Ingin Menjadi Orang Paling Mulia di Sisi Allah? Ini Kuncinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ

Ingin Menjadi Orang Paling Mulia di Sisi Allah? Ini Kuncinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ
Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ


Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 6)

Daftar Isi ToggleTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamTujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Di antara tujuan penting ibadah haji adalah mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita akan dapati para jemaah haji sangat bersemangat dalam haji mereka untuk menjadikan setiap amalan mereka sesuai dengan sunah nabinya. Mereka berusaha bertanya kepada ahli ilmu tentang haji mereka, “Apakah jika saya mengerjakan ini boleh?” “Apakah hal ini benar?” “Apakah ini sudah sesuai dengan sunah?” Para jemaah haji sangat semangat sekali untuk melakukan amalan dalam haji mereka dan berusaha menyesuaikan dengan petunjuk sunah. Kita semua mengetahui perkataan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadis Jabir yang terdapat di Shahih Muslim,لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ “Hendaklah kalian mengambil manasik haji kalian dariku.“ (HR. Muslim no. 1297)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal ini saat beliau sedang berhaji. Jemaah haji pun bersemangat dalam perkara perintah agar bisa menunaikannya, demikian pula bersemangat dalam perkara larangan agar bisa meninggalkan dan menjauhinya. Mereka bertanya dengan detail dan berusaha mencari dengan penuh kejujuran agar amal mereka bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perhatikan perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencium hajar aswad,إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270)Demikain pula Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata,طُفتُ معَ عمرَ بنِ الخطَّابِ فاستلمَ الرُّكنَ ، قالَ يَعلى : فَكُنتُ مِمَّا يلي البيتَ ، فلمَّا بلغتُ الرُّكنَ الغربيَّ الَّذي يلي الأسودَ ، جرَرتُ بيدِهِ ليستلمَ ، فقالَ : ما شأنُكَ ؟ فقلتُ : ألا تَستلِمُ ؟ قالَ : ألَم تَطُفْ معَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ؟ فَقلتُ : بلَى ، فقالَ : أفرأيتَهُ يستلمُ هذينِ الرُّكنينِ الغربيَّينِ ؟ فقلتُ : لا ، قالَ : أفليسَ لَكَ فيهِ أسوةٌ حسنةٌ ؟ قالَ : قُلتُ : بلى ، قالَ : فانفُذْ عنكَ“Aku tawaf bersama ‘Umar bin Khaththab, dia mengusap rukun (sudut) hajar Aswad. Ya’la berkata, “Ketika aku di dekat Baitullah, tatkala sampai di rukun setelah hajar Aswad, aku menarik tangan ‘Umar agar ia dapat mengusapnya.” ‘Umar berkata, “Ada apa denganmu?” Aku berkata, “Mengapa kamu tidak menyentuhnya?” ‘Umar berkata, “Bukankah kamu telah tawaf bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Saya bilang, “Ya.” ‘Umar berkata, “Apakah kamu melihat beliau menyentuh dua rukun di sisi barat ini?” Aku menjawab, “Tidak.” ‘Umar berkata, “Apakah tidak ada suri teladan yang baik bagimu pada diri beliau?” Saya berkata, “Tentu.” ‘Umar berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.“ (Musnad Imam Ahmad no. 313)Maksudnya, janganlah melakukan suatu amal apapun kecuali amalan yang sesuai dengan sunah Nabi.Oleh karena itu, di antara tujuan yang agung dan faidah penting yang didapatkan seorang muslim dalam hajinya adalah bersemangat dalam setiap kehidupannya agar seluruh ibadahnya bersesuaian dengan syariat Allah. Dia hendaknya merenung dan berkata kepada dirinya, “Sebagaimana aku ketika haji di Baitullah mempelajari sunah, bertanya tentangnya, dan mempelajari petunjuk Nabi, maka demikian pula aku akan melakukan hal demikian dalam seluruh ketaatanku dan seluruh ibadahku.”Dengan demikian, dia akan senantia mempelajari sunah Nabi dalam salatnya, dalam puasanya, dan dalam setiap ibadah kepada Allah. Dia juga akan wasapada dari hawa nafsu dan bid’ah, yaitu amalan yang tidak Allah turunkan ilmu tentangnya.Sebagian manusia tumbuh di lingkungan masyarakat yang banyak bid’ahnya dan terbiasa dengannya. Namun semestinya dia bisa mengambil faidah dari ibadah hajinya. Ketika haji, dia bisa hati-hati dari perbuatan bid’ah dan semangat mengerjakanya di atas sunah. Maka hendaknya dia juga bersemangat di atas hal tersebut dalam seluruh amal ibadah lainnya. Buah manis hajinya menyebabkan dia mendapat petunjuk Nabi dan mengikuti jalannya yang lurus serta waspada dari semua jenis perbuatan bid’ah.Tujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinDi antara tujuan haji adalah menyelisihi musyrikin dalam hal amal dan kesesatan mereka serta dalam perkara jahiliyah dan kebatilan yang mereka lakukan. Kita saksikan bahwasanya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi kaum musyrikin dalam amal-amal haji. Kaum musyrikin berhaji dan bertalbiyah, wukuf di Arafah, dan wukuf di Muzdalifah; akan tetapi mereka melakukannya di atas kesesatan, kedunguan, dan kebodohan. Talbiyah yang mereka ucapkan dibangun di atas kesyirikan. Ucapan talbiyah mereka adalah,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, Aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu. Sekutu yang Kamu miliki dan dia tidak memiliki.”Mereka mengucapkan kesyirikan dalam talbiyah mereka dan mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Inilah makna perkataan Allah ketika menjelaskan kondisi mereka,وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah: 22)Sehingga untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid.Orang-orang musyrik dahulu ketika berhaji, mereka berpindah dari Arafah sebelum terbenamnya matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menjadikan perpindahan dari Arafah setelah magrib. Mereka meninggalkan Muzdalifah setelah terbitnya matahari, maka Rasulullah pun menyelisihi mereka dan pergi dari Muzdalifah ketika pagi sudah menguning dan sebelum terbitnya matahari dalam rangka menyelisihi perbuatan orang-orang musyrikin.Orang-orang musyrik tidak melakukan umrah di bulan-bulan haji, bahkan menganggap menunaikannya di bulan-bulan tersebut merupakan perbuatan yang paling fajir. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menunaikan seluruh umrah beliau di bulan-bulan haji.Amal-amal haji dan ketaatan yang dikerjakan oleh kaum muslimin selayaknya bersih dari kesesatan orang-orang jahiliyah dan ahlu bathil. Ketika Nabi berkhotbah di hadapan manusia, beliau berkata,ألا كلُّ شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع، ودماءُ الجاهلية موضوعة، وإن أولَ دم أضع من دمائنا دمُ ابنِ ربيعةَ بنِ الحارثِ كان مسترضعاً في بني سعد فقتلته هذيل، وربا الجاهلية موضوع، وأول رباً أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب، فإنه موضوع كلّه“Ketahuilah bahwa segala perkara jahiliyah sudah batal, begitu pula tuntutan darah pada masa jahiliyah sudah dihapuskan. Tuntutan darah pertama yang Rasulullah batalkan adalah darah Ibnu Rabi’ah ibnul Harits. Dia disusui oleh Bani Sa’d, lalu Hudhayl ​​membunuhnya. Riba jahiliyah sudah tidak berlaku sekarang. Riba pertama yang dihapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, maka semua ribanya batal.” (HR. Muslim no. 1218)Di sini terdapat penjelasan mengenai kondisi yang menyedihkan dan kerusakan yang merata yang dilakukan oleh manusia sebelum datangnya Islam dalam ibadah dan muamalah mereka. Di antaranya berupa kesyirikan kepada Allah, pertumpahan darah, perampasan harta, kehormatan dilanggar, dan ketika itu sudah mencapai puncak kajahilan dan kesesatan. Dengan sebab itu semua, mereka mendapat kemurkaan Allah.Hendaknya bagi setiap muslim untuk mengambil faidah dari ibadah hajinya untuk menyelisihi musuh-musuh agama Allah, merasa bangga dengan agamanya, dan perhatian dari tasyabuh dengan musuh-musuh Allah. Selayaknya kita mengetahui kedudukan nikmat ini dan menjaganya, dalam rangka memperbaiki diri dan juga masyarakat agar berjalan di atas jalan Islam yang lurus. Harus berhati-hati dari amal-amal jahiliyah serta kebodohan dan kesesatan para musuh Allah, agar mendapat rida dan rahmat Allah serta selamat dari murka-Nya. Nabi shallallahau ‘alaihi wa sallam bersabda,أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ“Manusia yang paling dimurkai Allah adalah tiga golongan; orang yang melakukan penyimpangan di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan menumpahkan darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.“ (HR. Bukhari no. 2886)Termasuk musibah besar yang terjadi pada kebanyakan manusia, mereka terperdaya dalam beragama dan bersikap longgar dalam beragama. Yang demikian ini tampak di tengah-tengah mereka dari sisi meniru orang-orang kafir dan tasyabuh terhadap mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لدخلتموه“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan memasukinya.” (HR. Bukhari no. 7320)Nabi mengatakan demikian agar memperingatkan umatnya dengan peringatan keras dari mengekor perilaku jahiliyah dan jalan-jalan orang kafir dan musyrik. Lubang dhob berbeda dengan lubang hewan reptil lainnya. Lubang itu sangat berkelok-kelok di dalam tanah. Sehingga siapa pun yang ingin menggali untuk menangkapnya, dia tidak akan dapat menemukannya karena bentuknya yang berkelok-kelok.Demikian pula orang-orang kafir, seandainya mereka melakukan tindakan kesesatan yang rumit dan berulang-ulang, maka akan ditemukan kaum muslimin yang beramal seperti mereka. Ini adalah informasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara kauni qadari yang Allah tetapkan dan akan terjadi. Di dalam informasi ini sekaligus terdapat peringatan, bahkan peringatan yang sangat keras, dari perbuatan tasyabuh. Beliau memberi kabar bahwa hal ini akan terjadi, karena Allah telah menetapkan dan terkandung di dalamnya peringatan dari hal tersebut. Hendaknya setiap kaum muslimin waspada dengan serius akan hal ini. Di dalam hadis disebutkan,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad no. 5115)Wajib bagi setiap muslim untuk menyimak hadis ini dan hatinya menaruh perhatian serius dari taklid dan mengekor orang kafir serta tasyabuh dengan musuh-musuh agama Allah. Hal ini lebih ditekankan lagi di zaman sekarang ini, di mana terbuka bagi manusia untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Kesempatan untuk mengekor dan meniru perbuatan mereka terbuka lebar. Rumah-rumah sudah gampang dimasuki dan menjadi sasaran budaya kafir.Rumah-rumah muslim kini terekspos terhadap budaya kaum kafir, bahkan kerusakan mereka, melalui saluran satelit, saluran website, dan majalah yang merusak. Hal ini terjadi ketika pemikiran mulai menyimpang, akal menjadi rusak, kelonggaran dalam beragama, serta moralitas telah hancur. Akhirnya, manusia terjerumus dalam berbagai jenis tasyabuh terhadap musush-musush Allah, terutama kejadian yang meliputi para pemuda kaum muslimin. Mereka meniru orang-orang kafir disebabkan karena kebodohan dan jauhnya dari agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,ليأتين على الناس زمان قلوبهم قلوب الأعاجم“Akan tiba saatnya hati orang-orang akan seperti hati orang asing.“ (Lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 3357)Yang dimaksud dengan orang-orang asing adalah para musuh agama Allah, baik dari Yahudi, Nasarani, dan yang lainnya. Akan datang pada manusia sebuah zaman di mana hati mereka menjadi hati orang asing disebabkan karena ketidakpahaman terhadap agama Allah dan meluasnya kebodohan. Jiwa ketika itu condong dengan sikap tasyabuh terhadap orang kafir dan mengekor amalan mereka, baik dalam perayaan, kebiasaan, maupun pakaian, dan yang lainnya karena kecintaan mereka terhadap dunia.Ini merupakan kondisi yang sangat buruk. Seorang muslim hendaknya berlindung bagi dirinya sendiri dari hal tersebut. Semoga Allah melindungi kita semua dan menyelamatkan kita dari jalannya orang-orang yang Allah murkai dan jalannya orang-orang yang sesat.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 6)

Daftar Isi ToggleTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamTujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Di antara tujuan penting ibadah haji adalah mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita akan dapati para jemaah haji sangat bersemangat dalam haji mereka untuk menjadikan setiap amalan mereka sesuai dengan sunah nabinya. Mereka berusaha bertanya kepada ahli ilmu tentang haji mereka, “Apakah jika saya mengerjakan ini boleh?” “Apakah hal ini benar?” “Apakah ini sudah sesuai dengan sunah?” Para jemaah haji sangat semangat sekali untuk melakukan amalan dalam haji mereka dan berusaha menyesuaikan dengan petunjuk sunah. Kita semua mengetahui perkataan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadis Jabir yang terdapat di Shahih Muslim,لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ “Hendaklah kalian mengambil manasik haji kalian dariku.“ (HR. Muslim no. 1297)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal ini saat beliau sedang berhaji. Jemaah haji pun bersemangat dalam perkara perintah agar bisa menunaikannya, demikian pula bersemangat dalam perkara larangan agar bisa meninggalkan dan menjauhinya. Mereka bertanya dengan detail dan berusaha mencari dengan penuh kejujuran agar amal mereka bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perhatikan perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencium hajar aswad,إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270)Demikain pula Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata,طُفتُ معَ عمرَ بنِ الخطَّابِ فاستلمَ الرُّكنَ ، قالَ يَعلى : فَكُنتُ مِمَّا يلي البيتَ ، فلمَّا بلغتُ الرُّكنَ الغربيَّ الَّذي يلي الأسودَ ، جرَرتُ بيدِهِ ليستلمَ ، فقالَ : ما شأنُكَ ؟ فقلتُ : ألا تَستلِمُ ؟ قالَ : ألَم تَطُفْ معَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ؟ فَقلتُ : بلَى ، فقالَ : أفرأيتَهُ يستلمُ هذينِ الرُّكنينِ الغربيَّينِ ؟ فقلتُ : لا ، قالَ : أفليسَ لَكَ فيهِ أسوةٌ حسنةٌ ؟ قالَ : قُلتُ : بلى ، قالَ : فانفُذْ عنكَ“Aku tawaf bersama ‘Umar bin Khaththab, dia mengusap rukun (sudut) hajar Aswad. Ya’la berkata, “Ketika aku di dekat Baitullah, tatkala sampai di rukun setelah hajar Aswad, aku menarik tangan ‘Umar agar ia dapat mengusapnya.” ‘Umar berkata, “Ada apa denganmu?” Aku berkata, “Mengapa kamu tidak menyentuhnya?” ‘Umar berkata, “Bukankah kamu telah tawaf bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Saya bilang, “Ya.” ‘Umar berkata, “Apakah kamu melihat beliau menyentuh dua rukun di sisi barat ini?” Aku menjawab, “Tidak.” ‘Umar berkata, “Apakah tidak ada suri teladan yang baik bagimu pada diri beliau?” Saya berkata, “Tentu.” ‘Umar berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.“ (Musnad Imam Ahmad no. 313)Maksudnya, janganlah melakukan suatu amal apapun kecuali amalan yang sesuai dengan sunah Nabi.Oleh karena itu, di antara tujuan yang agung dan faidah penting yang didapatkan seorang muslim dalam hajinya adalah bersemangat dalam setiap kehidupannya agar seluruh ibadahnya bersesuaian dengan syariat Allah. Dia hendaknya merenung dan berkata kepada dirinya, “Sebagaimana aku ketika haji di Baitullah mempelajari sunah, bertanya tentangnya, dan mempelajari petunjuk Nabi, maka demikian pula aku akan melakukan hal demikian dalam seluruh ketaatanku dan seluruh ibadahku.”Dengan demikian, dia akan senantia mempelajari sunah Nabi dalam salatnya, dalam puasanya, dan dalam setiap ibadah kepada Allah. Dia juga akan wasapada dari hawa nafsu dan bid’ah, yaitu amalan yang tidak Allah turunkan ilmu tentangnya.Sebagian manusia tumbuh di lingkungan masyarakat yang banyak bid’ahnya dan terbiasa dengannya. Namun semestinya dia bisa mengambil faidah dari ibadah hajinya. Ketika haji, dia bisa hati-hati dari perbuatan bid’ah dan semangat mengerjakanya di atas sunah. Maka hendaknya dia juga bersemangat di atas hal tersebut dalam seluruh amal ibadah lainnya. Buah manis hajinya menyebabkan dia mendapat petunjuk Nabi dan mengikuti jalannya yang lurus serta waspada dari semua jenis perbuatan bid’ah.Tujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinDi antara tujuan haji adalah menyelisihi musyrikin dalam hal amal dan kesesatan mereka serta dalam perkara jahiliyah dan kebatilan yang mereka lakukan. Kita saksikan bahwasanya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi kaum musyrikin dalam amal-amal haji. Kaum musyrikin berhaji dan bertalbiyah, wukuf di Arafah, dan wukuf di Muzdalifah; akan tetapi mereka melakukannya di atas kesesatan, kedunguan, dan kebodohan. Talbiyah yang mereka ucapkan dibangun di atas kesyirikan. Ucapan talbiyah mereka adalah,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, Aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu. Sekutu yang Kamu miliki dan dia tidak memiliki.”Mereka mengucapkan kesyirikan dalam talbiyah mereka dan mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Inilah makna perkataan Allah ketika menjelaskan kondisi mereka,وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah: 22)Sehingga untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid.Orang-orang musyrik dahulu ketika berhaji, mereka berpindah dari Arafah sebelum terbenamnya matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menjadikan perpindahan dari Arafah setelah magrib. Mereka meninggalkan Muzdalifah setelah terbitnya matahari, maka Rasulullah pun menyelisihi mereka dan pergi dari Muzdalifah ketika pagi sudah menguning dan sebelum terbitnya matahari dalam rangka menyelisihi perbuatan orang-orang musyrikin.Orang-orang musyrik tidak melakukan umrah di bulan-bulan haji, bahkan menganggap menunaikannya di bulan-bulan tersebut merupakan perbuatan yang paling fajir. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menunaikan seluruh umrah beliau di bulan-bulan haji.Amal-amal haji dan ketaatan yang dikerjakan oleh kaum muslimin selayaknya bersih dari kesesatan orang-orang jahiliyah dan ahlu bathil. Ketika Nabi berkhotbah di hadapan manusia, beliau berkata,ألا كلُّ شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع، ودماءُ الجاهلية موضوعة، وإن أولَ دم أضع من دمائنا دمُ ابنِ ربيعةَ بنِ الحارثِ كان مسترضعاً في بني سعد فقتلته هذيل، وربا الجاهلية موضوع، وأول رباً أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب، فإنه موضوع كلّه“Ketahuilah bahwa segala perkara jahiliyah sudah batal, begitu pula tuntutan darah pada masa jahiliyah sudah dihapuskan. Tuntutan darah pertama yang Rasulullah batalkan adalah darah Ibnu Rabi’ah ibnul Harits. Dia disusui oleh Bani Sa’d, lalu Hudhayl ​​membunuhnya. Riba jahiliyah sudah tidak berlaku sekarang. Riba pertama yang dihapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, maka semua ribanya batal.” (HR. Muslim no. 1218)Di sini terdapat penjelasan mengenai kondisi yang menyedihkan dan kerusakan yang merata yang dilakukan oleh manusia sebelum datangnya Islam dalam ibadah dan muamalah mereka. Di antaranya berupa kesyirikan kepada Allah, pertumpahan darah, perampasan harta, kehormatan dilanggar, dan ketika itu sudah mencapai puncak kajahilan dan kesesatan. Dengan sebab itu semua, mereka mendapat kemurkaan Allah.Hendaknya bagi setiap muslim untuk mengambil faidah dari ibadah hajinya untuk menyelisihi musuh-musuh agama Allah, merasa bangga dengan agamanya, dan perhatian dari tasyabuh dengan musuh-musuh Allah. Selayaknya kita mengetahui kedudukan nikmat ini dan menjaganya, dalam rangka memperbaiki diri dan juga masyarakat agar berjalan di atas jalan Islam yang lurus. Harus berhati-hati dari amal-amal jahiliyah serta kebodohan dan kesesatan para musuh Allah, agar mendapat rida dan rahmat Allah serta selamat dari murka-Nya. Nabi shallallahau ‘alaihi wa sallam bersabda,أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ“Manusia yang paling dimurkai Allah adalah tiga golongan; orang yang melakukan penyimpangan di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan menumpahkan darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.“ (HR. Bukhari no. 2886)Termasuk musibah besar yang terjadi pada kebanyakan manusia, mereka terperdaya dalam beragama dan bersikap longgar dalam beragama. Yang demikian ini tampak di tengah-tengah mereka dari sisi meniru orang-orang kafir dan tasyabuh terhadap mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لدخلتموه“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan memasukinya.” (HR. Bukhari no. 7320)Nabi mengatakan demikian agar memperingatkan umatnya dengan peringatan keras dari mengekor perilaku jahiliyah dan jalan-jalan orang kafir dan musyrik. Lubang dhob berbeda dengan lubang hewan reptil lainnya. Lubang itu sangat berkelok-kelok di dalam tanah. Sehingga siapa pun yang ingin menggali untuk menangkapnya, dia tidak akan dapat menemukannya karena bentuknya yang berkelok-kelok.Demikian pula orang-orang kafir, seandainya mereka melakukan tindakan kesesatan yang rumit dan berulang-ulang, maka akan ditemukan kaum muslimin yang beramal seperti mereka. Ini adalah informasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara kauni qadari yang Allah tetapkan dan akan terjadi. Di dalam informasi ini sekaligus terdapat peringatan, bahkan peringatan yang sangat keras, dari perbuatan tasyabuh. Beliau memberi kabar bahwa hal ini akan terjadi, karena Allah telah menetapkan dan terkandung di dalamnya peringatan dari hal tersebut. Hendaknya setiap kaum muslimin waspada dengan serius akan hal ini. Di dalam hadis disebutkan,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad no. 5115)Wajib bagi setiap muslim untuk menyimak hadis ini dan hatinya menaruh perhatian serius dari taklid dan mengekor orang kafir serta tasyabuh dengan musuh-musuh agama Allah. Hal ini lebih ditekankan lagi di zaman sekarang ini, di mana terbuka bagi manusia untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Kesempatan untuk mengekor dan meniru perbuatan mereka terbuka lebar. Rumah-rumah sudah gampang dimasuki dan menjadi sasaran budaya kafir.Rumah-rumah muslim kini terekspos terhadap budaya kaum kafir, bahkan kerusakan mereka, melalui saluran satelit, saluran website, dan majalah yang merusak. Hal ini terjadi ketika pemikiran mulai menyimpang, akal menjadi rusak, kelonggaran dalam beragama, serta moralitas telah hancur. Akhirnya, manusia terjerumus dalam berbagai jenis tasyabuh terhadap musush-musush Allah, terutama kejadian yang meliputi para pemuda kaum muslimin. Mereka meniru orang-orang kafir disebabkan karena kebodohan dan jauhnya dari agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,ليأتين على الناس زمان قلوبهم قلوب الأعاجم“Akan tiba saatnya hati orang-orang akan seperti hati orang asing.“ (Lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 3357)Yang dimaksud dengan orang-orang asing adalah para musuh agama Allah, baik dari Yahudi, Nasarani, dan yang lainnya. Akan datang pada manusia sebuah zaman di mana hati mereka menjadi hati orang asing disebabkan karena ketidakpahaman terhadap agama Allah dan meluasnya kebodohan. Jiwa ketika itu condong dengan sikap tasyabuh terhadap orang kafir dan mengekor amalan mereka, baik dalam perayaan, kebiasaan, maupun pakaian, dan yang lainnya karena kecintaan mereka terhadap dunia.Ini merupakan kondisi yang sangat buruk. Seorang muslim hendaknya berlindung bagi dirinya sendiri dari hal tersebut. Semoga Allah melindungi kita semua dan menyelamatkan kita dari jalannya orang-orang yang Allah murkai dan jalannya orang-orang yang sesat.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi ToggleTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamTujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Di antara tujuan penting ibadah haji adalah mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita akan dapati para jemaah haji sangat bersemangat dalam haji mereka untuk menjadikan setiap amalan mereka sesuai dengan sunah nabinya. Mereka berusaha bertanya kepada ahli ilmu tentang haji mereka, “Apakah jika saya mengerjakan ini boleh?” “Apakah hal ini benar?” “Apakah ini sudah sesuai dengan sunah?” Para jemaah haji sangat semangat sekali untuk melakukan amalan dalam haji mereka dan berusaha menyesuaikan dengan petunjuk sunah. Kita semua mengetahui perkataan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadis Jabir yang terdapat di Shahih Muslim,لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ “Hendaklah kalian mengambil manasik haji kalian dariku.“ (HR. Muslim no. 1297)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal ini saat beliau sedang berhaji. Jemaah haji pun bersemangat dalam perkara perintah agar bisa menunaikannya, demikian pula bersemangat dalam perkara larangan agar bisa meninggalkan dan menjauhinya. Mereka bertanya dengan detail dan berusaha mencari dengan penuh kejujuran agar amal mereka bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perhatikan perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencium hajar aswad,إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270)Demikain pula Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata,طُفتُ معَ عمرَ بنِ الخطَّابِ فاستلمَ الرُّكنَ ، قالَ يَعلى : فَكُنتُ مِمَّا يلي البيتَ ، فلمَّا بلغتُ الرُّكنَ الغربيَّ الَّذي يلي الأسودَ ، جرَرتُ بيدِهِ ليستلمَ ، فقالَ : ما شأنُكَ ؟ فقلتُ : ألا تَستلِمُ ؟ قالَ : ألَم تَطُفْ معَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ؟ فَقلتُ : بلَى ، فقالَ : أفرأيتَهُ يستلمُ هذينِ الرُّكنينِ الغربيَّينِ ؟ فقلتُ : لا ، قالَ : أفليسَ لَكَ فيهِ أسوةٌ حسنةٌ ؟ قالَ : قُلتُ : بلى ، قالَ : فانفُذْ عنكَ“Aku tawaf bersama ‘Umar bin Khaththab, dia mengusap rukun (sudut) hajar Aswad. Ya’la berkata, “Ketika aku di dekat Baitullah, tatkala sampai di rukun setelah hajar Aswad, aku menarik tangan ‘Umar agar ia dapat mengusapnya.” ‘Umar berkata, “Ada apa denganmu?” Aku berkata, “Mengapa kamu tidak menyentuhnya?” ‘Umar berkata, “Bukankah kamu telah tawaf bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Saya bilang, “Ya.” ‘Umar berkata, “Apakah kamu melihat beliau menyentuh dua rukun di sisi barat ini?” Aku menjawab, “Tidak.” ‘Umar berkata, “Apakah tidak ada suri teladan yang baik bagimu pada diri beliau?” Saya berkata, “Tentu.” ‘Umar berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.“ (Musnad Imam Ahmad no. 313)Maksudnya, janganlah melakukan suatu amal apapun kecuali amalan yang sesuai dengan sunah Nabi.Oleh karena itu, di antara tujuan yang agung dan faidah penting yang didapatkan seorang muslim dalam hajinya adalah bersemangat dalam setiap kehidupannya agar seluruh ibadahnya bersesuaian dengan syariat Allah. Dia hendaknya merenung dan berkata kepada dirinya, “Sebagaimana aku ketika haji di Baitullah mempelajari sunah, bertanya tentangnya, dan mempelajari petunjuk Nabi, maka demikian pula aku akan melakukan hal demikian dalam seluruh ketaatanku dan seluruh ibadahku.”Dengan demikian, dia akan senantia mempelajari sunah Nabi dalam salatnya, dalam puasanya, dan dalam setiap ibadah kepada Allah. Dia juga akan wasapada dari hawa nafsu dan bid’ah, yaitu amalan yang tidak Allah turunkan ilmu tentangnya.Sebagian manusia tumbuh di lingkungan masyarakat yang banyak bid’ahnya dan terbiasa dengannya. Namun semestinya dia bisa mengambil faidah dari ibadah hajinya. Ketika haji, dia bisa hati-hati dari perbuatan bid’ah dan semangat mengerjakanya di atas sunah. Maka hendaknya dia juga bersemangat di atas hal tersebut dalam seluruh amal ibadah lainnya. Buah manis hajinya menyebabkan dia mendapat petunjuk Nabi dan mengikuti jalannya yang lurus serta waspada dari semua jenis perbuatan bid’ah.Tujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinDi antara tujuan haji adalah menyelisihi musyrikin dalam hal amal dan kesesatan mereka serta dalam perkara jahiliyah dan kebatilan yang mereka lakukan. Kita saksikan bahwasanya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi kaum musyrikin dalam amal-amal haji. Kaum musyrikin berhaji dan bertalbiyah, wukuf di Arafah, dan wukuf di Muzdalifah; akan tetapi mereka melakukannya di atas kesesatan, kedunguan, dan kebodohan. Talbiyah yang mereka ucapkan dibangun di atas kesyirikan. Ucapan talbiyah mereka adalah,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, Aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu. Sekutu yang Kamu miliki dan dia tidak memiliki.”Mereka mengucapkan kesyirikan dalam talbiyah mereka dan mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Inilah makna perkataan Allah ketika menjelaskan kondisi mereka,وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah: 22)Sehingga untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid.Orang-orang musyrik dahulu ketika berhaji, mereka berpindah dari Arafah sebelum terbenamnya matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menjadikan perpindahan dari Arafah setelah magrib. Mereka meninggalkan Muzdalifah setelah terbitnya matahari, maka Rasulullah pun menyelisihi mereka dan pergi dari Muzdalifah ketika pagi sudah menguning dan sebelum terbitnya matahari dalam rangka menyelisihi perbuatan orang-orang musyrikin.Orang-orang musyrik tidak melakukan umrah di bulan-bulan haji, bahkan menganggap menunaikannya di bulan-bulan tersebut merupakan perbuatan yang paling fajir. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menunaikan seluruh umrah beliau di bulan-bulan haji.Amal-amal haji dan ketaatan yang dikerjakan oleh kaum muslimin selayaknya bersih dari kesesatan orang-orang jahiliyah dan ahlu bathil. Ketika Nabi berkhotbah di hadapan manusia, beliau berkata,ألا كلُّ شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع، ودماءُ الجاهلية موضوعة، وإن أولَ دم أضع من دمائنا دمُ ابنِ ربيعةَ بنِ الحارثِ كان مسترضعاً في بني سعد فقتلته هذيل، وربا الجاهلية موضوع، وأول رباً أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب، فإنه موضوع كلّه“Ketahuilah bahwa segala perkara jahiliyah sudah batal, begitu pula tuntutan darah pada masa jahiliyah sudah dihapuskan. Tuntutan darah pertama yang Rasulullah batalkan adalah darah Ibnu Rabi’ah ibnul Harits. Dia disusui oleh Bani Sa’d, lalu Hudhayl ​​membunuhnya. Riba jahiliyah sudah tidak berlaku sekarang. Riba pertama yang dihapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, maka semua ribanya batal.” (HR. Muslim no. 1218)Di sini terdapat penjelasan mengenai kondisi yang menyedihkan dan kerusakan yang merata yang dilakukan oleh manusia sebelum datangnya Islam dalam ibadah dan muamalah mereka. Di antaranya berupa kesyirikan kepada Allah, pertumpahan darah, perampasan harta, kehormatan dilanggar, dan ketika itu sudah mencapai puncak kajahilan dan kesesatan. Dengan sebab itu semua, mereka mendapat kemurkaan Allah.Hendaknya bagi setiap muslim untuk mengambil faidah dari ibadah hajinya untuk menyelisihi musuh-musuh agama Allah, merasa bangga dengan agamanya, dan perhatian dari tasyabuh dengan musuh-musuh Allah. Selayaknya kita mengetahui kedudukan nikmat ini dan menjaganya, dalam rangka memperbaiki diri dan juga masyarakat agar berjalan di atas jalan Islam yang lurus. Harus berhati-hati dari amal-amal jahiliyah serta kebodohan dan kesesatan para musuh Allah, agar mendapat rida dan rahmat Allah serta selamat dari murka-Nya. Nabi shallallahau ‘alaihi wa sallam bersabda,أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ“Manusia yang paling dimurkai Allah adalah tiga golongan; orang yang melakukan penyimpangan di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan menumpahkan darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.“ (HR. Bukhari no. 2886)Termasuk musibah besar yang terjadi pada kebanyakan manusia, mereka terperdaya dalam beragama dan bersikap longgar dalam beragama. Yang demikian ini tampak di tengah-tengah mereka dari sisi meniru orang-orang kafir dan tasyabuh terhadap mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لدخلتموه“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan memasukinya.” (HR. Bukhari no. 7320)Nabi mengatakan demikian agar memperingatkan umatnya dengan peringatan keras dari mengekor perilaku jahiliyah dan jalan-jalan orang kafir dan musyrik. Lubang dhob berbeda dengan lubang hewan reptil lainnya. Lubang itu sangat berkelok-kelok di dalam tanah. Sehingga siapa pun yang ingin menggali untuk menangkapnya, dia tidak akan dapat menemukannya karena bentuknya yang berkelok-kelok.Demikian pula orang-orang kafir, seandainya mereka melakukan tindakan kesesatan yang rumit dan berulang-ulang, maka akan ditemukan kaum muslimin yang beramal seperti mereka. Ini adalah informasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara kauni qadari yang Allah tetapkan dan akan terjadi. Di dalam informasi ini sekaligus terdapat peringatan, bahkan peringatan yang sangat keras, dari perbuatan tasyabuh. Beliau memberi kabar bahwa hal ini akan terjadi, karena Allah telah menetapkan dan terkandung di dalamnya peringatan dari hal tersebut. Hendaknya setiap kaum muslimin waspada dengan serius akan hal ini. Di dalam hadis disebutkan,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad no. 5115)Wajib bagi setiap muslim untuk menyimak hadis ini dan hatinya menaruh perhatian serius dari taklid dan mengekor orang kafir serta tasyabuh dengan musuh-musuh agama Allah. Hal ini lebih ditekankan lagi di zaman sekarang ini, di mana terbuka bagi manusia untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Kesempatan untuk mengekor dan meniru perbuatan mereka terbuka lebar. Rumah-rumah sudah gampang dimasuki dan menjadi sasaran budaya kafir.Rumah-rumah muslim kini terekspos terhadap budaya kaum kafir, bahkan kerusakan mereka, melalui saluran satelit, saluran website, dan majalah yang merusak. Hal ini terjadi ketika pemikiran mulai menyimpang, akal menjadi rusak, kelonggaran dalam beragama, serta moralitas telah hancur. Akhirnya, manusia terjerumus dalam berbagai jenis tasyabuh terhadap musush-musush Allah, terutama kejadian yang meliputi para pemuda kaum muslimin. Mereka meniru orang-orang kafir disebabkan karena kebodohan dan jauhnya dari agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,ليأتين على الناس زمان قلوبهم قلوب الأعاجم“Akan tiba saatnya hati orang-orang akan seperti hati orang asing.“ (Lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 3357)Yang dimaksud dengan orang-orang asing adalah para musuh agama Allah, baik dari Yahudi, Nasarani, dan yang lainnya. Akan datang pada manusia sebuah zaman di mana hati mereka menjadi hati orang asing disebabkan karena ketidakpahaman terhadap agama Allah dan meluasnya kebodohan. Jiwa ketika itu condong dengan sikap tasyabuh terhadap orang kafir dan mengekor amalan mereka, baik dalam perayaan, kebiasaan, maupun pakaian, dan yang lainnya karena kecintaan mereka terhadap dunia.Ini merupakan kondisi yang sangat buruk. Seorang muslim hendaknya berlindung bagi dirinya sendiri dari hal tersebut. Semoga Allah melindungi kita semua dan menyelamatkan kita dari jalannya orang-orang yang Allah murkai dan jalannya orang-orang yang sesat.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi ToggleTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamTujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinTujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Di antara tujuan penting ibadah haji adalah mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita akan dapati para jemaah haji sangat bersemangat dalam haji mereka untuk menjadikan setiap amalan mereka sesuai dengan sunah nabinya. Mereka berusaha bertanya kepada ahli ilmu tentang haji mereka, “Apakah jika saya mengerjakan ini boleh?” “Apakah hal ini benar?” “Apakah ini sudah sesuai dengan sunah?” Para jemaah haji sangat semangat sekali untuk melakukan amalan dalam haji mereka dan berusaha menyesuaikan dengan petunjuk sunah. Kita semua mengetahui perkataan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadis Jabir yang terdapat di Shahih Muslim,لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ “Hendaklah kalian mengambil manasik haji kalian dariku.“ (HR. Muslim no. 1297)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal ini saat beliau sedang berhaji. Jemaah haji pun bersemangat dalam perkara perintah agar bisa menunaikannya, demikian pula bersemangat dalam perkara larangan agar bisa meninggalkan dan menjauhinya. Mereka bertanya dengan detail dan berusaha mencari dengan penuh kejujuran agar amal mereka bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Perhatikan perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencium hajar aswad,إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270)Demikain pula Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata,طُفتُ معَ عمرَ بنِ الخطَّابِ فاستلمَ الرُّكنَ ، قالَ يَعلى : فَكُنتُ مِمَّا يلي البيتَ ، فلمَّا بلغتُ الرُّكنَ الغربيَّ الَّذي يلي الأسودَ ، جرَرتُ بيدِهِ ليستلمَ ، فقالَ : ما شأنُكَ ؟ فقلتُ : ألا تَستلِمُ ؟ قالَ : ألَم تَطُفْ معَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ؟ فَقلتُ : بلَى ، فقالَ : أفرأيتَهُ يستلمُ هذينِ الرُّكنينِ الغربيَّينِ ؟ فقلتُ : لا ، قالَ : أفليسَ لَكَ فيهِ أسوةٌ حسنةٌ ؟ قالَ : قُلتُ : بلى ، قالَ : فانفُذْ عنكَ“Aku tawaf bersama ‘Umar bin Khaththab, dia mengusap rukun (sudut) hajar Aswad. Ya’la berkata, “Ketika aku di dekat Baitullah, tatkala sampai di rukun setelah hajar Aswad, aku menarik tangan ‘Umar agar ia dapat mengusapnya.” ‘Umar berkata, “Ada apa denganmu?” Aku berkata, “Mengapa kamu tidak menyentuhnya?” ‘Umar berkata, “Bukankah kamu telah tawaf bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Saya bilang, “Ya.” ‘Umar berkata, “Apakah kamu melihat beliau menyentuh dua rukun di sisi barat ini?” Aku menjawab, “Tidak.” ‘Umar berkata, “Apakah tidak ada suri teladan yang baik bagimu pada diri beliau?” Saya berkata, “Tentu.” ‘Umar berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.“ (Musnad Imam Ahmad no. 313)Maksudnya, janganlah melakukan suatu amal apapun kecuali amalan yang sesuai dengan sunah Nabi.Oleh karena itu, di antara tujuan yang agung dan faidah penting yang didapatkan seorang muslim dalam hajinya adalah bersemangat dalam setiap kehidupannya agar seluruh ibadahnya bersesuaian dengan syariat Allah. Dia hendaknya merenung dan berkata kepada dirinya, “Sebagaimana aku ketika haji di Baitullah mempelajari sunah, bertanya tentangnya, dan mempelajari petunjuk Nabi, maka demikian pula aku akan melakukan hal demikian dalam seluruh ketaatanku dan seluruh ibadahku.”Dengan demikian, dia akan senantia mempelajari sunah Nabi dalam salatnya, dalam puasanya, dan dalam setiap ibadah kepada Allah. Dia juga akan wasapada dari hawa nafsu dan bid’ah, yaitu amalan yang tidak Allah turunkan ilmu tentangnya.Sebagian manusia tumbuh di lingkungan masyarakat yang banyak bid’ahnya dan terbiasa dengannya. Namun semestinya dia bisa mengambil faidah dari ibadah hajinya. Ketika haji, dia bisa hati-hati dari perbuatan bid’ah dan semangat mengerjakanya di atas sunah. Maka hendaknya dia juga bersemangat di atas hal tersebut dalam seluruh amal ibadah lainnya. Buah manis hajinya menyebabkan dia mendapat petunjuk Nabi dan mengikuti jalannya yang lurus serta waspada dari semua jenis perbuatan bid’ah.Tujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikinDi antara tujuan haji adalah menyelisihi musyrikin dalam hal amal dan kesesatan mereka serta dalam perkara jahiliyah dan kebatilan yang mereka lakukan. Kita saksikan bahwasanya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi kaum musyrikin dalam amal-amal haji. Kaum musyrikin berhaji dan bertalbiyah, wukuf di Arafah, dan wukuf di Muzdalifah; akan tetapi mereka melakukannya di atas kesesatan, kedunguan, dan kebodohan. Talbiyah yang mereka ucapkan dibangun di atas kesyirikan. Ucapan talbiyah mereka adalah,لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, Aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu. Sekutu yang Kamu miliki dan dia tidak memiliki.”Mereka mengucapkan kesyirikan dalam talbiyah mereka dan mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Inilah makna perkataan Allah ketika menjelaskan kondisi mereka,وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah: 22)Sehingga untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid.Orang-orang musyrik dahulu ketika berhaji, mereka berpindah dari Arafah sebelum terbenamnya matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menjadikan perpindahan dari Arafah setelah magrib. Mereka meninggalkan Muzdalifah setelah terbitnya matahari, maka Rasulullah pun menyelisihi mereka dan pergi dari Muzdalifah ketika pagi sudah menguning dan sebelum terbitnya matahari dalam rangka menyelisihi perbuatan orang-orang musyrikin.Orang-orang musyrik tidak melakukan umrah di bulan-bulan haji, bahkan menganggap menunaikannya di bulan-bulan tersebut merupakan perbuatan yang paling fajir. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menunaikan seluruh umrah beliau di bulan-bulan haji.Amal-amal haji dan ketaatan yang dikerjakan oleh kaum muslimin selayaknya bersih dari kesesatan orang-orang jahiliyah dan ahlu bathil. Ketika Nabi berkhotbah di hadapan manusia, beliau berkata,ألا كلُّ شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع، ودماءُ الجاهلية موضوعة، وإن أولَ دم أضع من دمائنا دمُ ابنِ ربيعةَ بنِ الحارثِ كان مسترضعاً في بني سعد فقتلته هذيل، وربا الجاهلية موضوع، وأول رباً أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب، فإنه موضوع كلّه“Ketahuilah bahwa segala perkara jahiliyah sudah batal, begitu pula tuntutan darah pada masa jahiliyah sudah dihapuskan. Tuntutan darah pertama yang Rasulullah batalkan adalah darah Ibnu Rabi’ah ibnul Harits. Dia disusui oleh Bani Sa’d, lalu Hudhayl ​​membunuhnya. Riba jahiliyah sudah tidak berlaku sekarang. Riba pertama yang dihapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, maka semua ribanya batal.” (HR. Muslim no. 1218)Di sini terdapat penjelasan mengenai kondisi yang menyedihkan dan kerusakan yang merata yang dilakukan oleh manusia sebelum datangnya Islam dalam ibadah dan muamalah mereka. Di antaranya berupa kesyirikan kepada Allah, pertumpahan darah, perampasan harta, kehormatan dilanggar, dan ketika itu sudah mencapai puncak kajahilan dan kesesatan. Dengan sebab itu semua, mereka mendapat kemurkaan Allah.Hendaknya bagi setiap muslim untuk mengambil faidah dari ibadah hajinya untuk menyelisihi musuh-musuh agama Allah, merasa bangga dengan agamanya, dan perhatian dari tasyabuh dengan musuh-musuh Allah. Selayaknya kita mengetahui kedudukan nikmat ini dan menjaganya, dalam rangka memperbaiki diri dan juga masyarakat agar berjalan di atas jalan Islam yang lurus. Harus berhati-hati dari amal-amal jahiliyah serta kebodohan dan kesesatan para musuh Allah, agar mendapat rida dan rahmat Allah serta selamat dari murka-Nya. Nabi shallallahau ‘alaihi wa sallam bersabda,أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ“Manusia yang paling dimurkai Allah adalah tiga golongan; orang yang melakukan penyimpangan di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan menumpahkan darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.“ (HR. Bukhari no. 2886)Termasuk musibah besar yang terjadi pada kebanyakan manusia, mereka terperdaya dalam beragama dan bersikap longgar dalam beragama. Yang demikian ini tampak di tengah-tengah mereka dari sisi meniru orang-orang kafir dan tasyabuh terhadap mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لدخلتموه“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan memasukinya.” (HR. Bukhari no. 7320)Nabi mengatakan demikian agar memperingatkan umatnya dengan peringatan keras dari mengekor perilaku jahiliyah dan jalan-jalan orang kafir dan musyrik. Lubang dhob berbeda dengan lubang hewan reptil lainnya. Lubang itu sangat berkelok-kelok di dalam tanah. Sehingga siapa pun yang ingin menggali untuk menangkapnya, dia tidak akan dapat menemukannya karena bentuknya yang berkelok-kelok.Demikian pula orang-orang kafir, seandainya mereka melakukan tindakan kesesatan yang rumit dan berulang-ulang, maka akan ditemukan kaum muslimin yang beramal seperti mereka. Ini adalah informasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara kauni qadari yang Allah tetapkan dan akan terjadi. Di dalam informasi ini sekaligus terdapat peringatan, bahkan peringatan yang sangat keras, dari perbuatan tasyabuh. Beliau memberi kabar bahwa hal ini akan terjadi, karena Allah telah menetapkan dan terkandung di dalamnya peringatan dari hal tersebut. Hendaknya setiap kaum muslimin waspada dengan serius akan hal ini. Di dalam hadis disebutkan,مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad no. 5115)Wajib bagi setiap muslim untuk menyimak hadis ini dan hatinya menaruh perhatian serius dari taklid dan mengekor orang kafir serta tasyabuh dengan musuh-musuh agama Allah. Hal ini lebih ditekankan lagi di zaman sekarang ini, di mana terbuka bagi manusia untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Kesempatan untuk mengekor dan meniru perbuatan mereka terbuka lebar. Rumah-rumah sudah gampang dimasuki dan menjadi sasaran budaya kafir.Rumah-rumah muslim kini terekspos terhadap budaya kaum kafir, bahkan kerusakan mereka, melalui saluran satelit, saluran website, dan majalah yang merusak. Hal ini terjadi ketika pemikiran mulai menyimpang, akal menjadi rusak, kelonggaran dalam beragama, serta moralitas telah hancur. Akhirnya, manusia terjerumus dalam berbagai jenis tasyabuh terhadap musush-musush Allah, terutama kejadian yang meliputi para pemuda kaum muslimin. Mereka meniru orang-orang kafir disebabkan karena kebodohan dan jauhnya dari agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,ليأتين على الناس زمان قلوبهم قلوب الأعاجم“Akan tiba saatnya hati orang-orang akan seperti hati orang asing.“ (Lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 3357)Yang dimaksud dengan orang-orang asing adalah para musuh agama Allah, baik dari Yahudi, Nasarani, dan yang lainnya. Akan datang pada manusia sebuah zaman di mana hati mereka menjadi hati orang asing disebabkan karena ketidakpahaman terhadap agama Allah dan meluasnya kebodohan. Jiwa ketika itu condong dengan sikap tasyabuh terhadap orang kafir dan mengekor amalan mereka, baik dalam perayaan, kebiasaan, maupun pakaian, dan yang lainnya karena kecintaan mereka terhadap dunia.Ini merupakan kondisi yang sangat buruk. Seorang muslim hendaknya berlindung bagi dirinya sendiri dari hal tersebut. Semoga Allah melindungi kita semua dan menyelamatkan kita dari jalannya orang-orang yang Allah murkai dan jalannya orang-orang yang sesat.[Bersambung]Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Kedamaianku Ada dalam Shalat

وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 191 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 QRIS donasi Yufid

Kedamaianku Ada dalam Shalat

وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 191 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 QRIS donasi Yufid
وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 191 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 QRIS donasi Yufid


وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pertanyaan Tentang Syariah Dan Fiqih, Materi Kultum Ramadhan 2019, Syafaat Nabi, Bantuan Pelunasan Hutang Riba, Perbedaan Tupperware Asli Dan Palsu Visited 191 times, 1 visit(s) today Post Views: 305 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fatwa Ulama: Mahar, Hak Siapa?

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi Pertanyaan:Apakah mahar pengantin perempuan itu menjadi haknya atau menjadi hak walinya?Jawaban:Mahar itu menjadi hak perempuan, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa’: 24)Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta (mahar) yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 20)Allah Ta’ala berfirman,وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah suami istri yang saling li’an, فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا“Maka ia (istri) berhak atas mahar karena kamu telah menghalalkan kemaluannya.”Adapun jika ada yang beralasan dengan firman Allah Ta’ala ketika menceritakan seorang hamba yang saleh,قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ“Dia (Syu’aib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun” (QS. Al-Qashash: 27); untuk mengatakan bahwa mahar itu menjadi hak dari wali, maka aku menjawabnya dengan beberapa jawaban (bantahan):Pertama: Hal itu merupakan syariat umat sebelum kita. Adapun syariat kita (Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam) menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak dari perempuan.Kedua: Pendapat tersebut tidaklah menafikan bahwa terdapat manfaat yang kembali kepada istri Musa ‘alaihis salam. Hal ini karena Musa ‘alaihis salam telah membantu ayahnya (perempuan itu), maka bisa jadi Musa ‘alaihis salam telah meringankannya dari tugas memberi minum ternak dan tugas-tugas lainnya.Ketiga: Tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu atas dasar saling rida antara hamba yang saleh tersebut (yaitu Syu’aib) dengan anak perempuannya. Wallahu Ta’ala a’lam.Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla (9: 511),ولا يحل لأب البكر – صغيرة كانت أو كبيرة – أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج – طلق أو أمسك – ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك فهو مفسوخ باطل مردود أبدا. ولها أن تهب صداقها أو بعضه لمن شاءت، ولا اعتراض لأب ولا لزوج في ذلك – هذا إذ كانت بالغة عاقلة بقي لها بعده غنى وإلا فلا. ومعنى قوله عز وجل: {فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أو يعفو الذي بيده عقدة النكاح} [البقرة: 237] إنما هو أن المرأة إذا طلقها زوجها قبل أن يطأها – وقد كان سمى لها صداقا رضيته – فلها نصف صداقها الذي سمي لها، إلا أن تعفو هي فلا تأخذ من زوجها شيئا منه وتهب له النصف الواجب لها، أو يعفو الزوج فيعطيها الجميع، فأيهما فعل ذلك فهو أقرب للتقوى“Tidak halal bagi ayah dari seorang gadis (baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa), begitu pula tidak halal bagi seorang ayah dari wanita janda, atau bagi siapa pun dari kerabat lainnya atau orang lain untuk memutuskan sesuatu dalam hal mahar anak perempuannya atau kerabat perempuannya. Tidak halal pula bagi siapa pun dari mereka yang telah disebutkan tersebut untuk memberikan/menghadiahkan (mahar tersebut) atau sebagian darinya, baik kepada suami (baik yang telah menceraikan atau masih mempertahankan pernikahan) maupun kepada orang lain. Jika mereka melakukan hal semacam itu, maka (tindakan) itu batal, tidak sah, dan harus ditolak selama-lamanya.Wanita tersebut berhak memberikan maharnya atau sebagian darinya kepada siapa pun yang dia kehendaki, tanpa mempertimbangkan adanya keberatan dari ayah maupun suaminya; ini jika dia sudah baligh, berakal, dan masih memiliki kecukupan (harta) setelah itu. Jika tidak, maka tidak boleh.Adapun makna firman Allah Ta‘ala (yang artinya), “Maka separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (para wanita) memaafkan, atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan” (QS. Al-Baqarah: 237), adalah bahwa jika seorang wanita dicerai oleh suaminya sebelum digauli, dan mahar telah ditentukan dan disepakati olehnya, maka dia berhak atas setengah dari mahar tersebut yang telah disebutkan. Kecuali jika dia sendiri memaafkan (tidak menuntutnya) dan memberikannya kepada suaminya, atau jika suami memaafkan (maksudnya: memberikan seluruhnya). Siapa pun di antara keduanya yang memaafkan, maka itu lebih dekat kepada takwa.”Kemudian beliau menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna firman Allah Ta’ala,الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ“Orang yang memegang ikatan (akad) nikah” (QS. Al-Baqarah: 237); dan beliau memilih pendapat bahwa yang dimaksud adalah suami.Baca juga: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar***@Unayzah, KSA; 18 Zulkaidah 1446/ 16 Mei 2025Penerjemah: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 84-85.

Fatwa Ulama: Mahar, Hak Siapa?

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi Pertanyaan:Apakah mahar pengantin perempuan itu menjadi haknya atau menjadi hak walinya?Jawaban:Mahar itu menjadi hak perempuan, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa’: 24)Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta (mahar) yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 20)Allah Ta’ala berfirman,وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah suami istri yang saling li’an, فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا“Maka ia (istri) berhak atas mahar karena kamu telah menghalalkan kemaluannya.”Adapun jika ada yang beralasan dengan firman Allah Ta’ala ketika menceritakan seorang hamba yang saleh,قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ“Dia (Syu’aib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun” (QS. Al-Qashash: 27); untuk mengatakan bahwa mahar itu menjadi hak dari wali, maka aku menjawabnya dengan beberapa jawaban (bantahan):Pertama: Hal itu merupakan syariat umat sebelum kita. Adapun syariat kita (Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam) menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak dari perempuan.Kedua: Pendapat tersebut tidaklah menafikan bahwa terdapat manfaat yang kembali kepada istri Musa ‘alaihis salam. Hal ini karena Musa ‘alaihis salam telah membantu ayahnya (perempuan itu), maka bisa jadi Musa ‘alaihis salam telah meringankannya dari tugas memberi minum ternak dan tugas-tugas lainnya.Ketiga: Tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu atas dasar saling rida antara hamba yang saleh tersebut (yaitu Syu’aib) dengan anak perempuannya. Wallahu Ta’ala a’lam.Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla (9: 511),ولا يحل لأب البكر – صغيرة كانت أو كبيرة – أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج – طلق أو أمسك – ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك فهو مفسوخ باطل مردود أبدا. ولها أن تهب صداقها أو بعضه لمن شاءت، ولا اعتراض لأب ولا لزوج في ذلك – هذا إذ كانت بالغة عاقلة بقي لها بعده غنى وإلا فلا. ومعنى قوله عز وجل: {فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أو يعفو الذي بيده عقدة النكاح} [البقرة: 237] إنما هو أن المرأة إذا طلقها زوجها قبل أن يطأها – وقد كان سمى لها صداقا رضيته – فلها نصف صداقها الذي سمي لها، إلا أن تعفو هي فلا تأخذ من زوجها شيئا منه وتهب له النصف الواجب لها، أو يعفو الزوج فيعطيها الجميع، فأيهما فعل ذلك فهو أقرب للتقوى“Tidak halal bagi ayah dari seorang gadis (baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa), begitu pula tidak halal bagi seorang ayah dari wanita janda, atau bagi siapa pun dari kerabat lainnya atau orang lain untuk memutuskan sesuatu dalam hal mahar anak perempuannya atau kerabat perempuannya. Tidak halal pula bagi siapa pun dari mereka yang telah disebutkan tersebut untuk memberikan/menghadiahkan (mahar tersebut) atau sebagian darinya, baik kepada suami (baik yang telah menceraikan atau masih mempertahankan pernikahan) maupun kepada orang lain. Jika mereka melakukan hal semacam itu, maka (tindakan) itu batal, tidak sah, dan harus ditolak selama-lamanya.Wanita tersebut berhak memberikan maharnya atau sebagian darinya kepada siapa pun yang dia kehendaki, tanpa mempertimbangkan adanya keberatan dari ayah maupun suaminya; ini jika dia sudah baligh, berakal, dan masih memiliki kecukupan (harta) setelah itu. Jika tidak, maka tidak boleh.Adapun makna firman Allah Ta‘ala (yang artinya), “Maka separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (para wanita) memaafkan, atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan” (QS. Al-Baqarah: 237), adalah bahwa jika seorang wanita dicerai oleh suaminya sebelum digauli, dan mahar telah ditentukan dan disepakati olehnya, maka dia berhak atas setengah dari mahar tersebut yang telah disebutkan. Kecuali jika dia sendiri memaafkan (tidak menuntutnya) dan memberikannya kepada suaminya, atau jika suami memaafkan (maksudnya: memberikan seluruhnya). Siapa pun di antara keduanya yang memaafkan, maka itu lebih dekat kepada takwa.”Kemudian beliau menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna firman Allah Ta’ala,الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ“Orang yang memegang ikatan (akad) nikah” (QS. Al-Baqarah: 237); dan beliau memilih pendapat bahwa yang dimaksud adalah suami.Baca juga: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar***@Unayzah, KSA; 18 Zulkaidah 1446/ 16 Mei 2025Penerjemah: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 84-85.
Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi Pertanyaan:Apakah mahar pengantin perempuan itu menjadi haknya atau menjadi hak walinya?Jawaban:Mahar itu menjadi hak perempuan, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa’: 24)Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta (mahar) yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 20)Allah Ta’ala berfirman,وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah suami istri yang saling li’an, فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا“Maka ia (istri) berhak atas mahar karena kamu telah menghalalkan kemaluannya.”Adapun jika ada yang beralasan dengan firman Allah Ta’ala ketika menceritakan seorang hamba yang saleh,قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ“Dia (Syu’aib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun” (QS. Al-Qashash: 27); untuk mengatakan bahwa mahar itu menjadi hak dari wali, maka aku menjawabnya dengan beberapa jawaban (bantahan):Pertama: Hal itu merupakan syariat umat sebelum kita. Adapun syariat kita (Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam) menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak dari perempuan.Kedua: Pendapat tersebut tidaklah menafikan bahwa terdapat manfaat yang kembali kepada istri Musa ‘alaihis salam. Hal ini karena Musa ‘alaihis salam telah membantu ayahnya (perempuan itu), maka bisa jadi Musa ‘alaihis salam telah meringankannya dari tugas memberi minum ternak dan tugas-tugas lainnya.Ketiga: Tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu atas dasar saling rida antara hamba yang saleh tersebut (yaitu Syu’aib) dengan anak perempuannya. Wallahu Ta’ala a’lam.Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla (9: 511),ولا يحل لأب البكر – صغيرة كانت أو كبيرة – أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج – طلق أو أمسك – ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك فهو مفسوخ باطل مردود أبدا. ولها أن تهب صداقها أو بعضه لمن شاءت، ولا اعتراض لأب ولا لزوج في ذلك – هذا إذ كانت بالغة عاقلة بقي لها بعده غنى وإلا فلا. ومعنى قوله عز وجل: {فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أو يعفو الذي بيده عقدة النكاح} [البقرة: 237] إنما هو أن المرأة إذا طلقها زوجها قبل أن يطأها – وقد كان سمى لها صداقا رضيته – فلها نصف صداقها الذي سمي لها، إلا أن تعفو هي فلا تأخذ من زوجها شيئا منه وتهب له النصف الواجب لها، أو يعفو الزوج فيعطيها الجميع، فأيهما فعل ذلك فهو أقرب للتقوى“Tidak halal bagi ayah dari seorang gadis (baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa), begitu pula tidak halal bagi seorang ayah dari wanita janda, atau bagi siapa pun dari kerabat lainnya atau orang lain untuk memutuskan sesuatu dalam hal mahar anak perempuannya atau kerabat perempuannya. Tidak halal pula bagi siapa pun dari mereka yang telah disebutkan tersebut untuk memberikan/menghadiahkan (mahar tersebut) atau sebagian darinya, baik kepada suami (baik yang telah menceraikan atau masih mempertahankan pernikahan) maupun kepada orang lain. Jika mereka melakukan hal semacam itu, maka (tindakan) itu batal, tidak sah, dan harus ditolak selama-lamanya.Wanita tersebut berhak memberikan maharnya atau sebagian darinya kepada siapa pun yang dia kehendaki, tanpa mempertimbangkan adanya keberatan dari ayah maupun suaminya; ini jika dia sudah baligh, berakal, dan masih memiliki kecukupan (harta) setelah itu. Jika tidak, maka tidak boleh.Adapun makna firman Allah Ta‘ala (yang artinya), “Maka separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (para wanita) memaafkan, atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan” (QS. Al-Baqarah: 237), adalah bahwa jika seorang wanita dicerai oleh suaminya sebelum digauli, dan mahar telah ditentukan dan disepakati olehnya, maka dia berhak atas setengah dari mahar tersebut yang telah disebutkan. Kecuali jika dia sendiri memaafkan (tidak menuntutnya) dan memberikannya kepada suaminya, atau jika suami memaafkan (maksudnya: memberikan seluruhnya). Siapa pun di antara keduanya yang memaafkan, maka itu lebih dekat kepada takwa.”Kemudian beliau menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna firman Allah Ta’ala,الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ“Orang yang memegang ikatan (akad) nikah” (QS. Al-Baqarah: 237); dan beliau memilih pendapat bahwa yang dimaksud adalah suami.Baca juga: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar***@Unayzah, KSA; 18 Zulkaidah 1446/ 16 Mei 2025Penerjemah: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 84-85.


Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi Pertanyaan:Apakah mahar pengantin perempuan itu menjadi haknya atau menjadi hak walinya?Jawaban:Mahar itu menjadi hak perempuan, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa’: 24)Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta (mahar) yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 20)Allah Ta’ala berfirman,وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah suami istri yang saling li’an, فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا“Maka ia (istri) berhak atas mahar karena kamu telah menghalalkan kemaluannya.”Adapun jika ada yang beralasan dengan firman Allah Ta’ala ketika menceritakan seorang hamba yang saleh,قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ“Dia (Syu’aib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun” (QS. Al-Qashash: 27); untuk mengatakan bahwa mahar itu menjadi hak dari wali, maka aku menjawabnya dengan beberapa jawaban (bantahan):Pertama: Hal itu merupakan syariat umat sebelum kita. Adapun syariat kita (Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam) menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak dari perempuan.Kedua: Pendapat tersebut tidaklah menafikan bahwa terdapat manfaat yang kembali kepada istri Musa ‘alaihis salam. Hal ini karena Musa ‘alaihis salam telah membantu ayahnya (perempuan itu), maka bisa jadi Musa ‘alaihis salam telah meringankannya dari tugas memberi minum ternak dan tugas-tugas lainnya.Ketiga: Tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu atas dasar saling rida antara hamba yang saleh tersebut (yaitu Syu’aib) dengan anak perempuannya. Wallahu Ta’ala a’lam.Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla (9: 511),ولا يحل لأب البكر – صغيرة كانت أو كبيرة – أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج – طلق أو أمسك – ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك فهو مفسوخ باطل مردود أبدا. ولها أن تهب صداقها أو بعضه لمن شاءت، ولا اعتراض لأب ولا لزوج في ذلك – هذا إذ كانت بالغة عاقلة بقي لها بعده غنى وإلا فلا. ومعنى قوله عز وجل: {فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أو يعفو الذي بيده عقدة النكاح} [البقرة: 237] إنما هو أن المرأة إذا طلقها زوجها قبل أن يطأها – وقد كان سمى لها صداقا رضيته – فلها نصف صداقها الذي سمي لها، إلا أن تعفو هي فلا تأخذ من زوجها شيئا منه وتهب له النصف الواجب لها، أو يعفو الزوج فيعطيها الجميع، فأيهما فعل ذلك فهو أقرب للتقوى“Tidak halal bagi ayah dari seorang gadis (baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa), begitu pula tidak halal bagi seorang ayah dari wanita janda, atau bagi siapa pun dari kerabat lainnya atau orang lain untuk memutuskan sesuatu dalam hal mahar anak perempuannya atau kerabat perempuannya. Tidak halal pula bagi siapa pun dari mereka yang telah disebutkan tersebut untuk memberikan/menghadiahkan (mahar tersebut) atau sebagian darinya, baik kepada suami (baik yang telah menceraikan atau masih mempertahankan pernikahan) maupun kepada orang lain. Jika mereka melakukan hal semacam itu, maka (tindakan) itu batal, tidak sah, dan harus ditolak selama-lamanya.Wanita tersebut berhak memberikan maharnya atau sebagian darinya kepada siapa pun yang dia kehendaki, tanpa mempertimbangkan adanya keberatan dari ayah maupun suaminya; ini jika dia sudah baligh, berakal, dan masih memiliki kecukupan (harta) setelah itu. Jika tidak, maka tidak boleh.Adapun makna firman Allah Ta‘ala (yang artinya), “Maka separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (para wanita) memaafkan, atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan” (QS. Al-Baqarah: 237), adalah bahwa jika seorang wanita dicerai oleh suaminya sebelum digauli, dan mahar telah ditentukan dan disepakati olehnya, maka dia berhak atas setengah dari mahar tersebut yang telah disebutkan. Kecuali jika dia sendiri memaafkan (tidak menuntutnya) dan memberikannya kepada suaminya, atau jika suami memaafkan (maksudnya: memberikan seluruhnya). Siapa pun di antara keduanya yang memaafkan, maka itu lebih dekat kepada takwa.”Kemudian beliau menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna firman Allah Ta’ala,الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ“Orang yang memegang ikatan (akad) nikah” (QS. Al-Baqarah: 237); dan beliau memilih pendapat bahwa yang dimaksud adalah suami.Baca juga: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar***@Unayzah, KSA; 18 Zulkaidah 1446/ 16 Mei 2025Penerjemah: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 84-85.

PENGUMUMAN PENTING & MENDESAK

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Bahasa Arab Penghuni Surga, Madinah Al Munawwarah, Contoh Soal Tentang Zakat, Cara Mengatasi Putus Cinta Dalam Islam, Pengertian Valentine Visited 131 times, 1 visit(s) today Post Views: 218 QRIS donasi Yufid

PENGUMUMAN PENTING & MENDESAK

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Bahasa Arab Penghuni Surga, Madinah Al Munawwarah, Contoh Soal Tentang Zakat, Cara Mengatasi Putus Cinta Dalam Islam, Pengertian Valentine Visited 131 times, 1 visit(s) today Post Views: 218 QRIS donasi Yufid
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Bahasa Arab Penghuni Surga, Madinah Al Munawwarah, Contoh Soal Tentang Zakat, Cara Mengatasi Putus Cinta Dalam Islam, Pengertian Valentine Visited 131 times, 1 visit(s) today Post Views: 218 QRIS donasi Yufid


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Bahasa Arab Penghuni Surga, Madinah Al Munawwarah, Contoh Soal Tentang Zakat, Cara Mengatasi Putus Cinta Dalam Islam, Pengertian Valentine Visited 131 times, 1 visit(s) today Post Views: 218 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Makmum Bingung: Sudah Bertasbih, tapi Imam Nggak Sadar! Ini Solusinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ

Makmum Bingung: Sudah Bertasbih, tapi Imam Nggak Sadar! Ini Solusinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ
Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ


Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ

Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mu’min”Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminOrang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahMengenal dan merenungkan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; merupakan jalan paling agung, paling jelas, dan paling kuat untuk mengilmui tauhid, yang merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. [1]Salah satu nama Allah yang agung adalah Al-Mu’min, Yang Maha membenarkan dan Maha memberi keamanan. Nama ini mengandung makna yang mendalam tentang ketenangan, keadilan, dan kebenaran. Artikel ini akan mengulas dalil penyebutan nama Allah Al-Mu’min, kandungan maknanya secara bahasa dan konteks sebagai nama Allah, serta konsekuensinya dalam kehidupan seorang muslim.Dalil nama Allah “Al-Mu’min”Dalil yang menetapkan nama Allah “Al-Mu’min” terdapat dalam satu ayat, yaitu firman Allah Ta‘ala,السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“As-Salām, Al-Mu’min, Al-Muhaymin.” (QS. Al-Hasyr: 23) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mu’min” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Al-Mu’min ( المؤمن ) merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku atau subjek) dari kata kerja ( آمن – يؤمن ) āmanā–yu’minu [3], dimana kata dasarnya adalah al-īmān. Kata al-īmān ( الإيمان ) secara umum mengandung makna tashdīq (pembenaran) dan iqrār (ketetapan) [4].Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan,الْمُؤمن أصل الْإِيمَان التَّصْدِيق والثقة وَقَالَ الله عز قَائِلا {وَمَا أَنْت بِمُؤْمِن لنا} أَي لفرط محبتك ليوسف لَا تصدقنا“Al-Mu’min berasal dari akar kata al-īmān, yang dasarnya adalah pembenaran dan kepercayaan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan engkau tidak membenarkan kami” (QS. Yūsuf: 17); maksudnya: karena sangat cintanya engkau kepada Yusuf, maka engkau tidak membenarkan kami.” [5]Az-Zajjajiy rahimahullah menyebutkan,والإيمان في جميع تصرفه غير خارج عن معنى التصديق وما قاربه وتعلق به“Al-īmān dalam seluruh penggunaannya tidak keluar dari makna pembenaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.” [6]Tentang makna iqrar (ketetapan), Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,اشتقاقه ‌(أي الإيمان) من ‌الأمن ‌الذي ‌هو ‌القرار والطمأنينة وذلك إنما يحصل إذا استقر في القلب التصديق والانقياد“Asal kata al-iimaan dari al-amn, yang bermakna ketetapan dan ketenangan. Dan itu hanya terjadi apabila pembenaran dan kepasrahan telah menetap di dalam hati.” [7]Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahAdh-Dhahhāk meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās radhiyallahu ‘anhuma, bahwa maksud Al-Mu’min (dalam QS. Al-Hasyr: 23) adalah,أَمَّنَ خَلْقَهُ مِنْ أَنْ يَظْلِمَهُمْ“Allah memberi rasa aman kepada makhluk-Nya dari kezaliman-Nya terhadap mereka.”Ibnu Zaid rahimahullah berkata,صَدّق عبادَه الْمُؤْمِنِينَ فِي إِيمَانِهِمْ بِهِ“Allah membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam keimanan mereka kepada-Nya.” [8]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menyebutkan,“المؤمن” الذي أثنى على نفسه بصفات الكمال، وبكمال الجلال والجمال، الذي أرسل رسله وأنزل كتبه بالآيات والبراهين، وصدق رسله بكل آية وبرهان، يدل على صدقهم وصحة ما جاؤوا به.“Al-Mu’min adalah Dia yang memuji diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan; yang mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan ayat-ayat dan bukti-bukti nyata; serta membenarkan para rasul-Nya dengan setiap ayat dan bukti yang menunjukkan kebenaran mereka dan kebenaran apa yang mereka bawa.” [9]Dari keterangan di atas, dan ditambah dengan keterangan dari para ulama; diketahui bahwa nama Allah Al-Mu’min menunjukkan makna-makna yang agung dan kandungan yang mulia. Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah merangkumnya dalam poin-poin berikut,Allah Ta‘ala bersaksi atas keesaan-Nya (tauhid), yang merupakan kesaksian terbesar dari saksi paling agung terhadap kebenaran paling agung.Dia membenarkan siapa saja yang bersaksi tentang tauhid, serta membenarkan bahwa apa yang mereka katakan adalah benar dan jujur.Dia membenarkan para nabi dan rasul-Nya dengan hujjah dan bukti bahwa apa yang mereka sampaikan dari Allah adalah kebenaran yang tidak diragukan.Dia membenarkan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya berupa kemenangan dan pertolongan.Dia memberi keamanan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan wali-wali-Nya yang bertakwa dari azab dan hukuman-Nya.Dia menepati janji-Nya kepada mereka berupa kemenangan besar dan masuk ke dalam surga-surga penuh kenikmatan.Dia memberikan keamanan kepada orang-orang yang takut, dengan memberi mereka rasa aman, lawan dari rasa takut. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mu’min” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang muslim wajib mengimani bahwa Al-Mu’min adalah bagian dari nama-nama Allah yang mulia. Di antara maknanya adalah bahwasanya Allah adalah Dzat yang mentauhidkan diri-Nya sendiri. Dia telah memberitakan keesaan-Nya dalam firman-Nya,شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia.” (QS. Āli ‘Imrān: 18)Ini dan makna-makna lain dari nama ini harus diimani dan diyakini oleh setiap hamba. [11]Seorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminSeorang muslim yang beriman kepada Al-Mu’min seharusnya memberikan keamanan, bukan gangguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,والله لا يُؤمنُ؛ والله لا يُؤْمن؛ والله لا يُؤْمن“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,الذي لا يَأمنُ جارُه بَوَائقه“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016)Artinya, seseorang tidak dianggap beriman dengan iman yang sempurna hingga tetangganya merasa aman dari kejahatan dan gangguannya.Dalam hadis lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,المُسْلم مَنْ سَلِم المُسْلمون؛ مِنْ لسانه ويده“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [12]Orang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahIa tidak takut amalnya dikurangi atau disia-siakan, bahkan meskipun sebesar biji dzarrah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berjanji bahwa Dia akan memberikan balasan yang sempurna kepada orang-orang yang beramal, dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan, Allah melipatgandakannya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan memberi dari sisi-Nya pahala yang agung.Adapun orang yang berbuat buruk, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang setimpal, atau bisa menghapusnya dengan tobat, penyesalan, istigfar, amal saleh, atau musibah yang menimpanya.Allah Ta‘ala berfirman,أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal terbaik dari apa yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. Mereka termasuk penghuni surga; itu adalah janji yang benar yang dahulu dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al-Aḥqāf: 16) [13]Ya Allah, wahai Al-Mu’min, Engkau-lah yang bersaksi atas keesaan-Mu dan membenarkan para rasul-Mu dengan kebenaran. Teguhkanlah tauhid dalam hati kami, kuatkan keimanan kami, dan jauhkan kami dari segala bentuk kesyirikan, keraguan, dan penyimpangan dari jalan-Mu.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”***Rumdin PPIA Sragen, 10 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAl-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Lihat Taisīr al-Laṭīf al-Mannān fī Khulāṣat Tafsīr al-Qur’ān, hal. 21.[2] an-Nahj al-Asmā, hal. 89.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[4] Fiqh al-Asmā’, hal. 207.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 31.[6] Isytiqāq Asmā’ Allāh, hal. 224.[7] aṣ-Ṣārim al-Maslūl ‘alā Syātim ar-Rasūl, hal. 519.[8] Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[9] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 947.[10] Diringkas dari Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 209-210. Penulis menyebutkan dalil dari masing-masing poin. Silakan merujuk ke kitab tersebut.[11] an-Nahj al-Asmā’, hal. 90; Fiqh al-Asmā’, hal. 207-208.[12] an-Nahj al-Asmā’, hal. 91.[13] Fiqh al-Asmā’, hal. 210.

Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mu’min”Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminOrang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahMengenal dan merenungkan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; merupakan jalan paling agung, paling jelas, dan paling kuat untuk mengilmui tauhid, yang merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. [1]Salah satu nama Allah yang agung adalah Al-Mu’min, Yang Maha membenarkan dan Maha memberi keamanan. Nama ini mengandung makna yang mendalam tentang ketenangan, keadilan, dan kebenaran. Artikel ini akan mengulas dalil penyebutan nama Allah Al-Mu’min, kandungan maknanya secara bahasa dan konteks sebagai nama Allah, serta konsekuensinya dalam kehidupan seorang muslim.Dalil nama Allah “Al-Mu’min”Dalil yang menetapkan nama Allah “Al-Mu’min” terdapat dalam satu ayat, yaitu firman Allah Ta‘ala,السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“As-Salām, Al-Mu’min, Al-Muhaymin.” (QS. Al-Hasyr: 23) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mu’min” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Al-Mu’min ( المؤمن ) merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku atau subjek) dari kata kerja ( آمن – يؤمن ) āmanā–yu’minu [3], dimana kata dasarnya adalah al-īmān. Kata al-īmān ( الإيمان ) secara umum mengandung makna tashdīq (pembenaran) dan iqrār (ketetapan) [4].Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan,الْمُؤمن أصل الْإِيمَان التَّصْدِيق والثقة وَقَالَ الله عز قَائِلا {وَمَا أَنْت بِمُؤْمِن لنا} أَي لفرط محبتك ليوسف لَا تصدقنا“Al-Mu’min berasal dari akar kata al-īmān, yang dasarnya adalah pembenaran dan kepercayaan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan engkau tidak membenarkan kami” (QS. Yūsuf: 17); maksudnya: karena sangat cintanya engkau kepada Yusuf, maka engkau tidak membenarkan kami.” [5]Az-Zajjajiy rahimahullah menyebutkan,والإيمان في جميع تصرفه غير خارج عن معنى التصديق وما قاربه وتعلق به“Al-īmān dalam seluruh penggunaannya tidak keluar dari makna pembenaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.” [6]Tentang makna iqrar (ketetapan), Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,اشتقاقه ‌(أي الإيمان) من ‌الأمن ‌الذي ‌هو ‌القرار والطمأنينة وذلك إنما يحصل إذا استقر في القلب التصديق والانقياد“Asal kata al-iimaan dari al-amn, yang bermakna ketetapan dan ketenangan. Dan itu hanya terjadi apabila pembenaran dan kepasrahan telah menetap di dalam hati.” [7]Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahAdh-Dhahhāk meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās radhiyallahu ‘anhuma, bahwa maksud Al-Mu’min (dalam QS. Al-Hasyr: 23) adalah,أَمَّنَ خَلْقَهُ مِنْ أَنْ يَظْلِمَهُمْ“Allah memberi rasa aman kepada makhluk-Nya dari kezaliman-Nya terhadap mereka.”Ibnu Zaid rahimahullah berkata,صَدّق عبادَه الْمُؤْمِنِينَ فِي إِيمَانِهِمْ بِهِ“Allah membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam keimanan mereka kepada-Nya.” [8]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menyebutkan,“المؤمن” الذي أثنى على نفسه بصفات الكمال، وبكمال الجلال والجمال، الذي أرسل رسله وأنزل كتبه بالآيات والبراهين، وصدق رسله بكل آية وبرهان، يدل على صدقهم وصحة ما جاؤوا به.“Al-Mu’min adalah Dia yang memuji diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan; yang mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan ayat-ayat dan bukti-bukti nyata; serta membenarkan para rasul-Nya dengan setiap ayat dan bukti yang menunjukkan kebenaran mereka dan kebenaran apa yang mereka bawa.” [9]Dari keterangan di atas, dan ditambah dengan keterangan dari para ulama; diketahui bahwa nama Allah Al-Mu’min menunjukkan makna-makna yang agung dan kandungan yang mulia. Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah merangkumnya dalam poin-poin berikut,Allah Ta‘ala bersaksi atas keesaan-Nya (tauhid), yang merupakan kesaksian terbesar dari saksi paling agung terhadap kebenaran paling agung.Dia membenarkan siapa saja yang bersaksi tentang tauhid, serta membenarkan bahwa apa yang mereka katakan adalah benar dan jujur.Dia membenarkan para nabi dan rasul-Nya dengan hujjah dan bukti bahwa apa yang mereka sampaikan dari Allah adalah kebenaran yang tidak diragukan.Dia membenarkan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya berupa kemenangan dan pertolongan.Dia memberi keamanan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan wali-wali-Nya yang bertakwa dari azab dan hukuman-Nya.Dia menepati janji-Nya kepada mereka berupa kemenangan besar dan masuk ke dalam surga-surga penuh kenikmatan.Dia memberikan keamanan kepada orang-orang yang takut, dengan memberi mereka rasa aman, lawan dari rasa takut. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mu’min” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang muslim wajib mengimani bahwa Al-Mu’min adalah bagian dari nama-nama Allah yang mulia. Di antara maknanya adalah bahwasanya Allah adalah Dzat yang mentauhidkan diri-Nya sendiri. Dia telah memberitakan keesaan-Nya dalam firman-Nya,شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia.” (QS. Āli ‘Imrān: 18)Ini dan makna-makna lain dari nama ini harus diimani dan diyakini oleh setiap hamba. [11]Seorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminSeorang muslim yang beriman kepada Al-Mu’min seharusnya memberikan keamanan, bukan gangguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,والله لا يُؤمنُ؛ والله لا يُؤْمن؛ والله لا يُؤْمن“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,الذي لا يَأمنُ جارُه بَوَائقه“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016)Artinya, seseorang tidak dianggap beriman dengan iman yang sempurna hingga tetangganya merasa aman dari kejahatan dan gangguannya.Dalam hadis lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,المُسْلم مَنْ سَلِم المُسْلمون؛ مِنْ لسانه ويده“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [12]Orang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahIa tidak takut amalnya dikurangi atau disia-siakan, bahkan meskipun sebesar biji dzarrah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berjanji bahwa Dia akan memberikan balasan yang sempurna kepada orang-orang yang beramal, dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan, Allah melipatgandakannya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan memberi dari sisi-Nya pahala yang agung.Adapun orang yang berbuat buruk, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang setimpal, atau bisa menghapusnya dengan tobat, penyesalan, istigfar, amal saleh, atau musibah yang menimpanya.Allah Ta‘ala berfirman,أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal terbaik dari apa yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. Mereka termasuk penghuni surga; itu adalah janji yang benar yang dahulu dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al-Aḥqāf: 16) [13]Ya Allah, wahai Al-Mu’min, Engkau-lah yang bersaksi atas keesaan-Mu dan membenarkan para rasul-Mu dengan kebenaran. Teguhkanlah tauhid dalam hati kami, kuatkan keimanan kami, dan jauhkan kami dari segala bentuk kesyirikan, keraguan, dan penyimpangan dari jalan-Mu.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”***Rumdin PPIA Sragen, 10 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAl-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Lihat Taisīr al-Laṭīf al-Mannān fī Khulāṣat Tafsīr al-Qur’ān, hal. 21.[2] an-Nahj al-Asmā, hal. 89.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[4] Fiqh al-Asmā’, hal. 207.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 31.[6] Isytiqāq Asmā’ Allāh, hal. 224.[7] aṣ-Ṣārim al-Maslūl ‘alā Syātim ar-Rasūl, hal. 519.[8] Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[9] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 947.[10] Diringkas dari Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 209-210. Penulis menyebutkan dalil dari masing-masing poin. Silakan merujuk ke kitab tersebut.[11] an-Nahj al-Asmā’, hal. 90; Fiqh al-Asmā’, hal. 207-208.[12] an-Nahj al-Asmā’, hal. 91.[13] Fiqh al-Asmā’, hal. 210.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mu’min”Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminOrang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahMengenal dan merenungkan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; merupakan jalan paling agung, paling jelas, dan paling kuat untuk mengilmui tauhid, yang merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. [1]Salah satu nama Allah yang agung adalah Al-Mu’min, Yang Maha membenarkan dan Maha memberi keamanan. Nama ini mengandung makna yang mendalam tentang ketenangan, keadilan, dan kebenaran. Artikel ini akan mengulas dalil penyebutan nama Allah Al-Mu’min, kandungan maknanya secara bahasa dan konteks sebagai nama Allah, serta konsekuensinya dalam kehidupan seorang muslim.Dalil nama Allah “Al-Mu’min”Dalil yang menetapkan nama Allah “Al-Mu’min” terdapat dalam satu ayat, yaitu firman Allah Ta‘ala,السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“As-Salām, Al-Mu’min, Al-Muhaymin.” (QS. Al-Hasyr: 23) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mu’min” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Al-Mu’min ( المؤمن ) merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku atau subjek) dari kata kerja ( آمن – يؤمن ) āmanā–yu’minu [3], dimana kata dasarnya adalah al-īmān. Kata al-īmān ( الإيمان ) secara umum mengandung makna tashdīq (pembenaran) dan iqrār (ketetapan) [4].Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan,الْمُؤمن أصل الْإِيمَان التَّصْدِيق والثقة وَقَالَ الله عز قَائِلا {وَمَا أَنْت بِمُؤْمِن لنا} أَي لفرط محبتك ليوسف لَا تصدقنا“Al-Mu’min berasal dari akar kata al-īmān, yang dasarnya adalah pembenaran dan kepercayaan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan engkau tidak membenarkan kami” (QS. Yūsuf: 17); maksudnya: karena sangat cintanya engkau kepada Yusuf, maka engkau tidak membenarkan kami.” [5]Az-Zajjajiy rahimahullah menyebutkan,والإيمان في جميع تصرفه غير خارج عن معنى التصديق وما قاربه وتعلق به“Al-īmān dalam seluruh penggunaannya tidak keluar dari makna pembenaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.” [6]Tentang makna iqrar (ketetapan), Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,اشتقاقه ‌(أي الإيمان) من ‌الأمن ‌الذي ‌هو ‌القرار والطمأنينة وذلك إنما يحصل إذا استقر في القلب التصديق والانقياد“Asal kata al-iimaan dari al-amn, yang bermakna ketetapan dan ketenangan. Dan itu hanya terjadi apabila pembenaran dan kepasrahan telah menetap di dalam hati.” [7]Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahAdh-Dhahhāk meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās radhiyallahu ‘anhuma, bahwa maksud Al-Mu’min (dalam QS. Al-Hasyr: 23) adalah,أَمَّنَ خَلْقَهُ مِنْ أَنْ يَظْلِمَهُمْ“Allah memberi rasa aman kepada makhluk-Nya dari kezaliman-Nya terhadap mereka.”Ibnu Zaid rahimahullah berkata,صَدّق عبادَه الْمُؤْمِنِينَ فِي إِيمَانِهِمْ بِهِ“Allah membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam keimanan mereka kepada-Nya.” [8]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menyebutkan,“المؤمن” الذي أثنى على نفسه بصفات الكمال، وبكمال الجلال والجمال، الذي أرسل رسله وأنزل كتبه بالآيات والبراهين، وصدق رسله بكل آية وبرهان، يدل على صدقهم وصحة ما جاؤوا به.“Al-Mu’min adalah Dia yang memuji diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan; yang mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan ayat-ayat dan bukti-bukti nyata; serta membenarkan para rasul-Nya dengan setiap ayat dan bukti yang menunjukkan kebenaran mereka dan kebenaran apa yang mereka bawa.” [9]Dari keterangan di atas, dan ditambah dengan keterangan dari para ulama; diketahui bahwa nama Allah Al-Mu’min menunjukkan makna-makna yang agung dan kandungan yang mulia. Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah merangkumnya dalam poin-poin berikut,Allah Ta‘ala bersaksi atas keesaan-Nya (tauhid), yang merupakan kesaksian terbesar dari saksi paling agung terhadap kebenaran paling agung.Dia membenarkan siapa saja yang bersaksi tentang tauhid, serta membenarkan bahwa apa yang mereka katakan adalah benar dan jujur.Dia membenarkan para nabi dan rasul-Nya dengan hujjah dan bukti bahwa apa yang mereka sampaikan dari Allah adalah kebenaran yang tidak diragukan.Dia membenarkan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya berupa kemenangan dan pertolongan.Dia memberi keamanan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan wali-wali-Nya yang bertakwa dari azab dan hukuman-Nya.Dia menepati janji-Nya kepada mereka berupa kemenangan besar dan masuk ke dalam surga-surga penuh kenikmatan.Dia memberikan keamanan kepada orang-orang yang takut, dengan memberi mereka rasa aman, lawan dari rasa takut. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mu’min” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang muslim wajib mengimani bahwa Al-Mu’min adalah bagian dari nama-nama Allah yang mulia. Di antara maknanya adalah bahwasanya Allah adalah Dzat yang mentauhidkan diri-Nya sendiri. Dia telah memberitakan keesaan-Nya dalam firman-Nya,شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia.” (QS. Āli ‘Imrān: 18)Ini dan makna-makna lain dari nama ini harus diimani dan diyakini oleh setiap hamba. [11]Seorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminSeorang muslim yang beriman kepada Al-Mu’min seharusnya memberikan keamanan, bukan gangguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,والله لا يُؤمنُ؛ والله لا يُؤْمن؛ والله لا يُؤْمن“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,الذي لا يَأمنُ جارُه بَوَائقه“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016)Artinya, seseorang tidak dianggap beriman dengan iman yang sempurna hingga tetangganya merasa aman dari kejahatan dan gangguannya.Dalam hadis lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,المُسْلم مَنْ سَلِم المُسْلمون؛ مِنْ لسانه ويده“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [12]Orang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahIa tidak takut amalnya dikurangi atau disia-siakan, bahkan meskipun sebesar biji dzarrah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berjanji bahwa Dia akan memberikan balasan yang sempurna kepada orang-orang yang beramal, dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan, Allah melipatgandakannya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan memberi dari sisi-Nya pahala yang agung.Adapun orang yang berbuat buruk, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang setimpal, atau bisa menghapusnya dengan tobat, penyesalan, istigfar, amal saleh, atau musibah yang menimpanya.Allah Ta‘ala berfirman,أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal terbaik dari apa yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. Mereka termasuk penghuni surga; itu adalah janji yang benar yang dahulu dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al-Aḥqāf: 16) [13]Ya Allah, wahai Al-Mu’min, Engkau-lah yang bersaksi atas keesaan-Mu dan membenarkan para rasul-Mu dengan kebenaran. Teguhkanlah tauhid dalam hati kami, kuatkan keimanan kami, dan jauhkan kami dari segala bentuk kesyirikan, keraguan, dan penyimpangan dari jalan-Mu.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”***Rumdin PPIA Sragen, 10 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAl-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Lihat Taisīr al-Laṭīf al-Mannān fī Khulāṣat Tafsīr al-Qur’ān, hal. 21.[2] an-Nahj al-Asmā, hal. 89.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[4] Fiqh al-Asmā’, hal. 207.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 31.[6] Isytiqāq Asmā’ Allāh, hal. 224.[7] aṣ-Ṣārim al-Maslūl ‘alā Syātim ar-Rasūl, hal. 519.[8] Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[9] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 947.[10] Diringkas dari Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 209-210. Penulis menyebutkan dalil dari masing-masing poin. Silakan merujuk ke kitab tersebut.[11] an-Nahj al-Asmā’, hal. 90; Fiqh al-Asmā’, hal. 207-208.[12] an-Nahj al-Asmā’, hal. 91.[13] Fiqh al-Asmā’, hal. 210.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Mu’min”Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminOrang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahMengenal dan merenungkan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; merupakan jalan paling agung, paling jelas, dan paling kuat untuk mengilmui tauhid, yang merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. [1]Salah satu nama Allah yang agung adalah Al-Mu’min, Yang Maha membenarkan dan Maha memberi keamanan. Nama ini mengandung makna yang mendalam tentang ketenangan, keadilan, dan kebenaran. Artikel ini akan mengulas dalil penyebutan nama Allah Al-Mu’min, kandungan maknanya secara bahasa dan konteks sebagai nama Allah, serta konsekuensinya dalam kehidupan seorang muslim.Dalil nama Allah “Al-Mu’min”Dalil yang menetapkan nama Allah “Al-Mu’min” terdapat dalam satu ayat, yaitu firman Allah Ta‘ala,السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“As-Salām, Al-Mu’min, Al-Muhaymin.” (QS. Al-Hasyr: 23) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mu’min” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Mu’min”Al-Mu’min ( المؤمن ) merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku atau subjek) dari kata kerja ( آمن – يؤمن ) āmanā–yu’minu [3], dimana kata dasarnya adalah al-īmān. Kata al-īmān ( الإيمان ) secara umum mengandung makna tashdīq (pembenaran) dan iqrār (ketetapan) [4].Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan,الْمُؤمن أصل الْإِيمَان التَّصْدِيق والثقة وَقَالَ الله عز قَائِلا {وَمَا أَنْت بِمُؤْمِن لنا} أَي لفرط محبتك ليوسف لَا تصدقنا“Al-Mu’min berasal dari akar kata al-īmān, yang dasarnya adalah pembenaran dan kepercayaan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan engkau tidak membenarkan kami” (QS. Yūsuf: 17); maksudnya: karena sangat cintanya engkau kepada Yusuf, maka engkau tidak membenarkan kami.” [5]Az-Zajjajiy rahimahullah menyebutkan,والإيمان في جميع تصرفه غير خارج عن معنى التصديق وما قاربه وتعلق به“Al-īmān dalam seluruh penggunaannya tidak keluar dari makna pembenaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.” [6]Tentang makna iqrar (ketetapan), Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,اشتقاقه ‌(أي الإيمان) من ‌الأمن ‌الذي ‌هو ‌القرار والطمأنينة وذلك إنما يحصل إذا استقر في القلب التصديق والانقياد“Asal kata al-iimaan dari al-amn, yang bermakna ketetapan dan ketenangan. Dan itu hanya terjadi apabila pembenaran dan kepasrahan telah menetap di dalam hati.” [7]Makna “Al-Mu’min” dalam konteks AllahAdh-Dhahhāk meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās radhiyallahu ‘anhuma, bahwa maksud Al-Mu’min (dalam QS. Al-Hasyr: 23) adalah,أَمَّنَ خَلْقَهُ مِنْ أَنْ يَظْلِمَهُمْ“Allah memberi rasa aman kepada makhluk-Nya dari kezaliman-Nya terhadap mereka.”Ibnu Zaid rahimahullah berkata,صَدّق عبادَه الْمُؤْمِنِينَ فِي إِيمَانِهِمْ بِهِ“Allah membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam keimanan mereka kepada-Nya.” [8]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menyebutkan,“المؤمن” الذي أثنى على نفسه بصفات الكمال، وبكمال الجلال والجمال، الذي أرسل رسله وأنزل كتبه بالآيات والبراهين، وصدق رسله بكل آية وبرهان، يدل على صدقهم وصحة ما جاؤوا به.“Al-Mu’min adalah Dia yang memuji diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan; yang mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan ayat-ayat dan bukti-bukti nyata; serta membenarkan para rasul-Nya dengan setiap ayat dan bukti yang menunjukkan kebenaran mereka dan kebenaran apa yang mereka bawa.” [9]Dari keterangan di atas, dan ditambah dengan keterangan dari para ulama; diketahui bahwa nama Allah Al-Mu’min menunjukkan makna-makna yang agung dan kandungan yang mulia. Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah merangkumnya dalam poin-poin berikut,Allah Ta‘ala bersaksi atas keesaan-Nya (tauhid), yang merupakan kesaksian terbesar dari saksi paling agung terhadap kebenaran paling agung.Dia membenarkan siapa saja yang bersaksi tentang tauhid, serta membenarkan bahwa apa yang mereka katakan adalah benar dan jujur.Dia membenarkan para nabi dan rasul-Nya dengan hujjah dan bukti bahwa apa yang mereka sampaikan dari Allah adalah kebenaran yang tidak diragukan.Dia membenarkan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya berupa kemenangan dan pertolongan.Dia memberi keamanan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan wali-wali-Nya yang bertakwa dari azab dan hukuman-Nya.Dia menepati janji-Nya kepada mereka berupa kemenangan besar dan masuk ke dalam surga-surga penuh kenikmatan.Dia memberikan keamanan kepada orang-orang yang takut, dengan memberi mereka rasa aman, lawan dari rasa takut. [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hambaPenetapan nama “Al-Mu’min” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama AllahSeorang muslim wajib mengimani bahwa Al-Mu’min adalah bagian dari nama-nama Allah yang mulia. Di antara maknanya adalah bahwasanya Allah adalah Dzat yang mentauhidkan diri-Nya sendiri. Dia telah memberitakan keesaan-Nya dalam firman-Nya,شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia.” (QS. Āli ‘Imrān: 18)Ini dan makna-makna lain dari nama ini harus diimani dan diyakini oleh setiap hamba. [11]Seorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukminSeorang muslim yang beriman kepada Al-Mu’min seharusnya memberikan keamanan, bukan gangguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,والله لا يُؤمنُ؛ والله لا يُؤْمن؛ والله لا يُؤْمن“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,الذي لا يَأمنُ جارُه بَوَائقه“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016)Artinya, seseorang tidak dianggap beriman dengan iman yang sempurna hingga tetangganya merasa aman dari kejahatan dan gangguannya.Dalam hadis lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,المُسْلم مَنْ سَلِم المُسْلمون؛ مِنْ لسانه ويده“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [12]Orang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi AllahIa tidak takut amalnya dikurangi atau disia-siakan, bahkan meskipun sebesar biji dzarrah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berjanji bahwa Dia akan memberikan balasan yang sempurna kepada orang-orang yang beramal, dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan, Allah melipatgandakannya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan memberi dari sisi-Nya pahala yang agung.Adapun orang yang berbuat buruk, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang setimpal, atau bisa menghapusnya dengan tobat, penyesalan, istigfar, amal saleh, atau musibah yang menimpanya.Allah Ta‘ala berfirman,أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal terbaik dari apa yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. Mereka termasuk penghuni surga; itu adalah janji yang benar yang dahulu dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al-Aḥqāf: 16) [13]Ya Allah, wahai Al-Mu’min, Engkau-lah yang bersaksi atas keesaan-Mu dan membenarkan para rasul-Mu dengan kebenaran. Teguhkanlah tauhid dalam hati kami, kuatkan keimanan kami, dan jauhkan kami dari segala bentuk kesyirikan, keraguan, dan penyimpangan dari jalan-Mu.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”***Rumdin PPIA Sragen, 10 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi UtamaAl-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi. Catatan kaki:[1] Lihat Taisīr al-Laṭīf al-Mannān fī Khulāṣat Tafsīr al-Qur’ān, hal. 21.[2] an-Nahj al-Asmā, hal. 89.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[4] Fiqh al-Asmā’, hal. 207.[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 31.[6] Isytiqāq Asmā’ Allāh, hal. 224.[7] aṣ-Ṣārim al-Maslūl ‘alā Syātim ar-Rasūl, hal. 519.[8] Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[9] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 947.[10] Diringkas dari Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 209-210. Penulis menyebutkan dalil dari masing-masing poin. Silakan merujuk ke kitab tersebut.[11] an-Nahj al-Asmā’, hal. 90; Fiqh al-Asmā’, hal. 207-208.[12] an-Nahj al-Asmā’, hal. 91.[13] Fiqh al-Asmā’, hal. 210.

Khutbah Jumat: Ikut Qurban, Wujud Nyata Cinta kepada Rasulullah

Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban     Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan, 
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Ada sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini. قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31) Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim) Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman, 
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung. Sebagian ulama dan orang bijak berkata, 

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ. “Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.” Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya, 
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah. Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga. Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147) Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ “Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131) Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun). Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan, أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ». “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317) Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59) Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban

Khutbah Jumat: Ikut Qurban, Wujud Nyata Cinta kepada Rasulullah

Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban     Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan, 
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Ada sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini. قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31) Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim) Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman, 
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung. Sebagian ulama dan orang bijak berkata, 

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ. “Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.” Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya, 
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah. Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga. Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147) Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ “Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131) Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun). Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan, أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ». “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317) Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59) Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban
Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban     Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan, 
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Ada sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini. قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31) Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim) Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman, 
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung. Sebagian ulama dan orang bijak berkata, 

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ. “Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.” Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya, 
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah. Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga. Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147) Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ “Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131) Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun). Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan, أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ». “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317) Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59) Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban


Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban     Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan, 
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Ada sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini. قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31) Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim) Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman, 
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung. Sebagian ulama dan orang bijak berkata, 

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ. “Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.” Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya, 
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah. Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga. Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147) Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ “Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131) Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun). Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan, أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ». “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317) Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59) Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban

Khutbah Jumat: Jangan Lewatkan! Ini 3 Amalan Sunnah yang Dianjurkan Nabi di Awal Dzulhijjah

Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ – “Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: “وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.” Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.” Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.” قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.” “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).”   PUASA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah. Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata: أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ. “Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan: ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ “Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.” Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan. Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya. Kesimpulannya: ✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah. ❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu. 🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji. 📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya.   TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat. Allah Ta’ala berfirman: وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28) Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471. Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ. Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir: 1. Takbir Mutlaq (مطلق) Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki. 2. Takbir Muqayyad (مقيَّد) Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat. Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah). Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad   TAKBIR MUTLAK/MURSAL TAKBIR MUQAYYAD Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang. Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah. Terkait Idulfitri dan Iduladha Terkait Iduladha saja. Waktunya: dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id. Waktunya: – Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari. – Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina). Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha. Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat.   Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198. Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini.   JANGAN LUPA BERQURBAN Lalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu. Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا “Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً “Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya) Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah. Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211) Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ “Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan: الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ “Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni) Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258) Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda: مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا “Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini. Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ “Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”. Imam Baihaqi berkata setelahnya: “Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”. Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori: “Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga) Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah.  بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban

Khutbah Jumat: Jangan Lewatkan! Ini 3 Amalan Sunnah yang Dianjurkan Nabi di Awal Dzulhijjah

Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ – “Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: “وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.” Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.” Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.” قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.” “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).”   PUASA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah. Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata: أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ. “Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan: ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ “Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.” Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan. Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya. Kesimpulannya: ✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah. ❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu. 🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji. 📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya.   TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat. Allah Ta’ala berfirman: وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28) Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471. Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ. Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir: 1. Takbir Mutlaq (مطلق) Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki. 2. Takbir Muqayyad (مقيَّد) Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat. Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah). Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad   TAKBIR MUTLAK/MURSAL TAKBIR MUQAYYAD Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang. Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah. Terkait Idulfitri dan Iduladha Terkait Iduladha saja. Waktunya: dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id. Waktunya: – Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari. – Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina). Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha. Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat.   Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198. Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini.   JANGAN LUPA BERQURBAN Lalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu. Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا “Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً “Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya) Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah. Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211) Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ “Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan: الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ “Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni) Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258) Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda: مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا “Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini. Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ “Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”. Imam Baihaqi berkata setelahnya: “Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”. Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori: “Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga) Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah.  بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban
Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ – “Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: “وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.” Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.” Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.” قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.” “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).”   PUASA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah. Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata: أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ. “Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan: ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ “Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.” Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan. Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya. Kesimpulannya: ✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah. ❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu. 🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji. 📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya.   TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat. Allah Ta’ala berfirman: وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28) Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471. Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ. Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir: 1. Takbir Mutlaq (مطلق) Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki. 2. Takbir Muqayyad (مقيَّد) Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat. Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah). Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad   TAKBIR MUTLAK/MURSAL TAKBIR MUQAYYAD Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang. Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah. Terkait Idulfitri dan Iduladha Terkait Iduladha saja. Waktunya: dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id. Waktunya: – Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari. – Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina). Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha. Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat.   Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198. Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini.   JANGAN LUPA BERQURBAN Lalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu. Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا “Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً “Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya) Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah. Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211) Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ “Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan: الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ “Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni) Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258) Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda: مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا “Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini. Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ “Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”. Imam Baihaqi berkata setelahnya: “Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”. Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori: “Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga) Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah.  بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban


Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ – “Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: “وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.” Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.” Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.” قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: “وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.” “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).”   PUASA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah. Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata: أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ. “Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih) Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan: ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ “Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.” Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan. Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya. Kesimpulannya: ✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah. ❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu. 🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji. 📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya.   TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH Di antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat. Allah Ta’ala berfirman: وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28) Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471. Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ. Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”) Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir: 1. Takbir Mutlaq (مطلق) Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki. 2. Takbir Muqayyad (مقيَّد) Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat. Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah). Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad   TAKBIR MUTLAK/MURSAL TAKBIR MUQAYYAD Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang. Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah. Terkait Idulfitri dan Iduladha Terkait Iduladha saja. Waktunya: dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id. Waktunya: – Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari. – Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina). Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha. Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat.   Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198. Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini.   JANGAN LUPA BERQURBAN Lalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu. Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا “Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً “Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya) Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah. Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211) Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ “Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan: الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ “Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni) Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258) Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda: مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا “Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini. Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ “Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”. Imam Baihaqi berkata setelahnya: “Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”. Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori: “Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga) Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah.  بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ، فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban

Apa itu Umrah Qadha? Ini Penjelasan Sejarah dan Hikmahnya

Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci. — Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad. Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut. Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun. Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an. Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan. Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji. Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya. Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.” Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah.   Pelajaran Berharga Pertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa. Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang. Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir. Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami. Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.” Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas. Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha

Apa itu Umrah Qadha? Ini Penjelasan Sejarah dan Hikmahnya

Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci. — Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad. Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut. Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun. Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an. Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan. Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji. Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya. Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.” Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah.   Pelajaran Berharga Pertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa. Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang. Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir. Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami. Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.” Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas. Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha
Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci. — Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad. Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut. Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun. Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an. Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan. Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji. Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya. Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.” Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah.   Pelajaran Berharga Pertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa. Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang. Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir. Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami. Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.” Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas. Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha


Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci. — Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad. Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut. Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa. Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun. Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an. Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan. Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji. Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya. Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.” Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah.   Pelajaran Berharga Pertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa. Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang. Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir. Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami. Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.” Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas. Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i.   Referensi: Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah. – 25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha

Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Quddus”Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Makna bahasa dari “Al-Quddus”Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahMenetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahBanyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirDi antara hakikat iman kepada Allah adalah mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya hingga mencapai derajat keyakinan. Sejauh mana seseorang mengenal Rabb-nya, sejauh itu pula kadar imannya. Semakin dalam ia mengenal nama dan sifat-sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalannya terhadap Rabb-nya dan semakin kuat imannya. Dan sebaliknya, jika pengenalan itu berkurang, maka imannya pun ikut berkurang. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Quddus. Nama ini sarat dengan makna kesucian dan keagungan, serta mengandung pelajaran penting bagi setiap hamba dalam menapaki jalan iman. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan dan kecintaan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Quddus”Nama Allah Al-Quddus merupakan salah satu dari nama-nama-Nya yang agung, yang ditetapkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan disebut pula dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Nama ini muncul dua kali dalam Al-Qur’an:Pertama: dalam surah Al-Hasyr ayat 23,هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ“Dialah Allah, tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus) … ”Kedua: dalam surah Al-Jumu’ah ayat 1,يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus), Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” [2]Selain itu, nama Al-Quddus juga disebut dalam sunah. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan Ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [3]Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Quddus” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Quddus”Al-Quddūs merupakan bentuk mubālaghah (penegasan makna yang kuat), berasal dari kata taqaddasa-llāh ( تَقَدسَّ اللَّهُ ) yang berarti “Maha Suci Allah”. [4]Nama ini (Al-Quddūs) berasal dari kata al-quds yang memiliki dua makna secara bahasa:Pertama: thahārah (kesucian atau kebersihan). [5]Kedua: barakah (keberkahan, yaitu kebaikan yang banyak dan terus menerus). [6]Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,وَقَوْلُهُ: {الْقُدُّوسُ} قَالَ وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ: أَيِ الطَّاهِرُ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ: أَيِ الْمُبَارَكُ“Dan firman-Nya, {Al-Quddūs}, Wahb bin Munabbih berkata, ‘Artinya adalah ath-thaahir (Yang Maha Suci).’ Mujahid dan Qatadah berkata, ‘Artinya adalah al-mubaarak (Yang Maha Berkah).’”  [7]Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahAl-Baihaqi rahimahullah berkata,القُدُوس هو الطّاهر من العُيوب، المنزّه عن الأولاد والأنْداد، وهذه صفةٌ يَسْتحقّها بذاته“Al-Quddūs adalah Zat yang suci dari segala kekurangan, yang disucikan dari memiliki anak dan tandingan. Ini adalah sifat yang layak bagi-Nya secara zat.” [8]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَهُوَ {الْقُدُّوسِ} أَيِ: ‌الْمُنَزَّهِ ‌عَنِ ‌النَّقَائِصِ، الْمَوْصُوفِ بِصِفَاتِ الْكَمَالِ“Al-Quddūs artinya Zat yang disucikan dari segala kekurangan dan disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan.” [9]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan,“Al-Quddūs dan As-Salām berarti Zat yang diagungkan dan disucikan dari semua sifat kekurangan, dan tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya. Dia suci dari segala kekurangan, dan suci dari kemungkinan ada yang mendekati atau menyerupai-Nya dalam sisi kesempurnaan. Firman-Nya (yang artinya),“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syūra: 11);“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 4);“Apakah engkau mengetahui ada yang menyamai-Nya?” (QS. Maryam: 65);“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 22)Nama Al-Quddūs, seperti halnya As-Salām, menunjukkan penafian terhadap seluruh bentuk kekurangan dari segala sisi, dan sekaligus menetapkan kesempurnaan mutlak dari seluruh sisi. Sebab jika seluruh kekurangan telah dinafikan, maka otomatis kesempurnaan sepenuhnya telah ditetapkan.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaPenetapan nama “Al-Quddus” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahNama ini menunjukkan bahwa Allah Maha Suci dan disucikan dari segala kekurangan, cela, dan dari segala sesuatu yang tidak layak dengan keagungan, kesempurnaan, dan kemuliaan-Nya. Ia adalah Zat yang suci dari keserupaan dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah,ليس كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11) [11]Menetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahPerlu dipahami bahwa tasbih dan penyucian terhadap Allah tidak hanya berarti menafikan segala keburukan dan kekurangan dari-Nya, tetapi juga harus disertai dengan penetapan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya sebagaimana layaknya.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والأمر بتسبيحه يقتضي تنزيهه عن كل عيب وسوء، وإثبات المحامد التي يحمد عليها، فيقتضي ذلك تنزيهه وتحميده وتكبيره وتوحيده“Perintah untuk bertasbih kepada-Nya mencakup makna menafikan dari setiap kekurangan dan keburukan, serta menetapkan segala pujian yang layak bagi-Nya. Maka hal itu menuntut adanya penyucian, pujian, pengagungan, dan penetapan tauhid untuk-Nya.” [12]Banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirPada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat suri teladan yang baik, yang selayaknya kita tiru. Beliau banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujudnya. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Selain itu, beliau juga biasa menyebut nama ini di akhir salat witir beliau. Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [13]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang mengagungkan-Nya, menyucikan-Nya, dan hidup dalam naungan tauhid yang bersih dari kesyirikan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”***Rumdin PPIA Sragen, 11 Zulqa’dah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 81.[3] At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 181.[4] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[5] Maqāyīs al-Lughah, 63: 5; dan al-Miṣbaḥ al-Munīr, 2: 492.[6] An-Nahj al-Asmā, hal. 80.[7] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 79.[8] Al-I‘tiqād karya al-Baihaqi, dinukil dalam an-Nahj al-Asma, hal. 81.[9] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 115.[10] Tafsir Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 82.[12] Daqo-iqut Tafsir karya Ibnu Taimiyah, 5: 59; dinukil dari Fiqh al-Asma, hal. 224-225.[13] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 83.

Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Quddus”Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Makna bahasa dari “Al-Quddus”Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahMenetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahBanyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirDi antara hakikat iman kepada Allah adalah mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya hingga mencapai derajat keyakinan. Sejauh mana seseorang mengenal Rabb-nya, sejauh itu pula kadar imannya. Semakin dalam ia mengenal nama dan sifat-sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalannya terhadap Rabb-nya dan semakin kuat imannya. Dan sebaliknya, jika pengenalan itu berkurang, maka imannya pun ikut berkurang. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Quddus. Nama ini sarat dengan makna kesucian dan keagungan, serta mengandung pelajaran penting bagi setiap hamba dalam menapaki jalan iman. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan dan kecintaan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Quddus”Nama Allah Al-Quddus merupakan salah satu dari nama-nama-Nya yang agung, yang ditetapkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan disebut pula dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Nama ini muncul dua kali dalam Al-Qur’an:Pertama: dalam surah Al-Hasyr ayat 23,هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ“Dialah Allah, tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus) … ”Kedua: dalam surah Al-Jumu’ah ayat 1,يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus), Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” [2]Selain itu, nama Al-Quddus juga disebut dalam sunah. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan Ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [3]Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Quddus” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Quddus”Al-Quddūs merupakan bentuk mubālaghah (penegasan makna yang kuat), berasal dari kata taqaddasa-llāh ( تَقَدسَّ اللَّهُ ) yang berarti “Maha Suci Allah”. [4]Nama ini (Al-Quddūs) berasal dari kata al-quds yang memiliki dua makna secara bahasa:Pertama: thahārah (kesucian atau kebersihan). [5]Kedua: barakah (keberkahan, yaitu kebaikan yang banyak dan terus menerus). [6]Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,وَقَوْلُهُ: {الْقُدُّوسُ} قَالَ وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ: أَيِ الطَّاهِرُ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ: أَيِ الْمُبَارَكُ“Dan firman-Nya, {Al-Quddūs}, Wahb bin Munabbih berkata, ‘Artinya adalah ath-thaahir (Yang Maha Suci).’ Mujahid dan Qatadah berkata, ‘Artinya adalah al-mubaarak (Yang Maha Berkah).’”  [7]Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahAl-Baihaqi rahimahullah berkata,القُدُوس هو الطّاهر من العُيوب، المنزّه عن الأولاد والأنْداد، وهذه صفةٌ يَسْتحقّها بذاته“Al-Quddūs adalah Zat yang suci dari segala kekurangan, yang disucikan dari memiliki anak dan tandingan. Ini adalah sifat yang layak bagi-Nya secara zat.” [8]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَهُوَ {الْقُدُّوسِ} أَيِ: ‌الْمُنَزَّهِ ‌عَنِ ‌النَّقَائِصِ، الْمَوْصُوفِ بِصِفَاتِ الْكَمَالِ“Al-Quddūs artinya Zat yang disucikan dari segala kekurangan dan disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan.” [9]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan,“Al-Quddūs dan As-Salām berarti Zat yang diagungkan dan disucikan dari semua sifat kekurangan, dan tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya. Dia suci dari segala kekurangan, dan suci dari kemungkinan ada yang mendekati atau menyerupai-Nya dalam sisi kesempurnaan. Firman-Nya (yang artinya),“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syūra: 11);“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 4);“Apakah engkau mengetahui ada yang menyamai-Nya?” (QS. Maryam: 65);“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 22)Nama Al-Quddūs, seperti halnya As-Salām, menunjukkan penafian terhadap seluruh bentuk kekurangan dari segala sisi, dan sekaligus menetapkan kesempurnaan mutlak dari seluruh sisi. Sebab jika seluruh kekurangan telah dinafikan, maka otomatis kesempurnaan sepenuhnya telah ditetapkan.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaPenetapan nama “Al-Quddus” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahNama ini menunjukkan bahwa Allah Maha Suci dan disucikan dari segala kekurangan, cela, dan dari segala sesuatu yang tidak layak dengan keagungan, kesempurnaan, dan kemuliaan-Nya. Ia adalah Zat yang suci dari keserupaan dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah,ليس كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11) [11]Menetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahPerlu dipahami bahwa tasbih dan penyucian terhadap Allah tidak hanya berarti menafikan segala keburukan dan kekurangan dari-Nya, tetapi juga harus disertai dengan penetapan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya sebagaimana layaknya.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والأمر بتسبيحه يقتضي تنزيهه عن كل عيب وسوء، وإثبات المحامد التي يحمد عليها، فيقتضي ذلك تنزيهه وتحميده وتكبيره وتوحيده“Perintah untuk bertasbih kepada-Nya mencakup makna menafikan dari setiap kekurangan dan keburukan, serta menetapkan segala pujian yang layak bagi-Nya. Maka hal itu menuntut adanya penyucian, pujian, pengagungan, dan penetapan tauhid untuk-Nya.” [12]Banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirPada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat suri teladan yang baik, yang selayaknya kita tiru. Beliau banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujudnya. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Selain itu, beliau juga biasa menyebut nama ini di akhir salat witir beliau. Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [13]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang mengagungkan-Nya, menyucikan-Nya, dan hidup dalam naungan tauhid yang bersih dari kesyirikan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”***Rumdin PPIA Sragen, 11 Zulqa’dah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 81.[3] At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 181.[4] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[5] Maqāyīs al-Lughah, 63: 5; dan al-Miṣbaḥ al-Munīr, 2: 492.[6] An-Nahj al-Asmā, hal. 80.[7] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 79.[8] Al-I‘tiqād karya al-Baihaqi, dinukil dalam an-Nahj al-Asma, hal. 81.[9] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 115.[10] Tafsir Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 82.[12] Daqo-iqut Tafsir karya Ibnu Taimiyah, 5: 59; dinukil dari Fiqh al-Asma, hal. 224-225.[13] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 83.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Quddus”Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Makna bahasa dari “Al-Quddus”Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahMenetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahBanyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirDi antara hakikat iman kepada Allah adalah mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya hingga mencapai derajat keyakinan. Sejauh mana seseorang mengenal Rabb-nya, sejauh itu pula kadar imannya. Semakin dalam ia mengenal nama dan sifat-sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalannya terhadap Rabb-nya dan semakin kuat imannya. Dan sebaliknya, jika pengenalan itu berkurang, maka imannya pun ikut berkurang. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Quddus. Nama ini sarat dengan makna kesucian dan keagungan, serta mengandung pelajaran penting bagi setiap hamba dalam menapaki jalan iman. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan dan kecintaan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Quddus”Nama Allah Al-Quddus merupakan salah satu dari nama-nama-Nya yang agung, yang ditetapkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan disebut pula dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Nama ini muncul dua kali dalam Al-Qur’an:Pertama: dalam surah Al-Hasyr ayat 23,هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ“Dialah Allah, tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus) … ”Kedua: dalam surah Al-Jumu’ah ayat 1,يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus), Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” [2]Selain itu, nama Al-Quddus juga disebut dalam sunah. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan Ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [3]Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Quddus” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Quddus”Al-Quddūs merupakan bentuk mubālaghah (penegasan makna yang kuat), berasal dari kata taqaddasa-llāh ( تَقَدسَّ اللَّهُ ) yang berarti “Maha Suci Allah”. [4]Nama ini (Al-Quddūs) berasal dari kata al-quds yang memiliki dua makna secara bahasa:Pertama: thahārah (kesucian atau kebersihan). [5]Kedua: barakah (keberkahan, yaitu kebaikan yang banyak dan terus menerus). [6]Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,وَقَوْلُهُ: {الْقُدُّوسُ} قَالَ وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ: أَيِ الطَّاهِرُ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ: أَيِ الْمُبَارَكُ“Dan firman-Nya, {Al-Quddūs}, Wahb bin Munabbih berkata, ‘Artinya adalah ath-thaahir (Yang Maha Suci).’ Mujahid dan Qatadah berkata, ‘Artinya adalah al-mubaarak (Yang Maha Berkah).’”  [7]Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahAl-Baihaqi rahimahullah berkata,القُدُوس هو الطّاهر من العُيوب، المنزّه عن الأولاد والأنْداد، وهذه صفةٌ يَسْتحقّها بذاته“Al-Quddūs adalah Zat yang suci dari segala kekurangan, yang disucikan dari memiliki anak dan tandingan. Ini adalah sifat yang layak bagi-Nya secara zat.” [8]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَهُوَ {الْقُدُّوسِ} أَيِ: ‌الْمُنَزَّهِ ‌عَنِ ‌النَّقَائِصِ، الْمَوْصُوفِ بِصِفَاتِ الْكَمَالِ“Al-Quddūs artinya Zat yang disucikan dari segala kekurangan dan disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan.” [9]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan,“Al-Quddūs dan As-Salām berarti Zat yang diagungkan dan disucikan dari semua sifat kekurangan, dan tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya. Dia suci dari segala kekurangan, dan suci dari kemungkinan ada yang mendekati atau menyerupai-Nya dalam sisi kesempurnaan. Firman-Nya (yang artinya),“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syūra: 11);“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 4);“Apakah engkau mengetahui ada yang menyamai-Nya?” (QS. Maryam: 65);“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 22)Nama Al-Quddūs, seperti halnya As-Salām, menunjukkan penafian terhadap seluruh bentuk kekurangan dari segala sisi, dan sekaligus menetapkan kesempurnaan mutlak dari seluruh sisi. Sebab jika seluruh kekurangan telah dinafikan, maka otomatis kesempurnaan sepenuhnya telah ditetapkan.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaPenetapan nama “Al-Quddus” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahNama ini menunjukkan bahwa Allah Maha Suci dan disucikan dari segala kekurangan, cela, dan dari segala sesuatu yang tidak layak dengan keagungan, kesempurnaan, dan kemuliaan-Nya. Ia adalah Zat yang suci dari keserupaan dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah,ليس كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11) [11]Menetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahPerlu dipahami bahwa tasbih dan penyucian terhadap Allah tidak hanya berarti menafikan segala keburukan dan kekurangan dari-Nya, tetapi juga harus disertai dengan penetapan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya sebagaimana layaknya.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والأمر بتسبيحه يقتضي تنزيهه عن كل عيب وسوء، وإثبات المحامد التي يحمد عليها، فيقتضي ذلك تنزيهه وتحميده وتكبيره وتوحيده“Perintah untuk bertasbih kepada-Nya mencakup makna menafikan dari setiap kekurangan dan keburukan, serta menetapkan segala pujian yang layak bagi-Nya. Maka hal itu menuntut adanya penyucian, pujian, pengagungan, dan penetapan tauhid untuk-Nya.” [12]Banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirPada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat suri teladan yang baik, yang selayaknya kita tiru. Beliau banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujudnya. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Selain itu, beliau juga biasa menyebut nama ini di akhir salat witir beliau. Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [13]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang mengagungkan-Nya, menyucikan-Nya, dan hidup dalam naungan tauhid yang bersih dari kesyirikan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”***Rumdin PPIA Sragen, 11 Zulqa’dah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 81.[3] At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 181.[4] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[5] Maqāyīs al-Lughah, 63: 5; dan al-Miṣbaḥ al-Munīr, 2: 492.[6] An-Nahj al-Asmā, hal. 80.[7] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 79.[8] Al-I‘tiqād karya al-Baihaqi, dinukil dalam an-Nahj al-Asma, hal. 81.[9] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 115.[10] Tafsir Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 82.[12] Daqo-iqut Tafsir karya Ibnu Taimiyah, 5: 59; dinukil dari Fiqh al-Asma, hal. 224-225.[13] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 83.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Quddus”Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Makna bahasa dari “Al-Quddus”Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaMengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahMenetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahBanyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirDi antara hakikat iman kepada Allah adalah mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya hingga mencapai derajat keyakinan. Sejauh mana seseorang mengenal Rabb-nya, sejauh itu pula kadar imannya. Semakin dalam ia mengenal nama dan sifat-sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalannya terhadap Rabb-nya dan semakin kuat imannya. Dan sebaliknya, jika pengenalan itu berkurang, maka imannya pun ikut berkurang. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Quddus. Nama ini sarat dengan makna kesucian dan keagungan, serta mengandung pelajaran penting bagi setiap hamba dalam menapaki jalan iman. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya keyakinan dan kecintaan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Quddus”Nama Allah Al-Quddus merupakan salah satu dari nama-nama-Nya yang agung, yang ditetapkan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan disebut pula dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Nama ini muncul dua kali dalam Al-Qur’an:Pertama: dalam surah Al-Hasyr ayat 23,هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ“Dialah Allah, tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus) … ”Kedua: dalam surah Al-Jumu’ah ayat 1,يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi, Raja, Yang Maha Suci (Al-Quddus), Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” [2]Selain itu, nama Al-Quddus juga disebut dalam sunah. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan Ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [3]Kandungan makna nama Allah “Al-Quddus”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Quddus” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Quddus”Al-Quddūs merupakan bentuk mubālaghah (penegasan makna yang kuat), berasal dari kata taqaddasa-llāh ( تَقَدسَّ اللَّهُ ) yang berarti “Maha Suci Allah”. [4]Nama ini (Al-Quddūs) berasal dari kata al-quds yang memiliki dua makna secara bahasa:Pertama: thahārah (kesucian atau kebersihan). [5]Kedua: barakah (keberkahan, yaitu kebaikan yang banyak dan terus menerus). [6]Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,وَقَوْلُهُ: {الْقُدُّوسُ} قَالَ وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ: أَيِ الطَّاهِرُ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ: أَيِ الْمُبَارَكُ“Dan firman-Nya, {Al-Quddūs}, Wahb bin Munabbih berkata, ‘Artinya adalah ath-thaahir (Yang Maha Suci).’ Mujahid dan Qatadah berkata, ‘Artinya adalah al-mubaarak (Yang Maha Berkah).’”  [7]Makna “Al-Quddus” dalam konteks AllahAl-Baihaqi rahimahullah berkata,القُدُوس هو الطّاهر من العُيوب، المنزّه عن الأولاد والأنْداد، وهذه صفةٌ يَسْتحقّها بذاته“Al-Quddūs adalah Zat yang suci dari segala kekurangan, yang disucikan dari memiliki anak dan tandingan. Ini adalah sifat yang layak bagi-Nya secara zat.” [8]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَهُوَ {الْقُدُّوسِ} أَيِ: ‌الْمُنَزَّهِ ‌عَنِ ‌النَّقَائِصِ، الْمَوْصُوفِ بِصِفَاتِ الْكَمَالِ“Al-Quddūs artinya Zat yang disucikan dari segala kekurangan dan disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan.” [9]Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si‘di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan,“Al-Quddūs dan As-Salām berarti Zat yang diagungkan dan disucikan dari semua sifat kekurangan, dan tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya. Dia suci dari segala kekurangan, dan suci dari kemungkinan ada yang mendekati atau menyerupai-Nya dalam sisi kesempurnaan. Firman-Nya (yang artinya),“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syūra: 11);“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 4);“Apakah engkau mengetahui ada yang menyamai-Nya?” (QS. Maryam: 65);“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 22)Nama Al-Quddūs, seperti halnya As-Salām, menunjukkan penafian terhadap seluruh bentuk kekurangan dari segala sisi, dan sekaligus menetapkan kesempurnaan mutlak dari seluruh sisi. Sebab jika seluruh kekurangan telah dinafikan, maka otomatis kesempurnaan sepenuhnya telah ditetapkan.” [10]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Quddus” bagi hambaPenetapan nama “Al-Quddus” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:Mengimani bahwa “Al-Quddus” adalah salah satu dari nama AllahNama ini menunjukkan bahwa Allah Maha Suci dan disucikan dari segala kekurangan, cela, dan dari segala sesuatu yang tidak layak dengan keagungan, kesempurnaan, dan kemuliaan-Nya. Ia adalah Zat yang suci dari keserupaan dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah,ليس كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11) [11]Menetapkan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi AllahPerlu dipahami bahwa tasbih dan penyucian terhadap Allah tidak hanya berarti menafikan segala keburukan dan kekurangan dari-Nya, tetapi juga harus disertai dengan penetapan pujian dan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya sebagaimana layaknya.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,والأمر بتسبيحه يقتضي تنزيهه عن كل عيب وسوء، وإثبات المحامد التي يحمد عليها، فيقتضي ذلك تنزيهه وتحميده وتكبيره وتوحيده“Perintah untuk bertasbih kepada-Nya mencakup makna menafikan dari setiap kekurangan dan keburukan, serta menetapkan segala pujian yang layak bagi-Nya. Maka hal itu menuntut adanya penyucian, pujian, pengagungan, dan penetapan tauhid untuk-Nya.” [12]Banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujud dan di akhir salat witirPada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat suri teladan yang baik, yang selayaknya kita tiru. Beliau banyak menyebut nama ini dalam rukuk dan sujudnya. Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca dalam rukuk dan sujudnya,سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ المَلَائِكَةِ والرُّوحِ“Subbūḥun Quddūsun, Rabb para malaikat dan ar-Rūḥ (Jibril).” (HR. Muslim no. 487)Selain itu, beliau juga biasa menyebut nama ini di akhir salat witir beliau. Dalam hadis Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai witir membaca,سُبحانَ الملِكِ القدُّوس“Subḥānal-Maliki al-Quddūs” tiga kali, dan mengeraskan suaranya pada yang ketiga. (HR. An-Nasa’i no. 10503, dan disahihkan oleh Al-Albani) [13]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang mengagungkan-Nya, menyucikan-Nya, dan hidup dalam naungan tauhid yang bersih dari kesyirikan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”***Rumdin PPIA Sragen, 11 Zulqa’dah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 81.[3] At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 181.[4] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[5] Maqāyīs al-Lughah, 63: 5; dan al-Miṣbaḥ al-Munīr, 2: 492.[6] An-Nahj al-Asmā, hal. 80.[7] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 79.[8] Al-I‘tiqād karya al-Baihaqi, dinukil dalam an-Nahj al-Asma, hal. 81.[9] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 115.[10] Tafsir Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 946.[11] An-Nahj al-Asma, hal. 82.[12] Daqo-iqut Tafsir karya Ibnu Taimiyah, 5: 59; dinukil dari Fiqh al-Asma, hal. 224-225.[13] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 83.

Apa itu Umrah Qadha? Ini Penjelasan Sejarah dan Hikmahnya

Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci.—Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad.Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut.Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa.Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun.Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an.Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan.Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji.Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya.Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.”Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Pelajaran BerhargaPertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa.Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang.Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir.Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami.Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.”Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas.Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.–25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha

Apa itu Umrah Qadha? Ini Penjelasan Sejarah dan Hikmahnya

Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci.—Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad.Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut.Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa.Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun.Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an.Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan.Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji.Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya.Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.”Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Pelajaran BerhargaPertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa.Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang.Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir.Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami.Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.”Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas.Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.–25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha
Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci.—Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad.Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut.Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa.Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun.Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an.Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan.Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji.Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya.Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.”Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Pelajaran BerhargaPertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa.Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang.Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir.Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami.Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.”Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas.Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.–25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha


Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci.—Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad.Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut.Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa.Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun.Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an.Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan.Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji.Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya.Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.”Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Pelajaran BerhargaPertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa.Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang.Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir.Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami.Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.”Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas.Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i. Referensi:Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.–25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram haji cara umrah Dakwah Tanpa Kekerasan faedah sirah faedah sirah nabi fikih umrah Hikmah Umrah kemenangan Islam Mekah Zaman Nabi Perjalanan Nabi rukun umrah sejarah Islam sirah nabawiyah sirah nabi Syiar Islam Talbiyah Rasulullah tata cara umrah umrah qadha

Khutbah Jumat: Ikut Qurban, Wujud Nyata Cinta kepada Rasulullah

Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.  Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan,
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُAda sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini.قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah.Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ“Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.”Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung.Sebagian ulama dan orang bijak berkata,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ.“Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.”Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya,
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga.Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah).Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ“Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147)Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan:نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ“Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131)Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun).Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya.‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317)Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59)Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini.Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban

Khutbah Jumat: Ikut Qurban, Wujud Nyata Cinta kepada Rasulullah

Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.  Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan,
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُAda sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini.قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah.Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ“Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.”Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung.Sebagian ulama dan orang bijak berkata,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ.“Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.”Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya,
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga.Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah).Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ“Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147)Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan:نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ“Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131)Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun).Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya.‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317)Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59)Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini.Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban
Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.  Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan,
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُAda sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini.قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah.Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ“Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.”Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung.Sebagian ulama dan orang bijak berkata,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ.“Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.”Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya,
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga.Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah).Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ“Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147)Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan:نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ“Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131)Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun).Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya.‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317)Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59)Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini.Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban


Mencintai Allah berarti meneladani Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu sunnah yang sangat ditekankan adalah ibadah qurban. Semoga Allah mudahkan langkah kita untuk mengamalkannya tahun ini.  Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Video Khutbah Jumat: Cinta Rasulullah dengan Ikut Qurban  Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hasan Al-Bashri rahimahullah dan para salaf lainnya mengatakan,
زَعَمَ قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللَّهَ، فَابْتَلَاهُمُ اللَّهُ بِهٰذِهِ الْآيَةِ، فَقَالَ: ﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُAda sekelompok orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat berikut ini.قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)Ayat ini adalah bukti yang menyingkap kepalsuan setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa pun yang tidak mengikuti ajaran beliau dalam ucapan maupun perbuatannya, sejatinya dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah.Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)Maka dari itu, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ“Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.”Dengan kata lain, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencintai Allah, yaitu dicintai oleh Allah. Ini merupakan derajat yang jauh lebih agung.Sebagian ulama dan orang bijak berkata,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ.“Yang menjadi tujuan bukanlah engkau mencintai, melainkan engkau dicintai.”Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan firman-Nya,
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ“Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”Maksudnya, dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua keutamaan tersebut akan kalian peroleh—karena keberkahan peran beliau sebagai utusan Allah. Demikian penjelasan ini disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.Di antara bentuk yang bisa kita ikuti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqurban. Hukum qurban adalah sunnah ‘ain untuk individu dan sunnah kifayah untuk satu keluarga.Menurut Syaikh Ibrahim Al-Baajuuri dalam penjelasan Fath Al-Qarib, hukum qurban adalah sunnah kifayah, jika ada yang sudah berqurban dalam satu rumah, maka mencukupi yang lain, di mana satu rumah ini adalah satu nafkah (menjadi tanggungan nafkah).Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin Yasar, beliau bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari tentang pelaksanaan qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ“Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1505 dan Ibnu Majah, no. 3147)Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah mencatatkan:نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ“Kami pernah berqurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, satu unta berserikat tujuh orang, begitu pula satu sapi berserikat tujuh orang.” (HR. Tirmidzi, no. 905; Ibnu Majah, no. 3131)Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan dan membagikan dagingnya, tetapi juga menunjukkan semangat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan. Ini adalah contoh nyata dari cinta yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan qurban dalam skala besar, di antaranya pada tahun Hudaibiyah, beliau menyembelih 63 ekor unta, yang jumlahnya sesuai dengan usia beliau (63 tahun).Selain itu, dalam sebuah riwayat lain, beliau juga memberikan pedoman bagaimana kita seharusnya membagikan daging qurban tersebut, yaitu kepada mereka yang membutuhkan, serta melarang untuk memberikan bagian kepada tukang jagal sebagai upah. Ini adalah bentuk kepedulian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesama umat, yang juga mencerminkan pengorbanan diri dalam cinta kepada Allah dan umat-Nya.‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilal-nya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim, no. 1317)Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 9:59)Melalui qurban, umat Islam dapat meneladani keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan beribadah. Qurban menjadi sarana bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menunjukkan kepedulian terhadap sesama, serta mengingatkan kita tentang pengorbanan yang harus kita lakukan dalam hidup ini.Semoga ibadah qurban tahun ini menjadi jalan mendekat kepada Allah, menambah cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga setiap jamaah dimudahkan rezekinya untuk menunaikan sunnah mulia ini.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 11 Dzulqa’dah 1446 H (9 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbid'ah daging qurban hukum qurban ittiba khutbah jumat panduan qurban qurban

Khutbah Jumat: Jangan Lewatkan! Ini 3 Amalan Sunnah yang Dianjurkan Nabi di Awal Dzulhijjah

Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ –“Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ:“وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.”Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.”Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.”قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ:“وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.”“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).” PUASA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah.Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata:أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ.“Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih)Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan:ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.”Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan.Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya.Kesimpulannya:✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah.❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu.🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji.📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat.Allah Ta’ala berfirman:وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28)Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471.Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat:وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ.Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir:1. Takbir Mutlaq (مطلق)Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki.2. Takbir Muqayyad (مقيَّد)Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat.Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah).Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq.Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad TAKBIR MUTLAK/MURSALTAKBIR MUQAYYADTakbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah.Terkait Idulfitri dan IduladhaTerkait Iduladha saja.Waktunya:dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id.Waktunya:– Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari.– Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina).Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat.Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat.Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha.Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat. Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198.Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini. JANGAN LUPA BERQURBANLalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu.Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا“Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً“Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya)Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah.Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211)Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ“Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan:الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ“Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni)Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:“Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258)Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda:مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا“Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim)Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini.Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ“Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.Imam Baihaqi berkata setelahnya:“Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori:“Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga)Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban

Khutbah Jumat: Jangan Lewatkan! Ini 3 Amalan Sunnah yang Dianjurkan Nabi di Awal Dzulhijjah

Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ –“Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ:“وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.”Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.”Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.”قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ:“وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.”“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).” PUASA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah.Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata:أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ.“Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih)Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan:ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.”Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan.Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya.Kesimpulannya:✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah.❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu.🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji.📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat.Allah Ta’ala berfirman:وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28)Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471.Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat:وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ.Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir:1. Takbir Mutlaq (مطلق)Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki.2. Takbir Muqayyad (مقيَّد)Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat.Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah).Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq.Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad TAKBIR MUTLAK/MURSALTAKBIR MUQAYYADTakbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah.Terkait Idulfitri dan IduladhaTerkait Iduladha saja.Waktunya:dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id.Waktunya:– Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari.– Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina).Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat.Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat.Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha.Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat. Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198.Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini. JANGAN LUPA BERQURBANLalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu.Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا“Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً“Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya)Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah.Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211)Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ“Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan:الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ“Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni)Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:“Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258)Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda:مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا“Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim)Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini.Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ“Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.Imam Baihaqi berkata setelahnya:“Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori:“Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga)Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban
Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ –“Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ:“وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.”Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.”Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.”قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ:“وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.”“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).” PUASA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah.Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata:أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ.“Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih)Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan:ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.”Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan.Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya.Kesimpulannya:✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah.❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu.🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji.📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat.Allah Ta’ala berfirman:وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28)Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471.Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat:وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ.Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir:1. Takbir Mutlaq (مطلق)Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki.2. Takbir Muqayyad (مقيَّد)Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat.Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah).Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq.Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad TAKBIR MUTLAK/MURSALTAKBIR MUQAYYADTakbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah.Terkait Idulfitri dan IduladhaTerkait Iduladha saja.Waktunya:dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id.Waktunya:– Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari.– Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina).Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat.Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat.Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha.Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat. Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198.Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini. JANGAN LUPA BERQURBANLalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu.Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا“Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً“Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya)Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah.Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211)Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ“Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan:الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ“Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni)Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:“Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258)Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda:مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا“Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim)Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini.Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ“Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.Imam Baihaqi berkata setelahnya:“Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori:“Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga)Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban


Awal Dzulhijjah adalah waktu yang sangat istimewa. Sepuluh hari pertamanya disebut sebagai hari-hari terbaik di dunia. Di momen ini, ada tiga amalan sunnah yang sangat dianjurkan: puasa, takbir, dan qurban. Jangan sampai terlewat!  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. PUASA AWAL DZULHIJJAH 3. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAH 4. Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad 5. JANGAN LUPA BERQURBAN 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللّٰهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ الْقَائِمُ بِحُقُوْقِ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُفَيَا عِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًاوَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari terbaik dan paling agung di sisi Allah Ta’ala. Ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad hasan dan Abu Ya’la dengan sanad sahih, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib. Dalam hadits tersebut, Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا الْعَشْرُ” – يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ –“Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari itu”, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.قِيلَ: وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ:“وَلَا مِثْلَهُنَّ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ.”Para sahabat bertanya, “Apakah tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, meski seseorang berjuang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada yang bisa menandingi keutamaannya, kecuali seseorang yang keluar berjihad, lalu ia tidak kembali lagi, karena mati syahid.”Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk memperbanyak amal saleh pada hari-hari yang penuh kemuliaan ini. Amal saleh di sepuluh hari awal Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ.”قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ:“وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ.”“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih utama untuk dilakukan dibanding hari-hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat pun kembali bertanya, “Termasuk juga jihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk juga jihad, kecuali seseorang yang pergi dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (karena gugur di medan perang).” PUASA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan yang dianjurkan adalah berpuasa pada awal Dzulhijjah.Dari Hafshah radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata:أربعٌ لم يكن يدعهن رسولُ اللهِ ﷺ: صيامُ يومِ عاشوراءَ، والعَشْرِ، وثلاثةِ أيامٍ من كلِّ شهرٍ، والرَّكعتينِ قبلَ الغداةِ.“Ada empat amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ: puasa hari ‘Āsyūrā’, puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad, An-Nasā’ī, dan Ibnu Ḥibbān. Hadits ini dinilai sahih)Hadits ini menunjukkan bahwa puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah amalan yang dianjurkan. Meskipun ada riwayat dalam Shahih Muslim dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan:ما رأيتُ رسولَ اللهِ ﷺ صائمًا في العَشْرِ قطّ“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari tersebut.”Para ulama menjelaskan bahwa maksud pernyataan ‘Āisyah ini adalah beliau tidak melihat karena mungkin saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berhalangan, seperti sakit atau dalam perjalanan, atau memang puasa beliau tidak tampak karena bersifat pribadi. Jadi, tidak terlihat bukan berarti tidak dilakukan.Lagipula, puasa termasuk salah satu bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari-hari yang disebut sebagai hari paling dicintai Allah untuk beramal di dalamnya.Kesimpulannya:✅ Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah sunnah.❌ Tidak termasuk hari raya (10 Dzulhijjah) karena haram berpuasa saat itu.🔆 Yang paling utama adalah puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang berhaji.📍 Setelahnya, puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) juga sangat dianjurkan, lalu hari-hari lainnya. TAKBIR PADA AWAL DZULHIJJAHDi antara amalan sunnah yang sering luput dari perhatian umat Islam adalah memperbanyak takbir di awal bulan Dzulhijjah, khususnya selama sepuluh hari pertamanya. Padahal, ini merupakan amalan yang dianjurkan berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan diamalkan oleh para sahabat.Allah Ta’ala berfirman:وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍۢ“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Ḥajj: 28)Yang dimaksud dengan “الأيام المعلومات” (hari-hari yang telah ditentukan) menurut mayoritas ulama adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbās, Al-Ḥasan Al-Baṣrī, ‘Aṭā’, Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, An-Nakhā‘ī, serta imam-imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad (pendapat yang masyhur darinya). Penjelasan ini bisa dilihat dalam karya Ibn Rajab Al-Ḥanbalī Laṭā`if Al-Ma‘ārif, hlm. 462 dan 471.Bahkan Imam Al-Bukhārī rahimahullāh menyebutkan dalam salah satu riwayat:وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ﴿وَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَاتٍ﴾ أَيَّامُ ٱلْعَشْرِ، وَٱلْأَيَّامُ ٱلْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ ٱلتَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى ٱلسُّوقِ فِىٓ أَيَّامِ ٱلْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ ٱلنَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ ٱلنَّافِلَةِ.Ibnu ‘Abbās berkata: “Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”, maksudnya adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan “الأيام المعدودات” adalah hari-hari tasyriq. Ibnu ‘Umar dan Abū Hurairah pernah keluar ke pasar di hari-hari tersebut, lalu mereka bertakbir dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mereka. Muhammad bin ‘Alī juga bertakbir setelah shalat sunnah. (Diriwayatkan oleh Bukhārī secara mu‘allaq dalam Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)Dalam tradisi Islam, dikenal dua bentuk takbir:1. Takbir Mutlaq (مطلق)Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki.2. Takbir Muqayyad (مقيَّد)Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat.Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah).Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq.Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad TAKBIR MUTLAK/MURSALTAKBIR MUQAYYADTakbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah.Terkait Idulfitri dan IduladhaTerkait Iduladha saja.Waktunya:dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id.Waktunya:– Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari.– Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina).Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat.Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat.Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha.Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat. Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198.Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini. JANGAN LUPA BERQURBANLalu amalan penting lainnya adalah amalan qurban. Ada ulama yang berpendapat bahwa qurban itu wajib, ada ulama yang berpendapat bahwa berqurban itu sunnah bagi yang mampu.Pendapat tentang kewajiban berkurban telah dinukil dari sejumlah sahabat Nabi –radhiyallahu ‘anhum– seperti Abu Bakr, Umar, Bilal, dan Abu Mas’ud Al Badri. Pendapat ini juga dianut oleh para tabi’in dan ulama setelah mereka seperti Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atho’, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.Demikian pula Rabi’ah, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban itu wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا“Barang siapa yang memiliki kelapangan (rezeki), lalu tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Dari Mikhnaf bin Sulaim –radhiyallahu ‘anhu– juga diriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أُضْحَاةً وَعَتِيرَةً“Wahai manusia, sesungguhnya setiap keluarga wajib menyembelih qurban dan ‘atirah setiap tahun.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, sebagian ulama melemahkannya)Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah.Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. (Nashbu Ar Rayah: 4/211)Imam Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ“Ada tiga hal yang diwajibkan kepadaku, namun bagi kalian dihukumi sebagai sunnah.” Dalam riwayat lain disebutkan:الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ“Witir, menyembelih qurban, dan dua raka’at (shalat sunnah) sebelum Subuh.” (HR. Ad-Daruquthni)Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:“Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. (At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258)Selain itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda:مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا“Barang siapa yang ingin berkurban, kemudian telah memasuki (sepuluh hari pertama) bulan Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim)Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah qurban dikaitkan dengan keinginan (مَنْ أَرَادَ), yang menjadi ciri ibadah sunnah, karena ibadah yang wajib tidak dikaitkan dengan syarat keinginan melainkan sebagai perintah mutlak. Demikian kesimpulan penjelasan dari Imam Syafii mengenai dalil ini.Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata: أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ“Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.Imam Baihaqi berkata setelahnya:“Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori:“Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga)Semoga kita dimudahkan untuk berpuasa, bertakbir, dan berqurban di bulan mulia, bulan Dzulhijjah. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَبِهِ وَ كَفَرَ،وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَاِئِقَ وَالْبَشَرِ.اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَسَلَّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً۰ اَمَّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَ ﷲ، اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ، وَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ   إِنَّ اللّٰهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، فَقَالَ قَوْلًا كَرِيمًا: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، ااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ–Naskah Khutbah Jum’at pada 25 Dzulqa’dah 1446 H (23 Mei 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagshukum qurban keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban qurban
Prev     Next