ذَلِكَ “Dan diharamkan yang demikian itu” mengacu pada zina (hubungan seksual yang haram), bukan akad nikah. Baca juga: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina Pendapat terpilih Pendapat tentang haramnya menikahi pezina ini adalah pendapat yang kuat, karena dalil dari ayat ini jelas, terutama pada akhir ayatnya, وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3) Yang menurut pendapat yang lebih kuat, isyarat dalam ayat ini kembali pada pembahasan akad pernikahan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yakni “menikahi para pezina diharamkan atas orang-orang mukmin.” Penafsiran ini juga didukung oleh asbabun nuzul dari ayat ini. Ayat ini menjadi permasalahan bagi para mufassir karena penafsiran “nikah” dalam ayat ini sebagai “akad nikah” tidak sesuai dengan penyebutan orang musyrik dan musyrikah [3]. Sementara penafsiran “nikah” sebagai “hubungan seksual” tidak sesuai dengan asbabun nuzul yang menunjukkan bahwa maksudnya adalah “akad nikah”. Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini, dan yang tampak, insya Allah, tidak ada kesulitan (kebingungan) dalam memahami ayat ini. Hal ini karena asbabun nuzul itu menentukan makna ayat ini dan membantu dalam memahami makna ayat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Oleh karena itu, maksudnya adalah “akad nikah”, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir. Dan ayat ini tidak bermaksud menjelaskan siapa yang boleh menikahi pezina dan siapa yang tidak boleh, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa boleh bagi seorang muslim menikahi orang musyrik dan sebaliknya. Akan tetapi, maksudnya adalah menjauhkan diri dari zina dan pelakunya, serta bahwa seorang mukmin tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pezina, sebagaimana yang ditunjukkan oleh asbabun nuzul, dan begitu pula sebaliknya. (Tafsir Surah An-Nur, karya Dr. Nashir Al-Hamid, hal. 102). Syekh Abdullah Alu Basaam rahimahullah berkata, وهذا دليلٌ صريح على تحريم نكاح الزانية حتى تتوب، وكذلك إنكاح الزاني حتى يتوب “Ayat tersebut adalah dalil yang jelas tentang haramnya menikahi seorang wanita pezina hingga dia bertobat, begitu juga menikahi seorang laki-laki pezina hingga dia bertobat.” (Taudhihul Ahkam, 5: 302-303) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, نِكَاحُ الزَّانِيَةِ حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ. هَذَا هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ وَهُوَ مَذْهَبُ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ: مِنْهُمْ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُ “Menikahi seorang wanita pezina adalah haram hingga ia bertobat, baik jika yang berzina dengan wanita tersebut adalah dirinya atau orang lain. Ini adalah pendapat yang benar tanpa keraguan dan merupakan pendapat sebagian ulama dari generasi salaf dan khalaf, di antaranya Ahmad bin Hanbal dan lainnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 109-110) Adapun ayat, وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang demikian itu”; adalah ayat umum yang telah dikhususkan (dikecualikan). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ayat ini dikhususkan dengan hadis, لا تنكح المرأة على عمتها “Tidak boleh menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus” (HR. Bukhari no. 5109 dan Muslim no. 1408); begitu juga dalam kasus ini. Boleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat Jika seorang pezina bertobat atau seorang laki-laki pezina bertobat, maka diperbolehkan menikahi mereka berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Tobat dapat dicapai dengan istighfar, penyesalan, dan berhenti dari dosa; seperti tobat dari dosa-dosa lainnya. Ini adalah pendapat yang benar. Sedangkan pendapat bahwa tobat seorang wanita adalah dengan menguji dirinya, jika dia menolak, maka dia telah bertobat, dan jika dia setuju, maka dia belum bertobat, adalah pendapat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran karena jelas kebatilannya. (Al-Mughni, 9: 564) Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** @24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Asbabun nuzul ayat ini adalah hadis dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berikut ini: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekah. Di Mekah ada seorang perempuan pelacur yang bernama ‘Anaq dan ia adalah teman Martsad. Martsad berkata, “Aku datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikahi ‘Anaq?” Martsad berkata, “Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat yang artinya), “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku, lalu membacakan ayat tadi padaku dan beliau berkata, لَا تَنْكِحْهَا “Jangan engkau menikah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 2051 dan An-Nasa’i no. 3230. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani) [2] Secara bahasa, kata “an-nikah” (النكاح) memiliki dua makna, yaitu: 1) hubungan seksual atau jimak (الوطء); atau 2) akad nikah (العقد). Jika dimaknai dengan jimak, maka maksudnya, seorang laki-laki pezina tidak akan melakukan hubungan badan yang haram kecuali dengan wanita pezina juga atau wanita musyrik yang tidak peduli haramnya zina. [3] Karena orang musyrik itu tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 271-273) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 301-303). Tags: Nikahzina

Hukum Menggunakan Jasa Pawang Hujan

Daftar Isi Toggle Hujan merupakan karunia dari AllahHujan merupakan hak Allah Ta’alaBagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan?Penutup Hujan merupakan karunia dari Allah Hujan merupakan salah satu nikmat dan karunia terbesar dari Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya. Dari nikmat hujan inilah, muncul kenikmatan-kenikmatan lainnya yang lebih besar, baik itu tumbuhnya tanam-tanaman yang menjadi sumber makanan bagi kita, ataupun makhluk-makhluk lainnya, atau menjadi cadangan air minum, dan fungsi-fungsi lainnya bagi umat manusia. Allah Ta’ala berfirman mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya, وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ “Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-biji yang dapat dipanen.” (QS. Qaf: 9) Allah Ta’ala juga berfirman, وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا  لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا “Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih. Agar (dengan air itu), Kami menghidupkan negeri yang mati (tandus), dan Kami memberi minum kepada sebagian apa yang telah Kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak.” (QS. Al-Furqan: 48-49) Hujan juga merupakan wujud dari rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ “Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung, Maha Terpuji.”  (QS. Asy-Syura: 28) ‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22) Allah kaitkan kenikmatan hujan ini dengan realisasi ketauhidan dan pengesaan kita kepada Allah Ta’ala. Bahwa kenikmatan yang besar dari Allah Ta’ala ini hendaknya diiringi dengan ibadah dan persembahan hanya kepada Allah Ta’ala, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan syirik, baik itu keyakinan akan adanya sebab lain selain Allah yang dapat menurunkan hujan atau bahkan keyakinan kuat bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat menurunkan hujan. Allah juga mengaitkan karunia hujan ini dengan kondisi sebuah penduduk negeri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)‎ Hujan merupakan hak Allah Ta’ala Hujan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan bukti akan kekuasaan-Nya. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya tidak memiliki andil sedikit pun dalam mengatur dan menurunkannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat. Dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34) Hujan merupakan salah satu dari lima hal di dunia ini yang manusia tidak akan bisa mengetahuinya dengan akurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  مِفْتَاحُ الغَيْبِ خَمْسٌ لا يَعْلَمُهَا إلَّا اللَّهُ: لا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في غَدٍ، ولَا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في الأرْحَامِ، ولَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وما تَدْرِي نَفْسٌ بأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ، وما يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ المَطَرُ. “Kunci-kunci gaib itu ada lima yang tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah: 1) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok hari; 2) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang dikandung dalam rahim; 3) Tidak seorang pun tahu rezeki apa yang didapatkannya esok hari; 4) Tidak satu pun jiwa tahu di bumi mana ia akan meninggal; dan 5) Tidak seorang pun tahu kapan hujan akan datang dan turun.” (HR. Bukhari no. 6831) Hujan semata-mata merupakan nikmat dari Allah Zat Yang Maha Pemurah yang wajib kita syukuri. Allah Ta’ala berfirman, ‎أفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ  أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ  لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ “Maka, apa kalian tidak memperhatikan air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?“ (QS. Al-Waqi’ah: 68-70) Hujan adalah kekuasaan Allah yang menjadi kekhususan-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang memiliki kuasa untuk menurunkannya, karena di antara hikmah hujan adalah menghidupkan sesuatu yang tandus dan mati, dan ini di luar batas kemampuan makhluk selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fussilat: 39) Baca juga: Doa Ketika Turun Hujan Bagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan? Setelah melihat pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa meminta hujan kepada selain Allah sebagaimana yang sekarang banyak terjadi, bahkan di kalangan kaum muslimin, dari menggunakan jasa pawang hujan, orang pintar, atau pun paranormal untuk menghentikan atau memindahkan hujan saat sedang melangsungkan hajat atau acara-acara penting lainnya, hukumnya adalah haram dan termasuk kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Menggunakan jasa pawang hujan termasuk bentuk menggantungkan sebab kepada yang bukan seharusnya. Perihal hujan seharusnya seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada Allah Ta’ala serta meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya sebab turunnya hujan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti dari me-nisbat-kan hujan kepada sebab-sebab selain Allah Ta’ala. Pelakunya dihukumi kafir sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis qudsi. Allah Ta’ala berfirman, أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ “Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedangkan orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qaulul Mufid menjelaskan kaidah umum dalam menghukumi perilaku kesyirikan, Pertama: Jika ia percaya bahwa bintang atau pawang hujan adalah zat yang menurunkan hujan secara langsung, maka ia telah melakukan “syirik besar”. Kedua: Jika ia percaya bahwa bintang, pawang hujan atau hal-hal lainnya menjadi sebab turunnya hujan dan dengan keyakinan juga bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza Wajalla, maka perbuatan itu tetaplah haram, pelakunya telah melakukan “syirik kecil” yang akan merusak kesempurnaan tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh-jauh hari juga telah mengingatkan kita bahwa perilaku pe-nisbat-an hujan kepada selain Allah adalah perilaku jahiliah yang susah hilang dari umatnya sehingga tetap ada hingga masa sekarang. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ بِاْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ، وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ “Empat perkara dari perkara-perkara jahiliah yang terdapat pada umatku, dan tidak ditinggalkan oleh mereka: 1) membanggakan nenek moyang; 2) mencela keturunan; 3) me-nisbat-kan hujan kepada bintang-bintang; dan 4) meratapi mayit.” (HR. Muslim no. 934) Sungguh fenomena pe-nisbat-an dan penggunaan pawang hujan untuk mendatangkan atau memindahkan hujan di masa sekarang merupakan fenomena yang sangat aneh dan jauh dari akal sehat manusia. Di masa silam, orang-orang musyrik sekalipun tetap meyakini bahwa tidaklah hujan itu turun, kecuali karena Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al-Ankabut: 63) Penutup Me-nisbat-kan hujan kepada selain Allah, meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat mendatangkan atau menghalau hujan, maka semua itu merupakan bentuk kesyirikan dan pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus menafikan tawakal yang benar kepada Allah Azza Wajalla. Perbuatan semacam ini juga membuka peluang munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak yang mengantarkan manusia kepada kepercayaan penyembahan patung dan bintang. Wal’iyadzubillah. Semoga Allah Ta’ala jauhkan diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala, sekecil apa pun bentuknya. Baca juga: Larangan Mencela Hujan dan Angin *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pawang hujan

Hukum Menggunakan Jasa Pawang Hujan

Daftar Isi Toggle Hujan merupakan karunia dari AllahHujan merupakan hak Allah Ta’alaBagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan?Penutup Hujan merupakan karunia dari Allah Hujan merupakan salah satu nikmat dan karunia terbesar dari Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya. Dari nikmat hujan inilah, muncul kenikmatan-kenikmatan lainnya yang lebih besar, baik itu tumbuhnya tanam-tanaman yang menjadi sumber makanan bagi kita, ataupun makhluk-makhluk lainnya, atau menjadi cadangan air minum, dan fungsi-fungsi lainnya bagi umat manusia. Allah Ta’ala berfirman mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya, وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ “Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-biji yang dapat dipanen.” (QS. Qaf: 9) Allah Ta’ala juga berfirman, وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا  لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا “Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih. Agar (dengan air itu), Kami menghidupkan negeri yang mati (tandus), dan Kami memberi minum kepada sebagian apa yang telah Kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak.” (QS. Al-Furqan: 48-49) Hujan juga merupakan wujud dari rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ “Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung, Maha Terpuji.”  (QS. Asy-Syura: 28) ‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22) Allah kaitkan kenikmatan hujan ini dengan realisasi ketauhidan dan pengesaan kita kepada Allah Ta’ala. Bahwa kenikmatan yang besar dari Allah Ta’ala ini hendaknya diiringi dengan ibadah dan persembahan hanya kepada Allah Ta’ala, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan syirik, baik itu keyakinan akan adanya sebab lain selain Allah yang dapat menurunkan hujan atau bahkan keyakinan kuat bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat menurunkan hujan. Allah juga mengaitkan karunia hujan ini dengan kondisi sebuah penduduk negeri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)‎ Hujan merupakan hak Allah Ta’ala Hujan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan bukti akan kekuasaan-Nya. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya tidak memiliki andil sedikit pun dalam mengatur dan menurunkannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat. Dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34) Hujan merupakan salah satu dari lima hal di dunia ini yang manusia tidak akan bisa mengetahuinya dengan akurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  مِفْتَاحُ الغَيْبِ خَمْسٌ لا يَعْلَمُهَا إلَّا اللَّهُ: لا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في غَدٍ، ولَا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في الأرْحَامِ، ولَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وما تَدْرِي نَفْسٌ بأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ، وما يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ المَطَرُ. “Kunci-kunci gaib itu ada lima yang tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah: 1) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok hari; 2) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang dikandung dalam rahim; 3) Tidak seorang pun tahu rezeki apa yang didapatkannya esok hari; 4) Tidak satu pun jiwa tahu di bumi mana ia akan meninggal; dan 5) Tidak seorang pun tahu kapan hujan akan datang dan turun.” (HR. Bukhari no. 6831) Hujan semata-mata merupakan nikmat dari Allah Zat Yang Maha Pemurah yang wajib kita syukuri. Allah Ta’ala berfirman, ‎أفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ  أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ  لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ “Maka, apa kalian tidak memperhatikan air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?“ (QS. Al-Waqi’ah: 68-70) Hujan adalah kekuasaan Allah yang menjadi kekhususan-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang memiliki kuasa untuk menurunkannya, karena di antara hikmah hujan adalah menghidupkan sesuatu yang tandus dan mati, dan ini di luar batas kemampuan makhluk selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fussilat: 39) Baca juga: Doa Ketika Turun Hujan Bagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan? Setelah melihat pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa meminta hujan kepada selain Allah sebagaimana yang sekarang banyak terjadi, bahkan di kalangan kaum muslimin, dari menggunakan jasa pawang hujan, orang pintar, atau pun paranormal untuk menghentikan atau memindahkan hujan saat sedang melangsungkan hajat atau acara-acara penting lainnya, hukumnya adalah haram dan termasuk kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Menggunakan jasa pawang hujan termasuk bentuk menggantungkan sebab kepada yang bukan seharusnya. Perihal hujan seharusnya seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada Allah Ta’ala serta meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya sebab turunnya hujan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti dari me-nisbat-kan hujan kepada sebab-sebab selain Allah Ta’ala. Pelakunya dihukumi kafir sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis qudsi. Allah Ta’ala berfirman, أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ “Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedangkan orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qaulul Mufid menjelaskan kaidah umum dalam menghukumi perilaku kesyirikan, Pertama: Jika ia percaya bahwa bintang atau pawang hujan adalah zat yang menurunkan hujan secara langsung, maka ia telah melakukan “syirik besar”. Kedua: Jika ia percaya bahwa bintang, pawang hujan atau hal-hal lainnya menjadi sebab turunnya hujan dan dengan keyakinan juga bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza Wajalla, maka perbuatan itu tetaplah haram, pelakunya telah melakukan “syirik kecil” yang akan merusak kesempurnaan tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh-jauh hari juga telah mengingatkan kita bahwa perilaku pe-nisbat-an hujan kepada selain Allah adalah perilaku jahiliah yang susah hilang dari umatnya sehingga tetap ada hingga masa sekarang. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ بِاْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ، وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ “Empat perkara dari perkara-perkara jahiliah yang terdapat pada umatku, dan tidak ditinggalkan oleh mereka: 1) membanggakan nenek moyang; 2) mencela keturunan; 3) me-nisbat-kan hujan kepada bintang-bintang; dan 4) meratapi mayit.” (HR. Muslim no. 934) Sungguh fenomena pe-nisbat-an dan penggunaan pawang hujan untuk mendatangkan atau memindahkan hujan di masa sekarang merupakan fenomena yang sangat aneh dan jauh dari akal sehat manusia. Di masa silam, orang-orang musyrik sekalipun tetap meyakini bahwa tidaklah hujan itu turun, kecuali karena Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al-Ankabut: 63) Penutup Me-nisbat-kan hujan kepada selain Allah, meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat mendatangkan atau menghalau hujan, maka semua itu merupakan bentuk kesyirikan dan pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus menafikan tawakal yang benar kepada Allah Azza Wajalla. Perbuatan semacam ini juga membuka peluang munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak yang mengantarkan manusia kepada kepercayaan penyembahan patung dan bintang. Wal’iyadzubillah. Semoga Allah Ta’ala jauhkan diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala, sekecil apa pun bentuknya. Baca juga: Larangan Mencela Hujan dan Angin *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pawang hujan
Daftar Isi Toggle Hujan merupakan karunia dari AllahHujan merupakan hak Allah Ta’alaBagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan?Penutup Hujan merupakan karunia dari Allah Hujan merupakan salah satu nikmat dan karunia terbesar dari Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya. Dari nikmat hujan inilah, muncul kenikmatan-kenikmatan lainnya yang lebih besar, baik itu tumbuhnya tanam-tanaman yang menjadi sumber makanan bagi kita, ataupun makhluk-makhluk lainnya, atau menjadi cadangan air minum, dan fungsi-fungsi lainnya bagi umat manusia. Allah Ta’ala berfirman mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya, وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ “Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-biji yang dapat dipanen.” (QS. Qaf: 9) Allah Ta’ala juga berfirman, وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا  لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا “Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih. Agar (dengan air itu), Kami menghidupkan negeri yang mati (tandus), dan Kami memberi minum kepada sebagian apa yang telah Kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak.” (QS. Al-Furqan: 48-49) Hujan juga merupakan wujud dari rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ “Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung, Maha Terpuji.”  (QS. Asy-Syura: 28) ‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22) Allah kaitkan kenikmatan hujan ini dengan realisasi ketauhidan dan pengesaan kita kepada Allah Ta’ala. Bahwa kenikmatan yang besar dari Allah Ta’ala ini hendaknya diiringi dengan ibadah dan persembahan hanya kepada Allah Ta’ala, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan syirik, baik itu keyakinan akan adanya sebab lain selain Allah yang dapat menurunkan hujan atau bahkan keyakinan kuat bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat menurunkan hujan. Allah juga mengaitkan karunia hujan ini dengan kondisi sebuah penduduk negeri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)‎ Hujan merupakan hak Allah Ta’ala Hujan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan bukti akan kekuasaan-Nya. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya tidak memiliki andil sedikit pun dalam mengatur dan menurunkannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat. Dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34) Hujan merupakan salah satu dari lima hal di dunia ini yang manusia tidak akan bisa mengetahuinya dengan akurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  مِفْتَاحُ الغَيْبِ خَمْسٌ لا يَعْلَمُهَا إلَّا اللَّهُ: لا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في غَدٍ، ولَا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في الأرْحَامِ، ولَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وما تَدْرِي نَفْسٌ بأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ، وما يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ المَطَرُ. “Kunci-kunci gaib itu ada lima yang tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah: 1) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok hari; 2) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang dikandung dalam rahim; 3) Tidak seorang pun tahu rezeki apa yang didapatkannya esok hari; 4) Tidak satu pun jiwa tahu di bumi mana ia akan meninggal; dan 5) Tidak seorang pun tahu kapan hujan akan datang dan turun.” (HR. Bukhari no. 6831) Hujan semata-mata merupakan nikmat dari Allah Zat Yang Maha Pemurah yang wajib kita syukuri. Allah Ta’ala berfirman, ‎أفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ  أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ  لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ “Maka, apa kalian tidak memperhatikan air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?“ (QS. Al-Waqi’ah: 68-70) Hujan adalah kekuasaan Allah yang menjadi kekhususan-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang memiliki kuasa untuk menurunkannya, karena di antara hikmah hujan adalah menghidupkan sesuatu yang tandus dan mati, dan ini di luar batas kemampuan makhluk selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fussilat: 39) Baca juga: Doa Ketika Turun Hujan Bagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan? Setelah melihat pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa meminta hujan kepada selain Allah sebagaimana yang sekarang banyak terjadi, bahkan di kalangan kaum muslimin, dari menggunakan jasa pawang hujan, orang pintar, atau pun paranormal untuk menghentikan atau memindahkan hujan saat sedang melangsungkan hajat atau acara-acara penting lainnya, hukumnya adalah haram dan termasuk kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Menggunakan jasa pawang hujan termasuk bentuk menggantungkan sebab kepada yang bukan seharusnya. Perihal hujan seharusnya seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada Allah Ta’ala serta meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya sebab turunnya hujan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti dari me-nisbat-kan hujan kepada sebab-sebab selain Allah Ta’ala. Pelakunya dihukumi kafir sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis qudsi. Allah Ta’ala berfirman, أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ “Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedangkan orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qaulul Mufid menjelaskan kaidah umum dalam menghukumi perilaku kesyirikan, Pertama: Jika ia percaya bahwa bintang atau pawang hujan adalah zat yang menurunkan hujan secara langsung, maka ia telah melakukan “syirik besar”. Kedua: Jika ia percaya bahwa bintang, pawang hujan atau hal-hal lainnya menjadi sebab turunnya hujan dan dengan keyakinan juga bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza Wajalla, maka perbuatan itu tetaplah haram, pelakunya telah melakukan “syirik kecil” yang akan merusak kesempurnaan tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh-jauh hari juga telah mengingatkan kita bahwa perilaku pe-nisbat-an hujan kepada selain Allah adalah perilaku jahiliah yang susah hilang dari umatnya sehingga tetap ada hingga masa sekarang. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ بِاْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ، وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ “Empat perkara dari perkara-perkara jahiliah yang terdapat pada umatku, dan tidak ditinggalkan oleh mereka: 1) membanggakan nenek moyang; 2) mencela keturunan; 3) me-nisbat-kan hujan kepada bintang-bintang; dan 4) meratapi mayit.” (HR. Muslim no. 934) Sungguh fenomena pe-nisbat-an dan penggunaan pawang hujan untuk mendatangkan atau memindahkan hujan di masa sekarang merupakan fenomena yang sangat aneh dan jauh dari akal sehat manusia. Di masa silam, orang-orang musyrik sekalipun tetap meyakini bahwa tidaklah hujan itu turun, kecuali karena Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al-Ankabut: 63) Penutup Me-nisbat-kan hujan kepada selain Allah, meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat mendatangkan atau menghalau hujan, maka semua itu merupakan bentuk kesyirikan dan pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus menafikan tawakal yang benar kepada Allah Azza Wajalla. Perbuatan semacam ini juga membuka peluang munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak yang mengantarkan manusia kepada kepercayaan penyembahan patung dan bintang. Wal’iyadzubillah. Semoga Allah Ta’ala jauhkan diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala, sekecil apa pun bentuknya. Baca juga: Larangan Mencela Hujan dan Angin *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pawang hujan


Daftar Isi Toggle Hujan merupakan karunia dari AllahHujan merupakan hak Allah Ta’alaBagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan?Penutup Hujan merupakan karunia dari Allah Hujan merupakan salah satu nikmat dan karunia terbesar dari Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya. Dari nikmat hujan inilah, muncul kenikmatan-kenikmatan lainnya yang lebih besar, baik itu tumbuhnya tanam-tanaman yang menjadi sumber makanan bagi kita, ataupun makhluk-makhluk lainnya, atau menjadi cadangan air minum, dan fungsi-fungsi lainnya bagi umat manusia. Allah Ta’ala berfirman mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya, وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ “Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-biji yang dapat dipanen.” (QS. Qaf: 9) Allah Ta’ala juga berfirman, وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا  لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا “Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih. Agar (dengan air itu), Kami menghidupkan negeri yang mati (tandus), dan Kami memberi minum kepada sebagian apa yang telah Kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak.” (QS. Al-Furqan: 48-49) Hujan juga merupakan wujud dari rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ “Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung, Maha Terpuji.”  (QS. Asy-Syura: 28) ‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22) Allah kaitkan kenikmatan hujan ini dengan realisasi ketauhidan dan pengesaan kita kepada Allah Ta’ala. Bahwa kenikmatan yang besar dari Allah Ta’ala ini hendaknya diiringi dengan ibadah dan persembahan hanya kepada Allah Ta’ala, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan syirik, baik itu keyakinan akan adanya sebab lain selain Allah yang dapat menurunkan hujan atau bahkan keyakinan kuat bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat menurunkan hujan. Allah juga mengaitkan karunia hujan ini dengan kondisi sebuah penduduk negeri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)‎ Hujan merupakan hak Allah Ta’ala Hujan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan bukti akan kekuasaan-Nya. Manusia dan makhluk-makhluk lainnya tidak memiliki andil sedikit pun dalam mengatur dan menurunkannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat. Dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34) Hujan merupakan salah satu dari lima hal di dunia ini yang manusia tidak akan bisa mengetahuinya dengan akurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  مِفْتَاحُ الغَيْبِ خَمْسٌ لا يَعْلَمُهَا إلَّا اللَّهُ: لا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في غَدٍ، ولَا يَعْلَمُ أَحَدٌ ما يَكونُ في الأرْحَامِ، ولَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وما تَدْرِي نَفْسٌ بأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ، وما يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ المَطَرُ. “Kunci-kunci gaib itu ada lima yang tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah: 1) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok hari; 2) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang dikandung dalam rahim; 3) Tidak seorang pun tahu rezeki apa yang didapatkannya esok hari; 4) Tidak satu pun jiwa tahu di bumi mana ia akan meninggal; dan 5) Tidak seorang pun tahu kapan hujan akan datang dan turun.” (HR. Bukhari no. 6831) Hujan semata-mata merupakan nikmat dari Allah Zat Yang Maha Pemurah yang wajib kita syukuri. Allah Ta’ala berfirman, ‎أفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ  أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ  لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ “Maka, apa kalian tidak memperhatikan air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?“ (QS. Al-Waqi’ah: 68-70) Hujan adalah kekuasaan Allah yang menjadi kekhususan-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang memiliki kuasa untuk menurunkannya, karena di antara hikmah hujan adalah menghidupkan sesuatu yang tandus dan mati, dan ini di luar batas kemampuan makhluk selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fussilat: 39) Baca juga: Doa Ketika Turun Hujan Bagaimana hukum menggunakan jasa pawang hujan? Setelah melihat pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa meminta hujan kepada selain Allah sebagaimana yang sekarang banyak terjadi, bahkan di kalangan kaum muslimin, dari menggunakan jasa pawang hujan, orang pintar, atau pun paranormal untuk menghentikan atau memindahkan hujan saat sedang melangsungkan hajat atau acara-acara penting lainnya, hukumnya adalah haram dan termasuk kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Menggunakan jasa pawang hujan termasuk bentuk menggantungkan sebab kepada yang bukan seharusnya. Perihal hujan seharusnya seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada Allah Ta’ala serta meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya sebab turunnya hujan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti dari me-nisbat-kan hujan kepada sebab-sebab selain Allah Ta’ala. Pelakunya dihukumi kafir sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis qudsi. Allah Ta’ala berfirman, أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ “Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedangkan orang yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71) Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qaulul Mufid menjelaskan kaidah umum dalam menghukumi perilaku kesyirikan, Pertama: Jika ia percaya bahwa bintang atau pawang hujan adalah zat yang menurunkan hujan secara langsung, maka ia telah melakukan “syirik besar”. Kedua: Jika ia percaya bahwa bintang, pawang hujan atau hal-hal lainnya menjadi sebab turunnya hujan dan dengan keyakinan juga bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza Wajalla, maka perbuatan itu tetaplah haram, pelakunya telah melakukan “syirik kecil” yang akan merusak kesempurnaan tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh-jauh hari juga telah mengingatkan kita bahwa perilaku pe-nisbat-an hujan kepada selain Allah adalah perilaku jahiliah yang susah hilang dari umatnya sehingga tetap ada hingga masa sekarang. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ بِاْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ، وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ “Empat perkara dari perkara-perkara jahiliah yang terdapat pada umatku, dan tidak ditinggalkan oleh mereka: 1) membanggakan nenek moyang; 2) mencela keturunan; 3) me-nisbat-kan hujan kepada bintang-bintang; dan 4) meratapi mayit.” (HR. Muslim no. 934) Sungguh fenomena pe-nisbat-an dan penggunaan pawang hujan untuk mendatangkan atau memindahkan hujan di masa sekarang merupakan fenomena yang sangat aneh dan jauh dari akal sehat manusia. Di masa silam, orang-orang musyrik sekalipun tetap meyakini bahwa tidaklah hujan itu turun, kecuali karena Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al-Ankabut: 63) Penutup Me-nisbat-kan hujan kepada selain Allah, meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala yang dapat mendatangkan atau menghalau hujan, maka semua itu merupakan bentuk kesyirikan dan pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus menafikan tawakal yang benar kepada Allah Azza Wajalla. Perbuatan semacam ini juga membuka peluang munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak yang mengantarkan manusia kepada kepercayaan penyembahan patung dan bintang. Wal’iyadzubillah. Semoga Allah Ta’ala jauhkan diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala, sekecil apa pun bentuknya. Baca juga: Larangan Mencela Hujan dan Angin *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: pawang hujan
Prev     Next