Pentingnya Me Time dan Family Time Menurut Ajaran Islam

Me time adalah waktu untuk diri sendiri tanpa gangguan, bertujuan merilekskan pikiran, menjaga kesehatan mental, dan mengisi ulang energi. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa membaca, olahraga, atau istirahat. Sementara itu, family time adalah waktu bersama keluarga untuk mempererat hubungan, meningkatkan komunikasi, dan menciptakan kebersamaan, seperti makan bersama atau berlibur. Bagaimanakah pentingnya me time dan family time menurut syariat Islam serta bagaimana kiat-kiat mewujudkannya?   Daftar Isi tutup 1. Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time 2. Kiat Me Time Menurut Islam 3. Kiat Family Time Menurut Islam 4. Kesimpulan   Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time Konsep me time dan family time bisa disimpulkan dari ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dalam hidup, baik antara hubungan dengan Allah (ibadah) maupun hubungan antar manusia (muamalah). Dalam Islam, menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritual merupakan bagian dari ibadah. 1. Me time (waktu untuk diri sendiri): Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ مَنَامُكُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱبْتِغَآؤُكُم مِّن فَضْلِهِۦٓ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَسْمَعُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar-Ruum: 23) Dalam Tafsir Al-Muyassar, disebutkan mengenai makna ayat ini, “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Dia menjadikan tidur sebagai sarana istirahat bagi kalian, baik di malam maupun di siang hari. Tidur berfungsi untuk menghilangkan kelelahan dan memulihkan tenaga. Selain itu, Allah menjadikan siang hari sebagai waktu untuk kalian berusaha mencari rezeki. Semua ini merupakan bukti nyata atas kesempurnaan kekuasaan Allah dan terlaksananya kehendak-Nya bagi orang-orang yang mendengar nasihat dengan pendengaran yang disertai perenungan, pemikiran, dan pengambilan pelajaran.” Waktu istirahat, refleksi diri, serta berzikir dapat dianggap sebagai bagian dari me time dalam rangka memperbaiki kondisi diri. Baca juga: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidur Malam Jam Berapa? 2.Family time (waktu bersama keluarga): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan pentingnya memperhatikan keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Hal ini menekankan bahwa memberi waktu dan perhatian kepada keluarga merupakan bagian dari keutamaan dalam Islam. Baca juga: Suami Terbaik adalah Suami yang Selalu Membantu Istri di Rumah 3. Hadits mengenai nasihat Salman pada Abu Darda’ bagus juga direnungkan untuk memahami me time dan family time. Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Suatu ketika, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan berpakaian lusuh. Salman bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Ummu Darda’ menjawab, ‘Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak lagi mempedulikan urusan dunia.’ Tidak lama kemudian, Abu Darda’ datang dan menyiapkan makanan untuk Salman. Ketika makanan siap, Abu Darda’ berkata, ‘Makanlah, karena saya sedang berpuasa.’ Salman menjawab, ‘Saya tidak akan makan sebelum engkau juga makan.’ Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat malam. Namun Salman berkata, ‘Tidurlah.’ Abu Darda’ pun kembali tidur. Ketika ia bangun lagi untuk shalat malam, Salman kembali berkata, ‘Tidurlah.’ Hingga saat menjelang akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang bangunlah,’ lalu mereka berdua melaksanakan shalat bersama. Setelah selesai, Salman memberikan nasihat kepada Abu Darda’, إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ ‘Sesungguhnya, Rabbmu memiliki hak atasmu, dirimu juga memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.’ Abu Darda’ kemudian mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Nabi pun bersabda, ‘Salman benar.'” (HR. Bukhari no. 1968) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda’ tentang Me Time dan Family Time Hadits ini menjelaskan pentingnya menunaikan hak-hak yang seimbang, yaitu hak Allah, hak diri sendiri, dan hak keluarga. Dalam konteks me time, Salman mengingatkan Abu Darda’ bahwa tubuh dan diri seseorang juga memiliki hak untuk beristirahat. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan perlunya menjaga keseimbangan antara ibadah, kesehatan fisik, dan kesejahteraan mental. Meluangkan waktu untuk istirahat dan refleksi diri merupakan bagian dari memenuhi hak diri sendiri. Sedangkan dalam konteks family time, hadits ini menekankan pentingnya memberi perhatian kepada keluarga. Ummu Darda’ merasa terabaikan karena Abu Darda’ terlalu sibuk dengan urusan ibadah dan tidak memberi perhatian yang cukup kepada istrinya. Salman kemudian mengingatkan bahwa keluarga juga memiliki hak yang harus dipenuhi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membenarkan nasihat Salman ini, yang mengajarkan bahwa setiap aspek kehidupan, termasuk ibadah, perawatan diri, dan hubungan keluarga, harus diatur secara seimbang. Dengan demikian, hadits ini mendukung perlunya memberikan waktu yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.  Baca juga: Kisah Salman Al-Farisi Masuk Islam   Kiat Me Time Menurut Islam 1. Berzikir dan Refleksi Diri Luangkan waktu untuk mengingat Allah dan melakukan muhasabah (introspeksi). Ini penting untuk menenangkan pikiran dan menguatkan keimanan. Allah berfirman dalam Al-Quran, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Baca juga: Cara Muhasabah Diri 2. Menjaga Kesehatan Tubuh dan Istirahat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَلَا تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا. “Wahai Abdullah, apakah benar aku mendengar bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan mengerjakan shalat sepanjang malam?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan hal itu. Berpuasalah dan berbukalah, shalatlah (di malam hari) dan tidurlah, karena tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan istrimu juga memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari, no. 5199 dan Muslim, no. 1159) Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong kita untuk merawat tubuh dan memberikan istirahat yang cukup, yang merupakan inti dari me time. Baca juga: Jika Sudah Rutin, Jangan Tinggalkan Shalat Malam 3. Memanfaatkan Waktu untuk Beribadah Shalat, membaca Al-Quran, atau berzikir bisa menjadi bentuk me time yang efektif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat penting kepada seseorang agar memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya. Beliau bersabda, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dinilai sahih oleh Al-Hakim sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim, serta dikonfirmasi kesahihannya oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani). Baca juga: Manfaatkan Lima Perkara Sebelum Menyesal Kiat Family Time Menurut Islam 1. Meluangkan Waktu untuk Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Ini menunjukkan pentingnya meluangkan waktu untuk keluarga dan memperlakukan mereka dengan baik. 2. Makan Bersama Keluarga Makan bersama merupakan aktivitas sederhana yang dapat mempererat hubungan keluarga. Dari Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu, bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak merasa kenyang.” Beliau bersabda, “Mungkin kalian makan dengan berpencar?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda, فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ “Maka berkumpullah ketika makan kalian, dan sebutlah nama Allah atas makanan itu, niscaya kalian akan diberkahi di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 3764 dan Ibnu Majah, no. 2674. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Kebersamaan dalam makan bisa menjadi salah satu bentuk family time yang mudah dilakukan. Baca juga: Makan Berjamaah Bawa Berkah 3. Bermain atau Menghabiskan Waktu Bersama Anak-anak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sering bermain dan bercanda dengan anak-anak. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermain dengan cucunya, Hasan dan Husain, untuk menunjukkan kasih sayangnya. Meluangkan waktu dengan anak-anak bukan hanya mempererat ikatan, tetapi juga memberikan keteladanan yang baik dalam hal kasih sayang. Baca juga: Menggendong Anak Kecil Saat Shalat 4. Memberikan Perhatian dan Kasih Sayang Perhatian dan kasih sayang merupakan kunci dari family time. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, ‘Aku punya sepuluh orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.”(HR. Bukhari, no. 5997 dan Muslim, no. 2318) Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya kasih sayang dan perhatian dalam keluarga. Baca juga: Menjadi Orang Tua Penyayang   Kesimpulan Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara waktu untuk diri sendiri (me time) dan waktu bersama keluarga (family time). Keduanya dianggap sebagai bagian dari ibadah dalam Islam, dengan tujuan menjaga kesehatan fisik, mental, serta mempererat hubungan keluarga, semuanya dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak sesuai ajaran Islam. Baca juga:  Moga Ayah Bisa Meluangkan Waktu untuk Keluarga 10 Tips Liburan Bersama Keluarga dan Bawa Berkah   Amazing Vacation to Yogyakarta: Rihlah Keluarga Sakinah #2 dengan tema “Sehidup Sesurga” akan berlangsung pada 20-22 Desember 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Liburan ini dirancang untuk mewujudkan family time yang berkualitas dengan kegiatan wisata yang sarat ilmu agama, untuk menggapai keluarga Sehidup Sesurga. Narasumber yang akan hadir adalah Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Ustadz Abdurrahman Zahier, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, dan Ustadz Erlan Iskandar, serta ada kajian khusus untuk remaja dan anak oleh Kak Yogi Kusprayogi dan Tim Anak Muslim Ceria (AMCA). Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: 0812 2714 151, 0812 9035 5060, atau 0822 2772 1081 atau Instagram @rihlakeluarga.sakinah   – Disusun di bus Makkah – Thaif, 23 Rabiuts Tsani 1446 H, 27 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsfamily time jaga keluarga keluarga liburan keluarga Masalah keluarga me time

Pentingnya Me Time dan Family Time Menurut Ajaran Islam

Me time adalah waktu untuk diri sendiri tanpa gangguan, bertujuan merilekskan pikiran, menjaga kesehatan mental, dan mengisi ulang energi. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa membaca, olahraga, atau istirahat. Sementara itu, family time adalah waktu bersama keluarga untuk mempererat hubungan, meningkatkan komunikasi, dan menciptakan kebersamaan, seperti makan bersama atau berlibur. Bagaimanakah pentingnya me time dan family time menurut syariat Islam serta bagaimana kiat-kiat mewujudkannya?   Daftar Isi tutup 1. Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time 2. Kiat Me Time Menurut Islam 3. Kiat Family Time Menurut Islam 4. Kesimpulan   Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time Konsep me time dan family time bisa disimpulkan dari ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dalam hidup, baik antara hubungan dengan Allah (ibadah) maupun hubungan antar manusia (muamalah). Dalam Islam, menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritual merupakan bagian dari ibadah. 1. Me time (waktu untuk diri sendiri): Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ مَنَامُكُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱبْتِغَآؤُكُم مِّن فَضْلِهِۦٓ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَسْمَعُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar-Ruum: 23) Dalam Tafsir Al-Muyassar, disebutkan mengenai makna ayat ini, “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Dia menjadikan tidur sebagai sarana istirahat bagi kalian, baik di malam maupun di siang hari. Tidur berfungsi untuk menghilangkan kelelahan dan memulihkan tenaga. Selain itu, Allah menjadikan siang hari sebagai waktu untuk kalian berusaha mencari rezeki. Semua ini merupakan bukti nyata atas kesempurnaan kekuasaan Allah dan terlaksananya kehendak-Nya bagi orang-orang yang mendengar nasihat dengan pendengaran yang disertai perenungan, pemikiran, dan pengambilan pelajaran.” Waktu istirahat, refleksi diri, serta berzikir dapat dianggap sebagai bagian dari me time dalam rangka memperbaiki kondisi diri. Baca juga: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidur Malam Jam Berapa? 2.Family time (waktu bersama keluarga): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan pentingnya memperhatikan keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Hal ini menekankan bahwa memberi waktu dan perhatian kepada keluarga merupakan bagian dari keutamaan dalam Islam. Baca juga: Suami Terbaik adalah Suami yang Selalu Membantu Istri di Rumah 3. Hadits mengenai nasihat Salman pada Abu Darda’ bagus juga direnungkan untuk memahami me time dan family time. Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Suatu ketika, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan berpakaian lusuh. Salman bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Ummu Darda’ menjawab, ‘Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak lagi mempedulikan urusan dunia.’ Tidak lama kemudian, Abu Darda’ datang dan menyiapkan makanan untuk Salman. Ketika makanan siap, Abu Darda’ berkata, ‘Makanlah, karena saya sedang berpuasa.’ Salman menjawab, ‘Saya tidak akan makan sebelum engkau juga makan.’ Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat malam. Namun Salman berkata, ‘Tidurlah.’ Abu Darda’ pun kembali tidur. Ketika ia bangun lagi untuk shalat malam, Salman kembali berkata, ‘Tidurlah.’ Hingga saat menjelang akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang bangunlah,’ lalu mereka berdua melaksanakan shalat bersama. Setelah selesai, Salman memberikan nasihat kepada Abu Darda’, إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ ‘Sesungguhnya, Rabbmu memiliki hak atasmu, dirimu juga memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.’ Abu Darda’ kemudian mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Nabi pun bersabda, ‘Salman benar.'” (HR. Bukhari no. 1968) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda’ tentang Me Time dan Family Time Hadits ini menjelaskan pentingnya menunaikan hak-hak yang seimbang, yaitu hak Allah, hak diri sendiri, dan hak keluarga. Dalam konteks me time, Salman mengingatkan Abu Darda’ bahwa tubuh dan diri seseorang juga memiliki hak untuk beristirahat. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan perlunya menjaga keseimbangan antara ibadah, kesehatan fisik, dan kesejahteraan mental. Meluangkan waktu untuk istirahat dan refleksi diri merupakan bagian dari memenuhi hak diri sendiri. Sedangkan dalam konteks family time, hadits ini menekankan pentingnya memberi perhatian kepada keluarga. Ummu Darda’ merasa terabaikan karena Abu Darda’ terlalu sibuk dengan urusan ibadah dan tidak memberi perhatian yang cukup kepada istrinya. Salman kemudian mengingatkan bahwa keluarga juga memiliki hak yang harus dipenuhi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membenarkan nasihat Salman ini, yang mengajarkan bahwa setiap aspek kehidupan, termasuk ibadah, perawatan diri, dan hubungan keluarga, harus diatur secara seimbang. Dengan demikian, hadits ini mendukung perlunya memberikan waktu yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.  Baca juga: Kisah Salman Al-Farisi Masuk Islam   Kiat Me Time Menurut Islam 1. Berzikir dan Refleksi Diri Luangkan waktu untuk mengingat Allah dan melakukan muhasabah (introspeksi). Ini penting untuk menenangkan pikiran dan menguatkan keimanan. Allah berfirman dalam Al-Quran, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Baca juga: Cara Muhasabah Diri 2. Menjaga Kesehatan Tubuh dan Istirahat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَلَا تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا. “Wahai Abdullah, apakah benar aku mendengar bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan mengerjakan shalat sepanjang malam?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan hal itu. Berpuasalah dan berbukalah, shalatlah (di malam hari) dan tidurlah, karena tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan istrimu juga memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari, no. 5199 dan Muslim, no. 1159) Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong kita untuk merawat tubuh dan memberikan istirahat yang cukup, yang merupakan inti dari me time. Baca juga: Jika Sudah Rutin, Jangan Tinggalkan Shalat Malam 3. Memanfaatkan Waktu untuk Beribadah Shalat, membaca Al-Quran, atau berzikir bisa menjadi bentuk me time yang efektif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat penting kepada seseorang agar memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya. Beliau bersabda, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dinilai sahih oleh Al-Hakim sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim, serta dikonfirmasi kesahihannya oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani). Baca juga: Manfaatkan Lima Perkara Sebelum Menyesal Kiat Family Time Menurut Islam 1. Meluangkan Waktu untuk Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Ini menunjukkan pentingnya meluangkan waktu untuk keluarga dan memperlakukan mereka dengan baik. 2. Makan Bersama Keluarga Makan bersama merupakan aktivitas sederhana yang dapat mempererat hubungan keluarga. Dari Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu, bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak merasa kenyang.” Beliau bersabda, “Mungkin kalian makan dengan berpencar?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda, فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ “Maka berkumpullah ketika makan kalian, dan sebutlah nama Allah atas makanan itu, niscaya kalian akan diberkahi di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 3764 dan Ibnu Majah, no. 2674. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Kebersamaan dalam makan bisa menjadi salah satu bentuk family time yang mudah dilakukan. Baca juga: Makan Berjamaah Bawa Berkah 3. Bermain atau Menghabiskan Waktu Bersama Anak-anak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sering bermain dan bercanda dengan anak-anak. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermain dengan cucunya, Hasan dan Husain, untuk menunjukkan kasih sayangnya. Meluangkan waktu dengan anak-anak bukan hanya mempererat ikatan, tetapi juga memberikan keteladanan yang baik dalam hal kasih sayang. Baca juga: Menggendong Anak Kecil Saat Shalat 4. Memberikan Perhatian dan Kasih Sayang Perhatian dan kasih sayang merupakan kunci dari family time. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, ‘Aku punya sepuluh orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.”(HR. Bukhari, no. 5997 dan Muslim, no. 2318) Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya kasih sayang dan perhatian dalam keluarga. Baca juga: Menjadi Orang Tua Penyayang   Kesimpulan Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara waktu untuk diri sendiri (me time) dan waktu bersama keluarga (family time). Keduanya dianggap sebagai bagian dari ibadah dalam Islam, dengan tujuan menjaga kesehatan fisik, mental, serta mempererat hubungan keluarga, semuanya dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak sesuai ajaran Islam. Baca juga:  Moga Ayah Bisa Meluangkan Waktu untuk Keluarga 10 Tips Liburan Bersama Keluarga dan Bawa Berkah   Amazing Vacation to Yogyakarta: Rihlah Keluarga Sakinah #2 dengan tema “Sehidup Sesurga” akan berlangsung pada 20-22 Desember 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Liburan ini dirancang untuk mewujudkan family time yang berkualitas dengan kegiatan wisata yang sarat ilmu agama, untuk menggapai keluarga Sehidup Sesurga. Narasumber yang akan hadir adalah Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Ustadz Abdurrahman Zahier, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, dan Ustadz Erlan Iskandar, serta ada kajian khusus untuk remaja dan anak oleh Kak Yogi Kusprayogi dan Tim Anak Muslim Ceria (AMCA). Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: 0812 2714 151, 0812 9035 5060, atau 0822 2772 1081 atau Instagram @rihlakeluarga.sakinah   – Disusun di bus Makkah – Thaif, 23 Rabiuts Tsani 1446 H, 27 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsfamily time jaga keluarga keluarga liburan keluarga Masalah keluarga me time
Me time adalah waktu untuk diri sendiri tanpa gangguan, bertujuan merilekskan pikiran, menjaga kesehatan mental, dan mengisi ulang energi. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa membaca, olahraga, atau istirahat. Sementara itu, family time adalah waktu bersama keluarga untuk mempererat hubungan, meningkatkan komunikasi, dan menciptakan kebersamaan, seperti makan bersama atau berlibur. Bagaimanakah pentingnya me time dan family time menurut syariat Islam serta bagaimana kiat-kiat mewujudkannya?   Daftar Isi tutup 1. Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time 2. Kiat Me Time Menurut Islam 3. Kiat Family Time Menurut Islam 4. Kesimpulan   Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time Konsep me time dan family time bisa disimpulkan dari ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dalam hidup, baik antara hubungan dengan Allah (ibadah) maupun hubungan antar manusia (muamalah). Dalam Islam, menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritual merupakan bagian dari ibadah. 1. Me time (waktu untuk diri sendiri): Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ مَنَامُكُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱبْتِغَآؤُكُم مِّن فَضْلِهِۦٓ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَسْمَعُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar-Ruum: 23) Dalam Tafsir Al-Muyassar, disebutkan mengenai makna ayat ini, “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Dia menjadikan tidur sebagai sarana istirahat bagi kalian, baik di malam maupun di siang hari. Tidur berfungsi untuk menghilangkan kelelahan dan memulihkan tenaga. Selain itu, Allah menjadikan siang hari sebagai waktu untuk kalian berusaha mencari rezeki. Semua ini merupakan bukti nyata atas kesempurnaan kekuasaan Allah dan terlaksananya kehendak-Nya bagi orang-orang yang mendengar nasihat dengan pendengaran yang disertai perenungan, pemikiran, dan pengambilan pelajaran.” Waktu istirahat, refleksi diri, serta berzikir dapat dianggap sebagai bagian dari me time dalam rangka memperbaiki kondisi diri. Baca juga: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidur Malam Jam Berapa? 2.Family time (waktu bersama keluarga): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan pentingnya memperhatikan keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Hal ini menekankan bahwa memberi waktu dan perhatian kepada keluarga merupakan bagian dari keutamaan dalam Islam. Baca juga: Suami Terbaik adalah Suami yang Selalu Membantu Istri di Rumah 3. Hadits mengenai nasihat Salman pada Abu Darda’ bagus juga direnungkan untuk memahami me time dan family time. Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Suatu ketika, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan berpakaian lusuh. Salman bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Ummu Darda’ menjawab, ‘Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak lagi mempedulikan urusan dunia.’ Tidak lama kemudian, Abu Darda’ datang dan menyiapkan makanan untuk Salman. Ketika makanan siap, Abu Darda’ berkata, ‘Makanlah, karena saya sedang berpuasa.’ Salman menjawab, ‘Saya tidak akan makan sebelum engkau juga makan.’ Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat malam. Namun Salman berkata, ‘Tidurlah.’ Abu Darda’ pun kembali tidur. Ketika ia bangun lagi untuk shalat malam, Salman kembali berkata, ‘Tidurlah.’ Hingga saat menjelang akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang bangunlah,’ lalu mereka berdua melaksanakan shalat bersama. Setelah selesai, Salman memberikan nasihat kepada Abu Darda’, إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ ‘Sesungguhnya, Rabbmu memiliki hak atasmu, dirimu juga memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.’ Abu Darda’ kemudian mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Nabi pun bersabda, ‘Salman benar.'” (HR. Bukhari no. 1968) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda’ tentang Me Time dan Family Time Hadits ini menjelaskan pentingnya menunaikan hak-hak yang seimbang, yaitu hak Allah, hak diri sendiri, dan hak keluarga. Dalam konteks me time, Salman mengingatkan Abu Darda’ bahwa tubuh dan diri seseorang juga memiliki hak untuk beristirahat. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan perlunya menjaga keseimbangan antara ibadah, kesehatan fisik, dan kesejahteraan mental. Meluangkan waktu untuk istirahat dan refleksi diri merupakan bagian dari memenuhi hak diri sendiri. Sedangkan dalam konteks family time, hadits ini menekankan pentingnya memberi perhatian kepada keluarga. Ummu Darda’ merasa terabaikan karena Abu Darda’ terlalu sibuk dengan urusan ibadah dan tidak memberi perhatian yang cukup kepada istrinya. Salman kemudian mengingatkan bahwa keluarga juga memiliki hak yang harus dipenuhi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membenarkan nasihat Salman ini, yang mengajarkan bahwa setiap aspek kehidupan, termasuk ibadah, perawatan diri, dan hubungan keluarga, harus diatur secara seimbang. Dengan demikian, hadits ini mendukung perlunya memberikan waktu yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.  Baca juga: Kisah Salman Al-Farisi Masuk Islam   Kiat Me Time Menurut Islam 1. Berzikir dan Refleksi Diri Luangkan waktu untuk mengingat Allah dan melakukan muhasabah (introspeksi). Ini penting untuk menenangkan pikiran dan menguatkan keimanan. Allah berfirman dalam Al-Quran, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Baca juga: Cara Muhasabah Diri 2. Menjaga Kesehatan Tubuh dan Istirahat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَلَا تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا. “Wahai Abdullah, apakah benar aku mendengar bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan mengerjakan shalat sepanjang malam?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan hal itu. Berpuasalah dan berbukalah, shalatlah (di malam hari) dan tidurlah, karena tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan istrimu juga memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari, no. 5199 dan Muslim, no. 1159) Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong kita untuk merawat tubuh dan memberikan istirahat yang cukup, yang merupakan inti dari me time. Baca juga: Jika Sudah Rutin, Jangan Tinggalkan Shalat Malam 3. Memanfaatkan Waktu untuk Beribadah Shalat, membaca Al-Quran, atau berzikir bisa menjadi bentuk me time yang efektif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat penting kepada seseorang agar memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya. Beliau bersabda, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dinilai sahih oleh Al-Hakim sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim, serta dikonfirmasi kesahihannya oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani). Baca juga: Manfaatkan Lima Perkara Sebelum Menyesal Kiat Family Time Menurut Islam 1. Meluangkan Waktu untuk Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Ini menunjukkan pentingnya meluangkan waktu untuk keluarga dan memperlakukan mereka dengan baik. 2. Makan Bersama Keluarga Makan bersama merupakan aktivitas sederhana yang dapat mempererat hubungan keluarga. Dari Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu, bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak merasa kenyang.” Beliau bersabda, “Mungkin kalian makan dengan berpencar?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda, فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ “Maka berkumpullah ketika makan kalian, dan sebutlah nama Allah atas makanan itu, niscaya kalian akan diberkahi di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 3764 dan Ibnu Majah, no. 2674. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Kebersamaan dalam makan bisa menjadi salah satu bentuk family time yang mudah dilakukan. Baca juga: Makan Berjamaah Bawa Berkah 3. Bermain atau Menghabiskan Waktu Bersama Anak-anak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sering bermain dan bercanda dengan anak-anak. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermain dengan cucunya, Hasan dan Husain, untuk menunjukkan kasih sayangnya. Meluangkan waktu dengan anak-anak bukan hanya mempererat ikatan, tetapi juga memberikan keteladanan yang baik dalam hal kasih sayang. Baca juga: Menggendong Anak Kecil Saat Shalat 4. Memberikan Perhatian dan Kasih Sayang Perhatian dan kasih sayang merupakan kunci dari family time. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, ‘Aku punya sepuluh orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.”(HR. Bukhari, no. 5997 dan Muslim, no. 2318) Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya kasih sayang dan perhatian dalam keluarga. Baca juga: Menjadi Orang Tua Penyayang   Kesimpulan Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara waktu untuk diri sendiri (me time) dan waktu bersama keluarga (family time). Keduanya dianggap sebagai bagian dari ibadah dalam Islam, dengan tujuan menjaga kesehatan fisik, mental, serta mempererat hubungan keluarga, semuanya dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak sesuai ajaran Islam. Baca juga:  Moga Ayah Bisa Meluangkan Waktu untuk Keluarga 10 Tips Liburan Bersama Keluarga dan Bawa Berkah   Amazing Vacation to Yogyakarta: Rihlah Keluarga Sakinah #2 dengan tema “Sehidup Sesurga” akan berlangsung pada 20-22 Desember 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Liburan ini dirancang untuk mewujudkan family time yang berkualitas dengan kegiatan wisata yang sarat ilmu agama, untuk menggapai keluarga Sehidup Sesurga. Narasumber yang akan hadir adalah Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Ustadz Abdurrahman Zahier, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, dan Ustadz Erlan Iskandar, serta ada kajian khusus untuk remaja dan anak oleh Kak Yogi Kusprayogi dan Tim Anak Muslim Ceria (AMCA). Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: 0812 2714 151, 0812 9035 5060, atau 0822 2772 1081 atau Instagram @rihlakeluarga.sakinah   – Disusun di bus Makkah – Thaif, 23 Rabiuts Tsani 1446 H, 27 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsfamily time jaga keluarga keluarga liburan keluarga Masalah keluarga me time


Me time adalah waktu untuk diri sendiri tanpa gangguan, bertujuan merilekskan pikiran, menjaga kesehatan mental, dan mengisi ulang energi. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa membaca, olahraga, atau istirahat. Sementara itu, family time adalah waktu bersama keluarga untuk mempererat hubungan, meningkatkan komunikasi, dan menciptakan kebersamaan, seperti makan bersama atau berlibur. Bagaimanakah pentingnya me time dan family time menurut syariat Islam serta bagaimana kiat-kiat mewujudkannya?   Daftar Isi tutup 1. Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time 2. Kiat Me Time Menurut Islam 3. Kiat Family Time Menurut Islam 4. Kesimpulan   Perintah Islam agar Memiliki Me Time dan Family Time Konsep me time dan family time bisa disimpulkan dari ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dalam hidup, baik antara hubungan dengan Allah (ibadah) maupun hubungan antar manusia (muamalah). Dalam Islam, menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritual merupakan bagian dari ibadah. 1. Me time (waktu untuk diri sendiri): Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ مَنَامُكُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱبْتِغَآؤُكُم مِّن فَضْلِهِۦٓ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَسْمَعُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar-Ruum: 23) Dalam Tafsir Al-Muyassar, disebutkan mengenai makna ayat ini, “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Dia menjadikan tidur sebagai sarana istirahat bagi kalian, baik di malam maupun di siang hari. Tidur berfungsi untuk menghilangkan kelelahan dan memulihkan tenaga. Selain itu, Allah menjadikan siang hari sebagai waktu untuk kalian berusaha mencari rezeki. Semua ini merupakan bukti nyata atas kesempurnaan kekuasaan Allah dan terlaksananya kehendak-Nya bagi orang-orang yang mendengar nasihat dengan pendengaran yang disertai perenungan, pemikiran, dan pengambilan pelajaran.” Waktu istirahat, refleksi diri, serta berzikir dapat dianggap sebagai bagian dari me time dalam rangka memperbaiki kondisi diri. Baca juga: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidur Malam Jam Berapa? 2.Family time (waktu bersama keluarga): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan pentingnya memperhatikan keluarga. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Hal ini menekankan bahwa memberi waktu dan perhatian kepada keluarga merupakan bagian dari keutamaan dalam Islam. Baca juga: Suami Terbaik adalah Suami yang Selalu Membantu Istri di Rumah 3. Hadits mengenai nasihat Salman pada Abu Darda’ bagus juga direnungkan untuk memahami me time dan family time. Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Suatu ketika, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan berpakaian lusuh. Salman bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Ummu Darda’ menjawab, ‘Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak lagi mempedulikan urusan dunia.’ Tidak lama kemudian, Abu Darda’ datang dan menyiapkan makanan untuk Salman. Ketika makanan siap, Abu Darda’ berkata, ‘Makanlah, karena saya sedang berpuasa.’ Salman menjawab, ‘Saya tidak akan makan sebelum engkau juga makan.’ Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat malam. Namun Salman berkata, ‘Tidurlah.’ Abu Darda’ pun kembali tidur. Ketika ia bangun lagi untuk shalat malam, Salman kembali berkata, ‘Tidurlah.’ Hingga saat menjelang akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang bangunlah,’ lalu mereka berdua melaksanakan shalat bersama. Setelah selesai, Salman memberikan nasihat kepada Abu Darda’, إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ ‘Sesungguhnya, Rabbmu memiliki hak atasmu, dirimu juga memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.’ Abu Darda’ kemudian mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Nabi pun bersabda, ‘Salman benar.'” (HR. Bukhari no. 1968) Baca juga: Nasihat Salman pada Abu Darda’ tentang Me Time dan Family Time Hadits ini menjelaskan pentingnya menunaikan hak-hak yang seimbang, yaitu hak Allah, hak diri sendiri, dan hak keluarga. Dalam konteks me time, Salman mengingatkan Abu Darda’ bahwa tubuh dan diri seseorang juga memiliki hak untuk beristirahat. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan perlunya menjaga keseimbangan antara ibadah, kesehatan fisik, dan kesejahteraan mental. Meluangkan waktu untuk istirahat dan refleksi diri merupakan bagian dari memenuhi hak diri sendiri. Sedangkan dalam konteks family time, hadits ini menekankan pentingnya memberi perhatian kepada keluarga. Ummu Darda’ merasa terabaikan karena Abu Darda’ terlalu sibuk dengan urusan ibadah dan tidak memberi perhatian yang cukup kepada istrinya. Salman kemudian mengingatkan bahwa keluarga juga memiliki hak yang harus dipenuhi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membenarkan nasihat Salman ini, yang mengajarkan bahwa setiap aspek kehidupan, termasuk ibadah, perawatan diri, dan hubungan keluarga, harus diatur secara seimbang. Dengan demikian, hadits ini mendukung perlunya memberikan waktu yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.  Baca juga: Kisah Salman Al-Farisi Masuk Islam   Kiat Me Time Menurut Islam 1. Berzikir dan Refleksi Diri Luangkan waktu untuk mengingat Allah dan melakukan muhasabah (introspeksi). Ini penting untuk menenangkan pikiran dan menguatkan keimanan. Allah berfirman dalam Al-Quran, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28) Baca juga: Cara Muhasabah Diri 2. Menjaga Kesehatan Tubuh dan Istirahat Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَلَا تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا. “Wahai Abdullah, apakah benar aku mendengar bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan mengerjakan shalat sepanjang malam?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan hal itu. Berpuasalah dan berbukalah, shalatlah (di malam hari) dan tidurlah, karena tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan istrimu juga memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari, no. 5199 dan Muslim, no. 1159) Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong kita untuk merawat tubuh dan memberikan istirahat yang cukup, yang merupakan inti dari me time. Baca juga: Jika Sudah Rutin, Jangan Tinggalkan Shalat Malam 3. Memanfaatkan Waktu untuk Beribadah Shalat, membaca Al-Quran, atau berzikir bisa menjadi bentuk me time yang efektif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat penting kepada seseorang agar memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya. Beliau bersabda, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dinilai sahih oleh Al-Hakim sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim, serta dikonfirmasi kesahihannya oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani). Baca juga: Manfaatkan Lima Perkara Sebelum Menyesal Kiat Family Time Menurut Islam 1. Meluangkan Waktu untuk Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai bahwa hadits ini sahih). Ini menunjukkan pentingnya meluangkan waktu untuk keluarga dan memperlakukan mereka dengan baik. 2. Makan Bersama Keluarga Makan bersama merupakan aktivitas sederhana yang dapat mempererat hubungan keluarga. Dari Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu, bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak merasa kenyang.” Beliau bersabda, “Mungkin kalian makan dengan berpencar?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda, فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ “Maka berkumpullah ketika makan kalian, dan sebutlah nama Allah atas makanan itu, niscaya kalian akan diberkahi di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 3764 dan Ibnu Majah, no. 2674. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Kebersamaan dalam makan bisa menjadi salah satu bentuk family time yang mudah dilakukan. Baca juga: Makan Berjamaah Bawa Berkah 3. Bermain atau Menghabiskan Waktu Bersama Anak-anak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sering bermain dan bercanda dengan anak-anak. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermain dengan cucunya, Hasan dan Husain, untuk menunjukkan kasih sayangnya. Meluangkan waktu dengan anak-anak bukan hanya mempererat ikatan, tetapi juga memberikan keteladanan yang baik dalam hal kasih sayang. Baca juga: Menggendong Anak Kecil Saat Shalat 4. Memberikan Perhatian dan Kasih Sayang Perhatian dan kasih sayang merupakan kunci dari family time. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, ‘Aku punya sepuluh orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.”(HR. Bukhari, no. 5997 dan Muslim, no. 2318) Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya kasih sayang dan perhatian dalam keluarga. Baca juga: Menjadi Orang Tua Penyayang   Kesimpulan Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara waktu untuk diri sendiri (me time) dan waktu bersama keluarga (family time). Keduanya dianggap sebagai bagian dari ibadah dalam Islam, dengan tujuan menjaga kesehatan fisik, mental, serta mempererat hubungan keluarga, semuanya dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak sesuai ajaran Islam. Baca juga:  Moga Ayah Bisa Meluangkan Waktu untuk Keluarga 10 Tips Liburan Bersama Keluarga dan Bawa Berkah   Amazing Vacation to Yogyakarta: Rihlah Keluarga Sakinah #2 dengan tema “Sehidup Sesurga” akan berlangsung pada 20-22 Desember 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Liburan ini dirancang untuk mewujudkan family time yang berkualitas dengan kegiatan wisata yang sarat ilmu agama, untuk menggapai keluarga Sehidup Sesurga. Narasumber yang akan hadir adalah Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Ustadz Abdurrahman Zahier, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, dan Ustadz Erlan Iskandar, serta ada kajian khusus untuk remaja dan anak oleh Kak Yogi Kusprayogi dan Tim Anak Muslim Ceria (AMCA). Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: 0812 2714 151, 0812 9035 5060, atau 0822 2772 1081 atau Instagram @rihlakeluarga.sakinah   – Disusun di bus Makkah – Thaif, 23 Rabiuts Tsani 1446 H, 27 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsfamily time jaga keluarga keluarga liburan keluarga Masalah keluarga me time

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihakFaskh atau batalnya transaksi sewa menyewaPertama: Rusaknya barang yang disewaKedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihak Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya tentang pengertian, dalil-dalil, bentuk, dan syarat-syarat dalam transaksi sewa menyewa. Perlu diketahui pula bahwasanya akad dalam transaksi sewa menyewa adalah akad yang mengikat antara kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak bebas dalam berlaku apa pun, kecuali dengan kesepakatan bersama. Mengingat transaksi ini disamakan kategorinya oleh para ulama dengan jual beli. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi semua akad, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …” (QS. Al-Ma’idah: 1) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan tafsir yang sangat bagus, “Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu untuk memenuhi segala perjanjian. Artinya, untuk menyempurnakannya, menyelesaikannya, dan tidak melanggar atau mengurangi sedikit pun darinya. Hal ini mencakup segala jenis perjanjian, baik antara hamba dengan Rabbnya … Dan juga perjanjian antara hamba dengan manusia lainnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya, serta perjanjian pemberian seperti hibah dan sebagainya. Bahkan, termasuk pula memenuhi hak-hak sesama muslim yang telah ditetapkan oleh Allah di antara mereka.” (Tafsir As-Sa’di, Surah Al-Ma’idah ayat 1, dengan sedikit diringkas) Fokus tulisan kali ini bermuara pada pembahasan faskh. Yakni, batalnya suatu akad transaksi antara kedua belah pihak. Berikut ini adalah pembahasan yang harus diketahui. Faskh atau batalnya transaksi sewa menyewa Akad transaksi sewa menyewa tidak dapat dibatalkan, kecuali karena adanya aib (cacat) atau hilangnya manfaat yang diterima dari akad tersebut. Demikian yang disebutkan oleh jumhur ulama. Kemudian, para ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai transaksi sewa menyewa jika salah satu pihak wafat. Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat, “Jika demikian, maka di-faskh (dibatalkan) akad tersebut. Karena tidak mungkin berpindah akad tersebut kepada ahli warisnya, mengingat yang melakukan akad tersebut adalah si mayit.” Maka, mereka mengatakan, “Akad tersebut terbatalkan secara otomatis.” Adapun jumhur dari ulama Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berpendapat tidak terbatalkannya akad tersebut walaupun salah satu dari keduanya wafat. Karena akad tersebut adalah akad yang mengikat, yang tentunya harus dilaksanakan dan diselesaikan hingga sampai waktu yang telah disepakati.[1] Dalil dari hal ini adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظُهِرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا “Umar bin Khaththab telah mengusir orang-orang Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Sesungguhnya setelah penaklukan Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu, sebab setelah dikuasai, negeri tersebut milik Allah dan Rasul-Nya serta milik kaum Muslimin seluruhnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud hendak mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu. Akan tetapi, orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau membolehkan mereka tetap tinggal di sana untuk meneruskan usaha (pertanian) mereka, dengan ketentuan bagi mereka setengah bagian dari hasil buah-buahan yang mereka kerjakan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, “Kami izinkan kalian menetap dengan ketentuan seperti itu sampai batas waktu yang kami kehendaki.” (Muttafaqun ‘alaih) Sisi pendalilannya adalah akad transaksi tersebut tidak terbatalkan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memperbarui akad tersebut. Hanya saja, di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, mereka pun diusir oleh Umar dari Khaibar ke Taima’ dan Ariha’. Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang dapat membatalkan akad dari transaksi sewa menyewa, Pertama: Rusaknya barang yang disewa Contohnya, seperti mobil yang disewa mengalami kerusakan pada mesinnya. Maka, hal ini boleh jika ingin dibatalkan akadnya. Namun, pada poin ini, terdapat dua keadaan: Pertama, akad tetap berlangsung jika pemilik barang bisa memperbaikinya. Seperti halnya dengan contoh di atas, jika mobil yang rusak tersebut dapat diperbaiki dan bisa kembali berjalan, maka akad dari transaksi sewa menyewa tidak dibatalkan. Tentunya dalam hal ini, yang memperbaiki adalah pemilik barang, bukan penyewa, kecuali jika kerusakan disebabkan oleh penyewa. Maka, penyewalah yang ganti rugi atau memperbaikinya. Kedua, jika pemilik barang tidak bisa atau tidak ingin memperbaikinya. Maka, penyewa diberikan pilihan, tetap menggunakan barang tersebut atau membatalkan akadnya serta uangnya kembali. Kedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Contohnya, seorang penyewa menyewa rumah, kemudian ternyata beberapa hari setelahnya, rumahnya dikepung. Maka, hal yang seperti ini boleh untuk dibatalkan akadnya. Mengingat, penyewa tidak bisa mendapatkan manfaat dari penyewaan rumah tersebut karena ada rasa takut yang mengintainya. Pada poin ini, sejatinya berlaku pula dua keadaan sebagaimana hal di atas: Pertama, jika manfaat tersebut tidak bisa ditoleransi, sebagaimana contoh yang baru saja disebutkan di atas. Maka, hal ini tentunya terbatalkan akadnya. Kedua, jika manfaat tersebut masih bisa ditoleransi, maka hendaknya dicari solusi dan tidak dibatalkan akadnya. Contohnya, ada seseorang yang menyewa orang lain untuk membangun rumahnya. Kemudian karena satu dan lain hal, tukang atau kuli tersebut terkena sakit. Maka, tentunya hal ini tidak bisa otomatis membatalkan akad. Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya adalah kuli tersebut mencari teman yang lain untuk menggantikan posisinya sementara. Karena ini adalah hak yang harus ditunaikan dan mengingat seorang muslim tergantung dari perjanjiannya. Bagi penyewa, dalam hal ini diberikan pilihan apakah ingin menunggu dan bersabar; atau ingin membatalkan akadnya. [2] Demikianlah solusi yang diberikan oleh para ulama tentang masalah batalnya transaksi sewa menyewa. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Depok, 17 Rabiul akhir 1446/ 20 Oktober 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3836. [2] Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 190-191, dengan sedikit tambahan.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihakFaskh atau batalnya transaksi sewa menyewaPertama: Rusaknya barang yang disewaKedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihak Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya tentang pengertian, dalil-dalil, bentuk, dan syarat-syarat dalam transaksi sewa menyewa. Perlu diketahui pula bahwasanya akad dalam transaksi sewa menyewa adalah akad yang mengikat antara kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak bebas dalam berlaku apa pun, kecuali dengan kesepakatan bersama. Mengingat transaksi ini disamakan kategorinya oleh para ulama dengan jual beli. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi semua akad, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …” (QS. Al-Ma’idah: 1) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan tafsir yang sangat bagus, “Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu untuk memenuhi segala perjanjian. Artinya, untuk menyempurnakannya, menyelesaikannya, dan tidak melanggar atau mengurangi sedikit pun darinya. Hal ini mencakup segala jenis perjanjian, baik antara hamba dengan Rabbnya … Dan juga perjanjian antara hamba dengan manusia lainnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya, serta perjanjian pemberian seperti hibah dan sebagainya. Bahkan, termasuk pula memenuhi hak-hak sesama muslim yang telah ditetapkan oleh Allah di antara mereka.” (Tafsir As-Sa’di, Surah Al-Ma’idah ayat 1, dengan sedikit diringkas) Fokus tulisan kali ini bermuara pada pembahasan faskh. Yakni, batalnya suatu akad transaksi antara kedua belah pihak. Berikut ini adalah pembahasan yang harus diketahui. Faskh atau batalnya transaksi sewa menyewa Akad transaksi sewa menyewa tidak dapat dibatalkan, kecuali karena adanya aib (cacat) atau hilangnya manfaat yang diterima dari akad tersebut. Demikian yang disebutkan oleh jumhur ulama. Kemudian, para ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai transaksi sewa menyewa jika salah satu pihak wafat. Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat, “Jika demikian, maka di-faskh (dibatalkan) akad tersebut. Karena tidak mungkin berpindah akad tersebut kepada ahli warisnya, mengingat yang melakukan akad tersebut adalah si mayit.” Maka, mereka mengatakan, “Akad tersebut terbatalkan secara otomatis.” Adapun jumhur dari ulama Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berpendapat tidak terbatalkannya akad tersebut walaupun salah satu dari keduanya wafat. Karena akad tersebut adalah akad yang mengikat, yang tentunya harus dilaksanakan dan diselesaikan hingga sampai waktu yang telah disepakati.[1] Dalil dari hal ini adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظُهِرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا “Umar bin Khaththab telah mengusir orang-orang Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Sesungguhnya setelah penaklukan Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu, sebab setelah dikuasai, negeri tersebut milik Allah dan Rasul-Nya serta milik kaum Muslimin seluruhnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud hendak mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu. Akan tetapi, orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau membolehkan mereka tetap tinggal di sana untuk meneruskan usaha (pertanian) mereka, dengan ketentuan bagi mereka setengah bagian dari hasil buah-buahan yang mereka kerjakan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, “Kami izinkan kalian menetap dengan ketentuan seperti itu sampai batas waktu yang kami kehendaki.” (Muttafaqun ‘alaih) Sisi pendalilannya adalah akad transaksi tersebut tidak terbatalkan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memperbarui akad tersebut. Hanya saja, di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, mereka pun diusir oleh Umar dari Khaibar ke Taima’ dan Ariha’. Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang dapat membatalkan akad dari transaksi sewa menyewa, Pertama: Rusaknya barang yang disewa Contohnya, seperti mobil yang disewa mengalami kerusakan pada mesinnya. Maka, hal ini boleh jika ingin dibatalkan akadnya. Namun, pada poin ini, terdapat dua keadaan: Pertama, akad tetap berlangsung jika pemilik barang bisa memperbaikinya. Seperti halnya dengan contoh di atas, jika mobil yang rusak tersebut dapat diperbaiki dan bisa kembali berjalan, maka akad dari transaksi sewa menyewa tidak dibatalkan. Tentunya dalam hal ini, yang memperbaiki adalah pemilik barang, bukan penyewa, kecuali jika kerusakan disebabkan oleh penyewa. Maka, penyewalah yang ganti rugi atau memperbaikinya. Kedua, jika pemilik barang tidak bisa atau tidak ingin memperbaikinya. Maka, penyewa diberikan pilihan, tetap menggunakan barang tersebut atau membatalkan akadnya serta uangnya kembali. Kedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Contohnya, seorang penyewa menyewa rumah, kemudian ternyata beberapa hari setelahnya, rumahnya dikepung. Maka, hal yang seperti ini boleh untuk dibatalkan akadnya. Mengingat, penyewa tidak bisa mendapatkan manfaat dari penyewaan rumah tersebut karena ada rasa takut yang mengintainya. Pada poin ini, sejatinya berlaku pula dua keadaan sebagaimana hal di atas: Pertama, jika manfaat tersebut tidak bisa ditoleransi, sebagaimana contoh yang baru saja disebutkan di atas. Maka, hal ini tentunya terbatalkan akadnya. Kedua, jika manfaat tersebut masih bisa ditoleransi, maka hendaknya dicari solusi dan tidak dibatalkan akadnya. Contohnya, ada seseorang yang menyewa orang lain untuk membangun rumahnya. Kemudian karena satu dan lain hal, tukang atau kuli tersebut terkena sakit. Maka, tentunya hal ini tidak bisa otomatis membatalkan akad. Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya adalah kuli tersebut mencari teman yang lain untuk menggantikan posisinya sementara. Karena ini adalah hak yang harus ditunaikan dan mengingat seorang muslim tergantung dari perjanjiannya. Bagi penyewa, dalam hal ini diberikan pilihan apakah ingin menunggu dan bersabar; atau ingin membatalkan akadnya. [2] Demikianlah solusi yang diberikan oleh para ulama tentang masalah batalnya transaksi sewa menyewa. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Depok, 17 Rabiul akhir 1446/ 20 Oktober 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3836. [2] Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 190-191, dengan sedikit tambahan.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.
Daftar Isi Toggle Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihakFaskh atau batalnya transaksi sewa menyewaPertama: Rusaknya barang yang disewaKedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihak Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya tentang pengertian, dalil-dalil, bentuk, dan syarat-syarat dalam transaksi sewa menyewa. Perlu diketahui pula bahwasanya akad dalam transaksi sewa menyewa adalah akad yang mengikat antara kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak bebas dalam berlaku apa pun, kecuali dengan kesepakatan bersama. Mengingat transaksi ini disamakan kategorinya oleh para ulama dengan jual beli. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi semua akad, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …” (QS. Al-Ma’idah: 1) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan tafsir yang sangat bagus, “Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu untuk memenuhi segala perjanjian. Artinya, untuk menyempurnakannya, menyelesaikannya, dan tidak melanggar atau mengurangi sedikit pun darinya. Hal ini mencakup segala jenis perjanjian, baik antara hamba dengan Rabbnya … Dan juga perjanjian antara hamba dengan manusia lainnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya, serta perjanjian pemberian seperti hibah dan sebagainya. Bahkan, termasuk pula memenuhi hak-hak sesama muslim yang telah ditetapkan oleh Allah di antara mereka.” (Tafsir As-Sa’di, Surah Al-Ma’idah ayat 1, dengan sedikit diringkas) Fokus tulisan kali ini bermuara pada pembahasan faskh. Yakni, batalnya suatu akad transaksi antara kedua belah pihak. Berikut ini adalah pembahasan yang harus diketahui. Faskh atau batalnya transaksi sewa menyewa Akad transaksi sewa menyewa tidak dapat dibatalkan, kecuali karena adanya aib (cacat) atau hilangnya manfaat yang diterima dari akad tersebut. Demikian yang disebutkan oleh jumhur ulama. Kemudian, para ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai transaksi sewa menyewa jika salah satu pihak wafat. Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat, “Jika demikian, maka di-faskh (dibatalkan) akad tersebut. Karena tidak mungkin berpindah akad tersebut kepada ahli warisnya, mengingat yang melakukan akad tersebut adalah si mayit.” Maka, mereka mengatakan, “Akad tersebut terbatalkan secara otomatis.” Adapun jumhur dari ulama Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berpendapat tidak terbatalkannya akad tersebut walaupun salah satu dari keduanya wafat. Karena akad tersebut adalah akad yang mengikat, yang tentunya harus dilaksanakan dan diselesaikan hingga sampai waktu yang telah disepakati.[1] Dalil dari hal ini adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظُهِرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا “Umar bin Khaththab telah mengusir orang-orang Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Sesungguhnya setelah penaklukan Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu, sebab setelah dikuasai, negeri tersebut milik Allah dan Rasul-Nya serta milik kaum Muslimin seluruhnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud hendak mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu. Akan tetapi, orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau membolehkan mereka tetap tinggal di sana untuk meneruskan usaha (pertanian) mereka, dengan ketentuan bagi mereka setengah bagian dari hasil buah-buahan yang mereka kerjakan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, “Kami izinkan kalian menetap dengan ketentuan seperti itu sampai batas waktu yang kami kehendaki.” (Muttafaqun ‘alaih) Sisi pendalilannya adalah akad transaksi tersebut tidak terbatalkan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memperbarui akad tersebut. Hanya saja, di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, mereka pun diusir oleh Umar dari Khaibar ke Taima’ dan Ariha’. Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang dapat membatalkan akad dari transaksi sewa menyewa, Pertama: Rusaknya barang yang disewa Contohnya, seperti mobil yang disewa mengalami kerusakan pada mesinnya. Maka, hal ini boleh jika ingin dibatalkan akadnya. Namun, pada poin ini, terdapat dua keadaan: Pertama, akad tetap berlangsung jika pemilik barang bisa memperbaikinya. Seperti halnya dengan contoh di atas, jika mobil yang rusak tersebut dapat diperbaiki dan bisa kembali berjalan, maka akad dari transaksi sewa menyewa tidak dibatalkan. Tentunya dalam hal ini, yang memperbaiki adalah pemilik barang, bukan penyewa, kecuali jika kerusakan disebabkan oleh penyewa. Maka, penyewalah yang ganti rugi atau memperbaikinya. Kedua, jika pemilik barang tidak bisa atau tidak ingin memperbaikinya. Maka, penyewa diberikan pilihan, tetap menggunakan barang tersebut atau membatalkan akadnya serta uangnya kembali. Kedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Contohnya, seorang penyewa menyewa rumah, kemudian ternyata beberapa hari setelahnya, rumahnya dikepung. Maka, hal yang seperti ini boleh untuk dibatalkan akadnya. Mengingat, penyewa tidak bisa mendapatkan manfaat dari penyewaan rumah tersebut karena ada rasa takut yang mengintainya. Pada poin ini, sejatinya berlaku pula dua keadaan sebagaimana hal di atas: Pertama, jika manfaat tersebut tidak bisa ditoleransi, sebagaimana contoh yang baru saja disebutkan di atas. Maka, hal ini tentunya terbatalkan akadnya. Kedua, jika manfaat tersebut masih bisa ditoleransi, maka hendaknya dicari solusi dan tidak dibatalkan akadnya. Contohnya, ada seseorang yang menyewa orang lain untuk membangun rumahnya. Kemudian karena satu dan lain hal, tukang atau kuli tersebut terkena sakit. Maka, tentunya hal ini tidak bisa otomatis membatalkan akad. Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya adalah kuli tersebut mencari teman yang lain untuk menggantikan posisinya sementara. Karena ini adalah hak yang harus ditunaikan dan mengingat seorang muslim tergantung dari perjanjiannya. Bagi penyewa, dalam hal ini diberikan pilihan apakah ingin menunggu dan bersabar; atau ingin membatalkan akadnya. [2] Demikianlah solusi yang diberikan oleh para ulama tentang masalah batalnya transaksi sewa menyewa. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Depok, 17 Rabiul akhir 1446/ 20 Oktober 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3836. [2] Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 190-191, dengan sedikit tambahan.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.


Daftar Isi Toggle Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihakFaskh atau batalnya transaksi sewa menyewaPertama: Rusaknya barang yang disewaKedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Akad sewa menyewa adalah akad yang mengikat kedua belah pihak Telah berlalu pada pembahasan sebelumnya tentang pengertian, dalil-dalil, bentuk, dan syarat-syarat dalam transaksi sewa menyewa. Perlu diketahui pula bahwasanya akad dalam transaksi sewa menyewa adalah akad yang mengikat antara kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak bebas dalam berlaku apa pun, kecuali dengan kesepakatan bersama. Mengingat transaksi ini disamakan kategorinya oleh para ulama dengan jual beli. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi semua akad, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …” (QS. Al-Ma’idah: 1) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan tafsir yang sangat bagus, “Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu untuk memenuhi segala perjanjian. Artinya, untuk menyempurnakannya, menyelesaikannya, dan tidak melanggar atau mengurangi sedikit pun darinya. Hal ini mencakup segala jenis perjanjian, baik antara hamba dengan Rabbnya … Dan juga perjanjian antara hamba dengan manusia lainnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, dan sejenisnya, serta perjanjian pemberian seperti hibah dan sebagainya. Bahkan, termasuk pula memenuhi hak-hak sesama muslim yang telah ditetapkan oleh Allah di antara mereka.” (Tafsir As-Sa’di, Surah Al-Ma’idah ayat 1, dengan sedikit diringkas) Fokus tulisan kali ini bermuara pada pembahasan faskh. Yakni, batalnya suatu akad transaksi antara kedua belah pihak. Berikut ini adalah pembahasan yang harus diketahui. Faskh atau batalnya transaksi sewa menyewa Akad transaksi sewa menyewa tidak dapat dibatalkan, kecuali karena adanya aib (cacat) atau hilangnya manfaat yang diterima dari akad tersebut. Demikian yang disebutkan oleh jumhur ulama. Kemudian, para ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai transaksi sewa menyewa jika salah satu pihak wafat. Para ulama dari kalangan mazhab Hanafi berpendapat, “Jika demikian, maka di-faskh (dibatalkan) akad tersebut. Karena tidak mungkin berpindah akad tersebut kepada ahli warisnya, mengingat yang melakukan akad tersebut adalah si mayit.” Maka, mereka mengatakan, “Akad tersebut terbatalkan secara otomatis.” Adapun jumhur dari ulama Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka berpendapat tidak terbatalkannya akad tersebut walaupun salah satu dari keduanya wafat. Karena akad tersebut adalah akad yang mengikat, yang tentunya harus dilaksanakan dan diselesaikan hingga sampai waktu yang telah disepakati.[1] Dalil dari hal ini adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَجْلَى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَرْضِ الْحِجَازِ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا ظَهَرَ عَلَى خَيْبَرَ أَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا وَكَانَتْ الْأَرْضُ حِينَ ظُهِرَ عَلَيْهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فَأَرَادَ إِخْرَاجَ الْيَهُودِ مِنْهَا فَسَأَلَتْ الْيَهُودُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا “Umar bin Khaththab telah mengusir orang-orang Yahudi dan Nashrani dari tanah Hijaz. Sesungguhnya setelah penaklukan Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu, sebab setelah dikuasai, negeri tersebut milik Allah dan Rasul-Nya serta milik kaum Muslimin seluruhnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud hendak mengusir orang-orang Yahudi dari negeri itu. Akan tetapi, orang-orang Yahudi memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau membolehkan mereka tetap tinggal di sana untuk meneruskan usaha (pertanian) mereka, dengan ketentuan bagi mereka setengah bagian dari hasil buah-buahan yang mereka kerjakan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, “Kami izinkan kalian menetap dengan ketentuan seperti itu sampai batas waktu yang kami kehendaki.” (Muttafaqun ‘alaih) Sisi pendalilannya adalah akad transaksi tersebut tidak terbatalkan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memperbarui akad tersebut. Hanya saja, di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, mereka pun diusir oleh Umar dari Khaibar ke Taima’ dan Ariha’. Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang dapat membatalkan akad dari transaksi sewa menyewa, Pertama: Rusaknya barang yang disewa Contohnya, seperti mobil yang disewa mengalami kerusakan pada mesinnya. Maka, hal ini boleh jika ingin dibatalkan akadnya. Namun, pada poin ini, terdapat dua keadaan: Pertama, akad tetap berlangsung jika pemilik barang bisa memperbaikinya. Seperti halnya dengan contoh di atas, jika mobil yang rusak tersebut dapat diperbaiki dan bisa kembali berjalan, maka akad dari transaksi sewa menyewa tidak dibatalkan. Tentunya dalam hal ini, yang memperbaiki adalah pemilik barang, bukan penyewa, kecuali jika kerusakan disebabkan oleh penyewa. Maka, penyewalah yang ganti rugi atau memperbaikinya. Kedua, jika pemilik barang tidak bisa atau tidak ingin memperbaikinya. Maka, penyewa diberikan pilihan, tetap menggunakan barang tersebut atau membatalkan akadnya serta uangnya kembali. Kedua: Hilangnya manfaat dari sewa menyewa Contohnya, seorang penyewa menyewa rumah, kemudian ternyata beberapa hari setelahnya, rumahnya dikepung. Maka, hal yang seperti ini boleh untuk dibatalkan akadnya. Mengingat, penyewa tidak bisa mendapatkan manfaat dari penyewaan rumah tersebut karena ada rasa takut yang mengintainya. Pada poin ini, sejatinya berlaku pula dua keadaan sebagaimana hal di atas: Pertama, jika manfaat tersebut tidak bisa ditoleransi, sebagaimana contoh yang baru saja disebutkan di atas. Maka, hal ini tentunya terbatalkan akadnya. Kedua, jika manfaat tersebut masih bisa ditoleransi, maka hendaknya dicari solusi dan tidak dibatalkan akadnya. Contohnya, ada seseorang yang menyewa orang lain untuk membangun rumahnya. Kemudian karena satu dan lain hal, tukang atau kuli tersebut terkena sakit. Maka, tentunya hal ini tidak bisa otomatis membatalkan akad. Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya adalah kuli tersebut mencari teman yang lain untuk menggantikan posisinya sementara. Karena ini adalah hak yang harus ditunaikan dan mengingat seorang muslim tergantung dari perjanjiannya. Bagi penyewa, dalam hal ini diberikan pilihan apakah ingin menunggu dan bersabar; atau ingin membatalkan akadnya. [2] Demikianlah solusi yang diberikan oleh para ulama tentang masalah batalnya transaksi sewa menyewa. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.  [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Depok, 17 Rabiul akhir 1446/ 20 Oktober 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, 5: 3836. [2] Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 190-191, dengan sedikit tambahan.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili.

Hadis: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar?

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uangKandungan kedua: Kadar maksimal maharKandungan ketiga: Kadar minimal mahar Teks Hadis Dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَعْطَى فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدْ اسْتَحَلَّ “Siapa saja yang memberi mahar kepada seorang wanita berupa gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya, maka dengan (pemberiannya) itu dia telah menghalalkannya (menjadi mahar bagi istrinya).” (HR. Abu Dawud no. 2110, dan dinilai dha’if oleh Al-Albani karena terdapat perawi yang majhul, yaitu Musa bin Muslim bin Ruman) Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجَازَهُ “Ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar berupa sepasang sandal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sandal ini?” Dia menjawab, “Ya.” (‘Amir bin Rabi’ah) berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.” (HR. Tirmidzi no. 1113; Ibnu Majah no. 1888; Ahmad, 24: 445, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah, dan dia adalah seorang yang lemah dan jelek hapalannya) Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertanya kepada salah seorang sahabatnya yang hendak menikahi seorang wanita, انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi.” Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, ‘Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi, aku pun tidak punya. Akan tetapi, yang ada hanyalah kainku ini.” (HR. Bukhari no. 5030, 5121 dan Muslim no. 1425, dalam hadis yang panjang.) Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لا يكون المهر أقل من عشرة دراهم “Tidak boleh mahar yang lebih kecil dari sepuluh dirham.” [HR. Ad-Daruquthni, 3: 245; sanad atsar ini dha’if karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Dawud Al-Audi dan juga sanadnya terputus (munqathi’)] Kandungan Hadis Kandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uang Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya mahar apabila berupa bahan makanan atau harta benda lainnya. Mahar tersebut tidak harus berupa mata uang seperti emas, perak, atau mata uang lainnya. Apa saja yang bisa digunakan sebagai alat tukar, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Seandainya suami memberikan mahar berupa pakaian, kendaraan, tanah, tanaman (hasil pertanian), rumah, atau sejenis itu, maka mahar tersebut hukumnya sah. Hadis-hadis di atas, meskipun lemah (dha’if), akan tetapi sejalan dengan dalil atau ushul syariat. Apa saja yang sesuai dengan ushul syariat, maka bisa digunakan sebagai dalil, meskipun lemah (dha’if). Hal ini dikuatkan dengan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang kisah Tsabit bin Qais bersama istrinya yang melakukan khulu’, أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar Tsabit bin Qais kepada istrinya berupa kebun, dan bukan berupa mata uang. Baca juga: Ketentuan terkait Mahar Kandungan kedua: Kadar maksimal mahar Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa tidak ada kadar maksimal dalam mahar. Adanya ijmak ini dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rusyd rahimahumallah. [1] Hal ini karena tidak terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan batas maksimal mahar. Para ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak … “ (QS. An-Nisa: 20) Ayat ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan batas maksimal mahar, akan tetapi maksudnya adalah sebagai kiasan atas harta yang banyak jumlahnya. Apabila hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan kadar maksimal mahar, maka tentu akan ada larangan untuk memberikan mahar melebihi kadar maksimal tersebut. Berdasarkan penjelasan ini, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang membenarkan bolehnya memberikan mahar secara berlebih-lebihan. Karena ayat tersebut hanya merupakan perumpamaan atas harta yang banyak. Seolah-olah dikatakan, “Dan kamu telah memberikan jumlah yang sangat besar yang tidak pernah diberikan oleh siapa pun.” Seandainya ayat ini menunjukkan hal tersebut, maka yang bisa dipahami hanyalah diperbolehkannya orang yang mampu memberikan mahar dalam jumlah besar sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, bukan memaksa orang yang tidak mampu untuk memberikan lebih dari kemampuannya. [2] Kandungan ketiga: Kadar minimal mahar Adapun kadar minimal mahar, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama: Pendapat pertama: Kadar minimal mahar itu tidak ditentukan dengan kadar (jumlah) tertentu. Mahar itu sah ketika diberikan berupa harta (apapun) atau yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Apabila mahar dalam suatu akad nikah berupa sesuatu yang tidak dianggap sebagai harta atau tidak bisa disebut (dinilai) sebagai harta, seperti biji kurma atau batu, maka mahar tersebut tidak sah dan suami wajib memberikan mahar mitsil (mahar standar). Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24) Sisi pendalilan dari ayat ini, di ayat Allah Ta’ala menyebutkan “amwaal” (harta) secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apapun). Maka hal ini mencakup semua jenis harta, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak. Adapun dalil dari As-Sunnah, adalah hadis-hadis yang disebutkan di atas, atau hadis-hadis yang semakna. Misalnya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التمس ولو خاتما من حديد “Carilah mahar, meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu sah dengan setiap benda (barang) yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Pendapat kedua: Terdapat kadar minimal mahar, sehingga tidak boleh menyerahkan mahar lebih kecil (lebih sedikit) dari kadar minimal tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah, meskipun mereka kemudian berbeda pendapat tentang berapa kadar minimal yang ditentukan oleh syariat. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata bahwa kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham atau yang senilai dengan sepuluh dirham. Mereka berdalil dengan atsar dari Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, dan juga diqiyaskan dengan nishab pencurian untuk menunjukkan pentingnya hal tersebut; maka jumlahnya diukur berdasarkan sesuatu yang bernilai. Adapun Imam Malik rahimahullah berkata bahwa kadar minimalnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham, diqiyaskan dengan nishab pencurian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. [3] Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa tidak ada kadar minimal mahar yang ditentukan oleh syariat. Pendapat pertama inilah yang mengumpulkan semua dalil yang ada. Adapun pendapat kedua adalah pendapat yang lemah, karena tidak ada dalil tegas yang dikemukakan selain dalil qiyas dengan nishab pencurian. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Mahar Berlebihan & Membebani akan Mengurangi Keberkahan Pernikahan *** @15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Istidzkar, 16: 65 dan Bidayatul Mujtahid, 3: 38. [2] Tafsir Al-Qurthubi, 5: 100; Al-Fataawa, 32: 195. [3] Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 41; Bada’i Ash-Shanai’, 2: 275; Al-Muhadzab, 2: 55; Al-Mughni, 10: 99. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 391-396). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar?

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uangKandungan kedua: Kadar maksimal maharKandungan ketiga: Kadar minimal mahar Teks Hadis Dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَعْطَى فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدْ اسْتَحَلَّ “Siapa saja yang memberi mahar kepada seorang wanita berupa gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya, maka dengan (pemberiannya) itu dia telah menghalalkannya (menjadi mahar bagi istrinya).” (HR. Abu Dawud no. 2110, dan dinilai dha’if oleh Al-Albani karena terdapat perawi yang majhul, yaitu Musa bin Muslim bin Ruman) Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجَازَهُ “Ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar berupa sepasang sandal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sandal ini?” Dia menjawab, “Ya.” (‘Amir bin Rabi’ah) berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.” (HR. Tirmidzi no. 1113; Ibnu Majah no. 1888; Ahmad, 24: 445, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah, dan dia adalah seorang yang lemah dan jelek hapalannya) Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertanya kepada salah seorang sahabatnya yang hendak menikahi seorang wanita, انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi.” Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, ‘Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi, aku pun tidak punya. Akan tetapi, yang ada hanyalah kainku ini.” (HR. Bukhari no. 5030, 5121 dan Muslim no. 1425, dalam hadis yang panjang.) Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لا يكون المهر أقل من عشرة دراهم “Tidak boleh mahar yang lebih kecil dari sepuluh dirham.” [HR. Ad-Daruquthni, 3: 245; sanad atsar ini dha’if karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Dawud Al-Audi dan juga sanadnya terputus (munqathi’)] Kandungan Hadis Kandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uang Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya mahar apabila berupa bahan makanan atau harta benda lainnya. Mahar tersebut tidak harus berupa mata uang seperti emas, perak, atau mata uang lainnya. Apa saja yang bisa digunakan sebagai alat tukar, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Seandainya suami memberikan mahar berupa pakaian, kendaraan, tanah, tanaman (hasil pertanian), rumah, atau sejenis itu, maka mahar tersebut hukumnya sah. Hadis-hadis di atas, meskipun lemah (dha’if), akan tetapi sejalan dengan dalil atau ushul syariat. Apa saja yang sesuai dengan ushul syariat, maka bisa digunakan sebagai dalil, meskipun lemah (dha’if). Hal ini dikuatkan dengan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang kisah Tsabit bin Qais bersama istrinya yang melakukan khulu’, أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar Tsabit bin Qais kepada istrinya berupa kebun, dan bukan berupa mata uang. Baca juga: Ketentuan terkait Mahar Kandungan kedua: Kadar maksimal mahar Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa tidak ada kadar maksimal dalam mahar. Adanya ijmak ini dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rusyd rahimahumallah. [1] Hal ini karena tidak terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan batas maksimal mahar. Para ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak … “ (QS. An-Nisa: 20) Ayat ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan batas maksimal mahar, akan tetapi maksudnya adalah sebagai kiasan atas harta yang banyak jumlahnya. Apabila hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan kadar maksimal mahar, maka tentu akan ada larangan untuk memberikan mahar melebihi kadar maksimal tersebut. Berdasarkan penjelasan ini, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang membenarkan bolehnya memberikan mahar secara berlebih-lebihan. Karena ayat tersebut hanya merupakan perumpamaan atas harta yang banyak. Seolah-olah dikatakan, “Dan kamu telah memberikan jumlah yang sangat besar yang tidak pernah diberikan oleh siapa pun.” Seandainya ayat ini menunjukkan hal tersebut, maka yang bisa dipahami hanyalah diperbolehkannya orang yang mampu memberikan mahar dalam jumlah besar sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, bukan memaksa orang yang tidak mampu untuk memberikan lebih dari kemampuannya. [2] Kandungan ketiga: Kadar minimal mahar Adapun kadar minimal mahar, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama: Pendapat pertama: Kadar minimal mahar itu tidak ditentukan dengan kadar (jumlah) tertentu. Mahar itu sah ketika diberikan berupa harta (apapun) atau yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Apabila mahar dalam suatu akad nikah berupa sesuatu yang tidak dianggap sebagai harta atau tidak bisa disebut (dinilai) sebagai harta, seperti biji kurma atau batu, maka mahar tersebut tidak sah dan suami wajib memberikan mahar mitsil (mahar standar). Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24) Sisi pendalilan dari ayat ini, di ayat Allah Ta’ala menyebutkan “amwaal” (harta) secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apapun). Maka hal ini mencakup semua jenis harta, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak. Adapun dalil dari As-Sunnah, adalah hadis-hadis yang disebutkan di atas, atau hadis-hadis yang semakna. Misalnya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التمس ولو خاتما من حديد “Carilah mahar, meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu sah dengan setiap benda (barang) yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Pendapat kedua: Terdapat kadar minimal mahar, sehingga tidak boleh menyerahkan mahar lebih kecil (lebih sedikit) dari kadar minimal tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah, meskipun mereka kemudian berbeda pendapat tentang berapa kadar minimal yang ditentukan oleh syariat. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata bahwa kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham atau yang senilai dengan sepuluh dirham. Mereka berdalil dengan atsar dari Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, dan juga diqiyaskan dengan nishab pencurian untuk menunjukkan pentingnya hal tersebut; maka jumlahnya diukur berdasarkan sesuatu yang bernilai. Adapun Imam Malik rahimahullah berkata bahwa kadar minimalnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham, diqiyaskan dengan nishab pencurian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. [3] Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa tidak ada kadar minimal mahar yang ditentukan oleh syariat. Pendapat pertama inilah yang mengumpulkan semua dalil yang ada. Adapun pendapat kedua adalah pendapat yang lemah, karena tidak ada dalil tegas yang dikemukakan selain dalil qiyas dengan nishab pencurian. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Mahar Berlebihan & Membebani akan Mengurangi Keberkahan Pernikahan *** @15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Istidzkar, 16: 65 dan Bidayatul Mujtahid, 3: 38. [2] Tafsir Al-Qurthubi, 5: 100; Al-Fataawa, 32: 195. [3] Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 41; Bada’i Ash-Shanai’, 2: 275; Al-Muhadzab, 2: 55; Al-Mughni, 10: 99. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 391-396). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uangKandungan kedua: Kadar maksimal maharKandungan ketiga: Kadar minimal mahar Teks Hadis Dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَعْطَى فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدْ اسْتَحَلَّ “Siapa saja yang memberi mahar kepada seorang wanita berupa gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya, maka dengan (pemberiannya) itu dia telah menghalalkannya (menjadi mahar bagi istrinya).” (HR. Abu Dawud no. 2110, dan dinilai dha’if oleh Al-Albani karena terdapat perawi yang majhul, yaitu Musa bin Muslim bin Ruman) Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجَازَهُ “Ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar berupa sepasang sandal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sandal ini?” Dia menjawab, “Ya.” (‘Amir bin Rabi’ah) berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.” (HR. Tirmidzi no. 1113; Ibnu Majah no. 1888; Ahmad, 24: 445, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah, dan dia adalah seorang yang lemah dan jelek hapalannya) Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertanya kepada salah seorang sahabatnya yang hendak menikahi seorang wanita, انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi.” Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, ‘Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi, aku pun tidak punya. Akan tetapi, yang ada hanyalah kainku ini.” (HR. Bukhari no. 5030, 5121 dan Muslim no. 1425, dalam hadis yang panjang.) Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لا يكون المهر أقل من عشرة دراهم “Tidak boleh mahar yang lebih kecil dari sepuluh dirham.” [HR. Ad-Daruquthni, 3: 245; sanad atsar ini dha’if karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Dawud Al-Audi dan juga sanadnya terputus (munqathi’)] Kandungan Hadis Kandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uang Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya mahar apabila berupa bahan makanan atau harta benda lainnya. Mahar tersebut tidak harus berupa mata uang seperti emas, perak, atau mata uang lainnya. Apa saja yang bisa digunakan sebagai alat tukar, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Seandainya suami memberikan mahar berupa pakaian, kendaraan, tanah, tanaman (hasil pertanian), rumah, atau sejenis itu, maka mahar tersebut hukumnya sah. Hadis-hadis di atas, meskipun lemah (dha’if), akan tetapi sejalan dengan dalil atau ushul syariat. Apa saja yang sesuai dengan ushul syariat, maka bisa digunakan sebagai dalil, meskipun lemah (dha’if). Hal ini dikuatkan dengan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang kisah Tsabit bin Qais bersama istrinya yang melakukan khulu’, أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar Tsabit bin Qais kepada istrinya berupa kebun, dan bukan berupa mata uang. Baca juga: Ketentuan terkait Mahar Kandungan kedua: Kadar maksimal mahar Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa tidak ada kadar maksimal dalam mahar. Adanya ijmak ini dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rusyd rahimahumallah. [1] Hal ini karena tidak terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan batas maksimal mahar. Para ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak … “ (QS. An-Nisa: 20) Ayat ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan batas maksimal mahar, akan tetapi maksudnya adalah sebagai kiasan atas harta yang banyak jumlahnya. Apabila hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan kadar maksimal mahar, maka tentu akan ada larangan untuk memberikan mahar melebihi kadar maksimal tersebut. Berdasarkan penjelasan ini, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang membenarkan bolehnya memberikan mahar secara berlebih-lebihan. Karena ayat tersebut hanya merupakan perumpamaan atas harta yang banyak. Seolah-olah dikatakan, “Dan kamu telah memberikan jumlah yang sangat besar yang tidak pernah diberikan oleh siapa pun.” Seandainya ayat ini menunjukkan hal tersebut, maka yang bisa dipahami hanyalah diperbolehkannya orang yang mampu memberikan mahar dalam jumlah besar sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, bukan memaksa orang yang tidak mampu untuk memberikan lebih dari kemampuannya. [2] Kandungan ketiga: Kadar minimal mahar Adapun kadar minimal mahar, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama: Pendapat pertama: Kadar minimal mahar itu tidak ditentukan dengan kadar (jumlah) tertentu. Mahar itu sah ketika diberikan berupa harta (apapun) atau yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Apabila mahar dalam suatu akad nikah berupa sesuatu yang tidak dianggap sebagai harta atau tidak bisa disebut (dinilai) sebagai harta, seperti biji kurma atau batu, maka mahar tersebut tidak sah dan suami wajib memberikan mahar mitsil (mahar standar). Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24) Sisi pendalilan dari ayat ini, di ayat Allah Ta’ala menyebutkan “amwaal” (harta) secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apapun). Maka hal ini mencakup semua jenis harta, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak. Adapun dalil dari As-Sunnah, adalah hadis-hadis yang disebutkan di atas, atau hadis-hadis yang semakna. Misalnya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التمس ولو خاتما من حديد “Carilah mahar, meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu sah dengan setiap benda (barang) yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Pendapat kedua: Terdapat kadar minimal mahar, sehingga tidak boleh menyerahkan mahar lebih kecil (lebih sedikit) dari kadar minimal tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah, meskipun mereka kemudian berbeda pendapat tentang berapa kadar minimal yang ditentukan oleh syariat. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata bahwa kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham atau yang senilai dengan sepuluh dirham. Mereka berdalil dengan atsar dari Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, dan juga diqiyaskan dengan nishab pencurian untuk menunjukkan pentingnya hal tersebut; maka jumlahnya diukur berdasarkan sesuatu yang bernilai. Adapun Imam Malik rahimahullah berkata bahwa kadar minimalnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham, diqiyaskan dengan nishab pencurian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. [3] Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa tidak ada kadar minimal mahar yang ditentukan oleh syariat. Pendapat pertama inilah yang mengumpulkan semua dalil yang ada. Adapun pendapat kedua adalah pendapat yang lemah, karena tidak ada dalil tegas yang dikemukakan selain dalil qiyas dengan nishab pencurian. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Mahar Berlebihan & Membebani akan Mengurangi Keberkahan Pernikahan *** @15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Istidzkar, 16: 65 dan Bidayatul Mujtahid, 3: 38. [2] Tafsir Al-Qurthubi, 5: 100; Al-Fataawa, 32: 195. [3] Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 41; Bada’i Ash-Shanai’, 2: 275; Al-Muhadzab, 2: 55; Al-Mughni, 10: 99. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 391-396). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uangKandungan kedua: Kadar maksimal maharKandungan ketiga: Kadar minimal mahar Teks Hadis Dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَعْطَى فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدْ اسْتَحَلَّ “Siapa saja yang memberi mahar kepada seorang wanita berupa gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya, maka dengan (pemberiannya) itu dia telah menghalalkannya (menjadi mahar bagi istrinya).” (HR. Abu Dawud no. 2110, dan dinilai dha’if oleh Al-Albani karena terdapat perawi yang majhul, yaitu Musa bin Muslim bin Ruman) Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجَازَهُ “Ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar berupa sepasang sandal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sandal ini?” Dia menjawab, “Ya.” (‘Amir bin Rabi’ah) berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.” (HR. Tirmidzi no. 1113; Ibnu Majah no. 1888; Ahmad, 24: 445, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah, dan dia adalah seorang yang lemah dan jelek hapalannya) Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertanya kepada salah seorang sahabatnya yang hendak menikahi seorang wanita, انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi.” Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, ‘Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi, aku pun tidak punya. Akan tetapi, yang ada hanyalah kainku ini.” (HR. Bukhari no. 5030, 5121 dan Muslim no. 1425, dalam hadis yang panjang.) Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لا يكون المهر أقل من عشرة دراهم “Tidak boleh mahar yang lebih kecil dari sepuluh dirham.” [HR. Ad-Daruquthni, 3: 245; sanad atsar ini dha’if karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Dawud Al-Audi dan juga sanadnya terputus (munqathi’)] Kandungan Hadis Kandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uang Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya mahar apabila berupa bahan makanan atau harta benda lainnya. Mahar tersebut tidak harus berupa mata uang seperti emas, perak, atau mata uang lainnya. Apa saja yang bisa digunakan sebagai alat tukar, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Seandainya suami memberikan mahar berupa pakaian, kendaraan, tanah, tanaman (hasil pertanian), rumah, atau sejenis itu, maka mahar tersebut hukumnya sah. Hadis-hadis di atas, meskipun lemah (dha’if), akan tetapi sejalan dengan dalil atau ushul syariat. Apa saja yang sesuai dengan ushul syariat, maka bisa digunakan sebagai dalil, meskipun lemah (dha’if). Hal ini dikuatkan dengan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang kisah Tsabit bin Qais bersama istrinya yang melakukan khulu’, أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً “Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273) Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar Tsabit bin Qais kepada istrinya berupa kebun, dan bukan berupa mata uang. Baca juga: Ketentuan terkait Mahar Kandungan kedua: Kadar maksimal mahar Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa tidak ada kadar maksimal dalam mahar. Adanya ijmak ini dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rusyd rahimahumallah. [1] Hal ini karena tidak terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan batas maksimal mahar. Para ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala, وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak … “ (QS. An-Nisa: 20) Ayat ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan batas maksimal mahar, akan tetapi maksudnya adalah sebagai kiasan atas harta yang banyak jumlahnya. Apabila hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan kadar maksimal mahar, maka tentu akan ada larangan untuk memberikan mahar melebihi kadar maksimal tersebut. Berdasarkan penjelasan ini, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang membenarkan bolehnya memberikan mahar secara berlebih-lebihan. Karena ayat tersebut hanya merupakan perumpamaan atas harta yang banyak. Seolah-olah dikatakan, “Dan kamu telah memberikan jumlah yang sangat besar yang tidak pernah diberikan oleh siapa pun.” Seandainya ayat ini menunjukkan hal tersebut, maka yang bisa dipahami hanyalah diperbolehkannya orang yang mampu memberikan mahar dalam jumlah besar sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, bukan memaksa orang yang tidak mampu untuk memberikan lebih dari kemampuannya. [2] Kandungan ketiga: Kadar minimal mahar Adapun kadar minimal mahar, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama: Pendapat pertama: Kadar minimal mahar itu tidak ditentukan dengan kadar (jumlah) tertentu. Mahar itu sah ketika diberikan berupa harta (apapun) atau yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Apabila mahar dalam suatu akad nikah berupa sesuatu yang tidak dianggap sebagai harta atau tidak bisa disebut (dinilai) sebagai harta, seperti biji kurma atau batu, maka mahar tersebut tidak sah dan suami wajib memberikan mahar mitsil (mahar standar). Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala, وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24) Sisi pendalilan dari ayat ini, di ayat Allah Ta’ala menyebutkan “amwaal” (harta) secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apapun). Maka hal ini mencakup semua jenis harta, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak. Adapun dalil dari As-Sunnah, adalah hadis-hadis yang disebutkan di atas, atau hadis-hadis yang semakna. Misalnya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التمس ولو خاتما من حديد “Carilah mahar, meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu sah dengan setiap benda (barang) yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Pendapat kedua: Terdapat kadar minimal mahar, sehingga tidak boleh menyerahkan mahar lebih kecil (lebih sedikit) dari kadar minimal tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah, meskipun mereka kemudian berbeda pendapat tentang berapa kadar minimal yang ditentukan oleh syariat. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata bahwa kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham atau yang senilai dengan sepuluh dirham. Mereka berdalil dengan atsar dari Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, dan juga diqiyaskan dengan nishab pencurian untuk menunjukkan pentingnya hal tersebut; maka jumlahnya diukur berdasarkan sesuatu yang bernilai. Adapun Imam Malik rahimahullah berkata bahwa kadar minimalnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham, diqiyaskan dengan nishab pencurian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. [3] Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa tidak ada kadar minimal mahar yang ditentukan oleh syariat. Pendapat pertama inilah yang mengumpulkan semua dalil yang ada. Adapun pendapat kedua adalah pendapat yang lemah, karena tidak ada dalil tegas yang dikemukakan selain dalil qiyas dengan nishab pencurian. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Mahar Berlebihan & Membebani akan Mengurangi Keberkahan Pernikahan *** @15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Istidzkar, 16: 65 dan Bidayatul Mujtahid, 3: 38. [2] Tafsir Al-Qurthubi, 5: 100; Al-Fataawa, 32: 195. [3] Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 41; Bada’i Ash-Shanai’, 2: 275; Al-Muhadzab, 2: 55; Al-Mughni, 10: 99. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 391-396). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا “Terlaknatlah orang yang menyetubuhi istrinya melalui dubur (anus).” (HR. Abu Dawud no. 2162; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 200; Ibnu Majah no. 1923; Ahmad, 15: 457. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ “Allah tidak memandang laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita melalui dubur.” (HR. Tirmidzi no. 1165; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 197; Ibnu Hibban, 9: 517. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui duburnya, karena laknat hanya ditujukan pada perbuatan yang terlarang. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وطء المرأة في دبرها حرام بالكتاب والسنة، وهو قول جماهير السلف والخلف، بل هو اللوطية الصغرى،  وقال: من وطئ امرأته في دبرها وجب أن يعاقب على ذلك عقوبة تزجرهما، فإن عُلم أنهما لا ينزجران فإنه يجب التفريق بينهما “Hubungan seksual dengan istri melalui duburnya hukumnya haram menurut Al-Quran dan As-Sunah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). Perbuatan ini bahkan dianggap sebagai bentuk kecil dari perilaku kaum Luth (sodomi). … Siapa pun (suami) yang berhubungan dengan istrinya melalui dubur, maka harus dihukum dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada keduanya. Jika diketahui bahwa keduanya tidak jera (tidak menghentikan perbuatan tersebut), maka harus dipisahkan di antara mereka.” (Al-Fataawa, 32: 266) Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, هي اللوطية الصغرى “Hal itu (menyetubuhi istri melalui dubur) adalah bentuk kecil dari perbuatan kaum Luth.” [1] Kandungan kedua Al-Quran, As-Sunah, dan akal sehat menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui dubur. Adapun Al-Quran, yaitu firman Allah Ta’ala, فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ “Maka jika kalian (istri) telah suci, datangilah mereka dari tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud dengan “tempat yang diperintahkan untuk didatangi” adalah melalui qubul (kemaluan), dengan dua dalil berikut ini: Pertama: Allah Ta’ala berfirman, نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) Yang dimaksud “al-harts” (tempat bercocok tanam) adalah tempat untuk mendapatkan anak, yaitu qubul (kemaluan) yang merupakan tempat untuk menanam benih dari anak. Sementara itu, dubur (anus) bukanlah tempat untuk itu. Kedua: Allah Ta’ala berfirman, فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ “Maka sekarang, setubuhilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan “yang telah ditetapkan Allah untukmu” adalah anak (keturunan). Dan telah kita ketahui bahwa untuk mendapatkan anak keturunan adalah dengan berhubungan intim melalui qubul, bukan melalui dubur. Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala, أَنَّى شِئْتُمْ “bagaimana saja yang kamu kehendaki”; adalah dalil bolehnya berhubungan intim melalui dubur. Argumentasi ini dapat dijawab melalui dua metode berikut ini: Pertama: Asbabun nuzul ayat ini bertentangan dengan klaim tersebut. Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ: إذَا أَتَي الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا في قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya dari arah belakang melalui qubul [2], maka anak yang lahir akan menjadi cacat.” Lalu diturunkanlah firman Allah (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) (HR. Bukhari no. 4528 dan Muslim no. 1435, 117) Hadis tersebut menunjukkan bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah: datangilah (setubuhilah) istri melalui qubul dengan posisi apa pun yang kalian inginkan, meskipun dari arah belakang (dari arah dubur). Sedangkan penafsiran sahabat yang terkait dengan sebab turunnya ayat memiliki hukum marfu’ (artinya, tafsir tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana dalam ilmu ushul. Kedua: Jika ayat ini bersifat umum, yaitu bolehnya menyetubuhi istri melalui qubul atau dubur, maka ayat tersebut mendapat pengecualian dari As-Sunah yang menjelaskan haramnya berhubungan dengan istri melalui dubur, seperti hadis yang disebutkan di atas. Adapun dalil dari As-Sunah tentang haramnya perbuatan ini, terdapat hadis dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai empat belas hadis, dan sebagian besar dari hadis-hadis tersebut disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahumallah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 384) Adapun dalil menurut akal sehat adalah: Pertama: Allah Ta’ala mengharamkan hubungan seksual melalui qubul pada saat haid karena adanya kotoran (najis) yang menyertainya. Sedangkan dubur lebih layak untuk diharamkan karena kotoran dan najis yang selalu ada. Kedua: Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa wanita yang infertil (mandul) karena adanya kelainan anatomis pada vagina sehingga tidak bisa untuk berhubungan intim, maka hal itu dianggap sebagai aib (penyakit). Jika dubur diperbolehkan sebagai tempat untuk berhubungan intim, maka tidak seharusnya kelainan tersebut dianggap sebagai aib, karena ada penggantinya, yaitu dubur. Baca juga: Berapa Frekuensi Berhubungan Intim Suami-Istri Menurut Syariat? Kandungan ketiga Adanya perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidaklah dianggap. Hal ini karena jelasnya hukum berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan dan lemahnya argumen dari pihak yang berseberangan, agar tidak menjadi celah (kesempatan) bagi siapa pun yang tergoda untuk melakukan perbuatan tercela ini. Namun, hal itu perlu disebutkan untuk menunjukkan kelemahan atau ketidakbenaran pendapat tersebut, atau kaum muslimin agar tidak terpedaya olehnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأما الدبر فلم يبح قط على لسان نبي من الأنبياء، ومن نسب إلى بعض السلف إباحة وطء الزوجة في دبرها فقد غلط عليه … “Adapun (berhubungan intim melalui) dubur, maka perbuatan itu sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan perkataan para Nabi. Adapun dibolehkannya perbuatan menyetubuhi istri melalui dubur yang dinisbatkan kepada sebagian salaf, maka itu adalah kekeliruan [3] … “ (Zaadul Ma’ad, 4: 257) Al-Qurthubi rahimahullah berkata, إن هذه الآية:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ لا حجة فيها على المدعَى؛ إذ هي مخصصة بما ذكرناه، وبأحاديث صحيحة شهيرة رواها عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنا عشر صحابيًّا، بمتون مختلفة، كلها متواردة على تحريم إتيان النساء في الأدبار … ثم قال: ولا ينبغي لمؤمن بالله واليوم الآخر أن يعرج في هذه النازلة على زلة عالم بعد أن تصح عنه، وقد حُذرنا من زلة العالم “Sesungguhnya ayat ini (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki”, tidak dapat digunakan sebagai hujah yang membolehkan perbuatan hubungan seksual melalui dubur. Hal ini karena ayat tersebut dikhususkan (dikecualikan) dengan dalil-dalil yang kami sebutkan. Juga (dikecualikan) dengan hadis-hadis sahih dan terkenal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari dua belas sahabat, dengan teks hadis yang beraneka ragam, namun semuanya menunjukkan haramnya menyetubuhi istri melalui dubur.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tidak selayaknya bagi seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpegang pada kesalahan (ketergelinciran) seorang ulama setelah penjelasan yang sahih diberikan kepadanya. Kita telah diperingatkan dari (mengikuti) ketergelinciran ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4: 95) Kandungan keempat Haramnya hubungan seksual sesama jenis (homoseksual). Hal itu merupakan dosa besar dan merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Perbuatan ini sangat tercela dan tidak dilakukan oleh kaum sebelum kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Menurut mayoritas ulama, hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati, baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah, bahkan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam masalah ini. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Benarkah Sunah Berhubungan Intim di Malam Jumat? *** @17 Rabiul awal 1446/ 21 September 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (8: 195-196) dan Ahmad (11: 309). Sanadnya dinilai hasan. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa perkataan ini statusnya mawquf, yaitu perkataan ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari berkata dalam At-Tarikh As-Shaghir (2: 273), “Versi marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) tidak sahih.” Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1: 385) mengenai versi mawquf, “Ini lebih sahih.” Versi mawquf diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4: 252) dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (3: 46). [2] Maksudnya, (maaf) suami membelakangi istri ketika berhubungan intim, namun tetap berhubungan melalui qubul. [3] Pendapat yang membolehkan berhubungan intim melalui dubur diklaim merupakan pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan juga Imam Malik rahimahullah. Klaim ini adalah klaim yang tidak benar. Lihat penjelasan lebih detail di Minhatul ‘Allam (7: 327-328). [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 323-328). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا “Terlaknatlah orang yang menyetubuhi istrinya melalui dubur (anus).” (HR. Abu Dawud no. 2162; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 200; Ibnu Majah no. 1923; Ahmad, 15: 457. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ “Allah tidak memandang laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita melalui dubur.” (HR. Tirmidzi no. 1165; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 197; Ibnu Hibban, 9: 517. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui duburnya, karena laknat hanya ditujukan pada perbuatan yang terlarang. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وطء المرأة في دبرها حرام بالكتاب والسنة، وهو قول جماهير السلف والخلف، بل هو اللوطية الصغرى،  وقال: من وطئ امرأته في دبرها وجب أن يعاقب على ذلك عقوبة تزجرهما، فإن عُلم أنهما لا ينزجران فإنه يجب التفريق بينهما “Hubungan seksual dengan istri melalui duburnya hukumnya haram menurut Al-Quran dan As-Sunah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). Perbuatan ini bahkan dianggap sebagai bentuk kecil dari perilaku kaum Luth (sodomi). … Siapa pun (suami) yang berhubungan dengan istrinya melalui dubur, maka harus dihukum dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada keduanya. Jika diketahui bahwa keduanya tidak jera (tidak menghentikan perbuatan tersebut), maka harus dipisahkan di antara mereka.” (Al-Fataawa, 32: 266) Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, هي اللوطية الصغرى “Hal itu (menyetubuhi istri melalui dubur) adalah bentuk kecil dari perbuatan kaum Luth.” [1] Kandungan kedua Al-Quran, As-Sunah, dan akal sehat menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui dubur. Adapun Al-Quran, yaitu firman Allah Ta’ala, فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ “Maka jika kalian (istri) telah suci, datangilah mereka dari tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud dengan “tempat yang diperintahkan untuk didatangi” adalah melalui qubul (kemaluan), dengan dua dalil berikut ini: Pertama: Allah Ta’ala berfirman, نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) Yang dimaksud “al-harts” (tempat bercocok tanam) adalah tempat untuk mendapatkan anak, yaitu qubul (kemaluan) yang merupakan tempat untuk menanam benih dari anak. Sementara itu, dubur (anus) bukanlah tempat untuk itu. Kedua: Allah Ta’ala berfirman, فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ “Maka sekarang, setubuhilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan “yang telah ditetapkan Allah untukmu” adalah anak (keturunan). Dan telah kita ketahui bahwa untuk mendapatkan anak keturunan adalah dengan berhubungan intim melalui qubul, bukan melalui dubur. Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala, أَنَّى شِئْتُمْ “bagaimana saja yang kamu kehendaki”; adalah dalil bolehnya berhubungan intim melalui dubur. Argumentasi ini dapat dijawab melalui dua metode berikut ini: Pertama: Asbabun nuzul ayat ini bertentangan dengan klaim tersebut. Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ: إذَا أَتَي الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا في قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya dari arah belakang melalui qubul [2], maka anak yang lahir akan menjadi cacat.” Lalu diturunkanlah firman Allah (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) (HR. Bukhari no. 4528 dan Muslim no. 1435, 117) Hadis tersebut menunjukkan bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah: datangilah (setubuhilah) istri melalui qubul dengan posisi apa pun yang kalian inginkan, meskipun dari arah belakang (dari arah dubur). Sedangkan penafsiran sahabat yang terkait dengan sebab turunnya ayat memiliki hukum marfu’ (artinya, tafsir tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana dalam ilmu ushul. Kedua: Jika ayat ini bersifat umum, yaitu bolehnya menyetubuhi istri melalui qubul atau dubur, maka ayat tersebut mendapat pengecualian dari As-Sunah yang menjelaskan haramnya berhubungan dengan istri melalui dubur, seperti hadis yang disebutkan di atas. Adapun dalil dari As-Sunah tentang haramnya perbuatan ini, terdapat hadis dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai empat belas hadis, dan sebagian besar dari hadis-hadis tersebut disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahumallah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 384) Adapun dalil menurut akal sehat adalah: Pertama: Allah Ta’ala mengharamkan hubungan seksual melalui qubul pada saat haid karena adanya kotoran (najis) yang menyertainya. Sedangkan dubur lebih layak untuk diharamkan karena kotoran dan najis yang selalu ada. Kedua: Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa wanita yang infertil (mandul) karena adanya kelainan anatomis pada vagina sehingga tidak bisa untuk berhubungan intim, maka hal itu dianggap sebagai aib (penyakit). Jika dubur diperbolehkan sebagai tempat untuk berhubungan intim, maka tidak seharusnya kelainan tersebut dianggap sebagai aib, karena ada penggantinya, yaitu dubur. Baca juga: Berapa Frekuensi Berhubungan Intim Suami-Istri Menurut Syariat? Kandungan ketiga Adanya perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidaklah dianggap. Hal ini karena jelasnya hukum berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan dan lemahnya argumen dari pihak yang berseberangan, agar tidak menjadi celah (kesempatan) bagi siapa pun yang tergoda untuk melakukan perbuatan tercela ini. Namun, hal itu perlu disebutkan untuk menunjukkan kelemahan atau ketidakbenaran pendapat tersebut, atau kaum muslimin agar tidak terpedaya olehnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأما الدبر فلم يبح قط على لسان نبي من الأنبياء، ومن نسب إلى بعض السلف إباحة وطء الزوجة في دبرها فقد غلط عليه … “Adapun (berhubungan intim melalui) dubur, maka perbuatan itu sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan perkataan para Nabi. Adapun dibolehkannya perbuatan menyetubuhi istri melalui dubur yang dinisbatkan kepada sebagian salaf, maka itu adalah kekeliruan [3] … “ (Zaadul Ma’ad, 4: 257) Al-Qurthubi rahimahullah berkata, إن هذه الآية:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ لا حجة فيها على المدعَى؛ إذ هي مخصصة بما ذكرناه، وبأحاديث صحيحة شهيرة رواها عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنا عشر صحابيًّا، بمتون مختلفة، كلها متواردة على تحريم إتيان النساء في الأدبار … ثم قال: ولا ينبغي لمؤمن بالله واليوم الآخر أن يعرج في هذه النازلة على زلة عالم بعد أن تصح عنه، وقد حُذرنا من زلة العالم “Sesungguhnya ayat ini (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki”, tidak dapat digunakan sebagai hujah yang membolehkan perbuatan hubungan seksual melalui dubur. Hal ini karena ayat tersebut dikhususkan (dikecualikan) dengan dalil-dalil yang kami sebutkan. Juga (dikecualikan) dengan hadis-hadis sahih dan terkenal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari dua belas sahabat, dengan teks hadis yang beraneka ragam, namun semuanya menunjukkan haramnya menyetubuhi istri melalui dubur.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tidak selayaknya bagi seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpegang pada kesalahan (ketergelinciran) seorang ulama setelah penjelasan yang sahih diberikan kepadanya. Kita telah diperingatkan dari (mengikuti) ketergelinciran ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4: 95) Kandungan keempat Haramnya hubungan seksual sesama jenis (homoseksual). Hal itu merupakan dosa besar dan merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Perbuatan ini sangat tercela dan tidak dilakukan oleh kaum sebelum kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Menurut mayoritas ulama, hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati, baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah, bahkan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam masalah ini. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Benarkah Sunah Berhubungan Intim di Malam Jumat? *** @17 Rabiul awal 1446/ 21 September 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (8: 195-196) dan Ahmad (11: 309). Sanadnya dinilai hasan. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa perkataan ini statusnya mawquf, yaitu perkataan ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari berkata dalam At-Tarikh As-Shaghir (2: 273), “Versi marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) tidak sahih.” Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1: 385) mengenai versi mawquf, “Ini lebih sahih.” Versi mawquf diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4: 252) dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (3: 46). [2] Maksudnya, (maaf) suami membelakangi istri ketika berhubungan intim, namun tetap berhubungan melalui qubul. [3] Pendapat yang membolehkan berhubungan intim melalui dubur diklaim merupakan pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan juga Imam Malik rahimahullah. Klaim ini adalah klaim yang tidak benar. Lihat penjelasan lebih detail di Minhatul ‘Allam (7: 327-328). [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 323-328). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا “Terlaknatlah orang yang menyetubuhi istrinya melalui dubur (anus).” (HR. Abu Dawud no. 2162; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 200; Ibnu Majah no. 1923; Ahmad, 15: 457. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ “Allah tidak memandang laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita melalui dubur.” (HR. Tirmidzi no. 1165; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 197; Ibnu Hibban, 9: 517. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui duburnya, karena laknat hanya ditujukan pada perbuatan yang terlarang. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وطء المرأة في دبرها حرام بالكتاب والسنة، وهو قول جماهير السلف والخلف، بل هو اللوطية الصغرى،  وقال: من وطئ امرأته في دبرها وجب أن يعاقب على ذلك عقوبة تزجرهما، فإن عُلم أنهما لا ينزجران فإنه يجب التفريق بينهما “Hubungan seksual dengan istri melalui duburnya hukumnya haram menurut Al-Quran dan As-Sunah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). Perbuatan ini bahkan dianggap sebagai bentuk kecil dari perilaku kaum Luth (sodomi). … Siapa pun (suami) yang berhubungan dengan istrinya melalui dubur, maka harus dihukum dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada keduanya. Jika diketahui bahwa keduanya tidak jera (tidak menghentikan perbuatan tersebut), maka harus dipisahkan di antara mereka.” (Al-Fataawa, 32: 266) Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, هي اللوطية الصغرى “Hal itu (menyetubuhi istri melalui dubur) adalah bentuk kecil dari perbuatan kaum Luth.” [1] Kandungan kedua Al-Quran, As-Sunah, dan akal sehat menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui dubur. Adapun Al-Quran, yaitu firman Allah Ta’ala, فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ “Maka jika kalian (istri) telah suci, datangilah mereka dari tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud dengan “tempat yang diperintahkan untuk didatangi” adalah melalui qubul (kemaluan), dengan dua dalil berikut ini: Pertama: Allah Ta’ala berfirman, نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) Yang dimaksud “al-harts” (tempat bercocok tanam) adalah tempat untuk mendapatkan anak, yaitu qubul (kemaluan) yang merupakan tempat untuk menanam benih dari anak. Sementara itu, dubur (anus) bukanlah tempat untuk itu. Kedua: Allah Ta’ala berfirman, فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ “Maka sekarang, setubuhilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan “yang telah ditetapkan Allah untukmu” adalah anak (keturunan). Dan telah kita ketahui bahwa untuk mendapatkan anak keturunan adalah dengan berhubungan intim melalui qubul, bukan melalui dubur. Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala, أَنَّى شِئْتُمْ “bagaimana saja yang kamu kehendaki”; adalah dalil bolehnya berhubungan intim melalui dubur. Argumentasi ini dapat dijawab melalui dua metode berikut ini: Pertama: Asbabun nuzul ayat ini bertentangan dengan klaim tersebut. Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ: إذَا أَتَي الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا في قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya dari arah belakang melalui qubul [2], maka anak yang lahir akan menjadi cacat.” Lalu diturunkanlah firman Allah (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) (HR. Bukhari no. 4528 dan Muslim no. 1435, 117) Hadis tersebut menunjukkan bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah: datangilah (setubuhilah) istri melalui qubul dengan posisi apa pun yang kalian inginkan, meskipun dari arah belakang (dari arah dubur). Sedangkan penafsiran sahabat yang terkait dengan sebab turunnya ayat memiliki hukum marfu’ (artinya, tafsir tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana dalam ilmu ushul. Kedua: Jika ayat ini bersifat umum, yaitu bolehnya menyetubuhi istri melalui qubul atau dubur, maka ayat tersebut mendapat pengecualian dari As-Sunah yang menjelaskan haramnya berhubungan dengan istri melalui dubur, seperti hadis yang disebutkan di atas. Adapun dalil dari As-Sunah tentang haramnya perbuatan ini, terdapat hadis dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai empat belas hadis, dan sebagian besar dari hadis-hadis tersebut disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahumallah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 384) Adapun dalil menurut akal sehat adalah: Pertama: Allah Ta’ala mengharamkan hubungan seksual melalui qubul pada saat haid karena adanya kotoran (najis) yang menyertainya. Sedangkan dubur lebih layak untuk diharamkan karena kotoran dan najis yang selalu ada. Kedua: Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa wanita yang infertil (mandul) karena adanya kelainan anatomis pada vagina sehingga tidak bisa untuk berhubungan intim, maka hal itu dianggap sebagai aib (penyakit). Jika dubur diperbolehkan sebagai tempat untuk berhubungan intim, maka tidak seharusnya kelainan tersebut dianggap sebagai aib, karena ada penggantinya, yaitu dubur. Baca juga: Berapa Frekuensi Berhubungan Intim Suami-Istri Menurut Syariat? Kandungan ketiga Adanya perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidaklah dianggap. Hal ini karena jelasnya hukum berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan dan lemahnya argumen dari pihak yang berseberangan, agar tidak menjadi celah (kesempatan) bagi siapa pun yang tergoda untuk melakukan perbuatan tercela ini. Namun, hal itu perlu disebutkan untuk menunjukkan kelemahan atau ketidakbenaran pendapat tersebut, atau kaum muslimin agar tidak terpedaya olehnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأما الدبر فلم يبح قط على لسان نبي من الأنبياء، ومن نسب إلى بعض السلف إباحة وطء الزوجة في دبرها فقد غلط عليه … “Adapun (berhubungan intim melalui) dubur, maka perbuatan itu sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan perkataan para Nabi. Adapun dibolehkannya perbuatan menyetubuhi istri melalui dubur yang dinisbatkan kepada sebagian salaf, maka itu adalah kekeliruan [3] … “ (Zaadul Ma’ad, 4: 257) Al-Qurthubi rahimahullah berkata, إن هذه الآية:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ لا حجة فيها على المدعَى؛ إذ هي مخصصة بما ذكرناه، وبأحاديث صحيحة شهيرة رواها عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنا عشر صحابيًّا، بمتون مختلفة، كلها متواردة على تحريم إتيان النساء في الأدبار … ثم قال: ولا ينبغي لمؤمن بالله واليوم الآخر أن يعرج في هذه النازلة على زلة عالم بعد أن تصح عنه، وقد حُذرنا من زلة العالم “Sesungguhnya ayat ini (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki”, tidak dapat digunakan sebagai hujah yang membolehkan perbuatan hubungan seksual melalui dubur. Hal ini karena ayat tersebut dikhususkan (dikecualikan) dengan dalil-dalil yang kami sebutkan. Juga (dikecualikan) dengan hadis-hadis sahih dan terkenal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari dua belas sahabat, dengan teks hadis yang beraneka ragam, namun semuanya menunjukkan haramnya menyetubuhi istri melalui dubur.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tidak selayaknya bagi seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpegang pada kesalahan (ketergelinciran) seorang ulama setelah penjelasan yang sahih diberikan kepadanya. Kita telah diperingatkan dari (mengikuti) ketergelinciran ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4: 95) Kandungan keempat Haramnya hubungan seksual sesama jenis (homoseksual). Hal itu merupakan dosa besar dan merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Perbuatan ini sangat tercela dan tidak dilakukan oleh kaum sebelum kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Menurut mayoritas ulama, hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati, baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah, bahkan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam masalah ini. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Benarkah Sunah Berhubungan Intim di Malam Jumat? *** @17 Rabiul awal 1446/ 21 September 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (8: 195-196) dan Ahmad (11: 309). Sanadnya dinilai hasan. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa perkataan ini statusnya mawquf, yaitu perkataan ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari berkata dalam At-Tarikh As-Shaghir (2: 273), “Versi marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) tidak sahih.” Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1: 385) mengenai versi mawquf, “Ini lebih sahih.” Versi mawquf diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4: 252) dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (3: 46). [2] Maksudnya, (maaf) suami membelakangi istri ketika berhubungan intim, namun tetap berhubungan melalui qubul. [3] Pendapat yang membolehkan berhubungan intim melalui dubur diklaim merupakan pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan juga Imam Malik rahimahullah. Klaim ini adalah klaim yang tidak benar. Lihat penjelasan lebih detail di Minhatul ‘Allam (7: 327-328). [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 323-328). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempat Teks Hadis Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا “Terlaknatlah orang yang menyetubuhi istrinya melalui dubur (anus).” (HR. Abu Dawud no. 2162; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 200; Ibnu Majah no. 1923; Ahmad, 15: 457. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ “Allah tidak memandang laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita melalui dubur.” (HR. Tirmidzi no. 1165; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 197; Ibnu Hibban, 9: 517. Dinilai hasan oleh Al-Albani.) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui duburnya, karena laknat hanya ditujukan pada perbuatan yang terlarang. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وطء المرأة في دبرها حرام بالكتاب والسنة، وهو قول جماهير السلف والخلف، بل هو اللوطية الصغرى،  وقال: من وطئ امرأته في دبرها وجب أن يعاقب على ذلك عقوبة تزجرهما، فإن عُلم أنهما لا ينزجران فإنه يجب التفريق بينهما “Hubungan seksual dengan istri melalui duburnya hukumnya haram menurut Al-Quran dan As-Sunah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). Perbuatan ini bahkan dianggap sebagai bentuk kecil dari perilaku kaum Luth (sodomi). … Siapa pun (suami) yang berhubungan dengan istrinya melalui dubur, maka harus dihukum dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada keduanya. Jika diketahui bahwa keduanya tidak jera (tidak menghentikan perbuatan tersebut), maka harus dipisahkan di antara mereka.” (Al-Fataawa, 32: 266) Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, هي اللوطية الصغرى “Hal itu (menyetubuhi istri melalui dubur) adalah bentuk kecil dari perbuatan kaum Luth.” [1] Kandungan kedua Al-Quran, As-Sunah, dan akal sehat menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui dubur. Adapun Al-Quran, yaitu firman Allah Ta’ala, فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ “Maka jika kalian (istri) telah suci, datangilah mereka dari tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud dengan “tempat yang diperintahkan untuk didatangi” adalah melalui qubul (kemaluan), dengan dua dalil berikut ini: Pertama: Allah Ta’ala berfirman, نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) Yang dimaksud “al-harts” (tempat bercocok tanam) adalah tempat untuk mendapatkan anak, yaitu qubul (kemaluan) yang merupakan tempat untuk menanam benih dari anak. Sementara itu, dubur (anus) bukanlah tempat untuk itu. Kedua: Allah Ta’ala berfirman, فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ “Maka sekarang, setubuhilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan “yang telah ditetapkan Allah untukmu” adalah anak (keturunan). Dan telah kita ketahui bahwa untuk mendapatkan anak keturunan adalah dengan berhubungan intim melalui qubul, bukan melalui dubur. Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala, أَنَّى شِئْتُمْ “bagaimana saja yang kamu kehendaki”; adalah dalil bolehnya berhubungan intim melalui dubur. Argumentasi ini dapat dijawab melalui dua metode berikut ini: Pertama: Asbabun nuzul ayat ini bertentangan dengan klaim tersebut. Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ: إذَا أَتَي الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا في قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ “Orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya dari arah belakang melalui qubul [2], maka anak yang lahir akan menjadi cacat.” Lalu diturunkanlah firman Allah (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) (HR. Bukhari no. 4528 dan Muslim no. 1435, 117) Hadis tersebut menunjukkan bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah: datangilah (setubuhilah) istri melalui qubul dengan posisi apa pun yang kalian inginkan, meskipun dari arah belakang (dari arah dubur). Sedangkan penafsiran sahabat yang terkait dengan sebab turunnya ayat memiliki hukum marfu’ (artinya, tafsir tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana dalam ilmu ushul. Kedua: Jika ayat ini bersifat umum, yaitu bolehnya menyetubuhi istri melalui qubul atau dubur, maka ayat tersebut mendapat pengecualian dari As-Sunah yang menjelaskan haramnya berhubungan dengan istri melalui dubur, seperti hadis yang disebutkan di atas. Adapun dalil dari As-Sunah tentang haramnya perbuatan ini, terdapat hadis dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai empat belas hadis, dan sebagian besar dari hadis-hadis tersebut disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahumallah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 384) Adapun dalil menurut akal sehat adalah: Pertama: Allah Ta’ala mengharamkan hubungan seksual melalui qubul pada saat haid karena adanya kotoran (najis) yang menyertainya. Sedangkan dubur lebih layak untuk diharamkan karena kotoran dan najis yang selalu ada. Kedua: Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa wanita yang infertil (mandul) karena adanya kelainan anatomis pada vagina sehingga tidak bisa untuk berhubungan intim, maka hal itu dianggap sebagai aib (penyakit). Jika dubur diperbolehkan sebagai tempat untuk berhubungan intim, maka tidak seharusnya kelainan tersebut dianggap sebagai aib, karena ada penggantinya, yaitu dubur. Baca juga: Berapa Frekuensi Berhubungan Intim Suami-Istri Menurut Syariat? Kandungan ketiga Adanya perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidaklah dianggap. Hal ini karena jelasnya hukum berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan dan lemahnya argumen dari pihak yang berseberangan, agar tidak menjadi celah (kesempatan) bagi siapa pun yang tergoda untuk melakukan perbuatan tercela ini. Namun, hal itu perlu disebutkan untuk menunjukkan kelemahan atau ketidakbenaran pendapat tersebut, atau kaum muslimin agar tidak terpedaya olehnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وأما الدبر فلم يبح قط على لسان نبي من الأنبياء، ومن نسب إلى بعض السلف إباحة وطء الزوجة في دبرها فقد غلط عليه … “Adapun (berhubungan intim melalui) dubur, maka perbuatan itu sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan perkataan para Nabi. Adapun dibolehkannya perbuatan menyetubuhi istri melalui dubur yang dinisbatkan kepada sebagian salaf, maka itu adalah kekeliruan [3] … “ (Zaadul Ma’ad, 4: 257) Al-Qurthubi rahimahullah berkata, إن هذه الآية:  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ لا حجة فيها على المدعَى؛ إذ هي مخصصة بما ذكرناه، وبأحاديث صحيحة شهيرة رواها عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنا عشر صحابيًّا، بمتون مختلفة، كلها متواردة على تحريم إتيان النساء في الأدبار … ثم قال: ولا ينبغي لمؤمن بالله واليوم الآخر أن يعرج في هذه النازلة على زلة عالم بعد أن تصح عنه، وقد حُذرنا من زلة العالم “Sesungguhnya ayat ini (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki”, tidak dapat digunakan sebagai hujah yang membolehkan perbuatan hubungan seksual melalui dubur. Hal ini karena ayat tersebut dikhususkan (dikecualikan) dengan dalil-dalil yang kami sebutkan. Juga (dikecualikan) dengan hadis-hadis sahih dan terkenal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari dua belas sahabat, dengan teks hadis yang beraneka ragam, namun semuanya menunjukkan haramnya menyetubuhi istri melalui dubur.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tidak selayaknya bagi seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpegang pada kesalahan (ketergelinciran) seorang ulama setelah penjelasan yang sahih diberikan kepadanya. Kita telah diperingatkan dari (mengikuti) ketergelinciran ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4: 95) Kandungan keempat Haramnya hubungan seksual sesama jenis (homoseksual). Hal itu merupakan dosa besar dan merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Perbuatan ini sangat tercela dan tidak dilakukan oleh kaum sebelum kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Menurut mayoritas ulama, hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati, baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah, bahkan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam masalah ini. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4] Baca juga: Benarkah Sunah Berhubungan Intim di Malam Jumat? *** @17 Rabiul awal 1446/ 21 September 2024 Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (8: 195-196) dan Ahmad (11: 309). Sanadnya dinilai hasan. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa perkataan ini statusnya mawquf, yaitu perkataan ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari berkata dalam At-Tarikh As-Shaghir (2: 273), “Versi marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) tidak sahih.” Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1: 385) mengenai versi mawquf, “Ini lebih sahih.” Versi mawquf diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4: 252) dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (3: 46). [2] Maksudnya, (maaf) suami membelakangi istri ketika berhubungan intim, namun tetap berhubungan melalui qubul. [3] Pendapat yang membolehkan berhubungan intim melalui dubur diklaim merupakan pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan juga Imam Malik rahimahullah. Klaim ini adalah klaim yang tidak benar. Lihat penjelasan lebih detail di Minhatul ‘Allam (7: 327-328). [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 323-328). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Momen Emas Doa Mustajab yang Jarang Diketahui – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ketika Nabi Zakaria melihat karamah Maryam ini, beliau segera berdoa kepada Tuhannya di sana. Yakni di tempat itu beliau berdoa kepada Tuhannya. Beliau berusaha segera mengambil kesempatan ini setelah melihat karunia, kebaikan, dan rezeki yang turun kepada Maryam tanpa batas. Beliau segera mencari karunia dan kemurahan dari Tuhannya Yang Maha Pemurah. Sehingga beliau berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu anak keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa.” (QS. Ali Imran: 38). Makna “Anak keturunan yang baik” yakni baik dari sisi akhlak dan agamanya. Kata “Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa” ini adalah bentuk tawasul kepada Allah ‘Azza wa Jalla (dengan menyebut asma dan sifat-Nya), bahwa Allah Maha Mendengar doa orang yang berdoa kepada-Nya. Nama Allah “as-Sami'” apabila disebutkan setelah doa, maka yang dimaksud adalah “al-Mustajib” (Maha Pengabul Doa). Memanfaatkan kesempatan berdoa – wahai saudara-saudara! – adalah hal yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Hendaklah dia memanfaatkan waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan (yang baik untuk berdoa), karena terkadang dia mendapati dirinya – wahai saudara-saudara – semangat dalam berdoa, dan dalam hatinya ada antusiasme untuk berdoa; maka hendaklah dia memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Apabila dia sedang berada di waktu luang atau tempat yang sepi, dia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa kepada Tuhannya. Terdapat waktu-waktu dan tempat-tempat yang memungkinkan doa mudah dikabulkan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Sahl bin Sa’d, “Dua waktu yang doa tidak ditolak ketika itu: Doa setelah azan dan di bawah hujan.” Yakni ketika turun hujan. Momen apa yang menjadikan doa mudah dikabulkan saat hujan? Saat turunnya rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Hujan adalah rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga seorang Muslim hendaklah memanfaatkan turunnya rahmat Allah ‘Azza wa Jalla ini untuk berdoa kepada-Nya. ==== لَمَّا رَأَى هَذِهِ الْكَرَامَةَ زَكَرِيَّا دَعَا رَبَّهُ هُنَالِكَ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ دَعَا رَبَّهُ حَاوَلَ أَنْ يَقْتَنِصَ هَذِهِ الْفُرْصَةَ لَمَّا رَأَى الْفَضْلَ وَالْخَيْرَ وَالرِّزْقَ يَنْزِلُ عَلَيْهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ تَعَرَّضَ لِهَذَا الْكَرَمِ وَالْجُودِ مِنَ الرَّبِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَدَعَا رَبَّهُ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً طَيِّبَةٌ فِي خُلُقِهَا وَأَخْلَاقِهَا وَدِينِهَا إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ هَذَا تَوَسُّلٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ يَسْمَعُ دُعَاءَ مَنْ دَعَاهُ اسْمُ السَّمِيعِ إِذَا جَاءَ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَالْمُرَادُ بِهِ نَعَمْ الْمُسْتَجِيْبُ وَاغْتِنَامُ الْفُرَصِ فِي الدُّعَاءِ يَا إِخْوَانُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَيَغْتَنِمَ الْأَزْمِنَةَ وَالْأَمْكِنَةَ وَالْهَيْئَاتِ قَدْ يَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ يَا إِخْوَانِي إِقْبَالًا عَلَى الدُّعَاءِ وَفِي قَلْبِهِ رَغْبَةً فِي الدُّعَاءِ فَلْيَغْتَنِمْ هَذِهِ الْفُرْصَةَ وَيَدْعُو وَإِذَا كَانَ فِي زَمَانٍ فَاضٍ أَوْ مَكَانٍ فَاضٍ أَيْضًا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ مِنْ هَذِهِ الْفُرْصَةِ وَيَدْعُو رَبَّهُ هُنَاكَ أَوْقَاتٌ وَأَمْكِنَةٌ مَظِنَّةُ الْإِجَابَةِ لِلدُّعَاءِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِندَ النِّدَاءِ وَتَحْتَ الْمَطَرِ يَعْنِي عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ وَالْمُنَاسَبَةُ نُزُولِ الْمَطَرِ مَا هِيَ؟ نُزُولُ رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَطَرُ رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْتَنِمُ الْمُسْلِمُ نُزُولَ هَذِهِ الرَّحْمَةِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَدْعُو رَبَّهُ .

Momen Emas Doa Mustajab yang Jarang Diketahui – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Ketika Nabi Zakaria melihat karamah Maryam ini, beliau segera berdoa kepada Tuhannya di sana. Yakni di tempat itu beliau berdoa kepada Tuhannya. Beliau berusaha segera mengambil kesempatan ini setelah melihat karunia, kebaikan, dan rezeki yang turun kepada Maryam tanpa batas. Beliau segera mencari karunia dan kemurahan dari Tuhannya Yang Maha Pemurah. Sehingga beliau berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu anak keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa.” (QS. Ali Imran: 38). Makna “Anak keturunan yang baik” yakni baik dari sisi akhlak dan agamanya. Kata “Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa” ini adalah bentuk tawasul kepada Allah ‘Azza wa Jalla (dengan menyebut asma dan sifat-Nya), bahwa Allah Maha Mendengar doa orang yang berdoa kepada-Nya. Nama Allah “as-Sami'” apabila disebutkan setelah doa, maka yang dimaksud adalah “al-Mustajib” (Maha Pengabul Doa). Memanfaatkan kesempatan berdoa – wahai saudara-saudara! – adalah hal yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Hendaklah dia memanfaatkan waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan (yang baik untuk berdoa), karena terkadang dia mendapati dirinya – wahai saudara-saudara – semangat dalam berdoa, dan dalam hatinya ada antusiasme untuk berdoa; maka hendaklah dia memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Apabila dia sedang berada di waktu luang atau tempat yang sepi, dia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa kepada Tuhannya. Terdapat waktu-waktu dan tempat-tempat yang memungkinkan doa mudah dikabulkan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Sahl bin Sa’d, “Dua waktu yang doa tidak ditolak ketika itu: Doa setelah azan dan di bawah hujan.” Yakni ketika turun hujan. Momen apa yang menjadikan doa mudah dikabulkan saat hujan? Saat turunnya rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Hujan adalah rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga seorang Muslim hendaklah memanfaatkan turunnya rahmat Allah ‘Azza wa Jalla ini untuk berdoa kepada-Nya. ==== لَمَّا رَأَى هَذِهِ الْكَرَامَةَ زَكَرِيَّا دَعَا رَبَّهُ هُنَالِكَ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ دَعَا رَبَّهُ حَاوَلَ أَنْ يَقْتَنِصَ هَذِهِ الْفُرْصَةَ لَمَّا رَأَى الْفَضْلَ وَالْخَيْرَ وَالرِّزْقَ يَنْزِلُ عَلَيْهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ تَعَرَّضَ لِهَذَا الْكَرَمِ وَالْجُودِ مِنَ الرَّبِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَدَعَا رَبَّهُ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً طَيِّبَةٌ فِي خُلُقِهَا وَأَخْلَاقِهَا وَدِينِهَا إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ هَذَا تَوَسُّلٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ يَسْمَعُ دُعَاءَ مَنْ دَعَاهُ اسْمُ السَّمِيعِ إِذَا جَاءَ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَالْمُرَادُ بِهِ نَعَمْ الْمُسْتَجِيْبُ وَاغْتِنَامُ الْفُرَصِ فِي الدُّعَاءِ يَا إِخْوَانُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَيَغْتَنِمَ الْأَزْمِنَةَ وَالْأَمْكِنَةَ وَالْهَيْئَاتِ قَدْ يَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ يَا إِخْوَانِي إِقْبَالًا عَلَى الدُّعَاءِ وَفِي قَلْبِهِ رَغْبَةً فِي الدُّعَاءِ فَلْيَغْتَنِمْ هَذِهِ الْفُرْصَةَ وَيَدْعُو وَإِذَا كَانَ فِي زَمَانٍ فَاضٍ أَوْ مَكَانٍ فَاضٍ أَيْضًا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ مِنْ هَذِهِ الْفُرْصَةِ وَيَدْعُو رَبَّهُ هُنَاكَ أَوْقَاتٌ وَأَمْكِنَةٌ مَظِنَّةُ الْإِجَابَةِ لِلدُّعَاءِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِندَ النِّدَاءِ وَتَحْتَ الْمَطَرِ يَعْنِي عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ وَالْمُنَاسَبَةُ نُزُولِ الْمَطَرِ مَا هِيَ؟ نُزُولُ رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَطَرُ رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْتَنِمُ الْمُسْلِمُ نُزُولَ هَذِهِ الرَّحْمَةِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَدْعُو رَبَّهُ .
Ketika Nabi Zakaria melihat karamah Maryam ini, beliau segera berdoa kepada Tuhannya di sana. Yakni di tempat itu beliau berdoa kepada Tuhannya. Beliau berusaha segera mengambil kesempatan ini setelah melihat karunia, kebaikan, dan rezeki yang turun kepada Maryam tanpa batas. Beliau segera mencari karunia dan kemurahan dari Tuhannya Yang Maha Pemurah. Sehingga beliau berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu anak keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa.” (QS. Ali Imran: 38). Makna “Anak keturunan yang baik” yakni baik dari sisi akhlak dan agamanya. Kata “Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa” ini adalah bentuk tawasul kepada Allah ‘Azza wa Jalla (dengan menyebut asma dan sifat-Nya), bahwa Allah Maha Mendengar doa orang yang berdoa kepada-Nya. Nama Allah “as-Sami'” apabila disebutkan setelah doa, maka yang dimaksud adalah “al-Mustajib” (Maha Pengabul Doa). Memanfaatkan kesempatan berdoa – wahai saudara-saudara! – adalah hal yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Hendaklah dia memanfaatkan waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan (yang baik untuk berdoa), karena terkadang dia mendapati dirinya – wahai saudara-saudara – semangat dalam berdoa, dan dalam hatinya ada antusiasme untuk berdoa; maka hendaklah dia memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Apabila dia sedang berada di waktu luang atau tempat yang sepi, dia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa kepada Tuhannya. Terdapat waktu-waktu dan tempat-tempat yang memungkinkan doa mudah dikabulkan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Sahl bin Sa’d, “Dua waktu yang doa tidak ditolak ketika itu: Doa setelah azan dan di bawah hujan.” Yakni ketika turun hujan. Momen apa yang menjadikan doa mudah dikabulkan saat hujan? Saat turunnya rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Hujan adalah rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga seorang Muslim hendaklah memanfaatkan turunnya rahmat Allah ‘Azza wa Jalla ini untuk berdoa kepada-Nya. ==== لَمَّا رَأَى هَذِهِ الْكَرَامَةَ زَكَرِيَّا دَعَا رَبَّهُ هُنَالِكَ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ دَعَا رَبَّهُ حَاوَلَ أَنْ يَقْتَنِصَ هَذِهِ الْفُرْصَةَ لَمَّا رَأَى الْفَضْلَ وَالْخَيْرَ وَالرِّزْقَ يَنْزِلُ عَلَيْهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ تَعَرَّضَ لِهَذَا الْكَرَمِ وَالْجُودِ مِنَ الرَّبِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَدَعَا رَبَّهُ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً طَيِّبَةٌ فِي خُلُقِهَا وَأَخْلَاقِهَا وَدِينِهَا إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ هَذَا تَوَسُّلٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ يَسْمَعُ دُعَاءَ مَنْ دَعَاهُ اسْمُ السَّمِيعِ إِذَا جَاءَ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَالْمُرَادُ بِهِ نَعَمْ الْمُسْتَجِيْبُ وَاغْتِنَامُ الْفُرَصِ فِي الدُّعَاءِ يَا إِخْوَانُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَيَغْتَنِمَ الْأَزْمِنَةَ وَالْأَمْكِنَةَ وَالْهَيْئَاتِ قَدْ يَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ يَا إِخْوَانِي إِقْبَالًا عَلَى الدُّعَاءِ وَفِي قَلْبِهِ رَغْبَةً فِي الدُّعَاءِ فَلْيَغْتَنِمْ هَذِهِ الْفُرْصَةَ وَيَدْعُو وَإِذَا كَانَ فِي زَمَانٍ فَاضٍ أَوْ مَكَانٍ فَاضٍ أَيْضًا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ مِنْ هَذِهِ الْفُرْصَةِ وَيَدْعُو رَبَّهُ هُنَاكَ أَوْقَاتٌ وَأَمْكِنَةٌ مَظِنَّةُ الْإِجَابَةِ لِلدُّعَاءِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِندَ النِّدَاءِ وَتَحْتَ الْمَطَرِ يَعْنِي عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ وَالْمُنَاسَبَةُ نُزُولِ الْمَطَرِ مَا هِيَ؟ نُزُولُ رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَطَرُ رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْتَنِمُ الْمُسْلِمُ نُزُولَ هَذِهِ الرَّحْمَةِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَدْعُو رَبَّهُ .


Ketika Nabi Zakaria melihat karamah Maryam ini, beliau segera berdoa kepada Tuhannya di sana. Yakni di tempat itu beliau berdoa kepada Tuhannya. Beliau berusaha segera mengambil kesempatan ini setelah melihat karunia, kebaikan, dan rezeki yang turun kepada Maryam tanpa batas. Beliau segera mencari karunia dan kemurahan dari Tuhannya Yang Maha Pemurah. Sehingga beliau berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisi-Mu anak keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa.” (QS. Ali Imran: 38). Makna “Anak keturunan yang baik” yakni baik dari sisi akhlak dan agamanya. Kata “Sungguh Engkau Maha Mendengar Doa” ini adalah bentuk tawasul kepada Allah ‘Azza wa Jalla (dengan menyebut asma dan sifat-Nya), bahwa Allah Maha Mendengar doa orang yang berdoa kepada-Nya. Nama Allah “as-Sami'” apabila disebutkan setelah doa, maka yang dimaksud adalah “al-Mustajib” (Maha Pengabul Doa). Memanfaatkan kesempatan berdoa – wahai saudara-saudara! – adalah hal yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Hendaklah dia memanfaatkan waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan (yang baik untuk berdoa), karena terkadang dia mendapati dirinya – wahai saudara-saudara – semangat dalam berdoa, dan dalam hatinya ada antusiasme untuk berdoa; maka hendaklah dia memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa. Apabila dia sedang berada di waktu luang atau tempat yang sepi, dia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk berdoa kepada Tuhannya. Terdapat waktu-waktu dan tempat-tempat yang memungkinkan doa mudah dikabulkan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Sahl bin Sa’d, “Dua waktu yang doa tidak ditolak ketika itu: Doa setelah azan dan di bawah hujan.” Yakni ketika turun hujan. Momen apa yang menjadikan doa mudah dikabulkan saat hujan? Saat turunnya rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Hujan adalah rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga seorang Muslim hendaklah memanfaatkan turunnya rahmat Allah ‘Azza wa Jalla ini untuk berdoa kepada-Nya. ==== لَمَّا رَأَى هَذِهِ الْكَرَامَةَ زَكَرِيَّا دَعَا رَبَّهُ هُنَالِكَ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ دَعَا رَبَّهُ حَاوَلَ أَنْ يَقْتَنِصَ هَذِهِ الْفُرْصَةَ لَمَّا رَأَى الْفَضْلَ وَالْخَيْرَ وَالرِّزْقَ يَنْزِلُ عَلَيْهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ تَعَرَّضَ لِهَذَا الْكَرَمِ وَالْجُودِ مِنَ الرَّبِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَدَعَا رَبَّهُ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً طَيِّبَةٌ فِي خُلُقِهَا وَأَخْلَاقِهَا وَدِينِهَا إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ هَذَا تَوَسُّلٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ يَسْمَعُ دُعَاءَ مَنْ دَعَاهُ اسْمُ السَّمِيعِ إِذَا جَاءَ بَعْدَ الدُّعَاءِ فَالْمُرَادُ بِهِ نَعَمْ الْمُسْتَجِيْبُ وَاغْتِنَامُ الْفُرَصِ فِي الدُّعَاءِ يَا إِخْوَانُ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ وَيَغْتَنِمَ الْأَزْمِنَةَ وَالْأَمْكِنَةَ وَالْهَيْئَاتِ قَدْ يَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ يَا إِخْوَانِي إِقْبَالًا عَلَى الدُّعَاءِ وَفِي قَلْبِهِ رَغْبَةً فِي الدُّعَاءِ فَلْيَغْتَنِمْ هَذِهِ الْفُرْصَةَ وَيَدْعُو وَإِذَا كَانَ فِي زَمَانٍ فَاضٍ أَوْ مَكَانٍ فَاضٍ أَيْضًا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ مِنْ هَذِهِ الْفُرْصَةِ وَيَدْعُو رَبَّهُ هُنَاكَ أَوْقَاتٌ وَأَمْكِنَةٌ مَظِنَّةُ الْإِجَابَةِ لِلدُّعَاءِ وَقَدْ وَرَدَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِندَ النِّدَاءِ وَتَحْتَ الْمَطَرِ يَعْنِي عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ وَالْمُنَاسَبَةُ نُزُولِ الْمَطَرِ مَا هِيَ؟ نُزُولُ رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَالْمَطَرُ رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْتَنِمُ الْمُسْلِمُ نُزُولَ هَذِهِ الرَّحْمَةِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَدْعُو رَبَّهُ .

Sebab-Sebab yang Menggugurkan Kewajiban Nafkah Suami kepada Istri (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnyaKeenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati)Pertama: Tanpa izin suaminyaKedua: Seizin suaminya Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnya Jika seorang istri bepergian tanpa izin suaminya, tanpa alasan yang sah, maka hak nafkahnya gugur karena dia tidak tunduk dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya, dan karena suaminya tidak dapat bergaul dengannya. Begitu juga, jika dia pergi bersamanya (suami) dalam perjalanan, namun tanpa izin darinya terlebih dahulu dan suaminya tidak bisa mengembalikannya ke rumahnya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali jika suaminya bisa menikmati kebersamaannya dengan istrinya tersebut pada perjalanan yang dimaksud. Adapun jika dia bepergian dengan izin suaminya bersama orang lain karena kebutuhannya, maka hak nafkahnya juga gugur menurut mazhab Hanbali dan juga ada pendapat dalam mazhab Syafi’i, karena tidak adanya keberadaan istri di rumah suaminya. Hal ini sama hukumnya sebagaimana jika dia meminta penundaan sebelum menikah. Jika istri bepergian dengan suaminya, dan keinginan untuk pergi itu datang dari suaminya, lalu suaminya tersebut turut membawanya, maka dia berhak atas nafkah perjalanan. Namun, jika dia yang ingin bepergian dan mengajak suaminya, maka dia hanya berhak atas nafkah tinggal dan tidak berhak atas nafkah perjalanan (biaya perjalanan). Jika suami ingin bepergian dengan istrinya dan istrinya menolak untuk bepergian bersamanya tanpa adanya alasan syar’i, maka hak nafkahnya gugur, dengan syarat suami telah menjamin keamanan jiwa istrinya dan juga hartanya, serta tidak berniat untuk menyakiti istrinya dengan perjalanan tersebut. Jika ada yang hilang dan kurang dari syarat ini, maka dia berhak atas nafkah, karena penolakannya saat itu merupakan alasan yang diperbolehkan oleh syariat. Abu Al-Husein Al-‘Imrani dalam kitabnya Al-Bayan, salah satu kitab mazhab Syafi’i mengatakan, “Jika wanita bepergian tanpa izin suaminya, hak nafkahnya gugur, karena dia telah menghalangi suaminya untuk menikmati perjalanannya. Jika dia bepergian dengan izin suaminya, maka harus dilihat: Jika suami bepergian bersamanya, maka hak nafkahnya tidak gugur, karena dia masih dalam pemeliharaan dan ketaatan suaminya. Jika dia bepergian sendirian karena memenuhi kebutuhan suaminya, maka suaminya wajib memberinya nafkah, karena dia bepergian dengan sebab memenuhi kebutuhan suaminya. Dan jika dia bepergian untuk kebutuhannya sendiri, maka mazhab Syafi’i dalam urusan nafkah berkata, ‘Dia berhak atas nafkah. Dan dalam urusan pernikahan (nafkah batin), tidak ada nafkah baginya.’” Keputusan mengenai tidak adanya hak nafkah untuk istri yang bepergian tanpa izin suaminya sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi, karena saat itu seorang istri dianggap menjadi pembangkang, seperti seorang istri yang dinyatakan tidak taat. Adapun status hukum untuk seorang istri yang bepergian untuk kebutuhannya sendiri dengan izin suaminya, maka masih ada yang mengganjal dalam hati kami. Dan setelah membaca dan menelaah kembali pembahasan tersebut, kami lebih condong akan adanya kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah tinggal saja (tidak wajib menafkahi biaya perjalanan istri tersebut), namun disunahkan untuk memberikan nafkah perjalanan jika suami mampu. Adapun alasan yang mereka kemukakan bahwa suaminya tidak dapat menikmati kebersamaan dengannya karena kebutuhan istri untuk melanjutkan perjalanan, maka itu tidak cukup untuk menghentikan nafkahnya, karena izin suami atas kepergiannya, maka itu sama seperti melepaskan sebagian haknya untuk sementara waktu. Wallahu A’lam bis-shawab. Keenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nafkah suami terhadap istri adalah wajib selama istri mengabdikan dirinya kepada suami dan tinggal di rumah suaminya sesuai dengan ikatan pernikahan yang telah dilakukan di antara keduanya. Sama halnya dengan orang-orang yang mengabdi untuk kepentingan orang lain, seperti hakim dan pekerja di sektor publik, maka mereka pun sudah selayaknya mendapatkan hak nafkah dan digaji. Oleh karena itu, selama istri berada di rumah, tanggung jawab untuk memberi nafkah bagi suami adalah wajib, meskipun istrinya tersebut bekerja (di rumah). Jika istri bekerja di dalam rumah, seperti merajut, menjahit, memasak, dan menjual masakan, atau juga jika dia bekerja dari jarak jauh (online), seperti menggunakan komputer atau hape dari rumahnya, maka nafkah mereka tetap harus diberikan karena mereka telah memenuhi syarat berupa tinggal di rumah suami, melayani, dan berada di rumahnya. Lalu, bagaimana halnya jika istri bekerja di luar rumah? Jika istri bekerja di luar rumah, maka ada dua kemungkinan: Pertama: Tanpa izin suaminya Seorang wanita yang  bekerja dan mendapatkan penghasilan tanpa persetujuan suaminya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah. Nafkah istri adalah kewajiban suami seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadi tidak sah bagi istri untuk mencari nafkah, kecuali jika suaminya tidak menafkahinya. Wanita yang bekerja dan mencari nafkah sejatinya tidak sepenuhnya mengabdikan dirinya kepada suaminya, dan jika suami melarangnya melakukan itu, dan dia melawan serta keluar tanpa izinnya, maka dia dianggap melakukan nusyuz (pembangkangan) selama dia keluar dari rumahnya, dan dengan begitu dia tidak berhak mendapatkan nafkah darinya. Adapun jika suaminya tidak memberinya nafkah (tanpa alasan syar’i), maka istri diperbolehkan untuk mencari nafkah lewat pekerjaan, berdagang, atau dengan meminta-minta, dan suaminya tidak boleh melarangnya saat itu, baik istrinya tersebut kaya ataupun miskin, karena keberadaannya dalam naungan suami dan ketaatannya kepada suami mengharuskan adanya nafkah untuk istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka dia tidak berhak untuk membatasi istri. Kedua: Seizin suaminya Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban nafkah istri jika ia keluar untuk bekerja dengan izin suaminya, dalam dua pandangan: Pandangan pertama: Istri tidak berhak atas nafkah jika ia keluar dari rumah suaminya untuk bekerja untuk dirinya sendiri dengan izinnya. Ini adalah pendapat dari mazhab Hanafiah dan Syafi’iyah, dan ini juga merupakan konsekuensi dari pendapat Hanbali. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika istrinya bepergian tanpa izinnya, maka nafkahnya gugur dari suaminya, karena dia sudah melakukan pembangkangan kepada suaminya. Begitu juga, jika ia pindah dari rumah suaminya tanpa izinnya. Namun, jika ia bepergian dengan izin suaminya untuk kepentingan suaminya, maka nafkahnya tetap ada, karena ia bepergian atas kepentingan suami. Dan jika itu untuk kepentingan dirinya sendiri, maka nafkahnya gugur, karena dia telah menghilangkan kesempatan untuk melayani suaminya karena kepentingan dirinya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.” (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 8: 231) Mereka berdalil bahwa nafkah diberikan sebagai imbalan untuk menahan diri sendiri demi memenuhi hak suami, sehingga jika ia keluar dari rumah, hak suaminya berkurang, dan nafkahnya gugur. Selain itu, keluarnya istri bisa mengakibatkan hilangnya hak suami untuk menikmati istrinya, sehingga mirip dengan nusyuz (penentangan dan pembangkangan), dan dia telah memilih kesibukan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin baginya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri sekaligus mendapatkan nafkah dari suami. Pandangan kedua: Istri yang bekerja berhak mendapatkan nafkah jika dia pergi bekerja dengan izin suaminya. Ini adalah pendapat lain dari para Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan ini merupakan pokok ajaran Ibnu Hazm karena suami wajib memberikan nafkah hanya dengan adanya akad, meskipun istri tidak mau patuh. Mereka beralasan bahwa suami telah memberikan izin untuk pergi, sehingga itu dianggap sebagai pengunduran diri dari haknya, dan bahwa istri tidak melanggar suami, malah dia melakukan kebalikan dari pelanggaran. Pandangan yang lebih tepat: Dr. Khalid bin Abdullah Al-Muzaini menyampaikan sebuah kesimpulan setelah mempertimbangkan kedua pendapat di atas, “Setelah merenungkan pendapat dan bukti, saya rasa perlu untuk menjelaskan masalah ini. Karena suami memiliki dua hak dari istrinya: hak ihtibas/penahanan (penyerahan diri seorang wanita sepenuhnya kepada suami) dan tamkin/hak menikmati istri. Mungkin saja, seorang suami mengizinkan istrinya untuk bekerja, tetapi tidak melepaskan haknya dalam menikmati istrinya, sehingga meminta penghapusan sebagai ganti dari hak menikmati istrinya yang hilang dengan tidak memberikan nafkah. Sehingga, dalam permasalahan ini, perlu kita rinci. Jika suami mengizinkan istri keluar tanpa melepaskan haknya utuk dapat menikmati istrinya, maka tidak ada nafkah bagi sang istri. Namun, jika suami mengizinkan istri keluar dan melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya, maka istrinya tetap berhak mendapatkan nafkah.” Dalam hal ini, keputusan ada di tangan suami. Jikalau dirinya mengizinkan istrinya bekerja untuk kepentingan istrinya sendiri dan bukan untuk kepentingan suami atau apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, lalu kemudian ia melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya kapan pun ia inginkan, maka sang istri tetap memiliki hak untuk diberikan nafkah. Sebaliknya, jika ia mengizinkan istrinya bekerja, namun tidak melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya (tidak melepaskan hak tamkin), maka istri tidak lagi wajib untuk dinafkahi. Wallahu A’lam bis-shawab. [Selesai] KEMBALI KE BAGIAN 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari artikel berjudul, Musqitat An-Nafaqah Az-Zaujiyyah yang diterbitkan oleh noslih.com, dengan beberapa penyesuaian bahasa.

Sebab-Sebab yang Menggugurkan Kewajiban Nafkah Suami kepada Istri (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnyaKeenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati)Pertama: Tanpa izin suaminyaKedua: Seizin suaminya Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnya Jika seorang istri bepergian tanpa izin suaminya, tanpa alasan yang sah, maka hak nafkahnya gugur karena dia tidak tunduk dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya, dan karena suaminya tidak dapat bergaul dengannya. Begitu juga, jika dia pergi bersamanya (suami) dalam perjalanan, namun tanpa izin darinya terlebih dahulu dan suaminya tidak bisa mengembalikannya ke rumahnya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali jika suaminya bisa menikmati kebersamaannya dengan istrinya tersebut pada perjalanan yang dimaksud. Adapun jika dia bepergian dengan izin suaminya bersama orang lain karena kebutuhannya, maka hak nafkahnya juga gugur menurut mazhab Hanbali dan juga ada pendapat dalam mazhab Syafi’i, karena tidak adanya keberadaan istri di rumah suaminya. Hal ini sama hukumnya sebagaimana jika dia meminta penundaan sebelum menikah. Jika istri bepergian dengan suaminya, dan keinginan untuk pergi itu datang dari suaminya, lalu suaminya tersebut turut membawanya, maka dia berhak atas nafkah perjalanan. Namun, jika dia yang ingin bepergian dan mengajak suaminya, maka dia hanya berhak atas nafkah tinggal dan tidak berhak atas nafkah perjalanan (biaya perjalanan). Jika suami ingin bepergian dengan istrinya dan istrinya menolak untuk bepergian bersamanya tanpa adanya alasan syar’i, maka hak nafkahnya gugur, dengan syarat suami telah menjamin keamanan jiwa istrinya dan juga hartanya, serta tidak berniat untuk menyakiti istrinya dengan perjalanan tersebut. Jika ada yang hilang dan kurang dari syarat ini, maka dia berhak atas nafkah, karena penolakannya saat itu merupakan alasan yang diperbolehkan oleh syariat. Abu Al-Husein Al-‘Imrani dalam kitabnya Al-Bayan, salah satu kitab mazhab Syafi’i mengatakan, “Jika wanita bepergian tanpa izin suaminya, hak nafkahnya gugur, karena dia telah menghalangi suaminya untuk menikmati perjalanannya. Jika dia bepergian dengan izin suaminya, maka harus dilihat: Jika suami bepergian bersamanya, maka hak nafkahnya tidak gugur, karena dia masih dalam pemeliharaan dan ketaatan suaminya. Jika dia bepergian sendirian karena memenuhi kebutuhan suaminya, maka suaminya wajib memberinya nafkah, karena dia bepergian dengan sebab memenuhi kebutuhan suaminya. Dan jika dia bepergian untuk kebutuhannya sendiri, maka mazhab Syafi’i dalam urusan nafkah berkata, ‘Dia berhak atas nafkah. Dan dalam urusan pernikahan (nafkah batin), tidak ada nafkah baginya.’” Keputusan mengenai tidak adanya hak nafkah untuk istri yang bepergian tanpa izin suaminya sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi, karena saat itu seorang istri dianggap menjadi pembangkang, seperti seorang istri yang dinyatakan tidak taat. Adapun status hukum untuk seorang istri yang bepergian untuk kebutuhannya sendiri dengan izin suaminya, maka masih ada yang mengganjal dalam hati kami. Dan setelah membaca dan menelaah kembali pembahasan tersebut, kami lebih condong akan adanya kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah tinggal saja (tidak wajib menafkahi biaya perjalanan istri tersebut), namun disunahkan untuk memberikan nafkah perjalanan jika suami mampu. Adapun alasan yang mereka kemukakan bahwa suaminya tidak dapat menikmati kebersamaan dengannya karena kebutuhan istri untuk melanjutkan perjalanan, maka itu tidak cukup untuk menghentikan nafkahnya, karena izin suami atas kepergiannya, maka itu sama seperti melepaskan sebagian haknya untuk sementara waktu. Wallahu A’lam bis-shawab. Keenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nafkah suami terhadap istri adalah wajib selama istri mengabdikan dirinya kepada suami dan tinggal di rumah suaminya sesuai dengan ikatan pernikahan yang telah dilakukan di antara keduanya. Sama halnya dengan orang-orang yang mengabdi untuk kepentingan orang lain, seperti hakim dan pekerja di sektor publik, maka mereka pun sudah selayaknya mendapatkan hak nafkah dan digaji. Oleh karena itu, selama istri berada di rumah, tanggung jawab untuk memberi nafkah bagi suami adalah wajib, meskipun istrinya tersebut bekerja (di rumah). Jika istri bekerja di dalam rumah, seperti merajut, menjahit, memasak, dan menjual masakan, atau juga jika dia bekerja dari jarak jauh (online), seperti menggunakan komputer atau hape dari rumahnya, maka nafkah mereka tetap harus diberikan karena mereka telah memenuhi syarat berupa tinggal di rumah suami, melayani, dan berada di rumahnya. Lalu, bagaimana halnya jika istri bekerja di luar rumah? Jika istri bekerja di luar rumah, maka ada dua kemungkinan: Pertama: Tanpa izin suaminya Seorang wanita yang  bekerja dan mendapatkan penghasilan tanpa persetujuan suaminya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah. Nafkah istri adalah kewajiban suami seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadi tidak sah bagi istri untuk mencari nafkah, kecuali jika suaminya tidak menafkahinya. Wanita yang bekerja dan mencari nafkah sejatinya tidak sepenuhnya mengabdikan dirinya kepada suaminya, dan jika suami melarangnya melakukan itu, dan dia melawan serta keluar tanpa izinnya, maka dia dianggap melakukan nusyuz (pembangkangan) selama dia keluar dari rumahnya, dan dengan begitu dia tidak berhak mendapatkan nafkah darinya. Adapun jika suaminya tidak memberinya nafkah (tanpa alasan syar’i), maka istri diperbolehkan untuk mencari nafkah lewat pekerjaan, berdagang, atau dengan meminta-minta, dan suaminya tidak boleh melarangnya saat itu, baik istrinya tersebut kaya ataupun miskin, karena keberadaannya dalam naungan suami dan ketaatannya kepada suami mengharuskan adanya nafkah untuk istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka dia tidak berhak untuk membatasi istri. Kedua: Seizin suaminya Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban nafkah istri jika ia keluar untuk bekerja dengan izin suaminya, dalam dua pandangan: Pandangan pertama: Istri tidak berhak atas nafkah jika ia keluar dari rumah suaminya untuk bekerja untuk dirinya sendiri dengan izinnya. Ini adalah pendapat dari mazhab Hanafiah dan Syafi’iyah, dan ini juga merupakan konsekuensi dari pendapat Hanbali. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika istrinya bepergian tanpa izinnya, maka nafkahnya gugur dari suaminya, karena dia sudah melakukan pembangkangan kepada suaminya. Begitu juga, jika ia pindah dari rumah suaminya tanpa izinnya. Namun, jika ia bepergian dengan izin suaminya untuk kepentingan suaminya, maka nafkahnya tetap ada, karena ia bepergian atas kepentingan suami. Dan jika itu untuk kepentingan dirinya sendiri, maka nafkahnya gugur, karena dia telah menghilangkan kesempatan untuk melayani suaminya karena kepentingan dirinya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.” (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 8: 231) Mereka berdalil bahwa nafkah diberikan sebagai imbalan untuk menahan diri sendiri demi memenuhi hak suami, sehingga jika ia keluar dari rumah, hak suaminya berkurang, dan nafkahnya gugur. Selain itu, keluarnya istri bisa mengakibatkan hilangnya hak suami untuk menikmati istrinya, sehingga mirip dengan nusyuz (penentangan dan pembangkangan), dan dia telah memilih kesibukan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin baginya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri sekaligus mendapatkan nafkah dari suami. Pandangan kedua: Istri yang bekerja berhak mendapatkan nafkah jika dia pergi bekerja dengan izin suaminya. Ini adalah pendapat lain dari para Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan ini merupakan pokok ajaran Ibnu Hazm karena suami wajib memberikan nafkah hanya dengan adanya akad, meskipun istri tidak mau patuh. Mereka beralasan bahwa suami telah memberikan izin untuk pergi, sehingga itu dianggap sebagai pengunduran diri dari haknya, dan bahwa istri tidak melanggar suami, malah dia melakukan kebalikan dari pelanggaran. Pandangan yang lebih tepat: Dr. Khalid bin Abdullah Al-Muzaini menyampaikan sebuah kesimpulan setelah mempertimbangkan kedua pendapat di atas, “Setelah merenungkan pendapat dan bukti, saya rasa perlu untuk menjelaskan masalah ini. Karena suami memiliki dua hak dari istrinya: hak ihtibas/penahanan (penyerahan diri seorang wanita sepenuhnya kepada suami) dan tamkin/hak menikmati istri. Mungkin saja, seorang suami mengizinkan istrinya untuk bekerja, tetapi tidak melepaskan haknya dalam menikmati istrinya, sehingga meminta penghapusan sebagai ganti dari hak menikmati istrinya yang hilang dengan tidak memberikan nafkah. Sehingga, dalam permasalahan ini, perlu kita rinci. Jika suami mengizinkan istri keluar tanpa melepaskan haknya utuk dapat menikmati istrinya, maka tidak ada nafkah bagi sang istri. Namun, jika suami mengizinkan istri keluar dan melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya, maka istrinya tetap berhak mendapatkan nafkah.” Dalam hal ini, keputusan ada di tangan suami. Jikalau dirinya mengizinkan istrinya bekerja untuk kepentingan istrinya sendiri dan bukan untuk kepentingan suami atau apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, lalu kemudian ia melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya kapan pun ia inginkan, maka sang istri tetap memiliki hak untuk diberikan nafkah. Sebaliknya, jika ia mengizinkan istrinya bekerja, namun tidak melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya (tidak melepaskan hak tamkin), maka istri tidak lagi wajib untuk dinafkahi. Wallahu A’lam bis-shawab. [Selesai] KEMBALI KE BAGIAN 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari artikel berjudul, Musqitat An-Nafaqah Az-Zaujiyyah yang diterbitkan oleh noslih.com, dengan beberapa penyesuaian bahasa.
Daftar Isi Toggle Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnyaKeenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati)Pertama: Tanpa izin suaminyaKedua: Seizin suaminya Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnya Jika seorang istri bepergian tanpa izin suaminya, tanpa alasan yang sah, maka hak nafkahnya gugur karena dia tidak tunduk dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya, dan karena suaminya tidak dapat bergaul dengannya. Begitu juga, jika dia pergi bersamanya (suami) dalam perjalanan, namun tanpa izin darinya terlebih dahulu dan suaminya tidak bisa mengembalikannya ke rumahnya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali jika suaminya bisa menikmati kebersamaannya dengan istrinya tersebut pada perjalanan yang dimaksud. Adapun jika dia bepergian dengan izin suaminya bersama orang lain karena kebutuhannya, maka hak nafkahnya juga gugur menurut mazhab Hanbali dan juga ada pendapat dalam mazhab Syafi’i, karena tidak adanya keberadaan istri di rumah suaminya. Hal ini sama hukumnya sebagaimana jika dia meminta penundaan sebelum menikah. Jika istri bepergian dengan suaminya, dan keinginan untuk pergi itu datang dari suaminya, lalu suaminya tersebut turut membawanya, maka dia berhak atas nafkah perjalanan. Namun, jika dia yang ingin bepergian dan mengajak suaminya, maka dia hanya berhak atas nafkah tinggal dan tidak berhak atas nafkah perjalanan (biaya perjalanan). Jika suami ingin bepergian dengan istrinya dan istrinya menolak untuk bepergian bersamanya tanpa adanya alasan syar’i, maka hak nafkahnya gugur, dengan syarat suami telah menjamin keamanan jiwa istrinya dan juga hartanya, serta tidak berniat untuk menyakiti istrinya dengan perjalanan tersebut. Jika ada yang hilang dan kurang dari syarat ini, maka dia berhak atas nafkah, karena penolakannya saat itu merupakan alasan yang diperbolehkan oleh syariat. Abu Al-Husein Al-‘Imrani dalam kitabnya Al-Bayan, salah satu kitab mazhab Syafi’i mengatakan, “Jika wanita bepergian tanpa izin suaminya, hak nafkahnya gugur, karena dia telah menghalangi suaminya untuk menikmati perjalanannya. Jika dia bepergian dengan izin suaminya, maka harus dilihat: Jika suami bepergian bersamanya, maka hak nafkahnya tidak gugur, karena dia masih dalam pemeliharaan dan ketaatan suaminya. Jika dia bepergian sendirian karena memenuhi kebutuhan suaminya, maka suaminya wajib memberinya nafkah, karena dia bepergian dengan sebab memenuhi kebutuhan suaminya. Dan jika dia bepergian untuk kebutuhannya sendiri, maka mazhab Syafi’i dalam urusan nafkah berkata, ‘Dia berhak atas nafkah. Dan dalam urusan pernikahan (nafkah batin), tidak ada nafkah baginya.’” Keputusan mengenai tidak adanya hak nafkah untuk istri yang bepergian tanpa izin suaminya sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi, karena saat itu seorang istri dianggap menjadi pembangkang, seperti seorang istri yang dinyatakan tidak taat. Adapun status hukum untuk seorang istri yang bepergian untuk kebutuhannya sendiri dengan izin suaminya, maka masih ada yang mengganjal dalam hati kami. Dan setelah membaca dan menelaah kembali pembahasan tersebut, kami lebih condong akan adanya kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah tinggal saja (tidak wajib menafkahi biaya perjalanan istri tersebut), namun disunahkan untuk memberikan nafkah perjalanan jika suami mampu. Adapun alasan yang mereka kemukakan bahwa suaminya tidak dapat menikmati kebersamaan dengannya karena kebutuhan istri untuk melanjutkan perjalanan, maka itu tidak cukup untuk menghentikan nafkahnya, karena izin suami atas kepergiannya, maka itu sama seperti melepaskan sebagian haknya untuk sementara waktu. Wallahu A’lam bis-shawab. Keenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nafkah suami terhadap istri adalah wajib selama istri mengabdikan dirinya kepada suami dan tinggal di rumah suaminya sesuai dengan ikatan pernikahan yang telah dilakukan di antara keduanya. Sama halnya dengan orang-orang yang mengabdi untuk kepentingan orang lain, seperti hakim dan pekerja di sektor publik, maka mereka pun sudah selayaknya mendapatkan hak nafkah dan digaji. Oleh karena itu, selama istri berada di rumah, tanggung jawab untuk memberi nafkah bagi suami adalah wajib, meskipun istrinya tersebut bekerja (di rumah). Jika istri bekerja di dalam rumah, seperti merajut, menjahit, memasak, dan menjual masakan, atau juga jika dia bekerja dari jarak jauh (online), seperti menggunakan komputer atau hape dari rumahnya, maka nafkah mereka tetap harus diberikan karena mereka telah memenuhi syarat berupa tinggal di rumah suami, melayani, dan berada di rumahnya. Lalu, bagaimana halnya jika istri bekerja di luar rumah? Jika istri bekerja di luar rumah, maka ada dua kemungkinan: Pertama: Tanpa izin suaminya Seorang wanita yang  bekerja dan mendapatkan penghasilan tanpa persetujuan suaminya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah. Nafkah istri adalah kewajiban suami seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadi tidak sah bagi istri untuk mencari nafkah, kecuali jika suaminya tidak menafkahinya. Wanita yang bekerja dan mencari nafkah sejatinya tidak sepenuhnya mengabdikan dirinya kepada suaminya, dan jika suami melarangnya melakukan itu, dan dia melawan serta keluar tanpa izinnya, maka dia dianggap melakukan nusyuz (pembangkangan) selama dia keluar dari rumahnya, dan dengan begitu dia tidak berhak mendapatkan nafkah darinya. Adapun jika suaminya tidak memberinya nafkah (tanpa alasan syar’i), maka istri diperbolehkan untuk mencari nafkah lewat pekerjaan, berdagang, atau dengan meminta-minta, dan suaminya tidak boleh melarangnya saat itu, baik istrinya tersebut kaya ataupun miskin, karena keberadaannya dalam naungan suami dan ketaatannya kepada suami mengharuskan adanya nafkah untuk istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka dia tidak berhak untuk membatasi istri. Kedua: Seizin suaminya Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban nafkah istri jika ia keluar untuk bekerja dengan izin suaminya, dalam dua pandangan: Pandangan pertama: Istri tidak berhak atas nafkah jika ia keluar dari rumah suaminya untuk bekerja untuk dirinya sendiri dengan izinnya. Ini adalah pendapat dari mazhab Hanafiah dan Syafi’iyah, dan ini juga merupakan konsekuensi dari pendapat Hanbali. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika istrinya bepergian tanpa izinnya, maka nafkahnya gugur dari suaminya, karena dia sudah melakukan pembangkangan kepada suaminya. Begitu juga, jika ia pindah dari rumah suaminya tanpa izinnya. Namun, jika ia bepergian dengan izin suaminya untuk kepentingan suaminya, maka nafkahnya tetap ada, karena ia bepergian atas kepentingan suami. Dan jika itu untuk kepentingan dirinya sendiri, maka nafkahnya gugur, karena dia telah menghilangkan kesempatan untuk melayani suaminya karena kepentingan dirinya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.” (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 8: 231) Mereka berdalil bahwa nafkah diberikan sebagai imbalan untuk menahan diri sendiri demi memenuhi hak suami, sehingga jika ia keluar dari rumah, hak suaminya berkurang, dan nafkahnya gugur. Selain itu, keluarnya istri bisa mengakibatkan hilangnya hak suami untuk menikmati istrinya, sehingga mirip dengan nusyuz (penentangan dan pembangkangan), dan dia telah memilih kesibukan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin baginya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri sekaligus mendapatkan nafkah dari suami. Pandangan kedua: Istri yang bekerja berhak mendapatkan nafkah jika dia pergi bekerja dengan izin suaminya. Ini adalah pendapat lain dari para Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan ini merupakan pokok ajaran Ibnu Hazm karena suami wajib memberikan nafkah hanya dengan adanya akad, meskipun istri tidak mau patuh. Mereka beralasan bahwa suami telah memberikan izin untuk pergi, sehingga itu dianggap sebagai pengunduran diri dari haknya, dan bahwa istri tidak melanggar suami, malah dia melakukan kebalikan dari pelanggaran. Pandangan yang lebih tepat: Dr. Khalid bin Abdullah Al-Muzaini menyampaikan sebuah kesimpulan setelah mempertimbangkan kedua pendapat di atas, “Setelah merenungkan pendapat dan bukti, saya rasa perlu untuk menjelaskan masalah ini. Karena suami memiliki dua hak dari istrinya: hak ihtibas/penahanan (penyerahan diri seorang wanita sepenuhnya kepada suami) dan tamkin/hak menikmati istri. Mungkin saja, seorang suami mengizinkan istrinya untuk bekerja, tetapi tidak melepaskan haknya dalam menikmati istrinya, sehingga meminta penghapusan sebagai ganti dari hak menikmati istrinya yang hilang dengan tidak memberikan nafkah. Sehingga, dalam permasalahan ini, perlu kita rinci. Jika suami mengizinkan istri keluar tanpa melepaskan haknya utuk dapat menikmati istrinya, maka tidak ada nafkah bagi sang istri. Namun, jika suami mengizinkan istri keluar dan melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya, maka istrinya tetap berhak mendapatkan nafkah.” Dalam hal ini, keputusan ada di tangan suami. Jikalau dirinya mengizinkan istrinya bekerja untuk kepentingan istrinya sendiri dan bukan untuk kepentingan suami atau apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, lalu kemudian ia melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya kapan pun ia inginkan, maka sang istri tetap memiliki hak untuk diberikan nafkah. Sebaliknya, jika ia mengizinkan istrinya bekerja, namun tidak melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya (tidak melepaskan hak tamkin), maka istri tidak lagi wajib untuk dinafkahi. Wallahu A’lam bis-shawab. [Selesai] KEMBALI KE BAGIAN 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari artikel berjudul, Musqitat An-Nafaqah Az-Zaujiyyah yang diterbitkan oleh noslih.com, dengan beberapa penyesuaian bahasa.


Daftar Isi Toggle Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnyaKeenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati)Pertama: Tanpa izin suaminyaKedua: Seizin suaminya Kelima: Istri yang bepergian, baik dalam rangka ketaatan, seperti berhaji atau karena sebab lainnya Jika seorang istri bepergian tanpa izin suaminya, tanpa alasan yang sah, maka hak nafkahnya gugur karena dia tidak tunduk dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya, dan karena suaminya tidak dapat bergaul dengannya. Begitu juga, jika dia pergi bersamanya (suami) dalam perjalanan, namun tanpa izin darinya terlebih dahulu dan suaminya tidak bisa mengembalikannya ke rumahnya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali jika suaminya bisa menikmati kebersamaannya dengan istrinya tersebut pada perjalanan yang dimaksud. Adapun jika dia bepergian dengan izin suaminya bersama orang lain karena kebutuhannya, maka hak nafkahnya juga gugur menurut mazhab Hanbali dan juga ada pendapat dalam mazhab Syafi’i, karena tidak adanya keberadaan istri di rumah suaminya. Hal ini sama hukumnya sebagaimana jika dia meminta penundaan sebelum menikah. Jika istri bepergian dengan suaminya, dan keinginan untuk pergi itu datang dari suaminya, lalu suaminya tersebut turut membawanya, maka dia berhak atas nafkah perjalanan. Namun, jika dia yang ingin bepergian dan mengajak suaminya, maka dia hanya berhak atas nafkah tinggal dan tidak berhak atas nafkah perjalanan (biaya perjalanan). Jika suami ingin bepergian dengan istrinya dan istrinya menolak untuk bepergian bersamanya tanpa adanya alasan syar’i, maka hak nafkahnya gugur, dengan syarat suami telah menjamin keamanan jiwa istrinya dan juga hartanya, serta tidak berniat untuk menyakiti istrinya dengan perjalanan tersebut. Jika ada yang hilang dan kurang dari syarat ini, maka dia berhak atas nafkah, karena penolakannya saat itu merupakan alasan yang diperbolehkan oleh syariat. Abu Al-Husein Al-‘Imrani dalam kitabnya Al-Bayan, salah satu kitab mazhab Syafi’i mengatakan, “Jika wanita bepergian tanpa izin suaminya, hak nafkahnya gugur, karena dia telah menghalangi suaminya untuk menikmati perjalanannya. Jika dia bepergian dengan izin suaminya, maka harus dilihat: Jika suami bepergian bersamanya, maka hak nafkahnya tidak gugur, karena dia masih dalam pemeliharaan dan ketaatan suaminya. Jika dia bepergian sendirian karena memenuhi kebutuhan suaminya, maka suaminya wajib memberinya nafkah, karena dia bepergian dengan sebab memenuhi kebutuhan suaminya. Dan jika dia bepergian untuk kebutuhannya sendiri, maka mazhab Syafi’i dalam urusan nafkah berkata, ‘Dia berhak atas nafkah. Dan dalam urusan pernikahan (nafkah batin), tidak ada nafkah baginya.’” Keputusan mengenai tidak adanya hak nafkah untuk istri yang bepergian tanpa izin suaminya sudah jelas dan tidak perlu diragukan lagi, karena saat itu seorang istri dianggap menjadi pembangkang, seperti seorang istri yang dinyatakan tidak taat. Adapun status hukum untuk seorang istri yang bepergian untuk kebutuhannya sendiri dengan izin suaminya, maka masih ada yang mengganjal dalam hati kami. Dan setelah membaca dan menelaah kembali pembahasan tersebut, kami lebih condong akan adanya kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah tinggal saja (tidak wajib menafkahi biaya perjalanan istri tersebut), namun disunahkan untuk memberikan nafkah perjalanan jika suami mampu. Adapun alasan yang mereka kemukakan bahwa suaminya tidak dapat menikmati kebersamaan dengannya karena kebutuhan istri untuk melanjutkan perjalanan, maka itu tidak cukup untuk menghentikan nafkahnya, karena izin suami atas kepergiannya, maka itu sama seperti melepaskan sebagian haknya untuk sementara waktu. Wallahu A’lam bis-shawab. Keenam: Istri yang bekerja (pegawai atau karyawati) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nafkah suami terhadap istri adalah wajib selama istri mengabdikan dirinya kepada suami dan tinggal di rumah suaminya sesuai dengan ikatan pernikahan yang telah dilakukan di antara keduanya. Sama halnya dengan orang-orang yang mengabdi untuk kepentingan orang lain, seperti hakim dan pekerja di sektor publik, maka mereka pun sudah selayaknya mendapatkan hak nafkah dan digaji. Oleh karena itu, selama istri berada di rumah, tanggung jawab untuk memberi nafkah bagi suami adalah wajib, meskipun istrinya tersebut bekerja (di rumah). Jika istri bekerja di dalam rumah, seperti merajut, menjahit, memasak, dan menjual masakan, atau juga jika dia bekerja dari jarak jauh (online), seperti menggunakan komputer atau hape dari rumahnya, maka nafkah mereka tetap harus diberikan karena mereka telah memenuhi syarat berupa tinggal di rumah suami, melayani, dan berada di rumahnya. Lalu, bagaimana halnya jika istri bekerja di luar rumah? Jika istri bekerja di luar rumah, maka ada dua kemungkinan: Pertama: Tanpa izin suaminya Seorang wanita yang  bekerja dan mendapatkan penghasilan tanpa persetujuan suaminya, maka dia tidak berhak mendapat nafkah. Nafkah istri adalah kewajiban suami seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadi tidak sah bagi istri untuk mencari nafkah, kecuali jika suaminya tidak menafkahinya. Wanita yang bekerja dan mencari nafkah sejatinya tidak sepenuhnya mengabdikan dirinya kepada suaminya, dan jika suami melarangnya melakukan itu, dan dia melawan serta keluar tanpa izinnya, maka dia dianggap melakukan nusyuz (pembangkangan) selama dia keluar dari rumahnya, dan dengan begitu dia tidak berhak mendapatkan nafkah darinya. Adapun jika suaminya tidak memberinya nafkah (tanpa alasan syar’i), maka istri diperbolehkan untuk mencari nafkah lewat pekerjaan, berdagang, atau dengan meminta-minta, dan suaminya tidak boleh melarangnya saat itu, baik istrinya tersebut kaya ataupun miskin, karena keberadaannya dalam naungan suami dan ketaatannya kepada suami mengharuskan adanya nafkah untuk istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka dia tidak berhak untuk membatasi istri. Kedua: Seizin suaminya Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban nafkah istri jika ia keluar untuk bekerja dengan izin suaminya, dalam dua pandangan: Pandangan pertama: Istri tidak berhak atas nafkah jika ia keluar dari rumah suaminya untuk bekerja untuk dirinya sendiri dengan izinnya. Ini adalah pendapat dari mazhab Hanafiah dan Syafi’iyah, dan ini juga merupakan konsekuensi dari pendapat Hanbali. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika istrinya bepergian tanpa izinnya, maka nafkahnya gugur dari suaminya, karena dia sudah melakukan pembangkangan kepada suaminya. Begitu juga, jika ia pindah dari rumah suaminya tanpa izinnya. Namun, jika ia bepergian dengan izin suaminya untuk kepentingan suaminya, maka nafkahnya tetap ada, karena ia bepergian atas kepentingan suami. Dan jika itu untuk kepentingan dirinya sendiri, maka nafkahnya gugur, karena dia telah menghilangkan kesempatan untuk melayani suaminya karena kepentingan dirinya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.” (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 8: 231) Mereka berdalil bahwa nafkah diberikan sebagai imbalan untuk menahan diri sendiri demi memenuhi hak suami, sehingga jika ia keluar dari rumah, hak suaminya berkurang, dan nafkahnya gugur. Selain itu, keluarnya istri bisa mengakibatkan hilangnya hak suami untuk menikmati istrinya, sehingga mirip dengan nusyuz (penentangan dan pembangkangan), dan dia telah memilih kesibukan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin baginya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri sekaligus mendapatkan nafkah dari suami. Pandangan kedua: Istri yang bekerja berhak mendapatkan nafkah jika dia pergi bekerja dengan izin suaminya. Ini adalah pendapat lain dari para Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan ini merupakan pokok ajaran Ibnu Hazm karena suami wajib memberikan nafkah hanya dengan adanya akad, meskipun istri tidak mau patuh. Mereka beralasan bahwa suami telah memberikan izin untuk pergi, sehingga itu dianggap sebagai pengunduran diri dari haknya, dan bahwa istri tidak melanggar suami, malah dia melakukan kebalikan dari pelanggaran. Pandangan yang lebih tepat: Dr. Khalid bin Abdullah Al-Muzaini menyampaikan sebuah kesimpulan setelah mempertimbangkan kedua pendapat di atas, “Setelah merenungkan pendapat dan bukti, saya rasa perlu untuk menjelaskan masalah ini. Karena suami memiliki dua hak dari istrinya: hak ihtibas/penahanan (penyerahan diri seorang wanita sepenuhnya kepada suami) dan tamkin/hak menikmati istri. Mungkin saja, seorang suami mengizinkan istrinya untuk bekerja, tetapi tidak melepaskan haknya dalam menikmati istrinya, sehingga meminta penghapusan sebagai ganti dari hak menikmati istrinya yang hilang dengan tidak memberikan nafkah. Sehingga, dalam permasalahan ini, perlu kita rinci. Jika suami mengizinkan istri keluar tanpa melepaskan haknya utuk dapat menikmati istrinya, maka tidak ada nafkah bagi sang istri. Namun, jika suami mengizinkan istri keluar dan melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya, maka istrinya tetap berhak mendapatkan nafkah.” Dalam hal ini, keputusan ada di tangan suami. Jikalau dirinya mengizinkan istrinya bekerja untuk kepentingan istrinya sendiri dan bukan untuk kepentingan suami atau apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, lalu kemudian ia melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya kapan pun ia inginkan, maka sang istri tetap memiliki hak untuk diberikan nafkah. Sebaliknya, jika ia mengizinkan istrinya bekerja, namun tidak melepaskan haknya untuk dapat menikmati istrinya (tidak melepaskan hak tamkin), maka istri tidak lagi wajib untuk dinafkahi. Wallahu A’lam bis-shawab. [Selesai] KEMBALI KE BAGIAN 1 *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Diringkas dari artikel berjudul, Musqitat An-Nafaqah Az-Zaujiyyah yang diterbitkan oleh noslih.com, dengan beberapa penyesuaian bahasa.

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 Posted on October 25, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas salah satu redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca salam. Redaksi paling sempurnanya adalah: «السَّلَامُ ‌عَلَيْكُمْ ‌وَرَحْمَةُ ‌اللَّهِ ‌وَبَرَكَاتُهُ» “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Dalil Landasan Allah ta’ala berfirman, “‌فَإِذا ‌دَخَلْتُمْ ‌بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبارَكَةً طَيِّبَةً” Artinya: “Jika kalian masuk rumah-rumah, maka ucapkanlah salam kepada sesama diri kalian, dengan salam yang diajarkan Allah, yaitu yang penuh berkah dan baik”. QS. An-Nur (24): 61. Renungan Kandungan Syaikh as-Si’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan dianjurkannya mengucapkan salam saat masuk rumah siapapun. Entah itu rumah sendiri atau rumah orang lain. Baik di dalam rumah ada orangnya atau tidak. Berhubung seluruh kaum muslimin ibarat satu jasad—dilihat dari sisi kepedulian dan kasih sayang sesama mereka—maka Allah menggunakan kalimat “anfusikum” (diri kalian sendiri). Walau maksudnya adalah di antara sesama muslim. Lalu dijelaskan keutamaan salam tersebut, bahwa salam merupakan kalimat sapaan yang diajarkan oleh Allah. Kalimat ini membawa keberkahan; sebab mengandung doa keselamatan dari kekurangan, dan doa agar rahmat diturunkan, diawetkan, bahkan dikembangkan. Kemudian kalimat ini juga sangat baik, karena dicintai Allah, serta menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Salam juga merupakan sebab seseorang mendapat jaminan kecukupan rizki dari Allah dan masuk surga. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, «ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ؛ إِنْ ‌عَاشَ ‌رُزِقَ ‌وَكُفِيَ، وَإِنْ مَاتَ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ: مَنْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَسَلَّمَ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ». “Ada tiga jenis manusia yang mendapat jaminan dari Allah. Jika ia hidup; maka akan dikaruniai rizki dan kecukupan. Bila ia mati; maka akan dimasukkan oleh Allah ke surga. (1) Siapapun yang masuk rumahnya dan mengucapkan salam, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (2) Siapapun yang keluar menuju masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (3) Siapapun yang keluar di jalan Allah, maka ia akan mendapat jaminan dari Allah”. HR. Ibn Hibban (no. 499) dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Semakin sempurna redaksi salam yang diucapkan; maka akan semakin besar pahala yang didipatkan. Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada suatu hari ada seseorang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sembari mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat sepuluh pahala”. Lalu ada orang lain datang dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah”. Beliau berkomentar, “Ia mendapat duapuluh pahala”. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat tiga puluh pahala”. HR. Tirmidziy (no. 2689) dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rabi’ul Awwal 1445 / 25 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETANSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 191 – MENGAJARI ANAK SHALAT SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 Posted on October 25, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas salah satu redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca salam. Redaksi paling sempurnanya adalah: «السَّلَامُ ‌عَلَيْكُمْ ‌وَرَحْمَةُ ‌اللَّهِ ‌وَبَرَكَاتُهُ» “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Dalil Landasan Allah ta’ala berfirman, “‌فَإِذا ‌دَخَلْتُمْ ‌بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبارَكَةً طَيِّبَةً” Artinya: “Jika kalian masuk rumah-rumah, maka ucapkanlah salam kepada sesama diri kalian, dengan salam yang diajarkan Allah, yaitu yang penuh berkah dan baik”. QS. An-Nur (24): 61. Renungan Kandungan Syaikh as-Si’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan dianjurkannya mengucapkan salam saat masuk rumah siapapun. Entah itu rumah sendiri atau rumah orang lain. Baik di dalam rumah ada orangnya atau tidak. Berhubung seluruh kaum muslimin ibarat satu jasad—dilihat dari sisi kepedulian dan kasih sayang sesama mereka—maka Allah menggunakan kalimat “anfusikum” (diri kalian sendiri). Walau maksudnya adalah di antara sesama muslim. Lalu dijelaskan keutamaan salam tersebut, bahwa salam merupakan kalimat sapaan yang diajarkan oleh Allah. Kalimat ini membawa keberkahan; sebab mengandung doa keselamatan dari kekurangan, dan doa agar rahmat diturunkan, diawetkan, bahkan dikembangkan. Kemudian kalimat ini juga sangat baik, karena dicintai Allah, serta menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Salam juga merupakan sebab seseorang mendapat jaminan kecukupan rizki dari Allah dan masuk surga. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, «ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ؛ إِنْ ‌عَاشَ ‌رُزِقَ ‌وَكُفِيَ، وَإِنْ مَاتَ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ: مَنْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَسَلَّمَ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ». “Ada tiga jenis manusia yang mendapat jaminan dari Allah. Jika ia hidup; maka akan dikaruniai rizki dan kecukupan. Bila ia mati; maka akan dimasukkan oleh Allah ke surga. (1) Siapapun yang masuk rumahnya dan mengucapkan salam, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (2) Siapapun yang keluar menuju masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (3) Siapapun yang keluar di jalan Allah, maka ia akan mendapat jaminan dari Allah”. HR. Ibn Hibban (no. 499) dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Semakin sempurna redaksi salam yang diucapkan; maka akan semakin besar pahala yang didipatkan. Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada suatu hari ada seseorang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sembari mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat sepuluh pahala”. Lalu ada orang lain datang dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah”. Beliau berkomentar, “Ia mendapat duapuluh pahala”. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat tiga puluh pahala”. HR. Tirmidziy (no. 2689) dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rabi’ul Awwal 1445 / 25 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETANSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 191 – MENGAJARI ANAK SHALAT SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 Posted on October 25, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas salah satu redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca salam. Redaksi paling sempurnanya adalah: «السَّلَامُ ‌عَلَيْكُمْ ‌وَرَحْمَةُ ‌اللَّهِ ‌وَبَرَكَاتُهُ» “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Dalil Landasan Allah ta’ala berfirman, “‌فَإِذا ‌دَخَلْتُمْ ‌بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبارَكَةً طَيِّبَةً” Artinya: “Jika kalian masuk rumah-rumah, maka ucapkanlah salam kepada sesama diri kalian, dengan salam yang diajarkan Allah, yaitu yang penuh berkah dan baik”. QS. An-Nur (24): 61. Renungan Kandungan Syaikh as-Si’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan dianjurkannya mengucapkan salam saat masuk rumah siapapun. Entah itu rumah sendiri atau rumah orang lain. Baik di dalam rumah ada orangnya atau tidak. Berhubung seluruh kaum muslimin ibarat satu jasad—dilihat dari sisi kepedulian dan kasih sayang sesama mereka—maka Allah menggunakan kalimat “anfusikum” (diri kalian sendiri). Walau maksudnya adalah di antara sesama muslim. Lalu dijelaskan keutamaan salam tersebut, bahwa salam merupakan kalimat sapaan yang diajarkan oleh Allah. Kalimat ini membawa keberkahan; sebab mengandung doa keselamatan dari kekurangan, dan doa agar rahmat diturunkan, diawetkan, bahkan dikembangkan. Kemudian kalimat ini juga sangat baik, karena dicintai Allah, serta menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Salam juga merupakan sebab seseorang mendapat jaminan kecukupan rizki dari Allah dan masuk surga. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, «ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ؛ إِنْ ‌عَاشَ ‌رُزِقَ ‌وَكُفِيَ، وَإِنْ مَاتَ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ: مَنْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَسَلَّمَ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ». “Ada tiga jenis manusia yang mendapat jaminan dari Allah. Jika ia hidup; maka akan dikaruniai rizki dan kecukupan. Bila ia mati; maka akan dimasukkan oleh Allah ke surga. (1) Siapapun yang masuk rumahnya dan mengucapkan salam, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (2) Siapapun yang keluar menuju masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (3) Siapapun yang keluar di jalan Allah, maka ia akan mendapat jaminan dari Allah”. HR. Ibn Hibban (no. 499) dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Semakin sempurna redaksi salam yang diucapkan; maka akan semakin besar pahala yang didipatkan. Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada suatu hari ada seseorang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sembari mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat sepuluh pahala”. Lalu ada orang lain datang dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah”. Beliau berkomentar, “Ia mendapat duapuluh pahala”. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat tiga puluh pahala”. HR. Tirmidziy (no. 2689) dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rabi’ul Awwal 1445 / 25 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETANSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 191 – MENGAJARI ANAK SHALAT SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 Posted on October 25, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas salah satu redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca salam. Redaksi paling sempurnanya adalah: «السَّلَامُ ‌عَلَيْكُمْ ‌وَرَحْمَةُ ‌اللَّهِ ‌وَبَرَكَاتُهُ» “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Dalil Landasan Allah ta’ala berfirman, “‌فَإِذا ‌دَخَلْتُمْ ‌بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبارَكَةً طَيِّبَةً” Artinya: “Jika kalian masuk rumah-rumah, maka ucapkanlah salam kepada sesama diri kalian, dengan salam yang diajarkan Allah, yaitu yang penuh berkah dan baik”. QS. An-Nur (24): 61. Renungan Kandungan Syaikh as-Si’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan dianjurkannya mengucapkan salam saat masuk rumah siapapun. Entah itu rumah sendiri atau rumah orang lain. Baik di dalam rumah ada orangnya atau tidak. Berhubung seluruh kaum muslimin ibarat satu jasad—dilihat dari sisi kepedulian dan kasih sayang sesama mereka—maka Allah menggunakan kalimat “anfusikum” (diri kalian sendiri). Walau maksudnya adalah di antara sesama muslim. Lalu dijelaskan keutamaan salam tersebut, bahwa salam merupakan kalimat sapaan yang diajarkan oleh Allah. Kalimat ini membawa keberkahan; sebab mengandung doa keselamatan dari kekurangan, dan doa agar rahmat diturunkan, diawetkan, bahkan dikembangkan. Kemudian kalimat ini juga sangat baik, karena dicintai Allah, serta menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Salam juga merupakan sebab seseorang mendapat jaminan kecukupan rizki dari Allah dan masuk surga. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, «ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ؛ إِنْ ‌عَاشَ ‌رُزِقَ ‌وَكُفِيَ، وَإِنْ مَاتَ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ: مَنْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَسَلَّمَ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ». “Ada tiga jenis manusia yang mendapat jaminan dari Allah. Jika ia hidup; maka akan dikaruniai rizki dan kecukupan. Bila ia mati; maka akan dimasukkan oleh Allah ke surga. (1) Siapapun yang masuk rumahnya dan mengucapkan salam, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (2) Siapapun yang keluar menuju masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah. (3) Siapapun yang keluar di jalan Allah, maka ia akan mendapat jaminan dari Allah”. HR. Ibn Hibban (no. 499) dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Semakin sempurna redaksi salam yang diucapkan; maka akan semakin besar pahala yang didipatkan. Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada suatu hari ada seseorang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sembari mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat sepuluh pahala”. Lalu ada orang lain datang dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah”. Beliau berkomentar, “Ia mendapat duapuluh pahala”. Kemudian datang orang ketiga dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Maka beliau berkomentar, “Ia mendapat tiga puluh pahala”. HR. Tirmidziy (no. 2689) dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rabi’ul Awwal 1445 / 25 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETANSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 191 – MENGAJARI ANAK SHALAT SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Kapan Saja Sebaiknya Shalat Istikharah? – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Apakah Shalat Istikharah dilakukan ketika seseorang sudah mantap dengan perkara tertentu, atau ketika dia belum yakin akan melakukan perkara yang mana, lalu dia beristikharah? Mohon penjelasannya. Shalat Istikharah dilakukan ketika dia punya keraguan antara dua perkara, mana yang paling baik. Itulah saat untuk melakukan Shalat Istikharah. Seperti ragu apakah akan menikahi Fulanah atau tidak? Apakah akan pergi ke tempat ini atau tidak? Apakah akan bekerja sama dengan si Fulan dalam perniagaan atau tidak? Dan lain sebagainya. Pertama, dia melaksanakan shalat dua rakaat. Lalu setelah itu berdoa. Meminta kepada Allah agar memilih baginya perkara yang lebih baik baginya dengan doa masyhur yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ALLAAHUMMA INNII ASTAKHIIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDROTIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan dengan ilmu-Mu dan mengharap kekuatan dengan kekuatan-Mu…) WA AS-ALUKA MIN FADHLIKAL ‘AZHIIM (dan aku memohon karunia-Mu yang agung) FA-INNAKA TA’LAMU WA LAA A’LAMU WA TAQDIRU WA LAA AQDIRU WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUB (Karena Engkau Mengetahui, dan aku tidak; Engkau berkuasa, dan aku tidak; dan Engkau Maha Mengetahui yang gaib) ALLAAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Ya Allah, jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini… – Lalu menyebutkan urusannya…) “Perkara ini” yakni sebagai contoh, bahwa calon istri: Fulanah ANNA ZAWAAJII BIHAA KHOIRUN LII FII DIINII WA DUN-YAA-YA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Bahwa pernikahanku dengannya baik bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) FAYASSIR DZAALIKA LII TSUMMA RODH-DHINII BIHI TSUMMA BAARIK LII FIIHI (Maka mudahkanlah itu bagiku, lalu jadikanlah aku ridha dengannya, lalu berkahilah aku di dalamnya) WA IN-KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Tapi jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini) SYARRUN LII FII DIINII WA DUN-YAAYA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Buruk bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) Atau menambahnya dengan:FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI, FASHRIFHU ‘ANNII WASHRIFNII ‘ANHU (pada urusan jangka pendek dan panjangku, maka jauhkanlah itu dariku dan jauhkanlah aku darinya) WA QODDIR LIYAL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIHI (Dan takdirkanlah kebaikan bagiku di manapun ia, lalu jadikanlah aku ridha dengannya) Inilah doa istikharah. Dia mengucapkan doa ini. Lalu bermusyawarah. Dia bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah dalam menentukan antara dua perkara ini; baik itu berupa pernikahan, safar, kerjasama bisnis, atau urusan-urusan lain yang sedang dia pertimbangkan. Sedangkan dia belum yakin, tapi justru masih ragu-ragu. Inilah waktu untuk beristikharah; dan hukumnya sunnah. Di samping itu, disunnahkan juga bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah, setelah dia beristikharah. Apabila hatinya menjadi yakin pada salah satu pilihan, hendaklah dia melaksanakannya. Namun, jika dia masih ragu juga, maka hendaklah dia mengulangi istikharah dua, tiga kali, atau lebih, hingga hatinya yakin pada salah satu pilihan. Demikian.Jazakumullahu khairan. ==== صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ هَلْ تُصَلَّى فِي حَالَةِ عَزْمِ الشَّخْصِ عَلَى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ أَوْ فِي حَالَةِ أَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَى أَيِّ الأَمْرَيْنِ يَفْعَلُ وَيَسْتَخِيْرُ؟ أَرْجُو التَّوْضِيْحَ صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ إِذَا صَارَ عِنْدَهُ تَرَدُّدٌ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ أَيُّهُمَا أَصْلَحُ هَذَا هُوَ وَقْتُ الِاسْتِخَارَةِ كَأَنْ يَتَرَدَّدَ هَلْ يَتَزَوَّجُ فُلَانَةً أَوْ مَا يَتَزَوَّجُهَا؟ هَلْ يُسَافِرُ إِلَى كَذَا أَمْ لَا يُسَافِرُ هَلْ يَتَّجِرُ مَعَ فُلَانٍ أَوْ يُشَارِكُ فُلَانًا أَمْ لَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدَ ذَلِكَ وَيَسْأَلُ رَبَّهُ أَنْ يَخْتَارَ لَهُ مَا هُوَ أَصْلَحُ بِالدُّعَاءِ الْمَشْهُورِ وَالثَّابِتِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَتَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ يَعْنِي أَنَّ هَذِهِ الزَّوْجَةَ فُلَانَةً أَنَّ زَوَاجِي بِهَا خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَيَسِّرْ ذَلِكَ لِي ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَقَدِّرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ هَذَا هُوَ دُعَاءُ الِاسْتِخَارَةِ فَيَقُولُ هَذَا ثُمَّ يَسْتَشِيرُ ثُمَّ يَسْتَشِيرُ مَنْ يَرَى أَنَّهُ أَهْلٌ لِلِاسْتِشَارَةِ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ زَوَاجًا أَوْ سَفَرًا أَوْ اشْتِرَاكًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي تَهُمُّهُ وَلَا يَجْزِمُ فِيهَا بِشَيْءٍ بَلْ يَتَرَدَّدُ هَذَا مَحَلُّ الِاسْتِخَارَةِ وَهِيَ سُنَّةٌ وَالسُّنَّةُ مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَشِيْرَ أَيْضًا مَنْ يَظَنُّ مَنْ يَرَاهُ أَهْلًا بِالاسْتِشَارَةِ بَعْدَمَا يَسْتَخِيْرُ فَإِذَا انْشَرَحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَزَلْ مَعَهُ التَّرَدُّدُ أَعَاَد الِاسْتِخَارَةَ مَرَّةً ثَانِيَةً وَثَالِثَةً وَهَكَذَا حَتَّى يَنْشَرِحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Kapan Saja Sebaiknya Shalat Istikharah? – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Apakah Shalat Istikharah dilakukan ketika seseorang sudah mantap dengan perkara tertentu, atau ketika dia belum yakin akan melakukan perkara yang mana, lalu dia beristikharah? Mohon penjelasannya. Shalat Istikharah dilakukan ketika dia punya keraguan antara dua perkara, mana yang paling baik. Itulah saat untuk melakukan Shalat Istikharah. Seperti ragu apakah akan menikahi Fulanah atau tidak? Apakah akan pergi ke tempat ini atau tidak? Apakah akan bekerja sama dengan si Fulan dalam perniagaan atau tidak? Dan lain sebagainya. Pertama, dia melaksanakan shalat dua rakaat. Lalu setelah itu berdoa. Meminta kepada Allah agar memilih baginya perkara yang lebih baik baginya dengan doa masyhur yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ALLAAHUMMA INNII ASTAKHIIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDROTIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan dengan ilmu-Mu dan mengharap kekuatan dengan kekuatan-Mu…) WA AS-ALUKA MIN FADHLIKAL ‘AZHIIM (dan aku memohon karunia-Mu yang agung) FA-INNAKA TA’LAMU WA LAA A’LAMU WA TAQDIRU WA LAA AQDIRU WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUB (Karena Engkau Mengetahui, dan aku tidak; Engkau berkuasa, dan aku tidak; dan Engkau Maha Mengetahui yang gaib) ALLAAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Ya Allah, jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini… – Lalu menyebutkan urusannya…) “Perkara ini” yakni sebagai contoh, bahwa calon istri: Fulanah ANNA ZAWAAJII BIHAA KHOIRUN LII FII DIINII WA DUN-YAA-YA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Bahwa pernikahanku dengannya baik bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) FAYASSIR DZAALIKA LII TSUMMA RODH-DHINII BIHI TSUMMA BAARIK LII FIIHI (Maka mudahkanlah itu bagiku, lalu jadikanlah aku ridha dengannya, lalu berkahilah aku di dalamnya) WA IN-KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Tapi jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini) SYARRUN LII FII DIINII WA DUN-YAAYA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Buruk bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) Atau menambahnya dengan:FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI, FASHRIFHU ‘ANNII WASHRIFNII ‘ANHU (pada urusan jangka pendek dan panjangku, maka jauhkanlah itu dariku dan jauhkanlah aku darinya) WA QODDIR LIYAL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIHI (Dan takdirkanlah kebaikan bagiku di manapun ia, lalu jadikanlah aku ridha dengannya) Inilah doa istikharah. Dia mengucapkan doa ini. Lalu bermusyawarah. Dia bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah dalam menentukan antara dua perkara ini; baik itu berupa pernikahan, safar, kerjasama bisnis, atau urusan-urusan lain yang sedang dia pertimbangkan. Sedangkan dia belum yakin, tapi justru masih ragu-ragu. Inilah waktu untuk beristikharah; dan hukumnya sunnah. Di samping itu, disunnahkan juga bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah, setelah dia beristikharah. Apabila hatinya menjadi yakin pada salah satu pilihan, hendaklah dia melaksanakannya. Namun, jika dia masih ragu juga, maka hendaklah dia mengulangi istikharah dua, tiga kali, atau lebih, hingga hatinya yakin pada salah satu pilihan. Demikian.Jazakumullahu khairan. ==== صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ هَلْ تُصَلَّى فِي حَالَةِ عَزْمِ الشَّخْصِ عَلَى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ أَوْ فِي حَالَةِ أَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَى أَيِّ الأَمْرَيْنِ يَفْعَلُ وَيَسْتَخِيْرُ؟ أَرْجُو التَّوْضِيْحَ صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ إِذَا صَارَ عِنْدَهُ تَرَدُّدٌ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ أَيُّهُمَا أَصْلَحُ هَذَا هُوَ وَقْتُ الِاسْتِخَارَةِ كَأَنْ يَتَرَدَّدَ هَلْ يَتَزَوَّجُ فُلَانَةً أَوْ مَا يَتَزَوَّجُهَا؟ هَلْ يُسَافِرُ إِلَى كَذَا أَمْ لَا يُسَافِرُ هَلْ يَتَّجِرُ مَعَ فُلَانٍ أَوْ يُشَارِكُ فُلَانًا أَمْ لَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدَ ذَلِكَ وَيَسْأَلُ رَبَّهُ أَنْ يَخْتَارَ لَهُ مَا هُوَ أَصْلَحُ بِالدُّعَاءِ الْمَشْهُورِ وَالثَّابِتِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَتَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ يَعْنِي أَنَّ هَذِهِ الزَّوْجَةَ فُلَانَةً أَنَّ زَوَاجِي بِهَا خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَيَسِّرْ ذَلِكَ لِي ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَقَدِّرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ هَذَا هُوَ دُعَاءُ الِاسْتِخَارَةِ فَيَقُولُ هَذَا ثُمَّ يَسْتَشِيرُ ثُمَّ يَسْتَشِيرُ مَنْ يَرَى أَنَّهُ أَهْلٌ لِلِاسْتِشَارَةِ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ زَوَاجًا أَوْ سَفَرًا أَوْ اشْتِرَاكًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي تَهُمُّهُ وَلَا يَجْزِمُ فِيهَا بِشَيْءٍ بَلْ يَتَرَدَّدُ هَذَا مَحَلُّ الِاسْتِخَارَةِ وَهِيَ سُنَّةٌ وَالسُّنَّةُ مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَشِيْرَ أَيْضًا مَنْ يَظَنُّ مَنْ يَرَاهُ أَهْلًا بِالاسْتِشَارَةِ بَعْدَمَا يَسْتَخِيْرُ فَإِذَا انْشَرَحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَزَلْ مَعَهُ التَّرَدُّدُ أَعَاَد الِاسْتِخَارَةَ مَرَّةً ثَانِيَةً وَثَالِثَةً وَهَكَذَا حَتَّى يَنْشَرِحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا
Apakah Shalat Istikharah dilakukan ketika seseorang sudah mantap dengan perkara tertentu, atau ketika dia belum yakin akan melakukan perkara yang mana, lalu dia beristikharah? Mohon penjelasannya. Shalat Istikharah dilakukan ketika dia punya keraguan antara dua perkara, mana yang paling baik. Itulah saat untuk melakukan Shalat Istikharah. Seperti ragu apakah akan menikahi Fulanah atau tidak? Apakah akan pergi ke tempat ini atau tidak? Apakah akan bekerja sama dengan si Fulan dalam perniagaan atau tidak? Dan lain sebagainya. Pertama, dia melaksanakan shalat dua rakaat. Lalu setelah itu berdoa. Meminta kepada Allah agar memilih baginya perkara yang lebih baik baginya dengan doa masyhur yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ALLAAHUMMA INNII ASTAKHIIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDROTIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan dengan ilmu-Mu dan mengharap kekuatan dengan kekuatan-Mu…) WA AS-ALUKA MIN FADHLIKAL ‘AZHIIM (dan aku memohon karunia-Mu yang agung) FA-INNAKA TA’LAMU WA LAA A’LAMU WA TAQDIRU WA LAA AQDIRU WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUB (Karena Engkau Mengetahui, dan aku tidak; Engkau berkuasa, dan aku tidak; dan Engkau Maha Mengetahui yang gaib) ALLAAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Ya Allah, jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini… – Lalu menyebutkan urusannya…) “Perkara ini” yakni sebagai contoh, bahwa calon istri: Fulanah ANNA ZAWAAJII BIHAA KHOIRUN LII FII DIINII WA DUN-YAA-YA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Bahwa pernikahanku dengannya baik bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) FAYASSIR DZAALIKA LII TSUMMA RODH-DHINII BIHI TSUMMA BAARIK LII FIIHI (Maka mudahkanlah itu bagiku, lalu jadikanlah aku ridha dengannya, lalu berkahilah aku di dalamnya) WA IN-KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Tapi jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini) SYARRUN LII FII DIINII WA DUN-YAAYA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Buruk bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) Atau menambahnya dengan:FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI, FASHRIFHU ‘ANNII WASHRIFNII ‘ANHU (pada urusan jangka pendek dan panjangku, maka jauhkanlah itu dariku dan jauhkanlah aku darinya) WA QODDIR LIYAL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIHI (Dan takdirkanlah kebaikan bagiku di manapun ia, lalu jadikanlah aku ridha dengannya) Inilah doa istikharah. Dia mengucapkan doa ini. Lalu bermusyawarah. Dia bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah dalam menentukan antara dua perkara ini; baik itu berupa pernikahan, safar, kerjasama bisnis, atau urusan-urusan lain yang sedang dia pertimbangkan. Sedangkan dia belum yakin, tapi justru masih ragu-ragu. Inilah waktu untuk beristikharah; dan hukumnya sunnah. Di samping itu, disunnahkan juga bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah, setelah dia beristikharah. Apabila hatinya menjadi yakin pada salah satu pilihan, hendaklah dia melaksanakannya. Namun, jika dia masih ragu juga, maka hendaklah dia mengulangi istikharah dua, tiga kali, atau lebih, hingga hatinya yakin pada salah satu pilihan. Demikian.Jazakumullahu khairan. ==== صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ هَلْ تُصَلَّى فِي حَالَةِ عَزْمِ الشَّخْصِ عَلَى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ أَوْ فِي حَالَةِ أَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَى أَيِّ الأَمْرَيْنِ يَفْعَلُ وَيَسْتَخِيْرُ؟ أَرْجُو التَّوْضِيْحَ صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ إِذَا صَارَ عِنْدَهُ تَرَدُّدٌ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ أَيُّهُمَا أَصْلَحُ هَذَا هُوَ وَقْتُ الِاسْتِخَارَةِ كَأَنْ يَتَرَدَّدَ هَلْ يَتَزَوَّجُ فُلَانَةً أَوْ مَا يَتَزَوَّجُهَا؟ هَلْ يُسَافِرُ إِلَى كَذَا أَمْ لَا يُسَافِرُ هَلْ يَتَّجِرُ مَعَ فُلَانٍ أَوْ يُشَارِكُ فُلَانًا أَمْ لَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدَ ذَلِكَ وَيَسْأَلُ رَبَّهُ أَنْ يَخْتَارَ لَهُ مَا هُوَ أَصْلَحُ بِالدُّعَاءِ الْمَشْهُورِ وَالثَّابِتِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَتَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ يَعْنِي أَنَّ هَذِهِ الزَّوْجَةَ فُلَانَةً أَنَّ زَوَاجِي بِهَا خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَيَسِّرْ ذَلِكَ لِي ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَقَدِّرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ هَذَا هُوَ دُعَاءُ الِاسْتِخَارَةِ فَيَقُولُ هَذَا ثُمَّ يَسْتَشِيرُ ثُمَّ يَسْتَشِيرُ مَنْ يَرَى أَنَّهُ أَهْلٌ لِلِاسْتِشَارَةِ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ زَوَاجًا أَوْ سَفَرًا أَوْ اشْتِرَاكًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي تَهُمُّهُ وَلَا يَجْزِمُ فِيهَا بِشَيْءٍ بَلْ يَتَرَدَّدُ هَذَا مَحَلُّ الِاسْتِخَارَةِ وَهِيَ سُنَّةٌ وَالسُّنَّةُ مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَشِيْرَ أَيْضًا مَنْ يَظَنُّ مَنْ يَرَاهُ أَهْلًا بِالاسْتِشَارَةِ بَعْدَمَا يَسْتَخِيْرُ فَإِذَا انْشَرَحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَزَلْ مَعَهُ التَّرَدُّدُ أَعَاَد الِاسْتِخَارَةَ مَرَّةً ثَانِيَةً وَثَالِثَةً وَهَكَذَا حَتَّى يَنْشَرِحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا


Apakah Shalat Istikharah dilakukan ketika seseorang sudah mantap dengan perkara tertentu, atau ketika dia belum yakin akan melakukan perkara yang mana, lalu dia beristikharah? Mohon penjelasannya. Shalat Istikharah dilakukan ketika dia punya keraguan antara dua perkara, mana yang paling baik. Itulah saat untuk melakukan Shalat Istikharah. Seperti ragu apakah akan menikahi Fulanah atau tidak? Apakah akan pergi ke tempat ini atau tidak? Apakah akan bekerja sama dengan si Fulan dalam perniagaan atau tidak? Dan lain sebagainya. Pertama, dia melaksanakan shalat dua rakaat. Lalu setelah itu berdoa. Meminta kepada Allah agar memilih baginya perkara yang lebih baik baginya dengan doa masyhur yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ALLAAHUMMA INNII ASTAKHIIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BI QUDROTIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan dengan ilmu-Mu dan mengharap kekuatan dengan kekuatan-Mu…) WA AS-ALUKA MIN FADHLIKAL ‘AZHIIM (dan aku memohon karunia-Mu yang agung) FA-INNAKA TA’LAMU WA LAA A’LAMU WA TAQDIRU WA LAA AQDIRU WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUB (Karena Engkau Mengetahui, dan aku tidak; Engkau berkuasa, dan aku tidak; dan Engkau Maha Mengetahui yang gaib) ALLAAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Ya Allah, jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini… – Lalu menyebutkan urusannya…) “Perkara ini” yakni sebagai contoh, bahwa calon istri: Fulanah ANNA ZAWAAJII BIHAA KHOIRUN LII FII DIINII WA DUN-YAA-YA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Bahwa pernikahanku dengannya baik bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) FAYASSIR DZAALIKA LII TSUMMA RODH-DHINII BIHI TSUMMA BAARIK LII FIIHI (Maka mudahkanlah itu bagiku, lalu jadikanlah aku ridha dengannya, lalu berkahilah aku di dalamnya) WA IN-KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO (Tapi jika Engkau Mengetahui bahwa perkara ini) SYARRUN LII FII DIINII WA DUN-YAAYA WA MA’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (Buruk bagiku pada agama, dunia, kehidupan, dan akhir urusanku) Atau menambahnya dengan:FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI, FASHRIFHU ‘ANNII WASHRIFNII ‘ANHU (pada urusan jangka pendek dan panjangku, maka jauhkanlah itu dariku dan jauhkanlah aku darinya) WA QODDIR LIYAL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIHI (Dan takdirkanlah kebaikan bagiku di manapun ia, lalu jadikanlah aku ridha dengannya) Inilah doa istikharah. Dia mengucapkan doa ini. Lalu bermusyawarah. Dia bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah dalam menentukan antara dua perkara ini; baik itu berupa pernikahan, safar, kerjasama bisnis, atau urusan-urusan lain yang sedang dia pertimbangkan. Sedangkan dia belum yakin, tapi justru masih ragu-ragu. Inilah waktu untuk beristikharah; dan hukumnya sunnah. Di samping itu, disunnahkan juga bermusyawarah dengan orang yang menurutnya layak untuk diajak bermusyawarah, setelah dia beristikharah. Apabila hatinya menjadi yakin pada salah satu pilihan, hendaklah dia melaksanakannya. Namun, jika dia masih ragu juga, maka hendaklah dia mengulangi istikharah dua, tiga kali, atau lebih, hingga hatinya yakin pada salah satu pilihan. Demikian.Jazakumullahu khairan. ==== صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ هَلْ تُصَلَّى فِي حَالَةِ عَزْمِ الشَّخْصِ عَلَى أَمْرٍ مُعَيَّنٍ أَوْ فِي حَالَةِ أَنَّهُ لَمْ يَسْتَقِرَّ عَلَى أَيِّ الأَمْرَيْنِ يَفْعَلُ وَيَسْتَخِيْرُ؟ أَرْجُو التَّوْضِيْحَ صَلَاةُ الِاسْتِخَارَةِ إِذَا صَارَ عِنْدَهُ تَرَدُّدٌ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ أَيُّهُمَا أَصْلَحُ هَذَا هُوَ وَقْتُ الِاسْتِخَارَةِ كَأَنْ يَتَرَدَّدَ هَلْ يَتَزَوَّجُ فُلَانَةً أَوْ مَا يَتَزَوَّجُهَا؟ هَلْ يُسَافِرُ إِلَى كَذَا أَمْ لَا يُسَافِرُ هَلْ يَتَّجِرُ مَعَ فُلَانٍ أَوْ يُشَارِكُ فُلَانًا أَمْ لَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدَ ذَلِكَ وَيَسْأَلُ رَبَّهُ أَنْ يَخْتَارَ لَهُ مَا هُوَ أَصْلَحُ بِالدُّعَاءِ الْمَشْهُورِ وَالثَّابِتِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَتَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ يَعْنِي أَنَّ هَذِهِ الزَّوْجَةَ فُلَانَةً أَنَّ زَوَاجِي بِهَا خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَيَسِّرْ ذَلِكَ لِي ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَقَدِّرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ هَذَا هُوَ دُعَاءُ الِاسْتِخَارَةِ فَيَقُولُ هَذَا ثُمَّ يَسْتَشِيرُ ثُمَّ يَسْتَشِيرُ مَنْ يَرَى أَنَّهُ أَهْلٌ لِلِاسْتِشَارَةِ فِي أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ سَوَاءٌ كَانَ زَوَاجًا أَوْ سَفَرًا أَوْ اشْتِرَاكًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي تَهُمُّهُ وَلَا يَجْزِمُ فِيهَا بِشَيْءٍ بَلْ يَتَرَدَّدُ هَذَا مَحَلُّ الِاسْتِخَارَةِ وَهِيَ سُنَّةٌ وَالسُّنَّةُ مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَشِيْرَ أَيْضًا مَنْ يَظَنُّ مَنْ يَرَاهُ أَهْلًا بِالاسْتِشَارَةِ بَعْدَمَا يَسْتَخِيْرُ فَإِذَا انْشَرَحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ فَعَلَ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَزَلْ مَعَهُ التَّرَدُّدُ أَعَاَد الِاسْتِخَارَةَ مَرَّةً ثَانِيَةً وَثَالِثَةً وَهَكَذَا حَتَّى يَنْشَرِحَ صَدْرُهُ لِأَحَدِ الْأَمْرَيْنِ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Apakah Boleh Menunda Qada (Mengganti) Puasa Ramadan Selama Bertahun-Tahun?

Segala puji bagi Allah, dan selawat serta salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk keluarganya, dan para sahabatnya. Bagi orang yang tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadan, dianjurkan untuk segera mengqada (mengganti) puasanya agar terbebas dari kewajiban mengganti puasa. Namun, diperbolehkan menunda qada selama waktunya masih cukup, yaitu selama masih ada cukup waktu sebelum Ramadan berikutnya untuk mengganti semua puasa yang terlewat. Kewajiban mengqada (mengganti) puasa Ramadan sebelum datangnya Ramadan berikutnya adalah sesuatu yang disepakati oleh para imam. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1950) dan Muslim (no. 1146) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki utang puasa dari Ramadan, namun aku tidak bisa mengqadanya, kecuali di bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, dari semangat Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengqada puasa di bulan Sya’ban dapat dipahami bahwa tidak diperbolehkan menunda qada hingga masuk Ramadan berikutnya. Menunda qada puasa Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya memiliki dua kondisi: Pertama: Jika penundaan qada puasa disebabkan oleh uzur syar’i (halangan yang diperbolehkan agama), seperti sakit yang berkelanjutan hingga masuk Ramadan berikutnya, maka tidak ada dosa atasnya karena ia memiliki uzur yang sah. Dalam hal ini, ia hanya diwajibkan untuk mengqada puasa sejumlah hari yang ditinggalkan tanpa tambahan kewajiban lain. Kedua: Jika penundaan qada puasa tanpa uzur, seperti ketika ia mampu mengqada, tetapi tidak melakukannya hingga masuk Ramadan berikutnya, maka ia berdosa karena menunda qada tanpa alasan yang dibenarkan. Untuk kondisi yang kedua ini ulama berbeda pendapat. Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga Ramadan berikutnya tiba, menurut pendapat mayoritas ulama, ia diwajibkan untuk mengqada puasanya dan memberi makan satu orang miskin sebanyak satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok untuk setiap hari yang terlewat. Memang ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama terkait hal ini, ada yang mengatakan ia cukup mengganti puasanya saja. Namun, jika mengambil pendapat yang lebih berhati-hati, yakni mengganti dengan puasa dan memberi makan orang miskin, tentu ini lebih baik. Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan, “Kesimpulannya, seseorang yang memiliki kewajiban qada puasa Ramadan diperbolehkan menundanya selama belum masuk Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki kewajiban puasa dari bulan Ramadan, namun aku tidak mengqadanya hingga datang bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tidak diperbolehkan menunda qada hingga Ramadan berikutnya tanpa alasan. Sebab, Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak menundanya sampai Ramadan berikutnya, dan jika hal itu mungkin baginya, niscaya ia akan menundanya. Selain itu, puasa adalah ibadah yang berulang setiap tahun, sehingga tidak diperbolehkan menunda pelaksanaan yang pertama hingga datang yang kedua, seperti halnya salat fardu yang tidak boleh ditunda. Jika seseorang menunda qada hingga Ramadan berikutnya, maka jika karena ada uzur, ia hanya diwajibkan mengqada. Namun, jika tanpa alasan, ia wajib mengqada serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditunda.” Demikian penjelasan dari Ibnu Qudamah rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah juga menjelaskan bahwa kafarat (tebusan) tidak berulang jika qada puasa ditunda selama beberapa tahun Ramadan. Beliau berkata, “Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga datang dua Ramadan atau lebih dari itu, maka ia hanya diwajibkan satu fidyah (memberi makan seorang miskin) bersamaan dengan qada puasa, karena menunda lebih lama tidak menambah kewajiban. Hal ini sebagaimana orang yang menunda haji wajib selama beberapa tahun, ia hanya wajib melaksanakan haji tersebut tanpa ada tambahan kewajiban.” (Al-Mughni) Mengenai alasan cuaca panas atau panjangnya siang hari dalam kondisi normal, hal tersebut tidak dianggap sebagai alasan yang cukup untuk menunda qada puasa atau menghapuskan kewajiban membayar kafarat. Masih ada kemungkinan untuk memilih waktu dalam tahun di mana cuacanya lebih sejuk atau lebih moderat untuk melaksanakan qada puasa. Wallahu ‘alam. Baca juga: Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa dalam islamqa.info dan islamweb.net.

Apakah Boleh Menunda Qada (Mengganti) Puasa Ramadan Selama Bertahun-Tahun?

Segala puji bagi Allah, dan selawat serta salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk keluarganya, dan para sahabatnya. Bagi orang yang tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadan, dianjurkan untuk segera mengqada (mengganti) puasanya agar terbebas dari kewajiban mengganti puasa. Namun, diperbolehkan menunda qada selama waktunya masih cukup, yaitu selama masih ada cukup waktu sebelum Ramadan berikutnya untuk mengganti semua puasa yang terlewat. Kewajiban mengqada (mengganti) puasa Ramadan sebelum datangnya Ramadan berikutnya adalah sesuatu yang disepakati oleh para imam. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1950) dan Muslim (no. 1146) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki utang puasa dari Ramadan, namun aku tidak bisa mengqadanya, kecuali di bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, dari semangat Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengqada puasa di bulan Sya’ban dapat dipahami bahwa tidak diperbolehkan menunda qada hingga masuk Ramadan berikutnya. Menunda qada puasa Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya memiliki dua kondisi: Pertama: Jika penundaan qada puasa disebabkan oleh uzur syar’i (halangan yang diperbolehkan agama), seperti sakit yang berkelanjutan hingga masuk Ramadan berikutnya, maka tidak ada dosa atasnya karena ia memiliki uzur yang sah. Dalam hal ini, ia hanya diwajibkan untuk mengqada puasa sejumlah hari yang ditinggalkan tanpa tambahan kewajiban lain. Kedua: Jika penundaan qada puasa tanpa uzur, seperti ketika ia mampu mengqada, tetapi tidak melakukannya hingga masuk Ramadan berikutnya, maka ia berdosa karena menunda qada tanpa alasan yang dibenarkan. Untuk kondisi yang kedua ini ulama berbeda pendapat. Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga Ramadan berikutnya tiba, menurut pendapat mayoritas ulama, ia diwajibkan untuk mengqada puasanya dan memberi makan satu orang miskin sebanyak satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok untuk setiap hari yang terlewat. Memang ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama terkait hal ini, ada yang mengatakan ia cukup mengganti puasanya saja. Namun, jika mengambil pendapat yang lebih berhati-hati, yakni mengganti dengan puasa dan memberi makan orang miskin, tentu ini lebih baik. Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan, “Kesimpulannya, seseorang yang memiliki kewajiban qada puasa Ramadan diperbolehkan menundanya selama belum masuk Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki kewajiban puasa dari bulan Ramadan, namun aku tidak mengqadanya hingga datang bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tidak diperbolehkan menunda qada hingga Ramadan berikutnya tanpa alasan. Sebab, Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak menundanya sampai Ramadan berikutnya, dan jika hal itu mungkin baginya, niscaya ia akan menundanya. Selain itu, puasa adalah ibadah yang berulang setiap tahun, sehingga tidak diperbolehkan menunda pelaksanaan yang pertama hingga datang yang kedua, seperti halnya salat fardu yang tidak boleh ditunda. Jika seseorang menunda qada hingga Ramadan berikutnya, maka jika karena ada uzur, ia hanya diwajibkan mengqada. Namun, jika tanpa alasan, ia wajib mengqada serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditunda.” Demikian penjelasan dari Ibnu Qudamah rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah juga menjelaskan bahwa kafarat (tebusan) tidak berulang jika qada puasa ditunda selama beberapa tahun Ramadan. Beliau berkata, “Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga datang dua Ramadan atau lebih dari itu, maka ia hanya diwajibkan satu fidyah (memberi makan seorang miskin) bersamaan dengan qada puasa, karena menunda lebih lama tidak menambah kewajiban. Hal ini sebagaimana orang yang menunda haji wajib selama beberapa tahun, ia hanya wajib melaksanakan haji tersebut tanpa ada tambahan kewajiban.” (Al-Mughni) Mengenai alasan cuaca panas atau panjangnya siang hari dalam kondisi normal, hal tersebut tidak dianggap sebagai alasan yang cukup untuk menunda qada puasa atau menghapuskan kewajiban membayar kafarat. Masih ada kemungkinan untuk memilih waktu dalam tahun di mana cuacanya lebih sejuk atau lebih moderat untuk melaksanakan qada puasa. Wallahu ‘alam. Baca juga: Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa dalam islamqa.info dan islamweb.net.
Segala puji bagi Allah, dan selawat serta salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk keluarganya, dan para sahabatnya. Bagi orang yang tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadan, dianjurkan untuk segera mengqada (mengganti) puasanya agar terbebas dari kewajiban mengganti puasa. Namun, diperbolehkan menunda qada selama waktunya masih cukup, yaitu selama masih ada cukup waktu sebelum Ramadan berikutnya untuk mengganti semua puasa yang terlewat. Kewajiban mengqada (mengganti) puasa Ramadan sebelum datangnya Ramadan berikutnya adalah sesuatu yang disepakati oleh para imam. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1950) dan Muslim (no. 1146) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki utang puasa dari Ramadan, namun aku tidak bisa mengqadanya, kecuali di bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, dari semangat Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengqada puasa di bulan Sya’ban dapat dipahami bahwa tidak diperbolehkan menunda qada hingga masuk Ramadan berikutnya. Menunda qada puasa Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya memiliki dua kondisi: Pertama: Jika penundaan qada puasa disebabkan oleh uzur syar’i (halangan yang diperbolehkan agama), seperti sakit yang berkelanjutan hingga masuk Ramadan berikutnya, maka tidak ada dosa atasnya karena ia memiliki uzur yang sah. Dalam hal ini, ia hanya diwajibkan untuk mengqada puasa sejumlah hari yang ditinggalkan tanpa tambahan kewajiban lain. Kedua: Jika penundaan qada puasa tanpa uzur, seperti ketika ia mampu mengqada, tetapi tidak melakukannya hingga masuk Ramadan berikutnya, maka ia berdosa karena menunda qada tanpa alasan yang dibenarkan. Untuk kondisi yang kedua ini ulama berbeda pendapat. Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga Ramadan berikutnya tiba, menurut pendapat mayoritas ulama, ia diwajibkan untuk mengqada puasanya dan memberi makan satu orang miskin sebanyak satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok untuk setiap hari yang terlewat. Memang ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama terkait hal ini, ada yang mengatakan ia cukup mengganti puasanya saja. Namun, jika mengambil pendapat yang lebih berhati-hati, yakni mengganti dengan puasa dan memberi makan orang miskin, tentu ini lebih baik. Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan, “Kesimpulannya, seseorang yang memiliki kewajiban qada puasa Ramadan diperbolehkan menundanya selama belum masuk Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki kewajiban puasa dari bulan Ramadan, namun aku tidak mengqadanya hingga datang bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tidak diperbolehkan menunda qada hingga Ramadan berikutnya tanpa alasan. Sebab, Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak menundanya sampai Ramadan berikutnya, dan jika hal itu mungkin baginya, niscaya ia akan menundanya. Selain itu, puasa adalah ibadah yang berulang setiap tahun, sehingga tidak diperbolehkan menunda pelaksanaan yang pertama hingga datang yang kedua, seperti halnya salat fardu yang tidak boleh ditunda. Jika seseorang menunda qada hingga Ramadan berikutnya, maka jika karena ada uzur, ia hanya diwajibkan mengqada. Namun, jika tanpa alasan, ia wajib mengqada serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditunda.” Demikian penjelasan dari Ibnu Qudamah rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah juga menjelaskan bahwa kafarat (tebusan) tidak berulang jika qada puasa ditunda selama beberapa tahun Ramadan. Beliau berkata, “Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga datang dua Ramadan atau lebih dari itu, maka ia hanya diwajibkan satu fidyah (memberi makan seorang miskin) bersamaan dengan qada puasa, karena menunda lebih lama tidak menambah kewajiban. Hal ini sebagaimana orang yang menunda haji wajib selama beberapa tahun, ia hanya wajib melaksanakan haji tersebut tanpa ada tambahan kewajiban.” (Al-Mughni) Mengenai alasan cuaca panas atau panjangnya siang hari dalam kondisi normal, hal tersebut tidak dianggap sebagai alasan yang cukup untuk menunda qada puasa atau menghapuskan kewajiban membayar kafarat. Masih ada kemungkinan untuk memilih waktu dalam tahun di mana cuacanya lebih sejuk atau lebih moderat untuk melaksanakan qada puasa. Wallahu ‘alam. Baca juga: Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa dalam islamqa.info dan islamweb.net.


Segala puji bagi Allah, dan selawat serta salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk keluarganya, dan para sahabatnya. Bagi orang yang tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadan, dianjurkan untuk segera mengqada (mengganti) puasanya agar terbebas dari kewajiban mengganti puasa. Namun, diperbolehkan menunda qada selama waktunya masih cukup, yaitu selama masih ada cukup waktu sebelum Ramadan berikutnya untuk mengganti semua puasa yang terlewat. Kewajiban mengqada (mengganti) puasa Ramadan sebelum datangnya Ramadan berikutnya adalah sesuatu yang disepakati oleh para imam. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1950) dan Muslim (no. 1146) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki utang puasa dari Ramadan, namun aku tidak bisa mengqadanya, kecuali di bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, dari semangat Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengqada puasa di bulan Sya’ban dapat dipahami bahwa tidak diperbolehkan menunda qada hingga masuk Ramadan berikutnya. Menunda qada puasa Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya memiliki dua kondisi: Pertama: Jika penundaan qada puasa disebabkan oleh uzur syar’i (halangan yang diperbolehkan agama), seperti sakit yang berkelanjutan hingga masuk Ramadan berikutnya, maka tidak ada dosa atasnya karena ia memiliki uzur yang sah. Dalam hal ini, ia hanya diwajibkan untuk mengqada puasa sejumlah hari yang ditinggalkan tanpa tambahan kewajiban lain. Kedua: Jika penundaan qada puasa tanpa uzur, seperti ketika ia mampu mengqada, tetapi tidak melakukannya hingga masuk Ramadan berikutnya, maka ia berdosa karena menunda qada tanpa alasan yang dibenarkan. Untuk kondisi yang kedua ini ulama berbeda pendapat. Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga Ramadan berikutnya tiba, menurut pendapat mayoritas ulama, ia diwajibkan untuk mengqada puasanya dan memberi makan satu orang miskin sebanyak satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok untuk setiap hari yang terlewat. Memang ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama terkait hal ini, ada yang mengatakan ia cukup mengganti puasanya saja. Namun, jika mengambil pendapat yang lebih berhati-hati, yakni mengganti dengan puasa dan memberi makan orang miskin, tentu ini lebih baik. Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan, “Kesimpulannya, seseorang yang memiliki kewajiban qada puasa Ramadan diperbolehkan menundanya selama belum masuk Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Aku memiliki kewajiban puasa dari bulan Ramadan, namun aku tidak mengqadanya hingga datang bulan Sya’ban, karena kesibukan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, tidak diperbolehkan menunda qada hingga Ramadan berikutnya tanpa alasan. Sebab, Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak menundanya sampai Ramadan berikutnya, dan jika hal itu mungkin baginya, niscaya ia akan menundanya. Selain itu, puasa adalah ibadah yang berulang setiap tahun, sehingga tidak diperbolehkan menunda pelaksanaan yang pertama hingga datang yang kedua, seperti halnya salat fardu yang tidak boleh ditunda. Jika seseorang menunda qada hingga Ramadan berikutnya, maka jika karena ada uzur, ia hanya diwajibkan mengqada. Namun, jika tanpa alasan, ia wajib mengqada serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditunda.” Demikian penjelasan dari Ibnu Qudamah rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah juga menjelaskan bahwa kafarat (tebusan) tidak berulang jika qada puasa ditunda selama beberapa tahun Ramadan. Beliau berkata, “Jika seseorang menunda qada tanpa alasan hingga datang dua Ramadan atau lebih dari itu, maka ia hanya diwajibkan satu fidyah (memberi makan seorang miskin) bersamaan dengan qada puasa, karena menunda lebih lama tidak menambah kewajiban. Hal ini sebagaimana orang yang menunda haji wajib selama beberapa tahun, ia hanya wajib melaksanakan haji tersebut tanpa ada tambahan kewajiban.” (Al-Mughni) Mengenai alasan cuaca panas atau panjangnya siang hari dalam kondisi normal, hal tersebut tidak dianggap sebagai alasan yang cukup untuk menunda qada puasa atau menghapuskan kewajiban membayar kafarat. Masih ada kemungkinan untuk memilih waktu dalam tahun di mana cuacanya lebih sejuk atau lebih moderat untuk melaksanakan qada puasa. Wallahu ‘alam. Baca juga: Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari fatwa dalam islamqa.info dan islamweb.net.

8 Keutamaan Umrah yang Wajib Diketahui Setiap Muslim

Secara bahasa, umrah berasal dari kata i’tamara (اعتمر) yang berarti “berziarah” atau “mengunjungi”. Dalam konteks umum, umrah bermakna kunjungan atau perjalanan ke suatu tempat yang dihormati. Secara istilah syariat, umrah adalah ibadah yang terdiri dari serangkaian ritual, yaitu ihram, thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah), serta tahallul (memotong rambut). Umrah merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan di waktu kapan saja, tidak terikat oleh bulan-bulan tertentu seperti haji.   Daftar Isi tutup 1. Perbedaan haji dan umrah 2. Rukun umrah 3. Wajib umrah 4. Keutamaan Umrah 4.1. 1. Menghapuskan Dosa 4.2. 2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi 4.3. 3. Menghapuskan dosa besar dan kecil 4.4. 4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran. 4.5. 5. Setara dengan Jihad bagi Wanita 4.6. 6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram 4.7. 7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat 4.8. 8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan   Perbedaan haji dan umrah Haji secara bahasa bisa dibaca al-hajju atau al-hijju. Makna haji secara bahasa adalah al-qashdu, yaitu niat, maksud, cita-cita, tujuan, akhir, gol, sasaran, target. Sedangkan, makna haji secara istilah syari adalah menuju Makkah dan tempat ibadah lainnya (masya’ir) untuk menunaikan manasik pada waktu yang khusus (tertentu). ‘Umrah secara bahasa berarti ziyarah, yaitu mengunjungi. ‘Umrah secara istilah syari berarti ziarah ke Baitullah untuk menunaikan manasik. Manasik umrah adalah ihram, thawaf, sai, tahallul (menggundul atau memendekkan rambut). Sedangkan manasik haji sama seperti umrah, tetapi ada tambahan terkait ibadah di masya’ir (tempat pelaksanaan ibadah haji) seperti wukuf, mabit, dan melempar jumrah. Lihat pembahasan Minhah Al-‘Allam, 5:156-157.   Rukun umrah Ihram, Thawaf umrah, Sa’i umrah, Halq atau taqshir, dan Tertib.   Wajib umrah Ihram dari miqat. Menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan ketika ihram.   Baca juga: Sudah Tahu Keutamaan Umrah?   Keutamaan Umrah 1. Menghapuskan Dosa Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349)   2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   3. Menghapuskan dosa besar dan kecil Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah dengan haji (dalam haji qiron atau tamattu’), karena keduanya dapat menghapus kemiskinan dan dosa, seperti api yang membersihkan karat dari besi, emas, dan perak. Selain itu, haji yang mabrur tidak memiliki balasan lain kecuali surga..” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)   4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran.   5. Setara dengan Jihad bagi Wanita Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ » “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)   6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.) Berlipatnya pahala shalat di Masjidil Haram apakah berlaku untuk seluruh tanah haram ataukah hanya di Masjidil Haram saja, ada ikhtilah ulama dalam hal ini. Berlipatnya pahala hanya di Masjidil Haram saja itulah yang lebih kuat dilihat dari hadits Maimunah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain di Masjid Kabah.” (HR. Muslim, no. 1396). Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh ‘Atha’, Al-Muhibb Ath-Thabari, dan dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.   7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَن طاف بِهَذا البيتِ أسبوعًا يُحصيهِ، فيُصلِّي رَكْعتينِ كانَ كعِتقِ رقَبةٍ، وما وضَعَ رجلٌ قدمًا، ولا رفَعها ؛ إلَّا كتبَ اللَّهُ لهُ بِها حسَنةً، ومحا عنه بها سيِّئةً، ورفع لهُ بِها درجةً . “Barang siapa yang thawaf di sekitar Kabah sebanyak tujuh putaran dengan menghitungnya, lalu ia shalat dua rakaat, maka hal itu seperti memerdekakan seorang budak. Setiap kali ia mengangkat dan meletakkan kakinya, Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan, menghapus darinya satu kesalahan, dan mengangkat baginya satu derajat.” (HR. Tirmidzi, no. 959; Ahmad, no. 4462; Ibnu Majah, no. 2956. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan Hal ini berdasarkan hadits, قالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: يا رَسولَ اللَّهِ، يَصْدُرُ النَّاسُ بنُسُكَيْنِ، وأَصْدُرُ بنُسُكٍ؟ فقِيلَ لَهَا: انْتَظِرِي، فَإِذَا طَهُرْتِ، فَاخْرُجِي إلى التَّنْعِيمِ، فأهِلِّي ثُمَّ ائْتِينَا بمَكَانِ كَذَا، ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan dua ibadah (haji dan umrah), sementara aku pulang hanya dengan satu ibadah (haji)?” Maka dikatakan kepadanya: “Tunggulah, ketika kamu telah suci, keluarlah ke Tan’im, kemudian berniatlah (untuk umrah), lalu datanglah kepada kami di tempat ini.” Namun sesungguhnya (pahala) itu sesuai dengan nafkah yang kamu keluarkan atau kesulitan yang kamu alami.” (HR. Bukhari, no. 1787 dan Muslim, no. 1211) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyebutkan hal ini dalam fatawanya no. 78247: “Jika kesulitan selalu menyertai suatu ibadah, di mana tidak mungkin melaksanakan ibadah tersebut tanpa menanggung kesulitan tersebut, maka semakin besar kesulitan, semakin besar pula pahala dan ganjarannya.”   Baca juga: Cara Umrah Menurut Fikih Syafii     Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666       —   Disusun di kereta cepat Madinah – Makkah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara umrah fikih umrah keutamaan umrah keutamaan umrah ramadhan Panduan umrah rukun umrah tata cara umrah umrah umrah ramadhan wajib umrah

8 Keutamaan Umrah yang Wajib Diketahui Setiap Muslim

Secara bahasa, umrah berasal dari kata i’tamara (اعتمر) yang berarti “berziarah” atau “mengunjungi”. Dalam konteks umum, umrah bermakna kunjungan atau perjalanan ke suatu tempat yang dihormati. Secara istilah syariat, umrah adalah ibadah yang terdiri dari serangkaian ritual, yaitu ihram, thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah), serta tahallul (memotong rambut). Umrah merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan di waktu kapan saja, tidak terikat oleh bulan-bulan tertentu seperti haji.   Daftar Isi tutup 1. Perbedaan haji dan umrah 2. Rukun umrah 3. Wajib umrah 4. Keutamaan Umrah 4.1. 1. Menghapuskan Dosa 4.2. 2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi 4.3. 3. Menghapuskan dosa besar dan kecil 4.4. 4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran. 4.5. 5. Setara dengan Jihad bagi Wanita 4.6. 6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram 4.7. 7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat 4.8. 8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan   Perbedaan haji dan umrah Haji secara bahasa bisa dibaca al-hajju atau al-hijju. Makna haji secara bahasa adalah al-qashdu, yaitu niat, maksud, cita-cita, tujuan, akhir, gol, sasaran, target. Sedangkan, makna haji secara istilah syari adalah menuju Makkah dan tempat ibadah lainnya (masya’ir) untuk menunaikan manasik pada waktu yang khusus (tertentu). ‘Umrah secara bahasa berarti ziyarah, yaitu mengunjungi. ‘Umrah secara istilah syari berarti ziarah ke Baitullah untuk menunaikan manasik. Manasik umrah adalah ihram, thawaf, sai, tahallul (menggundul atau memendekkan rambut). Sedangkan manasik haji sama seperti umrah, tetapi ada tambahan terkait ibadah di masya’ir (tempat pelaksanaan ibadah haji) seperti wukuf, mabit, dan melempar jumrah. Lihat pembahasan Minhah Al-‘Allam, 5:156-157.   Rukun umrah Ihram, Thawaf umrah, Sa’i umrah, Halq atau taqshir, dan Tertib.   Wajib umrah Ihram dari miqat. Menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan ketika ihram.   Baca juga: Sudah Tahu Keutamaan Umrah?   Keutamaan Umrah 1. Menghapuskan Dosa Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349)   2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   3. Menghapuskan dosa besar dan kecil Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah dengan haji (dalam haji qiron atau tamattu’), karena keduanya dapat menghapus kemiskinan dan dosa, seperti api yang membersihkan karat dari besi, emas, dan perak. Selain itu, haji yang mabrur tidak memiliki balasan lain kecuali surga..” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)   4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran.   5. Setara dengan Jihad bagi Wanita Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ » “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)   6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.) Berlipatnya pahala shalat di Masjidil Haram apakah berlaku untuk seluruh tanah haram ataukah hanya di Masjidil Haram saja, ada ikhtilah ulama dalam hal ini. Berlipatnya pahala hanya di Masjidil Haram saja itulah yang lebih kuat dilihat dari hadits Maimunah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain di Masjid Kabah.” (HR. Muslim, no. 1396). Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh ‘Atha’, Al-Muhibb Ath-Thabari, dan dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.   7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَن طاف بِهَذا البيتِ أسبوعًا يُحصيهِ، فيُصلِّي رَكْعتينِ كانَ كعِتقِ رقَبةٍ، وما وضَعَ رجلٌ قدمًا، ولا رفَعها ؛ إلَّا كتبَ اللَّهُ لهُ بِها حسَنةً، ومحا عنه بها سيِّئةً، ورفع لهُ بِها درجةً . “Barang siapa yang thawaf di sekitar Kabah sebanyak tujuh putaran dengan menghitungnya, lalu ia shalat dua rakaat, maka hal itu seperti memerdekakan seorang budak. Setiap kali ia mengangkat dan meletakkan kakinya, Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan, menghapus darinya satu kesalahan, dan mengangkat baginya satu derajat.” (HR. Tirmidzi, no. 959; Ahmad, no. 4462; Ibnu Majah, no. 2956. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan Hal ini berdasarkan hadits, قالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: يا رَسولَ اللَّهِ، يَصْدُرُ النَّاسُ بنُسُكَيْنِ، وأَصْدُرُ بنُسُكٍ؟ فقِيلَ لَهَا: انْتَظِرِي، فَإِذَا طَهُرْتِ، فَاخْرُجِي إلى التَّنْعِيمِ، فأهِلِّي ثُمَّ ائْتِينَا بمَكَانِ كَذَا، ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan dua ibadah (haji dan umrah), sementara aku pulang hanya dengan satu ibadah (haji)?” Maka dikatakan kepadanya: “Tunggulah, ketika kamu telah suci, keluarlah ke Tan’im, kemudian berniatlah (untuk umrah), lalu datanglah kepada kami di tempat ini.” Namun sesungguhnya (pahala) itu sesuai dengan nafkah yang kamu keluarkan atau kesulitan yang kamu alami.” (HR. Bukhari, no. 1787 dan Muslim, no. 1211) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyebutkan hal ini dalam fatawanya no. 78247: “Jika kesulitan selalu menyertai suatu ibadah, di mana tidak mungkin melaksanakan ibadah tersebut tanpa menanggung kesulitan tersebut, maka semakin besar kesulitan, semakin besar pula pahala dan ganjarannya.”   Baca juga: Cara Umrah Menurut Fikih Syafii     Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666       —   Disusun di kereta cepat Madinah – Makkah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara umrah fikih umrah keutamaan umrah keutamaan umrah ramadhan Panduan umrah rukun umrah tata cara umrah umrah umrah ramadhan wajib umrah
Secara bahasa, umrah berasal dari kata i’tamara (اعتمر) yang berarti “berziarah” atau “mengunjungi”. Dalam konteks umum, umrah bermakna kunjungan atau perjalanan ke suatu tempat yang dihormati. Secara istilah syariat, umrah adalah ibadah yang terdiri dari serangkaian ritual, yaitu ihram, thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah), serta tahallul (memotong rambut). Umrah merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan di waktu kapan saja, tidak terikat oleh bulan-bulan tertentu seperti haji.   Daftar Isi tutup 1. Perbedaan haji dan umrah 2. Rukun umrah 3. Wajib umrah 4. Keutamaan Umrah 4.1. 1. Menghapuskan Dosa 4.2. 2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi 4.3. 3. Menghapuskan dosa besar dan kecil 4.4. 4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran. 4.5. 5. Setara dengan Jihad bagi Wanita 4.6. 6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram 4.7. 7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat 4.8. 8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan   Perbedaan haji dan umrah Haji secara bahasa bisa dibaca al-hajju atau al-hijju. Makna haji secara bahasa adalah al-qashdu, yaitu niat, maksud, cita-cita, tujuan, akhir, gol, sasaran, target. Sedangkan, makna haji secara istilah syari adalah menuju Makkah dan tempat ibadah lainnya (masya’ir) untuk menunaikan manasik pada waktu yang khusus (tertentu). ‘Umrah secara bahasa berarti ziyarah, yaitu mengunjungi. ‘Umrah secara istilah syari berarti ziarah ke Baitullah untuk menunaikan manasik. Manasik umrah adalah ihram, thawaf, sai, tahallul (menggundul atau memendekkan rambut). Sedangkan manasik haji sama seperti umrah, tetapi ada tambahan terkait ibadah di masya’ir (tempat pelaksanaan ibadah haji) seperti wukuf, mabit, dan melempar jumrah. Lihat pembahasan Minhah Al-‘Allam, 5:156-157.   Rukun umrah Ihram, Thawaf umrah, Sa’i umrah, Halq atau taqshir, dan Tertib.   Wajib umrah Ihram dari miqat. Menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan ketika ihram.   Baca juga: Sudah Tahu Keutamaan Umrah?   Keutamaan Umrah 1. Menghapuskan Dosa Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349)   2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   3. Menghapuskan dosa besar dan kecil Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah dengan haji (dalam haji qiron atau tamattu’), karena keduanya dapat menghapus kemiskinan dan dosa, seperti api yang membersihkan karat dari besi, emas, dan perak. Selain itu, haji yang mabrur tidak memiliki balasan lain kecuali surga..” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)   4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran.   5. Setara dengan Jihad bagi Wanita Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ » “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)   6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.) Berlipatnya pahala shalat di Masjidil Haram apakah berlaku untuk seluruh tanah haram ataukah hanya di Masjidil Haram saja, ada ikhtilah ulama dalam hal ini. Berlipatnya pahala hanya di Masjidil Haram saja itulah yang lebih kuat dilihat dari hadits Maimunah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain di Masjid Kabah.” (HR. Muslim, no. 1396). Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh ‘Atha’, Al-Muhibb Ath-Thabari, dan dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.   7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَن طاف بِهَذا البيتِ أسبوعًا يُحصيهِ، فيُصلِّي رَكْعتينِ كانَ كعِتقِ رقَبةٍ، وما وضَعَ رجلٌ قدمًا، ولا رفَعها ؛ إلَّا كتبَ اللَّهُ لهُ بِها حسَنةً، ومحا عنه بها سيِّئةً، ورفع لهُ بِها درجةً . “Barang siapa yang thawaf di sekitar Kabah sebanyak tujuh putaran dengan menghitungnya, lalu ia shalat dua rakaat, maka hal itu seperti memerdekakan seorang budak. Setiap kali ia mengangkat dan meletakkan kakinya, Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan, menghapus darinya satu kesalahan, dan mengangkat baginya satu derajat.” (HR. Tirmidzi, no. 959; Ahmad, no. 4462; Ibnu Majah, no. 2956. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan Hal ini berdasarkan hadits, قالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: يا رَسولَ اللَّهِ، يَصْدُرُ النَّاسُ بنُسُكَيْنِ، وأَصْدُرُ بنُسُكٍ؟ فقِيلَ لَهَا: انْتَظِرِي، فَإِذَا طَهُرْتِ، فَاخْرُجِي إلى التَّنْعِيمِ، فأهِلِّي ثُمَّ ائْتِينَا بمَكَانِ كَذَا، ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan dua ibadah (haji dan umrah), sementara aku pulang hanya dengan satu ibadah (haji)?” Maka dikatakan kepadanya: “Tunggulah, ketika kamu telah suci, keluarlah ke Tan’im, kemudian berniatlah (untuk umrah), lalu datanglah kepada kami di tempat ini.” Namun sesungguhnya (pahala) itu sesuai dengan nafkah yang kamu keluarkan atau kesulitan yang kamu alami.” (HR. Bukhari, no. 1787 dan Muslim, no. 1211) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyebutkan hal ini dalam fatawanya no. 78247: “Jika kesulitan selalu menyertai suatu ibadah, di mana tidak mungkin melaksanakan ibadah tersebut tanpa menanggung kesulitan tersebut, maka semakin besar kesulitan, semakin besar pula pahala dan ganjarannya.”   Baca juga: Cara Umrah Menurut Fikih Syafii     Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666       —   Disusun di kereta cepat Madinah – Makkah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara umrah fikih umrah keutamaan umrah keutamaan umrah ramadhan Panduan umrah rukun umrah tata cara umrah umrah umrah ramadhan wajib umrah


Secara bahasa, umrah berasal dari kata i’tamara (اعتمر) yang berarti “berziarah” atau “mengunjungi”. Dalam konteks umum, umrah bermakna kunjungan atau perjalanan ke suatu tempat yang dihormati. Secara istilah syariat, umrah adalah ibadah yang terdiri dari serangkaian ritual, yaitu ihram, thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah), serta tahallul (memotong rambut). Umrah merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan di waktu kapan saja, tidak terikat oleh bulan-bulan tertentu seperti haji.   Daftar Isi tutup 1. Perbedaan haji dan umrah 2. Rukun umrah 3. Wajib umrah 4. Keutamaan Umrah 4.1. 1. Menghapuskan Dosa 4.2. 2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi 4.3. 3. Menghapuskan dosa besar dan kecil 4.4. 4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran. 4.5. 5. Setara dengan Jihad bagi Wanita 4.6. 6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram 4.7. 7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat 4.8. 8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan   Perbedaan haji dan umrah Haji secara bahasa bisa dibaca al-hajju atau al-hijju. Makna haji secara bahasa adalah al-qashdu, yaitu niat, maksud, cita-cita, tujuan, akhir, gol, sasaran, target. Sedangkan, makna haji secara istilah syari adalah menuju Makkah dan tempat ibadah lainnya (masya’ir) untuk menunaikan manasik pada waktu yang khusus (tertentu). ‘Umrah secara bahasa berarti ziyarah, yaitu mengunjungi. ‘Umrah secara istilah syari berarti ziarah ke Baitullah untuk menunaikan manasik. Manasik umrah adalah ihram, thawaf, sai, tahallul (menggundul atau memendekkan rambut). Sedangkan manasik haji sama seperti umrah, tetapi ada tambahan terkait ibadah di masya’ir (tempat pelaksanaan ibadah haji) seperti wukuf, mabit, dan melempar jumrah. Lihat pembahasan Minhah Al-‘Allam, 5:156-157.   Rukun umrah Ihram, Thawaf umrah, Sa’i umrah, Halq atau taqshir, dan Tertib.   Wajib umrah Ihram dari miqat. Menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan ketika ihram.   Baca juga: Sudah Tahu Keutamaan Umrah?   Keutamaan Umrah 1. Menghapuskan Dosa Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349)   2. Menjadi Tamu Allah sehingga Doa Orang yang Berumrah akan Diijabahi Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   3. Menghapuskan dosa besar dan kecil Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah dengan haji (dalam haji qiron atau tamattu’), karena keduanya dapat menghapus kemiskinan dan dosa, seperti api yang membersihkan karat dari besi, emas, dan perak. Selain itu, haji yang mabrur tidak memiliki balasan lain kecuali surga..” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)   4. Umrah itu menjadikan seseorang menjadi kaya atau rezekinya tambah berkah karena umrah dapat menghilangkan kefakiran.   5. Setara dengan Jihad bagi Wanita Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ » “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)   6. Mendapat Pahala Shalat Berlipat Ganda di Masjidil Haram Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.) Berlipatnya pahala shalat di Masjidil Haram apakah berlaku untuk seluruh tanah haram ataukah hanya di Masjidil Haram saja, ada ikhtilah ulama dalam hal ini. Berlipatnya pahala hanya di Masjidil Haram saja itulah yang lebih kuat dilihat dari hadits Maimunah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain di Masjid Kabah.” (HR. Muslim, no. 1396). Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh ‘Atha’, Al-Muhibb Ath-Thabari, dan dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.   7. Thawaf akan menghapuskan dosa dan meninggikan derajat Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَن طاف بِهَذا البيتِ أسبوعًا يُحصيهِ، فيُصلِّي رَكْعتينِ كانَ كعِتقِ رقَبةٍ، وما وضَعَ رجلٌ قدمًا، ولا رفَعها ؛ إلَّا كتبَ اللَّهُ لهُ بِها حسَنةً، ومحا عنه بها سيِّئةً، ورفع لهُ بِها درجةً . “Barang siapa yang thawaf di sekitar Kabah sebanyak tujuh putaran dengan menghitungnya, lalu ia shalat dua rakaat, maka hal itu seperti memerdekakan seorang budak. Setiap kali ia mengangkat dan meletakkan kakinya, Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan, menghapus darinya satu kesalahan, dan mengangkat baginya satu derajat.” (HR. Tirmidzi, no. 959; Ahmad, no. 4462; Ibnu Majah, no. 2956. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   8. Pahala Umrah itu Disesuaikan dengan Usaha dan Harta yang Dikeluarkan Hal ini berdasarkan hadits, قالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: يا رَسولَ اللَّهِ، يَصْدُرُ النَّاسُ بنُسُكَيْنِ، وأَصْدُرُ بنُسُكٍ؟ فقِيلَ لَهَا: انْتَظِرِي، فَإِذَا طَهُرْتِ، فَاخْرُجِي إلى التَّنْعِيمِ، فأهِلِّي ثُمَّ ائْتِينَا بمَكَانِ كَذَا، ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan dua ibadah (haji dan umrah), sementara aku pulang hanya dengan satu ibadah (haji)?” Maka dikatakan kepadanya: “Tunggulah, ketika kamu telah suci, keluarlah ke Tan’im, kemudian berniatlah (untuk umrah), lalu datanglah kepada kami di tempat ini.” Namun sesungguhnya (pahala) itu sesuai dengan nafkah yang kamu keluarkan atau kesulitan yang kamu alami.” (HR. Bukhari, no. 1787 dan Muslim, no. 1211) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyebutkan hal ini dalam fatawanya no. 78247: “Jika kesulitan selalu menyertai suatu ibadah, di mana tidak mungkin melaksanakan ibadah tersebut tanpa menanggung kesulitan tersebut, maka semakin besar kesulitan, semakin besar pula pahala dan ganjarannya.”   Baca juga: Cara Umrah Menurut Fikih Syafii     Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666       —   Disusun di kereta cepat Madinah – Makkah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara umrah fikih umrah keutamaan umrah keutamaan umrah ramadhan Panduan umrah rukun umrah tata cara umrah umrah umrah ramadhan wajib umrah

Musafir Mengimami Jamaah Mukim, Apakah Harus Qashar atau Shalat Sempurna?

Salah satu hal yang sering dibahas adalah bagaimana tata cara shalat seorang musafir ketika menjadi imam bagi jamaah mukim, apakah ia mengqashar atau melaksanakan shalat secara sempurna. Padahal untuk musafir sendiri memiliki keringanan untuk meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat).   Daftar Isi tutup 1. 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) 2. 2. Musafir Mengqashar Shalat 3. Kesimpulan   Pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut: “Ustadz, bagaimana jika seorang musafir diminta menjadi imam oleh jamaah mukim (misalnya pejabat atau tamu yang dikenal keshalihannya)? Apakah musafir tersebut tetap menggunakan rukhsah (keringanan) dengan mengqashar shalat, atau harus shalat sempurna seperti jamaah mukim?” Jawabannya kami bagi menjadi dua poin: 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) Musafir dapat memilih untuk shalat itmam, yaitu shalat sempurna empat rakaat, mengikuti jamaah mukim. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan, meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan praktik tersebut. Perlu diingat, qashar shalat adalah rukhsah yang bersifat opsional, bukan kewajiban. Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Yazid: “Utsman pernah shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Ketika hal ini disampaikan kepada Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan istirja’ dan berkata, ’Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakar dua rakaat, dan bersama Umar dua rakaat. Andai saja Utsman mengganti empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima.’” (HR. Bukhari no. 1084 dan Muslim no. 695). Imam Nawawi menjelaskan bahwa meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan pilihan Utsman, ia tetap membolehkan shalat itmam tanpa qashar. Jika qashar itu wajib, tentu Ibnu Mas’ud tidak akan mengikuti shalat tersebut di belakang Utsman. (Syarh Shahih Muslim, 5:182)   2. Musafir Mengqashar Shalat Pilihan kedua, musafir tetap melaksanakan qashar dua rakaat, sementara makmum mukim menyempurnakan empat rakaat. Hal ini diperjelas dalam hadits dari Musa bin Salamah, yang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa ketika kami shalat di belakang kalian (mukim), kami shalat empat rakaat, tetapi saat kami kembali ke perjalanan, kami shalat dua rakaat?” Ibnu Abbas menjawab, “Itulah sunnah dari Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad 1:216). Hadits dari ‘Imran bin Hushain juga menyatakan hal serupa: “Aku menyaksikan penaklukkan Makkah bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Kami tinggal di Makkah selama 18 malam, dan Nabi hanya shalat dua rakaat. Beliau bersabda, يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ ‘Wahai penduduk Makkah, shalatlah kalian empat rakaat, karena kami adalah kaum musafir.’” (HR. Abu Daud, no. 1229 dan Tirmidzi, no. 545).   Kesimpulan Seorang musafir yang menjadi imam dapat memilih untuk shalat sempurna atau mengqashar. Jika ia mengqashar, jamaah mukim tetap menyempurnakan shalat mereka setelah musafir mengucapkan salam. Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, imam musafir sebaiknya memberi tahu jamaah sebelum shalat bahwa mereka harus melengkapi shalat setelah salam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin, 15:153).   Baca juga: Cara Musafir Berjamaah di Belakang Imam Mukim Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666   –   Diselesaikan pada Kamis pagi @ Madinah Al-Munawwarah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara jamak shalat fikih safar jamak shalat keringanan saat safar musafir panduan safar qashar shalat Safar syarat jamak shalat

Musafir Mengimami Jamaah Mukim, Apakah Harus Qashar atau Shalat Sempurna?

Salah satu hal yang sering dibahas adalah bagaimana tata cara shalat seorang musafir ketika menjadi imam bagi jamaah mukim, apakah ia mengqashar atau melaksanakan shalat secara sempurna. Padahal untuk musafir sendiri memiliki keringanan untuk meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat).   Daftar Isi tutup 1. 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) 2. 2. Musafir Mengqashar Shalat 3. Kesimpulan   Pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut: “Ustadz, bagaimana jika seorang musafir diminta menjadi imam oleh jamaah mukim (misalnya pejabat atau tamu yang dikenal keshalihannya)? Apakah musafir tersebut tetap menggunakan rukhsah (keringanan) dengan mengqashar shalat, atau harus shalat sempurna seperti jamaah mukim?” Jawabannya kami bagi menjadi dua poin: 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) Musafir dapat memilih untuk shalat itmam, yaitu shalat sempurna empat rakaat, mengikuti jamaah mukim. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan, meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan praktik tersebut. Perlu diingat, qashar shalat adalah rukhsah yang bersifat opsional, bukan kewajiban. Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Yazid: “Utsman pernah shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Ketika hal ini disampaikan kepada Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan istirja’ dan berkata, ’Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakar dua rakaat, dan bersama Umar dua rakaat. Andai saja Utsman mengganti empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima.’” (HR. Bukhari no. 1084 dan Muslim no. 695). Imam Nawawi menjelaskan bahwa meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan pilihan Utsman, ia tetap membolehkan shalat itmam tanpa qashar. Jika qashar itu wajib, tentu Ibnu Mas’ud tidak akan mengikuti shalat tersebut di belakang Utsman. (Syarh Shahih Muslim, 5:182)   2. Musafir Mengqashar Shalat Pilihan kedua, musafir tetap melaksanakan qashar dua rakaat, sementara makmum mukim menyempurnakan empat rakaat. Hal ini diperjelas dalam hadits dari Musa bin Salamah, yang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa ketika kami shalat di belakang kalian (mukim), kami shalat empat rakaat, tetapi saat kami kembali ke perjalanan, kami shalat dua rakaat?” Ibnu Abbas menjawab, “Itulah sunnah dari Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad 1:216). Hadits dari ‘Imran bin Hushain juga menyatakan hal serupa: “Aku menyaksikan penaklukkan Makkah bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Kami tinggal di Makkah selama 18 malam, dan Nabi hanya shalat dua rakaat. Beliau bersabda, يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ ‘Wahai penduduk Makkah, shalatlah kalian empat rakaat, karena kami adalah kaum musafir.’” (HR. Abu Daud, no. 1229 dan Tirmidzi, no. 545).   Kesimpulan Seorang musafir yang menjadi imam dapat memilih untuk shalat sempurna atau mengqashar. Jika ia mengqashar, jamaah mukim tetap menyempurnakan shalat mereka setelah musafir mengucapkan salam. Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, imam musafir sebaiknya memberi tahu jamaah sebelum shalat bahwa mereka harus melengkapi shalat setelah salam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin, 15:153).   Baca juga: Cara Musafir Berjamaah di Belakang Imam Mukim Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666   –   Diselesaikan pada Kamis pagi @ Madinah Al-Munawwarah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara jamak shalat fikih safar jamak shalat keringanan saat safar musafir panduan safar qashar shalat Safar syarat jamak shalat
Salah satu hal yang sering dibahas adalah bagaimana tata cara shalat seorang musafir ketika menjadi imam bagi jamaah mukim, apakah ia mengqashar atau melaksanakan shalat secara sempurna. Padahal untuk musafir sendiri memiliki keringanan untuk meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat).   Daftar Isi tutup 1. 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) 2. 2. Musafir Mengqashar Shalat 3. Kesimpulan   Pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut: “Ustadz, bagaimana jika seorang musafir diminta menjadi imam oleh jamaah mukim (misalnya pejabat atau tamu yang dikenal keshalihannya)? Apakah musafir tersebut tetap menggunakan rukhsah (keringanan) dengan mengqashar shalat, atau harus shalat sempurna seperti jamaah mukim?” Jawabannya kami bagi menjadi dua poin: 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) Musafir dapat memilih untuk shalat itmam, yaitu shalat sempurna empat rakaat, mengikuti jamaah mukim. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan, meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan praktik tersebut. Perlu diingat, qashar shalat adalah rukhsah yang bersifat opsional, bukan kewajiban. Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Yazid: “Utsman pernah shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Ketika hal ini disampaikan kepada Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan istirja’ dan berkata, ’Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakar dua rakaat, dan bersama Umar dua rakaat. Andai saja Utsman mengganti empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima.’” (HR. Bukhari no. 1084 dan Muslim no. 695). Imam Nawawi menjelaskan bahwa meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan pilihan Utsman, ia tetap membolehkan shalat itmam tanpa qashar. Jika qashar itu wajib, tentu Ibnu Mas’ud tidak akan mengikuti shalat tersebut di belakang Utsman. (Syarh Shahih Muslim, 5:182)   2. Musafir Mengqashar Shalat Pilihan kedua, musafir tetap melaksanakan qashar dua rakaat, sementara makmum mukim menyempurnakan empat rakaat. Hal ini diperjelas dalam hadits dari Musa bin Salamah, yang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa ketika kami shalat di belakang kalian (mukim), kami shalat empat rakaat, tetapi saat kami kembali ke perjalanan, kami shalat dua rakaat?” Ibnu Abbas menjawab, “Itulah sunnah dari Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad 1:216). Hadits dari ‘Imran bin Hushain juga menyatakan hal serupa: “Aku menyaksikan penaklukkan Makkah bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Kami tinggal di Makkah selama 18 malam, dan Nabi hanya shalat dua rakaat. Beliau bersabda, يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ ‘Wahai penduduk Makkah, shalatlah kalian empat rakaat, karena kami adalah kaum musafir.’” (HR. Abu Daud, no. 1229 dan Tirmidzi, no. 545).   Kesimpulan Seorang musafir yang menjadi imam dapat memilih untuk shalat sempurna atau mengqashar. Jika ia mengqashar, jamaah mukim tetap menyempurnakan shalat mereka setelah musafir mengucapkan salam. Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, imam musafir sebaiknya memberi tahu jamaah sebelum shalat bahwa mereka harus melengkapi shalat setelah salam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin, 15:153).   Baca juga: Cara Musafir Berjamaah di Belakang Imam Mukim Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666   –   Diselesaikan pada Kamis pagi @ Madinah Al-Munawwarah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara jamak shalat fikih safar jamak shalat keringanan saat safar musafir panduan safar qashar shalat Safar syarat jamak shalat


Salah satu hal yang sering dibahas adalah bagaimana tata cara shalat seorang musafir ketika menjadi imam bagi jamaah mukim, apakah ia mengqashar atau melaksanakan shalat secara sempurna. Padahal untuk musafir sendiri memiliki keringanan untuk meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat).   Daftar Isi tutup 1. 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) 2. 2. Musafir Mengqashar Shalat 3. Kesimpulan   Pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut: “Ustadz, bagaimana jika seorang musafir diminta menjadi imam oleh jamaah mukim (misalnya pejabat atau tamu yang dikenal keshalihannya)? Apakah musafir tersebut tetap menggunakan rukhsah (keringanan) dengan mengqashar shalat, atau harus shalat sempurna seperti jamaah mukim?” Jawabannya kami bagi menjadi dua poin: 1. Musafir Shalat Sempurna (Itmam) Musafir dapat memilih untuk shalat itmam, yaitu shalat sempurna empat rakaat, mengikuti jamaah mukim. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan, meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan praktik tersebut. Perlu diingat, qashar shalat adalah rukhsah yang bersifat opsional, bukan kewajiban. Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Yazid: “Utsman pernah shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Ketika hal ini disampaikan kepada Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan istirja’ dan berkata, ’Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakar dua rakaat, dan bersama Umar dua rakaat. Andai saja Utsman mengganti empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima.’” (HR. Bukhari no. 1084 dan Muslim no. 695). Imam Nawawi menjelaskan bahwa meskipun Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan pilihan Utsman, ia tetap membolehkan shalat itmam tanpa qashar. Jika qashar itu wajib, tentu Ibnu Mas’ud tidak akan mengikuti shalat tersebut di belakang Utsman. (Syarh Shahih Muslim, 5:182)   2. Musafir Mengqashar Shalat Pilihan kedua, musafir tetap melaksanakan qashar dua rakaat, sementara makmum mukim menyempurnakan empat rakaat. Hal ini diperjelas dalam hadits dari Musa bin Salamah, yang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa ketika kami shalat di belakang kalian (mukim), kami shalat empat rakaat, tetapi saat kami kembali ke perjalanan, kami shalat dua rakaat?” Ibnu Abbas menjawab, “Itulah sunnah dari Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad 1:216). Hadits dari ‘Imran bin Hushain juga menyatakan hal serupa: “Aku menyaksikan penaklukkan Makkah bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Kami tinggal di Makkah selama 18 malam, dan Nabi hanya shalat dua rakaat. Beliau bersabda, يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ ‘Wahai penduduk Makkah, shalatlah kalian empat rakaat, karena kami adalah kaum musafir.’” (HR. Abu Daud, no. 1229 dan Tirmidzi, no. 545).   Kesimpulan Seorang musafir yang menjadi imam dapat memilih untuk shalat sempurna atau mengqashar. Jika ia mengqashar, jamaah mukim tetap menyempurnakan shalat mereka setelah musafir mengucapkan salam. Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, imam musafir sebaiknya memberi tahu jamaah sebelum shalat bahwa mereka harus melengkapi shalat setelah salam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin, 15:153).   Baca juga: Cara Musafir Berjamaah di Belakang Imam Mukim Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Safar umrah nyaman dan mudah bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, bisa bergabung dengan Rehla Tour, kontak admin pada WA: 0813-9971-9666   –   Diselesaikan pada Kamis pagi @ Madinah Al-Munawwarah, 20 Rabiuts Tsani 1446 H, 24 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara jamak shalat fikih safar jamak shalat keringanan saat safar musafir panduan safar qashar shalat Safar syarat jamak shalat

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 190MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Setan adalah musuh manusia. Dia berupaya sekuat tenaga untuk mengganggunya dan menyesatkannya. Demi merealisasikan tujuan jahat tersebut, berbagai cara dia tempuh. Tidak peduli apakah targetnya pria atau wanita, pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan anak kecil sekalipun. Karena itulah Islam mengajarkan beberapa hal dalam rangka untuk melindungi anak dari kejahatan setan. Di antaranya: Pertama: Membacakan dzikir untuk anak Saat anak belum masuk usia tamyiz (-+ sebelum umur 7 tahun), maka orang tua bisa membacakan dzikir perlindungan untuk anaknya. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendoakan kedua cucu beliau; Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. “أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ ‌عَيْنٍ ‌لامَّةٍ “ “Aku memohonkan perlindungan untuk kalian berdua menggunakan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan dan binatang berbisa, serta pandangan mata yang jahat”. HR. Bukhari (no. 3371) dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan ini adalah redaksi Ahmad (no. 2112). Doa ini bisa dibaca kapan saja. Jika jumlah anak tiga orang atau lebih, maka dibaca “U’îdzukum…”. Bila satu anak laki-laki, dibaca: “U’îdzuka…”. Jika satu anak perempuan, dibaca: “U’îdzuki”. Kedua: Melatih anak membaca dzikir Jika anak telah berusia tujuh tahun ke atas, maka hendaknya ia dibimbing dan dilatih untuk membaca dzikir sendiri. Semisal dzikir pagi dan petang, dzikir sebelum tidur, dzikir keluar rumah dan lain-lain. Lakukan pelatihan itu secara bertahap; supaya anak tidak merasa terlalu dibebani. Misalnya: di tahap awal anak diminta untuk membaca Ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas setiap pagi dan petang. Setelah terbiasa, silakan ditambahkan bacaan-bacaan lainnya yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketiga: Mencegah anak keluar rumah ketika setan berkeliaran Yakni sesaat sebelum matahari terbenam hingga waktu masuk waktu Isya. Kecuali bila keluar rumahnya untuk berangkat ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ” “Jika malam mulai akan gelap, cegahlah anak-anak kalian (untuk keluar rumah); karena saat itu setan berkeliaran. Bila telah lewat sebagian malam biarkanlah mereka (jika ada keperluan untuk keluar rumah). Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah; karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup. Tutuplah teko kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian”. HR. Bukhari (no. 3280) dan Muslim (no. 5218) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi Muslim. “لَا تُرْسِلُوا فَوَاشِيَكُمْ وَصِبْيَانَكُمْ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ، فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْبَعِثُ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ” “Janganlah melepaskan hewan ternak dan anak-anak kalian di saat matahari terbenam hingga gelapnya Isya lewat. Sungguh para setan itu berkeliaran ketika matahari terbenam hingga gelapnya Isya berlalu”. HR. Muslim (no. 2013) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Sya’ban 1445 / 4 Maret 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAHSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 190MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Setan adalah musuh manusia. Dia berupaya sekuat tenaga untuk mengganggunya dan menyesatkannya. Demi merealisasikan tujuan jahat tersebut, berbagai cara dia tempuh. Tidak peduli apakah targetnya pria atau wanita, pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan anak kecil sekalipun. Karena itulah Islam mengajarkan beberapa hal dalam rangka untuk melindungi anak dari kejahatan setan. Di antaranya: Pertama: Membacakan dzikir untuk anak Saat anak belum masuk usia tamyiz (-+ sebelum umur 7 tahun), maka orang tua bisa membacakan dzikir perlindungan untuk anaknya. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendoakan kedua cucu beliau; Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. “أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ ‌عَيْنٍ ‌لامَّةٍ “ “Aku memohonkan perlindungan untuk kalian berdua menggunakan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan dan binatang berbisa, serta pandangan mata yang jahat”. HR. Bukhari (no. 3371) dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan ini adalah redaksi Ahmad (no. 2112). Doa ini bisa dibaca kapan saja. Jika jumlah anak tiga orang atau lebih, maka dibaca “U’îdzukum…”. Bila satu anak laki-laki, dibaca: “U’îdzuka…”. Jika satu anak perempuan, dibaca: “U’îdzuki”. Kedua: Melatih anak membaca dzikir Jika anak telah berusia tujuh tahun ke atas, maka hendaknya ia dibimbing dan dilatih untuk membaca dzikir sendiri. Semisal dzikir pagi dan petang, dzikir sebelum tidur, dzikir keluar rumah dan lain-lain. Lakukan pelatihan itu secara bertahap; supaya anak tidak merasa terlalu dibebani. Misalnya: di tahap awal anak diminta untuk membaca Ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas setiap pagi dan petang. Setelah terbiasa, silakan ditambahkan bacaan-bacaan lainnya yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketiga: Mencegah anak keluar rumah ketika setan berkeliaran Yakni sesaat sebelum matahari terbenam hingga waktu masuk waktu Isya. Kecuali bila keluar rumahnya untuk berangkat ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ” “Jika malam mulai akan gelap, cegahlah anak-anak kalian (untuk keluar rumah); karena saat itu setan berkeliaran. Bila telah lewat sebagian malam biarkanlah mereka (jika ada keperluan untuk keluar rumah). Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah; karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup. Tutuplah teko kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian”. HR. Bukhari (no. 3280) dan Muslim (no. 5218) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi Muslim. “لَا تُرْسِلُوا فَوَاشِيَكُمْ وَصِبْيَانَكُمْ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ، فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْبَعِثُ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ” “Janganlah melepaskan hewan ternak dan anak-anak kalian di saat matahari terbenam hingga gelapnya Isya lewat. Sungguh para setan itu berkeliaran ketika matahari terbenam hingga gelapnya Isya berlalu”. HR. Muslim (no. 2013) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Sya’ban 1445 / 4 Maret 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAHSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 190MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Setan adalah musuh manusia. Dia berupaya sekuat tenaga untuk mengganggunya dan menyesatkannya. Demi merealisasikan tujuan jahat tersebut, berbagai cara dia tempuh. Tidak peduli apakah targetnya pria atau wanita, pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan anak kecil sekalipun. Karena itulah Islam mengajarkan beberapa hal dalam rangka untuk melindungi anak dari kejahatan setan. Di antaranya: Pertama: Membacakan dzikir untuk anak Saat anak belum masuk usia tamyiz (-+ sebelum umur 7 tahun), maka orang tua bisa membacakan dzikir perlindungan untuk anaknya. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendoakan kedua cucu beliau; Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. “أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ ‌عَيْنٍ ‌لامَّةٍ “ “Aku memohonkan perlindungan untuk kalian berdua menggunakan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan dan binatang berbisa, serta pandangan mata yang jahat”. HR. Bukhari (no. 3371) dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan ini adalah redaksi Ahmad (no. 2112). Doa ini bisa dibaca kapan saja. Jika jumlah anak tiga orang atau lebih, maka dibaca “U’îdzukum…”. Bila satu anak laki-laki, dibaca: “U’îdzuka…”. Jika satu anak perempuan, dibaca: “U’îdzuki”. Kedua: Melatih anak membaca dzikir Jika anak telah berusia tujuh tahun ke atas, maka hendaknya ia dibimbing dan dilatih untuk membaca dzikir sendiri. Semisal dzikir pagi dan petang, dzikir sebelum tidur, dzikir keluar rumah dan lain-lain. Lakukan pelatihan itu secara bertahap; supaya anak tidak merasa terlalu dibebani. Misalnya: di tahap awal anak diminta untuk membaca Ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas setiap pagi dan petang. Setelah terbiasa, silakan ditambahkan bacaan-bacaan lainnya yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketiga: Mencegah anak keluar rumah ketika setan berkeliaran Yakni sesaat sebelum matahari terbenam hingga waktu masuk waktu Isya. Kecuali bila keluar rumahnya untuk berangkat ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ” “Jika malam mulai akan gelap, cegahlah anak-anak kalian (untuk keluar rumah); karena saat itu setan berkeliaran. Bila telah lewat sebagian malam biarkanlah mereka (jika ada keperluan untuk keluar rumah). Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah; karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup. Tutuplah teko kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian”. HR. Bukhari (no. 3280) dan Muslim (no. 5218) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi Muslim. “لَا تُرْسِلُوا فَوَاشِيَكُمْ وَصِبْيَانَكُمْ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ، فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْبَعِثُ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ” “Janganlah melepaskan hewan ternak dan anak-anak kalian di saat matahari terbenam hingga gelapnya Isya lewat. Sungguh para setan itu berkeliaran ketika matahari terbenam hingga gelapnya Isya berlalu”. HR. Muslim (no. 2013) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Sya’ban 1445 / 4 Maret 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAHSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 190MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN Setan adalah musuh manusia. Dia berupaya sekuat tenaga untuk mengganggunya dan menyesatkannya. Demi merealisasikan tujuan jahat tersebut, berbagai cara dia tempuh. Tidak peduli apakah targetnya pria atau wanita, pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan anak kecil sekalipun. Karena itulah Islam mengajarkan beberapa hal dalam rangka untuk melindungi anak dari kejahatan setan. Di antaranya: Pertama: Membacakan dzikir untuk anak Saat anak belum masuk usia tamyiz (-+ sebelum umur 7 tahun), maka orang tua bisa membacakan dzikir perlindungan untuk anaknya. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendoakan kedua cucu beliau; Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. “أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ ‌عَيْنٍ ‌لامَّةٍ “ “Aku memohonkan perlindungan untuk kalian berdua menggunakan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan dan binatang berbisa, serta pandangan mata yang jahat”. HR. Bukhari (no. 3371) dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan ini adalah redaksi Ahmad (no. 2112). Doa ini bisa dibaca kapan saja. Jika jumlah anak tiga orang atau lebih, maka dibaca “U’îdzukum…”. Bila satu anak laki-laki, dibaca: “U’îdzuka…”. Jika satu anak perempuan, dibaca: “U’îdzuki”. Kedua: Melatih anak membaca dzikir Jika anak telah berusia tujuh tahun ke atas, maka hendaknya ia dibimbing dan dilatih untuk membaca dzikir sendiri. Semisal dzikir pagi dan petang, dzikir sebelum tidur, dzikir keluar rumah dan lain-lain. Lakukan pelatihan itu secara bertahap; supaya anak tidak merasa terlalu dibebani. Misalnya: di tahap awal anak diminta untuk membaca Ayat Kursi, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas setiap pagi dan petang. Setelah terbiasa, silakan ditambahkan bacaan-bacaan lainnya yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketiga: Mencegah anak keluar rumah ketika setan berkeliaran Yakni sesaat sebelum matahari terbenam hingga waktu masuk waktu Isya. Kecuali bila keluar rumahnya untuk berangkat ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ” “Jika malam mulai akan gelap, cegahlah anak-anak kalian (untuk keluar rumah); karena saat itu setan berkeliaran. Bila telah lewat sebagian malam biarkanlah mereka (jika ada keperluan untuk keluar rumah). Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah; karena sesungguhnya setan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup. Tutuplah teko kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian”. HR. Bukhari (no. 3280) dan Muslim (no. 5218) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi Muslim. “لَا تُرْسِلُوا فَوَاشِيَكُمْ وَصِبْيَانَكُمْ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ، فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْبَعِثُ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ ‌فَحْمَةُ ‌الْعِشَاءِ” “Janganlah melepaskan hewan ternak dan anak-anak kalian di saat matahari terbenam hingga gelapnya Isya lewat. Sungguh para setan itu berkeliaran ketika matahari terbenam hingga gelapnya Isya berlalu”. HR. Muslim (no. 2013) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 Sya’ban 1445 / 4 Maret 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAHSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205 – DOA MASUK RUMAH Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 189MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Dalam Islam, ada banyak sarana yang bisa digunakan untuk menunjang keberhasilan dalam mendidik anak. Salah satunya adalah pemberian hadiah. Karena hadiah bisa memotivasi anak untuk menjalankan kebaikan dan merangsang mereka agar konsisten menjalankannya. Sebab ia merasa jerih payah dan perjuangannya dihargai. Sehingga wajar bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, “‌تَهادُوا ‌تَحابُوا” “Hendaklah kalian saling memberi hadiah; niscaya kalian akan saling mencintai”. HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 594) dan sanadnya dinilai baik oleh al-‘Irâqiy. Agar Efek Hadiah Maksimal Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan agar efek positif pemberian hadiah maksimal: Pertama: Landasi hadiah dengan kasih sayang Rata-rata anak akan merasa senang saat mendapatkan hadiah. Apalagi bila hadiah tersebut adalah hal yang disukainya. Namun kesenangan sesaat kurang maksimal dalam membangkitkan semangat. Berbeda dengan kasih sayang, kedekatan dan kehangatan cinta orang tua. Maka, hadiah harus didasari kasih sayang, bukan sekedar untuk memuaskan keinginan anak. Kedua: Hadiah bisa berwujud materi dan non materi Wujud hadiah yang diberikan kepada anak bisa berupa materi; seperti makanan, minuman, sepatu, tas dan yang semisal. Bisa juga berwujud non materi; seperti pujian, ciuman, pelukan dan yang serupa itu. Contoh pemberian hadiah berupa materi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi hadiah untuk seorang putri kecil bernama Ummu Khalid berupa baju. Beliau sendiri yang memakaikannya dan mendoakan agar awet. Lalu bersabda, “Wahai Ummu Khalid, ini bagus sekali”. [HR. Bukhari (no. 5823)]. Adapun contoh hadiah non materi: Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membariskan Abdullah, Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya; al-Abbas dalam satu barisan. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang paling dulu sampai kepadaku, dia akan mendapat ini dan itu”. Maka mereka pun berlomba lari menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berada. Setelah sampai, ada yang memeluk punggung dan adapula yang memeluk dada beliau. Beliau menciumi mereka semua, serta menepati janjinya. [HR. Ahmad (no. 1836) dan dinilai lemah oleh al-Albaniy]. Ketiga: Iringi hadiah dengan nasehat Manusia bisa termotivasi dengan rangsangan internal dan eksternal. Rangsangan internal adalah kesadaran hati tentang pentingnya melakukan kebaikan. Menumbuhkan kesadaran ini perlu proses. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hadiah. Walaupun hadiah merupakan rangsangan eksternal, namun bila diiringi dengan nasehat; insyaAllah lama kelamaan akan membangkitkan rangsangan internal. Maka saat memberikan hadiah, orang tua perlu memberikan wejangan dan nasehat mengenai keuntungan ukhrawi yang akan didapatkan anak dari kebaikan yang dilakukannya. Jelaskan besarnya pahala dari Allah dan keindahan surga-Nya. Juga terangkan betapa ngerinya neraka, bagi orang yang melakukan kejahatan. Keempat: Imbangkan hadiah dengan hukuman Dalam Islam ada sepasang metode, yaitu targhîb dan tarhîb, yaitu motivasi dan ancaman, atau kelembutan dan sikap keras. Jadi, hadiah bukan satu-satunya cara untuk merangsang anak melakukan kebaikan. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam mendidik para sahabat. Beliau pernah menghukum Sawâd bin Ghaziyyah radhiyallahu ‘anhu akibat tidak lurus ketika berbaris. Akan tetapi dalam satu waktu beliau bersedia dibalas, walaupun akhirnya sahabat tersebut memeluk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. [HR. Ibn Ishaq dalam as-Sirah dan isnadnya dinilai hasan oleh al-Albaniy]. Namun hendaknya, hukuman tidak lebih dominan dibanding hadiah. Sebab sikap lembut dalam Islam lebih dikedepankan dibanding sikap keras. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Sya’ban 1445 / 19 Februari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 189MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Dalam Islam, ada banyak sarana yang bisa digunakan untuk menunjang keberhasilan dalam mendidik anak. Salah satunya adalah pemberian hadiah. Karena hadiah bisa memotivasi anak untuk menjalankan kebaikan dan merangsang mereka agar konsisten menjalankannya. Sebab ia merasa jerih payah dan perjuangannya dihargai. Sehingga wajar bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, “‌تَهادُوا ‌تَحابُوا” “Hendaklah kalian saling memberi hadiah; niscaya kalian akan saling mencintai”. HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 594) dan sanadnya dinilai baik oleh al-‘Irâqiy. Agar Efek Hadiah Maksimal Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan agar efek positif pemberian hadiah maksimal: Pertama: Landasi hadiah dengan kasih sayang Rata-rata anak akan merasa senang saat mendapatkan hadiah. Apalagi bila hadiah tersebut adalah hal yang disukainya. Namun kesenangan sesaat kurang maksimal dalam membangkitkan semangat. Berbeda dengan kasih sayang, kedekatan dan kehangatan cinta orang tua. Maka, hadiah harus didasari kasih sayang, bukan sekedar untuk memuaskan keinginan anak. Kedua: Hadiah bisa berwujud materi dan non materi Wujud hadiah yang diberikan kepada anak bisa berupa materi; seperti makanan, minuman, sepatu, tas dan yang semisal. Bisa juga berwujud non materi; seperti pujian, ciuman, pelukan dan yang serupa itu. Contoh pemberian hadiah berupa materi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi hadiah untuk seorang putri kecil bernama Ummu Khalid berupa baju. Beliau sendiri yang memakaikannya dan mendoakan agar awet. Lalu bersabda, “Wahai Ummu Khalid, ini bagus sekali”. [HR. Bukhari (no. 5823)]. Adapun contoh hadiah non materi: Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membariskan Abdullah, Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya; al-Abbas dalam satu barisan. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang paling dulu sampai kepadaku, dia akan mendapat ini dan itu”. Maka mereka pun berlomba lari menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berada. Setelah sampai, ada yang memeluk punggung dan adapula yang memeluk dada beliau. Beliau menciumi mereka semua, serta menepati janjinya. [HR. Ahmad (no. 1836) dan dinilai lemah oleh al-Albaniy]. Ketiga: Iringi hadiah dengan nasehat Manusia bisa termotivasi dengan rangsangan internal dan eksternal. Rangsangan internal adalah kesadaran hati tentang pentingnya melakukan kebaikan. Menumbuhkan kesadaran ini perlu proses. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hadiah. Walaupun hadiah merupakan rangsangan eksternal, namun bila diiringi dengan nasehat; insyaAllah lama kelamaan akan membangkitkan rangsangan internal. Maka saat memberikan hadiah, orang tua perlu memberikan wejangan dan nasehat mengenai keuntungan ukhrawi yang akan didapatkan anak dari kebaikan yang dilakukannya. Jelaskan besarnya pahala dari Allah dan keindahan surga-Nya. Juga terangkan betapa ngerinya neraka, bagi orang yang melakukan kejahatan. Keempat: Imbangkan hadiah dengan hukuman Dalam Islam ada sepasang metode, yaitu targhîb dan tarhîb, yaitu motivasi dan ancaman, atau kelembutan dan sikap keras. Jadi, hadiah bukan satu-satunya cara untuk merangsang anak melakukan kebaikan. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam mendidik para sahabat. Beliau pernah menghukum Sawâd bin Ghaziyyah radhiyallahu ‘anhu akibat tidak lurus ketika berbaris. Akan tetapi dalam satu waktu beliau bersedia dibalas, walaupun akhirnya sahabat tersebut memeluk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. [HR. Ibn Ishaq dalam as-Sirah dan isnadnya dinilai hasan oleh al-Albaniy]. Namun hendaknya, hukuman tidak lebih dominan dibanding hadiah. Sebab sikap lembut dalam Islam lebih dikedepankan dibanding sikap keras. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Sya’ban 1445 / 19 Februari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 189MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Dalam Islam, ada banyak sarana yang bisa digunakan untuk menunjang keberhasilan dalam mendidik anak. Salah satunya adalah pemberian hadiah. Karena hadiah bisa memotivasi anak untuk menjalankan kebaikan dan merangsang mereka agar konsisten menjalankannya. Sebab ia merasa jerih payah dan perjuangannya dihargai. Sehingga wajar bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, “‌تَهادُوا ‌تَحابُوا” “Hendaklah kalian saling memberi hadiah; niscaya kalian akan saling mencintai”. HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 594) dan sanadnya dinilai baik oleh al-‘Irâqiy. Agar Efek Hadiah Maksimal Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan agar efek positif pemberian hadiah maksimal: Pertama: Landasi hadiah dengan kasih sayang Rata-rata anak akan merasa senang saat mendapatkan hadiah. Apalagi bila hadiah tersebut adalah hal yang disukainya. Namun kesenangan sesaat kurang maksimal dalam membangkitkan semangat. Berbeda dengan kasih sayang, kedekatan dan kehangatan cinta orang tua. Maka, hadiah harus didasari kasih sayang, bukan sekedar untuk memuaskan keinginan anak. Kedua: Hadiah bisa berwujud materi dan non materi Wujud hadiah yang diberikan kepada anak bisa berupa materi; seperti makanan, minuman, sepatu, tas dan yang semisal. Bisa juga berwujud non materi; seperti pujian, ciuman, pelukan dan yang serupa itu. Contoh pemberian hadiah berupa materi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi hadiah untuk seorang putri kecil bernama Ummu Khalid berupa baju. Beliau sendiri yang memakaikannya dan mendoakan agar awet. Lalu bersabda, “Wahai Ummu Khalid, ini bagus sekali”. [HR. Bukhari (no. 5823)]. Adapun contoh hadiah non materi: Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membariskan Abdullah, Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya; al-Abbas dalam satu barisan. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang paling dulu sampai kepadaku, dia akan mendapat ini dan itu”. Maka mereka pun berlomba lari menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berada. Setelah sampai, ada yang memeluk punggung dan adapula yang memeluk dada beliau. Beliau menciumi mereka semua, serta menepati janjinya. [HR. Ahmad (no. 1836) dan dinilai lemah oleh al-Albaniy]. Ketiga: Iringi hadiah dengan nasehat Manusia bisa termotivasi dengan rangsangan internal dan eksternal. Rangsangan internal adalah kesadaran hati tentang pentingnya melakukan kebaikan. Menumbuhkan kesadaran ini perlu proses. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hadiah. Walaupun hadiah merupakan rangsangan eksternal, namun bila diiringi dengan nasehat; insyaAllah lama kelamaan akan membangkitkan rangsangan internal. Maka saat memberikan hadiah, orang tua perlu memberikan wejangan dan nasehat mengenai keuntungan ukhrawi yang akan didapatkan anak dari kebaikan yang dilakukannya. Jelaskan besarnya pahala dari Allah dan keindahan surga-Nya. Juga terangkan betapa ngerinya neraka, bagi orang yang melakukan kejahatan. Keempat: Imbangkan hadiah dengan hukuman Dalam Islam ada sepasang metode, yaitu targhîb dan tarhîb, yaitu motivasi dan ancaman, atau kelembutan dan sikap keras. Jadi, hadiah bukan satu-satunya cara untuk merangsang anak melakukan kebaikan. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam mendidik para sahabat. Beliau pernah menghukum Sawâd bin Ghaziyyah radhiyallahu ‘anhu akibat tidak lurus ketika berbaris. Akan tetapi dalam satu waktu beliau bersedia dibalas, walaupun akhirnya sahabat tersebut memeluk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. [HR. Ibn Ishaq dalam as-Sirah dan isnadnya dinilai hasan oleh al-Albaniy]. Namun hendaknya, hukuman tidak lebih dominan dibanding hadiah. Sebab sikap lembut dalam Islam lebih dikedepankan dibanding sikap keras. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Sya’ban 1445 / 19 Februari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Posted on October 21, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 189MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH Dalam Islam, ada banyak sarana yang bisa digunakan untuk menunjang keberhasilan dalam mendidik anak. Salah satunya adalah pemberian hadiah. Karena hadiah bisa memotivasi anak untuk menjalankan kebaikan dan merangsang mereka agar konsisten menjalankannya. Sebab ia merasa jerih payah dan perjuangannya dihargai. Sehingga wajar bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, “‌تَهادُوا ‌تَحابُوا” “Hendaklah kalian saling memberi hadiah; niscaya kalian akan saling mencintai”. HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 594) dan sanadnya dinilai baik oleh al-‘Irâqiy. Agar Efek Hadiah Maksimal Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan agar efek positif pemberian hadiah maksimal: Pertama: Landasi hadiah dengan kasih sayang Rata-rata anak akan merasa senang saat mendapatkan hadiah. Apalagi bila hadiah tersebut adalah hal yang disukainya. Namun kesenangan sesaat kurang maksimal dalam membangkitkan semangat. Berbeda dengan kasih sayang, kedekatan dan kehangatan cinta orang tua. Maka, hadiah harus didasari kasih sayang, bukan sekedar untuk memuaskan keinginan anak. Kedua: Hadiah bisa berwujud materi dan non materi Wujud hadiah yang diberikan kepada anak bisa berupa materi; seperti makanan, minuman, sepatu, tas dan yang semisal. Bisa juga berwujud non materi; seperti pujian, ciuman, pelukan dan yang serupa itu. Contoh pemberian hadiah berupa materi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi hadiah untuk seorang putri kecil bernama Ummu Khalid berupa baju. Beliau sendiri yang memakaikannya dan mendoakan agar awet. Lalu bersabda, “Wahai Ummu Khalid, ini bagus sekali”. [HR. Bukhari (no. 5823)]. Adapun contoh hadiah non materi: Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membariskan Abdullah, Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya; al-Abbas dalam satu barisan. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang paling dulu sampai kepadaku, dia akan mendapat ini dan itu”. Maka mereka pun berlomba lari menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berada. Setelah sampai, ada yang memeluk punggung dan adapula yang memeluk dada beliau. Beliau menciumi mereka semua, serta menepati janjinya. [HR. Ahmad (no. 1836) dan dinilai lemah oleh al-Albaniy]. Ketiga: Iringi hadiah dengan nasehat Manusia bisa termotivasi dengan rangsangan internal dan eksternal. Rangsangan internal adalah kesadaran hati tentang pentingnya melakukan kebaikan. Menumbuhkan kesadaran ini perlu proses. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hadiah. Walaupun hadiah merupakan rangsangan eksternal, namun bila diiringi dengan nasehat; insyaAllah lama kelamaan akan membangkitkan rangsangan internal. Maka saat memberikan hadiah, orang tua perlu memberikan wejangan dan nasehat mengenai keuntungan ukhrawi yang akan didapatkan anak dari kebaikan yang dilakukannya. Jelaskan besarnya pahala dari Allah dan keindahan surga-Nya. Juga terangkan betapa ngerinya neraka, bagi orang yang melakukan kejahatan. Keempat: Imbangkan hadiah dengan hukuman Dalam Islam ada sepasang metode, yaitu targhîb dan tarhîb, yaitu motivasi dan ancaman, atau kelembutan dan sikap keras. Jadi, hadiah bukan satu-satunya cara untuk merangsang anak melakukan kebaikan. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam mendidik para sahabat. Beliau pernah menghukum Sawâd bin Ghaziyyah radhiyallahu ‘anhu akibat tidak lurus ketika berbaris. Akan tetapi dalam satu waktu beliau bersedia dibalas, walaupun akhirnya sahabat tersebut memeluk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. [HR. Ibn Ishaq dalam as-Sirah dan isnadnya dinilai hasan oleh al-Albaniy]. Namun hendaknya, hukuman tidak lebih dominan dibanding hadiah. Sebab sikap lembut dalam Islam lebih dikedepankan dibanding sikap keras. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Sya’ban 1445 / 19 Februari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 190 – MELINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SETAN SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAK Posted on October 20, 2024October 20, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 188MENGGALI POTENSI ANAK Siapapun yang mencermati kehidupan para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menemukan beragamnya keunggulan masing-masing mereka. Ada yang menjadi pemimpin, semisal empat orang Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Ada yang menjadi da’i, seperti Mush’ab bin ‘Umair dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma. Ada yang menjadi saudagar, contohnya Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Ada yang menjadi panglima perang, seperti Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dan masih banyak contoh lainnya. Ajaibnya semua dari mereka sangat menonjol di bidang masing-masing. Anak-anak kita terlahir dalam keadaan memiliki minat dan kecenderungan yang berbeda-beda. Walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama. Sejatinya itu adalah petunjuk awal bagi orang tua dan guru untuk menggali dan menemukan potensi unggul setiap anak. Langkah Praktis Menggali Potensi Anak Berikut beberapa langkah praktis dalam menggali potensi anak-anak kita: Pertama: Bangunlah pondasi yang kuat Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walau berbeda-beda profesi, namun semuanya memiliki pondasi keimanan yang kokoh. Itu sangat penting untuk membentengi seseorang dari hal-hal negatif dalam kehidupannya. Maka orang tua harus menanamkan akidah yang kuat pada diri anak-anaknya. Juga mengajari mereka mana profesi yang halal dan mana yang haram. Mana hobi yang baik dan mana yang buruk. Ini sangat penting; agar anak tidak salah memilih. Kedua: Buatlah daftar minat dan bakat Setelah anak dirasa cukup mengetahui beragam aktivitas dan profesi yang positif, kita memintanya untuk membuat daftar profesi atau kegiatan tersebut. Misalnya: ustadz, dokter, arsitek, petani, peternak, chef, penulis buku, programmer, dll. Lalu kita memintanya untuk membuat penilaian atau skoring dari bidang-bidang yang diminatinya. Caranya: memberi angka 10 untuk yang paling diminatinya, dan angka 1 untuk yang paling kurang diminatinya. Ketiga: Lakukan uji coba minat dan bakat Mintalah anak untuk mengurutkan bidang apa saja yang dia beri nilai/skor 8 keatas. Lalu berilah ia kesempatan untuk menggali lebih jauh hal yang diminatinya tersebut. Dengan cara membaca buku-buku yang berhubungan dengan bidang tadi, atau mencari informasi di internet, atau bertemu dengan tokoh-tokoh ahli di bidang tersebut. Setelah itu, kita menyusun rencana untuk anak guna mencoba bidang-bidang tadi. Dalam dunia dakwah misalnya, kita memberi kesempatan anak untuk berlatih menyiapkan materi ceramah keagamaan dan menyampaikannya. Di bidang pertanian, kita mengajak untuk menanam pohon dan merawatnya. Di bidang kuliner, kita memberi kesempatan untuk memasak menu yang disukainya. Coba dan lakukan satu persatu pada masing-masing bidang tersebut secara sabar. Sampai akhirnya kita menemukan satu bidang yang amat diminati anak dan ia sangat cepat menguasainya. Serta jarang bosan untuk melakukannya. Maka itu artinya kita telah berhasil menemukan potensi unggul anak. Jika ternyata potensi unggul anak kita lebih dari satu bidang, maka perhatikanlah apakah sifatnya saling mendukung dan bisa dikerjakan bersama atau tidak? Jika iya, maka tidak masalah keduanya dilakukan bersama. Jika tidak, maka anak dipersilahkan untuk memilih salah satunya. No Bidang yang diminati Skor minat Skor bakat Skor konsistensi Rata-rata 1 Berdakwah 10 9 7 8.6 2 Bertani 9 7 8 8 3 Arsitektur 8 8 9 8.3 4 Memasak 8 6 7 7 Dari contoh di atas, kita melihat skoring tertinggi adalah bidang dakwah. Maka itulah potensi anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 17 Rajab 1445 / 29 Januari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 187 – MELERAI PERTIKAIAN ANTAR ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAK Posted on October 20, 2024October 20, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 188MENGGALI POTENSI ANAK Siapapun yang mencermati kehidupan para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menemukan beragamnya keunggulan masing-masing mereka. Ada yang menjadi pemimpin, semisal empat orang Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Ada yang menjadi da’i, seperti Mush’ab bin ‘Umair dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma. Ada yang menjadi saudagar, contohnya Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Ada yang menjadi panglima perang, seperti Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dan masih banyak contoh lainnya. Ajaibnya semua dari mereka sangat menonjol di bidang masing-masing. Anak-anak kita terlahir dalam keadaan memiliki minat dan kecenderungan yang berbeda-beda. Walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama. Sejatinya itu adalah petunjuk awal bagi orang tua dan guru untuk menggali dan menemukan potensi unggul setiap anak. Langkah Praktis Menggali Potensi Anak Berikut beberapa langkah praktis dalam menggali potensi anak-anak kita: Pertama: Bangunlah pondasi yang kuat Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walau berbeda-beda profesi, namun semuanya memiliki pondasi keimanan yang kokoh. Itu sangat penting untuk membentengi seseorang dari hal-hal negatif dalam kehidupannya. Maka orang tua harus menanamkan akidah yang kuat pada diri anak-anaknya. Juga mengajari mereka mana profesi yang halal dan mana yang haram. Mana hobi yang baik dan mana yang buruk. Ini sangat penting; agar anak tidak salah memilih. Kedua: Buatlah daftar minat dan bakat Setelah anak dirasa cukup mengetahui beragam aktivitas dan profesi yang positif, kita memintanya untuk membuat daftar profesi atau kegiatan tersebut. Misalnya: ustadz, dokter, arsitek, petani, peternak, chef, penulis buku, programmer, dll. Lalu kita memintanya untuk membuat penilaian atau skoring dari bidang-bidang yang diminatinya. Caranya: memberi angka 10 untuk yang paling diminatinya, dan angka 1 untuk yang paling kurang diminatinya. Ketiga: Lakukan uji coba minat dan bakat Mintalah anak untuk mengurutkan bidang apa saja yang dia beri nilai/skor 8 keatas. Lalu berilah ia kesempatan untuk menggali lebih jauh hal yang diminatinya tersebut. Dengan cara membaca buku-buku yang berhubungan dengan bidang tadi, atau mencari informasi di internet, atau bertemu dengan tokoh-tokoh ahli di bidang tersebut. Setelah itu, kita menyusun rencana untuk anak guna mencoba bidang-bidang tadi. Dalam dunia dakwah misalnya, kita memberi kesempatan anak untuk berlatih menyiapkan materi ceramah keagamaan dan menyampaikannya. Di bidang pertanian, kita mengajak untuk menanam pohon dan merawatnya. Di bidang kuliner, kita memberi kesempatan untuk memasak menu yang disukainya. Coba dan lakukan satu persatu pada masing-masing bidang tersebut secara sabar. Sampai akhirnya kita menemukan satu bidang yang amat diminati anak dan ia sangat cepat menguasainya. Serta jarang bosan untuk melakukannya. Maka itu artinya kita telah berhasil menemukan potensi unggul anak. Jika ternyata potensi unggul anak kita lebih dari satu bidang, maka perhatikanlah apakah sifatnya saling mendukung dan bisa dikerjakan bersama atau tidak? Jika iya, maka tidak masalah keduanya dilakukan bersama. Jika tidak, maka anak dipersilahkan untuk memilih salah satunya. No Bidang yang diminati Skor minat Skor bakat Skor konsistensi Rata-rata 1 Berdakwah 10 9 7 8.6 2 Bertani 9 7 8 8 3 Arsitektur 8 8 9 8.3 4 Memasak 8 6 7 7 Dari contoh di atas, kita melihat skoring tertinggi adalah bidang dakwah. Maka itulah potensi anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 17 Rajab 1445 / 29 Januari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 187 – MELERAI PERTIKAIAN ANTAR ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAK Posted on October 20, 2024October 20, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 188MENGGALI POTENSI ANAK Siapapun yang mencermati kehidupan para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menemukan beragamnya keunggulan masing-masing mereka. Ada yang menjadi pemimpin, semisal empat orang Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Ada yang menjadi da’i, seperti Mush’ab bin ‘Umair dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma. Ada yang menjadi saudagar, contohnya Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Ada yang menjadi panglima perang, seperti Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dan masih banyak contoh lainnya. Ajaibnya semua dari mereka sangat menonjol di bidang masing-masing. Anak-anak kita terlahir dalam keadaan memiliki minat dan kecenderungan yang berbeda-beda. Walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama. Sejatinya itu adalah petunjuk awal bagi orang tua dan guru untuk menggali dan menemukan potensi unggul setiap anak. Langkah Praktis Menggali Potensi Anak Berikut beberapa langkah praktis dalam menggali potensi anak-anak kita: Pertama: Bangunlah pondasi yang kuat Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walau berbeda-beda profesi, namun semuanya memiliki pondasi keimanan yang kokoh. Itu sangat penting untuk membentengi seseorang dari hal-hal negatif dalam kehidupannya. Maka orang tua harus menanamkan akidah yang kuat pada diri anak-anaknya. Juga mengajari mereka mana profesi yang halal dan mana yang haram. Mana hobi yang baik dan mana yang buruk. Ini sangat penting; agar anak tidak salah memilih. Kedua: Buatlah daftar minat dan bakat Setelah anak dirasa cukup mengetahui beragam aktivitas dan profesi yang positif, kita memintanya untuk membuat daftar profesi atau kegiatan tersebut. Misalnya: ustadz, dokter, arsitek, petani, peternak, chef, penulis buku, programmer, dll. Lalu kita memintanya untuk membuat penilaian atau skoring dari bidang-bidang yang diminatinya. Caranya: memberi angka 10 untuk yang paling diminatinya, dan angka 1 untuk yang paling kurang diminatinya. Ketiga: Lakukan uji coba minat dan bakat Mintalah anak untuk mengurutkan bidang apa saja yang dia beri nilai/skor 8 keatas. Lalu berilah ia kesempatan untuk menggali lebih jauh hal yang diminatinya tersebut. Dengan cara membaca buku-buku yang berhubungan dengan bidang tadi, atau mencari informasi di internet, atau bertemu dengan tokoh-tokoh ahli di bidang tersebut. Setelah itu, kita menyusun rencana untuk anak guna mencoba bidang-bidang tadi. Dalam dunia dakwah misalnya, kita memberi kesempatan anak untuk berlatih menyiapkan materi ceramah keagamaan dan menyampaikannya. Di bidang pertanian, kita mengajak untuk menanam pohon dan merawatnya. Di bidang kuliner, kita memberi kesempatan untuk memasak menu yang disukainya. Coba dan lakukan satu persatu pada masing-masing bidang tersebut secara sabar. Sampai akhirnya kita menemukan satu bidang yang amat diminati anak dan ia sangat cepat menguasainya. Serta jarang bosan untuk melakukannya. Maka itu artinya kita telah berhasil menemukan potensi unggul anak. Jika ternyata potensi unggul anak kita lebih dari satu bidang, maka perhatikanlah apakah sifatnya saling mendukung dan bisa dikerjakan bersama atau tidak? Jika iya, maka tidak masalah keduanya dilakukan bersama. Jika tidak, maka anak dipersilahkan untuk memilih salah satunya. No Bidang yang diminati Skor minat Skor bakat Skor konsistensi Rata-rata 1 Berdakwah 10 9 7 8.6 2 Bertani 9 7 8 8 3 Arsitektur 8 8 9 8.3 4 Memasak 8 6 7 7 Dari contoh di atas, kita melihat skoring tertinggi adalah bidang dakwah. Maka itulah potensi anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 17 Rajab 1445 / 29 Januari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 187 – MELERAI PERTIKAIAN ANTAR ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 188 – MENGGALI POTENSI ANAK Posted on October 20, 2024October 20, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 188MENGGALI POTENSI ANAK Siapapun yang mencermati kehidupan para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menemukan beragamnya keunggulan masing-masing mereka. Ada yang menjadi pemimpin, semisal empat orang Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Ada yang menjadi da’i, seperti Mush’ab bin ‘Umair dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma. Ada yang menjadi saudagar, contohnya Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Ada yang menjadi panglima perang, seperti Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dan masih banyak contoh lainnya. Ajaibnya semua dari mereka sangat menonjol di bidang masing-masing. Anak-anak kita terlahir dalam keadaan memiliki minat dan kecenderungan yang berbeda-beda. Walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama. Sejatinya itu adalah petunjuk awal bagi orang tua dan guru untuk menggali dan menemukan potensi unggul setiap anak. Langkah Praktis Menggali Potensi Anak Berikut beberapa langkah praktis dalam menggali potensi anak-anak kita: Pertama: Bangunlah pondasi yang kuat Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walau berbeda-beda profesi, namun semuanya memiliki pondasi keimanan yang kokoh. Itu sangat penting untuk membentengi seseorang dari hal-hal negatif dalam kehidupannya. Maka orang tua harus menanamkan akidah yang kuat pada diri anak-anaknya. Juga mengajari mereka mana profesi yang halal dan mana yang haram. Mana hobi yang baik dan mana yang buruk. Ini sangat penting; agar anak tidak salah memilih. Kedua: Buatlah daftar minat dan bakat Setelah anak dirasa cukup mengetahui beragam aktivitas dan profesi yang positif, kita memintanya untuk membuat daftar profesi atau kegiatan tersebut. Misalnya: ustadz, dokter, arsitek, petani, peternak, chef, penulis buku, programmer, dll. Lalu kita memintanya untuk membuat penilaian atau skoring dari bidang-bidang yang diminatinya. Caranya: memberi angka 10 untuk yang paling diminatinya, dan angka 1 untuk yang paling kurang diminatinya. Ketiga: Lakukan uji coba minat dan bakat Mintalah anak untuk mengurutkan bidang apa saja yang dia beri nilai/skor 8 keatas. Lalu berilah ia kesempatan untuk menggali lebih jauh hal yang diminatinya tersebut. Dengan cara membaca buku-buku yang berhubungan dengan bidang tadi, atau mencari informasi di internet, atau bertemu dengan tokoh-tokoh ahli di bidang tersebut. Setelah itu, kita menyusun rencana untuk anak guna mencoba bidang-bidang tadi. Dalam dunia dakwah misalnya, kita memberi kesempatan anak untuk berlatih menyiapkan materi ceramah keagamaan dan menyampaikannya. Di bidang pertanian, kita mengajak untuk menanam pohon dan merawatnya. Di bidang kuliner, kita memberi kesempatan untuk memasak menu yang disukainya. Coba dan lakukan satu persatu pada masing-masing bidang tersebut secara sabar. Sampai akhirnya kita menemukan satu bidang yang amat diminati anak dan ia sangat cepat menguasainya. Serta jarang bosan untuk melakukannya. Maka itu artinya kita telah berhasil menemukan potensi unggul anak. Jika ternyata potensi unggul anak kita lebih dari satu bidang, maka perhatikanlah apakah sifatnya saling mendukung dan bisa dikerjakan bersama atau tidak? Jika iya, maka tidak masalah keduanya dilakukan bersama. Jika tidak, maka anak dipersilahkan untuk memilih salah satunya. No Bidang yang diminati Skor minat Skor bakat Skor konsistensi Rata-rata 1 Berdakwah 10 9 7 8.6 2 Bertani 9 7 8 8 3 Arsitektur 8 8 9 8.3 4 Memasak 8 6 7 7 Dari contoh di atas, kita melihat skoring tertinggi adalah bidang dakwah. Maka itulah potensi anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 17 Rajab 1445 / 29 Januari 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 187 – MELERAI PERTIKAIAN ANTAR ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 189 – MERANGSANG ANAK DENGAN HADIAH SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Prev     Next