Jangan Takut Terasing dan Sendirian di Tengah Keramaian Dunia

Daftar Isi ToggleMengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburKadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat.Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman,يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ“Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9)Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati.Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun.Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya,ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة“Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7)Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya.Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata,قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة“Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal,Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat.Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian.Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya,وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس“Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian.Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita.Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman KeterasinganRenungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburSelain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati.Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031)Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965)“Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain.Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua.Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri***Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.

Jangan Takut Terasing dan Sendirian di Tengah Keramaian Dunia

Daftar Isi ToggleMengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburKadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat.Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman,يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ“Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9)Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati.Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun.Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya,ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة“Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7)Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya.Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata,قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة“Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal,Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat.Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian.Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya,وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس“Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian.Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita.Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman KeterasinganRenungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburSelain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati.Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031)Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965)“Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain.Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua.Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri***Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.
Daftar Isi ToggleMengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburKadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat.Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman,يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ“Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9)Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati.Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun.Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya,ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة“Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7)Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya.Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata,قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة“Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal,Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat.Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian.Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya,وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس“Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian.Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita.Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman KeterasinganRenungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburSelain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati.Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031)Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965)“Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain.Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua.Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri***Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.


Daftar Isi ToggleMengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburKadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat.Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman,يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ“Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9)Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati.Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun.Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya,ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة“Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7)Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya.Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata,قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة“Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal,Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat.Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian.Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya,وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس“Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263)Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian.Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita.Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman KeterasinganRenungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kuburSelain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati.Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ“Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031)Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965)“Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain.Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua.Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri***Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.

Hadis: Rasulullah adalah Pendengar yang Baik

Daftar Isi ToggleTeks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatBeberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan.Teks hadisعَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.”Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1]Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaFaedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain. Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2] Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3]Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya.Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4]Baca juga: Menjadi Ayah TeladanPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatHadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat.Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”.Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan. Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah.Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita.Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak.Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5]Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik.Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini.[2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210.[3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197.[4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477 [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.

Hadis: Rasulullah adalah Pendengar yang Baik

Daftar Isi ToggleTeks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatBeberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan.Teks hadisعَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.”Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1]Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaFaedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain. Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2] Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3]Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya.Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4]Baca juga: Menjadi Ayah TeladanPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatHadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat.Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”.Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan. Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah.Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita.Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak.Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5]Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik.Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini.[2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210.[3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197.[4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477 [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.
Daftar Isi ToggleTeks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatBeberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan.Teks hadisعَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.”Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1]Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaFaedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain. Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2] Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3]Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya.Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4]Baca juga: Menjadi Ayah TeladanPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatHadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat.Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”.Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan. Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah.Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita.Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak.Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5]Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik.Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini.[2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210.[3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197.[4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477 [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.


Daftar Isi ToggleTeks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatBeberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan.Teks hadisعَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.”Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.”Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1]Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaFaedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain. Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2] Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3]Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya.Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4]Baca juga: Menjadi Ayah TeladanPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehatHadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat.Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”.Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan. Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah.Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita.Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak.Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5]Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik.Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar***Penulis: Reza MahendraArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini.[2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210.[3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197.[4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477 [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.

Di Antara Doa yang Paling Lengkap

٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 692 times, 3 visit(s) today Post Views: 363 QRIS donasi Yufid

Di Antara Doa yang Paling Lengkap

٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 692 times, 3 visit(s) today Post Views: 363 QRIS donasi Yufid
٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 692 times, 3 visit(s) today Post Views: 363 QRIS donasi Yufid


٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 692 times, 3 visit(s) today Post Views: 363 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Pokok dan Cabang Agama: Telaah Kritis terhadap Pembagian Ushul-Furu’

Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama.   Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam Agama Sudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul. Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya.   Ketidakteraturan dalam Pembagian Kalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini. Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.” Kemudian beliau menantang: “Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.” “Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.” “Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.” Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata: “Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.”   Solusi: Pengaturan Ulang dan Ketelitian Namun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting: Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’. Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya. Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata: “Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.” Juga dalam perkataan beliau: “Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.” Dan juga: “Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.” Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat.   Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’ Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya: Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash. Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni. Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah. Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat). Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah: Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر “Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.” Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol   Referensi: Islamway.net   –   8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu

Pokok dan Cabang Agama: Telaah Kritis terhadap Pembagian Ushul-Furu’

Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama.   Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam Agama Sudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul. Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya.   Ketidakteraturan dalam Pembagian Kalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini. Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.” Kemudian beliau menantang: “Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.” “Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.” “Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.” Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata: “Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.”   Solusi: Pengaturan Ulang dan Ketelitian Namun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting: Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’. Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya. Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata: “Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.” Juga dalam perkataan beliau: “Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.” Dan juga: “Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.” Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat.   Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’ Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya: Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash. Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni. Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah. Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat). Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah: Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر “Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.” Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol   Referensi: Islamway.net   –   8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu
Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama.   Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam Agama Sudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul. Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya.   Ketidakteraturan dalam Pembagian Kalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini. Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.” Kemudian beliau menantang: “Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.” “Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.” “Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.” Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata: “Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.”   Solusi: Pengaturan Ulang dan Ketelitian Namun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting: Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’. Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya. Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata: “Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.” Juga dalam perkataan beliau: “Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.” Dan juga: “Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.” Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat.   Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’ Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya: Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash. Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni. Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah. Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat). Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah: Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر “Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.” Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol   Referensi: Islamway.net   –   8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu


Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama.   Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam Agama Sudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul. Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya.   Ketidakteraturan dalam Pembagian Kalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini. Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.” Kemudian beliau menantang: “Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.” “Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.” “Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.” Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata: “Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.”   Solusi: Pengaturan Ulang dan Ketelitian Namun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting: Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’. Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya. Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata: “Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.” Juga dalam perkataan beliau: “Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.” Dan juga: “Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.” Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat.   Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’ Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya: Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash. Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni. Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah. Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat). Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah: Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر “Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.” Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol   Referensi: Islamway.net   –   8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu

Dua Jenis Nikmat Menurut Ibnul Qayyim: Nikmat Mutlak dan Nikmat Terbatas

Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat.   Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah). 1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya, وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut. Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar. 2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah) Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir. Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana. Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya, فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ “Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17) Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah.   Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak? Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28) Dan Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ “Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17)   Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakan Nikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58) Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah. Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya. Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya. Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman.   Kesimpulan 1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah): Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat. 2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah): Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati. ___ Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan. Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.   ___   10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat

Dua Jenis Nikmat Menurut Ibnul Qayyim: Nikmat Mutlak dan Nikmat Terbatas

Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat.   Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah). 1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya, وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut. Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar. 2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah) Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir. Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana. Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya, فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ “Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17) Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah.   Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak? Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28) Dan Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ “Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17)   Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakan Nikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58) Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah. Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya. Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya. Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman.   Kesimpulan 1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah): Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat. 2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah): Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati. ___ Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan. Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.   ___   10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat
Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat.   Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah). 1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya, وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut. Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar. 2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah) Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir. Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana. Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya, فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ “Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17) Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah.   Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak? Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28) Dan Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ “Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17)   Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakan Nikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58) Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah. Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya. Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya. Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman.   Kesimpulan 1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah): Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat. 2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah): Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati. ___ Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan. Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.   ___   10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat


Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat.   Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah). 1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya, وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut. Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar. 2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah) Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir. Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana. Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya, فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ “Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17) Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah.   Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak? Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28) Dan Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ “Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17)   Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakan Nikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58) Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah. Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya. Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya. Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman.   Kesimpulan 1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah): Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat. 2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah): Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati. ___ Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan. Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.   ___   10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat

Perang Dzaturriqa’: Strategi Nabi Muhammad Menghadapi Ghathafan

Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman.   Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.” Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.” Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits. Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar. Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh. Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.” Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas.   Kisah Jabir dengan Untanya yang Lambat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata, 
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى “Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ “Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715) Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba. Baca juga: Jual Beli Terpaksa   Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’ Pertama: Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam. Kedua: Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya. Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 Derajat Ketiga: Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah. Keempat: Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67). Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.” Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.” Kelima: Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Keenam: Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin. Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah. Ketujuh: Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.” Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya. Kedelapan: Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau. Kesembilan: Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini. Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan

Perang Dzaturriqa’: Strategi Nabi Muhammad Menghadapi Ghathafan

Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman.   Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.” Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.” Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits. Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar. Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh. Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.” Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas.   Kisah Jabir dengan Untanya yang Lambat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata, 
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى “Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ “Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715) Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba. Baca juga: Jual Beli Terpaksa   Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’ Pertama: Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam. Kedua: Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya. Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 Derajat Ketiga: Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah. Keempat: Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67). Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.” Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.” Kelima: Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Keenam: Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin. Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah. Ketujuh: Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.” Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya. Kedelapan: Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau. Kesembilan: Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini. Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan
Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman.   Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.” Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.” Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits. Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar. Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh. Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.” Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas.   Kisah Jabir dengan Untanya yang Lambat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata, 
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى “Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ “Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715) Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba. Baca juga: Jual Beli Terpaksa   Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’ Pertama: Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam. Kedua: Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya. Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 Derajat Ketiga: Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah. Keempat: Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67). Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.” Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.” Kelima: Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Keenam: Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin. Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah. Ketujuh: Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.” Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya. Kedelapan: Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau. Kesembilan: Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini. Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan


Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman.   Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.” Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.” Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits. Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar. Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh. Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.” Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas.   Kisah Jabir dengan Untanya yang Lambat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata, 
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى “Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ “Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715) Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba. Baca juga: Jual Beli Terpaksa   Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’ Pertama: Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam. Kedua: Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya. Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 Derajat Ketiga: Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah. Keempat: Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67). Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.” Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.” Kelima: Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Keenam: Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin. Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah. Ketujuh: Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.” Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya. Kedelapan: Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau. Kesembilan: Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini. Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.   –   11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan

Tata Cara Shalat Khauf Saat Perang dan Bahaya: Penjelasan Lengkap Sesuai Sunnah

Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan. Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya:   Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah Kiblat Jenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh. Imam membagi mereka menjadi dua kelompok: Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga. Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat. Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya. Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh. Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam. Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya. Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama. Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya.   Kedua: Musuh Berada di Arah Kiblat Keadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok. Imam membariskan mereka dalam dua saf. Imam bertakbir bersama semua jamaah. Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga. Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam. Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua. Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras).   Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang Sengit Situasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik: Sambil berjalan kaki, Atau sambil berkendara, Menghadap kiblat atau tidak. Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat.   Referensi: Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.   ________ 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf

Tata Cara Shalat Khauf Saat Perang dan Bahaya: Penjelasan Lengkap Sesuai Sunnah

Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan. Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya:   Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah Kiblat Jenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh. Imam membagi mereka menjadi dua kelompok: Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga. Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat. Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya. Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh. Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam. Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya. Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama. Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya.   Kedua: Musuh Berada di Arah Kiblat Keadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok. Imam membariskan mereka dalam dua saf. Imam bertakbir bersama semua jamaah. Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga. Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam. Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua. Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras).   Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang Sengit Situasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik: Sambil berjalan kaki, Atau sambil berkendara, Menghadap kiblat atau tidak. Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat.   Referensi: Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.   ________ 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf
Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan. Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya:   Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah Kiblat Jenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh. Imam membagi mereka menjadi dua kelompok: Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga. Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat. Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya. Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh. Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam. Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya. Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama. Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya.   Kedua: Musuh Berada di Arah Kiblat Keadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok. Imam membariskan mereka dalam dua saf. Imam bertakbir bersama semua jamaah. Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga. Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam. Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua. Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras).   Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang Sengit Situasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik: Sambil berjalan kaki, Atau sambil berkendara, Menghadap kiblat atau tidak. Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat.   Referensi: Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.   ________ 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf


Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan. Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya:   Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah Kiblat Jenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh. Imam membagi mereka menjadi dua kelompok: Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga. Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat. Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya. Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh. Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam. Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya. Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama. Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya.   Kedua: Musuh Berada di Arah Kiblat Keadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok. Imam membariskan mereka dalam dua saf. Imam bertakbir bersama semua jamaah. Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga. Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam. Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua. Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras).   Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang Sengit Situasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik: Sambil berjalan kaki, Atau sambil berkendara, Menghadap kiblat atau tidak. Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat.   Referensi: Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’.   ________ 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagsmatan taqrib matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf

Tata Cara Shalat Khauf Saat Perang dan Bahaya: Penjelasan Lengkap Sesuai Sunnah

Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf

Tata Cara Shalat Khauf Saat Perang dan Bahaya: Penjelasan Lengkap Sesuai Sunnah

Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf
Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf


Shalat Khauf adalah shalat yang dilakukan dalam kondisi bahaya atau situasi genting, seperti saat berada di medan perang atau dalam ancaman serangan musuh. Shalat ini merupakan bentuk rukhsah (keringanan) dalam syariat Islam, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga shalat meskipun dalam kondisi penuh risiko. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mempraktikkan beberapa bentuk shalat khauf bersama para sahabat di berbagai medan jihad. Hal ini menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menjaga kewajiban ibadah di segala keadaan.Shalat Khauf memiliki bentuk yang beragam, mencapai enam cara pelaksanaan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Namun, penulis Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib hanya membatasi penjelasannya pada tiga cara utama. Berikut penjelasannya: Pertama: Musuh Berada Tidak di Arah KiblatJenis ini jarang terjadi. Syaratnya adalah jumlah kaum muslimin cukup banyak sehingga bisa dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok mampu menghadapi musuh.Imam membagi mereka menjadi dua kelompok:Kelompok pertama berdiri menghadap musuh untuk menjaga.Kelompok kedua berada di belakang imam dan ikut shalat.Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang ada di belakangnya.Ketika imam bangkit untuk rakaat kedua, kelompok tersebut menyempurnakan sendiri sisa rakaatnya, kemudian berpindah ke posisi menjaga musuh.Lalu datang kelompok penjaga pertama, mereka menggantikan posisi di belakang imam.Imam kemudian shalat satu rakaat bersama mereka. Ketika imam duduk untuk tahiyat akhir, kelompok ini menyempurnakan sendiri sisa shalatnya.Imam menunggu mereka sampai selesai, lalu salam bersama-sama.Inilah bentuk shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Dzātur-Riqā‘. Dinamakan demikian karena mereka menambal (رقعوا) panji-panji mereka dalam peperangan tersebut. Ada juga pendapat lain terkait penamaannya. Kedua: Musuh Berada di Arah KiblatKeadaan ini terjadi saat musuh berada di depan dan terlihat oleh kaum muslimin, serta tidak ada penghalang yang menutupi pandangan. Jumlah kaum muslimin cukup banyak untuk dibagi dalam beberapa kelompok.Imam membariskan mereka dalam dua saf.Imam bertakbir bersama semua jamaah.Ketika imam sujud pada rakaat pertama, salah satu saf ikut sujud dua kali, sementara saf lainnya berjaga.Setelah imam mengangkat kepala dari sujud, saf penjaga menggantikan sujud lalu menyusul imam.Imam tahiyat dan salam bersama mereka semua.Inilah cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ di daerah ‘Usfān, yaitu sebuah desa yang terletak di jalur haji Mesir, sekitar dua perjalanan (marhalah) dari Makkah. Dinamakan demikian karena sering dilewati arus banjir (‘asf berarti menggiring air deras). Ketiga: Dalam Keadaan Sangat Mencekam dan Perang SengitSituasi ini merupakan kondisi paling genting ketika dua pasukan sudah bercampur, tubuh mereka saling berdekatan dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan medan perang.Dalam kondisi seperti ini, masing-masing prajurit shalat semampunya, baik:Sambil berjalan kaki,Atau sambil berkendara,Menghadap kiblat atau tidak.Mereka diperbolehkan melakukan banyak gerakan dalam shalat, seperti melakukan serangan berulang-ulang, karena keadaan yang sangat darurat. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. ________11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com  Tagsmatan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat peperangan di masa Rasulullah perang dzaturriqa shalat khauf

Perang Dzaturriqa’: Strategi Nabi Muhammad Menghadapi Ghathafan

Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman. Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar.Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh.Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.”Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.”Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits.Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar.Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh.Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.”Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas. Kisah Jabir dengan Untanya yang LambatNabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath.Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715)Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba.Baca juga: Jual Beli Terpaksa Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’Pertama:Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam.Kedua:Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya.Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 DerajatKetiga:Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah.Keempat:Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67).Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.”Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.”Kelima:Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul.Keenam:Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin.Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah.Ketujuh:Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.”Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya.Kedelapan:Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau.Kesembilan:Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini.Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan

Perang Dzaturriqa’: Strategi Nabi Muhammad Menghadapi Ghathafan

Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman. Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar.Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh.Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.”Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.”Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits.Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar.Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh.Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.”Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas. Kisah Jabir dengan Untanya yang LambatNabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath.Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715)Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba.Baca juga: Jual Beli Terpaksa Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’Pertama:Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam.Kedua:Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya.Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 DerajatKetiga:Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah.Keempat:Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67).Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.”Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.”Kelima:Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul.Keenam:Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin.Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah.Ketujuh:Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.”Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya.Kedelapan:Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau.Kesembilan:Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini.Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan
Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman. Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar.Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh.Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.”Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.”Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits.Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar.Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh.Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.”Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas. Kisah Jabir dengan Untanya yang LambatNabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath.Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715)Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba.Baca juga: Jual Beli Terpaksa Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’Pertama:Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam.Kedua:Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya.Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 DerajatKetiga:Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah.Keempat:Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67).Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.”Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.”Kelima:Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul.Keenam:Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin.Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah.Ketujuh:Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.”Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya.Kedelapan:Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau.Kesembilan:Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini.Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan


Perang Dzaturriqa’ adalah salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, yakni sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi para sahabat yang membalut kaki mereka dengan perban (riqa’) karena luka dan kelelahan dalam perjalanan. Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di Jazirah Arab bagian utara. Suku ini berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur serta peran besar dalam konflik seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar. Sebelum masuk Islam, mereka adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran besar secara terbuka, kehadiran pasukan Nabi membuat Ghathafan mundur, sehingga kaum muslimin pulang dengan kemenangan moral dan pesan kuat bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman. Pengamat sejarah lebih cenderung membenarkan bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar. Pendapat ini didasarkan pada keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang tersebut, sedangkan keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar.Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf (shalat dalam suasana perang) bersama para sahabatnya dalam Perang Dzaturriqa’, yang merupakan perang ketujuh.Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk Perang Dzaturriqa’ dari perkampungan Nakhl. Beliau pergi bersama sekelompok Bani Ghathafan. Sebagian orang merasa takut, lalu Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat.”Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ikut serta bersama Nabi dalam sebuah peperangan. Jumlah kami enam orang, dan kami bergantian menaiki seekor unta. Kaki-kaki kami terluka dan banyak kuku kami yang terlepas. Kami pun membalut kaki-kaki kami dengan perban. Karena itu, peperangan ini dinamakan Dzaturriqa’ (peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan).” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu sering mengulang-ulang kisah ini dan berkata, “Dulu aku tidak sadar, karena seolah-olah aku tidak senang jika amal baikku disebarkan.”Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam Perang Dzaturriqa’. Saat kami beristirahat, Nabi berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang musyrik dan mengambil pedang Nabi yang tergantung di pohon. Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi menjawab, ‘Tidak.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?’ Nabi menjawab, ‘Allah!’ Maka para sahabat segera mengepung laki-laki tersebut. Setelah itu ditegakkanlah shalat. Nabi pun melaksanakan dua rakaat shalat bersama sekelompok sahabat. Kelompok itu kemudian menyingkir, lalu datang kelompok lain untuk shalat dua rakaat bersama Nabi. Dengan begitu, Nabi shalat empat rakaat dan para sahabat masing-masing dua rakaat.” Musaddad meriwayatkan dari Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr bahwa nama orang musyrik itu adalah Ghawarts bin Al-Harits.Abu Hurairah mengatakan, “Aku ikut shalat khauf bersama Rasulullah dalam Perang Najd.” Perlu diketahui, Abu Hurairah baru datang menemui Nabi untuk menyatakan keislamannya saat Perang Khaibar.Dalam perang ini terdapat pula kisah penjagaan malam (hirasah) yang menarik. Dikisahkan, sekembalinya kaum muslimin dari Perang Dzaturriqa’, mereka menawan seorang wanita musyrik. Suaminya pun bersumpah akan membalas dendam dengan membunuh kaum muslimin. Pada malam harinya, lelaki itu datang diam-diam. Sementara itu, Rasulullah telah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga malam demi melindungi kaum muslimin. Abbad mendapat giliran pertama. Saat berjaga, ia mengisi waktu dengan shalat malam. Tiba-tiba datang panah yang mengenai tubuhnya. Ia mencabut panah tersebut dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga pun meluncur mengenai tubuhnya. Barulah ia menyelesaikan shalatnya dengan salam dan membangunkan Ammar, lalu ia pun tersungkur jatuh.Melihat darah yang mengucur, Ammar berkata, “Mengapa kamu tidak membangunkanku?” Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an, dan aku tidak ingin menghentikannya. Ketika anak panah semakin banyak mengenai tubuhku, aku pun ingin memberitahumu. Seandainya aku tidak dianggap lalai dari tugas penjagaan yang Rasulullah amanahkan, niscaya aku akan menuntaskan bacaanku meskipun harus mengorbankan nyawaku.”Adapun kisah lainnya adalah tentang unta milik Jabir radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Ia menjawab, “Untaku sangat lambat, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menepi, kemudian mencucuk lambung unta Jabir hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau sendiri. Setelah itu, Rasulullah membeli unta tersebut. Ketika tiba di Madinah, Jabir datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan untanya sebagai hadiah, namun beliau menolak dan tetap membayarnya dengan harga yang pantas. Kisah Jabir dengan Untanya yang LambatNabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah membeli unta Jabir yang berjalan lambat padahal awalnya ingin dihadiahkan oleh Jabir. Namun, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawar berulang kali, akhirnya Jabir menjual dengan harga 1 Uqiyah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bayar 1 uqiyah plus 1 qirath.Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika itu ia menunggangi unta yang sudah kepayahan dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menghampirinya dan mendoakan kebaikan untuknya, lalu beliau memukul unta tersebut. Tiba-tiba unta tadi berjalan cepat sekali yang tidak pernah ditemukan sebelumnya seperti itu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata pada Jabir, “Jual saja untamu tersebut padaku dengan harga satu uqiyyah.” Jabir menjawab, “Tidak mau.” Kemudian beliau kembali menawar, “Ayolah jual saja padaku.” Jabir berkata,
فَبِعْتُهُ بِوُقِيَّةٍ وَاسْتَثْنَيْتُ عَلَيْهِ حُمْلاَنَهُ إِلَى أَهْلِى فَلَمَّا بَلَغْتُ أَتَيْتُهُ بِالْجَمَلِ فَنَقَدَنِى ثَمَنَهُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَرْسَلَ فِى أَثَرِى“Aku pun menjual unta tersebut seharga satu uqiyyah pada beliau. Namun aku persyaratkan agar bisa menunggangi unta tersebut terlebih dahulu sampai di keluargaku (di Madinah). Setelah aku melakukannya, aku mendatangi beliau dengan membawa unta tersebut. Lalu beliau pun membayar unta tadi. Kemudian aku pun kembali, namun beliau mengutus seseorang untuk membuntutiku.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتُرَانِى مَاكَسْتُكَ لآخُذَ جَمَلَكَ خُذْ جَمَلَكَ وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ“Apakah engkau mengira bahwa aku menawar untuk mengambil untamu? Ambil kembali untamu dan dirhammu, itu semua milikmu.” (HR. Bukhari, no. 2406 dan Muslim, no. 715)Dalam hadits Jabir ini jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli unta karena rasa iba.Baca juga: Jual Beli Terpaksa Pelajaran dari Perang Dzatur Riqa’Pertama:Pentingnya shalat, bahwa kewajiban shalat tidak akan pernah gugur walau bagaimanapun situasi dan kondisinya, baik dalam keadaan safar, mukim, aman, perang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kedudukan shalat sangat tinggi dan penting dalam Islam.Kedua:Pentingnya shalat berjamaah, sekalipun dalam kondisi perang berhadapan dengan musuh, kaum muslimin tetap melaksanakan shalat secara berjamaah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya shalat berjamaah di masjid yang memang tujuan dibangunnya agar didirikan shalat di dalamnya.Baca juga: Hukum Shalat Berjamaah dan Keutamaannya 27 DerajatKetiga:Menjelaskan tentang kefakiran para sahabat. Mereka tidak memiliki sandal untuk digunakan sehingga kaki-kaki mereka terluka dan kuku-kuku mereka copot. Mereka hanya dapat membalutnya dengan perban dan tetap berjuang di jalan Allah.Keempat:Tingginya rasa percaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah saat beliau diancam dengan hunusan pedang oleh seseorang, sedangkan beliau ada kesempatan untuk membela diri. Beliau berkata kepada orang itu, “Allah akan melindungiku darimu.” Beliau sangat percaya dengan penjagaan dan perlindungan Allah sehingga orang tersebut tidak dapat berbuat apa-apa. Allah berfirman, “Dan Allah melindungimu dari kejahatan manusia” (QS. Al-Ma’idah: 67).Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, sampaikanlah risalah-Ku dan Aku akan menjagamu dari kejahatan manusia. Aku akan menolongmu, mendukungmu, dan memberikan kemenangan kepadamu dari musuh. Jangan takut dan jangan sedih, tidak ada seorang pun yang dapat menyakitimu.”Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya. Selain itu, Dia menjamin untuk menjaga dan memeliharanya dari kejahatan manusia. Begitu pula umatnya yang menyampaikan dakwah, mereka akan mendapat jaminan keselamatan dari Allah sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap agamanya dan dakwah yang mereka lakukan.”Kelima:Semangat sahabat dalam beribadah kepada Allah dan melakukan qiyamullail. Dua orang sahabat, ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir, yang ditugaskan Rasulullah untuk berjaga, lalu keduanya sepakat untuk bergantian dalam berjaga sambil shalat. Inilah tradisi orang-orang shalih yang selalu menjaga wirid malam, dan kita telah membahasnya pada bab ibadahnya Rasulullah menjelang diangkat menjadi Nabi dan Rasul.Keenam:Menjelaskan tentang kualitas kekhusyu’an sahabat dalam shalat saat menghadap Tuhannya. Seperti ‘Abbad yang tengah melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba anak panah menerjang tubuhnya. Ia tidak kaget dan merasa takut, bahkan ia mencabut anak panah itu dan tetap dalam shalatnya. Kemudian diterjang lagi dengan anak panah yang kedua, darah pun bercucuran, lalu ia mencabutnya dan tetap dalam shalatnya. Begitu pula ketika anak panah ketiga menghujamnya, ia tetap dalam shalatnya, kemudian ia membangunkan temannya ‘Ammar, bukan karena takut kepada si pemanah, melainkan khawatir shalatnya mengganggu kaum muslimin.Lantas, bagaimanakah dengan kita? Mereka melaksanakan shalat dengan baik, mengetahui nilainya, memahami kedudukannya, dan menikmatinya. Hati mereka selalu terpaut dengan masjid dan shalat di mana pun mereka berada. Sedangkan kita, saat kita masuk ke masjid dan menunaikan shalat, sementara hati kita tidak ikut masuk ke masjid, bahkan bergelayut dengan pasar dan urusan dunia. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat Allah.Ketujuh:Keengganan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam perang Dzātirriqā’ berupa kesulitannya. An-Nawawi memberikan komentar, “Pada kisah ini, ada anjuran untuk menyembunyikan amal salih dan kesulitan yang tengah dialami seseorang dalam rangka menaati Allah dan tidak memperlihatkannya atau menceritakannya, kecuali untuk kemaslahatan, seperti dalam rangka menjelaskan hukumnya dan dalam rangka meneladaniinya dan sebagainya. Selain itu, inilah yang menjadi pertimbangan generasi terdahulu untuk menceritakannya apa yang mereka alami.”Seharusnya bagi seorang muslim untuk selalu menjaga keikhlasan amal baiknya. Cukup dia dan Allah saja yang mengetahuinya, karena hal tersebut lebih besar pahalanya dan terhindar dari gugurnya amal. Sebab, setan selalu berusaha untuk menghalangi seorang muslim untuk beramal shalih dan untuk tidak ikhlas. Kalaupun ia gagal menghalanginya dan muslim tadi tetap dapat melakukan amal shalih, maka setan akan berusaha untuk menggugurkan atau mengurangi pahalanya dengan cara mendorong orang tersebut untuk menceritakan kebaikannya sehingga terjerumus ke dalam riya.Kedelapan:Pada kisah tentang unta Jabir, kita melihat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kondisi para sahabatnya. Beliau sangat lembut dan bersahabat dalam memperlakukan mereka dan mau berbicara dengan mereka serta menanyakan kondisi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau selalu berjalan di belakang para sahabatnya agar dapat mengetahui kondisi mereka dan menolong bagi yang mendapatkan kesulitan. Ini adalah suatu cermin tentang ketawadhu’an beliau.Kesembilan:Selain itu, di antara keindahan akhlak beliau adalah cara beliau yang sangat baik dalam menunaikan utangnya kepada Jabir. Ketika beliau tiba di Madinah dan Jabir ingin memberikan untanya secara cuma-cuma, tetapi beliau menolaknya dan membayarnya dengan harga yang sangat pantas. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepada Nabi yang agung ini.Baca juga: Mengembalikan Utang Berlebih Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 11 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 9 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsekspedisi militer islam faedah sirah faedah sirah nabi konflik kaum muslimin dan kafir quraisy nabi muhammad shallallahu alaihi wa sallam perang di masa nabi perang dzaturriqa perang khaibar perang setelah khaibar sejarah Islam shalat khauf sirah nabawiyah sirah nabi strategi perang nabi suku ghathafan

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 19): Mulhaq bil Mutsanna dan Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim

Ibnu Hisyam mengatakan,وَكَذَا إِثْنَانِ وَإِثْنَتَانِ وَإِنْ رُكِّبَا“Demikian pula dua (laki-laki) dan dua (perempuan), dan apabila disusun (digabungkan).”Kata  إِثْنَانِ dan إِثْنَتَانِ di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna tanpa syarat apapun. Kedua kata tersebut biasanya tidak berbentuk idhafah. Mayoritas penggunaan kata ini memang tidak berupa susunan idhafah. Berikut adalah beberapa contoh penggunaannya:حَضَرَ فِي الْمَسْجِدِ إِثْنَانِ“Mereka (2 orang) hadir di masjid.”وَرَأَيْتُ إِثْنَيْنِ“Saya melihat dua orang.”وَسَلَّمْتُ عَلَى إِثْنَيْنِ“Saya memberi salam kepada dua orang.”Kata istnaani berfungsi sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif. Kata ini di-i’rabkan dengan alif yang melekat pada isim mutsanna (disamakan dengan isim mutsanna).Begitu juga, meskipun kata tersebut berupa idhafah, tetap di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna. Kata tersebut mulhaq bil mustanna (diserupakan dengan isim mutsanna), meskipun kata tersebut bukanlah isim mutsanna, hanya saja diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut adalah contohnya:هَذَا إِثْنَانِ زَيْدٍ“Ini adalah dua orang yang bernama Zaid.”Kata إِثْنَانِ berfungsi sebagai khobar marfu’ dengan tanda alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Sedangkan kata  زَيْد berkedudukan sebagai mudhof ilaih.Demikian juga, apabila kata tersebut berupa susunan yang terdiri lebih dari dua kata, maka tetap di-i’rabkan dengan alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut ini adalah beberapa contohnya:حَضَرَ فِي الْفَصْلِ إِثْنَا عَشَرَ طَالِبًا“Telah hadir dua belas siswa di kelas.”Kata إِثْنَا  sebagai fail marfu’ dengan tanda alif karena mulhaq bil mustanna. Adapun kata عَشَرَ mabni dengan tanda fathah dan tidak punya kedudukan di dalam kalimat.رَأَيْتُ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya melihat dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.وَدَخَلْتُ عَلَىٰ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya masuk kepada dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  adalah isim majrur dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَإِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُSetelah Ibnu Hisyam membahas jama’ mudzakkar salim, beliau melanjutkan pembahasan mengenai isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim (yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim). Kata tersebut sebenarnya bukanlah jama’ mudzakkar salim, namun diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim. Kata ini tidak termasuk dalam jama’ mudzakkar salim karena definisi jama’ mudzakkar salim tidak dapat diterapkan pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim. Pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim, tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai isim jama’ mudzakkar salim. Meskipun demikian, isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim tersebut di-i’rabkan seperti halnya jama’ mudzakkar salim. Hal ini karena ada dua jenis kata yang dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim.Pertama, adalah nama. Contohnya adalah:حَضَرَ الْمُحَمَّدُونَ“Orang-orang yang bernama Muhammad telah hadir.”Lafaz الْمُحَمَّدُون adalah isim jama’ mudzakkar salim. Berbeda dengan lafaz rajulun, maka lafaz rajulun tidak dijamak dengan jama’ mudzakkar salim jika tidak dalam bentuk tashghir. Namun, jika lafaz tersebut dalam bentuk tashghir, maka boleh dijamak dengan jama’ mudzakkar salim, sehingga menjadi rujailuuna.Kedua, adalah sifat. Contohnya adalah:لَا تُصْغِ إِلَى الْكَاذِبِينَ“Jangan dengarkan orang-orang yang berdusta.”Dalam hal ini, kata الْكَاذِبِين (orang-orang yang berdusta) termasuk dalam kategori sifat, karena menunjukkan sifat dari orang yang disebutkan.Yang dimaksud sifat adalah apa-apa yang menunjukkan sifat dan orang yang disifati juga termasuk sifat.Syarat-syarat nama yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada empat:Pertama, nama laki-laki. Apabila nama tersebut adalah nama perempuan, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:زَيْنَبُKedua, berakal. Apabila yang disebutkan tidak berakal, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:لاَحِقٌ“Kuda kurus”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta di akhir kata tersebut, maka tidak dapat dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:طَلْحَةKeempat, satu kata. Apabila berupa tarkib atau susunan kata, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عبد اللهSyarat-syarat sifat yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada enam:Pertama, sifat untuk laki-laki. Apabila sifat untuk perempuan, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:حَائِضٌ“Merujuk pada wanita yang sedang menstruasi.”Kedua, sifat untuk sesuatu yang berakal. Apabila sifat tersebut untuk sesuatu yang tidak berakal, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:سَابِقٌ“Sifat kuda yang cepat”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عَلَّامَةٌKeempat, tidak berwazan أَفْعَل untuk menunjukkan laki-laki dan فَعْلَاء untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan أَفْعَل atau فَعْلَاء, maka tidak bisa dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:أَخْضَرُ“Sifat hijau untuk laki-laki”  خَضْرَاءُ“Sifat hijau untuk perempuan”Kelima, tidak berwazan فَعْلَان untuk laki-laki dan فَعْلَى untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan seperti ini, maka lafaz tersebut tidak bisa di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:شبْعان“Kenyang”شبعى“Kenyang”Keenam, lafaz tersebut tidak sama apabila digunakan untuk mudzakkar atau mu’annats. Contohnya adalah:صَبُورٌ“Penyabar”Contoh di dalam kalimat adalah:صَبُورٌ خَالِد“Khalid orang yang sabar” صَبُورٌ هِنْد“Hindun orang yang sabar” [Bersambung]Kembali ke bagian 18 Lanjut ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 19): Mulhaq bil Mutsanna dan Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim

Ibnu Hisyam mengatakan,وَكَذَا إِثْنَانِ وَإِثْنَتَانِ وَإِنْ رُكِّبَا“Demikian pula dua (laki-laki) dan dua (perempuan), dan apabila disusun (digabungkan).”Kata  إِثْنَانِ dan إِثْنَتَانِ di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna tanpa syarat apapun. Kedua kata tersebut biasanya tidak berbentuk idhafah. Mayoritas penggunaan kata ini memang tidak berupa susunan idhafah. Berikut adalah beberapa contoh penggunaannya:حَضَرَ فِي الْمَسْجِدِ إِثْنَانِ“Mereka (2 orang) hadir di masjid.”وَرَأَيْتُ إِثْنَيْنِ“Saya melihat dua orang.”وَسَلَّمْتُ عَلَى إِثْنَيْنِ“Saya memberi salam kepada dua orang.”Kata istnaani berfungsi sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif. Kata ini di-i’rabkan dengan alif yang melekat pada isim mutsanna (disamakan dengan isim mutsanna).Begitu juga, meskipun kata tersebut berupa idhafah, tetap di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna. Kata tersebut mulhaq bil mustanna (diserupakan dengan isim mutsanna), meskipun kata tersebut bukanlah isim mutsanna, hanya saja diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut adalah contohnya:هَذَا إِثْنَانِ زَيْدٍ“Ini adalah dua orang yang bernama Zaid.”Kata إِثْنَانِ berfungsi sebagai khobar marfu’ dengan tanda alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Sedangkan kata  زَيْد berkedudukan sebagai mudhof ilaih.Demikian juga, apabila kata tersebut berupa susunan yang terdiri lebih dari dua kata, maka tetap di-i’rabkan dengan alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut ini adalah beberapa contohnya:حَضَرَ فِي الْفَصْلِ إِثْنَا عَشَرَ طَالِبًا“Telah hadir dua belas siswa di kelas.”Kata إِثْنَا  sebagai fail marfu’ dengan tanda alif karena mulhaq bil mustanna. Adapun kata عَشَرَ mabni dengan tanda fathah dan tidak punya kedudukan di dalam kalimat.رَأَيْتُ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya melihat dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.وَدَخَلْتُ عَلَىٰ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya masuk kepada dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  adalah isim majrur dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَإِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُSetelah Ibnu Hisyam membahas jama’ mudzakkar salim, beliau melanjutkan pembahasan mengenai isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim (yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim). Kata tersebut sebenarnya bukanlah jama’ mudzakkar salim, namun diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim. Kata ini tidak termasuk dalam jama’ mudzakkar salim karena definisi jama’ mudzakkar salim tidak dapat diterapkan pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim. Pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim, tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai isim jama’ mudzakkar salim. Meskipun demikian, isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim tersebut di-i’rabkan seperti halnya jama’ mudzakkar salim. Hal ini karena ada dua jenis kata yang dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim.Pertama, adalah nama. Contohnya adalah:حَضَرَ الْمُحَمَّدُونَ“Orang-orang yang bernama Muhammad telah hadir.”Lafaz الْمُحَمَّدُون adalah isim jama’ mudzakkar salim. Berbeda dengan lafaz rajulun, maka lafaz rajulun tidak dijamak dengan jama’ mudzakkar salim jika tidak dalam bentuk tashghir. Namun, jika lafaz tersebut dalam bentuk tashghir, maka boleh dijamak dengan jama’ mudzakkar salim, sehingga menjadi rujailuuna.Kedua, adalah sifat. Contohnya adalah:لَا تُصْغِ إِلَى الْكَاذِبِينَ“Jangan dengarkan orang-orang yang berdusta.”Dalam hal ini, kata الْكَاذِبِين (orang-orang yang berdusta) termasuk dalam kategori sifat, karena menunjukkan sifat dari orang yang disebutkan.Yang dimaksud sifat adalah apa-apa yang menunjukkan sifat dan orang yang disifati juga termasuk sifat.Syarat-syarat nama yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada empat:Pertama, nama laki-laki. Apabila nama tersebut adalah nama perempuan, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:زَيْنَبُKedua, berakal. Apabila yang disebutkan tidak berakal, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:لاَحِقٌ“Kuda kurus”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta di akhir kata tersebut, maka tidak dapat dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:طَلْحَةKeempat, satu kata. Apabila berupa tarkib atau susunan kata, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عبد اللهSyarat-syarat sifat yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada enam:Pertama, sifat untuk laki-laki. Apabila sifat untuk perempuan, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:حَائِضٌ“Merujuk pada wanita yang sedang menstruasi.”Kedua, sifat untuk sesuatu yang berakal. Apabila sifat tersebut untuk sesuatu yang tidak berakal, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:سَابِقٌ“Sifat kuda yang cepat”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عَلَّامَةٌKeempat, tidak berwazan أَفْعَل untuk menunjukkan laki-laki dan فَعْلَاء untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan أَفْعَل atau فَعْلَاء, maka tidak bisa dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:أَخْضَرُ“Sifat hijau untuk laki-laki”  خَضْرَاءُ“Sifat hijau untuk perempuan”Kelima, tidak berwazan فَعْلَان untuk laki-laki dan فَعْلَى untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan seperti ini, maka lafaz tersebut tidak bisa di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:شبْعان“Kenyang”شبعى“Kenyang”Keenam, lafaz tersebut tidak sama apabila digunakan untuk mudzakkar atau mu’annats. Contohnya adalah:صَبُورٌ“Penyabar”Contoh di dalam kalimat adalah:صَبُورٌ خَالِد“Khalid orang yang sabar” صَبُورٌ هِنْد“Hindun orang yang sabar” [Bersambung]Kembali ke bagian 18 Lanjut ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Ibnu Hisyam mengatakan,وَكَذَا إِثْنَانِ وَإِثْنَتَانِ وَإِنْ رُكِّبَا“Demikian pula dua (laki-laki) dan dua (perempuan), dan apabila disusun (digabungkan).”Kata  إِثْنَانِ dan إِثْنَتَانِ di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna tanpa syarat apapun. Kedua kata tersebut biasanya tidak berbentuk idhafah. Mayoritas penggunaan kata ini memang tidak berupa susunan idhafah. Berikut adalah beberapa contoh penggunaannya:حَضَرَ فِي الْمَسْجِدِ إِثْنَانِ“Mereka (2 orang) hadir di masjid.”وَرَأَيْتُ إِثْنَيْنِ“Saya melihat dua orang.”وَسَلَّمْتُ عَلَى إِثْنَيْنِ“Saya memberi salam kepada dua orang.”Kata istnaani berfungsi sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif. Kata ini di-i’rabkan dengan alif yang melekat pada isim mutsanna (disamakan dengan isim mutsanna).Begitu juga, meskipun kata tersebut berupa idhafah, tetap di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna. Kata tersebut mulhaq bil mustanna (diserupakan dengan isim mutsanna), meskipun kata tersebut bukanlah isim mutsanna, hanya saja diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut adalah contohnya:هَذَا إِثْنَانِ زَيْدٍ“Ini adalah dua orang yang bernama Zaid.”Kata إِثْنَانِ berfungsi sebagai khobar marfu’ dengan tanda alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Sedangkan kata  زَيْد berkedudukan sebagai mudhof ilaih.Demikian juga, apabila kata tersebut berupa susunan yang terdiri lebih dari dua kata, maka tetap di-i’rabkan dengan alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut ini adalah beberapa contohnya:حَضَرَ فِي الْفَصْلِ إِثْنَا عَشَرَ طَالِبًا“Telah hadir dua belas siswa di kelas.”Kata إِثْنَا  sebagai fail marfu’ dengan tanda alif karena mulhaq bil mustanna. Adapun kata عَشَرَ mabni dengan tanda fathah dan tidak punya kedudukan di dalam kalimat.رَأَيْتُ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya melihat dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.وَدَخَلْتُ عَلَىٰ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya masuk kepada dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  adalah isim majrur dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَإِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُSetelah Ibnu Hisyam membahas jama’ mudzakkar salim, beliau melanjutkan pembahasan mengenai isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim (yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim). Kata tersebut sebenarnya bukanlah jama’ mudzakkar salim, namun diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim. Kata ini tidak termasuk dalam jama’ mudzakkar salim karena definisi jama’ mudzakkar salim tidak dapat diterapkan pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim. Pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim, tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai isim jama’ mudzakkar salim. Meskipun demikian, isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim tersebut di-i’rabkan seperti halnya jama’ mudzakkar salim. Hal ini karena ada dua jenis kata yang dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim.Pertama, adalah nama. Contohnya adalah:حَضَرَ الْمُحَمَّدُونَ“Orang-orang yang bernama Muhammad telah hadir.”Lafaz الْمُحَمَّدُون adalah isim jama’ mudzakkar salim. Berbeda dengan lafaz rajulun, maka lafaz rajulun tidak dijamak dengan jama’ mudzakkar salim jika tidak dalam bentuk tashghir. Namun, jika lafaz tersebut dalam bentuk tashghir, maka boleh dijamak dengan jama’ mudzakkar salim, sehingga menjadi rujailuuna.Kedua, adalah sifat. Contohnya adalah:لَا تُصْغِ إِلَى الْكَاذِبِينَ“Jangan dengarkan orang-orang yang berdusta.”Dalam hal ini, kata الْكَاذِبِين (orang-orang yang berdusta) termasuk dalam kategori sifat, karena menunjukkan sifat dari orang yang disebutkan.Yang dimaksud sifat adalah apa-apa yang menunjukkan sifat dan orang yang disifati juga termasuk sifat.Syarat-syarat nama yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada empat:Pertama, nama laki-laki. Apabila nama tersebut adalah nama perempuan, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:زَيْنَبُKedua, berakal. Apabila yang disebutkan tidak berakal, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:لاَحِقٌ“Kuda kurus”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta di akhir kata tersebut, maka tidak dapat dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:طَلْحَةKeempat, satu kata. Apabila berupa tarkib atau susunan kata, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عبد اللهSyarat-syarat sifat yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada enam:Pertama, sifat untuk laki-laki. Apabila sifat untuk perempuan, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:حَائِضٌ“Merujuk pada wanita yang sedang menstruasi.”Kedua, sifat untuk sesuatu yang berakal. Apabila sifat tersebut untuk sesuatu yang tidak berakal, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:سَابِقٌ“Sifat kuda yang cepat”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عَلَّامَةٌKeempat, tidak berwazan أَفْعَل untuk menunjukkan laki-laki dan فَعْلَاء untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan أَفْعَل atau فَعْلَاء, maka tidak bisa dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:أَخْضَرُ“Sifat hijau untuk laki-laki”  خَضْرَاءُ“Sifat hijau untuk perempuan”Kelima, tidak berwazan فَعْلَان untuk laki-laki dan فَعْلَى untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan seperti ini, maka lafaz tersebut tidak bisa di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:شبْعان“Kenyang”شبعى“Kenyang”Keenam, lafaz tersebut tidak sama apabila digunakan untuk mudzakkar atau mu’annats. Contohnya adalah:صَبُورٌ“Penyabar”Contoh di dalam kalimat adalah:صَبُورٌ خَالِد“Khalid orang yang sabar” صَبُورٌ هِنْد“Hindun orang yang sabar” [Bersambung]Kembali ke bagian 18 Lanjut ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Ibnu Hisyam mengatakan,وَكَذَا إِثْنَانِ وَإِثْنَتَانِ وَإِنْ رُكِّبَا“Demikian pula dua (laki-laki) dan dua (perempuan), dan apabila disusun (digabungkan).”Kata  إِثْنَانِ dan إِثْنَتَانِ di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna tanpa syarat apapun. Kedua kata tersebut biasanya tidak berbentuk idhafah. Mayoritas penggunaan kata ini memang tidak berupa susunan idhafah. Berikut adalah beberapa contoh penggunaannya:حَضَرَ فِي الْمَسْجِدِ إِثْنَانِ“Mereka (2 orang) hadir di masjid.”وَرَأَيْتُ إِثْنَيْنِ“Saya melihat dua orang.”وَسَلَّمْتُ عَلَى إِثْنَيْنِ“Saya memberi salam kepada dua orang.”Kata istnaani berfungsi sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif. Kata ini di-i’rabkan dengan alif yang melekat pada isim mutsanna (disamakan dengan isim mutsanna).Begitu juga, meskipun kata tersebut berupa idhafah, tetap di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna. Kata tersebut mulhaq bil mustanna (diserupakan dengan isim mutsanna), meskipun kata tersebut bukanlah isim mutsanna, hanya saja diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut adalah contohnya:هَذَا إِثْنَانِ زَيْدٍ“Ini adalah dua orang yang bernama Zaid.”Kata إِثْنَانِ berfungsi sebagai khobar marfu’ dengan tanda alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Sedangkan kata  زَيْد berkedudukan sebagai mudhof ilaih.Demikian juga, apabila kata tersebut berupa susunan yang terdiri lebih dari dua kata, maka tetap di-i’rabkan dengan alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut ini adalah beberapa contohnya:حَضَرَ فِي الْفَصْلِ إِثْنَا عَشَرَ طَالِبًا“Telah hadir dua belas siswa di kelas.”Kata إِثْنَا  sebagai fail marfu’ dengan tanda alif karena mulhaq bil mustanna. Adapun kata عَشَرَ mabni dengan tanda fathah dan tidak punya kedudukan di dalam kalimat.رَأَيْتُ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya melihat dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.وَدَخَلْتُ عَلَىٰ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا“Saya masuk kepada dua belas siswa.”Kata إِثْنَيْ  adalah isim majrur dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.Ibnu Hisyam mengatakan,وَأُولُو وَإِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُSetelah Ibnu Hisyam membahas jama’ mudzakkar salim, beliau melanjutkan pembahasan mengenai isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim (yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim). Kata tersebut sebenarnya bukanlah jama’ mudzakkar salim, namun diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim. Kata ini tidak termasuk dalam jama’ mudzakkar salim karena definisi jama’ mudzakkar salim tidak dapat diterapkan pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim. Pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim, tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai isim jama’ mudzakkar salim. Meskipun demikian, isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim tersebut di-i’rabkan seperti halnya jama’ mudzakkar salim. Hal ini karena ada dua jenis kata yang dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim.Pertama, adalah nama. Contohnya adalah:حَضَرَ الْمُحَمَّدُونَ“Orang-orang yang bernama Muhammad telah hadir.”Lafaz الْمُحَمَّدُون adalah isim jama’ mudzakkar salim. Berbeda dengan lafaz rajulun, maka lafaz rajulun tidak dijamak dengan jama’ mudzakkar salim jika tidak dalam bentuk tashghir. Namun, jika lafaz tersebut dalam bentuk tashghir, maka boleh dijamak dengan jama’ mudzakkar salim, sehingga menjadi rujailuuna.Kedua, adalah sifat. Contohnya adalah:لَا تُصْغِ إِلَى الْكَاذِبِينَ“Jangan dengarkan orang-orang yang berdusta.”Dalam hal ini, kata الْكَاذِبِين (orang-orang yang berdusta) termasuk dalam kategori sifat, karena menunjukkan sifat dari orang yang disebutkan.Yang dimaksud sifat adalah apa-apa yang menunjukkan sifat dan orang yang disifati juga termasuk sifat.Syarat-syarat nama yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada empat:Pertama, nama laki-laki. Apabila nama tersebut adalah nama perempuan, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:زَيْنَبُKedua, berakal. Apabila yang disebutkan tidak berakal, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:لاَحِقٌ“Kuda kurus”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta di akhir kata tersebut, maka tidak dapat dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:طَلْحَةKeempat, satu kata. Apabila berupa tarkib atau susunan kata, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عبد اللهSyarat-syarat sifat yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada enam:Pertama, sifat untuk laki-laki. Apabila sifat untuk perempuan, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:حَائِضٌ“Merujuk pada wanita yang sedang menstruasi.”Kedua, sifat untuk sesuatu yang berakal. Apabila sifat tersebut untuk sesuatu yang tidak berakal, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:سَابِقٌ“Sifat kuda yang cepat”Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:عَلَّامَةٌKeempat, tidak berwazan أَفْعَل untuk menunjukkan laki-laki dan فَعْلَاء untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan أَفْعَل atau فَعْلَاء, maka tidak bisa dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:أَخْضَرُ“Sifat hijau untuk laki-laki”  خَضْرَاءُ“Sifat hijau untuk perempuan”Kelima, tidak berwazan فَعْلَان untuk laki-laki dan فَعْلَى untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan seperti ini, maka lafaz tersebut tidak bisa di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:شبْعان“Kenyang”شبعى“Kenyang”Keenam, lafaz tersebut tidak sama apabila digunakan untuk mudzakkar atau mu’annats. Contohnya adalah:صَبُورٌ“Penyabar”Contoh di dalam kalimat adalah:صَبُورٌ خَالِد“Khalid orang yang sabar” صَبُورٌ هِنْد“Hindun orang yang sabar” [Bersambung]Kembali ke bagian 18 Lanjut ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Mau Hidup Tenang dan Zuhud? Pahami Batas Zuhud yang Dijelaskan Ulama Besar Ini – Syaikh Bin Baz

Mohon penjelasan dari Anda, Syaikh yang mulia, mengenai batasan zuhud terhadap dunia. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Semoga salawat dan salam tercurah kepada Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Zuhud terhadap dunia telah dijelaskan dan dijabarkan oleh para ulama: Yaitu sikap zuhud terhadap apa yang diharamkan oleh Allah. Juga zuhud terhadap perkara-perkara yang syubhat (samar hukumnya), agar tidak terjerumus ke dalam apa yang diharamkan oleh Allah, dan agar tidak terjerumus dalam perkara yang masih diragukan kehalalannya. Serta zuhud terhadap hal-hal tersier yang sebenarnya tidak dibutuhkan, agar tidak terjerumus dalam perbuatan berlebih-lebihan (israf). Adapun sikap warak yaitu meninggalkan hal yang syubhat. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Bulughul Maram menulis satu bab khusus berjudul:“Bab Zuhud dan Warak”, dan beliau menyebutkan hadis An-Nu’man bin Basyir: “Yang halal itu jelas, dan yang haram pun jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak manusia.” (HR. Muslim). Beliau juga menyebutkan sabda Nabi: “Celakalah hamba dinar! Celakalah hamba dirham! Celakalah hamba kain yang mewah!” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Dan juga hadis Ibnu Umar: “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari). Maka, zuhud adalah sikap seseorang yang menjauhi perkara-perkara syubhat, perkara-perkara yang haram, dan menjauhi hal-hal yang tidak ia butuhkan, yaitu hal-hal yang berlebihan yang bisa melalaikannya dari perkara yang lebih penting. Ya, demikian. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, wahai Syaikh yang mulia. ==== أَرْجُو أَنْ تُوَضِّحُوا لَنَا سَمَاحَةَ الشَّيْخِ حُدُودَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا عَرَّفَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ وَبَيَّنُوهُ وَهُوَ الزُّهْدُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَالزُّهْدُ فِي الْمُشْتَبِهَاتِ حَتَّى لَا يَقَعُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَلَا يَقَعُ فِيمَا يَشْتَبِهُ وَالزُّهْدُ فِي الْفُضُولِ الَّتِي لَا حَاجَةَ إِلَيْهَا حَتَّى لَا يَقَعُ فِي الْإِسْرَافِ وَالْوَرَعُ تَرْكُ الْمُشْتَبِهِ وَلِهَذَا تَرْجَمَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْبُلُوغِ بَابُ الزُّهْدِ وَالْوَرَعِ وَذَكَرَ حَدِيثَ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. الْحَدِيثَ وَذَكَرَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ وَذَكَرَ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ فَالزُّهْدُ هُوَ الْإِنْسَانُ يَتَجَنَّبُ الْمُشْتَبِهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالَّذِي لَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا فُضُولَ الْأَشْيَاءِ الَّتِي قَدْ تَشْغَلُهُ عَمَّا هُوَ أَهَمُّ نَعَمْ أَحْسَنُ اللَّهُ إِلَيْكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ

Mau Hidup Tenang dan Zuhud? Pahami Batas Zuhud yang Dijelaskan Ulama Besar Ini – Syaikh Bin Baz

Mohon penjelasan dari Anda, Syaikh yang mulia, mengenai batasan zuhud terhadap dunia. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Semoga salawat dan salam tercurah kepada Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Zuhud terhadap dunia telah dijelaskan dan dijabarkan oleh para ulama: Yaitu sikap zuhud terhadap apa yang diharamkan oleh Allah. Juga zuhud terhadap perkara-perkara yang syubhat (samar hukumnya), agar tidak terjerumus ke dalam apa yang diharamkan oleh Allah, dan agar tidak terjerumus dalam perkara yang masih diragukan kehalalannya. Serta zuhud terhadap hal-hal tersier yang sebenarnya tidak dibutuhkan, agar tidak terjerumus dalam perbuatan berlebih-lebihan (israf). Adapun sikap warak yaitu meninggalkan hal yang syubhat. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Bulughul Maram menulis satu bab khusus berjudul:“Bab Zuhud dan Warak”, dan beliau menyebutkan hadis An-Nu’man bin Basyir: “Yang halal itu jelas, dan yang haram pun jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak manusia.” (HR. Muslim). Beliau juga menyebutkan sabda Nabi: “Celakalah hamba dinar! Celakalah hamba dirham! Celakalah hamba kain yang mewah!” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Dan juga hadis Ibnu Umar: “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari). Maka, zuhud adalah sikap seseorang yang menjauhi perkara-perkara syubhat, perkara-perkara yang haram, dan menjauhi hal-hal yang tidak ia butuhkan, yaitu hal-hal yang berlebihan yang bisa melalaikannya dari perkara yang lebih penting. Ya, demikian. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, wahai Syaikh yang mulia. ==== أَرْجُو أَنْ تُوَضِّحُوا لَنَا سَمَاحَةَ الشَّيْخِ حُدُودَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا عَرَّفَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ وَبَيَّنُوهُ وَهُوَ الزُّهْدُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَالزُّهْدُ فِي الْمُشْتَبِهَاتِ حَتَّى لَا يَقَعُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَلَا يَقَعُ فِيمَا يَشْتَبِهُ وَالزُّهْدُ فِي الْفُضُولِ الَّتِي لَا حَاجَةَ إِلَيْهَا حَتَّى لَا يَقَعُ فِي الْإِسْرَافِ وَالْوَرَعُ تَرْكُ الْمُشْتَبِهِ وَلِهَذَا تَرْجَمَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْبُلُوغِ بَابُ الزُّهْدِ وَالْوَرَعِ وَذَكَرَ حَدِيثَ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. الْحَدِيثَ وَذَكَرَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ وَذَكَرَ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ فَالزُّهْدُ هُوَ الْإِنْسَانُ يَتَجَنَّبُ الْمُشْتَبِهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالَّذِي لَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا فُضُولَ الْأَشْيَاءِ الَّتِي قَدْ تَشْغَلُهُ عَمَّا هُوَ أَهَمُّ نَعَمْ أَحْسَنُ اللَّهُ إِلَيْكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ
Mohon penjelasan dari Anda, Syaikh yang mulia, mengenai batasan zuhud terhadap dunia. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Semoga salawat dan salam tercurah kepada Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Zuhud terhadap dunia telah dijelaskan dan dijabarkan oleh para ulama: Yaitu sikap zuhud terhadap apa yang diharamkan oleh Allah. Juga zuhud terhadap perkara-perkara yang syubhat (samar hukumnya), agar tidak terjerumus ke dalam apa yang diharamkan oleh Allah, dan agar tidak terjerumus dalam perkara yang masih diragukan kehalalannya. Serta zuhud terhadap hal-hal tersier yang sebenarnya tidak dibutuhkan, agar tidak terjerumus dalam perbuatan berlebih-lebihan (israf). Adapun sikap warak yaitu meninggalkan hal yang syubhat. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Bulughul Maram menulis satu bab khusus berjudul:“Bab Zuhud dan Warak”, dan beliau menyebutkan hadis An-Nu’man bin Basyir: “Yang halal itu jelas, dan yang haram pun jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak manusia.” (HR. Muslim). Beliau juga menyebutkan sabda Nabi: “Celakalah hamba dinar! Celakalah hamba dirham! Celakalah hamba kain yang mewah!” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Dan juga hadis Ibnu Umar: “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari). Maka, zuhud adalah sikap seseorang yang menjauhi perkara-perkara syubhat, perkara-perkara yang haram, dan menjauhi hal-hal yang tidak ia butuhkan, yaitu hal-hal yang berlebihan yang bisa melalaikannya dari perkara yang lebih penting. Ya, demikian. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, wahai Syaikh yang mulia. ==== أَرْجُو أَنْ تُوَضِّحُوا لَنَا سَمَاحَةَ الشَّيْخِ حُدُودَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا عَرَّفَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ وَبَيَّنُوهُ وَهُوَ الزُّهْدُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَالزُّهْدُ فِي الْمُشْتَبِهَاتِ حَتَّى لَا يَقَعُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَلَا يَقَعُ فِيمَا يَشْتَبِهُ وَالزُّهْدُ فِي الْفُضُولِ الَّتِي لَا حَاجَةَ إِلَيْهَا حَتَّى لَا يَقَعُ فِي الْإِسْرَافِ وَالْوَرَعُ تَرْكُ الْمُشْتَبِهِ وَلِهَذَا تَرْجَمَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْبُلُوغِ بَابُ الزُّهْدِ وَالْوَرَعِ وَذَكَرَ حَدِيثَ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. الْحَدِيثَ وَذَكَرَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ وَذَكَرَ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ فَالزُّهْدُ هُوَ الْإِنْسَانُ يَتَجَنَّبُ الْمُشْتَبِهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالَّذِي لَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا فُضُولَ الْأَشْيَاءِ الَّتِي قَدْ تَشْغَلُهُ عَمَّا هُوَ أَهَمُّ نَعَمْ أَحْسَنُ اللَّهُ إِلَيْكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ


Mohon penjelasan dari Anda, Syaikh yang mulia, mengenai batasan zuhud terhadap dunia. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Semoga salawat dan salam tercurah kepada Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Zuhud terhadap dunia telah dijelaskan dan dijabarkan oleh para ulama: Yaitu sikap zuhud terhadap apa yang diharamkan oleh Allah. Juga zuhud terhadap perkara-perkara yang syubhat (samar hukumnya), agar tidak terjerumus ke dalam apa yang diharamkan oleh Allah, dan agar tidak terjerumus dalam perkara yang masih diragukan kehalalannya. Serta zuhud terhadap hal-hal tersier yang sebenarnya tidak dibutuhkan, agar tidak terjerumus dalam perbuatan berlebih-lebihan (israf). Adapun sikap warak yaitu meninggalkan hal yang syubhat. Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Bulughul Maram menulis satu bab khusus berjudul:“Bab Zuhud dan Warak”, dan beliau menyebutkan hadis An-Nu’man bin Basyir: “Yang halal itu jelas, dan yang haram pun jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak manusia.” (HR. Muslim). Beliau juga menyebutkan sabda Nabi: “Celakalah hamba dinar! Celakalah hamba dirham! Celakalah hamba kain yang mewah!” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Dan juga hadis Ibnu Umar: “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari). Maka, zuhud adalah sikap seseorang yang menjauhi perkara-perkara syubhat, perkara-perkara yang haram, dan menjauhi hal-hal yang tidak ia butuhkan, yaitu hal-hal yang berlebihan yang bisa melalaikannya dari perkara yang lebih penting. Ya, demikian. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, wahai Syaikh yang mulia. ==== أَرْجُو أَنْ تُوَضِّحُوا لَنَا سَمَاحَةَ الشَّيْخِ حُدُودَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا عَرَّفَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ وَبَيَّنُوهُ وَهُوَ الزُّهْدُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَالزُّهْدُ فِي الْمُشْتَبِهَاتِ حَتَّى لَا يَقَعُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ وَلَا يَقَعُ فِيمَا يَشْتَبِهُ وَالزُّهْدُ فِي الْفُضُولِ الَّتِي لَا حَاجَةَ إِلَيْهَا حَتَّى لَا يَقَعُ فِي الْإِسْرَافِ وَالْوَرَعُ تَرْكُ الْمُشْتَبِهِ وَلِهَذَا تَرْجَمَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْبُلُوغِ بَابُ الزُّهْدِ وَالْوَرَعِ وَذَكَرَ حَدِيثَ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. الْحَدِيثَ وَذَكَرَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ وَذَكَرَ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ فَالزُّهْدُ هُوَ الْإِنْسَانُ يَتَجَنَّبُ الْمُشْتَبِهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالَّذِي لَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا فُضُولَ الْأَشْيَاءِ الَّتِي قَدْ تَشْغَلُهُ عَمَّا هُوَ أَهَمُّ نَعَمْ أَحْسَنُ اللَّهُ إِلَيْكُمْ سَمَاحَةَ الشَّيْخِ

Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala

Daftar Isi ToggleKeutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahKeutamaan ibadah kurbanBismillah.Ramadan telah berlalu menyisakan banyak kenangan indah bagi kaum muslimin. Agungnya ibadah puasa merupakan salah satu faktor utama kemuliaan bulan Ramadan. Selain itu, pada bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan ia terletak pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan.Ramadan tentu tidak dapat dilupakan kaum beriman. Sebab ia merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Bulan yang penuh dengan berkah dan kedermawanan. Bulan kepedulian dan musim semi ketaatan. Bulan sedekah dan penguatan iman. Bulan untuk menggembleng sifat orang-orang bertakwa dengan tobat dan salat malam.Setelah Ramadan berlalu, maka tiba bulan Syawal yang juga menyimpan keutamaan dengan puasa enam hari di dalamnya. Setelah itu, masuk ke bulan Zulqa’dah, hari-hari ketika kaum muslimin bersiap menyambut ibadah yang agung di bulan Zulhijah berupa haji dan kurban. Di awal-awal Zulhijah itulah terdapat hari-hari terbaik sepanjang masa; beramal saleh di dalamnya jauh lebih dicintai Allah daripada beramal pada hari-hari yang lainnya. Sepuluh hari awal Zulhijah merupakan hari-hari paling utama.Keutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahBulan Zulhijah adalah saat-saat istimewa bagi kaum muslimin. Pada bulan itulah ditunaikan ibadah haji dan disembelih kurban pada hari raya Iduladha dan hari-hari tasyriq. Di antara keutamaan yang terkandung di bulan ini adalah 10 hari pertama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi waktu fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud malam-malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama di bulan Zulhijah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya serta dikuatkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8: 391-392)Penyebutan ‘malam-malam’ dalam ayat tersebut mengandung maksud keutamaan harinya, karena dalam bahasa Arab, kata ‘malam’ sering dipakai untuk mewakili hari, sebagaimana kata ‘hari’ sering digunakan untuk mewakili malamnya. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 188).Di antara ahli tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud sepuluh malam itu adalah 10 hari awal Zulhijah adalah adh-Dhahhak, Mujahid, as-Suddi, dan al-Kalbi rahimahumullah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 22: 257)Masruq -seorang ahli tafsir- menjelaskan mengenai keutamaan 10 hari awal Zulhijah ini. Beliau mengomentari firman Allah (yang artinya), “Malam-malam yang sepuluh”; maksudnya adalah 10 hari awal menjelang Iduladha. Beliau mengatakan, “Itu adalah hari-hari paling utama dalam setahun.” (Lihat kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 15: 399)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، فقالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء“Tidak ada suatu hari yang beramal saleh padanya lebih dicintai oleh Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini -yaitu 10 hari awal Zulhijah-.“Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah juga tidak bisa mengalahkan keutamaan beramal pada hari-hari itu?”Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali bagi orang yang berangkat jihad dengan membawa jiwanya dan hartanya, lalu tidak kembali sedikit pun darinya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma)Dalam riwayat Bukhari, hadis ini dibawakan dengan redaksi,ما العَمَلُ في أيَّامٍ أفْضَلَ منها في هذه، قالوا: ولا الجِهادُ؟ قالَ: ولا الجِهادُ، إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخاطِرُ بنَفْسِه ومالِه، فلَمْ يَرْجِعْ بشَيءٍ“Tidaklah beramal pada hari-hari yang lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini -yaitu sepuluh hari awal Zulhijah-“.Mereka/para sahabat bertanya, “Apakah jihad -di waktu lain- juga kalah keutamaannya dengan beramal pada hari-hari itu?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali bagi orang yang berangkat perang dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa-apa (alias meninggal dalam keadaan syahid dan hartanya habis).”Bahkan disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa sepuluh hari pertama Zulhijah ini merupakan hari-hari terbaik di dunia selama setahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari yang paling utama di dunia adalah hari-hari yang sepuluh; yaitu sepuluh hari (awal) di bulan Zulhijah.” (HR. al-Bazzar, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahDi antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 9 hari awal Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (nabi) biasa berpuasa pada sembilan hari [awal] Zulhijah. (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2: 78)Oleh sebab itu, Imam Abu Dawud rahimahullah mencantumkan hadis ini di bawah judul, ‘Puasa pada 10 hari pertama [Zulhijah]’; maksud beliau adalah tanggal 1-9, karena tanggal 10 Zulhijah adalah hari raya Iduladha, sehingga dilarang puasa.Syekh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadis sahih dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan puasa sembilan hari [awal] Zulhijah…” (HR. Abu Dawud dalam Kitab as-Shaum, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 2437)An-Nawawi rahimahullah berkata, “… Bahkan puasa pada saat itu -sembilan hari awal Zulhijah- adalah mustahab (dianjurkan) dengan anjuran yang sangat kuat, terlebih-lebih lagi pada tanggal sembilannya yaitu hari Arafah…” (lihat Syarh Muslim, 5: 9; cet. Ibn al-Haitsam)Di antara sembilan hari itu, maka yang paling ditekankan untuk berpuasa adalah pada tanggal 9 Zulhijah atau puasa Arafah, yaitu bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah bahwa ia bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun yang sesudahnya.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu)Meskipun demikian, tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Zulhijah itu pun tidak berdosa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah tidak berpuasa pada hari-hari itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa beliau menceritakan, “Aku sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 10 hari -awal Zulhijah-.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)Hadis ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dengan judul, ‘Tidak berpuasa pada 10 hari awal [Zulhijah].’ Maksud beliau –wallahu a’lam– adalah ingin menunjukkan kebolehannya dan bahwasanya hal itu bukanlah perkara yang tercela.An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwasanya bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah -ketika bersama ‘Aisyah- disebabkan karena ada sebab tertentu bisa jadi karena sakit atau sedang safar (bepergian), atau ada sebab lainnya. Atau memang ‘Aisyah tidak melihat beliau berpuasa pada saat itu. Perkataan ‘Aisyah ini tidak melazimkan bahwa beliau tidak pernah melakukan puasa tersebut. (Lihat Syarh Muslim, 5: 101)Demikian pula keterangan Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya ad-Darari al-Mudhiyyah (hal. 167). Beliau menjelaskan bahwa salah satu puasa yang dianjurkan (sunah) itu adalah puasa sembilan hari pada awal bulan Zulhijah. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i bahwasanya salah satu puasa yang tidak pernah atau jarang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sepuluh hari awal Zulhijah -maksudnya sembilan hari pertama-. Begitu pula hadis dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda. Adapun perkataan ‘Aisyah -dalam riwayat Muslim- bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari awal Zulhijah, tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa puasa pada sembilan hari awal Zulhijah adalah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut (awal Zulhijah, kecuali tanggal 10, pent). Syekh mengatakan, ‘Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya dengan sanad laa ba’sa bihi’. Hafshah memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh ‘Aisyah. Adapun ‘Aisyah sekedar memberitakan sebatas apa yang beliau ketahui. Dalam kaidah para ulama dinyatakan bahwa berita yang menetapkan lebih didahulukan daripada berita yang menafikan; yang demikian itu karena di dalam berita yang berisi penetapan terkandung tambahan ilmu. (Lihat Fadhlu al-‘Asyri min Dzilhijjah, hal. 2; dengan sedikit penambahan)Adapun pada tanggal 10 Zulhijah, maka amalan yang paling utama untuk dilakukan -setelah amal-amal yang wajib- antara lain menunaikan salat Iduladha dan menyembelih kurban bagi yang memiliki kemampuan. Selain itu juga dengan memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih dicintai oleh-Nya untuk dilakukan amal saleh padanya daripada sepuluh hari ini (yaitu di awal Zulhijah, pent). Oleh sebab itu, perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma dan dinyatakan sahih oleh Ahmad Syakir)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah hari nahr (kurban) kemudian hari qarr (11 Zulhijah).” (HR. Abu Dawud no 1765, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Hadis ini menunjukkan bahwa hari paling agung selama setahun adalah tanggal 10 Zulhijah atau disebut dengan yaumun nahr (hari kurban). Sehingga hadis ini juga tercakup dalam hadis-hadis yang menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah merupakan deretan hari-hari terbaik sepanjang tahun. Dan yang paling utama di antara sepuluh hari itu adalah hari kesepuluh atau hari raya Iduladha.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku ucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ‘laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir’.” (HR. Tirmidzi no 3585, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu hari yang lebih banyak pada hari itu Allah memerdekakan hamba dari neraka melebihi keutamaan hari Arafah. Sesungguhnya Allah pun mendekat -kepada para hamba- kemudian Allah membanggakan mereka -orang-orang yang wukuf di padang Arafah- di hadapan para malaikat. Allah pun berkata, ‘Apa yang dikehendaki oleh orang-orang ini?’” (HR. Muslim no. 1348)Keutamaan ibadah kurbanSalah satu bentuk ibadah kepada Allah adalah dengan menyembelih hewan atau berkurban. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ“Katakanlah, sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan matiku adalah untuk Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-An’am: 162)Ibadah kepada Allah itu sendiri tidak akan diterima kecuali jika dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Beribadah kepada Allah dan juga kepada selan-Nya ini disebut sebagai kesyirikan.Begitu pula sembelihan. Tidak boleh memberikan sembelihan dalam rangka pendekatan diri (amalan ibadah dan ritual) serta pengagungan kecuali kepada Allah. Sehingga tidak boleh mempersembahkan sembelihan semacam ini kepada jin atau setan atau kepada raja dan pemimpin atau tokoh sebagai bentuk pengagungan kepada mereka. Disebabkan hal itu termasuk kategori menujukan ibadah kepada selain Allah. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Fauzan, hal. 153)Allah juga berfirman,فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka salatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (QS. al-Kautsar: 2)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut, “Artinya ikhlaskanlah salatmu dan sembelihanmu untuk-Nya. Karena sesungguhnya dahulu orang-orang musyrik itu terbiasa menyembah patung dan menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 3: 275)Dengan demikian, mempersembahkan sembelihan -dalam rangka ritual pengagungan- kepada selain Allah adalah perbuatan yang haram dan dibenci oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih dalam rangka dipersembahkan kepada selain Allah.” (HR. Muslim)Perbuatan menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah adalah syirik. (Lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 98)Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala

Daftar Isi ToggleKeutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahKeutamaan ibadah kurbanBismillah.Ramadan telah berlalu menyisakan banyak kenangan indah bagi kaum muslimin. Agungnya ibadah puasa merupakan salah satu faktor utama kemuliaan bulan Ramadan. Selain itu, pada bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan ia terletak pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan.Ramadan tentu tidak dapat dilupakan kaum beriman. Sebab ia merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Bulan yang penuh dengan berkah dan kedermawanan. Bulan kepedulian dan musim semi ketaatan. Bulan sedekah dan penguatan iman. Bulan untuk menggembleng sifat orang-orang bertakwa dengan tobat dan salat malam.Setelah Ramadan berlalu, maka tiba bulan Syawal yang juga menyimpan keutamaan dengan puasa enam hari di dalamnya. Setelah itu, masuk ke bulan Zulqa’dah, hari-hari ketika kaum muslimin bersiap menyambut ibadah yang agung di bulan Zulhijah berupa haji dan kurban. Di awal-awal Zulhijah itulah terdapat hari-hari terbaik sepanjang masa; beramal saleh di dalamnya jauh lebih dicintai Allah daripada beramal pada hari-hari yang lainnya. Sepuluh hari awal Zulhijah merupakan hari-hari paling utama.Keutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahBulan Zulhijah adalah saat-saat istimewa bagi kaum muslimin. Pada bulan itulah ditunaikan ibadah haji dan disembelih kurban pada hari raya Iduladha dan hari-hari tasyriq. Di antara keutamaan yang terkandung di bulan ini adalah 10 hari pertama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi waktu fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud malam-malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama di bulan Zulhijah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya serta dikuatkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8: 391-392)Penyebutan ‘malam-malam’ dalam ayat tersebut mengandung maksud keutamaan harinya, karena dalam bahasa Arab, kata ‘malam’ sering dipakai untuk mewakili hari, sebagaimana kata ‘hari’ sering digunakan untuk mewakili malamnya. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 188).Di antara ahli tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud sepuluh malam itu adalah 10 hari awal Zulhijah adalah adh-Dhahhak, Mujahid, as-Suddi, dan al-Kalbi rahimahumullah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 22: 257)Masruq -seorang ahli tafsir- menjelaskan mengenai keutamaan 10 hari awal Zulhijah ini. Beliau mengomentari firman Allah (yang artinya), “Malam-malam yang sepuluh”; maksudnya adalah 10 hari awal menjelang Iduladha. Beliau mengatakan, “Itu adalah hari-hari paling utama dalam setahun.” (Lihat kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 15: 399)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، فقالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء“Tidak ada suatu hari yang beramal saleh padanya lebih dicintai oleh Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini -yaitu 10 hari awal Zulhijah-.“Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah juga tidak bisa mengalahkan keutamaan beramal pada hari-hari itu?”Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali bagi orang yang berangkat jihad dengan membawa jiwanya dan hartanya, lalu tidak kembali sedikit pun darinya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma)Dalam riwayat Bukhari, hadis ini dibawakan dengan redaksi,ما العَمَلُ في أيَّامٍ أفْضَلَ منها في هذه، قالوا: ولا الجِهادُ؟ قالَ: ولا الجِهادُ، إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخاطِرُ بنَفْسِه ومالِه، فلَمْ يَرْجِعْ بشَيءٍ“Tidaklah beramal pada hari-hari yang lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini -yaitu sepuluh hari awal Zulhijah-“.Mereka/para sahabat bertanya, “Apakah jihad -di waktu lain- juga kalah keutamaannya dengan beramal pada hari-hari itu?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali bagi orang yang berangkat perang dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa-apa (alias meninggal dalam keadaan syahid dan hartanya habis).”Bahkan disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa sepuluh hari pertama Zulhijah ini merupakan hari-hari terbaik di dunia selama setahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari yang paling utama di dunia adalah hari-hari yang sepuluh; yaitu sepuluh hari (awal) di bulan Zulhijah.” (HR. al-Bazzar, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahDi antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 9 hari awal Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (nabi) biasa berpuasa pada sembilan hari [awal] Zulhijah. (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2: 78)Oleh sebab itu, Imam Abu Dawud rahimahullah mencantumkan hadis ini di bawah judul, ‘Puasa pada 10 hari pertama [Zulhijah]’; maksud beliau adalah tanggal 1-9, karena tanggal 10 Zulhijah adalah hari raya Iduladha, sehingga dilarang puasa.Syekh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadis sahih dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan puasa sembilan hari [awal] Zulhijah…” (HR. Abu Dawud dalam Kitab as-Shaum, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 2437)An-Nawawi rahimahullah berkata, “… Bahkan puasa pada saat itu -sembilan hari awal Zulhijah- adalah mustahab (dianjurkan) dengan anjuran yang sangat kuat, terlebih-lebih lagi pada tanggal sembilannya yaitu hari Arafah…” (lihat Syarh Muslim, 5: 9; cet. Ibn al-Haitsam)Di antara sembilan hari itu, maka yang paling ditekankan untuk berpuasa adalah pada tanggal 9 Zulhijah atau puasa Arafah, yaitu bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah bahwa ia bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun yang sesudahnya.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu)Meskipun demikian, tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Zulhijah itu pun tidak berdosa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah tidak berpuasa pada hari-hari itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa beliau menceritakan, “Aku sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 10 hari -awal Zulhijah-.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)Hadis ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dengan judul, ‘Tidak berpuasa pada 10 hari awal [Zulhijah].’ Maksud beliau –wallahu a’lam– adalah ingin menunjukkan kebolehannya dan bahwasanya hal itu bukanlah perkara yang tercela.An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwasanya bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah -ketika bersama ‘Aisyah- disebabkan karena ada sebab tertentu bisa jadi karena sakit atau sedang safar (bepergian), atau ada sebab lainnya. Atau memang ‘Aisyah tidak melihat beliau berpuasa pada saat itu. Perkataan ‘Aisyah ini tidak melazimkan bahwa beliau tidak pernah melakukan puasa tersebut. (Lihat Syarh Muslim, 5: 101)Demikian pula keterangan Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya ad-Darari al-Mudhiyyah (hal. 167). Beliau menjelaskan bahwa salah satu puasa yang dianjurkan (sunah) itu adalah puasa sembilan hari pada awal bulan Zulhijah. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i bahwasanya salah satu puasa yang tidak pernah atau jarang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sepuluh hari awal Zulhijah -maksudnya sembilan hari pertama-. Begitu pula hadis dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda. Adapun perkataan ‘Aisyah -dalam riwayat Muslim- bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari awal Zulhijah, tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa puasa pada sembilan hari awal Zulhijah adalah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut (awal Zulhijah, kecuali tanggal 10, pent). Syekh mengatakan, ‘Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya dengan sanad laa ba’sa bihi’. Hafshah memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh ‘Aisyah. Adapun ‘Aisyah sekedar memberitakan sebatas apa yang beliau ketahui. Dalam kaidah para ulama dinyatakan bahwa berita yang menetapkan lebih didahulukan daripada berita yang menafikan; yang demikian itu karena di dalam berita yang berisi penetapan terkandung tambahan ilmu. (Lihat Fadhlu al-‘Asyri min Dzilhijjah, hal. 2; dengan sedikit penambahan)Adapun pada tanggal 10 Zulhijah, maka amalan yang paling utama untuk dilakukan -setelah amal-amal yang wajib- antara lain menunaikan salat Iduladha dan menyembelih kurban bagi yang memiliki kemampuan. Selain itu juga dengan memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih dicintai oleh-Nya untuk dilakukan amal saleh padanya daripada sepuluh hari ini (yaitu di awal Zulhijah, pent). Oleh sebab itu, perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma dan dinyatakan sahih oleh Ahmad Syakir)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah hari nahr (kurban) kemudian hari qarr (11 Zulhijah).” (HR. Abu Dawud no 1765, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Hadis ini menunjukkan bahwa hari paling agung selama setahun adalah tanggal 10 Zulhijah atau disebut dengan yaumun nahr (hari kurban). Sehingga hadis ini juga tercakup dalam hadis-hadis yang menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah merupakan deretan hari-hari terbaik sepanjang tahun. Dan yang paling utama di antara sepuluh hari itu adalah hari kesepuluh atau hari raya Iduladha.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku ucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ‘laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir’.” (HR. Tirmidzi no 3585, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu hari yang lebih banyak pada hari itu Allah memerdekakan hamba dari neraka melebihi keutamaan hari Arafah. Sesungguhnya Allah pun mendekat -kepada para hamba- kemudian Allah membanggakan mereka -orang-orang yang wukuf di padang Arafah- di hadapan para malaikat. Allah pun berkata, ‘Apa yang dikehendaki oleh orang-orang ini?’” (HR. Muslim no. 1348)Keutamaan ibadah kurbanSalah satu bentuk ibadah kepada Allah adalah dengan menyembelih hewan atau berkurban. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ“Katakanlah, sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan matiku adalah untuk Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-An’am: 162)Ibadah kepada Allah itu sendiri tidak akan diterima kecuali jika dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Beribadah kepada Allah dan juga kepada selan-Nya ini disebut sebagai kesyirikan.Begitu pula sembelihan. Tidak boleh memberikan sembelihan dalam rangka pendekatan diri (amalan ibadah dan ritual) serta pengagungan kecuali kepada Allah. Sehingga tidak boleh mempersembahkan sembelihan semacam ini kepada jin atau setan atau kepada raja dan pemimpin atau tokoh sebagai bentuk pengagungan kepada mereka. Disebabkan hal itu termasuk kategori menujukan ibadah kepada selain Allah. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Fauzan, hal. 153)Allah juga berfirman,فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka salatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (QS. al-Kautsar: 2)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut, “Artinya ikhlaskanlah salatmu dan sembelihanmu untuk-Nya. Karena sesungguhnya dahulu orang-orang musyrik itu terbiasa menyembah patung dan menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 3: 275)Dengan demikian, mempersembahkan sembelihan -dalam rangka ritual pengagungan- kepada selain Allah adalah perbuatan yang haram dan dibenci oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih dalam rangka dipersembahkan kepada selain Allah.” (HR. Muslim)Perbuatan menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah adalah syirik. (Lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 98)Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKeutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahKeutamaan ibadah kurbanBismillah.Ramadan telah berlalu menyisakan banyak kenangan indah bagi kaum muslimin. Agungnya ibadah puasa merupakan salah satu faktor utama kemuliaan bulan Ramadan. Selain itu, pada bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan ia terletak pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan.Ramadan tentu tidak dapat dilupakan kaum beriman. Sebab ia merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Bulan yang penuh dengan berkah dan kedermawanan. Bulan kepedulian dan musim semi ketaatan. Bulan sedekah dan penguatan iman. Bulan untuk menggembleng sifat orang-orang bertakwa dengan tobat dan salat malam.Setelah Ramadan berlalu, maka tiba bulan Syawal yang juga menyimpan keutamaan dengan puasa enam hari di dalamnya. Setelah itu, masuk ke bulan Zulqa’dah, hari-hari ketika kaum muslimin bersiap menyambut ibadah yang agung di bulan Zulhijah berupa haji dan kurban. Di awal-awal Zulhijah itulah terdapat hari-hari terbaik sepanjang masa; beramal saleh di dalamnya jauh lebih dicintai Allah daripada beramal pada hari-hari yang lainnya. Sepuluh hari awal Zulhijah merupakan hari-hari paling utama.Keutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahBulan Zulhijah adalah saat-saat istimewa bagi kaum muslimin. Pada bulan itulah ditunaikan ibadah haji dan disembelih kurban pada hari raya Iduladha dan hari-hari tasyriq. Di antara keutamaan yang terkandung di bulan ini adalah 10 hari pertama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi waktu fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud malam-malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama di bulan Zulhijah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya serta dikuatkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8: 391-392)Penyebutan ‘malam-malam’ dalam ayat tersebut mengandung maksud keutamaan harinya, karena dalam bahasa Arab, kata ‘malam’ sering dipakai untuk mewakili hari, sebagaimana kata ‘hari’ sering digunakan untuk mewakili malamnya. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 188).Di antara ahli tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud sepuluh malam itu adalah 10 hari awal Zulhijah adalah adh-Dhahhak, Mujahid, as-Suddi, dan al-Kalbi rahimahumullah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 22: 257)Masruq -seorang ahli tafsir- menjelaskan mengenai keutamaan 10 hari awal Zulhijah ini. Beliau mengomentari firman Allah (yang artinya), “Malam-malam yang sepuluh”; maksudnya adalah 10 hari awal menjelang Iduladha. Beliau mengatakan, “Itu adalah hari-hari paling utama dalam setahun.” (Lihat kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 15: 399)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، فقالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء“Tidak ada suatu hari yang beramal saleh padanya lebih dicintai oleh Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini -yaitu 10 hari awal Zulhijah-.“Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah juga tidak bisa mengalahkan keutamaan beramal pada hari-hari itu?”Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali bagi orang yang berangkat jihad dengan membawa jiwanya dan hartanya, lalu tidak kembali sedikit pun darinya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma)Dalam riwayat Bukhari, hadis ini dibawakan dengan redaksi,ما العَمَلُ في أيَّامٍ أفْضَلَ منها في هذه، قالوا: ولا الجِهادُ؟ قالَ: ولا الجِهادُ، إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخاطِرُ بنَفْسِه ومالِه، فلَمْ يَرْجِعْ بشَيءٍ“Tidaklah beramal pada hari-hari yang lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini -yaitu sepuluh hari awal Zulhijah-“.Mereka/para sahabat bertanya, “Apakah jihad -di waktu lain- juga kalah keutamaannya dengan beramal pada hari-hari itu?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali bagi orang yang berangkat perang dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa-apa (alias meninggal dalam keadaan syahid dan hartanya habis).”Bahkan disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa sepuluh hari pertama Zulhijah ini merupakan hari-hari terbaik di dunia selama setahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari yang paling utama di dunia adalah hari-hari yang sepuluh; yaitu sepuluh hari (awal) di bulan Zulhijah.” (HR. al-Bazzar, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahDi antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 9 hari awal Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (nabi) biasa berpuasa pada sembilan hari [awal] Zulhijah. (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2: 78)Oleh sebab itu, Imam Abu Dawud rahimahullah mencantumkan hadis ini di bawah judul, ‘Puasa pada 10 hari pertama [Zulhijah]’; maksud beliau adalah tanggal 1-9, karena tanggal 10 Zulhijah adalah hari raya Iduladha, sehingga dilarang puasa.Syekh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadis sahih dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan puasa sembilan hari [awal] Zulhijah…” (HR. Abu Dawud dalam Kitab as-Shaum, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 2437)An-Nawawi rahimahullah berkata, “… Bahkan puasa pada saat itu -sembilan hari awal Zulhijah- adalah mustahab (dianjurkan) dengan anjuran yang sangat kuat, terlebih-lebih lagi pada tanggal sembilannya yaitu hari Arafah…” (lihat Syarh Muslim, 5: 9; cet. Ibn al-Haitsam)Di antara sembilan hari itu, maka yang paling ditekankan untuk berpuasa adalah pada tanggal 9 Zulhijah atau puasa Arafah, yaitu bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah bahwa ia bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun yang sesudahnya.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu)Meskipun demikian, tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Zulhijah itu pun tidak berdosa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah tidak berpuasa pada hari-hari itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa beliau menceritakan, “Aku sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 10 hari -awal Zulhijah-.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)Hadis ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dengan judul, ‘Tidak berpuasa pada 10 hari awal [Zulhijah].’ Maksud beliau –wallahu a’lam– adalah ingin menunjukkan kebolehannya dan bahwasanya hal itu bukanlah perkara yang tercela.An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwasanya bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah -ketika bersama ‘Aisyah- disebabkan karena ada sebab tertentu bisa jadi karena sakit atau sedang safar (bepergian), atau ada sebab lainnya. Atau memang ‘Aisyah tidak melihat beliau berpuasa pada saat itu. Perkataan ‘Aisyah ini tidak melazimkan bahwa beliau tidak pernah melakukan puasa tersebut. (Lihat Syarh Muslim, 5: 101)Demikian pula keterangan Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya ad-Darari al-Mudhiyyah (hal. 167). Beliau menjelaskan bahwa salah satu puasa yang dianjurkan (sunah) itu adalah puasa sembilan hari pada awal bulan Zulhijah. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i bahwasanya salah satu puasa yang tidak pernah atau jarang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sepuluh hari awal Zulhijah -maksudnya sembilan hari pertama-. Begitu pula hadis dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda. Adapun perkataan ‘Aisyah -dalam riwayat Muslim- bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari awal Zulhijah, tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa puasa pada sembilan hari awal Zulhijah adalah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut (awal Zulhijah, kecuali tanggal 10, pent). Syekh mengatakan, ‘Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya dengan sanad laa ba’sa bihi’. Hafshah memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh ‘Aisyah. Adapun ‘Aisyah sekedar memberitakan sebatas apa yang beliau ketahui. Dalam kaidah para ulama dinyatakan bahwa berita yang menetapkan lebih didahulukan daripada berita yang menafikan; yang demikian itu karena di dalam berita yang berisi penetapan terkandung tambahan ilmu. (Lihat Fadhlu al-‘Asyri min Dzilhijjah, hal. 2; dengan sedikit penambahan)Adapun pada tanggal 10 Zulhijah, maka amalan yang paling utama untuk dilakukan -setelah amal-amal yang wajib- antara lain menunaikan salat Iduladha dan menyembelih kurban bagi yang memiliki kemampuan. Selain itu juga dengan memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih dicintai oleh-Nya untuk dilakukan amal saleh padanya daripada sepuluh hari ini (yaitu di awal Zulhijah, pent). Oleh sebab itu, perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma dan dinyatakan sahih oleh Ahmad Syakir)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah hari nahr (kurban) kemudian hari qarr (11 Zulhijah).” (HR. Abu Dawud no 1765, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Hadis ini menunjukkan bahwa hari paling agung selama setahun adalah tanggal 10 Zulhijah atau disebut dengan yaumun nahr (hari kurban). Sehingga hadis ini juga tercakup dalam hadis-hadis yang menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah merupakan deretan hari-hari terbaik sepanjang tahun. Dan yang paling utama di antara sepuluh hari itu adalah hari kesepuluh atau hari raya Iduladha.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku ucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ‘laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir’.” (HR. Tirmidzi no 3585, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu hari yang lebih banyak pada hari itu Allah memerdekakan hamba dari neraka melebihi keutamaan hari Arafah. Sesungguhnya Allah pun mendekat -kepada para hamba- kemudian Allah membanggakan mereka -orang-orang yang wukuf di padang Arafah- di hadapan para malaikat. Allah pun berkata, ‘Apa yang dikehendaki oleh orang-orang ini?’” (HR. Muslim no. 1348)Keutamaan ibadah kurbanSalah satu bentuk ibadah kepada Allah adalah dengan menyembelih hewan atau berkurban. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ“Katakanlah, sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan matiku adalah untuk Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-An’am: 162)Ibadah kepada Allah itu sendiri tidak akan diterima kecuali jika dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Beribadah kepada Allah dan juga kepada selan-Nya ini disebut sebagai kesyirikan.Begitu pula sembelihan. Tidak boleh memberikan sembelihan dalam rangka pendekatan diri (amalan ibadah dan ritual) serta pengagungan kecuali kepada Allah. Sehingga tidak boleh mempersembahkan sembelihan semacam ini kepada jin atau setan atau kepada raja dan pemimpin atau tokoh sebagai bentuk pengagungan kepada mereka. Disebabkan hal itu termasuk kategori menujukan ibadah kepada selain Allah. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Fauzan, hal. 153)Allah juga berfirman,فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka salatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (QS. al-Kautsar: 2)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut, “Artinya ikhlaskanlah salatmu dan sembelihanmu untuk-Nya. Karena sesungguhnya dahulu orang-orang musyrik itu terbiasa menyembah patung dan menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 3: 275)Dengan demikian, mempersembahkan sembelihan -dalam rangka ritual pengagungan- kepada selain Allah adalah perbuatan yang haram dan dibenci oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih dalam rangka dipersembahkan kepada selain Allah.” (HR. Muslim)Perbuatan menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah adalah syirik. (Lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 98)Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKeutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahKeutamaan ibadah kurbanBismillah.Ramadan telah berlalu menyisakan banyak kenangan indah bagi kaum muslimin. Agungnya ibadah puasa merupakan salah satu faktor utama kemuliaan bulan Ramadan. Selain itu, pada bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan ia terletak pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan.Ramadan tentu tidak dapat dilupakan kaum beriman. Sebab ia merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Bulan yang penuh dengan berkah dan kedermawanan. Bulan kepedulian dan musim semi ketaatan. Bulan sedekah dan penguatan iman. Bulan untuk menggembleng sifat orang-orang bertakwa dengan tobat dan salat malam.Setelah Ramadan berlalu, maka tiba bulan Syawal yang juga menyimpan keutamaan dengan puasa enam hari di dalamnya. Setelah itu, masuk ke bulan Zulqa’dah, hari-hari ketika kaum muslimin bersiap menyambut ibadah yang agung di bulan Zulhijah berupa haji dan kurban. Di awal-awal Zulhijah itulah terdapat hari-hari terbaik sepanjang masa; beramal saleh di dalamnya jauh lebih dicintai Allah daripada beramal pada hari-hari yang lainnya. Sepuluh hari awal Zulhijah merupakan hari-hari paling utama.Keutamaan sepuluh hari pertama ZulhijahBulan Zulhijah adalah saat-saat istimewa bagi kaum muslimin. Pada bulan itulah ditunaikan ibadah haji dan disembelih kurban pada hari raya Iduladha dan hari-hari tasyriq. Di antara keutamaan yang terkandung di bulan ini adalah 10 hari pertama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi waktu fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud malam-malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama di bulan Zulhijah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya serta dikuatkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8: 391-392)Penyebutan ‘malam-malam’ dalam ayat tersebut mengandung maksud keutamaan harinya, karena dalam bahasa Arab, kata ‘malam’ sering dipakai untuk mewakili hari, sebagaimana kata ‘hari’ sering digunakan untuk mewakili malamnya. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 188).Di antara ahli tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud sepuluh malam itu adalah 10 hari awal Zulhijah adalah adh-Dhahhak, Mujahid, as-Suddi, dan al-Kalbi rahimahumullah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 22: 257)Masruq -seorang ahli tafsir- menjelaskan mengenai keutamaan 10 hari awal Zulhijah ini. Beliau mengomentari firman Allah (yang artinya), “Malam-malam yang sepuluh”; maksudnya adalah 10 hari awal menjelang Iduladha. Beliau mengatakan, “Itu adalah hari-hari paling utama dalam setahun.” (Lihat kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 15: 399)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، فقالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء“Tidak ada suatu hari yang beramal saleh padanya lebih dicintai oleh Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini -yaitu 10 hari awal Zulhijah-.“Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah juga tidak bisa mengalahkan keutamaan beramal pada hari-hari itu?”Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali bagi orang yang berangkat jihad dengan membawa jiwanya dan hartanya, lalu tidak kembali sedikit pun darinya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma)Dalam riwayat Bukhari, hadis ini dibawakan dengan redaksi,ما العَمَلُ في أيَّامٍ أفْضَلَ منها في هذه، قالوا: ولا الجِهادُ؟ قالَ: ولا الجِهادُ، إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخاطِرُ بنَفْسِه ومالِه، فلَمْ يَرْجِعْ بشَيءٍ“Tidaklah beramal pada hari-hari yang lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini -yaitu sepuluh hari awal Zulhijah-“.Mereka/para sahabat bertanya, “Apakah jihad -di waktu lain- juga kalah keutamaannya dengan beramal pada hari-hari itu?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali bagi orang yang berangkat perang dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa-apa (alias meninggal dalam keadaan syahid dan hartanya habis).”Bahkan disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa sepuluh hari pertama Zulhijah ini merupakan hari-hari terbaik di dunia selama setahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari yang paling utama di dunia adalah hari-hari yang sepuluh; yaitu sepuluh hari (awal) di bulan Zulhijah.” (HR. al-Bazzar, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahKeutamaan puasa di sembilan hari awal ZulhijahDi antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 9 hari awal Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (nabi) biasa berpuasa pada sembilan hari [awal] Zulhijah. (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2: 78)Oleh sebab itu, Imam Abu Dawud rahimahullah mencantumkan hadis ini di bawah judul, ‘Puasa pada 10 hari pertama [Zulhijah]’; maksud beliau adalah tanggal 1-9, karena tanggal 10 Zulhijah adalah hari raya Iduladha, sehingga dilarang puasa.Syekh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadis sahih dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan puasa sembilan hari [awal] Zulhijah…” (HR. Abu Dawud dalam Kitab as-Shaum, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 2437)An-Nawawi rahimahullah berkata, “… Bahkan puasa pada saat itu -sembilan hari awal Zulhijah- adalah mustahab (dianjurkan) dengan anjuran yang sangat kuat, terlebih-lebih lagi pada tanggal sembilannya yaitu hari Arafah…” (lihat Syarh Muslim, 5: 9; cet. Ibn al-Haitsam)Di antara sembilan hari itu, maka yang paling ditekankan untuk berpuasa adalah pada tanggal 9 Zulhijah atau puasa Arafah, yaitu bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah bahwa ia bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun yang sesudahnya.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu)Meskipun demikian, tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Zulhijah itu pun tidak berdosa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah tidak berpuasa pada hari-hari itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa beliau menceritakan, “Aku sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 10 hari -awal Zulhijah-.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)Hadis ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dengan judul, ‘Tidak berpuasa pada 10 hari awal [Zulhijah].’ Maksud beliau –wallahu a’lam– adalah ingin menunjukkan kebolehannya dan bahwasanya hal itu bukanlah perkara yang tercela.An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwasanya bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah -ketika bersama ‘Aisyah- disebabkan karena ada sebab tertentu bisa jadi karena sakit atau sedang safar (bepergian), atau ada sebab lainnya. Atau memang ‘Aisyah tidak melihat beliau berpuasa pada saat itu. Perkataan ‘Aisyah ini tidak melazimkan bahwa beliau tidak pernah melakukan puasa tersebut. (Lihat Syarh Muslim, 5: 101)Demikian pula keterangan Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya ad-Darari al-Mudhiyyah (hal. 167). Beliau menjelaskan bahwa salah satu puasa yang dianjurkan (sunah) itu adalah puasa sembilan hari pada awal bulan Zulhijah. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i bahwasanya salah satu puasa yang tidak pernah atau jarang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sepuluh hari awal Zulhijah -maksudnya sembilan hari pertama-. Begitu pula hadis dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda. Adapun perkataan ‘Aisyah -dalam riwayat Muslim- bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari awal Zulhijah, tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa puasa pada sembilan hari awal Zulhijah adalah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut (awal Zulhijah, kecuali tanggal 10, pent). Syekh mengatakan, ‘Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya dengan sanad laa ba’sa bihi’. Hafshah memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh ‘Aisyah. Adapun ‘Aisyah sekedar memberitakan sebatas apa yang beliau ketahui. Dalam kaidah para ulama dinyatakan bahwa berita yang menetapkan lebih didahulukan daripada berita yang menafikan; yang demikian itu karena di dalam berita yang berisi penetapan terkandung tambahan ilmu. (Lihat Fadhlu al-‘Asyri min Dzilhijjah, hal. 2; dengan sedikit penambahan)Adapun pada tanggal 10 Zulhijah, maka amalan yang paling utama untuk dilakukan -setelah amal-amal yang wajib- antara lain menunaikan salat Iduladha dan menyembelih kurban bagi yang memiliki kemampuan. Selain itu juga dengan memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih dicintai oleh-Nya untuk dilakukan amal saleh padanya daripada sepuluh hari ini (yaitu di awal Zulhijah, pent). Oleh sebab itu, perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma dan dinyatakan sahih oleh Ahmad Syakir)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah hari nahr (kurban) kemudian hari qarr (11 Zulhijah).” (HR. Abu Dawud no 1765, dinyatakan sahih oleh al-Albani)Hadis ini menunjukkan bahwa hari paling agung selama setahun adalah tanggal 10 Zulhijah atau disebut dengan yaumun nahr (hari kurban). Sehingga hadis ini juga tercakup dalam hadis-hadis yang menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah merupakan deretan hari-hari terbaik sepanjang tahun. Dan yang paling utama di antara sepuluh hari itu adalah hari kesepuluh atau hari raya Iduladha.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku ucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ‘laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir’.” (HR. Tirmidzi no 3585, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu hari yang lebih banyak pada hari itu Allah memerdekakan hamba dari neraka melebihi keutamaan hari Arafah. Sesungguhnya Allah pun mendekat -kepada para hamba- kemudian Allah membanggakan mereka -orang-orang yang wukuf di padang Arafah- di hadapan para malaikat. Allah pun berkata, ‘Apa yang dikehendaki oleh orang-orang ini?’” (HR. Muslim no. 1348)Keutamaan ibadah kurbanSalah satu bentuk ibadah kepada Allah adalah dengan menyembelih hewan atau berkurban. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ“Katakanlah, sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan matiku adalah untuk Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-An’am: 162)Ibadah kepada Allah itu sendiri tidak akan diterima kecuali jika dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman,وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)Beribadah kepada Allah dan juga kepada selan-Nya ini disebut sebagai kesyirikan.Begitu pula sembelihan. Tidak boleh memberikan sembelihan dalam rangka pendekatan diri (amalan ibadah dan ritual) serta pengagungan kecuali kepada Allah. Sehingga tidak boleh mempersembahkan sembelihan semacam ini kepada jin atau setan atau kepada raja dan pemimpin atau tokoh sebagai bentuk pengagungan kepada mereka. Disebabkan hal itu termasuk kategori menujukan ibadah kepada selain Allah. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Fauzan, hal. 153)Allah juga berfirman,فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka salatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (QS. al-Kautsar: 2)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut, “Artinya ikhlaskanlah salatmu dan sembelihanmu untuk-Nya. Karena sesungguhnya dahulu orang-orang musyrik itu terbiasa menyembah patung dan menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 3: 275)Dengan demikian, mempersembahkan sembelihan -dalam rangka ritual pengagungan- kepada selain Allah adalah perbuatan yang haram dan dibenci oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih dalam rangka dipersembahkan kepada selain Allah.” (HR. Muslim)Perbuatan menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah adalah syirik. (Lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 98)Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Dua Jenis Nikmat Menurut Ibnul Qayyim: Nikmat Mutlak dan Nikmat Terbatas

Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat. Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah).1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah)Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut.Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar.2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah)Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir.Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana.Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya,فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ“Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17)Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah. Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak?Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman,أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28)Dan Allah Ta’ala juga berfirman,وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ“Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17) Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakanNikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah.Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya.Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya.Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman. Kesimpulan1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah):Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat.2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah):Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati.___Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan.Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. ___ 10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat

Dua Jenis Nikmat Menurut Ibnul Qayyim: Nikmat Mutlak dan Nikmat Terbatas

Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat. Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah).1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah)Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut.Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar.2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah)Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir.Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana.Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya,فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ“Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17)Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah. Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak?Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman,أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28)Dan Allah Ta’ala juga berfirman,وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ“Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17) Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakanNikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah.Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya.Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya.Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman. Kesimpulan1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah):Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat.2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah):Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati.___Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan.Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. ___ 10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat
Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat. Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah).1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah)Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut.Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar.2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah)Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir.Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana.Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya,فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ“Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17)Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah. Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak?Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman,أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28)Dan Allah Ta’ala juga berfirman,وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ“Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17) Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakanNikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah.Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya.Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya.Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman. Kesimpulan1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah):Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat.2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah):Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati.___Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan.Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. ___ 10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat


Dalam Kitab Ijtimaa’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, disebutkan dua macam nikmat. Nikmat itu terbagi menjadi dua: nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah) dan nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah).1. Nikmat mutlak (ni’mah muthlaqah)Nikmat mutlak adalah nikmat yang berhubungan langsung dengan kebahagiaan abadi di akhirat. Inilah nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Nikmat ini adalah anugerah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada kita untuk memohon kepada-Nya dalam setiap shalat agar kita diberi petunjuk ke jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat ini. Mereka adalah golongan yang dipilih oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghuni derajat yang paling tinggi di surga, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَـٰٓئِكَ رَفِيقًۭا“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69). Maka empat golongan inilah para pemilik nikmat yang mutlak tersebut.Nikmat mutlak dikhususkan hanya bagi orang-orang beriman. Maka, jika ada yang mengatakan bahwa Allah tidak memiliki nikmat atas orang kafir dalam pengertian ini, maka itu adalah pernyataan yang benar.2. Nikmat terbatas (ni’mah muqayyadah)Nikmat jenis kedua adalah nikmat yang terbatas, seperti nikmat sehat, kekayaan, tubuh yang bugar, kedudukan yang luas, banyak keturunan, istri yang baik, dan semisalnya. Nikmat-nikmat seperti ini bisa dimiliki oleh orang baik maupun jahat, oleh orang beriman maupun kafir.Jika dikatakan bahwa Allah memiliki nikmat atas orang kafir dalam aspek-aspek ini, maka itu adalah benar. Namun, tidak boleh secara mutlak menafikan atau menetapkan bahwa ia mendapat nikmat kecuali dengan satu penjelasan: bahwa nikmat yang terbatas tersebut sejatinya hanyalah bentuk istidraj (penundaan siksa) bagi orang kafir. Ujung dari nikmat itu adalah azab dan kesengsaraan. Maka seakan-akan ia bukanlah nikmat, tetapi bencana.Allah Ta’ala telah menamainya demikian dalam kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya,فَأَمَّا ٱلْإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ“Adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, ia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” (QS. Al-Fajr: 15–17)Maksudnya: tidak setiap orang yang Aku muliakan di dunia dan Aku beri nikmat, berarti Aku benar-benar telah memberinya nikmat. Itu hanyalah ujian dan cobaan dari-Ku. Dan tidak setiap orang yang Aku batasi rezekinya dan hanya Aku beri secukupnya, berarti Aku menghinakannya. Aku menguji hamba-Ku baik dengan nikmat maupun dengan musibah. Apakah orang kafir diberi nikmat mutlak?Allah telah menganugerahkan nikmat mutlak kepada orang kafir, tetapi orang kafir itu menolak dan mengganti nikmat Allah tersebut, maka keadaannya seperti seseorang yang diberi harta untuk menyambung hidup, tetapi ia justru membuangnya ke laut. Allah Ta’ala berfirman,أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ كُفْرًۭا وَأَحَلُّوا۟ قَوْمَهُمْ دَارَ ٱلْبَوَارِ“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran, lalu mereka menjerumuskan kaumnya ke dalam tempat kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28)Dan Allah Ta’ala juga berfirman,وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَـٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ“Adapun kaum Tsamud, maka Kami telah memberi mereka petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.” (QS. Fussilat: 17) Nikmat mutlak adalah nikmat yang sebenarnya layak dibanggakanNikmat mutlak itulah nikmat yang layak untuk dibanggakan secara sejati. Kegembiraan terhadap nikmat ini adalah hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbangga diri dengan dunia, tetapi Allah mencintai orang-orang yang berbahagia dengan nikmat Islam dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ ۖ هُوَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)Para ulama salaf menjelaskan bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah Islam dan Sunnah.Dan seberapa dalam kehidupan hati seseorang, sebesar itu pula kadar kegembiraannya terhadap keduanya.Semakin kuat dan kokoh seseorang di atas Islam dan Sunnah, maka hatinya akan semakin dalam rasa syukurnya dan semakin besar kebahagiaannya.Bahkan, ketika orang-orang merasa paling sedih, hati seorang pencinta sunnah bisa melompat kegirangan karena merasakan nikmatnya ruh sunnah. Di saat manusia diliputi ketakutan, hatinya justru penuh dengan rasa aman. Kesimpulan1. Nikmat mutlak (ni‘mah muthlaqah):Nikmat terbesar yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Hanya dimiliki oleh orang beriman dan menjadi sebab keselamatan akhirat.2. Nikmat terbatas (ni‘mah muqayyadah):Nikmat duniawi seperti sehat, harta, jabatan, dan keluarga. Bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk orang kafir. Bagi orang kafir, ini hanya istidraj (penundaan azab), bukan karunia sejati.___Marilah kita mensyukuri nikmat yang paling agung: nikmat Islam dan Sunnah, nikmat mutlak yang menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita terperdaya oleh nikmat dunia yang fana, sementara hati kita lalai dari karunia terbesar yang Allah anugerahkan.Semoga tulisan ini menambah rasa syukur kita, menguatkan keimanan, dan menjadi pengingat agar kita lebih mencintai agama ini dan istiqamah di atas sunnah. Barakallahu fiikum — semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. ___ 10 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 7 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara syukur hakikat syukur istidraj nikmat nikmat mutlak nikmat terbatas pembagian nikmat menurut ulama pengertian syukur rukun syukur syukur syukur kepada Allah syukur nikmat

Benarkah Nabi Hadir di Acara Maulid? – Ini Jawaban Ulama yang Mengejutkan – Syaikh Shalih al-Ushaimi

https://youtu.be/qnVFTLTrn-w Pertanyaan kedua yang diajukan kepada beliau—semoga Allah merahmatinya—berkaitan dengan pertanyaan tentang keyakinan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara yang diadakan untuk merayakan maulid Nabi, yang mereka berdiri (di acara maulid itu) untuk mengagungkan Nabi. Apakah ini boleh dilakukan atau tidak? Maka beliau—semoga Allah merahmatinya—menjawab: Barang siapa mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara maulid Nabi tersebut, maka Al-Qur’an telah membantahnya! Karena klaim kehadiran Nabi itu secara akal hanya memiliki dua kemungkinan: Pertama, kehadiran Nabi yang diklaim itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir dengan jasad dan ruhnya, dan Al-Qur’an secara tegas membantah kemungkinan ini dengan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan mereka pun akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30) Maka wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan kemungkinan beliau hadir secara jasad dan ruh. Kemungkinan kedua, bahwa yang diklaim adalah kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dan ini pun merupakan kedustaan! Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya…” (QS. Az-Zumar: 42). Maka ruh-ruh yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan kematiannya, ditahan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk pergi dan datang. Sehingga dua kemungkinan secara akal yang ada dalam perkara ini, tentang klaim kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keduanya tertolak berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika diklaim bahwa Nabi hadir dengan jasad dan ruh, itu adalah kebohongan! Jika diklaim bahwa Nabi datang dengan ruhnya saja, tanpa jasadnya, itu juga kebohongan, berdasarkan ayat-ayat sebelumnya. Kemudian, penulis—semoga Allah merahmatinya—menguatkan jawaban tersebut dengan mengatakan: “Selain itu, klaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara seperti ini adalah kedustaan atas nama beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan dalam hadis sahih bahwa beliau hadir di acara seperti itu. Apabila tidak ada satu kata pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kehadiran beliau pada ibadah-ibadah yang diagungkan syariat yang di dalamnya orang-orang berkumpul, seperti Salat Jumat, Salat Id, dan wukuf di Arafah, lantas bagaimana beliau hadir di suatu acara yang bahkan baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat? ==== تَضَمَّنَ السُّؤَالُ الثَّانِي الَّذِي رُفِعَ إِلَيْهِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الِاسْتِفْتَاءُ عَنِ اعْتِقَادِ بَعْضِ النَّاسِ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ الَّتِي تُعْقَدُ لِلْمَوْلِدِ وَيَقُوْمُوْنَ لَهُ تَعْظِيْمًا فَهَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ عَنْهُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ فَإِنَّ الْقُرْآنَ يُكَذِّبُهُ لِأَنَّ الْحُضُورَ الْمُدَّعَى لَا يَحْتَمِلُ فِي الْقِسْمَةِ الْعَقْلِيَّةِ إِلَّا أَحَدَ شَيْئَيْنِ أَوَّلُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى حُضُورُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالْقُرْآنُ نَاطِقٌ بِتَكْذِيبِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ فَكَوْنُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيِّتًا يَمْنَعُ حُضُورَ بَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى مُرَادًا بِهِ حُضُورُ رُوحِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا كَذِبٌ أَيْضًا لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ اللَّهُ يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ فَالْأَرْوَاحُ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا الْمَوْتَ مُمْسَكَةٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا تَصَرُّفُ لَهَا فِي الذَّهَابِ وَالْمَجِيءِ فَالِاحْتِمَالَانِ الْعَقْلِيَّانِ الْوَارِدَانِ عَلَى هَذَا الْمَحَلِّ فِي دَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلَاهُمَا مَرْدُودَانِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ فَإِنِ ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ وَإِذَا ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِرُوحِهِ دُونَ بَدَنِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ أَيْضًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْآيَاتِ ثُمَّ قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَعْزِيزِ جَوَابِهِ الْمُتَقَدِّمِ وَأَيْضًا فَدَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ مِنَ الْكَذِبِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخْبِرْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرًا صَادِقًا أَنَّهُ يَحْضُرُ مِثْلَهَا فَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَأْتِ عَنْهُ حَرْفٌ فِي حُضُورِ الْعِبَادَاتِ الْمُعَظَّمَةِ شَرْعًا الَّتِي يَجْتَمِعُ فِيهَا النَّاسُ كَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ وَمَوْقِفِ فِي عَرَفَةَ فَكَيْفَ يَكُونُ حُضُورُهُ فِي شَيْءٍ لَمْ يَحْدُثْ إِلَّا بَعْدَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Benarkah Nabi Hadir di Acara Maulid? – Ini Jawaban Ulama yang Mengejutkan – Syaikh Shalih al-Ushaimi

https://youtu.be/qnVFTLTrn-w Pertanyaan kedua yang diajukan kepada beliau—semoga Allah merahmatinya—berkaitan dengan pertanyaan tentang keyakinan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara yang diadakan untuk merayakan maulid Nabi, yang mereka berdiri (di acara maulid itu) untuk mengagungkan Nabi. Apakah ini boleh dilakukan atau tidak? Maka beliau—semoga Allah merahmatinya—menjawab: Barang siapa mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara maulid Nabi tersebut, maka Al-Qur’an telah membantahnya! Karena klaim kehadiran Nabi itu secara akal hanya memiliki dua kemungkinan: Pertama, kehadiran Nabi yang diklaim itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir dengan jasad dan ruhnya, dan Al-Qur’an secara tegas membantah kemungkinan ini dengan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan mereka pun akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30) Maka wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan kemungkinan beliau hadir secara jasad dan ruh. Kemungkinan kedua, bahwa yang diklaim adalah kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dan ini pun merupakan kedustaan! Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya…” (QS. Az-Zumar: 42). Maka ruh-ruh yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan kematiannya, ditahan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk pergi dan datang. Sehingga dua kemungkinan secara akal yang ada dalam perkara ini, tentang klaim kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keduanya tertolak berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika diklaim bahwa Nabi hadir dengan jasad dan ruh, itu adalah kebohongan! Jika diklaim bahwa Nabi datang dengan ruhnya saja, tanpa jasadnya, itu juga kebohongan, berdasarkan ayat-ayat sebelumnya. Kemudian, penulis—semoga Allah merahmatinya—menguatkan jawaban tersebut dengan mengatakan: “Selain itu, klaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara seperti ini adalah kedustaan atas nama beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan dalam hadis sahih bahwa beliau hadir di acara seperti itu. Apabila tidak ada satu kata pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kehadiran beliau pada ibadah-ibadah yang diagungkan syariat yang di dalamnya orang-orang berkumpul, seperti Salat Jumat, Salat Id, dan wukuf di Arafah, lantas bagaimana beliau hadir di suatu acara yang bahkan baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat? ==== تَضَمَّنَ السُّؤَالُ الثَّانِي الَّذِي رُفِعَ إِلَيْهِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الِاسْتِفْتَاءُ عَنِ اعْتِقَادِ بَعْضِ النَّاسِ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ الَّتِي تُعْقَدُ لِلْمَوْلِدِ وَيَقُوْمُوْنَ لَهُ تَعْظِيْمًا فَهَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ عَنْهُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ فَإِنَّ الْقُرْآنَ يُكَذِّبُهُ لِأَنَّ الْحُضُورَ الْمُدَّعَى لَا يَحْتَمِلُ فِي الْقِسْمَةِ الْعَقْلِيَّةِ إِلَّا أَحَدَ شَيْئَيْنِ أَوَّلُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى حُضُورُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالْقُرْآنُ نَاطِقٌ بِتَكْذِيبِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ فَكَوْنُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيِّتًا يَمْنَعُ حُضُورَ بَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى مُرَادًا بِهِ حُضُورُ رُوحِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا كَذِبٌ أَيْضًا لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ اللَّهُ يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ فَالْأَرْوَاحُ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا الْمَوْتَ مُمْسَكَةٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا تَصَرُّفُ لَهَا فِي الذَّهَابِ وَالْمَجِيءِ فَالِاحْتِمَالَانِ الْعَقْلِيَّانِ الْوَارِدَانِ عَلَى هَذَا الْمَحَلِّ فِي دَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلَاهُمَا مَرْدُودَانِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ فَإِنِ ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ وَإِذَا ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِرُوحِهِ دُونَ بَدَنِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ أَيْضًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْآيَاتِ ثُمَّ قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَعْزِيزِ جَوَابِهِ الْمُتَقَدِّمِ وَأَيْضًا فَدَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ مِنَ الْكَذِبِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخْبِرْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرًا صَادِقًا أَنَّهُ يَحْضُرُ مِثْلَهَا فَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَأْتِ عَنْهُ حَرْفٌ فِي حُضُورِ الْعِبَادَاتِ الْمُعَظَّمَةِ شَرْعًا الَّتِي يَجْتَمِعُ فِيهَا النَّاسُ كَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ وَمَوْقِفِ فِي عَرَفَةَ فَكَيْفَ يَكُونُ حُضُورُهُ فِي شَيْءٍ لَمْ يَحْدُثْ إِلَّا بَعْدَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
https://youtu.be/qnVFTLTrn-w Pertanyaan kedua yang diajukan kepada beliau—semoga Allah merahmatinya—berkaitan dengan pertanyaan tentang keyakinan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara yang diadakan untuk merayakan maulid Nabi, yang mereka berdiri (di acara maulid itu) untuk mengagungkan Nabi. Apakah ini boleh dilakukan atau tidak? Maka beliau—semoga Allah merahmatinya—menjawab: Barang siapa mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara maulid Nabi tersebut, maka Al-Qur’an telah membantahnya! Karena klaim kehadiran Nabi itu secara akal hanya memiliki dua kemungkinan: Pertama, kehadiran Nabi yang diklaim itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir dengan jasad dan ruhnya, dan Al-Qur’an secara tegas membantah kemungkinan ini dengan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan mereka pun akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30) Maka wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan kemungkinan beliau hadir secara jasad dan ruh. Kemungkinan kedua, bahwa yang diklaim adalah kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dan ini pun merupakan kedustaan! Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya…” (QS. Az-Zumar: 42). Maka ruh-ruh yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan kematiannya, ditahan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk pergi dan datang. Sehingga dua kemungkinan secara akal yang ada dalam perkara ini, tentang klaim kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keduanya tertolak berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika diklaim bahwa Nabi hadir dengan jasad dan ruh, itu adalah kebohongan! Jika diklaim bahwa Nabi datang dengan ruhnya saja, tanpa jasadnya, itu juga kebohongan, berdasarkan ayat-ayat sebelumnya. Kemudian, penulis—semoga Allah merahmatinya—menguatkan jawaban tersebut dengan mengatakan: “Selain itu, klaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara seperti ini adalah kedustaan atas nama beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan dalam hadis sahih bahwa beliau hadir di acara seperti itu. Apabila tidak ada satu kata pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kehadiran beliau pada ibadah-ibadah yang diagungkan syariat yang di dalamnya orang-orang berkumpul, seperti Salat Jumat, Salat Id, dan wukuf di Arafah, lantas bagaimana beliau hadir di suatu acara yang bahkan baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat? ==== تَضَمَّنَ السُّؤَالُ الثَّانِي الَّذِي رُفِعَ إِلَيْهِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الِاسْتِفْتَاءُ عَنِ اعْتِقَادِ بَعْضِ النَّاسِ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ الَّتِي تُعْقَدُ لِلْمَوْلِدِ وَيَقُوْمُوْنَ لَهُ تَعْظِيْمًا فَهَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ عَنْهُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ فَإِنَّ الْقُرْآنَ يُكَذِّبُهُ لِأَنَّ الْحُضُورَ الْمُدَّعَى لَا يَحْتَمِلُ فِي الْقِسْمَةِ الْعَقْلِيَّةِ إِلَّا أَحَدَ شَيْئَيْنِ أَوَّلُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى حُضُورُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالْقُرْآنُ نَاطِقٌ بِتَكْذِيبِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ فَكَوْنُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيِّتًا يَمْنَعُ حُضُورَ بَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى مُرَادًا بِهِ حُضُورُ رُوحِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا كَذِبٌ أَيْضًا لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ اللَّهُ يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ فَالْأَرْوَاحُ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا الْمَوْتَ مُمْسَكَةٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا تَصَرُّفُ لَهَا فِي الذَّهَابِ وَالْمَجِيءِ فَالِاحْتِمَالَانِ الْعَقْلِيَّانِ الْوَارِدَانِ عَلَى هَذَا الْمَحَلِّ فِي دَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلَاهُمَا مَرْدُودَانِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ فَإِنِ ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ وَإِذَا ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِرُوحِهِ دُونَ بَدَنِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ أَيْضًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْآيَاتِ ثُمَّ قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَعْزِيزِ جَوَابِهِ الْمُتَقَدِّمِ وَأَيْضًا فَدَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ مِنَ الْكَذِبِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخْبِرْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرًا صَادِقًا أَنَّهُ يَحْضُرُ مِثْلَهَا فَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَأْتِ عَنْهُ حَرْفٌ فِي حُضُورِ الْعِبَادَاتِ الْمُعَظَّمَةِ شَرْعًا الَّتِي يَجْتَمِعُ فِيهَا النَّاسُ كَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ وَمَوْقِفِ فِي عَرَفَةَ فَكَيْفَ يَكُونُ حُضُورُهُ فِي شَيْءٍ لَمْ يَحْدُثْ إِلَّا بَعْدَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


https://youtu.be/qnVFTLTrn-w Pertanyaan kedua yang diajukan kepada beliau—semoga Allah merahmatinya—berkaitan dengan pertanyaan tentang keyakinan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara yang diadakan untuk merayakan maulid Nabi, yang mereka berdiri (di acara maulid itu) untuk mengagungkan Nabi. Apakah ini boleh dilakukan atau tidak? Maka beliau—semoga Allah merahmatinya—menjawab: Barang siapa mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara maulid Nabi tersebut, maka Al-Qur’an telah membantahnya! Karena klaim kehadiran Nabi itu secara akal hanya memiliki dua kemungkinan: Pertama, kehadiran Nabi yang diklaim itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir dengan jasad dan ruhnya, dan Al-Qur’an secara tegas membantah kemungkinan ini dengan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan mereka pun akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30) Maka wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan kemungkinan beliau hadir secara jasad dan ruh. Kemungkinan kedua, bahwa yang diklaim adalah kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dan ini pun merupakan kedustaan! Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya…” (QS. Az-Zumar: 42). Maka ruh-ruh yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan kematiannya, ditahan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk pergi dan datang. Sehingga dua kemungkinan secara akal yang ada dalam perkara ini, tentang klaim kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keduanya tertolak berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika diklaim bahwa Nabi hadir dengan jasad dan ruh, itu adalah kebohongan! Jika diklaim bahwa Nabi datang dengan ruhnya saja, tanpa jasadnya, itu juga kebohongan, berdasarkan ayat-ayat sebelumnya. Kemudian, penulis—semoga Allah merahmatinya—menguatkan jawaban tersebut dengan mengatakan: “Selain itu, klaim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-acara seperti ini adalah kedustaan atas nama beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan dalam hadis sahih bahwa beliau hadir di acara seperti itu. Apabila tidak ada satu kata pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kehadiran beliau pada ibadah-ibadah yang diagungkan syariat yang di dalamnya orang-orang berkumpul, seperti Salat Jumat, Salat Id, dan wukuf di Arafah, lantas bagaimana beliau hadir di suatu acara yang bahkan baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat? ==== تَضَمَّنَ السُّؤَالُ الثَّانِي الَّذِي رُفِعَ إِلَيْهِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الِاسْتِفْتَاءُ عَنِ اعْتِقَادِ بَعْضِ النَّاسِ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ الَّتِي تُعْقَدُ لِلْمَوْلِدِ وَيَقُوْمُوْنَ لَهُ تَعْظِيْمًا فَهَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ عَنْهُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْضُرُ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ فَإِنَّ الْقُرْآنَ يُكَذِّبُهُ لِأَنَّ الْحُضُورَ الْمُدَّعَى لَا يَحْتَمِلُ فِي الْقِسْمَةِ الْعَقْلِيَّةِ إِلَّا أَحَدَ شَيْئَيْنِ أَوَّلُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى حُضُورُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالْقُرْآنُ نَاطِقٌ بِتَكْذِيبِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ فَكَوْنُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيِّتًا يَمْنَعُ حُضُورَ بَدَنِهِ وَرُوحِهِ وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْحُضُورُ الْمُدَّعَى مُرَادًا بِهِ حُضُورُ رُوحِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا كَذِبٌ أَيْضًا لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ اللَّهُ يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ فَالْأَرْوَاحُ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا الْمَوْتَ مُمْسَكَةٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا تَصَرُّفُ لَهَا فِي الذَّهَابِ وَالْمَجِيءِ فَالِاحْتِمَالَانِ الْعَقْلِيَّانِ الْوَارِدَانِ عَلَى هَذَا الْمَحَلِّ فِي دَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلَاهُمَا مَرْدُودَانِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ فَإِنِ ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِبَدَنِهِ وَرُوحِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ وَإِذَا ادُّعِيَ أَنَّهُ يَحْضُرُ بِرُوحِهِ دُونَ بَدَنِهِ فَذَلِكَ كَذِبٌ أَيْضًا لِمَا تَقَدَّمَ مِنَ الْآيَاتِ ثُمَّ قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَعْزِيزِ جَوَابِهِ الْمُتَقَدِّمِ وَأَيْضًا فَدَعْوَى حُضُورِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْحَفَلَاتِ مِنَ الْكَذِبِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخْبِرْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرًا صَادِقًا أَنَّهُ يَحْضُرُ مِثْلَهَا فَإِذَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَأْتِ عَنْهُ حَرْفٌ فِي حُضُورِ الْعِبَادَاتِ الْمُعَظَّمَةِ شَرْعًا الَّتِي يَجْتَمِعُ فِيهَا النَّاسُ كَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ وَمَوْقِفِ فِي عَرَفَةَ فَكَيْفَ يَكُونُ حُضُورُهُ فِي شَيْءٍ لَمْ يَحْدُثْ إِلَّا بَعْدَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Prev     Next