Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba

Daftar Isi ToggleSejarah masjid QubaKeutamaan masjid QubaSejarah masjid QubaDi dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah.Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan.Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.”Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء“Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326)Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan,نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً“Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713)Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ“Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108)Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau.Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam MasjidKeutamaan masjid QubaMasjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah.Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan,كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه“Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399)Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci,أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها.“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191)Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu,مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ“Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda,الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ“Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah.Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173)Wallahu a’lam bisshowaab.Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid?***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Sejarah dan Keutamaan Masjid Quba

Daftar Isi ToggleSejarah masjid QubaKeutamaan masjid QubaSejarah masjid QubaDi dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah.Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan.Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.”Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء“Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326)Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan,نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً“Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713)Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ“Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108)Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau.Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam MasjidKeutamaan masjid QubaMasjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah.Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan,كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه“Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399)Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci,أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها.“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191)Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu,مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ“Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda,الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ“Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah.Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173)Wallahu a’lam bisshowaab.Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid?***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleSejarah masjid QubaKeutamaan masjid QubaSejarah masjid QubaDi dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah.Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan.Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.”Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء“Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326)Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan,نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً“Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713)Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ“Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108)Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau.Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam MasjidKeutamaan masjid QubaMasjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah.Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan,كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه“Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399)Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci,أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها.“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191)Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu,مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ“Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda,الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ“Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah.Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173)Wallahu a’lam bisshowaab.Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid?***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleSejarah masjid QubaKeutamaan masjid QubaSejarah masjid QubaDi dalam kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju Madinah, terdapat begitu banyak pelajaran dan keutamaan yang didapatkan oleh kaum muslimin ketika itu. Tidak dipungkiri, kaum muslimin berkorban begitu banyak, mereka tinggalkan rumah-rumah mereka di Makkah, mereka tinggalkan kekayaan yang sudah bertahun-tahun mereka kumpulkan, mereka tinggalkan keluarga-keluarga mereka yang masih musyrik di kota Makkah. Semua itu dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah ke kota Madinah.Allah tidak pernah mengecewakan para hamba-Nya. Dengan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah, Allah ganti kehilangan dan kesedihan mereka dengan nikmat yang lebih besar; yaitu kebebasan di dalam beribadah dan menjalankan syariat Islam, tidak ada lagi yang mengganggu mereka di dalam melaksanakannya, bahkan kaum muslimin pada akhirnya dapat mendirikan tempat ibadah mereka sendiri, membangun masjid yang di dalamnya mereka dapat bebas beribadah dan bermunajat kepada Allah tanpa adanya gangguan.Saudaraku sekalian, jika kita ditanya perihal masjid apakah yang pertama kali dibangun oleh kaum muslimin, maka jawabannya adalah masjid Quba, masjid yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah Ta’ala oleh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (3: 58) ketika menyebutkan kisah kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke kota Madinah, “Kaum muslimin bertakbir karena gembira dengan kedatangan beliau dan mereka keluar untuk menemuinya … Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Quba, di perkampungan Bani Amr bin Auf, lalu tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Pada waktu singgahnya tersebut, beliau mendirikan masjid Quba, masjid pertama yang didirikan setelah kenabian.”Syekh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,ومن حيث الأولية النسبية: فالمسجد الحرام أول بيت وضع للناس، ومسجد قباء أول مسجد بناه المسلمون، والمسجد الحرام بناه الخليل، ومسجد قباء بناه خاتم المرسلين، والمسجد الحرام كان مكانه باختيار من الله وشبيه به مكان مسجد قباء“Dari sisi masjid pertama yang bersifat relatif: Masjidil Haram adalah rumah (Allah) pertama yang diletakkan untuk manusia, dan masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh kaum muslimin, Masjidil Haram dibangun oleh Al-Khalil (Ibrahim), dan masjid Quba dibangun oleh penutup para Rasul (Muhammad), Masjidil Haram tempatnya dipilih oleh Allah dan begitu pula dengan tempat masjid Quba.” (Adhwa’ Al-Bayan, 8: 326)Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun secara langsung oleh tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Diriwayatkan oleh shahabiyat Asy-Syamus binti An-Nu’man, beliau radhiyallahu anha mengisahkan,نظرتُ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حين قدِمَ ونزل وأسَّسَ هذا المسجدَ مسجد قباء فرأَيْتُهُ يأخذُ الحجرَ والصخرةَ حتى يَصْهَرَهُ الحجرُ وأنظُرُ إلى بياضِ الترابِ على بطنِهِ أوْ سُرَّتِهِ فَيَأْتِي الرجلُ من أَصْحَابِهِ ويقولُ بِأَبِي وأُمِّي يا رسولَ اللهِ أعْطِني أَكْفِكَ فيقولُ لا خذْ مثلَه حتى أسَّسَهُ. ويقولُ إنَّ جبريلَ عليه السلامُ هو يومُ الكَعْبَةِ قال فكان يقالُ أنه أقومُ مسجِدٍ قِبْلةً“Aku melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, singgah, dan mendirikan masjid ini, masjid Quba. Aku melihat beliau mengambil batu dan bongkahan batu hingga batu itu menyakiti beliau. Aku melihat putihnya debu di perut atau pusar beliau. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari sahabatnya dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, berikan padaku, aku akan cukupkan bagimu (menggantikanmu dalam mengambil dan menyusun batu tersebut).” Beliau menjawab, “Tidak, ambillah batu yang semisal dengannya (beliau menolak untuk digantikan dan meminta sahabat tersebut untuk ikut serta membantu),” hingga beliau mendirikannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam adalah kompas Ka’bah.” Dikatakan bahwa masjid Quba adalah masjid yang paling lurus kiblatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, 24: 318 [802] dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash-Shahabah, 7713)Allah Ta’ala memuji orang-orang yang membangun masjid ini dan para sahabat yang berjemaah di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ“Janganlah kamu (wahai Muhammad) beribadah dalam masjid itu selama-lamanya (masjid Dhirar, masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik). Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu untuk salat di dalamnya. Di dalam masjid tersebut terdapat orang-orang yang gemar bersuci dan membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108)Sungguh, masjid Quba merupakan salah satu masjid yang memiliki keutamaan besar serta menjadi penanda kisah perjalanan hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim yang sedang berada di kota Madinah sudah sepatutnya menziarahinya dan salat di dalamnya. Hal ini sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan beliau.Baca juga: Sebuah Kerisauan Mengenai Nada Dering Handphone di Dalam MasjidKeutamaan masjid QubaMasjid Quba merupakan masjid yang memiliki tempat spesial di hati Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kecintaan beliau kepada penduduk di sekeliling masjid tersebut yang telah menyambut beliau tatkala datang pertama kali ke kota Madinah.Kecintaan beliau terlihat dari kebiasaan beliau untuk menyempatkan waktu khusus dalam rangka mengunjungi masjid Quba secara berkala, bahkan para ulama mengatakan bahwa beliau mengunjungi masjid Quba setiap pekan. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan,كانَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ كُلَّ سَبْتٍ ماشِيًا وراكِبًا. وكانَ عبدُ اللَّهِ بنُ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما يَفْعَلُه“Rasulullah ﷺ biasa mendatangi masjid Quba setiap Sabtu. Beliau mendatanginya dengan berjalan kaki atau menunggang kendaraan. Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari no. 1193 dan Muslim no. 1399)Di hadis lainnya, sahabat Ibnu Umar menjelaskan sunah mendatangi masjid Quba ini dengan lebih terperinci,أنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما كانَ لا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إلَّا في يَومَيْنِ: يَومَ يَقْدَمُ بمَكَّةَ؛ فإنَّه كانَ يَقْدَمُها ضُحًى فَيَطُوفُ بالبَيْتِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ خَلْفَ المَقامِ، ويَومَ يَأْتي مَسْجِدَ قُباءٍ؛ فإنَّه كانَ يأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فإذا دَخَلَ المَسْجِدَ كَرِهَ أنْ يَخْرُجَ منه حتَّى يُصَلِّيَ فيه، قالَ: وكانَ يُحَدِّثُ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَزُورُهُ راكِبًا وماشِيًا، قالَ: وكانَ يقولُ: إنَّما أصْنَعُ كما رَأَيْتُ أصْحابِي يَصْنَعُونَ، ولا أمْنَعُ أحَدًا أنْ يُصَلِّيَ في أيِّ ساعةٍ شاءَ مِن لَيْلٍ أوْ نَهارٍ، غيرَ أنْ لا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ ولا غُرُوبَها.“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melaksanakan salat Dhuha kecuali pada dua hari: (1) hari ketika ia tiba di Makkah; karena ia tiba di sana pada waktu Dhuha, lalu thawaf di Ka’bah, kemudian salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim; dan (2) hari ketika ia datang ke masjid Quba; karena ia mendatanginya setiap hari Sabtu, dan apabila ia masuk masjid, ia tidak suka keluar darinya hingga ia salat di dalamnya. Ia berkata menceritakan kondisi ketika itu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjunginya (masjid Quba) dengan berkendaraan dan berjalan kaki.” Ia (Abdullah bin Umar) berkata kembali, “Sesungguhnya aku melakukan sebagaimana aku melihat sahabat-sahabatku melakukannya, dan aku tidak melarang seorang pun untuk salat pada waktu kapan pun yang ia mau, baik malam maupun siang hari. Hanya saja, janganlah kalian sengaja memilih salat di waktu terbitnya matahari dan terbenamnya matahari.” (HR. Bukhari no. 1191)Bagi mereka yang sedang berada di Madinah, baik dalam rangka berhaji atau umrah, maka sangat dianjurkan untuk datang dan melaksanakan salat di masjid Quba, karena ini merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau amalkan secara rutin.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyampaikan kepada kita akan adanya pahala yang besar bagi mereka yang datang ke masjid Quba lalu melaksanakan salat, minimalnya dua rakaat. Beliau bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu,مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ“Siapa saja yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba, lantas ia melaksanakan salat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah no. 1412, An-Nasai no. 699. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Di dalam hadis riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafaz yang berbeda,الصَّلاةُ في مسجدِ قُباءٍ كعمرةٍ“Salat di masjid Quba, (pahalanya) seperti umrah.” (HR. Tirmidzi no. 324 dan Ibnu Majah no. 1411. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan)Dengan seseorang telah berwudu terlebih dahulu dari tempat tinggalnya, lalu berangkat menuju masjid Quba dan salat dua rakaat di dalamnya, maka ia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala melaksanakan ibadah umrah. Sungguh ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar dan harus dimanfaatkan oleh kaum muslimin apabila sedang berada di kota Madinah.Ketahuilah juga wahai saudaraku, dengan melaksakan sunah yang beliau ajarkan ini, maka ini merupakan salah bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Allah Ta’ala di dalam surah Ali Imran ayat 31,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Ali ‘Imran: 31)Terdapat keutamaan yang besar juga bagi mereka yang menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengajarkannya, lalu banyak dari kaum muslimin yang ikut menghidupkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah no. 209, pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadis ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya. Oleh karena itu, Syekh Al-Albani mensahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah, no. 173)Wallahu a’lam bisshowaab.Baca juga: Pengikut Sunnah Nabi Melarang Wanita ke Masjid?***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Kelahiran Isa Menurut Agama Islam dan Urgensinya bagi Umat Islam

السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 185 times, 1 visit(s) today Post Views: 371 QRIS donasi Yufid

Kelahiran Isa Menurut Agama Islam dan Urgensinya bagi Umat Islam

السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 185 times, 1 visit(s) today Post Views: 371 QRIS donasi Yufid
السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 185 times, 1 visit(s) today Post Views: 371 QRIS donasi Yufid


السؤال لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر ” كانون أول ” ، وخصوصاً أن موسم الرطَب هو في شهر الصيف ، فما هو التاريخ التقريبي لميلاد المسيح عليه الصلاة والسلام ؟ Pertanyaan: Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih (Isa dalam agama Islam atau Yesus dalam agama Nasrani, pent.) bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember), apalagi karena musim kurma terjadi pada bulan-bulan di musim panas. Jadi, kapan perkiraan lahirnya al-Masih ʿAlaihis Salām? الجواب الحمد لله. أولاً: مسألة تحديد وقت ميلاد المسيح عيسى بن مريم عليه السلام عليها تنبيهات : 1. أنها من الغيب الذي لا يمكن لأحدٍ الجزم به ، إلا أن يكون ممن يوحي لهم الله تعالى بوحيٍ من عنده ؛ لأنه لا سبيل لمعرفة ذلك إلا به ؛ لانقطاع الأسانيد بيننا وبين ذلك الزمان ، ولاختلاف النقلة في تحديد وقت ميلاده عليه السلام . Jawaban: Alhamdulillah. Pertama, ada beberapa catatan berkenaan dengan kapan tepatnya waktu kelahiran al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām: Bahwa peristiwa itu termasuk perkara gaib, yang tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya, kecuali orang yang telah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berikan wahyu dari sisi-Nya kepadanya. Hal itu karena tidak ada cara untuk mengetahui hal ini kecuali dengan itu; sebab rantai sanad antara kita dengan zaman itu telah terputus. Di samping adanya perbedaan kutipan-kutipan tentang waktu kelahirannya ʿAlaihis Salām. 2. أن معرفة ذلك الوقت علم لا ينفع ، والجهل به غير ضارٍّ ، ولو كان في معرفة ذلك فائدة لجاءتنا النصوص به ، ثم لو عرفنا وقت ميلاده : فما هو وقت ميلاد موسى ، وإبراهيم ، وغيرهما من الأنبياء والرسل ؟! وما فائدة معرفة ذلك الوقت ؟! وهذا يقودنا إلى التنبيعه الثالث . Bahwa mengetahui kapan peristiwa itu terjadi tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Tidak mengetahuinya juga tidak masalah. Seandainya mengetahui hal itu berfaedah, tentu nas-nas syariat akan mengabarkannya kepada kita. Lalu, jika kita mengetahui waktu kelahiran beliau ʿAlaihis Salām, lantas bagaimana dengan waktu kelahiran Musa, Ibrahim, dan para Nabi serta Rasul yang lainnya?! Apa manfaat mengetahui waktu itu?! Hal ini kemudian mengantarkan kita kepada catatan yang ketiga. 3. ميلاد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم أقرب من ميلاد عيسى بن مريم ، وكان ابناً في بيئة تتجه لها أنظار العالَم – مكة المكرمة – ، وكان ابنا لشرفاء وسادة تلك البقعة ، ومع ذلك كله لا يُعرف على التحديد وقت ميلاده صلى الله عليه وسلم ، والخلاف في تحديد مشهور . Bahwa kelahiran Nabi kita Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang lebih dekat masa kelahirannya dengan masa kita daripada masa kelahiran Isa bin Maryam ʿAlaihis Salām, yang mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah anak dari sebuah daerah yang menjadi perhatian dunia —Makkah al-Mukarramah— dan putra dari keluarga bangsawan dan penguasa di wilayah itu, meskipun demikian, waktu kelahiran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tidak diketahui. Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah pembahasan yang terkenal. ثانياً: وجزم الأخ السائل بأنه ” لا شك بأن موعد ميلاد المسيح لم يكن في شهر كانون أول ” : في غير مكانه ، وليس مع أثبت شيئاً أو نفاه أدلة يطمئن القلب لها ، ولا هو بالشيء الذي يُجزم بحدوثه على التحديد . Kedua, kepastian yang disampaikan saudara kita si penanya ini, “Bisa dipastikan bahwa kelahiran al-Masih bukanlah pada bulan Kanun Pertama (Desember),” bukanlah pada tempatnya, karena hal itu tidak disertai dengan bukti yang bisa menenangkan hati yang membenarkan atau menafikan klaim tersebut. Pun tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan argumentasi untuk memastikan secara spesifik terjadinya peristiwa itu.  وثمة اتجاهات في إثبات وقت ميلاد عيسى بن مريم عليه السلام عند النصارى ، فضلاً عن المسلمين ، فالنصارى يزعمون أنهم أتباع دينه ، وهو ربٌّ لكثير منهم ! أو ابن ربِّهم ! ومع ذلك ليس ثمة اتفاق بينهم على تحديد ميلاده ! . Di kalangan komunitas Nasrani sendiri ada banyak versi tentang waktu kelahiran Isa bin Maryam, apalagi di kalangan umat Islam. Orang-orang Nasrani saja, yang mengaku sebagai pengikut agamanya, dan bahkan kebanyakan mereka mengklaim bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan mereka atau anak Tuhan mereka, namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai kapan kelahiran beliau! ولا يختلف المسلمون عن النصارى في الخلاف في تحديد وقت ميلاد عيسى عليه السلام ، إلا أن الخلاف عندنا منطلقه الفهم لآيات من كتاب الله تعالى فيها التصريح بوجود رطَب على شجرة نخيل عند ولادة عيسى عليه السلام ، ومن ثَمَّ اختلف العلماء عندنا هل كان وقت ميلاده عليه السلام في ” الصيف ” لكون ذلك الوقت موسم تلك الثمرة ، أو كان الأمر كرامة من الله تعالى في إيجاد تلك الثمرة في غير موسمها ، كما أجرى الله تعالى الماء من تحت أمه مريم وقت ولادة ابنها عيسى عليه السلام ، وكما أنطق الله تعالى ابنها وهو طفل صغير ؟! خلاف بين العلماء ، والأظهر – والله أعلم – هو القول الثاني . Umat ​​Islam pun juga tidak berbeda dengan umat Nasrani dalam perbedaan pendapat mereka mengenai kapan dilahirkannya Isa ʿAlaihis Salām, hanya saja perbedaan pendapat di kalangan kita didasarkan atas pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Kitabullah yang menyatakan dengan jelas adanya buah kurma di atas pohon kurma saat Isa ʿAlaihis Salām dilahirkan. Dari sinilah para ulama kita berbeda pendapat apakah waktu kelahirannya adalah saat musim panas —karena itu adalah waktu musim buah tersebut— atau itu adalah karamah dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā Yang Menjadikan buah itu ada di luar musimnya, sebagaimana Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mengalirkan air dari bawah ibunda beliau, Maryam, pada saat dia melahirkan putranya, Isa ʿAlaihis Salām, dan sebagaimana Dia Subẖānahu wa Taʿālā Membuat anaknya bisa bicara ketika dia masih bayi kecil? Masalah ini diperselisihkan para ulama, dan yang lebih tepat —Allah Yang lebih Mengetahui— adalah pendapat yang kedua. قال الشيخ محمد الأمين الشنقيطي – رحمه الله – : قوله تعالى : ( وَهُزِّى إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) لم يصرِّح جلَّ وعلا في هذه الآية الكريمة ببيان الشيء الذي أمرها أن تأكل منه ، والشيء الذي أمرها أن تشرب منه ، ولكنَّه أشار إلى أن الذي أمرها أن تأكل منه هو : ” الرطَب الجني ” المذكور ، والذي أمرها أن تشرب منه هو النهر المذكور المعبر عنه بـ ” السري ” ، كما تقدم ، هذا هو الظاهر . Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqīṯhi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah.” (QS. Maryam: 25-26) Allah Jalla wa ʿAlā dalam ayat yang mulia ini tidak memberikan penjelasan yang spesifik berkenaan dengan apa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan dan diminum, tetapi ada isyarat secara implisit bahwa yang Dia Perintahkan kepadanya untuk dimakan adalah “Ruṯab Janiy” (kurma yang sudah masak) tersebut. Adapun yang Dia Perintahkan kepadanya untuk diminum adalah air dari anak sungai tersebut, yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan “Sariy” (sungai kecil), sebagaimana telah lalu pembahasannya. Demikian yang tampak dari ayat tersebut. وقال بعض العلماء : إن جذع النخلة الذي أمرها أن تهز به : كان جذعاً يابساً ؛ فلما هزته جعله الله نخلة ذات رطب جني . وقال بعض العلماء : كان الجذع جذع نخلة نابتة ، إلا أنها غير مثمرة ، فلما هزته أنبت الله فيه الثمر ، وجعله رطباً جنيّاً . وقال بعض العلماء : كانت النخلة مثمرة ، وقد أمرها الله بهزها ليتساقط لها الرطب الذي كان موجوداً . Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma yang diperintahkan untuk digoyangkan adalah batang yang sudah kering. Namun ketika digoyang, Allah Menjadikannya pohon kurma yang matang buahnya. Sebagian ulama berkata bahwa pangkal pohon kurma adalah pohon yang hidup, hanya saja belum berbuah. Namun ketika digoyang, Allah Memunculkan buahnya dan Menjadikan kurma matang padanya. Sebagian yang lain berkata bahwa pohon kurma tersebut memang sudah berbuah, Allah Memerintahkannya untuk digoyang agar kurma di atasnya berjatuhan. والذي يُفهم من سياق القرآن : أن الله أنبت لها ذلك الرطب على سبيل خرق العادة ، وأجرى لها ذلك النهر على سبيل خرق العادة ، ولم يكن الرطَب ، والنهر ، موجودين قبل ذلك ، سواء قلنا إن الجذع كان يابساً ، أو نخلة غير مثمرة ، إلا أن الله أنبت فيه الثمر ، وجعله رطباً جَنيّاً  Yang bisa dipahami dari konteks dalam al-Quran ini adalah bahwa Allah Menjadikan kurma itu ada dengan cara yang tidak biasa (karamah dari-Nya) sebagaimana Dia Mengalirkan sungai itu dengan cara yang tidak biasa pula. Buah kurma dan sungai itu belum ada sebelumnya, baik pohonnya sudah kering atau pohonnya tidak berbuah, Allah Yang Memunculkan buahnya dan Menjadikannya kurma yang matang. ، ووجه دلالة السياق على ذلك : أن قوله تعالى : ( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) يدل على أن عينها إنما تقر في ذلك الوقت بالأمور الخارقة للعادة ؛ لأنها هي التي تبين براءتها مما اتهموها به ، فوجود هذه الخوارق ، من تفجير النهر ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : تطمئن إليه نفسها ، وتزول به عنها الربية ، وبذلك يكون قرة عين لها ؛ لأن مجرد الأكل والشرب مع بقاء التهمة التي تمنت بسببها أن تكون قد ماتت من قبل وكانت نسياً منسيّاً : لم يكن قرة لعينها في ذلك الوقت ، كما هو ظاهر  Sisi pendalilan dari konteks tersebut adalah bahwa firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “… maka makan, minum dan bergembiralah,” (QS. Maryam: 25-26) menunjukkan bahwa hatinya menjadi senang karena adanya perkara-perkara yang luar biasa itu, karena itu menjadi penjelas bahwa dia terbebas dari apa yang dituduhkan orang-orang. Jadi, adanya kejadian luar biasa ini —yakni mengalirnya sungai kecil, munculnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara— membuat jiwanya tenang dan menghilangkan keraguannya. Demikianlah dia bisa bergembira, karena sekadar adanya makanan dan minuman takkan membuatnya bergembira waktu itu jika tuduhan itu masih ada. Tuduhan yang sebelumnya membuatnya berharap mati saja dan menjadi orang yang tidak dikenal dan dilupakan, sebagaimana demikian yang tampak dari ayat tersebut. وخرق الله لها العادة بتفجير الماء ، وإنبات الرطب ، وكلام المولود : لا غرابة فيه ، وقد نص الله جل وعلا في ” آل عمران ” على خرقه لها العادة في قوله ( كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا قَالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ إنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ) . قال العلماء : كان يجد عندها فاكهة الصيف في الشتاء ، وفاكهة الشتاء في الصيف ، وإجراء النهر ، وإنبات الرطب : ليس أغرب من هذا المذكور في سورة ” آل عمران ” . ” أضواء البيان ” ( 3 / 397 ) . Karamah berupa mengalirnya sungai kecil, tumbuhnya buah yang matang, dan bayi yang bisa berbicara, yang Allah Berikan kepadanya bukanlah sesuatu yang aneh, karena Allah Jalla wa ʿAlā Menyatakan dalam surah Ali Imran karamah lain yang diberikan kepadanya dalam firman-Nya (yang artinya), “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrabnya (kamar khusus untuk ibadah), dia dapati ada makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?’ Dia (Maryam) menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37) Para ulama berkata bahwa Nabi Zakariya menemukan di sisinya ada buah-buahan musim panas saat musim dingin, dan buah-buahan musim dingin saat musim panas. Jadi, karamah berupa mengalirnya sungai kecil dan munculnya buah yang matang tersebut tidak lebih ajaib daripada karamah yang disebutkan dalam surah Ali Imran. Aḏwāʾ al-Bayān (3/397). هذا هو الذي نراه راجحاً صحيحاً ، وبه نعلم أنه لا يمكننا تكذيب من نقل ميلاد عيسى عليه السلام في الشتاء ، بل هو الأقرب للصواب ؛ لأنه ليس موسماً للرطَب ، لكن هذا القول ليس متفقاً عليه عند النصارى ، ولا عند المسلمين ، وسنذكر فيما يلي عمَّن يرجِّح خلاف ما رجحناه ، ويذكر الخلاف عند النصارى في تحديد ميلاد عيسى عليه السلام . Inilah yang kami anggap pendapat yang paling tepat dan benar. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa kita tidak bisa mengingkari nukilan bahwa kelahiran Isa ʿAlaihis Salām adalah di musim dingin, malah itu lebih mendekati kebenaran, karena saat itu bukanlah musim kurma. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang disepakati oleh orang-orang Nasrani maupun umat Islam. Berikut kami sebutkan tokoh-tokoh yang menguatkan pendapat yang berseberangan dengan yang kami anggap lebih tepat. Akan disebutkan juga perbedaan pendapat di kalangan orang-orang Nasrani mengenai kapan kelahiran Isa ʿAlaihis Salām. قال الأستاذ محمد عزت الطهطاوي : هل وُلد المسيح حقّاً في فصل الشتاء في 25 ديسمبر ، كما يقول النصارى الغربيون ، أو في يناير ، كما يقول النصارى الشرقيون ؟ . ورد في إنجيل ” لوقا ” حكاية عن ميلاد المسيح عليه السلام : ” وكان في تلك الكورة رعاة متبدين ، يحرسون حراسات الليل على رعيتهم ، وإذا ملاك الرب وقف بهم ومجد الرب حولهم ، فخافوا خوفاً عظيماً ، فقال لهم الملاك : ” لاتخافوا ، فها أنا أبشركم بفرح عظيم ، يكون لجميع الشعب ، إنه ولد لكم اليوم في مدينة داود مخلِّص هو المسيح ” . ( إنجيل ” لوقا ” ، إصحاح 2 ، عدد 8-9-10-11 ) . Profesor Muhammad Ezzat al-Tahtawi berkata mempertanyakan apakah al-Masih benar-benar lahir pada musim dingin pada tanggal 25 Desember, seperti yang dikatakan umat Kristen Barat ataukah pada bulan Januari, seperti yang dikatakan umat Kristen Timur. Dalam Injil Lukas, dikisahkan tentang kelahiran al-Masih ʿAlaihis Salām: “Kala itu di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba seorang malaikat Tuhan berdiri di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka, yang membuat mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka, ‘Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepada kalian kegembiraan besar untuk seluruh bangsa; bahwa hari ini telah lahir Juru Selamat untuk kalian, yaitu Kristus.” (Injil Lukas 2: 8-11). ومعنى ذلك : أن يكون الميلاد في وقت يكون الرعي فيه ممكناً في الحقول القريبة من ” بيت لحم ” المدينة التي ولد فيها المسيح عليه السلام ، وهذا الوقت يستحيل أن يكون في الشتاء ؛ لأنه فصل تنخفض فيه درجة الحرارة – وخصوصاً بالليل – بل وتغطي الثلوج تلال أرض ” فلسطين ” ، وجعْل عيد الميلاد للسيد المسيح في فصل الشتاء : لا أساس له إذاً ، بل هو من مخترعات الوضاع يجعله في فصل الشتاء وفي هذه التواريخ المذكورة انفا . Artinya, bahwa kelahirannya terjadi pada saat penggembalaan dimungkinkan dilakukan di padang di dekat Betlehem, kota di mana al-Masih ʿAlaihis Salām dilahirkan. Waktu ini tidak mungkin terjadi pada musim dingin, karena pada musim tersebut suhu sangatlah rendah —terutama pada malam hari— bahkan salju akan menutupi perbukitan tanah Palestina. Jadi, menjadikan kelahiran al-Masih (Natal) di musim dingin tidaklah berdasar, melainkan hanya rekaan dan karangan dengan menjadikannya pada musim dingin dan pada tanggal-tanggal tersebut di atas. ولندلل على ذلك بالاتي : 1- يقول الأسقف ” بارنز ” : غالباً لا يوجد أساس للعقيدة القائلة بأن يوم 25 ديسمبر كان بالفعل ميلاد المسيح ، وإذا ما كان في مقدورنا أن نضع موضع الإيمان قصة ” لوقا ” عن الميلاد مع ترقب الرعاة بالليل في الحقول قريباً من ” بيت لحم ” ؛ فإن ميلاد المسيح لم يكن ليحدث في الشتاء حينما تنخفض درجة الحرارة ليلاً وتغطي الثلوج تلال أرض اليهودية ، ويبدو أن عيد ميلادنا قد اتفق عليه بعد جدل كثير ومناقشات طويلة حوالي عام 300 بعد الميلاد .كتاب ” ظهور المسيحية ” للأسقف بارنز . Kita menguatkan hal itu dengan poin-poin berikut: Uskup Barnes mengatakan bahwa secara umum keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari pasti kelahiran Kristus tidaklah ada dasarnya. Menurut perkiraan kami, dengan mengimani kisah Lukas tentang hari kelahiran tersebut, di mana adanya para gembala yang berjaga pada malam hari di padang dekat Betlehem, maka kelahiran Kristus tidak mungkin terjadi pada musim dingin ketika suhu sangat rendah pada malam hari dan salju menutupi perbukitan tanah Yudea. Tampaknya, hari natal kita ini disepakati sekitar tahun 300 setelah peristiwa kelahiran ini setelah melalui banyak perdebatan dan diskusi panjang. Dari buku “The Rise of Christianity” karya Uskup Barnes. 2- وهذا الرأي الذي ذهب إليه الأسقف ” بارنز ” قد استمده الذين كتبوا بيانات عن عيد الميلاد في ” دائرة المعارف البريطانية ” ، ودائرة ” معارف شاميرز ” ، فقد ورد في الطبعة الخامسة عشرة من المجلد الخامس في الصفحة ( 642 ، 643 أ ) من ” دائرة المعارف البريطانية ” ما يلي : ” لم يقنع أحد مطلقاً بتعين يوم أو سنة لميلاد المسيح – ولكن صمم آباء الكنيسة في عام 340 بعد الميلاد على تحديد تاريخ للاحتفال بالعيد – اختاروا بحكمة يوم الانقلاب الشمسي في الشتاء ، الذي استقر في أذهان الناس ، وكان أعظم أعيادهم أهمية ، ونظراً إلى التغيرات التي حدثت في التقاويم : تغير وقت الانقلاب الشمسي ، وتاريخ عيد الميلاد بأيام قليلة ” . Pendapat yang diyakini oleh Uskup Barnes inilah yang dijadikan rujukan oleh para kontributor pengisi konten tentang Natal dalam Ensiklopedia Britannica dan Ensiklopedia Shamires. Dalam cetakan kelima belas edisi kelima halaman 642-643 A dari Ensiklopedia Britannica disebutkan pernyataan sebagai berikut, “Tidak ada seorang pun yang yakin dalam penentuan hari atau tahun kelahiran Kristus, tetapi para Bapa Gereja pada tahun 340 M mengeluarkan ketetapan tanggal perayaan hari raya natal tersebut. Mereka dengan bijak memilih hari titik balik matahari di musim dingin, yang telah melekat dalam benak orang-orang. Inilah hari raya mereka yang paling penting, mengingat adanya perubahan yang terjadi dalam kalender; yakni ada perubahan beberapa hari dalam waktu titik balik matahari dan hari raya Natal.” 3- ورد في دائرة ” معارف شاميرز ” الآتي : ” كان الناس في كثير من البلاد يعتبرون الانقلاب الشمسي في الشتاء يوم ميلاد الشمس ، وفي روما كان يوم 25 ديسمبر يحتفل فيه بعيد وثني قومي – ولم تستطع الكنيسة أن تلغي هذا العيد ، بل باركته ، كعيد قومي لشمس البر ” . 4- يقول ” بيك ” من علماء تفسير الكتاب المقدس : ” لم يكن ميقات ولادة المسيح شهر ديسمبر على الإطلاق ، فعيد الميلاد عندنا قد بدأ التعارف عليه أخيراً في الغرب .” تفسير الكتاب المقدس ” للدكتور بيك ( ص 727 ) . Ensiklopedia Shamires menyatakan sebagai berikut, “Orang-orang di banyak negara menganggap titik balik matahari musim dingin sebagai hari kelahiran matahari, sementara di Roma, tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari raya paganisme. Pihak gereja tidak dapat menghilangkan hari raya ini, hari libur ini, dan justru mengamininya, menjadikannya seperti hari raya kaum pemuja Matahari Kebenaran.” Beck, salah seorang ahli tafsir kitab Injil, mengatakan bahwa waktu kelahiran Kristus sama sekali bukan terjadi di bulan Desember. Jadi, hari raya natal di tengah kita baru mulai dikenalkan belakangan ini di Barat. Dari buku tafsir Injil karya Dr. Beck (hlm. 727). 5- هناك دليل تاريخي ثابت موثوق به يوضح أن المسيح ولد في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، فقد كتب الدكتور جون د . أفيز في كتابه ” قاموس الكتاب المقدس ” تحت كلمة ” سنة ” : أن البلح ينضج في الشهر اليهودي أيلول ، كما ورد في صفحة ( 117 ) من كتاب ” تفسير الكتاب المقدس ” لـ ” بيك ” العبارة الاتية : ” إن شهر أيلول يطابق عندنا شهر أغسطس ، وسبتمبر ” . Ada bukti sejarah yang valid dan kredibel yang menunjukkan bahwa al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Dr. John D. menulis dalam Kamus Alkitabnya dalam kategori kata “Tahun” bahwa buah-buahan masak di bulan Elul dalam kalender Yahudi. Hal ini sebagaimana disebutkan di halaman (117) buku tafsir Injil karya Beck yang dinyatakan dengan ungkapan berikut, “Bulan Elul bertepatan dengan bulan Agustus dan September dalam kalender kita.”  6- ويقول الدكتور ” بيك ” في مناقشة ” جون ستيوارت ” لمدونة ” من معبد انجورا ” : وعبارة وردت في مصنف صيني قديم ، يتحدث عن رواية وصول الإنجيل للصين سنة 25 – 28 ميلادية ، حيث حدد ميلاد المسيح في عام 8 قبل الميلاد ، في شهر سبتمر ، أو أكتوبر ، وحدد وقت الصلب في يوم الأربعاء عام 24 ميلادية . Dr. Beck dalam sebuah diskusi dengan John Stewart bertajuk ‘Dari Kuil Ankara’ mengatakan bahwa ada pernyataan yang termaktub dalam sebuah tulisan Cina kuno, yang berbicara tentang cerita-cerita sampainya Injil di Cina pada tahun 25-28 M, yang mana disebutkan bahwa kelahiran Kristus adalah pada tahun 8 SM, pada bulan September atau Oktober, dan menyatakan bahwa waktu penyaliban adalah pada hari Rabu tanggal 24 Masehi. النتائج التي تستخلص مما تقدم : 1- ونخلص من كل ذلك طبقا للبحوث السابقة التي أجريت حاليّاً على أصول المسيحية : أن المسيح لم يولد في ديسمبر ، أو يناير ، ولكن في أغسطس ، أو سبتمبر ، ويكون حمْل السيدة مريم لم يبدأ في مارس ، أو إبريل ، كما يريد مؤرخو الكنيسة أن يلزموا الناس باعتقاده ، بل بدأ حملها في نوفمبر ، أو ديسمبر . Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas: Dari semua pernyataan di atas, disertai penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di zaman sekarang mengenai pokok-pokok ajaran agama Kristen, maka kami menyimpulkan bahwa al-Masih tidak lahir pada bulan Desember atau Januari, tetapi pada bulan Agustus atau September, dan bahwa kehamilan Sayidah Maryam tidak dimulai pada bulan Maret atau April —sebagaimana yang diinginkan oleh para sejarawan gereja agar orang-orang memercayainya— melainkan dimulai pada bulan November atau Desember. 2- إن القران الكريم يُستخلص من تفسيره أن المسيح مولود في أغسطس ، أو سبتمبر ، وهذا يتفق مع الحقائق التاريخية ، ومع رواية إنجيل ” لوقا ” ، وإن كان ذلك دون قصد ، وأنه يظهر مما حكاه القرآن عن السيدة ” مريم ” : أنها كانت ترقد عند ولادتها في سقيفة على مكان مرتفع من التل حيث تقف نخلة على منحدر منه ، وكان من الميسور لها أن تصل إلى جذعها ، وتهزه ، وكثرة النخيل في ” بيت لحم ” واضحة في الكتاب المقدس في الإصحاح الأول من ” سِفر القضاة ” ، وكذلك ” قاموس الكتاب المقدس ” المؤلَّف بمعرفة الدكتور ” جونر يفنز ”  Jika disimpulkan dari tafsir-tafsir al-Quran yang mulia, maka al-Masih lahir pada bulan Agustus atau September. Inilah yang sesuai dengan fakta sejarah dan dengan narasi dalam Injil Lukas, meskipun bisa saja itu hanya kebetulan. Berdasarkan apa yang dikisahkan al-Quran tentang Sayidah Maryam, tampaknya saat hendak melahirkan dia berbaring di sebuah tempat berteduh di tempat yang tinggi di atas bukit, di mana ada pohon kurma berdiri di lerengnya, sehingga mudah baginya untuk meraih pangkalnya dan mengguncangnya. Banyaknya pohon kurma di Betlehem jelas sekali tersebut dalam Injil di pasal pertama dalam Kitab Hakim-Hakim, demikian juga dalam buku kamus Alkitab yang penulisnya dikenal dengan nama Dr. Gunnar. ، كما أن حقيقة إرشاد السيدة ” مريم ” إلى نبع – كما ورد في القران الكريم – لتشرب منه : تشير إلى أن ميلاد المسيح قد حدث فعلاً في شهر أغسطس ، أو سبتمبر ، وليس في ديسمبر حيث يكون الجو بارداً كالثلج في كورة اليهودية ، وحيث لا رُطَب فوق النخيل حتى تهز جذع النخلة فتساقط عليها رطباً جنيّاً  Demikian juga fakta bahwa Maryam diarahkan ke sebuah mata air —sebagaimana disebutkan dalam al-Quran— untuk minum darinya mengisyaratkan bahwa kelahiran al-Masih sebenarnya terjadi pada bulan Agustus atau September, bukan di bulan Desember, ketika cuaca sedingin salju di wilayah Yudea dan tidak ada kurma di atas pohon yang bisa diguncang agar kurma-kurma masak berjatuhan darinya. قال تعالى : ( فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيّاً . وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً . فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً ) ، والمعنى : أنه جعل قربَها جدولاً صغيراً كان قد انقطع ماؤه ، ثم جرى ، وامتلأ ، وسمي سريّاً لأن الماء يسري فيه ، وأنه في إمكانها أن تتناول من الرطَب الصالحة للاجتناء إذا أرادت أن تأكل ، وإذا أرادت أن تشرب : أمكنها ذلك من جدول الماء ، الذي كان يسري بجانبها . ” النصرانية والإسلام ” الأستاذ محمد عزت الطهطاوي ( ص 241 – 244 ) مكتبة النور . Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Maka dia ada yang memanggilnya dari arah bawah, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah Menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu (Maryam), niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bergembiralah engkau.’” (QS. Maryam: 24-26) Artinya bahwa Allah Menjadikan di dekatnya ada sebuah sungai kecil yang airnya tidak mengalir, lalu mengalir dan terisi penuh. Dinamakan Sariy karena airnya mengalir dari sela-selanya. Jadi, jika dia ingin makan, dia dapat mengambil kurma yang siap konsumsi, dan jika ingin minum, dia dapat mengambilnya di sumber air itu, yang mengalir di sampingnya. An-Naṣraniyyah wal Islām karya Profesor Muhammad Izzat al-Tahtawi (hlm. 241-244) Maktabah an-Nūr. والخلاصة : ليس في شرعنا ما يثبت تحديد ولادة المسيح عيسى بن مريم عليه السلام ، لا السنة ، والشهر ، واليوم ، ومن قال إن القرآن فيه إشارة إلى أن مولده كان في فصل ” الصيف ” : فمردود ، بما نقلناه من خلاف العلماء أولاً ، وبما هو لائق من كون ذلك الإيجاد للرطَب كان في غير موسمه ، وأما النصارى : فغالبهم يرى أن مولده كان في شهر ” ديسمبر ” ، أو ” يناير ” ، وكان فصل الشتاء ، وثمة من نقد ذلك عندهم ، وبيَّن أنه خطأ ، وأن مولده عليه السلام كان في ” الصيف ” . Kesimpulannya, bahwa dalam syariat kita tidak ada sesuatu pun yang menentukan secara pasti kapan dilahirkannya al-Masih Isa putra Maryam ʿAlaihis Salām, baik tahun, bulan, maupun harinya. Barang siapa yang mengatakan bahwa dalam al-Quran ada isyarat bahwa kelahirannya terjadi pada musim panas, maka pendapat ini tertolak, pertama, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama yang telah kami nukil, kemudian, berdasarkan pendapat yang lebih sesuai bahwa buah kurma itu keluar di luar musimnya. Adapun orang Nasrani, mayoritas mereka berpandangan bahwa kelahirannya terjadi pada bulan Desember atau Januari di musim dingin. Pun pendapat ini juga tidak lepas dari kritik dari kalangan mereka sendiri yang menjelaskan bahwa itu keliru dan bahwa kelahirannya ʿAlaihis Salām terjadi saat musim panas. وبكل حال : ليس ثمة ما يُجزم به ، وليس هذا من العلم النافع ، ولولا تعلق الإجابة بشرح آية من كتاب الله : لما تجشمنا الرد على السؤال ، وإذا كان النصارى قد اختلفوا في أصل عيسى عليه السلام ما هو ، واختلفوا في أصل الاعتقاد : فأنَّى لهم الاتفاق على ما هو دونه ؟! . والله أعلم Bagaimanapun itu, tidak ada bukti yang bisa memastikannya dan ini tidak termasuk ilmu yang bermanfaat. Seandainya jawaban pertanyaan ini tidak berkaitan dengan penjelasan sebuah ayat dalam Kitabullah, maka kami merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut. Jika umat Nasrani saja sudah berbeda pendapat mengenai hakikat asli Isa ʿAlaihis Salām dan berselisih pendapat dalam masalah pokok keyakinan, lalu bagaimana mereka akan bersepakat dalam masalah yang di bawah itu? Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/127509/متى-ولد-عيسى-بن-مريم-وهل-في-القران-اشارة-الى-انه-ولد-في-الصيفPDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 185 times, 1 visit(s) today Post Views: 371 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Merusak Akal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ. فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ. وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ. وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ. وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ. وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا. وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ. وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ. وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ. وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا. وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ. وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ. وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً. وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا. وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ. وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ. وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ. مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى. وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ. وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ.  وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ وَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ. وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ. فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ. Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi. Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk. Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji. Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas. Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95) Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat   21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman, “(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9) Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96)   22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: “Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.” Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’ Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Rasulullah ﷺ melanjutkan: “Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ. قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ. قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ. أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ. وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. “Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’ Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’ Kemudian mereka menjelaskan: Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib. Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan. Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba. Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam. Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.” Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka. (HR. Bukhari, no. 6640)   23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] . “Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.” Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.” Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.” Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).” وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ. Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut. Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41), bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa. Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’” Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah: “Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41) Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini.   24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، “Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.” Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.” وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang. Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan. Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut. Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102.   26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» . “Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya. Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.” Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.” Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya: “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.” فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ. فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ. وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ. وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا. وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ. “Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi. Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya. Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak. Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.” Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia. Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya. Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran. Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa. Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya. Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.” وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ. وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ. وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ. “Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan. Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang. Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali. Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya. Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105.   Catatan: Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati. Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela. Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa. Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat. Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu   27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ. وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» . وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ. فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] . وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘” Hadits ini memiliki dua tafsiran: Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah. Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’. Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40) Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan. Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus? قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌ وَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُ وَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ. Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya. Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya. Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.” Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat. Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107.   Catatan: Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234. Bagaimana memupuk sifat malu? Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam. Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156. Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟ Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka. Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.” Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa. Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata. Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya. Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah. Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya. Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya? Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108.   29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19]. فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ: أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُ وَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ: مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِ فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَ Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19) Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya. Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan: “Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.” Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya: “Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri.   30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ. Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya. Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.” Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu.   31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38). Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Di antara keutamaan tersebut adalah: Pahala besar: وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا “Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146) Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat: إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38) Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman, الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا “(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7) Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman, اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا “Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257) Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka: إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12) Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan: وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ “Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8) Kebersamaan Allah dengan mereka: وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ “Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19) Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat: يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka. Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan: فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48) Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali. Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ “Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44) Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin? Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.”   32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ. فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ. وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ. وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ. وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ. Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya. Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu: “(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.” Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan: – Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn). – Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal). – Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl). – Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal). وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ. Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya: Kesusahan yang berat Kegagalan dan kesengsaraan Ketetapan takdir yang buruk Kegembiraan musuh atas penderitaan kita Bahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.   33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ. Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata, مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ “Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.” Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30) Allah juga berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53) فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ. فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ. Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal. وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ “Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.” Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan. Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya: إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.”   34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ: “Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik. Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah. Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut. Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!” Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka. Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya.   35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ. “Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri. Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah). Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri. Sebagaimana dikatakan: “Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.” Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya. Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya. Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran. Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya.   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Merusak Akal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ. فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ. وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ. وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ. وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ. وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا. وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ. وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ. وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ. وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا. وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ. وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ. وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً. وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا. وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ. وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ. وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ. مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى. وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ. وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ.  وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ وَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ. وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ. فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ. Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi. Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk. Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji. Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas. Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95) Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat   21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman, “(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9) Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96)   22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: “Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.” Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’ Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Rasulullah ﷺ melanjutkan: “Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ. قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ. قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ. أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ. وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. “Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’ Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’ Kemudian mereka menjelaskan: Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib. Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan. Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba. Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam. Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.” Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka. (HR. Bukhari, no. 6640)   23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] . “Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.” Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.” Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.” Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).” وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ. Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut. Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41), bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa. Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’” Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah: “Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41) Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini.   24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، “Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.” Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.” وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang. Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan. Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut. Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102.   26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» . “Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya. Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.” Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.” Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya: “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.” فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ. فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ. وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ. وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا. وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ. “Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi. Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya. Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak. Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.” Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia. Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya. Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran. Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa. Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya. Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.” وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ. وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ. وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ. “Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan. Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang. Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali. Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya. Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105.   Catatan: Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati. Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela. Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa. Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat. Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu   27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ. وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» . وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ. فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] . وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘” Hadits ini memiliki dua tafsiran: Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah. Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’. Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40) Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan. Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus? قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌ وَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُ وَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ. Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya. Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya. Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.” Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat. Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107.   Catatan: Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234. Bagaimana memupuk sifat malu? Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam. Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156. Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟ Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka. Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.” Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa. Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata. Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya. Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah. Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya. Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya? Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108.   29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19]. فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ: أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُ وَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ: مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِ فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَ Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19) Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya. Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan: “Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.” Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya: “Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri.   30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ. Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya. Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.” Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu.   31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38). Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Di antara keutamaan tersebut adalah: Pahala besar: وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا “Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146) Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat: إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38) Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman, الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا “(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7) Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman, اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا “Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257) Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka: إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12) Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan: وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ “Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8) Kebersamaan Allah dengan mereka: وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ “Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19) Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat: يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka. Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan: فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48) Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali. Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ “Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44) Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin? Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.”   32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ. فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ. وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ. وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ. وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ. Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya. Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu: “(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.” Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan: – Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn). – Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal). – Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl). – Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal). وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ. Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya: Kesusahan yang berat Kegagalan dan kesengsaraan Ketetapan takdir yang buruk Kegembiraan musuh atas penderitaan kita Bahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.   33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ. Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata, مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ “Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.” Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30) Allah juga berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53) فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ. فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ. Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal. وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ “Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.” Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan. Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya: إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.”   34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ: “Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik. Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah. Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut. Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!” Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka. Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya.   35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ. “Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri. Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah). Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri. Sebagaimana dikatakan: “Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.” Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya. Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya. Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran. Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya.   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Merusak Akal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ. فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ. وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ. وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ. وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ. وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا. وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ. وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ. وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ. وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا. وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ. وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ. وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً. وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا. وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ. وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ. وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ. مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى. وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ. وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ.  وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ وَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ. وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ. فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ. Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi. Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk. Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji. Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas. Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95) Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat   21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman, “(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9) Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96)   22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: “Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.” Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’ Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Rasulullah ﷺ melanjutkan: “Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ. قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ. قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ. أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ. وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. “Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’ Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’ Kemudian mereka menjelaskan: Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib. Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan. Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba. Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam. Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.” Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka. (HR. Bukhari, no. 6640)   23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] . “Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.” Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.” Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.” Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).” وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ. Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut. Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41), bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa. Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’” Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah: “Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41) Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini.   24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، “Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.” Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.” وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang. Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan. Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut. Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102.   26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» . “Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya. Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.” Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.” Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya: “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.” فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ. فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ. وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ. وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا. وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ. “Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi. Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya. Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak. Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.” Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia. Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya. Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran. Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa. Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya. Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.” وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ. وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ. وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ. “Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan. Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang. Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali. Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya. Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105.   Catatan: Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati. Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela. Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa. Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat. Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu   27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ. وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» . وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ. فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] . وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘” Hadits ini memiliki dua tafsiran: Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah. Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’. Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40) Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan. Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus? قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌ وَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُ وَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ. Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya. Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya. Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.” Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat. Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107.   Catatan: Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234. Bagaimana memupuk sifat malu? Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam. Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156. Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟ Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka. Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.” Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa. Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata. Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya. Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah. Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya. Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya? Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108.   29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19]. فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ: أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُ وَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ: مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِ فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَ Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19) Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya. Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan: “Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.” Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya: “Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri.   30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ. Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya. Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.” Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu.   31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38). Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Di antara keutamaan tersebut adalah: Pahala besar: وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا “Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146) Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat: إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38) Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman, الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا “(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7) Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman, اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا “Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257) Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka: إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12) Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan: وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ “Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8) Kebersamaan Allah dengan mereka: وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ “Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19) Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat: يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka. Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan: فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48) Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali. Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ “Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44) Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin? Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.”   32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ. فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ. وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ. وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ. وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ. Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya. Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu: “(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.” Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan: – Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn). – Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal). – Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl). – Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal). وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ. Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya: Kesusahan yang berat Kegagalan dan kesengsaraan Ketetapan takdir yang buruk Kegembiraan musuh atas penderitaan kita Bahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.   33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ. Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata, مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ “Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.” Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30) Allah juga berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53) فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ. فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ. Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal. وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ “Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.” Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan. Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya: إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.”   34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ: “Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik. Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah. Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut. Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!” Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka. Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya.   35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ. “Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri. Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah). Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri. Sebagaimana dikatakan: “Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.” Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya. Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya. Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran. Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya.   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs


Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.   Daftar Isi tutup 1. Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat 1.1. 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu 1.2. 2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki 1.3. 3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah 1.4. 4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik 1.5. 5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit 1.6. 6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya 1.7. 7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh 1.8. 8. Maksiat menghalangi dari ketaatan 1.9. 9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur 1.10. 10. Dosa Melahirkan Dosa Lain 1.11. 11. Maksiat itu Melemahkan Hati 1.12. 12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat 1.13. 13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu 1.14. 14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah 1.15. 15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya 1.16. 16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya 1.17. 17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan 1.18. 18. Maksiat Merusak Akal 1.19. 19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai 1.20. 20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 1.21. 21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat 1.22. 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat 1.23. 23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi 1.24. 24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi 1.25. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia 1.26. 26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati 1.27. 27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu 1.28. 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah 1.29. 29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah 1.30. 30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan 1.31. 31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput 1.32. 32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat 1.33. 33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana 1.34. 34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati 1.35. 35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟ Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66) Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi? Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini. وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ. Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81) وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ. Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)   Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut: 1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ. Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ. Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)   2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ “Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا. Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa. Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab: إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.” Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.   4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, : الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ. Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah. Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagian ulama salaf pernah berkata, إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي. “Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)   5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا، وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟ Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86) Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala, { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ } “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.” Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah, ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ. Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)   7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ. وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟ “Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati. Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya. Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)   8. Maksiat menghalangi dari ketaatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. “Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya. Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)   9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي. Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ. Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat. قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا. Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] . Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21). فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا. Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut. وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] . Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24). فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ. Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki. وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ. Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)   10. Dosa Melahirkan Dosa Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ. “Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’ Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.” وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ. Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia. وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا. “Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.” وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا. وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا. فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ. “Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan. Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan. Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)   11. Maksiat itu Melemahkan Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ “Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah. Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)   12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ. وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا. وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ، “Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya. Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.” Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih. كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)   13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ. وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ. وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ. وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ. فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ. Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah. Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth. Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib. Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud. Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah. Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي. Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180) Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang? Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» . Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91) (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)   14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ. “Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya. Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18) Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ. “Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)   16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ. قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ. فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ. “Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.” Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’” Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’” Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)   17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ. وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا “Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10) Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.” Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya: “Aku melihat dosa itu mematikan hati, dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan. Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati, dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu. “Apakah yang merusak agama selain para penguasa, ulama buruk, dan para rahibnya?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)   18. Maksiat Merusak Akal Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟ “Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang. Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan. Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)   19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ. كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ. وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ. وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ. “Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14) Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.” Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran. Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)   20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ. فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ. وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ. وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. وَلَعَنَ السَّارِقَ. وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ. وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا. وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ. وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ. وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ. وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا. وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ. وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ. وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً. وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا. وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ. وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ. وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ. وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ. وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ. وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ. مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى. وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ. وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ.  وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ وَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ. وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ. فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ. Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi. Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk. Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji. Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas. Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95) Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat   21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman, “(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9) Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya. (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96)   22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: “Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.” Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’ Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. Rasulullah ﷺ melanjutkan: “Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: ‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’” فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ. فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ. قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ. قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ. أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ. وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ. “Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’ Beliau ﷺ melanjutkan: “Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’ Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’ Kemudian mereka menjelaskan: Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib. Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan. Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba. Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam. Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.” Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka. (HR. Bukhari, no. 6640)   23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] . “Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.” Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.” Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.” Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fatir: 12).” وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ. Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut. Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41), bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa. Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’” Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah: “Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41) Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini.   24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ. “Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan. Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya. Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia. Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101. 25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، “Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.” Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.” وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang. Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan. Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan. وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ. Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut. Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102.   26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» . وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» . “Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya. Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.” Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.” Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya: “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.” فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ. فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ. وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ. وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا. وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ. “Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi. Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya. Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak. Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.” Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia. Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya. Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran. Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa. Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya. Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.” وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ. وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ. وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ. “Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan. Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang. Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali. Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya. Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.” Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105.   Catatan: Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati. Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela. Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa. Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat. Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu   27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ. وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» . وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ. فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] . وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟ Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘” Hadits ini memiliki dua tafsiran: Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah. Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’. Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40) Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan. Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus? قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ. وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌ وَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُ وَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ. Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya. Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya. Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.” Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat. Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107.   Catatan: Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234. Bagaimana memupuk sifat malu? Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam. Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156. Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu 28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟ Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka. Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata: “Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.” Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa. Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata. Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya. Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah. Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya. Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya? Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108.   29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19]. فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ: أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُ وَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ: مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِ فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَ Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19) Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya. Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan: “Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.” Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya: “Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri.   30. Dosa Membuat Hilangnya Ihsan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تُخْرِجُ الْعَبْدَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ وَتَمْنَعُهُ مِنْ ثَوَابِ الْمُحْسِنِينَ، فَإِنَّ الْإِحْسَانَ إِذَا بَاشَرَ الْقَلْبَ مَنَعَهُ عَنِ الْمَعَاصِي، فَإِنَّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ إِلَّا لِاسْتِيلَاءِ ذِكْرِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ عَلَى قَلْبِهِ، بِحَيْثُ يَصِيرُ كَأَنَّهُ يُشَاهِدُهُ، وَذَلِكَ سَيَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ، فَضْلًا عَنْ مُوَاقَعَتِهَا، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ دَائِرَةِ الْإِحْسَانِ، فَاتَهُ صُحْبَةُ رُفْقَتِهِ الْخَاصَّةِ، وَعَيْشُهُمُ الْهَنِيءُ، وَنَعِيمُهُمُ التَّامُّ، فَإِنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا أَقَرَّهُ فِي دَائِرَةِ عُمُومِ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنْ عَصَاهُ بِالْمَعَاصِي الَّتِي تُخْرِجُهُ مِنْ دَائِرَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ» فَإِيَّاكُمْ إِيَّاكُمْ، وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ. Di antara hukuman dari maksiat adalah bahwa ia mengeluarkan seorang hamba dari lingkup ihsan (beribadah dengan kesempurnaan) dan menghalanginya dari pahala orang-orang yang berbuat ihsan. Sebab, apabila ihsan telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan menahan seseorang dari maksiat. Barang siapa menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, maka ia tidak akan sampai pada derajat itu kecuali karena dzikir kepada Allah, cinta, rasa takut, dan harapannya kepada-Nya telah menguasai hatinya, sehingga ia seolah-olah melihat-Nya. Hal inilah yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan keinginan bermaksiat—apalagi sampai terjerumus ke dalamnya. Apabila ia keluar dari lingkup ihsan, maka ia kehilangan kebersamaan dengan golongan khusus orang-orang yang berbuat ihsan, kehidupan mereka yang bahagia, dan kenikmatan mereka yang sempurna. Jika Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia akan tetap ditempatkan dalam lingkup umum kaum mukminin. Namun, jika ia terus bermaksiat hingga terjerumus pada dosa-dosa yang mengeluarkannya dari lingkup iman — sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ إِلَيْهِ فِيهَا النَّاسُ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang peminum khamar meminumnya dalam keadaan ia beriman. Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan ia beriman. Dan tidaklah seseorang merampas rampasan bernilai tinggi — yang membuat mata manusia tertuju kepadanya — dalam keadaan ia beriman.” Maka berhati-hatilah, sungguh berhati-hatilah! Dan pintu taubat masih terbuka sesudah itu.   31. Dosa Membuat Berbagai Pahala yang Allah Janjikan Luput Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمَنْ فَاتَهُ رُفْقَةُ الْمُؤْمِنِينَ، وَحُسْنُ دِفَاعِ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، وَفَاتَهُ كُلُّ خَيْرٍ رَتَّبَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ عَلَى الْإِيمَانِ، وَهُوَ نَحْوُ مِائَةِ خَصْلَةٍ، كُلُّ خَصْلَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. Orang yang terus-menerus berbuat maksiat akan kehilangan berbagai pahala yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman. Ia pun tak lagi termasuk dalam golongan mereka—golongan yang mendapat kebersamaan, dukungan, dan pembelaan dari Allah. Padahal, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hajj: 38). Jika seseorang tak termasuk dalam kelompok yang dibela oleh Allah, maka ia telah kehilangan seluruh kebaikan yang dijanjikan-Nya dalam Al-Qur’an kepada mereka yang beriman. Jumlahnya tak kurang dari seratus keutamaan, dan setiap satu di antaranya lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Di antara keutamaan tersebut adalah: Pahala besar: وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا “Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146) Perlindungan dari keburukan dunia dan akhirat: إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38) Permohonan ampun dari para malaikat pembawa ‘Arsy: Allah berfirman, الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا “(Para malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekitarnya bertasbih memuji Tuhannya, mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Ghafir: 7) Pertolongan dan loyalitas Allah: Siapa yang mendapatkan perwalian dari Allah, maka ia tidak akan hina. Allah Ta’ala berfirman, اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا “Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257) Perintah Allah kepada malaikat-Nya untuk meneguhkan hati mereka: إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Anfal: 12) Mereka mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Rabb mereka, ampunan, dan rezeki yang mulia. Kemuliaan dan kehormatan: وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ “Padahal kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8) Kebersamaan Allah dengan mereka: وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ “Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 19) Kedudukan tinggi di dunia dan akhirat: يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Diberi bagian ganda dari rahmat-Nya, cahaya yang menerangi langkah mereka, dan ampunan atas dosa-dosa mereka. Kecintaan (mawaddah) yang Allah tanamkan untuk mereka: Allah mencintai mereka, dan menjadikan mereka dicintai oleh para malaikat, para nabi, dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Rasa aman dari ketakutan pada hari yang sangat menakutkan: فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Siapa yang beriman dan berbuat baik, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-An‘am: 48) Merekalah orang-orang yang diberi nikmat, yang setiap hari kita diminta untuk memohon agar ditunjukkan ke jalan mereka: Dalam sehari semalam, kita membaca doa dalam shalat, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat…” sebanyak tujuh belas kali. Al-Qur’an hanyalah petunjuk dan penyembuh untuk mereka. قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ “Katakanlah: ‘Ia (Al-Qur’an) adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.’ Namun bagi orang-orang yang tidak beriman, di telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an itu) adalah suatu kebutaan bagi mereka. Mereka itu seakan-akan dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fussilat: 44) Maksud dari ayat ini adalah bahwa iman merupakan sebab yang mendatangkan segala kebaikan, dan setiap kebaikan di dunia dan akhirat bersumber dari iman. Sebaliknya, setiap keburukan di dunia dan akhirat berasal dari ketiadaan iman. Maka, bagaimana bisa ringan bagi seorang hamba untuk melakukan sesuatu yang dapat mengeluarkannya dari lingkaran keimanan dan menghalangi dirinya darinya, walaupun ia belum keluar dari lingkaran keumuman kaum Muslimin? Namun jika ia terus-menerus dalam dosa dan bersikeras di atasnya, dikhawatirkan hatinya menjadi tertutup (tertutupi oleh noda hitam), sehingga ia keluar dari Islam secara keseluruhan. Dari sinilah, timbul rasa takut yang sangat besar di kalangan salaf (generasi terdahulu yang saleh). Sebagaimana perkataan sebagian dari mereka: “Kalian takut pada dosa, sedangkan aku takut pada kekufuran.”   32. Dosa Melemahkan Hati Menuju Allah dan Alam Akhirat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَتِهَا: أَنَّهَا تُضْعِفُ سَيْرَ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، أَوْ تَعُوقُهُ أَوْ تُوقِفُهُ وَتَقْطَعُهُ عَنِ السَّيْرِ، فَلَا تَدَعُهُ يَخْطُو إِلَى اللَّهِ خُطْوَةً، هَذَا إِنْ لَمْ تَرُدَّهُ عَنْ وُجْهَتِهِ إِلَى وَرَائِهِ، فَالذَّنْبُ يَحْجِبُ الْوَاصِلَ، وَيَقْطَعُ السَّائِرَ، وَيُنَكِّسُ الطَّالِبَ، وَالْقَلْبُ إِنَّمَا يَسِيرُ إِلَى اللَّهِ بِقُوَّتِهِ، فَإِذَا مَرِضَ بِالذُّنُوبِ ضَعُفَتْ تِلْكَ الْقُوَّةُ الَّتِي تُسَيِّرُهُ، فَإِنْ زَالَتْ بِالْكُلِّيَّةِ انْقَطَعَ عَنِ اللَّهِ انْقِطَاعًا يَبْعُدُ تَدَارُكُهُ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ. فَالذَّنْبُ إِمَّا يُمِيتُ الْقَلْبَ، أَوْ يُمْرِضُهُ مَرَضًا مُخَوِّفًا، أَوْ يُضْعِفُ قُوَّتَهُ وَلَا بُدَّ حَتَّى يَنْتَهِيَ ضَعْفُهُ إِلَى الْأَشْيَاءِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي اسْتَعَاذَ مِنْهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ: « [الْهَمُّ، وَالْحَزَنُ، وَالْعَجْزُ، وَالْكَسَلُ، وَالْجُبْنُ، وَالْبُخْلُ، وَضَلَعُ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةُ الرِّجَالِ] » وَكُلُّ اثْنَيْنِ مِنْهَا قَرِينَانِ. فَالْهَمُّ وَالْحَزَنُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ الْمَكْرُوهَ الْوَارِدَ عَلَى الْقَلْبِ إِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مُسْتَقْبَلٍ يَتَوَقَّعُهُ أَحْدَثَ الْهَمَّ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمْرٍ مَاضٍ قَدْ وَقَعَ أَحْدَثَ الْحَزَنَ. وَالْعَجْزُ وَالْكَسَلُ قَرِينَانِ: فَإِنْ تَخَلَّفَ الْعَبْدُ عَنْ أَسْبَابِ الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ، إِنْ كَانَ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ فَهُوَ الْعَجْزُ، وَإِنْ كَانَ لِعَدَمِ إِرَادَتِهِ فَهُوَ الْكَسَلُ. وَالْجُبْنُ وَالْبُخْلُ قَرِينَانِ: فَإِنَّ عَدَمَ النَّفْعِ مِنْهُ إِنْ كَانَ بِبَدَنِهِ فَهُوَ الْجُبْنُ، وَإِنْ كَانَ بِمَالِهِ فَهُوَ الْبُخْلُ. وَضَلَعُ الدَّيْنِ وَقَهْرُ الرِّجَالِ قَرِينَانِ: فَإِنَّ اسْتِعْلَاءَ الْغَيْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِحَقٍّ فَهُوَ مِنْ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ بِبَاطِلٍ فَهُوَ مِنْ قَهْرِ الرِّجَالِ. Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa-dosa itu melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kampung akhirat. Bahkan bisa menghambat, menghentikan, atau memutus langkah hati tersebut, sehingga hati tidak bisa melangkah satu langkah pun menuju Allah. Itu pun jika dosa tidak sampai memalingkan hati itu ke arah sebaliknya. Dosa itu menghalangi orang yang sudah dekat, memutus orang yang sedang berjalan, dan membalikkan arah orang yang sedang mencari. Hati hanya dapat berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, dan jika hati itu sakit karena dosa, maka kekuatan yang menggerakkannya akan melemah. Jika kekuatan itu hilang sepenuhnya, maka ia akan terputus total dari Allah dengan jarak yang sangat jauh untuk bisa diraih kembali—dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Dosa akan membunuh hati, atau membuatnya sakit dengan penyakit yang menakutkan, atau melemahkan kekuatannya. Dan pada akhirnya, kelemahan itu akan membawanya kepada delapan hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, yaitu: “(1) Kekhawatiran, (2) kesedihan, (3) kelemahan, (4) kemalasan, (5) sifat pengecut, (6) sifat kikir, (7) lilitan utang, dan (8) tekanan dari orang-orang.” Setiap dua dari delapan hal ini adalah pasangan: – Kekhawatiran dan kesedihan adalah pasangan. Bila sesuatu yang tidak disukai datang dari arah masa depan, maka muncullah kekhawatiran (hamm). Bila datang dari masa lalu, maka timbullah kesedihan (hazn). – Kelemahan dan kemalasan adalah pasangan. Jika seseorang tidak melakukan kebaikan karena tidak mampu, maka itu adalah kelemahan (‘ajz). Jika tidak melakukannya karena tidak mau, maka itu adalah kemalasan (kasal). – Sifat pengecut dan kikir adalah pasangan. Jika seseorang tidak memberi manfaat dengan tubuhnya, maka itu pengecut (jubn); jika tidak memberi manfaat dengan hartanya, maka itu kikir (bukhl). – Lilitan utang dan tekanan dari orang-orang adalah pasangan. Bila tekanan dari orang lain datang karena hak yang belum dipenuhi, itu berasal dari utang (dhala’ dayn); bila datang secara zalim dan batil, itu adalah penindasan (qahr ar-rijaal). وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِهَذِهِ الثَّمَانِيَةِ، كَمَا أَنَّهَا مِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِجَهْدِ الْبَلَاءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ الْقَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَمِنْ أَقْوَى الْأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِزَوَالِ نِعَمِ اللَّهِ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِهِ إِلَى نِقْمَتِهِ وَتَجْلِبُ جَمِيعَ سُخْطِهِ. Intinya, dosa-dosa adalah salah satu sebab terkuat yang mendatangkan delapan perkara tersebut. Juga menjadi sebab datangnya: Kesusahan yang berat Kegagalan dan kesengsaraan Ketetapan takdir yang buruk Kegembiraan musuh atas penderitaan kita Bahkan menjadi penyebab lenyapnya nikmat-nikmat Allah, berubahnya kesejahteraan menjadi musibah, dan mendatangkan seluruh murka-Nya.   33. Maksiat itu Menghilangkan Nikmat dan Mendatangkan Bencana Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ، فَمَا زَالَتْ عَنِ الْعَبْدِ نِعْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا حَلَّتْ بِهِ نِقْمَةٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَا نَزَلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ. Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidak ada satu pun nikmat yang lenyap dari seorang hamba, kecuali karena dosa. Dan tidaklah sebuah musibah menimpanya, kecuali juga karena dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata, مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ “Tidaklah suatu bala turun melainkan karena dosa, dan tidaklah ia terangkat kecuali dengan tobat.” Allah Ta’ala pun telah menegaskan dalam Al-Qur’an, وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syūrā: 30) Allah juga berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Anfāl: 53) فَأَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ نِعَمَهُ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يُغَيِّرُ مَا بِنَفْسِهِ، فَيُغَيِّرُ طَاعَةَ اللَّهِ بِمَعْصِيَتِهِ، وَشُكْرَهُ بِكُفْرِهِ، وَأَسْبَابَ رِضَاهُ بِأَسْبَابِ سُخْطِهِ، فَإِذَا غَيَّرَ غَيَّرَ عَلَيْهِ، جَزَاءً وِفَاقًا، وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ. فَإِنْ غَيَّرَ الْمَعْصِيَةَ بِالطَّاعَةِ، غَيَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِالْعَافِيَةِ، وَالذُّلَّ بِالْعِزِّ. Artinya, Allah tidak akan mencabut suatu nikmat dari seseorang atau suatu kaum, kecuali jika mereka sendiri yang mengubah sikap mereka — dari taat kepada maksiat, dari syukur menjadi kufur, dari sebab-sebab yang diridhai Allah menjadi sebab-sebab yang dimurkai-Nya. Dan apabila mereka telah berubah, maka Allah pun akan mengubah keadaan mereka sebagai balasan yang setimpal. وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ “Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.” Namun, apabila mereka mengganti maksiat dengan ketaatan, maka Allah akan mengganti hukuman dengan keselamatan, dan kehinaan dengan kemuliaan. Allah Ta’ala menegaskan lagi dalam ayat lainnya: إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Dalam salah satu atsar ilahi (riwayat yang dinisbatkan kepada Allah), disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أُحِبُّ، ثُمَّ يَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أَكْرَهُ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يُحِبُّ إِلَى مَا يَكْرَهُ، وَلَا يَكُونُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي عَلَى مَا أَكْرَهُ، فَيَنْتَقِلُ عَنْهُ إِلَى مَا أُحِبُّ، إِلَّا انْتَقَلْتُ لَهُ مِمَّا يَكْرَهُ إِلَى مَا يُحِبُّ “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku cintai, lalu ia berpindah kepada sesuatu yang Aku benci, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia cintai kepada yang ia benci. Dan tidaklah seorang hamba-Ku berada dalam kondisi yang Aku benci, lalu ia berpindah kepada yang Aku cintai, kecuali Aku akan memindahkannya dari yang ia benci kepada yang ia cintai.”   34. Maksiat Menanamkan Rasa Takut dan Cemas dalam Hati Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا مَا يُلْقِيهِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ فِي قَلْبِ الْعَاصِي، فَلَا تَرَاهُ إِلَّا خَائِفًا مَرْعُوبًا. فَإِنَّ الطَّاعَةَ حِصْنُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ، مَنْ دَخَلَهُ كَانَ مِنَ الْآمِنِينَ مِنْ عُقُوبَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ خَرَجَ عَنْهُ أَحَاطَتْ بِهِ الْمَخَاوِفُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ، فَمَنْ أَطَاعَ اللَّهَ انْقَلَبَتِ الْمَخَاوِفُ فِي حَقِّهِ أَمَانًا، وَمَنْ عَصَاهُ انْقَلَبَتْ مَآمِنُهُ مَخَاوِفَ، فَلَا تَجِدُ الْعَاصِيَ إِلَّا وَقَلْبُهُ كَأَنَّهُ بَيْنَ جَنَاحَيْ طَائِرٍ، إِنْ حَرَّكَتِ الرِّيحُ الْبَابَ قَالَ: جَاءَ الطَّلَبُ، وَإِنْ سَمِعَ وَقْعَ قَدَمٍ خَافَ أَنْ يَكُونَ نَذِيرًا بِالْعَطَبِ، يَحْسَبُ أَنَّ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِ، وَكُلَّ مَكْرُوهٍ قَاصِدٌ إِلَيْهِ، فَمَنْ خَافَ اللَّهَ آمَنَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ لَمْ يَخَفِ اللَّهَ أَخَافَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ: “Di antara hukuman maksiat adalah rasa khauf (cemas) dan ru’b (kepanikan, teror jiwa, takut yang melumpuhkan) yang Allah Ta’ala timpakan ke dalam hati pelaku maksiat. Maka, tak akan kamu lihat dirinya melainkan dalam keadaan cemas dan panik. Ketaatan adalah benteng Allah yang paling kokoh. Siapa yang masuk ke dalamnya, ia akan aman dari hukuman dunia dan akhirat. Siapa yang keluar darinya, maka ketakutan akan mengepungnya dari segala arah. Siapa yang taat kepada Allah, rasa takut akan berubah menjadi rasa aman baginya. Sebaliknya, siapa yang durhaka kepada-Nya, rasa aman yang ia miliki akan berubah menjadi rasa takut. Seorang pelaku maksiat itu—tak akan kamu temui kecuali hatinya seperti burung kecil yang gemetar di antara dua sayapnya. Sedikit saja angin menggerakkan daun pintu, ia langsung berkata, “Itu pasti orang yang datang mencariku!” Kalau ia mendengar suara langkah kaki, ia segera takut, “Jangan-jangan ini tanda bahwa aku akan celaka!” Ia merasa seakan-akan setiap teriakan ditujukan kepadanya. Ia membayangkan bahwa segala kejadian buruk sedang menuju ke arahnya. Itulah kondisi hati orang yang durhaka. Barangsiapa takut kepada Allah, Allah akan menjadikannya aman dari segalanya. Sebaliknya, barangsiapa tidak takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya takut dari segalanya.   35. Maksiat Menyebabkan Rasa Sepi dan Terasing Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا أَنَّهَا تُوقِعُ الْوَحْشَةَ الْعَظِيمَةَ فِي الْقَلْبِ فَيَجِدُ الْمُذْنِبُ نَفْسَهُ مُسْتَوْحِشًا، قَدْ وَقَعَتِ الْوَحْشَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، وَبَيْنَ الْخَلْقِ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ، وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ، وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ، فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ لَذَّةَ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوقِعُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ، لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ، وَعَظِيمَ غَبْنِهِ، إِذْ بَاعَ أُنْسَ الطَّاعَةِ وَأَمْنَهَا وَحَلَاوَتَهَا بِوَحْشَةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تُوجِبُهُ مِنَ الْخَوْفِ وَالضَّرَرِ الدَّاعِي لَهُ. كَمَا قِيلَ: فَإِنْ كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّ الطَّاعَةَ تُوجِبُ الْقُرْبَ مِنَ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، فَكُلَّمَا اشْتَدَّ الْقُرْبُ قَوِيَ الْأُنْسُ، وَالْمَعْصِيَةُ تُوجِبُ الْبُعْدَ مِنَ الرَّبِّ، وَكُلَّمَا زَادَ الْبُعْدُ قَوِيَتِ الْوَحْشَةُ. وَلِهَذَا يَجِدُ الْعَبْدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَدُوِّهِ لِلْبُعْدِ الَّذِي بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ مُلَابِسًا لَهُ، قَرِيبًا مِنْهُ، وَيَجِدُ أُنْسًا قَوِيًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُحِبُّ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ. وَالْوَحْشَةُ سَبَبُهَا الْحِجَابُ، وَكُلَّمَا غَلُظَ الْحِجَابُ زَادَتِ الْوَحْشَةُ، فَالْغَفْلَةُ تُوجِبُ الْوَحْشَةَ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الْمَعْصِيَةِ، وَأَشَدُّ مِنْهَا وَحْشَةُ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ، وَلَا تَجِدُ أَحَدًا مُلَابِسًا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا وَيَعْلُوهُ مِنَ الْوَحْشَةِ بِحَسْبِ مَا لَابَسَهُ مِنْهُ، فَتَعْلُو الْوَحْشَةُ وَجْهَهُ وَقَلْبَهُ فَيَسْتَوْحِشُ وَيُسْتَوْحَشُ مِنْهُ. “Di antara hukuman maksiat adalah timbulnya rasa sepi yang sangat mendalam dalam hati. Pelaku dosa akan merasa sendiri, seakan terasing. Ia merasakan jarak yang membentang antara dirinya dengan Rabb-nya, dengan manusia, bahkan dengan dirinya sendiri. Semakin banyak dosa, semakin dalam rasa sepinya. Dan hidup yang paling pahit adalah hidupnya orang-orang yang merasa sepi dan dicekam rasa takut, sedangkan hidup yang paling nikmat adalah hidupnya orang-orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah). Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara kenikmatan maksiat dan akibatnya berupa rasa takut serta kesepian, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya. Ia telah menjual keakraban, rasa aman, dan manisnya ketaatan dengan kesepian, ketakutan, dan mudarat yang ditimbulkan oleh maksiat itu sendiri. Sebagaimana dikatakan: “Jika dosa-dosamu telah membuatmu merasa sepi… maka tinggalkanlah ia jika engkau ingin kembali merasa dekat dan akrab.” Inti dari perkara ini adalah: ketaatan mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya ﷻ. Semakin kuat kedekatan itu, semakin dalam pula rasa keakraban yang dirasakan. Sebaliknya, maksiat menyebabkan keterjauhan dari Allah ﷻ. Semakin jauh seorang hamba dari-Nya, semakin dalam pula rasa kesepiannya. Karena itulah seorang hamba akan merasakan kesepian terhadap musuhnya, sejauh mana pun ia dekat secara fisik, karena adanya jarak hati di antara mereka. Sebaliknya, ia bisa merasakan keakraban yang mendalam dengan orang yang dicintainya, meskipun secara tempat sangat jauh darinya. Kesepian itu muncul karena adanya hijab (penghalang). Semakin tebal hijab tersebut, semakin kuat rasa kesepian itu. Kelalaian menimbulkan kesepian. Yang lebih berat dari kelalaian adalah kesepian akibat maksiat. Dan yang lebih berat lagi adalah kesepian akibat syirik dan kekufuran. Tak ada seorang pun yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut, kecuali akan tampak pada dirinya rasa kesepian, sebanding dengan tingkat keterlibatannya dalam dosa itu. Kesepian itu akan tampak pada wajah dan hatinya. Ia merasa sepi, dan orang lain pun akan merasa asing darinya.   Masih bersambung Insya-Allah …   –   Diupdate pada Rabu pagi, 16 Dzulqa’dah 1446 H, 14 Mei 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs

Fikih Salat Zawal

Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibacaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut,أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1]Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya.Hadis-hadis tentang salat zawalTerdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut:Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah.Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’Beliau menjawab,إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam)Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi)Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2]Keutamaan salat zawalSalat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Amal saleh diangkat ke langitSebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat).Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163)Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat TawafTata cara salat zawalBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal:Empat rakaat setelah tergelincirnya matahariSalat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam.Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan,وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا“Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4]Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5]Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam.Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ“Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6]Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam.Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan,وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ“Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8]Memperpanjang salatDari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289)Doa dan zikir yang dibacaTerkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut,يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9]Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan.Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031[2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi.[3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat.[5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275[6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285[7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455.[8] Ibid, 2: 122.[9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.

Fikih Salat Zawal

Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibacaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut,أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1]Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya.Hadis-hadis tentang salat zawalTerdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut:Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah.Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’Beliau menjawab,إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam)Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi)Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2]Keutamaan salat zawalSalat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Amal saleh diangkat ke langitSebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat).Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163)Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat TawafTata cara salat zawalBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal:Empat rakaat setelah tergelincirnya matahariSalat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam.Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan,وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا“Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4]Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5]Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam.Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ“Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6]Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam.Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan,وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ“Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8]Memperpanjang salatDari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289)Doa dan zikir yang dibacaTerkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut,يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9]Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan.Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031[2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi.[3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat.[5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275[6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285[7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455.[8] Ibid, 2: 122.[9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.
Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibacaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut,أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1]Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya.Hadis-hadis tentang salat zawalTerdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut:Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah.Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’Beliau menjawab,إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam)Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi)Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2]Keutamaan salat zawalSalat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Amal saleh diangkat ke langitSebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat).Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163)Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat TawafTata cara salat zawalBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal:Empat rakaat setelah tergelincirnya matahariSalat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam.Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan,وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا“Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4]Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5]Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam.Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ“Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6]Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam.Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan,وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ“Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8]Memperpanjang salatDari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289)Doa dan zikir yang dibacaTerkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut,يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9]Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan.Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031[2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi.[3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat.[5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275[6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285[7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455.[8] Ibid, 2: 122.[9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.


Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibacaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut,أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1]Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya.Hadis-hadis tentang salat zawalTerdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut:Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah.Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’Beliau menjawab,إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam)Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda,إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi)Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2]Keutamaan salat zawalSalat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Amal saleh diangkat ke langitSebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat).Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163)Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat TawafTata cara salat zawalBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal:Empat rakaat setelah tergelincirnya matahariSalat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam.Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan,وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا“Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4]Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5]Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam.Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ“Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6]Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam.Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan,وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ“Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8]Memperpanjang salatDari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan,كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289)Doa dan zikir yang dibacaTerkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut,يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9]Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan.Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031[2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi.[3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat.[5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275[6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285[7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455.[8] Ibid, 2: 122.[9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.

Mengapa Al-Qur’an Tak Tersentuh Perubahan Sejak 1400 Tahun Lalu? Ini Jawabannya

Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ

Mengapa Al-Qur’an Tak Tersentuh Perubahan Sejak 1400 Tahun Lalu? Ini Jawabannya

Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ
Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ


Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ

Teks Khotbah Jumat: Jangan Pernah Khawatir atas Rezekimu, karena Allah yang Menjamin

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian.Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala.Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman,وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643)Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya.Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya.Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya.قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315)Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya,وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6)Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya.Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah.Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta.Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman,فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُBaca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari AllahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit.Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya.Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita.هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya.Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala,ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Jangan Pernah Khawatir atas Rezekimu, karena Allah yang Menjamin

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian.Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala.Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman,وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643)Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya.Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya.Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya.قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315)Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya,وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6)Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya.Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah.Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta.Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman,فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُBaca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari AllahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit.Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya.Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita.هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya.Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala,ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian.Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala.Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman,وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643)Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya.Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya.Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya.قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315)Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya,وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6)Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya.Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah.Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta.Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman,فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُBaca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari AllahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit.Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya.Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita.هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya.Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala,ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِMa’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian.Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala.Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman,وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)Allah Ta’ala juga berfirman,وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643)Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya.Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya.Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya.قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315)Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya,وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6)Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya.Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah.Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta.Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman,فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُBaca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari AllahKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit.Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya.Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita.هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya.Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala,ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah.Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita.إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَBaca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Apa Nama Allah yang Paling Agung? Ini Jawaban yang Disepakati Ulama – Syaikh Shalih al-Ushaimi

Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ

Apa Nama Allah yang Paling Agung? Ini Jawaban yang Disepakati Ulama – Syaikh Shalih al-Ushaimi

Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ
Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ


Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 3)

Daftar Isi ToggleTujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimananTujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah,وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي“Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14)Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah,فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198)Allah Ta’ala berfirman,وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28)Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351)Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah.Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى“Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377)Allah Ta’ala berfirman,وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ“Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45)وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45)Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya.Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ“Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya.Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an.Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala.Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan.Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka.Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya.Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186)Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan)Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 3)

Daftar Isi ToggleTujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimananTujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah,وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي“Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14)Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah,فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198)Allah Ta’ala berfirman,وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28)Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351)Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah.Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى“Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377)Allah Ta’ala berfirman,وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ“Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45)وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45)Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya.Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ“Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya.Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an.Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala.Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan.Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka.Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya.Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186)Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan)Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi ToggleTujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimananTujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah,وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي“Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14)Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah,فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198)Allah Ta’ala berfirman,وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28)Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351)Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah.Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى“Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377)Allah Ta’ala berfirman,وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ“Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45)وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45)Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya.Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ“Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya.Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an.Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala.Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan.Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka.Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya.Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186)Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan)Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi ToggleTujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimananTujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah,وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي“Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14)Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah,فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198)Allah Ta’ala berfirman,وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28)Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351)Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah.Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى“Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377)Allah Ta’ala berfirman,وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ“Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45)وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45)Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya.Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ“Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614)Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya.Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an.Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala.Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan.Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka.Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya.Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman,وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186)Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan)Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 454 times, 1 visit(s) today Post Views: 382 QRIS donasi Yufid

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 454 times, 1 visit(s) today Post Views: 382 QRIS donasi Yufid
10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 454 times, 1 visit(s) today Post Views: 382 QRIS donasi Yufid


10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 454 times, 1 visit(s) today Post Views: 382 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 5)

Daftar Isi TogglePrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahPrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahMenurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1]Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2]Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata,حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر“Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3]Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata,طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب“Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4]Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى“Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5]Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata,لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان“Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6]Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي“Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8]Perbedaan antara gharar dan maysirDengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10]Hukum al-maysir dalam akad muamalahHaramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah.Dalil dari Al-QuranAllah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91)Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).”Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan.Dalil dari As-SunahAdapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ“Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647)Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan).Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14], jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16]Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan).Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه“Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17]Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18]Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر“Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل“Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20]Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahDi antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah,“Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya.Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar.Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.”Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah,إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا“Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21][Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***@Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504.[2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351.[3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493.[4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas.[5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225.[6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas.[7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83.[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237.[9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434.[10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61.[11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.  [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.”[13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398)[14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ“Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524)[15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284)Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak).[16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824.[17] Al-Furusiyah, hal. 175-176.[18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108.[19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387.[20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah.[21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 5)

Daftar Isi TogglePrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahPrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahMenurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1]Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2]Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata,حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر“Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3]Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata,طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب“Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4]Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى“Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5]Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata,لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان“Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6]Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي“Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8]Perbedaan antara gharar dan maysirDengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10]Hukum al-maysir dalam akad muamalahHaramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah.Dalil dari Al-QuranAllah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91)Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).”Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan.Dalil dari As-SunahAdapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ“Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647)Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan).Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14], jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16]Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan).Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه“Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17]Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18]Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر“Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل“Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20]Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahDi antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah,“Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya.Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar.Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.”Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah,إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا“Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21][Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***@Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504.[2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351.[3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493.[4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas.[5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225.[6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas.[7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83.[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237.[9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434.[10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61.[11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.  [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.”[13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398)[14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ“Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524)[15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284)Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak).[16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824.[17] Al-Furusiyah, hal. 175-176.[18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108.[19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387.[20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah.[21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.
Daftar Isi TogglePrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahPrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahMenurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1]Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2]Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata,حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر“Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3]Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata,طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب“Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4]Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى“Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5]Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata,لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان“Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6]Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي“Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8]Perbedaan antara gharar dan maysirDengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10]Hukum al-maysir dalam akad muamalahHaramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah.Dalil dari Al-QuranAllah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91)Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).”Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan.Dalil dari As-SunahAdapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ“Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647)Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan).Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14], jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16]Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan).Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه“Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17]Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18]Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر“Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل“Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20]Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahDi antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah,“Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya.Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar.Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.”Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah,إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا“Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21][Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***@Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504.[2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351.[3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493.[4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas.[5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225.[6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas.[7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83.[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237.[9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434.[10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61.[11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.  [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.”[13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398)[14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ“Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524)[15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284)Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak).[16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824.[17] Al-Furusiyah, hal. 175-176.[18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108.[19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387.[20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah.[21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.


Daftar Isi TogglePrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahPrinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahMenurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1]Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2]Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata,حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر“Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3]Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata,طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب“Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4]Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى“Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5]Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata,لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان“Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6]Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي“Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8]Perbedaan antara gharar dan maysirDengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10]Hukum al-maysir dalam akad muamalahHaramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah.Dalil dari Al-QuranAllah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91)Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).”Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan.Dalil dari As-SunahAdapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ“Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647)Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan).Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14], jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16]Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan).Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه“Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17]Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18]Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر“Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل“Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20]Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalahDi antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah,“Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya.Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar.Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.”Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah,إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا“Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21][Bersambung]Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6***@Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504.[2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351.[3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493.[4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas.[5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225.[6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas.[7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83.[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237.[9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434.[10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61.[11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.  [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.”[13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398)[14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ“Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524)[15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284)Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak).[16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824.[17] Al-Furusiyah, hal. 175-176.[18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108.[19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387.[20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah.[21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada AllahTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaDi antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ“Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ“Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan)Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman,وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72)Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar).Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung.Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim)Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر“Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146)Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya.Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula.Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Allah berfirman dalam surah Al-Hajj,ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32)Allah juga berfirman,إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38)Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131)Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah.Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak.Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada AllahTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaDi antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ“Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ“Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan)Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman,وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72)Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar).Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung.Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim)Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر“Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146)Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya.Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula.Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Allah berfirman dalam surah Al-Hajj,ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32)Allah juga berfirman,إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38)Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131)Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah.Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak.Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi ToggleTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada AllahTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaDi antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ“Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ“Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan)Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman,وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72)Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar).Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung.Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim)Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر“Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146)Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya.Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula.Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Allah berfirman dalam surah Al-Hajj,ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32)Allah juga berfirman,إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38)Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131)Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah.Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak.Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi ToggleTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada AllahTujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaDi antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ“Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ“Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan)Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman,وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72)Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar).Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung.Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim)Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر“Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146)Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya.Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula.Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196)Allah Ta’ala juga berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya,وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Allah berfirman dalam surah Al-Hajj,ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32)Allah juga berfirman,إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38)Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131)Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah.Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak.Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya.[Bersambung]Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 1)

Daftar Isi TogglePengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhidPengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani)Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya.Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya.Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji:(1) Mewujudkan pemurnian tauhid;(2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka;(3) Merealisasikan takwa kepada Allah;(4) Senantiasa mengingat Allah;(5) Menguatkan keimanan;(6) Memenuhi panggilan Allah;(7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji;(8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam;(9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;(10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin;(11) Mengingat akhirat;(12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah;(13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia;(14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan(15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah.Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya.Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita.Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ)“Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218)Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ“Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ).Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat.Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata,اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ“Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan)Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji.Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985)Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163)[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 1)

Daftar Isi TogglePengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhidPengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani)Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya.Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya.Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji:(1) Mewujudkan pemurnian tauhid;(2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka;(3) Merealisasikan takwa kepada Allah;(4) Senantiasa mengingat Allah;(5) Menguatkan keimanan;(6) Memenuhi panggilan Allah;(7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji;(8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam;(9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;(10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin;(11) Mengingat akhirat;(12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah;(13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia;(14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan(15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah.Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya.Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita.Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ)“Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218)Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ“Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ).Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat.Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata,اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ“Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan)Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji.Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985)Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163)[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi TogglePengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhidPengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani)Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya.Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya.Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji:(1) Mewujudkan pemurnian tauhid;(2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka;(3) Merealisasikan takwa kepada Allah;(4) Senantiasa mengingat Allah;(5) Menguatkan keimanan;(6) Memenuhi panggilan Allah;(7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji;(8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam;(9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;(10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin;(11) Mengingat akhirat;(12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah;(13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia;(14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan(15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah.Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya.Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita.Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ)“Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218)Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ“Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ).Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat.Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata,اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ“Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan)Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji.Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985)Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163)[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi TogglePengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhidPengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani)Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya.Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya.Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji:(1) Mewujudkan pemurnian tauhid;(2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka;(3) Merealisasikan takwa kepada Allah;(4) Senantiasa mengingat Allah;(5) Menguatkan keimanan;(6) Memenuhi panggilan Allah;(7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji;(8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam;(9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;(10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin;(11) Mengingat akhirat;(12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah;(13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia;(14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan(15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah.Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya.Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita.Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ)“Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218)Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ“Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ).Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat.Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata,اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ“Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan)Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji.Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985)Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman,قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163)[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Jutaan Orang Tak Sadar: Pahala Haji & Umrah Hangus karena Sebab Sepele Ini

Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Jutaan Orang Tak Sadar: Pahala Haji & Umrah Hangus karena Sebab Sepele Ini

Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ


Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Hukum Haji Tanpa Tashrih (Izin atau Visa Haji Resmi)

Daftar Isi ToggleBagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIbadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya.Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan,الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ“Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2]Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini.Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas.Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan.Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa?Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa.Dalilnya adalah firman Allah,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3]Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudiلا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا)“Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6]Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahلاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج“Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7]Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahالحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8]Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahطاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان“Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9]Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?Mengapa harus ada tashrih?Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan,1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci.2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan.3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi.4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi.5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah.Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat.Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIslam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني“Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10]Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain.Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin.Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Ali ‘Imran: 97[2] HR. Bukhari dan Muslim[3] QS. An-Nisa: 59[4] QS. At-Taghābun: 16[5] QS. Ali Imran: 97[6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci[7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/[8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766[9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/[10] HR. Bukhari dan Muslim

Hukum Haji Tanpa Tashrih (Izin atau Visa Haji Resmi)

Daftar Isi ToggleBagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIbadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya.Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan,الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ“Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2]Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini.Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas.Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan.Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa?Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa.Dalilnya adalah firman Allah,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3]Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudiلا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا)“Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6]Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahلاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج“Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7]Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahالحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8]Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahطاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان“Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9]Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?Mengapa harus ada tashrih?Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan,1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci.2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan.3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi.4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi.5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah.Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat.Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIslam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني“Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10]Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain.Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin.Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Ali ‘Imran: 97[2] HR. Bukhari dan Muslim[3] QS. An-Nisa: 59[4] QS. At-Taghābun: 16[5] QS. Ali Imran: 97[6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci[7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/[8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766[9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/[10] HR. Bukhari dan Muslim
Daftar Isi ToggleBagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIbadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya.Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan,الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ“Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2]Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini.Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas.Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan.Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa?Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa.Dalilnya adalah firman Allah,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3]Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudiلا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا)“Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6]Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahلاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج“Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7]Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahالحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8]Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahطاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان“Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9]Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?Mengapa harus ada tashrih?Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan,1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci.2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan.3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi.4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi.5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah.Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat.Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIslam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني“Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10]Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain.Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin.Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Ali ‘Imran: 97[2] HR. Bukhari dan Muslim[3] QS. An-Nisa: 59[4] QS. At-Taghābun: 16[5] QS. Ali Imran: 97[6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci[7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/[8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766[9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/[10] HR. Bukhari dan Muslim


Daftar Isi ToggleBagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIbadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya.Allah Ta’ala berfirman,وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan,الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ“Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2]Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini.Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas.Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan.Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa?Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa.Dalilnya adalah firman Allah,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3]Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudiلا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا)“Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6]Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahلاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج“Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7]Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahالحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8]Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahطاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان“Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9]Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?Mengapa harus ada tashrih?Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan,1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci.2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan.3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi.4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi.5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah.Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat.Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa AllahIslam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني“Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10]Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain.Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin.Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Ali ‘Imran: 97[2] HR. Bukhari dan Muslim[3] QS. An-Nisa: 59[4] QS. At-Taghābun: 16[5] QS. Ali Imran: 97[6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci[7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/[8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766[9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/[10] HR. Bukhari dan Muslim
Prev     Next